Walet Besi Bab 03

BAB 3 

Perburuan Kereta kuda terus melaju.

Namun Wie Kie-hong tidak tahu kereta ini sedang melaju ke arah mana.

Sebelum naik kereta, orang itu meminta Wie Kie-hong dengan hormat mengikat sebuah kain berwarna hitam menutupi matanya.

Kie-hong sama sekali tidak bertanya.

Tampaknya Thiat-yan tidak ingin bertindak gegabah ....lagipula bisa terlihat bahwa ini adalah undangan yang diberikan padanya dengan cara yang sopan.

Wie Kie-hong menyetujui undangan ini.

dia berharap nona Thiat-yan akan mengatakan dimana ayahnya berada.

Setelah mulai berangkat, Wie Kie-hong terus mencoba berkonsentrasi mengingat kemana arah kereta kuda ini pergi.

Dia ingin mengetahui dimana kira kira tempat tinggal Thiatyan.

Namun akhirnya dia menyerah, karena sais kereta kuda rupanya sangat pintar.

Setelah berangkat, dia sengaja mengemudikan kereta kudanya berputar-putar.

Sebentar saja dia sudah membuat Wie Kie-hong kebingungan.

Dari hal kecil ini sudah terlihat kemampuan yang dimiliki oleh Thiat-yan.

bahkan seorang kusir kereta kuda pun berpakaian rapi dan memiliki ilmu silat tinggi.

Dia pasti mendapat pengarahan yang ketat darinya.

Sepanjang perjalanan Wie Kie-hong merasa kereta kuda selalu berjalan diatas jalanan yang rata.

Ini menunjukkan bahwa kemanapun mereka pergi, mereka belum meninggalkan kota.

Setidaknya Wie Kie-hong yakin tentang kesimpulannya.

Setelah berkendaraan selama kurang lebih setengah jam, akhirnya kereta berhenti.

Wie Kie-hong mendengar suara pintu mem-buka.

Setelah itu kereta kembali bergerak maju.

Bahkan pekarangan didalam rumah Thiat-yan memiliki jalan untuk dilalui oleh kereta kuda.

Walau belum melihatnya, Wie Kie-hong sudah bisa membayangkan betapa besarnya rumah yang dikunjunginya ini.

Akhirnya kain pembalut berwarna hitam dilepaskan.

Wie Kie-hong dipersilahkan turun dari kereta.

Yang pertama kali dilihatnya adalah sebuah pekarangan dengan taman bunga yang berwarna hijau segar.

Pekarangan rumah besar ini tidak hanya luas, namun juga sangat nyaman, didalam benaknya berpikir, jika dibandingkan dengan kediaman Leng Taiya, tempat ini jauh lebih menyejukkan hati.

Kesan pertama mengunjungi tempat ini benar-benar sangat menyenangkan.

Sekarang dihadapannya sudah berdiri dua orang gadis pesuruh yang berusia sekitar lima-enam belas tahun.

Mereka berdua berdiri sebelah menyebelah, merangkupkan tangan dan menyambut kedatangannya.

Tingkah laku mereka sangat ramah dan sopan santun.

Kesan kedua juga sangatbaik.

Keadaan didalam ruangan tertata dengan sangat rapi dan megah.

Syair literatur dan gambar-gambar yang tergantung di tembok juga sangat istimewa.

Peralatan semuanya terbuat dari kayu merah.

Jika dibandingkan dengan perabotan yang ada di kediaman keluarga Leng, semuanya tampak jauh lebih bagus.

Tidak terasa Wie Kie-hong mendecak kagum.

Kira-kira berapa banyak kekayaan Thiat-yan ini" Tentang Tiat Liongsan, sebelumnya dia sudah men-dengar sedikit.

Biasanya orang yang sangat kaya atau memiliki kekuasaan, kebanyakan keluarganya tidak utuh.

kesan ketiga membuat Wie Kie-hong diam-diam merasa aneh, dia merasa curiga.

Peralatan minum teh yang disuguhkan semuanya terbuat dari porselen mahal dari daerah Kang Sie.

Wie Kie-hong merasa seolah olah dia sedang berada di alam mimpi dan dijamu oleh para dewi.

Wie Kie-hong sudah sering keluar masuk rumah orang-orang penting dan para pejabat kaya, namun dia belum pernah menjumpai rumah mewah seperti ini sebelumnya.

Akhirnya tuan rumah keluar menyambutnya, menilai raut mukanya, sepertinya dia tidak ramah, namun tidak licik, postur tubuhnya kekar namun tetap langsing.

Dinilai dari tubuhnya, tampak dia berusia kurang lebih baru sekitar dua puluh tahun saja.

Namun berdasarkan raut mukanya, Wie Kie-hong merasa umurnya seperti tidak hanya dua puluh tahun saja.

Orang inilah orang yang sudah membuat empat perkara yang sangat kejam.

Perempuan ini adalah penjahat yang sedang diburu oleh Tu Liong dan dirinya.

Wie Kie-hong benarbenar tidak percaya, dia merasa situasinya kurang baik.

Ini karena dia tidak tahu bagaimana menghadapi nona yang cantik dan menarik sekaligus melampiaskan dendam kesumatnya.

"Wie kongcu?" ini adalah kalimat pertama yang diucapkan oleh tuan rumah.

"Betul.

Namaku adalah Wie Kie-hong.

Anda adalah....?" "Thiat-yan" jawabannya singkat, sederhana namun sangat bertenaga.

Lawan bicaranya sudah memperkenalkan diri sebagai orang yang sudah memotong tangan Leng Souw-hiang.

Namun tetap saja Wie Kie-hong tidak bisa menunjukkan niat bermusuhan.

Dia diam-diam hanya mengatupkan rahangnya kuat kuat.

"Wie Kongcu mungkin akan merasa bahwa undangan yang kuberikan pada anda sangat mendadak.

Sebenarnya undangan ini sudah kurencana-kan semenjak setengah tahun yang lalu." "Aku tidak mengerti apa maksudmu" Wie Kie-hong kebingungan...

"Maksudku adalah aku sudah mengetahui tentang penyebab kematian ayahmu sekitar setengah tahun yang lalu.

Semenjak hari itu aku bertekat mencari kesempatan untuk memberitahukan sendiri padamu" Setelah menyinggung tentang penyebab kematian ayahnya, Wie Kie-hong merasakan emosi yang sulit dikendalikannya.

Namun dia tidak ingin salah tingkah dihadapan Thiat-yan.

Karena itu dia sekuat tenaga menahan diri.

dengan tenang dia berkata: "Maaf aku berkata terus terang.

Berdasarkan pendirianmu dan pendirianku, aku tidak mungkin akan datang kemari menjadi tamumu.

Aku datang kemari karena ingin mencari tahu tentang sebuah masalah...." Thiat-yan memotong kalimatnya dan berkata: "Aku pasti akan memberitahu dirimu, namun aku punya sebuah syarat sebagai imbalannya." "Oh..." syarat?" "Wie Kongcu jangan terkejut.

Jadi manusia haruslah adil.

Mengurus sebuah masalah pun tetap harus adil.

Satu tael bisa membeli kue bakar, sepuluh tael barulah bisa membeli kue bakar ditambah dengan daging.

Betul tidak?" Wie Kie-hong tumbuh besar di rumah kediaman keluarga Leng Souw-hiang.

Dengan begitu secara otomatis dia tidak kampungan.

Setelah men-dengar Thiat-yan mengucapkan kata 'syarat' hatinya langsung merasa waspada.

"Sebelum kau mengatakan syarat yang harus kupenuhi, kau sebaiknya menilai baik-baik diriku.

Persyaratan apapun yang akan kau berikan nanti, mungkin saja aku tidak dapat memenuhinya." "Wie kongcu terlalu sungkan." "Coba katakanlah dulu syaratmu, supaya kita tidak membuang-buang waktu" "Setelah Leng Souw-hiang terluka, kau cepat-cepat pergi ke gang San-poa dan menemui Bu Tiat-cui.

Mengapa kau pergi kesana" Inilah syarat satu-satunya yang ingin kuketahui, kau harus menjawab dengan jujur." "Pergi meramal nasib" "Meramal nasib?" Thiat-yan tertawa dingin "meramal nasib siapa?" "Meramal nasib si pelaku kejahatan.

Aku ingin melihat kapan dia akan terjerat jaring takdir yang jarang namun tetap tidak bisa tertembus, (kapan Thiat-yan akan kalah)" "Wie Kie-hong!" panggilan ramahnya sudah berubah.

Nada bicaranya juga berubah, "apakah kau tahu apa akibat dari kata-kata lelucon semacam ini?" "Aku tidak sedang bercanda" Rahang Thiat-yan mengatup sangat keras, dia sepertinya hendak segera berubah pikiran.

Namun dia tetap saja tabah menahan semua emosinya, tetap dengan suara lembut dan ramah berkata: "Wie Kie-hong! Penyebab kematian ayahmu merupakan hal yang sangat penting bagimu.

Apakah kau mengerti?" "Tentu saja aku mengerti" "Kalau begitu, mengapa kau bersikap begini semacam itu dihadapanku" Aku benar benar beritikad baik menceritakan padamu." "Aku juga beritikad baik" "Tapi yang kau katakan tadi adalah sebuah kebohongan.

Aku tahu itu!" "Bagaimana kau tahu aku sedang berbohong?" "Wie Kie-hong! Karena relasi tertentu, aku harus tetap menjaga sopan santunku padamu.

Aku tidak bisa menggunakan kekerasan, juga tidak bisa menghadapimu dengan cara kejam, terhadap orang lain aku tidak akan berbuat seperti ini.

kalau kau tidak bicara, aku bisa bertanya pada orang lain." "Bertanya pada siapa?" "Aku bisa bertanya langsung pada Bu Tiat-cui.

Tentu saja tidak akan bertanya baik-baik seperti ini.

apakah kau ingin membuat dia menderita?" 'Untung Bu Tiat-cui sudah pergi menghindar,' pikir Wie Kiehong dalam hati.

"Wie Kie-hong! Aku berharap kau ingat hal itu dengan baik" "Kau tadi mengatakan bahwa karena relasi tertentu, kau harus tetap menjaga sopan santun padaku.

Apa maksud dari kata-katamu ini ?"" "Sekarang aku tidak dapat mengatakan pada-mu.

Waktunya belum tepat." "Nona Yan!" Wie Kie-hong mendadak berdiri lalu berkata, "aku merasa kabar yang kau miliki mengenai kematian ayahku adalah jebakan untuk menipuku.

Dari awal kau sudah sengaja membuat urusan sederhana menjadi rumit.

Aku tidak suka berurusan dengan orang yang berbelit-belit.

Sekarang aku ingin pergi, bisakah kau menyuruh memper-siapkan kereta kuda dan mengantarkanku pulang?" "Wie Kie-hong! Sebelum kau meninggalkan tempat ini, sebaiknya kau mempertimbangkan keputusan itu matangmatang...." "Mengapa?" "Sekarang ini kita berdua masih terhitung sebagai teman.

Sebenarnya aku tahu kau tidak ingin mengakui kalau kita berdua adalah teman.

Setidaknya kau tidak kuanggap seorang musuh.

Setelah kau meninggalkan tempat ini, kita berdua akan segera menjadi musuh bebuyutan." "Cepat atau lambat aku pasti akan meninggalkan tempat ini.

betul tidak?" "Jika kau pergi setelah kita mendapat titik temu, bukankah lebih baik?" "Kata-katamu sungguh membuat orang sulit untuk tertawa ataupun bersedih.

Kau sudah melukai ayah angkatku, setelah itu kau masih ingin menjalin hubungan yang baik denganku.

Bagaimana bisa?" Kata-kata Wie Kie-hong ini sudah menggambarkan keputusan yang sudah dibuatnya.

Tidak salah, semula dia ingin mengetahui penyebab kematian ayahnya, namun dia lebih menghargai jasa Leng Souw-hiang yang sudah merawatnya sampai dewasa.

Thiat-yan sudah melukai Leng Souw-hiang, tentu saja dia tidak mungkin menjalin hubungan yang baik dengan Thiat-yan.

"Nyalimu sangat besar!" "Apa maksudnya?" "Nyawamu saat ini sedang berada diujung tanduk, namun kau masih berani mengatakan semua itu.

apakah kau tidak takut aku berubah pikiran dan mencelakaimu?" "Kalau kau berpikir seperti itu, kau benar-benar masih kolokan kau sudah mengundangku datang kemari, tentu saja kau akan mengantarkanku pergi.

Kalau kau mencelakaiku disini, kau benar-benar picik.

Apakah kau akan melakukan hal picik semacam itu padaku?" Muka Thiat-yan menjadi merah.

"Maaf !!" Wie Kie-hong berdiri, "sekarang aku akan pergi" "Tunggu sebentar.

Aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan" "Katakanlah!" "Apakah kau bermaksud membalaskan dendam ayah angkatmu?" "Apa maksudnya membalaskan tangannya yang sudah kau potong?" "Betul" "Ayah angkatku tidak pernah menyuruhku membalas dendam" "Orang yang bersangkutan pun tidak berkata apa- apa.

itu menggambarkan hatinya tidak ada rasa sesal.

Sebaiknya kau tidak usah ikut campur dalam urusan ini.

umurmu masih sangat muda, kalau kau ikut campur kau pun pasti akan ikut terbunuh....pelayan! antar tamu!" Wie Kie-hong berkata dengan nada yang terdengar sangat dingin: "Nona Yan, aku sungguh ingin mengetahui penyebab kematian ayahku, namun aku tidak akan menanyakan padamu.

Aku percaya, tidak ada urusan yang bisa selamanya ditutupi" Sewaktu pergi dari tempat itu, dia kembali diantar oleh orang yang sudah menjemputnya tadi.

Dan seperti sebelumnya, kepalanya kembali dibungkus dengan kain berwarna hitam.

Dia kemudian diturun-kan didepan sebuah jalan besar.

Setelah turun, kereta kembali pergi menjauh, tadinya Wie Kie-hong ingin membuntutinya kembali, namun dia tidak berbuat demikian.

Thiat-yan tidak mengakalinya dengan tipu daya, dia juga tidak boleh berbuat seperti ini.

Tiba-tiba saja seseorang menepuk bahunya, ternyata orang itu adalah Tu Liong.

"Tu Toako....?" Tu Liong menatap, setelah itu dia menarik tangannya dan segera pergi.

Mereka berdua memasuki sebuah gang kecil yang sepi.

Disana barulah Tu Liong mulai berkata, "Apakah kau sudah menemui Thiat-yan?" "Aku sudah menemuinya! Tapi dari mana kau tahu aku menemuinya?" "Sebenarnya dari tadi aku sudah mengikuti-mu.

Ada banyak urusan yang jika sekarang diceritakan padamu, mungkin kau tidak akan mengerti...." "Kalau begitu kau pasti sudah tahu dimana tempat tinggal Thiat-yan" "Tentu saja aku tahu" "Dimana?" "Kalau aku katakan, kau pasti akan terkejut.

Thiat-yan tinggal tepat disebelah rumah Bu Tiat-cui.

Kedua rumah ini hanya dibatasi sebuah tembok" "Hah?" "Kereta kuda itu sudah membawamu berputar-putar beberapa keliling.

Setelah itu kereta kembali lagi ke tempat semula.

Hanya kau tidak menyadarinya." "Thiat-yan benar-benar sangat cerdik, namun dia tetap sangat sopan.

Walaupun tadi percakapan kami berdua tidak ada kecocokan, dia tidak mempersulit aku." "Kalian bercakap-cakap tentang apa?" Wie Kie-hong menceritakan kembali semua percakapan yang dialaminya dengan Thiat-yan.

Setelah ini dia juga menceritakan perihal Bu Tiat-cui yang masih hidup Tu Liong mendengarkan semua ini dengan sepenuh hati.

setelah itu dia bertanya: "Apakah kau sekarang bermaksud pergi ke stasiun kereta menemui Bu Tiat-cui?" "Betul" "Percuma" "Mengapa?" "Bu Tiat-cui tidak mungkin pergi" Tu Liong terdengar sangat yakin.

"Tu Toako! Apakah kau ingin mengatakan bahwa Bu Tiatcui sudah ditangkap oleh Thiat-yan"' "Kie-hong! Aku hanya seorang diri.

Dari tadi aku memperhatikan dirimu, otomatis aku tidak memperhatikan Bu Tiat-cui.

Apa yang sudah dilakukan nya aku sama sekali tidak tahu.

Namun aku sudah membuat sebuah tebakan.

Kie-hong! aku senang sekali memecahkan misteri! Karena itu tebakan yang kubuat pada umumnya dapat diandalkan!" "Aku tetap harus pergi kesana" "Dengar kata-kataku! Sebaiknya kau jangan pergi kesana" "Kenapa?" "Kau pikirlah dengan baik.

Thiat-yan tinggal disebelah rumahnya.

Semua gerak gerik Bu Tiat-cui sudah pasti diketahuinya dengan jelas.

Aku tahu alasanmu berkeras untuk menemui Bu Tiat-cui di stasiun kereta.

Ini karena dia akan memberikanmu kopor kecil yang sudah kau ceritakan itu.

di tempat ramai seperti itu, orang yang membawa sebuah kopor kecil tidak akan menimbulkan kecurigaan orang lain." Wie Kie-hong benar-benar mengagumi kehebatan Tu Liong membuat kesimpulan.

"Kalau kopor itu adalah barang yang diincar oleh Thiat-yan, apakah mungkin dia akan membiarkan barang itu jatuh ke tanganmu" Kie-hong! Sebelum misteri kematian orang yang kedua alisnya ditembus jarum panjang itu dipecahkan, sebaiknya kau tidak terlalu dekat dengan Bu Tiat-cui" Wie Kie-hong tidak berkata apa-apa.

namun dalam hatinya dia berpikir, 'Tu Toako, kau terlambat mengatakan hal itu padaku.

Satu satunya barang bukti sudah diberikan pada Bu Tiat-cui.

Kalau aku tidak mendapatkan kopor itu, bukankah aku sudah mengecewakan janjiku pada Gihu (ayah angkat)"' "Aku tahu dalam hatimu kau sedang memikirkan apa." "Oh...?" "Kau sedang berpikir tentang janjimu pada ayah angkatmu.

Betul tidak?" "Siapa bilang tidak" Sekali tebak saja semua sudah kau ketahui" "Kalau aku mengatakan sebuah kalimat yang nekat, kau pasti akan kaget" "OH..?" "Leng Taiya menyuruhmu mengambil kopor itu juga sebenarnya adalah sebuah jebakan.

Terlebih lagi Bu Tiat-cui sudah membuat janji untuk menemui-mu, aku khawatir ini juga sebuah jebakan." "Tu Toako! Kau sudah membuatku sangat bingung!" "Kau jangan pergi ke stasiun kereta!" "Ada sesuatu yang belum kukatakan padamu, pada waktu itu aku pikir Bu Tiat-cui sudah meninggal, dan kopor kecil itu selamanya tidak akan pernah kudapatkan, aku pikir mengatakan hal ini ataupun tidak, tidak akan membuat banyak perubahan........namun sekarang setelah aku mengetahui lebih banyak, sepertinya keadaan sudah berubah" "Kalau kau mau memberitahukan padaku sekarang, sepertinya masih sempat" "Ayah angkat sudah menitipkan pesan padaku, setelah mendapatkan kopor tersebut aku harus secepatnya naik kereta ke sebelah utara Tai-ouw, dan membuang kopor tersebut ke laut.

Selain itu dia juga berpesan agar aku tidak curiga dan membuka kopor untuk melihat apa isinya" "Oh...?" Tu Liong memalingkan pendangan nya, dia kembali memikirkan sesuatu.

"Barang yang digunakan sebagai tanda bukti pengambilan kopor sudah kuserahkan pada Bu Tiat-cui.

Kalau aku tidak pergi menemui dia, itu benar-benar celaka" "Baiklah! Kau pergilah!" Tu Liong tiba-tiba saja merubah keputusannya.

Wie Kie-hong tidak mengerti.

"Bagaimana dirimu?" "Aku harus mengurus hal yang lain" "Apakah kita masih bisa bertemu lagi?" "Bukankah kau harus pergi ke sebelah utara Tai-ouw dan membuang kopor itu" kalau menunggu sampai nanti kau kembali, langit pasti sudah menjadi gelap.

Mungkin nanti sudah tengah malam" "Tu Toako! Bukankah tadi kau berkata bahwa Bu Tiat-cui tidak mungkin datang?" "Aku pikir dia mungkin datang" "Mengapa kau berubah pikiran?" "Karena aku sudah membuat satu dugaan yang baru....Bu Tiat-cui mungkin akan datang, malah dia akan membawakan kopor yang kau inginkan itu." Setelah berkata demikian, Tu Liong menepuk bahunya, lalu pergi.

Sekejap saja Wie Kie-hong merasa curiga.

Apakah otak Tu Liong benar-benar sangat pintar sampai bisa menebak semuanya bagaikan seorang dewa" Ataukah ada hal lainnya" "Tuan! Apakah ingin naik kereta?" ternyata sebuah kereta kuda sudah berada didepan matanya.

"Ke stasiun kereta" Wie Kie-hong duduk diatas kereta kuda.

Setelah sampai di stasiun kereta, waktu menunjukkan tepat pukul dua belas siang.

Wie Kie-hong cepat-cepat turun dari kereta kuda dan berjalan ke pintu masuk.

Disana dia melihat Bu Tiat-cui sedang berjalan mendatanginya dari arah yang berlawanan.

Tangannya menggenggam sebuah kopor kuning.

Walaupun Wie Kie-hong merasa sedikit gugup, namun melihatnya dia merasa sedikit lega.

Tugas yang diembannya sebentar lagi akan selesai...

Bu Tiat-cui akhirnya berdiri di sisi sebelah kanan Wie Kiehong.

Dia lalu memindahkan kopor kuning itu dari tangan kanan ke tangan kirinya.

Saat ini Wie Kie-hong hanya tinggal mengulurkan tangannya, mengambil kopor itu dari tangannya.

Ini tidak akan membuat orang lain merasa curiga.

Tepat pada saat itu, tiba-tiba saja ditengah kerumunan didalam stasiun kereta muncul seseorang.

Orang ini berjalan di belakang mereka berdua.

Wie Kie-hong tentu saja tidak bisa mencegah hal ini.

orang ini berjalan menerobos diantara Wie Kie-hong dan Bu Tiat-cui.

Sambil menerobos, dia berhasil merebut kopor kuning yang akan diberikan.

Setelah merebut kopornya, dia tidak berlari seperti seorang maling pada umumnya.

Dia hanya berjalan dengan kecepatan yang normal keluar stasiun kereta.

Dia melakukan semuanya seolah-olah kopor kuning itu adalah miliknya sendiri.

Bu Tiat-cui sangat terkejut dan hanya bisa menatap Wie Kie-hong.

Wie Kie-hong hanya melihat Bu Tiat-cui sekilas, cepat-cepat berjalan kedepan untuk mengejarnya.

Tiba-tiba sebuah tangan yang bertenaga memegang bahu kanannya.

"Hei...

pelayan...

kita sudah sangat lama tidak berjumpa.

Apa kabar?" Tubuh Wie Kie-hong berputar dengan cepat, setelah itu dia berkata dengan dingin "Kau salah orang!" "Maaf!" sambil menyapa, orang yang meme-gang bahu menarik kembali tangannya.

Setelah Wie Kie-hong kembali memalingkan kepala untuk mengejar, orang yang merebut kopor sudah pergi entah kemana.

Dia sudah tidak terlihat.

Jelas ini adalah sebuah tipu muslihat.

Pepatah mengatakan "biksunya bisa melarikan diri, namun viharanya tetap berada ditempatnya".

Walaupun dia sudah kehilangan orang yang mencuri kopor, namun dia tahu pelakunya pastilah orang suruhan Thiat-yan.

Sedangkan sekarang dia sudah tau tempat tinggal Thiat-yan.

Tentu saja Wie Kie-hong harus menangkap orang yang sudah salah mengenalnya tadi.

Dia segera membalikkan tubuh, Namun ternyata orang ini juga sudah menghilang entah kemana.

"Sial!" Wie Kie-hong mendamprat "Kenapa?" "Kau masih bertanya" Kopor itu sudah direbut orang lain!" "Aku pikir orang itu adalah suruhanmu." Sekarang Wie Kie-hong mulai memutar otaknya.

Dia bertanya: "Tuan Bu, setelah kau meninggalkan gang San-poa, kau pergi kemana saja?" "Aku langsung pergi mengambil kopor itu" "Apakah kau ditengah jalan diikuti orang lain?" "Aku tidak tahu" "Bagaimana mungkin mereka tahu kita berdua sudah membuat janji bertemu disini?" "Aku....aku tidak tahu" Orang yang merebut kopor itu pastilah sudah membuntuti Bu Tiat-cui sepanjang jalan, sampai dia kemari.

Kalau begitu, dari awalpun mereka sudah memiliki kesempatan untuk merebut kopor itu, langsung dari tangan Bu Tiat-cui.

Mengapa mereka harus menunggu merebutnya di sini" Mengapa harus mengambil resiko merebut kopor itu di depan mukanya" Apakah mungkin ini untuk melepaskan kesalahan dari tangan Bu Tiat-cui" Apakah tipu muslihat ini ada hubungan dengan Bu Tiat-cui" "....sekarang kita harus bagaimana?" Bu Tiat-cui tampak sangat gugup.

"Sekarang tuan Bu akan pergi kemana?" "Aku akan pulang kerumahku" "Bukankah kau tadi berkata bahwa sementara waktu kau akan menjauh dari rumah itu?" "Aku tidak punya tempat melarikan diri" "Baiklah, nanti aku akan menghubungimu lagi" Setelah mengatakan ini, Wie Kie-hong segera berjalan pergi, dia tidak ingin menanyai Bu Tiat-cui lebih lanjut.

Lagipula dia tidak memiliki alasan untuk menanyainya lebih jauh.

Dia juga tidak mungkin mengulur urusan ini lebih lama.

Dia harus segera menemui Tu Liong.

Dia segera pergi ke kediaman Cu Taiya.

Ter-nyata Tu Liong ada dirumah, membuat Wie Kie-hong merasa senang.

Melihatnya Tu Liong segera berkata: "Aku tahu kau pasti akan datang.

Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu" Ternyata barang itu adalah sebuah kopor kuning.

Kopor itu sudah terbuka.

Didalamnya kosong.

"Ini....?" Wie Kie-hong tidak menyangka melihat barang itu disini.

"Ini adalah kopor yang akan diberikan oleh Bu Tiat-cui padamu tadi." "Benarkah?" "Untuk apa aku membohongimu" Orang yang sudah merampas kopor dan langsung pergi, dan juga orang yang sudah salah mengenal dirimu, mereka berdua adalah orang yang sudah aku suruh untuk melakukannya." "Barang yang ada didalam kopor itu?" "Kopor itu pada awalnya memang sudah kosong" Tu Liong berkata dengan nada dingin.

Wie Kie-hong tidak memiliki alasan untuk tidak mempercayai Tu Toakonya yang sudah dipujanya selama ini.

Namun dia lebih tidak memiliki alasan untuk tidak mempercayai ayah angkatnya Leng Souw- hiang....

Tu Liong melihat rasa curiganya, maka berkata: "Didalam hati para generasi tua pastilah tersimpan sebuah rahasia yang tidak bisa diberitahukan pada orang lain.

Kita ambil contoh Cu Taiya, dia adalah majikan yang sangat kusanjung.

Namun dari awal dia sudah menjelaskan, kalau aku senang bermain tebak tebakan dan memecahkan misteri, aku boleh terus bermain, namun aku tidak boleh menanya-kan apapun padanya....Kiehong, oleh karena itu tadi aku sudah berkata padamu, bahwa perintah Leng Taiya Souw-hiang yang sudah menyuruhmu untuk mengambil kopor pun kemungkinan adalah sebuah jebakan." Wie Kie-hong hanya menggeleng-gelengkan kepala.

Dia benar-benar kebingungan.

"Kalau aku tidak merebut kopor ini kedalam tanganku, kau akan bagaimana" Kau pasti sudah naik kereta ke sebelah utara Tai-ouw dan mengerjakan perintah ayah angkatmu dan membuang kopor ini ke laut.

Dengan begitu bagian pemecahan teka-teki dari kopor ini akan hilang selamanya." "Tu Toako, tapi sebelumnya kau melarangku untuk pergi ke stasiun kereta...." "Tujuannya juga tidak jauh berbeda.

Aku bermaksud mengambil kopor ini kedalam tanganku.

Kau tidak mungkin akan mengingkari janjimu pada ayah angkatmu.

Aku sedikitpun tidak meragukan hal ini...." "Tidak, Tu Toako, ini bukanlah hal yang baik untuk dilakukan...." "Kie-hong...

kau benar-benar seorang laki-laki sejati.

Sebagai seorang laki-laki sejati, apakah kau tidak ingin mengetahui duduk perkara yang sebenarnya?" "Tapi...." "Sekarang coba kita lihat dari sudut pandang yang lain.

Kalau misalnya Bu Tiat-cui sudah menukarkan kopor ini dengan yang lain, lalu kau membuang kopor ini begitu saja kelaut dan merasa bahwa kau sudah menyelesaikan tugas, Leng Taiya juga menyangka kalau kau sudah menyelesaikan tugas dan membuatnya merasa tenang sesisa hidupnya.

Namun bagaimana sebenarnya?" Penjelasan yang dikemukakan oleh Tu Liong terdengar sangat keras, namun sangat masuk akal.

Wie Kie-hong kehabisan kata-kata.

Dalam hatinya dia tetap terus mengagumi kemampuan Tu Liong dalam membuat kesimpulan.

Namun bagaimanapun juga dalam hatinya dia merasa khawatir.

"Aku sudah membuat janji dengan tuan besar Tan.

Nanti kita berdua akan pergi mengunjunginya.

Walaupun kedua kupingnya sudah dipotong Thiat-yan, namun itu tidak akan merintanginya untuk bicara." "Apakah yang kau maksud dengan tuan besar Tan adalah Tan Po-hai?" "Betul" "Tu Toako ingin menanyakan apa padanya?" "Masalah yang berkenaan dengan kejadian pada waktu itu dimana lima orang tua turun tangan dan mencelakai Tiat Liong-san.

Untuk satu hal ini, Cu Taiya sudah mengakuinya sendiri dihadapanku.

Namun tetap saja aku merasa urusan ini tidak sederhana seperti yang aku bayangkan.

Kalau sederhana, dimana serunya memecahkan sebuah misteri?" "Kalau kau hanya memikirkan mendapat kesenangan dengan memecahkan sebuah misteri, aku tidak akan melayanimu lagi." "Eh?" Tu Liong sangat kaget mendengar kata-kata ini.

dia menatap Wie Kie-hong.

Didalam benaknya mengatakan, selama ini Wie Kie-hong adalah seorang yang sangat penurut.

"Tu Toako, ini bukanlah sebuah permainan.

Ini adalah urusan yang menyangkut hidup dan mati.

Sekarang ini urusan sudah ada didepan mata.

Sudah dua orang yang mati dan tiga orang yang terluka.

Kalau menuruti omongan Cu Taiya, dia belum dibunuh karena Thiat-yan sedang mencari sebuah barang.

Kalau begitu suatu saat nanti pastilah akan ada orang yang mati atau terluka lagi.

Tu Toako, tanggung jawab yang kita pikul sangat besar." "Kie-hong...." Tu Liong menepuk bahu Wie Kie-hong katanya, "aku benar-benar tidak menyangka kau akan berkata serius seperti itu....tenang saja, aku tidak sedang bermain sebuah permainan.

Setidaknya aku juga memiliki tanggung jawab untuk melindungi Cu Taiya agar tidak terluka.

Jangan lupa kita berdua sedang berburu.

Yang sedang kita buru bukanlah Thiat-yan atau orang apapun, namun yang kita buru adalah kejadian yang sebenarnya.

Diantara kelima orang tersebut, hanya ada satu orang yang benar-benar mengetahui kejadian sesungguhnya." 
0-0-0

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar