Bara Naga Jilid 16

Jilid 16

Sambil mendengus si hidung pesek menghardik bengis.

"Siapa kau?" Melotot mata Sebun Tio bu, serunya gusar.

"Memangnya kau keparat ini boleh bertanya seenak udelmu? Aku berdiri di sini, berjajar dengan anak buah Toa to kau kalian, mengenakan pakaian pinjaman kalian lagi. Keparat, coba katakan siapa sebetulnya aku ini?"

Seperti disiram air dingin si hidung pesek tersentak mundur, sikapnya yang garang tadi seketika kuncup, dengan kebingungan dia menoleh ke arah Kek losam. Lekas Kek losam menghampiri, katanya dengan prihatin.

"Bi thaubak, kau harus hati2 menjaga batok kepalamu, saudara ini adalah pentolan Ji ih hu jagoan yang paling di sayang oleh Jan kong, bahwa mereka mengenakan pakaian kita hanya untuk mengelabui orang, tujuannya adalah mencari berita tentang keadaan pihak Bu siang pay. Baru saja mereka kembali dari menunaikan tugas, mereka sama mengumpat, soalnya lima orang yang diutus ke sana kini tinggal dua orang saja yang kembali. Nah itulah mereka, kalian sudah melihatnya, tiga orang temannya sudah menghadap Giam lo ong. dan kau masih bertingkah di depan orang, apa kau sengaja mencari penyakit?"

Kek losam ditariknya ke pinggir, lalu si hidung pesek berkata dengan suara tertahan.

"Ucapannya memang masuk diakal, Kek losam, herannya kenapa mereka tidak menggunakan jalan rahasia itu tapi malah main2 disini mencari kesulitan?"

Kek losam menarik muka, katanya.

"Bi thaubak, bicara soal kedudukan di dalam Kau kita memang kau lebih tinggi, tapi soal pengalaman, kau Bi An bukan apa2 bagiku, usiaku juga lebih tua. Coba kau pikir, dengan mengenakan pakaian kita, kalau tidak pulang lewat daerah kekuasaan kita sendiri, lalu mereka akan lewat mana? Meski mereka tahu kode rahasia yang digunakan di mana2, namun seragam mereka jelas berbeda, memangnya orang tidak menaruh curiga terhadap mereka? Apalagi Toa-ho tin boleh dikatakan sudah terjaga ketat, setiap langkah berbahaya, apa betul ada jalan rahasia khusus seperti apa yang kau maksudkan, itupun urusan pihak atas, memangnya kau juga harus diberi penjelasan? Lalu jalan rahasia macam apa lagi? Kan bisa bocor, bukan mustahil pihak Bu siang pay pun akan tahu rahasia ini .....

"

Si hidung pesek yang bernama Bi An menggosok telapak tangan, dia memang sudah percaya akan uraian Kek losam, tapi dia masih belum terima, katanya.

"Kek losam, masih ada yang belum kumengerti, bahwa mereka adalah orang dari Ji ih hu, kenapa kau yang dicari mereka?"

Kek losam mendengus gusar, semprotnya.

"Apa? Memangnya aku Kek Sam ini keroco, tidak setimpal mengikat hubungan dengan mereka? Hanya Thaubak macam kau ini yang berbobot bersahabat dengan mereka?"

"E eh, memangnya kenapa kau ini?"

Lekas Bi An menariknya.

"aku hanya tanya sambil lalu saja, kenapa harus naik pitam? Sedikitnya kau juga harus pikirkan kepentinganku, kan aku harus memberi laporan pada atasan, suara sempritan tadi juga sudah kau dengar, pihak atas sudah tahu adanya kejadian, bila aku tidak bisa memberi laporan lengkap dan jelas, coba hukuman apa yang akan menimpa diriku?"

Melihat mereka bisik2 tak habis2. Kin Jin yang berada di belakang segera menghampiri, katanya dengan sikap gelisah.

"Losam, Toa ah ko dari Ji ih hu marah2, dia suruh kutanyakan kalian apa maksud kalian sebenarnya, apakah sengaja hendak mempersulit kerja mereka?" Belum Kek Sam menjawab, Bi An cepat berkata.

"Lote, sukalah kau memberitahukan, katakan kami hanya tanya2 sambil lalu, tiada maksud apa2, sekarang kalian boleh pergi, kami tidak ada maksud menahan"

Lalu dia angkat golok tiga kali serta diputar satu lingkaran, maka orang2 Toa to kau yang siaga sejak tadi segera mengundurkan diri.

Di atas loteng, di sekeliling tempat itu serempak terdengar suara daun jendela ditutup, tidak ada suara menggerutu, pedang golok diletakkan, busur yang sudah terpasang panah juga diturunkan.

Dengan sikap kereng Sebun Tio bu lantas menghampiri, katanya.

"Kek Sam, dia sudah tanya belum? Apa kami hendak di tahan dan diadukan ke Ji ih-hu? Atau digusur ke hadapan Han mo siang kiu?"

Sudah tentu semakin mengkeret nyali Bi An mendengar omongan ini, kini dia lebih yakin bahwa beberapa orang ini memang jago2 lihay dari Ji-ih hu, kalau tidak masa berani bersikap garang seperti ini.

Siang Cin yang sejak tadi diam saja kini ikut bicara juga, malah sikapnya lebih meyakinkan lagi.

"Kalian masih cerewet apa dengan dia, sampai sekarang orang kita belum juga masuk kemari, kalau terlambat siapa yang akan di marahi Jan kong nanti? Kiau Hiong dan lain2 juga sedang menunggu"

Lekas Sebun Tio bu berlagak gelisah, katanya.

"Ya Toako, urusan sudah selesai, hanya keparat2 di sini yang bikin ribut ... ..."

Ter sipu2 Bi An menjura, katanya.

"Harap Toa-ah ko maafkan kepicikan hamba, maklumlah menjalankan tugas tidak boleh lalai, tentunya Toa ah-ko juga maklum, sukalah memberi kelonggaran untuk kali ini."

Sebun Tio bu melirik hina, bentaknya.

"Lekas suruh orangmu menyambut kawan kami itu"

Bi An seperti tersadar, lekas dia mengulap ke belakang seraya memaki.

"Gui poan cu, Siau Ian bik, lekas kalian sambut kedua Toako itu, kenapa melongo saja melihat tontonan apa?"

Dua orang yang disebut namanya segera tampil dari barisan, tanpa diperintah lagi mereka lari ke sana memberi petunjuk kepada Le Tang dan Loh Hou yang sedang kelabakan mencari jalan ke sini.

"Bi taubak"

Ucap Sebun Tio bu tidak sabar.

"tanah lapang di depan ini adalah daerah kekuasaan kalian, perangkap di sini juga kalian yang mengaturnya, kau sendiri apal tidak akan seluk beluk di sini? Maksudku dari arah mana boleh lewat dan disebelah mana yang terlarang?"

Bi An unjuk tawa, katanya.

"Toa ah ko, bicara terus terang, tempat ini dikerjakan bersama dengan orang2 Hek jiu tong, keadaan seluruhnya aku sendiri kurang jelas, tapi bagian yang tidak berbahaya dapat kutunjukkan. Tentunya engkau juga tahu, kecuali gantolan baja, jala sutera dan tanduk menjangan yang dapat melukai orang atau merintangi serbuan musuh, yang lain2 adalah benda2 mati, asal sedikit hati2, pasti takkan terjadi apa2."

Sekilas dia melirik Sebun Tio bu, lalu menyambung dengan lagak sok tahu.

"Tapi bila semua perangkap itu digerakkan, ditambah tenaga manusia kita yang bersembunyi diberbagai tempat, bila musuh berani terjang kemari, haha, itu berarti mereka menerjang ke neraka, maklumlah, karena kekuatan perangkap yang akan digerakkan itu terlampau dahsyat."

Sebun Tio bu berkata dengan tidak sabar.

"Bi-thaubak, se akan2 kau ini tahu betapa besar kekuatan perangkap2 itu?"

Bi An menyengir kikuk, katanya.

"Ah, hamba memang tidak tahu persis, tapi ....tapi apa yang hamba uraikan rasanya takkan selisih jauh dengan keadaan sebenarnya."

Dalam pada itu Loh Hou dan Le Tang sudah berhasil menyusuri lapangan yang berbahaya itu meski dengan hati kebat kebit dan mandi keringat.

Melihat kedua orang ini berambut panjang terurai di pundak, Bi An bersuara heran dan menyatakan rasa sangsinya.

Cepat Sebun Tio bu pura2 mendamperat.

"Tolol, kalau mereka tidak menyamar begini, cara bagaimana mereka dapat menyusup ke Bu siang pay untuk mencari berita? Hayolah, sekarang lekas kita berangkat, jangan buang2 waktu untuk mengobrol tugas lebih penting."

Lalu ia mengangkat tangan sebagai tanda memberi salam kepada Bi An, segera ia membawa Le Tang dan Loh Huo serta Ke Sam melangkah ke arah Siang Cin sana.

Diam2 Kin Jin tertawa geli, dengan membusungkan dada ia lantas ikut di belakang mereka.

Ber turut2 mereka masuk ke ruangan loteng, baru saja Kin Jin menutup pintu, serentak Ke Sam berlutut sambil rneratap.

"Mohon betas kasihan tuan2, janganlah kalian meninggalkan hamba, betapapun hamba harus diikutkan bersama kalian, kalau tidak, jiwa hamba pasti akan melayang di sini ...."

Siang Cin membangunkannya dengan tertawa katanya.

"Jangan kuatir, jasamu tidak kecil, apalagi sudah kujanjikan akan mencarikan jalan hidup bagimu, apa yang dikatakan Naga Kuning tak pernah dijilat kembali."

"Hah, jadi engkau si Naga Kuning Siang . .... Siang toaya?"

Seru Ke Sam dengan terkesiap.

"Wah, jika demikian, hamba lebih2 harus ikut serta bersama kalian."

"Sekarang kau tidak dapat ikut kami,"

Sela Kin Jin.

"Kami masih harus menerjang ke Ji ih hu."

Ke Sam tampak putus asa, keluhnya.

"Wah, jika demikian, jelas jiwa hamba tak ....tak tertolong lagi."

"Tidak, kau takkan mati,"

Kata Siang Cin.

"Loteng ini kan ada lagi langit2nya, boleh kau sembunyi di situ, besok pagi keselamatanmu tidak perlu disangsikan lagi."

"Mak ....maksud Siang toaya ...

"

Dengan bingung Ke Sam memandang Siang Cin dan mohon penjelasan.

"Besok pagi2 pasukan berkuda Bu Siang pay akan menyerbu ke Toa ho tin sini,"

Tutur Siang Cin.

"Tapi ....tapi anak buah yang tinggal di loteng ini sebentar lagi akan pulang, bila mereka mengetahui kejadian di luar sana ...." Belum habis ucapan Ke Sam, mendadak Bebun Tio bu mendesis pelahan, segera Siang Cin juga mendengar suara langkah orang di luar, dari suaranya yang riuh mungkin ada berpuluh orang banyaknya.

"Me ....mereka sudah pulang,"

Ke Sam menjadi kelabakan dan tampak tegang.

"Kenapa mesti takut, kan sudah dalam dugaan?"

Ujar Siang Cin dengan tertawa.

Dalam pada itu suara berisik orang bicara kedengaran sudah mendekat, segera pintu didorong orang, serombongan lelaki berbaju biru terus membanjir masuk.

Begitu masuk, serentak mereka menerjang ke atas loteng, ada sebagian menuju ke kamar samping semuanya tampak lelah dan kotor sambil mengomel dan menggerutu be ramai2 mereka mencari air minum sehingga tiada yang memperhatikan malaikat elmaut sedang menantikan mereka di belakang pintu.

Sudah barang tentu, dengan mudah dan singkat rombongan orang yang naik ke atas itu disikat habis oleh Siang Cin.

Sisanya di serambi bawah juga di bereskan oleh Loh Hou dan Le Tang.

Sebun Tio bu mengebut baju sambil menggerutu katanya.

"Keparat, bikin kotor tangan melulu."

Habis berkata ia memberi tanda, mereka terus menyelinap keluar, dengan gesit seperti kucing mereka berlima terus menyusur ke depan dalam kegelapan.

Setiba di suatu pengkolan jalan, dengan cepat mereka mendekam ke bawah, dengan pandangan tajam mereka menyelidiki keadaan sekitarnya.

Dengan suara tertahan Sehun Tio bu bertanya.

"Siang heng, apakah kautahu jelas arah letak Ji ih hu?"

"Tidak jelas,"

Siang Cin menggeleng.

"Ji ih hu pasti sangat mentereng bangunannya, asalkan kita menemukan gedung yang paling megah di situ, pasti tidak keliru lagi,"

Bisik Kin Jin. Setelah berpikir sejenak, Siang Cin berkata.

"Betul juga. Sekarang kita membagi diri menjadi tiga kelompok dan maju ke depan secara ber turut2 aku sendiri membuka jalan, Sebun tangkeh dan Le Tang satu kelompok, Kin heng dan Loh Hong satu kelompok. Dengan cara begini jejak kita takkan terlalu menyolok, bila perlu juga mudah saling membantu."

Keempat orang mengangguk setuju, segera Siang Cin melayang ke depan, hanya sekali berkelebat saja ia sudah berada beberapa tombak jauhnya.

Sebun Tio bu menepuk pundak Le Tang, segera mereka menyusul ke sana.

Habis itu Kin Jin dan Loh Hou juga ikut melayang maju.

Siang Cin sudah melintasi sebuah jalan melintang, di sebelah sana ada sederetan barak pendek, di seberang barak sana adalah pepohonan yang lebat.

Di balik rumpun pohon yang rindang sana tampak bayangan sebuah gedung yang megah dengan kerlipan cahaya lampu yang tak terhitung banyaknya.

Selagi Siang Cin hendak berpaling untuk memberi tanda kepada kawan2nya, tiba2 didengarnya suara langkah orang di balik deretan barak sana, cepat ia menempelkan tubuhnya ke dinding.

Benar juga, segera muncul dua regu lelaki berbaju merah dengan senjata terhunus, barisan ronda ini kelihatan bertugas dengan tegang, dengan cepat barisan ronda inipun berlalu ke sana.

Baru saja Siang Cin merasa lega, tiba2 dilihatnya dari arah jalan melintang sana berlari datang pula satu barisan orang, sayup2 terdengar pula suara pernapasan binatang yang ter engah2.

Cukup cepat reaksi Siang Cin, begitu mendengar suara itu segera ia tahu gelagat jelek, suara napas itu jelas suara binatang buas sebangsa anjing pelacak yang ganas.

Karena waktunya sudah mendesak, Siang Cin tidak sempat berpikir panjang lagi, cepat ia bertepuk tangan dua kali, lalu menyongsong barisan ronda musuh yang datang itu.

Barisan ini berseragam ungu coklat, baik baju maupun celana terbuat dari kulit, berjumlah 20an orang.

Delapan orang di depan masing2 menuntun seekor anjing belang yang kekar sebesar anak sapi.

Kawanan anjing ini cukup menakutkan, kepala besar hidung pesek, mulut lebar dengan taringnya yang menyeringai, warna bulunya yang kuning hitam dan ber tutul2 dengan suaranya yang galak, tampaknya menjadi seperti harimau total.

Dari jauh kawanan anjing itu sudah mencium bau Siang Cin, seketika kawanan anjing itu meronta, delapan pasang mata terus mengincar ke arah Siang Cin, sambil menyalak buas.

Tampaknya orang2 berseragam baju kulit itupun sudah terlatih baik dan berpengalaman, begitu melihat tanda2 mencurigakan, serentak mereka memencarkan diri.

Tapi Siang Cin tidak memberi kesempatan pada mereka untuk bertindak, secepat kilat ia telah melayang tiba.

Salah seorang lelaki yang bermuka bengis dengan golok terhunus segera memapak maju sambil membacok, berbareng iapun berseru.

"Kepung dia!"

Kedelapan ekor anjing buas itupun segera dilepaskan, serentak kawanan anjing itu menggonggong dan menubruk maju.

Pada saat itu juga Siang Cin sudah berhasil mengerjai lelaki tadi, sedikit mengegos ia dapat menghindarkan bacokan musuh, berbareng telapak tangannya menabas, kontan lelaki itu mencelat dan tak bangun lagi.

Dengan gerak cepat Siang Cin merobohkan beberapa orang pula sebelum kawanan anjing itu menerjang tiba, Malahan seorang kena dipegangnya terus digunakan untuk menyerampang kawanan anjing buas itu, anjing pertama mengaing kesakitan dan terguling, menyusul Siang Cin terus menubruk maju, sekali tangannya menabas, dua ekor anjing menggeletak pula dengan perut pecah dan usus kedodoran.

Keruan orang2 berseragam baju kulit itu menjadi panik, seorang di antaranya berteriak.

"Lekas siarkan tanda bahaya, ada mata2 ......"

Belum habis ucapannya, orang inipun terguling didepak oleh Siang Cin.

Pada saat lain, seorang yang bermaksud menyergap Siang Cin dari belakang, tak terduga mendadak Siang Cin berputar dan sekali sodok, kontan orang inipun mencelat jauh dan sekarat.

Seketika terdengar jeritan orang dan gonggongan anjing yang ramai, tanpa ampun Siang Cin masih terus main babat, hanya dalam waktu singkat baik orang2 itu maupun kawanan anjing itu telah dibereskan seluruhnya.

Pada saat itu jnga baru terdengar di kejauhan ada suara langkah orang sedang berlari ke arah sini, agaknya peronda di sana telah merasakan sesuatu yang mencurigakan yang terjadi di sini.

Sekilas Siang Cin memandang kawanan anjing yang sudah menggeletak itu, cakar anjing2 itu tampak mengkilap.

Ia mendengus, cepat ia melayang kembali ke tempatnya tadi.

"Bagaimana, Siang heng?"

Terdengar suara Sebun Tio bu bertanya.

"Beres,"

Jawab Siang Cin.

"Di balik hutan sana pasti Ji ih hu."

Tetap terbagi menjadi tiga kelompok, segera mereka melintasi deretan barak tadi, hanya sekejap saja suara bentakan dari bayangan orang di tempat kekacauan tadi sudah ditinggalkan jauh.

Kini mereka sedang mendaki tebing yang menuju ke hutan sana.

Pada ketinggian tebing itu ada beberapa bagian yang mendekuk ke bawah, jelas di situlah pos penjagaan tersembunyi.

Siang Cin memberi tanda ke belakang, habis itu secepat terbang ia terus melayang ke atas, sekali melejit lagi di udara ia terus lenyap ke dalam hutan.

Tentu saja penjaga di tanah yang mendekuk itu terkesiap dan sama mendongak, mereka sama ragu2 barang apakah yang melayang lewat barusan.

Pada saat itu juga Sebun Tio bu dan Le Tang sudah menggeremet tiba, mendadak mereka menubruk para penjaga itu.

Ada tiga orang penjaga di sini, karena sedang melongo kesima oleh bayangan Siang Cin tadi, tahu2 mereka disergap sehingga sama sekali tidak sempat bersuara dan berkutik.

Pada saat yang sama Kin Jin dan Loh Hou juga telah membereskan pos penjaga yang lain.

Tempat di tepi hutan di bagian lebih atas sana juga ada sebuah pos jaga.

Agaknya ketiga orang disitu mendengar sesuatu yang tidak beres, satu di antaranya berteriak menegur.

"Siau loji, ada apa di sana?"

Sudah tentu tiada orang menyahut, keruan orang yang bertanya itu merinding sendiri. Belum lagi ia buka suara pula, tiba2 terdengar orang menjawab dengan suara tertahan.

"Ada makanan enak, kaupun perlu merasakan."

Cepat juga reaksi orang ini, begitu mendengar suara tidak beres, segera ia angkat golok terus membacok.

Dia memang cepat, tapi Siang Cin terlcbih cepat baru saja golok terangkat, kepalan Siang Cin sudah mampir dulu di dadanya, Kontan ia tumpah darah dan roboh terkulai.

Dua temannya menjadi kaget, sebelum mereka bertindak, yang satu sudah kepala pecah dan yang lain isi perut berhamburan.

Rupanya setelah Siang Cin memancing munculnya penjaga2 di depan tadi, lalu ia sendiri menyergap pos penjaga terakhir ini.

Selesai ia kerjai musuh, sementara itu Sebun Tio bu dan lain2 juga sudah memburu tiba.

"Beres?"

Tanya Kin Jin kepada Siang Cin.

"Kan tidak terlalu sulit?"

Jawab Siang Cin sambil tersenyum dan mengangguk.

"Langkah berikutnya kukira harus langsung menuju Ji ih hu,"

Ujar Sebun Tio bu.

"Ya, tampaknya bangunan megah di balik hutan sana itulah Ji ih hu."

Kata Siang Cin.

"Kita tetap terbagi menjadi tiga kelompok dan saling melindungi. Bertindaklah menurut keadaan."

Tanpa menunggu jawaban, segera Siang Cin mendahului melayang ke sana, hanya sekali berkelebat saja ia sudah lenyap ke dalam hutan.

Setiba di bawah pohon besar, dari balik pohon Siang Cin mengintai ke sana.

Terlihat bangunan di depan memang sangat besar dan luas.

Di depan gedung megah itu ada sebuah tugu yang terukir tiga huruf besar "Ji ih hu".

Ji ih hu ini berbentuk benteng segi empat, tampaknya sangat kukuh, letaknya di tanah yang tinggi dan menghadap Toa ho tin yang agak miring di bagian bawah.

Benteng ini jelas sangat strategis, untuk menjebol benteng demikian jelas tidak mudah kalau tidak terjadi banjir darah lebih dulu..Siang Cin berkerut kening melihat betapa kuatnya sarang musuh ini.

Sebun Tio bu dan lain2 juga sudah menyusul tiba.

Merekapun terkesiap melihat tcmpat yang luar biasa itu, Sebun Tio bu lantas menggerutu.

Setelah berpikir sejenak, Siang Cin berkata.

""Kalau bisa membobol pintu gerbang atau menjebol beberapa jendela, mungkin keadaan akan mendingan, tapi kalau harus menyerbu secara terbuka, apalagi cuma tenaga kita beberapa orang ini, jelas tak berguna."

"Siang heng,"

Kata Sebun Tio bu tiba2.

"apa sudah kau perhatikan, sekeliling tembok benteng Ji ih hu tiada nampak bayangan seorangpun."

"Ya, kukira penjaga mereka pasti bersembunyi pada tempat2 tertentu,"

Ujar Siang Cin. Sejenak kemudian ia menyambung pula.

"Jalan paling baik sekarang agaknya aku harus menyerempet bahaya sekali lagi. Biar akn sendiri menyusup ke dalam benteng diam2 akan kusiapkan sebuah tempat luang agar kalian dapat menyusup ke dalam. Habis itu kita akan memperhitungkan waktu penyerbuan Bu siang pay nanti, lalu kita berusaha membobol pintu untuk membantu serbuan mereka."

Karena tiada jalan lain, semua orang tentu saja menerima gagasan Siang Cin ini.

"Hendaknya Siangheng bertindak hati2, Ji ih hu bukan tempat sembarangan, lawan2 tangguh juga tak terhitung banyaknya,"

Demikian pesan Sebun Tio bu. "Aku tahu,"

Ujar Siang Cin dengan tersenyum dan penuh keyakinan.

Habis bicara, dengan gesit ia lantas melayang ke depan.

Begitu cepat gerakan Siang Cin, tugu berhuruf emas besar itu telah dilintasinya, dari situ ia terus melayang ke atas tembok benteng yang tingginya sekitar lima tombak itu.

Baru saja ia hinggap di jalan berlingkar di dalam tembok benteng, segera didengarnya suara "krek krek"

Yang pelahan, cepat ia mendekam. Hah, kiranya beberapa langkah di sebelah sana, sebotong batu lantai mendadak bergeser, menyusul dua kepala manusia lantas menongol dan celingukan kian kemari, seorang di antaranya mendesis pelahan.

"Keparat apakah kau lihat dengan jelas? Mana ada bayangan orang segala?"

Temannva tampak ragu2 sejenak, katanya.

"Dari balik jendela rahasia kulihat bayangan berkelebat, lantaran terlalu cepat, akupun tidak berani bilang .....

"

Orang pertama tadi mendengus, omelnya.

"Mungkin kau lihat setan."

Habis itu batu tadi lantas merapat kembali.

Maka selamatlah Siang Cin.

Segera turun dari tembok benteng dan melayang ke arah beberapa bangunan megah di tengah sana.

Kini Siang Cin sudah dapat memperkirakan keadaan seluruh bangunan Ji ih hu.

Tempat ini memang betul sebuah benteng persegi, di tengah2 ada tanah lapang, di situ ada tujuh bangunan bersusun, tampaknya ketujuh gedung itu berdiri sendiri, tapi satu dan lain sebenarnya dihubungkan dengan serambi panjang.

Antara loteng satu dan loteng yang lain juga dihubungi dengan jalan tembus.

Di sekeliling gedung2 ini ada kolam ikan, gunung2an buatan, bunga mekar dengan indahnya, Siang Cin langsung menuju ke gedung yang paling megah, diam2 iapun merancang tindakan apa yang akan dilakukannya.

Pikirnya.

"Hek jan kong yang mendiami Ji ih hu ini tampaknya tidak cuma tinggi Kungfunya, tapi juga sangat memperhatikan kenikmatan hidup se-hari2. Melulu dari bangunan bentengnya saja dapat diperkirakan dia pasti bukan sembarangan tokoh Kangouw."

Sembari berpikir, dengan cepat Siang Cin menyelinap ke balik gerombolan gunung2an palsu.

Sekelilingnya sangat gelap dan sunyi, tiada nampak seorang perondapun.

Sebagai seorang yang sudah belasan tahun berkecimpung di dunia Kangouw, Siang Cin sudah banyak menghadapi bahaya apapun.

Dia tahu, kesunyian yang dihadapinya ini bukan alamat baik.

Lawan jelas bukan orang bodoh, dalam suasana pertempuran begini mustahil tinggal adem ayem begini.

Yang pasti, tentu segala sesuatu telah diatur secara tersembunyi, dalam kegelapan pasti menanti perangkap2 maut yang setiap saat dapat menjebaknya.

Dari tempat sembunyinya Siang Cin coba meneliti sekitarnya dengan cermat, cukup lama juga, akhirnya dapatlah dia menemukan sesuatu permainan kecil yang menarik.

Maka tertawalah dia.

rupanya dilihatnya bahwa di tempat2 yang tak menyolok, antara satu dan lain telah digandeng dengan seutas tali sutera warna ungu.

Tempat yang dirintangi tali sutera itu justeru adalah tempat yang biasa dilalui orang pejalan malam, pada ujung tali sutera itu ada yang tertanam ke dalam tanah, ada yang menghilang di semak2 rumput, ada juga yang lenyap di celah2 gunung buatan.

Siang Cin tahu, bilamana tali sutera itu tersentuh, maka sedikitnya akan menimbulkan dua akibat.

Kalau tidak menimbulkan tanda bahaya, tentu akan menimbulkan bekerjanya alat perangkap.

Diam2 ia menghela napas lega, untung dia cukup cermat, kalau tidak, bukan mustahil akan menimbulkan malapetaka.

Setelah mengaso sejenak, mulailah Siang Cin beraksi pula.

Dengan hati2 ia menggremet ke depan, akhirnya ia sudah dekat dengan undak2an batu di depan gedung besar itu.

Sudah tentu ia tidak berani langsung menerjang ke dalam, maka ia berjongkok di bawah pagar serambi dan merunduk maju dengan pelahan.

Se konyong2 terdengar suara tindakan orang dari ujung serambi sana.

Seketika Siang Cin berhenti di tempat.

Diam2 ia memperhatikan arah datangnya suara.

Sejenak kemudian muncul dua sosok bayangan orang.

Kedua orang ini bertubuh tinggi besar, setengah baya.

Yang satu berwajah dingin, seorang lagi bermuka tirus, keduanya sama bungkam tanpa bersuara, dengan langkah cepat mereka lalu di tempat sembunyi Siang Cin dan menuju ke pintu gedung bertingkat di depan sana.

Siang Cin benar2 seorang cermat, dari gerak-gerik kedua orang itu serta cara mereka melangkah tanpa bersuara, akhirnya dapat diketahui pula oleh Siang Cin sesuatu yang menarik.

Rupanya lantai serambi panjang itu terdiri dari ubin dua warna, putih dan kelabu.

Anehnya langkah kedua orang tadi selalu berpijak pada ubin putih yang agak menonjol, sedangkan ubin kelabu yang agak ambles ke bawah sama sekali tidak disentuhnya.

Jelas ini bukan secara kebetulan saja.

Sementara itu.

kedua orang tadi sudah sampai di depan pintu, daun pintu itu sangat besar dan terbuat dari kayu Tho yang berat.

Kedua orang itu tidak mengetuk pintu, tapi pintu lantas terbuka sendiri, di balik pintu berdiri seorang lelaki kekar sedang membungkuk tubuh memberi hormat kepada kedua orang.

Sesudah pintu tertutup pula, segera Siang Cin memeras otak dan mulai mencari tahu sebab musababnya.

Kedua orang tadi berjalan tanpa bersuara, juga tidak memberikan sesuatu tanda rahasia apa2, tapi orang di balik pintu seperti sudah tahu siapa yang datang.

Mengapa bisa begini? Jawabnya cuma satu, yakni sepanjang perjalanan kedua orang itu, baik bangun tubuh dan wajah mereka sudah dapat diketahui oleh pesawat rahasia yang tepasang di tempat tersembunyi, dengan lain perkataan, yang datang ini kawan atau lawan sudah diketahui sebelum tiba di pintu sana.

Lalu berada di manakah alat rahasia itu dipasang? Benda apakah itu? Pelahan, sejengkal demi sejengkal Siang Cin terus menggremet maju dan memeriksanya dengan sangat teliti.

Akhirnya, hampir saja ia berteriak gembira.

Aha, kiranya permainan begini! Rupanya di bawah atap serambi panjang itu, pada setiap sepuluh langkah tentu bergantung sebuah lampu kaca yang besar.

Cahaya lampu sangat terang sehingga sepanjang serambi inipun terang benderang Sedangkan di sepanjang lankan (pagar) serambi, setiap pilar dan setiap belandar atap serambi, banyak terhias kepingan tembaga berbentuk bulat sebesar baskom.

Tembaga ini kuning mengkilap dan seperti diberi bergambar, kalau dipandang sepintas lalu akan disangka sebagai benda hiasan belaka.

Tempat kepingan tembaga kuning gilap itupun aneh, jarak dan urutannya tidak teratur, namun didasarkan pada sudut pantulan sinar yang dapat dicapai.

Jadi kepingan kuningan itu serupa sebuah cermin saja, asalkan ada orang lalu di bawahnya, bayangannya akan tercermin ke dalam kepingan tembaga itu terus dipantulkan ke arah kepingan tembaga yang lain, lalu dari kepingan tembaga berikutnya dipantulkan lagi lebih lanjut dan begitu seterusnya.

Dengan demikian, maka penjaga yang tersembunyi akan dapat mengetahui dengan jelas pendatang ini kawan atau lawan.

Siang Cin tersenyum memandangi kepingan tembaga yang terpaku di tepi jendela di atas loteng sana.

Ia sangat kagum kepada pencipta alat rahasia yang hebat ini, sungguh jenius si pencipta ini.

Cuma sayang, bakat yang sukar dicari itu bisa jadi akan hancur dalam semalam ini.

Selagi Siang Cin hendak mencari akal untuk maju ke sana, tiba2 terdengar pula suara orang berjalan di belakang, yaitu di balik gunung2an palsu tempat sembunyinya tadi, tahu2 dari sana muncul belasan bayangan orang, agaknya sedang mencari jejaknya dengan memeriksa tanah yang dilaluinya tadi.

Terdengar seorang di antaranya mengomel.

"Keparat, jelas2 ada bayangan orang berkelebat di sini, mengapa tidak kelihatan sekarang?"

"Jangan banyak curiga, mungkin matamu sudah lamur, tapi lagakmu seperti orang yang paling awas,"

Gerutu temannya.

"Ya, mana ada bayangan orang?"

Sambung yang lain.

"Bayangan setan saja tidak ada. Di depan Kin bing tian ( (istana kaca emas) terdapat tujuh genta dan 16 batang pipa pengintai, para penjaganya saja tidak melihat apa2, masa matamu lebih awas daripada puluhan orang lain?"

Begitulah setelah olok berolok, lalu orang2 itupun meninggalkan tempat itu dan lenyap dalam kegelapan.

Berdasarkan ucapan orang2 tadi, Siang Cin mulai men cari2 pula di halaman situ, benar juga ditemuinya belasan batang pipa yang terjulur ke arah yang ber beda2, pipa itu cuma menonjol beberapa senti di permukaan tanah dan entah menembus ke mana.

Mungkin inilah yang disebut pipa pengintai? Tadi Siang Cin tidak tahu ada pipa2 begini, tapi mengapa jejaknya belum diketahui musuh? Mungkin saking cepat gerakannya, alasan lain tidak ada.

Setelah berpikir sejenak, dengan kecepatan kilat Siang Cin melayang ke pipa pengintai yang terletak di ujung kiri sana.

Setiba di situ, secara iseng ia gunakan telapak tangannya untuk menutup mulut pipa, dengan santai ia menunggu reaksinya.

Benar juga, tidak seberapa lama terdengarlah suara gempar di bawah.

meski teraling oleh selapis tanah juga dapat didengar Siang Cin suara seorang sedang meraung gusar.

"Dirodok, siapa yang berani bergurau dengan menutup mata pipa? ......Poa Keng, coba naik sana, periksalah apa yang terjadi. Besar kemungkinan si keparat Co Liang .....

"

Terdengar suara seorang mengiakan dengan samar2, lalu di belakang pipa pengintai ini, permukaan tanah seluas tiga kaki mulai ber gerak2, dengan cepat tertampaklah celah2 lubang dan sebuah kepala lantas menongol keluar.

Belum lagi melihat jelas apa yang terdapat di luar, lebih dulu ia sudah mencaci maki.

"Hei, Co Liang, kau keparat, apakah kau cari mampus? Kaukira ini waktunya bergurau, mengapa kau tutup mata pipa? Jika terjadi sesuatu kepalamu bisa berpisah dengan tuanmu?!". Siang Cin tertawa.

"sret", sekali telapak tangannya terayun, kontan orang itu terkulai ke bawah tanpa mengeluarkan suara, tubuhnya terus terperosot jatuh ke bawah. Menyusul Siang Cin lantas menyusup juga ke dalam liang tanah itu. Liang di bawah tanah itu luasnya kira2 dua tombak dan diberi tangga tanah ke lubang liang, penutup lubang liangnya terbuat dari batu, di tepi tangga tanah itu ada sebuah lubang kecil, sebuah pipa besi menembus masuk dari situ, seorang tampak memicingkan sebelah mata sedang mengintai ke atas. Selain itu ada pula belasan orang sedang bertiduran seperti babi mampus. Orang yang dihantam mati oleh Siang Cin tadi terperosot jatuh ke bawah dan meringkuk di samping tangga, namun teman2nya tiada yang ambil pusing, seorang yang berhidung besar malah mendamperat.

"Keparat, Poa Kong, barangkali kau sudah terlalu banyak menenggak air kencing makanya tangga setinggi itu saja tidak mampu mendakinya, biarlah kau mampus terjatuh."

Dengan pelahan Siang Cin menutup lubang itu, lalu melangkah turun dengan lagak kawan sendiri, katanya dengan tersenyum.

"Memang, dia benar2 telah mampus terjatuh."

Si hidung besar hanya mendengus saja sambil mengomel.

"Biarkan mampus, peduli amat!"

Tapi mendadak ia terus berbangkit dan memandang Siang Cin dengan terbelalak, sejenak kemudian baru menegur.

"Kau . ...kau siapa?"

"Kudatang untuk mencabut nyawa anjing kalian!"

Jawab Siang Cin dengan tak acuh. Seketika si hidung besar seperti disengat tawon, ia melompat bangun sambil berteriak.

"Ada mata2 musuh!"

Dengan tenang Siang Cin mengangguk, ia membalik tubuh, sekali hantam ia bikin orang yang sedang mengintai itu terkapar, menyusul si hidung besar juga terpental kena ditendang olehnya.

Hanya sekejap saja belasan orang telah dibinasakan seluruhnya.

Tanpa ayal Siang Cin membelejeti seragam kulit salah seorang dan dipakainya sendiri, lalu ia keluar dari lubang itu, Setiba di ujung serambi tadi dengan berlenggang lenggok ia terus menuju ke pintu gerbang sana melalui ubin putih tadi.

Ketika hampir sampai di depan pintu, tanpa diminta pelahan2 daun pintu lantas terbuka.

Seorang lelaki berusia tiga puluhan menatapnya dengan dingin serta menegur dengan ketus.

"Ada urusan apa, saudara?"

Siang Cin balas menatap dengan tidak kurang dinginnya, jawabnya dengan nada galak.

"Ada berita pertempuran penting harus dilaporkan!"

Orang itu mengamat amati Siang Cin sejenak, katanya pula.

"Saat ini Jan kong sedang rapat dengan para pimpinan, mungkin tiada waktu menerima kau. Pula, mana kaupunya Ji ih long (lencana)?"

"

Seketika jantung Siang Cin berdetak, tapi lahirnya ia tetap tenang2 saja, ia malahan berlagak kurang senang dan menjawab.

"Apakah tanpa Ji ih long aku dapat masuk ke sini? Masa saudara mengira aku ini palsu?"

"Aku tidak peduli kau tulen atau palsu,"

Jengek orang itu.

"Yang penting peraturan harus kita pegang teguh. Tanpa Ji ih leng, maaf kecuali Jan kong sendiri, siapapun dilarang masuk."

Diam2 Siang Cin mengeluh, tapi di mulut ia tetap keras, katanya.

"Saudara, hendaklah ingat, ini urusan maha penting, jika ada persoalan, kau harus bertanggung jawab."

Orang itu melirik Siang Cin sekejap, katanya kemudian.

"Tapi kalau mata2 musuh yang masuk, tanggung jawab ini lebih2 tak dapat kupikul. Pokok nya Ji ih leng harus kau perlihatkan padaku."

Siang Ciu pura2 menunduk dengan lagak sukar untuk menjelaskan persoalannya, katanya kemudian.

"Toako, bicara terus terang, Ji ih leng tidak ku bawa saat ini, soalnya .......

"

"Habis siapa kau?"

Jengek orang itu. Siang Cin menggeser maju selangkah. lalu bisiknya dengan suara tertahan.

"Terus terang, tadi kami datang berdua. Tapi temanku itu ...., Ai, aku menjadi sukar untuk bicara. Soalnya dia ada main dengan si Melati di gedung sebelah itu, tapi untuk kesana kan juga diperlukan Ji ih leng, maka terpaksa kupinjamkan Ji ih lengku kepadanya. Eh, Toako, demi kepentingan teman, kan pantas kalau kita berkorban .....

"

"Si Melati?"

Demikian lelaki itu mengulang nama itu dengan ragu.

"Ya, Melati, itulah, pelayan genit Kiu ih thay (selir kesembilan) yang memang manis itu."

"Di gedung yang mana?"

Tanya orang itu pula dengan menarik muka.

"Itu,"

Sekenanya Siang Cin menuding ke belakang. Orang itu mengamat amati Siang Cin pula, lalu bertanya dengan bengis.

"Kau anak buah siapa?"

"Gui Kong, Gui toako,"

Jawab Siang Cin tanpa pikir.

"Gui Kong?"

Orang itu mengulang pula nama itu. Siang Cin pura2 menghela napas kesal, katanya.

"Ya, Gui toako itulah yang ditugaskan mencari berita, di bawah pimpinannya, anggota regu kami benar2 kenyang makian, maklumlah, wataknya keras dan bicaranya kasar ....."

Selagi orang masih ragu2, cepat Siang Cin menambahkan pula.

"Toako, tolonglah, urusan kawan kita ini jangan kau katakan kepada orang lain, bilamana sampai diusut, tentu kawanku itu bisa celaka, bahkan aku sendiripun akan ikut kena getahnya."

Akhirnya orang itu mengangguk dan berkata.

"Baiklah, kuberi kelonggaran sekali ini, setelah masuk nanti jangan kau sembarangan menerobos, di atas loteng ada rapat, kau harus melihat gelagat."

Begitulah Siang Cin lantas masuk ke dalam gedung megah itu.

Ia rada kesima melihat ruangan itu sedemikian luasnya dengan macam2 perabotnya yang gemilapan, lantainya diberi permadani tebal, ada sebuah meja panjang di tengah ruangan dengan barisan kursinya yang indah.

Dinding sekeliling dihiasi lukisan dengan bingkai emas, langit2 diberi ukiran Liong dan Hong yang sangat hidup tampaknya.

Belasan lampu kristal menyorotkan cahayanya yang gemilang.

sungguh suatu ruangan pendopo yang indah dan megah.

Siang Cin memandang sekelilingnya sejenak, lalu mulai melangkah ke sebuah jalan tembus samping berdekatan dengan tangga.

Baru saja ia hampir lewat, tahu2 sesosok bayangan orang menuruni tangga batu itu tanpa bersuara.

Dengan kepala tertunduk Siang Cin bermaksud percepat langkahnya agar tidak menimbulkan kerewelan lagi.

Tak tecduga mendadak suara nyaring dingin seorang telah membentaknya.

"Berhenti, kau!"

Siang Cin pura2 tidak mendengar dan melangkah maju pula, tapi segera terendus bau harum, suara nyaring garang tadi sudah berkumandang pula, di samping telinganya.

"Kubilang berhenti! Kaudengar tidak?"

Terpaksa Siang Cin berhenti dan berpaling, ia menjadi terkejut.

Kiranya orang yang berdiri di depannya adalah seorang perempuan berumur tiga puluhan, ia kenal perempuan ini pernah bergebrak dengan dia di Pau hou ceng tempo hari, yaitu Lo sat li Hek kwa hu, si janda hitam, adik perempuan tertua Sok lian su coat dari Pek hoa kok yang sudah janda itu.

Sedapatnya Siang Cin bersikap tenang, ia pandang orang dan diam2 berdoa semoga macan betina yang terkenal cantik tapi ganas ini tidak mengenalnya lagi, kalau tidak perjalanannya ini pasti akan sia2 belaka.

Lo sat li mengamat amati Siang Cin, wajahnya yang cukup cantik itu sedingin es, selang sejenak baru mendengus.

"Kau hendak ke mana? Kukira tempat ini boleh sembarangan berkeliaran bagimu?" "O, Toasoh ini .....

"

"Sialan, siapa Toasohmu?"

Damperat Lo sat li dengan melotot.

"O, ya, Toaci ini ........"cepat Siang Cin ganti panggilan. Tapi kembali Lo sat li mngomel dengan marah2.

"Persetan, siapa pula Toacimu?!"

Untuk sejenak Siang Cin melengak, tapi segera ia paham kehendak orang, cepat ia berucap pula.

"Ya, ya, nona ..... nona."

Baru sekarang air muka Lo sat li tampak berubah senang, lalu mendengus pula.

"Pertanyaanku tadi belum lagi kau jawab."

Cepat Siang Cin menyambung.

"O, ya. Cayhe diperintahkan Gui toako agar melaporkan berita pertempuran. Konon Jan loyacu sedang rapat, maka Cayhe tidak berani naik ke atas dan terpaksa mencari suatu tempat istirahat dulu "

"Cari tempat istirahat?"

Omel Lo sat li dengan mengerut kening.

"Tahukah kau siapa yang tinggal di kamar serambi sana?"

"O, Caybe tidak tahu,"

Jawab Siang Cin dengan lagak gugup.

"Di sana tempat tinggalku bersama nona Bwe, masa boleh sembarangan dibuat keliaran orang macam kau?"

Jengek Lo sat li pula.

"Untung kulihat, kalau tidak, lalu bagaimana jadinya bila dilihat orang lain?"

"Ya, sesungguhnya Cayhe memang tidak tahu, mohon nona memberi maaf,"

Kata Siang Cin dengan memberi hormat. Kembali Lo sat li mendengus, lalu bertanya.

"Siapa namamu?"

"Go Ji,"

Jawab Siang Cin pelahan.

"Go Ji""

Lo sat li mengulang nama itu sambil mengernyitkan kening. Kembali ia pandang Siang Cin lekat2, sampai lama barulah ia bergumam.

"Tampaknya seperti sudah kenal, cuma lupa entah di mana?"

Siang Cin menunduk lebih rendah lagi, diam2 ia berdoa semoga orang tidak ingat kejadian tempo hari. Diam2 iapun siap siaga, bila perlu segera lawan akan dirobohkan lebih dulu.

"Eh, Go Ji, tampaknya pernah kulihat kau? Apakah kau ingat pernah bertemu denganku sebelum ini!"

Tanya Lo sat li. Cepat Siang Cin menjawab.

"Mungkin dalam sesuatu pertemuan di sini. Akhir2 ini Cayhe selalu dinas luar. Situasi pertempuran cukup genting, Cayhe sendiri kuatir entah bagaimana kesudahannya nanti .....

""

"Masa kau kuatir, sudah tentu kita pasti menang,"

Ujar Lo sat li penuh keyakinan.

"Bu siang pay mengerahkan pasukannya ke tempat jauh, ini jelas tidak menguntungkan mereka. Di Ce ciok giam mereka sudah mengalami kerugian besar, dari Ceciok giam ke sini masih banyak rintangan dan jebakan, mungkin sebelum tiba di Toa ho tin ini pasukan Bu siang pay sudah dihancur leburkan pasukan kita."

"Perkiraan nona pasti tidak jauh dari kenyataan, semoga dalam waktu singkat musuh dapat kita hancurkan,"

Tukas Siang Cin untuk membesarkan hati orang. Mendadak Lo sat li menatap Siang Cin lekat2, lalu bertanya.

"Eh, Go Ji, kau tahu siapa diriku!"

Siang Cin berlagak seperti kikuk, jawabnya.

"Cayhe . ti ... tidak tahu."

"Hm, masa tidak tahu,"

Jengek Lo sat li.

"Aku bernama Giam Ciat, adik perempuan To hay long Giam Ciang, itu tokoh utama Sok lian su coat dari Pek hoa kok, orang memberi julukan Lo sat li padaku."

"Dan alias Hek kwa hu (si janda hitam),"

Demikian batin Siang Cin, sudah tentu tak diucapkannya, sebaliknya ia malah menyanjung.

"Ya, nama harum nona sudah lama kudengar, sungguh beruntung sekarang dapat bertemu dengan nona yang cantik dan anggun."

Lo sat li tertawa senang, tapi tidak urung ia pura2 mengomel "Ah, tampaknya mulutmu juga pintar mengumpak. Eh rapat mereka pasti akan berlangsung lama, tidak leluasa kita berdiri saja di sini, marilah duduk dulu ke tempatku."

Tergerak hati Siang Cin, tapi akhirnya ia pura pura serba rikuh, jawabnya.

"Wah, kan tidak baik kalau dilihat orang, nona Giam? kedudukan Cayhe terlalu rendah, mana boleh masuk tempat nona yang terhormat situ?"

"Eh, apa2an kau ini?"

Omel Giam Ciat.

"Sesama orang Kangouw, masa kita pakai aturan tetek bengek begitu? Apalagi aku yang mengundang kau dan bukan kau yang sembarangaa masuk ke tempatku, kita bertindak secara terang2an, takut apa?"

Diam2 Siang Cin bergirang, tapi di luar ia pura2 kikuk, katanya.

"Jika ....jika demikian, terpaksa Cayhe menurut saja."

Giam Ciat lantas mendahului melangkah ke sana dengan gaya yang gemulai, Siang Cin ikut di belakangnya, tercium bau harum semerbak teruar dari tubuh Giam Ciat dan membuat pikirannya rada terguncang.

Setelah menyusuri serambi dan menembus sebuah pintu bundar, benar juga di sana terdapat petak kamar yang indah.

Pelahan Giam Ciat mendorong pintu sebuah kamar sambil menuding kamar yang lain, katanya.

"Itu tempat tinggal nona Bwe, dia sangat sibuk dan sedang pergi ke Pau hou ceng"

Sembari bicara iapun menyilakan Siang Cin masuk kamar.

Ruangan kamar dibatasi tabir kain sutera kembang yang indah, mungkin di balik tabir itulah tempat tidur si nona.

Kamar inipun sangat indah dengan macam2 hiasannya, asap cendana wangi mengepul memenuhi ruangan kamar.

Giam Ciat lantas merapatkan pintu, habis itu ia menyingkap tabir pemisah sehingga kelihatan sebuah tempat tidur yang mentereng.

Dengan pandangan sayu genit Giam Ciat menatap Siang Cin, katanya dengan suara lembut.

"Go Ji .......

"

Siang Cin mengiakan dengan lurus tegak. Giam Ciat tersenyum genit, dengan suara yang lembut menggetar sukma ia berkata pula.

"Go Ji, coba kemari, ingin kulihat ......

"

Meski Siang Cin juga seorang lelaki normal, tapi untuk mengekang diri, dalam hal seperti sekarang ini bukan soal baginya. la mendekati Giam Ciat dengan tertawa, tanyanya pelahan.

"Ada petunjuk apa, nona?"

Giam Ciat menepuk sisi tempat tidurnya dan berkata dengan pandangan sayu.

"Sini, duduklah di sini... ."

Tapi Siang Cin tetap berdiri saja, jawabnya sambil menggeleng.

"Ah, Cayhe tidak berani."

Mata Giam Ciat setengah terpicing, ucapnya dengan suara genit.

"Duduklah, turutlah perkataanku, takkan kubikin susah padamu."

Tapi Siang Cin tetap berdiri tegak, ucapnya.

"Apakah takkan merusak nama baik nona nanti?"

Agaknya ucapan ini menyinggung perasaan Giam Ciat, ia menjadi marah, omelnya.

"Go Ji, apa maksudmu? Kaupandang nonamu ini orang macam apa?"

Lekas2 Siang Cin memberi hormat dan menjawab.

"O, mana berani Cayhe bermaksud buruk terhadap nona. Soalnya Cayhe ini orang kecil, kuatir membikin susah nona sendiri, makanya bicara terus terang, mohon nona maklum."

Karena ucapannya cukup beralasan, mau tak mau Giam Ciat menjadi kikuk sendiri. diam2 iapun menaruh simpatik terhadap "keroco"

Yang tahu diri ini. Segera ia berduduk tegak dengan berkata.

"Betul juga ucapanmu, Go Ji. Sesungguhnya aku cuma bersimpatik padamu karena kau kelihatan lain daripada yang lain, makanya kuajak kau mengobrol, tak tersangka kau terlalu banyak pikir ..... Eh, Go Ji, apakah susah bertugas di garis depan?"

Seketika Siang Cin membusungkan dada dan menjawab.

"Ah, susah apa, ini kan tugas, Mana dapat dikatakan susah. Demi kejayaan Ji ih hu di Toa ho tin, demi kebesaran nama Jan kong, adalah pantas jika kita bersusah sedikit. Eh, nona Giam, menurut pandanganmu, apakah pertempurun ini dapat kita atasi?"

"Melihat gelagatnya, seharusnya kemenangan pasti di pihak kita,"

Ujar Giam Ciat dengan tersenyum genit.

"Keempat kakakku sudah maju juga ke garis depan. sebagian besar pasukan Toa to kau juga sudah dikerahkan, begitu pula Jit ho hwe, sedangkan Jik san tui dan Hek jiu tong seluruhnya bertahan di Pau hoa ceng ...."

Dia merandek sejenak, lalu menyambung pula.

"Konyol juga Hek jiu tong itu, ada ribuan orang sisa kekuatan mereka dari Pi ciok san, kecuali yang terluka dan cacat, yang dapat bertempur cuma delapan ratus orang. Sudah separo kekuatan mereka dikirim ke Ce ciok-giam, tapi hampir satupun tiada yang kembali dengan hidup. Kedua ribu prajurit Jik san tui juga kocar kacir seluruhnya, konon karena terjebak oleh bahan peledak yang sebenarnya ditanam kita sendiri. Malahan pemimpin ketiga Jik san tui, Pek Wi-bing juga gugur, begitu pula dua jagoan Hek jiu tong juga mati konyol di sana . Siang Cin mendengarkan saja dengan tenang, katanya kemudian.

"Menurut Can lomo dari Hek jiu tong, katanya perajurit pihak lawan juga musnah sebagian besar. Jika betul begini, kan kita belum rugi."

"Can lomo memang lari pulang dalam keadaan mengenaskan, siapa berani bilang keterangannya itu benar atau tidak?"

Jengek Giam Ciat.

"Eh, Go Ji, tentunya kau tahu, kabarnya si Naga Kuning dan gerombolannya yang memimpin pertempuran di Ce ciok giam, apa betul?"

Diam2 Siang Cin merasa geli, tapi iapun membenarkan dengan mengangguk. Gam Ciat termenung sejenak katanya kemudian.

"Di Pau hoa ceng pernah kugebrak satu kali dengan Naga Kuning itu ....."

"Apa?"

Siang Cin berlagak melengak "Nona pernah bergebrak dengan Naga Kuning?" .

"Betul,"

Jawab Giam Ciat dengan gemas.

"Keparat ini sangat menjemukan, mulut tajam dengan keji, tapi Kungfunya memang benar2 menakutkan orang ...."

Seperti membayangkan apa yang terjadi dahulu, sejenak kemudian ia menyambung pula.

"Empat jago Jik san tui yang tinggi besar, hanya sekejap saja telah dirobohkan, sampai2 cara bagaimaka turun tangannya tak terlihat jelas. Konon sejak muncul di Kangouw orang ini hanya menggunakan kedua tangan kosong untuk menghadapi siapapun juga, banyak tokoh ternama yang telah terjungkal di bawah telapak tangannya."

Siang Cin hanya ber kedip2 saja tanpa menanggapi. Dalam keadaan demikian, seorang nona cantik sedang bercerita mengenai dirinya, betapapun terasa rada lucu. Setelah menghela napas gegetun, Giam Ciat bercerita pula.

"Biasanya kuanggap kepandaianku sudah tergolong kelas satu, siapa tahu sekali kebentur si Naga Kuning, hampir saja aku terjungkal habis2an, yang lebih menyakitkan hati adalah olok2nya yang tajam itu. Waktu itu dia memakai baju seragam Jik san-tui, rambut kusut masai, muka kotor dan habis membobol penjara Pau-hou ceng yang termashur kuat ..... sampai saat ini aku sendiri tidak tahu bagaimana wajahnya yang sesungguhnya, konon dia sangat cakap ."

Dengan agak canggung Siang Cin menanggapi.

"Lain kali kalau kepergok lagi harus hajar adat padanya." .

"Huh, bicara mudah, kalau benar sudah bertemu baru kautahu rasa,"

Ujar Giam Ciat.

"Jika tiada si Naga Kuning, mana bisa pihak Hek jiu tong mengalami kekalahan besar begini? Mana mungkin Jik san tui mengalami kehancuran total dan penuh borok? Terus terang, biarpun pasukan Bu siang-pay juga sangat kuat, tapi tidak sulit untuk dihadapi, yang menakutkan ialah si Naga Kuning ini. Dia banyak tipu akalnya, tindak tanduknya sukar diraba, kepandaian sejatinya juga sangat tinggi, dia benar2 merupakan suatu penyakit bagi kita .....

"

Setelah merandek sejenak, lalu ia menyambung.

"Cuma, sekarang Jan kong sedang rapat membicarakan siasat selanjutnya, salah satu soal yang diperbincangkan adalah cara bagaimana menghadapi si Naga Kuning. Setahuku, pihak kita sudah khusus menyiapkan beberapa tokoh terkemuka untuk menghadapi dia."

"O, siapa2 saja?"

Tanya Siang Cin.

"Akupun tidak jelas, mungkin tugas ini akan diserahkan kepada orang2 Tiang hong pay dan Ceng-siong san ceng."

"Tiang hong pay?"

Siang Cin menegas.

"Ya, nona Bwe di sebelah adalah tokoh Tiang-hong pay,"

Tutur Giam Ciat.

"Jangan kau kira dia masih muda belia, mungkin dua Giam Ciat juga bukan tandingannya."

"Tokoh Tiang hong pay kan terdiri dari tujuh orang lelaki, darimana bisa timbul scorang perempuan?"

Ujar Siang Cin heran.

"None Bwe adalah puteri angkat ketua Tiang-hong pay, dengan sendirinya Tiang hong pay yang dikenal umum tidak termasuk dia. Cuma, kepandaiannya memang sangat tinggi dan tidak di bawah beberapa paman gurunya itu."

"O, jika begitu, ketujuh tokoh Tiang hong-pay telah datang semua?"

"Ya, sudah datang semua, masa kau tidak tahu? Kan tempo hari Jan loyacu sendiri yang menyambut kedatangan mereka dengan upacara besar."

Cepat Siang Cin berkata.

"O, barangkali waktu itu Cayhe sedang dinas luar ...."

Giam Ciat menguap ke-malas2an, katanya dengan tertawa.

"Ehm, ngantuk rasanya."

Siang Cin tahu waktu sudah mendesak, sudah sekian lama ia menyusup ke Ji ih hu, berita yang dapat dikoreknya juga tidak sedikit.

Tapi bagaimanapun akibatnya, dua hal penting perlu juga diselidiki.

Maka dengan lagak prihatin Siang Cin lantas berkata dengan suara tertahan.

"Nona Giam, bahwa Hek jiu tong mengalami kekalahan besar, Jik san-tui juga hancur, konon persoalannya hanya karena menyangkut seorang nona cantik saja."

"Hm, memang,"

Jengek Giam Ciat.

"Siapa lagi kalau bukan puteri kesayangan ketua Bu siang-pay, namanya Thi Yang yang."

"Ah, perempuan benar2 air bencana."

Ujar Siang Cin dengan menyesal.

"Hm, dasar perempuan murahan,"

Jengek Giam Ciat.

"Ayahnya sedang mengerahkan pasukan dan bertempur mati2an baginya, tapi sepanjang hari dia cuma berdekapan melulu dengan Khang Giok tek, sungguh aku menjadi gemas bila melihat mereka. Kita sedang jual nyawa, apa tujuannya? Coba kalau tidak ingat Jan loyacu serta saudara2 Jik san tui dan karena urusan sudah meluas begini, orang Kangouw harus mengutamakan setia kawan. Kalau tidak, untuk apa kita melibatkan diri di dalam persengketaan adu nyawa ini?"

"Apakah kedua orang itu berani bertingkah secara terbuka begitu di Pau hou ceng?"

Tanya Siang Cin. "Mana di Pau hou ceng,"

Jawab Giam Ciat "Mendingan kalau mereka berada di sana, mereka justeru tinggal di Hwe im kok di sebelah sana, seperti pengantin baru saja."

Diam2 Siang Cin meng ingat2 tempat yang di sebut itu, lalu ia bertanya pula.

"Apakah nona Giam pernah melihat Thi Yang yang itu?"

"Pernah dua kali, memang boleh juga wajahnya, tapi juga tidak luar biasa, hanya matanya yang bening2 basah itu memang rada2 menggiurkan,"

Tutur Giam Ciat.

"Apakah Khang Giok tek cuma ngendon di Hwe im kok melulu?"

"Ya, barangkali kedua orang itu sudah buta cinta sehingga kegemparan yang terjadi di luar tak tergubris oleh mereka. Beberapa hari akhir2 ini mungkin Khang losam itu diomeli kakaknya, maka terkadang juga keluar. Padahal, hm, sisa Hek jiu-tong tinggal beberapa ratus orang, kukira cepat atau lambat pasti juga akan tamat di tangan Khang-losam."

"Nona Giam, menurut pendapatku, kemungkinan kalah bagi kita juga tidak perlu di cemaskan."

"Memangnya apa maksudmu?"

Tanya Giam Ciat.

"Bukankah kita masih ada suatu langkah terakhir, langkah mematikan ini kalau kita keluarkan, betapa lihaynya Bu siang pay juga pasti akan mati kutu. Tentunya nona tahu, di Pi ciok san tempo hari pihak Hek jiu tong telah menawan beberapa pentolan Bu siang pay. Orang2 ini berkedudukan tinggi di Bu siang pay, jika keadaan kepepet, kita menggunakan sandera ini sebagai tameng."

"Ya, betul juga, hal ini memang sudah kita atur, sebab itulah maka tadi kubilang Bu siang pay tidak perlu ditakuti. Tentunya merekapun tahu orang2 di Ji ih hu ini bukan manusia yang kenal belas kasihan, dalam keadaan kepepet, biarlah kita bikin habis2an. Tempo hari si Naga Kuning telah salah hitung dan bermaksud membobol penjara Pau hou-ceng, ia tidak tahu bahwa beberapa tawanan itu oleh Hek jiu tong sudah dikirim ke sini!"

"Tapi tempat tahanan mereka apakah cukup kuat?"

Siang Cin berlagak kuatir.

"Kalau mereka sampai lolos, sungguh kerugian besar bagi kita."

"Aku cuma tahu mereka ditahan di Ji ih hu sini, di mana tempatnya akupun tidak jelas. Bahkan Toako juga ttdak tahu, hanya Jan loyacu dan beberapa orang tertentu saja yang tahu. Mungkin Kiau lotoa dari Jik san tui dan pentolan Hek jiu-tong juga tahu."

Sebenarnya Siang Cin ingin tanya pula keadaan pertahanan di benteng ini, tapi sukar mencari alasannya untuk bertanya.

Maklum, sekarang ia menyamar sebagai orang Ji ih hu, jika keadaan benteng sendiri juga tidak tahu, kan bisa mencurigakan.

Sedang bimbang, tiba2 Giam Ciat menegurnya..

"Eh, Go Ji, kau mengelamun apa?"

Siang Cin terkesiap, cepat ia menjawab dengan menyengir.

"O, entah mengapa, selama beberapa hari ini rasanya lesu, pikiran seperti tertekan ... ."

"Hal inipun lumrah,"

Ujar Giam Ciat.

"Suasana setegang ini, setiap orang merasa kesal dan tertekan." Baru Siang Cin mau bicara apa lagi, tiba2 terdengar suara orang berjalan pelahan mendatangi, setiba di depan pintu lalu terdengar suara ketokan pelahan beberapa kali.

"Siapa?", bentak Giam Ciat dengan suara tertahan.

"Bwe Sim,"

Sahut suara nyaring di luar.

"Sudah tidur, Giam cici?"

Giam Ciat tertawa, katanya.

"Kiranya nona Bwe. Silakan masuk. aku belum tidur."

"Cayhe ...."

Siang Cin menjadi serba susah.

"Tidak soal,"

Ujar Giam Ciat.

"Kita tidak berbuat apapun, apa yang harus ditakuti? Pula nona Bwe cukup akrab dengan diriku, dia pasti percaya padaku."

Tengah bicara, daun pintu sudah didorong terbuka, seorang gadis jelita melangkah masuk.

Sungguh cantik nona ini, matanya yang jeli, hidungnya yang mancung, mulutnya yang mungil berpadu dengan raut wajah potongan daun sirih, sungguh serasi dan sangat menarik.

Potongan tubuhnya juga menggiurkan, kulit badannya putih mulus, apabila ada yang perlu dicela, mungkin cuma alisnya yang agak tebal sedikit, terlalu tebal sehingga kelihatan agak garang.

Begitu masuk, nona bernama Bwe Sim itupun melenggong, tak disangkanya di kamar Giam Ciat bisa terdapat seorang lelaki, Bahkan lelaki yang gagah dan tampan.

Seketika Bwe Sim merasa kikuk, dengan muka merah ia berkata.

"O, ma ..... maaf, Giam cici, aku tidak tahu engkau ada tamu ... ."

Giam Ciat lantas berbangkit dan menarik tangan Bwe Sim. katanya dengan tertawa.

"Tidak apa2, Go Ji inipun orang kita sendiri, dia baru pulang dari tugas, maka kutanyai dia."

Siang Cin lantas memberi hormat kepada Bwe Sim. Dengan likat nona itupun balas menghormat sambil melirik sekejap. Dengan tertawa Giam Ciat lantas menarik Bwe Sim berduduk di tepi tempat tidur dan bertanya.

"Bukankah kau pergi ke Pau hou ceng? Bagaimana keadaan di sana?"

Air muka Bwe Sim tampak gelap demi mendapat pertanyaan itu, ia pandang Siang Cin sekejap. Giam Ciat tahu maksudnya, cepat ia berkata pula.

"Ceritakanlah, orang sendiri, Go Ji anak buah Gui Kong."

Diam2 Siang Cin merasa geli..Tapi Bwe Sin tampaknya merasa lega setelah mendapat keterangan dari Giam Ciat, ia menghela napas pelahan. lalu berkata.

"Kekuatan Hek jiu-tong sekarang hanya lima ratusan orang terdiri dari barisan berani mati Hiat hun ciang, petang tadi mereka sudah bersumpah darah dan bertekad akan bertempur sampai titik darah penghabisan, kusaksikan adegan yang mengharukan itu. Pasukan Jik-san tui juga hancur di Ce ciok giam, sisa kekuatan nya juga cuma dua tiga ratus orang saja. Merekapun berkumpul di Pau hou ceng dan siap bertempur mati2an dengan pihak Bu siang pay."

"Masa suasana begitu gawat?"

Tanya Giam Ciat.

"Berita dari gadis depan yang baru diterima jelas cukup gawat, meski Bu siang pay juga banyak jatuh korban, tapi mereka masih terus mendesak maju, apalagi mereka membawa senjata api yang ampuh, semuanya bertempur dengan nekat. Pasukan Jit ho hwe yang bertahan di garis pertama sudah runtuh dan mundur, kini barisan tameng Ceng-siong san ceng dan pasukan berkudanya sedang bertahan ... ."

Ia merandek sejenak, setelah melirik sekejap pada Siang Cin, lalu melanjutkan.

"Ji ih hu juga telah mengerahkan kekuatan intinya sambil menghimpun kembali sisa anak buah Jit ho hwe untuk melancarkan serangan balasan. Melihat gelagatnya pertempuran besar2an segera akan berkobar pula."

"Masih berapa jauh jika pihak Bu siang pay ingin mencapai Toa ho tin?"

Tanya Giam Ciat.

"Antara 30 li,"

Jawak Bwe Sim.

"Apakah kakak2ku baik saja?"

Tanya Giam Ciat.

"Mereka tidak mengalami cidera apapun, tapi yang lain ada ribuan yang terluka berat dan ringan,"

"Sekarang cara bagaimana Jan loyacu akan bertindak?".

"Tampaknya sedang dirundingkan dalam rapat,"

Kata Bwe Sim.

"Ai, sudah sekian lama hidup tegang, pedih juga rasanya ."

Siang Cin hanya mendengarkan saja di samping. Tiba2 Giam Ciat bertanya.

"He, Go Ji, apa yang kau pikirkan?"

Siang Cin menyengir, jawabnya.

"Cayhe pikir, makan nasi Kangouw memang tidak mudah, harus dilakukan dengan cucuran darah dan bila perlu mengorbankan nyawa, hari depan suram, hidup ini hari belum tentu bisa hidup esok pagi."

Tampaknya Bwe Sim rada tertarik oleh komentar Siang Cin yang lain daripada lain itu, dengan kikuk ia bertanya.

"Go Ji, kau ..... kau bernama Go Ji?"

"Ya, itulah namaku,"

Jawab Siang Cin.

"Akhir2 ini kalian tentu sangat lelah bukan?"

Kata Bwe Sim pula dengan agak malu2.

"Ah, kan sudah sepantasnya begitu?"

Ujar Siang Cin dengan membusungkan dada.

"Apalagi kalau para nona seperti kalian juga ikut mencurahkan tenaga dan pikiran, bagi orang seperti kami ini kan bukan apa2."

"Manis amat mulutmu,"

Giam Ciat berseloroh.

"Go Ji, tentunya banyak anak gadis terpikat oleh mulutmu yang manis ini." "Nona, selamanya Cayhe jarang bergaul dengan jenis lain,"

Jawab Siang Cin dengan sungguh2. Giam Ciat mengangguk, katanya pula dengan tertawa.

"Wah, tampaknya kau seorang ksatria sejati, entah nona keluarga mana yang beruntung mendapatkan suami seperti kau ...."

Mendadak wajah Bwe Sim tampak merah jengah dan menunduk. Giam Ciat lantas mendorongnya pelahan dan mengomel.

"Nona Bwe, kenapa malu? Ai, apapun juga kau masih terlalu muda. Maklum pada usia sebayamu sekarang akupun malu malu begitu, tapi setelah mengalami macam2 gemblengan, hidup ini bagiku menjadi hambar, sejak si pemabukan itu mampus, hidupku bertambah dingin ...."

Bwe Sim masih gadis suci, di depan seorang lelaki asing pula, ia menjadi kikuk mendengar ucapan Giam Ciat itu cepat ia menyela.

"Giam cici ....."

"Ya, baiklah, aku tidak bicara lagi,"

Kata Giam Ciat dengan tertawa. Lalu ia berpaling dan berkata kepada Siang Cin.

"Eh, Go Ji, mungkin rapat Jan loyacu sudah selesai, apakah kau tidak jadi memberi laporan?"

"O, ya, sekarang juga Cayhe mohon diri,"

Cepat Siang Cin menjawab. Tapi sebelum dia melangkah keluar, tiba2 terdengar suara gaduh di luar sana. Tentu saja Giam Ciat dan Bwe Sim melengak.

"Biar kulihat keluar, beberapa hari ini memang macam2 urusan yang selalu membikin tegang saja,"

Kata Bwe Sim sambil berbangkit. Giam Ciat termenung menyaksikan kepergian Bwe Sim itu, gumamnya.

"Kehidupan tegang begini sungguh bisa membikin gila orang. Hanya urusan kecil saja bisa jadi akan menimbulkan kegegeran, hati menjadi kesal dan jiwa tertekan ..... ."

"Betul, Cayhe sendiri merasakannya,"

Tukas Siang Cin.

"Eh, Go Ji,"

Tiba2 Giam Ciat berkata dengan lembut.

"bilamana urusan di sini sudah selesai, maukah kau berkunjung ke Pek hoa kok, kau akan menjadi tamuku yang terhormat."

Siang Cin tertawa dan menjawab.

"Bilamana hamba diberi umur panjang, Cayhe pasti akan penuhi undangan ini."

"Ai, kenapa kau bicara begini?"

Ujar Giam Ciat.

"Menurut ilmu nujum, tampangmu yang cerah ini pasti akan panjang umur."

"Terima kasih, semoga nona juga panjang umur,"

Jawab Siang Cin.

"Ah, hatiku terasa semakin kesal dan dibakar, jangan2 ....alamat tidak baik .......

"

Belum habis ucapan Giam Ciat, mendadak pintu kamar terbuka pula. Bwe Sim melangkah masuk dengan muka pucat. setelah merapatkan pintu, segera ia berkata.

"Giam cici, urusan rada gawat ... ." "Urusan apa?"

Tanya Giam Ciat dengan tegang. Dengan suara gugup Bwe Sim menutur.

"Menurut laporan, ada beberapa pos penjagaan disergap oleh penyusup, juga sebuah liang rahasia di depan Kim bin tian telah dihancurkan, belasan penjaga terbunuh. Sekarang di luar sedang sibuk mencari mata2 musuh serta memberi lapor kepada Jan-kong ...

"

Untuk sejenak Giam Ciat tertegun, tanyanya kemudian.

"Jadi maksudmu ada ......ada mata2 musuh menyusup ke Ji ih hu?"

"Begitulah menurut laporan,"

Jawab Bwe Sim "Wah, berani amat orang ini?!"

Gumam Giam Ciat. Siang Cin sedang memeras otak, ia pikir sekarang saat yang tepat untuk angkat kaki. Segera ia berkata.

"Kedua nona, suasana cukup gawat, keadaan agak kacau, demi tugas, Cayhe tidak boleh tinggal lebih lama di sini, sekarang juga kumohon diri."

Seperti merasa berat Giam Ciat berkata.

"Go Ji, meski baru kenal, rasanya kita bisa saling cocok. Bila ada tempo luang silakan datang untuk mengobrol lagi."

Ber ulang2 Siang Cin mengiakan. Diam2 ia merasa geli, jangankan tempo luang, mungkin dalam waktu singkat Ji ih hu akan hancur lebur. Segera iapun melangkah ke pintu, tapi belum lagi dia membuka pintu, terdengar Bwe Sim berseru.

"Tunggu sebentar, Go Ji ....."

Siang Cin melengak, jawabnya sambil menoleh.

"Ada petunjuk apa, nona Bwe?"

"

Muka Bwe Sim tampak merah, dengan likat ia menjawab.

"O, sebentar ......sebentar akupun dinas ronda malam, kupikir engkau lebih paham keadaan sekeliling istana ini, bila engkau tiada urusan lain, dapatkah ..... dapatkah engkau mengiringi aku ... ."

Melengak juga Siang Cin oleh permintaan orang. Agaknya Giam Ciat juga tercengang. Tapi ia lantas berkata dengan tertawa.

"He, Go Ji, jika kujadi kau, tentu berjingkrak kegirangan dapat mengiringi nona Bwe ......"

"Giam cici,"

Sela Bwe Sim dengan muka merah. Giam Ciat tertawa, katanya.

"Baiklah, Giam-cici hanya bergurau saja. Nah, Go Ji, lekas kau pergi dulu dan lekas kau kembali, nona Bwe akan menunggu kau di sini."

Dalam pada itu Siang Cin telah putar otak dan mengambil keputusan. Ia memberi hormat dan berkata.

"Baik, Cayhe menurut saja, setelah laporan selesai segera Cayhe kembali ke sini."

Habis berkata, cepat ia melangkah keluar kamar itu.

Sudah tentu ia tidak menuju ke ruangan pendopo sana, tapi melalui serambi samping, lalu menyelinap ke atas belandar gudang kecil di ujung serambi.

Di sinilah dia duduk santai menghimpun tenaga.

Kira2 setanakan nasi lamanya, lalu ia meninggalkan tempat itu, dia mendatangi pula kamar Giam Ciat dan rnengetok pelahan.

Ketika pintu terbuka, Bwe Sim berdiri di depannya.

Melihat Siang Cin, nona ini menjadi jengah dan jantung berdebur keras.

Giam Ciat telah mendekat dan mendorong Bwe Sim, desisnya.

"Baiklah, lekas berangkat, jika tidak cepat2, sebentar Go Ji mungkin harus menunaikan tugas juga. Nah, Go Ji, jagalah nona Bwe dengan baik."

Habis berkata, ia dorong Bwe Sim keluar pintu sambil memicingkan sebelah mata, lalu pintu dirapatkan kembali. Sejenak Bwe Sim terdiam, lalu berkata.

"Kita mengambil jalan tengab atau melalui pintu samping, Go Ji?"

Siang Cin pura2 berpikir, jawabnya kemudian.

"Kukira lebih baik pintu samping saja."

Tanpa sangsi lagi Bwe Sim lantas membawa Siang Cin menuju ke serambi samping sana.

Keluar lagi adalah halaman berpagar tembok, empat penjaga tampak mondar mandir di situ.

Rupanya Bwe Sim sudah cukup dikenal di situ, para penjaga hanya menyapa sekadarnya dan tidak bertanya lebih lanyut meski melihat di samping si nona ada seorang yang tidak dikenal, namun mereka tak berani menegur mengingat kedudukan Bwe Sim yang tidak perlu diragukan.

Setelah membuka sebuah pintu besi kecil di pojok halaman, keluarlah mereka dengan pelahan.

Siang Cin sengaja mengintil sedikit di belakang si nona.

Tampaknya sebagai tanda hormatnya, tapi sebenarnya ia sengaja menggunakan Bwe Sim sebagai perisai, baik menghadapi penjaga maupun ketemu jebakan yang diatur di mana2 tanpa kelihatan itu, tentu akan dapat diatasi si nona.

Ketika sampai di samping Kim bin tian, Bwe Sim menunjuk halaman di depan istana dan berkata pelahan.

"Go Ji, di liang pengintai sana, belasan penjaga telah disergap mata2 musuh."

"Ya, Cayhe tahu di sana ada pipa pengintainya,"

Jawab Siang Cin. Bwe Sim semakin percaya karena Siang Cin dapat menanggapi persoalannya dengan jitu. Mereka lantas berjalan ke depan, sambil berjalan si nona berkata pula.

"Di sini boleh dikatakan penuh perangkap, kalau tidak hati2 mungkin senjata akan makan tuan sendiri ......Eh, Go Ji, mengapa kau bernama Go Ji, tidak cocok dengan orangnya"

Siang Cin berlagak malu dan bingung, jawabnya.

"Mengapa tidak cocok, nama ini pemberian orang tua, karena aku nomor dua, maka aku diberi nama Ji. Aku sendiri merasa nama ini sangat baik."

"Kulihat tampangmu lain daripada yang lain, gerak-gerikmu juga menarik, kukira kau pantas mendapat kedudukan yang lebih baik. Eh, Go Ji, apa tugasmu di Ji ih hu sini?"

"Masa ada tugas lain kecuali pesuruh, ikut Gui-toako,"

Jawab Siang Cin. "Ah, seharusnya kau mendapatkan tugas yang sesuai,"

Ujar Bwe Sim.

"Eh, Go Ji, apakah ..... apakah kau mau ber ......berkawan denganku?"

Siang Cin berlagak kaget dan takut2 girang, jawabnya dengan ter gagap2.

"Ber ......berkawan dengan nona? Aku ..... aku ..... dapat bicara dengan nona saja sudah beruntung, mana-mana ....."

"Go Ji, mcngapa kau ketakutan begini? Masa seorang lelaki lebih penakut daripada seorang perempuan, kita kan sama2 sudah dewasa, masa tiada kebebasan sama sekali dalam hal berkawan? Eh, baiklah, kita coba memeriksa di sana, mungkin waktumu sudah tidak banyak lagi."

"Nona Bwe, apakah kita juga akan melongok tembok benteng sana?"

Tanya Siang Cin.. Bwe Sim memandang Siang Cin dengan rada heran, katanya.

"Tembok benteng? Kenapa kau menyebutnya tembok benteng? Bukankah setiap orang di Ji ih hu ini menyebutnya tembok istana?"

Berdetak juga hati Siang Cin karena salah omong ini, tapi sedapatnya ia tenangkan diri, sahutnya dengan tak acuh.

"Ya, tapi aku sendiri biasanya menyebutnya tembok benteng, bukankah tembok itu memang sekukuh benteng?"

"Ya, memang betul juga,"

Ujar Bwe Sim dengan tersenyum, Ia memandang sekelilingnya, lalu berkata.

"Baiklah, boleh juga kita longok keadaan disana."

Begitulah kedua orang lantas menuju ke tembok benteng.

Dapat jalan berjajar dengan Siang Cin yang gagah, betapapun timbul semacam perasaan suka ria dalam hati Bwe Sim.

Dia mengira Siang Cin sudah tidak merasa rendah harga diri lagi dan mau lebih berdekatan dengan dia.

Ia tidak tahu bahwa Siang Cin justeru menggunakan kelemahannya itu untuk mencapai maksud tujuannya, yaitu memancing Bwe Sim membawanya ke tempat yang dituju, tempat yang paling dekat dengan persembunyian Sebun Tio bu dan lain2.

Sambil membicarakan suasana yang menegangkan itu, tidak lama kemudian mereka sudah mencapai undakan batu yang menuju ke atas tembok benteng, malam yang sunyi dan dingin menambah seramnya keadaan.

Memandangi si nona yang dikenalnya tanpa sengaja tapi tampaknya jatuh hati kepadanya ini, samar2 timbul semacam perasaan haru dan sayang dalam benak Siang Cin.

la menyesal bahwa pertempuran yang kejam ini harus melibatkan nona cantik seperti ini.

"Nona Bwe,"

Kata Siang Cin kemudian dengan pelahan.

"apakah kau pernah ....pernah membunuh orang?"

Tercengang Bwe Sim, jawabnya kemudian "Mengapa mendadak kau bertanya hal ini?" Kata Siang Cin dengan tertawa.

"Sebab kau sangat cantik, lemah lembut, seperti tidak tahan ditiup angin, se-akan2 seekor tikus saja dapat membuat kau ketakutan. Tapi, engkau ternyata orang persilatan, pula kudengar ilmu silatmu sangat tinggi."

Bwe Sim tertawa manis, katanya.

"Janganlah kau nilai orang dari bentuk luarnya. Ketahuilah, seorang yang tinggi besar tidak berarti dia pasti pemberani, seorang perempuan kurus kecil tidak berarti nyalinya kecil. Jangan kaukira tubuhku ini lemah dan meremehkan diriku, hm, bilamana aku sudah gregeten, aku bisa berubah menjadi sangat.. sangat kejam ....."

"Apa betul? Jadi kau pernah membunuh orang?"

Kata Siang Cin dengan tertawa. Bwe Sim mengangguk, katanya.

"Ya, pernah tiga orang."

"Wah, tiga orang macam apakah itu?"

Tertarik Juga Siang Cin. Sementara itu mereka sudah sampai di atas tembok benteng, sudah berada di jalanan melingkar di atas tembok, mereka mulai berjalan ke depan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar