Walet Besi Bab 16 (Tamat)

BAB 16 (Tamat)
 Sedang kejadian yang dialami Cu Siau-thian adalah, dia sendiri merasa sekarang dia tidak mungkin kalah.

Semua orang sudah mempunyai lawannya masing-masing.

Dia hanya perlu menyak sikan pertarungan terakhir ini dan membantu bila dibutuh-kan.

Dia tertawa panjang.

Setelah tawanya berakhir, dia melihat ke tiga anak buahnya menyerang.

Dia melihat pertarungan seru antara Tu Liong dengan Boh Tan-ping, dan anaknya yang dijuluki Thiat-yan yang melawan nikoh.

Boh Tan-ping tampak kewalahan, sebelumnya dia memang sudah terkuras tenaganya ketika melawan Wie Kie-hong di tempatTan Po-hai.

Namun Cu Siau-thian kaget ketika melihat anak kandungnya tiba-tiba kelimpungan ditengah lajunya menyerang nikoh.

Boh Tan-ping sempat menoleh padanya meminta pertolongan.

Namun dia tidak menghiraukannya.

Dia ingin menolong anak kandungnya dulu menyerang nikoh.

Dia melihat nikoh berjalan mendekat.

Rasa takut yang mencekam mulai menggerogoti rasa percaya dirinya.

Rasa takutnya membuatnya terpaku dan tidak bisa bergerak kemana-mana.

Walaupun nikoh ini sampai dihadapannya, dia tetap tidak bisa bergerak.

Dia hanya terus memandang padanya.

"Omitohud" Nikoh menegadahkan kepalanya.

Tatapan matanya bertemu dengan tatapan mata nikoh.

Tiba-tiba saja mata nikoh bersinar terang.

Dia langsung merasa pusing, mendadak semuanya menjadi gelap.

"GAWAT!" pikirnya dalam hati.

Ketika kesadarannya kembali pulih, dia melihat Thiat-yan sedang dalam bahaya.

Nikoh sudah melesat menyerangnya dengan sebuah pisau tajam.

Segera dia melesat mencoba menyelamatkan putri kandungnya.

Dia mengeluarkan jarum besi yang selalu disembunyikannya, dan segera menusukkan ke jalan darah penting nikoh.

Dia sengaja memilih jalan darah yang tidak mematikan, tapi hanya membuat cacat dan melumpuhkan.

Dia tidak ingin menanggung dosa membunuh seorang nikoh.

Nikoh itu langsung terjatuh dengan jeritan yang tajam, namun tiba-tiba dia berubah menjadi Thiat-yan.

Cu Siau-thian tertegun.

Pada awalnya dia tidak mengerti apa yang sudah terjadi.

Dia sangat menyayangi anak perempuan satu satunya ini.

Dia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

Mendadak dia sadar Nikoh itu sudah menghipnotisnya agar dia menyangka bahwa Thiat-yan yang diserangnya adalah nikoh.

Dapat dikatakan dia sudah membuat cacat anaknya dengan tangannya sendiri.

Kepala Cu Siau-thian serasa pecah.

Dia membelalakkan matanya sangat lebar dan jatuh lemas terduduk dilantai.

Hal terakhir yang didengarnya dengan sadar adalah kata kata nikoh.

Walaupun belum mulai bertarung, namun Boh Tan-ping tampak sudah kehabisan tenaga.

Mukanya tampak sedikit pucat, dan sepertinya dia tidak terlalu berkonsentrasi menghadapi pertarung-an Dia sedang mempertimbangkan sesuatu berulang-ulang.

Pikirannya itu tampak memberatkan hatinya.

Ini sangat jelas tergambarkan pada mukanya.

Tu Liong segera melaju menyerang Boh Tan-ping.

Pisau kecil yang tajam segera melesat menuju dadanya.

Boh Tan-ping sepertinya sedikit melamun.

Teriakan Tu Liong yang mendadak mem-buatnya kembali sadar.

Dia berusaha menebaskan pedang gigi gergaji untuk menghindari serangan "TRAAANG" Seorang pendekar tangguh tetap bisa ber-tarung dengan baik walaupun sedang banyak pikiran.

Setelah pisau Tu Liong terhempas ke sisi, dia segera menebaskan pedang gigi gergajinya ke arah Tu Liong.

Namun dia sudah sangat letih.

Gerakannya tidak lagi lincah.

Tu Liong bisa menghindari serangannya dengan sangat mudah.

Selagi Boh Tan-ping berusaha mengangkat pedang gigi gergajinya yang berat, Tu Liong sudah melangkah mendekat dan menekankan telapak tangannya ke dada lawannya.

Rasa linu yang dahsyat segera menghantam dadanya.

Boh Tan-ping mundur beberapa langkah.

Dia tahu dia tidak bisa terus bertarung seperti ini.

Dia segera memalingkan muka melihat Cu Siau-thian memohon bantuan.

Tapi tampaknya Cu Siau-thian tidak menghirau kan dirinya.

Dia sedang memalingkan muka dan melihat putri kandungnya, padahal dia sama sekali tidak diserang oleh nikoh.

Boh Tan-ping merasa kecewa.

Saking kecewanya, dia tidak memperhatikan Tu Liong kembali menghajarnya dengan telapaknya.

Dia terlempar ke belakang sampai menabrak dinding.

Tu Liong tidak melepaskannya begitu saja, sebentar saja dia sudah menempel lagi padanya dan berkata dengan jelas ke dalam telinganya.

"Untuk apa kau terus membela Cu Siau-thian" Dia tidak memperdulikanmu lagi, kau tidak dilahirkan olehnya." Setelah itu Tu Liong sudah mengayunkan pisau yang dipegangnya ke arah leher Boh Tan-ping.

Pisau itu menancap di tembok hanya meleset satu centimeter dari kulit lehernya.

Tindakan ini disengaja olehTu Liong.

Dia hanya memandang mata Boh Tan-ping dalam-dalam.

Boh Tan-ping terkulai lemas.

Tu Liong segera memalingkan muka, membalikkan tubuh dan berjalan menuju pembunuh beralis putih.

Pikiran mulai berkecamuk didalam kepala Boh Tan-ping.

Dia hanya setengah sadar ketika melihat tangan Tu Liong yang terputus.

Dia bingung ketika Cu Siau-thian malah menusuk anaknya sendiri, tidak percaya kepala pembunuh beralis putih sudah tertancap sebuah pedang panjang.

Sayang dia melihat semua hal ini dengan mata kepalanya.

Dia tidak mungkin percaya.

Mendadak dia merasa jenuh dengan semua hal ini.

Setelah semua jeritan yang memilukan hati, dia mendengar sang nikoh berkata-kata.

Tawa Cu Siau-thian menggelegar keras, namun Tu Liong tidak banyak memperhatikannya.

Rasa ngilu pada luka sayat di bahu kanannya masih terasa, namun dia sudah tidak menyimpan banyak dendam pada Boh Tan-ping.

Dia tahu sebenarnya Boh Tan-ping adalah orang yang baik.

dia sudah membuktikan kesetia-annya.

Selama itu dia selalu setia pada Cu Siau-thian mantan majikannya.

"Sayang dia tidak bisa merubah pandangannya seperti ku" katanya dalam hati.

Walau demikian Tu Liong masih berniat untuk mengalahkan Boh Tan-ping dan membuatnya sadar.

Akhirnya tawa Cu Siau-thian berhenti.

Semua orang melesat menyerang.

Tu Liong juga tidak tinggal diam.

Dia pun segera melesat menuju Boh Tan-ping.

Namun alangkah terkejutnya dia, Boh Tan-ping hanya berdiri diam ditempat.

Sepertinya dia sedang melamun memikirkan sesuatu.

Bahkan sampai pisau Tu Liong nyaris menusuk dadanya, dia tampak masih termenung.

Tu Liong segera berteriak keras untuk menyadarkannya.

Setelah kembali sadar, Boh Tan-ping tampak sangat kaget melihat Tu Liong sudah sangat dekat.

Dia segera mengayunkan pedang gigi gergaji dan menepis pisau yang melesat menuju dadanya.

"TRAAANG" Tu Liong bersyukur dia segera sadar sebelum terlambat.

Pedang gigi gergaji kembali berputar dan mengayun ke arahnya.

Dari pertarungan sengitnya dengan Boh Tan-ping, Tu Liong tahu sebenarnya ilmu silat Boh Tan-ping sangat hebat.

Namun kali ini ayunan tebasan pedang gigi gergaji tampak serampangan.

Tu Liong dapat menghindarinya dengan mudah.

Dia berkelit ke sebelah kiri dan menghen-takkan kakinya serta melayangkan telapak tangan ke arah dadanya.

Boh Tan-ping jelas sekali tidak siap meng-hadapi pertarungan kali ini.

Dia terpukul mundur beberapa langkah.

Dia menoleh pada Cu Siau-thian meminta pertolongan.

Ternyata Cu Siau-thian tidak menghiraukan nya.

Tu Liong tahu ini adalah kesempatan emas baginya untuk menyadarkan Boh Tan-ping.

Dia kembali melaju cepat ke arahnya.

Sekali lagi telapaknya menghantam keras dadanya.

Boh Tan-ping terpelanting keras dan menghantam tembok.

Kalau Tu Liong sungguh ingin membunuhnya, sekarang dia sudah pasti mati.

"Ini saatnya" kata Tu Liong dalam hati.

Dia segera melesat menuju Boh Tan-ping, mendesaknya ke dinding sampai tidak bisa bergerak.

Tu Liong berkata dengan jelas ke dalam telinganya.

"Untuk apa kau terus membela Cu Siau-thian" Dia tidak memperdulikanmu lagi, kau tidak dilahirkan olehnya." Setelah itu Tu Liong mengayunkan pisau yang dipegangnya ke arah leher Boh Tan-ping.

Pisau itu menancap di tembok hanya meleset satu centimeter dari kulit lehernya.

Tu Liong memandang mata Boh Tan-ping dalam dalam.

Boh Tan-ping terkulai lemas.

Tu Liong berpikir bahwa dia sudah cukup melakukan apa yang dia bisa lakukan.

Apakah dia akan membuka lembaran hidup baru atau tetap mengabdi pada tuan yang salah, semuanya terserah pada Boh Tan-ping.

Dia segera memalingkan muka, membalikkan badan dan berjalan menuju Pembunuh beralis putih.

Wie Kie-hong masih sangat muda.

Tu Liong tidak yakin dia bisa menghadapi pembunuh beralis putih dengan baik.

Tu Liong tidak bisa tinggal diam.

Dia harus menolongnya.

Pembunuh beralis putih sedang membelakanginya.

Dia tampak sedang bertarung sengit dengan Wie Kie-hong.

Wie Kie-hong tampaknya kewalahan menghadapinya.

Hingga suatu saat, Wie Kie-hong membuat kesalahan fatal.

Dia tidak berhasil memulihkan pertahanannya setelah gagal menyerang Pembunuh beralis putih.

Tu Liong melihat Pembunuh beralis putih mengayunkan pedang menyerang pertahanan yang lemah.

Tu Liong tahu, kalau dia tidak segera menolong, Wie Kiehong pasti kehilangan nyawanya.

Tu Liong tidak berpikir panjang.

Dia segera melesat menuju Pembunuh beralis putih, segera menjulurkan tangan kiri dan mencengkeram bahu nya.

Dia berseru keras: "Kie-hong!! hati hati!!!" Pembunuh beralis putih tampak kaget.

Dia tidak menyangka ada orang dibelakang-nya.

Konsentrasi pembunuh beralis putih menjadi buyar sesaat.

Berkat bantuan Tu Liong, Wie Kie-hong berhasil menghindar serangan.

Namun mendadak Pembunuh beralis putih memutarkan tubuhnya dan langsung menebas bahu kiri Tu Liong sampai putus.

Rasa sakit yang sangat tajam menyengat bahu Tu Liong.

Dia berteriak keras dan berjalan terhuyung-huyung kebelakang.

Darah segar bermuncratan kemana-mana.

Dia mendengar Wie Kie-hong berteriak pada nya..

"Tu Toako...!!!" Setelah itu Pembunuh beralis putih pun ikut berteriak dengan suara sangat memilukan.

Sebelum tidak sadarkan diri, dia masih sempat mendengar sang nikoh berkata: "Amitaba...

jaring takdir memang tidak rapat, namun tidak seorang pun yang bisa menembusnya." Tubuh Wie Kie-hong masih terasa pegal Staminanya belum pulih setelah bertarung dengan Boh Tan-ping di kediaman Paman Tan.

Namun saat ini hal itu tidak diperhatikannya.

Hatinya yang panas dan emosinya yang meledak-ledak membuatnya ingin membalaskan dendam pada pembunuh beralis putih secepatnya.

Cu Siau-thian tertawa panjang.

Wie Kie-hong sudah memasang ancang ancang menyerang Pembunuh beralis putih.

Dia tidak memperdulikan apa-apa lagi.

Matanya terus tertuju pada pedang milik ayahnya yang sekarang bersinar biru terang.

Ketika tawanya berhenti, Wie Kie-hong segera menjerit keras dan melesat cepat berusaha menebas Pembunuh beralis putih sampai terbelah menjadi dua.

"HIAAAAAHHH!!!!" Tampaknya Pembunuh beralis putih juga sama bersemangatnya dengan dirinya.

Kedua pedang bentrok.

Sabetan sabetan pedang berulang kali terjadi.

TRANG!!! TRANG!!! TRANG!!! TRANG!!! Pertama-tama, Pembunuh beralis putih tampak terdesak mundur.

Wie Kie-hong merasa bahwa ilmu silat Pembunuh beralis putih tidak sehebat yang dikatakan orang orang.

Dia tidak mengerti mengapa ayahnya bisa terbunuh dibawah tangan orang yang seperti ini.

Dia lalu teringat semua orang yang sudah dibunuhnya.

Hiong-ki yang dia kagumi, Hui Taiya dan ayah angkatnya Leng Souw-hiang.

Semua membuat emosinya semakin berkobar, namun pikirannya semakin kalut.

Serangannya makin membabi buta.

Lama kelamaan, tangan Wie Kie-hong mulai terasa pegal.

Wie Kie-hong sadar kalau dia belum siap menghadapi Pembunuh beralis putih.

Dia harus beristirahat dulu beberapa saat untuk memulihkan tenaga.

Tapi dia tidak bisa mundur.

Mundur hanya berarti kematian baginya.

Setelah beberapa jurus, Pembunuh beralis putih tampak menyeringai kejam.

Rupanya dia sedang memancing Wie Kie-hong untuk mengeluarkan sisa tenaga yang dimilikinya.

Sekarang Wie Kie-hong sudah kehabisan tenaga, Saat itulah dia mulai menyerang maju.

TRANG!!! TRANG!!! TRANG!!! TRANG!!! Semakin lama Wie Kie-hong semakin terdesak mundur.

Tidak sedikit serangan Pembunuh beralis putih yang melukai berbagai tempat pada tubuhnya.

Wie Kie-hong mulai merasa kewalahan.Dia tahu dia harus membalikkan situasi.

Dia berusaha memanfaatkan kesempatan yang ada untuk balas menyerang.

Matanya seolah olah dibutakan oleh sinar biru pedang milik ayahnya.

Ketika berpikir seperti ini, sekilas sinar biru melesat ke arahnya.

Wie Kie-hong segera melemparkan tubuhnya kepinggir menghindari serangan, setelah itu dia mengayunkan pedang sekuatnya ke arah Pembunuh beralis putih.

Tidak disangka, pembunuh beralis putih menghindari serangannya dengan mudah.

Sekarang Wie Kie-hong berada dalam posisi yang tidak menguntungkan.

Dia tidak sempat mengangkat pedang menutupi pertahanannya yang terbuka.

Pembunuh beralis putih segera mengambil kesempatan dan menebaskan pedang biru sekuatnya ke arahnya.

Wie Kie-hong tahu ini adalah akhir baginya.

Namun hal yang tidak disangka-sangka terjadi.

Saat itu Tu Liong berteriak padanya.

Akibat teriakan Tu Long konsentrasi Pembunuh beralis putih buyar.

Wie Kie-hong mendapat kesempatan untuk menghindari serangan maut.

Dia sempat melihat Pembunuh beralis putih memutarkan tubuh dan menebas tangan Tu Liong sampai putus.

Hatinya mendadak seperti ditusuk pedang yang tidak terlihat.

Hingga dia segera berteriak Emosi yang tadi sudah nyaris padam karena letih, mendadak meledak dengan kuat.

Ketika Pembunuh beralis putih yang sedang membelakanginya.

Tanpa berpikir, dia segera menusuk kan pedangnya pada kepala Pembunuh beralis putih, pedang itu langsung masuk dari belakang kepala dan tembus sampai ke depan.

Pembunuh beralis putih menjerit keras dengan suara yang sangat memilukan.

Sekarang semuanya sudah berakhir.

Dendam semua orang sudah terbalaskan, dia pun sudah tidak ada tenaga terus berdiri.

Dia langsung jatuh berlutut dan terbaring di lantai seiring dengan suara sang nikoh yang berkata-kata.

0-0-0
 Langit pagi berwarna biru cerah.

Tidak sedikitpun awan yang terlihat, angin pagi berhembus sepoi sepoi membawa bau rumpu t yang menyegarkan.

Tidak terasa satu bulan sudah berlalu sejak kejadian yang mem ilukan di rumah Bu Tiat-cui.

Saat ini Wie Kie-hong sedang berlutut didepan pedang ayahnya yang tertancap di tanah.

Di belakangnya berdiri batu pusara yang bertuliskan "Kuburan Wie Ceng", di depannya menancap tiga batang dupa yang terbakar dan menyebarkan bau harum.

Disekelilingnya banyak buah-buahan yang sudah tertata rapi.

Suara kicau burung terdengar samar-samar disela-sela pembacaan mantra oleh dua orang ber-pakaian putih yang juga berlutut disebelah kiri dan kanannya.

Kedua orang ini adalah Boh Tan-ping dan nikoh anak kandung Tiat Liong-san.

Sekarang Boh Tan-ping tampak agak lucu karena dia telah kehilangan semua rambutnya.

Setelah terjadi pertarungan di kediaman Bu Tiat-cui, Boh Tan-ping menyadari kalau dia sudah mengabdi pada orang yang salah.

Itu yang sudah membuatnya risau pada pertarungan terakhir.

Untunglah Tu Liong tidak membunuhnya sewaktu mendapat kesempatan.

Dia menyesali semua perbuatan nya.

Setelah terkulai lemas, dia sempat ingin menggunakan pedang gigi gergajinya untuk mencabut nyawanya sendiri, untunglah nikoh itu datang dan berlutut disisinya, membujuknya dengan lembut untuk ikut dengannya pergi meninggalkan kehidupan duniawi.

Setelah beberapa lama, semua mantra pemberkatan kematian selesai dibacakan.

Wie Kie-hong segera berdiri.

Seseorang menepuk bahunya dari belakang.

Dia memalingkan kepala dan melihat Tu Liong.

Dia mengenakan baju sutra tangan panjang, lengan baju kirinya dibiarkan menggantung kosong.

Paman Tan Po-hai, pengurus Eng, dan banyak kerabat kenalan Wie Kie-hong ikut menghadiri upacara pemakanam ini.

mereka semua berdiri dengan rapi dibelakang.

Wie Kiehong melihat mereka semua dan tersenyum.

Setelah upacara selesai dilakukan, Tu Liong dan Wie Kiehong tampak berjalan berdua menyusuri tepian padang pemakaman.

"Tu toako, bagaimana luka bahumu?" "Sepertinya memang sudah takdirku kehi-langan bahu kananku.

Walau Boh Tan-ping tidak berhasil memutuskannya, ternyata Pembunuh beralis putih yang melakukannya.

Tapi tenang saja.

Walaupun masih belum terbiasa, namun luka ini sudah tidak begitu sakit." Mereka berdua terdiam beberapa lama sambil meneruskan perjalanan menuruni bukit.

"Bagaimana kabar Cu Taiya?" "Sepertinya dia sudah tidak bisa dipanggil Tuan besar lagi.

entah apa yang sudah dilakukan nikoh Thiat-yan, Cu Siauthian tampak kehilangan akal sehatnya.

Setelah dia mengetahui anak kandungnya menjadi cacat karena perbuatannya sendiri, dia menjadi gila.

Sampai sekarang nasibnya belum jelas, aku pernah menawarkan untuk merawatnya, namun dia berkeras pergi seorang diri.

katanya seseorang pernah melihat-nya tinggal dalam sebuah rumah penampungan di luar kota." Diam lagi.

Tidak lama Tu Liong melanjutkan ceritanya "Kau pingsan sangat lama.

Tidak aneh kau tidak mengetahui apa-apa.

setelah kejadian itu, rumah Bu Tiat-cui sempat disegel polisi.

Untunglah Boh Tan-ping menjelaskan pada mereka tentang duduk perkara yang sebenarnya.

Kalau tidak mungkin sekarang kita berdua sedang berada di sel tahanan." "Padahal aku belum sempat melaksanakan permintaan ayah angkatku untuk pergi kesana mencari informasi" "Tampaknya sekarang sudah tidak penting lagi." Mereka berdua terus berjalan menuruni bukit.

Semua tamu yang menghadiri upacara pemakaman sudah pulang kerumah masing masing.

Tu Long dan Wie Kie-hong menghabiskan sisa perjalanan mereka turun bukit dengan diam.

Di kaki bukit, kedua orang calon pendeta terlihat sedang berdiri menunggu mereka, pakaian mereka yang berwarna putih tampak berkibar menangkap angin sepoi yang bertiup.

Mereka tampak begitu suci ditengah keruhnya hidup di kalangan dunia persilatan.

Wajah mereka berdua tampak berseri dan bercahaya.

Sepertinya hidup biarawati sudah memberi-kan dampak yang positif bagi Boh Tan-ping.

Sebelumnya Tu Liong dan Wie Kie-hong tidak pernah melihatnya begitu tenang dan damai.

Setelah dekat, Boh Tan-ping segera membuka pembicaraan.

"Tu Siauya, Wie Siauya, aku mohon pamit sekali lagi.

mohon maaf atas semua masalah yang sudah pernah aku lakukan pada kalian." "Paman Boh, anda tidak usah sungkan.

Yang sudah lewat biarkanlah berlalu" kata Tu Liong dengan ramah.

"Yang penting adalah apa yang akan kita lakukan sekarang demi masa depan yang lebih baik" kata Wie Kie-hong sambil tersenyum.

Mereka meneruskan pembicaraan singkat.

Setelah beberapa lama, akhirnya ke empat orang ini berpisah.

Tu Liong dan Wie Kie-hong mengantar kepergian mereka sambil melambaikan tangan.

Setelah bayangan tubuh mereka berdua hilang ditelan bukit, Tu Liong dan Wie Kie-hong kembali berjalan pulang.

"Kie-hong, apa rencanamu sekarang?" "Sepertinya beberapa bulan kedepan aku akan sibuk mengurus persiapan pernikahanku." "Aku tidak akan mengucapkan selamat dulu, jangan lupa nanti memberikan undangan pernikah-anmu padaku" "Tentu saja Tu toako, aku tidak akan lupa" Tu Liong tersenyum "Ngomong-ngomong, bagaimana kabar pak tua yang menyuguhkan teh bagi kita" Rasanya kau masih berhutang banyak uang padanya" Tu Liong menepuk dahinya dengan tangan kanannya yang masih sehat.

Mereka berdua langsung tertawa.

Bersama-sama mereka berjalan menyusuri jalan setapak menjauh dari bukit pemakaman.

Langit berwarna biru cerah, matahari bersinar terang, ini adalah pemandangan yang bagus untuk memulai hidup yangbaru.

-TAMAT- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar