Bara Naga Jilid 18

Jilid 18

"Setelah membobol Toa-ho-tin, langkah selanjutnya yang dituju Bu-siang pay tentunya Ji-ih-hu dan Pau-hou-san ceng!"

Kata Siang Cin dengan tersenyum puas.

"Dan apalagi yang kau ketahui?"

"Hamba adalah orang kecil, itupun sudah cukup banyak yang kukatakan, yang Iainlain hamba tidak tahu,"

Jawab orang itu.

"Bohong!"

Bentak Siang Cin, teringat olehnya batu-batu padat kelabu yang menonjol disekitar gunung-gunungan ini, ia tanya puIa.

"Tidakkah kaupernah melihat kawankawanmu mengusung sesuatu benda, misalnya peti dan karung yang diberi bertali dan dihubungkan ke dalam Ji ih-hu?"

Setelah termenung sejenak, kemudian orang itu berseru pelahan.

"Ah, benar, baru sekarang hamba ingat. Tiga hari yang lalu memang kulihat banyak kawan yang keluar masuk istana di waktu malam, setiap orang memanggul peti yang berbungkus kertas minyak, pengawasan tampak ketat, sampai setengah malaman baru pekerjaan itu rampung. Kemudian, menjelang fajar, ada belasan kawan membawa gulungan warna putih berlari keluar dengan terburu-buru. Kalau tidak salah gulungan warna putih itu berbentuk tali sebesar jari, Tapi... tapi hambapun tak berani memastikan betul atau tidak, sebab waktu itu keadaan remang-remang, hamba juga sudah mengantuk berjaga semalaman, bisa jadi salah lihat."

"Kau omong sesungguhnya, tidak berdusta?"

Tanya Siang Cin. Kembali orang itu menggigil ketakutan, jawabnya.

"Masa ... masa hamba berani berdusta .... semua sudah hamba katakan sejujurnya . .. mohon ampun ..."

Belum habis ucapan orang itu, dengan cepat Siang Cin telah menutuk Hiat to bisu dan lumpuhnya, lalu tubuh orang itu diangkat dan dimasukkan lagi ke lorong semula.

"Nah, Loh heng dan Le heng sudah dengar sendiri pengakuannya tadi?"

Kata Siang Cin kepada kedua kawannya. Loh Hou dan Le Tang yang berbaring di dalam lorong masing-masing tidak dapat membalik tubuh, terpaksa mereka menjawab dengan kuatir.

"Ya, sudah kudengar, Lantas bagaimana baiknya, Siang-susiok?"

"Sudah kupesan kepada Kin Jin agar memperhatikan soal ini, tentu dia akan berunding cara mengatasinya dengan Thi-ciangbun kalian."

Kata Siang Cin dengan tenang. Loh Hou tampak agak cemas, katanya.

"Tapi....tapi kalau kawan-kawan kita kurang cermat dan main terjang saja, bisa jadi mereka akan celaka semua, Siangsusiok, apakah barang yang dikatakannya itu benar-benar bahan peledak?"

"Kita jangan berharap bukan, tapi menganggapnya benar,"

Kata Siang Cin.

"Siang-susiok, betapapun kita harus mencari akal untuk membantu kawan-kawan kita,"

Kata Le Tang.

"Saat ini mereka sedang menerjang pintu neraka..."

Dengan tegas Siang Cin berkata.

"Tapi tugas kita sekarang juga cukup penting dan berat, Kita harus berusaha menolong kawan-kawanmu yang tertawan musuh, kita harus membantu mengacau bagian dalam sini apabila mereka sudah mulai menyerbu kemari. Kalau sekarang kita membagi tenaga untuk urusan lain, lalu siapa yang akan melaksanakan tugas yang kusebut tadi, padahal untuk mencari musuh yang siap memasang bahan peledak di tempat tersembunyi juga bukan pekerjaan yang mudah."

Loh Hou dan Le Tang menjadi bungkam walaupun dalam hati sangat gelisah. Mendadak Le Tang berseru puIa.

"Tapi, Siang-susiok, sedikitnya kita kan harus menyampaikan peringatan kepada mereka."

"Kan sudah dikerjakan oleh Kin-heng dan Sebun-tangkeh?"

Jawab Siang Cm dengan tertawa, Maka Le Tang berdua menjadi bungkam puIa. Sejenak kemudian, mendadak Siang Cin menggertak kaki dan berkaya.

"Baiklah, biar ku pergi sendiri, Selain menyampaikan peringatan, sekaligus akan kulihat cara bagaimana musuh mengatur sumbu bahan peledak, Urusan sudah mendesak, terpaksa kulakukan menurut keadaan, apapun juga segera kukembali lagi secepatnya Harap kalian berjaga di sini, kecuali dipergoki musuh, kalau tidak, jangan sekali-sekali sembarangan bertindak bila aku belum kembali ke sini,"

Serentak Le Tang berrdua mengiakan.

Setelah memeriksa lagi sekeliling, habis itu baru Siang Cin menerobos keluar melalui lorong tadi.

Di luar tetap sunyi senyap, suasana Ji ih-hu tetap hening, keheningan yang menegangkan.

Tapi keheningan di sini justeru berlawanan dengan suasana hiruk pikuk di Toa-ho-tin sana, terdengar suara ledakan masih bergemuruh disertai api yang berkobar dan suara ambruknya bangunan, dan tentu saja bercampur dengan suara jeritan orang yang sedang bergulat dengan elmaut ditambah derap kaki kuda yang berlari kian kemari.

Siang Cin menyelinap ke samping gunungan sana, ia dapat melihat penjaga-penjaga yang tersebar di tempat sembunyinya.

Dari pengalamannya tadi, Siang Cin dapat memperkirakan kapan dan di mana tempat yang aman, ia incar baik-baik tempat yang dituju, mendadak ia melayang ke sana secepat terbang.

Baru saja bayangannya mencapai tembok benteng, terdengarlah desiran angin tajam berhamburan dari berbagai arah.

Akan tetapi gerakan Siang Cin benar-benar cepat Iuar biasa, sebelum senjata rahasia itu mencapai titik sasarannya, lebih dulu Siang Cin sudah melintasi tembok benteng dan berlari ke Toa-ho tin.

Saat itu Toa ho-tin sudah serupa neraka, api tampak berkobar-kobar di mana-mana.

Siang Cin menyusuri hutan, baru saja ia keluar hutan di tanah yang landai sana, segera dilihatnya dari berbagai penjuru gelombang manusia sedang membanjir ke arah Ji-ih-hu sini, Ada anak buah Toa to kau yang berseragam biru, ada anggota Jitho hwe yang bermantel kelabu, ada pasukan Ceng siong-san ceng yang berbaju hijau, dan ada juga orang-orang Ji ih~hu sendiri yang berseragam kulit semuanya lari balik ke arah Ji-ih-hu dalam keadaan konyol.

Siang Cin menggeleng, tanpa ayal ia menerjang ke arah Toa-ho-tin.

Kini pihak perserikatan Ji ih hu sudah runtuh, tapi pertempuran sengit di Toa-ho-tin masih belum berakhir, bahkan tambah seru tanpa kenal ampun.

Maklum, dalam keadaan gaduh begitu, kalau tidak membunuh tentu dibunuh.

Beberapa rombongan musuh telah dilalui Siang Cin, sekarang ia sudah melihat pura pejuang Bu-siang-pay yang bergelang emas di kepala dan berseragam putih, semuanya sedang bertempur dengan gagah berani.

Di tengah pertempuran seru itu, Siang Cin melihat ada sesuatu yang tidak beres, Dilihatnya pihak perserikatan Ji-ih-hu ada tanda-tanda mengundurkan pasukannya secara berturut-turut, agaknya mereka mempunyai rencana tertentu dan tidak ingin bertempur habis-habisan dengan Bu-siang-pay di medan Toa-ho-tin.

Siang Cin melihat di sebelah sana ada seregu anggota Jit-ho-hwe sedang bertempur sambil mengundurkan diri.

Secepat kilat ia melayang ke sana, kedua tangannya bekerja naik-turun, sekaligus ke-tujuh orang itu disikat habis, Ketika ia membalik tubuh, tiga penunggang kuda tahu-tahu sudah menerjang tiba.

Ketiga penunggangnya berseragam putih dan bergelang kepala emas, dengan golok sabit dan perisai mereka terus menerjang ke arah Siang Cin.

"Berhenti! Naga Kuning di sini!"

Bentak Siang Cin dengan suara menggelegar.

"Naga Kuning", nama ini seperti bunyi guntur disiang bolong yang mengalutkan ketiga anggota Bu-siang-pay itu, serentak mereka menahan kuda sehingga ketiga kuda itu berjingkrak sambil meringkik. Siang Cin lantas memburu maju sambil berseru.

"Di mana Tiangsun-cuncu?"

Serentak ketiga orang itu memberi hormat. satu di antaranya menjawab.

"Lapor Siang-susiok, Cuncu mendapat tugas menyerang Pau-hou-san-ceng."

Terbayang betapa jarak Pau-hou-san-ceng dengan Toa-ho tin, maka legalah hati Siang Cin. Katanya.

"Dan siapa yang pegang pimpinan di sini?"

"Pimpinan dipegang Toasuheng Giam Sok dibantu Thio Kong, Thio-suheng, yang bertugas mengepung Ji-ih-hu, bilamana semua pasukan sudah berkumpul, segera sarang induk musuh akan diserbu. Menurut perintah Ciangbunjin, garis pertahanan musuh harus diserbu dan bertempur berhadapan, sedikitpun musuh tidak diberi kesempatan untuk mengundurkan diri, menurut perintah Ciangbunjin ada kemungkinan di balik mundurnya pasukan musuh ada tersembunyi muslihat keji tertentu."

"Memang tidak salah, musuh memang sudah mengatur muslihat di Ji ih-bu sana,"

Kata Siang Cin dengan tertawa.

"Tapi semangat tempur mereka memang juga sudah runtuh, Nah, pergilah kalian, ingat, kejar musuh dengan ketat, jangan sampai tertinggal jauh."

Ketiga orang itu memberi hormat, lalu menerjang pula ke depan sana.

Siang Cin merasa lega setelah mendapat keterangan itu, Nyata Kin Jin dan Sebun Tio bu sudah menyampaikan beritanya kepada Thi Tok-heng, pihak Bu-siang-pay sudah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

Tentu Thi Tok-heng sudah menduga pihak Ji-ih hu akan menarik pasukannya bila Toa-ho-tin boboI, pada saat pasukan induk Bu-siang-pay berkumpuI di dalam kota, segera sumbu peledak akan dipasang dan meledaklah seluruh Toa-ho tin.

Oleh sebab itulah Thi Tok-heng sengaja menbagi sebagian pasukannya meninggalkan tempat bahaya ini untuk menyerbu Pau-hou sao-ceng, hanya sebagian kecil saja pasukannya diperintahkan bertempur dengan musuh, dengan demikian musuh akan sia-sia bilamana benar-benar meledakkan seluruh Toa-ho-tin.

Malahan pihak sendiri yang akan rugi besar.

Dengan pikiran senang Siang Cin lantas berlari pula ke depan, pada ujung sebuah persimpangan jalan, dilihatnya tiga lelaki berseragam kulit sedang berlari datang, tapi belum lagi mereka membelok ke arah lain, dari belakang sana sebarisan pasukan berkuda berseragam putih telah membidikkan anak panah sehingga beberapa anggota Ji-ih-hu terjungkal binasa.

Siang Cin berlari ke depan pula, mendadak sebuah rumah bersusun ambruk hingga debu pasir berhamburan.

Di mana-mana memang api belaka, mayat bergelimpangan memenuhi jalanan, rumah runtuh menjadi puing.

Kejar mengejar antara pasukan pihak Bu-siang pay dan Ji ih-hu sudah mulai meninggalkan pusat kota.

Kini pertarungan terjadi secara berkelompok.

Siang Cin ikut berlari mundur ke arah Ji-ih-hu.

tidak jauh di sebelah sana, dilihatnya seorang ksatria Bu-siang-pay berperawakan tinggi kurus dan bermuka kemerahmerahan sedang menempur sengit dua orang berjubah biru yang juga berperawakan tinggi.

Kedua orang berjubah biru itu jelas sangat lihay, mereka masing-masing menggunakan senjata tongkat, dengan mati-matian mereka mengerubi lawannya.

Di sebelah lain ada belasan anggota Bu-siang-pay sedang mengepung empat orang berewok dan berwajah bengis, keempat lelaki kekar setengah baya ini sama memakai mantel kulit warna kelabu, jelas mereka adalah jago Jit-ho-hwe.

Meski belasan orang mengeroyok empat orang, namun keempat orang itu tidak menjadi gentar sedikitnya.

Di sana lain lagi, ada seorang berbaju putih dan bergelang kepala sedang melayani tiga orang, Si baju putih ini agak luar biasa, bermata juling, hidung besar tapi pesek, mulut tebal seperti moncong babi.

Biarpun jelek mukanya, tapi kepandaiannya boleh diuji, Dengan satu lawan tiga ia malah lebih banyak menyerangnya daripada diserang.

Padahal salah satu dari ketiga pengerubutnya itu adalah orang ketiga dari So-liansu- coat, yaitu Pah Cong-ju.

Di samping si baju putih bermuka buruk itupun ada seorang temannya lagi, juga berwajah luar biasa, alis tebal mata besar, hidung lebur dan mulut besar, perawakannya tegap, bersenjata godam di tangan kiri dan tangan kanan memegang golok sabit, iapun bertempur dengan gagah berani.

Lawannya adalah seorang kakek, orang ketiga dari Jit-ho-hwe.

"Tin-pan-thian"

Ciang Heng, tampaknya Ciang Heng sudah kewalahan, sebentar lagi mungkin akan angkat tangan dan minta ampun.

Situasi sekarang sudah jelas, meski dalam hal jumlah pihak Bu-siang-pay jauh lebih sedikit, tapi semangat tempur mereka menyala, bersatu hati, ditambah lagi kemenangan berturut-turut, semangat tempur mereka tambah berkobar.

Sebaliknya pihak Ji-ih-hu meski berjumlah lebih banyak, namun kekalahan yang terus menerus sejak dari Ce giok-giam membuat runtuh semangat tempur mereka.

Mereka menjadi jeri dan takut mati.

Segera Siang Cin ikut terjun ke tengah medan tempur, sebatang gada menyambar lewat di sampingnya, tapi tanpa berkedip tangan Siang Cin terus menampar, orang yang membokong itu kena dihantam terpental dan menumbuk kawan-kawannya.

Siang Cin terus menubruk maju, kedua tangannya bekerja cepat naik-turun, kembali lima jago Ceng-siong-san-ceng terkapar.

Dalam pada itu si baju putih yang beralis tebal dan bermata besnr itu sedang mencecar Ciang Heng hingga jago Jit-ho-hwe ini hampir tidak sempat bernapas.

Sembari menyerang si baju putih juga memperhatikan Siang Cin yang mulai mendekat itu serunya.

"Apakah di situ Siang-susiok adanya?!"

"Terima kasih, memang betul aku! Dan anda?!"

Jawab Siang Cin dengan tertawa. Sambil mendesak musuh, orang itu menjawab dengan hormat.

"Tecu Giam Siok, anggota Hui-ji bun Bu-siang-pay."

"Ehm, memang sudah kuduga pasti kau,"

Ujar Siang Cin sambil mengangguk Lalu ia melirik Ciang Heng sekejap, katanya.

"Ciang-Ioyacu, buat apa susah-susah kau? Menjual nyawa percuma bagi Ji-ih-hu?"

Tempo hari Ciang Heng sudah terluka ketika mengadu pukulan dengan Kin Jin di Pau-hou-san-ceng, dengan sendirinya kesehatannya belum pulih seluruhnya.

Tapi mau-tak-mau dia harus mengadu nyawa karena Jit-ho hwe harus pegang janji.

Butiran keringat tampak menghiasi wajah Ciang Heng yang sudah berkeriput dan pucat itu, dengan napas terengah-engah ia berseru.

"Apa... apakah kau si Naga Kuning?"

"Ehm, tepat juga tebakanmu,"

Jawab Siang Cin.

Mendadak Giam Siok membentak, golok dan godamnya bekerja sekaligus, golok menyambar Ciang Heng, berbareng godamnya menyampuk belasan orang berseragam kulit terdengar jerit ngeri di tengah muncratnya darah, belasan orang tersapu menggeletak sekali pun Ciang Heng yang paling kuat juga tak bisa berkutik.

Siang Cin hanya menggeleng saja, katanya kemudian dengan suara tertahan.

"Giam-heng, ingat, jangan terlalu jauh ditinggali musuh, kejar dengan rapat agar tidak terjebak."

"Tecu paham,"

Jawab Giam Siok dengan tersenyum.

"Kin tayhiap dan Sebun-tangkeh sudah memberitahu."

"Bagus,"

Seru Siang Cin.

"Selamat berjuang, sekarang aku akan kembali ke tempatku lagi."

Kini hati Siang Cin benar-benar merasa lega, beban pikirannya telah lenyap.

Dengan gerak cepat ia berlari kembali ke arah Ji ih-hu.

Seperti caranya keluar tadi, iapun melintasi tembok benteng secepat terbang.

Ketika melintasi tembok benteng itu, sekilas dilihatnya banyak orang berseragam kulit sibuk naik turun, ada yang membawa palu dan paku, ada yang memangguI gulungan kawat, ada pula yang menggotong kerangka besi.

Siang Cin melayang ke atas pohon yang rimbun, tiba-tiba ia ingat kerangka-kerangka besi itu, Betul, itulah kerangka besi tempat busur, rupanya Ji-ih hu sedang memperbaiki kerangka busur yang telah dirusak oleh Sebun Tio-bu dan lain-lain.

Belum lagi Siang Cin mendapatkan cara baik untuk menghadapi musuh, tiba-tiba terdengar suara teriakan ramai di sebelah sana, Siang Cin terkejut, jelas arah suara ramai itu berdekatan dengan gunung-gunungan tempat sembunyi Le Tang dan Loh Hou itu.

Terkesiap Siang Cin, tanpa pikir ia terus melayang turun ke sana, Sebelum tiba di tempat tujuan, sekilas dilihatnya bayangan orang memenuhi sekitar gununggunungan itu.

Tanpa melihat lagi Siang Cin sudah tahu apa yang terjadi.

Jelas jejak Le Tang berdua diketahui musuh.

Cepat ia menerjang maju, belum lagi orang-orang Ji-ih-hu itu melihat jelas siapa pendatang ini, tahu-tahu beberapa orang di antaranya telah mencelat.

Kedua tangan Siang Cin bekerja cepat, dalam sekejap beberapa musuh terkapar lagi, ia berkelit ke kanan lalu mengegos ke kiri, beberapa kali bacokan golok lawan dihindarkannya, menyusul kedua tangannya memotong dan menghantam dua orang berseragam kulit terguling pula dengan kepala pecah dan darah muncrat.

Seketika teriakan kaget berjangkit di sana-sini, menyusul terjadilah hujan senjata dari berbagai penjuru, namun Siang Cin dapat menyelinap kian kemari dengan kecepatan luar biasa.

Berbareng kedua telapak tangannya menabas dengan dahsyat, belasan anak buah Ji-ih-hu tunggang-langgang lagi.

Mendadak tiga sosok bayangan orang menubruk tiba dan serentak berhenti di depan Siang Cin dalam posisi mengepung dari tiga jurusan.

Siang Cin berdiri tegak dan tenang, sorot matanya yang tajam mengerling ketiga musuh, dilihatnya satu di antaranya adalah orang tua tinggi besar berjenggot yang pernah ditemui di tembok benteng bersama Bwe Sin itu.

Di samping orang tua berjenggot merah ini berdiri seorang Suseng ( pelajar ) cakap berbaju biru dengan ikat kepala yang sama warna.

Di sebelahnya lagi adalah seorang bermuka merah dengan mata liar dan hidung lebar, buruk amat muka orang ini, tapi tampaknya dia adalah kepala dari ketiga orang ini.

Di tengah suasana yang ramai itu, si muka merah berseru.

"Jika tidak salah lihat, sobat yang berhadapan denganku ini tentunya si Naga Kuning Siang Cin bukan?"

Siang Cin mendengus jawabnya tak acuh.

"memang benar!"

Si muka merah tampak beringas, matanya melotot, dengan gregetan ia bertanya puIa.

"Suma dan Ni Thay dari Tiang-hong-pay serta Mo-bin-Ciong hu, semuanya terbunuh olehmu, orang Siang?"

"BetuI,"

Jawab Siang Cin tegas.

"Dan sarang panah itupun dirusak olehmu?"

Tanya pula si muka merah dengan murka.

"Ya, pokoknya semua kejadian si sini adalah perbuatanku, baik pembakaran Hweim- kok maupun perampasan puteri Thi ciangbun, semuanya pekerjaanku, Nah, jelas dan puas sekarang?"

Setelah menyeringai, Siang Cin menyambung pula.

"Akupun tahu siapa kau, setelah kukerjai Ciong Hu bertiga, bukankah kau sudah pernah memeriksa ke sana. Di tepi kolam kering sana kudengar suaramu yang serak sehingga sukar terlupakan. Kutahu kau pasti sangat dendam padaku dan ingin menuntut balas bagi kawan-kawanmu, begitu bukan?"

"BetuI!"

Si muka merah meraung murka.

"Dan sekarang sudah terbuka kesempatan itu bagimu,"

Ujar Siang Cin sambil melangkah maju.

"Tepat, aku Jik-gan-thi-pi (muka merah tangan besi) Toan Kiau memang sudah lama ingin menghadapi kau,"

Dengus si muka merah dengan marah.

Baru sekarang Siang Cin tahu-lawannya adalah tokoh Ji ih-hu yang terkemuka.

Diam-diam ia menghimpun tenaga, ia tahu ketiga lawan di depan ini adalah tokoh kelas tinggi, untuk membereskan mereka rasanya tidak mudah.

Belum lagi Siang Cin bertindak, ternyata si tua berjenggot merah sudah mulai menubruk lebih dulu sambiI membentak, dia menggunakan pedang punggung sempit, tajam luar biasa, segera ia menusuk.

Toan Kiau juga tidak tinggal diam, tangan kiri menabas, tangan kanan dengan senjata gurdi lantas menikam batok kepala Siang Cin, si Suseng setengah baya juga lantas menubruk maju, dengan cepat ia menghantam.

Dikerubut dari tiga jurusan, Siang Cin tetap tenang-tenang saja Mendadak ia mendoyong ke belakang.

"plak", ia sambut pukulan si Suseng setengah baya, dan saat yang sama, dengan getaran pukulan itu Siang Cin mengapung ke atas. Maka tusukan pedang si muka merah dan tikaman gurdi si tua berjenggot juga kehilangan sasaran. Karena adu tangan tadi, si Suseng tergetar mundur dua-tiga tindak, ia menjadi murka, sambil membentak kedua lengan bajunya yang komprang terus menyabet. Melihat sabetan lengan baju yang lihay ini, tahulah Siang Cin siapa lawan ini, ia berputar di udara untuk kemudian melayang turun kembali, jengeknya.

"Hm, Siangsiu- jiau-hun (memburu sukma dengan kedua lengan baju) Toh Goan, kiranya kau!"

Si Suseng setengah baya itu memang betul bernama Toh Goan, dengan lengan bajunya yang komprang itu ia dapat menyerang musuh dari jauh dan dekat, sekali leher lawan terlibat lengan bajunya, jangan harap akan dapat terlepas lagi.

Setelah tergetar mundur tadi, segera ia menubruk maju pula.

Di samping lain si tua berjenggot dan Toa Kiau juga menubruk maju berbareng.

Di bawah kerubutan tiga jago kelas tinggi, dengan gerak cepat "Liong-ih-tay-pat-sik"

Yang lincah Siang Cin mengapung ke atas dan menubruk ke bawah, menyelinap ke kanan dan menyusup ke kiri, dengan gesit ia berseliweran di tengah kerubutan musuh, berbareng iapun batas menyerang dengan berbagai tipu serangan.

Hanya sekejap saja tiga puluhan jurus sudah berlalu, Siang Cin merasa ketiga lawannya sekarang yang berbeda dengan Mo-bin-cu Ciong Hu dan gembong dari Tiang-hong-pay, untuk merobohkan mereka mungkin harus menggunakan akal.

Beberapa jurus pula, sekonyong-konyong terdengar suara raungan di dalam gununggunungan sana.

"Siang-susiok, biar kami menerjang keluar untuk membereskan kawanan keparat itu."

Itulah suara Le Tang, Siang Cin tahu mungkin kedua orang itu melihat dia dikerubut tiga orang, maka ingin menerjang keluar membantunya. Secepat kilat Siang Cin melancarkan beberapa kali serangan untuk mendesak mundur musuh, berbareng iapun berteriak.

"Tidak, jangan keluar, jaga disitu."

Gurdi Toan Kiau menikam dan menusuk pula beberapa kali sambil berteriak-teriak.

"Nyalakan api, bakar mereka!"

Angin pukulan menderu-deru, sekaligus Siang Cin menghalau serangan Toan Kiau dan juga kebasan lengan baju si Suseng, Tapi pada saat yang sama, dengan meraung kalap pedang sempit si tua berjenggot merah juga menyambar tiba.

Siang Cin sudah memperkirakan pertarungan ini hanya ada dua pilihan.

Dia tetap melabrak Toan Kiau dari depan dengan risiko terserang pula oleh pedang dan lengan baju dua lawan lainnya atau dia segera menyelinap keluar dari seranga Toan Kiau itu.

Namun keadaan sudah mendesak, ia menyadari bila pertempuran berlangsung lama tentu akan banyak rugi daripada untungnya iapun tahu untuk menyelesaikan pertarungan sengit ini, imbalannya mungkin juga mahal, terpaksa juga harus mengadu jiwa.

Dengan nekat mendadak Siang Cin mengegos, sekaligus ia hindarkan libatan lengan baju Toh Goan, tapi lengan baju yang lain sempat menyabat pundaknya.

"cret", tahutahu pedang sempit si tua menyambar tiba dan menancap di betis Siang Cin. Pada saat yang sama gurdi Toan Kiau juga menyerempet lewat di depan hidung Siang Cin. Maka tibalah kesempatan yang di nantikan Siang Cin ini. Telapak tangan kanan menabas sekuatnya.

"blang", kontan tubuh Toan Kiau mencelat dua-tiga tombak jauhnya. Pada saat tubuh Toan Kiau terpental ituIah, Siang Cin terus menarik kakinya yang terluka, berbareng tangan yang lain juga memotong ke leher si tua berjengot yang bermaksud menarik kembali pedangnya itu. Dengan cepat Siang Cin terus melompat mundur, kini yang dihadapinya tinggal Toh Goan saja, tubuh Toan Kiau sudah menggeletak si tua berjenggot merah juga berkelejetan sambil memegangi leher sendiri, darah tampak merembes keluar dari sela jarinya. Pedang sempit itu masih menancap di betis Siang Cin. Dengan muka kepucatpucatan ia pandang Toh Goan yang rada terengah-engah itu, ia tersenyum mendadak ia angkat kakinya.

"Sret", pedang yang tadinya menancap di betisnya itu tahu-tahu sudah menembus dada seorang lelaki berseragam kulit di sebelah sana, menjerit saja tidak sempat, tahu-tahu orang itu roboh terkulai bermandikan darah. Siang Cin menyeringai seperti binatang buas yang terluka, sorot matanya tajam menyayat, ia pandang sekelilingnya sekejap, tanpa terasa anak buah Ji-ih hu yang berdekatan di situ sama menyurut mundur dengan ketakutan. Di sekitar gunung-gunungan itu ternyata sudah banyak tertumpuk kayu bakar, bahkan sudah disiram minyak. Namun para penjaga yang berseragam kulit itu tampak melongo jeri dan lupa pada tugasnya menyaksikan pertarungan sengit dan kematian beberapa pimpinannya itu.

"Nah, Toh Goan, kini tinggal kau saja, majulah, kita selesaikan sekalian!"

Kata Siang Cin dengan nada ketus, ia tersenyum dan mendadak berteriak.

"Le Tang, Loh Hou, sekaranglah waktunya menerjang keluar!"

Baru habis Stang Cin berteriak, sekonyong-konyong di pintu gerbang Ji-ih~hu sana berkumandang suara hiruk-pikuk, menyusul lantas terdengar suara gemuruh membanjir tibanya manusia dan derap kaki kuda.

Sekilas melirik, dapatlah dilihat Siang Cin apa yang terjadi, kiranya pihak Ji-ih-hu telah membuka pintu gerbang benteng dan memasukkan sisa pasukannya yang mundur dari Toa-ho tin itu.

Hampir pada saat yang sama dengan banjir orang yang berduyun-duyun masuk ke Ji-ih-hu ini, di arah Toa-ho-tin sana mendadak terdengar suara gemuruh ledakan yang amat dahsyat disertai api yang membubung tinggi ke langit, bumi serasa guncang, asap tebal bergulung-gulung memenuhi angkasa.

Suara ledakan ini kedengaran cukup dekat, seperti tidak jauh di depan Ji-ih hu, melihat gelagatnya, mungkin seluruh bahan peledak yang terpendam telah diledakkan.

Siang Cin berdiri tertegun, diam-diam menghela napas panjang, ia menguatirkan para pahlawan Bu-siang-pay yang sedang bertempur, bukan mustahil ledakan dahsyat ini akan menelan korban pasukan kedua pihak yang sedang bertempur itu.

"Brakk", sepotong batu karang gunung-gunungan itu hancur terhantam, di tengah jerit kaget orang banyak, dua sosok bayangan yang tangkas menerjang keluar. Seorang memakai rantai, sekali sabat, kontan tiga orang berseragam kulit tersampuk jatuh dan binasa. Toya yang diputar Loh Hou juga bekerja cepat, terdengar suara denging nyaring, beberapa golok musuh tersapu jatuh, beberapa orang mencelat mundur. Kelihatan Le Tang dan Loh Hou menerjang dengan kalap dan tangkas. Baru sekarang para penjaga berseragam kulit itu terkejut dan tersadar dari melenggong mereka tadi, beramai-ramai mereka lantas mengepung. Segera Siang Cin bergerak pula, sekali hantam, batok kepala dua orang yang paling dekat dihancurkan. Cepat Toh Goan menubruk maju, ia pimpin tiga puluhan orang berseragam dan mengepung rapat Siang Cin bertiga. Namun begitu Siang Cin dan Le Tang serta Loh Hou tidak menjadi gentar, mereka semakin bersemangat, bukannya kewalahan, bahkan pihak musuh yang kelabakan, beberapa orang kembali roboh terkapar pula. Pada saat ituIah, dari arah pintu gerbang Ji ih-hu sana berlari datang lima sosok bayangan orang. Hanya sekejap saja sudah berhadapan. Sekilas pandang Siang Cin mengenali tiga di antaranya, Yang dua orang adalah Han-mo-siang ciu, kedua tokoh Toa to-kau Dua orang lagi bermantel kulit kelabu, yang satu pendek gemuk seperti gentong, kepala besar tangan panjang, yang satu lagi bermuka hitam hidung pesek dan mulut lebar, mukanya sangat buruk, sedangkan orang kelima dikenalnya sebagai Lo sat-li Giam Ciat, sang janda genit. Kecuali Giam Ciat, keempat orang lainnya tampaknya berlepotan darah, rambut kusut muka berminyak dan penuh keringat tampaknya mereka habis bertempur sengit sehingga kelihatan lelah, lesu dan juga kesal. Melihat bala bantuan sudah datang, semangat Toh Goan terbangkit, ia menyerang mati-matian sambil berteriak.

"Kebetulan kedatangan kalian, disinilah mata-mata musuh yang kita cari tadi!"

Seketika Giam Ciat yang juga siap hendak menerjang maju itu merandek dan berdiri seperti patung, sorot matanya menatap tajam kepada Siang Cin yang sedang bertempur dengan gagah perwira itu, dia hampir-hampir tidak percaya kepada matanya sendiri, ia melongo dan tidak dapat bersuara.

"Kau kenapa, nona Giam?"

Si muka hitam yang berdiri di sebelahnya bertanya. Giam Ciat tersadar, tanyanya.

"Sia... siapa dia ini?" "Naga Kuning! Dia inilah Siang Cin keparat!"

Teriak si pendek gemuk seperti gentong itu. Seketika wajah Giam Ciat berubah pucat pasi, keringat dingin membasahi tubuhnya, seperti habis sakit berat, gumamnya kemudian.

"Naga ....Naga Kuning? Dia dia Siang Cin? Di... di Pau-hou-san-ceng pernah kulihat dia. Ya, dia memang Naga Kuning."

Dalam pada itu Siang Cin telah beraksi pula, sekali menyapu dengan kakinya, kontan empat orang berseragam kulit menjerit terjungkal.

Sekali hantam ia desak mundur Toh Goan pula, lalu ia berseru dengan tertawa "Selamat bertemu lagi, nona Giam? Go Ji menyampaikan salam padamu!"

Saking dongkol dan gemas tubuh Giam Ciat sampai gemetar, jeritnya penuh benci.

"Bagus kau Siang Cin ....kau jahanam ...."

Siang Cin bergelak tertawa, sambil melancarkan beberapa kali serangan, ia berseru.

"Kita berlawanan, Giam Ciat perang antara dua negara tidak pantang menggunakan tipu muslihat dan agen rahasia bukan?"

Saking gemasnya hampir saja Giam Ciat jatuh semaput. Dengan tergagap ia berteriak pula.

"Dan kau... kau pula yang membunuh nona Bwe?"

Belum lagi Siang Cio nienjawab, terdengar suara mendesingnya benda-benda yang melayang dari luar Ji- ih hu, benda hitam bulat, begitu jatuh di tanah lantas menimbulkan ledakan keras itulah "Liat-yam-tan", granat buatan Bu siang pay.

Seketika suasana menjadi kacau bulau, api berkobar dan asap berhamburan.

Para pengerubut Siang Cin bertiga menjadi kelabakan menghadapi suasana yang luar biasa in?, dengan kalap Toh Goan menyerang pula sambil berteriak.

"Hayo saudara-saudara, tunggu apa!agi? Suasana sudah gawat, apa yang kalian ragukan pula?"

Sambil meraung, Ham-mo-siang-ciu mendahului menerjang ke tengah kalangan, keduanya menggunakan pedang pendek, serentak mereka mengerubuti Siang Cin.

Dengan gregeten Giam Ciat juga menubruk maju, senjatanya yang berbentuk jaring terus terpentang iapun ikut menggempur dengan sengit.

Si gendut tadi segera menerjang Loh Hou, sedang kawannya menandingi Le Tang, pertarungan sengit kembali berkobar pula.

Ji-ih-hu kini sudah berubah menjadi neraka, di mana-mana api berkobar dan asap bergulung-gulung ke angkasa, batu pasir betebaran di tengah ambruknya bangunan, suara ledakan masih terus terdengar di sana-sini, bayangan orang lari kian kemari disertai jerit ketakutan.

Namun dari udara masih terus hujan granat yang dihamburkan oleh Bu-siang-pay dari luar benteng.

Hawa di tengah Ji ih hu penuh bau mesiu, bau yang sangat menusuk hidung, pertempuran antara Siang Cin bertiga dengan para pengerubutnya juga tambah sengit.

"Labrak dan bunuh tanpa ampun, Le-heng dan Loh heng, cepat selesaikan!"

Teriak Siang Cin sambil melancarkan beberapa pukulan sehingga Han-mo-siang cin terdesak mundur, berbareng ia mengelakkan serangan Toh Goan, ketika kakinya mendepak, kontan dua orang berseragam kulit terjungkal pula.

"Hm, mungkin tidak semudah harapanmu, Siang Cin!"

Jengek Toh Goan sambil menubruk maju puIa, kedua lengan bajunya yang kuat terus mengebut.

"Hehe, boleh coba saja!"

Kata Siang Cin sambil menyeringai, Berbareng ia hantam sana dan sodok sini sehingga musuh terpaksa melompat mundur.

Diam-diam Siang Cin merasakan keadaan rada gawat, untuk merobohkan para pengerubutnya jelas sukar berlangsung dalam waktu singkat, padahal dia masih mengemban tugas lain yang penting.

Melihat gelagatnya sebentar lagi Bu siang pay akan menyerbu besar-besaran, pada waktunya yang tepat ia harus membereskan tugas itu.

Dan sekarang adalah kesempatan baik baginya untuk menerjang keluar kepungan.

Mendadak ia menghantam sekuatnya ke depan, ketika Toh Goan terpaksa melompat mundur, segera Siang Cin melayang ke sana, ia terjang salah seorang Han-mosiang- ciu yang cacat telinga itu.

Cepat orang itu mengelak ke samping, tapi baru setengah jalan mendadak Siang Cin berganti arah dan menabas Siang-ciu yang kedua.

Gerakannya secepat kilat, serangannya sangat ganas, anggota Han-mo-siang-ciu ini tidak keburu mengelak lagi, dengan mata melotot dan mengertak gigi ia malah memapak maju, tumbaknya mendadak menusuk dari samping, telapak tangan kiri juga menghantam.

Pada saat yang sama, tanpa bersuara Toh Goan juga menubruk maju, kedua lengan bajunya yang lemas sebagai ular terus menyabet punggung Siang Cin.

Namun dengan sedikit mendak ke bawah sambil menggeser langkah, serangan lawan terhindar, berbareng ia menyikut, kontan salah seorang Han-mo-siang-ciu itu mencelat.

Ketika ia membalik tubuh, dengan tepat berhadapan dengan Toh Goan.

Keruan Toh Goan terkejut, belum lagi sempat ia bertindak lebih lanjut, secepat kilat pukulan Siang Cin sudah menyambar tiba dan tepat mengenai dadanya.

"Brek", Toh Goan terhuyung-huyung dan tumpah darah dan tak bisa berkutik lagi. Mendadak Han-mo-sian-ciu yang cacat telinga itu menggerung kalap, dia tidak menerjang Siang Cin untuk menuntut balas bagi kawannya, tapi seperti kerbau gila terus menubruk ke sana, di sana Loh Hou sedang menempur si gendut dan anak buah Ji-ih-hu. Cepat Siang Cin bertindak, ia desak mundur Giam Ciat yang menyerang dengan kalap, lalu ia memburu ke sana sambil berseru.

"Awas, Loh-heng!"

Loh Hou tampak sudah mandi keringat dan napas terengah-engah, di sekitarnya menggeletak beberapa mayat, toyanya juga berlepotan darah.

Akan tetapi lukanya yang belum sembuh menjadi kambuh lagi, sakitnya merasuk tuIang, ditambah lagi si gendut yang ikut mengerubutnya itupun tidak rendah ilmu silatnya, serangannya dahsyat dan tidak kenal ampun, tentu saja Loh Hou semakin payah.

Demi mendengar seruan Siang Cin, segera Loh Hou merasakan angin kencang menyambar tiba, sambil meraung toyanya terus menyapu ke samping, seorang berseragam kulit menjerit ngeri dan terpental, sementara itu orang yang cacat telinga juga sudah menerjang tiba.

Untunglah pada saat itu Siang Cin memburu datang, ia mendahului menghantam.

Rupanya orang yang cacat telinga itu sudah nekat, sama sekali tak memusingkan serangan dari belakang itu, tombaknya tetap menusuk Loh Hou.

Pada detik yang sama, si gendut juga menusuk maju, senjatanya berbentuk kampak lantas membacok Loh Hou.

Keruan Siang Cin kelabakan, teriaknya.

"Rebahkan dirimu Loh Hou!"

Serang menyerang itu datangnya terlalu cepat, sembari berteriak pukulan Siang Cin tetap dilancarkan, kontan si telinga cacat terpental, namun saat itu tumbaknya juga sempat menancap di iga kiri Loh Hou.

Wajah Loh Hou tampak beringas, toyanya serapat berputar sehingga kampak si gendut tertangkis, tapi dua orang berseragam kulit sempat menubruk tiba, golok mereka terus mampir di punggungnya.

Pada saat itu bayangan Siang Cin juga menubruk tiba, kedua tangannya menghantam sekaligus, batok kepala kedua orang itupun hancur.

Habis itu bayangan kuning lantas melayang lagi ke arah si gendut.

Segera ia disambut oleh cahaya kampak, namun Siang Cin tidak berkelit dan menghindar, tangan terangkat, sekali raih dan betot, tertangkaplah senjata musuh.

Tentu saja si gendut kaget, sekuatnya ia menarik, namun kaki Siang Cin tahu-tahu sudah melayang tiba, kontan dia terpental.

Tendangan Siang Cin tepat mengenai perutnya.

Selagi si gendut terguling dan menjerit ngeri, terdengar pula jeritan yang ngeri di sebelah sana.

Cepat Siang Cin berpaling, dilihatnya Le Tang sedang bergulat dengan si muka hitam, rantai Le Tang terlibat di leher lawan dan sedang dijirat sekuatnya sehingga muka si hitam semakin gelap, tapi golok si muka hitam juga bersarang di perut Le Tang.

Selain itu ada lagi beberapa lelaki berseragam kulit sedang membacok punggung Le Tang sehingga daging luluh dan darah muncrat.

Menyaksikan itu, mata Siang Cin merah membara, ia meraung murka dan menerjang ke sana.

Tiga orang berseragam kulit hendak merintanginya, tapi hanya sekali dua gebrak saja ia telah robohkan orang-orang itu.

Seorang lagi menyergap dari belakang dengan sebuah bacokan, tanpa menoleh Siang Cin menyampuk ke belakang, golok orang itu mencelat, bahkan mukanya hancur separo.

Setiba di samping Le Tang, ia mengamuk dengan kalap, hanya sekejap saja beberapa orang yang menghujani bacokan pada punggung Le Tang itu telah dihancurkan kepalanya.

Le Tang belum tewas, sorot matanya yang buram masih sempat menyaksikan Siang Cin menghabisi nyawa beberapa pengeroyoknya, maka terembuslah napas kepuasan pahlawan Bu-siang-pay ini, makin erat dia menjirat rantainya sehingga lidah lawan bermuka hitam itu terjuIur dengan kedua mata melotot.

Namun orang itupun tetap memegangi goloknya yang bersarang di perut Le Tang.

Siang Cin menahan perasaan pedihnya dan berseru parau.

"Maaf, Le heng, kudatang terlambat selangkah."

Le Tang tidak sanggup bicara lagi, terdengar suara "krak-krok"

Di tenggorokannya, napas sudah habis, tersembul senyuman terima kasih dan iklas pada ujung mulutnya.

Mendadak ia menggreget dan menarik rantainya lebih keras, habis itu ia berkejang, lalu melepaskan tangannya dan roboh terkulai untuk tak bangun lagi selamanya.

Beberapa puluh anak buah Ji-ih-hu seperti kesima menyaksikan ketangkasan Siaog Cin tadi sehingga tidak berani menerjang maju, Ketika mendadak Siang Cin membalik tubuh, seketika mereka mundur dengan ketakutan, Giam Ciat juga berdiri di sebelah sana, senjatanya yang berwujut jaring itu terurai di tanah, wajahnya yang cantik tampak pucat, jelas iapun gelisah dan takut.

Sementara itu Ji ih-hu sudah terjilat api, asap nembubung tinggi disertai suara letusan yang memekak telinga, Bayangan orang tampak berlari serabutan, tiada orang lagi yang memperhatikan keadaan di sini.

Siang Cin mengusap darah di tangannya di jubah kuningnya, ditatapnya Giam Ciat, lalu katanya dengan hambar.

"Nona Giam, setiap orang harus berani menyadari kesalahannya sendiri, hendaklah kaupun dapat membedakan antara yang salah dan benar. Nah, silakan kau pergi saja, aku takkan menganggu kau."

Giam Ciat tidak menjawab, entah mengapa air mata lantai bercucuran.

Dilihatnya Siang Cin telah melayang pergi.

Di tengah kekacauan itu, secepat kilat Siang Cin melayang ke tembok benteng sebelah timur sana, sesuai rencana semuIa, dilihatnya pasukan Bu-siang-pay sedang menerjang tiba melalui jurusan ini.

Siang Cin bersembunyi di suatu tempat yang tidak menyoIok, dilihatnya di atas tembok benteng telah penuh penjaga-penjaga yang terdiri dari berbagai kelompok ada yang berseragam kulit, ada yang bermantel kelabu, ada yang berbaju hijau dan ada yang berjubah biru, suasana berisik dan sibuk, tegang dan mencemaskan.

Di antara pemimpinnya Siang Cin melihat Toh Cong, ialah satu dari "Su-Coat", selain itu tampak pula Pah Cong-ju yang sebelah tangannya terluka.

Ada lagi seorang yang suaranya melengking tajam.

Dari suaranya yang khas ini Siang Cin lantas mengenalnya sebagai orang yang berteriak-teriak semalam.

Orang ini berkepala besar dan botak, tapi pelipisnya tumbuh rambut yang panjang, matanya kecil, mulut lebar.

Siang Cin ingat semalam orang ini seperti disebut-sebut sebagai "Nyo-ya", janganjangan dia ini gembong Ji-ih-hu yang bernama Nyo To.

Belum lagi Siang Cin tahu apa yang harus dilakukannya, sekonyong-konyong suara berisik yang memenuhi seluruh tembok benteng yang mengelilingi Ji-ih hu menjadi sepi, berubah menjadi hening seperti kuburan.

Siang Cin menjadi heran, ia coba mengintip keluar benteng, maka tersenyumlah dia, Nyata darah yang teralir, korban yang jatuh, pengalaman sulit yang terjadi selama satu hari satu malam itu telah mendapatkan imbalan yang pantas.

Diam-diam Siang Cin jadi kuatir entah bagaimana kesudahan Toa cuncu Hui-ji-bu Tiangsun Ki yang membawa sebagian anak buahnya menyerbu ke Pau-hou-sanceng itu.

Tapi kalau melihat semangat pasukan Bu-siang-pay sekarang, agaknya pihak Bu siang-pay tidak mengalami kesukaran apa-apa.

Di sebelah sana pasukan Bu siang-pay yang lain, yaitu "Bong-ji bun"

Juga kelihatan bersiap-siap hanya menunggu komando saja.

Suaiana terasa mencekam.

Tidak lama kemudian, tiba-tiba keheningan itu di pecahkan oleh suara letusan di arah Toa-ho-tin sana.

MenyusuI mana terlihatlah benda-benda hitam bulat kecil melayang cepat dari sana ke sini, dari kecil menjadi besar dan tahu-tahu sudah dekat, benda hitam itupun seperti bermata, dengan jitu menggempur tembok benteng Ji ih-hu.

Maka terdengarlah suara ledakan gemuruh susul menyusul disertai berkobarkan api dan bergulungnya asap yang menyesakkan napas.

Dahsyat sekali ledakan itu sehingga batu kerikil berhamburan bila mengenai badan manusia, seketika daging robek dan darah muncrat.

Seketika para penjaga di atas tembok benteng menjadi kacau dan sama berlari kian kemari, sebagian terperosot ke bawah, ada yang terinjak-injak, sebaliknya granat dari pihak Bu-siang-pay masih terus berhamburan bagai hujan dan meledakan tembok benteng Ji-ih-hu.

Ngeri juga Siang Cin tusukan ledakan dahsyat yang menimbulkan korban tidak sedikit tanpa kenal ampun itu, ia menggeleng kepala, tapi apa yang dapat dikatakan memang beginilah kejamnya peperangan, kalau tidak membunuh tentu akan dibunuh.

Selagi Siang Cin memikirkan cara bagaimana harus bertindak membukakan pintu gerbang benteng bilamana pasukan Bu siang-pay sudah mulai menyerbu, mendadak hujan granat tadi berhenti sama sekali, Seketika suasana hening kembali.

Cepat Siang Cin mengintai pula keluar sana, dilihatnya pasukan "Bong-ji-bun"

Busiang- pay di sayap kanan sana telah mulai bergerak cepat mendekati hutan di timur Ji-ih-hu itu. Sedang pasukan "Hui-ji-bun"

Juga serentak mendesak maju.

Baju putih dan gelang emas bergerak-gerak memancarkan cahaya yang menyilaukan, derap kaki kuda diseling gemerincingnya senjata, suara lain tidak ada sama sekali.

Makin dekat dan makin dekat, suasana bertambah mencekam.

Pada saat kedua pihak sudah hampir mengadakan kontak pertama, sekonyongkonyong di tembok benteng yang berdekatan dengan hutan sini timbul sedikit kegemparan.

Belum lagi Siang Cin tahu apa yang terjadi, terdengar suara seorang lantang berseru.

"Wahai kaum celurut Bu-siang-pay, dengarlah, di sini ada Toacuncu Thi-ji-bun kalian Siang Kong ceng, Toacuncu Hiat ji-bun Lok Bong bu, ada pula tokoh andalan kalian Tian Pek-yang, Te Yau dan Khu Hu-kui, semuanya tertawan oleh kami, jika kalian masih sayang kepada jiwa mereka, maka sekarang juga pasukan kalian harus berhenti bergerak, kalau tidak, jangan kalian menyalahkan kekejaman kami yang tidak kenal ampun, segera kepala kelima orang ini akan kami penggal."

Suara orang ini sangat keras dan lantang laksana bunyi genta sehingga berkumandang jauh, meski pasukan Bu-siang-pay masih terpisah sekian jauhnya, tapi dapat mendengar seruan itu dengan jelas, pasukan Bu siang pay yang sudah mulai mendesak maju itu tampak panik sejenak, berpasang mata yang cemas dan murka juga memandang ke arah benteng.

Yang paling dikuatirkan mereka memang tindakan musuh yang keji ini dan sekarang hal ini ternyata benar-benar terjadi.

Di tembok benteng sini mendadak terlihat muncul serombongan orang, ketika rombongan itu menyingkir, dengan jelas kelihatan Siang Kong-ceng, Lok Bong bu, Te Yau, Tian Pek-yang dan Khu Hu-kui berlima telah digiring ke tepi tembok benteng, kelima orang itu tampak kurus kering, rambut semerawut dan tidak berbentuk manusia lagi, pakaian sekujur badan juga compang-camping, matanya celong, berdiri saja tampaknya tidak kuat.

Malahan tangan mereka diborgoI, kakipun dirantai dan diberi bola besi yang cukup besar.

Ada seutas kawat pula yang menembus tulang pundak mereka, darah yang pernah keluar dari pundak itu tampak sudah mengering, luka bagian pundak itupun sudah benjoI hitam.

Meski kelima orang itu tersiksa sedemikian rupa, tapi para pahlawan Bu-siang-pay dan Siang Cin masih tetap mengenali mereka meski kelima wajah itu sudah berubah sama sekali daripada wajah mereka semula.

Kelima orang itu berdiri sejajar, masing-masing di pegangi dua orang berseragam kulit, golok mengancam pula di kuduk mereka, sedangkan Nyo To serta seorang yang bermata satu dan berwajah kehijauan yang bersuara tadi berdiri mengawasi di samping, Si mata satu itu berperawakan pendek kecil, wajahnya menakutkan, sikapnya dingin, iapun memakai baju kulit warna coklat yang penuh dihiasi paku perak, senjatanya yang berbentuk potlot dan berwarna merah gemerlap terpanggul di bahunya, di sebelah kiri mereka berdiri iima orang kakek yang berjubah kelabu dan berwajah kereng, sedangkan sebelah kanan adalah seorang lelaki kekar bermuka kemerahmerahan dan berjenggot panjang sebatas dada.

Orang tua ini tampak angker, sorot matanya tajam, kerlingan matanya membuat orang merasa segan, hidungnya besar lurus dan di atas batang hidung ada tahi lalat sebesar kacang, alisnya tebal seperti sikat, tidak memakai baju kulit, tapi berjubah komprang warna keemasan yang bertuliskan dua huruf "Hok"

Dan "Siu", yakni lambang rejeki dan panjang umur.

Kaki mengenakan sepatu kulit menjangan, sambil menggendong tangan ia pandang reaksi dari pihak Bu-siang-pay setelah seruan si muka hijau tadi.

Benar juga, setelah pihak Bu siang pay melihat jelas kelima orang yang diperlihatkan memang betul adalah Cuncu dan kawan mereka yang tertawan musuh, gerakan pasukan yang mulai maju itu lantas diperlambat.

Berbareng itu dari pasukan Bong ji bun lantas berkibar panji yann bertanda tujuh gelang emas yang kait-mengait, panji itu diayun tiga kali, lalu seorang penunggang kuda tampil ke depan dan membedal cepat ke arah pasukan Hui-ji bun.

Pimpinan pasukan Hui ji-bun, Giam Siok, lantas menyongsong maju, sesudah kedua orang bergabung dan berhenti sejenak, lalu dua-duanya maju ke arah tembok benteng Ji-ih-hu.

Kiranya penunggang kuda yang satu itu adalah Toacuncu Utti Han po.

Kira-kira belasan tombak di depan benteng berhentilah mereka.

Dari ujung tembok tempat sembunyinya Siang Cin dapat mengikuti kejadian itu.

Sukar baginya untuk meramalkan apa yang terjadi.

Terlihat Utti Han-po dan Giam Siok bertengger di atas kudanya dengan air muka bersungut, keduanya menengadah ke atas benteng dengan sorot mata berapi.

Si kakek berjenggot panjang dan berjubah warna keemasan tadi tersenyum, lalu pelahan mengangguk kepada si muka hijau di sisinya, Setelah berdehem, si muka hijau lantas buka suara pula.

"Apakah pendatang itu adalah Toa Cuncu Utti Han-po dan gembong Hui-ji bun, Giam Siok?"

Utti Han-po yang berpotongan gendut itu menjawab.

"BetuI, apa yang perlu dibicarakan silakan omong saja dan tidak perlu berputar-putar."

"Hahaha!"

Si muka hijau berseru pula dengan lantang.

"Pertama ingin kutanya, apakah kalian sudah lihat jelas kelima pahlawan kalian yang berdiri di sini ini?"

"Ya tentu,"

Jawab Utti Han- po dengan mendongkol. Mendadak Giam Siok mendamperat.

"Hm, kiranya begitulah cara kalian memperlakukan tawanan, sungguh keji!"

"Hahaha, apakah terhadap tawanan kami harus menjamunya setiap hari,"

Jengek si muka hijau.

"Hrn, barangkali kau sudah lupa apa sebabnya sampai mereka tertawan?!"

"Sudahlah,"

Dengan menahan gusar Uiti Han-po menyela.

"dalam keadaan demikian, tiada perlunya kita adu mulut singkatnya saja, cara bagaimana supaya kalian mau membebaskan rnereka?" Si muka hijau memandang sekejap kepada si kakek berjubah keemasan Kakek itu tidak memperlihatkan perasaan apa-apa, ia cuma mengangguk pelahan saja. Maka si muka hijau lantas berteriak "Pertama, pasukan Bu-siang-pay harus segera ditarik mundur dari sini, sedikitnya ttga puluh li dari Toa-ho-tin, setelah syarat ini dilaksanakan lalu kami akan membebaskan Khu Hu-kui."

Tidak kepalang gusar Utti Han-po, tapi sedapatnya ia menahan perasaannya dan bertanya "Lalu?!."

"Lalu, di bawah pengawasan kami pihak kalian harus mundur lagi seratus li Iagi, habis itu akan kami bebaskan bocah she Te itu,"

Seru si muka hijau.

"Seterusnya?"

Jengek Utti Han-po.

"Ya, seterusnya segenap pasukan Bu-siang-pay kalian harus mengumpulkan semua senjata yang kalian bawa dan ditaruh di suatu tempat yang akan kami tunjuk serta akan kami musnahkan, bila hal ini sudah dilaksanakan segera kami membebaskan Tian Pek-yang,"

Ia berhenti sejenak, lalu menyambung puIa.

"Dan keempat Thi Tok-heng harus menulis suatu pernyataan bahwa Bu-siang-pay seterusnya takkan mengganggu dan merecoki Ji-ih-hu beserta anggota serikatnya, jika syarat ini telah di penuhi, segera Lok Bong-bu juga dapat kami lepaskan"

"Oan masih ada lagi?"

Jengek Utti Han-po "Dan akhirnya, tiga bulan setelah kalian pulang ke padang rumput sana, bila sudah jelas kalian tiada niat sembarangan bergerak lagi, lalu Siang Kong-ceng juga akan kami puIangkan dengan selamat"

"Hm, tidakkah terlalu melampaui batas per-mintaan pihakmu ini?"

Jengek Utti Hanpo.

"Apakah memang begitu kehendak Ang Siang-Iong?"

Belum lagi si muka hijau menjawab, mendadak si orang tua berjenggot panjang dan berjubah keemasan itu berseru lantang.

"Ya, memang itulah kehendakku!"

Kiranya orang tua yang gagah dan angker inilah tokoh yang termasyhur, pimpinan tertinggi Ji-ih-hui, Hek-jan-kong Ang Siang-Iong. Seketika sorot mata Utti Han-po dan Giam Siok mencorong terang, penuh rasa gemas dan dendam Teriak Utti Han-po.

"Ang Siang-Iong, tentunya kautahu tidak nanti kami menerima syaratmu itu."

Dengan ketus Hek-jang kong Ang Siang-long menyela.

"Terima atau tidak adalah urusan Bu-siang-pay kalian apabila kalian tidak dapat memutuskan persoalan ini, silakan lapor dulu kepada ciangbunjin kalian Kuberi tempo setengah jam, setelah itu tawanan akan kami hukum mati tanpa..."

Sekonyong-konyong Lok Bong-bo yang berwajah pucat kurus itu berteriak serak.

"Utti heng, ser ....serbu lah kemari dan , ... dan cincang binatang tua ini....jangan urus diri kami . - ..sudah cukup kami... ."

Belum habis teriakannya, kontan dua lelaki yang memegangnya membentak dan mengetuk dengan punggung golok.

"brek", punggung Lok Bong-bu terhantam dengan keras, suaranya jelas dan seakan-akan mengetuk hati Utti Han po dan Giam Siok. "Berhenti, kalian binatang ..."

Bentak Giam Siok dengan beringas. Hek-jan-ong Ang Siang-long memberi tanda, segera kedua lelaki tadi menyeret mundur Lok Bong-bu yang sudah terkulai pingsan itu.

"Nah, cukup dengan sedikit hukuman ini saja kawanmu sudah tidak tahan, bilamana lima buah kepala sudah terpenggal, tentu akan tambah ngeri tampaknya, kukira kalian tentu tidak ingin menyaksikannya. Nah, pikirkan bagaimana keputusanmu Utti Han po, kutunggu jawabanmu,"

Demikian Ang Siang-long berseru pula dengan tertawa. Pada saat itulah Siang Kong-ceng yang sejak tadi menunduk lemas itu mendadak menengadah, dengan beringas ia berteriak.

"Utti Han-po, jangan kau lupakan semangat pahlawan padang rumput dan merusak nama baik Bu~siang pay, apakah kau lupa pada amanat ciangbun Toasuheng kita waktu hendak berangkat ke tempat tujuan? Apakah kau menghendaki kami menjadi orang berdosa dan menanggung malu bagi Bu-siang pay? ingatlah saudara-saudara kita yang telah menjadi korban, darah saudara kita yang sudah tercecer, sakit hati mereka belum terbalas, dendam Ciangbun-suheng juga belum terbalas, dengarkanlah gema tangis saudara kita di padang rumput ..."

Belum habis ucapannya, kembali punggung golok penjaganya telah menggebuki tulang punggungnya hingga membuat Siang Kong-ceng jatuh terkapar. Tapi Tian Pek-yang lantas menyambung teriakan kawannya.

"Ya, saudara dari padang rumput, tuntut utang darah ini ... biarlah kita gugur sebagai jantan, mati sebagai pahlawan padang rumput, jangan..."

Seperti nasib kedua kawannya, Tian Pek-yang juga mengalami hantaman keras di punggungnya dari tak sanggup bersuara lagi.

Segera Te Yau dan Khu Hu-kui juga ingin berteriak, tapi lebih dulu mereka sudah digampar dan terlebih dulu oleh para penjaganya.

Hek-jan-kong Ang Siang-long mendengus, serunya puIa.

"Nah, Utti Han-po, kukira kau harus lekas ambil keputusan atau laporkan dulu kepada ciangbunjin kalian."

"Kau tua bangka,"

Teriak Utti Han-po dengan murka.

"Bicara terus terang, sudah ada perintah tegas dari Ciangbun Toasuheng, tidak ada kompromi, tidak peduli betapa korban yang akan timbuI, Bu-,siang-pay pasti akan menghancurkan Ji-ih-hu kalian, membakar ludes ketujuh gedungmu, betapapun Bu-siang-pay bukan pengecut yang dapat kaugertak dan peras, jangan kau mimpi lagi."

"O, jadi kalian tidak kenal kompromi lagi?"

Tanya Ang Siang long.

"Baik, Oh Kek, penggal Khu Hu-kui."

Si muka hijau yang bernada Oh Kek itu mengiakan, segera ia berseru.

"Seret maju Khu Hu-kuj dan penggal kepalanya, gantung kepalanya di tiang benteng sana."

Si hitam Khu Hu-kui segera diseret ke depan secara kasar, dalam keadaan babak belur Khu Hu-kui berjalan dengan terhuyung-huyung, namun dia masih cukup bandel untuk tidak mau tekuk lutut meski dipaksa. "Binasakan dia!"

Bentak Oh Kek dengan murka.

Segera salah seorang penjaga angkat golok terus hendak menabas kuduk Khu Hukui.

Akan tetapi sebelum golok menyambar ke bawah mendadak algojo yang bermuka bopeng itu menjerit ngeri, tubuhnya yang besar itu seperti kena di sodok sesuatu terus terjungkal keluar tembok benteng.

Kejadian mendadak ini sungguh mengejutkan semua orang dari kedua pihak, lebihlebih orang-orang pihak Ji ih-hu, mereka menjadi bingung dan tidak tahu apa yang terjadi.

Di samping terkejut merekapun ngeri dan takut.

Bayangkan, di tengah pengawasan orang sendiri sekian banyaknya, bahkan disaksikan sendiri oleh Hek jan-kong Ang Siang long sendiri, tapi ada orang berani melakukan sergapan, kepala si pesakitan tidak terpenggal sebaliknya algojonya malah mati lebih dulu.

Kejadian ini benar-benar mengejutkan dan juga memalukan.

Di tengah suara jerit kaget dan panik itu, cepat Hek jan kong juga berpaling, tampaknya ia tetap tenang-tenang saja, serentak ia memberi perintah.

"Kelima sahabat Tiang-hong pay silakan tetap berjaga di sini dan jangan sembarangan meninggalkan tempat itu. Nyo To dan Oh Kek mengawasi sekitar sini, hati-hati bila musuh menyerbu untuk merampas tawanan, Kim-thaubak hendaknya segera memberi perintah agar segenap jagoan dari berbagai aliran dikerahkan untuk mencari mata-mata musuh."

Kelima kakek berjubah kelabu yang sejak tadi hanya bungkam saja sama mengangguk, Nyo To dan Oh Kek juga mengiakan.

Lalu seorang berseragam kulit yang berdiri di sebelah sana juga memberi hormat, lalu mengundurkan diri dan berlari pergi dengan cepat.

Selagi di sini Hek-jan-kong mengatur sini, di sebelah sana pasukan Bu-siang-pay sedang bersorak sorai bergemuruh.

Mereka menyaksikan apa yang terjadi, mereka tahu ada orang bersembunyi diam-diam melindungi pahlawannya.

Mereka bersorak gembira dan mengacungkan golok dan perisai Utti Han-po dan Giam Siok saling pandang dengan tersenyum, segera mereka memutar kuda dan kembali ke pasukan masing-masing.

Sejenak kemudian suara "tut-tut"

Yang haru dan membakar semangat mulai bergema, pasukan Bu-siang-pay mulai bergerak, berbondong-bondong membedal ke depan.

"Terjang! Serbu!"

Semakin mendekat pasukan Bu-siang-pay yang menerjang tiba. Segera Hek-jankong memberi perintah.

"Oh Kek, perintahkan lepas panah!"

Dengan suara lantang Oh Kek lantas berteriak meneruskan perintah itu.

Serentak dinding benteng yang mengaling liang panah itu sama anjlok ke bawah dan tertampaklah belasan kerangka besi yang penuh terpasang busur dan panahnya.

Sementara itu jarak pasukan Bu-siang-pay dengan tembok benteng tinggal dua-tiga puluh tombak saja.

Sekali aba-aba diberikan, serentak tali jepretan ditarik dan terhamburlah beratus-ratus anak panah.

Perajurit Bu-siang-pay sudah terlatih sejak kecil, kepandaian menunggang kuda mereka boleh dikatakan sangat gesit tangkas, sebelumnya merekapun sudah diperingatkan kemungkinan hujan panah dari pihak musuh.

Maka begitu kelihatan hujan panah tiba, serentak mereka memasang perisai di depan kepala kuda untuk melindungi binatang tunggangan dan mengalingi kepala dan tubuh sendiri, sedangkan barisan belakang lantas memencar ke samping serta balas menyambitkan senjata rahasia.

Sudah tentu masih juga ada yang terkena panah dan terjungkal, seketika berjangkit jeritan ngeri di sana sini.

Tapi sejenak kemudian pasukan Hui-ji bun itupun mendesak sampai di kaki tembok benteng, Menyusul pasukan Bong-ji-bun juga menerjang maju dan balas menghujam musuh dengan sambitan senjata rahasia.

Suasana di atas tembok benteng menjadi kacau, bukan saja para pemanah di liang panah itu banyak yang terbunuh, juga anak buah Ji-ih-hu di atas tembok juga banyak yang terluka.

Rada cemas juga Hek-jan-kong menyaksikan situasi yang tidak menguntungkan itu, cepat ia berteriak puIa.

"Penggal kepala Siang Kong-ceng!"

Tapi Siong Kong-ceng lantas menengadah dan bergelak tertawa, serunya dengan suara parau.

"Ang Siang-Iong, kalau kumati sekarang, sebentar lagi kaupun akan menyusuI, akan kutunggu kau dipintu akhirat."

"Penggal!"

Bentak Hek-jan-kong dengan bengis, Segera kedua pengawal di belakang Siong Kong-ceng mengangkat golok mereka terus menabas. Tapi keajaiban kembali terjadi, Mendadak golok yang terpegang mereka itu bergetar keras dan berganti arah.

"crat", bukannya kepala Siong Kong-ceng yang terpenggal, tahu-tahu golok bersarang di perut kedua orang itu sendiri. Sambil menjerit kedua orang itu terus terguling ke bawah tembok sana. Rupanya dalam kekacauan itu Siang Cin telah menggeser tempat sembunyinya sehingga semakin dekat dengan tempat pimpinan Ji-ih-hu sini. Dia yaog telah menyelamatkan jiwa Khu Hu-kui dan Siong Kong-ceng dengan tenaga pukulan jarak jauh. Sudah tentu ia tahu caranya itu sangat besar resikonya, tapi apa boleh buat, keadaan sadah memaksa. Sudah tentu Hek-jan-kong tidak tinggal diam, serentak ia melompat ke tempat sembunyi Siang Cin, sekali hantam ia hancurkan ujung tembok yang mengalingi tubuh Siang Cin itu. Di tengah gelak tertawanya Siang Cin terus melambung ke atas, berbareng ia melancarkan pukulan dan depakan, Cepat Hek-jan tong menyurut mundur, tapi lantas terdengar suara jeritan ngeri, dua-tiga orang anak buahnya telah menjadi korban dan terpental. Sorot mata Hek jan kong seakan-akan membara, teriaknya murka.

"Naga Kuning, bagus sekali perbuatanmu!" "Haha, Ang Siang-Iong, kiranya kau masih kenal padaku!"

Jengek Siang Cin sambil menghindarkan tabasan golok seorang seragam kulit, berbareng sebelah tangannya halus menampar, kontan orang itu terkapar tanpa sempat bersuara. Ang Siang-Iong melangkah maju pula dan membentak.

"Siang Cin, berturut-turut kau membunuh empat pembantuku, harus kuhancur-leburkan tubuhmu, akan kukorek hatimu!"

"Hah, silakan coba jika kaumampu!"

Jengek Siang Cin dengan angkuh.

"Keparat, jika berani, hayolah turun ke bawah sana, kita bertempur sampai mati satu lawan satu!"

Tantang Hek-jan-kong.

"Aku bukan anak kecil, Ang Siang-Ioog, takkan terjebak oleh kelicikanmu, masih banyak pekerjaanku, siapa ingin main-main dengan kau."

"Huh, tak tersangka Siang Cin si Naga Kuning yang termashur adalah tikus yang penakut begini,"

Ejek Hek-jan-kong.

"Ang Siang long,"

Jawab Siang Cin.

"Tidak perlu kau pancing diriku, Kematianmu sudah di depan mata, jangan kau harap kau ada kesempatan untuk meloloskan diri."

Selagi Hek-jan-kong hendak bicara pula, tiba-tiba terdengar suara menderu aneh di udara, waktu ia menengadah, terlihat berpuluh-puluh jalur hitam kulit kerbau yang ujungnya terikat besi cengkeram telah hinggap di tembok benteng, Menyusul beratus-ratus anak buah Bu-siang-pay yang sudah siap di kaki tembok terus merembet ke atas melalui tali kulit itu.

Ang Siang-long menjadi nekat melihat suasana bertambah gawat, teriakoya.

"Bunuh semua tawanan itu!"

Dalam pada itu, lima sosok bayangan mendadak melompat tiba.

Kiranya kelima kakek berjubah kelabu dari Tiang-hong-pay serentak mereka mengepung Siang Cin di tengah dan menatapnya dengan penuh rasa dendam.

Salah seorang kakek yang bermata kecil dan berhidung betet, agaknya dia tertua daripada jago-jago Tiang-hong-pay itu, serunya dengan suara bengis.

"Ang-toako, silakan engkau membereskan kelima tawanan itu, orang she Siang ini serahkan saja kepada kami, utang darah Loliok dan Lojit harus kami tagih dari dia."

Hek jan-kong merasa kebetulan jika kelima orang itu mau mewakilkan dia menghadapi Siang Cin, segera ia melayang ke sana dan berteriak puta.

"Habisi tawanan itu!"

Dalam pada itu kelima kakek berjubah kelabu sudah menyerang serentak, akan tetapi Siang Cin sempat mengapung ke atas sehingga serangan mereka yang dahsyat itu mengenai tempat kosong.

Siang Cin ternyata menerjang ke arah Hek-jan-kong, maksudnya hendak menolong Siong Bong-bu berlima.

Cepat Hek-jan-kong mengadang dan melancarkan suatu pukulan dahsyat, Tapi sekali menggeser dan berkelebat tahu-tahu Siang Cin sudah meleset lewat ke sana, Dengan murka Hek-jan-kong lantas mengejar Akan tetapi Siang Cin sudah tiba lebih dulu di depan kelima tawanan itu.

Saat itu Nyo To, Oh Kek dan para penjaga sudah angkat senjata hendak melaksanakan perintah Hek jan-kong tadi.

Namun tahu-tahu Siang Cin sudah melayang tiba, di tengah berkelebatnya bayangan pukuIan, kontan beberapa penjaga berseragam kulit itu tunggang lenggang dan tumpah darah disertai jerit ngeri.

Nyo To dan Oh Kek juga tergetar mundur, malah pundak Nyo To juga terluka, hanya Oh Kek saja yang tidak terluka, tapi mukanya yang memang hijau itu bertambah pucat.

Dalam sekejap itu kelima pahlawan Bu-siang pay yang merana itu sudah mengenali Siang Cin, semangat mereka terbangkit, dengan kegirangan Lok Bong-bu berteriak.

"Kau, Siang heng!"

Siang Cin tidak sempat menjawab, sebab saat itu Hek-jan-kong Ang Siang-long juga sudah menubruk tiba.

Tanpa pikir Siang Cin mendorong ke lima orang tawanan itu sehingga terperosot ke luar tembok benteng, padahal kelima orang itu sama terbelenggu, tulang pundak merekapun ditembus oleh kawat, kini terjatuh ke bawah tembok benteng, akibatnya dapatlah dibayangkan namun apa boleh buat Siang Cin merasa tiada jalan lain.

Habis itu ia mendahului menabos ke dada Hek-jan-kong yang menubruk tiba itu, sedangkan tangan lain lantas menanggalkan jubah kuning yang dipakainya, jubah itu terus dilemparkan ke sana sehingga mirip segumpal awan yang meluncur cepat ke bawah dan sempat menahan di bawah tubuh kelima orang yang jatuh itu.

Meski jubah itu tidak dapat menahan bobot kelima orang itu, tapi cukup menahan daya luncur yang berat itu dan dapat menyelamatkan jiwa mereka.

Kejadian itu berlangsung secepat kilat, menyerang, menanggal jubah dan melempar jubah, semua ini seakan-akan dilakukan dalam sekejap oleh Siang Cin.

Dalam pada itu Hek-jan-kong sempat mengelakkan serangan Siang Cin tadi, ia berjingkrak murka hingga mukanya beringas dan buas.

"Apalagi yang kalian tunggu, maju semua!"

Bentak Hek jan-kong kepada Nyo To dan Oh Kek.

Rupama kedua orang itu masih belum hilang kagetnya karena gempuran Siang Cin yang hampir merenggut jiwa mereka tadi.

Karena bentakan pimpinannya ini, segera mereka racngcrubut dari samping.

Dalam pada itu kelima kakek berjubah kelabu Tiang-hong-pay juga sudah menyusul tiba.

Segera Hek-jan-kong berteriak pula.

"Hayo, kerubut mereka! Terhadap orang licik yang suka main sembunyi-sembunyi begini tiada soal peraturan Kangouw lagi, mampuskan dia!"

Mau-tak-mau agak kewalahan juga Siang Cin menghadapi delapan jago kelas tinggi, namun dia masih terus menyelinap kian kemari dan bertahan mati-matian.

Syukurlah, mendadak teriakan serbuan telah bergema di atas tembok benteng Ji-ihhu.

Waktu Ang Siang-Iong melirik kesana sungguh celaka, entah sejak kapan di atas tembok benteng sudah muncul bayangan baju putih dan gemilapnya gelang kepala, jelas itulah pasukan Bu siang pay.

Tidak kepalang kaget Hek-jan-kong Ang Siang long, cemas dan gelisah, ia tahu situasi sangat tidak menguntungkan pihaknya, pasukan musuh sudah berhasil membobol pertahanan bentengnya yang kukuh diri mulai menyerbu ke sayap kanan dan kiri.

Seorang pahlawan berseragam putih menerjang ke sini hendak menbantu Siang Cin, golok sabitnya membacok, namun dengan gesit Oh Kek dapat mengegos, berbareng senjatanya yang berbentuk potlot terus menikam, kontan perut jago Bu-siang-pay itu tertembus selagi ia menjerit dan terhuyung-huyung, salah seorang kakek jubah kelabu menambahi sekali pukulan sehingga tubuhnya mencelat keluar tembok benteng.

"Keparat, kaupun rasakan seranganku!"

Bentak Siang Cin dengan murka, berbareng iapun menabas muka Oh Kek.

Akan tetapi Hek-jan-kong telah menghantam pula dari jurusan lain sehingga Siang Cin terpaksa harus tarik kembali serangannya untuk menangkis pukulan gembong Jiih- hu itu, keadaan Siang Cin jadi semakin gawat.

Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar suitan nyaring berkumandang dari jauh, hanya sekejap saja suara itu sudah mendekat lalu suara seorang yang kasar memaki.

"Keparat, anak kura-kura yang tidak tahu malu, main kerubut! ini tuanmu Sebun Tio-bu akan mengiringi main-main dengan kalian!"

Dari jauh orang itu lantas menghantam, terpaksa Hek-jan-kong menggeser dan menyambut pukulan dahsyat itu.

Benturan keras terjadi, orang itu tertawa sambil melayang ke samping, berbareng jarinya mencengkeram, seorang berseragam kulit yang berada di samping lantas menjerit dan terjungkal ke bawah benteng dengan kepala pecah.

Hek-jan-kong meraung murka, segera ia hendak menerjang maju, pada saat itulah di belakangnya seorang berseru pula dengan sopan.

"Jangan kuatir, Jan-Ioyacu, marilah bermesraan sedikit dengan Kim lui jiu Kin Jin."

Cepat Hek-jan-kong berpaling, dilihatnya seorang berdandan sastrawan setengah baya sudah berdiri di depannya.

Kiranya Sebun Tio-bu dan Kin Jin telah muncul semua.

Setelab merobohkan anggota Jit ho-hwe yang berseragam kulit tadi, segera Sebun Tio-bu menubruk pula ke sana sambil berseru.

"Itu dia, Siang-heng, kudatang membantu kau!"

"Bagus, Sebun tangkeh!"

Sambut Siang Cin dengan girang sambil menghindari beberapa serangan pengerubutnya.

"Wutt", mendadak Thi mo-pi atau lengan besi iblis, menyambar dan samping, keruan Nyo To terkejut dan cepat berkelit. Tapi tangan besi itu lantas mencengkeram pula ke arah Oh Kek. Terpaksa kedua jagoan Ji-ih-hu ini meIompat mundur, mau-tak-mau mereka harus menghadapi "Sip-pi-kuncu"

Sebun Tio bu dan meninggalkan Siang Cin.

Rada longgarlah Siang Cin setelah berkurang dua lawan tangguh, tapi kelima tokoh Tiang-hong-pay menjadi nekat, mereka mencecar terlebih kalap.

Di sebelah lain terdengarlah angin menderu-deru dengan dahsyat, rupanya Kim lui jiu, si tangan geledek, Kin Jin juga telah mulai bergebrak dengan Hek jan kong Ang Siang-Iong.

Di sekitar sana keadaan juga kacau balau, anak murid Bu-siang-pay yang berseragam putih dan bergelang kepala emas sudah muncul di mana-mana, sebagian besar sudah menuruni tembok benteng dan menyerbu ke bangunan induk Ji-ih-hu seperti air bah yang tak tertahankan lagi.

Dengan baju berlepotan darah Siang Cin menyelinap kian kemari di antara kerubutan kelima tokoh Tiang-hong-pay, Ginkangnya memang tiada taranya sehingga musuh sukar meraba ke mana dia akan berkelit.

Sekonyong-konyong, terdengarlah sorak gemuruh orang menyerbu sehingga seluruh Ji-ih-hu seolah-olah tenggelam di tengah suara gegap gempita itu.

Sekilas Hek-jankong melirik ke sana, sungguh celaka, kiranya pintu gerbang benteng Ji-ih-hu telah dibuka oleh anak buah Bu-siang-pay yang sudah menyusup ke dalam itu sehingga pasukan seragam putih lantas menerjang ke dalam.

Sesaat itu bumi serasa guncang, langit seakan-akan ambruk, ratusan dan ribuan kuda dengan perajuritnya yang gagah perkasa menyerbu masuk tak terbendung lagi.

"HabisIah aku!"

Keluh Hek-jan-kong Ang Siang-long, mukanya tambah beringas, jenggotnya seakan-akan berdiri, urat hijau tampak jelas di jidatnya, ia benar-benar kalap seperti singa yang sudah gila.

Kim-lui-jiu Kin Jin juga tergolong tokoh di dunia persilatan saat ini.

meski tidaklah mudah baginya untuk mengalahkan Hek-jan-kong, tapi untuk kalah juga sulit.

Tapi sekarang Hek-jan-kong dalam keadaan kalap dan bertempur mati-matian, mau-takmau Kin Jin menjadi rada kewalahan dan terdesak mundur.

Syukur pada saat itulah sesosok bayangan putih gendut mendadak menubruk tiba, begitu datang golok sabitnya terus membabat pinggang Hek-jan-kong.

Pendatang ini ternyata Utti Han-po adanya, Toacuncu Bong-ji-bun Bu-siang-pay yang disegani.

"Terima kasih, Utti-cuncu!"

Seru Kin Jin sambil tertawa, berbareng ia melancarkan suatu pukulan balasan kepada Hek-jan-kong.

Dengan gabungan Kin Jin dan Utti Han-po, betapapun tongkatnya Hek-jan-kong juga tidak mampu berbuat apa-apa lagi, kini dia cuma mampu bertahan dan tidak sanggup menyerang lagi.

Sementara itu kelima kakek Tiang-hong-pay masih mengerubuti Siang Cin dengan kencang, tapi Siang Cin selalu dapat memberosot pergi di tengah kepungan lawan, ia tidak mau terjebak di tengah kepungan musuh, tapi senantiasa mencari peluang untuk menghindarinya, kelima kakek itu berusaha mendesaknya selalu dapat dielakkan oleh Siang Cin.

Mendadak sesosok bayangan putih melayang tiba puIa, golok sabit lantas menyabet, godam di tangan lain juga menghantam, sekali serang dua macam, kontan tiga kakek di antaranya didesak mundur.

----------------------------------------- Bagaimana nasib Hek jan-kong Ang Siang-Iong, pimpinan Ji ih-hu yang telah runtuh diserbu pasukan Bu siang pay ini? Ke mana perginya Khang Giok tek, biangkeladi yang menimbulkan malapetaka ini?

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar