Kelelawar Tanpa Sayap Bab 18 Kembali ke kuil

Bab 18 Kembali ke kuil

Tiga bilah golok Kelelawar berjajar menjadi satu, tampak bentuknya persis sama satu dengan lainnya.

Dengan pandangan tajam si Kelelawar menatap ke tiga bilah golok itu tanpa berkedip, tiba tiba ujarnya: "Tang-shia, coba kau lihat, dimana letak perbedaan dari ke tiga bilah golok itu?

" "Berbicara dari soal ukuran, bentuk maupun bobot, hampir semuanya sama tanpa perbeda an, satu satunya yang berbeda pada ke tiga golok ini rasanya hanya pada gambar yang terukir dipelindung tangan berbentuk Kelelawar itu" "Tahukah kau kalau ukiran itu bukan gambar melainkan huruf sansekerta?

" "Aku hanya tahu kalau huruf yang terukir pada golok Kelelawar milikku adalah huruf "Po" (mustika)" "Dari golok yang kuperoleh dari tangan si Kelelawar, huruf sansekerta yang tertera disitu adalah huruf Si (kuil), kita pernah beranalisa bahwa rangkaian huruf tersebut merupakan petunjuk dimana harta karun itu disimpan, bila ke tiga belas tulisan yang tertera pada tiga belas bilah golok Kelelawar disatukan maka akan tercipta sebuah kalimat yang menunjukkan tempat penyimpanan itu" "Karena itulah kau berupaya dengan segala cara untuk memancing si Kelelawar mau mengaku, kepada siapa saja ke dua belas bilah golok itu diberikan?

" sambung Suma Tang-shia.

"Padahal hal ini bukanlah satu pekerjaan mudah, hingga sekarang, kita hanya mampu mendapatkan tiga bilah diantaranya" "Bila ditambahkan golok milik Hek Botan dan Pek Huyung, paling juga baru lima bilah, sekalipun kita dapat merangkai ke lima huruf itu, belum tentu huruf huruf tadi dapat dirangkai menjadi sebuah kalimat yang dapat kita pahami artinya" "Aku rasa tiga bilah pun sudah lebih dari cukup" tukas si Kelelawar cepat.

"Oya?

" "Coba kau periksa, huruf apa yang tertera pada golok Kelelawar milik Lau Ci-he?

" Sekarang Suma Tang-shia baru memperhatikan dengan seksama ukiran huruf Sansekerta yang terukir diatas golok tersebut.

Kemudian dengan suara tercengang teriaknya: "Aaah, ternyata huruf Liong (naga)" "Benar, memang huruf Liong.

Tang-shia, sekarang kau sudah mengerti bukan?

" Tanpa berbicara Suma Tang-shia mengangguk.

Kembali si Kelelawar berkata: "Bila dugaan kita tak salah maka bila ke tiga belas huruf yang tertera pada golok Kelelawar itu dirangkai jadi satu, maka semestinya kalimat yang dirangkai adalah , , , , ,,

mestika disimpan di ,,

,,

kuil naga" "Kelihatannya memang begitu" "Didalam kenyataan, manusia semacam Kelelawar memang luar biasa senangnya dengan segala macam bangunan kuil, mungkin dia anggap melakukan perbuatan rahasia didalam sebuah kuil jauh lebih leluasa dan sukar ditemukan orang lain.

Tapi bangunan kuil semacam kuil Thian- liong-ku-sat (kuil naga langit) semuanya berjumlah tiga belas buah yang tersebar di utara sebanyak enam buah dan wilayah selatan sebanyak tujuh tempat, bukan satu pekerjaan yang gampang untuk melacak setiap bangunan kuil tersebut" "Tentu saja sulit" "Dapat menemukan kuil Thian-liong-ku-sat sesungguhnya merupakan hasil ingatanmu yang luar biasa, setelah dibebaskan oleh si Kelelawar ternyata kau masih dapat berjalan balik ke tempat penyekapanmu, hal ini merupakan sebuah kejutan.

Hanya sayangnya, walaupun kita pernah menaruh curiga kalau harta karun itu kemungkinan besar disimpan dalam kuil Thian- liong-ku-sat, namun setelah digeledah sekian lama, hasilnya tetap nihil.

Gara gara itulah kita jadi kepikiran untuk mengumpulkan kembali ke tiga belas bilah golok Kelelawar" Setelah tertawa getir, lanjut si Kelelawar: "Kalau ingin melacak arti kalimat itu dari dua bilah golok saja, sudah jelas hal ini mustahil bisa berhasil" "Setelah huruf po (mustika) mustinya huruf ciong (disimpan), setelah huruf Si (kuil) semestinya huruf wan (halaman), kini kita peroleh lagi huruf Liong (naga), itu berarti diatasnya adalah huruf Thian (langit),,,”

 "Betul, dan sekarang paling tidak kita berani memastikan kalau harta karun itu tersimpan didalam kuil naga langit (thian-liong-si)" "Tapi huruf Liong bisa dimaksudkan semacam benda mustika, mungkin juga nama sebuah tempat, dibawah huruf itu belum tentu huruf Si (kuil) dan diatasnya belum tentu huruf Thian (langit)" Si Kelelawar menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya: "Bukannya tanpa alasan kita merasa begitu yakin" Suma Tang-shia tidak bicara, ia termenung.

Si Kelelawar segera menjelaskan: "Aku percaya kaupun tak akan menyangkal kalau si Kelelawar telah mengobarkan banyak pikiran, tenaga serta harta untuk membangun kerajaannya dalam kuil Thian-liong-ku-sat, padahal dia hanya seorang buta, jadi tak mungkin dia membangun kesemuanya itu dengan andalkan tenaganya seorang diri.

Bisa jadi untuk membangun semuanya itu, dia telah melibatkan banyak tukang serta tenaga kerja, namun ketika bangunan itu selesai dibangun, dia pun membantai habis semua pekerja itu untuk menghilangkan saksi.

Tapi pernahkah di kota ini terjadi kehebohan karena lenyapnya sejumlah besar tukang bangunan" Walaupun mereka mungkin diundang bekerja dengan bayaran tinggi atau ada juga yang datang secara sukarela, masa lenyapnya orang orang itu tak sampai menimbulkan kehebohan" Sudah jelas pembangunan dalam kuil Thian-liong-ku-s at telah melalui sebuah perencanaan yang masak, manusia sepintar Kelelawar seharusnya tak akan mengulang sebuah pekerjaan yang sama" Setelah menghela napas tambahnya: "Padahal sejak awal kita seharusnya sudah berpikir sampai ke situ, tapi kita tidak melakukannya" "Karena selama ini kita selalu menempatkan si Kelelawar sebagai orang idiot hingga hampir saja lupa kalau dia sesungguhnya adalah orang buta" "Betul, betul!

" "Sekalipun kita sudah pastikan kalau harta karun itu tersimpan dalam kuil Thian-liong- ku-sat pun tak ada gunanya, bukankah nyaris kita sudah bongkar seluruh bangunan kuil itu tanpa hasil?

" Setelah menghela napas panjang, kembali Suma Tang-shia melanjutkan: "Bila harta karun itu betul betul tersimpan dalam kuil Thian-liong-ku-sat, seharusnya benda mustika itu telah berhasil kita temukan" "Jika harta itu bisa ditemukan segampang itu, si Kelelawar tak usah menggunakan banyak waktu, pikiran dan tenaga untuk menciptakan ke tiga belas bilah golok Kelelawar itu" Mau tak mau Suma Tang-shia harus sependapat dengan perkataan itu.

Setelah tertawa getir, ujar si Kelelawar: "Tampaknya, walaupun kita tak usah mendapat semua dari ke tiga belas bilah golok Kelelawar itu, paling tidak berapa bilah yang terakhir harus kita dapatkan, dengan begitu harta karun baru bisa kita peroleh" Suma Tang-shia hanya tertawa hambar, tidak menjawab.

Maka si Kelelawar berkata lebih lanjut: "Walau begitu, asal kita sudah bisa memastikan kalau tempat yang dimaksud adalah kuil Thian-liong-ku-sat, seharusnya persoalan ini bisa diselesaikan jauh lebih mudah" "Kalau soal itu mah tergantung bagaimana nasib dan rejeki kita" "Bukankah nasib kita selama ini baik sekali?

" "Hingga detik ini memang masih terhitung sangat bagus" "Seandainya Siau Jit sekalian pergi mencari Hek Botan dan Pek Hu-yung, ini berarti dalam tiga sampai lima bulan mereka tak akan kembali kemari, cukup waktu bagi kita untuk bertindak" Tiba tiba sinar mata tajam yang menggidikkan memancar keluar dari mata kanannya, ia melanjutkan: "Siapa tahu pada malam ini juga kita sudah berhasil mendapatkan harta karun itu" "Malam ini?

" "Dalam melaksanakan pekerjaan semacam ini, terkadang sedetik pun tak boleh terlambat" "Kalau toh Siau Jit baru bakal kembali berapa bulan lagi, rasanya kita pun tak usah kelewat terburu-buru" "Jerih payah selama sepuluh tahun, Tang-shia, masa sampai sekarang pun kau belum bisa merasakan perasaan hati ayahmu?

" Ternyata kepada Suma Tang-shia, si Kelelawar menyebut diri sebagai ayah, kalau dia bukan Suma Tionggoan, lalu siapa lagi" Suma Tang-shia menghela napas panjang.

"Aaai, aku tahu, kau sudah tak kuasa menahan diri" Si Kelelawar tertawa, lanjutnya: "Sekarang, aku bahkan mempunyai satu firasat, kali ini si Kelelawar pasti akan membantu kita untuk menemukan tempat penyimpanan harta karun itu" "Kelelawar?

" "Kali ini kita harus menggunakan segenap kemampuan untuk memaksa semua ingatan dan kesadarannya pulih kembali" "Mungkinkah?

" "Aku mempunyai berapa cara yang selama ini tak pernah kugunakan, karena kuatir jika tak tahan dia bakal tewas seketika, tapi sekarang aku tak ambil peduli lagi, cara cara itu harus dicoba" "Jika si Kelelawar benar benar mampus , , , , ,,

" "Sejak dulu orang ini sudah pantas mati, masih beruntung dia bisa mendapat tambahan hidup selama belasan tahun" Suma Tang-shia terbungkam.

Sambil menyeringai seram kembali Kelelawar berkata: "Sekalipun harta karun itu tidak tersimpan dalam kuil Thian-liong-ku-sat, kitapun tak usah kuatir, sampai waktu kita masih bisa mencari ke sepuluh orang gadis yang lain dan mengumpulkan golok golok Kelelawar milik mereka" Suma Tang-shia tertawa getir.

Jika Kelelawar mati, sekalipun berhasil menemukan Hek Botan dan Pek Hu-yang, paling banter juga hanya menambah dua bilah golok Kelelawar, sisanya yang delapan bilah akan dicari kemana" Kelelawar tidak menaruh perhatian atas perubahan wajah Suma Tang-shia, katanya lebih jauh: "Bawalah golok golok itu dan ikut aku menuju kuil Thian-liong-ku-sat" "Tidak, lebih baik aku tetap tinggal disini" tampik Suma Tang-shia sambil menggeleng.

"Kalau tidak mau yaa sudah, toh perjalanan kali ini belum tentu akan memperoleh hasil" Dengan sedih Suma Tang-shia membalikkan badan, bergeser dari tempat duduknya dan menggeser kembali meja rias itu ke tempat semula.

Kemudian dia mengambil lagi buku yang tergeletak dimeja dan membacanya kembali.

Menyaksikan tingkah laku gadis itu, si Kelelawar hanya menggeleng sambil menghela napas, setelah memungut kembali ke tiga bilah golok Kelelawar, dia melompat keluar lewat jendela.

Bagai hembusan segulung angin, sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.

Dengan cepat cahaya lentera yang bergoyang pun menjadi tenang kembali.

Walaupun Suma Tang-shia memegang buku, tatapan matanya tak pernah dialihkan keatas buku tersebut.

Lama sekali ia duduk termangu, kemudian sambil menghela napas tiba tiba katanya: "Kenapa kau belum turun juga?

" Baru selesai ia berkata, terdengar suara lirih diatas genting lalu terlihat sesosok bayangan manusia menerobos masuk lewat jendela.

Seorang gadis muda.

Ciu Kiok!

 Dia melayang turun dihadapan Suma Tang-shia, dengan sepasang matanya yang sayu dia awasi perempuan itu tak berkedip.

Dari balik pupil matanya, terpancar perasaan ngeri, seram, disamping perasaan heran dan ragu yang besar.

Paras mukanya pucat pias bagai kertas, tubuhnya yang lemah bagai rumput dimainkan angin musim gugur, seakan tenaga untuk berdiri pun tak ada.

"Kenapa kau datang kemari?

" tegur Suma Tang-shia sambil meletakkan kembali bukunya.

ll "Inilah hari pertama aku tinggal dalam perkampungan Suma-san-ceng , , , , ,,

nada suara Ciu Kiok kedengaran gemetar.

"Karena itu kau tak bisa tidur bukan?

" tukas Suma Tang-shia.

"Semula aku ingin jalan jalan ditengah halaman, siapa tahu ketika membuka pintu, kusaksikan ada sesosok bayangan manusia meluncur melewati pagar langsung menuju kemari" "Dari bentuk tubuhnya yang mirip Kelelawar, kau sangka Kelelawar datang menyerang, maka cepat kau menyusul kemari, maksudnya ingin memperingatkan aku" Ciu Kiok gigit kencang bibirnya tanpa menjawab.

Sambil menghela napas ujar Suma Tang-shia: "Tentu saja kau tahu bahwa ilmu silatmu cetek dan bukan tandingan Kelelawar, bila sampai ketahuan maka nyawamu pasti akan melayang" Ciu Kiok masih membungkam.

Suma Tang-shia berkata lebih jauh: "Kau tentu tahu juga bahwa nasib baik seseorang tidak selalu berulang, bila sampai bertemu Kelelawar lagi, besar kemungkinan nyawa mu bakal dicabut!

" Ciu Kiok makin kencang menggigit bibir.

"Tapi kau tetap nekad datang kemari, kenapa?

" tanya perempuan itu.

Bibir Ciu Kiok yang digigit mulai terluka, darah mulai meleleh keluar.

Suma Tang-shia segera mewakilinya untuk menjawab: "Karena kau tak bisa berpeluk tangan membiarkan jiwaku terancam, kau berharap bisa menyumbangkan sisa tenaga mu untuk bantu aku" Ciu Kiok masih membungkam.

Suma Tang-shia menghela napas panjang.

"Orang dari golongan pendekar memang tetap berjiwa pendekar, sekarang kau sudah tahu kalau aku satu komplotan dengan Kelelawar, menyesalkah kau dengan apa yang telah kau lakukan?

" "Tidak!

" teriak Ciu Kiok, "walaupun aku salah menilai orang, tapi tak pernah menyesal dengan apa yang telah kulakukan!

" "Bagus, anak baik!

" "Aku tahu, hidupku tak bakal lama lagi, tapi ada berapa hal tolong jawablah sejujurnya, agar aku bisa mati dengan mata terpejam!

" "Tanyalahl" "Kelelawar tadi apakah bukan Kelelawar tanpa sayap yang sesungguhnya?

" "Benar" "Siapa sebenarnya orang itu?

" "Ayahku!

" "Suma Tionggoan" Bukankah dia sudah mati?

" "Aku yang mengatakan kalau dia sudah mati, sedang kalian percaya kalau dia sudah mati karena kalian percaya dengan perkataanku" "Jadi selama ini kau selalu berbohong!

" "Benar" "Apa tujuanmu?

" "Harta karun milik Kelelawar!

" "Jadi apa yang kalian bicarakan tadi memang kenyataan?

" "Betul, semuanya!

" Suma Tang-shia mengangguk, "apalagi yang ingin kau ketahui?

" "Dendam sakit hati apa yang sudah terjalin antara siocia kami dengan kalian?

" "Sama sekali tak ada" "Lantas mengapa kalian berbuat begitu?

" "Ketika awal kejadian, aku sama sekali tak tahu, kalau tidak, aku pasti akan mencegahnya" "Bohong, kau bohong!

" jerit Ciu Kiok seperti orang kalap.

Suma Tang-shia tidak menyangkal, ia membungkam.

Sambil menggigit bibir kembali Ciu Kiok bertanya: "Kau telah membohongi siau kongcu, apakah kau tidak menyesal" Tidak malu?

" Suma Tang-shia tertawa hambar.

"Apa pun yang kulakukan sekarang, tak ada satu pun yang dapat kurasakan lagi, sebab sejak sepuluh tahun berselang, perasaanku telah kaku, membeku, telah hilang lenyap" Ciu Kiok menatap tajam wajah Suma Tang-shia, sesaat kemudian teriaknya lagi: "Kau sedang berbohong lagi, aku dapat melihatnya" "Hanya masalah ini saja yang ingin kau ketahui?

" tukas Suma Tang-shia tiba tiba.

"Sekarang kau boleh turun tangan membunuhku" "Tidak" Suma Tang-shia menggeleng, "bila aku ingin membunuhmu, sudah kulakukan sewaktu kau terjatuh diatas atap rumah tadi" Setelah menghela napas panjang, lanjutnya: "Bahkan asal aku buka suara, biar kau mempunyai sepuluh lembar nyawa pun bakal mati semua" Ciu Kiok tertegun, berdiri terperangah.

"Sekarang kau boleh tinggalkan tempat ini" kata Suma Tang-shia lagi sambil mengebaskan bajunya.

"Tinggalkan tempat ini?

" untuk kesekian kalinya Ciu Kiok tertegun.

"Kau adalah anak baik, karena itu nasibmu akan selalu baik, andaikata kedatanganmu bukan bersamaan dengan suara mesin rahasiaku berbunyi, tak nanti kehadiranmu bisa mengelabuhi dia, tak mungkin kau bisa hidup sampai sekarang" Dengan ragu dan tak habis mengerti Ciu Kiok mengawasi Suma Tang-shia.

Perempuan itu berkata lebih lanjut: "Menurut kau, bagaimana aku bisa mengetahui kehadiranmu" Karena aku telah melihat bayangan tubuhmu!

" "Bayangan?

" "Sewaktu kau melompat naik ke atap rumah tadi, sinar rembulan membiaskan bayangan tubuhmu diatas tiang yang berada diluar jendela" Lagi lagi Ciu Kiok tertegun.

"Ilmu meringankan tubuh yang kau miliki cukup bagus" kata Suma Tang-shia lagi, "hanya sayang pengalamanmu dalam dunia persilatan tidak cukup, mencuri angin tidak mencuri rembulan, mencuri hujan tidak mencuri salju, kau pasti pernah mendengar kata kata ini bukan?

" Ciu Kiok tetap membungkam.

"Sekarang kau boleh pergi dari sini" sekali lagi Suma Tang-shia mengebaskan ujung bajunya.

"Apakah kau tidak kuatir aku bocorkan rahasia ini kepada Siau kongcu?

" Suma Tang-shia tidak menjawab.

Tiba tiba Ciu Kiok berseru lagi: "Pasti hal ini merupakan satu perangkap, kau pasti sedang mempersiapkan satu perangkap busuk lagi?

" Suma Tang-shia tertawa hambar.

"Kalau sudah tahu begitu, kau seharusnya cepat cepat pergi mencari Siau Jit dan memberitahukan rahasia ini kepadanya, agar dia tahu diri dan menghindar dari bencana itu" Dengan termangu Ciu Kiok mengawasi Suma Tang-shia, sesaat kemudian kembali ia bertanya: "Kau benar benar membiarkan aku pergi dari sini?

" "Tentu saja" buku itu.

"Kau jangan menyesal nantinya" seru Ciu Kiok.

Suma Tang-shia kembali menghela napas, untuk kesekian kalinya dia memungut Suma Tang-shia tidak ambil peduli lagi, tatapan matanya kembali dialihkan keatas buku.

Ciu Kiok segera membalikkan tubuh dan membuka pintu, tapi hampir pada saat bersamaan ia menjerit keras!

 Seseorang berdiri didepan pintu bagaikan mayat hidup, tiga bilah golok Kelelawar tergantung dipinggangnya, orang itu tak lain adalah Kelelawar tanpa sayap gadungan yang belum lama tinggalkan tempat itu.

Kelihatannya ia sudah cukup lama berdiri disana, ketika pintu terbuka, ia segera membuka mulutnya sambil tertawa menyeringai.

Selama hidup belum pernah Ciu Kiok saksikan senyuman sedemikian seram dan menakutkannya, dia pun belum pernah merasakan ketakut an yang luar biasa seperti saat ini.

Setelah lama tertegun, ia berpaling kearah Suma Tang-shia dan tiba tiba serunya: "Ternyata kau sudah mempersiapkan segalanya, suruh aku tinggalkan tempat ini sebenarnya suruh aku cepat cepat masuk kubur!

" Untuk sesaat Suma Tang-shia tampak terkejut, tapi akhirnya dia hanya bisa menghela napas.

Belum selesai suara helaan napasnya, tenggorokan Ciu Kiok telah digorok hingga putus, tubuhnya terjerembab ke lantai.

Begitu cepat Kelelawar mencabut goloknya, begitu cepat melancarkan serangan dan begitu cepat menyarungkan kembali senjata pembunuhnya.

Ketika golok itu disarungkan, tak setetes darah pun yang melekat, ia segera bungkukkan badan untuk membangunkan mayat Ciu Kiok, lalu didudukkan diatas bangku.

Suma Tang-shia duduk kaku, sama sekali tak bergerak.

Setelah mendudukkan mayat Ciu Kiok, Kelelawar baru menegur: "Mengapa kau tidak menghalangi?

" "Jika aku mampu menghalangi, pasti sudah kuhalangi" jawab perempuan itu hambar.

"Kali ini, kujamin dia tak bakalan bisa hidup terus" "Nasib seseorang memang tak selamanya baik terus" "Kalau sudah memahami teori tersebut, kenapa kau masih tetap membebaskan dia?

" "Kalau memang Siau Jit baru balik setelah tiga sampai lima bulan lagi, biar kubebaskan dirinya pun tak akan berpengaruh apa apa bagi kita bukan?

" ujar Suma Tang-shia hambar.

"Tapi harta karun dalam kuil Thian-liong-ku-sat , , , , , , ,,

" "Bukankah sudah pasti?

" "Paling tidak, mungkin dia bisa merusak rencana kita untuk mengambil harta karun" "Aku tidak pernah mempertimbangkan sampai ke situ" "Benar benar tak pernah?

" "Bohong!

" sikap Suma Tang-shia masih begitu santai.

"Saat ini bukan saat untuk berbelas kasihan" ujar Kelelawar sambil menghela napas, "belas kasihan terhadap musuh sama artinya bersikap kejam terhadap diri sendiri" Suma Tang-shia tidak bicara lagi, ia terbungkam.

"Sudah begitu banyak orang yang terbunuh, kenapa musti sedih karena membunuh seorang lebih banyak?

" ujar Kelelawar lagi.

Tanpa bicara Suma Tang-shia mengangguk.

"Sebenarnya kenapa kau?

" tegur Kelelawar lagi sambil menatap tajam wajah putrinya, "urusan telah berkembang jadi begini, masa kau masih belum dapat bersikap lebih tegas dan kejam?

" Kembali Suma Tang-shia hanya tertawa hambar tanpa menjawab.

"Cepat kau singkirkan jenasah itu dari ruanganmu, jangan membuat masalah lagi" perintah Kelelawar.

Begitu selesai bicara kembali ia berkelebat keluar dari pintu kemudian merapatkannya kembali.

Suma Tang-shia masih duduk tak bergerak ditempat semula, entah berapa lama sudah lewat, ia baru bangkit berdiri dan berjalan menuju ke bawah dinding sebelah kanan.

Sebilah pedang tergantung diatas dinding, pedang mustika penuh bertaburkan permata.

Perlahan dia menurunkan pedang itu kemudian berjalan balik ke tempat semula, duduk kembali, setelah itu baru mencabut keluar pedang miliknya.

Pedang itu panjangnya satu meter dan bening bagai air danau, dibawah timpaan cahaya lentera, tampak sinar bening membias ke mana mana.

Setelah mencabut pedangnya, ia letakkan kembali sarung pedang itu lalu mengambil pedang lain dan disarungkan ke sarung pedangnya semula.

Kemudian sekali lagi dia mengambil kitab itu, kali ini sinar matanya benar benar tertuju diatas buku.

Dia tampak membaca dengan serius, membaca dengan penuh perhatian.

Suasana dalam ruangan pun pulih dalam keheningan yang luar biasa, tentu saja Ciu Kiok sudah tak bisa merecoki atau mengganggu ketenangan Suma Tang-shia lagi.

Darah segar masih meleleh keluar dari luka di leher Ciu Kiok, meleleh ke bawah, membasahi seluruh pakaiannya.

Apakah pemandangan semacam ini pun terhitung aneh".
Oo0oo
Satu li dari situ, tiga ekor kuda sedang berlarian kencang, Siau Jit berada dibarisan paling depan.

Hembusan angin telah mengacaukan rambutnya, membuat pikiran dan perasaannya ikut kalut.

Jalan raya membentang menembusi pepohonan, rembulan yang pucat masih tergantung jauh di angkasa.

Dibawah cahaya rembulan, tidak sulit bagi mereka untuk mengenali jalanan disitu.

Lui Sin dan Han Seng mengikuti dari belakang, setelah berlarian berapa saat, Lui Sin tak kuasa menahan diri lagi, tanyanya: "Kenapa jalanan ini seperti sebuah jalanan yang tak ada habisnya?

" "Karena kau sedang risau dan gelisah" jawab Han Seng.

"Apakah masih jauh?

" "Setelah keluar dari hutan dan berjalan setengah li lagi, seharusnya kita sudah tiba di perkampungan Suma-san-ceng" Tiba tiba Lui Sin seperti teringat sesuatu, kembali ujarnya: "Ciu Kiok masih tertinggal dalam perkampungan Suma-san-ceng, mungkinkah keselamatannya terancam?

" "Seharusnya tidak, sebelum rahasia ini terbongkar, seharusnya dia aman disana" Lui Sin menghela napas panjang.

"Aaai, bocah yang patut dikasihani, aku benar-benar menguatirkan keselamatan jiwanya" "Hingga kini, semua peristiwa yang berlangsung masih merupakan sebuah teka teki, mau kuatir pun tak ada gunanya" ujar Han Seng.

"Aaai, aku hanya berharap apa yang mengganjal dihati kita hanya kecurigaan tanpa dasar, aku berharap dalam kenyataan bukanlah seperti apa yang kita duga" "Aku pun berharap begitu" akhirnya Siau Jit ikut buka suara.

Sementara pembicaraan berlangsung, ke tiga ekor kuda tunggangan itu sudah menerjang keluar dari hutan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar