Bara Naga Jilid 14

Jilid 14 

 iba-tiba Sebun Tio-bu membelok ke arah kiri terus menerjang ke semak2 rumput dan berlari di jalanan kecil yang sudah lama tak pernah dilalui manusia, langsung menuju ke sebuah pohon cemara di kejauhan sana.

Kin Jin terus menguntit dengan kencang, sekejap saja mereka sudah tiba di pinggir hutan.

Di luar hutan ternyata sudah menunggu belasan orang berbaju putih dengan gelang emas melingkar di kepala, mereka adalah pahlawan2 padang rumput dari Bu-siangpay, semuanya menyambut dengan meluruskan kedua tangan.

Setelah berputar kedua kuda itu segera berhenti.

Empat orang penunggang kuda terus melompat turun, Siang Goan kan memberi hormat lalu mereka di bawa masuk ke dalam hutan, belasan laki2 baju putih itu berdiri di dua sisi dan membungkuk memberi hormat.

Kira2 puluhan langkah memasuki hutan, Siang Cin yang bermata tajam sudah melihat banyak kemah kecil yang tersebar di bawah pohon, tempat sembunyi macam orang2 Bu-siang-pay ini sudah cukup dikenalnya dengan baik, sekian banyak kemah2 itu menandakan betapa banyak pula jumlah orangnya, tapi tiada seorangpun yang kelihatan malah kalau tidak memasuki hutan, dari luar orang jangan harap beritahu bila di dalam hutan ini bersembunyi sekian ribu orang, kiranya Bu-siang-pay memang mahir mencari tempat yang strategis untuk dijadikan sebagai markas darurat.

Cukup lama juga mereka putar kayun di dalam hutan lebat ini, akhirnya tiba di depan tiga pucuk pohon cemara yang tua dan besar, waktu Siang Cin bertiga angkat kepala, kiranya diantara ketiga pohon cemara raksasa yang kebetulan berposisi segi tiga telah dibangun sebuah gubuk kayu, jadi gubuk kayu ini seperti bergantung di tengah2 pohon, jelas gubuk yang cukup besar ini baru dibangun, karena bau kayu cemara masih terasa merangsang hidung.

Kira2 lima belas langkah di depan gubuk itulah Siang Goan-kan lantas berhenti, belum lagi dia buka suara, pangkal batang pohon cemara sebelah kanan tiba2 bergerak dan terbentanglah kulit pohonnya, tampak empat orang berpakaian putih dengan langkah gesit muncul dari dalam batang pohon raksasa yang kosong itu.

Dengan suara rendah Siang Goan-kan berkata.

"Harap laporkan kepada Tayciangbun bahwa ada tamu agung yang datang."

Ke empat laki2 itu segera menarik golok serta mundur selangkah, kata seorang yang berada di kanan.

"Barusan sudah diperoleh berita sempritan akan kedatangan tamu agung, Tay-ciangbun sudah berpesan agar ditanyakan tamu agung dari mana, harap Siangsuheng menerangkan."

"Harap sampaikan kepada Tay-ciangbun, katakan bahwa Napa Kuning Siang Cin telah datang beserta dua sahabatnya."

Begitu mendengar nama Naga Kuning Siang Cin, ke empat orang itu melengak, serentak mereka menoleh dengan pandangan kagum dan hormat, sikap mereka menampilkan perasaan "beruntung dapat berhadapan dengan tokoh besar".

"Para saudara,"

Kata Siang Goan-kan kurang sabar.

"kalian masih tunggu apalagi?"

Paras wajah ke empat orang itu, pemimpinnya lantas menjura dan berkata.

"Ya, segera kami laporkan ke atas...."

Tapi sebelum orang2 ini bergerak lebih lanjut, daun pintu rumah di atas pohon itu telah terbuka, muncul seorang laki2 pertengahan umur berpakaian ala pelajar, muka putih cakap bersih, sorot matanya tajam, tiga untai jenggot menjuntai di bawah dagunya, jubah panjang yang dipakainya juga berwarna putih, di bagian pinggang mengenakan sabuk lebar dengan hiasan batu permata, sikapnya wajar dan santai, tapi menampilkan wibawa kebesaran ...."

Begitu melihat orang ini, segera Siang Goan-kan bersama ke empat laki2 baju putih tadi bertekuk lutut memberi hormat, serunya bersama.

"Sembah hormat kepada Tayciangbun."

Laki2 yang agung berwibawa ini memang pentolan yang paling berkuasa di padang rumput di luar perbatasan, Ciangbunjin Bu-siang-pay yang disanjung puji, tokoh yang mirip dongeng dalam setiap pembicaraan orang, yaitu Pek-ih coat-to (si golok sakti berbaju putih) Thi Tok-heng.

Sudah lama Siang Cin bertiga mendengar nama Thi Tok-heng, kini terasa bahwa wibawa laki2 ini memang jauh lebih besar dan angker daripada apa yang pernah didengarnya, sikapnya yang agung membuat orang akan tunduk dan patuh.

Sambil menjura, dengan suara mantap Siang Cin berkata.

"Naga Kuning Siang Cin bersama Siang-liong thau dari Jian-ki beng, Cap-pi kuncu Sebun Tio-bu, beserta Kim luijiu Kin Jin dari Tan ciu, menyampaikan selamat bertemu kepada Tay-ciangbun."

Cepat Thi Tok heng balas menjura, katanya dengan suara lantang.

"Tidak tahu bakal kedatangan tamu2 agung, Thi Tok-heng tidak mengadakan penyambutan yang layak, harap kalian suka memberi maaf,"

"Mana berani membikin repot Tay-ciangbun,"

Kata Siang Cin tertawa.

"Bahwa Tayciangbun sudi membuka pintu dan keluar menyambut, ini sudah merupakan kehormatan besar bagi kami bertiga. Terima kasih!"

Thi Tok-heng tertawa nyaring dan berkata.

"Orang bilang Jon-ciang si Naga Kuning betapa hebat dan mengejutkan kepandaiannya, tampaknya memang betul, tapi mereka tidak tahu bahwa betapa tajam ucapannya ternyata tidak lebih lemah dari pada Kungfu yang dimilikinya."

"Ah, Tay-ciangbun terlalu memuji,"

Ucap Siang Cin dengan rendah hati. Thi Tok-heng berkata lebih lanjut.

"Gubuk ini di bangun di tengah2 pohon, karena letak dan bangunannya yang serba sederhana, maka tidak menggunakan tangga atau tali gantung untuk naik turun, untuk kekurangan ini, Tok heng mohon maaf, silahkan kalian loncat ke atas saja."

Siang Cin lebih dulu mengucapkan terima kasih kepada Siang Goan-kan dan murid2 Bu-siang-pay lainnya, lalu dia memberi tanda kepada Sebun Tiobu dan Kin Jin, bertiga mereka melompat ke atas dengan ringan.

Setelah basa-basi ala kadarnya mereka dipersilahkan masuk ke dalam rumah.

Rumah ini terdiri dari dua ruangan, ruangan depan cukup besar, di sini lantainya dilembari babut yang terbuat dari kulit binatang, demikian pula dindingnya dipajangi kulit beruang, di tengah terdapat sebuah meja kayu, sebuah lilin besar yang tertancap ditatakan tembaga terletak di atas meja, sebuah badik tertancap di sebelahnya, di samping itu terdapat delapan buah kursi kayu pula, semua kursi dilapisi kulit binatang yang berbulu tebal, kecuali itu tiada pajangan apapun lagi.

Sementara ruangan di sebelah dalam yang lebih kecil adalah kamar tidur Thi Tok-heng.

Baru saja mereka berduduk, lantai yang dilembari kulit biruang di pojok sana tiba2 tersingkap, dari bawah menongol keluar kepala seorang terus beranjak naik, kedua tangannya membawa sebuah baki dengan empat cangkir porselin yang berisi teh wangi, setelah menekuk lutut memberi hormat orang ini menyuguhkan teh di atas meja terus mengundurkan diri.

Siang Cin melihat jelas bahwa batang ketiga pohon cemara raksasa ini sudah dikorek kosong bagian tengahnya, di sana dibuatkan tangga dan ruangan khusus tempat tinggal para tamu pembantu pribadi Thi Tok-heng.

Setelah menyilakan para tamunya minum, dengan sikap serius Thi Tok-heng berkata.

"Siang-tote sudi berjerih payah demi kepentingan Pay kami, beberapa kali harus mengalami pertempuran antara hidup dan mati, badan terluka dan mencucurkan darah, untuk semua itu dengan setulus hati aku menyatakan terima kasih dan selalu akan mencatat budi kebaikan yang luhur ini."

Siang Cin bersoja, katanya.

"Tidak berani, Cayhe hanya berbakti demi kawan sehaluan, Tay-ciangbun, menurut Siang-heng murid kalian, khabarnya pasukan besar kalian yang dikerahkan kemari sekali ini ada tiga ribu lima ratus lebih banyaknya?"

Thi Tok heng mengangguk, sahutnya.

"Betul, tepatnya tiga ribu lima ratus empat puluh orang."

"Bagaimana kekuatan pihak Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui, apakah Tay-ciangbun telah memperoleh bahan2 yang perlu diketahui?"

"Hanya beberapa berita yang masuk secara tersendiri dan seluruhnya belum pasti lagi, oleh karena itu kami berdiam diri, belum bergerak sebelum persoalannya menjadi terang, pahlawan2 padang rumput menempuh perjalanan sejauh ini bersama Tok-heng, betapapun aku tak boleh gegabah bertindak, setiap urusan harus diselidiki dan diperhatikan dengan seksama, supaya murid2 Bu-siang pay tidak gugur menjadi korban kelalaianku sendiri.. ...."

Merandek sebentar lalu ia melanjutkan.

"Waktu menyeberangi Liok sun ho, pihak kami menggunakan Sin-siok-kiu ( jembatan gantung ) khusus ciptaan orang2 padang rumput, jadi tidak menggunakan rakit, perahu atau peralatan lain, sebelum pasukan bergerak, lebih dulu dikirim tujuh murid Say-cu-bun dengan dua ratus anak buahnya menyelundup ke seberang, di luar dugaan mereka tidak menemui rintangan apapun, maka dengan mudah enam buah Sin siok-kiu segera kami pasang sehingga seluruh pasukan besar menyeberang melalui jembatan darurat ini dengan selamat, setelah itu kami bagi pasukan menjadi lima kelompok dan maju lebih lanjut, kemudian berhenti di sini, mata2 sudah kami sebar untuk mencari berita, cuma laporan yang kami terima satu sama lain masih merupakan berita sendiri2 sehingga sukar dianalisa menjadi suatu rumusan, memangnya Tok-heng sedang gelisah, syukurlah Thian telah mengirimkan Siang- lote bertiga kemari"

Sebun Tio-bu dan Kin Jin yang sejak tadi diam saja, baru sekarang sempat bicara, kata Sebun Tiobu dengan tertawa.

"Tay-ciangbun, kami bertiga semalam suntuk telah mengobrak-abrik Pau-hou ceng, sayang usaha menolong anak murid Bu-siang-pay kalian tidak membawa hasil apapun."

Lalu secara ringkas Siang Cin menceritakan kejadian semalam, dijelaskan pula keadaan pihak musuh yang. mereka ketahui, akhirnya dia menambahkan.

"Seratus li di sebelah depan adalah Ceciok-giam, tempat itu amat berbahaya dan strategis, jelas pihak Hek-jiutong dan Jik-san tui telah mengatur perangkap di sana menunggu kedatangan kita, bahwa mereka tidak pasang perangkap di Liok sun- ho mencegah pasukan kalian, tapi memilih Ce ciok giam, pasti di balik hal ini ada rahasia yang perlu diperhatikan."

Thi Tok-heng berpikir, jarinya mengetuk meja, katanya kemudian.

"Jit ho-hwe dan Toa to kau terjun juga ke dalam barisan mereka, hal ini sudah kudengar sebelumnya, bagaimana sepak terjang Siolian-su-cuat dari Pek-hoa kok belum pernah kudengar, tapi laporan mengatakan mereka telah menunjang kejahatan. Hek-jan-kong dari Ji-gi-hu jelas adalah tulang punggung Jik san-tui, dia menunjang Jik-san-tui adalah logis, bahwa Tianghongpay juga memusuhi kita hal ini sungguh di luar dugaanku. Mereka punya hubungan baik dengan Kun-lun-pay, karena pertikaian ini, urusan pasti akan menjalar dan berbuntut panjang .....

"

Setelah mengelus jenggot, lalu ia menyambung.

"Bahwa di Ce giok giam nanti bakal berhadapan dengan musuh memang sudah kuduga, cuma belum berani kupastikan, karena menurut penyelidikan orang2 kita, tiada gerak-gerik apapun yang mencurigakan di sana, beruntung kini memperoleh keterangan dari kalian, kalau tidak mungkin kami akan meremehkan tempat penting ini, Siang-lote .......".

"Ada petunjuk apa?"

Tanya Siang Cin.

"Kecuali Jit-ho hwe, Toa-to-kau, Sio-lan-sucoat dan Tiang-hong- pay, apakah kalian tahu ada pihak lain lagi yang membantu pihak lawan"

Siang Cin menggeleng, katanya.

"Sejauh ini hanya itu yaag kami ketahui, tapi kita harus tetap waspada dan ber-jaga2, pandanglah musuh lebih kuat daripada meremehkannya."

"Betul,"

Ucap Thi Tok-heng.

"Siang-lote, kalian tahu Jik-san-tui telah menyekap beberapa orang Bu siang-pay di Pau-hou-ceng, apa kalian tahu siapa2 kiranya yang ditahan di sana?"

"Hal itu belum sempat kami selidiki ..., .."

Sela Sebun Tio-bu. Kin Jin menghela napas, katanya.

"Kami maklum kalau Tay-ciangbun menguatirkan keselamatan para saudara yang tertawan musuh."

Thi Tok-heng tertawa ewa, katanya.

"Kin-hiante, setiap murid Bu-siang-pay tumbuh dewasa di padang rumput, hati mereka terjalin erat dengan sanubariku, hubungan kami bagai saudara atau anak kandung sendiri dan mirip sebuah keluarga besar, dua kali kami meluruk kemari, tapi semua ini hanya menyangkut urusan pribadiku dalam keluarga. Tunas muda yang gagah berani terkubur di negeri orang, mereka juga punya anak bini, tapi demi urusan pribadiku mereka harus ikut mempertaruhkan jiwa raga, setiap kali merenungkan hal ini, sungguh seperti disayat hatiku."

Setelah menghela napas Thi Tok-hong berkata, pula dengan nada semakin berat.

"Kekalahan di Pi-ciok-san boleh dikatakan kegagalanku pula, sesungguhnya kami menilai rendah kekuatan musuh dengan mengutus sejumlah pasukan kecil untuk menyerbu sarang musuh yang kuat, sebaliknya aku tetap berada di padang rumput dan anggap Busiang pay sanggup menaklukan siapapun juga. Kenyataan tiga ratus anak buah telah gugur di Pi-cioksan, jago2 kosen kita banyak yang menjadi tawanan musuh pula, kalau dipikirkan sungguh bertambah besar dosaku seorang, betapa aku ada muka untuk berhadapan dengan anak didikku .....

"

Bola mata Siang Cin yang hening menampilkan cahaya lembut, katanya.

"Tayciangbun, untuk hal ini pandanganku justeru berbeda dengan Tay-ciangbun. Seorang ketua adalah simbol kekuasaan dan kewibawaan sesuatu ikatan, secara langsung menyangkut mati hidup perkumpulannya, persoalan Tayciangbun adalah persoalan seluruh perkumpulan pula, oleh karena itu urusan yang menimpa nama baik Ciangbunjin harus dibela mati2an oleh seluruh anggota perkumpulan, demi mencuci noda dan menolong puteri kandung sendiri, adalah jamak kalau mengerahkan seluruh kekuatan perkumpulan, jadi tidak seharusnya tanggung jawab ini dipikul oleh Ciangbunjin sendiri, umpama utusan serupa menimpa pada anggota yang lain juga harus ditempuh cara yang sama. Maklumlah jiwa ksatria kaum persilatan se-kali2 pantang ternoda, janji setia insan persilatan tidak boleh diingkari, demi keadilan dan kebenaran, meski harus mempertaruhkan jiwa juga setimpal, untuk ini Tay-ciangbun boleh melegakan hati saja."

Dengan rasa haru Thi Tok-hang menatap Siang Cin, katanya kemudian dengan menghela napas.

"Lote, meski baru pertama kali ini Tok-heng bertemu dengan kau, tapi sudah kurasakan adanya ikatan batin ...."

"Untuk ini Cayhe sungguh merasa beruntung dan bersyukur ...."

Ucap Siang Cin sambil merangkap kedua tangan. Thi Tok-heng angkat cangkir mengajak minum tamunya, setelah menghabiskan tiga cangkir, lalu dia menghela napas panjang, katanya dengan suara serak.

"Yang-yang adalah putriku satu2nya, ibunya sejak terkena penyakit lumpuh, sepanjang tahun rebah di ranjang dan tak pernah keluar dari kamarnya, demi kasih sayangku terhadap putriku ini aku tidak menikah lagi, seluruh kasih sayangku dan perhatianku ku tumplek pada dirinya, sejak kecil memang terlalu kumanjakan, segala permintaannya tidak pernah kutolak, sungguh tak nyana sikapku yang terlalu memanjakan dia ini menjadikan sifatnya binal dan liar, sampai bibinya yang biasa mengurusi segala keperluannya sering dibuat jengkel olehnya. Sebagai ayah selalu ku anggap anak ini masih terlalu kecil, masih kanak2, jenaka dan menyenangkan, oleh karena itu meski sering ada orang memperingatkan aku, tapi aku tidak tega untuk memarahinya. Tak terduga justeru lantaran dia terlalu bebas inilah urusan menjadi terlanjur dan tak terkendali lagi. Entah bagaimana bayangan iblis seorang laki2 telah menyusup dalam hatinya, entah cara bagaimana Khong Giok tek si keparat itu memikatnya sehingga dia rela minggat meninggalkan ayah-ibunya yang amat mengasihinya, maka dapatlah dibayangkan betapa marah, penasaran dan kecewaku atas kejadian yang memalukan ini "

Tertekan juga perasaan Sebun Tio-bu bertiga, katanya.

"Tay-ciangbun, menurut pendapatku, urusan belum sampai separah itu? Asalkan puterimu dapat direbut kembali, Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui kita hancurkan, kalian ayah dan anak pasti akan berkumpul kembali"

Dengan tertawa getir Thi Tok-heng berkata.

"Puteriku itu kini mungkin sudah ternoda, kudengar dia sudah melangsungkan pernikahan dengan Khong Giok-tik secara sukarela, dari sini dapatlah dimengerti bahwa laki2 keparat itu telah mengisi hatinya menggantikan kedudukan ayah-bundanya, perduli apakah dapat kita merebutnya kembali, yang terang dia tidak akan bersyukur dan berterima kasih kepadaku ayahnya, malah sebaliknya dia merasa benci dan dendam karena kami akan menghancurkan kebahagiaannya bersama kekasih yang dicintainya itu ......."

Melongo juga Sebun Tio-bu mendengar uraian ini, analisa Thi Tok-heng memang mendekati kebenaran dan kenyataan, tapi juga bernada dingin dan kejam, urusan sudah terlanjur, demi mempertahankan gengsi dan melampiaskan penasaran, jiwa boleh di sabung, raga boleh dipertaruhkan, tapi apa yang akan dihasilkan dari pertempuran besar ini? .

Entah sejak kapan bunga salju beterbangan di angkasa, embusan angin barat menderu kencang terasa dingin Hujan salju semakin lebat, derap kaki kuda yang tak terhitung jumlahnya itu berdetak di tanah berlumpur, rombongan demi rombongan orang berbaju putih dengan gelang emas melingkar di kepala tengah menuntun kuda masing2 keluar dari hutan belukar sana, gerak-gerik mereka tampak cekatan dan lincah.

Pek-ih coat-to Thi Tok heng tampak bertengger di punggung seekor kuda yang gagah kekar dan tinggi, kuda ini berwarna hitam dengan bulunya mengkilap.

Sungguh kuda yang hebat, kepalanya besar, telinga panjang berdiri, keempat kakinya panjang dengan bulu putih menghiasi ke empat tapalnya, sikapnya yang gagah sungguh mempesona.

Thi Tok-heng memandang ke arah Siang Cin dengan senyuman lebar.

Kini Siang Cin sudah berganti naik seekor kuda coklat yang besar dan kekar pula, sementara Sebun Tiobu, Kin Jin masing2 tetap menunggang kuda kesayangannya sendiri.

Kira2 setengah tanakan nasi, di tegalan belukar itu sudah terkumpul sekitar delapan ratus penunggang kuda yang semuanya berpakaian putih, tanpa banyak suara mereka bergerak ke barisan masing2, semuanya berdiri di tempat yang telah ditentukan.

Saat itu adalah pagi hari kedua sejak kedatangan Siang Cin bertiga.

Lima penunggang kuda tampak tampil dari tengah barisan dan menuju ke depan Thi Tok-heng, pemimpin kelima penunggang kuda ini adalah seorang tua kecil kurus, karena tubuhnya betul kurus kerempeng, perawakannya kecil lagi, seragam putih yang dipakai orang lain kelihatan gagah dan kereng, baginya jadi kelihatan komprang dan lucu.

Dalam perundingan semalam, Siang Cin bertiga sudah melihat laki2 tua kurus kecil ini diundang hadir, dia adalah kepala pengawal pusat, Yu-hun-kou cay ( si sukma gentayangan berjari satu ) Ho Siang-gwat.

Empat penunggang kuda di belakangnya, seorang yang berkepala besar dengan muka merah berbadan gemuk, ialah pahlawan utama di bawah Ho Siang-gwat, namanya Soanpoh- jiu (si kampak) Tong Yang-seng.

Sementara laki2 yang bermuka kuning seperti orang sakit adalah Ping-long (serigala gering) Pau Thay-kik, orang ketiga berbibir merah bergigi putih, berwajah cakap, berusia masih muda, dia adalah Pek-ma-gih-cui (si gurdi berkuda putih) Kang Siu-sin, sedang orang ke empat yang berperawakan besar kekar adalah Koanjit- khek (si kilat) Mo Hiong.

Keempat orang ini semalam Siang Cin sudah melihatnya, Ho Siang gwat yang berbiji mata besar itu lantas berseru lantang.

"Ciangbun Suheng, segalanya sudah beres dipersiapkan, tinggal menunggup perintah untuk bergerak."

Thi Tok-heng mengangguk, katanya kereng.

"Ke empat pasukan yang lain, apa sudah kau hubungi mereka?" . Ho Siang-gwat tertawa, katanya.

"Sejak tadi sudah kukirim kabar kepada mereka, merekapun sudah mempersiapkan diri, malah setengah jam lebih dini dari pada kami, sekarang mungkin sudah hampir sampai di tempat yang ditentukan, memangnya siapa yang berani main2 dengan keputusan rapat semalam?"

Sampai di sini Ho Siang-gwat menoleh ke arah Siang Cin dan menambahkan.

"lote, hari ini kami ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri akan kehebatan Kungfumu, betapa cepatkah gerakanmu ...."

"Mungkin Toa-houcu akan kecewa nanti,"

Ucap Siang Cin dengan tertawa. Ho Siang gwat tergelak, katanya..

"Lote, jangan, jangan sungkan ...."

"Toahoucu,"

Sela Thi Tok-heng.

"Orang2 Siang Goan-kan sudah ditarih kembali, apakah pasukan Say cu-bun juga sudah kembali ke pasukan induknya?"

"Sudah ditarik kembali sebelum kita berkumpul tadi,"

Sabut Ho Siang-gwat. Segera Thi Tok-heng menggentak kudanya dan berseru.

"Hayo berangkat!" Ho Siang-gwat mengiakan sambil mundur, ia memberi tanda, maka suara tanduk lantas berbunyi menggema angkasa, barisan berkuda dengan dengan penunggang serba putih mulai bergerak dalam formasi yang teratur. Thi Tok-heng mengulap tangan, katanya.

"Kalian juga silahkan."

Maka Siang Cin bertiga lantas mengiringi Thi Tok-heng berada di belakang pasukan besar, dalam pada itu di bawah pimpinan Ho Siang-gwat, kelima orang tadi sudah larikan kudanya menuju ke barisannya masing2.

Pasukan berkuda ini hanya dilarikan pelan2 saja, sorot mata Thi Tok-heng menampilkan cahaya yang aneh mengagumkan, katanya sambil menoleh kepada Siang Cin.

"Lote, waktu semalam kau mengumumkan kematian Siu-cu, semua pimpinan barisan yang hadir dalam pertemuan itu merasa sedih, dendam serta gegetun, maklumlah Siu Cu bergelar Thi-tan, tak nyana dia tewas dalam usia muda."

Guram air muka Siang Cin, katanya menyesal.

"Waktu itu Cayhe pernah berjanji kepadanya untuk membawa pulang tulang belulangnya ke padang rumput, tak terduga karena situasi waktu itu, tak sempat aku menyelamatkan jenazahnya, ....Tapi bahwa aku sudah pernah berjanji, maka pesannya pasti akan kulaksanakan, betapapun sulitnya aku pantang ingkar janji, kalau tidak, di alam baka juga Ang heng tidak akan tenteram ...."

Setelah menghela napas rawan, Thi Tok-heng berkata.

"Begitu berita kekalahan tempo hari tersiar ke padang rumput, aku lantas merasakan firasat jelek, tapi masih kuharapkan berita itu hanya kabar angin saja, tak kira murid yang kuutus mencari berita belum lagi pulang, dua orang murid dengan luka parah sudah pulang ke rumah ....Kemudian It-cohcan Hoan Tam juga kembali dalam keadaan runyam, maka keputusan untuk mengerahkan pasukan besar Bu-siang-pay kita juga lantas diputuskan ....Siang-lote, bicara soal ini, mau tidak mau aku menjadi gemas, tidak kepalang dendam dan kebencianku ... ." .

"Tay-ciangbun, sekian tahun Cayhe berkelana di Kangouw, selamanya belum pernah aku menyiksa diri dengan bara dendam, karena bila Cayhe berkeputusan, maka pembalasan dendam segera kulaksanakan,"

Berhenti sebentar, Siang Cin menambahkan. "Sekarang Tayciangbun, tibalah saatnya untuk menuntut balas sakit hati."

Bercahaya mata Thi Tok-beng, seketika ia membusungkan dada serta berkobar semangat juangnya, serunya dengan tepuk tangan.

"Betul, ucapanmu memang betul saudaraku, kini tibalah saatnya untuk membalas dendam kesumat ini."

Sebun Tio-bu bergelak tertawa, serunya.

"Kalau begitu, kenapa Tay-ciangbun tidak suruh mereka mempercepat lari kuda dan mengadakan serbuan besar2an."

Untuk pertama kalinya Thi Tok-heng tertawa lebar dan segar, serunya.

"To Wankang, perintahkan untuk mempercepat laju barisan"

Salah seorang penunggang kuda yang sejak mula selalu mengikut di belakang segera membedal kudanya ke depan, dia memutar satu lingkaran dan memberi tanda, maka barisan besar segera membedal kuda dan berlari kencang ke depan.

Dengan senang Thi Tok-heng berkata.

"Empat penunggang kuda yang selalu mengiringi perjalananku, ini adalah pengawal pribadiku, mereka dinamakan Jik tansu kiat ( empat pahlawan setia ), yang kusuruh menyampaikan perintah tadi bernama To Wankang, orang pertama dari Jik tan-su-kiat,"

Siang Cin tertawa, katanya.

"Kali ini tiga Bun dan Cong-tong ikut datang di bawah pimpinan Tay-ciangbun, entah berapa jumlah jago2 kosennya. pertemuan semalam agaknya mereka belum, hadir seluruhnya?"

Dengan tertawa lebar Thi Tok-heng berkata.

"Jago kosen ada dua puluh tiga dengan anak buah tiga ribu lima ratus lebih, Siang-tote, kalau mereka berjuang mati2an, kukira musuh akan pusing kepala dan dibikin kocar-kacir."

Belum Siang Cin menanggapi, Sebun Tio-bu sudah bergelak tertawa.

"Bukan hanya kepala pusing saja, malah sukma akan terbang dan nyalipun pecah, melihat barisan serba putih ini dengan kemilau gelang emas di kepala, golok sabit bagai hutan lebatnya, derap kuda yang gemuruh, tanggung Hek jiu-tong dan Jik san-tui akan lari ketakutan."

Dengan lantang Thi Tok-heng berkata.

"Sebun lote jangan memuji, Jian-ki-beng pimpinanmu itu bila beraksi mungkin jauh lebih hebat daripada ini .......

"

Sebun Tio-bu tertawa, katanya.

"Ah, hanya sinar kunang2 belaka, mana dapat dibandingkan dengan cahaya rembulan, hehe .......

" . Kin Jin melirik ke arah Sebun Tio-bu, godanya.

"Tangkeh, sejak kapan kaupun pandai merendah diri?"

Di tengah gelak tertawa orang banyak barisan besar ini terus maju sampai hari menjelang malam baru berhenti dan berkemah.

Hari kedua, menjelang terang tanah udara mendung, angin barat daya mengembus kencang, menyapu segala benda di bumi yang dapat digulungnya, pada menjelang fajar yang dingin ini, menambah perasaan tegang dan mengobarkan semangat tempur..Siang Cin, Thi Tok-heng dan lain2 membungkus diri dengan mantel masing2, kecuali muka mereka yang kelihatan, seluruh badan terbungkus di dalam mantel tebal, namun demikian hawa dingin masih membuat badan menggigil.

Pemuda cakap bergelar Pek ma-gin cui Kang Siu-sim sering mondar-mandir membawa berita, kini dia berlari datang pula dengan gerakan lincah.

Thi Tok-heng lantas bertanya.

"Siu-sim ke empat pasukan yang lain apakah sudah berkumpul?"

Dengan suara serak Kang Siu-sim berkata.

"Pasukan Bong ji-bun, di bawah pimpinan Utti Han-poh Cuncu baru saja tiba, mereka berada di samping kanan Ce-ciok giam, jadi empat pasukan besar seluruhnya sudah terkumpul?"

Thi Tok heng bertanya pula.

"Apakah kurir yang diutus ke Cu ji wa untuk memanggil Kim cuncu sudah kembali?"

"Belum,"

Sahut Kang Siu sim.

"kemungkinan mereka terlambat, tak sempat mengikuti pertempuran di sini."

Thi Tok-heng berpaling memohon pendapat Siang Cin.

"Siang lote, menurut pendapatmu apa perlu kita menunggu kedatangan Kim cuncu baru mulai bergerak?"

Berpikir sebentar, Siang Cin berkata.

"Lebih cepat lebih baik, supaya musuh tidak bersiaga, kukira biarlah kita bergerak lebih dulu saja."

"Betul,"

Timbrung Sebun Tio bu setelah menguap.

"hawa sedingin ini, kalau tidak melemaskah otot, orang2mu bisa beku di sini. Tay-ciangbun, bila tiba saatnya menyerbu Pao-hou-ceng, berilah kesempatan kepada Kim-cuncu untuk unjuk kebolehannya."

Cuaca masih gelap, bunga salju bertebaran di angkasa, sekuntum bunga salju melayang jatuh di muka Thi Tok hong, seketika cair menjadi butiran air terus meleleh ke dagunya, pelahan mengusap air di mukanya Thi Tok- heng berkata.

"Baiklah, Siu-sim, perintahkan kepada pasukan kita siap menyerbu."

Kang Siu sim mengiakan, setelah memberi hormat, selincah kelinci dia melompat ke sana melaksanakan tugas.

Hujan salju semakin lebat, hawa tambah dingin dan hening.

Pelahan tanpa terasa secercah cahaya kuning mulai terbit di ufuk timur, seperti diselimuti awan tebal, garis kuning yang mulai tampak itu menjadi remang2.

Thi Tok-heng membuka ikatan sebuah buntalan panjang melengkung yang digenggamnya sambil berkata rawan.

"Inilah hari yang menegangkan urat syaraf, alam semesta se-olah2 jikut prihatin ..... ."

Siang Cin tertawa, katanya dengan nada rendah.

"Tay-ciangbun, hari yang mengesankan ini akan selalu terukir dalam sanubari setiap orang, Ce ciok-giam akan direbut dengan cucuran darah ......."

Thi Tok heng menghela napas, katanya serak.

"Sebelum pertempuran berlangsung, cuaca justeru seburuk ini, memberi alamat situasi yang bakal kita hadapi akan lebih mengenaskan lagi . .......Tapi seperti apa yang Siang-lote katakan tadi, hari2 yang akan datang ini akan terukir dalam sanubari kita, betapa banyak jiwa raga yang akan terkubur di tegalan ini, membeku di bawah timbunan salju....

"

Tengah bicara tampak sesosok bayangan orang melompat datang pula, dia adalah Kang Siu sim. Dengan kereng Thi Tok-heng berkata.

"Siu-sim, sudah siap seluruhnya?"

Wajah Kang Siu-sim yang putih cakap kelihatan merah bersemangat dan berkeringat, sahutnya cepat.

"Seluruh barisan sudah siap melaksanakan penyerbuan ke arah yang sudah ditentukan, tinggal menunggu perintah Tayciangbun untuk mulai bergerak."

Setelah mengawasi angkasa sesaat, kemudian Thi Tok-heng ambil keputusan dan mengangguk.

"Perintahkan bergerak menurut siasat yang telah direncanakan semalam."

Dengan penuh semangat kembali Kang Siu-sim berlari ke sana, sekejap itu pula bunyi terompet mengalun tinggi bergema di udara.

Belum lagi suara terompet yang satu ini berhenti, dari berbagai penjuru menyusul bunyi terompet yang sama pula, paduan suaranya yang keras dan bergelombang terdengar gagah bersemangat, membakar tekad juang setiap insan yang mendengarnya.

Maka ribuan kuda serentak bergerak, suara lantang seorang lantas berteriak.

"Seluruh anak2 Say-cu-bun dengarkan, tibalah saatnya baju putih Bu-siang-pay dari padang rumput menyerbu Toa ho tin, gunakanlah darah kita untuk menebus utang musuh terhadap para saudara yang telah gugur". Ribuan suara serempak menanggapi seruan lantang itu.

"Serbu!" - Suara yang dihinggapi emosi, penuh rasa dendam dan duka. Seekor kuda mendahului menerjang ke depan dengan melambaikan mantelnya yang berkibar, golok melengkung teracung di atas kepalanya, di belakangnya ribuan kuda segera mengejar dengan kencang menuju ke Ce-ciok-giam, cahaya golok berkilau berpadu dengan kemilau cahaya kuning emas, tapal kuda berderap di tanah bersalju sehingga terasa bumi seperti bergoncang, raut muka setiap orang tampak merah bersemangat dan tidak kenal takut. Empat penunggang kuda berjajar di belakang dengan tenang Thi Tok-heng mengawasi pasukan Say-cu bun bergerak maju, wajahnya tidak memperlihatkan perasaan apa2, katanya.

"Para Lote, yang memimpin barisan pelopor kita itu adalah Seng si-to Ih Ce, Toacuncu dari Say-cu-bun."

Siang Cin mengangguk dan memuji.

"Orang ini gagah berani."

Tengah bicara, pasukan berkuda yang terdepan mendadak terjadi keributan, jeritan, teriakan, caci maki campur aduk dengan ringkik kuda, barisan kuda yang berderap ke depan menjadi kacau-balau, berlompatan, saling himpit dan tumbuk, para penunggangnya tampak berusaha mengendalikan kuda masing2, tapi tidak sedikit yang sudah terjungkal jatuh, sementara barisan yang di belakang masih terus menerjang maju, kuda sama berdiri dan saling tindih, tak sedikit pula yang terluka oleh golok sendiri, dalam sekejap mata belum lagi pertempuran berlangsung, pasukan kuda ini sudah roboh sebagian besar.

Sikap Thi Tok-heng tetap tenang dan tidak terpengaruh sedikitpun oleh perubahan mendadak ini, tapi Sebun Tio-bu yang berangasan tak tahan lagi dan mencaci.

"Maknya, apa yang terjadi?"

Siang Cin diam saja, perhatiannya tumplek ke arah depan, dilihatnya dari samping kanan sana seekor kuda tengah dibedal balik ke sini. Karena ucapannya tidak ditanggapi, Sebun Tiobu berludah, teriaknya.

"Thi-ciangbun, biar aku menerjang ke sana, akan kubeset kulit dan mencacali tubuh para keparat itu."

Thi Tok-heng tersenyum, katanya kereng.

"Harap tunggu sebentar, Sebun-lote, kalah atau menang sekarang masih terlalu pagi untuk dikatakan. Sementara itu si penunggang kuda itu sudah dekat, penunggangnya adalah seorang laki2 berkepala besar, mukanya berewokan, cuaca sedingin ini tapi keringat tampak membasahi seluruh badannya sampai pakaian lengket, napasnya memburu, melihat Thi Tok-heng dia lupa memberi hormat, dengan cepat dan gugup ia berteriak.

"Lapor Tayciangbun, dua puluhan tombak sebelum Ce ciok-giam, musuh menggali perangkap sepanjang ratusan kaki dengan lebar delapan kaki, dalam lubang jebakan penuh dipasangi bambu runcing, tiga ratus pasukan pelopor kita ada dua ratusan yang kejeblos perangkap musuh, dikala mereka terjungkal jatuh itulah, dari atas Ce-ciok-giam beterbangan ratusan kantong kapur untuk menimbun lubang perangkap, para saudara yang jatuh ke dalam perangkap mungkin tiada seorangpun yang selamat .....

"

"Bagaimana keadaan Ih-cuncu?"

Tanya Thi Tok-heng dengan suara dingin.

"Cuncu selamat,"

Sahut orang itu. Thi Tok-heng mengangguk, katanya.

"Perintahkan, maju terus!"

Laki2 itu mengiakan dan putar kudanya, tapi baru kudanya mau dibedal, selarik sinar terang panah berapi mendadak menjulang tinggi ke angkasa.

Maka barisan kuda yang sudah kacau balau itu segera bergerak melebar, lekas sekali mereka membuat setengah lingkaran, seorang penunggang kuda tampak berdiri di tengah lingkaran, orang ini bukan lain ialah Seng-si-to Ih Ce.

Padahal jaraknya lebih dari satu li, tapi teriakan Ih Ce yang gagah itu kedengaran lantang.

"Serbu! ... ."

"Serbu! ...."

Serempak pasukan berkuda pun menerjang dengan suara gegap gempita, laksana air bah dahsyatnya.

Ketika pasukan berkuda yang hebat ini tiba di depan parit galian, mereka tidak langsung melompat maju dan menyerbu lebih lanjut, barisan yang terdepan segera menarik kendali membelokkan arah kudanya terus berputar balik dari arah lain, dikala membelokkan kudanya itu, tampak ratusan larik sinar kemilau beterbangan, tombak2 bersula tampak berseliweran ditimpukkan ke arah Ce-ciok-giam sederas hujan lebat.

Baru saja barisan pertama berkisar pergi, rombongan kedua menerjang maju pula, kembali hujan lembing meluncut ke atas Ce ciok-giam, begitulah seterusnya sampai tujuh kali, sementara rombongan pertama yang berputar ke belakang mulai menerjang maju pula terus melompati parit langsung menerjang ke Ce-ciok-giam.

Jauh di belakang dengan seksama Thi Tok-heng mengawasi medan pertempuran, pelahan dia berkata.

"Kukira urusan tidak semudah ini .....

"

Siang Cin manggut, ucapnya.

"Ya, pasti masih ada perangkap lagi ...."

Belum habis dia bicara, suara ribut berkumandang dari depan, ringkik kuda bercampur jerit dan pekik para penunggangnya.

Cepat Siang Cin, dan lain2 memandang ke depan, kiranya pasukan berkuda yang menerjang ke Ce-ciok-giam semuanya roboh terjungkal, tiada seekor kudapun yang tetap berdiri tegak, seluruhnya jatuh bergulingan dipandang dari kejauhan, yang memiliki mata tajam dapat melihat jelas ada dua ratusan orang berpakaian merah entah muncul dan mana, semuanya tengah menarik jaring yang sejak mula telah direntang, tidaklah heran bila dua ratusan pasukan berkuda itu sama terjungkir balik di dalam jaring.

Dari balik batu Ce-ciok-giam sana lantas terjadi hujan panah, seluruhnya di arahkan kepada pasukan berkuda Bu-siang-pay yang sudah bergelimpangan di tengah jaring, kontan separuh lebih roboh menjadi korban.

Patut dipuji sisa pasukan yang masih hidup, meski ada yang terluka mereka tetap tenang, ada yang rebah diam saja, ada pula yang sembunyi dibalik kuda yang berjingkrak, serentak berpuluh batang tombak bersula batas menyerang ke arah musuh yang masih terus berusaha menjaring mereka.

Dalam sekejap puluhan orang penarik jaring itu sama terjungkat roboh, sambil berteriak kaget dan panik semuanya lantas kabur, tidak sedikit pula yang terhunjam mampus oleh tombak bersula.

Thi Tok-heng menghela napas gegetun, katanya.

"Tombak itu seluruhnya dilumuri racun, begitu badan tergores ujung tombak, dalam tujuh langkah jiwa pasti melayang."

"Bagus, ini baru sedap,"

Sorak Sebun Tio bu.

Serbuan pasukan berkuda be dalam Ce-ciok giam untuk sementara menjadi terhalang, maklum kuda dan para penunggangnya yang terjaring dan menjadi korban kelicikan musuh ini, menjadikan penghalang barisan belakang yang hendak menerjang lebih lanjut, kini pasukan Say-ji-bun sudah terbagi empat baris, sayang dalam waktu dekat sulit bagi mereka untuk menyerbu lebih lanjut.

Dingin berwibawa sorot mata Thi Tok-heng, katanya sambil menoleh.

"Siang-lote, dalam keadaan seperti ini, kalau menurut pendapatmu, cara bagaimana agar dapat mengatasi situasi?"

Siang Cin berucap dengan kalem.

"Turun dari kuda, menerjang dengan berjalan ... ."

Belum lagi berakhir tanggapan Siang Cin, pasukan berkuda yang terbagi menjadi empat baris itu serempak melompat turun dari kuda masing2, bagai banteng ketaton, semuanya angkat senjata terus melompati parit dan menyerbu ke dalam Ce-ciok giam.

"Pendapat bagus,"

Puji Thi Tok-heng sambil tersenyum. Dengan tak sabar Sebun Tio-bu berkata.

"Tay-ciangbun, kupikir, kini tiba saatnya kita ikut terjun ke medan laga ...."

"Harap tunggu lagi sebentar,"

Kata Thi Tok-heng dengan tersenyum.

Sorak sorai gegap gempita penyerbuan besar2an bergema menggoncang bumi, orang berbaju merah itu semuanya berwajah bengis, bukan saja pakaian merah ketat, ikat pinggangnyapun merah, banyak yang bertubuh kuat dan bertelanjang dada dengan kampak di kedua tangan, bagai orang gila tanpa mengenal, takut merekapun menyambut serbuan golok sabit murid2 Bu-siang-pay.

Munculnya orang2 Jik san-tui memang terlalu mendadak, jumlahnya juga berlipat ganda daripada orang Bu-siang-pay, dalam sekejap pertempuran terbuka berlangsung dengan sengit, Ce-ciok-giam menjadi ajang pertempuran adu jiwa.

Murid2 Say-cu-bun dari Bu-siang-pay menjadi terkepung di tengah orang Jik san tui, tapi mereka tidak gentar, dengan tabah mereka menerjang sambit mengerjakan golok sabit, sekuat tenaga dan mengerahkan segala kemampuan untuk melabrak musuh dari kejauhan tampak jelas, betapa tangkas dan gesit bayangan putih yang berkutet di tengah musuh yang serba merah, perbedaan warna yang menyolok ini membuat arena pertempuran dapat disaksikan dengan jelas dari kejauhan, meski menang dalam jumlah, tapi orang2 Jiksan- tui menjadi kacau-balau diserbu musuhnya yang kesetanan, tak sedikit korban jatuh dipihak musuh.

Thi Tok-heng memejamkan mata sekejap, katanya kemudian.

"Baiklah, kini tiba saatnya kita bergerak."

"Tay-ciangbun,"

Sekilas pikir Siang Cin berkata.

"kukira tidak seharusnya Tayciangbun sendiri terjun ke arena, situasi medan pertempuran ini harus dalam kekuasaanmu, mereka masih memerlukan petunjukmu, bila pihak kalian kehilangan pegangan, situasi bisa berbalik menguntungkan musuh."

Berpikir sebentar, akhirnya Thi-Tok heng mengangguk katanya.

"Pendapat bagus, aku memang ceroboh, tapi terpaksa harus menyusahkan kalian bertiga saja."

Lalu dia berputar dan mengangkat sebelah tangannya ke arah Jik-tan-su-kiat yang berjajar di belakangnya, Tok Wan kang yang tertua segera larikan kudanya, suitan nyaring seketika berkumandang, suitan disusul suitan terus bersambung ke medan tempur, suaranya semakin melengking tinggi, dikala suara suitan itu mencapai titik tertinggi di kejauhan, mendadak bergema balik lalu sirna.

Maka pasukan berkuda lain yang sejauh ini bersembunyi serempak bergerak, bunga salju berhamburan sehingga tanah tegalan yang luas dikejauhan sana seperti dibungkus kabut tebal, pasukan berkuda serba putih dalam sekejap telah berbaris rapi dengan gagah perkasa.

Memandang ke sana sebentar, mendadak Siang Cin berseru kaget.

"Tay-ciangbun, apakah pasukan yang langsung di bawah komando Cong-tam juga akan diterjunkan ke medan sana?"

Lekas Thi Tok-heng menjelaskan.

"Betul, memang Hwi ji bun sudah kupersiapkan sebagai pasukan belakang, barisan Bong-ji-bun kujadikan pasukan sayap kanan kiri, sementara pasukan yang langsung di bawah komando Cong-tam kusimpan untuk membantu Say-cu-bun sebagai kekuatan inti untuk melabrak musuh, waktu berkemah tadi Hwi ji-bun sudah kubagi jadi dua kelompok yang berkedudukan di dua tempat, kini mereka sudah kupendam di dua sisi Ce ciok-giam, bila tidak penting dan diperlukan, kedua kelompok pasukan ini tidak akan kukerahkan."

"Itu baik sekali. Tay-ciangbun,"

Ucap Siang Cin.

"Sekarang kami akan maju... !"

Baru saja dia hendak ajak Sebun Tio-bu dan Kin Jin berangkat. tiba2 Thi Tokheng berkata "Siang-lote .. .."

"Apakah Tay-ciangbun masih ada petunjuk?"

Tanya Siang Cin. Sepasang mata sang pemimpin besar yang bijaksana ini memancarkan rasa terimakasih, haru dan simpatik, suaranya rendah mantap.

"Harap kalian menjaga diri baik2, seluruh anak murid Bu siang pay yang terjun ke medan laga kuserahkan kepadamu untuk memerintah mereka."

Bimbang sejenak, akhirnya Siang Cin menjura, katanya.

"Dalam waktu segenting ini, tak perlu Cayhe main sungkan. Tay-ciangbun, biarlah Naga Kuning memberanikan diri menerima beban berat ini."

Thi Tok-heng balas menjura, katanya. Tok-heng amat berterima kasih."

Bersama Sebun Tio bu dan Kin Jin, Siang Cin segera keprak kudanya ka depan, tapal kuda berderap maju segencar bunyi tambur ber talu2, di antara lambaian baju2 putih pasukan berkuda yang langsung di bawah komando Cong-tam segera bergerak.

Sebun Tio bu melongok ke arah Ce-ciok giam didepan, lalu berpaling ke belakang ke arah pasukan berkuda, akhirnya dia menghela napas, katanya dengan nada kagum "Siangheng, bahwa Bu-siang- pay terkenal di seluruh jagat, menggetarkan dunia persilatan, kesuksesan mereka kiranya bukan secara kebetulan, coba kau lihat, dengan perbawa seperti ini, gagah berani, setia dan bersemangat tinggi, semua ini menandakan betapa keras disiplin mereka, sungguh patut dipuji."

Siang Cin sependapat, katanya.

"Benar, hari ini baru terbuka mata kita .......

"

Kin Jin yang jarang bicara kini ikut tertawa, katanya.

"Jangan suka mengagulkan orang lain melulu, Tangkeh perserikatan Jian ki beng (ribuan penunggang kuda) di bawah pimpinanmu itu kan juga bukan pelita yang remang2."

Tertawa Sebun Tio-bu dan berkata.

"Bagus, cukup sepatah katamu ini, aku Sebun Tio bu selama hidup ini akan mengikat kau sebagai sahabat Siang Cin dan Kin Jin hanya tersenyum saja, pada saat itu Congtong Toa-houcu Ho Siang gwat dari Bu-siang pay telah memacu kudanya mengejar tiba. Cepat Sebun Tio-bu berteriak.

"Ho-toahoucu, ada apa?"

Ho Siang-gwat ter gelak2, katanya.

"Mohon tanya kepada kalian, kita tetap menggempur dengan pasukan berkuda atau menyerbu berjalan kaki?"

Seperti punya perhitungan yang meyakinkan Siang Cin menjawab.

"Serbu dengan berjalan kaki, tapi tiga ratus pasukan berkuda harus tetap dipertahankan di luar parit."

Ho Siang-gwat tidak banyak bicara lagi, ia memberi tanda ke belakang, maka lima puluhan anak buahnya di bawah pimpinan Ping long (serigala penyakitan) Pau Thay ki segera memacu kudanya ke depan, dua puluhan orang penunggang kuda membawa papan sepanjang setombak lebih dengan lebar lima kaki, kedua sisi papan ini tampak dipasang gelang besi dan gantolan sebesar jari.

"Toa-houcu,"

Tanya Siang Cin lirih.

"apakah itu?"

Ho Siang-gwat tertawa, katanya.

"Itulah Sin-siok-kio ciptaan khas Bu-siang-pay kita yang tiada keduanya di dunia ini."

"O, jadi dengan permainan inilah kalian berhasil menyeberangi Liok-sun-ho tanpa kurang suatu apapun?"

Ho Siang gwat mengangguk dengan bangga, sahutnya.

"Ya, betul."

Dikala mereka bicara Pau Thay ki dan lain2 sudah tiba di depan parit, tampak sepanjang tanah galian penuh berserakan bambu2 yang patah dan tikar rusak serta rumput2 kering.

Pau Thay-ki tahu bambu, tikar dan rumput2 kering inilah yang telah mengelabui pasukan Say-ji-bun sehingga banyak jatuh korban, tanah galian sedalam dua tombak, keadaan yang porak-poranda masih mengepulkan debu kapur yang terhembus angin, sementara jerit rintih serta ringkik kuda masih terdengar dari dalam lubang, bila diawasi lagi ujung bambu runcing yang dipasang tegak lebat itu banyak berlepotan darah, manusia dan kuda sama terhunjam mampus oleh bambu runcing ini, semuanya gugur dalam keadaan yang mengerikan.

Di gundukan tanah di sepanjang tepi parit ini, mayat bergelimpangan, yang terluka parah atau enteng, semua dalam keadaan payah, para korban sebagian besar adalah orang Bu-siang-pay.

Betapa ngeri dan pedih hati Pau Thay-ki dan lain2, tapi dengan mengertak gigi segera dia memberi aba2.

"Pasang jembatan!"

Lima puluhan prajurit berkuda serempak melompat turun, mereka tampak sedih, tapi rasa dendam tampak pula membakar mereka, tanpa bicara dengan cekatan mereka bekerja secara terlatih, mereka bekerja dengan menahan, rasa pilu dan dendam, dengan cepat sekali papan2 panjang yang bergantolan itu disambung satu dengan yang lain, ada yang pasang tiang serta mengayun palu, lembaran papan segera tersambung terus membujur ke depan, sampai akhirnya papan terdepan menyentuh tanah di seberang sana.

Lekas sekali beberapa buah Sin-siok-kio telah berhasil dipasang, Pau Thay-ki berpaling ke belakang, sementara itu pasukan besar berkuda juga telah tiba, lima ratusan murid Busiang- pay sekali mendapat aba2, seluruhnya melompat turun, dengan tenang dan teratur mereka membentuk dua barisan besar, cepat dan tangkas terus lari ke seberang melewati jembatan yang telah terpasang.

Di samping itu masih ada tiga ratusan pasukan berkuda berdiri diam dalam tiga barisan tersendiri.

di bawah pimpinan Kang Siu-sim, mereka tetap menunggu perintah lebih lanjut.

Cepat2 Ho siang-gwat mendekati Pau Thay-ki, katanya.

""Bawalah dua puluhan anak buahmu, kumpulkan kuda kawan2. Coba lihat, semua lari serabutan, mereka memang sudah keranjingan membantai musuh hingga kuda masing2 tidak dihiraukan lagi."

Pau Thay-ki mengiakan, dengan suara tersendat dia berkata pula.

"Toa-houcu, saudara2 yang ada di dasar parit ...."

Ho Siang-gwat mendengus, omelnya.

"Aku sudah tahu, apa yang harus disedihkan?. Begitulah akhir kehidupan seorang pahlawan, memangnya kita harus mati dalam pelukan perempuan, menangis ter-gerung2 seperti kaum lemah?"

Mata Ho Siang-gwat mendadak mencorong merah, desisnya pula dengan penuh kebencian.` "Utang darah ini akan kita tagih dengan rentenya. selamanya Bu-siangpay tegas membedakan budi dan dendam ..... Thay-ki, jangan lupa, tolong para saudara yang luka2."

Hanya sejenak ini sudah lebih dari separuh lima ratusan murid Bu siang-pay itu telah menyeberangi Sin-siok-kio. Siang Cin yang sejak tadi mengawasi segera menghampiri, katanya dengan tenang.

"Toa-houcu, Sebun-tangkeh dan Kin-heng sudah menungguku di tepi parit sana, kulihat anak buahmu di bawah pimpinan Thong Yang seng dan Mo Hiong itu seluruhnya gagah berani, kupikir sekarang juga boleh mulai mengadakan serbuan besar2an."

Lekas Ho Siang-gwat berkata pula.

"Terserah akan putusan Lote saja."

"Sekarang juga ku pergi, setelah seluruh barisan menyeberang Toa-houcu boleh segera menyusul."

Ho Siang-gwat mengiakan.

Siang Cin menarik napas lega, tanpa kelihatan dia membalik tubuh, tahu2 dia mumbul ke atas terus melayang ke seberang sana seringan burung terbang.

Sebun Tio-bu yang sudah menunggu di depan sana sampai terpesona, ia berseru memuji.

"Siang-heng, sungguh Ginkang yang hebat."

Siang Cin menanggapi dengan tawar.

"Ah, biasa saja."

Kin Jin yang berada di sebelah Sebun Tio bu segera berseru.

"Wah, betapa ramainya di depan sana, hayolah jangan kita buang2 waktu."

Lekas Siang Cin berpaling ke sana, di dasar Ce-gok-giam banyak batu2 besar dan kecil dengan aneka ragam bentuknya, bentrokan-langsung pasukan kedua pihak ternyata telah mencapai puncaknya, murid2 Bu-siang-pay bertempur dengan gagah berani bagai harimau yang haus darah, dengan gigih mereka melabrak musuh yang jumlahnya berlipat ganda, suara pertempuran menggetar bumi, sinar berbagai senjata menyilaukan mata, darah muncrat menghiasi salju yang putih, kaki-tangan terkutung, kepala terpenggal, dada berlubang, isi perut berceceran, korban terus berjatuhan.

Kedua pihak terus berhantam saling merobohkan tanpa ampun se-akan2 mereka sudah kerasukan setan, tiada perasaan perikemanusiaan, tiada kenal kasihan dan maaf, setiap insan yang lagi adu jiwa sudah dibakar emosi dendam, suara sudah serak, tapi mulut mereka tetap berpekik dan mencaci, hanya satu yang terpikir dalam benak mereka, ganyang musuh sebanyak mungkin sebelum kau sendiri dibunuh musuh.

Semua pahlawan Bu-siang-pay telah menyeberangi Sin-ciok-kio dengan tenang, tanpa kelihatan sikapnya yang gelisah berderet menjadi lima baris, Swan poh-jiu Thong Yangseng dan Koan-jit-khek Mo Hiong dengan tidak sabar tengah celingukan ke sana Thong Yang-seng, memegang kampak raksasa yang lebar melengkung, tangan kiri menyeret rantai besi, sementara Koan-jit-khek Mo Hiong membekal senjata tradisi Bu-siang-pay, yaitu golok sabit, Ho Siang gwat berada di paling belakang.

Siang Cin mengangguk serta bersuara lantang"

"Boleh mulai !"

Sebun Tio-bu ter-bahak2, serunya.

"Ini dia, saksikan aku orang she Sebun ini mempelopori kalian menagih jiwa musuh." - Sembari berseru, dia mendahului menubruk ke depan. Siang Cin memberi tanda, serunya.

"Ikuti dia!"

Swan-poh-jiu Thong Yang-seng dan Koan-jit khek Mo Hiong segera ikut melompat ke depan, keduanya meraung.

"Hayolah saudara2, gunakan golok sabit membalas dendam, sebelum mati takkan berhenti."

Sebun Tio-bu menerjang di paling depan, puluhan musuh telah dirobohkan, di tengah pertempuran yang gaduh itu, dari arah gundukan batu sebelah kanan, dalam jarak tiga tombak, mendadak serumbun anak panah selebat hujan memberondong ke arahnya.

Sambil gelak tertawa Sebun Tio-bu tidak menyingkir, dia malah melejit maju, di mana kedua telapak tangannya di dorong, segulung angin pukulan yang dahsyat terus menderu kedepan, maka batu2 gunung di dasar Ce-ciok-giam seluas lima tombak sama tersapu remuk berkeping2.

di jengah tebaran batu pasir itu, tujuh-delapan sosok tubuh manusia ikut terlempar, darahpun muncrat, panah yang menyambar datang itupun tersapu rontok berjatuhan.

Siang Cin melesat lewat sambil menepuk pundak Sebun Tio bu, serunya.

 puluhan orang berbaju hitam yang menubruk itu sama terjungkal roboh sambil melolong keras darah muncrat, yang mengerikan adalah leher mereka semuanya tercoblos bolong.

Tanpa berhenti Sebun Tio-bu melompat ke sana, waktu mash terapung di udara, tangan sedikit menyendal, jari2 tangan yang terbuat dari besi di ujung senjatanya itu kembali menderu kencang.

"Blang". diselingi erangan tertahan, seorang berbaju merah bertubuh tinggi besar sudah roboh dengan kepala remuk. Kin Jin tahu2 sudah berada di samping Sebun Tio-bu, dengan tertawa dia berkata.

"Thimo- pi (lengan iblis besi) sungguh mengerikan."

Sementara itu pahlawan Bu-siang-pay di bawah pimpinan Thong Yang-seng dan Mo Kiong juga telah menyerbu tiba, tanpa menunda waktu terus menerjang musuh, hanya dalam sekejap saja, ratusan orang berbaju merah telah diganyang habis.

Siang Cin terus berkelebat kian kemari, di mana dia lewat tubuh manusia lantas beterbangan darahpun berhamburan, jerit para korban yang meregang jiwa berpadu dengan denging senjata yang riuh rendah.

Ganas sekali Thi-mo pi milik Sebun Tio bu itu, kalau bukan leher bolong pasti kepala remuk, kembali sepuluh korban telah binasa, sementara Se-bun Tio-bu sudah melejit tiba di samping Siang Cin, teriaknya.

"Siang heng, carikan lawan yang setimpal, hanya mengganyang kaum keroco beginian rasanya kurang memenuhi selera. Keparat, memangnya ke mana para pentolan yang biasanya suka tepuk dada, kenyataan kini menjadi kura2?"

Baru saja Siang Can mau menanggapi, tiba2 dilihatnya dua pahlawan Bu-siang-pay telah roboh, sambil memeluk dada, padahal jelas bagi Siang Cin di mana pahlawan Busiang pay tadi berada, sekelilingnya tiada kelihatan bayangan musuh, hanya tak jauh di sebelah sana terdapat sebuah batu besar.

Dengan tertawa dingin Siang Cin berkata.

"Tangkeh, batu di depan itu apakah kau lihat?"

Sekilas melirik Sebun Tio-bu sudah mengerti maksudnya, katanya tertawa.

"Memangnya kenapa?"

Siang Cin mendesis.

"Gunakan Thi-mo-pi milikmu itu, renggutlah nyawa dari kejauhan,"

Sebun Tio-bu lantas berputar.

"Wut", Thi-mo-pi yang ujungnya terpasang jari2 tangan besi itu mendadak menyambar ke arah batu di depan sana, maka terdengar suara "Cret", jari besi itu mendadak ambles ke dalam batu, sekali sendal dan tarik, batu besar itu terbawa terbang, di bagian bawahnya kelihatan dua kaki manusia tengah mencak2. Sekuatnya Sebun Tio-bu menyendal pula, seperti main bandulan saja, batu besar itu dilemparnya lima tombak jauhnya.

"Wut", jari2 besi itu tertarik balik, kelima jari besinya yang masih terpentang tampak berlepotan darah segar dan cuilan daging.

"Bagus, Tangkeh,"

Puji Siang Cin tenang.

"mainan tangan besi milikmu entah terbuat dart bahan apa?"

"Terbuat dari anyaman rambut manusia serta kulit badak,"

Demikian Sebun Tio bu menerangkan dengan tertawa.

"Bagus,"

Ucap Siang Cin tertawa.

"sekarang mari kita cari musuh yang lebih setimpal."

"Memang begitulah maksudku,"

Seru Sebun Tio-bu bersemangat. Maka keduanya melayang ke sana, Siang Cin sempat berkata pula.

"Lima puluhan tombak di belakang batu sebelah kanan itulah." - Dia mendahului menubruk ke sana. Batu raksasa ini tingginya ada dua tombak, lebarnya ada setombak lebih, bentuknya mirip benteng yang sudah ambruk, di belakang batu adalah sebuah tanah lapang, di sinilah sedang terjadi pertempuran sengit. Waktu Siang Cin berkelebat tiba di samping batu raksasa itu, baru dia melihat jelas, kiranya dua pahlawan Bu-siang-pay dengan pakaian mereka yang khas tengah melabrak empat jagoan Hek-jiu-tong, kedua pahlawan Bu-siang-pay ini, seorang berperawakan kekar, dada bidang, jenggotnya pendek kaku seperti sapu lidi, mata besar mulut lebar, air mukanya kuning, gerak geriknya memperlihatkan betapa gagah perwira dan garangnya. Seorang lagi berkepala kecil lonjong, tubuh kurus kecil, mata sipit hidung pesek, kulitnya putih, tapi setiap gerak serangannya ternyata ganas dan keji mematikan, kedua orang ini sama bersenjata golok sabit, gaman yang menjadi simbol kebesaran pahlawan2 padang rumput. Dua dari ke empat lawannya berpakaian hitam, dua lagi berpakaian serba merah, jelas mereka dari Jik-san-tui, satu di antara kedua orang baju merah ini sudah pernah di lihat oleh Siang Cin, dia bukan lain ialah Toh-gwat-coh-jin Pek Wi-bing, Sam-thauling atau gembong ketiga Jik-san-tui. Pertempuran kedua pihak sudah mencapai babak yang menentukan, tapi jelas meski pihak Hek-jiu tong berjumlah lebih banyak, namun mereka justeru tak mampu memungut keuntungan. Sebaliknya meski pahlawan2 Bu-siang-pay itu dua lawan empat, mereka justeru berada di atas angin. Sekilas menerawang, Siang Cin lantas berkata.

"Tangkeh, ke empat orang ini seorang diripun aku mampu menyikat mereka, kupikir biar aku saja tampil untuk menggantikan kedua pahlawan Bu siang-pay itu .....

"

"Jangan "

Sela Sebun Tio-bu.

"biar aku saja yang mencobanya, Lwekang ke empat keparat ini tidak lemah, tak berani aku mengatakan mampu mengalahkan mereka, tapi untuk bertahan beberapa kejap tanggung tidak menjadi soal."

Siang Cin tertawa, katanya.

"Baiklah, usaha ini kuserahkan kepadamu."

Setelah membetulkan pakaian, Sebun Tio-bu dan Siang Cin unjuk diri.

Sudah tentu berbeda sikap kedua pihak yang lagi bertempur itu, begitu kedua orang ini muncul, kedua pahlawan Bu-siang pay itu tertawa kegirangan, semangat tempur mereka semakin menyala.

Sebaliknya ke empat musuh yang berpakaian hitam dan merah itu berubah hebat air mukanya, semuanya menjadi pucat.

Dengan tertawa.

Siang Cin berkata.

""Saudara dari Bu-siang ini harap sebutkan nama kalian. Aku Naga Kuning Siang Cin." Laki2 setengah baya berperawakan tinggi kekar dengan berewok pendek itu tergelak2, serunya.

"Sungguh beruntung bertemu di sini, aku yang tak becus ini adalah Seng si-to Ih Ce."

Yang berperawakan kurus itu sekaligus membacok tujuh kali mendesak mundur musuhnya, lalu berteriak.

"Cayhe Pek-wan (lutung-putih) Siang Kong, arak buah Say-jibun Bu-siang-pay."

Siang Cin menjura, katanya.

"Kiranya Ih-cuncu dan Siang-heng, silahkan kalian mundur dan istirahat, biarkan temanku ini menjajal kemampuan musuh."

Dengan tertawa lebar Ih Ce berkata.

"Baiklah!"

Segera Sebun Tio-bu melompat maju, sekali bergerak tahu2 semua senjata lawan kena disampuknya pergi. Hanya segebrak saja, baik kawan maupun lawan sama berteriak kaget.

"Thi-mo-pi!"

Sebun Tio-bu bergerak pula, Thi-mo-pi menyambar dengan tenaga dahsyat, angin menderu kencang mendampar ke arah empat musuh. Di luar arena Siang Cin tengah berkata dengan tertawa.

""Ih cuncu, pasukan berkuda di bawah pimpinan Ho-toa-houcu telah menyerbu tiba, silakan Ih cuncu dan Siang-heng pimpin mereka mengganyang musuh."

"Kalau demikian, biarlah musuh di sini Siang-heng dan Sebun-heng yang membereskan,"

Demikian ucap Ih Ce.

"ke empat orang ini termasuk pentolan musuh, sekali2 tidak boleh di lepaskan ...."

"Cuncu jangan kuatir, kedatangan kami memang untuk mengucurkan darah dan mencabut nyawa, bagaimana mungkin mereka dilepaskan begini saja?"

Demikian ucap Siang Cin.

Ih Ce memberi tanda kepada Siang Kong, keduanya lantas melompat ke atas terus meluncur ke sana.

Siang Cin memandang ke arena, dengan santai ia menyaksikan jagonya berhantam.

Tatkala itu Pek Wi-bing tengah putar kencang gelang baja di tangan kanan dan golok ditangan kiri, deru kedua senjatanya menimbulkan suara yang memekak telinga, gelang baja dengan golok melengkung pendek itu ternyata dapat menciptakan cahaya kemilau, indah dan menakjubkan permainan kombinasi kedua senja,ta yang berlainan ini, pantas dia berjuluk Toh-gwat-coh-jim (menyanggah rembulan dan golok kiri).

Kawannya yang juga berpakaian merah adalah laki2 berusia empat puluhan, pendek gemuk bagai guci, gerak geriknya lincah dan tangkas, gamannya adalah garu yang bergagang panjang, ternyata permainan senjatanya yang lain dari pada yang lain ini cukup lihay dan ganas pula, kelihatannya dia sudah nekat dan siap mengadu jiwa.

Kedua laki2 baju hitam sama berperawakan kurus tinggi seperti tonggak, mukanya yang tirus kehijauan tanpa mengunjuk perasaan, kedua orang sama menggunakan sepasang Hou than kau (gantolan kepala harimau), maju mundur dan menyerang dapat mereka bekerja sama dengan baik.

Di antara ke empat orang ini, hanya Pek Wi-bing seorang yang dikenal Siang Cin, tiga yang lain masih asing baginya, tapi tak perlu diragukan bahwa mereka adalah jago penting dari Hek-jiu-tong- atau Jik san-tui.

Meski satu menghadapi keroyokan empat musuh, bukan saja tidak gugup atau terdesak, Sebun Tio-bu yang telah mengembangkan cakar-besinya, malah sering menyerang daripada bertahan, musuh didesak dan dicecarnya, betapa lihay dan kuat ke empat lawannya, lambat laun mereka semakin terdesak dan hanya mampu bertahan saja.

Dengan mencibir Siang Cin berkata.

"Pek Wi bing, sudah lama kudengar namamu, bukankah kau pun tak asing akan nama julukanku?"

Keringat sudah bercucuran, sembari putar senjata membendung serangan lawan, Pek Wi-bing meraung dengan napas tersengal2.

"Siang Cin kau membantu kejahatan. tanpa hiraukan keadilan dan kebenaran kaum persilatan, kali ini kau tidak akan luput dari tuntutan."

Mendadak Sebun Tio-bu menggentak.

"Wut"", Thi-mo pi serta merta menyamber, lekas Pek Wi-bing menyampuk dengan gelang baja di tangan kanan.

"Traang", bunga api melentik, hampir saja senjatanya mencelat terbang. Mengawasi tingkah laku Pek Wi-bing yang menahan sakit dengan meringis itu, Siang Cin tertawa, katanya.

"Waktu di Pau-hoa-ceng tempo hari, Pek Wi-bing, seharusnya kau tahu gelagat serta harus lekas ngacir saja, tapi kau justeru penasaran, sekarang menyesalpun terlambat."

Beruntun membacok tiga kali, Pek Wi-bing balas menyerang sambil berkelit, teriaknya.

"Siang Cin ..., dulu kau membantu Bu-siang-pay menyerbu Hek-jiu-tong, lalu bantu mereka pula menghadapi Jik-san-tui ......kau, kau sampah persilatan, antek BuBARA NAGA- Koleksi

siang pay ..... .."

"Trang", senjata kedua orang berbaju hitam tersampuk pergi, sementara Thi-mo-pi menyerempet lewat di atas kepala Pek Wi-bing, samberan anginnya yang keras hampir saja menyebabkan Sam-thauling Jik-san-tui ini sesak napasnya, dengan wajah pucat kehijauan, cepat dia melompat mundur dan hampir saja roboh terjengkang. Menyusul Thi-mo-pi memukul pergi garu lawan yang lain, dengan tertawa Sebun Tiobu berkata.

"Orang she Pek, kau ini paling2 baru terhitung jago kelas tiga, berani buka mulut menghina sang Naga Kuning yang disegani? Kalau kau dibandingkan dia, umpama kau diharuskan menjilati telapak sepatunya saja masih belum setimpal."

Saking murka hampir saja Pek Wi-bing mati kaku, dengan nekat dia menerjang maju, gelang dan golok berputar bersama, seperti harimau gila dia mencecar Sebun Tio-bu.

Thi-mo pi di tangan Sebun Tio-bu mendadak mencengkeram, se-olah2 berubah menjadi ratusan jumlahnya, cakar tangan besi ini seperti berubah menjadi wajah setan yang beringas.

Inilah jurus ke tujuh yang dinamakan Jian-jiukim-liong (seribu tangan meringkus naga), salah satu jurus lihay dari Hek-sat cap-it pi Sebun Tio-bu yang termasyhur.

Maka bayangan cakar tangan bertaburan di angkasa mengaburkan pandangan orang, tampak Pek Wi-bing memutar kedua senjatanya bergetar sekali seperti dipagut ular, mendadak badannya mencelat dan terbanting puluhan langkah jauhnya.

Begitu keras dia terbanting, tapi dengan bandel dia berusaha melompat bangun, tapi akhirnya dia terkulai pula dengan lemas, kiranya pundak kiri dan depan dadanya sudah terluka, kulit dagingnya terkelupas, darah berlumuran, malah tulang pundaknya yang patah itu tak menongol keluar dari balik bajunya.

Hanya sekejap itu, bagai elmaut membayangi sukma para musuhnya, Sebun Tio-bu bersiul aneh, dia terus tubruk ketiga musuhnya serta menyerang lebih gencar.

Siang Cin tertawa dingin, serunya.

"Tangkeh, hayolah lekas akhiri!"

Terdengar Sebun Tio bu berseru.

"Baik, satupun tak boleh ketinggalan hidup."

Selangkah demi selangkah Siang Cin menghampiri Pek Wi bing, sorot matanya dingin tajam.

Merinding Pek Wi-bing, dengan napas tersengal, dia menatap Siang Cin lekat2, sekujur badan terasa dingin, jantung berdetak keras, begitu tegang dan paniknya sampai luka di pundak dan dadanya tidak terasakan sakit lagi olehnya.

Dengan sikap ramah Siang Cin berhenti di depan Pek Wi-bing, katanya dengan nada bersahabat.

"Pek Wi-bing, dalam keadaan seperti ini, tiada ampun dan tak mengenal kasihan lagi, bijaksana kepada musuh berarti menyusahkan diri sendiri, betul tidak?"

Berhenti sebentar, dia tertawa dan berkata pula.

"Aku tidak ingin berlaku kejam terhadap diriku sendiri, oleh karena itu terhadapmu akupun tak boleh menaruh belas kasihan, di Pauhou- ceng tempo hari, beruntung kau lolos dari Kim-lui-jiu Kin Jin, tapi hari ini kau takkan lolos dari Jian-ciang yang kulancarkan."

Rasa ketakutan jelas kelihatan di muka Pek Wi-bing, bibirnya tampak gemetar, bola matanya terbelalak, gelang bajanya yang kemilau tajam terangkat di depan dada, dengan suara gemetar ia berkata.

"Kau ....apa kehendakmu?"

Tertawa penuh arti, Siang Cin berkata.

"Kuat hidup kalah mampus, ini adalah hukum yang berlaku di kalangan kalian, hakekatnya kalian tidak perduli akan harkat manusia, tanpa peri-kemanusiaan kalian bekerja asal menang untuk hidup, kini biarlah aku meniru cara yang biasa kalian tempuh, kini aku adalah si kuat dan kau adalah si lemah ....."

Dengan suara serak Pak Wi-bing berteriak.

"Kau, kau ....Siang Cin, kau hanya memungut keuntungan di kala orang kesusahan."

"Terserah apa yang hendak kau katakan, tentunya kaupun maklum, sekalipun kau tidak terluka, kau tetap bukan tandinganku."

Baru saia Pek Wi-bing mau bicara lagi.

"cret". sebuah suara berkumandang dari sana, lekas dia berpaling ke arah datangnya suara, kiranya kawannya yang bersenjata garu itu tengah sempoyongan dengan kedua tangan memeluk batok kepala yang sudah mumur dan akhirnya terjungkal binasa. Dengan tenang Siang Cin menyaksikan urat hijau menonjol di pelipis Pek Wi bing, katanya dengan santai.

"Kau sendiri yang turun tangan atau perlu kulayani?"

Napas semakin memburu, keringat dingin mengucur semakin deras, mata Pek Wibing seperti hampir melotot keluar, tubuhnya bergetar, berada di antara mati dan hidup, sekarang baru dia tahu rasanya takut, bahwa dia hakekatnya juga seorang yang takut mati.

Dengan sorot mata tajam Siang Cin berkata pula.

"Kalau aku yang turun tangan, cepat saja, kau takkan menderita, karena gerakan tanganku melebihi samberan kilat cepatnya ...."

Pek Wi-bing betul2 pecah nyalinya, dia tidak tahan rasa sakit luka2nya, Iebih2 tak tahan menghadapi ancaman elmaut yang bakal merenggut nyawanya, dengan lunglai dia berteriak serak.

"Siang Cin, aku ....aku mohon kepadamu, lepaskan aku pergi ....ini dapat kau lakukan, kenapa kau harus membunuhku? kau kan tidak bermusuhan dengan aku, semua ini hanya untuk orang lain ... ."

"Lepaskan kau? Andaikata aku yang menjadi kau sekarang, apa kaupun mau melepaskan aku?"

Biji leher Pek Wi-bing tampak turun naik, ia meratap.

"Jangan begitu Siang Cin, mohon ampunilah diriku, aku akan berterima kasih, aku takkan lupa pada kebaikanmu ......"

Diam sebentar, akhirnya Siang Cin berkata "Kalau kau ingin hidup boleh, tapi beberapa pertanyaanku harus kau jawab sejujurnya, setelah menjawab pertanyaanku boleh kau pergi."

Setelah menarik napas panjang, akhirnya Pek Wi-bing mengangguk, katanya rawan.

"Baik, kau boleh tanya, akan kujawab seluruhnya..."

"Di Ce ciok-giam ini, perangkap dan muslihat apa yang telah kalian rancang?"

Dengan menggertak gigi Pek Wi-bing menerangkan.

"Empat ratus orang2 Hek jiu tong dan dua ribu anak buah Jik-san tui dipendam tersebar di seluruh dasar Ce ciok giam ini, Hek jin tong langsung dipimpin oleh sang ketuanya bersama ke tujuh thau-ling, pihak Jiksan- tui di bawah komandoku bersama dua puluhan Jong-tai, di samping itu pihak Hek jiutong dibantu pula oleh kedua Hwi ki su, sedang akupun menyertakan Toan-san je Ting Bu ...."

Berpaling ke arena pertempuran sana Siang Cin bertanya pula.

"Hwi ki su adalah kedua orang itu? Sedang Toan-san-je adalah orang yang telah mampus itu?"

Pek Wi-bing mengangguk dengan lesu. Siang Cin bertanya lebih lanjut.

"Jadi, kecuali menggunakan parit dan memasang jaring, kapur dan panah, perangkap apa pula yang telah kalian rencanakan?" Bimbang sejenak, akhirnya Pek Wi-bing berkata.

"Dua ribu batu tiruan yang dibuat dari kulit2 tebal tersebar di dasar Ce-ciok-giam, algojo kami bersembunyi di dalam batu2 tiruan itu, mereka akan keluar dan beraksi bila tiba saatnya ."

Lekas Siang Cin menukas.

"Hal ini sudah ku ketahui, maksudku adakah muslihat lainnya?"

Kembali Pek Wi-bing ragu2 sekian lamanya. Dengan suara kereng Siang Cin mengancam.

"Bila kau tidak menepati janji, Pek Wi bing, aku juga boleh ingkar janji "

Terpaksa Pek Wi-bing menerangkan pula.

"Di tepi Ce-ciok-giam di seberang sana sudah terpendam banyak obat peledak, bila situasi tidak menguntungkan pihak kami, setelah pasukan kami mundur seluruhnya, sumbu akan di sulut ........"

"Lalu siapa yang berkuasa memberikan perintah di sini?"

Dengus Siang Cin.

"Aku atau Can-lomo (ketua Hek jiu tong )"

Sahut Pek Wi-bing lesu. Berpikir sebentar, Siang Cin bertanya pula.

"Di luar Ce-ciok-giam, masih ada perangkap keji apa yang telah kalian rancang?"

Kali ini cukup lama Pek Wi bing berdiam, uap mengepul dari deru napasnya, pakaiannya yang basah kuyup lengket dengan badannya, kulit mukanya tampak berkerut, wajah yang pucat menampilkan rona yang mengerikan ..... .."

Seperti menyadari sesuatu Siang Cin mendesak.

"Pek Wi-bing, waktu tidak banyak lagi."

Menatap Siang Cin dengan bola mata membara, penuh rasa dendam dan kebencian Pek Wi-bing mendesis gemas.

"Siang Cin, apa yang kubocorkan sudah cukup parah bagi pihakku, sudah cukup aku menjual sekian banyak jiwa raga kawan2 ku, kau tetap tidak memberi kelonggaran kepadaku, dengan keji kau masih memaksaku ...

"Kan mending daripada mampus,"

Jengek Siang Cin. Dengan menyeringai sedih Pek Wi-bing berkata.

"Caramu ini jauh lebih kejam daripada kau membunuhku, kau ingin bikin aku mampus dan tak tenteram di alam baka, kau ingin supaya kawanku menggali liang kuburku, mencacah lebur jasadku ....."

"

Tanpa mengunjuk perasaan apa2 Siang Cin berkata.

"Memangnya kau punya cara lain yang lebih sempurna untuk menghindari kematian?"

Tiba2 Pek Wi-bing mendelik beringas, gelang baja yang terpegang di tangan kanan tiba2 ditimpukkan sekuatnya ke leher Siang Cin, begitu cepat dan mendadak serangan ini, dikala sinar gemerdap berkelebat, gelang baja yang tajam itupun sudah meluncur tiba di depan leher Siang Cin.

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar