Kelelawar Tanpa Sayap Bab 12 Lorong rahasia

Bab 12 Lorong rahasia

"Aku rasa ada baiknya menunggu sampai Ciu Kiok sadar kembali" kata Suma Tang-shia.

Sekali lagi Siau Jit mengangguk.

"Betul, dia adalah satu satunya korban yang berhasil lolos dari ujung golok Kelelawar, jadi dia memang sepantasnya ikut ke sana" "Dengan begitu semuanya akan jadi jelas, apa benar Kelelawar yang ia jumpai adalah Kelelawar yang disekap dalam perkampungan Suma-sa n-ceng, atau Kelelawar yang kita jumpai" L ui Sin menambahkan.

"Moga moga saja ketiganya berasal dari satu orang yang sama" kata Han Seng sambil tertawa getir, "kalau tidak, seorang Kelelawar saja sudah bikin kita pusing, apa jadinya bila muncul Kelelawar yang lain" Lui Sin berpaling memandang kamar Ciu Kiok sekejap, kemudian katanya: "Entah bagaimana kondisi Ciu Kiok, kira kira kuat tidak ia diajak melakukan perjalanan?

" "Dia lemah karena telah kehilangan banyak darah, asal istirahat sejenak lagi, tanggung semangat dan kekuatan tubuhnya akan pulih kembali" "Jite" pesan Lui Sin kemudian, "beritahu Sun toa-nio, begitu Ciu Kiok tersadar kembali, minta dia segera memberi kabar" "Toako, tampaknya watak temperamenmu yang seperti bahan peledak, kini sudah banyak berubah" sahut Han Seng sambil manggut manggut.

Lui Sin tertawa ewa.

"Manusia toh gampang berubah" katanya.

Tanpa bicara lagi Han Seng membalikkan badan sambil beranjak pergi.

Kembali Lui Sin mendongak sambil menghembuskan napas panjang, tiba tiba bisiknya: "Aaai, musim gugur sudah mendekati puncaknya!

" Dia meraupkan tangannya, menangkap selembar daun yang sedang melayang ditengah udara.

Ia memang banyak berubah, meskipun Siau Jit tidak kenal orang ini namun banyak tahu tentang sifat serta perangainya dimasa silam, tapi kini, ia merasa semua tingkah laku dan sepak terjang orang ini sudah jauh berbeda dibandingkan dulu.

Tiba tiba Suma Tang-shia meraih selembar daun yang gugur dan bergumam: "Aku tidak menyukai musim gugur, khususnya di puncak musim gugur seperti ini" Siau Jit tidak menjawab, dia hanya membungkam.

Kembali Suma Tang-shia menatap wajah Siau Jit sekejap, lalu tanyanya perlahan: "Tahukah kau mengapa?

" "Ehmm" "Apa maksudmu ehmm?

" "Itu tandanya dia tahu" sela Lui Sin, kemudian setelah tersenyum lanjutnya, "justru aku yang tak habis mengerti, mengapa seorang gadis yang masih begitu muda macam dirimu ternyata begitu sensitif perasaan hatinya" Suma Tang-shia tertawa.

n "Karena kau berkata begitu, hal ini menandakan bila kau benar benar tidak tahu oyatgll katanya.

"Karena kau masih belum melihat kalau sesungguhnya aku sudah tidak muda lagi" Kontan Lui Sin tertawa terbahak-bahak.

"Hahaha, jadi kau beranggapan dirimu sudah tua sekali?

" "Buat seorang wanita setua aku belum juga menikah, hal ini pertanda kalau dia sudah tua" kata Suma Tang-shia sambil tertawa.

Lui Sin tertegun.

Kembali Suma Tang-shia melanjutkan: "Selewat puncak musim gugur akan tiba musim dingin, itu berarti setahun kembali berlalu, coba bayangkan sendiri, bagaimana mungkin perempuan macam diriku menyukai suasana puncak musim gugur?

" Walaupun masih tertawa, terlihat jelas kalau tawanya begitu sedih dan sendu.

"Sungguh tak disangka ada begitu banyak masalah yang gamang membuat kalian kaum wanita risau dan kuatir" gumam Lui Sin sambil tertawa getir.

Saat inilah Siau Jit baru buka suara: "Padahal banyak sekali pendekar kenamaan dalam dunia persilatan yang jatuh cinta kepada toaci, hanya selama ini toaci tak pernah pandang sebelah matapun terhadap mereka" "Banyak diantara mereka, bahkan kau pun tak pandang sebelah mata, bagaimana mungkin toaci mu bisa menaruh perhatian?

" sahut Suma Tang-shia tertawa.

"Selesai kasus disini, siaute pasti akan secara khusus mencarikan pasangan yang serasi untuk diri toaci" Mendengar itu, Suma Tang-shia tertawa cekikikan, suara tertawanya begitu sendu, begitu tak berdaya, apa boleh buat.

Angin musim gugur berhembus memenuhi halaman, semakin banyak dedaun yang berguguran, tapi suara tertawa Suma Tang-shia membuat suasana yang sudah sendu terasa makin pilu.

OoOoo Tengah hari, awan putih memenuhi jagad raya.

Awan dimusim gugur bagai selembar kain sutera yang tipis, cahaya sang surya menembusi lapisan awan, memancar lembut ke permukaan bumi, begitu lembut bagai kerlingan genit seorang kekasih.

Siau Jit dan Suma Tang-shia berjalan menelusuri sebuah jalan setapak ditengah kebun bunga, dibelakang mereka mengikuti Lui Sin, Han Seng serta Ciu Kiok.

Kondisi tubuh Ciu Kiok sudah jauh lebih sehat, dibimbing dua orang dayang, ia dapat berjalan lebih santai.

Kebun bunga itu terletak disebelah timur perkampungan Suma-san-ceng.

Biarpun Siau Jit adalah tamu yang sering berkunjung ke perkampungan itu, namun baru pertama kali ini dia melewati jalan setapak ditengah kebun bunga.

Sekilas pandang, jalan setapak itu tak jauh berbeda dengan kebun kebun bunga lain, namun sewaktu lewat disana, entah mengapa timbul suatu perasaan aneh dihati Siau Jit.

Dia bahkan sangat yakin kalau perasaan aneh itu bukan timbul lantaran dia berada disuatu tempat yang asing.

Entah karena melihat perubahan mimik wajah Siau Jit atau karena alasan lain, tiba tiba Suma Tang-shia bertanya: "Siau kecil, apakah kau merasakan sesuatu yang aneh dengan jalan setapak ini?

" "Anehnya memang aneh, hanya tidak kutemukan dimana letak keanehan itu" Suma Tang-shia segera tertawa, sambil belok ke sebuah persimpangan jalan katanya: "Kau seharusnya dapat melihat letak keanehan itu" Tergerak pikiran Siau Jit.

"Maksudmu kelewat banyak persimpangan jalan disini?

" "Sebetulnya bisa saja kita jalan lurus ke depan sana, tapi dalam kenyataan aku berbelok ke kiri menikung ke kanan dan tiada hentinya memasuki persimpangan jalan yang ada" "Mula mula kusangka setelah berbelok satu persimangan jalan, seharusnya toaci akan berjalan lurus, tapi setelah mendengar ucapan toaci, aku jadi sedikit mengerti" "Kalau begitu coba kau terangkan" "Persimangan jalan yang ada disini tampaknya memang kacau tak beraturan, padahal dalam kenyataan memiliki kepanjangan yang sama, hanya saja arahnya , , , , , , ,,

" "Kenapa dengan arahnya?

" tanya Suma Tang-shia tertawa.

"Arah timur, selatan, barat, utara hampir semuanya terdapat hal yang sama, berapa kali aku merasa hakekatnya sedang berputar ditempat yang sama, mana ada jalan setapak macam begini?

" Suma Tang-shia tidak menjawab, lagi lagi dia belok memasuki sebuah persimpangan jalan.

Tiba tiba Siau Jit berkata: "Bila dugaan siaute tak salah, seharusnya disini telah dipasang sebuah barisan bunga" Suma Tang-shia manggut-manggut.

"Apakah sudah kau lihat ilmu barisan apa?

" "Bukankah Lak-hap-tin?

" ujar Siau Jit setelah termenung sejenak.

Mula mula Suma Tang-shia agak tertegun, kemudian sahutnya sambil tertawa: "Tak kusangka kau benar benar dapat menebaknya, selama ini aku hanya tahu kalau ilmu pedangmu sangat lihay dan tangguh, tak nyana dibidang ilmu barisan pun kau memiliki pengetahuan yang luar biasa" "Dimasa tua, guruku tertarik untuk mempelajari ilmu dibidang tersebut , , , , , ,,

" "Dan kau kebagian ilmunya" "Tentu saja, kalau tidak bagaimana mungkin bisa menemukan ilmu barisan tersebut sekarang" "Tapi sejujurnya, mempelajari ilmu semacam itu betul betul bikin otak seperti mau meledak" kata Suma Tang-shia tertawa.

n "Belum pernah tahu kalau ternyata toaci menguasahi juga , , , , ,,

"Dari seluruh wilayah perkampungan Suma-san-ceng, hanya daerah seputar sini yang sama sekali tak dilengkapi dengan alat perangkap" tukas Suma Tang-shia cepat.

"Andaikata kami tidak membuntuti toaci dan berjalan semaunya sendiri, apa yang bakal terjadi?

" "Maka kalian hanya akan berputar terus diseputar tempat ini" "Bukankah kita dapat menebang pepohonan disitu dan membuka sebuah jalan lewat?

" "Itu mah tergantung bagaimana nasibmu" "Kalau kebetulan bernasib jelek?

" "Begitu menyentuh tombol rahasia dibalik pepohonan, besar kemungkinan kau akan tewas dibawah hujan panah!

" "Bagaimana dengan para dayang , , , , , , ,,

" Suma Tang-shia tertawa, potongnya: "Tempat ini sudah ditetapkan sebagai daerah terlarang, tanpa perintah dilarang masuk, jadi seandainya ada yang tersesat, yaa jangan salahkan orang lain" "Berarti si Kelelawar dikurung dalam barisan ini?

" tanya Siau Jit kemudian.

"Boleh dibilang begitu,,,,

andaikata selama hidup si Kelelawar berada dalam kondisi idiot, cukup barisan ini sudah mampu mengurungnya sepanjang masa, tapi jika tiba tiba kesadarannya pulih kembali, susahlah untuk diprediksi mulai sekarang" "Atau dengan perkataan lain, kecuali barisan ini masih ada perlengkapan lainnya?

" "Masa kau lupa" Aku kan sudah mengatakan kalau disini seluruhnya terdapat tiga belas lapis alat perangkap yang sangat hebat?

" "Tidak" Siau Jit menggeleng.

"Ooh, mungkin kau merasa sangsi dengan perkataanku itu?

" tanya Suma Tang-shia sambil tertawa.

"Aku baru teringat setelah menyaksikan ilmu barisan yang diterapkan disini" "Oya?

" "Hanya untuk membangun ilmu barisan inipun, aku yakin sudah banyak tenaga, pikiran dan beaya yang dihamburkan, apakah kau tidak merasa agak kelewatan untuk membuang begitu banyak harta dan waktu hanya untuk melindungi seorang idiot?

" Suma Tang-shia mengangguk sedih.

"Akupun berpendapat begitu, menurut anggapanku, lebih baik kita hadiahkan sebuah bacokan saja ke tubuh si Kelelawar daripada mencari kesulitan dan masalah, tapi ayahku sekalian tidak sependapat" "Para cianpwee dan enghiong kebanyakan memang berpikiran begitu, kelewat berbelas kasihan" keluh Siau Jit sambil tertawa getir.

"Itulah dia, jadi aku sendiripun tak bisa mengatakan apakah tindakan yang mereka lakukan ini benar atau tidak" Kembali Siau Jit menghela napas.

"Moga moga saja sikap baik dan berbudi mereka terhadap si Kelelawar tidak keliru" "Aku cukup tahu akan keampuhan dan kedahsyatan dari berapa alat jebakan yang terpasang diseputar tempat ini, aku tak percaya kalau si Kelelaw ar sanggup melarikan diri dari loteng itu" "Dan yakin pula kalau Lui Hong bukan tewas ditangan si Kelelawar?

" Suma Tang-shia tidak menanggapi, ia terbungkam.

Sementara pembicaraan masih berlangsung, kembali mereka melewati dua buah tikungan, diantara ranting daun dan pepohonan, lamat lamat tampak sebuah dinding pagar tinggi berwarna coklat.

Setelah termenung berapa saat, Suma Tang-shia baru berkata: "Benarkah peristiwa berdarah itu merupakan hasil karya si Kelelawar, setelah melihat keadaan Kelelawar nanti, aku yakin kita bisa menarik sebuah kesimpulan" Siau Jit manggut-manggut.

"Ciu Kiok pun seharusnya dapat mengenali apakah orang itu adalah si Kelelawar yang melukai dirinya atau bukan" "Menurut apa yang kuketahui, Kelelawar tak punya saudara, jadi aku rasa tak mungkin ada orang yang mirip dengan si Kelelawar" Sementara itu Suma Tang-shia telah mengajak mereka berbelok satu tingkungan, begitu selesai berbelok, mereka telah keluar dari dalam barisan bunga.

Selapis dinding pagar yang tinggi terbentang satu tombak dihadapan mereka, disisi dinding itu terlihat sebuah undak-undakan batu yang membentang keatas, diujung dinding merupakan sebuah panggung datar, sekeliling panggung dipagari dengan balok kayu besar.

Sambil menunjuk kearah panggung itu, ujar Suma Tang-shia: "Dengan berdiri diatas panggung itu, kita dapat menyaksikan dengan jelas loteng kecil tempat Kelelawar disekap, panggung ini semuanya berjumlah empat buah, atau dengan perkataan lain, mau kabur kearah mana pun, segala gerak gerik Kelelawar tak akan lolos dari pengamatan kami" "Masa Kelelawar tak mengerti bagaimana cara membuka jendela dan pintu loteng?

" tanya Siau Jit keheranan.

"Naik saja keatas panggung, entar kalian akan mengerti dengan sendirinya" usul Suma Tang-shia sambil menaiki anak tangga batu menuju keatas panggung.

Siau Jit menyusul dibelakangnya.

Sepanjang pembicaraan berlangsung, Han Seng dan Lui Sin yang mengikuti dibelakang mereka dapat mendengar dengan sangat jelas, perasaan keheranan mereka sedikitpun tidak berada dibawah Siau Jit, namun kedua orang itu berusaha menahan diri agar tidak ikut menimbrung.

Tentu saja Ciu Kiok yang paling terheran heran, dia bahkan sudah melupakan rasa sakit pada lehernya dengan mempercepat langkah kakinya.

Serombongan manusia itu bagai barisan sukma, tanpa menimbulkan suara berjalan menuju ke panggung.

Panggung datar itu terbuat dari batu putih, satu tombak lebih tinggi dari dinding pagar, luasnya pun mencapai satu tombak lebih, dengan begitu meski ada tujuh orang yang berdiri disana, mereka sama sekali tak merasa kesemitan.

Angin yang berhembus diatas panggung amat kencang, hembusan angin mengibarkan ujung baju mereka.

Disisi belakang dinding tinggi itu merupakan sebuah hutan bambu, hembusan angin yang kencang membuat daun bambu bergemerisik ramai.

Ketinggian pohon bambu lebih rendah dari permukaan panggung, jadi tumbuhan itu sama sekali tidak menghalangi pandangan mereka, dari atas panggung mereka dapat melihat dengan jelas suasana dalam loteng yang dikelilingi kebun bambu itu.

Benar saja, bangunan loteng itu sama sekali tidak dilengkapi pintu maupun jendela.

Disanapun tak ada dinding tembok tapi berupa jeruji yang terbuat dari balok kayu besar, jadi kalau dibilang bangunan itu adalah sebuah loteng, lebih tepat dibilang sebagai gardu dua tingkat.

Diseputar bangunan loteng itu merupakan lapisan tembok pendek, tingginya tak sampai satu tombak.

Dinding pendek itulah yang memisahkan bangunan dengan hutan bambu.

Diantara bangunan loteng dan tembok pendek terhampar sebuah tanah lapang, rumput yang tumbuh disana amat lebat dan mencapai ketinggian lutut.

Oleh karena kehadiran lapangan dengan semak tinggi inilah, bangunan loteng tampak terpencil dan sendu, seolah sama sekali tak ada penghuninya.

Sambil menarik napas panjang gumam Siau Jit: "Sebenarnya tempat ini adalah sebuah temat yang ind ah" "Betul, coba dinding pendek itu disingkirkan, lalu semua semak dibabat rata, mau dibangun gardu atau rumah gubuk disitu, aku yakin pasti banyak orang yang menyukainya dan kerasan tinggal disini" "Dan siaute adalah salah seorang diantaranya" sambung Siau Jit cepat.

"Menggunakan tempat semacam ini untuk mengurung manusia laknat macam Kelelawar, jelas siapa pun akan beranggapan kalau kelewat buang buang duit" Lui Sin yang selama ini murung, kali ini tak kuasa menahan diri lagi, timbrungnya: "Aku benar benar tak habis mengerti dengan jalan pemikiran para hiapsu dan kaum pendekar" Siau Jit tertawa getir.

"Rasanya bukan hanya locianpwee seorang yang merasa tak habis mengerti" "Benar, aku selalu beranggapan bahwa cara kerja mereka kadangkala sok berlebihan" Han Seng menambahkan.

"Mungkin saja tidak semua orang berpikiran begitu" "Asal ada seorang saja yang tidak berpikiran begitu, itu sudah lebih dari cukup" Suma Tang-shia manggut manggut dan tidak bicara lagi.

"Apakah orang itu adalah si Kelelawar?

" tiba tiba terdengar Siau Jit berseru sambil memandang ke arah bangunan loteng itu.

Tanpa terasa semua orang berpaling kearah yang ditunjuk.

Dalam ruang loteng itu tampak ada seorang kakek sedang duduk bersila.

Rambut beruban kakek itu tampak kusut tak rapi, dia mengenakan baju warna hitam dan duduk disitu tanpa bergerak, seakan sedang memikirkan sesuatu, ia duduk tak bergerak, penampilannya persis seperti sesosok mayat kering yang tak bernyawa.

Karena jaraknya terlampau jauh, lagipula kepalanya setengah tertunduk, semua orang tak dapat melihat jelas raut muka sesungguhnya.

Kalau wajah pun tak terlihat, tentu saja tak akan tampak perubahan mimik mukanya.

Namun mereka segera merasakan semacam perasaan yang amat misterius, khususnya ketika Suma Tang-shia menjawab: "Benar, dialah sang Kelelawarl", perasaan misterius itu terasa semakin kental.

Benarkah dia adalah si Kelelawar tanpa sayap, Kelelawar laknat yang membuat paras muka para jago berubah ketika mendengar namanya, Kelelawar bajingan yang selalu mengincar perempuan, membunuh orang tanpa berkedip dan selalu melakukan perbuatan jahat" Semua orang membelalakkan matanya lebar lebar, memusatkan segenap perhatian ke wajahnya.

Ciu Kiok merasakan pula jantungnya berdebar keras, perasaan ngeri, seram dan ketakutan segera menyelimuti dirinya.

Dialah satu satunya orang yang lolos dari kematian, lolos dari cengkeraman mautnya.

Kelihatannya si Kelelawar sama sekali tidak merasa kalau ada orang sedang celingukan diatas panggung, dia hanya duduk termangu ditempat tanpa bergerak sedikitpun juga.

Entah kenapa, setiap orang merasa seakan ada benda yang setiap saat dapat bergerak, seperti ada sekelompok Kelelawar yang setiap waktu bakal menyerang mereka.

Bahkan Suma Tang-shia pun punya perasaan seperti ini, dengan wajah sangsi tanyanya kepada Ciu Kiok: "Nona cilik, apakah orang ini yang kau jumpai di jalan raya di luar kota?

" Begitu pertanyaan itu diucapkan, tatapan mata semua orang serentak tertuju ke wajah Ciu Kiok.

"Apakah dia orangnya?

" tak sabar desak Lui Sin.

Ciu Kiok menatap sekejap sekeliling ruang loteng itu, mula mula ia tampak kebingungan, sesaat kemudian dengan nada meyakinkan sahutnya: "Bukan, bukan orang ini" "Bukan Kelelawar yang ini?

" desak Lui Sin cemas.

"Bukanl" sahut Ciu Kiok yakin.

"Rasanya orang inipun bukan kakek buta yang mengaku sebagai Kelelawar tanpa sayap yang kita jumpai pagi tadi" sela Siau Jit tiba tiba.

"Betul, pada hakekatnya seperti dua orang yang berbeda" Han Seng menambahkan.

Agaknya sekarang Lui Sin baru teringat akan peristiwa itu, gumamnya: "Sama sekali tak mirip" Perlahan Suma Tang-shia menyapu sekejap wajah ke emat orang itu, tanyanya kemudian: "Kalian sudah melihat dengan jelas?

" "Sekalipun dia tidak mendongakkan kepalanya, namun bagaimana pun dipandang, rasanya dia sama sekali tak mirip dengan Kelelawar yang kita jump ai pagi tadi" ujar Siau Jit.

"Tidak susah bila menginginkan dia mendongakkan kepalanya" kata Suma Tang-shia, setelah memandang sekejap bawah panggung, lanjutnya, "aku sengaja mengajak kalian masuk pada saat ini karena ada alasannya" Mengikuti arah yang dipandang, Siau Jit menyaksikan ada seorang perempuan tua berbaju abu abu sedang berjalan keluar dari balik barisan bunga dan menuju ke arah panggung.

Perempuan tua itu berusia enam puluh tahunan, wajahnya ramah, dia membawa sebuah keranjang terbuat dari bambu.

"Dia adalah , , , , , , , ,,

" tanya Lui Sin keheranan.

"Dia adalah Sim Ngo-nio, dayang tua dari keluarga kami, saatnya menghantar nasi untuk Kelelawar" "Ooh,,,,?

" "Walaupun kungfu yang dimiliki Kelelawar sangat tinggi, bagaimana pun dia tetap manusia, sekalipun dia tidak berubah jadi orang idiot pun, paling juga bisa menahan lapar selama berapa hari" "waah, tampaknya repot sekali untuk membiarkan Kelelawar ini tetap hidup" gumam Lui Sin dengan kening berkerut.

"Akupun berpendapat begitu, kenapa tidak dibantai saja, urusan jadi beres" ujar Suma Tang-shia.

"Betul sekali!

" Sementara pembicaraan masih berlangsung, Sim Ngo-nio telah naik keatas panggung dan memandang sekejap ke tujuh orang itu dengan pandangan sangsi dan penuh curiga.

Buru buru Suma Tang-shia memberi tanda kepada Sim Ngo-nio seraya berseru: "Sana, laksanakan saja tugasmu" Sim Ngo-nio tidak bicara apa apa, dia langsung menaiki tangga batu, biar usianya sudah banyak namun tindak tanduknya tidak mencerminkan ketuaan, setiap langkah kakinya masih mantap dan penuh tenaga.

"Aku rasa diapun seorang ahli silat" kata Siau Jit setelah memandangnya sekejap.

"Percayalah, ilmu silat yang dia miliki sama sekali tidak berada dibawah kemamuanku, bahkan mungkin jauh diatasku" "Sama sekali tak kusangka" Suma Tang-shia tertawa, sambungnya: "Tentu saja kau terlebih tak menyangka kalau dia dengan ayahku masih terhitung saudara seperguruan" Siau Jit tertegun, serunya kemudian: "Aah, sungguh diluar dugaan" Sambil merendahkan suaranya kembali ujar Suma Tang-shia: "Aku hanya bisa beritahu kepadamu bahwa dia amat menyukai ayahku, sayang ayahku sudah keburu mengawini ibuku, disaat ibuku meninggal, diapun sudah patah arang dan tidak berniat "Aah, sungguh diluar dugaan" Sambil merendahkan suaranya kembali ujar Suma Tang-shia: "Aku hanya bisa beritahu kepadamu bahwa dia amat menyukai ayahku, sayang ayahku sudah keburu mengawini ibuku, disaat ibuku meninggal, diapun sudah patah arang dan tidak berniat untuk menikah lagi" "Kejadian semacam ini terkadang memang tak bisa dipaksakan" Suma Tang-shia menghela napas panjang dan tidak bicara lagi.

Ternyata Sim Ngo-nio tidak langsung menaiki panggung batu itu tapi berhenti pada undakan trap pertama dekat dinding tembok.

Diujung tembok terdapat sebuah tabung bambu yang kasar dan besar, tabung itu langsung berhubungan dengan ruangan dalam bangunan loteng.

Sebenarnya sejak tadi Siau Jit, Han Seng maupun Lui Sin telah menaruh perhatian pada tabung bambu itu, hanya saja karena konsentrasi mereka tertuju pada si Kelelawar, maka selama ini tak semat menanyakannya kepada Suma Tang-shia.

Tapi sekarang, tanpa ditanya pun mereka sudah tahu apa kegunaan dari tabung bambu itu.

Sim Ngo-nio membuka kain biru penutup keranjang bambunya dan mengeluarkan dua buah tabung bambu pendek, kemudian secara beruntun dia lempar kedua tabung kecil itu ke dalam tabung bambu besar.

"Apakah isi tabung bambu itu adalah makanan?

" Siau Jit segera bertanya.

"Satu tabung berisi makanan, satu tabung yang lain berisi air bersih, tabung tabung itu akan menggelinding masuk ke dalam ruangan loteng itu melewati tabung bambu besar ini, biarpun setiap hari hanya dua tabung, namun repotnya bukan kepalang" "Aku lihat si Kelelawar benar benar seperti orang idiot" tiba tiba ujar Siau Jit, "kalau tidak, seharusnya ia dapat berpikir untuk menggunakan batang bambu ini untuk melarikan diri" Suma Tang-shia kontan tertawa.

"Justru lantaran dia tidak berbuat begitu, maka suasana diseputar sini masih tetap terjaga hingga kini, belum rata dengan tanah" "Jadi tiang bambu itu dihubungkan dengan sumbu bahan peledak?

" tanya Siau Jit tertegun.

"Betul!

 Ketika mendengar ada benda menggelinding lewat tabung bambu itu, si Kelelawar segera akan berjalan menghampiri dan mengambil kedua tabung makanan dan air bersih itu , , , , , , , ,,

" Belum habis dia berkata, disebela h sana si Kelelawar sudah mendongakkan kepalanya.

< br/> Kini dia berjalan mendekati panggung batu dengan wajah menghadap ke atas.

Kini Siau Jit, Lui Sin maupun Han Seng dapat melihat wajahnya dengan sangat jelas, ternyata dia memang bukan kakek buta yang dijumpai pagi tadi.

Tanpa sadar serentak mereka berpaling ke arah Ciu Kiok.

Tampak Ciu Kiok menggelengkan kepalanya berulang kali, Kelelawar yang tersekap dalam loteng itu sama sekali bukan Kelelawar yang menipu Lui Hong, apalagi si Kelelawar yang membunuh To Kiu-shia serta Thio Poan-oh sekalian.

Mungkinkah si Kelelawar tanpa sayap ada yang asli dan gadungan" Tapi siapa yang berani menyamar jadi manusia seperti itu" Dalam waktu singkat perasaan semua orang jadi kalut, kacau setengah mati, dan pada saat itu pula si Kelelawar mulai bergerak.

Tampak seluruh tubuhnya mencelat ke tengah udara lalu begitu jatuh kembali ke bawah, ia berputar dilantai bagai gangsingan, dengan berapa kali putaran tubuhnya sudah melompat keluar dari ruang loteng.

Saat itulah semua orang baru melihat kalau ditangan kanannya ia menggenggam sebatang tongkat bambu.

Begitu menyaksikan tongkat bambu itu, baik Siau Jit maupun Han Seng dan Lui Sin segera merasa sangat mengenal dengan benda tersebut.

Fajar tadi, ketika bertemu dengan Kelelawar tanpa sayap, mereka saksikan ditangan orang itupun membawa sebuah tongkat bambu yang sama.

Dengan tongkat itulah dia menggurat sebuah gambar Kelelawar diatas tanah, beritahu kepada mereka bahwa dialah si Kelelawar.

Kelelawar tanpa sayap!

 Walaupun jarak mereka cukup jauh, meski mereka tak dapat melihat secara jelas, namun baik warna, ukuran maupun bentuk dari tongkat bambu itu sama sekali tak berbeda dengan apa yang disaksikan Siau Jit bertiga.

Itulah sebabnya mereka merasa sangat mengenal dengan benda tersebut, perasaan kenal itu bukan dikarenakan benda itu sama sama sebuah tongkat bambu.

Tanpa sadar semua jago mulai tegang, mulai merasakan aliran darah bergerak cepat.

Pada saat itu pula paras muka Suma Tang-shia ikut berubah.

Persoalan apa yang telah membuatnya terperanjat" Si Kelelawar sudah keluar dari bangunan loteng, tiba tiba tongkat bambunya ditekan ke bawah kemudian menutul keatas wuwungan rumah, tubuhnya yang kurus itupun segera melambung tinggi ke angkasa.

Bersamaan itu tongkat bambunya meluncur ke tengah udara dengan kecepatan tinggi.

Tatkala tubuh kurusnya meluncur kebawah, sepasang ujung bajunya segera dipentangkan seperti Kelelawar mementang sayap, ia seolah-olah berubah menjadi seekor Kelelawar hitam yang amat besar.

Begitu meluncur ke bawah, lagi lagi badannya melejit, sementara dalam genggaman tangannya telah bertambah dengan sebuah tabung bambu.

Tabung itu tak lain adalah tabung bambu yang baru saja dimasukkan Sim Ngo-nio ke dalam tabung bambu besar tadi.

Ketika tongkat bambunya meluncur ke bawah, si Kelelawar segera pentang mulutnya dan secara tepat menggigit ujung tongkat tadi.

Lagi lagi badannya yang kurus kering berputar bagai gangsingan ditengah udara, kemudian melesat masuk ke dalam ruang loteng.

Begitu duduk kembali diposisinya semula, dia mulai tertawa, tertawa bangga.

Suara tertawa itu berkumandang hingga keluar hutan bambu, menggema disisi telinga semua orang, begitu tajam dan nyaring suara tertawanya hingga jauh melebihi suara gemerisik daun bambu yang dimainkan angin.

Suara tertawanya sangat aneh, dibalik suara mencicit, terselip pula perasaan menakutkan yang sukar dilukiskan dengan perkataan.

Semua orang mulai bergidik, mulai merinding, tanpa terasa bulu kuduk mulai berdiri.

"Suara tertawanya mirip sekali!

" tiba tiba Ciu Kiok menjerit keras.

Lui Sin, Siau Jit maupun Han Seng pun mempunyai perasaan yang sama, seperti itulah suara tertawa yang mereka dengar ketika bertemu si Kelelawar fajar tadi.

Tapi sekarang suara tertawa itu kedengaran begitu aneh, begitu menakutkan.

Kembali paras muka Suma Tang-shia berubah, gumamnya: "Kenapa bisa jadi begini?

" Terdengar suara yang parau tua bergema dari samping tubuhnya: "Setelah berada disini banyak tahun, baru pertama kali ini kulihat ia bersikap begitu" Itulah suara dari Sim Ngo-nio, dia sudah berjalan naik ke panggung batu dan menghampiri Suma Tang-shia.

Paras muka perempuan tua inipun tampak sangat aneh.

"Benar" ujar Siau Jit pula, "bila dilihat dari tingkah lakunya sekarang, dia sama sekali tak mirip seorang manusia idiot" " kata Suma Tang-shia "Sesaat tadi memang tidak mirip, tapi sekarang sudah mirip kembali sambil tertawa getir.

Sewaktu Siau Jit berpaling lagi, diapun ikut tertawa getir.

Betul saja, waktu itu si Kelelawar sedang mengawasi tabung bambu dikiri kanan tangannya secara bergantian sambil tertawa bodoh.

Suara tertawa yang berkumandang pun sama sekali tak mirip dengan suara tertawa manusia normal.

Suara tertawa ini berbeda sekali dengan suara tertawanya sebelum Siau Jit mengucapkan perkataannya tadi.

Dibalik suara tertawanya terselip perasaan gembira yang sukar dilukiskan dengan perkataan, membuat siapa pun yang mendengar, merasa makin seram dan ngeri.

Siau Jit merasa amat ngeri, bulu romanya mulai bangkit berdiri.

"Baru pertama kali ini kudengar ia tertawa seperti itu" kembali Suma Tang-shia berkata sambil tertawa getir.

"Begitu pula dengan aku" Sim Ngo-nio menambahkan.

"Mungkinkah ada saat dia mulai tersadar kembali?

" timbrung Han Seng.

Sim Ngo-nio termenung tanpa menjawab, sementara Suma Tang-shia menyahut setelah berpikir sejenak: "Hal ini kurang jelas" "Tapi bagaimana pun juga, jangan harap dia bisa meloloskan diri dari hutan bambu ini" Sim Ngo-nio menambahkan.

Suma Tang-shia manggut-manggut.

"Ke tiga belas lapis alat perangkap itu dirancang dan diterapkan setelah melalui pertimbangan serta perhitungan yang matang, lagipula semua peralatan ditanam pada bagian yang tidak mencolok, kendatipun ia dapat menemukan letaknya, belum tentu dapat merusaknya, jadi hal yang mustahil bila dia sanggup lolos dari tempat ini" "Bila ia dapat keluar dari barisan, berarti tak mungkin akan tetap tinggal didalam hutan bambu" lanjut Sim Ngo-nio, "kalau sampai terjadi hal semacam ini, perkampungan Suma-san-ceng sebagai barisan pertama pasti sudah dibumi hangus oleh dirinya" "Tapi bagaimana dengan tongkat bambunya?

" tanya Lui Sin tiba tiba.

"Kenapa dengan tongkat bambu itu?

" "Kelelawar yang kami jumpai fajar tadi justru membawa tongkat bambu yang sama!

" kata Lui Sin.

"Kau yakin sama?

" desak Suma Tang-shia.

"Walaupun aku tak berani memastikan seratus persen, namun ukuran maupun warnanya sama sekali tak berbeda" "Kalau dibicarakan kembali, peristiwa ini memang sangat aneh" ujar Sim Ngo-nio, "selama banyak tahun berada disini, belum pernah kulihat dia membawa tongkat bambu semacam itu" Suma Tang-shia mengiakan, paras mukanya tamak lebih murung dan serius.

"Masa kejadian ini begitu kebetulan?

" desak Lui Sin.

Suma Tang-shia hanya termenung tanpa menjawab.

Berkilat sorot mata Siau Jit, tiba tiba ujarnya: "Toaci, bolehkah kami berjalan lebih dekat lagi dengan si Kelelawar itu agar bisa melihat lebih jelas?

" "Boleh saja" jawab Suma Tang-shia setelah termenung sejenak, perlahan ia berpaling kearah Sim Ngo-nio.

"Padahal kita tak usah kelewat kuatir atau was was" kata Sim Ngo-nio sesudah berpikir sejenak, "bila Kelelawar itu tak bermasalah, biar kita mendekatinya pun tak bakal ada mara bahaya, andaikata ia sudah peroleh kembali kesadaran nya, dengan andalkan kekuatan kita semu a, rasanya masih mampu untuk menghadapinya" "Baik!

" kata Suma Tang-shia kemudian sambil mengangguk, "mari kita tengok dia dari luar pagar pendek itu" "Aaah benar" tiba tiba Sim Ngo-nio berseru, "sebetulnya apa yang telah terjadi?

" "Mari kita bicarakan sembari berjalan" kata Suma Tang-shia, kepada Siau Jit bertiga katanya pula, "setelah melewati dinding tinggi, aku harap kalian mengikuti aku dengan hati hati" Dia berbicara dengan nada serius.

"Toaci tak usah kuatir" sahut Siau Jit.

"Benar, kami sama sekali tidak mencurigai atau meragukan perkataan nona" sambung Han Seng.

Kembali Suma Tang-shia tertawa.

II "Sejujurnya, hutan bambu itu merupakan sebuah wilayah yang sangat berbahaya katanya, "karena itu mohon maaf bila terpaksa aku harus bawel dan banyak bicara" "Hahaha, nona tak usah kuatir, kami dua bersaudara masih belum ingin mati sekarang" kata Lui Sin sambil tertawa keras.

Kembali Suma Tang-shia tertawa, dengan berpegangan dibahu Siau Jit, ia mulai menuruni anak tangga batu.

Dalam pada itu suara tertawa aneh dari si Kelelawar telah berhenti.

Lebih kurang tiga tombak diatas dinding kiri sebelah timur lapangan batu, terdapat sebuah pintu berbentuk rembulan, walau tidak dilengkapi daun pintu, namun diatasnya tergantung sebuah papan nama yang bertuliskan: Mati untuk yang berani masuk!

 Sesungguhnya, barisan bunga itu telah ditetapkan oleh perkampungan Suma san-ceng sebagai daerah terlarang, andaikata ada orang ingin tahu yang menerobos masuk sampai disitu dan tiba ditempat ini, semestinya mereka akan segera menghentikan langkahnya sesudah membaca tulisan itu.

Melongok kebalik pintu, terlihat sebatang pohon bambu dan tidak terlihat jalanan lainnya.

Pintu gua itu terletak disisi kiri dengan lebar setengah kaki, tapi satu meter diantaranya kini sudah tertutup oleh dahan bambu yang malang melintang.

Suma Tang-shia segera berhenti didepan pintu sambil berkata: "Siau kecil, cabut pedangmu" "Untuk apa?

" tanya Siau Jit tertegun.

"Tentu saja membabat batang bambu yang melintang di depan pintu masuk!

" Sambil meloloskan pedangnya kata Siau Jit kemudian: "Siaute hanya tahu membabat sambil maju, bila menemui kegagalan, jangan lupa toaci memberi petunjuk" Kontan Suma Tang-shia tertawa cekikikan.

"Biarpun toaci mu kesalnya sampai ingin mati, saat ini masih belum ingin mati beneran" Siau Jit tertawa, cahaya pedang berkelebat, dia mulai membabat kutung ranting dan dahan bambu yang menghadang jalanan.

Tangan kanan Suma Tang-shia masih berpegangan diatas pundak kiri Siau Jit, dia tampak begitu lemah.

Ditengah cahaya pedang, rombongan itu kembali melanjutkan perjalanan memasuki hutan bambu.

Ternyata jalanan yang terbentang dibalik pintu bukan hanya ada sebuah, tapi banyaknya luar biasa, selain banyak bahkan rapat dan membingungkan, persis seperti sebuah jaring laba-laba.

Setiap cabang jalan, nyaris dimulai dari pintu masuk tersebut.

Baru tiga kaki memasuki hutan bambu, jalanan itu telah terpecah menjadi sembilan buah jalan, setiap pecahan jalan memiliki bentuk yang tak berbeda.

Setiap cabang jalan itupun hanya membentang sejauh tiga tombak, tidak lebih tidak kurang.

Pada cabang jalan tersebut kembali muncul cabang jalan lain, bagi Siau Jit yang menguasahi ilmu barisan, setelah belok berapa kali, dia mulai kehilangan pegangan dan bingung sendiri.

Terlebih Han Seng dan Lui Sin, mereka hanya merasakan pandangannya kabur dan berkunang, dalam keadaan begini mereka hanya bisa mengintil dibelakang Suma Tang-shia dan Siau Jit secara ketat.

Sim Ngo-nio berjalan dipaling belakang, namun dia pula yang paras mukanya nampak sangat serius, seolah kuatir kalau berapa orang yang berjalan duluan itu salah langkah hingga berakibat fatal.

Dari mimiknya ini, bisa disimpulkan bahwa ia sudah membuang waktu cukup lama untuk mempelajari barisan tersebut, sekalipun sesungguhnya dia tidak tertarik dengan ilmu semacam itu.

Terbukti Suma Tang-shia memang seseorang yang sangat ahli, biarpun setiap langkah dia lakukan dengan hati hati, namun tak pernah salah langkah.

Makin ke dalam, hutan bambu semakin lebat dan rapat, sebagian besar jalanan bahkan sudah terputus oleh lebatnya tanaman, hal ini menunjukkan entah sudah berapa lama tempat tersebut tak pernah dijamah manusia.

Kendatipun begitu, Suma Tang-shia tetap bisa mengenali daerah disitu dengan jelas dan tepat.

Setiap langkah yang dilakukan seakan sudah berada didalam perhitungannya, kalau bukan sangat ahli, bagaimana mungkin ia dapat melakukan kesemuanya itu" Setelah berjalan sekian lama, akhirnya tak tahan Siau Jit menghela napas panjang dan bergumam: "Sekarang, aku benar-benar merasa sangat kagum" "Kau mengagumi aku?

" tanya Suma Tang-shia sambil tertawa.

"Benar" Siau Jit mengangguk, "jangankan keluar dari barisan ini, bahkan untuk menentukan arah mata angin pun, sekarang aku sudah tak mampu" "Berarti kau kagum seratus persen?

" "Betul, kagum dan takluk seratus persen" Kontan saja Suma Tang-shia tertawa cekikikan, tiba tiba serunya: "Belok kiri!

" Siau Jit menyahut sambil belok ke kiri, pedangnya bergetar cepat dan "Sreeet!

" sebatang pohon bambu yang menghadang dihadapannya tertebas kutung dan mencelat ke samping.

Berkilat sorot mata Suma Tang-shia, katanya lagi sambil tertawa: "Aku pun merasa kagum seratus persen dengan kehebatan ilmu pedangmu" "Aaah, kepandaian ku tak seberapa" "Hihihi, sejak kapan kau belajar merendah?

" "sekarangl" kembali pedangnya bergerak memapas kutung sebatang pohon bambu yang menghadang didepan mata.

"Kami jadi ikut bingung dan tak tahu harus bicara apa" timbrung Han Seng dari belakang.

"Menurut apa yang kuketahui, pedang perak milik Han-ya pun terhitung luar biasa" "Bicara soal ilmu pedang, ilmu pedang pemutus usus milik Siau-heng yang hebat, sedang bicara soal ilmu barisan, hahaha,,,

kami berdua terlebih lagi blo'on nya" Suma Tang-shia tertawa dan tidak bicara.

Kembali Han Seng berkata: "Sewaktu masih berada diatas panggung batu tadi, luas tempat ini masih belum terasa seberapa, tapi setelah masuk, baru kurasakan betapa luasnya tempat ini" "Betul, akupun merasakan hal itu" Lui Sin menambahkan.

Walaupun pembicaraan masih berlangsung, langkah kaki mereka tetap sangat berhati-hati.

Angin berhembus lewat menggoyangkan pohon bambu, suara gemerisik dedaunan kedengaran makin nyaring, bikin hati orang terasa merinding dan bergidik.

Segulung angin kembali berhembus lewat, membawa bau amis dan busuk yang sukar terlukiskan dengan kata.

"Kenapa bisa muncul bau sebusuk ini?

" tanya Lui Sin dengan kening berkerut.

"Lui-ya jangan lupa, didalam hutan tersekap seseorang" Suma Tang-shia menjelaskan.

Lui Sin tertegun, kemudian seakan baru sadar serunya: "Jadi bau busuk itu berasal dari , , , , , , ,,

" "Lui-ya, jangan kau lanjutkan, aku kuatir bakal muntah" tukas perempuan itu sambil tertawa.

Buru buru Lui Sin menelan kembali ucapannya yang belum selesai diutarakan.

Makin masuk ke dalam, bau busuk itu makin kental dan keras, bikin orang jadi mual.

Untung saja semua orang masih mampu menahan diri hingga tidak sampai muntah.

Setelah berjalan lagi belasan tombak, akhirnya tembok rendah itu terlihat didepan mata, jalanan setapak pun langsung membentang ke arah dinding rendah tadi.

Suma Tang-shia membawa para jago mengelilingi tembok rendah itu satu lingkaran, kemudian balik kembali ke tempat semula.

Sepanjang dinding rendah itu, ternyata tak tampak sebuah pintu atau lorong pun.

Sambil menghentikan langkahnya, tak tahan Lui Sin bertanya: "Bagaimana cara kita masuk?

" "Lewati pagar tembok!

" sahut Suma Tang-shia, kemudian bagaikan seekor kupu kupu dia melomat naik ke atas pagar.

Kuatir terjadi sesuatu, buru buru Siau Jit ikut melompat naik ke atas pagar dinding itu.

Baru saja Lui Sin akan ikut melompat, Han Seng segera mencegahnya sambil berseru: "Mari kita bantu Ciu Kiok!

" Lui Sin manggut manggut, tanyanya kemudian sambil berpaling: "Ciu Kiok, bagaimana keadaanmu?

" "Tidak masalah, aku masih sanggup menahan diri" sahut Ciu Kiok cepat.

"Bagus sekali!

" Lui Sin segera memayang tubuh Ciu Kiok dari sisi kiri, sementara Han Seng memayangnya dari sisi kanan.

Dibawah bimbingan kedua orang itu, Ciu Kiok segera melayang naik keatas pagar dinding itu.

Dua orang dayang yang semula membimbing tubuh Ciu Kiok segera menyusul dari belakang diikuti kemudian oleh Sim Ngo-nio.

Baru saja Lui Sin dan Han Seng tiba diatas pagar, mereka merasakan bayangan manusia berkelebat lewat, tahu tahu Sim Ngo-nio telah berada disisi mereka.

Tanpa terasa kedua orang itu jadi teringat kembali dengan perkataan Suma Tang-shia tadi, kalau Sim Ngo-nio adalah adik seperguruan dari Suma Tionggoan.

Sebagaimana diketahui, nama besar Suma Tionggoan telah menggetarkan sungai telaga, dia merupakan jago diantara para jago, sebagai adik seperguruannya, sudah barang tentu ilmu silat yang dimiliki Sim Ngo-nio terhitung tangguh.

Berdiri diatas dinding pekarangan, bau busuk terendus makin memuakkan, tanpa terasa Suma Tang-shia menutupi hidung sendiri dengan kedua belah tangannya.

Siau Jit ikut mengernyitkan alis matanya, sejak dilahirkan, baru pertama kali ini dia berada dalam kondisi dan situasi seperti ini.

Tiba tiba Suma Tang-shia menghela napas panjang, katanya: "Selama ini, aku selalu menganggap keenakan membiarkan si Kelelawar tinggal ditempat seperti ini, tapi sekarang aku rasa sudah bukan keenakan lagi" "Kalau tempat yang indah berubah jadi jorok, siapa yang mau disalahkan" seru Siau Jit.

"Selama ini si Kelelawar juga tak pernah protes atau mengajukan keberatan" sela Sim Ngo-nio.

"Memang" Suma Tang-shia manggut manggut, "baginya bukan masalah, mau berada ditempat mana pun, aku rasa sama saja bagi dia" "Hanya orang idiot yang rela tinggal ditempat seperti ini" "Ehmm" "Seharusnya dia berada dibawah loteng" kata Sim Ngo-nio lagi sambil menyapu sekejap seputar tempat itu.

"Mungkin saja dia masih berada diatas loteng" sela Siau Jit.

"Dari sini kita bisa melihat keadaan diseputar sana dengan jelas, sama sekali tak ada bagian tempat yang bisa dipakai untuk sembunyi, bila diatas loteng pun tak ada, itu baru aneh namanya" Sesudah berhenti sejenak, lanjutnya: "sewaktu kita masuk tadi, dia masih duduk diatas loteng sambil mengambil makanan dan minumannya, mau apa dia turun ke bawah" Karena itu aku rasa kita tak perlu kuatir" "Kalau dia b erada diatas loteng, kenapa sama sekali tak bersuara?

" tanya Siau Jit lagi sambil mendongak.

Suma Tang-shia termenung tanpa menjawab, sementara Sim Ngo-nio segera berseru: "Benar juga perkataan dari Siau kongcu" "Kenapa tidak segera diperiksa hingga semuanya jadi jelas" usul Suma Tang-shia tertawa.

Belum selesai bicara, tubuh Sim Ngo-nio sudah melambung tinggi ke tengah udara.

Begitu mencapai ketinggian tiga tombak, mendadak terdengar ia menjerit keras: "Kelelawar tidak berada diatas loteng!

" "Sungguh?

" berubah paras muka Suma Tang-shia.

Tapi begitu ucapan tersebut meluncur keluar, iapun tertawa getir, saat ini bukanlah saat untuk bergurau, tentu saja diapun tahu kalau Sim Ngo-nio bukan termasuk orang yang senang bergurau.

Tapi kalau suruh dia percaya begitu saja, rasanya sulit.

Kalau tidak berada diatas loteng, lantas si Kelelawar berada dimana" Biarpun rumput liar dibalik dinding pendek setinggi lutut, namun saat itu adalah ujung musim gugur, banyak yang sudah mengering, lagian tempat itu tidak mirip tempat yang dipakai untuk bersembunyi.

Tapi kecuali semak, tiada temat lain disana yang bisa digunakan untuk bersembunyi.

Suma Tang-shia celingukan memandang sekejap seputar sana, kemudian sambil menatap Siau Jit dan Sim Ngo-nio, katanya: "Coba kalian periksa diatas loteng, sementara aku mengawasi dari bawah!

" Siau Jit mengiakan dan melompat naik setinggi tiga kaki, lalu melejit ke wuwungan rumah lapis pertama.

Sim Ngo-nio mengikuti dibelakang Siau Jit, ternyata kecepatan gerakan tubuhnya tidak berada dibawah pemuda itu.

Setelah berhenti sejenak di wuwungan rumah, serentak mereka bersama sama menyelinap masuk ke ruang dalam.

Begitu melihat kedua orang itu sudah berada diruang dalam, Suma Tang-shia baru meluncur melewati semak dan masuk pula ke dalam ruang bangunan.

Lui Sin, Han Seng dengan memayang Ciu Kiok segera mengikuti dari belakang, begitu juga dengan dua orang dayang lainnya.

Ruang loteng kosong tak berpenghuni, disana hanya terlihat sebuah ranjang batu, sebuah meja batu dan sebuah bangku terbuat dari batu.

Diatas lantai depan pembaringan terlihat setumpuk pakaian dan selimut, bau nya minta ampun, bahkan tampak lalat beterbangan disekelilingnya.

Suma Tang-shia berdiri kaku didepan ranjang, alis matanya berkernyit, dia seperti sedang memikirkan sesuatu.

Lui Sin serta Han Seng mencoba mengawasi seputar sana, mereka pun tidak menemukan apa apa.

Angin berhembus kencang menggoyangkan rerumputan liar, bau busuk semakin menusuk hidung.

Tak namak jejak manusia dibalik semak, tak kedengaran suara langkah manusia.

Lalu ke mana perginya si Kelelawar" Dari atas tiris air diwuwungan loteng Siau Jit periksa seputar sana, tak nampak bayangan manusia, apa pun tak terlihat.

Perabot diatas loteng jauh lebih sederhana lagi, disitu hanya terdapat sebuah meja pendek terbuat dari batu.

Diatas meja terlihat sebuah tabung bambu, disisinya tergeletak sebuah tongkat bambu.

Dengan kecepatan tinggi Siau Jit melompat ke saming meja dan mengambil tongkat itu.

Tak disangkal itulah tongkat bambu yang mereka jumpai pagi tadi, tongkat yang berada dalam genggaman si Kelelawar, baik ukuran maupun warnanya sama sekali tak beda.

Manusia saja banyak mirip, apalagi benda, sekalipun terdapat dua buah tongkat bambu, hal ini bukanlah sesuatu yang aneh.

Masalahnya, kenapa kejadian tersebut bisa begitu kebetulan" Tanpa terasa Siau Jit mulai mengamati tongkat bambu itu sambil termenung.

Sementara itu Sim Ngo-nio yang ikut masuk segera mengambil tabung bambu itu dan membuka penutupnya.

Bau harum nasi dan sayur segera muncul dari balik tabung itu, ternyata isi tabung bambu adalah nasi serta lauk.

II "Locianpwee" tanya Siau Jit kemudian, "apakah , , , , ,,

"Betul, isinya adalah nasi dan lauk yang kubawakan untuk Kelelawar hari ini" lalu sambil berpaling tanyanya, "apakah tongkat bambu itu , , , , ,,

" "Aku yakin inilah tongkat yang kita lihat pagi tadi" "Urusan jadi makin kalut" ujar Sim Ngo-nio dengan kening berkerut, "masa Kelelawar tanpa sayap benar benar bisa terbang keluar dari hutan bambu ini?

" "Tapi Kelelawar yang kami jumpai pagi tadi memang memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat bagus" "Dengan ilmu meringankan tubuh sebagus apa pun, jangan harap bisa tinggalkan hutan bambu ini dengan mudah" kata Sim Ngo-nio dengan suara berat.

Bukannya tidak percaya dengan perkataan Sim Ngo-nio, namun tak tahan Siau Jit bertanya juga: "Lantas kemana perginya si Kelelawar?

" Sim Ngo-nio tak mampu menjawab.

Pada saat itulah mereka menangkap suara gaduh yang aneh, suara itu meski tidak terlalu nyaring, namun mana mungkin bisa lolos dari pendengaran mereka" Serentak para jago menengadah, tapi apa yang kemudian terlihat seketika membuat mereka bergidik, merinding ngeri.

"Kelelawar?

" seru Sim Ngo-nio tak tahan.

Ternyata mereka telah melihat Kelelawar, bukan Kelelawar tanpa sayap tapi Kelelawar sesungguhnya.

Ternyata diatas tiang belandar ruangan, khususnya disudut gelap dan remang, penuh bergelantungan Kelelawar hitam.

Satu diantara Kelelawar yang tak bersayap, saat itu sedang bergetar dan menggelepar.

"Dari mana datangnya begitu banyak Kelelawar?

" seru Sim Ngo-nio lagi dengan nada tercengang.

"Kelelawar!

" mendadak terdengar seseorang menjerit keras, suara dari Ciu Kiok!

 Siau Jit dan Sim Ngo-nio saling bertukar pandangan sekejap kemudian bergerak cepat, Sim Ngo-nio menuju ke arah loteng sedang Siau Jit melesat keluar dari ruangan, menutul wuwungan rumah kemudian secepat gangsingan dia menyelinap ke bawah loteng.

Hampir pada saat bersamaan Sim Ngo-nio telah menerjang turun pula dari tangga loteng.

Mereka tidak menjumpai Kelelawar tanpa sayap, hanya melihat ada dua ekor Kelelawar mamus, Kelelawar sungguhan.

Seekor terbelah jadi dua bagian, tergeletak dibawah kaki Lui Sin, sementara yang lain mati tertembus tusukan pedang Han Seng, bangkainya masih tertusuk ditangkai pedang peraknya.

Biarpun sudah mati, Kelelawar hitam yang luar biasa besarnya itu tampak sangat menakutkan.

Dengan wajah terkejut bercampur keheranan semua orang kembali mendongak ke atas ruangan.

Dibalik kegelapan dan remang remangnya cuaca, tampak ada berapa ekor Kelelawar masih bergelantungan disana.

Saat itulah Sim Ngo-nio baru menghembuskan napas lega, ujarnya sambil tertawa getir: "Tadi aku masih mengira si Kelelawar tanpa sayap membokong kalian semua" "Si Kelelawar tak ada diatas loteng?

" Suma Tang-shia balik bertanya.

"Tidak ada" Sim Ngo-nio menggeleng, "tapi disini justru bergelantungan Kelelawar sungguhan" "Darimana datangnya begitu banyak Kelelawar?

" Sim Ngo-nio tak bisa menjawab, dia hanya menggeleng.

Sementara itu Han Seng telah mengalihkan pandangan matanya mengawasi tongkat bambu itu, serunya: II "Saudara Siau, tongkat ditanganmu , , , , , , ,,

"Tongkat bambu ini diletakkan diatas sebuah meja batu diatas loteng, bila aku tak salah melihat, tongkat inilah yang pernah kita jumpai pagi tadi" Han Seng menggetarkan pedangnya, bangkai Kelelawar yang tertembus segera mencelat keluar dari bangunan loteng.

Dia maju ke depan, menerima tongkat bambu itu lalu serunya cepat: "Saudara Siau, dugaanmu tidak salah" II "Benar kata Lui Sin pula, "aku pun dapat mengenali" "Tapi kita semua tak ada yang mengenali orang didalam kurungan loteng ini" tiba tiba.

"Mungkin saja lantaran jaraknya terlalu jauh hingga tidak terlihat jelas" ujar Lui Sin, kata Han Seng "atau mungkin juga dia tak ingin orang lain tahu kalau dia sudah pulih kembali jadi normal, atau mungkin masih ada rencana busuk lainnya, maka untuk sementara waktu tak ingin tampil dulu dengan wajah aslinya" "Maksud toako, dia pandai ilmu merubah wajah?

" tanya Han Seng.

"Bagi manusia macam dia, rasanya tidak sulit untuk mempelajari ilmu sesat semacam itu" Han Seng termenung, untuk sesaat dia tak mampu bicara.

Kembali Lui Sin berkata: "Untuk sementara waktu lebih baik kita tak usah gubris masalah ini dulu, yang paling penting bagi kita saat ini adalah menemukan dahulu dimana si Kelelawar berada" "Benar" Suma Tang-shia mengangguk tanda setuju, "asal orangnya berhasil ditemukan, bukankah semua urusan jadi jelas?

" Kepada Sim Ngo-nio tanyanya: "Apakah si Kelelawar tidak membawa pergi ke dua tabung bambu berisi makanan itu?

" "Dia hanya membawa pergi tabung berisi air bersih" Mendengar sampai disitu, mendadak Han Seng berteriak: "Bukankah disamping ranjang batu terdapat genangan air?

" Mengikuti arah yang ditunjuk semua orang berpaling, benar saja disamping ranjang batu itu terlihat genangan air.

l!

 "Tadi aku sangka genangan air itu adalah,,,,,,,,,,

walaupun ucapan Han Seng tidak dilanjutkan, namun semua orang tahu apa yang dimaksudkan.

II "Aku pun sudah melihat genangan air itu sejak tadi kata Lui Sin pula, "hanya tidak kuperhatikan, tapi , , , , , , ,,

" "Bagaimana pun, lebih baik kita bongkar dulu ranjang batu itu" tukas Siau Jit.

"Baikl" seru Lui Sin, dia yang menerjang maju pertama kali, golok emasnya dibacokkan ke bawah, "Sreeet!

" ranjang batu yang keras itupun terbelah jadi dua bagian.

Kaki kanannya kembali menendang, dia lempar belahan ranjang itu hingga mencelat ke samping, sementara disisi lain, Han Seng melancarkan pula sebuah tendangan.

Dasar ranjang sebetulnya terdapat setumpuk kain selimut dan pakaian dekil, tapi dengan mencelatnya ranjang batu itu, kini muncullah sebuah lubang yang amat besar.

"Lorong bawah tanah!

" jerit Suma Tang-shia dengan wajah berubah hebat.

Paras muka semua orang ikut berubah.

Sebuah anak tangga terlihat membentang dari mulut lorong menuju ke bawah, tangga itu kelihatan kasar sekali, tapi bisa dipastikan kalau lorong tersebut bukan dibuat secara terburu buru.

Oleh karena mulut lorong tertutup oleh ranjang batu, tentu saja hasil karya itu tidak akan terlihat dari atas panggung batu diluar hutan bambu.

Kelicikan si Kelelawar benar benar diluar dugaan siapa pun.

Perasaan yang dialami semua jago saat itu bukan bisa dilukiskan dengan kata terperangah saja.

Diatas tangga pertama dekat mulut lorong, tertancap sebatang tongkat bambu, diujung tongkat terlihat selembar kertas putih.

Kertas itu ternyata berisikan tulisan yang berbunyi begini: "Oleh karena rahasiaku sudah terbongkar, terpaksa aku kabur lewat lorong rahasia, kali ini akulah yang kabur, tapi lain kali giliran kalian yang melarikan diri" Kertas putih dengan tulisan tinta hitam, meski hanya berapa kalimat namun cukup menggetarkan hati orang.

Angin masih berhembus kencang, namun tak dapat membuyarkan perasaan seram yang berkecamuk dalam hati para jago.

Suasana menyeramkan yang menyelimuti bangunan loteng ditengah hutan bambu pun terasa makin mengental.

Suma Tang-shia mengawasi kertas putih itu dengan termangu, entah berapa saat kemudian, tiba tiba tubuhnya gemetar keras, ujarnya dengan hati bergidik: "Tak bisa disangkal lagi, kematian nona Lui merupakan hasil karya si Kelelawar" "Bedebah benar si Kelelawar itu" kata Siau Jit pula, "coba kita tidak masuk kemari, tak bakalan tahu kalau dia sudah menggali lorong bawah tanah dan bisa masuk keluar dari hutan bambu ini dengan bebas merdeka" "Aku benar benar tak habis mengerti, kenapa , , , , , , , , ,,

" Siau Jit tidak membiarkan Suma Tang-shia menyelesaikan perkataannya, dia menukas: "Kenapa dia masih tetap berdiam ditemat seperti ini?

" "Menurut kau, mengapa?

" "Mungkin dia anggap tempat ini cukup aman" "Jagad raya begitu luas, bukan urusan sulit baginya untuk mencari tempat persembunyian" "Tapi manusia macam dia, cepat atau lambat pasti akan membuat onar dan bencana, begitu bencana terjadi, terpaksa dia harus kabur balik kesini, karena tempat inilah yang dia anggap paling aman" Setelah berhenti sejenak, lanjut Siau Jit: "Mungkin karena alasan itu pula, setelah berhasil memancing Lui Hong, dia harus melakukan pembunuhan untuk menghilangkan saksi, hal ini mungkin disebabkan ilmu silatnya belum pulih seratus persen, atau mungkin juga karena untuk sementara waktu dia tak ingin membuka rahasianya ini" Suma Tang-shia mengangguk berulang kali.

Kembali Siau Jit berkata: "Walaupun dimasa lalu dia bukan termasuk manusia semacam ini, namun setelah mengalami pengalaman pahit atas pengeroyokan terhadap dirinya, dia mulai belajar bagaimana menghindari yang berat untuk keselamatan sendiri" Suma Tang-shia memandang sekejap sekeliling tempat itu, katanya setelah tertawa getir: "Dia sama sekali tak ambil peduli dengan semua perlengkapan yang telah disiapkan ditemat ini, secara nalar, hal ini sama sekali tak masuk akal" "Kalau masalah itu mah tidak susah untuk dijelaskan, dari gelak tertawanya tadi, aku yakin kalau kesadaran otak orang ini belum seratus persen normal, bagi seseorang yang kesadarannya kurang normal, tempat seperti apa pun baginya sama saja, karena orang sinting tak pernah kenal arti takut" "Ehmn, betul juga" Suma Tang-shia manggut manggut.

"Sekarang, aku hanya kurang jelas akan satu hal" "Soal apa?

" "Dia pasti tahu kalau dari atas panggung batu diluar hutan bambu sering muncul pengawas yang memeriksa gerak geriknya, kenapa ia tidak sembunyikan tongkat bambunya?

" "Betul" kata Lui Sin pula, "asal dia sembunyikan tongkat bambu itu, kita yang berada di panggung batu pun tak akan mencurigai dirinya, kita pun tak bakal datang memeriksa, aku percaya lorong rahasianya tak mungkin akan terbongkar pula" "Dua alasan" sahut Suma Tang-shia setelah berpikir sejenak.

Tanpa terasa sorot mata semua orang pun bersama-sama dialihkan ke wajah perempuan itu.

Kembali Suma Tang-shia melanjutkan: "Seperti apa yang Siau kecil katakan, kesadaran otaknya belum seratus persen normal.

Lui Sin manggut manggut.

"Bagi seseorang yang belum normal kesadaran otaknya, kita tak boleh menilai semua perbuatan yang dia lakukan dengan norma pada umumnya" "Betul" setelah berhenti sejenak lanjut Suma Tang-shia, "alasan kedua adalah dia sudah tahu kalau Ciu Kiok belum mati, tahu kalau kita besar kemungkinan akan datang kemari, maka dia pun bersiap sedia untuk tinggalkan tempat ini, apa yang telah kita saksikan dari panggung batu tadi tak lebih hanya ulahnya untuk menarik perhatian kita, memancing kita agar mau datang dan masuk ke sana" "Ehmm, alasan ini cukup masuk akal" Siau Jit manggut manggut.

"Aku masih belum mengerti" ujar Lui Sin.

"Kelelawar adalah seorang manusia cerdas" "Kalau cerdas lantas kenapa?

" "Orang cerdas biasanya banyak curiga, dia pasti mulai curiga apa yang berhasil kita temukan, setelah tiba disana apa yang akan kita lakukan terhadap dirinya" Sudah pasti banyak dugaan yang muncul dalam benaknya, otomatis banyak pula cara penanggulangan yang dia pikirkan, tapi cara terbaik untuk menghadapi kesemuanya ini adalah kabur, karena bagi orang cerdas macam dia, kabur akan menyelesaikan banyak masalah, menghindari banyak kesulitan" "Selain itu ada pula sebuah keuntungan lain baginya" sambung Siau Jit.

"Keuntungan apa?

" "Mulai sekarang, mau tak mau kita harus selalu waspada, selalu berhati hati menantikan saat balas dendam darinya" Berubah paras muka Lui Sin, untuk sesaat dia termenung dan bungkam.

"Menurut pendapatku, dia seharusnya tetap tinggal disini" sela Han Seng.

"Kenapa?

" "Kita toh sama sekali tak tahu kalau ditempat ini terdapat sebuah lorong rahasia, bilamana perlu, dia masih tetap bisa kabur lewat lorong bawah tanah.

Sebaliknya bila kita tidak temukan lorong tersebut, sepeninggal kita dari sini, dia pun masih bisa keluar lewat lorong rahasia lalu menyergap kita secara tiba tiba dan balas dendam, aku rasa dengan kepandaian silat yang dia miliki, tidak sulit bila ingin menghabis nyawa kita semua" "Benar juga perkataanmu itu" sambil mendengarkan, Lui Sin mengangguk berulang kali.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar