Bara Naga Jilid 17

Jilid 17 

"Kejadian itu sudah cukup lama ...."

Demikian Bwe Sim berkisah.

"yaitu pada waktu aku berusia 17, kurang lebih empat tahun yang lalu. Seorang diri kucari semacam rumput obat di belakang gunung, di sanalah mendadak aku disergap tiga orang lelaki yang tak kukenal, dalam keadaan panik, terpaksa aku membela diri sedapatnya, tak terduga hanya sekali gebrak saja telah dapat kurobohkan mereka. Darah segar mancur dari tubuh mereka. Aku menjadi ketakutan dan lari pulang. Ayah angkat dan ketiga pamanku menjadi heran dan bertanya apa yang terjadi, kuceritakan pengalamanku dan mereka menjadi gusar, serentak mereka memburu ke tempat kejadian, tapi sepulangnya mereka lantas tertawa dan memuji kehebatanku, kemudian baru kuketahui bahwa ketiga orang itu sudah kubinasakan seluruhnya."

Dia merandek sejenak, lalu bertanya.

"Apakah kau ingin tahu dengan cara bagaimana kubunuh mereka?"

"Ya, coba ceritakan,"

Jawab Siang Cin. Bwe Sim lantas menjulurkan kedua tangannya dan tertawa misterius terhadap Siang Cin, se konyong2 terdengar suara "creng creng"

Dua kali, sinar dingin berkelebat, tahu2 dua bilah pedang pandak yang sepanjangnya tiada dua kaki melentik keluar dari lengan bajunya dan tepat tergenggam di tangannya.

"Pedang bagus!"

Puji Siang Cin dengan tersenyum. Waktu Bwe Sim sedikit mengangkat tangannya, kedua bilah pedang pandak lantas meluncur balik ke tengah lengan bajunya. Terdengar "klik klik"

Dua kali, semuanya telah kembali asal seperti semula.

Rupanya kedua bilah pedang itu tersimpan di dalam pipa yang berpegas sebingga dapat mulur dan mengkeret menurut kehendak pemakainya.

Menghadapi musuh, bilamana pedang pandak itu mendadak menjeplak keluar, betapapun lihaynya musuh pasti takkan menduga dan sukar menghindar.

"Sungguh hebat senjata rahasia ini,"

Puji Siang Cin. Sementara itu mereka sudah sampai di tembok benteng yang tepat berdekatan dengan tempat Sebun Tio bu dan kawan2nya. Bwe Sim hendak melanjutkan perjalanan kedepan, tapi Siang Cin lantas berhenti di situ dan berkata.

"Nona Bwe, apakah kita tidak perlu memeriksa penjagaan kamar rahasia di bawah?"

Bwe Sim tampak heran, katanya.

"Mengapa kau membikin istilah sendiri, kamar penjaga di bawahkan bernama liang panah, mengapa kau menyebutnya kamar rahasia? Ji ih hu kalian ini memang diatur dan dirancang sedemikian rapinya sehingga tidak perlu kuatir akan digempur musuh dengan cara bagaimanapun. Sepanjang tembok benteng penuh `liang panah`, bila pasukan musuh berani menyerbu tiba, sekali aba2, serentak beribu panah akan berhamburan, betapapun kuatnya pasukan musuh juga akan terbasmi."

Diam2 Siang Cin merasa ngeri juga mendengar betapa kuatnya pertahanan Ji ih hu ini. Pantas pihak mereka tidak gentar meski di gadis depan sana ber ulang2 mengalami kekalahan, rupanya inti pertahanan mereka yang sebenarnya terletak di Ji ih hu sini.

"He, Go Ji, kau mengelamun apa?"

Tegur Bwe Sim ketika melihat Siang Cin berdiri diam di situ.

"O, kupikir ....aku sedang membayangkan betapa menariknya bilamana pasukan Bu siang pay dijungkir balikkan oleh hujan panah nanti,"

Jawab Siang Cin dengan rada gelagapan.

"Tapi, kalau pertahanan kita sudah jelas sedemikian kuatnya, mengapa nona Bwe kelihatan cemas pula?"

Bwe Sim terdiam sejenak, jawabnya kemudian.

"Entahlah, aku sendiripun tidak tahu, aku seperti mempunyai firasat yang tidak enak, batinku serasa tertekan, aku merasa kuatir . .. .. ."

"Ah, kukira nona Bwe tidak perlu kuatir, betapapun Bu siang pay pasti akan mengalami kehancuran di sini, yang penting kita harus waspada,"

Kata Siang Cin.

"Bicara tentang kewaspadaan, aku menjadi ingin menjenguk liang panah di bawah ini. Keparat2 ini biasanya suka teledor, bila tidak ada pengawas, mereka lantas minum arak, berjudi atau tidur sesukanya ......"

"Wah, tampaknya kau sendiri biasanya juga sering begitu?"

Bwe Sim berseloroh.

"Sering sih tidak, jelek2 anak buahku juga ada likuran orang, kan harus jaga gengsi,"

Ujar Siang Cin dengan tertawa. Selagi Bwe Sin hendak mengaraknya ke bawah, mendadak tiga sosok bayangan orang melayang tiba, berbareng lantas menegur.

"Siapa itu?"

Berdebar juga hati Siang Cin, segera ia bersiap2 menghadapi segala kemungkinan. Tapi Bwe Sim tetap tenang2 saja, jawabnya ketus.

"Bwe Sim di sini!"

Ketiga pendatang itu tampaknya cukup lihay, belum lagi mereka melompat ke atas tembok benteng, ketiganya lantas berpencar dan melayang ke atas dari tiga arah.

Seorang tampak bermuka hitam dan berhidung pesek, kedua temannya yang satu tinggi besar dan berjenggot, orang ketiga bermuka pucat dan bertubuh kurus sehingga mirip mayat hidup.

Bwe Sim memberi salam kepada orang pertama tadi dan berkata.

"Kiranya Toh toako, adakah sesuatu yang kau temukan dalam tugasmu?"

Sikap orang she Toh yang mula2 kelihatan garang itu lantas berubah ramah, ia tertawa sambil membalas hormat Bwe Sim, katanya.

"Ah, rupanya nona Bwe juga sedang ronda. Cuma ....... cuma kita sama2 menunaikan tugas masing2, betapapun peraturan ......"

Bwe Sim tahu maksud orang di balik ucapannya itu, dengan tenang ia berkata.

"O, tidak apa2 memang seharusnya begitu. Tentu yang dimaksudkan Toh toako adalah Kim koan leng?"

Sembari bicara Bwe Sim lantas mengeluarkan sebentuk lencana emas, besar lencana ini cuma beberapa senti persegi, berukir kopiah jago silat, buatan nya sangat indah.

Melihat Kim koan leng atau lencana mahkota emas ini, cepat orang she Toh berkata dengan tertawa.

"O, maaf, harap nona jangan marah, hanya sekadar memenuhi kewajiban saja ......"

"Memang harus begini, tak perlu Toh toako sungkan,"

Ujar Bwe Sim dengan tertawa.

"Apakah saudara ini ikut datang bersama nona?"

Tanya orang itu sambil melirik sekejap Siang Cin yang berdiri di belakang Bwe Sim.

"Ya,"

Jawab Bwe Sim sambil mengangguk.

Mestinya dia hendak bilang Siang Cin adalah anak buah "Gui Kong", tapi lantaran mendongkol atas sikap orang she Toh itu, ia jadi malas untuk bicara lebih banyak.

Orang she Toh itu lantas berpesan kepada Siang Cin dengan lagak orang besar.

"Kau harus melayani nona Bwe dengan baik, tahu?"

Siang Cin sengaja mengiakan dengan munduk2. Maka setelah menyalami lagi Bwe Sim, ketiga orang itu lantas menghilang pula di bawah tembok benteng sana.

"Hm, dasar budak, sok berlagak,"

Omel Bwe Sim setelah ketiga orang tadi pergi.

"Tidak heran,"

Ujar Siang Cin.

"Mandor selamanya lebih galak daripada majikan."

Setelah menyimpan kembali Kim hoan leng, Bwe Sim berkata kepada Siang Cin.

"Go Ji, marilah kita melongok ke bawah, habis itu kitapun pulang saja."

Mereka lantas mendekati pojok tembok benteng sana, Bwe Sim memilih sepotong ubin tembok itu dan mengetuknya beberapa kali dengan tungkak kakinya.

Tidak lama kemudian, ubin itu lantas bergeser dan terbukalah sebuah lubang, sebuah kepala menongol keluar sambil bertanya.

"Siapa?" "Aku, dari Sing ci sit (kamar piket), pemeriksaan biasa,"

Desis Bwe Sim. Orang itu menengadah dan memandang Bwe Sim, tanyanya pula.

"Apakah .....

"

"Pakai apa segala, dinas pemeriksaan, kau rewel apalagi?"

Segera Siang Cin mendahului membentak. Agaknya orang itu jadi keder, cepat ia menjawab.

"O, ya, silakan, silakan turun!"

Lalu ia mengkeret masuk ke bawah. Ber turut2 Bwe Sim dan Siang Cin lantas merambat turun melalui lubang itu. Rupanya "Liang panah"

Yang dikatakan itu adalah sebuah ruangan sempit, ada sebuah tangga yang menembus ke lubang keluar masuk tadi.

Di depan dinding yang menghadap keluar ada sebuah kerangka besi, sepuluh pasang busur ber turut2 terpasang di situ dan siap dibidikkan.

Namun tembok yang mengalingi barisan panah itu agaknya harus disingkirkan lebih dulu bilamana hendak melepaskan panah, hanya pada kedua sisi ada beberapa lubang kecil yang ditutup dengan kain hitam, agaknya sebagai lubang hawa dan juga untuk mengintai.

Di dinding lain menempel sebuah lampu minyak dengan cahayanya yang guram.

Lantai hanya dilapisi tikar.

Ada lima penjaganya, kecuali orang yang menongol keluar tadi masih ada lagi empat orang sedang bertiduran, lima buah golok tampak tergeletak di pojok ruangan sana.

Melihat seorang nona cantik masuk ke situ, serentak keempat orang itu merangkak bangun, seketika mereka cengar cengir dan segera ada yang mau menggoda, tapi keburu dikedipi oleh kawannya dan dibentak.

"Awas, pengawas dari Sing ci sit!"

Mendengar itu, seketika mereka melenggong, lekas2 mereka berdiri dengan sikap hormat dan tidak berani bersikap bangor lagi. Sebelum menuruni tangga tadi, Siang Cin sempat merapatkan kembali tutup lubang itu, setiba di bawah, segera ia menegur.

"Kalian cuma berlima di sini? Mengapa malas2 begini, tidur melulu! Tentunya kalian mabuk2an lagi."

Kelima orang itu tidak berani menjawab, akhirnya orang pertama tadi berkata dengan takut2.

"Lapor Toako, kami ....kami terlalu iseng dan cuma ....cuma minum satu dua ceguk, sekedar menghilangkan dahaga saja."

""Keparat, damperat Siang Cin.

"Satu ceguk saja tidak boleh. Jika pada saat yang sama musuh merayap masuk, dalam keadaan limbung apakah kalian mengetahuinya? Hm, dasar tak becus semuanya."

Kelima orang itu benar2 tidak berani menjawab lagi, mereka sama menunduk.

"Lain kali bila ketahuan kalian tidak patuh pada tugas masing2, awas kepala kalian bisa berpisah dengan tuannya,"

Kata Bwe Sim. Mendadak Siang Cin membentak.

"Tidak ada lain kali lagi!"

Selagi kelima orang itu dan juga Bwe Sim melengak heran, tahu2 Siang Cin sudah menubruk maju, kontan salah seorang di antaranya roboh terkulai.

Belum lagi yang lain tahu apa yang terjadi, mendadak terdengar suara gedebugan ramai, empat sosok tubuh telah tertumbuk dinding dan satu persetu roboh terkapar.

Dengan sorot mata dingin Siang Cin memandangi kelima sosok mayat itu, sikapnya tenang seperti tidak terjadi apa2.

Sesudah tenangkan diri, Bwe Sim menjadi gusar dan rada gemetar, katanya dengan suara terputus2.

"Go Ji, kau....kau begini kejam? Dengan ....dengan hak apa kau bunuh mereka? Kesalahan mereka tidak sampai harus dihukum mati . .. ."

Siang Cin pura2 gugup dan melangkah maju, katanya.

"Ya, nona Bwe, aku terburu nafsu dan ...."

"Jangan mendekat aku, kau setan ...."

Belum habis teriakan Bwe Sim, se konyong2 nona cantik ini merasakan pinggangnya kesemutan, baru dia menyadari gelagat jelek, tahu2 tubuhnya sudah lumpuh dan roboh terkulai. Dengan cemas ia pandang Siang Cin, teriaknya.

"Ap ....apa yang kaulakukan? Berani amat kau ...."

"Jangan ber teriak2 nona Bwe,"

Jengek Siang Cin dengan pandangan dingin.

"Hendaklah kautahu, aku sama sekali bukan oaang yang kenal belas kasihan, akupun tidak kenal ampun pada orang perempuan, sebaiknya kita harus menghadapi dengan kepala dingin."

Bwe Sim berkeringat dingin, dengan melotot ia menjerit.

"Apa yang akan kaulakukan terhadap diriku? Go Ji, kau ...."

"Namaku bukan Go Ji,"

Kata Siang Cin dengan ketus.

"Akupun bukan orang Ji ih hu, aku tidak ingin berbuat sesuatu apa2 terhadapmu, kau tidak perlu kuatir. Cuma saja, kaupun takkan beruntung sebagaimana pengalanaanmu empat tahun yang lalu itu."

Bingung dan kejut Bwe Sim di samping gusar pula, teriaknya cemas.

"Habis siapa ....... siapa kau?"

Pelahan Siang Cin menanggalkan seragam kulitnya, lalu membalik jubah yang dipakainya, tertampak warna jubahnya yang kuning telur mencorong itu.

"Nah, sekarang tentunya kautahu siapa diriku bukan?"

Terbelalak lebar mata Bwe Sim, terbayang lukisan seorang sebagaimana pernah didengarnya dari cerita orang lain dengan tanda2nya yang khas. Seketika tubuhnya menggigil, mukanya menjadi pucat, serunya kejut.

"Naga Kuning?"

"Betul, itulah diriku!"

Kata Siang Cin dengan tersenyum tenang.

Seketika Bwe Sim merasa dirinya terjeblos ke jurang yang tak terkira dalamnya, rasa takut, bingung dan putus asa disertai murka memenuhi rongga dadanya.

Tamat, habislah segala harapannya, segala masa depannya, seluruhnya runtuh di tangan si Naga Kuning yang terkutuk ini.

Saking gemas air matapun bercucuran.

"Nona, kita berdiri di dua pihak yang berlawanan, jangan kausalahkan tindakanku yang licik dan kejam, kukira perbuatan orang Ji ih hu akan berlipat ganda lebih kejam daripadaku,"

Kata Siang Cin kemudian sambil mengintip keluar melalui lubang kecil di pojok dinding sana. Lalu sambungnya.

"Kawanku yang berada di luar segera akan menyusup masuk kemari, pasukan berkuda Bu siang pay juga akan segera menyerbu datang. Nona Bwe, kukira firasatmu memang tidak keliru, pertempuran ini pasti akan bikin tamat riwayat Ji ih hu seluruhnya."

Dengan air mata berlinang Bwe Sim melototi Siang Cin, ucapnya dengan penuh rasa dendam.

"Siang Cin, boleh kau ....kaubunuh saja diriku, kalau tidak, kapan dan di manapun, pada suatu saat pasti akan kubunuh kau ... ."

Siang Cin memandangnya dengan sorot mata yang menghina, ucapnya sambil mencibir.

"Hah, sudah sekian lama aku berkecimpung di dunia Kangouw, orang yang pernah terjungkal di tanganku sudah tak terhitung jumlahnya, kata2 seperti ucapanmu inipun sudah kenyang kudengar. Terserah padamu, asalkan malam ini tidak kubunuh kau, hari selanjutnya adalah milikmu, terserah apa yang akan kaulakukan, siapapun tiada yang akan merintangimu ....Cuma, kukira usahamu hanya akan sia2 belaka."

Dengan menggreget Bwe Sim berkata.

"Tunggu saja kau!"

Siang Cin tersenyum tak acuh, kembali ia mengintai keluar melalui lubang kecil itu, dari situ iapun menyiarkan suara "kuk kuk"

Seperti bunyi burung hantu. Habis bersuara begitu, ketika ia berpaling pula, mendadak sikapnya berubah kereng, ucapnya dengan bengis.

"Bwe Sim, ingat, jangan bersuara, jangan sembarangan berbuat apapun, hatiku cukup kejam apapun dapat kulakukan. Sebaliknya, tentu kauingin hidup lebih lama lagi bukan?"

Bibir Bwe Sim tampak ber kerut2, ia menyeringai dan berkata dengan bandel.

"Segera kuberteriak minta tolong ...."

Tapi belum habis ucapannya, tahu2 angin mendesir, Hiat to bisu di tubuh Bwe Sim terusap, kontan mulutnya membungkam dan tak dapat bersuara lagi.

"Ingat, satu kali ini saja dan tiada lain kali. bila terjadi lagi jiwamu pasti melayang!"

Jengek Siang Cin.

Sembari bicara ia mengintai pula melalui lubang kecil tadi.

Dilihatnya beberapa sosok bayangan orang telah menyelinap keluar dari hutan sana dan secepat terbang melayang ke kaki tembok benteng sini.

Hampir pada saat yang sama, tiba2 Siang Cin mendengar dinding kanan kiri tempatnya berada itu bergema suara "duk duk duk", tiga kali cepat dan tiga kali lambat, ia menoleh dan tanya kepada Bwe Sim.

"Apa artinya itu?"

Dengan gemas Bwe Sim melototinya dan memejamkan mata, tampaknya dia sudah nekat takkan memberi keterangan apapun andaikan jiwanya harus melayang sekalipun.

Mendadak tergerak pikiran Siang Cin, cepat ia menerobos keluar ruangan itu, lebih dulu ia menuju sebelah kanan, ia menirukan cara Bwe Sim tadi dan mengetuk ubin batu pada pojok tembok yang lain.

Suasana sunyi senyap, tapi dengan cepat ubin batu itu lantas bergerak, namun sehelum ada orang mengnongol keluar, secepat kilat Siang Cin menerobos ke dalam, hanya sekejap ia menghilang di dalam lubang itu, menyusul lantai terdengar suara gedebukan beberapa kali disertai suara jeritan tertahan.

Sekejap kemudian Siang Cin sudah melompat naik lagi ke atas, jubahnya yang kuning tampak berlepotan darah.

Lalu ia mengetuk lagi ubin batu sebelah kiri, baru saja sebuah kepala hendak menongol keluar, kontan dia tabok batok kepala orang itu hingga terjungkal ke bawah, menyusul iapun menerobos masuk, selagi orang2 di siru terkejut oleh jatuhnya kawan mereka, tangan Siang Can terus bekerja dan serentak tiga orang telah dibinasakan pula.

Sampai ajalnya keempat orang itu sama sekali tidak tahu siapa yang membunuh mereka.

Sisa seorang lagi kaget setengah mati dan berdiri melenggong seperti patung.

Siang Cin tidak lantas membunuhnya lagi, tapi ia gampar muka orang dua kali sehingga orang itu megap2 dan darah mengucur keluar dari ujung mulutnya.

Gamparan itu se akan2 menyadarkan orang itu dari impian, cepat ia berlutut dan menyembah sambil memohon.

"Ampun ..... ampun hohan ..... ."

"Apa yang kalian lihat barusan? Apa artinya ketukan dinding tiga kali cepat dan tiga kali lambat itu?"

Tanya Siang Cin dengan bengis. Dengan muka pucat dan menggigil ketakutan orang itu menjawab.

"Tadi ..... tadi Li Gun seperti ..... seperti melihat beberapa bayangan orang, dia, ragu2 pada ..... pada pandangannya sendiri dan tidak ......tidak berani rnenyiarkan tanda bahaya, maka ......maka lebih dulu menggunakan tanda rahasia untuk bertanya jawab dengan liang panah yang lain, tapi..... tapi sebelum ada suara jawaban apa2, tahu2 hohan sudah ..... sudab datang....."

Diam2 Siang Cin menghela napas lega, sekali tendang ia bikin orang itu pingsan, lalu ia keluar lagi dan merapatkan kembali kedua liang itu, ia melongok keluar tembok benteng dan mengeluarkan suara "kuk kuk"

Pula.

Maka beberapa sosok bayangan yang mendekam di kaki tembok lantas melayang ke atas bagai burung raksasa.

Nyata orang2 ini adalah Sebun Tio bu, Kin Jin, Loh Hou dan Le Tang.

Tanpa banyak omong Siang Cin menuding liang panah tempat sembunyinya tadi dan berkata.

"Turuh ke sana!"

Dengan cepat mereka berlima lantas menghilang ke dalam liang itu. Mereka merasa lega setelah berada di dalam.

"Apa gunanya ruangan sesempit ini, Siang-susiok?"

Tanya Le Tang.

"Mereka menyebut ruangan ini `liang panah", tutur Siang Cin dengan tertawa.

"Di sekeliling Ji-ih hu seluruhnya ada ratusan tempat panah begini, asalkan mendapat aba2, serentak akan terjadi hujan panah, perancangan busur panah ini sangat bagus dan caranya juga sangat keji ......"

Begitulah secara ringkas ia lantas menceritakan apa yang diketahuinya dengan macam2 perangkap yang terpasang di Ji ih hu ini, selain itu iapun menyatakan pendapatnya bahwa bukan mustahil di sini juga ada bahan peledak terpendam seperti apa yang terdapat di Ce ciok giam, hal ini harus mendapat perhatian sepenuhnya.

Lebih jauh Siang Cin menyatakan salah satu di antara mereka harus menyusup keluar kembali untuk memberi laporan kepada Thi Tok heng dan pimpinan Bu siang pay yang lain.

"Bagaimana kalau bikin capai Kin beng?"

Katanya terhadap Kim lui jiu Kin Jin dengan tersenyum.

"Baik,"

Jawab Kin Jin tanpa pikir.

"Tapi Kin heng harus selalu ingat suatu hal pokok, yakni tugasmu ini maha penting dan menyangkut keselamatan be ribu2 orang Bu siang pay, sepanjang jalan hendaklah engkau jangan terlibat dalam pertempuran dengan musuh, tujuanmu ialah lolos dan mencapai tempat tujuan."

"Jangan kuatir, kalau dikejar, aku akan lari, kuyakin kepandaianku ini cukup dapat diandalkan,"

Ujar Kin Jin dengan tertawa.

"Baiklah, urusan jangan tertunda, sekarang juga silakan Kin heng berangkat,"

Kata Siang Cin.

"Nah, selamat jalan!"

"Selamat tinggal! Sampai bertemu pula!"

Jawab Kin Jin sambil memberi salam kepada semua orang. Setelah merapatkan kembali tutup lubang itu, Siang Cin melihat Loh Hou sedang mengintai keluar melalui lubang kecil di samping sana dan sedang berkata.

"Ha, sungguh cepat gerak tubuh Kin-tayhiap, ia meluncur seperti anak panah cepatnya ...."

Baru saja Siang Cin hendak menjawab, terdengar Sebun Tio bu berseru heran sambil mennding Bwe Sim yang menggeletak di atas tikar itu, katanya.

"He. di sini masih ada seorang betina? Busyet, boleh juga mukanya ...."

"Dia ini anak angkat ketua Tiang hong pay,"

Kata Siang Cin dengan hambar.

"Mengapa dia berada di sini dan kena kau kerjai?"

Tanya Sebun Tio bu. Dengan kikuk Siang Cin menjawab.

"Kupancing dia ke sini, lalu kututuk roboh dia."

Sebun Tio bu yang lebih berumur sudah dapat menduga apa yang terjadi, ucapnya.

"Hebat, jika aku yang menjadi kau, matipun mungkin dia tidak sudi ikut ke sini. Haha, Naga Kuning memang unggul dalam segala hal, kagum, aku benar2 menyerah."

"Tangkeh, pujianmu hendaklah diberi sisa sedikit,"

Cepat Siang Cin menimpali.

"Sekarang sudah waktunya bergerak, hayolah agar tidak terlambat."

"Baik, silakan memberi penjelasan,"

Jawab Sebun Tio bu. Dengan kereng Siang Cin lantas menutur.

"Tindakan kita yang pertama adalah menghancurkan liang panah Ji ih hu ini, di sekeliling benteng ini ada 120 tempat panah, sekilas tadi sudah kuperiksa, pada setiap pilar tembok adalah sebuah liang panah. Jika mau menyerbu, sebaiknya pasukan Bu-siang pay menyerbu melalui hutan tempat sembunyi kita tadi. Dengan perkataan lain, liang panah yang menghadap ke hutan ini harus dibasmi seluruhnya. Ji ih hu ini berbentuk persegi, 120 liang panah terbagi empat berarti satu sisi ada 30 tempat. Kita sudah menghancurkan tiga tempat, jadi bagian sini tertinggal 27 tempat lagi. Ke 27 tempat ini harus kita hancurkan sebelum pasukan Busiang pay tiba."

Setelah berhenti sejenak, dengan prihatin Siang Cin menyambung pula.

"Dan tugas menghancurkan ke 27 liang panah ini kuserahkan Sebun tangkeh dan Loh heng untuk melaksanakannya. Le heng hendaklah melakukan sergapan kilat kepada ka 90 liang panah yang lain, hancurkan sedapatnya, berapa banyak bisa d)hancurkan boleh dikerjakan sebisanya. Bunuh dan bakar, laksanakan dengan cara apapun juga.. Sebun Tio bu bertiga sama mengangguk. Lalu Siang Cin menyambung pula.

"Setiap liang panah ini dijaga lima orang, semuanya kaum keroco, asalkan dilakukan dengan gerak cepat, jangan sampai memberi kesempatan pada mereka untuk menyiarkan tanda bahaya, kukira pekerjaan ini tidak sulit dilaksanakan ......."

"Nanti dulu,"

Tiba2 Sebun Tio bu menyela.

"sejak tadi agaknya belum kaujelaskan cara bagaimana inenggunakan barisan panah ini, padahal teraling oleh dinding, melalui mana panah mereka akan dibidikkan?"

Siang Cin menunjuk sebuah pegangan pada pojok dinding sana, katanya.

"Menurut dugaanku, bisa jadi pegangan itu ditarik dan segera dinding di depan akan bergeser, mungkin ke atas atau ke bawah sehingga ada peluang untuk jalan panah,"

"Ya, kukira begitu,"

Ujar Sebun Tio bu, berbareng iapun melirik sekejap Bwe Sim yang masih menggeletak tak bisa berkutik itu. Dengan gemas nona itu melengos ke sana. Maka Siang Cin berkata pula dengan tertawa.

"Setelah kita berpencar nanti, ada tiga urusan penting harus kukerjakan. Pertama aku akan menuju ke loteng yang bernama Hwe im kok itu untuk mencari puteri Thi ciangbun, sudah tentu bila kepergok Khang Giok tek, bocah itu pasti juga takkan kulepaskan. Kedua, sudah kuketahui tempat tahanan orang Bu siang pay yang tertawan itu, mereka harus kubebaskan dengan cepat. Ketiga, sedapatnya akan kuhanaurkan berbagai perangkap yang tersebar di Ji ih-hu ini."

"Wah, semuanya tugas berat, apakah kau dapat melaksanakannya sendirian?"

Tanya Sebun Tio bu.

"Siang heng, kukira salah satu satu diantara kami bertiga ini ikut membantumu ..... ..

"

"Tidak perlu,"

Sela Siang Cin.

"Sendirian akan lebih leluasa bertindak, andaikan gagal juga tak perlu kukuatirkan terkepung musuh. Tambah orang tentu akan menambah beban pikiranku malah."

"Tapi dengan demikian, bukankah akan menggegerkan selurah Ji ih hu?"

Tanya Sebun Tio bu.

"Ya, terpaksa dan sukar dihindarkan,"

Kata Siang Cin.

"Menurut perkiraanku, besok pagi Bu siang pay sudah dapat mulai menyerbu Toa ho tin, jadi sudah dekat waktunya."

"Lalu bagaimana tindakan kita selanjutnya setelah urusan di sini sudah beres?" "Sederhana, kacaukan suasana di Ji ih hu sini dan menyambut penyerbuan Bu siang pay,"

Kata Siang Cin dengan tertawa.

"Cuma ingat, jangan terlibat dalam pertempuran terbuka melainkan main gerilya saja."

"Dan bagaimana dengan betina itu?"

Tanya Sebun Tio bu sambil melirik Bwe Sim yang masih meringkuk di pojokan sana.

"Menurut pendapat Sebun tangkeh .

"Tutuk saja Hiat tonya dan ampuni jiwanya, anak perempuan, kukira bukan orang jahat yang tak terampunkan."

"Tepat, terus terang, aku memang tidak bermaksud membunuhnya."

Lalu Siang Cin mendekati Bwe Sim, katanya dengan pelahan.

"Nona Bwe, kami tidak ingin membunuh kau, tapi rencana gerakan kami sudah kau dengar semua, bila kami tinggaikan kau di sini, jangan2 setelah kau temukan mereka, rahasia gerakan kami akan kau laporkan kepada mereka, kan bisa susah buat kami. Maka akan kututuk Hiat to tidurmu dengan caraku yang khas, setengah hari kemudian kau akan sadar dengan sendirinya. Nah, silakan istirahat dulu, selamat tidur, selamat bermimpi."

Bwe Sim ingin meronta, tapi percuma karena tak bisa berkutik sama sekali, secepat kilat Siang Cin menutuk Hiat to yang membuatnya tidur pulas dengan caranya yang khas. Lalu katanya kepada Sebun Tio bu bertiga.

"Nah, sekarang silakan kalian mulai melakukan tugas masing2."

"Baik, kami segera berangkat, Siang heng sendiri diharap hati2,"

Jawab Sebun Tio bu sambil memberi hormat.

Cepat mereka menerobos keluar ruangan tembok benteng itu dan terpencar pergi melaksanakan tugas masing2.

Siang Cin juga lantas menyelinap kembali ke sisi Kim bian tin, ia ragu2 sejenak, lalu merunduk maju menyusuri serambi yang menghubungkan antar gedung itu.

Lantaran sudah tahu perangkap2 apa yang teratur di Ji ih hu, maka dengan selamat dapatlah ia menghindari beberapa regu patroli dan melintasi beberapa gedung.

Sekarang telah dilihatnya sebuah loteng kecil yang terletak di belakang gedung ketujuh, di sebelahnya ada sebatang pohon Siong raksasa.

Dengan gesit ia terus cnenyelinap ke depan, dengan cepat ia sudah mendekati loteng pojok itu, beberapa kali hampir saja ia tersangkut oleh tali sutera yang melintang di bagian2 tertentu.

Sesudah di bawah loteng itu, ia mendongak, hampir Siang Cin berjingkrak kegirangan, ternyata di atas pintu ada sebuah papan kecil dengan tulisan "Hwe im kok".

Inilah tempat yang dicari, di sinilah Thi Yang yang, puteri ketua Bu siang pay itu berada.

Belum lagi dia menemukan jalan untuk naik ke atas loteng, se konyong2 terdengar orang membentak.

"Siapa itu?"

Cepat Siang Cin mendekam di tempatnya tanpa bergerak, ia pasang kuping mengikuti keadaan tempat datangnya suara itu.

Untuk sejenak suasana menjadi sunyi, lalu ada suara omelan seperti beberapa orang sedang bertengkar.

Suara itu ternyata datang dari atas pohon Siong di samping Hwe-im kok ini.

Siang Cin tetap bertiarap tanpa bergerak, tempat sembunyinya sekarang berada di tengah semak2 rumput kering.

Sambil mendekam di situ iapun mendengar apa yang diributkan orang2 itu.

Jarak tempat sembunyi Siang Cin dengan pohon itu ada 30 an langkah jauhnya, tapi suara bisik2 orang itu dapat didengarnya meski cuma sepotong sepotong, terdengar seorang sedang berkata.

" ....jelas barang putih2 itu cuma seonggok rumput kering ....Keparat, hanya bikin kaget saja ....persetan kau ...."

"Tapi semula kan tiada benda begitu, kulibat benda itu bergerak ...."

"Coba kau dekati dan periksa sendiri ....cuma nyap nyap melulu di sini, apa gunanya ...."

Begitulah para penjaga itu rupanya merasa sangsi pada apa yang dilihatnya sehingga bertengkar sendiri.

Sekilas Siang Cin sudah dapat memperkirakan jarak puncak poison Siong itu, diam2 ia menghimpun tenaga, ia pikir setiap tindakannya harus berhasil dengan sekali gempur, kalau tidak urusan bisa runyam.

Setelah incar baik2 tempat yang dituju, mendadak ia mengapung ke atas laksana burung raksasa, dengan ringan ia hinggap di pucuk pohon, ia lihat sedikit dibawahnya, di antara dahan pohon yang bercabang dibuat sebuah panggung kayu beratap dan diberi pagar pengaman, tiga orang berseragam kulit sedang ribut mulut.

Ketika mendadak mendengar suara kresekan daun pohon, mereka sama mendongak, tapi sebelum tahu apa yang terjadi, tahu2 dada setiap orang telah kena ditonjok laksana digodam, sama sekali tidak sempat bersuara, tiga sosok tubuh lantas terkapar.

Panggung penjaga yang dibangun di atas pohon itu ternyata sangat baik untuk batu loncatan menuju ke loteng Hwe im kok.

Diam2 Siang Cin bergirang, cepat ia melayang keemper jendela loteng itu.

Daun jendela ternyata dipalang dari dalam.

la mengerahkan tenaga dalamnya dan mendorong pelahan.

Palang jendela tergetar patah dan terbukalah jendela itu.

Meski cuma menerbitkan suara yang sangat pelahan karena patahnya palang jendela, tapi hal itu sudah cukup membuat terkejut orang di dalam.

Terdengar suara nyaring halus bertanya dengan terkejut.

"Siapa itu?"

Pelahan Siang Cin mendorong daun jendela dan menyelinap ke dalam, ia rapatkan kembali jendelanya, lalu dengan gerak cepat ia melayang ke depan tempat tidur yang tertutup oleh kelambu indah itu.

Tanpa ragu2 ia menyingkap kain kelambu, sekali tarik ia seret seorang perempuan muda dari dalam selimut.

Di bawah cahaya lampu yang cukup terang kelihatan wajah perempuan muda yang terkejut ini memang cantik, putih mulus tubuhnya.

Pada detik sebelum dia diseret meninggalkan tempat tidurnya itu, sebelah tangannya sudah hampir menyentuh tali sutera yang terikat di samping pembaringannya.

Itulah tali pembunyi genta tanda bahaya.

"Kau ..... siapa kau?!"

Tanya perempuan muda itu dengan kejut dan takut2, kedua tangannya bersilang menutupi dadanya yang setengah terbuka itu.

Siang Cin tiddk lantas menjawab, dengan tajam ia memandang gadis itu, mendadak ia pegang dagunya dan didongakkan ke atas, maka tertampaklah sebuah tahi lalat merah di samping bawah dagu gadis itu.

"Kau Thi Yang yang bukan?"

Tanya Siang Cin. Gadis itu terbelalak, jawabuya dengan ragu2.

"Ya, siapa kau?"

"Ehm,"

Siang Cin manggut2.

"Memang kau yang kucari."

"Kau mencari diriku? Apakah ..... apakah ayah yang menyuruhmu ke sini?"

"Betul,"

Kata Siang Cin.

"Lantaran kau, banyak orang Bu siang pay yang bergelimpangan di Pi-ciok can, sekarang Hek jiu tong teldh bergabung pula dengan Jik san tui, Toa to kau, Jit ho bwe, Tiang hong pay, Ji ih hu serta Ceng siong san ceng untuk menghadapi Bu siang pay, Setelah gagal di Pi ciok san, di bawah pimpinan langsung ayahmu kini Bu siang pay akan menyerbu kemari, pertempuran sudah berlangsung selama dua tiga hari. Semua hanya gara2 dirimu seorang. Khang Giok tek itu lebih2 tak terampunkan, sikapmu juga sangat mengecewakan ayahmu."

Thi Yang yang termenung sejenak, ucapnya hemudian dengan rawan.

"Aku ....aku sendirilah yang rela ikut pergi bersama Giok tek, kini aku sudah menjadi milik Giok tek, harap engkau suka menyampaikan kepada ayah agar beliau anggaplah tidak pernah mempunyai anak seperti diriku ini ........"

Siang Cin menjadi gusar, katanya dengan mendongkol.

"Kau dibesarkan orang tua, disayang dan dimanjakan, akhirnya kau kabur bersama orang begitu saja?"

Dengan air mata berlinang Thi Yang yang berkata.

"Aku sudah cukup dewasa ..... aku berhak memilih cara hidupku sendiri, aku cinta Giok tek, dia juga cinta padaku ......Kami sudah terikat menjadi suami isteri, mengapa ..... mengapa ayah hendah memisahkan kami?"

Siang Cin mendengus, katanya dengan menahan rasa gusarnya.

"Hm, Khang Giok tek membalas air susu dengan air tuba, ditolong malah mentung. Dia juga membawa minggat kau, inilah kesalahan pertama. Dia juga mencuri harta pusaka ayahmu. satu kotak Ci giok cu, inilah dosa kedua. Tanpa lain ayahmu dia menggagahi kau, inilah dosa ketiga. Belum lagi wibawa ayahmu yang tercemar, kehormatan Bu siang pay yang dirusak serta tata adat yang di langgarnya, semua ini tidak kalian hiraukan lagi, apalagi sekarang telah banyak menimbulkan korban jiwa, dendam berdarah ini menjadikan dosa kalian bertambah besar."

Dengan ter guguk2 Thi Yang yang berkata pula.

"Kami berbuat begini karena kami kuatir ayah tidak menyetujui kehendak kami ..... tentang sekotak Ci-giok cu itupun aku sendiri yang membawanya sekadar biaya perjalanan, sebab .......

" "Sudahlah, kukira sekarang sudah terlambat uutuk berbicara hal2 ini,"

Ujar Siang Cin dengan hambar.

"Habis bagaimana ...... bagaimana kebendak ayah?"

Tanya si nona dengan menangis.

"Dendam berdarah harus dituntut dengan darah pula, semua ini kini sudah berlangsung,"

Jawab Siang Cin.

"Dan akan ..... akan kau apakan diriku?"

Tanya Yang yang sambil menyurut mundur.

"Akan ku serahkan dirimu kepada ayahmu,"

Jawalk Siang Cin tegas, berbareng tangannya rnenjulur, secepat kilat ia tutuk si nona sehingga roboh terkulat.

"Maaf nona Thi, kukira kita harus berangkat sekarang,"

Bisik Siang Cin sambil meraih selimut di tempat tidur itu untuk membungkus tubuh Thi Yang yang. Pada saat ia hendak memanggul si nona, tiba2 di luar pintu kamar ada orang bertanya.

"Ada kejadian apa nyonya muda?"

Karena tidak mendapat jawaban, orang di luar mulai mengetuk pintu dan bertanya pula.

"Nyonya muda, apakah ....apakah engkau mengigau... ."

Siang Cin mendekati pintu, mendadak ia membuka daun pintu, kedua tangan bekerja sekaligus, terdengarlah suara gemuruh, dua lelaki baju hitam terguling ke bawah loteng.

Sekilas kelihatan lencana di dada mereka, kiranya anggota Hiat hun-tong, barisan berani mati dari Hek jiu tong.

Karena suara gemuruh itu, seketika seluruh Hwe im tong menjadi geger, terdengar orang banyak memburu ke sini.

Siang Cin merapatkan kembali daun pintu, ia harus cepat meninggalkan tempat ini.

Dia ambil lampu minyak dan dilemparkan ke atas tempat tidur, hanya sekejap saja api lantas berkobar menjilati kelambu dan kasur terus menjalar sekitarnya.

Di tengah gelak tertawanya Siang Cin memanggul tubuh Thi Yang yang, berbareng ia depak meja besar di depan tempat tidur dan tepat memapak empat lelaki yang sementara itu telah menerjang masuk dengan mendobrak pinto.

Pada saat lain Siang Cin lantas menjebol daun jendela dan melayang keluar.

Sementara itu Ji ih hu telah diliputi suasana sibuk dan tegang, walaupun begitu tidak menjadi kacau, terdengar suara bende ber talu2 diseling suara genta yang nyaring.

Dalam kegelapan bayangan orang berlarian kian kemari dengan senjata terhunus.

Setelah melayang keluar Hwe im kok, Siang Cin tidak lantas kabur jauh, ia melompat ke panggung penjaga yang berada di atas pohon Siong itu, dari situ ia dapat memandang keadaan sekelilingnya.

Sementara itu ia telah tutup Hiat to tidur Thi Yang yang sehingga nona itu tak sadarkap diri.

la memilih suatu tempat, lalu melayang turun ke sana, yaitu di samping sebuah sumur yang berada di kaki dinding.

Ia pasang telinga dan merasa tiada suara orang di sekitarnya, cepat ia mulai menggali tanah dengan kedua taagannya.

Karena diselimuti salju, maka tanah di situ tidak keras, tanpa banyak buang tenaga Siang Cin dapat menggali sebuah lubang yang cukup untuk membujur sesosok tubuh manusia.

Dengan pelahan Siang Cin membaringkan Thi Yang yang di liang panjang itu, lalu diuruk sedikit tanah bersalju, bagian mukanya yang tertutup selimut disingkapnya kemudian ditutupnya dengan seonggok rumput kering.

Di sekelilingnya diberi pula beberapa potong batu agar rumput kering itu tidak tersingkit oleh tiupan angin atau kena diinjak kaki orang.

Tanpa ayal ia melayang ke arah lain, kini Kim-bin tian yang langsung dituju, kini iapun tidak perlu menyembunyikan jejaknya lagi.

Jalan yang ditempuhnya adalah jalur aman yang telah dikenalnya.

Sesudah dekat dengan tempat tujuan, diketahuinya ada beberapa bayangan yang memiliki Ginkang tinggi sedang memburu datang.

Pada saat itu juga, se konyong2 di belakang Kim bin tian berkobar cahaya terang, api menjulang tinggi, entah gedung mana yang tertimpa bencana lagi.

Suasana menjadi panik, terdengar suara jerit kaget di sana sini, dua di antara kelima bayangan orang yang mengejar Siang Cin itu memburu ke arah berkobarnya api, tiga yang lain tetap mengejar ke arah Siang Cin.

Diam2 Siang Cin mendengus, ia sengaja memilih ke tempat yang sepi dan sampai di suatu gardu di tepi sebuah kolam yang kering, di situlah ia berdlri tegak menantikan datangnya musuh.

Dengan kencang ketiga orang itu memburu tiba, ketika melihat orang yang mereka kejar berbalik berhenti menunggu kedatangan mereka, keruan mereka jadi melengak.

Tapi merekapun jago kawakan, meski terkejut tidak menjadi gentar.

Sekali bersuit, serentak ketiga orang menghadapi Siang Cin dari tiga arah.

Siang Cin merasa sudah pernah melihat satu di antaranya, yaitu si kurus pucat seperti mayat hidup yang datang bersama orang she Toh menegur Bwe Sim di tembok benteng itu.

Dua orang lagi berjubah kelabu, rambut terikal di atas kepala seperti dandanan Tosu, semuanya setengah baya.

Wajah mereka putih bersih dan cukup tampan, tapi air mukanya sangat dingin se akan2 langit ambruk juga tidak peduli.

Si mayat hidup juga terkejut setelah mengenali Siang Cin, tapi ia lantas mendengus.

"Hm, mirip benar penyamaranmu, sahabat!"

"Ah, hanya main2 saja,"

Jawab Siang Cin dengan tersenyum.

"Apakah kau ini si Naga Kuning?"

Dengus pula orang itu.

"Ehm, tajam juga padanganmu!"

Dengan angkuh Siang Cin mengangguk. Kedua orang yang berjubah kelabu saling pandang sekejap, yang sebelah kanan lantas melangkah maju setindak dan menjengek.

"Siang Cin, sombong benar kau!" Siang Cin memandangnya sekejap, jawabnya dengan tertawa.

"Dan kau ini lepasan dari mana?"

Kedua orang berjubah kelabu itu tidak menjawab, sebaliknya si mayat hidup lantas tertawa terkekeh2, katanya kemudian.

"Naga Kuning, percuma namamu sedemikian tenarnya, tapi matamu ternyata kurang awas, masa Tiang hong jit coat tak kau kenal?"

Siang Cin mencibir dan menjawab.

"Tiang hong-jit coat itu orang macam apa? Kenapa aku harus kenal mereka?"

Si mayat hidup tenang2 saja, ia memberi tanda untuk mencegah kedua orang berjubah kelabu yang sudah tidak tahan itu, lalu ia mendengus pula.

"Siang Cin, sudah lama kami menguntit kau . ... .. ."

"Ini kan bukan rahasia, sejak tadi juga kutahu,"

Jawab Siang Cin dengan angkuh.

"Berapa banyak pula begundalmu yang kau bawa, Siang Cin?"

Tanya orang itu.

"Hm, kaukira aku ini tawananmu dan harus mengaku? Hm, kau sungguh ke kanak2an, kawan. Memangnya dengan hak apa kautanya padaku?"

Dengus Siang Cin.

"Dengan hak untuk mencabut nyawamu, kawan?"

Oraug itupun balas mendengus.

""Hah, hanya orang macam kau juga berani main gila padaku? Hm, kukira mah selisih jauh,"

Ujar Siang Cin dengan tertawa geli. Dengan dingin orang itu berkata.

"Haha, sebaliknya aku "Mo bin cu" (si muka iblis) Ciong Hu apakah dapat kau gertak?"

"jika demikian, hayolah boleh kita coba2 beberapa jurus,"

Tantang Siang Cin.

"Kedua kawan dari Tiang hong pay ini bila tidak mau kesepian, boleh silakan maju sekalian."

Tidak kepalang gemas kedua orang berbaju kelabu itu.

Belum lagi mereka menanggapi ejekan Sang Cin itu, secepat kilat Mo bin cu Ciong Hu, sudah menerjang maju, sekaligus ia melancarkan beberapa kali pukulan.

Namun seperti bayangan setan saja, tahu2 Sang Cin sudah menyelinap ke tempat lain, berbareng iapun melontarkan beberapa kali hantaman kepada kedua orang berbaju kelabu.

Cepat kedua orang itu berkelit, mereka terkejut tak terduga oleh mereka bahwa Siang Cin sedemikian tangkasnya, mau tak mau merekapun balas menyerang.

Tapi cuma beberapa gebrak saja, ketiga orang itu mulai kelabakan karena digoda oleh serangan Siang Cin yang tidak menentu.

Meski belum kelihatan kalah, tapi jelas mereka merasa malu.

Wajah Mo bin cu Ciong Hu tetap pucat dingin tanpa mengunjuk sesuatu perasaan, tapi di dalam hati tidak kepalang gemasnya.

Sekali berputar, tahu2 ia telah memegang sejenis senjata aneh, seperti keris yang berlekuk sembilan tapi ujungnya bercabang seperti lidah ular.

Pada saat itu Siang Cin sempat menghindarkan gernpuran kedua orang berbaju kelabu, menyusul ia balas menghantam si mayat hidup sambil berseru.

"Coa kak kiam ( pedang tanduk ular) yang bagus!"

Cepat Ciong Hu mengelak, berbareng ia balas menusuk dengan kerisya. Hanya sekejap saja belasan jurus sudab berlalu pula.

"Krek", se konyong2 terdengar suara tulang patah, salah seorang berjubah kelabu telah beradu tangan dengan Siang Cin, air muka orang itu seketika berubah pucat seperti mayat, kedua tangannya lantas melambai ke bawah, lemas sepertr tak bertulang lagi. Sedikit peluang itu digunakan Mo bin cu Ciong Hu untuk menyergap, kerisnya terus menikam. Namun Siang Cin sempat berputar ke samping sehingga tikaman lawan mengenai tempat kosong. Pada saat yang sama terasa angin pukulan yang dahsyat menyambar tiba dari belakang, cepat Siang Cin meloncat ke atas, berbareng kedua tangannya menabas untuk memaksa mundur Ciong Hu. Diam2 Siang Cin sudah ambil keputusan akan tumpas dulu si muka iblis ini, Sementara itu dilihatnya si baju kelabu yang tangannya patah tadi sedang bersandar di pohon di tepi kolam sana dengan napas memburu dan butiran keringat menghias jidatnya. Tangannya yang patah tulaug itu tampak membengkak. Mendadak Siang Cin menubruk maju lagi, kedua kakinya beruntung menendang dagu Ciong Hu. Terpaksa Ciong Hu melompat mundur. Pada saat itu juga si baju kelabu satunya juga mendesak maju dengan pukulan dahsyat. Akan tetapi Siang Cin telah perlihatkan kelihayannya, sekaligus ia tahan serangan kedua lawan tangguh ini. Sebelah tangan menabas Ciong Hu sehingga si muka iblis ini terpaksa melompat mundur pula, sedang tangan lain tepat menabas di dada si kelabu. Terdengar suara "bluk"

Yang keras dan jeritan tertahan, si jubah kelabu tumpah darah dan berputar2 beberapa kali untuk kemudian lantas jatuh terkapar.

Si jubah kelabu yang patah tulang tangan menjadi kalap, tanpa pikir lagi iapun menerjang ke arah Siang Cin.

Pada saat yang sama Ciong Hu juga menubruk maju pula dengan beringas.

Siang Cin bergelak tertawa dan berdiri tegak, mendadak kedua telapak tangannya bergerak, memotong dan menabas, telapak tangan setajam mata golok bergerak cepat dan tepat, terdengar serentak suara "blak buk"

Ber ulang2.

Si baju kelabu sekeligus kena dihantam empat kali dan ter guling2 ke sana dengan darah berhamburan.

Sedangkan Ciong Hu sempat mengelak dan melompat mundur, tapi segera ia menubruk maju lagi dan balas menyerang.

Siang Cin sendiri juga rada payah setelah mengadu pukulan beberapa kali dengan kedua orang berjubah kalabu itu.

Akan tetapi tidak menjadi alangan baginya untuk menyambut serangan si muka iblis ini, belum lagi Ciong Hu melihat jelas apa yang terjadi, tahu2 Siang Cin mendesak maju, kerisnya jelas ambles ke tubuh Siang Cin, tapi tahu2 terlibat oleh jubah kuning Siang Cin dan sukar ditarik kembali.

Keruan Ciong Hu terkejut, tak terpikir lagi olehnya tentang gengsi segala, ia meraung keras, keris dilepaskan dan dia melompat mundur.

Akan tetapi sudah terlambat, mendadak jubah Siang Cin yang melibat ternyata lawan itu mengebas, selagi Ciong Hu kerepotan menghadapi sambaran jubah yang mirip segumpal awan itu, tahu2 ulu hatinya kena ditendang oleh Siang Cin, tanpa ampun lagi ia terpental dan ter guling2 tak bangun lagi.

Untuk sejenak Siang Cin berdiri di tempatnya, ia mengerling sekejap ketiga korbannya, habis itu barulah menghela napas panjang dan mengusap keringatnya dengan lengan baju.

Baru sekarang ia melihat kedua tangan sendiripun rada bengkak.

Ia kebaskan keris musuh yang terlibat di jubahnya itu, lalu memutar balik menuju ke arah datangnya tadi.

Tiba2 ia merasa suara ribut di Ji ih hu telah padam, sekeliling terasa sunyi senyap, tenang tapi seram, mungkin inilah ketenangan sebelum badai tiba.

Dengan cerdik Siang Cin menyusur ke samping taman dan memandang ke sana, dilihatnya Kim bin tian sana terang benderang dan banyak bayangan orang yang berlari kian kemari.

Api yang berkobar di belakang Kim bin tian sana tampaknya sudah kecil tapi masib berkobar, di tembok benteng sana samar2 kelihatan penjaga2 berseragam kulit sibuk mondar manair, semua ini entah alamat apa yang akan terjadi.

Tengah Siang Cin berpikir bagaimana tindakannya, mendadak dilihatnya belasan orang berlari ke arah kolam kering, tempatnya bertempur dengan Ciong Hu tadi, sejenak kemudian orang2 itupun berlari balik.

Terdengar seorang yang bersuara bengis serak mengomel.

"Keparat, sudah mati semua, keji amat, satupun tidak ada yang hidup."

Habis itu lantas terdengar suara bentakan orang memerintah, sejenak kemudian seorang lagi yang bersuara melengking bertanya.

"Tian Hiong, apakah kau lihat ada orang bertempur di sini tadi?"

Suara seorang menjawab dengan gugup.

"Ya, baru saja hamba bersama Cin Wi dan dan Tan Sian bertiga ronda ke sini, dari jauh kami sudah dengar suara berisik, ketika kami mengintai dari kejauhan, kelihatan Ciong ya bertiga sedang mengerubut seorang musuh, maka cepat2 hamba berlari kembali melapor kepada Nyo ya ....."

Suara melengking tadi berseru pula.

"Sialan, kan sudah kukatakan sejak mula agar regu patroli harus diperbanyak, sekarang sudah telanjur terjadi baru ribut2, lalu apa gunanya?"

Lalu suara parau tadi berkata pula.

"Nyo heng, apakah kau dapat menilai betapa tinggi kepandaian panyatron ini? Lo-liok (keenam) dari Tiang hong jitcoat Suma Eng sarta Lojit (ketujuh) Ni Thay sudah cukup kita kenal kemampuannya, biarpun Lo Ciong si muka iblis juga tergolong tokoh utama Ji ih hu kita. Sekarang mayat ketiga orang ini sama terkapar di sini, luka merekapun akibat pukulan dahsyat. Dengan perkataan lain mereka terbunuh oleh pukulan tangan kosong lawan. Coba kalian pikir, dengan tenaga gabungan mereka bertiga, siapa di dunia ini yang mampu membinasakan mereka dengan bertangan kosong?" Setelah terdiam sejenak, mendadak si suara melengking tadi scperti ingat sesuatu dan berteriak.

"Naga Kuning! Ya, yang kaumaksudkan pasti Naga Kuning Siang Cin?!"

"Hai,"

Si suara serak tadi mendengus.

"Kecuali dia kukira sekalipun Kim lui jiu Kin Jin yang terkenal ilmu pukulan yang dahsyat juga tak mampu melakukannya."

"Bangsat she Siang itu pasti masih mengeram di sekitar sini,"

Si suara melengking meraung murka.

"Sungguh keji amat, betapapun Locu tak bisa mengampuni dia."

"Hm, asalkan dia berani keluar, asalkan kita dapat mempergoki dia, utang darah ini harus kita tagih kembali,"

Demikian si serak menambahkan. Si suara melengking tadi meraung.

"Apalagi yang kau tunggu, Tian Hiong, keparat! Lekas singkirkan mayat2 itu."

Maka terdengar seorang mengiakan, menyusul lantas terdengar suara orang banyak sedang bekerja. Si suara serak berkata pula.

"30 tempat panah di sebelah timur hancur, tiga sisi lain juga rusak hampir 50 tempat, banyak busur dan panah dihancurkan ...... Selain penjaga2 yang terbunuh, diketemukan pula mayat nona Bwe. Sungguh konyol, baru kemasukan tiga mata2 musuh sudah diobrak-abrik begini, lalu cara bagaimana kita dapat menghadapi pasukan musuh yang sudah dekat itu?"

"Ya, kulihat gelagat memang agak gawat,"

Demikian si suara melengking menanggapi.

"Lo Tong, menurut laporan, pasukan perisai Ceng siong sanceng dan pasukan berkudanya juga terdesak mundur oleh pasukan musuh, mungkin tidak sampai terang tanah Bu siang pay akan sampai di Toa ho tin, tampaknya Jan loyacu juga rasa gelisah, sedangkan bini Khang losam juga telah dibawa lari orang, sebelum kabur malahan kamarnya dibakar, kuyakin pasti perbuatan orang she Siang itu. Juga Co lociangbun dari Tiang hong pay tainpak sedih melihat puteri kesayangannya sudah menjadi mayat"

Sejenak suasana menjadi hening, lalu si suara serak berkata pula.

"Hayolah berangkat, cari orang she Siang itu dan begundalnya, jangan sampai kawan kita ada yang dikerjai lagi. Apa boleh buat, terima duit orang terpaksa harus menjual nyawa."

Lalu terdengar suara tindakan orang banyak dan makin menjauh.

Sejenak pula baru Siang Cin berdiri.

Diam2 ia merasa lega, ia tahu Sebun Tio-bu bertiga telah melaksanakan tugasnya dengan baik.

Berbareng iapun ingat pada Bwe Sim yang pingsan tertutuk itu dan disangka sudah mati oleh orang2 Tiang hong pay dan Ji ih hu, bisa jadi saat ini tubuhnya ditaruh di suatu tempat yang tak terurus mungkin di tengah2 tumpukan mayat yang lain.

Diam2 ia menghela napas menyesal.

Tapi apa boleh buat, keadaan memaksanya harus begitu, kalau tidak membunuh tentu akan dibunuh, tiada persoalan moral lagi yang perlu dipikirkan.

Tugas Siang Cin sekarang adalah membebaskan orang2 Bu siang pay yang tertawan.

Cuma di mana mereka dikurung, inilah yang belum diketahui.

Padahal untuk menyelidikinya jelas sekarang tidak mudah lagi.

Setelah berpikir, terpaksa Siang Cin merunduk lagi ke arah Kim bin tian.

Ia tahu pihak lawan saat ini sedang memperketat pencarian dirinya, sebab itulah dia harus bertambah waspada.

Beberapa regu patroli musuh dapat dilalui pula, dengan mandi keringat akhirnya Siang Cin dapat mendekati sebuah rumah batu yang mirip gudang.

Di depan rumah batu ini jelas kelihatan belasan bayangan orang mondar mandir dengan senjata terhunus.

Di ujung rumah sebelah sini, sebuah jendela setinggi dua tombak tampak terbuka, lubang jendela sebesar satu dua kaki, jadi cukup diterobos oleh tubuh manusia, mungkin jendela itu hanya jalan hawa belaka.

Siang Cin tertarik oleh rumah batu yang dijaga ketat ini, betapapun ia ingin menyelidiki.

Segera ia menggunakan cara yang paling kuna dan juga paling mudah memancing perhatian oang, dia melempar sepotong batu ke arah sana, waktu kedua penjaga di bawah jendela itu berlari ke sana, secepat burung terbang Siang Cin lantas melayang ke atas.

Begitu mencapai ambang jendela, sebelah tangannya lantas meraih kusen jendela dan menerobos ke dalam, tapi tangannya lantas terasa meraba cairan berbau anyir.

Tanpa memandangpun Siang Cin tahu barang apakah itu.

Sungguh aneh, mengapa di tempat begini ada darah? Setelah direnungkan sejenak, ia jadi tertawa sendiri, segera sorot matanya yang tajam mulai menjelajahi sekitarnya untuk mencari.

Rumah batu ini memang betul sebuah gudang.

Karung goni bertimbun seperti gunung, dari baunya yang memenuhi seluruh gudang dapat diketahui timbunan barang ini pasti sebangsa beras dan bahan rangsum lain.

Gudang sebesar ini hanya pada samping pintu gerbang yang tertutup rapat itu terdapat sebuah lampu minyak dengan cahayanya yang guram sehingga menambah suasana seram di dalam gudang.

Setelah jelas kelihatan tiada bayangan orang di dalam gudang, dengan pelahan Sang Cin lantas mengeluarkan suara suitan lirih, setelab berhenti sejenak, lalu bersuit pula tiga kali.

Mulai terdengar ada suara kresekan di balik tumpukan karung sana, sejenak kemudinn sebuah muka orang tampak menongol dengan sorot matanya yang tajam.

Hah, siapa lagi dia kalau bukan saudagar kita, Sebun Tio bu.

Siang Cin lantas mendesis pula sehingga Sebun Tio hu dapat melihatnya.

Tentu saja pemimpin besar "Serikat pasukan berkuda"

Yang termashur itu kegirangan, segera ia memberi tanda kepada Siang Cin, lalu menuding belakang.

Dengan enteng Siang Cin melayang ke sana dan turun di samping Sebun Tio bu.

Gudang ini benar2 suatu tempat sembunyi yang baik, sekelilingnya tumpukan karung belaka, malahan pada suatu tumpukan di bagian tengahnya mereka kosongkan, lalu tempat yang mendekuk itu digunakan sebagai tempat sembunyi..

Loh Hou dan Le Tang tampak meringkuk di situ, baju Loh Hou berdarah, bagian dada dan perut terbalut, agaknya dia terluka.

Segera Sebun Tio bu menarik Siang Cin ke tempat sembunyinya, tanyanya pelahan.

"Siang heng, bagaimana hasil pekerjaanmu? Tampaknya kalang kabut, tentu mereka telah kau kerjai. Engkau sendiri tidak apa2 bukan?"

Siang Cin tersenyum, jawabnya dengan suara tertahan.

"Lumayan, tidak sampai terjungkal ....Kutahu kalian telah berhasil menghancurkan sebagian besar liang panah, sungguh hasil yang bagus! Api yang berkobar di belakang Kim bin tian itu tentu juga kerja kalian?"

"Kim bin tian?"

Tanya Sebun Tio-bu bingung.

"Tempat apakah itu?"

"Yalah gedung tengah yang termegah itu ....Itulah pusat pimpinan Ji ih hu ...."

"Betul, itulah hasil kerja Loh lote, justeru lantaran menyalakan api itulah, di situ dia dilukai oleh dua lawannya."

Dengan prihatin Siang Cin memandang Loh Hou sekejap dan bertanya.

"Bagaimana? Apakah parah?"

"Bagian dada tergores, untung cuma tersayat saja, kalau tertusuk langsung, wah, mungkin sudah tamat,"

Tutur Sebun Tio bun.

"Selain itu pundaknya juga kena dua kali hantaman, untung tulangnya tidak retak, namun menjadi bengkak juga."

"Apakah dapat kergerak dengan leluasa?"

Tanya Siang Cin pula. Sebelum Sebun Tio bu menjawab, dengan suara parau Loh Hou berkata.

"Tidak apa2, Tecu masih sanggup bertahan, Siang susiok, jangan kuatir."

"Bikin susah padamu, Loh heng."

Kata Siang Cin dengan tersenyum.

"Dengan barang apa engkau menyalakan api di sana?"

Loh Hou menyeringai sehingga kelihatan taringnya, katanya.

"Selalu kubawa dua biji Liu hung tan (granat) pada saat kejar mengejar, aku menjadi gemas dan nekat, kedua biji nanas itu kulemparkan ke sebuah gedung yang berdekatan dan seketika terjadilah ledakan dan kebakaran hebat,"

"Hah, tentu saja musuh menjadi kelabakan dan mengira kemasukan pasukan musuh,"

Ujar Siang Cin.

"Eh, apakah orang2 Bu siang pay yang tertawan itu sudah kau bebaskan?"

Tiba2 Sebun Tio bu ingat pada salah satu tugas Siang Cin itu. Sambil menghela napas menyesal Siang Cin menggeleng, katanya.

"Belum, tempat tahanan mereka belum kutemukan. Selagi hendak kucari lebih lanjut, tahu2 aku kepergok beberapa musuh tangguh dan terjadi pertarungan sengit."

"Tentunya Siang heng berhasil menjatuhkan mereka?"

Ajar Sebun Tio bu. "Kalau tidak, masakah dapat bicara lagi dengan kalian di sini?"

Jawab Siang Cin dengan tertawa.

"Siapakah lawan Siang heng?"

Tanya Sebun Tio bu.

"Ada Suma Eng, orang keenam dari Tiang-hong pay dan orang ketujuhnya yang bersama Ni They lalu seorang lagi mengaku bernama Mo biancu Ciong Hu. Semuanya kubinasakan."

"Bagus,"

Kata Sebun Tio bu.

"Biasanya Tiang hong pay sok memandang rendah pihak lain, setelah dua di antara mereka mati terbunuh baru mereka tahu di kolong langit ini masih banyak orang kosen. Keparat Ciong Hu itupun pernah kebentrok denganku dahulu, tapi sebegitu jauh kami belum pernah bertemu lagi."

"Dan sekarang telah kutumpas seorang lawanmu yang tangguh, cara bagaimana kau akan berterima kasih padaku?"

Demikian Siang Cin berseloroh.

"Baik, bagaimana kalau hadiah tiga cewek cantik?"

Jawab Sebun Tio bu dengan memicingkan sebelah mata.

"Busyet!"

Seru Siang On dengan suara tertahan.

"Kau tahu, selamanya aku tidak gemar urusan perempuan, jangan kau jebloskan diriku."

"Eh, ya, bicara tentang cewek, aku menjadi teringat kepada puteri kesayangan Thi ciangbun dari Bu siang pay itu? Bagaimana, sudah kau temukan?"

Tanya Sebun Tio bu.

"Ya, memang sudah berhasil kubawa keluar."

"Sudah kaubawa keluar? Di mana orangnya? Memangnya kau sembunyikan?"

"Anak dara itu memang sudah ter gila2 kepada Khang Giok tek, mereka sudah hidup bersama sebagai suami isteri dan tidak ingin kembali lagi kepada ayahnya."

"Sialan! Kenapa ada anak perempuan yang tidak tahu malu begitu. Sia2 Thi Tok beng berusaha mati2an, tak tahunya anak dara itu lebih suka terjerumus ke dalam lumpur. Sungguh muka ayahnya telah tercoreng moreng."

"Itulah cinta, cinta memang buta ..... Tapi biarlah kita serahkan kepada kebijaksanaan Thi-ciangbun sendiri, kukira beliau akan membereskan urusan rumah tanggannya dengan baik, orang luar tidak pantas ikut campur."

Mereka lantas terdiam semua, suasana di gudang yang cukup luas itu menjadi hening, sampai suara langkah penjaga yang mondar mandir di luar juga bisa terdengar. Akhirnya Sebun Tio bu menjadi tidak sabar, ia tanya Le Tang.

"Le laute, kira2 waktu apa sekarang ini?"

Agaknya Le Tang memang seorang ahli menghitung cuaca, ia menengadah sejenak, lalu mengendus2 dengan hidungnya yang pesek, kemudian menjawab.

"Sndah hampir terang tanah, Sebun-tangkeh." Pada saat itulah, seperti menjawab pertanyaan Sebun Tio bu tadi, terdengarlah suara gemuruh dua kali, suara ledakan yang mengguncangkan di kejauhan dari arah Toa ho tin sana. Le Tang tertegun sejenak, tapi lantas bersorak tertahan, serunya.

"Itulah suara ledakan Liat yam-tan kita. Siang susiok, pasukan kita sudah mulai menggempur kemari."

Siang Cin mengangguk, tapi dia memberi tanda agar jangan bersuara keras2. Menyusul lantas terdengar pula suara gemuruh yang lebih keras, debu pasir gudang sama rontok karena guncangan ledakan itu. Mencorong sinar mata Sebun Tio bu, katanya girang.

"Hah, Bu siang pay benar2 mulai menggempur Toa ho-tin pada pagi hari ini. Hebat, sungguh hebat, perbawa mereka ini sanggup bertempur dengan pasukan resmi bentuk apapun. Dan sekarang, apalagi yang kita tunggu di sini?"

"Sabar dulu, Sebun tangkeh,"

Ucap Siang Cin dengan tenang dan tersenyum.

"Segera kita juga akan bergerak Sebentar bila pasukan Bu siang pay sudah menyerbu masuk Toa ho tin, hendaklah engkau pergi ke sana untuk menuntun mereka menggempur Ji ih hu melalui sebelah timur, yaitu melalui .hutan tempat kita menyusup kemari itu."

Sebun'Tio bu mengiakan dan siap2 untuk berangkat.

"Dan Le heng tinggal saja di sini bersamaku, kita akan mengawasi gerak gerik musuh, bilamana melihat mereka menggiring keluar tawanan orang2 kalian, dengan gerak kilat kita akan menerjang untuk menyelamatkan mereka dan membuat musuh kelabakan. Cuma tindakan kita ini sangat besar risikonya, mungkin harus mempertaruhkan nyawa, maka Le tang hendaknya hati2."

Le Tang membusungkan dada dan menjawab.

"Jangan kuatir, Siang susiok, pasti akan kulakukan tugasku dengan sekuat tenaga dan takkan memalukan Bu siang pay dan kehormatan Siang susiok."

"Bagus,"

Kata Siang Cin, lalu dipandangnya pula Loh Hou yang terluka itu, katanya.

"Loh-heng terluka, sebaiknya tetap istirahat saja di sini, setelah semuanya sudah beres akan kujemput kau ......."

"Tidak, Siang susiok,"

Sela Loh Hou dengan rasa penasaran.

"aku tidak mau mengeram di sini. Sedikit luka ini tiada artinya bagiku, aku masih sanggup, harap Siang susiok mengizinkan aku ikut serta .......

"

Siang Cin menatapnya dengan tajam, lalu berkata pula dengan ramah.

"Loh heng, semangat perjuanganmu sungguh sangat mengharukan aku, tapi engkau terluka. Aku diserahi tugas oleh Bu siang-pay memimpin kalian ke sini, maka aku harus menjaga keselamatanmu. Ketahuilah, hidup manusia tidak melulu untuk bertempur di medan tempur saja, tapi masih banyak pekerjaan lain yang lebih berarti. Kesetiaan dan keberanian seseorang tidak melulu ditandai dengan cucuran darah. Pertempuran yang akan datang, sekalipun kau tidak ikut serta, bagiku, bagi Bu siang pay, kau tetap sudah memenuhi kewajiban dan tidak perlu merasa malu atau menyesal. Tentunya Loh heng dapat memahami maksudku." "Tapi..... tapi, aku masih sanggup, Siang-susiok. Aku tidak mau mengeram di sini, aku ingin ikut Siang susiok ......."

Dalam pada itu, suara gemuruh ledakan bertambah kerap dan keras, gudang inipun terasa berguncang Dengan gelisah Loh Hou dan Le Tang memandang Siang Cin.

Sebun Tio bu juga tidak dapat memberi saran.

Setelah berpikir sejenak, akhirnya Siang Cin berkata.

"Baiklah, kau ikut, tapi harus hati2 dan menurut petunjuk."

Loh Hou kegirangan dan mengucapkan terima kasih.

"Hayolah kita berangkat,"

Seru Sebun Tio bu dengan suara tertahan.

"Kita menerobos keluar melalui jendela, harus hati2,"

Kata Siang Cin, berbareng ia terus tarik Loh Hou dan dilempar keluar melalui lubang jendela itu, menyusul Siang Cin sendiri juga menerobos keluar.

Di bawah jendela gudang saat itu ada dua penjaga berseragam kulit, mereka mendongak terkejut ketika mendengar sesuatu suara.

Tapi sebelum mereka sempat bertindak apa2, Siang Cin sudah menubruk tiba, kedua tangannya menabas ke kanan dan ke kiri, kontan leher kedua orang itu patah dan terguling.

Pada saat itu barulah Sebun Tio bu dan Le Tang menyusul tiba.

Le Tang mengangsurkan toya Loh Hou yang belum sempat dibawa tadi.

Sementara itu di jurusan Toa ho tin tampak terang benderang, api berkobar menjulang tinggi ke langit disertai suara gemuruh.

Waktu Siang Cin memandang sekeliling Ji ihhu, suasana tetap sunyi dan tiada setitik cahayapun, bahkan lampu yang menempel di dinding benteng sana juga dipadamkan, semuanya tenggelam dalam kegelapan.

Siang Cin dapat merasakan suasana yang tegang ini, jelas musuh di Ji ih hu telah siap siaga dan sedang menantikan datangnya badai serangan.

"Sekarang juga aku akan menyelundup keluar, Siang heng,"

Kata Sebun Tio bu.

"Nanti dulu,"

Kata Siang Cin.

"Tunggu isyarat serbuan Bu siang pay ........"

Mereka berempat sama berjongkok di kaki tembok gudang dan menunggu perkembangan lebih lanjut. Lama2 Sebun Tio bu menjadi tidak sabar, katanya dengan suara tertahan.

"Mengapa belum ada tanda, entah bagaimana perkembangan di luar sana? Sungguh tidak enak hanya menunggu saja di sini."

"Jangan gelisah, Tangkeh,"

Ujar Siang Cin sambil menepuk bahu kawan ini.

"Sebentar lagi pasti ada kabar, bila sudah begitu, mungkin tiada waktu lagi bagimu uutuk istirahat seperti sekarang ini."

"He, dengar, coba dengarkan!"

Mendadak Le Tang menegas. Mereka lantas pasang kuping, terdengar suara "tut tut"

Bunyi terompet kulit keong bergema di kejauhan sana, suaranya mengharukan, tapi juga membangkitkan semangat. Di tengah suara "tut tut"

Itu terseling pula suara ledakan keras yang tiada hentinya dan suara gemuruh lari be ribu2 pasukan berkuda. Itulah pasukan Bu siang pay dari padang rumput. Menyusul dengan bergemanya suara "tut tut"

Tadi, serentak berpuluh jalur berapi menjulang tinggi ke langit dan suara gemuruh pasukan besarpun menuju ke arah Ji ih hu sini.

Le Tang dan Loh Hou sangat bersemangat, keduanya berjingkrak girang dan siap menyambut kedatangan pasukan Bu siang pay itu.

Dengan tenang Siang Cin lantas berkata.

"Tangkeh, sekarang bolehlah kita mulai bergerak."

Tanpa ayal lagi Sebun Tio bu memberi salam terus melayang pergi dan menghilang dalam kegelapan.

"Dan selanjutnya adalah tugas kita untuk beraksi,"

Kata Siang Cin pula. Dengan menggenggam toyanya Loh Hou siap2 untuk bertindak, serunya.

"Siang susiok, kami tidak gentar."

Lebih dulu Siang Cin mengawasi sekeliling sana lalu berkata.

"Kita akan merunduk melalui gunung gunungan sana dan sembunyi dulu, hati2 supaya jejak kita tidak ketahuan musuh."

Setelah memberi pesan, segera Siang Cin mendahului melayang ke sana.

Gunung2an itu kira2 berjarak lima puluhan langkah dari undak2an batu di pintu gerbang Kim bin tian.

Setiba di samping gunung2an itu, Siang Cin memberi tanda agar kedua kawannya mendekam ke bawah la sendiri lantas mengintai ke balik gunung2an ini, benar juga, diantara lekukan gunung2an ini, ada lubang gua dan kelihatan wajah manusia yang sedang mengintip keluar dengan gelisah.

Jelas di dalam gunung-gunungan ini ada jalan tembus di bawah tanah.

Sementara itu ufuk timur sudah mulai kelihatan larikan putih, fajar sudah menyingsing, cuma gumpalan awan tampak tebal memenuhi langit, suasana menjadi remang2, anginpun meniup kencang.

agaknya akan turun salju pula.

Setelah berpikir.

Siang Cin mengambil keputusan akan menyerempet bahaya sekali lagi.

Ia coba memeriksa dengan cermat, akhirnya dapat diketemukan jalan masuk ke gunung2an itu.

Jalan masuk itu terdiri dari sepotong batu yang dapat diangkat, di bawah gunung2an itu, kini ada seorang sedang menggeser batu penutup itu dan menongolkan kepalanya untuk menghirup hawa segar.

Secepat kilat Siang Cin menubruk maju dan mencengkeram kuduk orang itu, menyusul leher orang itu dipencet pula dengan tangan lain.

Hanya sekejap saja, orang itu tak dapat lagi menghirup hawa segar untuk selamanya.

Sambil mengangkat mayat orang itu, Siang Cin terus menerobos ke dalam gunung2an.

Jalan lorong di bawah sangat sempit dan cekak, cuma beberapa meter panjangnya.

Pada ujung lorong sana ada ruangan bulat kecil dan cukup dibuat tempat istirahat beberapa orang, dari ruangan bulat ini masih ada lorong2 sempit lain yang menembus ke tempat lain.

Mungkin di sinilah tempat pengintaian dan terdapat alat2 tanda bahaya yang segera dapat dibunyikan bilamana pengintai di sini melihat sesuatu yang tidak beres.

Siang Cin membanting mayat itu ke tanah hingga menimbulkan suara gedebug.

Maka terdengarlah seorang mengomel dari lorong sana.

"Ong Moa cu, keparat kau, orang lagi ngantuk, kau ganggu dengan suara keras begitu, memangnya kau terlalu iseng dan minta mampus?"

Sekilas pandang Siang Cin dapat melihat ada tujuh lorong yang menembus ke ruangan bulat, kecuali sebuah lorong yang dilaluinya barusan, keenam lorong lain masing2 ada seorang sedang berbaring dengan kedua kaki selonjor ke jurusan sini.

Dengan gerakan cepat dan cekatan, dalam sekejap saja Siang Cin sudah berhasil menyeret keluar dua orang di antaranya dan dihabisi.

Keempat orang lainnya mendengar sesuatu yang tidak beres, tapi sebelum mereka sempat berbuat apa2, Siang Cin berhasil menutuk Hiat to mereka dari angin pukulan jarak jauh.

Tanpa bersuara keempat orang itu roboh terkulai di tempat masing2, semuanya tertutuk Hiat to lumpuh dan bisunya.

Dengan bengis lalu Siang Cin berkata.

"Nah kawan, ke enam temanmu sudah menyusul kakek moyangnya di akhirat, tertinggal kau sendiri yang hidup. rebahlah kau di situ dan akan kutanyai kau, bila kau mau bekerja sama dengan baik, jiwamu akan kuampuni, kalau tidak, kawan2mu adalah contohnya."

Baru sekarang orang2 yang tertutuk itu menyadari apa yang terjadi, diam2 merekapun bersyukur jiwa mereka belum lagi melayang.

Karena mereka masing2 rebah di lorong sendiri2, lorong batu sempit, hakikatnya mereka tidak dapat melihat teman di sebelahnya, apalagi hendak saling memberi isyarat maka mereka sama2 mengira cuma tinggal dirinya sendiri yang hidup, selebihnya sudah terbunuh, keempat orang itu sama2 merasa beruntung bagi dirinya sendiri.

Demi menyelamatkan nyawa sendiri, andaikan mengaku apa yang diketahuinya juga takkan ketahuan.

Begitulah, dalam waktu singkat Siang Cin telah memanggil masuk Le Tang dan Loh Hou.

Setiba di ruangan bulat itu, Siang Cin menyuruh mereka masing2 bertiarap di salah satu lorong yang kosong itu.

Habis itu Siang Cin menyeret keluar salah seorang yang telah tertutuk tadi, lebih dulu ia gampar muka orang dua tiga kali hingga mata orang itu ber kunang2 dan kepala puling tujuh keliling.

Hiat-to yang tertutuk tadipun serentak terbuka.

Dengan darah mengucur keluar dari ujung mulut dan muka bengkak, cepat orang itu berlutut di depan Siang Cin dan memohon ampun.

"Pasukan Bu siang pay sudah menyerbu ke Toa ho tin, kau tahu tidak kejadian ini?"

Tanya Siang Cin dengan kereng. Orang berseragam kulit itu menyembah berulang2, jawabnya dengan gemetar.

"Tahu, tahu, sebelum Toa ho tin digempur, ber ulang2 pimpinan sudah mendapat laporan yang tidak menguntungkan, maka sejak kemarin Ji ih hu sudah dijadikan pertahanan terakhir dan siap menghadapi datangnya musuh ...." "Bagaimana keadaan di Toa ho tin sana, ceritakan menurut apa yang diketahui olehmu?"

Bentak Siang Cin. Dengan ter gagap2 orang itu menjawab.

"Pihak Bu siang pay sedang menggempur Toa ho tin dengan senjata api, kota itu sudah menjadi lautan api, menurut ......menurut teman yang bertugas kurir garis depan, katanya pasukan berkuda Bu siang pay telah membanjir ke dalam kota dan pertahanan di Toa ho tin telah mulai runtuh dan sukar dipertahankan lagi. Konon senjata api , pihak Bu siang pay sangat lihay dan keji, ada yang berbentuk bola, sekali dilemparkan lantas meledak dan mengobarkan api, mereka juga menggunakan Iabah2 beracun, menurut laporan terakhir, katanya barisan pelopor Bu siang pay sudah menyerbu masuk Toa ho tin, beberapa garis pertahanan kami di Toa ho tin telah dihancurkan oleh senjata api musuh ...."

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar