Kelelawar Tanpa Sayap Bab 15 Ci-he si pendekar wanita

Bab 15 Ci-he si pendekar wanita

 Dibawah cahaya api yang terang benderang, kecuali Lui Sin dan Han Seng tidak ambil peduli, kalau tidak, tak sulit untuk membaca berapa huruf yang terukir diatas panggung.

Sekalipun tulisan itu tidak jelas, lagipula guratannya cetek, namun secara dipaksakan masih bisa dikenali.

II "Hek Botan, Pek Huyong, Lau Ci , , , , , , , , ,,

kontan Lui Sin berkerut kening, "apa pula maksud tulisan itu?

" Hanya delapan huruf yang tertera, sementara dibawah huruf Ci baru muncul satu guratan dan diatas guratan itu masih tersisa kuku yang berdarah.

"Mungkin ke delapan huruf itu mewakili nama dari tiga orang" ujar Siau Jit kemudian, "Hek n Botan , , , , , , , , ,,

Tiba tiba Han Seng menukas: "Hek Botan dari Shantung, Pek Huyung dari Hopak!

" "Bukankah kedua orang bocah perempuan itu sudah lama mengundurkan diri dari dunia persilatan?

" tanya Lui Sin dengan sinar mata berkilat.

"Siapakah mereka itu?

" tanya Siau Jit.

"Mereka adalah dua orang perempuan tersohor dari dunia persilatan banyak tahun berselang, konon ilmu silat mereka bagus, berwajah cantik rupawan, ada suatu masa, nama besar mereka berkibar dimana-mana, tapi kemudian mengundurkan diri dari keramaian dunia, konon dinikahi orang" "Kapan peristiwa itu terjadinya?

" tanya Siau Jit lagi.

"Mungkin sudah belasan tahun" sahut Lui Sin, setelah termenung sejenak, lanjutnya, "aku pernah bertemu Hek Botan, betul, dia memang cantik jelita, tapi kurang jelas sampai dimana kehebatan ilmu silatnya" Kembali Siau Jit termenung tanpa bicara.

Tiba tiba Han Seng berseru: "Jangan jangan yang dimaksud Lau Ci , , , , , , , ,,

mungkinkah Lau Ci-he dari See-hoa-kiam-pay?

" "Mungkin saja orang itu" Lui Sin mengangguk berulang kali, "mereka memang tokoh tokoh terkenal dari masa yang hampir bersamaan" Siau Jit segera mencabut keluar potongan kuku yang tertancap diatas panggung, lalu ujarnya: "Tidak diragukan lagi berapa huruf ini digurat oleh si pemilik kuku, bukankah kuku ibu jari tangan kanan nona Hong terlepas dan hilang?

" "Betull" sahut Lui Sin dengan wajah berubah, dia sambut potongan kuku itu dari tangan Siau Jit, setelah diamati sejenak, katanya lagi: "Seharusnya kuku ini berasal dari ibu jari, karena kita sudah yakin Hong-ji menemui ajalnya ditempat ini, aku rasa hal ini tak perlu diragukan lagi , , , , , ,,

" "Mungkin nona Hong tahu kalau nyawanya bakal melayang, maka dia sengaja mengukir berapa huruf itu dengan harapan kita bisa menemukannya" ujar Siau Jit, "sayang ketika akan mengukir huruf He, tiba tiba si Kelelawar turun tangan membunuhnya, lantaran dia orang buta, tentu saja tidak tahu kalau nona Hong telah meninggalkan petunjuk diatas lantai panggung , , , , , , ,,

"Petunjuk?

" Lui Sin berkerut kening.

Il "Apakah saudara Siau curiga kalau Hek Botan, Pek Huyung sekalian merupakan komplotan dari si Kelelawar?

" tanya Han Seng.

"Kalian jangan lupa, sewaktu berada diwarung teh, bukankah si Kelelawar pernah beritahu kepada Ciu Kiok sekalian bahwa dia semuanya memiliki tiga belas bilah golok Kelelawar, dimana dua belas bilah diantaranya telah diserahkan kepada dua belas orang wanita yang paling disukainya?

" Tentu saja Lui Sin maupun Han Seng tidak melupakan akan hal ini.

Kembali Siau Jit berkata lebih jauh: "Kemungkinan besar Hek Botan, Pek Huyung, Lau Ci-he merupakan tiga diantara dua belas orang wanita itu" Setelah menyapu seluruh ruangan itu sekejap, lanjutnya: "Ditinjau dari hasil pahatan yang ada disekeliling ruangan ini, bisa disimpulkan bahwa semua pahatan yang ada telah melalui seleksi dan pemilihan yang ketat dari si Kelelawar, bahkan hanya meninggalkan bagian yang terbaik dan tercantik ditempat ini" Lui Sin maupun Han Seng mengangguk berulang kali.

Kembali Siau Jit berkata: "Kelelawar adalah orang buta, walaupun dia memiliki sepasang tangan yang cekatan, toh mustahil bisa meraba setiap wanita yang dijumpai untuk memilih sasaran yang paling cocok untuk dijadikan contoh pahatan" "Itu berarti dia mengandalkan , , , , , , ,,

" "Telinga!

" sela Siau Jit cepat, setelah termenung ujarnya, "bila analisaku tak salah, dia pasti memilih sasarannya berdasarkan pembicaraan orang banyak, sama seperti ketika dia II memilih Hek Botan, Pek Huyong,,,,

"Dan Lau Ci-he , , , , ,,

" sela Han Seng.

"Nama besar bocah perempuan ini jauh diatas nama Hek Botan maupun Pek Huyung" ujar Lui Sin, "bila beritaku tidak keliru, seharusnya perempuan ini masih berkeliaran dalam dunia persilatan" "Dalam sepuluh tahun terakhir, dalam dunia persilatan telah muncul seorang wanita pembunuh tanpa nama" kata Han Seng, "dia membunuh bukan lantaran uang, dia pun tak bisa diundang oleh siapa pun" "Dia membunuh bila ada orang menyalahi dirinya" Lui Sin menyambung, "barangsiapa menyalahi dirinya, biar kau kabur sejauh ribuan bahkan puluhan ribu li pun, dia tetap akan mengejar, mengejar untuk memenggal batok kepalanya" Siau Jit tidak bicara, dia hanya mendengarkan dengan seksama.

Terdengar Lui Sin berkata lebih jauh: "Ada orang bilang, dia adalah jago pedang wanita dari See-hoa-pay yang bernama Lau Ci-he, menurut apa yang kutahu, banyak orang telah membuktikan kenyataan itu" "Aku kenal dengan orang ini" ujar Siau Jit.

Dengan pandangan keheranan Lui Sin menatap wajah Siau Jit.

"Dia adalah seorang wanita yang sepanjang tahun mengenakan baju berwarna putih, berambut panjang sebahu dan membawa sebilah pedang dengan gagang penuh batu permata" Siau Jit menerangkan.

"Aah, rupanya dia, darimana kau bisa mengenalnya?

" "Kalau dibicarakan kembali, sesungguhnya peristiwa itu merupakan peristiwa lama yang sudah terjadi dua tahun berselang, waktu itu dia terkena jebakan yang disiapkan Tui-hun- cap-ji-sat di mulut lembah Sat-hau-ko hingga terluka parah, disaat dia masih bertempur habis habisan, kebetulan aku lewat disana" "Dan kau telah selamatkan jiwanya?

" "Manusia macam apakah Tui-hun-cap-ji-sat, semestinya locianpwee tahu juga bukan?

" "Hahaha, aku pun tahu dengan jelas kalau kau adalah seorang pendekar sejati" "Setelah kejadian itu, dia jatuh pingsan karena lukanya yang parah, sebelum jatuh tak sadarkan diri ia sempat memberitahukan alamat rumahnya , , , , ,,

"Dan kau menghantarnya pulang ke rumah" "Tempat itu adalah sebuah perkampungan kecil, selain dia, hanya ada seorang nenek ditambah dua orang dayang kecil.

Konon nenek itu adalah inang pengasuhnya" Setelah termenung sebentar, tambahnya: "Hanya itu saja yang kuketahui, dia termasuk orang yang tidak begitu suka bicara dengan orang lain, diapun tak pernah menyinggung masa lalu.

Secara beruntun aku berdiam selama tiga hari disana, ketika melihat kondisi lukanya telah membaik, aku pun berpamitan" "Apa pula yang kemudian ia katakan?

" tanya Han Seng.

"Dia bilang, suatu saat pasti akan membalas budi ini, sebab dia paling tak suka berhutang budi kepada orang lain, bila aku membutuhkan, asal sepatah kata saja, terlepas persoalan apa pun, dia bersama pedangnya pasti akan segera datang" "Bisa membedakan mana budi mana dendam, perempuan ini sesungguhnya bukan orang jahat" puji Han Seng.

"Aku rasa, dimasa lampau mungkin ia pernah mengalami pukulan batin yang amat besar, sehingga sifatnya berubah dan sangat membenci orang lain" "Seharusnya perempuan semacam ini tak mungkin akan jalan bersama si Kelelawar" "Bila permasalahan ini tak ada sangkut paut dengan dirinya, aku rasa persoalan jadi semakin rumit" Han Seng manggut manggut.

-n "Mustahil Hong-ji kenal dengan perempuan ini katanya, "bisa jadi dia tinggalkan nama tersebut diatas panggung karena pernah mendengar si Kelelawar menyinggungnya" "Jangan jangan setelah peristiwa ini, rencana berikut si Kelelawar adalah pergi mencari mereka dan membunuhnya?

" tanya Lui Sin.

"Aku rasa kemungkinan ini besar sekali" seru Siau Jit dengan wajah berubah.

"Lau Ci-he tinggal dimana?

" tanya Lui Sin.

"Diseputar sini, paling setengah hari perjalanan" "Ooh!

" "Karena itu gampang sekali bila kita ingin bertanya kepadanya" ujar Siau Jit, setelah berhenti sejenak, dengan wajah berubah tambahnya, "bila Kelelawar ingin membunuhnya, tentu saja hal ini mudah sekali untuk dia lakukan" "Kalau begitu kita harus secepatnya meninggalkan tempat ini" sambil berkata Lui Sin mulai mengawasi tabung logam darimana mereka terperosok tadi.

Han Seng ikut memandangnya sekejap, kemudian ujarnya: "Aku rasa tidak gampang untuk tinggalkan tempat ini melalui tabung logam itu" Setelah memandang sekejap sekeliling ruangan, ia menambahkan: "Aku yakin didalam ruang rahasia ini pasti terdapat jalan keluar kedua" Waktu itu api yang berada ditangan mereka bertiga, ada dua telah padam, obor ditangan Lui Sin pun sudah mulai redup.

Cepat Siau Jit merogoh ke dalam sakunya, ambil keluar sebuah obor lagi, yakni obor terakhir yang dibawa.

Ia dekatkan cahaya api dengan permukaan lantai, lalu ikut pula berjongkok.

ll "Saudara cilik , , , , , , ,,

seru Lui Sin keheranan.

"Diatas lantai terdapat bekas kaki, asal mengikuti arah bekas kaki itu, siapa tahu kita bisa temukan pintu keluar" Siau Jit menerangkan.

Seperti menyadari akan sesuatu, Lui Sin berseru: "Aaah betul, tidak mungkin si Kelelawar ikut terperosok dari atas sana" Bekas kaki dilantai sangat kalut, namun secara lamat masih terlihat dengan nyata kalau menuju ke arah dinding dimana bertumpuk aneka jenis payudara.

Siau Jit bergerak cepat, ia melompat ke arah sana.

Dipandang dari jauh masih tidak terasa apa apa, tapi begitu mendekat, kontan Siau Jit merasa kepalanya pusing matanya berkunang kunang, perasaan itu seratus persen dapat dipastikan karena pengaruh dari aneka jenis payudara itu.

Walaupun semua payudara itu terbuat dari kayu, namun warnanya hampir tak berbeda dengan warna kulit pada umumnya, bukan saja akurat pahatannya, bahkan tak jauh berbeda dengan bentuk aslinya.

Dipandang sekilas, pada hakekatnya seperti ada ratusan orang gadis yang sama-sama menanggalkan bajunya dan maju menyongsong kehadiran mereka.

Saat itu kendatipun gerakan tubuh Siau Jit tidak terlalu cepat, namun ia merasa pandangan matanya kabur.

Lui Sin serta Han Seng memunyai perasaan yang sama, ketika bergerak mengintil dibelakang Siau Jit, nyaris Han Seng menumbuk diatas dinding ruangan.

Menyaksikan kenyataan itu, sambil menghela napas gumamnya: "Kelelawar betul betul bukan manusia" "Jika ada yang mengatakan dia bukan orang sinting, akulah orang pertama yang protes" gumam Lui Sin pula.

Siau Jit tertawa getir.

"Andaikata tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, dipukul sampai mampus pun aku tak akan percaya kalau dikolong langit ternyata terdapat tempat semacam ini" "Rasanya bukan hanya kau yang berpendapat begitu" kata Han Seng sambil menyulut obor kedua.

Pada saat yang bersamaan Lui Sin menyulut pula sebuah obor.

Pandangan mata mereka mulai bergerak diantara tumpukan payudara itu.

Dibawah cahaya api, bayangan bergerak mengikuti pergeseran tubuh mereka, "gerakan" semacam ini membuat setiap pahatan payudara itu berubah semakin nyata.

Lui Sin dan Han Seng adalah jago jago kawakan, semasa muda dulu mereka pun pernah menjalani kehidupan mogor, tapi sejujurnya, kedua orang itu belum pernah menyaksikan payudara dalam jumlah sebanyak itu.

Jangan lagi Siau Jit, pemuda kemarin sore.

Setiap payudara yang ada disana tampak begitu indah, begitu memukau, membetot sukma, sulit bagi Siau Jit untuk tidak melotot berapa kejap lebih lama.

Bagaimanapun juga dia tetap seorang manusia biasa, begitu pula dengan Lui Sin serta Han Seng, oleh sebab itu pandangan mata mereka bergerak tidak terlampau cepat.

Tiba tiba sinar mata Siau Jit membeku, serunya: "Disini terdapat sebuah rongga!

" sambil berkata, ia mendekatkan obornya diatas dinding.

Dibawah cahaya api, mereka bertiga dapat melihat dengan nyata bahwa rongga itu memanjang lurus ke atas.

Makin dekat api obor itu dengan rongga didinding, makin keras goncangan lidah api karena terhembus angin.

Pada saat bersamaan, Siau Jit pun merasakan datangnya hembusan angin dari balik rongga itu, serunya kemudian: "Pintu rahasia berada disini!

" Ia pun mulai mengetuk sepasang payudara yang tertempel diatas dinding itu.

Betul saja, terdengar suara pantulan yang membuktikan dugaannya tak salah, dia mencoba mendorong sepenuh tenaga, namun dinding itu sama sekali tak bergerak.

"Aku yakin pintu rahasia ini tak mungkin bisa dibuka secara gampang" kata Lui Sin.

II "Mungkin sudah disantek dari luar kata Han Seng, "bagaimana sekarang loko?

" "?

ancurkanl" perintah Lui Sin tegas, sambil berkata dia loloskan golok emasnya dan langsung dibacok ke depan.

Dimana cahaya golok berkelebat, berapa buah payudara terbabat hingga terbelah jadi berapa bagian.

Lui Sin segera membuang obornya ke tanah, lalu dengan sepasang tangan menggenggam golok, dia mulai membacok kian kemari.

Siau Jit maupun Han Seng tidak tinggal diam, mereka cabut pedang dan membantu Lui Sin membabat bagian disekelilingnya.

Diantara ayunan golok dan pedang, payudara berguguran ke tanah menjadi hancuran serbuk kayu, permukaan dinding pun mulai merekah dan muncul sebuah lubang besar, dari sana terasa angin dingin berhembus masuk ke dalam.

Lui Sin membentak nyaring, ayunan goloknya semakin cepat.

Ditengah bentakan, lubang diatas dinding semakin membesar, dalam waktu singkat lebarnya sudah mencukupi seseorang untuk berjalan lewat.

"Sudah cukup!

" seru Siau Jit.

Lui Sin menyahut sambil menarik kembali goloknya, sedang Siau Jit langsung melangkah maju menerobos masuk ke balik lubang.

Suasana diluar lubang gua itu gelap gulita, dibawah cahaya api, lamat lamat terlihat ada sebuah lorong bawah tanah yang membe ntang jauh ke depan, disana tak nampak seorang man usia pun.

Menyusul kemudian Lui Sin dan Han Seng ikut menerobos masuk, tanya Han Seng: "Apakah ada orang disana?

" "Tidak ada" "Tempat apakah itu?

" "Naik saja keatas, semua akan jelas dengan sendirinya" Didepan pemuda itu terdapat sebuah undak undakan batu, dia pun melangkah naik ke atas.

Buru buru Lui Sin dan Han Seng mengintil dibelakangnya.

Undak undakan batu itu tidak terlalu panjang, diujungnya terdapat sebuah lapisan batu.

Siau Jit berhenti didepan lapisan batu itu, membuang obor lalu sambil membentak nyaring dia lancarkan sebuah pukulan ke depan.

"Blaaaam!

" lapisan batu itu mencelat ke depan, sedang Siau Jit berikut pedangnya meluncur keluar.

Disaat bersamaan, pedangnya sudah dilintangkan didepan dada untuk melindungi seluruh bagian tubuhnya.

Tubuhnya melambung setinggi satu tombak lebih, ketika meluncur ke luar, Siau Jit dapat melihat dengan jelas bahwa pintu keluar dari ruang rahasia itu terletak disisi serambi ruangan, menjadi satu dengan sebuah lampu batu, sekeliling sana pun tak nampak manusia.

Lui Sin menyusul ikut melompat keluar, setelah menyapu sekejap tempat itu, serunya: "Pintu rahasia ini dibuat amat sempurna" "Betul" sambung Han Seng yang baru melompat keluar, "sekalipun kita sudah berulang kali melewati serambi ini, ternyata tak pernah menaruh curiga dengan lamu batu itu" "Tentu saja kita tak menaruh perhatian, karena memang tak ada kebutuhan untuk menggeser lampu itu" Sembari menggeser kembali lampu batu itu ke posisi semula, ujar Siau Jit: "Lebih baik kita tutup kembali pintu keluar ini, siapa tahu suatu hari kita masih membutuhkannya" Lui Sin mengangguk.

"Si Kelelawar telah membuang banyak waktu, tenaga, pikiran dan beaya untuk membangun ruang bawah tanah, memang tidak mungkin dia tinggalkan dengan begitu saja, setelah periksa keadaan Lau Ci-he, lebih baik kita balik lagi kemari untuk memeriksa lebih seksama, bila beruntung, siapa tahu bisa bertemu dengan si Kelelawar!

" Siau Jit mengiakan dan segera tinggalkan tempat itu.

Lui Sin dan Han Seng mengintil dibelakangnya dengan ketat.

Ketika mereka bertiga balik kembali ke ruang utama kuil Thian-liong-ku-sat, apa yang terlihat didepan mata membuat paras muka mereka sekali lagi berubah.

Tadi, mereka tinggalkan kuda tunggangan ditengah semak dalam halaman luar bangunan kuil, kini, walaupun binatang tunggangan itu tidak pergi jauh, namun semuanya sudah roboh terkapar.

Ke tiga ekor kuda itu tidak terkecuali, semuanya muntah darah, tergeletak ditengah semak dan sama sekali tak bergerak.

Dengan sekali lompatan Siau Jit menghampiri kuda tunggangannya, ketika diperiksa, ia jumpai sebuah bekas telapak tangan berwarna ungu kehitam hitaman tertera diatas tengkuk kuda.

Keadaan dari kuda tunggangan Lui Sin maupun Han Seng tidak jauh berbeda.

Setelah memeriksa sejenak, sambil menarik napas dingin gumam Siau Jit: "Sebuah pukulan yang amat jahat dan keji!

" "Aku lihat mirip sekali dengan ilmu pukulan Tay-jiu-eng-kang dari aliran Mit-oong?

" kata Lui Sin dengan kening berkerut.

"Yaa, memang mirip sekali" "Mungkinkah si Kelelawar yang melancarkan serangan mematikan ini?

" "Bila perbuatan Kelelawar, tak diragukan lagi tujuannya adalah untuk memperlambat kedatangan kita di kediaman Lau Ci-he" "Jangan jangan selama ini dia bersembunyi terus disekitar sini dan mendengar pembicaraan kita dalam ruang rahasia tadi?

" "Bila begitu, orang ini amat berbahaya, bukan saja teliti dalam bertindak bahkan amat licik" "Maksud saudara Siau, dia bahkan sudah mempertimbangkan petunjuk apa yang mungkin bisa kita temukan dalam ruangan itu, dan menduga mungkin kita akan mencari Lau Ci-he untuk mengorek keterangan?

" "Tapi orang ini pernah jadi orang idiot" seru Lui Sin.

"Siapa pula yang dapat memastikan sekarang dia telah berubah jadi bagaimana?

" "Lantas kita , , , , , , ,,

" "Segera berangkat" tukas Siau Jit, "sepanjang perjalanan nanti, bila bertemu kuda, mau pinjam, mau beli bahkan bila perlu dirampas pun, kita harus dapatkan kuda tunggangan dengan segera, bila tak menemukan, terpaksa ia lanjutkan perjalanan dengan berlari" Lui Sin periksa sejenak keadaan cuaca, kemudian serunya: "Dengan menunggang kuda tercepat pun, tengah malam nanti kita baru akan tiba ditempat tujuan, moga moga saja kedatangan kita belum terlambat!

" Belum selesai ia bicara, Siau Jit telah melesat ke muka dengan kecepatan tinggi, Lui Sin dan Han Seng segera menyusul dari belakang.

Mereka bertiga bagaikan tiga panah yang terlepas dari busur, melesat ke depan dengan cepatnya.

OoOoo Malam tidak terlalu kelam.

Angin musim gugur berhembus kencang, rembulan yang redup tergantung jauh diatas awan.

Suasana ditengah perkampungan sangat hening, dari empat orang yang ada, tiga diantaranya sudah terlelap tidur, terkecuali Lau Ci-he.

Perkampungan itu terletak ditengah lembah, walaupun jarak dari kota terdekat tidak terlampau jauh, namun tempat tersebut merupakan sebuah tempat yang sepi, terpencil dan hening.

Ayah Lau Ci-he adalah seorang pertapa, dialah yang membangun perkampungan ini, namun ia tak pernah punya niatan untuk membiarkan putrinya berdiam terus disana.

Dia hanya memiliki seorang putri yakni Lau Ci-he, tak heran kalau sejak kecil sudah memanjakan dirinya, kuatir putrinya diusik orang, maka sejak masih usia muda telah dilatih kepandaian silat yang tangguh.

Dulunya dia adalah seorang jago pedang kenamaan dari perguruan See-hoa-kiam-pay, meski tak suka mencari nama, namun lantaran hatinya yang luhur dan kungfunya yang lihay, dalam deretan perguruan See-hoa-kiam-pay, ia termasuk tiga besar.

Lau Ci-he pun merupakan seorang peremuan berbakat bagus, ketika menginjak usia delapan belas, dia telah mewarisi tujuh puluh persen ilmu silat ayahnya.

Karena itulah sang ayah dengan perasaan lega membiarkan dia berkelana dalam dunia persilatan seorang diri.

Apa mau dikata, kelananya dalam dunia persilatan bukan saja menghasilkan nama besar, bahkan mendatangkan pula sebuah musibah yang amat besar.

Kalau dia tidak terlalu kesohor, tak mungkin si Kelelawar akan datang mencarinya.

Kalau sang Kelelawar tidak penuju kepadanya, ayahnya yang lihay pun tak bakal mati ditangan Kelelawar.

Akhirnya si Kelelawar memahat sebuah patung kayu yang persis dengan tubuhnya, tapi meninggalkan sebilah golok Kelelawar untuk kenangan.

Dia merupakan satu diantara dua belas orang wanita yang paling disayang dan paling menarik perhatian si Kelelawar.

Mungkin ada sementara orang menganggap hal ini merupakan sebuah kebanggaan.

Tapi baginya, peristiwa ini merupakan satu aib yang sangat besar, satu penghinaan yang sangat memalukan.

Maka wataknya berubah jadi keji, tidak manusiawi, tindak tanduk dan sepak terjangnya keji, telengas, tak kenal ampun.

Dan karena itu pula dia tak pernah lagi menggunakan Lau Ci-he sebagai namanya.

Hingga kini, dia tak pernah melupakan aib serta penghinaan ini, selama hampir sepuluh tahun, meski banyak orang merasa keheranan dan tak bisa menebak siapa gerangan dirinya, namun ia tak pernah bisa membohongi diri sendiri.

Lau Ci-he tak lebih hanya sebuah nama, sekalipun tidak digunakan, sesungguhnya bagi dia sendiri tak jauh berbeda.

Manusia tetap manusia yang dulu, bukan karena tidak menggunakan lagi nama tersebut maka semua aib dan penghinaan itu bisa tercuci bersih dan lenyap tak berbekas.

Mengingat serta mengenang suatu kejadian adalah sesuatu yang mudah, namun untuk melupakan satu peristiwa, jelas bukan suatu hal yang gampang, kecuali dia berubah menjadi seorang idiot.

Tentu saja Lau Ci-he bukan orang idiot.

OoOoo

Malam musim gugur yang sama, cahaya rembulan yang tak berbeda.

Ditengah malam seperti inilah, dulu ia bertemu Kelelawar, selama belasan tahun, setiap bertemu musim gugur yang diterangi cahaya rembulan, perasaan ngeri, perasaan seram bercampur gusar selalu muncul dan menyelimuti perasaan hatinya.

Dalam keadaan seperti ini, Lau Ci-he akan bersembunyi didalam kamarnya, menutup rapat pintu dan jendela dan berusaha mengen dalikan perasaan ngeri, seram dan takutnya yang telah mengakar.

Tidak terkecuali pada malam ini.

Cahaya lentera yang menerangi ruangan, lembut bagai kedele, Lau Ci-he meski sudah berbaring diatas ranjang namun belum terlelap tidur.

Dia mementang lebar matanya sambil memandang ujung kelambu, pikirannya kosong, dibawah redupnya cahaya, ia tampak masih cantik bak bidadari, meski diantara jidatnya telah muncul berapa kerutan.

Dia tamak jauh lebih tua daripada usia sesungguhnya.

Perasaan takut atau gusar memang sangat gamang menggeroti usia, membuat seseorang lebih cepat tumbuh tua.

Begitu pula perasaan murung dan kesal.

Tapi ada berapa banyak manusia yang dapat melepaskan diri dari kesemuanya itu".
Oo0oo

Kertas diatas daun jendela tampak putih pucat tertimpa cahaya rembulan, "Brrruk!

" tiba tiba muncul bayangan seekor Kelelawar diatas kertas yang pucat.

Spontan Lau Ci-he melompat bangun dari atas ranjang, menggerakkan tangan kirinya, menyingkap kelambu didepan pembaringan.

Dalam waktu singkat diatas kertas jendela telah bertambah dengan begitu banyak bayangan Kelelawar, "Brukk, bruuk,,,,!

" bunyi benturan bergema silih berganti.

Pucat pias wajah Lau Ci-he setelah menyaksikan kejadian itu, serta merta tangannya meraih pedang yang selalu diletakkan disamping bantal.

Sarung pedang penuh bertaburkan batu permata, dari sarungnya saja sudah diketahui kalau pedang andalannya adalah sebilah pedang kenamaan.

Bersamaan waktu tangan kanannya telah menggenggam diatas gagang pedangnya.

"Bruuk, brukkk,,,,!

" suara benturan masih bergema tiada hentinya, kemudian , , , , ,,

"Kraaak!

" tiba tiba saja daun jendela terbuka lebar, angin dingin segera berhembus masuk ke dalam ruangan.

Berapa ekor Kelelawar berbadan besar ikut terbang masuk melalui jendela yang terbuka.

Lau Ci-he mulai bergidik, mulai merinding, bulu kuduknya bangun berdiri, "sreeeet!

" dengan cepat ia cabut keluar pedangnya.

Mata pedang bening bagai air telaga, membiaskan cahaya tajam dibawah sinar lentera.

Dalam waktu singkat berapa ekor Kelelawar telah menerkam ke hadapannya.

Cepat perempuan itu menggerakkan pedang, melepaskan serangkaian babatan, cahaya pedang yang berlapis membias diangkasa, dalam waktu singkat berapa ekor Kelelawar terbabat hingga terbelah jadi dua bagian.

Kembali berapa ekor Kelelawar menerjang masuk lewat jendela yang terbuka, suara pekikan aneh menggema dari empat penjuru, menggidikkan perasaan siapa pun yang mendengar.

Lau Ci-he membentak nyaring, tubuhnya melambung ke tengah udara, "Braaaaakl" ia terjang atap rumah hingga jebol, tubuhnya langsung meluncur keluar dari ruangan.

Bagai anak panah yang terlepas dari busur dia melesat keluar, cahaya pedang berputar melindungi badan, setelah bersalto di udara dan bergulingan diatas atap, dengan cepat ia melejit sambil melompat bangun.

Suara tertawa yang menakutkan segera berkumandang dari samping tubuhnya.

Dengan cekatan Lau Ci-he berpaling, dan dia pun melihat si Kelelawar!

 Kelelawar tanpa sayap!

 Saat itu sang Kelelawar berada dipuncak bangunan, bajunya yang berwarna putih berkibar terhembus angin, rambutnya yang beruban ikut berkibar dimainkan angin malam.

Rembulan tepat bersinar dari belakang tubuhnya, dipandang sekilas, dia seolah hendak terbang ke udara, meluncur ke dalam rembulan.

Dengan geram Lau Ci-he menatap Kelelawar, sambil menuding orang tua itu jeritnya: "Kau, ternyata benar-benar kau!

" Kelelawar tertawa terkekeh.

"Lama tak bersua, apakah tubuhmu tetap langsing padat berisi seperti dahulu?

" Lau Ci-he tidak menjawab, namun tubuhnya yang terhembus angin tampak gemetar keras.

Kembali si Kelelawar berkata sambil tertawa: "Kau tak usah takut, kedatanganku malam ini bukan untuk melucuti lagi pakaianmu , , , , , , , ,,

" "Tutup mulut!

" hardik Lau Ci-he.

Suaranya yang merdu kini berubah seakan bukan suaranya lagi, suara itu berubah karena terkejut bercampur marah yang membara, dia bahkan seolah telah berubah menjadi orang kedua.

Dari balik pupil matanya terpancar amarah yang membara, namun terselip pula perasaan takut, ngeri yang luar biasa.

"Sudah begitu lama kita tak bersua, tentunya harus berbicara secara baik baik bukan?

" ucap Kelelawar.

"Apakah kau belum cukup mencelakai aku" Mau apa lagi kau datang mencari aku?

" teriak Lau Ci-he keras.

Si Kelelawar menggeleng.

II "Kau keliru besar katanya, "bukan saja aku tidak mencelakaimu, bahkan telah kubuatkan sebuah patung yang indah sebagai kenangan, kau seharusnya berterima kasih kepadaku!

" Saking gusarnya Lau Ci-he tertawa keras.

"Terima kasih, aku memang amat berterima kasih, sayang selama ini aku tak punya kesempatan untuk menyampaikan rasa terima kasihku padamu, karenanya aku selalu merasa menyesal" "Dengan cara apa kau hendak berterima kasih padaku?

" tanya Kelelawar sambil tertawa, "apakah hendak membacok batok kepalaku dengan pedangmu itu?

" "Kalau hanya membacok batok kepalamu, bagaimana mungkin bisa menyatakan rasa terima kasihku?

" Lau Ci-he tertawa dingin.

"Lantas apa yang hendak kau lakukan?

" "Akan kucincang tubuhmu hingga hancur berkeping, kemudian membakar tulangmu hingga hancur menjadi abu!

" sumpah Lau Ci-he sambil menggigit bibir.

Kelelawar segera menghela napas panjang.

"Aaai, ternyata kau begitu membenciku, untung selama ini aku mempunyai tempat yang aman untuk bersembunyi" "Perkamungan Suma-san-ceng?

" "Hahaha, ternyata tidak sedikit urusan yang kau ketahui" "Bukankah kau telah menjadi orang idiot?

" tanya Lau Ci-he sambil menatap tajam wajahnya.

"Justru karena itulah aku dapat hidup hin gga sekarang, jago berhati pendekar macam suma Tionggoan tak bakal turun tangan keji terhadap seorang manusia idiot" "Padahal kau sama sekali tidak idiot" Kelelawar tertawa seram.

"Mereka adalah orang orang lihay, kalau tidak berlagak idiot, mana mungkin bisa mengelabuhi orang orang itu?

" "Maksudmu, dalam keadaan terluka parah, kau hanya sementara waktu berubah jadi manusia idiot, ketika lukamu telah sembuh, dengan cepat pikiranmu pulih kembali jadi normal?

" "Padahal proses berjalan tidak terlalu cepat!

" Lau Ci-he tertawa dingin.

"Sejak awal aku sudah berkata, Suma Tionggoan hatinya kelewat lembut, persis seperti pikiran wanita" "Sayangnya mereka para cianpwee enghiong hohan selalu menganggap tinggi pendapat dan pandangannya, tak bakal akan menaruh perhatian atas pandangan kaum muda" "Sayang dia mati kelewat cepat, kalau tidak biar tahu apa akibatnya bila punya pikiran kelewat lembek seperti pikiran wanita" "Yaa, memang patut disayangkan" -n "Sayangnya lagi, aku sama sekali tak tahu kalau pikiranmu telah normal kembali lanjut Lau Ci-he, "kalau tidak, akulah orang pertama yang akan menyerbu masuk ke dalam perkampungan Suma-san-ceng dan menghabisi nyawamu" "Betul, betul sekali" si Kelelawar mengangguk, "memang hal ini patut disayangkan" "Manusia laknat berhati iblis macam kau ternyata mempunyai nasib sebagus itu, bila Thian punya mata, aku benar benar tak percaya dengan kenyataan ini" keluh Lau Ci-he pedih.

Kontan saja si Kelelawar tertawa tergelak.

"Hahaha, bila Thian punya mata, Dia tak nanti akan membiarkan manusia macam aku lahir di dunia ini" "Thian memang tak punya mata, masih dibilang jaring langit tersebar diseantero jagad, ll manusia dosa tak akan luput dari hukuman,,,,

makin bicara, Lau Ci-he merasa makin geram.

"Kau tak usah mengutuk langit, bila tiada manusia jahat macam diriku, darimana kalian bisa tahu betapa menarik dan indahnya manusia manusia baik?

" Lau Ci-he terbungkam.

Kembali Kelelawar berkata: "Karena ada jahat, kebaikan baru terlihat keindahannya, sekalipun kemauan takdir memang tak adil, sesungguhnya mengandung arti, makna dan tujuan yang mendalam" Lau Ci-he semakin tak mampu bicara.

Kembali si Kelelawar berkata: "Aku sadar, bila kau tahu kalau aku berada dalam perkampungan Suma-san-ceng, sudah pasti timbul keinginanmu untuk datang membunuhku" "Sayang aku tak bisa masuk ke sana" "Ilmu barisan yang dimiliki Suma Tionggoan memang sangat hebat, dia patut diacungi jemol" "Dalam kenyataan kau berhasil melarikan diri, aku percaya dalam alam baka pun dia tak bisa beristirahat dengan mata meram" "Sudah seharusnya dia tahu kalau manusia semacam aku tak gampang untuk diselesaikan dengan begitu saja" Lau Ci-he menghela napas panjang.

"Menurut aku, Suma Tionggoan lah manusia idiot sesungguhnya!

" Mendengar itu, si Kelelawar tertawa tergelak.

Sambil menarik muka, sepatah demi sepatah ujar Lau Ci-he: "Sejak awal aku sudah berniat untuk membuat perhitungan denganmu, kebetulan sekali kau datang hari ini, dengan begitu keinginanku dapat terkabulkan" "Kau masih bukan tandinganku" ejek Kelelawar sambil tertawa.

"Bukan tandingan atau tidak, hingga sekarang masih merupakan sebuah tanda tanya besar" "Wah, kelihatannya selama banyak tahun terakhir, kau telah membuang banyak pikiran dan tenaga untuk memperdalam ilmu silatmu" "Dan malam ini, aku pun tidak meneguk arak iblis Kelelawar mu" "Sekalipun begitu, kau tetap masih bukan tandinganku" Lau Ci-he tertawa dingin.

Kelelawar termenung berapa saat, katanya kemudian: "Aku sama sekali tak berniat membunuhmu, kalau tidak, pada pertemuan pertama aku telah menghabisi nyawamu" Mau tak mau Lau Ci-he harus mengakui bahwa apa yang ia katakan memang merupakan satu kenyataan.

"Kau pun seharusnya tahu bahwa aku termasuk seoran g lelaki yang mengerti bagaimana mengasihi dan menyayangi wanita cantik" si Kelelawar menambahkan.

"Lantas mau apa malam ini kau datang kemari?

" hardik Lau Ci-he.

"Datang untuk minta kembali semacam benda" "Golok Kelelawar?

" seru Lau Ci-he tanpa sadar.

"Betul, golok Kelelawar, golok Kelelawar yang pernah kuhadiahkan kepadamu waktu itu" Lau Ci-he keheranan, ia sampai terperangah.

Tedengar si Kelelawar berkata lebih jauh: "Golok itu telah kuhadiahkan kepadamu, sesungguhnya tidak pantas bila kuminta kembali" Lau Ci-he hanya tertawa dingin, sama sekali tidak menanggapi.

Kembali si Kelelawar berkata: "Tapi sekarang, mau tak mau aku harus minta kembali golok Kelelawar itu" "Kenapa?

" tanya Lau Ci-he tanpa sadar.

"Aku tak bisa menjawab, itu rahasiaku" Kontan Lau Ci-he tertawa dingin.

"Bukankah kau amat membenciku" Muak padaku" Dendam padaku" Seharusnya kau tak ambil peduli dengan golok Kelelawar itu bukan?

" lanjut si Kelelawar sambil tertawa.

"Apa maksudmu?

" "Seharusnya kau tak peduli bila menyerahkan kembali golok itu kepadaku" "Kau seakan sudah melupakan semua perkataan yang pernah diucapkan waktu itu" jengek Lau Ci-he sambil tertawa dingin.

"Tidak, aku pernah berkata, golok Kelelawar itu terkait dengan sejumlah harta karun yang tak ternilai jumlahnya, aku menghadiahkan golok itu untuk perempuan yang paling kucintai karena aku ingin menggunakan benda itu untuk membayar semua kerugian yang telah mereka derita" "Kau memang mengatakan begitu waktu itu" "Aku bahkan pernah berkata, hanya perempuan pintar yang bisa mengetahui rahasia dibalik kesemuanya itu, dan bila ia masih mendendam maka ia bisa menggunakan harta karun tersebut untuk menciptakan sebuah bencana besar yang amat menakutkan" "Aku percaya inilah tujuan utama mu!

" Si Kelelawar menghela napas.

"Aaai, tapi sepuluh tahun sudah lewat dan kalian tak ada yang berhasil mengetahui rahasia itu, maka pada akhirnya aku putuskan untuk menarik kembali semua golok Kelelawar yang ada" Nada suaranya berat dan serius, bahkan terselip perasaan terpaksa dan apa boleh buat.

"Hanya disebabkan alasan itu?

" tanya Lau Ci-he sambil menatap dingin wajah Kelelawar.

"Waktu selama sepuluh tahun sudah lebih dari cukup, tapi terbukti kalian tak pernah berhasil menemukan rahasia yang terkandung, hal ini kalau bukan disebabkan kalian kelewat bodoh, berarti kalian memang tak punya rejeki untuk menikmati harta karun yang telah kutinggalkan" Lau Ci-he kembali tertawa dingin.

"Kau yang membuat golok itu, kenapa pula harus menarik kembali golok tersebut" Memangnya kau sudah lupa dimana harta karun itu kau pendam?

" "Mana mungkin aku lupa" si Kelelawar menggeleng, "golok tersebut harus kuminta kembali karena benda itulah merupakan anak kunci untuk membuka pintu gerbang ruang harta" "Ooh,,,,”

 "Ada orang berkata, perempuan yang pintar jarang berparas cantik, perempuan yang berparas cantik jarang berotak encer, kalau dipikirkan kembali sekarang, rasanya ucapan itu memang sangat masuk diakal" "Lelaki pun sama saja" balas Lau Ci-he tertawa dingin, "contohnya makhluk tua jelek busuk macam kau, kalau sudah bertampang sejelek inipun masih tak berotak, hahaha, benar benar kelewat tragis dan menyedihkan" Ternyata si Kelelawar tidak naik darah, emosi pun tidak.

Kembali Lau Ci-he berkata: "Kejadian ini sudah lewat sepuluh tahun, aneh dan luar biasa bila kau si mata buta masih mampu menarik kembali semua golok yang pernah dihadiahkan kepada orang lain" Si Kelelawar tertawa seram.

"Ketika akan menghadiahkan golok itu kepada orang lainpun, aku telah menghabiskan banyak waktu dan pikiran, tidak gampang untuk menemukan seorang wanita cantik, apalagi berjumlah dua belas orang, toh pada akhirnya tujuanku tercapai juga.

Jadi sekarang, meski agak sulit untuk menarik kembali golok golok itu, pada akhirnya aku yakin tetap akan berhasil" Dia berbicara dengan nada yang begitu yakin, memang tidak gampang bagi seorang buta untuk memiliki keyakinan sedemian besar.

Kembali Lau Ci-he tertawa dingin.

"Aneh jika malam ini kau masih bisa tinggalkan tempat ini dalam keadaan bernyawa" ejeknya.

"Sepuluh tahun tak bersua, seharusnya ilmu silat yang kau miliki sudah bertambah maju?

" II "Tidak sulit bila kau ingin tahu dengus Lau Ci-he sambil memutar pedangnya.

"Betul, memang gamang sekali" setelah bertepuk tangan dan tertawa, lanjut si Kelelawar, "tapi sayangnya, sepuluh tahun berselang kau sudah bukan tandinganku, percaya saat inipun sama saja" "Kau seperti lupa, dengan cara apa kau membekukku pada sepuluh tahun berselang" seru Lau Ci-he sambil mendengus.

"Hahaha, karena kuatir merusak dan melukai tubuhmu yang cantik dan menawan, aku memang telah menggunakan arak Kelelawar" "Atau dengan perkataan lain, sejak waktu itu kau sudah tak yakin mampu menaklukkan aku dengan ilmu silat" "Oleh karena dibatasi oleh rasa takut rusak dan terluka, tentu saja aku tak bisa bertarung seenaknya, tapi keadaan sekarang jauh berbeda, apa pun yang bakal menimpa dirimu, itu bukan urusanku lagi, aku tak ambil peduli" "Bila terpaksa kau ingin membunuhku?

" "Oleh sebab itu lebih baik kau serahkan kembali golok itu, akupun dengan senang hati akan mengampuni selembar jiwamu" "Golok itu sudah kubuang!

" "Tidak mungkin" si Kelelawar menggeleng, "tak seorang manusia pun yang bisa tahan menghadapi godaan harta karun dalam jumlah besar, paling tidak hingga sekarang aku belum pernah bertemu dengan seorang manusia macam ini" "Sekarang kau telah bertemu seorang diantaranya" Si Kelelawar hanya tertawa, tiba tiba ia menggetarkan tangannya, seekor Kelelawar segera terbang keluar dari balik sakunya dan langsung menerkam Lau Ci-he.

Cahaya tajam berkelebat, Lau Ci-he telah membabat tubuh Kelelawar itu hingga terbelah jadi dua bagian.

Si Kelelawar mendengarkan dengan seksama, kemudian pujinya sambil tertawa: "Ilmu pedang bagus, sayang kalau dibandingkan aku, kepandaian mu masih ketinggalan jauh" Lau Ci-he hanya tertawa dingin tanpa menjawab.

Saat itulaah dari tengah halaman dibawah atap rumah telah muncul tiga sosok tubuh manusia, seorang nenek berwajah penuh keriput dengan rambut berubah serta dua orang dayang kecil.

Mereka semua sudah lama mengikuti Lau Ci-he, kepandaian silat yang dimiliki pun terhitung hebat, sementara si nenek adalah inang pengasuh dari Lau Ci-he, dia terhitung seorang cianpwee dalam partai See-hoa-kiam-pay dan merupakan seorang jago pedang.

Mengapa seorang cianpwee berilmu tinggi rela menjadi orang bawahan" Mungkin hanya dia sendiri yang dapat menjawab pertanyaan itu.

Ketika Lau Ci-he menjebol atap rumah untuk keluar dari ruangan tadi, ke tiga orang itu segera terbangun dari tidurnya karena kaget dan tergopoh gopoh menyusul ke situ.

Kini pedang telah diloloskan dari sarung, setiap saat satu pertarungan sengit segera akan berkobar.

Terlebih si nenek itu, dia ibarat anak panah yang terpasang di gendawa, setiap saat bakal melesat ke luar.

Tampaknya si Kelelawar sama sekali tak ambil peduli dengan kehadiran ketiga orang itu, bukan saja tidak menggubris, bahkan masih mengajak bicara Lau Ci-he dengan santainya.

Tampak ia menghela napas dan berkata lagi: "Golok itu sejak semula adalah barang milikku, lebih baik kembalikan saja, buat apa kau musti menyerempet bahaya?

" Lau Ci-he tertawa dingin.

"Kalau dilihat tamangmu, rasanya kau tak mirip orang idiot, kenapa caramu berbicara justru lebih mirip orang idiot" "Aku memahami maksud hatimu" II "Saat seperti ini sudah lama kunantikan kata Lau Ci-he sambil menyentil pedangnya.

"Aku rasa persoalan ini adalah persoalan pribadimu" "Tentu saja" "Kalau begitu lebih baik kau suruh ke tiga orang yang berada ditengah halaman itu untuk menyingkir dari sini" "Tanpa perintahku, mereka tak akan berani turun tangan" sahut Lau Ci-he dengan perasaan tercekat.

"Benarkah begitu?

" tanya si Kelelawar sambil tertawa.

"Apa maksudmu?

" "Masa kau tidak merasakan hawa pembunuhan yang terpancar dari tubuh mereka?

" kemudian sambil berpaling ke arah si nenek yang sedang berdiri dengan mata berapi api, lanjutnya, "aku percaya ilmu silat yang dimiliki orang ini sama sekali tidak berada dibawah kemampuanmu" Berkilat sepasang mata Lau Ci-he, segera bentaknya: "Lolo, kau dan mereka segera mundur dari sini!

" "Siocia, terhadap manusia semacam ini, buat apa kau musti mentaati peraturan dunia persilatan" teriak nenek itu.

"Dia hanya tak ingin menyaksikan kalian menghantar nyawa dengan percuma" tukas si Kelelawar.

"Beruntung sekali, aku memang sudah bosan hidup" jengek si nenek sambil tertawa dingin.

"Kalau memang sudah bosan hidup, itu mah kebenaran, kemari, biar kubantu kau untuk memenuhi keinginan itu!

" Si nenek tertawa dingin, tubuhnya melesat keatas genting dengan kecepatan tinggi, sebuah tusukan maut langsung dilontarkan ke tubuh si Kelelawar.

Tampak cahaya pedang berkelebat bagai halilintas, jangan lihat usia nenek itu sudah lanjut, ternyata gerak geriknya masih lincah dan cekatan.

Begitu mendengar suara desingan tajam, sang Kelelawar segera mementangkan sepasang bajunya, bagai seekor Kelelawar yang sedang pentang sayap, dia terbang ke tengah udara.

Merasa kehilangan jejak, nenek itu segera menjejakkan kembali kakinya diatas wuwungan rumah, "Sreeet, sreeet, sreeeet , , , , , ,,

secara beruntun dia lancarkan sebelas buah tusukan.

Tusukan yang dilancarkan makin lama semakin cepat, hampir semuanya ditujukan untuk merenggut nyawa lawan.

Si Kelelawar mengebaskan ujung bajunya berulang kali, tubuhnya yang berada ditengah udara berapa kali berganti posisi, ternyata secara mudah sekali dia berhasil menghindarkan diri dari ke sebelas tusukan maut itu.

"Hebat kamu hei si buta!

" teriak nenek itu, badannya berputar bagai gangsingan, tubuhnya yang menyatu dengan pedang melancarkan satu tusukan bagai bianglala terbang.

Tusukan itu melesat lewat persis dari atas kepala si Kelelawar, namun kembali ancaman itu berhasil dihindari.

"Siapa kau?

" hardik si Kelelawar sambil melayang turun.

"Bukan urusanmu!

" selama mengucapkan perkataan itu, kembali si nenek melancarkan tiga puluh enam buah tusukan.

Si Kelelawar berputar kencang menghindarkan diri, serunya: "Lagi lagi ilmu pedang See-hoa-kiam-hoat!

" "Kalau benar lantas kenapa?

" serangan yang dilancarkan nenek itu semakin gencar.

Sambil tertawa Kelelawar itu melanjutkan: "Ilmu pedang See-hoa-kiam-hoat memang bagus dan hebat, tapi sayang bukannya tanpa titik kelemahan!

" Begitu meluncur ke bawah, tubuhnya berputar kencang, ibu jari tangan kanannya menyentil ke depan, "Traaangl" dengan telak dia sentil punggung pedang lawan, membuat gerak serangan nenek itu segera melenceng ke samping.

Berubah hebat paras muka nenek itu.

"Aku tak percaya kalau kau benar benar buta" teriaknya.

"Semua orang tahu kalau aku buta, buat apa kau musti menanyakan lagi hal tersebut?

" "Sambut lagi ke tiga buah seranganku ini!

" bentak si nenek gusar.

Pedangnya ditarik sejajar dada, begitu serangan pertama dilancarkan, ia miringkan badan sambil melancarkan serangan kedua dengan jurus "Lei-hi-to-ceng-po" (ikan lei menembus ombak), setelah itu pergelangan tangannya ditarik ke bawah, dari sisi ketiak dia lepaskan tusukan ke tiga.

Tusukan yang satu lebih hebat dari tusukan sebelumnya, sudut dan posisi yang digunakan pun merapat satu dengan lainnya, kecepatan dan kelincahannya sama sekali tak seimbang dengan usianya.

Si Kelelawar kontan tertawa tergelak.

"Hahaha,,,,

rupanya inti sari dari ilmu pedang See-hoa-kiam-hoat terhimpun didalam ke tiga buah serangan itu" Ditengah gelak tertawa, ia mengguling ke samping sambil berputar bagai roda kereta, dengan cekatan lagi lagi ia berhasil menghindarkan diri dari ke tiga serangan itu.

Tampaknya dia sangat memahami akan seluk beluk ilmu pedang See-hoa-kiam-hoat, bukan saja dapat bergerak santai bahkan cara berkelit pun tepat sasaran.

Paras muka si nenek berubah makin hebat, begitu pula dengan Lau Ci-he yang mengikuti jalannya pertarungan, dengan wajah berubah memucat, tanpa ragu lagi dia membentak nyaring, satu serangan segera dilancarkan.

Gerak serangan yang ia pergunakan jauh lebih ganas, kejam dan telengas daripada serangan nenek itu.

Kalau si nenek dalam serangan mengandung pertahanan, dibalik pertahanan terselip serangan, maka serangan yang dilancarkan Lau Ci-he sangat mematikan, pada hakekatnya dia hanya tahu membunuh musuh tanpa pedulikan keselamatan sendiri.

Dengan begitu pertahanan seluruh tubuhnya jadi terbuka, bila orang lain berniat menusuknya, mungkin sulit baginya untuk meloloskan diri dari serangan itu.

Dalam sepuluh tahun terakhir, dengan sistim pertarungan semacam inilah ia berhasil merebut sebutan sebagai pembunuh wanita, tapi ketika digunakan untuk menghadapi si Kelelawar, ilmu pedang adu nyawa semacam ini pada hakekatnya sama sekali tak berguna.

Ditengah kepungan cahaya pedang, ia mencelat ke tengah udara, sekilas cahaya setengah lingkaran pun muncul secara tiba tiba membelah angkasa.

Akhirnya dia mencabut keluar golok Kelelawar miliknya.

Serentak kedua orang dayang cilik itu maju meluruk, melihat itu buru buru Lau Ci-he menghardik: "Mundur kalian!

" Belum selesai dia membentak, si Kelelawar sudah melayang turun diantara kedua orang dayang tadi.

Diiringi bentakan nyaring, kedua orang dayang itu memutar pedangnya melancarkan tusukan.

Tiba tiba si Kelelawar menghela napas panjang.

Baru saja suara helaan napas itu bergema, cahaya lengkung tampak berkelebat, pedang yang berada ditangan seorang dayang terpapas kutung jadi dua, diikuti tenggorokan gadis itu tersayat sabetan golok, darah segar pun menyembur keluar membasahi permukaan tanah.

Buru buru Lau Ci-he dan nenek itu maju menolong, belum lagi serangan mereka berdua tiba disasaran, pedang milik dayang kedua itu sudah terpapas kutung, satu sabetan golok yang persis membelah alis matanya membuat dayang cilik itu menjerit kesakitan lalu roboh terkapar.

Kembali golok Kelelawar ditarik balik untuk menyongsong datangnya serangan pedang dari Lau Ci-he, dengan langkah tujuh bintang ia mengigos dari ancaman ke tiga belas tusukan maut si nenek, tiba tiba badannya berputar satu lingkaran, "Wessss!

" ditengah kilauan cahaya golok, hancuran baju beterbangan di angkasa.

Si Kelelawar kembali melambung sambil memutar pinggang, "Cring!

" ia hindari tusukan pedang lawan, sementara tangan kirinya menyodok masuk, tahu tahu dia sudah cengkeram urat nadi pada pergelangan tangan kanan si nenek yang menggenggam pedang.

Tak ampun pedang itu terlepas dari cekalan, belum sempat si nenek menjerit kaget, golok Kelelawar sudah ditemelkan diatas tengkuknya.

"Berhenti!

" hardik si Kelelawar sambil membalik tubuh.

Tidak sempat memberikan pertolongan, terpaksa Lau Ci-he menghentikan serangannya.

"Serahkan golok itu, aku tukar dengan nyawa orang ini!

" ujar si Kelelawar cepat.

Belum sempat Lau Ci-he menjawab, mendadak nenek itu berteriak keras: "Jangan mimpi!

" Tengkuknya disodokkan kearah mata golok, percikan darah segera menyembur ke empat penjuru, ternyata ia telah bunuh diri diujung golok Kelelawar.

Untuk sesaat si Kelelawar berdiri tertegun, memanfaatkan kesempatan itu Lau Ci-he melancarkan sebuah tusukan kilat ke dep an.

Tampaknya sulit bagi si Kelelawar untuk menghindari tusukan itu, siapa sangka disaat yang kritis, tiba tiba ia betot tubuh nenek itu dan dihadangkan dihadapannya.

"Creett!

" ujung pedang langsung menghujam diatas dada nenek itu hingga tembus ke punggungnya.

Lau Ci-he menjerit kaget sambil mencabut pedangnya, sayang si Kelelawar bertindak lebih cepat, ia telah menjepit ujung pedang itu kuat kuat.

Perubahan yang terjadi berlangsung dalam kecepatan yang sukar dilukiskan dengan kata, namun didalam kenyataan, si Kelelawar telah melakukannya.

Seorang lelaki buta ternyata mampu melakukan hal yang mustahil, benar benar sebuah kejadian yang sukar diterima dengan akal sehat.

Gerakan tubuh si Kelelawar tidak berhenti sampai disitu, kembali ia membetot sambil berputar, tak tahan tubuh Lau Ci-he ikut berputar bersama mayat nenek itu.

Kembali si Kelelawar menyentilkan jari tangannya, langsung menyentil diatas urat nadi ditangan kanan gadis itu.

Mau tak mau Lau Ci-he harus lepas tangan, cakar burung si Kelelawar pun segera berputar cepat, mencengkeram tengkuk si nona.

Lima jari tangannya yang dingin kaku, bagaikan lima ekor ular berbisa, tahu tahu mencengkeram lehernya.

Lau Ci-he betul betul terkesiap, ia merinding, bergidik, bulu kuduknya pada berdiri "Dimana kau sembunyikan golok itu?

" tanya si Kelelawar sambil tertawa.

Ucapan yang dingin, senyuman yang menyeramkan, jarak diantara mereka berdua pun begitu dekat, tanpa sadar perasaan ngeri yang mencekam hati Lau Ci-he makin membara.

Untuk sesaat ia berdiri tertegun, membelalakkan sepasang matanya tanpa menjawab.

"Jawab!

" hardik Kelelawar.

Kerutan wajahnya yang dalam bagai parutan, dalam waktu singkat mengejang keras.

Kalau memang dia pandang begitu penting golok Kelelawar, mengapa waktu itu dia hadiahkan kepada orang lain" Hanya terpaut sepuluh tahun, tapi semua keputusan telah berubah, semua pandangan telah berganti arah, bagi seseorang yang pernah menjadi orang idiot, perubahan watak bukanlah suatu kejadian yang aneh dan patut diherankan.

Dengan termangu Lau Ci-he mengawasi Kelelawar, ia tidak menjawab tapi sorot matanya mendadak memancarkan sinar yang sangat aneh.

Terdengar si Kelelawar kembali berkata: "Kalau tidak segera kau jawab, jangan salahkan bila aku bertindak keji!

" Baru selesai ia berkata, sekonyong-konyong Lau Ci-he menjerit keras: "Sebenarnya siapa kau?

" Sebuah pertanyaan yang sangat aneh.

"Kelelawar tanpa sayap!

" jawab sang Kelelawar setelah tertegun sejenak.

"Bukan, kau bukan, aku tahu kau bukan!

" jerit Lau Ci-he semakin keras.

Si Kelelawar tidak menjawab, dia hanya tertawa dingin tiada hentinya.

Terdengar Lau Ci-he berkata lagi: "Kau berhasil menirukan suaranya, kaupun berhasil menirukan semua tingkah laku dan gerak geriknya, tapi ada satu hal yang tak mungkin bisa kau pelajari, meniru dengan cara apa pun kau tak akan mampu menirukannya" "Apa itu?

" "Mata, matamu masih bernyawa, sedang si Kelelawar adalah orang buta!

" "Kau keliru besar!

" tangan kanan si Kelelawar bagaikan sebuah gagang golok segera menekan disisi mata kirinya, sebiji bola mata segera meloncat keluar dari balik kelopak.

Dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kanannya dia jepit bola mata itu, kemudian didekatkan ke wajah Lau Ci-he.

Kelopak mata bekas bola mata disebelah kiri kini muncul sebuah lubang hitam yang besar, dari balik lubang tadi terbesit cahaya fosfor yang aneh, seakan ada seakan tak ada, khususnya biji mata yang terjepit dijari tangannya, benda itu nampak menggidikkan hati.

Tampaknya biji mata itu dipenuhi dengan tenaga kehidupan, cahaya hijau yang menyeramkan memancar kian kemari, seolah sedang menatap Lau Ci-he, seolah hendak menerobos ke dasar tubuh gadis itu.

Lau Ci-he merasakan bulu kuduknya bangun berdiri, kalau bisa dia ingin sekali melengos kearah lain, tapi sayang ke lima jari tangan si Kelelawar yang mencengkeram tengkuknya seolah telah berakar, dia sama sekali tak sanggup menggerakkan kepalanya,.

Walaupun perasaan ngeri dan takut telah mencekam perasaan hatinya, hal itu tidak membuat cahaya keheranan yang terpancar jadi pupus, tiba tiba teriaknya keras: "Bagaimana dengan mata kananmu" Apakah dapat dilepas juga sekehendak hati?

" Kontan si Kelelawar menarik muka.

"Tidak mampu bukan?

" ejek Lau Ci-he, "kau tidak seharusnya berada begitu dekat dengan diriku!

" Si Kelelawar tidak bersuara.

Kembali Lau Ci-he berkata: "Daya ingatku tidak sejelek apa yang kau bayangkan, biar si Kelelawar sudah berubah jadi abu pun, aku tetap dapat mengenalinya" II "Omong kosong bentak si Kelelawar sambil tertawa dingin.

Tak disangkal, apa yang diucapkan Lau Ci-he memang omong kosong, bila seseorang telah berubah jadi abu, bagaimana mungkin dapat dikenali lagi" Tapi Lau Ci-he berkata lagi sambil tertawa dingin: "Aku hanya ingin tegaskan kepadamu, tak mungkin aku tak dapat mengenali si Kelelawar!

" "Kau benar benar amat membencinya?

" Lau Ci-he tertawa, suara tertawanya tak berbeda seperti seorang sinting, tak waras otaknya.

Kelelawar mulai mengernyitkan alis matanya, untuk sesaat dia tak tahu harus berbuat bagaimana.

"Kau betul betul sedang omong kosong" ejek Lau Ci-he lagi.

Setelah berhenti sejenak, dengan napas tersengkal tanyanya: "Katakan kepadaku, bagaimana keadaan si Kelelawar sekarang" Kalau aku merasa puas, golok itu akan kuserahkan, kalau tidak, biar apa pun yang hendak kau lakukan terhadap diriku, jangan harap golok itu bisa kau temukan!

" "Oya?

" "Keliru besar jika kau menganggap aku kemaruk dengan harta karun itu, aku sengaja menyimpan golok itu karena suatu hari nanti, aku siap mengembalikan kepadanya, langsung disodokkan keatas tenggorokannya!

" "Kau bicara jujur?

" "Seharusnya kau sudah mendengar" "Kau benar benar tidak takut mati?

" si Kelelawar semakin mengencangkan ke lima jari tangannya.

"Sejak dulu, nyawaku sudah mati separuh, aku hidup tak lebih seperti sesosok mayat berjalan!

" jerit Lau Ci-he.

"Kau benar benar ingin barter denganku?

" desak si Kelelawar sambil berkerut kening.

"Hmm, inilah satu satunya kesempatan yang kau miliki" ujar Lau Ci-he sambil tertawa dingin.

Akhirnya si Kelelawar mengaku: "Walaupun dia belum mati, namun kehidupannya tak berbeda seperti mati" "Tetap seorang idiot?

" "Rasanya dia sudah tak punya harapan lagi" "Bagus, bagus sekali!

" Lau Ci-he segera tertawa tergelak, tertawa nyaring.

"Sekarang tiba giliranmu, katakan, dimana kau simpan golok itu?

" tanya si Kelelawar.

Masih tertawa nyaring, tanya Lau Ci-he: "Sebenarnya siapa kau" Mengapa menyaru jadi Kelelawar" Kenapa kau menginginkan golok Kelelawar itu?

" Si Kelelawar mendengus gusar, sambil menarik wajahnya kembali ia menghardik: "Kau sembunyikan golok itu dimana?

" "Hahaha, walaupun kau cerdas, sayang tetap tertipu!

" ejek perempuan itu sambil tertawa tiada hentinya.

"Apa?

" Kelelawar segera memperkencang cengkeramannya.

Kontan gelak tertawa Lau Ci-he terputus ditengah jalan, dengan susah payah ia terengah engah, katanya: "Golok itu tergantung diatas dinding kamarku, sebetulnya kau tak usah bersusah payah!

" "Oya?

" Kelelawar menghembuskan napas lega.

Dengan mata melotot Lau Ci-he mengawasi wajah si Kelelawar, ujarnya lagi: "Sekarang kau boleh bunuh aku!

" "Ternyata kau memang seorang wanita yang amat cerdas" "Justru karena cerdas, aku tahu kalau kau tak akan membiarkan aku tetap hidup" "Sayang perasaan dendam yang berkecamuk dalam pikiran dan hatimu kelewat kental, kalau tidak, mungkin kau sudah menemukan rahasia diatas golok itu" "Mungkin saja benar" Kelelawar tidak bicara lagi, diapun tidak melakukan gerakan apa pun.

Sambil tertawa kata Lau Ci-he: "Kau tak usah banyak pikir, cara apa yang kau anggap bisa membuat kematianku terasa nikmat, lakukan saja dengan cara tersebut" "Hahaha, menganggap mati bagai pulang ke rumah, kagum, sungguh kagum!

" puji Kelelawar sambil tertawa.

"Jika kau tidak segera turun tangan, jangan salahkan kalau aku akan mulai memaki" "Kalau aku membunuhmu, perasaan hatiku tentu akan merasa amat sedih, namun kalau tidak membunuhmu pun hatiku akan bertambah pedih!

" "Hahaha, Kelelawar yang tulen tak akan bersikap ragu macam perempuan!

" ejek Lau Ci-he tertawa keras.

Tiba tiba Kelelawar mengebaskan tangannya, seluruh tubuh Lau Ci-he pun mencelat ke belakang.

Saat itulah sekilas cahaya bianglala berkelebat membelah bumi, cahaya golok!

 Tubuh Lau Ci-he yang terpental seketika berubah jadi kaku, kemudian terbanting keras keras diatas genting rumah.

Sekilas bianglala berwarna darah segar memancar ke empat penjuru!

 Golok Kelelawar telah disarungkan kembali, diujung mata golok tak ternoda setetes darah pun.

Golok itu memang sebilah golok mestika!

 Menyusul kemudian, tubuhnya yang ceking berjumpalitan di udara dan meluncur masuk melalui lubang diatas genting.

Cahaya lentera dalam ruangan belum padam, dengan cepat si Kelelawar memandang sekejap sekeliling tempat itu, akhirnya ia berhenti menatap diatas dinding sebelah kanan.

Sebilah golok tergantung disana, panjang lagi sempit, berbentuk setengah busur, pada gagang pedang terukir seeekor Kelelawar besar yang sedang mementangkan sayap.

Golok Kelelawar!

 Dengan langkah cepat si Kelelawar maju menghamiri.

Golok tergantung disana, sama sekali tidak menimbulkan suara, bila dia benar benar Kelelawar tanpa sayap, sekalipun memiliki pendengaran yang tajam pun jangan harap bisa mendengar kalau golok tersebut tergantung disitu.

Lalu siapakah dia" Dengan langkah cepat si Kelelawar berjalan menuju ke bawah dinding, menurunkan golok Kelelawar yang tergantung dan mencabut dari sarungnya.

Dibawah sinar lentera, golok mustika itu memancarkan cahaya yang menggidikkan, ketika matanya tertuju keatas golok, sekilas cahaya seakan memancar pula dari balik matanya.

Kemudian dia pun memperdengarkan suara tertawa, tertawa penuh kebanggaan.

Ditengah gelak tertawa, "Triiingl" dia sarungkan kembali goloknya, bila ia tidak buta, sudah pasti dapat dilihat kalau golok itu bukan golok Kelelawar palsu.

Setelah golok disarungkan, dia pun melangkah keluar dari pintu ruangan.

Terdengar suara benturan aneh, tahu tahu dinding ruangan merekah dan muncul sebuah lubang besar berbentuk manusia, dari lubang itulah si Kelelawar melangkah keluar.

Suasana diseputar ruangan amat hening, tak ada orang lagi yang datang menghadang.

Dalam perkampungan itu hanya ada empat orang, dan sekarang mereka telah berubah jadi orang mati.

Rembulan sudah tinggi di angkasa, cahaya rembulan terasa lebih pucat, lebih dingin menggidikkan.

Oo0oo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar