Bara Naga Jilid 19

Jilid 19

"Bagus kedatanganmu, Giam-heng!"

Seru Siang Cin dengan tertawa. Pendatang ini memang pentolan Hui-ji-bun Bu-siang-pay, Giam Siok dengan gagah berani ia menerjang maju pula sambil berseru.

"Siang-susiok, benteng musuh sudah bobol!"

Sambil melancarkan serangan pada seorang kakek jubah kelabu, Siang Cin menjawab dengan tertawa..

"Ini kan sudah dalam rencana kita!"

Setelah mengelakkan suatu serangan seorang kakek jubah kelabu, mendadak Siang Cin berteriak.

"Nah, kawan2 Tiang-hong-pay, sudah tiba saatnya sekarang kita menentukan mati dan hidup, boleh kalian rasakan cara Naga Kuning merenggut nyawa kalian!"

Sambil bicara, ia sambut pukulan seorang kakek dengan keras lawan keras.

"

Krek", terdengar suara tulang patah, tulang tangan kakek lawannya patah sebatas pergelangan.

Belum sempat ia menarik diri, kaki Siang Cin sudah melayang tiba dan membuatnya terpental ke bawah tembok benteng.

Dalam pada itu Giam Siok telah menerjang tiba dan cepat mengadang di depan seorang kakek jubah kelabu yang hendak menyergap Siang Cin dari belakang.

Selagi si kakek kelabu terpaksa harus mengalihkan perhatiannya untuk menghadapi Giam Siok, mendadak Siang Cin memutar balik dan menabaskan sebelah tangannya yang merah bengkak itu.

Si kakek jubah kelabu tidak berani ayal, cepat ia menangkis, tapi tangan Siang Cin yang hampir beradu dengan tangan musuh mendadak menyambar ke bawah dan menyerempet lewat di leher lawan.

Kontan darah berhamburkan, si kakek jubah kelabu ter-huyung2 dan akhirnya terjungkal.

Ketujuh kakek Tiang-hong-pay kini tinggal tiga orang saja, mata mereka tampak merah membara menyaksikan kematian saudara2-nya, mereka menjadi nekat.

Akan tetapi tembok benteng ini tidak terlalu luas, sukar bagi mereka untuk menerjang bersama dan main kerubut, apalagi Giam Siok juga menghadapi mereka dengan golok melintang.

Mendadak salah seorang di antaranya berteriak nekat terus menerjang ke arah Giam Siok.

Kontan golok sabit Giam Siok menahan dengan cepat dan godam menghantam.

Tapi kakek itu same sekali tidak berkelit, ia tetap menubruk maju, kedua kakinya menendang secara berantai sehingga godam musuh dapat dipaksa tergeser ke samping, menyusul ia tetap menubruk maju dan menghamtam muka Giam Siok.

Tapi sekali ini dia benar2 ketemu batunya, Giam Siok juga nekat, iapun tidah menghindarkan hantaman lawan, tapi goloknya tetap menabas, maka terdengarlah ."crat, bluk"

Beberapa kali, Giam Siok terpukul hingga tergetar mundur, darah hampir saja tersembur keluar.

Tapi tubuh si kakek juga tertabas kutung menjadi dua potong.

Belum lagi Giam Siok tenang kembali, sisa kedua kakek jubah kelabu telah menerjang tiba pula dari kanan dan kiri.

Cepat godam Giam Siok menghantam, kontan kepala kakek di sebelah kiri hancur, tapi dada Giok Siok sendiri juga terpukul, ia jatuh terduduk dengan darah tersembur dari mulutnya.

Pada saat itu Siang Cin telah memburu maju sekuatnya kakek itu membaliki tangan dan menghantam.

"blang", terjadi adu tangan yang keras, kontan tubuh kakek itu mencelat kebawah tembok benteng sana, Siang Cin jnga tergetar mundur dan tumpah darah. Dengan kuatir dua anggota Bu-siang-pay memburu maju hendak menolongnya, tapi Siang Cin telah mengatur kembali pernapasannya sehingga darah tidak sampai tertumpah pula, lalu katanya.

"Lekas rawat dulu Toa-suheng kalian .......

"

Tapi Giam Siok yang jatuh terduduk tadi telah merangkak bangun dengan bantuan, golok sabit sebagai tongkat, dengan muka pucat ia mendekati Siang Cin.

"Silahkan Giam lote istirahat dulu di sini. Aku masih harus membantu Sebun tangkehdan Kin heng disana,"

Kata Siang Cin sambil mengusap darah di ujung mulutnya.

Tidak jauh di lorong sana Sebun Tio-bu sedang memperlihatkan ketangkasannya, ia terus menerjang maju.

Lawan yang bernama Oh Kek itu sudah terluka, mukanya berlumuran darah.

tidak perlu ditanya lagi pasti terluka oleh "tangan iblis besi"

Sebun Tio bu itu.

Satu lagi yang bernama Nyo To itupun kelihatan kepayahan, melihat gelagatnya mereka tak mampu bertahan lebih lama lagi.

Seluruh Ji ih-hu kini hampir menjadi dunianya Bu-siang pay, hanya beberapa jagonya saja yang masih kelihatan bertempur mati2an, selain itu orang2 Jit ho-hwe, Toa-to-kau, Ceng-siong-san-ceng dan lain2 sudah hampir tidak kelihatan.

Di mana2 hanya kelihatan seragam putih dengan sinar golok sabit yang gemilapan.

Utti Han-po dan Kin Jin berdua sedang mengerubut Hek-jan-kong Ang Sianglong, namun Hek jan kong sedikitpun pantang mundur, ia seperti sudah kalap, setiap serangannya ganas tanpa kenal ampun, bila perlu siap gugur bersama lawan.

Pentolan utama Ji-ih-hu ini memang tangguh, tenaga dalamnya kuat, serangannya keji, di bawah kerubutan Kin Jin dan Utti Han-po masih lebih banyak menyerangnya daripada bertahan.

Pelahan2 Siang Cin mendekati mereka.

Di belakangnya Giam Siok juga ikut mendekat, muka ke dua orang sama pucat dan badan lemas.

Di tempat lain tiba2 terdengar suara orang menjerit.

terlihat "lengan besi"

Sebun Tio bu berputar di udara dengan berlumuran darah, Ok Kek tampak memegangi kepalanya dan terkapar.

Entah sejak kapan dada Nyo To juga sudah robek dan bermandi darah, di bawah ancaman lengan besi Sebun Tio-bu, berulang ia terdesak mundur ke tepi tembok benteng.

Kejadian mengerikan ini sama sekali tidak dihiraukan Hek-jan-kong, dengan beringas ia tetap menghantam kedua lawannya.

Lama2 Kin Jin menjadi nekat, mendadak ia melompat maju, sekuat tenaga kedua tangan menghantam sekaligus.

Di tengah gelak tertawa Hek jan-kong sambut pukulan dengan pukulan.

"Blang", terdengar suara benturan keras, tubuh Kim-lui-jiu mencelat dan terbanting jatuh. Dalam pada itu Utti Han-po juga tidak tinggal diam, golok sabitnya membabat beberapa kali secepat kilat, Karena harus adu pukulan dengan Kin Jin, Hek-jan kong tidak sempat menghindar, pada saat Kin Jin terpental itulah tubuh gembong Ji-ih-hu inipun menghamburkan darah. Namun begitu ia sempat membalik tubuh dan melancarkan serangan terakhir sepenuh tenaga. Sementara itu Siang Cin sudah mendekat, melihat Utti Han-po pasti tidak sanggup menahan pukulan dahsyat lawan, segera ia menubruk maju ke samping Hek-jan-kong, dan menghujani beberapa pukulan kilat ke iga musuh. Pada saat yang sama tubuh Hek jan-kong juga terkena tabasan golok sabit Utti Han po, namun iapun sempat balas menghantam dua kali sehingga Utti Han- po terpental ke belakang, golok sabitpun terlepas dari tangan. Habis itu Hek-jan-kung Ang Siang long lantas terkapar dengan mata mendelik dan tanpa bersuara lagi. Rupanya ia telah binasa dengan luka tabasan golok yang silang menyilang, darah melumuri jubahnya. Tulang iganya sedikitnya patah belasan biji oleh pukulan Siang Cin tadi. Keruan Nyo To ketakutan setengah mati melihat pemimpinnya sudah mati, segera ia bermaksud kabur, namun lengan besi Sebun Tio-bu menyambar lebih cepat daripada larinya.

"cret", perut Nyo To terobek sehingga isi perut berhamburan keluar, tubuhnya juga terlempar keluar tembok benteng. Melihat Siang Cin bermuka pucat dan jalannya sempoyongan, cepat Sebun Tiobu mendekatinya dan bertanya.

"Apakah kaupun terluka, Siangheng? Duduklah dulu!"

"Aku tidak apa2, lekas kau periksa keadaan Kin-heng,"

Jawab Siang Cin.

Sebun Tio-bu lantas memburu ke arah Kin Jin sana.

Dilihatnya Kin Jin dan Giam Siok sama2 menggeletak di situ, belasan anak buah Bu-siang pay mengerumuni mereka.

Dan anggota Bu-siang-pay juga memayang Utti Han-po, Toa-cuncu Bu - siang pay yang gagah perkasa ini kini mukanya juga pucat seperti mayat.

Dengan langkah yang berat ia mendekati Siang Cin, ia melirik sekejap mayat Hek-jan-kong, katanya dengan parau.

"Siang-lote, apa ..... apakah orang she Ang ini sudah..... sudah beres!?"

"Ya, beres untuk selamanya,"

Jawab Siang Cin sambil mengangguk pelahan.

"Dan bagaimana keadaan luka Utti cuncu?"

"Mendingan"

Kata Utti Han-po dengan suara serak.

"Untung setelab mengadu pukulan dengan Kin tayhiap barulah aku terpukul keparat ini, jelas ten..... tenaganya sudah banyak berkurang, kalau ....kalau tidak, bisa jadi jiwaku sudah melayang."

Sambil menggerutu kelihatan Sebun Tio-bu mendekat lagi dengan cemas. Tergetar hati Siang Cin, cepat ia bertanya.

"Bag ..... bagaimana keadaan Kinheng?"

Sebun Tio-bu berkerut kering, jawabnya.

"Siangheng, me ..... melihat gelagatnya, Kin-heng ...."

"Apakah parah,"

Sela Utti Han-po. Dengan menghela napas sedih Sebun Tio bu menyambung.

"Kin-heng te!ah mengadu pukulan sekuatnya dengan keparat she Ang tadi, bagian dalamnya terluka parah, denyut nadinya lemah, darah bergolak, keadaannya agak gawat. Tampaknya andaikata jiwanya dapat diselamatkan, sedikitnya juga harus istirahat ber-tahun2 ...."

Tanpa bicara Siang Cin lantas mendekati Kin Jin.

Segera Utti Han po juga memberi perintah kepada seorang anak buahnya agar lekas memanggil tabib pasukan Bu-siang-pay.

Tidak lama kemudian datanglah seorang berseragam putih setengah baya bersama Toa-cuncu Ih Kiat dari Say-cu-bun.

Lelaki setengah baya ini langsung mendekati tempat menggeletak Giam Siok dan Kin Jin, setelah mendapat keterangan sekadarnya dari Siang Cin, orang itu mulai memeriksa keadaan luka Kin Jin berdua, seorang murid Bu-siang- pay lantas membuka peti obat dan siap meladeni segala keperluan sang tabib.

Ih Kiat sendiri kelihatan berkeringat, jubahnya juga robek di sana sini, dia mendekati Utti Hanpo dan berseru.

"Keparat Khang Giok tek itu tidak ditemukan di Ji-ih-hu, sudah kita cari di segenap pelosok tetap tak terlihat bayangannya, mungkin sudah kabur ke Pau-hou san-ceng. Utti tua, kabarnya Ang Siang long sudah dibereskan? Kupikir ...."

Mendadak ia lihat jubah Utti Han-po juga berlumuran darah, cepat ia tanya.

"He, kaupun terluka, Utti tua?" . Utti Han-po menghela napas, jawabnya.

"Ya, kalau tidak ada Siang lote dan Kintayhiap. mungkin jiwaku ini sudah melayang sejak tadi2. Keparat she Ang ini sungguh lihay luar biasa."

"Dan bagaimana keadaan Siang-heng dan Kin-heng?"

Tanya Ih Kiat kuatir. "Aku tidak apa2 Ih-toa-cuncu,"

Seru Siang Cin dari belakang. Cepat Ih Kiat membalik tubuh dan memegangi pundak Siang Cin, serunya.

"Sungguh besar amat jasa Siang-hang bertiga, kalau tidak, bukan mustahil pihak Busiang- pay akan banyak jatuh korban, bahkan Ji-ih hu mungkin sukar dibobol. Yang paling menggembirakan adalah kawan2 kami yang tertawan musuh Sekarang telah dapat diselamatkan.. Ketika menerima berita ini, Tay-ciangbun sampai meneteskan air mata saking terharunya. Siang-heng, sudah puluhun tahun baru sekali ini kulihat hall Tay-ciangbun kami benar2 tergetar oleh kejadian ini ... ."

"ia lihat keadaan Siang Cin agak lesu, cepat ia bertanya.

"Siang-heng, apakah lukamu juga parah?"

Siang Cin tersenyum, jawabnya parau.

"Ah, tidak apa2, cuma luka ringan saja, kukira luka Kin-heng yang harus dikuatirkan .......

"

"Akan kujenguk dia,"

Sera Ih Kiat.

"Sudahlah, tabib pasukan kalian sedang memeriksanya, untunglah dasar Kinheng memang kuat, maka jiwanya kukira tidak menjadi soal, apakah ilmu silatnya akan punah atau tidak sukar untuk dikatakan, agaknya dia perlu istirahat yang lama."

"O, syukurlah bahwa jiwa Kin-tayhiap tidak menjadi soal, sungguh Bu-siang-pay kami entah cara bagaimana harus berterima kasih atas pengorbanan Siang-heng bertiga,"

Kata Ih Kiat.

"Ah, mengapa In cuncu bicara begini,"

Ujar Sebun Tio-bu.

"Apa yang kami lakukan ini hanya demi membela keadilan, adalah tugas orang persilatan seperti kita ini. Jika terjadi sedikit cidera juga bukan sesuatu yang perlu dirisaukan."

Dengan suara terharu Utti Han-po ikut bicara.

"Terus terang, bilamana pertempuran ini tidak dibantu oleh Siang-heng, Sebun-tangkeh dan Kin-heng bertiga, sungguh kami tadak berani membayangkan akan bagaimana jadinya ... .."

"Sekarang, selain Khang Giok-tek yang belum diketahui ke mana kaburnya, pentolan pihak Ji-ih-hu mungkin boleh dikatakan sudah kita tumpas seluruhnya. kemenangan gemilang ini seluruhnya memang berkat bantuan Siang heng bertiga,"

Kata Ih Kiat. Siang Cin tersenyum, katanya.

"Pihak Ji-ih hu memang mengalami kehancuran habis2an, kecuali gembong utamanya, Hek-jan-kong, yang sudah mampus jelas ada Nyo To, Ciong Hu, Toan Kiau, Toh Goan, dan Oh Kok serta seorang kakek tinggi besar berjenggot merah. Jago Ji ih-hu yang belum diketahui nasibnya cuma Toh Cong saja, entah dia kepergok tidak oleh kalian?"

"Tidak ada, banyak juga begundal Ji-ih-hu yang kami tumpas, tapi tak ada orang she Toh itu, kukira dia telah kabur setelah melihat gelagat jelek,"

Tutur Ih Kiat. Siang Cin melongok ke bawah sana, dilihatnya orang Bu-siang-pay berlari kian kemari sedang mengadakan pembersihan terhadap musuh yang bersembunyi serta menolong kawan sendiri yang terluka.

"Dan bagaimana hasil pertempuran di bawah sana, Lo Ih?"

Tanya Utti Hmn-po kepada Ih Kiat. Untuk sejenak Ih Kiat tampak ragu2 untuk bicara, tapi akhirnya ia berkata.

"Pihak musuh telah kita tumpas habis2an, tapi pihak kita sendiripun jatuh korban."

"Siapa yang tewas di pihak kita?"

Tanya Utti Han-po.

"Thio ...... Thio Kong,"

Jawab Ih Kiat. Seketika berubah pucat air muka Utti Han-po dan air mata ber-linang2, gumamnya.

"O, anak Kong....!"

Kiranya Thio Kong yang dimaksud adalah anak angkat Utti Han-po, selama hampir 30 tahun hidup bersama seperti anak kandung sendiri, siapa tahu sekarang harus gugur di medan bakti.

Siang Cin dan Sebun Tio-bu saling pandang dengan terharu.

Ih Kiat juga tidak tahu cara bagaimana harus bicara untuk menghibur rekannya ini.

Tiba2 Siang Cin membisiki Sebun Tio-bu sejenak.

Lalu Sebun Tio-bu memandang ke arah gedung induk Ji-ih-hu sambil manggut2.

Habis itu tanpa bicara ia terus berjalan ke sana.

Kemudian Siang Cin mendekati Utti Han-po dan berkata.

"Utti-cuncu hendaklah jangan terlalu berduka, di medan pertempuran memang hanya ada antara membunuh atau terbunuh, yang penting sekarang kita harus berusaha cara bagaimana menuntut balas bagi saudara2 kita yang telah gugur itu."

Setelah berpikir sejenak, dengan menggreget Utti Han-po menengadah dan berkata.

"Ya, anak Kong telah menunaikan tugas baktinya bagi Tay-ciangbun dan para pahlawan padang rumput, kematiannya tidak memalukan sebagai anak didikku."

"Utti-cuncu, marilah kita turun ke bawah sana untuk melihat kawan2 kita yang terluka,"

Ajak Siang Cin kemudian.

Anak murid Bu-siang-pay sudah mengusung kawan2nya yang terluka itu ke tempat perawatan, juga Kin Jin dan Giam Siok sudah dibawa pergi.

Di tengah kesibukan orang banyak itu, seorang tinggi kurus berjubah putih tampak berlari datang kepala terbalut oleh kain dan darah merembesi kain pembalut itu, agaknya terluka, Siang Cin kenal orang ini adalah anak murid Hui-ji-bun.

"Sin Kian, ada urusan apa?"

Tanya Ih Kiat kepada orang itu.

"Lapor Cuncu,"

Jawab orang itu.

"Sebun-tangkeh menyuruh Tecu menyampaikan kepada Siang susiok, bahwa Toa-siocia sudah ........sudah ditolong keluar."

"Apakah Toa-siocia terluka?"

Tanya Ih Kiat. Belum Sin Kian menjawab, Siang Cin lantas menyela.

"Tidak, cuma kututuk dengan cara yang khas agar dia tertidur. Sebab kalau tidak kututuk dan entah cara bagaimana akan membuatnya diam..." Belum habis ucapannya, mendadak Sebun Tio-bu melayang tiba dengan memanggul segulungan selimut. Sesudah berhadapan, Sebun Tio bu mengusap keringat dan berkata dengan tertawa.

"Untung masih tetap disana tanpa kurang sesuatu apapun, cuma berbahaya juga, tembok di sebelahnya roboh tergetar oleh ledakan granat kita, hampir saja menindihi anak dara ini. Di sekitarnya tumpukan batu pasir belaka, tapi anak dara ini tetap tidur dengan nyenyaknya ... .. Ih Kiat lantas mendekati Sebun Tio bu dan membuka gulungan selimut itu, dan tertawa dan berkata.

"Memang betul, inilah Yang yang, tampaknya nyenyak benar tidurnya."

"Siang-heng,"

Utti Han po berkata.

"marilah kita istirahat saja di ruang besar sana. Kita serahkan saja Yang-yang kepada keputusan Tay-ciangbun. Kukira sebentar lagi dapat pula diterima berita, pertempuran di Pau hou ceng sana. Be-ramai2 mereka lantas masuk ke Kim-bin-tian, Sebun Tio-bu tetap memanggul Yang yang dan Utti Han po juga dipapah oleh dan anggota Bu-siang-pay. Memasuki ruangan pendopo yang luas itu, Siang Cin merasakan perubahan yang sangat menyolok dengan keadaan semalam, Di-mana2 darah berceceran dan belum kering, jelas di sini tadipun terjadi pertarungan sengit. Menurut laporan sementara, pihak Ji-ih-hu benar2 hancur total, diantara pentolannya yang tertawan hidup hanya orang ketiga Jit-ho-hwe, yaitu Ciang Seng, seorang Kau-thau Toa-toa kau bernama Lo Sun dan jago Ceng-siong-san-ceng, To Jun, selebihnya tak diketahui nasibnya dan besar kemungkinan terbunuh. Tidak lama kemudiah datang pula laporan dari scorang murid Hui-ji-bun bernama Ui Seng, katanya Pau-hou-san-ceng sudah bobol dan telah dibakar. Tay-ciangbun mereka juga sudah diberi laporan tentang bobolnya Ji-ih-hu di sini. Ada lagi kabar baik ialah tertawannya Kang Giok-tek. Sudah tentu banyak pula jago2 Bu-siang-pay yang terluka, tapi tidak berbahaya, sebaliknya pihak musuh lebih banyak jatuh korban. Mendadak terdengar suara ramai di luar, lalu masuklah serombongan orang Busiang- pay menggusur tiga tawanan. Semuanya diringkus erat dengan tali kulit. Siang Cin kenal dua diantaranya, yaitu Ki Tay-bok dari Ceng-siong-san-ceng serta Lo-sat-li Giam Ciat. Seorang lagi buntung kedua kakinya dan bagian kaki yang buntung itu terbalut kain tebal serta ada darah merembes, mukanya pueat dan penuh berewok, sebelum buntung kakinya orang ini pasti bertubuh kekar tegap, tapi sekarang kelihatan kecil dan mengenaskan.

"Lapor Toa-cuncu, perempuan inilah yang memimpin begundalnya hendak merampas tawanan di penjara, tapi keburu kepergok dan diringkus,"

Lapor Sin Kian.

"Beberapa anak buah kita terluka, tapi tidak berbahaya bagi jiwanya."

Dengan gemas Utti Han-po berseru.

"Kawanan pengacau yang tidak tahu kebaikan, seret keluar dan penggal kepala!"

Segera Sin Kian hendak meneruskan perintah itu, tapi Siang Cin lantas rnencegahnya.

"Nanti dulu!" "Apakah Siang-heng kenal perempuan ini?"

Tanya Utti Han-po heran. Siang Cin mengangguk, katanya.

"Betul, dia bernama Giam Ciat, adik perempuan ketua Soh-lian su-coat-Giam Ciang."

"Soh-lian-su-coat?"

Utti Han-po menegas.

"Bagus sekali mungkin yang menggeletak di lantai inilah pentolan kedua Soh-lian-su-coat Siang Keng-hian, mereka telah membunuh anak didikku, harus kucabut nyawa untuk membayar utang jiwanya muridku itu."

Tapi Siang Cin lantas memberi kisikan kepada Utti Han-po, diceritakannya bagaimana dia banyak mendapat info dari Giam ciat sehingga penyerbuan Bu siang pay atas Ji ih-hu dapat berjalan dengan lancar.

Tentang gugurnya Thio Kong, dikatakan Siang Cin, sebagai layak jika utang jiwa itu ditagih pada Siang Keng thian yang membunuhnya, Giam Ciat tidak lebih hanya seorang perempuan yang ikut2an saja.

dosanya kiranya tidak perlu sampai dihukum mati, maka dimohonkan Siang Cin agar hukuman sementara ditunda serta dimintakan keputusan kepada Tay-ciangbun sendiri nanti.

Setelah berpikir sejenak, akhirnya Utti Hanpo mengangguk, katanya.

"Karena Siang-lote yang memintakan ampun baginya, apa yang dapat kukatakan pula? Tapi Siang Keng-hian adalah pembunuh muridku, hukuman mati tak dapat dihindarkan, Nah, seret keluar dan penggal kepalanya."

Segera anak buah Bu siang pay menyeret keluar Siang Keng-hian, tentu saja Giam Ciat menjerit, tapi apa yang dapat diperbuatnya. Sejenak kemudian, datanglah laporan dengan kepala Siang Keng-thian yang sudah terpenggal, hukuman mati sudah dilaksanakan.

"Sekarang giliran keparat ini,"

Bentak Utti Han-po sambil melirik Ki Tay-bok yang meringkuk di bawah itu. Tentu saja muka Ki Tay-bok menjadi pucat dan berkeringat dingin, ia meratap ketakutan.

"Toa-cuncu, mohon kebijaksanaan dan sudi memberi ampun. Hamba tidak lebih hanya sebagai pengabdi di Ceng siong-san-ceng, hanya cari makan belaka dan terima perintah, sama sekali bukan kehendak hamba untuk bermusuhan dengan kalian ...."

"Ki Tay bok, kau adalah Congkoan (kepala rumah tangga) di Ceng siong-son ceng, kedudukanmu tergolong tidak rendah, mengapa kau jadi pengecut begini? Huh, aku ikut malu bagimu, mungkin Ha It-can sudah buta matanya sehingga manusia rendah seperti kau juga diangkat sebagai kepala rumah tangga,"

Damperat lh Kiat.

"Ham ... .hamba cuma menjalankan tugas saja dan karena terpaksa, mohon Toa-cuncu memberi ampun,"

Dengan memelas Ki Tay-bok meratap pula.

"Selanjutnya hamba pasti akan mengasingkan diri dan tak berani berkecimpung di dunia Kangouw lagi, selaina hidup tak berani lagi bermusuban dengan Bu-siang-pay kalian . .... ..

"

"Ki Tay-bok, apakah kau masih kenal Naga Kuning?!"

Mendadak Siang Cin mendengus.

Seketika Ki Tay-bok mengkeret dengan ketakutan.

Tentu saja ia kenal Siang Cin, sejak tadi iapun sudah melihat Siang Cin dan karena itu pula hatinya juga kebatkebit.

Ia kuatir Slang Cin akan menuntut balas padanya untuk melampiaskan sakit hati ketika Siang Cin tertawan dari disiksa habis2an di Ceng-siong-san-ceng dahulu.

Dan sekarang apa yang dikuatirkan dia ternyata terjadi juga, keruan ia ketakutan setengah mati.

"Ki Tay-bok, bukankah kaupun anggota Ceng-siong-san-ceng dan ambil bagian atas semua keganasan yang pernah kalian lakukan, apakah kau lupa cara bagaimana kau ikut menyiksa diriku dengan macam2 cara keji, tapi kau ternyata pengecut, berani berbuat tidak berani tanggung jawab, manusia takut mati seperti kau ini apa gunanya hidup di dunia ini?"

Utti Han-po menjadi murka setelah mengetahui Ki Tay-bok adalah salah seorang pengganas Ceng-siong-san-ceng terhadap Siang Cin, segera ia membentak.

"Sin Kian, seret keluar keparat ini dan binasakan!"

Tanpa ayal lagi Ki Tay-bok diseret keluar dan dihukum mati.

Kemudian sorot mata Siang Cin beralih kapada Giam Ciat yang meringkuk di lantai, akan tetapi sebelum diambil sesuatu tindakan, tiba2 masuklah seorang Busiang- pay memberi lapor bahwa Tay-ciangbun Thi Tok-heng sudah tiba di luar Ji ih hu.

Serentak lh Kiat, Utti Han-po dan lain2 berbangkit, hanya Sebun Tio-bu saja diminta tetap tinggal di tempat untuk menjaga tawanan, yang lain2 sama keluar menyambut.

Baru saja mereka keluar Kim-bin-tian, tertampaklah belasan penunggang kuda ber-bondong2 sudah memasuki pintu gerbang sana, Pek-ih-coat to Thi Tok-heng membedal kudanya ke depan mendahului yang iain2, cepat Siang Cin dan lain2 juga menyongsong kedatangan ketua Bu-siang-pay yang perkasa ini.

Thi Tok-heng juga sudah melihat Siang Cin berada di tengah para penyambutnya, dia terus melompat turun dari kudanya, ia tidak menemui anak buahnya sendiri, tapi lebih dulu menjabat tangan Siang Cin erat2, dengan muka merah bersemangat a berkata.

"Siang-lote, engkau tentu sangat capek, sungguh besar jasa Siang-lote bagi Bu-siang pay kami, Tok-heng tidak tahu cara bagaimana harus berterima kasih padamu ....."

"Ah, janganlah Tay-ciangbun terlalu memuji, Cayhe hanya sekadar ikut ramai2 saja ....""

Jubah putih Thi Tok-heng tampak berlepotan darah, mukanya penuh berkeringat dan debu saking terharunya ia hanya pegang erat tangan Siang Cin dan tidak sanggup banyak omong lagi.

Tiba2 Thi Tok-heng mengamat-amati air muka Siang Cin, lalu bertanya dengan rasa menyesal.

"Siang-lote, kabarnya kaupun terluka?"

"Ah, luka ringan, tidak apa2,"

Jawab Siang Cin. "Kin-tayhiap juga terluka dan cukup parah,"

Kata Thi Tok-heng pula.

"Ai, sungguh hati Tok-heng merasa tidak tenteram, lantaran anak perempuan hina itu sehingga banyak menimbulkan kesusahan orang banyak ... ,"

Sesudah beramah tamah dengan Siang Cin, kemudian barulah Thi Tok-heng bicara dengan Utti Han-po dan Ih Kiat, katanya.

"Pau-hou-ceng sudah bobol, Hek-jiutong dan Jik-san-tui juga hancur total, gembong2nya juga tertumpas seluruhnya. Kabarnya di sini juga berhasil dengan gemilang?"

Utti Han-po mengangguk dan berkata.

"Ya, tokoh utama Ji-ih-hu Hek-jan-kong sudah binasa, begitu juga jago2 undangannya dari Jit-ho-hwe, Toa-to-kau dan lain2 sebagian besar juga tewas, hanya sedikit saja yang tertawan."

Lalu ia menguraikan siapa2 yang meringkuk dalam tahanan sementara.

"Ketua Soh-lian-su-coat, To-hay-liong Giam Ciang juga tertawan, hanya seorang anak perempuan angkat ketua Tiang-hong-pay yang konon berkepandaian tinggi sejauh ini belum diketahui ke mana perginya?"

Tanya Thi Tok-heng.

"Dia tidak mati, hanya kututuk dan kutinggalkan bersama di antara mayat anak buah Ji-ih-hu yang lain,"

Kata Siang Cin, lalu iapun menuturkan apa yang dilakukannya serta tempat Bwe Sim meringkuk. Segera Thi Tok-heng memberi perintah kepada Ih Kiat agar mengirim orang menyelamatkan Bwe Sim.

"Dan bagaimana dengan Khang Giok-tek, apakah sudah tertawan juga, Toasuheng?"

Tanya Utti Han-po. Thi Tok-heng menuding kebelakang dan menjawab.

"Ya, di sana, keparat ini hampir saja mampus di tangan Tiangsun-Ki, untung aku keburu datang."

Dalam pada itu "Jik-tan-su-kiat"

Yang selalu berada disekitar Thi Tok-heng itu telah menuju ke rombongan pengiring tadi, kembalinya mereka telah membawa seorang berbaju ungu muda dengan tubuh kekar, tapi berlumuran darah.

Rambutnya kusut, wajah pucat, kelihatan lesu dan lelah, tapi kalau tidak dalam keadaan konyol begini, je)as dia pasti seorang pemuda yang tampan.

Di belakang tawanan ini mengikut pula anak buah Congtau Bu-siang-pay, yaitu Pek-ma-gin-cui Kang Siu sim serta The Kun, si andeng2 hijau dari Hui-ji-bun.

Bahwa pemuda baju ungu ini dikawal sekuat ini oleh beberapa tokoh Bu-siang-pay, dapat dinilai betapa pentingnya tawanan ini.

Para jago Bu-siang-pay jelas sangat benci terhadap orang berbaju ungu ini, dia diseret dan didepak hingga di depan Thi Tok-heng.

"Apakah orang inilah Khang Giok-tek?"

Tanya Siang Cin setelah memandang sekejap kepada pemuda itu.. Thi Tok-heng mengiakan sambil mengangguk pelahan. Lalu iapun bertanya.

"Yang-yang, di mana budak hina itu?"

"Di dalam,"

Jawab Ih Kiat.

"Siang heng telah menutuknya hingga tertidur, sekarang masih terbungkus di dalam selimut dan dijaga oleh Sebun Tio-bu di sana.." "Baiklah Siang lote, kita masuk ke sana,"

Kata Thi Tok-heng kepada Siang Cin.

Segera mereka lantas masuk ke ruangan pendopo Kim-bin-tian.

Thi Tok-heng beramah tamah pula sejenak dengan Sebun Tio-bu, lalu masing2 mengambil tempat duduk.

Thi Tok-heng melirik sekejap Giam Ciat yang meringkuk di lantai itu.

Cepat Utti Han-po memberitahu bahwa dia itulah adik perempuan Giam Ciang dari Soh-lian-suciat, Lo-sat-li Giam Ciat.

Thi Tok-heng mendengus dan memerintahkan diseret ke pinggir.

Lalu ia memandang Thi Yang-yang yang terbalut selimut dan disandarkan di sebuah kursi besar itu.

"Lemparkan budak hina itu ke lantai,"

Seru Thi Tok-heng dengan gusar.

Sin Kian dan lain2 sama ragu2, tapi akhirnya mereka melaksanakan juga perintah sang ketua.

Lalu Thi Tok-heng melototi pula Khang Giok-tek yang lesu itu, hati ketua Busiang- pay ini serasa dibakar karena pemuda itulah biang keladi dari semua malapetaka ini.

Dilihatnya pula puteri kesayangan satu2nya itu, entah berapa banyak korban telah berjatuhan hanya karena kasmaran anak dara yang lupa daratan itu.

Kini anak dara itu masih belum sadarkan diri dibalut selimut.

Seketika Thi Tok-heng menjadi bingung entah apa yang harus dilakukannya.

"Tay-ciangbun,"

Tiba2 Siang Cin berkata.

"maafkan jika terpaksa harus kututuk puterimu sehingga sampai saat ini belum sadar. Baiklah sekarang akan kulepaskan Hiat-to yang kututuk itu."

Ia lantas mendekati anak dara itu dan mengusapnya dari balik selimut, hanya sejenak saja terdengarlah keluhan tertahan Thi Yang-yang dan tubuhnya mulai bergeliat.

Siang Cin lantas mundur kembali ke tempat duduknya.

Pelan2 Thi Yang-yang membuka matanya, tapi lantas terpejam pula.

Selang sejenak lagi baru membuka lagi matanya.

Kini ia telah sadar benar2, sudah teutu ketika pandangannya menyentuh sebuah wajah yang dingin di tengah sana, seketika tubuhnya tergetar keras.

"Ayah ...."

Ia menjerit tertahan, tapi segera ia mendekap mulut sendiri, air matapun lantas bercucuran.

Perasaan Thi Tok-heng seperti di sayat2, tangan mengepal erat2, hampir saja dinding dendam dan benci yang dibangunnya dari segala pahit-getir dan susahpayahnya runtuh sama sekali oleh teriakan anak dara itu.

Tapi mendadak ia mengertak gigi, bentaknya dengan mendelik.

"Tutup mulut, budak hina, masa kau masih tahu akan ayahmu? Kau binatang yang tidak tahu malu, kau masih ada muka memanggil ayah padaku?"

"Ayah ...."

Ratap Thi Yang-yang.

"anak ....anak merasa tidak berbuat kesalahan apapun, kalau ada kesalahan hanya karena anak menyukai Giok-tek, tapi....ayah tidak ....tidak berkenan akan hubungan kami, terpaksa anak ikut pergi bersama dia ....Anak merasa sudah dewasa dan boleh mencari kebahagiaan sendiri .

"Binatang,"

Bentak Thi Tok-heng.

"Dengan cara apa kau mencari kebahagiaan? Dengan mengkorbankan nama Bu-siang-pay, kehormatan orang tua? Tata adat leluhur? Dan jiwa ratusan, bahkan ribuan pahlawan padang rumput yang telah gugur karena perbuatanmu ini? Kau kira boleh berbuat dengan bebas tanpa memikirkan akibatnya?"

Thi Yang-yang tidak menjawab, akan tetapi ia sudah nekat, dengan bandel ia berkata pula.

"Ayah, anak mungkin tidak berbakti, tapi anak berbak mencari kebahagiaan sendiri, asalkan dapat hidup bersama orang yang kusukai, anak merasa tidak merugikan siapapun juga. Anak tidak peduli tata adat segala, apapun tak dapat rnengalangi cinta kami."

Thi Tok-heng memandang puteri satu2nya ini, sesaat itu ia se-akan2 tidak kenal lagi kepada anak dara yang telah berubah sama sekali ini, untuk sekian lamanya ia tertegun, kemudian ia menghela napas panjang dan berkata puia dengan suara berat.

"Yang-yang, kau pernah puteri kesayanganku, dalam darahmu mengalir darah yang kukuh dan angkuh seperti darahku, bedanya kau suka menuruti jalan pikiranmu tanpa membedakan baik dan buruknva ....Ya, inilah kesalahanku, kelengahanku, seharusnya sudah dulu2 kubetulkan kesalahanmu, tapi semua itu sudah telanjur, aku memang juga bersalah dan apa mau dikatakan lagi? Aku tidak dapat mengorbankan saudara2 kita secara percuma, tak dapat membiarkan nama baik Bu-siang-pay kita tercemar. Juga tata adat leluhur tak dapat dinodai ....Yang-yang, aku sayang padamu, dalam waktu yang cukup lama kau pernah menjadi anak kesayanganku ... ."

Suara Thi Tok-heng. berubah parau, matanya berkilau, lanjutnya pula dengan suara lemah.

"Tapi tiada seorangpun yang berharga bagi ribuan jiwa saudara kita. tidak ada, sekalipun puteri kandungku sendiri ...

"

Suasana berubah mencekam, kini setiap orang mengerti apa arti ueapan Tbi Tok-being itu, meski Cara bicaranya begitu tenang dan pelahan, tapi cukup jelas dan tegas.

Kembali Thi Yang-yang tampak gemetar.

Semula ia menyangka kemarahan sang ayah cuma ingin menggagalkan perjodohannya dengan Khang Giok-tek demi nama baik Bu-siang-pay, iapun menyadari dirinya pasti akan mendapat hukuman, tapi sama sekali tak terpikir olehnya bahwa ayahnya sampai hati menghukum mati padanya Menghukum mati puteri kandung sendiri, sungguh hukuman yang maha berat dan sangat tragis.

Mendadak Khang Giok-tek berteriak.

"Thi Tok heng, kau tak boleh memperlakukan Yang-yang sesuka hatimu, Yang-yang sudah menjadi orangku, dia istriku, kami saling mencintai dan ingin menjadi suami-isteri, tapi kau menantang, katakan alasanmu!"

"Plak-plak", kontan Khang Giok-tek menerima beberapa kali gamparan dari Jiktan- su-kiat sehingga mulutnya berdarah. Baru sekarang Thi Yang-yang mengetahui kekasihnya juga tertawan di situ, ia tambah cemas dan berpaling ke sana, dilihatnya keadaan Khang Giok-tek yang meagenaskan itu, hatinya seperti di-sayat2. la menjerit dan meronta, ia melepaskan selimut yang membungkus dirinya itu hingga tinggal baju tidur saja yang dipakainya, ia terus menubruk ke arah Khang Giok-tek. Begitu juga Khang Giok tek berusaha melepaskan diri untuk menyongsong Thi Yang-yang. Akan tetapi Jik-tan-su-kiat sempat menarik mundur Khang Giok-tek, begitu pula Kang Siu-sim dan The Kun lantas mengadang di depan Thi Yang-yang.

"Lepaskan aku, lepaskan....Aku ingin melihat Giok-tek ......"

Demikian Yangyang menjerit dengan air mata bercucuran. Dengan kaku Kang Siu-sim menjawab.

"Toa-siocia, sekarang kau bukan lagi kau yang dulu, tanpa perintah Tay-ciangbun kami terpaksa harus bersikap tegas padamu."

Thi Yang-yang menjerit lagi sambil mencakar dan memukuli tubuh Kang Siu-sim dan The Kun. Namun kedua pahlawan Bu-siang-pay itu tetap berdiri tegak dari membiarkan dicakar dan dipukul si nona.

"Ih-sute, seret dia kemari!"

Kata Thi Tok-heng dengan ketus. Ih Kiat mengiakan dan melangkah maju, Thi Yang-yang diseretnya ke depan Thi Tok-heng. Mendadak Thi Tok-heng berdiri dan membentak dengan gusar.

"Sin Kian, kau maju dan tampar mulut budak hina ini!"

Keruan Sin Kian melengak dan ragu2.

Di medan perang Sin Kian tidak kenal ampun kepada musuh, ia terkenal sebagai algojo Bu-siang-pay yang suka bertindak tegas dan ganas.

Tapi disuruh memukul mulut puteri Tayciangbun sendiri, betapapun ia menjadi serba susah.

"Pukul!"

Bentak Thi Tok-heng pula.

Terpaksa Sin Kian melangkah maju dan angkat tangannya, tapi pada saat terakhir ia tetap tidak sampai hati memuku) anak dara itu.

Apalagi mendadak Thi Yang-yang tidak menangis lagi, sebaliknya ia lantas menengadah dan menantikan tamparan yang akan dijatuhkan pada mukanya.

Tentu saja Sin Kian bertambah tidak tega.

"Pukul!"

Bentak pula Thi Tok-heng. Mendadak Sin Kian melangkah ke depan Thi Tok-heng dan berlutut, ratapnya sambil menyembah.

"Tay-ciangbun, betapapun Tecu tidak ......tidak sampai hati .....

"

Tidak kepalang gusar Thi Tok-heng, kontan dia mendepak sehingga Sin Kian terguling.

"Enyah kau!"

Bentaknya. Cepat Sin Kian merangkak bangun, ia mcmberi hormat dan mengundurkan diri dengan munduk2. Thi Tok-heng menjatuhkan diri di atas kursi, sampai sekian lama baru ia berseru.

"Siang Goan-kian!"

Ngeri juga Sian Goan-kian mendengar namanya disebut, terpaksa ia tampil ke depan dan mengiakan. Dengan tegas Thi Tok-heng berseru.

"Thi Yang-yang ttdak patuh pada peraturan rumah tangga, minggat bersama orang, inilah dosa pertama. Membangkang perintah orang tua dan melawan adat, inilah dosa kedua. Mencuri pusaka, menodai nama keluarga, ini dosa ketiga. Ttdak tahu malu, bicara membela musuh, ini dosa keempat. Bikin susah kawan, mengakibatkan peperangan, ini dosa kelima. Dosa yang ber-tumpuk2 ini tak dapat diampuni. Sian Goan-kian, laksanakan hukuman mati."

Kata2 mati"

Itu diucapkan dengan tegas tanpa sangsi sedikitpun, seketika suasana terasa mencekam, air muka semua orang sama berubah.

Bahkan Thi Yangyang lantas gemetar dengan wajah pucat seperti mayat.

Ia pandang sang ayah dengan cemas se-akan2 tidak percaya kata2 tadi diucapkan oleh ayahnya sendiri.

"Thi Tok-heng!"

Mendadak Khang Giok-tek berteriak pula.

"Kejam benar kau, macam2 dosa yang kau tuduhkan kepada Yang-yang, padahal kesalahan Yang-yang tidak lebih hanya ingin kebebasan. Tapi ternyata engkau bertindak sekejam ini terhadap anak perempuan sendiri. Orang bilang harimau saja tidak makan anaknya sendiri, nyata kau lebih kejam daripada harimau, Thi Tok-heng .....

"

"Plok", kontan tangan The Kun mampir pula di muka Khang Giok-tek sambil memaki.

"Keparat, kematianmu sudah di depan mata, mulutmu masih sembarangan mengoceh, bisa kubeset dulu kulitmu sebelum kau mampus!"

Mendadak Khang Giok-tek bergelak tertawa sehingga darah yang merembes di ujung mulutnya ikut berhamburan, dengan setengah kalap ia berteriak.

"Haha, jelek2 aku Khang Giok-tek juga soorang lelaki katimbang kalian yang cuma pintar menjilat dan menjadi budak melulu, kini orang she Khang kecundang dan menjadi tawanan, mau bunuh boleh kau bunuh, selamanya orang she Khang tidak sudi munduk2 dan minta ampun .....

"

"Bangsat!"

Damperat The Kun sambil mencengkeram leher baju Khang Giak-tek dan segera hendak menghajarnya lagi. Tapi Kang Siu-sim keburu mencegahnya dan berkata.

"Khang Giok-tek, serendahnya kami, sedikitnya kami tahu bedanya atas dan bawah, kenal budi dan hormati orang tua. Sebaliknya kau, musang berbu!u ayam, diberi susu membalas dengan tuba. Dalam keadaan senin-kamis di tanah bersalju jiwamu ditolong oleh Tay-ciangbun, malahan kau dirawat di kediaman pribadi beliau dengan segala kehormatan, siapa tahu kau tidak tahu budi pertolongan beliau, sebaliknya dengan bujuk rayumu yang rendah kau bawa minggat puteri kesayangan beliau dan menggondol pula harta pusaka, bahkan untuk memenuhi ambisimu secara licik kau menghasut sana sini dan menimbulkan peperangan yang banyak makan korban. Apakah ini kebanggaanmu sehingga kau berani membual di sini? Hm, lebih tepat jika kau disebut tidak tahu malu, rendah, kotor, manusia berhati binatang, seekor anjing Bu-siang-pay juga lebih berharga daripada dirimu," "Bagus, Kang lote, umpatan yang tepat, makian yang jitu,"

Seru Sebun Tio bu dengan berkeplok..

"Keparat, orang she Khang ini sudah hampir mampus, tapi masih berani membuat tanpa kenal malu."

Sorot mata Thi Tok-heng mencorong pula ke arah Sian Goan-kian sehingga membuat anak buahnya ini mengkirik.

Betapapun ia tidak sampai hati membunuh puteri kesayangan sang ketua yang diembannya sejak kecil.

Melihat Sian Goan-kian tetap diam saja, Thi Tok-heng menjadi gusar dan membentak.

"Apa yang kau tunggu, Sian Goan-kian?"

Di sana mendadak Khang Giok tek berteriak pula dengan suara parau.

"Thi Tokheng, kumohon dengan sangat janganlah kau membunuh Yang-yang, semuanya salahku, biarlah aku yang bertanggung jawab segala akibatnya. Thi Tok-heng, boleh kau bunuh saja diriku."

"Sudah tentu kaupun takkan terhindar dari kematian!"

Bentak Thi Tok-heng dengan mendelik. Segera ia berteriak pula.

"Lekas turun tangan, Sian Goan- kian!"

Tapi Sian Goan-kian mendadak berlutut dan memohon.

"Tay-ciangbun, betapapun Tecu tidak berani membangkang atas perintahmu, namun ....namun urusan ini ....kumohon kebijaksanaan dan kemurahan hatimu ...."

Belum habis ucapannya.

"plak", kontan Thi Tok heng menggampar sehingga Sian Goan-kian jatuh tersungkur dengan muka bengap dan berdarah.

"Bagus!"

Jengek Thi Tok-heng murka.

"tampaknya kalian sudah bersekongkol dan hendak membantah setiap perintahku. Baiklah, setelah pulang ke padang rumput tentu akan kubikin perhitungan dengan kalian."

"Tay-ciangbun ...."

Ih Kiat bermaksud membujuk.

"Tutup mulut!"

Mendadak Thi Tok-heng membentaknya sehingga Ih Kiat tidak jadi meneruskan ucapannya.

"Ciangbun-suheng,"

Dengan ragu2 Utti Han-po akhirnya ikut bicara.

"apapun juga usia Yang-yang masih terlalu muda dan tidak berpengalaman, dia ....."

"Kaupun tutup mulut!"

Bentak Thi Tok-heng sambil mendelik.

"Pokoknya keputusanku harus dilaksanakan, bilamana ada yang membangkang dan bermaksud memintakan ampun bagi budak hina ini, akan ku bungkam dia pula menurut peraturan kita yang berlaku."

Ih Kiat dan Utti Han-po adalah Toa-cuncu, kedudukan mereka hanya di bawah sang ketua, dengan sendirinya mereka harus memberi contoh dan taat kepada hukum Bu siang- pay mereka.

Karena itulah mereka tidak berani buka suara pula.

Suasana seketika menjadi hening, semua orang sama prihatin.

Pada saat inilah pelahan2 Siang Cin lantas bersuara, katanya dengan tersenyum.

"Tay-ciangbun, Cayhe bukan anggota Bu siang-pay. makanya Cayhe juga tidak terikat oleh undang2 organisasi kalian. Mestinya Cayhe tidak ingin ikut bicara, tapi urusan kelihatan rada gawat, terpaksa Cayhe ingin mengemukakan sedikit pendapat ...." "Siang lote adalah tuan penolong kami, ada kata apa silakan bicara saja,"

Ujar Thi Tok-heng. Siang Cin terdiam sejenak, tanyanya kemudian.

"Mohon tanya dulu, berapakah usia nona Thi tahun ini?"

"Sembilan belas,"

Jawab Thi Tok-heng.

"Dan Khang Giok-tek?"

Tanya pula Siang Cin. Thi Tok-heng melenggong sejenak, jawabnya kemudian.

"Entah, kurang jelas, tapi sekitar tiga puluhan."

"Tay-ciangbun,"

Ucap Siang Cin kemudian.

"Usia puterimu masih belia, dia hidup dilingkungan orang persilatan seperti kita, di tengah2 anggota Bu-siang-pay yang mengutamakan keluhuran, semuanya jujur, lugu dan bersih, tiada kejahatan, kepalsuan dan liku-liku orang hidup lainnya. Puterimu masih polos, murni, sederhana. Beginilah gambaran sebelum dia bertemu dengan Khang Giok-tek.

"Dalam benak anak gadis yang masih belia serta hidup secara lugu dan sederhana begitu, tentunya mudah terpengaruh oleh bujuk rayu orang. Apalagi sejak kecil ia telah ditinggal sang ibunda, tentunya iapun mempunyai angan2 yang muluk2, khayalan yang di-cita2kan. Pada saat itulah datang orang she Khang itu. Dia juga masih muda, tampan, kukira mulutnya juga pintar omong. Dia kau jadikan pelayan pribadi sehingga banyak kesempatan bertemu dengan Yang-yang, ditambah lagi mungkin dia memang mempunyai maksud tujuan tertentu, maka mudahlah baginya untuk memompakan unsur2 berbisa ke dalam benak puterimu itu, dengan bujuk rayunya yang muluk2 dan melukiskan surga2 yang biasanya di-idam2kan oleh setiap anak perempuan, maka tergelincirlah Yang-yang ......"

"Tayciangbun,"

Siang Cin melanjutkan setelah merandek sejenak.

"ibarat selembar kertas putih, apabila diberi berwarna merah, maka putih akan menjadi merah, jika kertas itu sebelumnya sudah berwarna, tentu tidaklah mudah untuk mengubah warnanya. Jiwa Yang-yang waktu itu boleh dikatakan putih bersih, suci murni. Maka dapatlah Khang Giok-tek mulai memberinya berwarna selama ada kesempatan, dan kita tahu, warnanya itu adalah jahat, buruk, rendah, seperti dosa yang dituduhkan Tay-ciangbun tadi."

Semua orang mengikuti uraian Siang Cin dengan seksama, uraian yang cukup mengena dan menyentuh perasaan. Setelah terdiam sejenak, lalu Siang Cin menyambung lagi.

"Seorang, kalau pada dasarnya memang jahat, buruk, maka dosanya tak dapat diampuni. Tapi bila kesalahannya akibat pengaruh lingkungan, ini dapat dimaafkan. Sebab kejahatan pembawaan sukar diperbaiki, tapi keburukan akibat pengaruh luar masih dapat diluruskan. Dan kukira Yang-yang adalah tergolong yang kedua, Tay-ciangbun adalah ayahnya, tentunya engkau tahu bagaimana prilakunya."

Dengan sorot mata yang tajam Siang Cin menyapu pandang para hadirin, lalu berkata pula.

"Sebab itulah, Tay-ciangbun, Yang-yang boleh dikatakan korban bujukan berbisa dari luar dan bukan karena buruk pembawaan. Kesalahannya sekarang harus ditinjau dari awal mula dan sebab-musababnya. Jika kita meneliti lebih lanjut kesalahan Yang-yang, maka pertama karena dia kabur bersama Khang Giok tek dengan membawa lari harta pusaka Tay-ciangbun. Apa2 yang terjadi tentulah atas dorongan Khang Giok tek sehingga timbul sengketa berdarah ini. Yangyang masih belia, sedangkan Khang Giok-tek sudah cukup terkenal di dunia Kangouw dan menjadi pentolan Hek-jiu-tong. Bisa juga, Khang Giok tek memang mencintai Yang-yang, akan tetapi apa yang telah dilakukannya jelas terlalu keji, bodoh dan sembrono . ....

"

Thi Tok-heng menunduk tanpa bicara, sampai lama ia termenung ..... .. ."

Diam2 Sebun Tio-bu mengangguk sebagai tanda memuji kepada Siang Cin, lalu iapun buka suara.

"Tay-ciangbun, apa yang dikatakan Siang heng barusan kukira memang tepat dan jitu, dia bicara secara terus terang tanpa membela pihak manapun. Maka Tay-ciangbun, hendaklah engkau suka berpikir lagi lebih bijaksana.

"Tapi ..... tapi hukum harus ditegakkan, betapapun budak hina itu tak dapat diampuni, cara bagaimana Tok-heng bertanggung-jawab terhadap sandara kita yang telah gugur?"

Kata Thi Tok-heng sambil menghela napas.

"Tay-ciangbun,"

Ucap Siang Cin pula.

"bahwa Bu-siang-pay kalian melakukan perjalanan sejauh ini ke selatan dan terjadi pertempuran sengit ini, tujuan kalian hanya demi mempertahankan nama baik Bu-siang-pay dan kehormatan pahlawan padang rumput, kukira maksud tujuan kalian kinipun sudah tercapai, para gembong Ji-ih-hu dan begundalnya yang membela kejahatan telah ditumpas, wibawa Busiang- pay sudah ditegakkan kembali, bahkan biang keladi yang mengobarkan peperangan inipun sudab tertangkap, puteri kesayanganmu juga dapat ditemukan kembai. Kini apa yang diharapkan sudah terkabul, apa yang harus dilakukan sudah terlaksana. Pertempuran sudah berakhir, suasana kembali damai. Maka menurut hematku, adalah bijaksana jika Tay-ciangbun menyelesaikan soal puteri anda dengan cara damai pula, berilah kesempatan anak dara yang tersesat ini, akan lebih berarti jika dapat menginsafkan anak yang tersesat ini daripada menghancurkannya sama sekali."

Ucapan Siang Cin yang terakhir ini agaknya cukup menyentuh perasaan jago2 Bu-siang-pay, serentak Ih Kiat, Utti Han-po serta beberapa tokoh lain yang baru saja datang sama berlutut, seru mereka bersama.

"Ya, hamba sekalian ikut menyokong gagasan Siang tayhiap ini, mohon kebijaksanaan Tay-ciangbun dalam urusan Toasiocia yang masih muda belia ini, ampunilah jiwanya!"

Seketika Toi Tok-heng menjadi terkesima sendiri.

Selama puluhan tahun ini siapa yang tidak kenal keperkasaan Pek-ih-coat-to, si golok sakti berbaju putih dari padang rumput, sudah puluhan tahun dia memimpin para pahlawan padang rumput, dihormati dan disegani kawan maupun lawan.

Bahwa puteri satu2nya sampai ikut minggat bersama orang, sungguh kejadian ini suatu pukulan maha berat bagi lahir batinnya, hal ini hampir membuat runtuh semangat juangnya.

Akan tetapi iapun sering menyesali dirinya sendiri.

Sejak kecil Yang yang sudah ditinggalkan ibundanya.

Demi kasih sayangnya kepada puteri satu2nya ini, sama sekali tak pernah terpikir oleh Thi Tok-heng akan mengambil isteri lagi.

Pikirannya hanya tercurah kepada kejayaan suku bangsa dan demi kemakmuran padang rumput.

Karena kesibukannya itu ia menjadi sering melupakan kewajiban pribadinya dan menelantarkan Yang-yang di tengah sangkar emas.

Dalam keadaan demikian, jika mendadak muncul seorang Kang Giok-tek dengan segala bujuk-rayunya yang memabukkan, tidaklah heran kalau anak dara itu menjadi lupa daratan dan ikut kabur.

Jika terpikir demikian, mau-tak-mau Thi Tokheng harus mawas diri.

Siapakah yang bersalah sebenarnya.

Apakah dia sendiri tidak harus ikut bertanggung jawab?.

Kini Siang Cin memohon kebijaksanaannya, semua jago2 bawahannya memintakan ampun bagi Yang-yang.

Bukanlah Thi Tok-heng tidak menyadari kesalahannya sendiri, tapi apa mau dikatakan, hukum harus ditegakkan, harus dilaksanakan.

Sekian lamanya ia tak dapat bicara.

Tiba2 Siang Cin menambahkan pula.

"Tay-ciangbun, apabila engkau tidak menerima permohonan orang banyak, rasanya terpaksa orang she Siang ini juga harus berlutut untuk minta keiklasanmu."

So-konyong2 tubuh Thi-heng seperti menggigil, ia menghela napas panjang, katanya kemudian dengan berat.

"Ya, sudahlah, sudahlah, berdirilah semuanya!"

Seketika terdengarlah sorak sorai orang banyak, Ih Kiat, Utti Han-po dan lain2 sama mengaturkan terima kasih. Sesudah semua orang berdiri, dengan nada dingin Thi Tok-heng lantas membentak Thi Yang-yang yang masih berlutut di lantai itu.

"Budak hina, apakah kau sudah menyadari dosamu?"

Berderai air mata Thi Yang-yang, dia tenggelam dalam rasa terima kasih dan terharunya, ia tahu tindakan sang ayah tadi bukan cuma gertakan belaka, syukurlah ada seorang Siang Cin yang cukup disegani ayahnya sudi memohonkan ampun baginya.

Jika melulu permintaan anak murid Bu-siang-pay saja, jelas jiwanya pasti tetap akan melayang.

"Ya, anak ... .anak tahu kesalahannya ...."

Dengan ter-guguk2 akhirnya Yangyang menjawab. Thi Tok-heng mendengus keras2, bentaknya.

"Hayo, lekas mengaturkan terima kasih kepada para paman!"

Segera Yang-yang menyembah kepada Siang Cin dan para Cuncu serta tokoh Bu-siang-pay yang lain.

"Sudahlah, nona jangan banyak adat, lekas bangun"

Seru Siang Cin.

Cepat Ih Kiat tampil ke depan dan membangunkan Yang-yang.

Maka sorot mata Thi Tok-heng yang tajam lantas beralih kepada Khang Giok-tek yang masih berdiri kaku di samping sana.

Thi Yang yang dapat mengikuti sorot mata sang ayah yang beringas itu, tanpa terasa ia bergidik.

Benar juga, segera terdengar ia menbentak.

"Serat keluar keparat she Khang ini dan penggal kepalanya!"

Sekali ini Jik-tan-su-kiiat dan lain2 tidak ragu2 lagi, serentak mereka mengiakan dan mendekati Khang Giok tek dengan garang, pemuda itu terus diseret keluar. Segera Thi Yang yang menjerit dan menubruk maju.

"0. tidak....jangan....O, Giok-tek ...."

Khang Giok tek juga meronta dan berusaha melepaskan diri, mukanya yang pucat berlepotan darah itu menampilkan rasa sedih, putus asa dan berat untuk berpisah, serunya dengan parau.

"Lu ..... lupakan diriku, Yang- yang ....jangan pikirkan aku lagi. Yang-yang, asalkan kau bisa tetap hidup, maka legalah hatiku ....puaslah hatiku ...."

Segera Kang Siu-sim mendorong Kang Giok-tek ke depan sehingga pemuda itu ter-huyung2, Ih Kiat juga lantas menarik Yang-yang dari belakang. Dengan suara memilukan nona itu menjerit.

"Lepaskan dia ....lepaskan ....Kumohou sudilah kalian ....membebaskan dia ...."

Tapi Khang Giok tek sudah diseret keluar pintu, namun dia masih berteriak dengan air mata bercucuran.

"Yang-yang, jagalah dirimu ....Yangyang, kucinta padamu ....Aku tidak pernah berdusta padamu, aku tidak menipu kau ....Yangyang, cintaku padamu akan kubawa ke akhirat sekalipun ....Selamat tinggal Yangyang, akan selalu kukenangkan kau meski di tempat yang jauh ....akan kulindungi kau selalu ...."

Seperti anjing buduk saja Khang Giok tek terus diseret dan didorong pergi oleh Jik-tan su-kiat.

"Nanti dulu!"

Se-konyong2 Siang Cin berseru.

Meski cuma dua kata saja seruan Siang Cin itu, tapi cukup berbobot seperti dua potong batu raksasa yang mendadak jatuh di depan orang banyak.

Seketika suasana menjadi sunyi, pandangan semua orang terpusat pada diri Siang Cin, semuanya ingin tahu apa yang akan dikatakannya.

Thi Tok-heng sendiri juga tertegun, katanya kemudian.

"Siang-lote, kau .....

"

"Tay-ciangbun,"

Kata Siang Cin sambil memandang sekejap Khang Giok-tek yang digusur keluar oleh jago2 Bu-siang-pay itu, lalu sambungnya.

"Jelas Khang Giok-tek itu busuk dan rendah."

Thi Tok-heng tahu di balik ucapan ini pasti mengandung maksud tertentu, dengan menahan perasaannya ia menjawab.

"Memang, tidak perlu disangsikan lagi."

"Akan tetapi dia mencintai puterimu dengan sepenuh hati."

"Siang-lote, betapapun hinanya si budak Yang juga tak boleh diperisteri oleh sampah macam keparat she Khang itu,"

Ucap Thi Tok-heng tegas. "Betul juga,"

Ujar Siang Cin pelahan.

"Namun, seekor kuda tidak memakai dua pelana, seorang perempuan tidak bersuami dua. Tay-ciangbun, apakah puterimu boleh lagi melakukan upacara nikah dengan lelaki lain? Seketika Thi Tok-heng jadi melenggong dan tidak dapat menjawab. Segera Siang Cin melanjutkan..

"Meski Khang Giok-tek tergolong tokoh Hek-jiutong, dia juga biang keladi yang menimbulkan pertempuran sengit ini, tapi sebegitu jauh tidak nampak dia tampil memusuhi Bu-siang-pay. Untuk ini, kukira Kimtoacuncu dari Wi-ji-bun kalian dapat ikut menjadi saksi."

Setelah ragu2 sejenak, akhirnya Kim Bok menanggapi sambil mengangguk.

"Memang betul seperti uraian Siang-lote."

"Sesudah pcrtarungan dengan Hek-jiu-tong, di Ji-ih-hu juga tidak ditemui Khang Giok tek ikut bertempur di pihak musuh, hal inipun disaksikan oleh banyak orang yang hadir di sini."

Seluruh ruangan kembali hening, tiada suara apapun, dalam keadaan demikian, jika tiada orang menyanggah berarti membenarkan ucapan Siang Cin itu. Maka Siang Cin lantas menyambung pula.

"Dari semua ini terbuktilah bahwa dalam hati kecilnya Khang Giok-tek tidak berani memusuhi dan juga mencelakai seorang anggota Bu-siang pay, atau dengan lain perkataan sedapatnya dia menghindari kontak langsung dengan Bu siang-pay kalian.""

Setelah berpikir sejenak, Thi Tok-heng menghela napas, katanya kemudian.

"Siang-lote, lalu apa maksudmu sesungguhnya?"

Dengan pelahan Siang Cin menjawab.

"Bahwasanya Khang Giok tek jelas mencintai puterimu dengan sesungguh hati, dan juga menghindari pertempuran dengan Bu-siang-pay kalian, namun dia tetap harus bertanggung jawab dari malapetaka yang dijangkitkan oleh perbuatannya serta tak terhindar dari dosa membawa lari anak perempuan orang. Namun mengingat keberuntungan masa depan puterimu, mengingat pula dia cenderung menghindari permusuhan dengan Bu-siang-pay, maka Cayhe pikir ...."

"Apakah dia harus diampuni?"

Sela Thi Tok-heng dengan kurang senang.

"Hukuman mati boleh diampuni, hukuman hidup tak dapat dielakkan!"

Jawab Siang Cin dengan tersenyum .

"Hukuman hidup tak dapat dielakkan bagaimana maksudmu?"

Tanya Thi Tokheng dengan sangsi. Untuk sejenak Siang Cin berpikir, tuturnya kemudian.

"Kupikir banyak tempat di padang rumput sana dapat digunakan sebagai tempat hukuman kerja paksa. Misalnya diberi batas waktu sepuluh tahun, jadi beri hukuman sepuluh tahun kerja paksa padanya, pertama supaya dia mau menginsafi dosa2nya. Kedua, sekaligus dapat menggembleng lahir batinnya. Ketiga, sama seperti memberi kesempatan padanya untuk memperbaiki diri .....

"

"Kukira terlalu ringan hukuman ini,"

Kata Thi Tok-heng sambil menggeleng.

"Apalagi pernikahan budak hina itu dengan keparat itupun tak bisa diakui ......" "Sudah tentu,"

Sela Siang Cin.

"resminya tidak diakui, tapi kenyataannya mereka sudah menjadi suami-isteri, bagaimanapun tak dapat kita sangkal lagi. Sebab itulah, jika kita tidak mengakui pernikahan mereka, tapi kita juga harus mencari suatu penyelesaian yang baik bagi hari depan puterimu, maka kupikir hanya ada suatu jalan yang dapat memecahkan persoalan ini, yaitu menghukum Khang Giok-tek dengan kerja paksa selama sepuluh tahun."

Jika selama sepuluh tahun dia benar2 menginsafi kesalahannya dan tawakal, maka suatu tanda dia belum kehilangan hati nuraninya dan masih dapat dididik.

tatkala mana Tay-ciangbun boleh mengumumkan mengampuni bagi hukuman Khang Giok-tek, habis itu dapatlah Tay-ciangbun melanjutkan perjodohan nona Thi dengan dia."

Segera Sebun Tio-bu menukas.

"Betul, Tay-ciangbun, kini faktanya sudah terpampang jelas. Pertama nona Thi sudah jelas sebagai suami-isteri dengan Khang Giok-tek, diakui atau tidak pernikahan mereka, jelas selanjutnya nona Thi tak dapat menikah lagi, Kedua sejak awal kelihatan Khang Giok-tek selalu menghindari permusuhan dengan Bu-siang-pay, jelas2 pula dia mencintai puterimu sepenuh hati. Semua ini sudah diuraikan Siang-heng tadi, maka kukira gagasan Siang-heng tentang hukuman kerja paksa sepuluh tahun bagi Khang Giok-tek boleh dikatakan cukup setimpal serta suatu pemecahan yang baik"

Thi Tok-heng ter-menung2, suasana menjadi hening pula. Mendadak tokoh Bu-siang-pay yang berkedudukaa paling tinggi, yaitu Toa-cuncu Hui-ji-bun, Tiangsun Ki, tampil ke depan dan memberi hormat kepada sang ketua, katanya.

"Ucapan Siang-lote memang tepat, usulnya mengandung arti yang luas, maka kumohon Toa-suheng sudi kiranya menerima saran Siang-lote itu."

Segera Kim Bok juga menyambung.

"Betul, Toa-suheng, sudah tiba sekarang masa damai serta bahagialah semuanya!"

"Demi hari depan Yang-yang, sudilah Toa-suheng memberi kesempatan untuk memperbaharui hidupnya, Ciangbun-suheng,"

Segera Ih Kiat menambahkan. Begitulah be-ramai2 tokoh2 Bu-siang-pay yang lain juga menyokong gagasan Siang Cin. Mendadak Thi Tok-heng membanting kaki dan berseru sambil duduk selonjor.

"Ya, ya, rupanya kalian telah membentuk barisan paduan suara!"

Dengan ucapan ini sama artinya dia telah menerima permintaan orang banyak.

Maka berubahlah suasana .yang mencekam tadi menjadi kegembiraan, semua orang tersenyum senang, suasana benar2 berubah menjadi damai dan bahagia.

Segera Tiangsun Ki memberi perintah.

"Bawa Khang Giok-tek kebelakang dan tetap diawasi."

Sungguh tidak kepalang terharu Khang Giok tek, lebih dulu ia berlutut dan mengucapkan terima kasih kepada Thi Tok-heng yang telah mengampuni kematiannya, lalu ia berlutut terhadap Siang Cin dan Sebun Tio-bu, ber turut2 ia menyembah beberapa kali terhadap kedua orang itu, katanya dengan air mata berlinang2.

"Siang-tayhiap dan Sebun-tangkeh, kalian telah menyelamatkan jiwaku, selama hidup ini takkan kulupakan budi kebaikan kalian."

"Sudahlah, Khang-lote, alangkah girang hatiku dapat menyaksikan persoalan ini diselesaikan secara demikian,"

Ujar Siang Cin dengan tertawa.

"Jangan sungkan, Khang-lote,"

Sebun Tio hu menambahkan.

"Asalkan kau dapat membawa dirimu dengan baik, kelak kalau bertemu lagi kita pasti akan bersahabat baik."

Maka di tengah linangan air mata terharu, di tengah perasaan antara terima kasih dan kesedihan, Khang Giok-tek melangkah pergi diiringi beberapa jago Busiang- pay.

Dengan sendirinya Thi Yang yang, mengucapkan terima kasih pula kepada sang ayah dan Siang Cin untuk kemudian baru mengundurkan diri.

Maka suasana di ruangan pendopo lantas berubah santai, semua orang tersenyum, puas.

Para tokoh Bu-siang-pay saling memberi keterangan mengenai hasil pertempuran besar dan pengalaman masing2.

Sejenak kemudian, mulailah Thi Tok heng menerima laporan dari para Toacuncu mengenai hasil pertempuran yang telah berakhir ini.

Ternyata di antara jago2 Bu-siang-pay ada juga beberapa orang yang tewas dan terluka seperti Loh Hou, Le Tang, Giam Siok, Sin Kian dan lain2, sedangkan perajurit yang gugur ada lima ratusan orang, yang terluka tiga ratusan.

Bahkan di antara para Toa-cuncu juga ada yang terluka, sebaliknya pihak musuh hampir sebagian besar dapat dibinasakan, antara seribu anak buah Ji-ih-hu hanya tersisa dua ratusan dan semuanya sudah tertawan.

Sudah tentu ada sebagian kecil yang berhasil melarikan diri.

Gembong Jiih- hu Hek -jan kong Ang Siang-long tewas dalam pertempuran, kesembilan jago utamanya juga mati delapan, hanya sisa seorang Toh Cong saja yang tertawan.

Anak buah ceng-siong-san-ceng yang dikirim ada 500 orang dengan lima jagoan, tapi lebih empat ratus anak buahnya terbunuh dan lima jagoan itupun empat mati satu tertawan.

Anggota Jit ho hwe juga mengalami nasib serupa, antara 1200 perajuritnya mati seribu lebih, sisanya melarikan diri.

Pemimpinnya Ciang Heng juga tertawan.

Begitu pula Toa-to-kau dan Hek-jiu tong hampir tiada yang lolos dengan hidup.

Selain itu empat pentolan Sok-lian-su-coat tiga mati dan satu tertawan, sedangkan Tiang-hong-pay antara tujuh gembongnya tiada satupun yang selamat.

Malahan adik perempuan gembong utama Soh lian su-ciat Giam Ciang, si janda kembang Giam Coat juga tertawan, begitu pula puteri ketua Tiang-hong-pay, Bwe Sim.

Setelah memberi lapoaan terperinci tersebut, kemudian Tiangsun Ki minta keputusan Thi Tokheng untuk memutuskan cara penyelesaian para tawanannya.

Oleh karena Giam Ciang dan Ciang Heng hanya merupakan jago undangan yang tidak banyak menjalankan peranan penting dalam persengketaan ini, maka Thi Tok heng memutuskan untuk membebaskan mereka.

Sedangkan guru silat dari Ceng-siong-san-ceng Tio Jun serta pelatih Toa-to-kau Lo Sun adalah pembunuh bayaran yang tidak dapat diampumi, mereka diperintahkan dihukum mati.

Kemudian Sin Kian menanyakan bagaimana dengan Giam Ciat, si janda.

"Serahkan kepada keputusan Siang-susiokmu,"

Jawab Thi Tok-heng.

"Dan ada pula puteri ketua Tiang-hong pay, Bwe Sim,"

Lapor Sin Kiat lebih lanjut.

"Bebaskan saja,"

Jawab Thi Tok-heng tanpa pikir.

Kemudian juga diputuskan beberapa ratus perajurit musuh yang tertawan itu, yang terluka supaya diberi pengobatan seperlunya, kemudian dibebaskan seluruhnya.

Selesai semua ini, Thi Tok heng menghela napas lega, baru sekarang ia seperti terbebas dari beban yang berat.

Setelah terdiam sejenak, lalu Siang Cin bertanya.

"Bilakah kiranya Tay-ciangbun akan kembali ke padang rumput?"

"Kukira besok bolehlah,"

Jawab Thi Tok-heng.

"Jika demikian, besok pagi2 Cayhe juga mohon diri untuk ...."

"He, Siang-lote dan Sebun-tangkeh telah membantu sepenuh tenaga kepada Busiang- pay, budi kebaikan kalian sama sekali tak tahu cara bagaimana harus kami balas. Maksudku mestinya hendak mengajak kalian bertiga ikut berkunjung ke padang rumput dan berdiam barang sebulan dua bulan di sana, mengapa sekarang Siang-lote ter-buru2 mau pergi?"

Siang Cin mengucap terima kasih, katanya.

"Soalnya kami sudah cukup lama meninggalkan kampung halaman masing2, Cayhe sendiri masih ada sedikit urusan pribadi yang harus diselesaikan, juga Sebun-tangkeh sudah lama melalaikan tugasnya sebagai pemimpin besar serikat seribu kuda (Jian-ki-beng). Selain itu kesehatan Kin-heng juga belum dapat sembuh dalam waktu singkat, untuk itu perlu dirawat dengan cermat, jelas tidak cocok untuk menempuh perjalanan jauh, maka kebaikan Tay-ciangbun biarlah kami terima di dalam hati saja. Kelak bila ada kesempatan, pasti kami akan berkunjung ke sana."

Thi Tok-heng tahu jiwa ksatria Tionggoan yang suka bicara terus terang itu, maka iapun tidak banyak omong lagi, hanya dalam hati ia merasa berat untuk berpisah, katanya pula.

"Bahwa kita harus berpisah secepat ini, sungguh hatiku, merasa tidak enak."

"Tay-ciangbun, tiada perjamuan yang tidak bubar, jika besok kita tidak berpisah, mana ada kemungkinan bertemu lagi dikemudian hari?"

Ujar Siang Cin. "Baiklah, pada setiap kesempatan yang ada, hendaklah kalian, termasuk Kinheng, mau berkunjung ke tempat kami,"

Pesan Thi Tok-heng pula.

Segera Thi Tok-heng memberi perintah agar disediakan perjamuan, terutama arak supaya ditambah beberapa guci.

Dalam perjamuan tidak lupa Thi Tok-heng memberikan tanda mata kepada Siang Cin bertiga, di antaranya adalah semacam obat "Pek Wan", pil putih, konon pil ini buatan seorang tabib sakti di daerah Sinkiang, tabib sakti itu sudah meninggal dua puluh tahun yang lalu.

Pil ini selain dapat menyembuhkan berbagai macam luka luar dalam, juga sangat bermanfaat bagi kesehatan umumnya, mengembalikan tenaga muda dan memberi panjang umur.

Kalau pil ini diminum bersama kuah Jinsom, maka khasiatnya akan berlipat.

Sudah tentu Sing Cin sangat senang dan berterima kasih atas pemberian itu.

Dia tidak lupa membagi pil mujarab itu kepada Sebun Tio-bu dan terutama kepada Kin Jin yang terluka itu.

Iapun menyatakan maksudnya untuk berangkat pagi2, sebelumnya dia ingin mengunjungi Lok Bong-bu, Kin Jin dan lain yang terluka.

Kemudian akan diselesaikan pula urusan Giam Ciat dan Bwe Sim yang masih mendekam di tahanan itu.

..

Perjamuan yang sederhana tapi cukup semarak, yang paling banyak menenggak arak adalah Sebun Tio-bu serta Tiangsun Ki, hidangan yang disuguhkan adalah bawaan Bu-siang-pay sendiri dari padang rumput, namun begitu ternyata tidak ubahnya seperti hidangan di restoran yang paling besar.

-0-000-000--0- Menjelang dinihari, dengan diantar Sian Goan-kian, Siang Cin dan Sebun Tio bu menyambangi lain-lain dan tokoh Bu-siang-pay yang terluka dan sekaligus untuk mohon diri.

Luka Kin Jin cukup parah, tapi sudah ada kemajuan, apalagi setelah diberi minum pil putih pemberian Thi Tok-heng, jelas keadaannya tidak menjadi soal lagi.

Kemudian mereka menuju ke kamar tahanan.

Sesuai perintah Thi Tok-heng tadi, Ciang Heng dari Jit-ho-hwe sudah dibebaskan, tahanan yang masih mendekam di situ tinggal Giam Ciat, Bwe Sim, dan Giam Ciang saja.

Sedangkan Tio Jun dan Lo Sun telah dihukum mati.

"Bagaimana dengan Bwe Sim, apakah sudah siuman,"

Tanya Siang Cin. Menurut perkiraannya, setelah nona itu ditutuknya dengan ilmu Tiam hiat yang khas, lewat 12 jam dapatlah nona itu siuman dengan sendirinya.

"Tampaknya sekarang sudah mulai sadar,"

Jawab penjaga.

"Waktu digotong kemari matanya terpejam dan muka pucat, tanpa bergerak sama sekali, hamba sekalian mengira mayat yang dibawa ke sini."

Kamar tahanan itu tidak terlalu sempit, diterangi lampu minyak yang remang2.

Orang pertama yang terlihat oleh Siang Cin adalah Giam Ciat, hanya sehari saja keadaan janda kembang itu sudah berubah menjadi lebih layu, pucat dan lesu.

Rambutnya kusut, sorot matanya juga guram.

Di sebelah Giam Ciat berduduk bersandar dinding adalah seorang lelaki setengah baya, kelihatan kekar orang ini dan beberapa bagian tububnya terbalut kain putih, ada darah yang merembesi kain pembalut itu.

Sedangkan Bwe Sim, nona itu meringkuk sendirian di pojok sana, dia berduduk diam saja seperti patung, mukanya juga pucat tanpa memperlihatkan sesuatu perasaan.

Sejenak Siang Cin memandang mereka, kemudian ia membuka suara dengan nada berat.

"Kedatanganku ini tiada maksud lain, hanya ingin ku katakan kepada kalian bahwa permusuhan yang terjadi itu harus menjadi tanggung-jawab kedua pihak, kalau permusuhan harus diselesaikan dengan kekerasan, maka cucuran darah jelas tak dapat dihindarkan, akibat daripada darah yang mengalir akan menambah mendalam pula permusuhan ini atau bisa juga lantas berakhir seluruhnya. Maka aku telah membicarakannya dengan Thi-tayciangbun, kumohon kan Bu-siang-pay suka membebaskan kalian, maksudku permusuhan lebih baik dihapuskan daripada terikat semakin mendalam. Dan sekarang permusuhan dapatlah diselesaikan dan tidak perlu ber-larut2 lagi. Aku hanya ingin menyampaikan maksud tujuanku ini, bagaimana kelanjutannya terserahlah kepada jalan pikiran kalian sendiri."

"Kau ini Naga Kuning?"

Tanya lelaki setengah baya itu dengan suara parau.

"Betul,"

Jawab Siang Cin.

"Dan kau ini tentunya To-hay-liong Giam Ciang?"

Orang itu tersenyum getir, katanya.

"Ya, rupanya Soh lian su-coat kini tertinggal aku sendiri saja ........

"Kau penipu, Siang Cin!"

Mendadak Giam Ciat berteriak dengan murka. Tentu saja Sian Goan-kian menjadi gusar, segera ia mendamperat.

"Giam Ciat, apa kau cari mampus, mulutmu hendaklah bersih sedikit, jangan kau lupakan, Siangtayhiap yang menyelamatkan jiwamu !."

Tapi Siang Cin lantas mencegah tindakan lebih lanjut Sian Goan-kian, ia tersenyum dan berkata.

"Nona Giam, apa dasarnya kau tuduh aku sebagai penipu?"

"Hm,"

Giam Ciat mendengus.

"dengan mulutmu yang manis itu, dalam waktu singkat kau dapat mengelabui kami."

"Nona Giam,"

Kata Siang Cin dengan tenang.

"kita berdiri pada pihak yang berlawanan, siasat perang tidak pautang tipu menipu. Bukannya aku menipu kau, tapi kalian yang kurang waspada."

"Huh, enak didengar ucapanmu. Padahal kaupun tidak perlu berlagak berbudi luhur dan menyelamatkan jiwa kami,"

Jengek Giam Ciat pula. Bila kau benar2 ingin mencegah permusuhan lebih mendalam, mengapa kau tidak menolong jiwa Jikoku?."

"Giam Ciat,"

Ucap Siang Cin sambil menggeleng.

"jalan pikiranmu ternyata suka ke-kanak2an. Kau tahu, di sini aku adalah tamu belaka. Yang lebih gawat lagi adalah Siang-jikomu itu telah membunuh tokoh penting Bu siang-pay, tentunya kau tahu pula adat dunia Kangouw, utang darah harus dibayar dengan darah. Bagiku, memintakan ampun bagimu sudah berlebihan. Jadi kematian Siang-jikomu boleh dikatakan pantas pada tempatnya."

Air mata Giam Ciat tampak berderai, katanya dengan tersedu-sedan.

"Kau ... , kau tidak tahu betapa baiknya Jiko kepada ....kepadaku, tapi ..... tapi kalian telah membunuhnya di depanku dan aku sama ....sama sekali tak berdaya ...."

"Nona Giam,"

Kata Siang Cin.

"kukira sebelum berangkat dari Pek-hoa-kok menuju Ji-ih-hu untuk ikut serta dalam pertempuran ini, tentu kalian sudah siap menghadapi keadaan yang paling buruk. Peperangan memang kejam dan tidak kenal kasihan. Jangan kau harap akan mendapat kelonggaran daripadanya, bahwa peristiwa sedih itu sudah terjadi, itu memang sudah dalam dugaan, jika tidak terjadi, itu namanya beruntung,"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar