Walet Besi Bab 01

BAB 1

Beringas Bulan ke tiga,  Pakhia, Angin segar berhembus pada bulan ke tiga hari ke tiga.

Sepanjang tepian sungai Tiang-an tampak perempuan cantik pergi berlalu lalang.

Sepotong syair ini tidaklah menggambarkan keadaan Pakhia yang sesungguhnya.

Di negara di sebelah utara, musim semi datang terlambat.

Pada hari-hari di bulan ketiga, salju dan air-air yang membeku belum semua meleleh.

Bahkan rerumputan liar pun belum menampakkan pucuk daun mudanya.

Angin utara masih berhembus sangat dingin.

Langit pun sebagian besar masih terlihat muram.

Orang-orang yang berlalu lalang belum bisa melepas jaket kulit dengan topi kupluk kulit yang biasa mereka kenakan.

Apalagi pada pagi hari.

Dari sepuluh orang yang keluar rumah, sembilan diantaranya pasti akan menyembunyikan kedua tangannya ke dalam kantong jaketnya.

Kehidupan sungguh pahit dan menyakitkan, kedua tangan itu harus dipertahankan hidup bagaimana pun caranya.

Atau orang itu tidak akan hidup sama sekali.

Keempat blok rumah bertingkat dan sepuluh gang kecil di sebelah timur adalah tempat tinggal para bangsawan kelas atas.

Rumah-rumah yang ada di kesepuluh gang itu semuanya adalah rumah yang dilengkapi taman mewah.

Temboknya tinggi dan pintunya berhiaskan mutiara.

Apalagi rumah kedua disebelah kanan di dalam gang yang pertama.

Ini adalah rumah kediaman seorang konglomerat yang bermarga Leng (dingin).

Marga ini benar-benar cocok menggambarkan pemilik namanya.

Nama lengkapnya adalah Leng Souw-hiang.

Nama Souw-hiang dalam bahasa mandarin bunyinya mirip dengan nama rak buku.

Namun sosok Leng Taiya ini, seumur hidupnya tidak pernah menaruh berminat pada buku.

Dia juga tidak pernah menjadi seorang pejabat yang memegang kedudukan yang tinggi.

Kalau bukan termasuk dalam keluarga yang terpelajar, dan juga bukan keturunan bangsawan, bagaimana dia bisa menjadi seorang konglomerat" Semua ini karena dia memiliki banyak uang, tidak masalah orang sedang berada di belahan bumi manapun, uang dan emas selalu memiliki kekuatan yang sangat luar biasa.

Ketika masih muda, Leng Souw-hiang adalah seorang kepala bagian di dalam keluarga kerajaan.

Raja Su-cen bisa dibilang adalah seorang raja yang paling terbuka di kalangannya.

Dia bukan seorang pejabat korup.

Ketika dinasty Ceng sudah goyah dan nyaris rubuh, demi mempertahankan dinasty, dia sudah memikirkan banyak sekali siasat.

Sosok raja besar ini sudah menolong menyelesaikan banyak sekali perkara selama tiga ratus tahun Dinasty Ceng berjaya.

Pendiriannya adalah pembaharuan terus-menerus.

Namun dia juga menyetujui sistem kerajaan.

Sayang sekali pejabat dinasty Ceng sudah terlalu banyak yang korup, sebuah tiang tidak akan dapat menyangga sebuah bangunan yang besar.

Akhirnya tetap saja dinasty tersebut runtuh.

Karena Raja Ceng senantiasa mengkhawa-tirkan keadaan negara yang dipimpinnya, dia memberi-kan kesempatan pada Leng Souw-hiang untuk bertindak bebas.

Mengunakan kesempatan ketika keadaan sedang kacau seperti ini, dia mendapat kesempatan mencari uang.

setelah raja mengungsi ke Tong-yang, dan tinggal di luar negri.

dia mempercaya-kan harta dan bisnisnya agar diurus oleh Leng Souw-hiang.

Dari sepuluh bagian, dia mendapat tujuh sampai delapan bagian.

Hanya dalam waktu dua-tiga tahun yang singkat, dia sudah menjadi salah seorang konglomerat terkaya yang hanya berjumlah beberapa orang di kota Pakhia.

Lagi pula pada waktu itu pemerintahan baru saja berdiri, keadaannya belum stabil.

Desas-desus tentang kembali berdirinya dinasty Ceng, kadang-kadang sering terdengar.

Raja Su-cen tinggal di sebuah negara yang sangat jauh, namun dia tetap berpikir untuk pulang dan mendirikan kembali dinasty Ceng.

Apalagi Leng Souw-hiang adalah kepala bagian raja Su-cen, sementara ini dia masih bisa mempertahankan hubungan.

Sebagian besar orang yang ingin mengambil kesempatan, pasti akan terus mempertahankan hubungan baiknya.

Oleh sebab itu, Leng Souw-hiang menjadi seorang yang sangat termasyur di kalangan masyarakat di dalam kota Pakhia.

Setiap hari saat masih sangat pagi, kira-kira suasana masih sunyi-senyap, pintu utama yang berhiaskan permata masih terkunci, pintu-pintu kecil di sudut juga tertutup rapat, seolaholah bangunan mewah dengan taman yang besar ini tidak pernah memiliki penghuni.

Dari kejauhan terdengar sayup-sayup suara derap langkah kaki kuda sedang mendekat.

Tidak lama kemudian, sebuah kereta yang ditarik oleh sepasang kuda datang memasuki gang perumahan mewah itu.

Kereta ini lalu berhenti didepan rumah mewah milik Leng Taiya.

Hari masih sangat pagi, namun keluarga Leng sudah kedatangan tamu.

Ini benar-benar kejadian yang sangat langka.

Sais kereta adalah seorang pria separuh baya yang kira-kira berumur empat puluh tahun lebih.

Namun penampilan dan caranya berpakaian sedikit pun tidak menyerupai seorang sais kereta.

Perawakan-nya tinggi besar dan terkesan kasar, namun pakaiannya sangat rapi.

Tingkah lakunya juga sangat sopan, dia menuruni kereta, setelah itu dia merapikan bajunya.

Perlahan-lahan dia menaiki tangga yang terbuat dari batu granit.

Setelah itu dia menarik pegangan pintu yang berkilau, dan mulai mengetuk perlahan-lahan.

Dia hanya mengetuk sebanyak tiga kali, dan suaranya benar-benar terdengar sangat lembut.

Namun walaupun demikian, pintu di pojok segera membuka.

Ini menggambarkan bahwa rumah kediaman keluarga Leng memiliki penjagaan yang sangat ketat.

Dilihat sepintas keadaan terlihat sangat tenang, namun sebenarnya didalam entah ada berapa banyak orang yang sedang sibuk berjaga.

Tentu saja, seorang konglomerat seperti Leng Souw-hiang sangat mem-butuhkan orang-orang untuk menjaganya dengan ketat.

Orang yang datang menyambut tamu dan kemudian membukakan pintu adalah seorang pemuda yang tampak berumur sekitar tiga puluh tahun, raut mukanya terlihat sangat lelah, sepertinya dia belum tidur semalam suntuk, namun tatapan matanya memancarkan kilau yang biasanya hanya dipancarkan oleh orang kaya.

Setelah membukakan pintu, dia mengamati sais ini dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, barulah dia bertanya dengan perlahan lahan: "Mau apa?" "Maaf, apakah ini kediaman Leng Taiya?" sepertinya sais ini sangat mengerti tata krama, juga menunjukkan bahwa dia pernah memiliki pendidikan bersopan santun.

"Tidak salah.

Ada urusan apa?" "Majikanku memiliki urusan penting yang harus diselesaikan, dan dia harus langsung menemui majikanmu Leng Taiya.

Tolong sampaikan" Secara reflek, pemuda itu langsung menengok ke arah tirai bambu yang menggantung menutupi jendela kereta kuda.

Dalam hatinya dia pasti berpikir, 'tamu ini sangat sombong, dia bahkan tidak turun dari kereta dan menunjukkan diri!' "Datang dari mana?" "Luar kota" Dua kata ini "Luar kota" sepertinya menimbulkan berbagai macam perasaan dan pikiran.

Sinar mata pemuda tadi jadi bertambah terang.

"Apakah anda memiliki kartu nama?" "Maaf" sais kereta itu menjawab dengan sangat sopan "majikanku sedang mendapat tugas yang sangat rahasia, tidak baik untuk memberikan kartu nama.

Setelah menemuinya, Leng Taiya pasti akan langsung mengerti." Pemuda yang menyambut tamu terlihat sedikit ragu.

dia lalu menjawab dengan sopan dan berkata: "Karena tidak memiliki kartu nama, aku tidak berani membuat keputusan.

Maaf menyusahkan anda, Silahkan anda menunggu diluar dan menunggu kedatangan majikanku." "Silahkan...

silahkan..." Pemuda yang menyambut tamu kembali melangkah masuk kedalam rumah.

Pintu di pojok tadi kembali menutup.

Namun sepertinya dibalik pintu terdapat banyak pasang mata yang diam-diam memperhatikan.

Sang tamu lalu menunggu diluar.

Dia menunggu kira-kira setengah jam lebih.

Majikan yang duduk didalam kereta sama sekali tidak bertanya sepatah katapun pada sang sais.

Sais kereta juga tidak terlihat tidak sabar, kedua orang ini, majikan dan bawahannya terlihat sangat tenang.

Tidak lama keluar lagi orang lain yang datang menyambut.

Kali ini berganti menjadi seorang tua yang sudah berumur lima puluh tahun lebih.

Tingkah lakunya sangat rendah hati.

hanya beberapa langkah besar saja dia sudah menuruni tangga granit, dia lalu merangkupkan kedua tangannya didepan dada dan berkata: "Mohon maaf, mohon maaf! Maaf sudah merepotkan anda menunggu sangat lama.

Leng Taiya tidak terbiasa bangun sepagi ini.

setelah mendengar bahwa dia mendapat tamu yang datang dari tempat jauh, dia segera bangun dan langsung membersihkan diri.

oleh karena itu dia harus menghabiskan sedikit waktu.

Sekarang ini dia sudah menunggu anda berdua di ruang tamu bagian depan.

Silahkan...." Sepertinya dari dalam tirai bambu terlihat gerakan.

Sais kereta cepat-cepat mendekat ke kereta dan membukakan pintu.

Orang yang ada didalam kereta segera keluar.

Ternyata dia adalah seorang nona yang masih berusia sangat muda.

Pria berumur lima puluh tahun lebih yang datang menyambut tamu benar-benar merasa kaget.

Secara reflek mulutnya menganga.

Sepertinya dia sama sekali tidak menyangka bahwa tamu besar yang datang mengunjungi majikannya dari tempat yang jauh ini adalah seorang tamu wanita.

Perempuan muda ini sepertinya baru berumur sekitar dua puluh tahun, tubuhnya tegap dan kekar namun sangat ramping, wajahnya cukup rupawan, sangat menarik perhatian.

Sekali melihat semua orang pasti langsung tahu kalau dia sudah berpengalaman, perempuan ini tidak dapat dibilang cantik sekali.

Namun dia memiliki kharisma yang sangat menarik perhatian.

Dia berkata dengan perlahan-lahan: "Mohon tunjukkan jalan" Kalimat ini bagaikan kicau burung kutilang, apalagi karena hari masih sangat pagi, kata-katanya terasa sangat enak didengar.

Pria tua yang menyambut tamu tiba-tiba tersentak dan kembali sadar.

Dia segera membalikkan tubuh, mengulurkan tangannya dan berkata: "Nona, silahkan..." Perempuan ini mengenakan celana sutra, diluarnya dia masih mengenakan mantel panjang berwarna ungu kemerahan yang memiliki kerah bulu tebal.

Gerakannya sangat ringan bagaikan sedang melayang.

Dia terlihat unik.

Leng Souw-hiang sekarang sudah hampir berusia enam puluh tahun, namun karena dia pandai merawat tubuhnya, dia masih tetap terlihat sangat sehat dan tegap.

Hanya saja di kedua pelipis dia rambutnya mulai berubah warna menjadi putih, namun ini tidak membuatnya terlihat tua, malah membuatnya semakin berwibawa.

Setelah melihat bahwa tamunya adalah seorang nona yang masih muda, Leng Souw-hiang juga sempat tertegun beberapa saat.

Namun, dia sama sekali tidak memandang rendah tamunya.

Kalau dia memang datang dari luar kota, sudah delapan puluh persen dapat dipastikan kalau dia adalah orang yang diutus datang kemari oleh raja Su-cen.

Raja tidak mungkin sembarangan mengutus seseorang yang tidak bisa apa-apa.

perempuan ini pastilah memiliki keistimewaan tersendiri sehingga mendapat kepercayaannya.

Setelah berpikir sampai sedemikian, secara otomatis dia segera berdiri.

"Leng Taiya!" tamu perempuan itu menyapa dengan sangat hormat.

Leng Souw-hiang kembali tertegun, karena perempuan ini dalam memberi hormat tidak menunjukkan tata krama yang ditemui diantara masyarakat umumnya dan juga bukan tata krama yang ditemui diantara masyarakat suku Han.

kedua tangan-nya tetap dirangkupkan didepan dadanya.

Karena dia menggunakan mantel terusan yang besar, ditambah dengan gerak-geriknya seperti ini, dia terlihat sangat gagah.

Namun ini adalah cara menyapa para pendekar yang umum ditemui di dunia persilatan! Leng Souw-hiang bertanya pada dirinya sendiri, rasanya dia tidak pernah berurusan dengan orang yang datang dari kalangan persilatan! Karena tertegun kaget, dia sampai lupa mem-balas salamnya.

Untunglah pria tua yang sudah menunjukkan jalan masuk padanya segera mewakilkan tuan besar untuk membalas salamnya dan memper-silahkannya duduk.

"Tidak perlu sungkan, tidak perlu sungkan!" barulah Leng Souw-hiang kembali sadar, "melihat nona sangat rupawan, sangat berwibawa, tidak terasa aku sudah tertegun melihat nona........nona datang dari mana?" "Li-sun" Setelah mengatakan tempat asal usul kedatangannya, hati Leng Souw-hiang langsung menjadi tenang.

Raja Su-cen tinggal di daerah itu.

melihat tingkah laku dan penampilan nona muda ini, dia mungkin sekali adalah utusan raja Su-cen.

Kalau tidak, Siapa yang lebih cocok" "Bagaimana kabar raja" Apakah dia baik-baik saja?" Leng Souw-hiang sambil sedikit membungkuk-kan tubuh memberi hormat dengan sangat sopan dan bertanya dengan perlahanlahan.

Sepertinya dia ber-maksud memancing nona ini untuk mengatakan siapa yang menyuruhnya datang.

"Sangat baik" jawabannya sangat singkat.

"Bagaimana keadaan disana?" Kali ini dia tidak berkata apa-apa.

Dia hanya menganggukanggukkan kepala.

Pada waktu yang bersamaan dia melirik ke arah pelayan tua yang mengantarnya masuk.

"Pergi!" Leng Souw-hiang segera mengibaskan tangannya.

Pria tua penunjuk jalan segera mundur dan melangkah keluar meninggalkan ruangan.

Dia menutup pintu dibelakangnya.

Sekarang di dalam ruangan hanya tinggal kedua orang ini.

"Leng Taiya, aku ingin bertanya padamu.

Anda biasa menggunakan tangan yang mana untuk memegang pena ketika sedang menulis surat?" "Tangan kanan" "Kalau begitu, tolong ulurkan tangan kanan-mu!" Leng Souw-hiang merasa sedikit heran, namun dia tetap mengulurkan tangan kanannya.

Tidak biasa-nya dia langsung menuruti apa yang diperintahkan padanya.

Namun kali ini benar-benar aneh.

Sepertinya ini disebabkan oleh kharisma yang sangat besar yang dipancarkan dari dirinya.

"Kalau ada seseorang yang sudah berbuat kesalahan dan membuat seseorang marah, lalu orang yang sudah dibuat marah itu bertanya padanya: 'mana yang akan kau pilih" Apakah kau lebih rela dipotong tenggorokan ataukah dipotong tangan kanan"' kalau orang itu adalah kau, yang mana yang akan kau pilih?" Leng Souw-hiang benar benar tersentak kaget, cepat-cepat dia menarik tangan kanan yang sudah diulurkannya.

Gerak-gerik perempuan ini benar-benar sangat cepat, hanya dengan satu langkah besar saja dia sudah berada dihadapan Leng Souw-hiang, di tangannya sekarang sudah terlihat sebilah pisau yang sangat tajam.

Ujung pisau yang runcing menekan dada Leng Souw-hiang dengan kuat, dia sebenarnya berpikir untuk melangkah mundur menghindari serangan, namun kedua kakinya sama sekali tidak mau menuruti keinginannya.

"Leng Taiya, sebenarnya kau akan membuat pilihan yang mana?" "No...

Nona, se...

sebenarnya ba...

bagaimana bisa seperti ini" a....apakah kau benar orang suruhan raja Su- cen?" "Cepat tentukan pilihanmu!" "No....Nona, apakah aku pernah berbuat salah padamu sebelumnya?" "Pilih!" Hanya sepatah kata...

namun sepatah kata ini memiliki kekuatan yang luar biasa.

Perlahan lahan tangan kanan Leng Souw-hiang yang gemetar hebat kembali terjulur.

"Leng Taiya, dengar baik-baik! Sepuluh tahun yang lalu tangan kananmu ini sudah berbuat kejahatan semacam apa, kau sendiri sudah mengerti.

Sekarang sudah tiba waktu pembalasannya.

Leng Taiya, sebelah tanganmu akan terputus, pasti akan terasa sangat sakit.

Namun kau harus menahan rasa sakitnya, kau tidak boleh berteriak.

Kalau kau sampai berteriak sedikit saja, bukan hanya kau akan kubunuh, bahkan seisi kediaman ini pun pasti akan berjatuhan korban yang tidak bersalah.

Apakah kau sudah mengerti?" "No...nona, apakah aku bisa mengeluarkan uang untuk menebus kesalahanku" Kau ingin berapa....berapa banyakpun, aku pasti akan memberi....memberi sebanyak itu" "Kau sekarang pasti sudah mengerti, uang tidak selalu bisa menyelesaikan semua urusan.

Tidak masalah kau memiliki berapa banyak uang, kau tidak punya cara untuk kembali menumbuhkan lenganmu yang putus dari pundakmu itu....tolong angkat tangan kananmu sedikit" Tubuh Leng Taiya gemetar hebat, namun seluruh tubuhnya terasa sangat lemas.

Tangan kanannya sama sekali tidak memiliki tenaga untuk diangkat.

Gerakan tangan nona muda ini sangat kejam, dia tidak segera menebaskan pisaunya kuat-kuat untuk memutuskan tangan lawannya, namun dia dengan perlahan-lahan menyayatkan pisaunya.

Leng Taiya tidak hanya harus menahan sakit yang luar biasa, namun juga harus menahan sakit hati yang sangat dalam.

Nona muda ini menggunakan tangannya untuk menekan ujung jari Leng Taiya, sehingga tangannya terjulur lurus kedepan.

Melihat dari gerak-geriknya, dia tampak seperti akan memotong seekor ikan, atau seekor ayam.

"Aku akan berkata sekali lagi.

kau sama sekali tidak boleh berteriak.

Sekali berteriak, kau akan segera kehilangan nyawa.

Kau pun akan mempersulit hidup orang lain!" Leng Taiya bercucuran keringat dingin, sepasang kakinya gemetar sangat hebat, dia merasa akan segera pingsan.

0-0-0
 Pada hari yang sama, di Pakhia terdengar empat kasus yang kejam.

Tangan kanan Leng Taiya terpotong, sepasang bola mata milik direktur utama sebuah perusahaan bank terkemuka yang bernama Hui Ci-hong dicokel keluar.

Seorang seniman yang serba bisa di Pakhia, yang mahir bermain alat musik, adu catur, terpelajar dan pandai menggambar, yang bernama Tan Po-hai, juga mengalami kejadian yang serupa.

Pelakunya sudah memotong kedua daun telinganya.

Seorang tuan besar yang pernah mengabdi di Ciu-mui pada dinasty Ceng yang bernama Oey Souw menderita luka paling ringan.

Dengan pisau yang tajam, pelakunya menorehkan tanda X pada pipinya.

Setelah pelaku melukai para korbannya, pada setiap tempat kejadian perkara, dia selalu meninggal-kan sebuah tanda yang sama ........ukiran seekor burung walet yang terbuat dari besi dan juga terdapat tetesan lilin berwarna merah menempel di bagian mata burung walet tersebut.

Leng Souw-hiang dan Hui Ci-hong yang masing-masing sudah kehilangan tangan dan matanya.

Setelah menahan penderitaan yang sangat parah, mereka berdua segera pingsan.

Setelah ditolong mereka barulah kembali sadar, luka yang diderita oleh Tan Po-hai dan Oey Souw tidak termasuk parah, namun mereka semua melakukan hal yang tidak dimengerti banyak orang.

Terhadap kasus ini, mereka semua sama sekali tidak mempermasalahkannya, malah sebaliknya mereka berkeras mereka tidak melihat pelakunya.

Jelas bahwa mereka semua sedang berbohong.

Alasan mereka berbohong sepertinya ada dua: Pertama mereka takut pelakunya akan lebih beringas dan membalas dendam.

Kedua, mereka tidak ingin kasus ini membuat semua rahasia yang mereka miliki akan terbongkar.

Tentu saja orang lain juga akan mengambil kesimpulan yang sama, bahwa semua pelakunya adalah orang yang sama.

Alasan keempat orang yang menjadi korban pun pasti sama.

Karena mereka semua pernah melukai si pelaku.

Beratnya kejahatan yang sudah mereka lakukan setimpal dengan luka yang mereka derita saat ini.

hanya anak Oey Souw yang tidak ikut melakukan kejahatan dengan tangannya sendiri.

Dia hanya menanggung dosa yang diperbuat orang tuanya.

Dia baru berumur dua puluh tahun, tidak mungkin dia bisa melakukan kejahatan bersama-sama dengan para tuan besar yang sudah berumur itu.

Keempat kejadian yang mengerikan ini terjadi ketika hari masih sangat pagi.

Belakangan berdasarkan atas bukti-bukti yang ada, tempat kejadian dan waktu terjadinya peristiwa, Leng Souw-hiang adalah korban yang mendapatkan luka paling parah.

Leng Souw-hiang memiliki empat anak laki laki dan tiga anak perempuan, dia juga masih memiliki seorang anak angkat yang bernama Wie Kie-hong.

Ayah kandungnya yang bernama Wie Ceng, sebenar-nya terlahir di dalam keluarga gerombolan penjahat, namun belakangan dia berubah menjadi orang yang baik.

Dia mengabdi di dalam keluarga kerajaan raja Su-cen selama beberapa tahun menjadi seorang penjaga.

Dia benar-benar mendapat kepercayaan pejabat Leng.

Satu kali dia pernah mendapat perintah dari pejabat Leng, pergi keluar kota untuk menyelesaikan suatu tugas rahasia, entah tugas apa yang diberikan padanya" sepertinya tugas ini hanya mereka berdua yang tahu.

Setelah pergi menunaikan tugasnya, dia tidak pernah kembali lagi.

Setelah diselidiki ternyata dia sudah mengorbankan nyawanya demi Leng Souw-hiang.

Leng Taiya masih memiliki sedikit hati nurani, dia kemudian merawat dan mendidik anak yang ditinggal-kannya.

Dia menjadi anak angkat kesayangannya, dan diperlakukannya seperti anaknya sendiri.

Semenjak kecil, Wie Kie-hong sudah mem-pelajari ilmu silat yang diajarkan ayahnya, ditambah dengan bakat alamnya, belajar sebentar saja dia sudah mencapai tingkat yang lumayan tinggi.

Jika saat peristiwa itu berlangsung, dia sedang berada di sisi Leng Souw-hiang, pelakunya belum tentu dapat memotong tangan Leng Taiya dengan begitu mudah.

Tiga orang ahli pengobatan spesialis merawat luka yang terkenal dipanggil ke kediaman Leng Taiya untuk merawat lukanya.

Berkat kepandaian mereka, nyawa Leng Souw-hiang dapat terselamatkan.

Luka fisiknya dapat disembuhkan, namun luka batinnya sulit untuk diobati.

Setelah peristiwa itu dia selalu mengurung diri dan tidak ingin bertemu dengan siapapun juga.

Leng Souw-hiang menyuruh semua orang untuk meninggalkannya, dia hanya ingin menemui anak angkatnya Wie Kie-hong seorang diri.

"Kie-hong!" kata Leng Souw-hiang tampak sangat lemah, namun dia masih terlihat mantap, "duduklah, ada urusan yang ingin aku beri tahukan padamu." Wie Kie-hong memindahkan sebuah bangku panjang dan duduk disamping ranjang.

"Tadi aku dengar kalau Hui Ci-hong, Tan Po-hai, dan Oey Souw juga terluka sangat parah...." Leng Souw- hiang mengatakan kalimat ini kata per kata dengan sangat jelas, "kalau betul seperti ini, aku bisa menebak asal-usul pelakunya." "Ayah!" setelah ayah kandungnya meninggal, Wie Kie-hong lalu memanggil Leng Souw-hiang dengan sebutan itu, "Aku dengar pelakunya adalah seorang perempuan muda yangbaru berumur dua puluh tahun." "Memang dia adalah seorang perempuan muda, namun kau sama sekali tidak boleh memandang rendah perempuan ini.

di seluruh tubuhnya aku merasakan hawa yang dimiliki seorang pembunuh yang sangat beringas, sangat tidak baik untuk dihadapi ....

Kie-hong, sekarang aku ingin kau mengerjakan suatu tugas.

Tapi ingat! Kau tidak boleh memberitahukan tugas ini pada siapapun juga!" "Baiklah ayah" "Di seberang gang San-poa tempat kediaman raja Su-cen, ada seorang peramal, dia selalu membawa spanduk tanda ramal.

Dia selalu dipanggil Bu Tiat-cui.

Kalau kau sudah menemuinya, berikan barang ini padanya...." Leng Souwhiang mengeluarkan sebuah hiasan yang terbuat dari giok dari balik bantalnya.

Melihat dari warna dan garis-garis di permukaannya, mudah ketahuan kalau itu bukanlah sebuah barang yang berharga, "berikanlah barang ini pada Bu Tiatcui, nanti dia akan memberikanmu sebuah kotak kecil yang terbuat dari kulit impor dari luar negeri." "Ayah! Apakah aku harus membawa kotak itu dan memberikannya padamu?" "Tidak!" suara Leng Souw-hiang, "kau harus cepat-cepat pergi naik kereta ke sebelah utara Tai-ouw, dan buanglah kotak itu ke laut." Wie Kie-hong tertegun.

Leng Souw-hiang mengulang perintahnya: "Kie-hong, ada dua hal yang harus kau ingat.

Walaupun kau harus kehilangan nyawamu, kau tidak boleh membiarkan orang lain merebut kotak yang akan kau bawa itu, kau juga tidak boleh melihat isi kotak itu!" "Baik" "Kau cepatlah pergi, pergilah seorang diri, jangan sampai ada seorang pun yang mengikutimu.

Jangan sampai ada seorangpun mengenali siapa dirimu!" "Baik" Tahun ini Wie Kie-hong barulah berumur dua puluh duatiga tahun.

Sebenarnya sejak awal pun dia sudah mencari mempelai perempuan dan menikah.

Namun dia membuat ikrar di depan para dewa, bahwa sebelum dia mengetahui dengan jelas apa yang sudah membuat ayah kandungnya meninggal, dia iidak akan memiliki seorang istri.

Dia selalu menuruti dan melakukan semua perintah yang diberikan 'oleh Leng Souwhiang, hanya perintah mencari istri ini saja yang tidak digubrisnya.

Walaupun Wie Kie-hong masih muda, namun dia sangat berpengalaman.

Dia sangat tenang, kharisma nya yang besar seperti sudah menjadi pembawaan sejak lahir! Setelah menyanggupi perintah ayahnya, dia segera meninggalkan kediaman keluarga Leng.

Dia tidak menaiki kereta kuda miliknya sendiri, tapi dia pergi ke depan gang dan menyewa sebuah kereta.

Kereta yang dikendarainya berhenti di depan gang Sanpoa.

Wie Kie-hong turun disana.

Pertama-tama dia melihat kiri dan kanan memperhatikan keadaan disekelilingnya.

Setelah itu dia perlahan-lahan berjalan menuju ke dalam gang dengan sangat santai, tempat tinggal raja Su-cen yang berukuran dua puluh hektar masih ada disana, hanya saja pada sekarang gangnya sangat ramai.

Banyak kereta kuda berlalu lalang bagaikan air yang mengalir.

Dia terus berjalan kedalam, setelah berjalan beberapa lama, dia akhirnya melihat sebuah tanda yangbertuliskan "Bu Tiat-cui" ini.

Tempat ini adalah sebuah rumah yang memiliki tiga pekarangan.

Pintu masuk ke tamannya setengah terbuka.

Wie Kie-hong masuk kedalam dengan langkah santai.

Setelah melewati pintu taman, pada pintu masuk rumah yang ada dihadapannya terpasang pelat yang bertuliskan syair: "percaya tidak percaya, boleh segera dicoba ...

tepat tidak tepat, nanti akan segera diketahui, setelah melewatinya pasti akan mendapat pengetahuan" dua kalimat ini bahkan anak yang berumur tiga tahun pun sudah bisa menghafalnya diluar kepala.

Dia berdiri didepan pintu masuk bangunan, dia tidak melepas topi yang dikenakannya ketika menengok kedalam ruangan.

Dengan suara yang enteng dia menyapa: "Apakah ada orang didalam?" Tidak ada jawaban.

Wie Kie-hong mendorong pintu masuk dan bertanya sekali lagi.

Namun tetap tidak terdengar jawaban apapun dari dalam, karena itu dia langsung berjalan masuk.

Ruang tamu bangunan itu tidak jauh berbeda dengan ruang tamu bangunan biasa, di sebelah kiri dan kanan terdapat ruang samping.

Pada pintu masuk ruang samping sebelah kanan tergantung tirai bambu, didepan pintu masuknya terdapat sebuah pelat kayu yang bertuliskan "Tamu yang terhormat, silahkan masuk" Wie Kie-hong berjalan kesana dan menyibak kan tirai bambu.

Dia terus berjalan masuk ke dalam.

Didalam terlihat Bu Tiat-cui sedang tertidur bersandar pada sebuah meja.

Namun dia segera sadar kalau dia sudah salah sangka.

Bu Tiat-cui bukan sedang tertidur di meja, tidak ada seorang pun yang bangun dari ranjang pagi-pagi sekali untuk segera kembali tertidur dimeja.

Apalagi barang-barang di seluruh ruangan itu sangat berantakan, sepertinya telah terjadi suatu perkara disini.

Wie Kie-hong berjalan mendekat untuk memeriksa keadaan Bu Tiat-cui dan segera dia merinding, dia belum pernah melihat kejadian yang seperti ini sebelumnya.

Diantara sepasang alis Bu Tiat-cui sudah tertancap sebatang jarum besi.

Dari keadaan jarum yang terlihat, dapat diduga kalau jarum itu sangat panjang.

Paling sedikit panjangnya bisa mencapai empat puluh centimeter.

Sekarang yang terlihat diluar keningnya hanya tinggal lima centimeter saja.

Jarum itu sudah menembus otaknya sejauh tiga puluh lima centimeter.

Tidak terlihat setetes darahpun disana.

Bu Tiat-cui meninggal dengan sangat bersih.

Sepertinya pelakunya benar-benar sangat kejam.

Wie Kie-hong sama sekali belum melupakan tugas yang sudah diberikan padanya.

Namun sayang dia tidak menemukan kotak yang harus diberikan padanya.

Mungkin juga kotak itu sudah direbut oleh orang lain.

Apa yang sedang dikerjakan oleh Bu Tiat-cui sebelum dia meninggal" Wie Kie-hong memeriksa keadaan ruangan dengan sangat teliti.

Dia menemukan bahwa sesaat sebelum meninggal, Bu Tiat-cui sedang menulis.

Kuas bulu tergeletak di lantai, tinta hitam tampak tercecer dimana-mana.

Namun apapun yang sedang ditulisnya, suratnya sudah diambil oleh orang lain.

Wie Kie-hong secara samar-samar dapat membayangkan kejadian pembunuhan yang terjadi pada waktu itu.

Dua orang laki-laki yang berperawak-an tinggi besar berdiri di sisi kiri dan kanannya dan memegangnya dengan kuat.

Orang yang satunya lagi memaksa Bu Tiat-cui untuk menyerahkan kotak yang dicarinya.

Dia menempelkan jarum panjang itu diantara kedua alisnya untuk mengancam Bu Tiat-cui.

Kalau tebakan Wie Kie-hong tidak salah, sepertinya pelakunya sudah mendapatkan barang yang dicarinya.

Kalau tidak, dia tidak mungkin membunuh Bu Tiat-cui.

Berdasarkan keadaan ruangan ini, Wie Kie-hong kembali menebak.

Bukan Bu Tiat-cui yang ter-paksa memberitahukan tempat kotak itu disembunyi-kan, namun si pelaku kejahatan sudah berhasil menemukan kotak itu sendiri dengan mengobrak-abrik semua barang-barang yang ada didalam kamar.

Wie Kie-hong merasa tidak perlu berada didalam ruangan itu lebih lama lagi.

dia harus cepat-cepat kembali pada Leng Souw-hiang dan melaporkan semua kejadian yang sudah dialaminya, dia akan melihat apakah Leng Souw-hiang memiliki jalan lain untuk menyelesaikan masalah ini.

Dia segera melangkah keluar.

Namun sewaktu dia sudah keluar dari bangunan, ketika masuk kedalam taman, tiba-tiba saja dia berhenti.

Sewaktu dia masuk ke dalam, dia tidak menutup pintu masuk taman.

Namun sekarang pintu masuk taman sudah tertutup dengan rapat.

Juga pada waktu itu dia sama sekali tidak merasakan ada angin yang bertiup.

Kalau misalnya memang daun pintu menutup karena tertiup angin, Wie Kie-hong pasti sudah mendengar suara pintu yang terbanting menutup.

Dia sudah menguasai ilmu silat selama puluhan tahun, semua pendekar yang menguasai ilmu silat pasti akan memiliki firasat bahwa ada sesuatu yang salah disini.

Oleh karena itu Wie Kie-hong menduga ada dua kemungkinan ...

kesatu sewaktu dia pertama masuk keruang pinggir didalam bangunan, seseorang masih berada di ruang tengah.

Dia memanfaatkan kesempatan ketika Wie Kie-hong berada diruang pinggir, diam-diam melarikan diri keluar, setelah itu dia menutup pintu.

Yang kedua adalah saat ini masih ada seseorang di dalam.

Mungkin dia berniat untuk berbuat sesuatu, sehingga dia sengaja menutup pintu masuk agar orang-orang yang lewat diluar tidak akan memperhatikan apa yang terjadi didalam.

Wie Kie-hong yakin bahwa kemungkinan kedua lebih masuk akal.

Kalau musuh cepat cepat pergi, dia tidak mungkin diamdiam keluar dengan menutup pintu.

Peluangnya sangat kecil.

Menutup pintu dari luar kemungkinan akan menimbulkan suara, bukankah itu akan membuat orang lain lebih curiga" Sekarang Wie Kie-hong sudah mempersiapkan diri, dia segera berjalan keluar.

Benar saja, tiba-tiba ada orang yang datang menyelinap dan berhenti dihadapan Wie Kie-hong.

Namun dugaannya tidak seratus persen tepat.

Yang keluar hanya satu orang saja, dan orang itu tidak terlihat akan menyerang.

Orang itu sepertinya berumur sekitar tiga puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan terkesan sangat kasar, gerakgeriknya ringan dan gesit.

Di sebelah tangannya memegang secarik surat.

Dia segera mengangkat tangan yang memegang surat dan menyodorkannya pada Wie Kie-hong.

Wie Kie-hong langsung mengerti apa yang diinginkan oleh orang itu.

Wie Kie-hong mengambil surat.

Di amplop surat tidak tertulis sepatah katapun, setelah surat dikeluarkan dari amplop, di atas kertas surat hanya tertulis: "Semua fitnah ada permulaannya, semua hutang pasti ada pemiliknya.

Tidak ingin menyulitkan orang yang tidak terlibat.

Juga tidak mengijinkan orang lain ikut campur tangan.

Aku mengharapkan anda tahu diri! Peringatan dari: Thiat-yan (Walet Besi)." Setelah selesai membaca surat ini, orang yang mengantarkan surat tidak segera pergi, tampak dia sedang menunggu Wie Kie-hong untuk mengatakan sesuatu.

"Siapa yang sudah menyuruhmu untuk mengantarkan surat ini?" "Thiat-yan" "Apakah Bu Tiat-cui dibunuh Thiat-yan?" "Tidak tahu" "Baiklah, antarkan aku menemui Thiat-yan" "Mohon maaf, aku tidak mendapat perintah untuk melakukan hal ini" Wajah Wie Kie-hong tampak sedikit berubah, sepertinya dia berpikir hendak melakukan sesuatu, namun dia tidak segera bertindak.

Dia tidak gegabah.

Dia bisa melihat, tidak masalah muslihat apapun yang akan digunakannya, orang ini tidak mungkin akan mengkhianati tuannya.

"Kau sedang menunggu apa?" suara Wie Kie-hong tetap terdengar tenang.

"Menunggu jawabanmu" Surat yang ada ditangan Wie Kie-hong mulai disobek-sobek tapi tidak dibuang.

Setelah habis disobek dia berkata dengan dingin: "Ini adalah jawaban dariku.

Kalau suatu hari nanti Thiatyan jatuh ke dalam tanganku, aku pun pasti akan menyobeknyobeknya seperti surat ini..." Setelah mengatakan ini, Wie Kie-hong terus berjalan keluar.

Setelah membuka pintu di taman, dia melihat diluar masih ada empat orang lagi.

Ada yang berdiri, ada yang berlutut, ada yang berjalan mondar-mandir.

Dilihat sekilas mereka tampak seperti pejalan kaki yang kebetulan sedang lewat, namun sebenarnya mereka pasti orang yang diutus oleh Thiat-yan.

Kalau saja tadi dia turun tangan menyerang, tampaknya dia tidak akan mudah memenangkan perkelahian.

Di mulut gang San-poa, Wie Kie-hong kembali menyewa sebuah kereta kuda.

Dia meminta sais kuda agar cepat mengantar kembali pada keempat blok rumah bertingkat di sebelah timur.

Dia menyadari bahwa Thiat-yan tidak hanya memiliki tenaga yang sangat besar, namun gerakannya juga bisa sangat cepat.

Jelas terlihat kalau dia sudah menyusun tipu muslihat dengan baik dan sudah sejak lama mempersiapkan semuanya.

Sepintas saja sudah terlihat kemam-puannya yang luar biasa, dan lagi dari surat yang diberikan padanya bisa terlihat kalau pembunuhan yang tadi terjadi bukanlah yang terakhir tapi sebuah awal.

Dia berencana untuk berunding dengan ayah angkatnya sampai tuntas.

Dia juga ingin mengetahui, mengapa bisa terjadi hal seperti ini.

untuk menghadapi seorang musuh yang kuat, dia harus mengerti asal-usul kejadiannya.

Sekarang Thiat-yan sudah menjadi musuh nomor satu Wie Kie-hong.

Wie Kie-hong sudah kembali ke gang tempat tinggal ayah tirinya.

Dia melihat bahwa tempat kediaman Leng Souw-hiang kedatangan seorang tamu, karena di depan pintu masuk ada seekor kuda berwarna putih yang diikat disana.

kuda ini sangat dikenalnya dengan baik.

Pemilik kuda ini adalah Tu Liong.

Dia sebenarnya berasal dari mongolia.

Karena nama aslinya terlalu panjang untuk diingat, oleh karena itu dia diberikan nama mandarin sesuai tata bahasa Han yang pendek dan sederhana.

Tu Liong berperawakan tinggi besar, dia sangat senang bertarung, terutama dalam pukulan tangan kosong, dia benar-benar sangat mahir.

Tu Liong adalah pengawal Cu Siau-thian yang sangat termashyur di Pakhia, mengenai Cu Siau-thian, Wie Kie-hong tidak terlalu banyak mengetahui seluk beluknya.

Dia hanya tahu kalau Leng Souw-hiang sangat sombong pada orang lain.

Namun pada Cu Taiya yang satu ini dia benar-benar menaruh hormat, dia sangat kagum pada Tu Liong.

Sekarang ini setelah melihat kuda putih itu, dia cepat-cepat berlari masuk kedalam.

Walaupun Tu Liong turunan Mongolia, namun dia sudah berbaur dengan budaya Han sejak lama.

Yang tersisa dari kesan Mongolianya adalah tampang dan perawakannya, melihat Wie Kie-hong, dia cepat-cepat berdiri menyambutnya.

Dia merangkupkan tangan didepan dada, dan berkata dengan penuh perasaan: "Kie-hong, kau sudah pulang?" "Tu Toako, sudah berapa lama disini?" "Sudah lumayan lama.

Cu Taiya mendengar bahwa disini telah terjadi sebuah perkara, oleh karena itu dia menyuruhku untuk datang kemari dan mencari tahu.

Namun aku tidak dapat mencari tahu terlalu banyak, karena Leng Taiya tidak mau menemuiku.

Ini....

bagaimana aku bisa pulang kembali untuk melapor kalau aku tidakbisa menemuinya?" "Tu Toako, kau harus maklum pada hal ini.

ayah angkat sudah tua, dan lagi dia baru saja terluka parah, dia mengalami shock yang sangat berat.

Semangatnya pastilah masih sangat labil.

Dia harus banyak beristirahat!" "Apakah kau melihat siapa yang melakukan semua ini?" "Tidak" "Apakah tidak seorang pun yang melihat pelaku kejahatan ini masuk ke rumah?" "Untuk apa Tu Toako menanyakan semua ini?" "Baiklah, aku tidak bertanya lagi....Kie-hong, kau tadi pergi kemana?" "Mengerjakan tugas kecil yang diberikan ayah....

betul juga, Tu Toako, silahkan anda duduk sebentar, aku akan masuk dan melihat keadaannya." Leng Souw-hiang sudah menyuruh beberapa orang untuk berjaga di depan pintu masuk kamarnya.

Wie Kie-hong tentu saja bisa masuk tanpa dihalangi.

Setelah Leng Souw-hiang melihat dirinya, raut wajahnya langsung berubah.

"Apakah urusannya sudah beres?" "Ayah, Bu Tiat-cui sudah mati" "Hah?" "Ada orang yang mendahuluiku kesana....pada waktu aku pergi meninggalkannya, ada orang yang memberiku surat ini.

Coba lihat!" Setelah Leng Souw-hiang selesai membaca suratnya, kepalanya langsung mengucurkan keringat dingin, hatinya seperti sudah diselimuti rasa takut yang pekat.

"Ayah! sebenarnya apa yang terjadi?" "Isi surat ini harus kau ingat.

Sapu salju yang ada dihalaman, jangan perdulikan salju yang berada diatas genting....apakah Tu Liong masih ada diluar?" "Masih" "Apakah kau memberitahukan sesuatu padanya?" "Sepatah katapun tidak" "Suruhlah Tu Liong pulang, dan beritahu Cu Taiya, luka kecil ini tidak perlu diingat-ingat, setelah sembuh nanti boleh tengok kembali." "Baiklah" Wie Kie-hong segera melakukan perintah ayahnya, dia segera pergi keluar kamar dan memberitahukan Tu Liong apa yang sudah diperintahkan ayahnya.

Tu Liong segera mohon diri, namun dia meminta Wie Kie-hong untuk menemani dan mengantarnya keluar.

"Kie-hong" sambil berjalan Tu Liong mengajak bicara, "aku ingin memberitahumu tentang suatu hal.

Setelah pelakunya melukai empat orang, dia masih ingin membunuh satu orang lagi, barulah tercapai keinginannya, apakah kau tahu siapa orang yang kelima?" "Siapa?" "Majikanku Cu Taiya" "Benarkah...?" "Aku tidak mungkin berbohong didepanmu.

Aku sekarang datang kemari, tujuan utamanya adalah untuk berbicara padamu.

Kie-hong, berilah aku sedikit petunjuk." Wie Kie-hong hanya terdiam, dia tidak tahu harus bagaimana menjawab.

"Sekarang ini kau tidak terbuka dan terus terang seperti dahulu" "Hatiku terasa sangat berat...

Tu Toako! Kalau Cu Taiya sudah tahu bahwa dia akan menjadi sasaran penyerangan selanjutnya, dia pasti tahu siapa pelakunya." "Aku mengerti apa yang kau maksud.

Semua itu hanya baru berupa dugaan, harus diteliti lebih dalam lagi.

Kie-hong, hanya memberi sedikit bocoran saja sudah cukup" "Ayah tidak memberitahu apapun padaku.

Namun berdasarkan dugaanku, pelakunya kemungkinan besar adalah seorang wanita, seorang nona yang masih sangat muda." Walaupun Tu Liong hanya meminta sedikit bocoran informasi, namun apa yang dikatakan oleh Wie Kie-hong tampak sangat memuaskannya.

Seperti-nya sepotong kalimat ini, apa yang dia ingin dengar, dia segera berkata: "Ini sudah cukup....

Ini sudah cukup, aku sekarang pergi.

Titip salamku untuk Leng Taiya nanti." Tu Liong menaiki kuda putihnya dan mulai memacunya pulang, dia memacu kudanya sangat cepat, membuat Wie Kiehong merasa sedikit aneh.

Dia berpikir hendak menyusul untuk menanyakan keadaannya sampai jelas, namun dia tidak berbuat demikian.

Tu Liong adalah orang yang selalu bergerak cepat.

Biasanya ketika sedang bertemu dengan Wie Kie-hong pun dia selalu menjaga jarak, sampai-sampai kalau Wie Kiehong ingin tahu apa-apa darinya, tidak selalu yang dia tanyakan bisa langsung dijawab olehnya.

Pengurus tuan besar yang tinggal di dalam kediaman Leng yang bernama Su-cie datang menghampiri, dialah pelayan yang mengantarkan perem-puan muda itu menemui Leng Taiya.

Perlahan-lahan dia berkata: "Wie Siauya, ada sedikit hal yang ingin aku bicarakan denganmu." "Oh?" Wie Kie-hong memperhatikan bahwa sikap Su-cie sangat serius, dia sedikit merasa khawatir.

"Wie Siauya, apakah Leng Taiya tidak memberi tahumu siapa yang sudah melakukan kejahatan padanya?" "Tidak" "Aneh" Kenapa Taiya tidak mau memberi-tahukan padamu?" "Sebenarnya walaupun tidak diberitahu, tapi kami semua juga sudah bisa menebaknya, dia pasti tamu wanita muda yang datang pagi itu." "Wie Siauya, bukan aku ingin melalaikan tanggung jawabku, namun berdasarkan pengamatan-ku, belum tentu perempuan itu pelakunya.

Pada waktu dia keluar, aku masih melihat dia mohon pamit dengan tuan besar" "Apa kau melihat dengan mata kepalamu sendiri?" "Tidak, aku menunggu mereka berdua diluar kamar" "Apakah waktu itu kau melihat Gihu (ayah angkat) ku?" "Tidak.

Aku hanya melihat tamu perempuan itu keluar dari ruangan.

Sambil memberi hormat, dia berkata pada tuan besar agar tetap tinggal ditempat-nya." "Pengurus Su, ini hanya tipu muslihat menghindari kesulitan yang lebih besar, dia tidak ingin membuat keadaan menjadi kacau." "Wie Siauya, kata-katamu masuk akal juga, tapi...

tapi...

apakah tidak sakit kalau kehilangan sebelah tangan" Kenapa aku tidak mendengar tuan besar menjerit kesakitan?" Wie Kie-hong mengkerutkan kedua alisnya sampai nyaris bersatu.

Dia tidak bisa memikirkan alasan yang masuk akal untuk menjawab pertanyaan ini.

Kediaman Leng Taiya dipenuhi oleh orang-orang yang mahir dalam ilmu silat.

Asalkan Leng Souw-hiang memanggil, tidak masalah betapapun lihainya perempuan itu, dia tidak mungkin bisa menang.

Namun Leng Souw-hiang sama sekali tidak mengeluarkan suara, dia benar-benar pasrah, ini...

?" "Pengurus Su, aku dengar didekat tubuh ayah angkat ditemukan semacam barang.

Apakah barang itu ditinggalkan oleh pelaku kejahatan?" "Iya.

Itu adalah ukiran seekor walet.

Walet yang terbuat dari besi" "Coba bawa kemari, aku ingin melihatnya" "Taiya sudah menyimpannya.

Dia sudah berpesan padaku agar tidak memberitahukan pada orang lain" "Thiat-yan...

Thiat-yan! Tidak salah, orang yang sudah melukai ayah angkat adalah Thiat-yan.

Pengurus Su, pasti perempuan itu orangnya.

Kau tidak usah merasa bersalah.

Pelakunya pun tidak akan menggores-kan tulisan dikepalanya Akulah pelakunya,' tapi aku ingin meminta suatu hal padamu, beberapa hari ini kau jangan keluar rumah, tidak masalah pergi kemanapun juga, kau harus ditemani oleh beberapa orang pengawal.

Kau pernah melihat Thiat-yan dengan mata kepalamu sendiri, kemungkinan besar dia akan membunuhmu untuk menutup mulut." "Benarkah?" pengurus Su terloncat kaget "Pengurus Su, ingatlah.

Kau harus tetap hidup sebagai saksi pelaku kejahatan" 
0-0-0

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar