Kelelawar Tanpa Sayap Bab 10 Kejutan

Bab 10 Kejutan

Malam semakin kelam, angin berhembus makin kencang, begitu dingin udara malam itu seakan sayatan dari sebilah golok tajam.

"Siau kecil" terdengar Suma Tang-shia berbisik, "ada satu hal entah kau sempat memperhatikannya atau tidak?

" "Apakah golok pembunuh itu?

" tanya Siau Jit.

"Ada apa dengan golok pembunuh?

" "Ditinjau dari posisi mulut luka, tampaknya jauh lebih t ipis daripada luka bacokan pada umumnya , bahkan posisinya melengkung" "Tepat sekali, lalu?

" "Berbicara soal ketajaman, tak disangkal ketajamannya memang jauh dari ketajaman golok biasa" "Atau dengan perkataan lain, senjata itu pasti sebilah golok mestika!

" ujar Suma Tang-shia.

Setelah berhenti sejenak dan menghela napas, terusnya: "Menurut apa yang kuketahui, golok mustika dalam dunia persilatan yang cukup tersohor jumlahnya mencapai sembilan belas bilah, diantaranya sebagian besar berbentuk tipis, bila kita melakukan analisa dan pelacakan dari hal ini, bisa jadi akan diperoleh hasil" "Aku rasa tidak segampang itu" "Tentu saja tidak gamang, apalagi pemilik golok golok tersebut hamir semuanya merupakan jago jago kelas satu dari dunia persilatan" "Yaa, bukan hanya lihay, kebanyakan memiliki perangai dan watak yang sangat aneh, salah salah batok kepala bisa terpisah dari badan" Suma Tang-shia tertawa.

"Padahal tak bisa salahkan mereka seratus persen, siapa pun itu orangnya, bila memperoleh golok mestika yang tak ternilai harganya, watak mereka pasti akan berubah jadi aneh" "Betul, siapa pun pasti akan berusaha untuk menjaga diri, bila setiap saat musti tegang dan hidup dalam kecurigaan, lambat laun watak mereka tentu akan berubah jadi banyak curiga dan gamang marah" ucap Siau Jit.

"Padahal tidak setiap orang yang datang selalu bermaksud mengincar golok mestika miliknya, bicara dari dia pribadi, memangnya dengan mempunyai golok, lantas dia bisa menjagoi kolong langit tanpa tanding?

" "Yaa, tentu saja tidak" Siau Jit menggeleng.

"Anehnya, kenapa hanya segelintir manusia yang bisa memahami teori semacam ini" "Justru karena itulah muncul banyak manusia yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sebilah golok mustika atau pedang mustika sebagai senjata andalan" "Kalau begitu kau harus hati hati" "Kenapa harus hati hati?

" tanya Siau Jit keheranan.

"Bukankah pedang pemutus ususmu terhitung sebilah pedang mustika?

" kata Suma Tang-shia.

"Untungnya hingga sekarang masih belum ada orang berani mengincar pedangku ini" Suma Tang-shia segera tertawa.

"Mungkin mereka tahu, biarpun ada pedang pemutus usus ditangan, bila tidak memahami ilmu pedang pemutus usus, senjata itu sama sekali tak ada gunanya" "Semisal benar benar terjadi, berarti aku harus bersikap lebih waspada" "Jadi sekarang kau mulai kuatir kalau mereka sedang mengincar pedangmu?

" " Ehmm!

 " Kembali Suma Tang-shia tertawa cekikikan.

"Sekalipun kau tak pandai ilmu pedang pemutus usus, sekalipun pedang pemutus usus tak ada ditanganmu, mereka toh tetap mengincar dirimu, karena lelaki setampan kau memang tak banyak jumlahnya di dunia ini" "Ahh, lagi-lagi toaci sedang menggoda aku" "Aku bicara sejujurnya" Siau Jit menghela napas.

II "Padahal kaupun tak perlu menghela napas kata Suma Tang-shia, "sebab kejadian seperti ini bukan termasuk kejadian buruk" Siau Jit segera mengalihkan pokok pembicaraan, katanya: "Toaci, menurut pandanganmu, benarkah kita bisa mulai penyelidikan dari hal tersebut?

" "Aku rasa tak ada keharusan untuk berbuat demikian" "Boleh saja kalian berdua ogah repot, aku orang she-Lui tak akan menyerah dengan begitu saja" sela Lui Sin tiba tiba.

"Masalahnya bukan ogah repot atau tidak" Suma Tang-shia menjelaskan.

"Bukankah nona sendiri yang bilang, bila penyelidikan dimulai dari bidang tersebut, siapa tahu bakal peroleh hasil" seru Lui Sin.

"Tapi sekarang aku telah berpikir lebih jernih, jagoan pengguna golok seharusnya sama sekali tak ada hubungannya dengan peristiwa ini" "Seharusnya?

" kembali Lui Sin tertegun, "atas dasar apa nona begitu yakin?

" "Sedikit banyak aku cukup mengetahui keadaan mereka sekarang, ada berapa orang jagoan yang dikabarkan sudah mati, ternyata masih tetap hidup didunia ini, bahkan tinggal tak jauh dari sini, mereka muncul kembali ke dalam dunia persilatan dengan nama pendekar" Setelah berhenti sejenak, lanjutnya: "Dari sekian banyak jago golok, salah satu orang yang tinggal paling dekat dari sini pun berjarak ratusan li dari tempat ini" Dia berpaling kearah Siau Jit, lalu terusnya: "Daripada melacak dari bidang ini, kenapa tidak melacak dati tujuan yang mereka lakukan?

" "Tujuan?

" Siau Jit mulai berpikir.

"Walaupun peristiwa ini seolah hasil karya orang gila, namun mana ada orang gila yang bisa bertindak begini rahasia dan rapi" Kalau rencana yang begini sempurna bisa dia lakukan, ini berarti orang itu tidak edan dan pasti merupakan sebuah akal muslihat" "Menurut toaci, apa akal muslihatnya?

" "Semula kusangka tujuannya adalah mengkambing hitamkan dirimu, tapi sesudah dipikir lebih cermat, rasanya kemungkinan ini kecil sekali" "Atas dasar apa kau berkata begitu?

" "Bagi manusia macam kau, pergi ke mana saja kehadiranmu selalu mencolok mata dan menarik perhatian orang, jadi mustahil pembunuhan ini merupakan hasil karyamu, tidak terlalu susah bagimu untuk mencari alibi, tak sulit membuktikan kalau kau tak pernah hadir di tempat kejadian, dan seharusnya pihak lawan menyadari akan hal itu , , , , ,,

" Setelah berhenti sejenak, dia berpaling dan menatap Lui Sin dan Han Seng sekejap, lanjutnya: "Aku yakin Lui dan Han enghiong bukanlah manusia yang tak pakai aturan" Merah padam selembar wajah Lui Sin karena jengah, sementara Han Seng mendeham berulang kali kemudian baru berkata: "Yang lebih penting lagi, bila ingin mengandalkan kemampuan kami berdua, sudah jelas tak akan mampu menandingi saudara Siau, jadi dia tak ada alasan mencari gara gara dengan kami berdua" "Itulah sebabnya aku percaya peristiwa ini sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan Siau kecil" "Tapi,,,,

bagaimana dengan surat dari Siau-heng yang ditujukan kepada putriku , , , , , ,,

" sela Lui Sin.

"Tentu saja surat itu palsu" jelas Suma Tang-shia, "tujuannya tak lain karena hendak memancing putrimu agar mau datang ke kuil kuno Thian-liong-ku-sat" "Tapi aku belum pernah dengar kalau putriku pernah berkenalan dengan saudara Siau" kembali Lui Sin berkata dengan kening berkerut.

"Aku pernah bertemu satu kali dengan putrimu" Siau Jit segera menjelaskan.

"Sekali sudah lebih dari cukup" seru Suma Tang-shia.

Siau Jit tertegun.

"Maksud toaci , , , , ,,

" "Aku yakin tak seorang wanitapun yang dapat melupakan dirimu setelah bertemu satu kali, jika gadis itu pernah bertemu muka lalu tiba tiba menerima surat undangan, mungkin tak ada gadis yang tak mau memenuhi undangan itu" Siau Jit segera terbungkam, tak sanggup bicara.

Sementara itu Suma Tang-shia telah berpaling kearah Lui Sin sambil berkata: "Aku percaya putrimu pun tidak terkecuali" Kali ini Lui Sin tidak membantah, dia hanya membungkam diri.

Kembali Suma Tang-shia menyapu sekejap tumpukan mayat yang berserakan ditanah, kemudian katanya: "Berbicara dari ilmu silat yang dimiliki pembunuh itu, bisa saja dia bunuh kawanan jago itu terlebih dulu kemudian baru menghadapi putrimu, dan s eharusnya hal ini bisa dia lakukan dengan gamang sekali, tapi nyatanya dia lebih suka memancin g putrimu agar pergi lebih dulu meninggalk an tempat ini kemudian baru melakukan pembantaian, hal ini membuktikan kalau dia tak ingin pu trimu menderita celaka atau kerugian apapun" &n bsp; "Jadi maksudmu, tujuan sebenarnya dari si pembunuh adalah mendapatkan putriku" tanya Lui Sin.

"Semestinya begitu" "Kenapa?

" "Hahaha, kalau soal ini mah musti ditanyakan langsung pada yang bersangkutan" Suma Tang-shia tertawa cekikikan.

Lui Sin mendelong, dia hanya bisa tertawa getir.

"Disekitar tempat inipun terdapat seorang jago golok" tiba tiba terdengar Han Seng menyela.

"Siapa?

" tanya Lui Sin tanpa sadar.

"Semestinya toako masih ingat akan hal ini" Lui Sin tertegun, berapa saat kemudian jeritnya: "Kelelawarl" setelah berhenti sejenak, tegasnya, "kau maksudkan si Kelelawar?

" Han Seng mengangguk.

"Kelelawar yang mana?

" tanya Siau Jit.

Tapi setelah berteriak, dia seakan teringat akan sesuatu, serunya agak tercengang: "Apakah kau maksudkan si Kelelawar tanpa sayap?

" "Rasanya dalam dunia persilatan hanya terdapat satu Kelelawar" "Aku dengar dia adalah seorang jago golok, senjata yang digunakan adalah golok Kelelawar, sebilah golok mustika yang tajamnya luar biasa" kata Siau Jit.

"Betul, golok Kelelawar tajam sekali, selain tipis, konon mampu membelah besi baja bagai membelah tahu!

" "Jangan jangan , , , , , , , , ,,

II Il "Persis seperti jenis manusia yang kalian berdua maksudkan Han Seng mengangguk, "hanya sayangnya , , , , , , ,,

" Belum selesai dia berkata, Suma Tang-shia telah menyambung: "Kelelawar tanpa sayap sudah tak ada lagi di dunia ini" "Sudah mati?

" tanya Siau Jit.

"Benar, sudah mati banyak tahun Il kembali Han Seng mengangguk.

Lui Sin segera menambahkan: "Dia tewas karena dikerubuti delapan orang jago lihay dari Kanglam, dalam pertempuran itu ada tujuh jago yang tewas ditempat, tinggal seorang yang hidup, dia adalah Suma Tiong-goan" "Dialah ayahku" kata Suma Tang-shia.

Lui Sin serta Han Seng tertegun, kemudian buru buru mereka berseru: "Maaf, maaf" Suma Tang-shia tertawa hambar.

"Dalam pertempuran ini, luka yang diderita ayahku pun sangat parah" katanya, "tak sampai setengah tahun kemudian, beliau menghembuskan napas terakhir" "Benarkah Kelelawar tanpa sayap begitu lihay?

" tanya Siau Jit.

Suma Tang-shia mengangguk.

"Nama besarnya waktu itu cukup membuat para jago persilatan berubah wajah, gabungan tenaga delapan jago paling lihay dari Kanglam pun harus berakhir begitu tragis, bisa dibayangkan betapa lihaynya ilmu silat orang itu" "Aku dengar Kelelawar tanpa sayap gemar sekali main perempuan, waktu itu ada banyak gadis yang dia culik dan perkosa" ujar Siau Jit.

"Benar, apa yang kau dengar memang kenyataan" Suma Tang-shia membenarkan.

"Untung saja dia sudah mamus dikerubuti delapan jagoan dari Kanglam" seru Lui Sin sambil mengusap jidatnya, "kalau tidak, sekarang aku benar benar merasa kuatir" Sambil menghela napas ujar Han Seng pula: "Justru karena siaute merasa bahwa sepak terjang orang itu mirip sekali dengan tingkah laku si Kelelawar dimasa silam, maka aku jadi teringat kembali akan dirinya" ~n "Tadi pun aku sempat teringat akan orang ini ujar Suma Tang-shia, "tapi setelah yakin kalau mustahil dilakukan orang ini, maka nama tersebut tak sampai kusinggung" "Karena orang ini sudah mati?

" tanya Lui Sin, "dia hidup sebagai orang bejad, setelah mati pun akan menjadi setan bejad, tapi kalau toh sudah menjadi setan, biar akan melakukan kejahatan lagi pun mustahil akan dilakukan ditengah hari bolong" "Aaah, masa toako percaya juga dengan segala cerita tahayul dan mistik?

" tanya Han Seng keheranan.

"Tidak percaya" Lui Sin menggeleng, "tapi selain Kelelawar tanpa sayap, apakah terpikir ole hmu orang lain?

" "Tidak" Han Seng tertawa getir.

Lui Sin menghela napas panjang.

"Aaai, sejujurnya aku berharap peristiwa ini merupakan hasil karya Kelelawar tanpa sayap, sebab dengan begitu Hong-ji masih punya harapan hidup" "Sekalipun tak ada sangkut pautnya dengan Kelelawar tanpa sayap, aku rasa seharusnya putrimu tetap selamat" hibur Suma Tang-shia.

"Betul" Han Seng membenarkan, "jika bajingan ini berniat mencelakai Hong-ji, bisa saja dia lakukan disegala tempat, kenapa musti memancingnya untuk datang ke kuil kuno Thian-liong- ku-sat?

" Berkilat sepasang mata Suma Tang-shia, tiba tiba katanya: "Sekarang juga kita harus berkunjung ke kuil Thian-liong-ku-sat" "Kuil Thian-liong-ku-sat terletak di mulut hutan murbei, sejenak lagi kita akan sampai disana!

" Han Seng menerangkan, cepat dia melompat naik ke punggung kudanya.

Waktu itu Lui Sin sudah tak dapat mengendalikan sabarnya lagi, dia melompat naik keatas kudanya lalu dilarikan kencang.

Suma Tang-shia melompat masuk pula ke dalam keretanya, tanpa diperintah lagi, kereta itu ikut meluncur ke depan.

Buru buru Siau Jit ikut melomat naik keatas punggung kudanya.

Suara roda kereta pun kembali bergema membelah keheningan malam.

Oo0oo
Angin malam berhembus kencang, menimbulkan perasaan gundah dalam hati setiap orang.

Walaupun malam sudah kelam hingga tak nampak daun murbei yang merah disepanjang jalan, namun mereka dapat merasakan suasana sendu ditengah puncak musim gugur ini.

Tak lama kemudian kereta kuda sudah keluar dari jalur jalan raya.

Bagi Siau Jit, walaupun sudah berapa kali dia melewati kota Lok-yang, namun tidak terlalu hapal dengan situasi diluar kota, karena itu sepanjang jalan dia hanya mengintil terus dibelakang Lui Sin maupun Han Seng.

Sebaliknya bagi Lui Sin dan Han Seng, biarpun sudah banyak tahun tidak mengawal barang, namun mereka sangat hapal dan menguasahi sekali dengan situasi diseputar Lokyang.

Tentu saja kuil kuno Thian-liong-ku-sat tak mungkin lenyap dengan begitu saja dari tempatnya semula.

Dibawah cahaya rembulan, kuil kuno itu tampak lebih menyeramkan.

Sambil menghentikan kudanya didepan gerbang kuil, gumam Lui Sin dengan kening berkerut: "Kenapa bangunannya jadi begini bobrok dan terbengkalai?

" Sementara Siau Jit telah menghentikan pula kudanya sambil tertanya: "Apakah bangunan ini adalah kuil kuno Thian-liong-ku-sat?

" Lui Sin manggut-manggut.

"Ditempat ini hanya ada sebuah bangunan kuil, yakni Thian-liong-ku-sat" Lalu kepada Han Seng katanya: "Jite, ketika kita lewat disini tempo hari, bukankah bangunan kuil ini masih tampak bagus?

" "Toako, mungkin kau sudah lupa, terakhir kali kita melewati tempat ini sudah berlangsung banyak tahun berselang" sahut Han Seng sambil tertawa getir.

Lui Sin berpikir sejenak, kemudian manggut-manggut.

"Ehmm, memang sudah lima-enam tahun berselang, aaaai, waktu berlalu begitu cepat" Sampai disini, tak tahan dia menghela napas panjang.

"Yaa, kuil kuno yang tak pernah diperbaiki dan dibiarkan terbengkalai terus, lama kelamaan -n juga bakal roboh sendiri Han Seng menimali.

Sementara pembicaraan berlangsung, Suma Tang-shia sudah turun dari keretanya, sambil berjalan tegurnya: "Kenapa kalian masih berdiam diri disana?

" "Tampaknya aku memang sudah semakin tua" dengan kening berkerut Lui Sin melompat turun dari kudanya, "reaksi ku terasa semakin lamban saja" Dengan langkah lebar dia berjalan masuk terlebih dulu ke dalam ruang kuil.

Kuatir terjadi hal yang tak diinginkan, buru buru Han Seng mengintil dari belakang, sedang empat orang piausu dengan membawa lampion bertindak paling depan.

"Siau kecil" bisik Suma Tang-shia kemudian sambil berpegangan bahu Siau Jit, "mari kita pun masuk ke dalam" "Hati hati langkahmu!

" sahut Siau Jit sambil mengangguk.

Suma Tang-shia tertawa geli.

"Memang kau anggap aku sudah setua nenek nenek berusia enam, tujuh puluh tahunan?

" "Bukan begitu, banyak semak dan onak liar dalam kuil itu, hati hati kalau sampai tertusuk" "Bagaimana pun kau memang saudaraku yang paling baik, jangan takuti aku dengan ular" Suma Tang-shia tertawa merdu.

Belum habis ia berkata, Lui Sin yang berada didepan telah menghardik keras: "Hati hati, dibalik semak terdapat ular berbisa!

" Seekor ular yang merambat kakinya seketika kena ditendang hingga mencelat ke udara, berbarengan itu golok emasnya dicabut keluar.

Tampak cahaya tajam melintas lewat, ular itu terbabat jadi dua bagian dan mencelat ke samping.

Menyaksikan hal itu Suma Tang-shia menjerit kaget, kemudian menyusupkan badannya ke dalam pelukan Siau Jit.

Baru pertama kali ini Siau Jit berdiri begitu dekat dengan Suma Tang-shia, ia dapat merasakan tubuhnya yang lembut, halus tapi padat berisi serta bau harum seorang dara perawan .

Dalam waktu sekejap perasaan hatinya gejolak keras, jantung terasa berdebar debar.

Padahal ia sudah kenal Suma Tang-shia banyak tahun, namun baru kali ini timbul perasaan semacam itu.

Selama ini dia menaruh perasaan hormat terhadap Suma Tang-shia selain perasaan persaudaraan, rasa hormat dan sayangnya antara seorang kakak dengan adik.

Bahkan boleh dibilang selama ini dia tak pernah menganggap Suma Tang-shia sebagai seorang wanita.

Tapi sekarang, pada hakekatnya ia dapat merasakan suatu perasaan aneh, merasa bahwa Suma Tang-shia adalah seorang wanita tulen.

Begitu kuat perasaan tersebut mencekam hatinya.

Disamping keheranan diapun merasa sedikit bergidik, ngeri, sesudah berhasil menenangkan diri, ujarnya: "Dibalik semak memang benar-benar ada ular berbisa" "Kalau begitu kau harus hati-hati melindungiku" bisik S uma Tang-shia sambil menghela napas.

Dia melanjutkan kembali perjalanannya dengan masih bersandar dalam rangkulan Siau Jit.

Kini perasaan tegang yang mencekam Siau Jit sudah teratasi, ia menjadi tenang kembali, dengan tangan kiri merangkul bahu Suma Tang-shia, tangan kanan menggenggam pedang, selangkah demi selangkah dia melanjutkan perjalanan dengan sangat hati hati.

Angin berhembus kencang menggoyangkan rerumputan, suara gemerisik yang aneh menimbulkan suasana yang makin menyeramkan.

Siau Jit dapat merasakan tubuh Suma Tang-shia sedang gemetar, bisiknya kemudian: "Toaci, bagaimana kalau kau tinggal diluar kuil saja?

" "Kau sangka toaci takut?

" Suma Tang-shia balik bertanya.

Sebelum Siau Jit sempat menjawab, Suma Tang-shia telah melanjutkan kembali perkataannya: "Selama kau berada disisiku, kenapa toaci musti takut?

" Dia menempel semakin rapat ke tubuh Siau Jit.

Perkataan semacam ini bukan untuk pertama kali didengar Siau Jit, tapi hanya kali ini dia merasakan jantungnya berdebar sangat keras.

Dalam nada bicaranya kali ini seolah telah ketambahan sesuatu, sesuatu yang aneh.

Terdengar perempuan itu berkata lebih lanjut: "Berada disampingmu, paling tidak bisa mendatangkan perasaan aman, tenteram bagiku, sebaliknya kalau suruh aku menunggu diluar kuil, rasanya , , , , ,,

rasanya,,,

bertambah menyeramkan" Baru selesai dia berbicara, mendadak dari arah depan berkumandang suara kebasan yang sangat aneh, disusul munculnya berapa gerombolan benda hitam yang terbang keluar dari semak belukar.

Sambil membentak nyaring Lui Sin mengayunkan golok emasnya, "Ciiiit!

" gumpalan hitam itu seketika terbelah jadi dua bagian.

"Benn,,,,benda apa itu?

" bisik Suma Tang-shia dengan nada gemetaran.

"Kelelawar!

" nada jawaban Lui Sin pun kedengaran sedikit gemetar.

"Betul betul seekor Kelelawar yang sangat besar" sambung Han Seng, "selama hidup baru pertama kali ini aku menyaksikannya" Waktu itu dia telah meloloskan pedangnya dan secepat kilat melepaskan sebuah tusukan.

Tusukan itu dengan tepat menembusi tubuh seekor Kelelawar yang berada ditengah, kelelawar itu masih berusaha meronta, berusaha mengebaskan sayap dengan sekuat tenaga.

Darah mulai meleleh keluar, menetes lewat sisi mata pedang yang tajam.

Kembali Han Seng menggetarkan pedang peraknya, "Ngunggg!

" seekor Kelelawar dengan bercucuran darah meloloskan diri dari kurungan cahaya pedang dan terbang tinggi ke angkasa.

Melihat itu sambil menghela napas katanya lagi: "Seandainya Kelelawar tanpa sayap bukan dikabarkan telah mati, pada hakekatnya aku merasa yakin kalau kesemuanya ini merupakan hasil karyanya" Lui Sin segera tertawa terbahak-bahak.

"Lumrah kalau banyak Kelelawar hidup dalam kuil yang terbengkalai, apa yang musti diherankan?

" "Benar juga perkataan itu" Maka mereka berdua pun kembali beranjak, melanjutkan langkahnya menuju ke ruang utama kuil 1 Maka mereka berdua pun kembali beranjak, melanjutkan langkahnya menuju ke ruang utama kuil kuno.

Dibawah cahaya obor, tampak sarang laba laba memenuhi setiap sudut ruangan, tak nampak sesosok bayangan manusia pun disana.

Tanpa sadar Han Seng mendongakkan kepalanya, tapi ia segera menjerit kaget: "Kelelawarl" Puluhan ekor Kelelawar bergelantungan disepanjang tiang penglari gedung, ada berapa ekor diantaranya yang beterbangan dan kabur menuju ke luar ruangan.

Siau Jit memandang sekejap ke langit langit ruangan lalu memandang pula ke lantai, serunya cepat: "Coba lihat, dilantai terdapat bekas kaki" Ketika semua orang mengalihkan pandangan matanya, benar saja, diatas lantai yang penuh debu tertera dua baris bekas telapak kaki.

"Lihat, ada bekas kaki laki, ada pula bekas kaki perempuan" Suma Tang-shia menambahkan.

"Yang perempuan pasti Hong-ji, tapi siapa yang lelaki itu?

" tanya Lui Sin.

"Tidak mungkin bekas kaki saudara Siau" jawab Han Seng.

"Jite, atas dasar apa kau berkata begitu yakin?

" "Toako, apakah kau tidak perhatikan kalau bekas kaki yang ditinggalkan saudara Siau sama sekali berbeda dengan bekas kaki lelaki pada umumnya" Kini Lui Sin baru memperhatikan, katanya kemudian setelah menghela napas: "Untung saja muncul Ong Bu-shia yang membuat keon aran, coba kalau tidak, pertarungan habis habisan antara kita bertiga pasti akan berakhir tragis dan konyol, bikin tertawa orang lain saja" "Urusan sudah lewat, lebih baik tak usah cianpwee pikirkan lagi" sela Siau Jit.

Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya: "Lebih baik kita lakukan pengejaran dengan mengikuti bekas telapak kaki itu" Tanpa banyak bicara lagi Lui Sin merebut sebuah lamion dari tangan seorang piausu kemudian melakukan pengejaran dipaling depan.

Bekas telapak kaki itu langsung menuju ke ruang belakang kuil.

Rombongan jago itupun menelusuri serambi panjang, mengikuti bekas telapak kaki yang tertinggal.

Disepanjang lantai serambi tertera dua baris telapak kaki, sementara diatas tiang belandar penuh bergantungan Kelelawar dalam jumlah banyak.

Dimana cahaya lentera memancar lewat, kawanan Kelelawar itu beterbangan karena kaget.

Kali ini, meski Han Seng tidak bersuara lagi, namun perasaan curiga dan keheranan yang mencekam hatinya makin menebal, begitu pula dengan Lui Sin, ia tampak semakin cemas bercampur panik.

Siau Jit sendiripun tampak amat serius.

Setelah kejadian berkembang jadi begini, kendatipun semuanya membuktikan kalau peristiwa itu tak ada sangkut paut dengan dirinya, namun bukan berarti dia dapat cuci tangan dengan begitu saja.

Pada dasarnya lelaki ini memang memiliki rasa ingin tahu yang sangat kuat, sedang masalah yang dihadapi sekarang tampak begitu rahasia dan penuh misterius, hal ini semakin membangkitkan rasa ingin tahunya.

Tak bisa disangkal lagi sasaran utama dari sang pembunuh adalah Lui Hong, dari penuturan Lui Sin serta Han Seng dapat diketahui bahwa Lui Hong bertemperamen tinggi, untuk membunuhnya jelas lebih gampang daripada menculiknya.

Sudah jelas orang ini tidak ingin Lui Hong mengalami gangguan apapun, itulah sebabnya ia mencatut namanya dengan memancing Lui Hong meninggalkan rombongan pengawalan barang.

Sedang tujuan utamanya membunuh orang tak lain karena dia ingin menghilangkan saksi dan bukti.

Dalam kenyataan Ciu Kiok hanya terluka dan tidak sampai mati, tak disangkal kejadian ini merupakan satu kemukjijatan, justru karena itu pula mereka baru dapat mendatangi kuil kuno Thian-liong-ku-sat.

Kalau dilihat dari bekas telapak kaki yang tertinggal, kemungkinan besar Lui Hong telah bertemu dengan orang itu lalu mengikuti orang tersebut menuju ke ruang belakang.

Itu berarti mereka berdua saling mengenal, kalau tidak meski bekas telapak kaki terdapat dua pasang, seharusnya mereka berjalan saling mengintil.

Dalam posisi seperti ini, semestinya nona Lui sudah seharusnya merasakan gelagat yang tidak beres.

Tak tahan Siau Jit menghela napas panjang.

Selama ini Suma Tang-shia hanya membungkam diri, seakan sedang memikirkan sesuatu, setelah mendengar helaan napas Siau Jit, ia baru berkata: "Siau kecil, tampaknya nona Lui sangat kesemsem dengan dirimu" "Toaci, jangan bergurau" seru Siau Jit tertawa getir.

"Memang salah perkataanku" Coba berganti orang lain yang mengundangnya datang kesitu, biar mau datangpun belum tentu ia datang seorang diri, seandainya sendirianpun, setelah tiba disini seharusnya dia langsung menemukan hal hal yang mencurigakan dan segera mundur dari tempat ini" "Mungkin saja ia sudah tak sempat berbuat begitu" "Kalau dibilang satu pertarungan sengit telah terjadi, mana mungkin bekas telapak kaki yang tertinggal tampak begitu teratur dan rapi?

" "Ehm, benar juga perkataanmu itu" "Menurut pendapatku, kemungkinan besar lantaran dia melihat sederet bekas telapak kaki itu dan mengira itu bekas kakimu, menyangka kau telah menantinya di ruang belakang kuil, maka dia pun menuju ke belakang mengikuti bekas kaki yang dijumpai" "Kemungkinan besar memang begitu" Sementara pembicaraan berlangsung, sampailah mereka diujung serambi, didepan sana merupakan sebuah halaman luas dengan rumput ilalang dan semak yang amat lebat.

Selewat halaman itu merupakan bangunan kuil yang telah roboh tinggal puing berserakan.

Disitulah letak ruang belakang kuil kuno Thian-liong-ku-sat, tempat dimana Lui Hong terjebak dan masuk perangkap.

Sebelum meninggalkan tempat itu, Kelelawar tanpa sayap telah merobohkan seluruh ruangan kuil itu hingga ambruk dan hancur, itu berarti semua bekas pertarungan, semua petunjuk yang tertinggal ikut tertutup dibalik puing bangunan yang roboh.

Dipandang dari sudut mana pun, tempat itu tak lebih hanya berupa sebuah bangunan roboh, siapa pun tak bakal curiga kalau dibawah puing bangunan terdapat ruang rahasia bawah tanah yang lebih menyeramkan daripada neraka jahanam.

Lui Sin menghentikan langkahnya diujung serambi, gumamnya: "Bekas kaki terhenti sampai disini, selanjutnya mereka pasti melewati halaman dengan semak lebat itu , , , , , ,,

" "Tapi sebenarnya dia hendak ke mana?

" tanya Han Seng.

"Diseberang sana merupakan sebuah bangunan kuil yang sudah roboh, tak ada alasan dia pergi ke sana" "Rumput ilalang dan semak yang tumbuh dihalaman sini jauh lebih tinggi dan lebat daripada didepan sana" ujar Suma Tang-shia, "andaikata orang yang mengundangnya bersembunyi dibalik semak lalu membokongnya secara tiba tiba, hal ini bisa dia lakukan dengan mudah sekali" Mendengar itu Lui Sin segera berkerut kening.

"Maksud nona, orang itu turun tangan disini lalu membawa hong-ji pergi dari tempat ini?

" tanya Han Seng.

Suma Tang-shia mengangguk.

"Tempat ini jelas bukan tempat persembunyian, ini berarti tak mungkin ada orang yang tinggal disini" katanya.

"Itulah sebabnya lapisan debu ditempat ini amat tebal" Siau Jit menambahkan.

Han Seng menghela napas panjang.

II "Aaai, bicara soal kuil kuno, hanya disinilah tempatnya keluhnya murung.

Setelah menyapu sekejap sekeliling tempat itu, tak tahan kembali dia menghela napas panjang.

Tiba tiba Lui Sin melompat turun ke tengah halaman, teriaknya keras keras: "Hong-ji , , , , , , , , , ,,

" Ditengah keheningan malam, suara teriakan itu kedengaran nyaring sekali dan bergaung sampai ke tempat yang jauh, namun tiada jawaban.

Lui Sin tidak berteriak untuk kedua kalinya, karena teriakan pertama sudah lebih dari cukup, untuk sesaat dia hanya bisa berdiri termangu tanpa bergerak.

Sepasang tangannya mulai gemetar, menyusul kemudian sekujur badannya ikut gemetar.

Lampion yang berada dalam genggamannya tampak bergetar keras, cahaya pucat yang memancar diwajahnya membiaskan raut muka yang putih tanpa rona darah.

Cepat Han Seng menyusul ke sampingnya sambil menghibur: "Toako, Hong-ji panjang usia dan selalu dilindungi Thian, aku rasa meski dia terjebak ditangan orang jahat, nyawanya tak bakal terancam" Lui Sin tertawa sedih.

"Dalam keadaan seperti ini, apa gunanya kau berusaha menghiburku?

" Han Seng terbungkam, tak sanggup berkata.

Kembali Lui Sin melanjutkan: "Mati hidup ada ditangan Thian, seandainya Hong-ji kehilangan nyawa pun aku tak bisa berbuat apa apa" Dalam keadaan seperti ini ternyata dia masih mampu tertawa, katanya lagi sambil menepuk bahu Han Seng: "Toako mu sudah puluhan tahun hidup bermandikan darah, mati hidup sudah bukan ganjalan lagi bagiku, saudaraku, kau tak usah kelewat kuatir" Han Seng manggut-manggut.

"Andaikata Hong-ji benar benar menjumpai mara bahaya, kita berdua segera pergi mencari pembunuh itu dan membuat perhitungan" janjinya.

"Memang seharusnya begitu" Lui Sin tertawa tergelak, nada suaranya sangat menyedihkan.

"Mari kita periksa dibagian luar saja" ajak Suma Tang-shia tiba tiba, "siapa tahu didepan sana kita akan temukan petunjuk yang berharga" Sambil berpegangan tangan Siau Jit, dia berjalan masuk ke balik semak belukar.

Sekali lagi Lui Sin dan Han Seng bergerak maju, dibawah cahaya rembulan yang pucat, rombongan itu bergerak ditengah semak bagaikan sukma sukma gentayangan.

Saat itu malam semakin kelam, suasana makin gelap mencekam.

Sesaat lagi fajar akan menyingsing, inilah saat paling gelap sepanjang hari.

Oo0oo
Waktu itu, kegelapan malam mencekam seluruh kota Lokyang.

Saat seperti ini, kebanyakan orang sudah terlelap tidur, meski Lokyang merupakan kota ramai, namun cahaya lentera yang menyinari sudut kota saat ini amat minim dan redup.

Tentu saja terkecuali suasana diseputar perusahaan ekspedisi Tin-wan piaukiok.

Cahaya lentera menyinari seluruh pelosok bangunan perusahaan membuat suasana disitu terang benderang, kawanan piausu, pembantu, pelayan berjalan mondar mandir melaksanakan tugas masing masing, suasana cukup ramai.

Ada yang membereskan jenasah rekannya, ada yang melakukan patroli sambil bersiap siaga, ada pula yang menyampaikan kabar duka kepada para sanak anggota piausu yang tewas ditangan Ong Bu-shia serta Kelelawar tanpa sayap hari itu.

Meski begitu, sama sekali tak nampak kekacauan disana, didikan serta disiplin tinggi yang diterapkan Lui Sin serta Han Seng dihari hari biasa membuat mereka bersikap dan bertindak teratur.

Pintu gerbang perusahaan terbuka lebar, dua tiga orang piausu meronda diseputar sana, sementara si pengurus rumah tangga Lui Ang berjaga seorang diri disitu.

Dia menyaksikan Lui Hong tumbuh dewasa, selama ini dia pun selalu menganggap dirinya sebagai kakek gadis itu, karenanya sama seperti Lui Sin sekalian, dia amat menguatirkan keselamatan gadis itu.

Bila sampai malam nanti belum juga ada kabar berita tentang Lui Hong, mungkin sulit baginya untuk tidur nyenyak.

Dengan perasaan tak tenang ia berjalan mondar mandir diseputar pintu gerbang, berulang kali ia melongok ke arah ujung jalan, berharap bisa melihat Lui Sin mengajak pulang Lui Hong dalam keadaan selamat tanpa kekurangan sesuatu apa pun.

Malam semakin larut, udara terasa makin dingin, hembusan angin mengibarkan rambutnya yang telah beruban, dibawah sinar lentera, kerutan diwajahnya tampak lebih nyata dan jelas.

Dalam berapa jam saja dia seolah sudah bertambah tua berapa tahun.

Rasa cemas, kuatir, tegang memang paling gampang membuat seseorang bertambah tua.

Tiada manusia yang berlalu lalang ditengah jalan, hanya berapa lembar daun kering bergulingan diatas lantai beralas batu hijau, dimainkan hembusan angin.

Tiba tiba terdengar suara gonggongan anjing menggema membelah keheningan, tapi dengan cepat suasana jadi hening kembali.

Bersamaan dengan berhentinya suara gonggongan, sebuah lampu lampion muncul disudut jalan.

Lampion dengan cahaya api berwarna hijau muda, bagaikan segumpal api setan, melayang, melambung ditengah jalan raya.

Disusul kemudian muncul sesosok tubuh manusia.

Seorang gadis muda dengan kepala tertunduk berdiri bagai segumpal asap dibawah cahaya lentera, dia mengenakan pakaian berwarna putih.

Lampu lentera berada dalam genggaman tangan kirinya sementara tangan kanannya disembunyikan dibalik pakaian.

Cahaya lentera menerangi wajahnya, tapi setengah dari mukanya tertutup oleh rambut panjangnya yang hitam lekat.

Kini rambutnya sudah terurai kebawah, terurai bagai aliran air terjun, setengah menutupi bahunya, setengah yang lain menutup sebagian mukanya.

Gerak gerik perempuan itu tidak cepat, tapi tidak pula lambat, dia tidak mirip sedang berjalan, pada hakekatnya seperti lagi melayang ditengah udara.

Sama sekali tak ada hawa kehidupan, tiada hawa manusia barang secuwil pun.

Lui Ang pun mendengar suara lolongan anjing itu, justru karena mendengar suara lolongan, ia baru berjalan keluar dari balik pintu gerbang.

Maka diapun menyaksikan lampu lampion itu, melihat gadis tersebut, satu ingatan yang sangat aneh melintas dalam benaknya.

Manusia atau setankah perempuan muda itu" Bahkan dia sendiripun merasa keheranan, mengapa ingatan semacam itu bisa melintas dalam benaknya" Tapi dalam kenyataan, seorang gadis muda dengan dandanan semacam itu, membawa lamion, kemudian dalam suasana seperti ini muncul diujung jalan raya, bagaimana pun pemandangan semacam ini gampang menimbulkan kecurigaan dan keraguan orang lain.

Memandang bayangan wanita itu, mendadak Lui Ang merasa seakan pernah kenal, dia tidak mundur ke dalam pintu tapi tetap berdiri ditempat semula, menyaksikan gadis itu berjalan mendekat.

Walaupun didalam kenyataan gadis itu sedang berjalan menelusuri jalan raya, entah mengapa, Lui Ang merasa gadis itu sedang berjalan menuju ke pintu gerbang perusahaannya.

Mau apa dia datang ke piaukiok ditengah malam buta begini" Baru saja ingatan tersebut melintas lewat, gadis itu sudah tiba didepan pintu piaukiok, bahkan perlahan-lahan membalikkan badan berjalan menuju ke undak-undakan didepan pintu gerbang.

Lui Ang merasakan jantungnya berdebar makin keras.

Asal dia berteriak, kawanan piausu yang berada dalam kantor pasti akan berhamburan keluar, tapi saat itu dia seolah kehilangan pikiran, hatinya kalut, panik dan sama sekali tak tahu apa yang harus dilakukan, orang tua itu hanya mengawasi gadis tersebut mendekatinya selangkah demi selangkah.

Perasaan pernah mengenal makin lama semakin bertambah kental dan kuat.

Akhirnya dibawah cahaya lentera, ia dapat melihat raut muka gadis itu, si nona berdiri persis satu meter dihadapannya, berdiri dengan kepala tetap tertunduk.

Sekonyong-konyong Lui Ang merasakan hatinya bergidik, bulu kuduknya bangun berdiri.

Perasaan seram, bergidik itu seolah timbul dari dasar hatinya yang paling dalam, tapi seperti juga timbul dari tubuh gadis itu.

Akhirnya Lui Ang tak kuasa menahan diri, sapanya: "Nona, kau , , , , , , ,,

" Nona itu menghela napas sedih.

Ucapan Lui Ang seketika terpotong, hatinya makin bergidik, sesaat kemudian ia baru bertanya lagi: "Apakah nona ada keperluan di kantor piaukiok kami?

" " Ehmm!

 " "Boleh tahu ada urusan apa?

" Untuk kesekian kalinya gadis itu menghela napas, ia sama sekali tidak menjawab.

"Lohu Lui Ang, pengurus rumah tangga sini, bila nona ada urusan atau ingin mencari seseorang, katakan saja kepadaku, biar kulaporkan kedatangan nona ke dalam" Gadis itu menghela napas sedih.

II "Pengurus tua bisiknya, "masa kau sudah tak kenal lagi dengan diriku?

" Nadanya sedih, penuh kepedihan yang mendalam.

Lui Ang makin keheranan.

"Sebetulnya nona adalah , , , , , , ,,

" Belum habis dia bertanya, gadis itu sudah mendongakkan kepalanya, walaupun masih tertutup sebagian oleh rambutnya yang panjang, namun dibawah cahaya lentera, raut mukanya dapat terlihat dengan sangat jelas.

Ternyata gadis itu tak lain adalah Lui Hong!

 Nyaris Lui Ang melompat setinggi satu meter dari permukaan tanah, dalam waktu sekejap dia sendiripun tak tahu harus berteriak kegirangan atau menjerit kaget.

Sekujur badannya gemetar keras, suaranya gemetar jauh lebih hebat, bisiknya: "Kenapa , , , , ,,

kenapa bisa kau nona?

" Kemudian diapun dapat melihat paras muka Lui Hong dengan sangat jelas, dapat melihat pula perubahan mimik mukanya.

Paras muka Lui Hong saat itu pucat pasi bagai mayat, entah karena silau oleh pantulan cahaya lentera atau memang sama sekali tak ada rona darah ditubuhnya.

Dia berdiri dengan mata melotot, terbelalak lebar, perasaan seram, ngeri terpancar dari balik kelopak matanya.

Tatapan ngeri itu seakan sudah mengakar, biji matanya seolah sudah membeku dibalik kelopak matanya yang kaku, sama sekali tiada hawa kehidupan.

Seluruh wajahnya kaku, seluruh tubuhnya sama sekali tiada hawa kehidupan.

Lui Ang menyaksikan Lui Hong tumbuh hingga dewasa, namun selama ini belum pernah ia jumpai mimik muka si nona seseram itu, belum pernah menyaksikan wajahnya tampil begitu menakutkan.

"Nona,,,

kau , , , , ,,

sebenarnya kenapa kau?

" tak tahan tanyanya.

Lui Hong tidak menjawab, mimik mukanya sama sekali tak berubah.

Lui Ang tak dapat menahan diri, kembali tanyanya: "Sebenarnya kau telah pergi ke mana?

" "Ke temat yang sangat jauh!

" jawaban Lui Hong kedengaran berasal dari tempat yang amat jauh.

"Untung kau telah pulang dengan selamat, tahukah kau, betapa cemas dan paniknya ayahmu" Lui Hong menghela napas sedih.

"Aku tahu, ayahku sangat menguatirkan diriku, itulah sebabnya walaupun aku tak bisa pulang dalam keadaan utuh, tapi sebagian tubuhku telah pulang kemari" Lui Ang terperangah, melongo karena ucapan tersebut.

Ia betul betul tak paham dengan ucapan Lui Hong, tapi dengan cepat orang tua itu mengerti.

Terdengar Lui Hong berkata lagi: "Inilah kepala ku, harap kau terima dengan baik" Sambil berkata, gadis itu mencopot batok kepalanya dari badan lalu disodorkan kehadapan Lui Ang.

Tanpa sadar Lui Ang menyambut sodoran itu, setelah batok kepala itu berada dalam genggaman, ia baru merasa ngeri dan ketakutan.

"Setannn , , , , ,,

!

" jeritnya keras keras, sukma serasa melayang tinggalkan raga, sambil memegang batok kepala Lui Hong, ia jatuh terduduk ke tanah, matanya membalik dan seketika jatuh tak sadarkan diri.

Cahaya yang memancar dari lentera ditangan Lui Hong pun ikut padam seketika.

Bersamaan dengan padamnya lampion itu, sinar lentera didepan piaukiok ikut mati, seketika suasana ditempat itu berubah jadi gelap gulita.

Tubuh Lui Hong yang tak berkepala pun ikut lenyap tak berbekas dibalik kegelapan.

Tang Bu dan Ciu Liong dua orang piausu sedang meronda di lapangan berlatih dalam gedung piaukiok sehabis pulang menghantar jenasah saudara saudaranya yang tewas.

Walaupun mereka berada tak jauh dari pintu gerbang, namun tak mendengar pembicaraan antara Lui Ang dengan Lui Hong, namun sempat mendengar teriakan aneh dari pengurus tua itu.

Tentu saja mereka pun dapat mendengar kalau suara teriakan itu sangat aneh dan tidak biasa.

"Siapa yang sedang berteriak?

" seru Tang Bu tanpa sadar.

"Mirip suara empek Ang" Ciu Liong sendiripun merasa tidak begitu yakin.

Lui Ang menjerit aneh dalam kondisi kaget, ngeri dan ketakutan, tentu saja suara teriakannya jauh berbeda dengan keadaan biasa.

"Bukankah empek Ang sedang berjaga di pintu gerbang?

" tanya Tang Bu dengan kening berkerut.

"Hah,,,,

jangan jangan diluar pintu gerbang telah terjadi sesuatu!

" sambil berseru, Ciu Liong meloloskan golok panjangnya dan lari menuju ke pintu gerbang dengan kecepatan tinggi.

Tang Bu tak berani berayal, dia ikut meloloskan senjata kaitannya dan menyerbu keluar.

Berapa orang piausu dalam gedung yang menyaksikan hal itu segera tahu kalau telah terjadi sesuatu, serentak mereka menggembol senjata dan ikut meluruk ke depan.

Dalam berapa kali lomatan Tang Bu serta Ciu Liong telah keluar dari pintu gerbang.

Dalam berapa kali lomatan Tang Bu serta Ciu Liong telah keluar dari pintu gerbang.

"Empek Ang!

" teriak Ciu Liong.

Tak ada jawaban, suasana tetap hening, tak berayal dia menyiapkan goloknya sembari menerjang makin ke depan.

Tang Bu kuatir temannya dicelakai orang, sambil memutar sepasang senjata kaitannya, dia ikut menyusul dari belakang.

Tiba diluar pintu gerbang, mereka jumpai Lui Ang jatuh tak sadarkan diri diatas tanah, mereka pun melihat batok kepala manusia yang berada ditangan orang tua itu.

"Kepala manusia!

" jerit Ciu Liong sambil celingukan ke sekeliling tempat itu.

Cepat Tang Bu menyulut obor, begitu sinar terang memancar keluar, paras mukanya kontan berubah hebat, jeritnya: "Batok kepala siocia!

" "Apa!

" teriak Tang Bu dengan wajah berubah, cepat dia menengok ke arah batok kepala itu.

Kembali paras mukanya berubah, tiba tiba teriaknya lagi: "Lihat, diatas tembok pagar berdiri seseorang!

" Mengikuti arah yang ditunjuk, Tang Bu ikut melongok, betul juga diatas dinding tembok sebelah timur, lamat lamat tampak seseorang berdiri tegak disana.

"Cepat ambil lentera!

" teriaknya keras keras.

Seorang piausu yang menyusul datang kebetulan membawa sebuah lentera, mendengar teriakan itu, dia segera menyodorkan lenteranya.

Dengan cepat Ciu Liong sambar lentera itu, kemudian dengan tangan kiri membawa lampu, tangan kanan membawa golok, dia berlarian menuju ke arah dinding sebelah timur.

Tang Bu serta kawanan piausu lainnya segera mengejar dari belakang, paras muka setiap orang berubah jadi amat tegang dan serius.

Dengan cepat Ciu Liong telah tiba disamping bayangan manusia itu, ia saksikan orang itu mengenakan baju berwarna putih salju, ditinjau dari postur badan, seharusnya dia adalah seorang wanita.

Semenjak masih berada ditempat kejauhan, Ciu Liong sudah merasakan kalau orang itu seperti kekurangan sesuatu, tanpa berjalan semakin dekat pun dia sudah melihat dengan jelas bahwa wanita itu kehilangan batok kepalanya.

Untuk sesaat jagoan ini berdiri tertegun, perasaan bergidik, ngeri menyelimuti hatinya.

Sementara itu Tang Bu telah menghampirinya, dengan suara parau bisiknya: "Apa , , , , ,,

apakah tubuh itu adalah jenasah , , , , ,,

jenasah siocia?

" "Mu,,,,

mungkin , , , , , , ,,

mungkin begitu" nada suara Ciu Liong ikut berubah agak aneh.

"Sebenarnya apa yang telah terjadi?

" Sambil tertawa getir Ciu Liong menggeleng.

"Yang pasti jenasah itu tak mungkin bisa balik sendiri bukan" ujar Tang Bu lagi dengan suara berat.

"Tentu saja!

" Ciu Liong memegang goloknya makin kencang.

Kawanan piausu yang mendengar pembicaraan itu tan pa sadar ikut membalikkan badan dan me mperhatikan sekeliling tempat itu.

Suasana di jalan raya amat hening, tak nampak sesosok bayangan manusia pun diseputar sana.

Hembusan angin malam seakan terasa makin dingin, seolah merasuk hingga ke lubuk hati paling dalam dari setiap orang.

Ciu Liong menyapu lagi sekeliling tempat itu sekejap, kemudian mengalihkan kembali pandangan matanya keatas jenasah tanpa kepala itu.

Tengkuk bekas tebasan sudah tak ada noda darah lagi, yang ada hanya warna putih pucat seperti daging bangkai ikan.

Makin dipandang Ciu Liong merasa makin bergidik, dengan susah payah akhirnya berhasil juga ia menenangkan diri, katanya kemudian: "Lebih baik kita angkut pulang lebih dulu jenasah ini" Tang Bu manggut-manggut, sambil menyimpan kembali sepasang kaitannya ia menyahut: "Biar aku saja yang membopong!

" Dia maju berapa langkah dan membopong mayat perempuan tanpa kepala itu, namun belum sampai tangannya bersentuhan, tiba tiba saja ia merasa gemetar keras.

Jangankan orang lain, dia sendiripun tak tahu mengapa bisa timbul perasaan ketakutan dan ngeri semacam itu.

Tapi akhirnya dia berhasil juga merangkul mayat tanpa kepala itu, saat itulah tiba tiba mayat itu bergerak.

Tak ampun Tang Bu menjerit sekeras-kerasnya.

Ketika melihat mayat peremuan tak berkepala itu mulai bergerak, para piausu lain pun ikut tercekat, paras muka mereka berubah hebat.

Menyusul kemudian peristiwa yang terjadi makin seram dan menakutkan!

 Mayat itu sama sekali tidak berjalan, pun tidak menerkam kawanan jago, tapi setelah bergerak, bagian tubuhnya yang semula utuh tahu tahu terbelah dan terurai sama sekali.

Kepingan badan yang terurai itu seketika rontoh dan tersebar keatas tanah!

 Dua kutungan kaki, sebuah kutungan lengan, semuanya tercerai belai dari balik bajunya yang putih, semua kutungan itu berwarna putih pucat, putih bangkai, tak ada darah, bahkan sedikit rona merah darah pun tak ada.

Tapi yang pasti kutungan tangan kaki itu adalah anggota tubuh manusia, tangan dan kaki seorang perempuan.

Suatu perasaan ngeri dan seram yang tak terlukiskan dengan kata seketika muncul dalam hati semua orang.

Diiringi jeritan kaget yang menggema di empat penjuru, Ciu Liong mundur selangkah dengan wajah berubah.

Sebaliknya Tang Bu masih berdiri ditempat semula, tampaknya tenaga untuk mundur pun sudah tak dimiliki lagi, sekujur tubuhnya gemetar keras.

Anehnya, bahkan dia sendiripun keheranan, ternyata ia tidak sampai muntah karena mual, tidak pula jatuh tak sadarkan diri.

Setelah jeritan kaget mulai sirap, suasana hening kembali mencekam sekeliling tempat itu.

Entah berapa lama kemudian, Ciu Liong baru berbisik: "Perbuatan siapakah yang begitu kejam dan sadis?

" "Dimana pula lengan kanannya?

" sambung Tang Bu.

Dia mencoba berjongkok lalu merogoh ke dalam baju sebelah kanan mayat itu.

Tiada lengan dibalik pakaian itu, ternyata lengan kanan sebatas ketiak mayat itu telah hilang lenyap tak berbekas.

Lalu ke mana larinya lengan itu" Tang Bu mencoba memeriksa sekeliling sana, lengan kanan itu sama sekali tak dijumpai disitu.

Serentak para piausu menyebarkan diri, mulai melakukan pencarian disekeliling tempat itu, namun walau sudah dicari sampai jauh pun, kutungan lengan itu tidak ditemukan juga.

Saat itulah mereka mendengar ada orang berteriak keras: "Siocia , , , , , , , ,,

" suara Lui Ang, ia sudah tersadar kembali, sambil membopong batok kepala Lui Hong, berjalan menuruni undakan batu dengan tertatih-tatih.

Tanpa sadar Tang Bu dan Ciu Liong maju menghampiri, buru buru tanyanya: "Empek Ang, sebenarnya apa yang telah kau lihat?

" "Siocia, aku melihat siocia!

" seru Lui Ang.

Suaranya masih gemetar keras, pada hakekatnya sama sekali tak mirip dengan suaranya.

"Kenapa dengan siocia?

" desak Tang Bu.

"Dia berjalan menuju ke sampingku, mengajakku berbicara, kemudian mencopot batok kepalanya dan diserahkan kepadaku!

" "Empek Ang, kau bicara jujur?

" tegur Ciu Liong dengan wajah hijau membesi.

Tentu saja diapun dapat melihat kalau Lui Ang tidak sedang berbohong, namun toh dia tak tahan untuk mengajukan pertanyaan tersebut.

"Aku tidak bohong" jawab Lui Ang cepat, "atau mungkin mataku sudah agak lamur , , , , ,,

mungkin mataku lamur , , , , ,,

" Bicara sampai disitu tubuhnya gemetar makin kencang, dua deret air mata jatuh berlinang membasahi pipinya yang berkeriput.

Batok kepala itu masih berada dalam bopongannya, tentu diapun tahu kalau pandangan matanya tidak lamur.

Namun sampai mati pun dia tak mau percaya bahwa apa yang dialami sekarang merupakan kenyataan.

Perasaan hatinya kini sakit dan pedih bagai diiris-iris dengan pisau tajam, sedihnya bukan kepalang.

"Empek Ang" Tang Bu ikut menimbrung, "sewaktu melihat siocia datang mendekat, apakah dia muncul dengan dandanan seperti itu?

" Sambil berkata ia menuding mayat tanpa kepala itu.

Mengikuti yang dituding Lui Ang berpaling, tapi begitu menyaksikan mayat tanpa kepala itu, lagi lagi matanya membalik lalu jatuh tak sadarkan diri.

Buru buru Tang Bu memayang badannya dengan wajah pucat bagai kertas, paras muka Ciu Liong pun ikut berubah sangat tak sedap dipandang.

Kendatipun Lui Ang tidak menyangkal maupun mengiakan, namun dari reaksi yang diperlihatkan setelah menyaksikan mayat tanpa kepala itu, dapat disimpulkan bahwa dandanan Lui Hong sewaktu menamakkan diri tadi memang demikian.

Sesosok mayat yang terpengkal jadi berapa bagian bukan saja dapat pulang sendiri, bahkan dapat pula berbicara, peristiwa semacam ini benar benar diluar pemikiran normal bahkan sama sekali tak masuk akal.

Tak heran kalau peristiwa ini terasa menyeramkan, sangat menakutkan!

.
Oo0oo
Fajar hampir menyingsing, kabut tebal menyelimuti permukaan tanah, membuat suasana terasa remang-remang.

Kereta kuda berlarian kencang menelusuri jalan raya, setengah li di luar kota Lok-yang.

Walaupun merasa agak letih, Siau Jit tetap duduk dengan badan tegak lurus, alis matanya selalu berkernyit menandakan ada masalah besar yang sedang dia pikirkan.

Dibelakang kereta mengikuti belasan ekor kuda, diatas pelana kuda terikat sosok mayat yang telah mulai kaku, yang diurusi berapa orang piausu.

Beberapa orang itu tampak sedih dan letih, perasaan berduka bercampur gusar menyelimuti wajah setiap orang.

Semenjak diresmikan, perusahaan ekspedisi Tin-wan piaukiok baru pertama kali ini menderita kerugian dan kematian yang paling parah.

Tentu saja orang yang paling berat perasaan hatinya adalah Lui Sin, ia melarikan kudanya dipaling depan, tubuhnya tampak agak membungkuk, peristiwa yang baru terjadi seolah membuat usianya bertambah tua berapa tahun.

Han Seng mengikuti dibelakang Lui Sin, dia membungkam dalam seribu bahasa, karena dia tak tahu harus berbicara apa.

Perasaan kedua orang itu sangat berat dan murung, tanpa terasa lari kuda pun ikut bertambah lambat.

Mendadak dari hadapan mereka berkumandang suara yang sangat aneh, suara itu muncul dari balik sebuah tikungan jalan.

Lui Sin segera menyadari akan hal itu, tegurnya: "Suara apa itu?

" "Suara orang yang berjalan dengan tongkat" sahut Han Seng cepat.

"Oooh,,,,”

 dia tidak melanjutkan perkataannya karena telah melihat orang tersebut.

Seorang kakek beruban.

Kakek itu cukup tua, rambutnya putih beruban, wajahnya penuh keriput, matanya membalik keatas hingga tampak putihnya saja, ternyata seorang kakek buta.

Ditangan kirinya kakek itu memegang sebuah tongkat bambu, tongkat itu digunakan untuk menutul tanah, "Tok,tok, tok,,,,”

 selangkah demi selangkah berjalan ke depan.

Ia berjalan langsung menyongsong kedatangan Lui Sin.

"Ooh, seorang kakek buta" ujar Han Seng setelah melirik sekejap.

"Ehmm" Lui Sin segera menarik tali les kudanya.

Mereka sama sekali tak kenal dengan kakek buta itu, tapi seandainya Ciu Kiok berada disitu, dia pasti akan menjerit kaget setelah berjumpa dengan kakek buta ini.

Kakek itu tak lain adalah si Kelelawar!

 Kelelawar tanpa sayap!

!

 Tentu saja diapun merasakan juga datangnya seseorang, sambil menghentikan langkah kakinya tiba tiba ia menegur: "Loya yang baik hati, tolonglah aku si buta tua" "Orang tua, apa yang kau butuhkan?

" tanya Lui Sin.

"Sebenarnya aku berada dimana sekarang?

" "Jalan raya di kota barat" "Ooh Thian, kenapa aku bisa sampai disini?

" seru si Kelelawar, "Loya yang baik hati, berbuatlah kebaikan, tolong bimbinglah aku si buta agar bisa duduk ditepi jalan" Tanpa curiga Lui Sin melompat turun dari kuda dan berjalan menghampiri.

Han Seng tidak mencegah, dia tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan dengan kakek buta itu, lagian diapun menganggap Lui Sin patut melakukan permintaan itu.

Lui Sin berjalan menghampiri kakek buta itu sambil berseru: "Kemaril" sambil berkata ia menjulurkan tangan kirinya.

Bersamaan waktu, si Kelelawar menjulurkan pula tangan kanannya.

Dengan cepat Lui Sin telah menggenggam tangan kanannya, tapi dengan cepat ia merasa hatinya bergidik.

Lengan si Kelelawar pada hakekatnya lebih dingin dari bongkahan es, lebih beku dari salju kutub.

Yang paling mengejutkan dan mengerikan adalah lengan itu ternyata halus dan mulus, sama sekali tak mirip dengan lengan seorang kakek berusia lanjut.

Lengan seorang lelaki tak mungkin sedemikian lembut dan halus.

Tanpa terasa sorot matanya dialihkan keatas lengan itu, kini dia baru melihat dengan jelas kalau lengan tersebut adalah lengan seorang wanita.

Tak kuasa lagi jeritnya: II "Lenganmu ini , , , , , , ,,

"Indah bukan?

" tanya si Kelelawar sambil tertawa.

"Indah!

" jawab Lui Sin tanpa sadar.

Si Kelelawar segera tertawa terkekeh.

"Kalau memang merasa indah, bagaimana kalau kusumbangkan untukmu?

" "Berikan untukku?

" tanya Lui Sin tercengang.

"Perkataan seorang lelaki ibarat kuda yang dicambuk, tak akan terkejar kembali" Selesai berkata dia tarik kembali tangan itu, kemudian ketika dijulurkan keluar lagi, tangan itu sudah terlepas dari badannya.

Kali ini Lui Sin bersin berulang kali karena bergidik, sekali lagi sinar matanya dialihkan keatas lengan itu.

Lengan itu dipapas kutung sebatas ketiak, sama sekali tak nampak rona darah, dekat sikut terlihat sebuah "toh" berwarna merah hati.

Tatapan mata Lui Sin tertuju keatas tanda hati berwarna merah darah itu, menatapnya tanpa berkedip.

Tiba tiba saja tubuhnya gemetar, gemetar keras sekali.

Han Seng yang menyaksikan kejadian itu kontan berseru: "Bukankah diatas lengan kanan Hong-ji terdapat pula sebuah tanda merah berbentuk hati?

" "Benar, mirip sekali" Dari balik mata si Kelelawar yang putih tiba tiba muncul biji mata, biji mata berwarna hijau tua, biji mata menyerupai api setan yang menatap Lui Sin.

Tanyanya sambil tertawa: "Masa lengan milik putri sendiri pun tidak kau kenali?

" "Apa kau bilang?

" teriak Lui Sin dengan wajah berubah.

"Masa sampai sekarang kau masih menyangka lengan ini adalah lenganku?

" kembali si Kelelawar mengejek, selesai berkata sebuah lengan kanan muncul lagi dari balik bajunya.

Lengan kanan berbentuk cakar burung.

Paras muka Lui Sin berubah menakutkan, bentaknya: "Apa kau bilang?

" "Dia bilang, lengan itu adalah lengan milik Hong-ji!

" seru Han Seng menimali.

Sepasang mata Lui Sin terbelalak lebar, biji matanya melotot keluar, sambil menatap si Kelelawar tegurnya: "Siapa kau sebenarnya" Kenapa lengan milik putriku bisa berada ditanganmu?

" "Siapakah aku" Masa kau tidak tahu?

" si Kelelawar tertawa aneh.

Dengan satu gerakan cepat dia melukis seeekor Kelelawar diatas tanah dengan tongkat bambunya, bahkan Kelelawar itu digambarkan sedang menghadap ke arah Lui Sin.

Berubah makin hebat paras muka Lui Sin, khususnya setelah melihat lukisan itu, teriaknya tertahan: "Kelelawarl" "Hahaha, betul sekali, akulah si Kelelawar" sahut kakek itu sambil tertawa aneh.

Han Seng segera mencabut pedangnya, tapi pada saat yang bersamaan si Kelelawar telah melempar tongkat bambunya ke depan, persis menghantam gagang pedang itu.

"Triiing!

" baru saja pedang itu tercabut tiga inci dari sarungnya, tongkat bambu itu sudah menumbuk diatas gagang pedang tadi hingga tersarung kembali.

Tak terlukiskan rasa kaget Han Seng menjumpai kejadi an ini.

Terdengar si Kelelawar berkata lagi sambil tertawa: "Biarpun tak bersayap, aku tetap bisa terbang!

" Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, dia sudah rentangkan sepasang tangannya dan melambung ke udara.

Tubuhnya langsung meluncur naik keatas sebatang pohon besar yang tumbuh disisi jalan.

"Kelelawar tanpa sayap!

 Hadang dia!

" bentak Han Seng nyaring, sekali lagi dia mencabut pedangnya dan meluncur kearah si Kelelawar bagaikan anak panah yang terlepas dari busur.

Sekilas cahaya pedang melintas pula dari sisi tubuhnya bagai lintasan cahaya petir, langsung mengancam tubuh si Kelelawar.

Pedang pemutus usus milik Siau Jit!

 Rupanya dia sudah muncul disitu, mendengarkan semua pembicaraan, menyaksikan semua adegan, ketika Han Seng berteriak: "Hadang dia!

" pedangnya sudah diloloskan dari sarung, tubuh berikut pedang pun sudah melesat maju secepat petir.

Walaupun dia menyerang belakangan namun serangannya tiba lebih dulu, sayang gerakan tubuh Kelelawar tanpa sayap jauh lebih cepat, belum lagi serangan itu mencapai sasaran, dia sudah menyelinap ke belakang pohon dan sekali lagi menyusup ke balik pepohonan disisi jalan.

Ditengah kilatan cahaya pedang dan gugurnya dedaunan, dengan kecepatan tinggi Siau Jit melesat ke depan, ujung pedangnya menutul diatas dahan lalu badannya menyelinap ke balik pepohonan itu.

Dengan cepat ia saksikan bayangan punggung si Kelelawar sedang kabur ke balik kegelapan, cepat dia menjejakkan ujung kakinya diatas dahan, seperti burung gereja yang terbang di angkasa, ia kejar kakek itu dengan kecepatan tinggi.

Dalam pada itu Han Seng telah membalikkan badan dan menyusul di belakang Siau Jit.

Saat itulah terdengar Lui Sin meraung keras, dengan tangan kanan mencabut golok emasnya, tangan kiri menggenggam kutungan lengan, dia mengejar dipaling belakang.

Berbareng itu pintu kereta terbuka, Suma Tang-shia munculkan diri, ia tidak ikut mengejar namun hanya mengawasi bayangan punggung Lui Sin yang semakin menjauh.

Perasaan sangsi, ragu terlintas dibalik kelopak matanya.

Apa yang ia sangsikan" Apa yang membuatnya keheranan" Sang Kelelawar meluncur tiada hentinya, hinggap dari satu batang pohon ke batang pohon yang lain, sepasang ujung bajunya yang terpentang lebar membuat orang itu persis seperti seekor Kelelawar yang sedang terbang.

Siau Jit mengejar ketat di belakangnya, ilmu meringankan tubuh yang dia miliki hampir setara, hal ini membuat mereka berdua selalu terpisah satu jarak, walau jarak itu tidak terlampau besar.

Terdengar ujung baju bergema tersampok angin, biarpun tak dapat melihat bayangan tubuhnya, dia yakin tak bakal kehilangan jejak.

Han Seng dan Lui Sin yang menyusul dibelakang Siau Jit lambat laun makin tertinggal jauh.

Bicara tentang ilmu meringankan tubuh, tentu saja mereka berdua masih bukan tandingan Siau Jit, sekalipun begitu, mereka tetap melakukan pengejaran secara ketat.

Sorot mata mereka telah berubah jadi merah membara, seakan ada kobaran api yang membakar dan menyala dengan hebatnya.

Api kemarahan!

!

 Tiba tiba suara ujung baju tersampok angin hilang dan berhenti.

Siau Jit sama sekali tidak berhenti, dia masih melanjutkan pengajarannya dengan ketat.

Cahaya pedang telah melindungi seluruh bagian penting ditubuhnya, ia telah bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan yang terjadi, khususnya terhadap datangnya serangan bokongan.

Begitu melesat maju lagi sejauh tiga tombak, diapun menyaksikan kilauan cahaya air, ternyata diluar hutan merupakan sebuah sungai yang luas dengan ombak yang besar, kabut tebal masih menyelimuti permukaan air.

Sebuah sampan kecil berlabuh tiga tombak ditepi pesisir sungai, seseorang telah berdiri tegak diujung sampan itu.

Kelelawar!

 Siau Jit menghentikan gerakan tubuhnya persis ditepi pantai pesisir, dia mencoba memeriksa seputar sana, namun tidak dijumpai sampan kedua yang berlabuh.

Terdengar si Kelelawar kembali mengejek sambil tert awa aneh: "Aku bisa terbang, apakah kau bisa juga?

" Siau Jit tertawa dingin.

"Bila terdapat sebuah sampan lagi, akupun dapat terbang!

" "Sayang disini hanya terdapat sebuah sampan yang kuinjak sekarang!

" "Memang sayang sekali" dengus Siau Jit.

Sementara itu Han Seng telah menyusul tiba, sambil melotot gusar teriaknya: "Apakah kau benar-benar si Kelelawar tanpa sayap?

" "Ditanggung asli!

" sahut Kelelawar tertawa.

Baru saja Han Seng akan bertanya lagi, Lui Sin yang telah menyusul tiba telah menghardik pula: "Bukankah kau sudah mampus?

" "Memangnya kau lihat aku sudah mampus?

" si Kelelawar balik bertanya.

"Menurut berita yang beredar dalam dunia persilatan, kau sudah mampus banyak tahun berselang" "Mati karena dikerubuti delapan jago lihay dari Kanglam bukan?

" "Memangnya berita itu hanya berita isapan jempol?

" "Mungkin saja hanya isapan jempol, tapi orang yang telah mati tak mungkin bisa hidup kembali bukan?

" kata si Kelelawar.

"Peduli amat kau sudah mampus atau masih hidup, aku ingin tahu, benarkah lengan ini adalah lengan putriku?

" teriak Lui Sin nyaring.

"Dijamin asli!

" "Darimana kau dapatkan lengan putriku ini?

" "Aaagh, jadi kau belum tahu kalau putrimu sudah terjatuh ke tanganku?

" si Kelelawar balik bertanya.

Lui Sin tertegun, untuk sesaat dia termangu dan tak mampu bicara.

"Rupanya perbuatan ini betul betul merupakan hasil karya busukmu?

" bentak Han Seng pula.

Si Kelelawar menghela napas panjang.

"Karena dia sudah terjatuh ke tanganku, bukankah kelewat gampang bila aku ingin memotong sebuah lengannya?

" "Mengapa kau harus berbuat begitu" Kenapa?

" jerit Lui Sin.

Si Kelelawar garuk garuk rambutnya yang tak gatal, sahutnya berapa saat kemudian: "Mungkin saja secara tiba tiba aku jadi gila,,,,

kau harus tahu, seseorang yang sedang gila, dapat melakukan perbuatan apa pun, bukan begitu?

" Lui Sin makin gusar, bentaknya lagi: "Mengapa kau bunuh piausuku, menculik putriku?

" "Mungkin saja karena putrimu kelewat cantik!

" Merah padam selembar wajah Lui Sin saking gusarnya.

"Sebenarnya apa yang telah kau lakukan terhadap putriku?

" jeritnya.

"Pulang saja ke piaukiok mu, bukankah segala sesuatu akan jadi jelas dengan sendirinya" "Jadi kau telah menghantar dia pulang?

" "Kecuali lengan kanannya, yang lain sudah kuhantar balik" "Kelelawar bajingan!

 Kemari kau, mari kita berduel sampai salah satu mampus!

" tantang Lui Sin kalap.

"Ooh, maaf, maaf sekali!

" tampik Kelelawar sambil nyengir dingin.

"Dasar bedebah tak bernyali!

" Kembali si Kelelawar tertawa aneh.

"Coba kalau fajar tidak segera menyingsing, tantanganmu pasti akan kulayani, tapi sekarang mau tak mau aku harus segera terbang pergi" "Terbang ke mana?

" "Alam bakal" begitu selesai bicara, kembali ia melambung ke udara.

Bersamaan dengan gerakan itu, sampan kecil tadi ikut melayang pula ke udara.

Ditengah percikan bunga air, saman berikut si Kelelawar telah melesat ke tengah sungai dengan kecepatan tinggi, menyusup ke balik kabut tebal.

Kemudian lenyap tak berbekas, lenyap ditelan kabut.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar