Walet Besi Bab 14

BAB 14

 Tu Liong terus berlari menyusuri gelapnya malam.

Tan Pohai mencoba mengimbangi kecepatan larinya tanpa banyak hasil.

Nafasnya sudah memburu hebat bagaikan seekor kerbau Tan Po-hai berusaha memanggilnya "Saudara Tu Liong, tolong jangan terlalu cepat" Akhirnya Tu Liong mengurangi kecepatan larinya, tidak jauh berlari akhirnya mereka berhenti.

Tan Po-hai hanya bisa berdiri membungkuk mengejar nafasnya.

Setelah nafasnya mulai teratur, Tan Po-hai bertanya: "Saudara Tu Liong, kau hendak pergi kemana?" "Aku bermaksud pergi menemui Cu Siau-thian di kediaman Bu Tiat-cui" "Aku tidak yakin aku kuat mengikutimu lari kesana" Tu Liong menimbang-nimbang keadaan ini.

setelah beberapa lama, Tu Liong berkata padanya, "Paman Tan, sebaiknya kau pergi mencari kereta kuda untuk mengantarkanmu ke kediaman Leng Taiya dan menunggu Wie Kie-hong.

Setidaknya paman aman berada disana.

nanti kita akan bertemu lagi.

aku hanya khawatir Cu Siau-thian diamdiam sudah mengutus seseorang mengikuti anda.

Kalau demikian, rasanya anda malah lebih celaka" Tan Po-hai memang orang yang sungguh besar hati.

dia hanya berkata singkat "Hidup mati sudah ada jodohnya.

Kaya miskin juga sudah diatur langit.

Kalau memang aku sudah ditakdirkan mati, bgaimanapun juga aku tidak dapat melarikan diri, aku khawatir masalah di dalam rumah Bu Tiat-cui bisa menjadi runyam.

Kalau aku berada disisimu, aku khawatir aku hanya akan menyusahkan kalian." "Paman Tan, kau harus berhati-hati.

setelah nanti sampai ke kediaman Leng Taiya, jangan pergi kemana-mana lagi." Akhirnya mereka berdua menghentikan sebuah kereta kuda yang lewat, Tu Liong mengantar Tan Po-hai naik kereta, dan memandang kereta pergi menjauh.

Setelah kereta hilang dari pandangan, Tu Liong melanjutkan larinya ke gang San-poa.

Angin malam berdesir lembut, cahaya rembulan yang tertutup awan perlahan-lahan kembali menyinari jalan yang sedang ditempuhnya.

Mendadak dari kejauhan dia melihat bayangan berwarna putih.

Pertama dia pikir dia sudah salah melihat.

Apakah dia sedang melihat hantu" Tu Liong menegadah melihat langit.

Memang bulan sedang purnama.

Dia pernah mendengar, katanya ketika sedang bulan purnama atau bulan sedang gelap, banyak kejadian kejadian mistis yang sering terjadi.

Tapi dia yakin dia tidak sedang salah lihat, dia terus berlari mendekati bayangan putih itu.

Dalam hatinya dia merasa sedikit seram juga, namun setelah sangat dekat, hatinya kembali merasa tenang.

Ternyata memang bukan sosok hantu.

Itu adalah seorang calon nikoh berkepala gundul.

Memang Hai Ceng yang biasa dikenakan para calon nikoh selalu berwarna putih atau hitam.

Tu Liong bersyukur nikoh ini tidak mengena-kan yang berwarna hitam.

Melihat Tu Liong berlari mendekat, dia menempelkan kedua telapak tangan dan membungkuk menyapa dengan ramah.

"Omitohud..." Tu Liong merasa kikuk juga.

Namun dia tahu tata krama untuk menyapa para nikoh seperti ini.

Dia mengikuti apa yang dikerjakan nikoh itu.

"Omitohud...

nikoh datang jauh-jauh ketempat seperti ini ditengah malam begini ada urusan apa?" "Apakah Tuan muda tahu dimana aku bisa menjumpai Cu Siau-thian?" 
0-0-0
 Dalam gelap malam, Wie Kie-hong terus berlari bagaikan orang kesurupan.

Didalam kepalanya berseliweran berbagai macam pikiran, dugaan dan pertanyaan.

Air mata terus berderai turun.

Dia sudah jenuh merasa bingung dengan semua pertanyaan dan tipuan.

Tampaknya tidak ada satupun urusan yang sungguh masuk logikanya.

Mendadak dia mendapat satu ingatan.

Orang yang ditemui di dalam kediaman Bu Tiat-cui, yang bersuara serak dan beralis putih...

apakah orang itu adalah ayahnya" Rasanya dia sudah beberapa kali mendengar suara seraknya.

Rasanya dia adalah orang yang berbisik pada dirinya didalam kamarnya ketika jendela kamar tidur mendiang ayah tirinya didongkel orang.

Suara yang sama yang sudah menyapanya didalam perjalanannya menyerahkan payung kertas pada nona Thiatyan.

Mengapa dia tidak memikirkan hal ini ketika dia sedang berhadapan dengannya" "Mana mungkin aku bisa terpikirkan kalau ayahnya mendadak muncul dihadapannya?" katanya pada diri sendiri.

UGH! Kalau memang demikian, dia sudah melewatkan sebuah kesempatan besar.

Kesempatan besar yang menjadi sebuah tragedi besar.

Memikirkan bahwa ayahnya sekarang mungkin sudah tiada karena kebodohannya, Wie Kie-hong semakin menggila.

Dia mempercepat larinya sampai pinggangnya terasa linu.

Dia tidak memperdulikan nafasnya yang memburu.

Tujuan larinya tidak lain adalah kediaman Bu Tiat-cui.

Malam semakin larut, suasana pun sangat sunyi.

Suasana dalam gang San-poa juga sama heningnya dengan tempattempat lainnya.

Tidak terasa hawa pembunuhan sama sekali.

Pintu masuk depan taman Bu Tiat-cui setengah terbuka.

Tapi didalamnya tidak terdengar suara apa-apa.

Wie Kie-hong menunggu sampai nafasnya kembali normal.

Barulah dia berani melangkahkan kaki masuk kedalam.

Lampu-lampu didalam rumah sudah dinya-lakan, namun dia tidak menjumpai seorang pun.

Tirai yang menutup pintu masuk ruang samping separuh tersibak membuka.

Mayat Bu Tiat-cui masih terbujur kaku di tempat dia meninggalkannya tadi.

Ternyata selain mayat itu masih ada orang lain yang sedang duduk di bangku yang biasa diduduki oleh Bu Tiat-cui.

Dia duduk bersandar, kepalanya tertegadah kebelakang.

Tangan kanannya memegang dada.

Darah segar belepotan membasahi tangannya.

Wie Kie-hong berusaha melihatnya dengan lebih teliti.

Ternyata orang ini masih bernafas walau sangat perlahanlahan.

Wie Kie-hong ingin segera masuk.

Namun dia tiba-tiba teringat Tu toako.

Dia selalu berhati hati.

kalau misalnya dia sedang ada bersamanya, dia pasti akan menarik bahunya.

Dia akan memperingatkannya agar lebih waspada.

Karena itu Wie Kie-hong meneliti ke empat penjuru ruangan sampai jelas, setelah itu dia segera berjalan mendekati orang yang terluka ini.

Kepala Wie Kie-hong sudah terasa sangat panas.

Dia bagaikan semut didalam kuali.

Dia mempelajari raut muka orang yang terluka ini.

Alisnya berwarna putih, namun matanya tertutup rapat, ternyata dia adalah orang yang tadi sudah menyuruhnya untuk segera pergi.

Tiba-tiba suara Boh Tan-ping teriang nyaring didalam telinganya: "Kalau kau cepat pergi kesana, kau mungkin masih sempat mengantar kepergiannya" Dia pasti Wie Ceng ayah kandungnya.

Segera Wie Kie-hong menjulurkan tangan untuk memeriksa luka yang dideritanya.

Mendadak orang ini meloncat berdiri dan menyanderanya seperti ketika dia menyandera Bu Tiat-cui.

Orang itu ternyata sama sekali tidak terluka, berpura-pura sekarat dan menggunakan kesempatan untuk menangkapnya adalah tindakan yang sangat picik.

Ini jelas adalah tipuan Cu Siau-thian yang lain.

Wie Kie-hong kembali merasa bimbang.

Apakah orang ini sungguh adalah ayahnya" Kalau memang benar, untuk apa dia berbohong pura-pura sekarat" Bagaimana kalau seandainya dugaannya salah" Gerakannya sangat cepat, kekuatannya pun luar biasa.

Namun orang itu tidak tampak meng-gunakan tenaga apaapa.

hanya saja setelah bahunya dicengkram, betapapun Wie Kie-hong berusaha melepaskan diri, dia tidak bisa.

"Mengapa kau kembali kesini?" orang itu bertanya.

"Aku mendengar kalau anda terluka, karena itu aku segera berlari kemari" "Kalau kau berbaik hati pada orang lain, kau sudah menjahati dirimu sendiri" Ternyata orang ini masih sempat memberikan petuah padanya.

"Kau yang sudah datang sendiri kemari mengantar nyawa.

Jangan menyalahkanku" Entah bagaimana caranya, namun hati Wie Kie-hong mendadak menjadi dingin.

Dia berbicara dengan tenang: "Aku punya satu pertanyaan untukmu" "Katakanlah" "Siapa namamu?" "Memang ada urusan apa denganmu?" "Ada urusan yang sangat besar, aku segera datang kemari karena seorang keluarga sedang terluka disini" "Seorang keluarga" Keluarga siapa?" "Aku" Wie Kie-hong menjawab dengan suara keras "Apa hubunganmu dengannya?" "Dia adalah ayahku" "Coba kamu lihat sendiri, apakah aku mirip ayahmu?" Hati Wie Kie-hong sungguh terasa dingin.

Katakanlah ayahnya tidak ingin mengakuinya, dia tidak mungkin memperlakukannya seperti ini, dan berkata seperti ini padanya.

"Tadi Boh Tan-ping sudah memberitahuku kalau ayahku sedang terluka disini.

Karena itu aku segera pergi kemari.

Kalau tidak demikian, untuk apa aku datang kembali masuk kedalam bahaya setelah kau menyuruh aku pergi menjauh?" "Ternyata kau sudah ditipu" "Ini adalah balas budi seorang anak" "Siapa nama ayahmu?" "Wie Ceng" "Wie Ceng" Siapa yang memberitahumu kalau ayahmu masih hidup?" "Sudah banyak orang yang memberitahuku.

Bahkan Thiatyan pun mengatakan padaku" "Aku beritahu.

Ayahmu sudah meninggal dari dulu" "Betulkah" Dimana dia meninggal?" "Seperti kabar yang beredar.

Dia meninggal ketika pergi keluar kota menunaikan tugas" "Bagaimana dia meninggal?" "Tentu saja dibunuh orang" "Siapa yang sudah membunuh ayahku?" "Sebenarnya ini adalah sebuah rahasia besar, namun sekarang sepertinya sudah tidak penting lagi....

orang yang membunuh ayahmu adalah Cu Siau-thian" "Mengapa" Mengapa dia membunuh ayah-ku?" "Menurut dugaanku, Leng Taiya sudah mengutusnya pergi keluar kota untuk menyelidiki satu hal.

Kalau hal ini memang diketahuinya, pasti akan merugikan Cu Siau-thian." "Kalau begitu siapa dirimu?" "Aku adalah orang kepercayaan Cu Siau-thian.

Aku juga pembunuh bayarannya" "Tapi tadi kau sudah melepaskan aku dan kakak...

"Itu karena aku masih memiliki hati nurani.

Aku pasti menolong pemuda yang berjiwa luhur..." "Ada pepatah yang mengatakan, kalau membantu seseorang, bantulah sampai selesai.

Kalau mengantarkan seorang Buddha, antarlah sampai ke barat." "Sayang aku memiliki prinsip.

Kalau mencoba membunuh orang, aku tidak akan mencoba membunuhnya untuk kedua kali.

kalau menolong orang, aku pun tidak akan menolong kedua kalinya.

Lagipula tadi Cu Taiya tidak tahu kalau aku ada kesempatan untuk membunuhmu.

Sekarang jebakan ini sudah dipersiapkan olehnya.

Kalau aku tidak membunuhmu, dia pasti tidak akan mengampuni diriku" "Aku masih ingin bertanya padamu, jawab dengan jujur sebagai permintaan terakhirku" "Silahkan" "Akhir-akhir ini kau sudah membunuh berapa banyak orang?" "Tidak sedikit" "Siapa saja?" "Kebanyakan yang mati sudah dibunuh olehku" "Hui Taiya, Leng Taiya, masih ada Hiong-ki?" "Tidak salah" "Mengapa harus membunuh mereka?" "Aku hanya membunuh berdasarkan perintah, kalau kau mau tahu alasannya, sebaiknya kau bertanya pada Cu Siauthian." "Apakah sekarang kau mendapat perintah untuk membunuh aku dan Tu toako?" "Betul.

Sebentar lagi Tu Liong pasti akan menyusul kemari" "Kemana perginya Thiat-yan?" "Thiat-yan?" orang beralis putih ini tertawa dingin "HUH! Seharusnya dia sekarang sedang ada di sebuah kuil dan menjadi seorang nikoh" Wie Kie-hong mengernyitkan kening.

"Apa maksud kata-katamu" Tadi dia masih ada disini berdebat dengan Cu Siau-thian" "Perempuan itu bukan Thiat-yan yang sesungguhnya" "Kalaubegitu siapa dia?" "Dia adalah anak kandung Cu Siau-thian.

Hanya saja rahasia itu tidak pernah diberitahukan pada siapapun" Sekarang semuanya tiba-tiba menjadi jelas bagi Wie Kiehong.

ternyata dia dan Tu Liong sudah ditipu dari awal.

Hanya saja mereka tidak menyadarinya.

"Aku tidak mengerti.

Semua orang sudah membuat masalah ini menjadi pelik dan berputar-putar.

Untuk apa melakukannya?"" "Baiklah.

Aku tidak ingin kau terlahir lagi sebagai hantu penasaran.

Sebaiknya aku sekaligus menjelaskannya padamu.

Pada waktu itu orang orang mencelakai Tiat Liong-san memang demi merebut harta yang dimilikinya.

Sebuah berlian raksasa berwarna merah darah, hanya saja setelah kejadian itu, tidak seorangpun menemukan berlian tersebut.

Cu Siauthian selalu menduga kalau berlian itu sudah jatuh di tangan Leng Souw-hiang.

Hanya karena waktu itu kedudukan Leng Souw-hiang sangat tinggi, Cu Siau-thian hanya bisa menelan ludah dan memendam dendam.

Dia tidak berani berbuat apaapa.

tidak lama pemerintahan berdiri.

Semua kuasa yang dimiliki oleh Leng Souw-hiang jadi hilang.

Barulah Cu Siauthian kembali mengusut masalah ini.

Tiba-tiba dia menyadari kalau Tiat Liong-san tidak pernah memiliki berlian merah darah raksasa sama sekali...." Wie Kie-hong mendengarkan penjelasan ini dengan penuh konsentrasi.

Sepertinya dia mendadak lupa kalau nyawanya sedang berada di ujung tanduk.

Orang itu melanjutkan kata-katanya: "setelah Cu Siau-thian mengerti tentang hal ini, dia berpura-pura berkata kalau berlian merah darah itu ada didalam tangannya, berdasarkan janji yang sudah dibuat sebelumnya, seharusnya hasil penjualan berlian itu dibagi berlima.

Seorang seharusnya mendapat sekitar lima puluh ribu uang orang luar negeri.

Namun dia tidak bersedia membayarkan uang sebanyak itu.

dia lalu mencoba melemparkan kesalahan pada Leng Souw-hiang" "Dan Leng Souw-hiang setuju pada keinginannya begitu saja?" "Leng Souw-hiang sangat menyukai berlian dan permata.

Tentu saja dia menyetujuinya.?"" Dia lalu membuat siasat.

Dia menyuruh anak perempuannya berpura-pura menjadi nona Thiat-yan dan keluar membereskan masalah.

Dia ingin membuat Leng Souwhiang yang penasaran tidak lagi mengejar-ngejar masalah berlian ini.

pada awalnya, Cu Siau-thian hanya ingin membereskan orang-orang ini.

dia tidak menyangka kalian berdua terus mengejar masalah ini dan tidak sedikitpun melepaskannya.

Akhirnya Cu Siau-thian terpaksa membunuh kalian juga" Wie Kie-hong merasa ingin menangis keras-keras, namun kesempatan untuk menangis pun sudah meninggalkannya.

Orang itu tidak berhenti menjelaskan: "Hiong-ki juga terus mencoba menyelidiki tentang kematian Tiat Liong-san.

Tidak disangka pendekar tua itu juga sudah berhasil ditipu Cu Siau-thian.

Dia salah menyangka nona walet yang palsu sebagai Thiat-yan anak kandung Tiat Liong-san yang asli.

Terakhir dia harus mati terbunuh..." Hening beberapa saat.

Sepertinya semua penjelasan sudah dikatakan oleh orang ini.

"Sekarang sudah tiba waktunya...." tiba tiba dia berkata sambil mencabut sebuah pisau dari sarung yang terikat di pinggangnya.

Pisau yang dipegang tangan kanannya bersinar kebiruan dibawah sinar lampu kamar.

Pisau ini memiliki ornamen yang unik.

Mendadak mata Wie Kie-hong bersinar sinar.

Dia segera bertanya: "Darimana kau mendapat pisau itu?" "Ini adalah barang jarahan kemenangan pertarungan" "Barang jarahan?" "Kejadiannya sudah sangat lama.

bertahun tahun yang lalu, Cu Siau-thian sudah menyuruhku membunuh seseorang.

Aku menemukan pisau unik ini padanya.

Karena itu aku mengambilnya dan menggunakannya sampai sekarang." "HUH!! Ternyata kau yang sudah membunuh ayahku!" mendadak emosi Wie Kie-hong meledak.

Dia tidak menghiraukan kalau dia bisa mati setiap saat, "sekarang aku akan membuat perhitungan denganmu" "Wie Kie-hong, sebenarnya karena aku sudah membunuh ayahmu, aku tidak ingin membunuhmu lagi.

Karena itu tadi aku sudah menolongmu sekali.

Namun tidak diduga jalan langit yang aman tidak kau pilih, kau malah menyusuri jalan neraka yang menuju kematian.

Ini tidak bisa menyalahkanku" Orang yang beralis putih menempelkan pisau Wie Ceng ke leher Wie Kie-hong.

Air mata Wie Kie-hong meleleh, tidak disangka dia akan menyusul ayahnya, bahkan mati dibunuh oleh pisau milik ayahnya sendiri, dia memendam dendam yang mendalam.

Dia tidak rela semua ini berakhir begitu saja, namun dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Wie Kie-hong hanya bisa menutup mata dan menarik nafas dalam dalam.

"TAHAN!!" Mendadak terdengar teriakan keras dari luar kamar.

Suara itu adalah suara Tu Liong.

"Pembunuh beralis putih! lepaskan dia!" Wie Kie-hong terbengong-bengong melihat Tu toako yang dipujanya selama ini.

"Untuk apa aku mematuhimu?" "Ingatkah kau pernah berkata kalau kau masih mengabdi padaku sampai batas waktu kontrak?" "Tapi kau yang mengatakan kalau kau tidak butuh bantuanku lagi" ketika mereka berdua sedang berdebat, konsentrasi pembunuh beralis putih sudah teralihkan.

Wie Kie-hong tibatiba teringat pada Bu Tiat-cui.

Dia memanfaatkan kesempatan ini untuk melepaskan diri.

seperti Bu Tiat-cui waktu itu, segera dia mengayunkan tangannya ke arah selangkangan pembunuh beralis putih.

"BUUUKK!!!" Pembunuh beralis putih sama sekali tidak menyangka Wie Kie-hong akan berlaku seperti itu.

dia langsung merasa kesakitan yang teramat sangat sampai dia nyaris tidak bisa bernafas.

Cengkraman tangannya pada bahu Wie Kie-hong segera melonggar, dan dia menunduk kesakitan.

Wie Kie-hong segera bergeser ke sisi Tu toakonya.

Mendadak dua buah bayangan melesat masuk ke dalam ruangan, sebentar saja Cu Siau-thian dan Thiat-yan sudah berdiri dihadapan mereka.

Tidak...

bukan nona Thiat-yan.

Dia seharusnya bermarga Cu..

jadi namanya adalah Cu Yan Cu Siau-thian tertawa dingin dan berkata: "Tu Liong, Wie Kie-hong, kalian berdua sungguh dua anak kecil yang tidak tahu diuntung.

Aku sudah berulang kali mencoba melarang kalian ikut campur dalam urusan ini, namun kalian tidak pernah mau mendengarkan, sekarang mengapa kalian tidak memejamkan mata kalian dan mati baikbaik" ini kesempatan terakhir mema tuhi permintaanku" Tu Liong memohon Cu Siau-thian dengan suara memelas: "Cu Taiya, saat itu kau sudah membunuh ayah kandung Wie Kie-hong, apakah kau masih tega membunuhnya lagi" Lepaskanlah Kie-hong, aku rela mati untuknya.

Kalau aku mati semua akan baik-baik saja.

Anggaplah ini sebagai cara untuk membalas semua hutang budiku" "HUH! Kalau membasmi rumput liar tidak sampai keakarnya, musim semi nanti pasti akan tumbuh tunas baru" Ketika semua orang sedang lengah seperti ini, tiba-tiba Wie Kie-hong mengeluarkan sebuah pisau kecil yang disembunyikannya.

Dia segera melempar-kan pisau ini ke arah Cu Siau-thian.

Pisau ini melesat bagaikan panah yang terlepas dari busurnya.

Tidak ada seorang pun kecuali Wie Kie-hong yang menduga pisau ini datang meluncur.

Namun pisau ini tidak berhasil mencapai sasaran.

"TRAAANGG" Tiba-tiba terdengar suara besi beradu dengan besi.

Pedang gigi gergaji Boh Tan-ping sudah menepis pisau sesaat sebelum mengenai Cu Siau-thian.

Entah kapan atau dari mana dia masuk, namun kenyataannya dia ada didalam bersama mereka.

Situasi sangat tidak menguntungkan, kalau mereka harus bertarung sekarang posisinya empat orang melawan dua.

"Kie-hong, ayo cepat lari" Tu Liong tiba-tiba menjerit.

"Tidak...." Wie Kie-hong menjawab dengan suara menyayat hati, "Tu toako, kita mati bersama-sama.

Biarkan orang-orang jahat ini melihat kematian kita dan menyesali perbuatannya" "Hahahahahaha..." Cu Siau-thian tertawa keras-keras bagaikan orang gila.

Ditengah tawanya yang menggelegar, tiba-tiba terdengar suara nyaring seorang perempuan yang terdengar lembut "Omitohud" "Siapa disana?" segera Cu Siau-thian bertanya Seorang perempuan berpakaian serba putih dan berkepala botak memasuki ruangan, perempuan ini masih berusia sangat muda, namun kedua matanya bersinar terang bagaikan api yang berkobar.

Tampaknya kecuali Tu Liong dan pembunuh beralis putih, semua orang memandang ke arah nikoh perempuan itu dengan tatapan kebingungan.

Tu Liong memperkenalkan dirinya dengan singkat: "Beliau adalah anak perempuan asli Tiat Liong-san yang bernama Thiat-yan.

dia bercerita semenjak kecil, sudah tertarik dengan ajaran agama Buddha.

dan sangat mencintai ayahnya Tiat Liong-san.

Ketika ayahnya dicelakai, dia mendapat pukulan batin yang sangat keras.

Namun dia juga sadar kalau peristiwa itu dapat dipandang dari sudut pandang yang lain.

Itu adalah kesempatan baginya untuk mencapai apa yang diinginkannya.

Pada akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke kuil dan menjadi Nikoh sesisa hidupnya." Rupanya semua orang sudah mendengarkan ceritanya dengan sungguh-sungguh.

Nikoh ini hanya membungkuk dalam-dalam sebagai tanda salam.

Sekarang semuanya sudah berakhir.

Semua kartu sudah terbuka, dan semua orang sudah terkumpul di dalam kamar tempat semua orang dibunuh.

Ke empat orang, Cu Siau-thian, Thiat-yan gadungan, Boh Tan-ping dan pembunuh beralis putih, berdiri bersebelahan dan menatap Tu Liong, Wie Kie-hong dan Nikoh yang berdiri sebelah menyebelah disebrang mereka.

Yang tersisa hanyalah pertarungan terakhir.

Wie Kie-hong menatap pembunuh beralis putih dengan tatapan tajam.

Dia menyimpan dendam yang besar padanya.

Dia sudah menipunya selama ini dan dia pula yang sudah membunuh ayah kandungnya Wie Ceng.

Sekarang dia harus membalaskan dendam dan merebut kembali pedang pusakanya.

Tu Liong juga menatap Boh Tan-ping dengan tatapan tajam.

Boh Tan-ping tampak menghindari tatapannya.

Bahu kanannya masih terasa nyeri.

Daging yang sudah lepas tidak bisa dipasang kembali dengan mudah.

Namun tetap suatu saat bisa pulih.

Hanya saja rasa kesal yang ada didalam hati tidak akan hilang kalau tidak terlampiaskan.

Tu Liong tidak sungguh ingin membunuhnya.

Dia berharap Boh Tan-ping bisa merubah jalan hidupnya dan berbuat baik di kemudian hari.

Nikoh tidak berambut, berpakaian serba putih hanya menatap lantai.

Dia tidak melihat mata siapa-siapa.

Sebaliknya nona Thiat-yan gadungan yang menatap dirinya dengan tajam.

Dia tidak suka Nikoh ini muncul ditengah acara dan membongkar jati diri aslinya.

Dia tahu kalau menyerang seorang nikoh adalah dosa, namun dia tidak mengindahkannya.

Dia tahu nikoh juga manusia, dan manusia yang satu ini adalah manusia yang sedang dipalsukan dirinya.

Mereka semua sudah memilih lawannya masing-masing bahkan sebelum mereka memasuki ruangan tempat pertarungan terakhir ini.

Sepertinya semuanya sudah diatur oleh takdir.

Cu Siau-thian melihat kiri dan kanan, menyadari kalau ketiga anak buahnya akan melawan ketiga orang pemuda yang pernah dekat dengan dirinya.

Dia hanya tertawa dingin.

Tawanya sangat panjang dan tanpa berhenti.

Untuk saat ini dia tidak memiliki siapapun untuk dilawan.

Ketika tawa Cu Siau-thian masih membahana, semua orang bersiap-siap untuk menghadapi lawannya masing-masing.

Suasana menjadi tegang.

Tawa Cu Siau-thian menjadi aba-aba dimulainya pertarungan terakhir.

Setelah tawa Cu Siau-thian terhenti, pertarungan terakhir pun dimulai.

0-0-0
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar