Bara Naga Jilid 15

Jilid 15 

Siang Cin tidak berkelit atau mengegos dia tetap berdiri tenang kedua tangannya mendadak bergerak naik, dengan punggung tangan menyongsong ke atas.

"trang!", gelang baja yang tajam berputar itu tahu-tahu mencelat melampaui batu raksasa dan entah jatuh di mana. Sorot mata Siang Cin semakin mencorong sadis, tapi dengan beringas Pek Wi-bingpun tetap mendelik kepadanya, badan yang sudah setengah jongkok pelahan-lahan ambruk, darah merembes dari ujung bibirnya, dia telah bunuh diri dengan menusuk ulu hati sendiri. Rasa heran dan penyesalan timbul dalam hati Siang Cin, sekian lama dia melongo mengawasi jenasah Pek Wi-bing, ketika suara Sebun Tio-bu berkumandang di belakangnya baru dia tersentak sadar dan pelan-pelan berpaling kesana. Sebun Tio-bu tengah menyeka keringat dijidatnya, katanya.

"Kenapa kau melongo? Keparat she Pek itu bunuh diri?"

Dengan termangu-mangu Siang Cin berkata.

"Sebetu lnya dia tidak perlu bertindak nekat begini, mestinya aku tidak akan membunuhnya..."

"O, kau akan membebaskan dia?"

Seru Sebun Tio bu heran.

"bukankah berarti kau menyusahkan dirimu sendiri? Keparat, menangkap harimau lebih mudah dari pada melepaskannya, walau keparat she Pek ini bukan tokoh yang harus disegani, tapi dia cukup licik dan jahat, syukur kalau dia sudah bunuh diri."

Waktu Siang Cin menoleh ke sana, kedua Hwi ki su, Hek jiu-tong tadi sudah menggeletak mampus dalam keadaan yang mengerikan, leher keduanya berlubang besar. Sambil menenteng Thi-mo-pi Sebun Tio-bu berkata dengan tertawa.

"Kedua keparat ini boleh juga, kalau mereka tidak gugup, mungkin masih kuasa bertahan beberapa kejap lagi."

Lalu Siang Cin ceritakan rahasia yang berhasil dia korek dari mulut Pek Wi-bing. Sebun Tio-bu mengumpat "Keparat, keji amat, Siang-heng, urusan tidak boleh lambat, lekas kita beritahukan kepada pihak Bu-siang-pay."

Maka kedua orang lantas berlari ke sana, pertempuran sementara itu sudah berkobar ke seberang, jelas pihak Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui sudah mulai terdesak mundur, kiranya pasukan inti Bu-siang-pay yang langsung dibawah komando Congtong dan tepat pada waktunya sehingga situasi segera berubah.

Kini para pahlawan baju putih dari padang rumput dengan golok panjang melengkung ke lihatan memburu dan membabati musuh yang berusaha melarikan diri, Bagai air bah yang tak terbendung, orang-orang Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui sama mundur dan sembunyi di antara celah-celah batu, mayat bergelimpangan, darah mengalir bagai air sungai, keadaan sungguh amat mengerikan.

Secepat terbang Siang Cin dan Sebun Tio bu memburu ke depan, belum lagi mereka terjun ke tengah rombongan besar Bu-siang-pay, sesosok bayangan kurus kecil tampak melayang tiba dari arah samping.

Sembari memutar, mata Siang Cin yang tajam sudah melihat jelas pendatang ini, serunya.

"Ho-toahoucu ..." Pendatang ini memang Yu hun-kou-cay Ho Siang gwat si kakek kurus kecil ini tertawa, golok sabit ditangannya segera disarungkan, katanya sambil menggosok telapak tangan.

"Betul tidak, kalian sudah bentrok dengan jago-jago kosen mereka?"

Mengawasi jubah putih Ho Siang-gwat yang berlepotan darah, Siang Cin menjawab pelahan.

"Ya."

"Bagaimana keempat orang itu?"

Tanya Ho Siang Gwat.

"Sudah kuganyang semua,"

Sahut Sebun Tio-bu.

"memangnya Toahoucu mau memelihara mereka?"

Memandang medan pertempuran di depan sana, Siang Cin bertanya.

"Toahoucu, bagaimana hasil pertempuran ini?"

Dengan gagah Ho Siang-gwat menengadah katanya.

"Sebelum tengah hari, kuyakin sudah dapat menghancurkan musuh, paling tidak pasti akan mendesak mereka keluar dari Ce-ciok-giam ini."

Maka Siang Cin lantas menjelaskan rahasia yang berhasil dia korek dari Pek Wi-bing kepada Ho Siang-uwat, Keruan Ho Siang-gwat berjingkat kaget, serunya.

"Wah, bisa celaka."

Cepat dia memanggil seorang murid Bu-siang-pay serta berpesan.

"Lekas laporkan kepada lh-cuncu, katakan ada perintah penting dari Siang-susiok, setelah memukul mundur musuh, dalam jarak seratus langkah dari tepi seberang dilarang mengejar lebih lanjut, barang siapa melanggar perintah ini akan dihukum pancung."

Murid Bu-siang-pay itu mengiakan terus berlari pergi, Ho Siang-gwat menyeka keringat sambil menyatakan syukur kepada Siang Cin.

Tidak lama kemudian, tiba-tiba di seberang Ce-ciok-giam sana terdengar suara tambur ditabuh keras-keras, begitu gencar suara tambur ini menyebabkan orang merasa tegang dan panik, keruan orang-orang Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui yang lagi berhantam itu lantas putar tubuh dan melarikan diri.

Pasukan yang kalah dan mundur ini sungguh laksana air bah yang tak terbendung lagi, Memangnya anggota Hek-jiu-tong biasanya sebuas serigala dan selincah harimau, kejahatan apa saja yang tak pernah mereka lakukan? Kini demi mencari selamat sendiri, yang di belakang mendorong yang di depan terdesak roboh dan di injak-injak kawan sendiri, maka terjadilah saling injak dan saling dorong, keadaan menjadi semakin kacau dan ribut.

Mengawasi keadaan yang kemelut itu, Sebun Tio-bu mendadak menoleh dan bertanya.

"Siang-heng, tahukah di mana letak sumbu peledak musuh?"

Siang Cin maklum maksud Sebun Tio-bu, namun dia menggeleng sahutnya.

"Tadi tak sempat kutanyakan."

Dengan gegetun Sebun Tio-bu berkata pu la.

"Bila tahu tentu menguntungkan kita bisa mendahului pasukan musuh yang mundur ini, bila sumbu kita sulut sekarang pihak mereka sendiri yang bakal menjadi korban malah, tapi kini sudah terlambat ..." "Tempatnya pasti amat dirahasiakan, kalau tidak, ini memang cara yang setimpal untuk membalas kelicikan mereka."

Tatkala mana keadaan orang-orang Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui tampak runyam sekali, banyak yang merangkak-rangkak berebut mencapai tepi Ce ciok-giam, pahlawan-pahlawan Bu-siang-pay terus mengudak dan membabat musuh seperti membabat rumput, kira-kira dua puluhan tombak mendekati seberang Ce-ciok-giam, pada saat genting itulah, tiba-tiba lengking suara tiupan tanduk yang mengalun panjang berirama sendu bergema di angkasa Ce ciok-giam.

Maka pahlawan-pahlawan Bu-siang-pay yang tengah mengamuk di tengah-tengah musuh sama berhenti dan melongo, jelas kelihatan mereka teramat heran dan menyesal, wajah mereka yang sudah beringas seperti binatang buas yang mencium darah tampak penasaran dan gusar, tapi mereka teramat berdisiplin dan patuh pada perintah atasan, meski tak boleh menyerbu lebih lanjut, tapi tombak bersu la di tangan mereka segera ditimpukkan musuh, maka musuh yang lagi lari sipat kuping dan merambat naik ke atas tanggul itu banyak pula yang menjadi korban, tombak menghujam punggung, leher, pinggang atau kaki tangan, ada pula yang batok kepalanya pecah, lebih mengenaskan lagi ada orang yang tubuhnya terpantek tombak pendek yang berat itu.

Di kejauhan sana lh Ce tampak berdiri di atas sepotong batu besar, di sampingnya berdiri tiga anak buahnya yang gagah perkasa, tak jauh di sebelah sana Kim-lui-jiu Kin Jin tampak berdiri dengan santai, gagah dan berwibawa.

Thong Yang-seng yang sekujur badannya berlepotan darah tampak masih berada di dalam rombongan orang banyak entah apa yang sedang dia bicarakan dengan Coan jit kek Mo hiong.

Sisa orang-orang Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui sementara itu sudah naik ke atas tanggu l, syukur pahlawan-pahlawan Bu-siang-pay tidak mengganyang mereka lebih lanjut, maka semuanya ngelesot di tanah, ada yang duduk, ada yang rebah celenteng, semuanya lemah lunglai dengan napas tersenga l, yang terluka sibuk membalut luka, ada pula yang merintih dan meraung, yang tersisa tiada seorangpun kuat berdiri lagi.

Melihat keadaan Ce-ciok-giam yang penuh bergelimpangan mayat dan orang yang terluka parah, lama juga Siang Cin termenung, kalanya kemudian.

"Yang gugur dan terluka dari kedua pihak ternyata tidak sedikit jumlahnya."

Hong Siang-gwat menghela napas, katanya.

"lni kan petempuran, kalau tidak membunuh tentu dibunuh, jumlah orang-orang yang gugur dan terluka sebentar lagi akan ada laporan yang jelas."

Dari depan sana bayangan seorang yang kurus kecil tengah berlari datang, sekilas pandang Siang Cin melihat yang datang ini adalah si Lutung putih Siang Kong. Ho Siang-gwat terbelalak heran, teriaknya.

"Lo Siang, kenapa kau tergesa-gesa?"

Muka Siang Kong basah penuh keringat, dengan napas, tersengal dia memberi hormat kepada Siang Cin serta Sebun Tio-bu, lalu berkata kepada Ho Siang-gwat.

"Lapor Toahoucu, Cuncu bertanya bagaimana tindakan selanjutnya?" Ho Siang-gwat berpaling ke arah Siang Cin. Dengan tenang Siang Cin berkata.

"Bagi menjadi beberapa kelompok dan siap siaga setiap saat, untuk sementara boleh istirahat tolong dulu yang terluka adalah tugas utama."

Siang Kong mengiakan terus berlari balik ke sana, Ho Siang-gwat memanggil seorang murid serta berpesan.

"Laporkan kepada Toaciangbun, katakan bahwa Ceciok- giam sudah kita duduki, karena musuh menanam bahan peledak di atas tanggul sana, maka sementara kedua pihak mengadakan gencatan senjata tidak resmi, jangan lupa secepatnya suruh barisan penolong kemari."

Murid itu mengiakan terus berlari pergi bagai terbang, Ho Siang-gwat berpikir sejenak, lalu berkata kepada seorang murid Bu-siang-pay tak jauh di sampingnya.

"Sampaikan kepada Pau-suheng, katakan kuperintahkan mereka tetap bertahan di luar Ce ciok-giam, sebelum ada perintah tak boleh sembarang beraksi."

Murid inipun pergi dengan langkah cepat, Ho Siang gwat menghela napas, katanya dengan nada heran.

"Eh, hujan salju sudah berhenti. Kapan sih berhei'tinya?"

"Dikala kita mulai terjun ke medan laga tadi,"

Ucap Siang Cin dengan tertawa. Dalam pada itu dua murid Bu-siang pay telah membentang dua selimut yang tebal di antara batu krikil, maka Siang Cin, sebun Tio-bu dan Ho Siang-gwat sama duduk istirahat.

"Menurut perhitunganku,"

Demikian ucap Siang Cin.

"Yang gugur dan terluka dari kedua pihak mungkin melebihi tiga ribu orang."

"Ya, kira-kira sebesar itu,"

Kata Siang gwat.

"Barusan Loh lh beritahu kepadaku, bahwa anak buah Say-ji-bun yang dipimpinnya ada separo yang gugur dan terluka, murid-murid yang dikuasai Congtong juga gugur dua tiga ratusan."

Menghela napas, Siang Cin berkata "Pertempuran besar-besaran begini, akibatnya sudah tentu serba kejam."

Dengan rasa dongko l Sebun Tio bu melirik Siang Cin, katanya.

"Memangnya si Naga Kuning juga bicara persoalan kekejaman?"

"Kan aku juga manusia biasa, hatiku tidak sekejam seperti yang tersiar di luaran, betapapun harkat manusia masih kuhargai, cuma dalam menghukum orang jahat, caraku turun tangan memang keji, adalah jamak mereka yang pernah kutindas sama menggambarkan diriku bagai iblis laknat. Yang betul, akupun punya kasih sayang sesama manusia, aku menghargai orang lain seperti aku menghargai diriku sendiri, ini terbukti jumlah manusia yang pernah kutolong, dari macam-macam kesulitan yang jauh lebih banyak daripada korban yang pernah kubunuh, kecuali kejahatannya memang sudah kelewat takaran, biasanya pasti kupertimbangkan dulu apakah patut orang itu kubunuh."

Ho Siang-goat manggut-manggut, katanya.

"Untuk ini akupun bisa merasakab, aku setuju dan bisa menerima penjelasan ini..."

"Akupun setuju,"

Kata Sebun Tio-bu.

"Hendaklah Siang heng jangan salah paham..." "Persahabatan harus dilandasi kejujuran serta kebajikan, Tangkeh, masakah aku gampang dibuat salah paham?"

Ucap Siang Cin sambil menatap Sebun Tio-bu."

Lalu dia kerkata pula kepada Ho Siang-gwat.

"Toahoucu, untuk kali ini apakah kalian ada membawa senjata api?"

"Ada, Liat yam-kiu dan Hwe-piau buatan khas kami sendiri,"

Sahut Ho Siang-gwat.

"Bian-hok-ti-cu juga kalian bawa bukan?"

Tanya Siang Cin pula.

"Sudah tentu,"

Sahut Ho Siang-gwat tergelak.

"pusaka ini pasti selalu kami bawa."

Berpikir sejenak lalu Siang Cin berkata.

"Kalau tidak dipelihara orang di musim sedingin ini, berapa lama binatang ini kuat dan bertahan hidup?"

"Bian-hok-ti-cu (labah2 perut sutera) ini biasanya kami pelihara dalam kotak batu kemala yang hangat, jika tidak dipelihara dan berada musim sedingin ini, mungkin hanya kuat bertahan setengah hari, daya hidup labah-labah macam ini sebetulnya amat kuat, bila labah-labah jenis lain, begitu musim dingin akan datang, mungkin siang-siang sudah menggali liang sembunyi dan tak berani bergerak lagi."

Lalu dia bertanya.

"Apakah kau ada akal baik, Lote?"

"Biarlah kupikirkan sebentar, supaya rencanaku lebih sempurna..."

Maka Ho Siang-gwat tidak mengganggu pula konsentrasi Siang Cin, sementara Sebun Tio-bu sudah merebahkan diri, Thi-mo-pi dia jadikan bantal.

Tak lama kemudian, lima ekor kuda mencongklang kencang mendatangi tiba di pinggir parit lantas berhenti, lima orang dengan langkah cepat tampak menyeberangi Sin-siok-iuh menuju ke sini.

Ho Siang gwat berkata pelahan.

"ltulah Tay-ciangbun telah datang."

Dengan tertawa Siang Cin berdiri, demikian juga Sebun Tio-bu melompat bangun.

Memang betul Thi Tok-heng dibawah pengawalan Jik tan-su-kiat tengah mendatangi mereka.

Jelas pada saat pertempuran berlangsung tadi, Thi Tok-heng sendiri tidak pernah istirahat.

Melihat Siang Cin bertiga, dia mempercepat langkah dengan tersenyum, dengan erat dia pegang lengang Siang Cin dan Sebun Tio-bu, katanya dengan suara terharu.

"Lote, tentunya kalian sudah lelah."

"Tidak apa-apa, mungkin Tay ciangbun yang terlalu banyak berpikir ..."

"Tayciangbun,"

Sela Sebun Tio-bu "mukamu kelihatan kurang sehat, mungkin terlalu tegang. Memang, dalam saat2 seperti ini siapapun pasti tegang."

"Untunglah ...."

Ucap Thi Tok-heng dengan tertawa.

"sementara ini situasi boleh dikatakan aman, dalam gebrak pertama ini kita sudah unggul, tapi untuk maju lebih lanjut tidak sedikit aral melintang yang harus kita hadapi, pihak musuh jelas takkan berpeluk tangan."

"Sudah tentu,"

Kata Siang Cin. Thi Tok-heng berkata pula.

"Siang-lote, menurut pendapatmu, bagaimana melanjutkan serbuan seterusnya?"

Berpikir sebentar Siang Cin berkata.

"Di atas tanggul diseberang Ce-ciok-giam musuh memasang bahan peledak dalam jumlah besar, maka langkah pertama kita harus menghancurkan peledak yang terpendam itu, lalu perintahkan Say-ji-bun berjagadi sini, supaya Ce-ciok-giam kita jadikan benteng yang kukuh untuk maju atau mundur bila perlu di samping kekuatan inti kita terus maju ke depan beberapa kelompok yang lain harus terus gempur pertahankan musuh secara bergiliran supaya musuh tidak ada waktu ganti napas, dengan cara demikian bukan saja tenaga kita bisa dipertahankan semangat juang tetap berkobar, bila perlu seluruh kekuatan masih dapat dikerahkan sekaligus..."

"Analisa yang tepat,"

Ucap Thi Tok-heng.

"apa yang diuraikan Lote memang sudah menjadi rancangan dalam benakku, tahap pertama Say-ji-bun memang harus berjaga di Ce-ciok-giam..sementara pasukan Hwi-ji-bun kujadikan pasukan inti dan pasukan Bong-ji-bun sebagai cadangan, kini yang perlu segera diputuskan adalah bagaimana langkah kita selanjutnya ..."

"Menurut penilaianku."

Demikian Siang Cin berkata.

"musuh hanya mengerahkan sebagian kecil saja dari seluruh kekuatannya dalam pertempuran di Ce-ciok-giam ini, kekuatan inti mereka belum dikerahkan, menurut pengakuan Pek Wi-bing, Jik-san-tui hanya mengerahkan dua ribu orang dan empat ratus orang Hek jiu-tong, kukira jumlah ini memang tidak salah, dari hasil penyelidikanku di Pau-hou-ceng dan Toaho- tin tempo hari, Jik-san-tui memang kira-kira mempunyai kekuatan dua ribuan orang, seielah pertempuran tadi, berarti jumlah mereka sudah sisa separo saja."

Berhenti sebentar, lalu Siang Cin meneruskan "Sementara pihak Hek jui-tong yang hijrah kemari dan Pi ciok-san, seluruhnya ada seribu lebih, di antaranya ada yang terluka parah dan ringan, kini mereka mengerahkan empat ratusan orang di Ce-ciokgiam ini, berarti separo dari jumlah yang mereka miliki.

Maka mulai dari sini dan seterusnya sampai di Tao ho tin, musuh pasti sudah mengatur banyak perangkap dan jebakan, setiap langkah kita pasti ada bahaya dan kekuatan selanjutnya yang bakal kita hadapi jelas adalah orang-orang dari Toa-to-kau, Jit-to hwe, malah mungkin juga dibantu orang dari Ceng siong-san-ceng, menurut penilaianku, anak buah Hek jan kong yang bercokol di Ji-gi-hu tentu sudah menguasai seluruh Toa-hotin, sementara sisa-sisa dari kekuatan Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui paling-paling hanya dijadikan kekuatan samping yang tidak seberapa di sekeliling Ji gi-hu."

Tiba-tiba Sebun Tio-bu menimbrung.

"Kalau demikian, bukankah Jik-san-tui dan Hek-jiu-tong merosot derajatnya?"

Siang Cin mengangguk, katanya.

"Betul, sejak lari ke Toa-ho-tin, Hek jiu-tong memang tidak segarang dahulu, pamornya sudah runtuk habis-habisan, sementara Jik-san-tui biasanya memang menuruti segala petunjuk Hek-jan kong, bahwa Hek jiu tong mencari perlindungan di tempat Jik san-tui, mau-tidak-mau mereka harus tunduk juga, maka nasib sudah menentukan demikian, gembong-gembong Hek jiutong yang masih hidup tentu menyesal setengah mati, tapi lahirnya mereka akan tetap unjuk senyum, padahal batin mereka amat menderita. Dengan tersenyum Thi Tok-heng berkata.

"Analisa Siang-lote, memang jelas dan tepat, sungguh amat kagum, Siang-lote, menurut pikiranmu, cara bagaimana kita harus melancarkan serbuan selanjutnya?" Dengan kalem Siang Cin berkata.

"Gunakan kekuatan Hwi ji-bun untuk menyerbu secara langsung dari depan, sementara kekuatan Bong ji bun dipendam di kiri, mereka akan dikerahkan menurut keadaao. Seluruh kekuatan Congtong dipersiapkan setiap saat menunggu perintah, bila perlu secara langsung merekalah yang harus menerjang masuk ke Toa ho tin, sebelum musuh yang dipendam sepanjang jalan Ce-ciok-giam sampai di Toa-ho-tin tersapu bersih, Cayhe, Sebuntangkeh dan Kin-heng dengan beberapa jago pilihan Bu-siang-pay akan menyelundup masuk lebih dulu ke jantung musuh,tugasnya sekaligus mencari jejak puteri Tayciangbun."

Pelahan Thi Tok-heng berkata.

"Baik, boleh dilaksanakan sesuai rencana Siangheng, bila ketemu Yang-yang, kalau dia masih bandel, tak usah ragu-ragu, Sianglote boleh meringkusnya dan bawa kemari, mati atau hidup tidak menjadi soal ..."

Lama Siang Cin menatap Thi Tok-heng, orang tua yang berhati mulia, Tayciangbun dan Bu-siang-pay, bagaimana perasaan orang sekarang, Siang Cin dapat menyelaminya, katanya dengan tertawa.

"Taycangbun tak usah kuatr, Cayhe pasti bekerja melihat gelagat bila kutemukan dia, kesempatan untuk melarikan diri pasti takkan kuberikan."

Tiba-tiba Sebun Tio-bu berteriak.

"Betul, dengan kekuatan kami kalau tidak mampu membekuk genduk cilik itu, memangnya ke mana pamor kami akan ditaruh?"

Terpancar rasa terima kasih yang tak terhingga pada sorot mata Thi Tok heng, katanya.

"Betapa syukur dan terima kasih hatiku, budi kebaikan kalian kepada Busiang- pay sungguh tak terukur besarnya ..."

Lekas Sebun Tio-bu berkata.

"jangan Tay-ciangbun sesungkan ini, berkecimpung di kalangan Kangouw, yang di utamakan adalah "satya", demi kesatyaan, meski awak sendir harus berkorban juga tidak jadi soal, apalagi cuma urusan sekecil ini".

"Sudahlah,"

Ujar Siang Cin.

"Tayciangbun tak usah sangsi dan sungkan. Sekarang menurut Tay-ciangbun kapan kiranya akan dimulai serbuan terbuka?"

Berpikir sejenak Thi Tok heng berkata.

"Kira-kira satu jam lagi bagaimana?"

"Baik, sekarang perintahkan supaya semua pasukan istirahat dan mengisi perut sekenyangnya,"

Ucap Siang Cin. Thi Tok-heng mengangguk kepada Ho Siang-gwat di sebelahnya, lalu dia berpaling dan berkata kepada To Wan kang, salah satu dari Jik-tan-su-kiat.

"Wan-kang, biarlah aku makan di sini bersama Susiok berdua."

To Wan-kang mengiakan terus berlalu bersama rekannya menyiapkan hidangan, baru saja mereka pergi, dari arah Ce-ciok-giam sebelah depan sana berlari datang seorang laki tinggi besar mirip kerbau.

Begitu melihat Thi Tok-heng orang itu lantas menjura serta berkata.

"Siang-toa-cui Jit Lip dari Say ji-bun menghadap Tayciangbun, semoga Tayciangbun sehat selalu ..."

"Sudah, jangan banyak peradatan,."

Ucap Thi Tok-lheng tersenyum. Siang-toa-cui (sepasang gada garuda) Jit Lip ini agaknya pemalu, dia menegakkan badan sambil menyengir lucu, katanya setelah menyeka keringat.

"Lapor Tayciangbun, Tecu diutus oleh lh-Cuncu kemari untuk melaporkan tentang para saudara yang gugur, luka parah dan ringan ..."

"Baik, boleh kau laporkan,"

Ucap Thi Tok-heng.

"Kawanan kura-kura Hek-jiu-tong mampus dua ratusan orang, yang luka-luka ada tujuh puluhan, korban Jik san-tui lebih besar lagi, yang mati ada seribu dua ratus, yang terluka lima ratus lebih, sisa yang berhasil melarikan diri, menurut perhitungan lh cuncu, orang-orang Jik san-tui masih ada empat ratusan orang, sedang Hek jiutong paling hanya dua ratusan, betapa mengenaskan keadaan mereka sehingga kawan-kawan mereka yang terluka tak terhiraukan lagi ..."

Setelah, menelan air liur, Jit Lip berkata pula.

"Karena teramat dekat pihak kita melakukan pengejaran, maka menurut lh-cuncu musuh ngacir seperti ... seperti ..."

"Seperti anjing mencawat ekor."

Sambung Sebun Tio-bu. Jit Lip menghela napas lega, katanya sambil menyeka keringat.

"Ya, ya betul. ngacir seperti anjing mencawat ekor ..."

"Lalu berapa besar korban pihak kita? Kukira cukup parah juga bukan?"

Ucap Thi Tok heng. Jit Lip diam sejenak, wajahnya yang merah kasar mengunjuk rasa sedih, senyum yang menghias wajahnya tadi seketika sirna.

"Katakanlah,"

Ucap Thi Tok-heng dengan tenang.

"darah seorang ksatria memang pantas menyiram pasir, gugur di medan laga, semua ini adalah akhir dari kehidupan seorang pahlawan sejati, tiada sesuatu yang harus dibuat sedih, malah sebaliknya kita harus merasa bangga akan keberanian dan jasa-jasa mereka Jit Lip, katakan, berapa besar korban yang kita alami? Apakah lebih parah dari pada mereka?"

Gemetar bibir Jit Lip, suaranyapun berubah serak.

"Empat ratus dua puluh saudara Sau ji bun gugur, yang luka parah dan ringan ada dua ratusan lebih, anak buah di bawah komando Congtong gugur seratus lima puluh orang, yang luka parah dan ringan ada lima puluhan, jadi jumlah seluruhnya ada tujuh ratusan. Kini yang lukaluka sedang ditolong, enam belas tabib sedang bekerja keras menolong mereka. Tapi saudara-saudara kita memang gagah perkasa, keras hati lagi, dalam keadaan separah itu mereka tetap bertahan, tiada satupun yang mengeluh atau merintih."

Dengan memejamkan mata Thi Tok-heng berkata pelahan dan mantap.

"Korban yang gugur dalam pertempuran kali ini, pihak musuh satu kali lipat lebih banyak daripada kita, jangan karena kerugian yang kita alami cukup parah lantas patah semangat dan bersedih hati, bawalah kepedihan kembali ke padang rumput, waktu itu, akan diberi kesempatan untuk menangis, akupun akan menyertai kalian, sekarang Jit Lip..."

Jit Lip menunduk untuk menyembunyikan air mata yang sudah berkaca-kaca dikelopak matanya, dengan tersendat dia mengiakan. Dengan suara lantang Thi Tok-heng berpesan.

"Sampaikan kepada mereka, yang gugur segera dikebumikan di tempat itu juga, yang terluka harus ditolong dengan segala daya upaya, tapi korban dari lawanpun harus dirawat, mereka harus juga menerima pelayanan yang sama dengan murid-murid kita ..."

"Tayciangbun,"

Seru Jit Lip penasaran "para kura-kura itu ...."

"ltulah putusanku,"

Tenang dan berwibawa kata-kata Thi Tok heng.

"sampaikan pesanku ini kepada lh cuncu dan harus dilaksanakan, jangan lupa orang-orang itupun seperti kita, manusia biasa yang diiahirkan oleh ayah-bundanya ..."

Jit Lip tak berani membantah lagi, setelah mengiakan lekas dia mengundurkan diri. Mengawasi bayangan orang yang gede berlari pergi Siang Cin menghela napas. katanya.

"Tay-ciangbun, putusanmu memang betul dan bijaksana."

Thi Tok-heng tertawa getir katanya.

"lnilah yang dinamakan "peri kemanusiaan"

Kehidupan kaum persilatan memang serba mengenaskan, serba kejam ..."

Dalam pada itu Jik-san su-kiat sudah datang dengan membawa beberapa kotak kayu yang berisi berbagai macam masakan, seru Sebun Tio-bu sambil berjingkrak senang.

"ini dia, perut memang sudah keroncongan, hayolah isi perut dulu, kalau perut kenyang baru punya tenaga untuk berkelahi."

Siang Cin tertawa, katanya.

"Di mana dan kapan saja tangkeh tidak pernah melupakan soal makan."

Sebun Tio-bu berkata.

"Sudah tentu, makan kan soal pokok bagi setiap manusia, apalagi setelah mengalami pahit getir seperti ini, selera makan pasti besar dan penting sekali artinya."

"Nanti sebentar,"

Ucap Thi Tok~heng.

"aku ingin menyuguh beberapa cangkir arak kepada kalian."

Sebun Tio-bu tertawa, katanya.

"Tayciangbun, kiranya ada arak juga?"

Kata Thi Tok-heng manggut-manggut.

"lnilah Say to-ciu nomor satu."

"Say-to-ciu?"

Teriak Sebun Tio-bu kegirangan sambil menelan ludah.

"Bagus sekali, hayolah tenggak dulu setiap orang delapan cangkir, kalau sudah makan hidangan rasanya tentu kurang sedap."

Dengan tulus hati Thi Tok-heng berkata.

"Setelah urusan di sini selesai, akan kuundang kalian ke padang rumput, kita akan makan-minum sepuas-puasnya di sana, cuma apakah Sebun tangkeh sudi memenuhi undanganku ini."

"Pasti kuterima,"

Teriak Sebun Tio-bu.

"cuma, ai, makan minum dengan menganggur, apa tidak membosankan."

Tiba-tiba Siang Cin menuding ke depan, katanya.

"Kin heng sedang mengawasi gerak-gerik musuh di garis depan bersama lh-cuncu."

Lekas Thi Tok-heng berpaling, serunya.

"Wan-kang, lekas panggil Kin-susiok untuk makan bersama." Tidak lama Kin Jin tampak berlari datang, ia memberi hormat sambil mohon maaf.

"Terlambat selangkah, bikin kalian menunggu. makan di sana sebenarnya juga sama saja."

Tidak terlalu lama mnkan siangpun usai, sambil menepuk perut Sebun Tio-bu berkata dengan muka merah.

"Puas minum makan kenyang, tibalah saatnva berjuang di medan laga pula."

Kin Jin menyeka mulut, katanya.

"Siang-heng, bahan peledak musuh di atas tanggul itu, bagaimana cara menyelesaikannya?"

"Tak usah kuatir, ada akal untuk memusnahkannya,"

Ucap Siang Cin dengan tersenyum, lalu dia berpaling kepada Thi Tok-heng, katanya.

"Tayciang-bun, menurut Ho-toahoucu, untuk meluruk kemari pihak kalian juga membawa serta senjata api?"

"Betul,"

Sahut Thi Tok-heng.

"akhir-akhir ini kami berhasil menciptakan berbagai alat senjata api, di antaranya Liat-yam-kiu (bola api, granat) dan Hwe-piau."

Dengan bersemangat Siing Cin berkata.

"Nah, sekarang harap perintahkan menggempur pinggir tanggul itu dengan gencar, pertama untuk memukul mundur musuh, supaya kami punya peluang masuk ke jantung musuh dan mungkin dapat pula menyulut sumbu bahan peledak musuh."

Thi, Tok-heng manggut-manggut, Siang Cin lantas menambahkan.

"Bila serbuan dimulai, Cayhe akan pimpin beberapa utusan kalian menyelinap keluar dan menuju ke Toa-ho-tin untuk mencari jejak puteri Ciangbunjin."

Dengan kereng Thi Tok-heng lantas berseru.

"Wan- kang, panggil Toacuncu Tiangsun Ki dari Hwi-ji-bun dan Toacuncu Utti Han-poh dari Bong-ji-bun kemari."

Hanya sebentar saja tiga bayangan orang tampak lari mendatangi.

Seorang setengah-umur berperawakan tinggi kurus bermuka pucat kehijauan.

Dibelakangnya adalah seorang tua berbadan gemuk buntak seperti guci, berkepala botak, mukanya bundar mirip patung Mi-lek-hud (Budha) di kelenteng yang selalu tertawa.

Mereka datang hanya terpaut selangkah belaka, Sedang To Wan-kang jauh ketinggalan di belakang.

Thi Tok-heng tertawa ramah, laki-laki muka hijau segera menjura, suaranya berat serak.

"Tiangsun Ki menghadap Ciangbun Toasuheng."

Kakek buntak tertawa, k.itanya.

"Losuko, ada tugas apa pula yang hendak diserahkan kepada Bong-ji-bun kami?"

Thi Tok-heng mengangguk pada si tua buntak ini, lalu dia perkenalkan kepada Siang Cin bertiga, Laki-laki kurus muka hijau ini bukan lain adalah Toa-cuncu Hwi-ji bun yang tersohor dengan julukan Ceng-tuo-kun (iblis muka hijau) Tiangsun Ki, sedang laki-laki tua buntak adalah Toacuncu Bong-ji-bun Kian-kun-it-Jiin Uiti Han-poh.

Setelah basa basi saling mengucapkan kekaguman, Thi Tok-heng berkatn.

"Tiangsun-sute, dalam gerakan selanjutnya, anak buahmu akan diserahi tugas sebagai penyerbu utama, sementara anak murid Utti sute sebagai pendukung." Mantap suara Tiangsun Ki, sahutnya.

"Hal itu sudah kudengar dari Ho-toahoucu tadi."

"Baiklah,"

Ucap Thi Tok-heng kemudian.

"segera bentuklah barisan, biarlah anak buah lh-sute dan Ho-houcu membersihkan bahan peledak musuh, kalian harus menunggu aba-aba untuk segera menyerbu."

Sampai di sini nadanya menjadi kereng berwibawa.

"Pada serbuan pertama harus langsung menembus jantung musuh, dilarang berhenti atau membuang waktu, bila terhambat sedetik saja, korban dipihak kita akan lebih banyak, hal ini kalian harus mengerti."

Tiangsun Ki dan Utti Han-poh sama mengangguk, Thi Tok-heng berkata lebih lanjut.

"Di samping itu kita pilih Tang-haii (rantai panjang) Le Tang dari Hwi-ji-bun dengan Heng-cia Loh Hou dari Bong-ji-bun untuk ikut Siang-lote menyelundup ke Toa-ho-tin agar menyambut serbuan kita di sana nanti."

"Apa cukup dua orang saja?"

Tanya Tiangsun Ki "Cukup,"

Lekas Siang Cin menyahut. Tanpa bicara lagi Tiangsun Ki dan Utti Han-poh memberi hormat kepada Thi Tokheng serta Siang Cin dan lain-lain, seperti datangnya tadi, cepat sekali mereka sudah berlari pergi. Thi Tok-heng menghela napas, katanya.

"Tiang-sun Ki adalah Cuncu yang memiliki Lwekang paling tinggi di antara enam yang lain, cerdik pandai dan banyak akalnya, keberaniannya luar biasa, usianya sudah lima puluh lebih, namun wataknya tetap berangasan, itulah cirinya yang paling jelek."

Sebun Tio-bu tertawa, katanya.

"Lahirnya kok tidak kelihatan."

"Memang tabiatnya jelek sekali, meski menghadapi kematian tetap tak mau tunduk, tapi lahirnya memang tidak kentara, lahirnya dia kelihatan pendiam dan penurut tapi begitu sifat sejatinya kumat, bagaikan hujan badai yang tak terkendali lagi, Umpamanya dalam perjalanan kcmari, bila aku tidak berulang kali mengendalikan dia, mungkin sejak lama dia sudah meluruk langsung ke Toa-hoa-tin untung reaksinya cukup cekatan meski dalam keadaan murka dan dirundung emosi dia tetap tak pernah bingung atau gugup, oleh karena itulah selama dia berkecimpung dalam dunia persilatan belum pernah dia mengalami kerugian."

"Sungguh sulit mencari orang seperti dia, umumnya orang yang bertabiat berangasan otaknyapun tumpul, gagah berani tapi tidak punya akal, apa lagi bila menghadapi urusan besar dan penting akan menjadi kelabakan dan mati kutu, bila seseorang dapat menguasai diri dengan tenang serta bisa mundur-maju secara teratur, dalam keadaan murka akal sehatnya tak pernah pudar, inilah yang membuat kagum,"

Demikian Siang Cin memberikan komentarnya Dikala mereka bicara itulah, dua orang berperawakan tinggi tujuh kaki, pinggang besar dan kekar tampak berlari datang.

Yang disebelah kiri bermuka lebar, mata besar, hidung pesek, mulut tebal kulit badannya coklat mengkilap, lengan besar melebihi paha seorang laki-laki biasa dengan otot daging merongkol.

Orang di sebelahnya juga raksasa alisnya tebal, leher besar, rambut hitam, gondrong terurai di pundak, bersenjata toya baja, mukanya memancarkan cahaya penuh semangat, giginya putih tapi dengan dua taring besar yang menonjol.

Thi Tok-heng memperkenalkan.

"Siang-lote, dia bernama Le Tang, salah satu murid Hwi-ji bun yang paling hebat."

Lalu ia menuding laki-laki raksasa yang memegang pentung.

"Dia ini Loh Hou, jago yang tak terkalahkan dari Bong-ji bun."

Siang Cin menjura kepada kedua orang, sapanya tertawa.

"Dapat berkenalan dan kerja sama dengan kalian, sungguh bangga hatiku."

Kedua laki-laki besar dan kasar ini ternyata lugu dan tak pandai bicara, sekian lama mereka hanya menyengir saja sambil garuk-garuk kepala, akhirnya yang bernama Le Tang dapat menguasai diri serta berkata.

"Ah, jangan sungkan, kami orang bodoh..."

Thi Tok-heng tertawa geli, katanya.

"Sudahlah, kalian akan ikut bernama Siangsusiok, apapun petunjuk dan perintahnya harus kalian patuhi, demikian pula kalian harus tunduk pada petunjuk Sebun-tangkeh dan Kin-tayhiap, jangan ragu-ragu dan membangkang, tahu tidak?"

"Sudah tahu, kami pasti patuh."

Kedua laki-laki kasar itu menyahut.

Siang Cin mendongak melihat cuaca, baru saja dia mau bicara, dari kiri-kanan Ce ciok giam mendadak bergema lengking suara tiupan terompet yang mengalun sedih memilukan, nyaring dan tinggi suara trompret ini sampai terdengar juga ke seberang, ditengah suara trompret yang melengking tajam itu, terdengarlah suara serta derap tapal kuda yang gemuruh, bentakan orang yang berlari kian kemari, kiranya anak murid Hwi ji-bun dan Bong ji bun tengah mempersiapkan diri.

Thi Tok-heng memberi tanda kepada To Wan-kang yang berdiri tak jauh di sebelahnya, bergegas To Wan-kang segera berlari pergi, ditengah Ce-ciok giam sana segera bergemalah suara trompet yang gagah dan mengalun panjang.

"Kini kalian bisa saksikan kehebatan senjata api kita,"

Demikian kata Thi Tok-heng.

"Pasti mengejutkan,"

Ujar Siang Cin dengan tertawa.

Tersenyum Thi Tok-heng, dia tidak menanggapi pujian Siang Cin, sementara bayangan orang dan kuda tampak bergerak di tengah Ce-ciok-giam, senjata di lolos dan berdering, dalam sekejap anak murid Say-ji-bun yang berada digaris depan sudah mulai bergerak, sementara anak murid di bawah komando Cong-tong berada dibarisan belakang teratur rapi dalam formasi yang sudah ditentukan.

Jauh di seberang sana, bayangan merah dan hitam tampak bergerak kalang kabut, satu dengan yang lain tengah berlomba berdiri dan merangkak mencari posisi dan perlindungan.

Sekarang Siang Cin tengah memperhatikan murid-murid Bu siang pay yang ada di garis depan, semuanya memegang tiga batang bumbung hitam yang terikat jadi satu, pangkal bumbung berbentuk lebar seperti sayap, sementara ujungnya terarah ke depan mengincar musuh, murid2 yang dipimpin Cong-tong dalam waktu singkat telah memasang puluhan kerangka besi berbentuk segi empat, ke empat kaki kerangka ini terbenam ke dalam tanah.

Tepat di tengah kerangka besi terpasang satu jalur pegas dan pada ujung pegas baja ini ada dipasang sebuah mangkuk, di dalam mangkuk inilah ditaruh sebuah bola warna hitam sebesar kepala manusia.

Kini semua pegas atau per itu sudah ditarik, bila gantolan pada per itu dilepas, pegas itu akan bekerja serta melemparkan bola di dalam mangkuk itu ke depan.

Setiap kerangka itu dijaga empat murid Bu-siang-pay seragam putih, sekitar mereka tampak tersedia puluhan bola yang siap ditembakkan.

Bumbung atau pipa hitam bersayap itu Siang Cin pernah melihatnya, tapi kerangka baja dengan pegas dan mainan bola itu masih asing baginya, tapi entah itu senjata ampuh atau mainan belaka, bila dikerjakan akibatnya tentu fatal, jiwa manusia dapat dihancurkan dalam beberapa detik saja.

Thi Tok-heng tertawa lebar.

katanya.

"Siang-lote, bumbung hitam yang dipegang murid-murid Say-ji-bun itu dinamakan Hwe piau, daya bidiknya bisa mencapai seratusan langkah, panah yang terdapat di dalam bumbung itu panjang kecil dan runcing, dilumuri minyak dan pospor, begitu kena angin lantas menyala, bagi yang daya tarikannya kuat, malah dapat mencapai dua ratusan langkah jauhnya."

Berhenti sebentar lalu ia melanjutkan "peralatan yang dipasang di sebelah belakang itu dinamakan Ki-nu (busur raksasa) setiap kali kerja dapat menembakkan sebutir peluru berapi (Liat-yam tan), daya ledak nya kuat dan merupakan alat penghancur yang amat ditakuti Dalam radius sepuluh tombak, rumput dan pepohonan, binatang atau manusia tiada satupun yang bisa selamat, daya tembak Ki-hu bisa mencapai enam puluh tombak, karenanya penghancurnya jaug hebat dan terlampau keji, maka jarang kita menggunakan bila tidak terpaksa dan dipandang perlu."

Sampai di sini dia menarik napas lalu menyambung "Sekurang oiang2 Hek jiu-tong dan Jik-san-tui yang bakal menjadi sasaran utama."

Siang Cin tertawa, tanyanya.

"Boleh mulai?"

"Sudah tentu,"

Ucap Thi Tok-heng.

Maka Tay-ciangbun Bu siang-pay ini pelahanlahan angkat tangan kanannya, lalu mendadak mengayunnya turun dengan cepat.

Ho Siang gwat yang sejak tadi telah menunggu di jarak sepuluhan tonibak di atas batu tinggi di pinggir sana segera berteriak.

"Tembak!"

Sepuluh murid Bu-siang-pay yang berjaga di sekitar kerangka baja itu itu seketika bergerak serempak, gerak gerik mereka tampak lincah, rapi dan terlalih, sebat sekali kaki menyepak gantolan ujung pegas, maka suara jepretan berbunyi hampir dalam waktu yang sama."

"Ssiiuuttt blummm"

Suara ledakan menggetar bumi.

Pegas terpasang pula, pelorpun ditembakkan lagi secara beruntung cuma arah sasarannya saja yang sedikit di ubah.

Tapi semua di tujukan unggul atau belakangnya, di mana orang2 Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui beruban mati-matian.

Asap tebal tampak mengepul disertai percikan api, lebih mengenaskan lagi, manusia yang menjadi korban pemboman ini ikut hancur-lebur, tiada korban yang mati dalam keadaan utuh.

Hampir dalam waktu yang sama dengan bombardir yang menggoncangkan bumi ini murid-murid Say-ji-bun yang berada di garis depan segera menarik pelatuk, disertai suara jepretan yang keras secara beruntun ribuan jalur api sama menyembur kencang ke depan, api segera berkobar semakin besar disertai asap tebal bergulung-gulung ke angkasa, dalam beberapa detik ini, tanggul Ce ciok giam diseberang sana sudah menjadi lautan api.

Hawa udara terasa pengap dan berbau mesiu, diantara lelatu api dan bergulungnya asap tebal, batu pasir serta tanah sama terlempar ke tengah udara, batu-batu gunung yang berserakan di Ce ciok giam porak-poranda.

Ternyata ledakan dahsyat ini masih terus disusul ledakan-ledakan dahsyat lainnya, satu ledakan lebih keras dan dahsyat dari ledakan yang terdahulu, ledakan-ledakan dahsyat lainnya, satu ledakan lebih keras dan dahsyat dari ledakan yang terdahulu, batu-batu besarpun terlempar ke angkasa, siapa saja bila kejatuhan batu-batu ini kalau tidak terluka, patah tulang, pasti kepala pecah dan binasa.

Di tengah ledakan dahsyat dan hujan batu dan pasir itulah, Siang Cin, Thi Tok-heng, Sebun Tio-bu, Kin-Jin dan Jik tan-su-kiat sama merebahkan diri mencari perlindungan, demikian pula seluruh murid Bu-siang-pay sama mendekam di tanah, untung tiada seorangpun yang terluka, debu pasir masih terus berhamburan, badan semua orang sama kotor seperti baru saja menerobos keluar dari dalam liang tanah.

Ledakan terus berlangsung, bumi bergoncang sedemikian kerasnya, sampai kuping mengiang seperti mau pecah, banyak murid Bu-siang-pay yang pucat mukanya, betapa tak ngeri bila membayangkan andaikan pasukan mereka yang terjebak oleh ledakan dahsyat bahan-bahan peledak yang dipendam musuh ini.

Siang Cin menggeleng kepala, suaranya terdengar serak.

"Ledakan yang hebat sekali ..."

Tiba-tiba bayangan orang berkelebat, Ho Siang-gwat melompat tiba dengan gerakan tangkas, sambil mengusap debu dimukanya dia berteriak gelisah "Tayciangbun, Tayciangbun. .."

Cepat Tbi Tok-heng berseru.

"Apakah Ho houcu di sana?"

Legalah hati Ho Siang-gwat, serunya "Syukurlah Tayciangbun dan para saudara tiada yang terluka."

"Ho-houcu,"

Kata Thi Tok-heng "getaran ledakan-ini memang hebat, lekas suruh beberapa orang memeriksa ke depan, apakah pasukan Say-ji-bun di depan ada yang menjadi korban?"

"Hentikan dulu beberapa kejap, jika tiada ledakan lagi, segera perintahkan anak buahmu, membuka jalan, biar pasukan Hwi ji bun yang membuka serbuan. Dalam pada itu, orang tadi diutus pergi mencari berita telah berlari balik dengan napas tersengal-sengal, dia berkata dengan terputus-putus.

"Lapor....Tay-ciangbun...orang-orang kita ... semuanya baik saja, hanya dua puluhan saudara kita terluka oleh cipratan batu dan terbakar kulit badannya..."

Menghela napas lega,Thi Tok-heng lantas berseru kepada Ho Siang-gwat-yang sementara itu masih menunggu.

"Ho-houcu, perintahkan mulai maju!"

Ho Siang-gwat segera melompat ke atas sebuah batu besar serta bersiul nyaring, cepat sekali siulan yang tidak kalah kerasnya daripada suara sempritan ini mendapat sambutan di depan, yaitu bunyi trompet yang berkumandang lagi.

Dengan kereng Thi Tok-heng melepas pandang ke depan, tampak asap tebal masih bergulung-gulung di tiup angin, bayangan orang berbaju putih terus bergerak, dia menarik napas panjang secercah senyuman menghias wajahnya, katanya terhibur sambil menoleh ke arah Siang Cin.

"Siang-lote, pasukan Say-ji-bun ternyata tidak kurang suatu apapun."

"Reaksi mereka cukup cepat menghadapi perubahan, keadaan memang berbahaya juga,"

Ucap Siang Cin tertawa.

Tengah bicara jauh di belakang terdengar suara meringkik kuda yang ramai disertai derap langkahnya yang teratur.

Waktu Siang Cin menoleh tampak barisan dengan gelang mas melingkar di kepala telah berjalan turun memasuki Ce-ciok-giam, sambil menuntun kuda mereka, hati-hati tapi cepat, mereka bergerak ke depan memencarkan diri dalam formasi tertentu, pada setiap punggung kuda tampak tergantung sebuah tameng warna perak mengkilat elang terbang yang gagah dan keren Ceng-Wo-kun Tiangsun Ki, berada di depan barisan-ini, tak hentinya dia memberi petunjuk dan berkaok-kaok mendesak anak buahnya supaya bergerak lebih cepat lagi.

Menunjuk pasukan yang menuju kemedan pertempuran, dengan suara rendah Thi Tok-heng menerangkan.

"Hwi-ji-bun dengan tameng elang khusus diciptakan sendiri oleh Tiangsun sute."

"Siang Cin mengangguk, katanya.

"Amat gagah dan perkasa, besar sekali kegunaan tameng itu Hwi-ji-bun pasti merupakan pasukan inti dari seluruh kekuatan yang dikerahkan ini?"

Sebun Tio-bu bergelak tertawa, katanya.

"Sudahlah Siang-toaya, tak usah banyak komentar lagi, sekarang kita harus lekas menyusup ke Toa-ho-tin, mumpung anak kura-kura itu sedang ribut dan kacau-balau, hayolah mau tunggu kapan lagi?"

"Baik,"

Sahut Siang Cin mengangguk.

"mari berangkat."

Lalu dia membalik ke arah Thi Tok-heng, katanya.

"Tayciangbun. sekarang kita berpisah untuk sementara waktu kami tunggu kedatanganmu di Toa-ho tin."

Thi Tok-heng maju selangkah memegang kedua lengan Siang Cin serta menggenggamnya kencang, katanya dengan penuh haru.

"Siang lote, semua ku percayakan kepadamu, Semoga sukses!" Dia menoleh ke arah Sebun Tio-bu dan Kin Jin, katanya.

"Sebun-lote, Kin-lote, kuharap kalian hati-hati juga."

Tertawa lebar dan gagah Sebun Tiobu berkata.

"Tayciangbun tak usah kuatir, kami akan menantimu di Toa-ho tin dengan segar bugar."

Kin Jin juga tertawa, ujarnya dengan tekad besar dengan keyakinan yang teguh.

"pasti akan hati-hati, Tayciangbun, kami pasti dapat melaksanakan tugas dengan baik."

Maka beberapa orang saling menjura berpisah, tak lupa Thi Tok-heng memberi pesan beberapa patah kata kepada Le Tang dan Loh hou.

Kejap lain, lima bayangan orang segera berjalan menuju ke seberang.

Masih terendus bau mesiu yang tebal menyesakkan napas, di antara celah-celah batu dan gundukan tanah yang turun naik, lima orang dipimpin Siang Cin berjubah kuning terus berjalan, bayangan elmaut, rasa ketakutan meliputi setiap orang.

Suatu ketika Sebun Tio-bu berkata dengan suara tertahan.

"Siang heng, kita lewat jalan kecil yang memutar saja."

Siang Cin menganguk, sahutnya.

"Betul!"

Begitulah mereka semakin jauh meninggalkan Ce-ciok-giam, tugas mereka ini pantang diketahui oleh musuh, tak boleh terlibat dalam pertempuran sebelum berhasil memasuki Toa-ho-tin.

Padahal di sebelah kiri sana, di Ce-ciok-giam, pihak Bu-siang-pay tengah melakukan serbuan besar-besaran, sementara pihak Jik-san-tui dnn Hek-jiu tong dengan seluruh kekuatan intinya pasti juga dikerahkan untuk menyambut serbuan musuh, jika mereka tidak jalan memutar mungkin bisa kepergok musuh.

Kalau Siang Cin yang membuka jalan di depan diam saja, Sebun Tio-bu yang memang banyak omong terus ajak Kin Jin ngobrol apa saja meski sambil lari.

Payah juga Le Tang dan Loh Hou yang mengintil di belakang, mereka tidak memiliki kemampuan setinggi ketiga tokoh silat di depannya, meski napas sudah ngosngosan mereka tidak berani ketinggalan jauh dan terpaksa berlari sekuat tenaga.

Kini mereka tiba di sebuah hutan, bila mereka tiba di pinggir hutan, Toa-ho-tin, kota yang menjadi tempat tujuan merekapun akan tertampak.

Dipandang dari atas pohon, Toa-ho-tin kelihatan sepi dan lengang, rasanya aneh bahwa kota sebesar itu dengan penduduk yang padat kini dalam keadaan sesunyi ini seperti kota mati belaka, tak terdengar suara, tidak kelihatan bayangan manusia, sampai suara anjing atau ayam juga tidak terdengar.

Suasana sepi yang luar biasa ini membuat Sebun Tio-bu menggerutu.

"Keparat."

Siapapun merasakan adanya firasat yang tidak baik. Hening sejenak, akhirnya Siang Cin berkata.

"Lebih baik kita berhenti sejenak, bila jejak kita diketahui musuh, untuk bekerja tentu amat sukar, tugas ini memerlukan kecerdikan dan kecepatan bertindak." Setelah menerawang keadaan sekitarnya Kin Jin ikut berbicara."Dari hutan ini ada kira-kira berjarak dua puluh tombak dan sekitarnya tanah datar dan lapang, sekarang cara bagaimana kita akan menyusup ke sana tanpa diketahui?"

Sesaat lamanya Siang Cin mondar-mandir sambil berpikir,katanya kemudian.

"Biarlah aku mencobanya."

Sebun Tio bu tidak mengerti.

"Siang-heng, bagaimana kau-akan mencobanya?!"

"Aku akan bergerak dengan kecepatan luar biasa, sehingga kabur pandangan musuh, disangkanya melihat setan atau melihat sesuatu yang khayal belaka, mereka tidak tahu bahwa yang di-lihatnya adalah bayangan manusia."

Kata Sebun Tio-bu dengan penuh kepercayaan "Aku tahu kau mampu melakukannya Siang-heng, Naga Kuning menggetarkan dunia karena kecepatannya."

"Jangan memuji Tangkeh,"

Ucap Siang Cin.

"Kin-heng, harap kalian tunggu saja di sini bersama Loh dan Le berdua, aku akan segera kembali."

Semua sama mengangguk, maka sebelum yang lain memberikan reaksi apa-apa, bayangan Siang Cin yang tinggi itu mendadak melambung ke udara seperti roket yang lepas dari landasan, karena cepat daya luncurnya, kelihatannya seperti bayangan kuning berkelebat, semakin lama semakin cepat sehingga bentuk aslinyapun tak kelihatan lagi.

Sebun Tio-bun berkata dengan melongo.

"Hebat, kecepatan Naga Kuning memang top. Bukankah itu gerakan yang dinamakan Liong-ih-toa-pat-sek."

"Betul,"

Sahut Kin Jin "Setelah menyaksikan gerakannya, siapapun akan merasa kagum dan merasakan dirinya kecil sekali, biasanya kita suka mengagulkan ginkang sendiri yang dianggapnya tiada bandingan lagi di Kangouw, hari ini baru sadar bahwa aku ini hanya merupakan secomot pasir di tengah gurun pasir.

Dalam pada itu bayangan Siang Cin sudah tidak kelihatan, tanpa konangan dia berhasil menyusup ke Toa-ho tin, kini dia sedang tiarap di atas sebuah rumah, dengan tenang ia mengawasi keadaan, sekelilingnya.

Dengan ketajaman mata Siang Cin, dilihatnya dua puluhan tombak luasnya tanah diluar batas kota Toa-ho tin ada dipasang cagak besi dengan ujung serupa tanduk menjangan, serta diberi kawat berduri dan berbagai macam rintangan lainnya.

Lalu sepuluh tombak kemudian terdapat karung yang membukit, apa yang berada dalam gundukan karung tak diketahui tapi dibelakana gundukan karung adalah barisan bambu runcing yang ujungnya dibungkus kain, semua jebakan ini mengelilingi To hoa tin dengan rapat.

Dengan cermat Siang Cin memeriksa sekelilingnya pula, jangankan manusia, bayangan setan pun tidak kelihatan dalam kota ini, entah itu penduduk kota atau orang Hek-jiu-tong serta Jik san tui, entah kemana mereka, tiada satupun yang menongolkan kepalanya, seolah-olah kota mati, kota kosong.

Dengan hati-hati Siang Cin menggeremet maju di-atas genting, mendadak dia menemukan sepasang bola mata, bola mata yang sedang mengintip di balik celahcelah jendela yang terbuka sedikit di atas loteng sebelah depan, hanya sekilas saja bola mata itupun telah lenyap.

Tapi penemuan ini justru membuat girang Siang Cin dan terbangun semangatnya, maka mulailah dia memeriksa setiap rumah dan setiap loteng, sampaipun rumah di pojok gang juga tidak lepas dari perhatiannya, tembok melintang juga diperiksanya dengan teliti.

akhirnya dia tersenyum puas.

Lalu memejamkan mata menenangkan hati dan pikiran, kejap lain dia sudah merayap ke atap rumah sebelah sana, ia memegang daun jendela, sedikit mendorongnya, tanpa mengeluarkan suara segera dia menyelinap masuk ke dalam.

Kini dia berada di sebuah kamar tidur yang besar, entah semula dihuni siapa, pajangannya sederhana, kecuali sebuah meja empat kursi, hanya ada sebuah ranjang kayu besar, di tepi ranjang terdapat sebuah tungku yang masih menganga apinya.

Tampak oleh Siang Cin di ranjang kayu besar itu rebah dengan berbagai gaya empat laki-laki kasar, ranjang kayu ini sebetulnya untuk tidur suami isteri pemilik rumah ini, tapi kini berdesakan empat orang itu sekaligus, terasa sesak juga sehingga cara tidur mereka tampak menggelikan.

Siang Cin tersenyum geli mengawasi orang-orang yang mendengkur bagai babi itu, belum lagi dia mengambil sikap, tiba-tiba didengarnya seseorang menaiki loteng sambil bernyanyi-nyanyi kecil.

Sekali berkelebat Siang Cin menyelinap ke belakang ranjang, kebetulan keempat laki-laki yang tidur di ranjang itu mengalingi dirinya.

Kejap lain pintu kamarpun didorong dengan mengeluarkan keriut dan tampak seorang laki-laki gede gemuk menjinjing guci arak melangkah masuk dengan sempoyongan mukanya merah setengah mabuk.

Laki-laki gemuk ini memang kekar perawakannya, pakaian biru yang dipakainya setengah terbuka sehingga dadanya telanjang, begitu masuk, kamar golok yang tergantung dipinggangnya dia tanggalkan terus dilempar ke meja dengan suara gedubrakan, guci diangkat terus ditenggaknya dengan lahap, habis minum mulutnya kembali nyanyi-nyanyi lagu yang bersifat porno, memangnya dia sudah setengah mabuk, maka lagu yang dinyanyikan pun tidak kenal batas kesopanan lagi.

Laki-laki yang tidur paling pinggir sebelah kanan tampak membalik tubuh sambil membuka matanya yang merah ngantuk, agaknya dia terjaga dalam mimpinya karena suara gaduh yang dibuat laki-laki gemuk itu, keruan dia memaki gusar.

"Maknya, memangnya kau sudah makan kenyang dan puas minum, lalu berkaokkaok di sini seperti di sarang pelacur? Tuan besarmu ini semalam tidak tidur, baru saja pulas lantas kau bikin ribut di sini?"

Laki-laki gemuk tampak sempoyongan sempro(nya.

"Ribut, ribut apa? Kau keparat ini, bapakmu hanya bernyanyi dua lagu, memangnya kau lantas iri? Kau tidak tidur semalam, memangnya bapakmu ini sudah tidur?"

Laki-laki di atas ranjang semakin gusar, mendadak dia berduduk, teriaknya sambil melotot.

"Kek-losam, kalau kau tidak ingin tidur, lekas menggelinding keluar, jangan jual lagak di sini, memangnya berapa sih harganya lagakmu? Di sini bukan tempat untuk pamer kepalan."

Sudah tentu tiga orang yang lain lantas terjaga bangun pula karena keributan ini, terdengar seorang berseru dan coba meredakan suasana.

Tak terduga, Kek-losam, si gemuk, malah tepuk dada dan semakin garang, sudah tentu laki-laki di ranjang itupun semakin naik pitam, keduanya lantas hendak saling terjang, untung ketiga teman yang lain segera m.iju memisah.

"Blang", memukul dada sendiri Kek-losam lantas meraung gusar "Kunyuk yang tidak punya mata, berani kau menepuk lalat di kepala Kek-losam? Memangnya kau kira Kek-losam boleh dibuat main-main".

"Anjing buduk!"

"Babi mampus, memangnya kau kira aku takut pada congormu? pergilah mendengkur saja dalam pelukan bini mudamu,"

Sambil berbalik pinggang laki-laki itu mencak-mencak di atas ranjang.

Sambil berteriak aneh, Kek-losam segera menerjang maju.

Keruan ketiga orang yang lain menjadi kelabakan, tarik sana seret sini, keadaan kamar menjadi morat marit dan kacau.

Disaat keributan mencapai puncaknya inilah, dengan tenang Siang Cin beranjak keluar dan belakang ranjang, sambil geleng-geleng kepala dia tersenyum, katanya.

Sudahlah, jangan ribut begini rupa, memangnya tidak malu ditertawakan orang?"

Kelima orang itu sedang saling dorong dan tarik, ketika tiba-tiba mendengar suara orang yang tak dikenal, keruan semuanya sama terperanjat, tanpa di suruh lagi semuanya berhenti dan menoleh ke sana, kelima orang jadi melongo.

Siang Cin mengebas lengan jubahnya yang berwarna kuning angsa itu, air mukanya yang semula tersenyum simpul mendadak menjadi kaku dingin, katanya.

"Beginikah orang-orang Toa-to-kau kalian bertingkah di Toa-ho-tin? Keterlaluan, tidak tahu tata tertib, sekarang satu persatu perkenalkan nama anjing kalian."

Sudah tentu kelima orang ini semakin kaget, sebagian mereka memang utusan pihak Toa-to-kau yang diperbantukan di Toa- ho-tin, sudah enam hari mereka tiba di sini, sebelum berangkat Kaucu mereka sudah berpesan bahwa di Toa-ho tin bakal berkumpul orang dari berbagai kalangan dan aliran, sekali-kali dilarang membuat malu dan melakukan kesalahan, apalagi menurunkan derajat Toa-to-kau.

Setiba di sini keadaan yang campur aduk di sini memang agak membingungkan mereka, kini belum apa-apa mereka sudah ribut antar kawan sendiri, betapapun mereka merasa malu? Sesaat kemudian barulah Kek-losam menyeringai, sapanya.

"Numpang tanya, Toako ini dari dermaga mana? Supaya kami..."

Belum habis dia bicara, Siang Cin sudah mendamprat.

"Tutup mulut, terhadapku, berani kau membahasakan Toako segala? Berani kau angkat dirimu sejajar dengan aku?" Keruan berdetak jantung Kek-losam, tersipu dia menjura serta mohon maaf.

"Tidak berani, hamba tidak berani, maksudku hanya ingin mohon tanya siapakah she dan nama besarmu."

Siang Cin mendengus.

"Hm, mau selidik asal usulku? Tanya nama segala. Setiap kaum keroco ini belum setimpal, Han-nio-siang-kui saja akan munduk-munduk dihadapanku, memangnya kalian sudah setingkat dengan kedua orang itu?"

Sudah tentu kelima orang dalam kamar tak berani bercuit lagi, mereka percaya apa yang dikatakan Siang Cin.

Maklumlah sikap tindak tanduk, tutur kata Siang Cin yang berwibawa telah membikin ciut nyali mereka, apalagi mereka tahu bahwa Toa-ho-tin sudah menjadi kota terlarang, luar-dalam kota sudah diatur banyak jebakan dan perangkap, setiap jengkal tanah dalam kota boleh dikatakan ada perangkap.

Seluruh tenaga pihak sendiri juga sudah diatur dengan kilat, penduduk kotapun telah dimasukkan ke karantina serta diawasi, jangankan mata-mata musuh, umpama seekor burungpun jangan harap bisa terbang masuk, kini orang ini berlenggang dengan sikapnya yang kereng, tahu-tahu naik loteng dan masuk kamar, tutur katanyapun amat berwibawa, kecuali orang punya jabatan tinggi setingkat Cuncu, memangnya siapa berani bertingkah begini? Sudah tentu kelima orang itu semakin gelisah, Kek-losam yang setengah mabukpun sadar dan mandi keringat dingin, sambil menunduk dia hanya mengiakan saja dengan muka merah padam, kedua tangan lurus ke bawah.

Mengebas lengan bajunya, Siang Cin berkata pula.

"Barusan aku dari bawah, kenapa tidak kelihatan bayangan seorangpun."

Kek-losan menyeka keringat, lahutnya tersipu-sipu "Ada, ada, cuma sekarang mereka tidak di tempat karena semuanya dikerahkan untuk menggali lorong bawah tanah."

"Gali lorong apa?"

Tanya Siang Cin. Kek-losan juga melenggong, katanya tergagap.

"Masa Toako tidak tahu? Bukankah setiap barisan menugaskan beberapa orang secara giliran untuk menggali lorong? Loteng ini ditempati tiga puluh orang, kecuali kami berlima yang masih ketinggalan, yang lain dikerahkan di bawah pimpinan Tamhay- bak "

Otak bekerja cepat, segera sikap Siang Cin tampak kereng pula.

"Kemarin malam bukankah orang Jit-ho-hwe sudah selesai menggali lorong yang terletak di depan kota itu? Menggali lorong apa lagi? jangan kau membual."

"Toako memang tidak salah,"

Lekas Kek-losan menerangkan "Lorong itu memang sejak lama sudah digali, sekarang yang digali adalah lorong yang terletak di bawah jalan raya di depan kota, baru dua hari ini mulai kerja, kira-kira sampai nanti tengah malam baru akan selesai, Betapapun aku yang kecil ini tak berani bohong pada Toako, kalau tidak percaya boleh Toako pergi memeriksanya."

Siang Cin berkata pula.

"Kapan mereka akan kembali?"

Kek-losan menghitung-hitung lalu menjawab.

"Baru setengah jam mereka pergi, mungkin setelah magrib baru akan kembali." Siang Cin manggut-manggut katanya.

"Baik, biar aku istirahat di sini dulu, sebentar aku masih harus memeriksa tempat lain."

Tanpa disuruh Kek-losam, empat orang yang lain segera berebut memindah kursi dan membetulkan meja.

Tanpa terima kasih Siang Cin terus duduk sambil angkat kedua kakinya ke atas meja, ia memeriksa keadaan kamar besar ini, katanya kemudian dengan suara kereng.

"Barisan Te-ji-heng dari Toa-to-kau sudah lama datang, kalian dari barisan yang mana?"

Kek-losam menjura, sahutnya.

"Kami dari "Pui-ji-heng", hanya terpaut beberapa waktu saja kedatangan kami dengan Te ji-heng, sementara para saudara dari Ui-ji heng sudah lama berada di sini."

"jadi tinggal barisan Thian-ji-heng saja yang tetap bercokol di sarang sendiri. apakah tenaga mereka tidak terlalu lemah?"

Kek-losam yang bermuka tambun tampak mengunjuk tawa lucu, katanya.

"Tiada yang perlu dikuatirkan, situasi dalam Kati kami cukup aman, sementara kalangan persilatan di sekitar markas kami selalu memberi muka kepada kami, jadi yakin takkan terjadi apa-apa di sana, Apalagi Kaucu sendiri tetap berada dalam tampuk pimpinannya, jumlah barisan Tlnan-ji-heng juga lebih banyak, kepandaian merekapun serba pilihan, kalau dibanding kami yang diutus kemari, terlampau jauh bedanya."

"Berapa banyak orang kalian yang dikerahkan kemari?"

Tanya Siang Cin pula.

"Ai, terlalu banyak kerja, sampai otakku terasa bebal, kalau tidak salah ada seribu lebih atau tujuh ratusan orang, betul tidak?"

Terkekeh Kek-losam, jawibnya.

"Toako salah ingat, jumlah seluruhnya ada seribu dua ratusan, setiap barisan terdiri dari empat ratus orang, dibawah pimpinan sepuluh Thaybak, sementara keenam Kauthau ketiga barisanpun datang."

Siang Cin tertawa tawar, katanya.

"Kek-losam, apa kau tahu cara untuk keluarmasuk Toa-ho-tin?"

Kek-losam melenggong ditanya begitu, katanya.

"Hamba tidak tahu, Apakah Toako sendiri juga tidak tahu?"

Siang Cin tergelak-gelak, katanya.

"O, bagus sekali, dari sini dapat kusimpulkan bahwa mereka memang amat ketat merahasiakan hal ini, kalau sampai kaupun tahu, terhitung rahasia macam apa."

Lalu dia berbangkit terus menggeliat serta menghela napas seperti orang keletihan sehabis bekerja berat. Kek losam bersikap seperti memperhatikan, katanya.

"Toako mau pergi? Silakan istirahat lagi sebentar, cuaca sedingin ini, kau orang tua harus menunaikan tugas sepayah ini, sungguh terlalu berat ..."

Berkelebat sinar mata Siang Cin. katanya tenang.

"Betul, aku mau pergi, malah sekarang juga."

Lekas Kek-losam berkata.

"Kalau begitu hamba ...." Siang Cin berseru "Ambilkan jubah luar milik mereka semua."

"Mengambil jubah luar?"

Seru Kek-losam kebingungan.

"Toako, kau ..."

"Lekas, jangan cerewet,"

Bentak Siang Cin.

Tak berani tanya lagi, lekas Kek-losam mengerjakan apa yang diminta, dengan sikap hati-hati dia taruh empat jubah di atas meja.

Empat laki-laki pemilik jubah itu hanya berdiri melenggong dengan muka pucat dan tak berani bertindak apa-apa.

Baru saja Kek-losam hendak buka suara pula, seketika dia mengkeret karena ditatap Siang Cin, kata Siang Cin.

"Jubahmu juga lekas kau copot."

Kek-losam melenggong serunya.

"Aku? Jubahku ini?"

"Ya, kenapa? Tidak boleh?"

Ancam Siang Cin.

Keruan Kek-losam ketakutan, lekas dia copot jubahnya.

Baru sekarang dia menyadari meski dirinya gemuk, badannya penuh gumpalan daging, tapi setelah telanjang badan, hawa sedingin ini, mau-tidakmau menggigil juga.

Meraih kelima jubah itu.

Siang Cin mendengus.

"Sekarang, kalian berbaris menghadap dinding."

Tanpa berani membangkang lelima orang membalik tubuh serta berdiri sejajar, semuanya gemetar ketakutan juga kedinginan.

"Bukankah kalian kurang tidur dan masih ngantuk? Biarlah kubuat kalian tidur lagi lebih nyenyak,"

Belum sempat mereka tahu apa yang akan terjadi, semuanya merasa tubuh menjadi kejang, pelahan empat dari kelima orang ini roboh terus mendengkur nyenyak, Tinggal seorang lagi yang tidak roboh, ialah Kek-losam.

Keruan Kek-losam menjadi panik, kedua tangannya menggenggam kencang baju dalam sendiri, saking ketakutan lutut terasa lemas, tanpa kuasa dia terjengkang dan menumbuk meja, golok-besarnya jatuh dan menemukan suara berkelontangan.

Pelahan Siang Cin menghampiri, katanya.

"Jangan panik dan tegang, kawan."

Mendengar orang menggunakan istilah "kawan", baru Kek-losam sadar, ia bciteriak.

"Kau... kau orang mereka..."

Siang Cin mengangguk, katanya.

"Betul, aku orang mereka, orang yang berdiri di pihak Bu siang-pay."

Lunglai tubuh Kek-losam, dia tahu nasib apa yang bakal menimpa dirinya setelah terjatuh di tangan musuh, dengan lemah dia berkata.

"Kau... apa kehendakmu?"

"Asal kau tunduk pada perintahku, kau akan tetap hidup, kalau sebaliknya, kau akan mampus seketika."

Kek-losam melirik ke arah empat kawannya sahutnya.

"Baik, aku aku menurut."

"Bagus, sekarang jawab pertanyaanku. Untuk keluar-masuk kota, adakah menggunakan kode rahasia? Atau ada jalan khusus yang lain?" "Aku tidak tahu, agaknya tiada, kami baru enam hari di sini, selama ini dilarang keluyuran diluar, dimana-mana terdapat larangan, ada pula tempat-tempat yang terlarang bagi siapapun."

Siang Cin perhatikan mimik dan nada bicara Kek-losam, dia yakin bahwa orang tidak berdusta, setelah merenung sejenak, Siang Cin tidak membuang-buang waktu lagi, tanyanya.

"Kek-losam, pada tanah seratusan tombak di sebelah kiri Toa-ho-tin, tegalan yang dekat hutan itu, rombongan siapa yang bertugas di sana."

Tanpa pikir Kek-sam segera menjawab.

"Mereka adalah barisan Hian- ji heng dan Toa-to kau kami."

"Kau kenal mereka semuanya?"

Tanya Siang Cin. Sambil menyengir, Kek-losam menyahut.

"Kebanyakan kukenal."

"Untuk keluar-masuk Toa ho tin kalian tidak perlu menggunakan kode rahasia apaapa, tapi di dalam kota, untuk lewat dari satu daerah ke daerah lain tentunya menggunakan kode rahasia?"

Bimbang sejenak, akhirnya Kek-losam menjawab.

"Ya, ada..."

"Apa kodenya?"

Tanya Siang Cin.

"Kalau siang memakai selempang merah mengikat golok, kalau malam sebaliknya, golok memutus selempang merah."

Tersenyum geli Siang Cin, katanya.

"Amat lucu dan menarik, sampai di mana kegunaan dari tanda-tanda ini?"

Kek-losam menelan ludah, pelan-pelan dia menerangkan.

"Pada setiap daerah yang dikuasai orang-orang Toa to-kau kita boleh mondar mandir sesuka hati dengan menggunakan tanda tadi, kalau daerah lain entahlah."

Sampai di mana daerah yang dikuasai Toa to-kau kalian?"

Melengos dari tatapan orang yang tajam, Kek-losam menerangkan dengan kebat kebit.

"Separo dari daerah jalan raya Toa-ho to."

"Orang-orang dari golongan lain, mereka berkuasa di mana saja?"

"Entahlah, biasanya kami dilarang keluar, kalau mau keluar harus minta izin dan diantar orang Ji gi-hu. Kauthau kami sudah memperingatkan siapapun dilarang main sembarangan, salah-salah kepala bisa dipenggal, maka tiada yang berani lengah di sini."

Siang Cin lantas menghampiri serta menepuk pundaknya, lalu dia membisiki apaapa sekian lama, agaknya Siang Cin harus mengulangi beberapa kali pesannya baru kemudian laki-laki tambun itu mengangguk tanda mengerti.

Maka Siang Cin meninggalkan jubah biru milik Kek-losam dan mengambil empat jubah yang lain, seperti datangnya tadi, bagai segulung angin lesus tahu-tahu ia melayang pergi.

Dengan cepat tanpa menemui rintangan ia telah kembali ke tempat menunggu Sebun Tio-bu dan Kin Jin tadi.

Sebun Tio-bu lantai menggerutu pnnjang pendek, Siang Cin minta maaf bahwa mereka harus menunggu sekian lama, lalu dia ceritakan pengalamannya terakhir dia menjelaskan rencananya untuk menyerbu ke Toa-ho-tin menurut apa yang telah dia selidiki tadi.

Kin Jin bertanya.

"Laki-laki gemuk bernama Kek-losam itu apakah takkan mengingkar janji?"

Siang Cin tertawa, katanya.

"Kukira dia tidak berani, bila dia berani bertingkah akibatnya akan fatal bagi dirinya sendiri."

"Hayolah lekas berangkat,"

Seru Sebuo Tio-bu tak sabaran, maka Siang Cin bagikan keempat jubah tadi. Empat orang segera meringkaskan pakaian mereka terus mengenakan jubah biru tua itu di bagian luar. Mengawasi empat orang itu, Siang Cin berkata.

"Perhatikan, Tangkeh dan Kin-heng harus lompat sekeras mungkin, demikian pula Le heng dan Loh-heng diharap mengikuti sepenuh tenaga, cuacu sudah mulai gelap, ini menguntungkan kita, semoga kita bisa menyelundup masuk tanpa konangan."

Lalu dia memberi tanda, segera ia mendahului melayang pergi.

Terpaksa juga Le Tang dan Loh Hou mengerahkan sepenuh tenaganya.

Dalam keremangan senja tampak lima bayangan berkelebat, begitu pesat gerakan mereka, ditambah cuaca memang sudah mulai gelap, dipandang dari kejauhan orang akan menyangka adanya bayangan burung atau gumpalan mega yang lagi bergerak.

Hanya sekejap Siang Cin sudah tiba di tempat tujuan, kini jubah kuningnya dipakainya secara terbalik, jadi warna ungu bagian dalam kini berada di luar dengan ikat pinggang warna kuning, tempat di mana sekarang dia berdiri adalah bawah loteng di mana Kek-losan berada.

Kek losan telah berdiri di sebelahnya, dengan suara tegang dia berkata.

"Agaknya mereka telah melihat adanya tanda mencurigakan sebentar pasti ada orang akan memeriksa kemari."

Sementara itu tampak bayangan orang berkelebat pula, tahu-tahu Sebun Tio-bu dan Kin Jin sudah melayang turun di kedua sisi mereka.

Siang Cm segera memberi kedipan mata kepada mereka, kedua orang maklum dan lekas menyingkir ke sana, di samping pintu tampak menggeletak empat golok tebal bcsar, mereka masing-masing memungut sebatang serta mengatur pernapasan.

Dalam pada itu Le Tang dan Loh Hou baru mencapai dua puluhan tombak, agaknya mereka telah menemukan perangkap yang berlapis-lapis itu, maka dengan gerakan gesit dan hati-hati mereka berlompatan kian kemari terus maju ke arah sini.

"Kuk, kuk", dua suara keras seperti dengkur burung tiba-tiba berkumandang di tengah kegelapan, suaranya seperti datang dari sebuah loteng kecil tak jauh di sebelah sana, begitu lenyap suara "kuk, kuk"

Ini, mendadak muncul belasan laki-laki. Siang Cin tertawa, katanya.

"Kek-losam, tibalah saatmu untuk naik pentas."

Dengan nekat terpaksa Kek-losam memburu maju, baru saja beberapa langkah, orang-orang Toa-to-kau yang berlari tiba itu sudah melihatnya, seorang yang berhidung pesek sebagai pimpinan rombongan segera berteriak.

"Kukira siapa, kiranya kau Kek-losam, kenapa tidak lekas kau panggil teman-temanmu, untuk apa berdiri melenggong disitu?"

Kek losam bergelak tertawa, segera dia tarik suaranya yang serak.

"Jangan gembargembor, mungkin kalian sudah pusing tujuh keliling, masa orang sendiri juga dicurigai."

Si hidung pesek melenggong, dia tidak menghiraukan Kek-losam. tapi dia menoleh ke arah Le Tang dan Loh Hou yang lagi lari mendatangi, hardiknya.

"Berdiri, selempang merah mengikat golok."

Le Tang dan Loh Hou terpaksa berhenti dan berdiri sambil bertolak pinggang, tanpa sangsi mereka berseru juga.

"Golok niemutus selempang merah. Hari sudah gelap, saudara-saudara masih giat bekerja juga?"

Keruan si hidung pesek kebingungan, serunya menoleh ke arah Kek-losam.

"Keklosam, apakah mereka juga orang kita sendiri?"

Kek- losam mendengus, segera dia maju mendekat serta berkata dengan lagak misterius "Bukan saja orang sendiri, malah mereka adalah orang-orang Ji-gi-hu yang pegang peranan di sini."

Kembali melenggong si hidung pesek berkata dengan nada curiga.

"Ada orang Ji-hi hu yang pegang peranan? Kenapa tidak lewat jalan rahasia malah keluyuran di daerah perangkap, Herannya, kami tidak diberi tahu sebelumnya."

Serentetan pertanyaan ini membikin Kek-losam gelagapan, baru saja dia hendak bicara, Sebun Tio-bu telah maju ke depan, dia singkirkan Kek-losam ke samping, lalu melirik hina pada si hidung pesek, katanya.

"Ada apa, kawan? Melihat sikapmu, agaknya kau tidak pandang sebelah mata kepada kami." -------------------------------- Cara bagaimana rombongan Siang Cin akan mengerjai pihak musuh? Adakah perangkap licik dan lihay yang teratur di Toa ho tin? Dapatkah pihak Busiang- pay membobolnya?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar