Bara Naga Jilid 13

Jilid 13

Siang Cin mendengus, mendadak dia melejit ke depan, hanya kelihatan berkelebat, belum lagi kedua orang itu sempat melihat jelas siapa yang datang, tahu2 keduanya sudah tersungkur binasa.

Dengan gerak cepat Sang Cin belejeti pakaian salah seorang terus dipakainya, kerudung muka dibuang, dengan tertawa ia berkata.

"Hayolah, segalanya beres dan lancar."

Cap-pi-kun-cu Sebun Tio bu mengacung-kan jempol, katanya memuji.

"Cepat benar!" Segera mereka maju lebih jauh, tujuannya adalah gedung besar yang ada di belakang hutan, setelah menghindarkan tujuh pos penjagaan, akhirnya mereka tiba di depan gedung batu, yang berbentuk segi empat. Gedung segi empat yang besar ini hanya terdapat delapan jendela, setiap jendela luasnya kira2 satu kaki dipasangi terali besi sebesar lengan pula, celah2 terali besi itu hanya selebar kepalan tangan. Pintu gerbangnya berwarna kuning dengan hiasan paku besar yang mengkilap, daun pintu tertutup rapat, tembok batu berwarna coklat tua terasa betapa kukuh bangunan gedung ini, suasana terasa seram dan menyesakkan napas. Dua batang obor besar tertancap miring di atas tembok, bunga api sering terpercik berjatuhan bercampur tetesan minyak bakar. Sepuluh laki2 berdiri di kanan-kiri tanpa bergerak, sekeliling sunyi senyap. Siang Cin menoleh sambil tertawa pada Sebun Tio-bu, dengan langkah tegap mereka keluar dari balik pohon, langsung mereka menuju pintu depan gedung persegi itu. Sorot mata kesepuluh laki2 baju merah yang berjaga di depan, pintu segera tertuju ke arah mereka, sorot mata mereka tampak curiga dua orang yang di depan serentak mengangkat tangan dan menegur.

"Berhenti sebentar."

Siang Cin menjura, katanya dengan tertawa;

"Malam dingin, angin kencang, tentunya kalian capai dan menderita."

Tanpa memperlihatkan perasaan apa2, kedua orang itu mengangkat kepala, lalu yang di sebelah kiri bersuara.

"Malam selarut ini kalian datang kemari, entah ada kepentingan apa?"

"Ya, memang ada keperluan,"

Sahut Siang Cin tenang dan wajar.

"Toa-thauling suruh kami mengadakan pemeriksaan khusus, adakah sesuatu yang tidak beres di sini? Soalnya ada mata2 musuh yang telah menyelundup ke bagian depan ...."

Kedua orang itu saling pandang, orang yang bersuara itu berkata pula.

"Kalau Toathauling ada perintah, kami semua tentu memberikan kelonggaran, tapi apakah kalian membawa medali perunggu Pau-hou-ceng dari Toa-thauling, siapapun yang akan masuk ke penjara harus memperlihatkan medali perunggu itu."

Dalam hati diam2 Siang Cin mengumpat, tapi sikapnya tetap biasa, katanya.

 thauling hanya berpesan secara lisan, buru2 lagi sehingga tak sempat kami membawa medali perunggu yang diperlukan, tapi apakah pesan Toa-thauling secara langsung juga tidak berlaku di sini?"

Dengan menarik muka kedua orang itu menggeleng kepala, katanya sinis.

"Ketahuilah kawan, menurut perintah, kami hanya boleh memberi jalan berdasarkan medali perunggu, tanpa medali perunggu Pau-hou-ceng, umpama kakek-moyangku, sendiri juga tidak boleh masuk, ini bukan urusan main2, bila terjadi sesuatu, memangnya siapa yang bisa bertanggung jawab?"

"Apa betul demikian?"

Siang Cin menegas dengan tertawa aneh.

"Sudah tentu,"

Jengek laki2 itu.

"tiada yang harus diberi kelonggaran secara khusus di sini."

Sambil mengulap tangan Sebun Tio-bu maju selangkah, katanya dengan tertawa.

"Tanpa medali perunggu Pau-hou-ceng, apa benar bapakmu sendiri juga tidak kau beri kelonggaran?"

Merasa nada pembicaraan orang yang kaku mengancam tanpa terasa laki2 itu menyurut mundur, katanya waspada.

"Ya, begitulah, kau ...."

Belum habis dia bicara, mendadak Sebun Tio-bu ter gelak2, serunya..

"Baik sekali, kini boleh kau anggap kami berdua adalah kakekmu."

Kedua orang itu seketika naik hitam, tapi belum lagi sempat mereka bertindak, Siang Cin tiba2 sudah mendahului.

"blang", tubuh orang itu jungkir balik setombak jauhnya. Dikala telapak tangan kirinya melayang itulah, tangan kanan Siang Cin juga menggenjot laki2 yang lain sehingga menyemburkan darah dari mulutnya. Dalam waktu yang sama Sebun Tio-bu, melejit tinggi ke atas. sekaligus kaki tangan bekerja, empat musuh telah dirobohkan, empat orang yang masih hidup menjerit ngeri, dua di antaranya menubruk ke arah Sebun Tio-bu, seorang menerjang Siang Cin, dan seorang lagi lari sipat kuping menuju ke pintu gerbang terus hendak menarik sebuah gelang hitam yang tergantung di atas pintu. Mendadak kampak besar yang kemilau membacok kepala Siang Cin, tapi Siang Cin berkelebat maju memapak, kedua kakinya terayun, sekali pancal, menyusul tubuhnya melejit ke sana, berbagai gerakan ini dilakukan secara serentak, dikala orang roboh terbanting sebat sekali Siang Cin sudah melayang jauh ke sana dan tiba di samping laki2 yang hendak menarik gelang hitam di pinto gerbang. Seperti cakar iblis telapak tangan Siang Cin tahu2 membabat, kepala laki2 itu kontan menggelinding jauh ke sana, darah menyembur dari lehernya yang putus, sekali depak mayat tanpa kepala itu ditendang roboh oleh Siang Cin. Dalam pada itu, kedua laki2 yang menubruk ke arah Sebun Tio-bu juga telah dibinasakan, cara kematian kedua orang ini sama, leher mereka bolong sebesar kepalan tangan. Dari mulai sampai kesepuluh orang itu menggeletak binasa hatinya berlangsung dalam waktu yang amat singkat. Dengan menyeringai Sebun Tio-bu menggosok kedua telapak tangannya. katanya.

"Cepat juga, ya?"

Siang Cin mengangguk serunya.

"Hayo kita terjang ke dalam."

Sebun Tio-bu lantas menggedor pintu sekerasnya, teriaknya.

"Buka pintu, lekas ada perintah khusus dari Toa-thauling."

Malam sunyi, maka suara gedoran terdengar keras sekali, dengan cepat daun pintu besi yang tebal dan berat itu lantas terbuka pelan2. Dari celah2 pintu yang terbuka sedikit menongol keluar seraut wajah kurus, teriaknya tak sabar.

"Ada urusan apa? Malam buta begini ber-kaok2 bikin geger saja."

Kedua jari Siang Cin sekeras ujung tombak secepat kilat menjojoh leher laki2 muka kurus itu, dengan leluasa Siang Cin lantas seret keluar tubuh orang serta melemparkannya ke belakang.

Sebun Tio-bu terus menyelinap masuk, sorot matanya yang tajam mendapatkan di belakang pintu besar adalah sebuah kamar jaga persegi seluas satu tombak lebih, di dalam kamar terpasang enam buah lampu kaca, ada empat laki2 di dalam kamar, dua di antaranya rebah bermalas-malasan di atas dipan, dua orang lagi duduk berhadapan sedang bermain kartu, dari cara mereka yang asyik memperhatikan pada permainannya, se-olah2 jiwa sendiripun berani dipertaruhkan.

Begitu menyelinap masuk Sebun Tio-bu lantas angkat tangan seraya menyapa.

"Haha, senang betul kalian, sebaliknya kami yang harus bekerja berat dari fajar sampai malam gelap, sungguh menyebalkan,"

Kedua laki2 yang tengah berjudi itu tanpa menoleh, satu di antaranya yang menang bersuara kemalas2an.

"Mau periksa penjara lagi? Sialan, memangnya bui gelap gulita seperti neraka ini jauh lebih penting daripada penjara di kota raja, sehari semalam berapa kali diadakan pemeriksaan, bukankah hanya beberapa keparat saja yang disekap di sini?"

Sambil tertawa Sebun Tio-bu berkata.

"Tapi jika terjadi sesuatu yang tidak beres, memangnya kalian dapat berbuat apa di sini?"

Merasakan jawaban yang kurang sedap orang yang bicara itu menoleh, ia jadi melenggong tanyanya kemudian.

"Eh, ,siapa kau? Kita belum pernah melihatmu ...."

Dalam pada itu Sebun Tio-bu sempat menjelajah keadaan kamar batu ini, Ruangan yang sumpek ini di bagian dinding sebelah kanan terlihat ada guratan pintu yang biasa dikerek turun-naik, maka dia menyeringai dingin, katanya.

"Siapa bilang kau pernah melihatku? Tuan besarmu memang baru pertama kali ini kemari."

Seorang lagi segera berjingkrak bangun, serunya gusar.

"Hai, kau ini anak buah Thauling yang mana? Bicaramu kenapa begini angkuh? Maknya, mau periksa bui saja harus bertingkah segarang ini?"

"Sudah tentu,"

Ujar Sebun Tio-bu sambil tertawa.

"kini tugasku yang utama adalah mengantar kematianmu."

Keruan kaget orang itu, teriaknya;

"Apa, apa kata mu?" ... Kedua tangan Sebun Tio bu bergerak melingkar terus ditarik pelan2 dan didorong, serangkum tenaga lunak yang tidak kelihatan mendadak menyambar, kontan laki2 itu mencelat, kepalanya menumbuk dinding dan roboh binasa dengan kepala remuk. Keruan teman judinya itu terkesima saking ngeri, ia ingin berteriak tapi suara tidak dapat keluar saking panik.

"Kau ... .mat ....mata2.."

"Peletak", tangan kanan Sebun Tio-bu menggenjot dada orang, suara tulang patah dan remuk menusuk pendengaran dalam suasana yang sepi ini sehingga dua orang yang rebah di dipan melompat kaget sambil kucek mata, mereka celingukan dengan bingung, tapi sebat sekali Sebun Tio-bu sudah melompat tiba, tanpa ampun kedua laki2 yang tersentak dari tidurnya kontan menjerit dengan tubuh terkulai dan tak bernyawa lagi. Dalam pada itu Siang Cin telah menyelinap masuk serta merapatkan pintu, langsung dia menghampiri alat rahasia di tembok sana, katanya dengan mengedip mata.

"Tangkeh, kenapa tidak kau taya dulu cara membuka pintu rahasia ini."

Sebun Tio bu diam saja, sesaat baru bersuara setelah berpikir.

"Kita gempur dengan kekerasan saja."

Siang Cin tertawa, katanya.

"Mungkin akan terlalu banyak membuang tenaga." Sebun Tio-bu berkata tak acuh.

"Apa boleh buat, Siang-heng, marilah kita bergiliran, aku mulai lebih dulu, setelah lelah nanti ganti kau yang menggempur."

"Bolehlah,"

Ucap Siang Cin tertawa.

"mumpung ada kesempatan, aku ingin menyaksikan kekuatan Tay-lik-kim-kong-ciang Tangkeh yang menggemparkan dunia persilatan itu."

Codet di muka Sebun Tio-bu mendadak bersemu merah, katanya dengan sikap kereng. Orang she Sebun selamanya tidak ber-muka2, Siang heng boleh kau saksikan."

Mendadak dia melompat maju, kedua tangannya menghantam sekaligus, pintu batu tebal itu seperti ditimpa godam raksasa, maka menggelegarlah suara keras.

Di tengah getaran keras pintu batu tampak bergoyang, kerikil debu beterbangan, Sebun Tio-bu kembali susuli pula dengan pukulan kedua, kembali terjadi goncangan keras, beruntun melancarkan belasan pukulan berat baru Sebun Tio-bu menyurut mundur, keringat tampak membasahi ujung hidung dan pelipisnya, setelah menarik napas dalam2 akhirnya dia berkata sambil menggosok tangan.

"Siang-heng, kini giliranmu."

Pintu batu yang tebal di jepit diantara batu2 gunung yang kukuh itu kini sudah tak keruan bentuknya seperti habis digempur oleh kampak, batu tebal yang semula rata kini tampak melesak ke dalam, rontokan batu tampak memenuhi lantai.

Tay-lik-kimkiongciang yang dilontarkan Sebun Tio-bu memang dahsyat dan tak bernama kosong.

Siang Cin tersenyum, katanya.

"Tangkeh, Tay-lik-kim-kong-ciangmu ini mengutamakan kekerasan, mungkin Cayhe tidak memiliki kekuatan se hebat mu"

"Siang-heng,"

Iekas Sebun Tio-bu berkata.

"bukan saatnya bicara sungkan, silahkan kau turun tangan saja, setelah istirahat nanti kuganti menggempurnya pula ...."

Sambal berteriak, air muka Sang Cin tampak beringas, di tengah teriakan keras itu secepat kilat seperti beradu cepat sekaligus dia telah melancarkan berpuluh kali pukulan, begitu cepatnya pukulan ini sehingga orang sukar menghitungnya.

Di tengah suara gemuruh disertai debu pasir beterbangan, pintu batu yang tebal itu ternyata tergempur hancur dan runtuh, tanpa bicara segera Siang Cin menyelinap masuk ke sana.

"Jik sia-ciang yang hebat!"

Sera Sebun Tio-bu kagum.

Di kala melayang masuk itulah kuping Siang Cin mendengar suara gemuruhnya alat rahasia yang bekerja, Sekilas matanya menjelajah, seketika hatinya mengeluh, ribuan ujung panah ternyata tengah berhambur memapak tubuhnya dalam lorong yang sempit seluas beberapa kaki, anak panah ini memberondong keluar dari lubang bumbung besi yang terbenam merata di dinding, ujung panah memancarkan cahaya biru tanda mengandung racun jahat.

Segera terdengar teriakan Sebun Tio-bu di belakangnya memperingatkan.

"Awas panah beracun, lekas menyingkir."

Gemeretak gigi Siang Cin, air mukanya kembali berubah kelam, se-konyong2 ia melambung tinggi keatas, kedua kaki memancal, begitu keras dan kencang pukulan telapak tangannya sehingga hawa udara dalam lorong berderai seperti luber.

Maka ramailah suara denging anak panah yang berhamburan patah dan hancur, kiranya ratusan anak panah yang sama ditujukan ke satu sasaran dalam waktu sesingkat itu telah hancur luluh banyak pula yang berkisar arah oleh damparan angin pukulan yang dahsyat itu.

Di tengah gelak tertawanya Sang Cin terus melesat maju dan hinggap di depan sebuah pintu besi warna hitam, di tengah bentakannya yang menggelegar kembali ia menggempur lagi.

Entah bagaimana kejadiannya, mungkin pukulannya menyentuh tombol alat rahasia sehingga menimbulkan dering keliningan yang gencar di mana2, begitu dering kelintingan berbunyi, dari balik pintu besi itu se-konyong2 melesat keluar bacokan sebuah golok melengkung yang panjang dan besar.

Untung Siang Cin cukup waspada dan keburu mengegos, tapi dalam detik itu pula golok melengkung yang panjang tebal itu membal balik, dan lenyap di balik pintu Keruan Siang Cin meraung dongkol.

Di tengah bentaknya kembali dia menerjang maju, dalam sekejap saja, Jik-sin-ciangnya kembali ratusan kali menggempur pintu besi tadi.

Lambat laun daun pintu besi itu tampak bergeming dan akhirnya bergoncang keras dengan mengeluarkan suara gemuruh, golok tebal melengkung yang terselip di sela2 pintu tahu2 membacok keluar pula, kali ini Siang Cin sudah siap, pada waktu golok itu membacok keluar, sebat sekali dia mendahului melompat mundur, ketika golok melenting balik itulah beruntun Jik-sik-ciang juga menggempur pintu besi.

Pada gempuran berikutnya daun pintu besi itu akhirnya semplak dan ambruk, dikala golok yang dipasangi pegas itu membacok pula, Siang Cin kerahkan sisa tenaga pukulannya, dia bikin golok itu patah dan tidak bekerja lagi.

Sebun Tio-bu berkeplok tangan, teriaknya memuji dengan tertawa.

"Hebat sekali saudaraku, kau memang patut dipuji."

Tanpa berhenti Siang Cin memberi tanda terus menerjang masuk lebih dahulu, tapi belum lagi dia angkat kepala.

"Wuut, wuut", delapan kampak raksasa tiba2 membacok turun mengincar batok kepalanya, cepat Siang Cin mendak ke samping terus berputar setengah lingkar, menyusul kaki kanannya terus menyapu, segera bayangan merah tampak berkelebatan disertai jerit kaget dan pekik kesakitan, tujuh-delapan laki2 seperti bola saja sama ter-guling2. Kembali Siang Cin berada di lorong panjang sempit yang sama seperti depan tadi, di ujung lorong mengadang pintu berterali besi. Enam dari delapan laki2 yang tersapu roboh itu sudah patah tulang kakinya, yang terluka sama menjerit dan merintih sambil memeluk kaki, dua orang lagi yang selamat seperti serigala lapar yang tidak takut mati segera menerjang maju pula dengan nekat. Siang Cin mendengus, belum lagi bertindak, mendadak Sebun Tio-bu melesat lewat ke depan, begitu dia berkelit ke kiri serta mengegos ke kanan, kedua tangannya bergerak, kontan beberapa orang Jik san-tui yang masih ketinggalan itu sama jatuh tersungkur. Waktu berpaling, sementara suara kelintingan tanda bahaya tadi masih bergema, tapi bayangan orang belum kelihatan, maka Siang Qu berseru gugup.

"Lekas, Tangkeh."

Ditengah teriakannya itu, Sebun Tio bu sudah berada di depan pintu terali besi, segera dan pasang kuda2 dan mengerahkan tenaga, pelan2 kedua tangan mendorong ke depan, lalu ditarik cepat serta didorong pula secara beruntun, hanya empat kali gerakan, empat jeruji besi sebesar lengan bayi di pintu itu telah dibikin bengkok.

Cepat keduanya menyelinap masuk lebih jauh, beruntun dan pintu berterali besi telah mereka jebol pula, kini mereka telah tiba di ujung lorong, di mana terdapat enam kamar kurungan.

Keruan Siang Cin berseru girang.

"Nah itulah Tangkeh, akhirnya ketemu juga."

Mengawasi pintu kamar kurungan yang seluruhnya tertutup rapat, dirasakan pula suasana di lorong ini sedemikian sunyi, Sebun Tio-bu menjadi ragu2, katanya.

"Musuh suara tanda bahaya, tapi sejauh ini belum kelihatan muncul mencegah atau merintangi kita, apalagi kamar tahanan di sini tertutup ber lapis2 pintu besi, tapi setiba di sini keadaan justeru kosong melompong tanpa seorang penjagapun, Siang heng, apakah kau tidak merasa adanya gejala yang ganjil?" Siang Cin mengangguk, katanya.

"Beralasan ucapan Tangkeh, tapi ibarat anak panah sudah dipasang dibusur serta dipentang, tinggal membidikkan nya, kita sudah terlanjur bertindak sejauh ini, sudah kepalang tanggung, terpaksa tetap bekerja, hayolah jebol pintu2 penjara itu."

Sebun Tio-bu tampak prihatin, mendadak dia berteriak lantang.

"Kepada sahabat Busiang- pay yang berada di sini, jawab seruanku ini, Kami sengaja menerjang kemari untuk menolong kalian. Waktu sudah teramat mendesak, sukalah para sahabat lekas berusaha dan memperkenalkan diri."

Suaranya bergema hingga sekian lama di dalam lorong, tapi ditunggu sesaat lamanya tetap tiada jawaban apapun, beruntun dua kali Sebun Tio-bu berteriak, tapi kamar2 tahanan itu tetap sunyi tidak ada suara apapun. Dengan gemas Sebun Tro-bu meraung.

"Siangheng, perduli gunung golok atau wajan minyak mendidih, hayolah kita terjang saja."

Perhatian Siang Cin tertuju ke kamar ke enam di ujung sana, katanya tenang "Baiklah, terpaksa kita mencobanya."

Sebun Tio-bu menarik napas panjang, seluruh kekuatan dia himpun pada kedua lengan, ia mengawasi Siang Cin, tanyanya.

"Terjang kamar yang mana?"

"

"Kamar yang itu saja", ucap Siang Cin sambil menuding kamar terakhir di ujung lorong sebelah kiri Melangkah ke kamar tahanan yang di tunjuk itu, mendadak Sebun Tio-bu menggeram seperti harimau mengamuk, kedua tangan terayun ke depan, serangkum angin dahsyat langsung menerjang pintu kamar tahanan. Kekuatan pukulan Tay-lik-kim-kong ciang memang luar biasa, hanya sekali gempur pintu besi yang tebal itu telah dipukulnya jebol dan roboh. Tapi setelah pintu besi ambruk tidak tampak adanya bayangan orang yang dikurung di dalam, yang membanjir keluar adalah ribuan ular ber bisa yang sama menenggak kepala dan meleletkan lidah, ular2 itu terdiri dari berbagai jenis, kepalanya segi tiga dengan warna-warni yang berbeda, baunya yang amis dengan suaranya yang mendesis menimbulkan rasa muak. Keruan Sebun Ti-bu berjingkrak kaget, teriaknya.

"Celaka, ular melulu."

Sekali ayun tangan Siang Cin menyapu mampus ular2 yang menerjang maju paling depan. Lekas Se-bun Tio-bu mundur ke belakang, teriaknya.

"Sungguh mengerikan, pantas tiada reaksinya, kiranya ular berbisa seluruhnya."

Beruntun Siang Cin lancarkan empat kali pukulan, ular2 yang membanjir keluar memenuhi lantai itu dipukulnya beterbangan, tapi yang di depan tersapu mampus, yang di belakang tanpa kenal takut segera membanjir maju pula.

Ular saling tindih, berdesakan dan saling gigit, dengan suara mendesis yang seram.

Sebun Tio bu segera bantu menghantam dengan pukulan dari jarak jauh, dengan gabungan kekuatan pukulan bersama, ratusan ular berbisa telah mereka bunuh di lorong sempit itu.

Sekali injak.

Siang Cin bikin remuk kepala seekor ular yang merayap ke depannya, katanya kuatir.

"Peralatan rahasia yang d pajang di sini, tak ubahnya dengan yang ada di Ceng siong "Ban-cent, semuanya serba keji di luar perikemanusiaan ."

Sebun Tio-bu berseru gemas.

"Siang-heng, sekuatnya kau tumpas ular2 ini, biar aku menggempur kamar tahanan yang lain di balik daun pintu ini."

Kedua tangan Siang Cin memang tak pernah berhenti, kawanan ular mencelat dan beterbangan dilanda angin pukulannya, beruntun dia melontarkan puluhan kali pukulan, masih sempat pula dia berseru.

"Hati2 loh Tangkeh."

Dalam pada itu Sebun Tio-bu telah melompat mundur ke sana.

"Blang", terdengar gempuran keras disertai suara pecah berderai, begitu daun pintu remuk dan roboh, dari balik kamar segera menerjang barang cairan yang berwarna hitam biru, entah air apa yang mengalir keluar dan berbau busuk ini, yang terang hidung segera terasa pedas, kepala pening dan mata ber-kunang2. Untung Sebun Tio bu keburu melejit ke atas seraya berseru memperingatkan.

"

Lekas menyingkir Siang heng, air busuk ini berbisa."

Dengan lincah Siang Cin melompat ke atas, cepat air kental warna biru hitam mengalir dan menggenangi seluruh lorong, kawanan ular2 yang masih hidup kini semuanya terapung dan bergulat di dalam air kental ini, tapi lambat laun gerakan mereka bukan lagi meronta semakin keras, sebaliknya semakin meregang jiwa, desis suaranyapun seperti menderita kesakitan yang luar biasa, ular2 yang berlepotan air kental hitam itu sama terapung di permukaan air tanpa bergerak lagi, badan ular yang semula berwarna-warni itu cepat sekali berubah hitam.

Dengan-punggung melengket di langit2 lorong Siang Cin dan Sebun Tio bu gunakan ilmu cicak menyaksikan ular2 itu mampus keracunan, setelah memandang keluar lorong Sebun Tio-bu berkata lirih.

"Siang-heng, air ini terang beracun, genangan airnya tidak dalam tapi kita tak bisa lama2 di sini, menurut hematku, marilah sekali lagi coba tempuh bahaya saja."

"Baik"

Ucap Siang Cin.

Sebun Tio-bu periksa keadaan di bawah, hampir saja ia berteriak kaget waktu Siang Cin mendadak ke bawah, diam2 diapun terkesiap, kiranya bangkai ular yang terapung di permukaan air kental tadi kini sudah lenyap, daging kulit sampai tulang belulangnya telah luluh seluruh tercampur bersama air hitam itu.

Berludah sekerasnya, Sebun Tio-bu mencaci dengan gemas.

"Orang2 Pau-hou-ceng benar2 kelewat keji Neneknya, untung kita menyingkir dengan cepat, bila sampai kecipratan setetes saja, tentu daging kita bisa membusuk sebagian"

Siang Cin berkata dengan mengerut kening.

"Sejauh ini musuh belum kelihatan beraksi, jelas masih ada jebakan lain ayolah Tangkeh, kita dahului menggempur lagi."

Segera Sebun Tio bu mendahului melayang ke bawah dikala tubuhnya masih terapung di udara itulah, dari dinding di kanan-kiri depan sana mendadak menjeplak terbuka empat lubang kecil segi empat tiada kesempatan untuk berpikir apa sebenarnya yang terjadi dengan ke empat lubang kecil ini, tahu2 dari lubang itu menyembur minyak bakar yang berwarna kuning kotor.

Semburan minyak bakar ini cukup keras, jelas jumlah minyak yang tersedia cukup banyak, dengan suaranya yang gemeretak minyak bakar itu terpancur ke bawah tercampur dengan air beracun di dalam lorong.

Sebun Tio bu tetap meluncur ke sana dan hinggap di dinding sebelah kiri, kali ini dia berlaku lebih hati2 serta memperhatikan keadaan sekeliling dinding, tepat dia berhenti di depan sebuah pintu berterali dari sebuah kamar kurungan.

Tanpa ayal ia himpun tenaga terus menggempur pintu berterali yang kukuh itu, Tay lik-kim-kong-ciang kembali memperlihatkan kedahsyatan, daun pintu itu kembali ambrol berantakan, kali ini ternyata tiada peralatan jebakan malah kamar tahanan ini betul2 menyekap tiga orang tawanan.

Ketika tawanan sedang duduk bersimpuh di atas rumput kering, rambut semrawut mukanya kotor dekil, bajunyapun compang camping, kaki tangan dan lehernya diborgol.

Sebun Tio bu melompat turun di depan pintu, teriaknya cepat.

"Apakah kalian kawan2 dari Bu siang-pay? Jangan membuang waktu percuma kami datang menolong kalian. lekas bersiap untuk meloloskan diri ...."

Di kala berteriak2 itulah Sebun Tio bu mendengar langkah lirih dibelakangnya, maka tanpa menoleh mendadak dia miringkan badan seraya membalik sebelah tangan menampar ke belakang.

"Huaah,"

Seorang laki2 baju merah mendadak menjerit keras, badannya meliuk memeluk perut serta terlempar jauh ke atas, kampak terlempar dan darah segar tersembur dari mulutnya, seorang berbaju merah yang lain sambil meraung kalap mengayun kampaknya segera membabat ke perut Sebun Tio bu.

Sembari mencaci mendadak Sebun Tio-bu menggeser ke samping, kampak lawan kena disampuknya pergi, sekali Sebun Tio bu menabas.

"peletak", suara tulang patah terdengar, ternyata tulang lengan lawan telah patah, kampaknya jatuh berkerontangan. Dengan gemas Sebun Tio-bu melompat maju sembari angkat tangannya hendak mengepruk batok kepala orang, sedih dan putus asa orang itu berkata dengan menahan sakit.

"Sahabat, tidak perlu kau turun tangan keji pula."

Sebun Tio bu batalkan pukulannya, dampratnya gusar.

"Kau keparat, memangnya dengan kekuatan kalian berdua berani main sergap, Apa kau minta mampus?"

Orang yang telah tak berdaya itu terbatuk2 sekian lamanya, dengan napas memburu dia berkata.

"Kawan. umpama aku kau bunuh, antara kematianku dan kematianmu hanya berbeda soal waktu saja. Takkan lama, kau sendiri juga akan menyusul arwahmu ke alam baka."

Keruan Sebun Tio bu melenggong, katanya.

"Apa maksud ucapanmu?"

Jawab orang itu.

"Coba kau periksa kamar tahanan ini ...."

Sekilas Sebun Tio-bu pandang keadaan sekelilingnya, kiranya itulah sebuah kamar yang dibangun dengan balok2 batu besar dan kukuh, kecuali dua lubang angin sebesar kepalan tangan, tiada jendela atau pintu, di mana tempatnya berdiri sekarang adalah sebuah lorong di luar terali besi, di ujung lorong sana terdapat sebuah pintu angin yang terbuat dari bambu, kiranya kedua orang penyergap ini sejak tadi bersembunyi di balik pintu angin itu.

"Jadi di sini hanya sebuah kamar batu saja?"

Sebun Tio-bu menegas ?"

Orang itu manggut, katanya.` "Betul, tiada jalan keluar lainnya."

Sebun Tio-bu mendengus, katanya.

"Memangnya Locu tidak dapat menerjang balik ke sana tadi? Jangan kira air beracun dan minyak bakar itu bisa merintangi aku."

Dengan gemetar orang itu berkata sambil terbatuk2.

"Kawan ....... dikala kalian membobol pintu terali kedua tadi tanda bahaya di sini segera bekerja sehingga seluruh peralatan rahasia di sini bergerak serentak, pintu yang tebal dan ribuan kati beratnya itu berhasil kalian gempur sampai runtuh, tapi segera pintu cadangan yang serupa yang semula terpendam di bawah dengan sendirinya terkerek naik dan tetap menyumbat jalan itu....... ini berarti bahwa jalan mundur kalianpun sudah buntu ... ."

Dengan menyeringai Sebun Tio bu berkata.

"Kalau kami bisa masuk kemari tentu juga bisa keluar. Apa susahnya untuk meruntuhkan pintu itu."

Menggeleng dengan perasaan pilu, orang itu berkata.

"Tak mungkin bisa keluar, obor yang dinyalakan dengan belirang akan di lempar masuk kemari ......minyak bakar yang memenuhi lorong di luar itu akan berkobar ke mana2, daya bakarnya begitu panas dan cepat, umpama kau hendak menyingkir juga takkan keburu lagi ......"

Sebun Tio-bu menelan ludah, katanya.

"Kalau demikian, lalu bagaimana kalian?"

Dengan tartawa sedih orang itu berkata.

"Kami memang sudah ditugaskan untuk jaga dan membunuh musuh, bila gagal harus gugur bersama musuh ... ."

Kesiur angin terasa menyampuk punggungnya, terdengar suara Siang Cin yang bernada kuatir berkata.

"Tangkeh, apa yang dikatakannya memang betul."

Waktu Sebun Tio-bu menoleh, dilihatnya Siang Cin sedang tertawa getir kepadanya, akhirnya Sebun Tio bu berkata pula kepada orang itu.

"Memangnya kau keparat ini hanya terima nasib begini saja!"

Menghela napas panjang, orang itu berkata.

"Kalau tidak demikian, di luarpun kami tak bisa hidup ......."

Hawa di dalam kamar tahanan semakin terasa sumpek dan genah, bau minyak, belerang serta darah dan bangkai ular sangat menusuk hidung sehingga orang2 di dalam kamar merasa pernapasan semakin sesak.

Mendadak Siang Cin melangkah mendekat, tanyanya dengan gelisah.

"Kawan, apakah ada orang Bu siang pay yang dikurung di sini?"

Pertanyaan ini menyentak pikiran Sebun Tio-bu, lekas Siang Cin menoleh ke dalam terali besi di mana ketiga orang tawanan bersimpuh tadi, katanya.

"Ketiga orang itu bukan?"

"Bukan, mereka bukan,"

Kata Siang Cin.

Lekas Sebun Tio bu mendekati terali besi, dia mengawasi ketiga orang itu sekian lamanya, sebetulnya usia orang2 ini baru empat puluhan, tapi karena lama dikurung di tempat gelap yang tak pernah melihat cahaya matahari sehingga usia mereka tampak lebih enam puluhan.

Kalau Sebun Tio bu mengawasi mereka dengan seksama, ketiga orang itupun balas memandang Sebun Tio bu dengan sorot mata pudar, sikapnya kaku seperti orang linglung.

Sekuatnya menggoncang terali besi Sebun Tiobu meraung keras "Kalian ini kenapa? Ditanya diam saja, memangnya bisu semuanya ........"

Si baju merah yang rebah di tanah itu tiba2 tertawa sambil terbatuk keras, katanya dengan serak.

"Tidak salah, mereka memang bisu .......

"

Tertegun seketika Sebun Tio-bu, serunya kaget.

"Apa, mereka bisu semuanya,?"

Senyum getir terbayang di ujung mulut si baju merah, katanya.

"Ketiga orang ini sebetulnya adalah kawan kami sendiri, karena melanggar peraturan maka dikurung di sini, kuatir mereka lolos dan membocorkan rahasia, maka lidah mereka telah dipotong, beberapa orang Bu-siang pay memang pernah disekap di sini, tapi lima hari yang lalu, sudah di pindah entah ke mana, kedatangan kalian sia2 belaka. lebih celaka lagi adalah kalian harus terkubur di sini .....

"

Sebun Thio bu berkata dengan gemas.

"Kau keparat ini jangan menyindir, urusan belum tentu seperti yang kau bayangkan." Seru Siang Cin tiba2.

"Tangkeh, minyak sudah mengalir masuk ke sini."

Waktu Sebun Tio-bu melirik, memang betul minyak bakar sudah mulai mengalir masuk ke kamar batu ini. Laki2 baju merah yang masih rebah itu berkata dengan menahan sakit.

"Bila minyak sudah mengenangi kamar batu ini, api akan segera di sulut, waktu itu segalanya ...."

Sikap Siang Cin tetap tenang, tanpa mengunjuk sesuatu perasaan ia mengawasi minyak ke-kuning2 an yang terus merembes masuk membasahi lantai kamar, sementara dengan mencaci maki Sebun Tio-bu memukul dan menendang tembok di sekelilingnya, diharapnya akan menemukan sesuatu tempat yang dapat dijebol untuk lolos keluar.

Mendadak Siang Cin menyeringai, katanya.

"Tangkeh ....

"

"Kenapa?"

Tanya Sebun Tio-bu sambil menoleh. Siang Cin memonyongkan mulut ke arah si baju merah yang rebah di tanah itu, lalu katanya.

"Sahabat, kuharap kau bicara sejujurnya, tentunya kau juga ingin umur panjang!"

Sebun Tio bu bertepuk tangan, katanya.

"Bila kau mau bekerja sama, kutanggung tulangmu yang patah akan ku sambung dan kuobati."

Lelaki itu memicingkan mata, katanya dengan licin.

"Tak usah kalian membujukku, bila bisa lolos dan hidup, biarpun kedua lenganku buntung juga tidak menjadi soal. Cuma sayang mungkin aku tak bisa membantu sesuatu pada kalian."

Tiba2 Siang Cin bertanya.

"Kalian berjaga disini, lalu rangsum untuk setiap hari bagaimana di antar kemari?"

Laki2 itu menggeleng, katanya.

"Jangan berpikir ke arah itu, rangsum memang selalu diantar melalui lubang kecil di atas pintu angin bambu itu, tapi lubang kecil itu ditutup dengan papan besi, lebarnya hanya setengah kaki, paling2 kepala bayi saja yang bisa keluar ...... ."

"Keterangan bagus,"

Seru Siang Cin tertawa.

"Sahabat, justeru lubang sebesar kepala bayi itulah yang kami perlukan."

Dengan tak acuh si baju merak berkata "Di belakang dinding bilik bambu tergantung sebuah gelang tembaga, dengan menggerakkan gelang tembaga ini maka orang di luar segera akan membuka tutup lubang dan tanya keperluan kami .......

"

"Kini jelas takkan ada orang membuka tutup lubang, tanya keperluan kami, hehe, kami sendirilah yang akan membuka tutup lubang itu dan minta sesuatu kepada mereka,"

Kata Sebun Tio bu dengan tertawa.

Dalam pada itu Siang Cin sudah lari menuju ke belakang bilik bambu, betul didapatinya sebuah gelang tembaga yang diikat pada langit2 dinding.

Mendadak Siang Cin, menghardik sekali; ditengah gema suaranya, kedua tangannya mendadak di dorong ke atas dengan membawa tenaga yang dahsyat, gempuran ini mengenai dinding batu di atas dan menggelegar, langit2 batu itu seketika ambrol berhamburan.

Maka batu buatan orang itupun turut hancur ber keping2, kini tinggal papan besi yang berada di atasnya.

Dengan tertawa Sebun Tio bu mengejek si baju merah yang rebah di tanah.

"Dalam pandanganmu batu itu sekokoh baja, tapi di mata kami tak lebih hanya selapis kertas belaka, sesuatu yang tidak mungkin kau laksanakan, bagi kami segampang membalik telapak tangan, itulah sebabnya kenapa selama ini kami bisa malang melintang dan menggemparkan Kangouw dan kau tetap kaum keroco."

Dikala Sebun Tio-bu bicara, sementara dengan Jik siang-ciang Siang Cin telah menggempur papan di atas itu dengan gencar.

"Tang, tang, tang", suaranya keras bergema seperti palu menghajar genta raksasa. Sambil menggosok telapak tangan, Sebun Tio-bu berkata dengan tertawa.

"Segera kami akan keluar, coba bayangkan saudara, cahaya mentari yang hangat, angin musim semi yang sepoi2 sejuk, ratusan jenis bunga mekar bersama, burung2 berkicau gembira, betapa indahnya, sayang kau tidak akan bisa menikmatinya."

Di tengah sikap melenggong si baju merah tampak secercah sinar harapan pada sorot matanya, mulutnya melongo lebar, kulit mukanya ber-kerut2.

Baru saja Sebun Tio bu mau bicara lagi, dari atas ujung lorong sana mendadak didengarnya suara gemuruh sebuah ledakan.

Berjingkrak kaget, laki2 baju merah seketika berubah hebat air mukanya, teriaknya panik dan ketakutan.

"Celaka, mereka menyulut api."

Gema suaranya belum lenyap, suhu papas yang membakar mendadak mendampar tiba dengan membawa bau busuk yang menyesakkan napas.

Sekilas tertegun, sigap sekali Sebun Tio-bu tarik dada si baju merah terus dijinjingnya, laki2 itu meraung kesakitan, waktu Sebun Tio-bu memburu ke terali besi hendak menolong ketiga tawanan linglung itu, suara Siang Cm yang melengking telah memanggilnya;

"Tangkeh, lekas kemari."

Nyala api yang berkobar besar sudah mulai menjalar ke lorong di luar kamar, begitu minyak dijilat api, cepat sekali menyala dan mengeluarkan suara gemuruh.

Apa boleh buat Sebun Tio-bu batalkan niatnya, padahal wajah ketiga tawanan linglung tadi tengah memandangnya dengan harap2 cemas, mulut yang terbuka lebar tak kuasa meminta tolong.

Tiada tempo lagi bagi Sebun Tio-bu untuk menolong mereka, api sudah menjalar tiba, untuk menolong ketiga orang itu sudah tidak mungkin lagi, malahan ujung bajunya sendiri sudah terjilat api.

Di tengah kobaran api dan asap tebal itu terdengar seruan.

"Tangkeh, papan besi sudah jebol, masih tunggu apalagi kau?"

Sebun Tio-bu ter batuk2 serunya.

"Tenang saja, Siang-heng."

Bilik bambu itupun sudah terbakar, di atas langit2 memang sudah terbuka sebuah lubang besar dan cukup untuk keluar masuk seorang normal. Sambil menahan napas Sebun Tio bu berteriak.

"Siang-heng, kau naik .."

Sekuatnya Siang Cin pegang pinggang Sebun Tio-bu serta mengangkatnya, serunya.

"Lekas naik, bukan saatnya main sungkan."

Dengan tenaga dorongan Siang Cin, Sebun Tio-bu meloncat ke atas, di tengah asap yanq bergulung, baru saja tubuhnya mendekati lubang di atas, terasa hawa dingin menyambar tiba, empat tombak bergantol tahu2 menusuk bersama di mulut lubang.

Tapi Sebun Tio-bu mendadak memutar badan, dengan kaki di atas dan kepala di bawah, kedua kakinya mendadak memancal, empat batang tombak itu seketika patah berkeping2, semuanya kena dikerjai oleh kedua kaki Sebun Tio-bu dengan gaya yang aneh itu, lalu dengan cepat ia menerobos keluar, padahal tangan kirinya tetap menjinjing si baju merah yang sudah pingsan.

Di atas kiranya adalah sebuah kamar batu yang luas, di kedua sisi berjajar dipan kayu yang rapi.

kiranya di sinilah tempat istirahat para petugas penjara.

Waktu itu ada tiga puluhan laki2 baju merah tersebar di dalam ruangan, yang berhadapan langsung dengan Sebun Tio-bu adalah seorang nyonya muda baju hitam yang bersolek berlebihan.

Kain ikat kepala Sebun Tio bu dan bajunya sudah terbakar di beberapa tempat, muka dan kulit badannya juga terbakar hangus, keadaannya agak mengenaskan.

Di tengah2 alis nyonya setengah umur yang bersolek berlebihan itu terdapat sebuah tahi lalat merah sebesar kacang, begitu melihat Sebun Tio-bu keluar, dengan tertawa sinis dia mengejek.

"Setan gentayangan, sampai kapan kau masih bisa bertingkah di sini."

Segera lima bilah kampak menyerang tiba, sembari berteriak Sebun Tio-bu geser selangkah ke samping sementara itu dua kampak lagi telah membacok kepalanya. Dengan muka masam nyonya baju hitam itu ber-kaok2 memberi aba2 kepada anak buahnya.

"Cari sesuatu untuk menutup lubang itu, asap terlalu tebal.."

Bergerak bagai angin Sebun Tio-bu hindarkan bacokan kampak yang membelah kepala, sementara sebelah kakinya menyepak dua orang yang berusaha menarik kampaknya, di sebelah sana empat laki2 tengah menarik sebuah babut besar yang dibasahi air hendak menutup lubang yang keluar asap itu.

Dengan melirik menghina nyonya baju hitam mengawasi Sebun Tio bu, jengeknya.

"Hm, tak nyana, kiranya kau berisi juga ...."

Belum habis ucapannya, ke empat orang yang tengah membentang babut itu tahu2 sudah terguling sembari menjerit, di tengah semburan darah yang bercipratan itu sesosok bayangan dibungkus asap tebal secepat kilat menerjang keluar dari dalam lubang.

Seorang laki2 berbaju merah berteriak kaget ketakutan.

"Celaka, di bawah masih ada satu!"

Belum lenyap suara orang ini, sekali bayangan orang itu berputar, lima laki2 baju merah sama terguling binasa dengan batok kepala pecah.

"Blang, blang"

Empat laki2 terlempar jatuh pula, semuanya patah tulang, dadanya, mereka menjadi korban pukulan maut Sebun Tio-bu..Baru kini nyonya baju hitam menampilkan rasa kaget, dikala dia tertegun itulah, ketiga laki2 anak buahnya telah roboh binasa pula.

Bayangan yang baru menerjang keluar dari dalam lubang itu sudah tentu adalah Siang Cin, dia menepuk tangan, katanya dengan tertawa.

"Kau baik2 saja Tangkeh"

Kaki Sebun Tio-bu tengah melayang, seorang musuh kena didepaknya mencelat bersama kampaknya, kaitan menumbuk dinding sehingga kepalapun pecah.

Tanpa mengedip kembali tangan kanan Sebun Tio-bu bekerja membendung tiga musuh yang menyerbu tiba, mulutnya sempat ter-gelak2, katanya.

"Tidak apa2, hayolah layani mereka."

Saking gusar wajah si nyonya baju hitam yang berpupur tebal itu tampak semakin ketat, sembari menghardik nyaring dia menubruk ke arah Siang Cin, selarik sinar hitam dari sebuah benda mirip jala tiba menabur tiba.

Sekilas lirik Siang Cin sudah melihat jala yang menyambar dirinya ini dihiasi ribuan benda runcing bergantol mirip pancing, sebat sekali ia menggeser mundur, lalu dengan gerakan yang lebih cepat pula ia mendesak maju pula, sekali bergerak, sepuluh jurus pukulannya secara berantai telah dilancarkan.

Begitu cepat pukulannya, ganas dan keji, semuanya mengincar tempat yang mematikan.

Kaget si nyonya baju hitam dan melompat menyingkir dengan menjerit heran.

Segera Sebun Tio-bu doyong ke samping, ke dada seorang yang menerjang maju kena dikepruknya remuk, dengan cara yang sama kembali dia merobohkan seorang lawan, di tengah suara gedebukan gara2 korbannya yang terbanting roboh itu, dia bergelak tertawa.

"Janda hitam, Lo-sat-bong (jala kuntilanak) andalanmu ini jangan harap akan menjaring sang jejaka ganteng seperti dia."

Wajah si nyonya baju hitam yang kaku menghijau seketika berubah jengah, beruntun ia mainkan jaringnya, dengan gusar dia membentak.

"Kau, siapa kau? Darimana kau mengenalku'"

Sebun Tio-bu tertawa, katanya.

"Siapa yang tidak kenal adik tua perempuan To hayliong Giam Ciang, tertua Sio-lian-su-coat dari Pek-hoa-kok?, Sungguh kasihan, usia masih begini muda sudah menjadi janda sungguh mengharukan ....."

Keruan seruan bersungut wajah si nyonya baju hitam, dengan gemas jalanya segera diputar kencang hingga menderu, ternyata permainan jalanya ini merupakan kepandaian khas, jala yang lemas panjang ini kadang2 disabetkan sebagai cambuk, tapi juga bisa dibuat mengepruk seperi toya, menggubat seperti tali, tiba2 bertebaran pula seperti hendak menjaring ikan terutama duri2 bergantol seperti pancing itu dengan sinarnya yang kemilauan membingungkan orang, setiap serangannya cukup keji dan mematikan.

Siang Cin memperlihatkan kegesitannya, ia bergerak pergi datang dengan lincah, begitu cepat laksana bayangan sehingga sukar diduga ke arah mana dia bakal bergerak, kelihatan dia hendak melompat ke depan, tapi kenyataan sudah berada di samping, lebih hebat lagi di tengah gerak geriknya yang sebat itu sering dia melancarkan pukulan gencar, angin pukulannya se akan2 mendampar dari berbagai arah, malah angin pukulan yang mendampar ini ber-lapis2 seperti gelombang laut sehingga lawan yang memainkan jala itu hampir2 tak dapat bergerak.

Napas nyonya itu mulai memburu, keringat telah membasahi wajahnya, kini dia hanya mampu membela diri atau bertahan melulu, kalau keadaan seperti ini berlangsung lebih lama lagi, jelas dia tidak kuat bertahan lagi.

Tiga laki2 baju merah yang masih bertahan kelihatan masih berkepandaian lebih tinggi daripada kawan2nya yang mampus lebih dulu, tapi melawan Sebun Tio bu yang gagah perkasa segarang harimau mengamuk, dalam sekejap saja dua di antaranya telah dibinasakan, tinggal seorang lagi mukanya sudah berlepotan darah, cepat dia berlutut dan minta ampun pada Sebun Tio bu.

Sebun Tio-bu ter-gelak2, orang yang terluka dan dijinjingnya sejak tadi itu dia serahkan kepada laki2 yang berlutut di depannya, lalu dengan kereng dia berkata.

"Temanmu ini terluka karena berani melawan tuan besarmu, tapi dia jauh lebih baik daripada kau yang gentong nasi ini, lekas panggul dia pergi dan diobati, ingat selanjutnya jangan bertingkah sebagai orang gagah kalau kau memang tidak becus. Nah, lekas menggelinding pergi, jangan bikin tuan besarmu marah melihat tampangmu."

Laki2 yang sudah pucat dan kaki tangan gemetar itu dengan ter-gopoh2 pondong temannya terus ngeloyor pergi hingga lupa mengucapkan terima kasih lagi cepat bayangannya lenyap di balik batu di luar sana.

Sebun Tio bu menghela napas lega, katanya sambil menarik alis.

"Siang-heng, kini boleh kau robohkan perempuan genit ini, buat apa kau main2 saja dengan dia?"

Di tengah pembicaraan itulah, tampak kedua bayangan orang yang lagi bertempur mendadak seperti merapat, tapi cepat sekali terpisah lagi.

"wut", jala si nyonya tampak menyambar lewat di alas kepala Siang Cin, dalam sekejap ini terdengar nyonya itu mengeluh tertahan, tubuhnya berputar terus roboh terbanting. Dengan tajam Siang Cin tatap lawannya yang meringis kesakitan dengan butiran keringat di dahinya. jengeknya.

"Bila kulihat kau lagi pada kesempatan lain, nasibmu takkan sebaik sekarang ini biasanya aku tidak sudi melabrak kaum perempuan, tapi hanya sekali ini saja aku memberi kelonggaran."

Sebun Tio-bu mengulap tangan sambil berteriak.

"Hayolah pergi, bantuan musuh telah tiba."

Memang bunyi tambur dan gembrengan yang gencar terdengar ber-talu2 di luar sana, suara senjata serta teriakan dan derap langkah mereka yang berlari tengah memburu ke arah sini.

Baru saja Siang Cin hendak beranjak, nyonya baju hitam yang duduk mendeprok di lantai itu mendadak berseru dengan mengertak gigi.

"Bajingan tengik, kau kalau berani, sebutkan namamu."

Mencorong sorot mata Siang Cin, jawabnya dengan dingin.

"Akulah si Naga Kuning Siang Cin."

"O,"

Teriak si nyonya tertahan sambil mendekap mulut, mukanya yang pucat tampak semakin pucat, dengan kaget dan bingung ia pandangi Siang Cin, seperti tidak percaya pada pendengarannya sendiri.. Sebun Tio-bu tertawa lebar, katanya.

"Genduk ayu, tak usah takut, Siang-heng ini takkan tega membunuh kau, mungkin kau ingin juga tahu nama julukan tuan besarmu ini? Haha, tapi takkan kuberitahu, biarlah kau menduga2 saja."

Habis berkata kedua orang terus lari ke arah undakan batu di sebelah kamar kanan, sekali membelok ke sana jejaknya lantas lenyap.

Habis menaiki tangga batu, di atas adalah sebuah panggung datar, dari tempat ketinggian ini terlihat jelas puluhan obor bagai rantai memanjang dengan kerlipan senjata yang tengah bergerak mengikuti bayangan orang banyak menuju ke bangunan gedung di sini suara caci maki, teriakan dan bentakan bercampur-aduk, suasana tampak kacau balau.

Ada sepuluh bayangan orang yang melambung ke atas, dengan tangkas menubruk ke arah kamar batu itu, dari gerak gerik mereka yang gesit, jelas semuanya memiliki Ginkang tinggi, belasan orang ini terang adalah tokoh2 silat kelas tinggi.

Sebun Tio-bu menyeringai, katanya lirih.

"Sebetulnya ingin aku melabrak mereka, apa boleh buat, sekarang bukan waktunya."

Siang Cin mengangguk, katanya.

"Hayolah kita tempuh arah yang berlawanan"

Maka bayangan kedua orang segera melenting tinggi ke depan, di tengah udara keduanya membelok terus meluncur lebih cepat lagi, begitu cepat serta indah gaya mereka, dalam sekejap saja telah lenyap di telan kegelapan . ....."

Toa ho-tin sudah berada di depan pula. Sebun Tio bu dan Siang Cin yang berlari kencang bagai terbang mengerahkan langkahnya, akhirnya keduanya menghela napas lega, kata Sebun Tio bu.

"susah juga semalam ini, sayang tak berhasil menolong seorangpun, tapi jelas ada beberapa anggota Bu-siang-pay yang masih hidup sejak kekalahan mereka di Pi-ciok-san tempo hari."

"Betul,"

Ucap Siang Cin.

"entah bagaimana nasib mereka kini?"

Sebun Tio-bu mengusap keningnya katanya.

"Kupikir nasib mereka takkan seburuk anjing yang dijagal."

Siang Cin menggeleng dan berkata.

"Menurut dugaanku, mereka akan menyandera beberapa orang itu, bila pihak mereka terdesak, para tawanan itu akan dijadikan jaminan untuk menyelamatkan diri."

"Dugaan tepat,"

Sera Sebun Tio bu.

"pasti begitulah, tapi kita tidak tinggal diam, harus gagalkan maksud mereka itu."

Siang Cin tidak menanggapi, ia sedang menatap ke arah pohon cemara di sebelah kiri jalan berlumpur sana, sebagai kawakan Kangouw yang sudah berpengalaman Sebun Tio-bu bisa lihat gelagat, dirasakan adanya gejala yang tidak sehat di sebelah sana, dengan tertawa dia mendahului melangkah ke depan, ia sengaja berseru keras.

"Sia2 berjerih payah semalam suntuk, hasilnya nihil dan jiwa nyaris melayang, sungguh menjengkelkan."

Sembari bicara dia merogoh saku, tapi sebelum dia menarik tangannya, dari arah hutan cemara di sebelah kiri terdengarlah gelak tertawa lantang, sesosok bayangan tampak melayang keluar. Sekilas melengak segera Sebun Tio bu menggerutu.

"Neneknya, kiranya Kin Jin."

Pendatang ini memang Kim-lui-jiu Kin Jin, agaknya diapun sudah kepayahan, rona mukanya menampilkan rasa letih dan lesu, begitu berhadapan dengan Sebun Tio bu dan Siang Cin, dengan gerak ke-malas2an dia mengulap tangan kepada Sebun Tio bu, katanya.

"Sebun-heng, Thi-mo-pi (lengan besi iblis) yang tersimpan di sakumu itu jangan kau keluarkan, dari kejauhan kulihat kau merogoh saku, segera aku tahu niat apa yang hendak kau lakukan ...."

Sambil ngakak Sebun Tio-bu keluarkan tangannya, katanya.

"Kukira keparat mana yang belum kapok, berani main cegat dan main sergap di sini, tak tahunya kau."

Sambil menggeliat malas, Kin Jin berkata.

"Sejak tadi Cayhe main kucing2an dengan mereka supaya ada peluang untuk kalian lolos keluar beraksi di belakang, ternyata mereka menyangka hanya aku seorang saja penyatronnya, bukan saja pendopo itu dikepung berlapis2, jago merekapun semua dikerahkan ke sana, terpaksa seorang diri aku melawan tujuh belas jago mereka, bicara terus terang, aku sudah kepayahan dan tak kuat bertahan lama lagi, untunglah pada detik2 genting itu seorang berlari masuk dari luar, entah apa yang dilaporkan, tapi sebagian besar jago yang mengerubut diriku segera menjadi ribut serta mengundurkan diri, kupikir pasti kalian sudah mulai bereaksi, setelah kulabrak mereka beberapa kejap lagi aku lantas menerjang keluar kepungan, untung lawan sudah berkurang sehingga dengan leluasa aku dapat meloloskan diri."

Setelah menghela napas, ganti Sebun Tio-bu menceritakan pengalamannya secara ringkas, lalu dia menambahkan.

"Berjerih payah semalam suntuk, tapi hasilnya nihil, cuma pihak musuh dapat kita bikin porak-poranda, terhibur juga hatiku."

Hening sejenak akhirnya Kin Jin berkata pula.

"Biarlah masih banyak waktu buat kita bergerak lagi."

Memandang cuaca Siang Cin berkata.

"Sekali gebrak tak berhasil berarti sudah bikin musuh waspada, untuk pergi lagi ke sana jelas takkan membawa hasil apa2, maka menurut hematku, mari sekarang kita menuju ke Liok-sun-ho saja."

Mendadak Sebun Tio bu berkata sambil gosok2 tangannya.

"Siang heng, bila kita bertindak sesuatu, apakah pihak Bu-siang pay tidak akan merasa di langkahi?"

"Coba Tangkeh terangkan dulu urusan apa?"

Tanya Siang Cin.

"Kalau kukerahkan Jian ki-bing untuk membantu bagaimana?"

Ucap Sebun Tio-bu. Lama Siang Cin tatap muka orang, katanya kemudian dengan nada terharu.

"Tangkeh, sekali bertemu kita seperti saudara sendiri, engkau sudi membantuku, aku sangat berterima kasih, demi hubunganku dengan pihak Bu-siang-pay, kau rela mengerahkan seluruh kekuatanmu, sungguh tidak tahu apa yang harus kuucapkan. Tapi untuk kali ini, betapapun Cayhe tidak bisa membenarkan bila jiwa anak buahmu harus ikut dipertaruhkan."

Lama Sebun Tio-bu mengawasi Siang Cin, akhirnya dia menghela napas, katanya.

"Lalu bagaimana menurut pendapat Siang-heng . ......"

Tenang suara Siang Cin.

"Kali ini Bu-siang-pay mengerahkan seluruh kekuatannya, apa yang mereka perlukan sekarang kukira lebih mengutamakan bantuan jago2 seperti kita ini, pertempuran yang akan terjadi, kekuatan pasukan memang juga mengesankan, tapi kemampuan individu lebih diutamakan lagi, entah bagaimana pendapat "Tangkeh?" Kata Sebun Tio-bu sambil angkat pundak.

"Kau lebih tahu Siang-heng, terserah bagaimana keputusanmu saja."

Tiba2 Kin Jin menyela.

"Sebun-tangkeh, apa yang dikatakan Siang-heng memang betul, tugas ini biarlah kita bertiga saja yang melakukan, kalau terlalu banyak tenaga bukan mustahil akan banyak jatuh korban, boleh diputuskan begitu saja, sekarang marilah kita berangkat ke Liok-sun-ho."

"Khabarnya pihak Bu-siang-pay telah menyeberangi sungai,"

Ucap Sebun Tio bu. Berpikir sejenak Siang Cin berkata.

"Aku heran, konon Liok-sun-ho amat dalam dan berbahaya untuk di seberangi, musim dingin airpun tidak membeku, sepanjang tahun arus air selalu deras, tempat itu merupakan daerah yang berbahaya, kenapa pihak Hek jiu tong dan Jik-san-tui tidak-pasang perangkap atau mengatur jebakan di sana untuk membendung serbuan Bu-siang-pay dikala mereka menyeberang sungai?"

Kin Jin tersenyum, katanya.

"Arus Liok-sun-ho memang sangat deras, kedua tepi sungai dipasang rantai sebagai peluncur rakit, batu karang memenuhi pinggir sungai sehingga tiada tempat datar, bahwa di sana tidak leluasa untuk melakukan pertempuran terbuka, hanya orang2 yang berkepandaian tinggi saja yang mampu berjaga di sana, kukira pihak Hek-jiu-tong dan Jik san-tui juga sudah memikirkan keadaan yang serba sulit itu sehingga mereka tidak berpikir untuk mengatur perangkap di sana." . Sebun Tio-bu menggeleng, katanya.

"Analisa Kin-heng yang pertama memang betul, tapi perkiraanmu selanjutnya kukira kurang tepat. Kekuatan Hek jiu-tong dan Jik-san tui di daerah sini sangat besar, urusan sekecil apapun takkan luput dari pengawasan mereka, apalagi gerakan besar2an dari Bu siang-pay?"

"Ya, betul,"

Sela Siang Cin.

"kecuali Liok-sun-ho, adakah tempat lain yang berbahaya untuk menyergap musuh?"

Sekilas Sebun Tio bu tertegun, akhirnya dia berteriak.

"Pertanyaan bagus. Kin-heng, empat puluh li di sebelah timur Toa ho-tin bukankah ada suatu tempat yang dinamakan Ceciok- giam? Di sana bisa dipendam pasukan besar, tempatnya mudah dipertahankan dan leluasa untuk menyerang, daerah itu merupakan tempat penting yang harus dilalui bila hendak menuju ke Toa-ho tin lewat Liok-sun-ho. Bukan mustahil musuh sedang menghimpun seluruh kekuatannya di sana?"

Siang Cin dan Kin Jin manggut bersama, Siang Cin bertanya pula.

"Kecuali Ce ciokgiam, adakah tempat lain yang berbahaya pula?"

"Kecuali Ce ciok giam, sampai dengan Toaho tin adalah tanah ladang yang datar." "Baiklah, sekarang kita lewat Ce-ciok giam langsung menuju ke Liok-sun-ho, sambil lalu memeriksa keadaan di sana apakah ada sesuatu yang mencurigakan, supaya pihak Busiang- pay bisa mempersiapkan diri."

Sebun Tio-bu manggut2, katanya.

"Siang-heng, di Pau-hou-ceng, pemimpin utama dan kedua mereka tidak keluar, sementara Sio-lian-su-coat dari Pek-hoa-kok yang datang juga hanya Kui-kok khek Pa Cong si saja yang keluar, pihak Toa to-kau juga cuma Han mo siang-kiu saja yang tampil ke muka, sedang Jit ho hwe hanya Ciang Heng si setan tua itu saja, pentolan utama mereka boleh dikatakan tiada yang hadir di sana ......"

"Betul, belakangan pihak Toa-to-kau memang datang lagi empat Kiu-thau, sementara Losu (orang ke empat) dari Sio lian-su-coat, Tang-bong Se Siau juga tiba, tapi tokoh2 penting mereka tetap tidak tampak, menurut hematku, mereka pasti sedang mengatur perangkap .....

"

Menepuk paha Sebun Tio bu berseru.

"Siangheng, tunggu apalagi sekarang?"

Dengan tenang Siang Cin berkata.

"Tangkeh, kau lapar tidak?"

Sebun Tio-bu tertawa, katanya.

"Memang, baru sekarang cacing pita dalam perutku minta diberi makan, cuma tidak bawa rangsum, ke mana kita cari makan?"

"Kira2 tiga li di depan ada sebuah warung,"

Demikian ucap Kin Jin "disana ada bubur kacang dan wedang tahu, marilah sekedarnya isi perut di sana."

Lalu dia, mendahului melesat ke depan, Siang Cin dan Sebun Tio-bu segera menyusul di belakangnya, tiga bayangan orang berkelebat laksana gumpalan kabut, cepat sekali lenyap di telan kegelapan bayang2 pohon.

Fajar sudah hampir menyingsing, entah apa pula yang akan terjadi setelah terang tanah? Kedua ekor kuda dibedal kencang keluar hutan sebelah sana, tampak Siang Cin bersama Kin Jin menunggang seekor kuda, sementara Sebun Tio bu menunggang kudanya sendiri.

Cepat sekali tanpa terasa padang lalang yang memagari kedua sisa jalan berlumpur ini sudah tertinggal jauh di belakang.

Pada ujung tanah belukar di depan sana terbentang sebuah sungai yang sudah kering, sungai kering ini melingkar dari selatan ke utara membelah padang lalang ini.

Di tengah sungai berserakan banyak sekali batu2 besar kecil yang beraneka ragamnya, anehnya batu2 di sini semuanya berwarna coklat, begitu luas dan tak terhitung banyaknya batu2 coklat itu, bertumpuk dan malang melintang tidak keruan.

Siang Cin mengawasi sungai kering ini dengan terkesiap, katanya.

"Tempat ini memang berbahaya."

"Kalau tidak, berbahaya takkan dinamai Ce Ciok-giam,"

Ucap Kin Jin. Sebun Tio-bu yang berada di depan berteriak sambil menoleh.

"Sudah sampai, Siangheng sudah kau saksikan bukan? Selokan ini panjangnya ratusan li, lebarnya hampir setengah li, selokan ini merupakan peninggalan sungai besar di jaman purba, bila dia mau mencaplok manusia, meski laksaan jiwa juga bisa dilalapnya sekaligus."

Siang Cin tersenyum, katanya.

"Belum terlihat tanda mencurigakan, Tangkeh mari coba putar ke arah lain."

Mereka terus membelok ke kanan, setelah beberapa kali lompatan, akhirnya kedua kuda tiba pada sebuah tanah lekukan, kecuali ada tiga batang pohon yang setengah gundul, tiada rumput atau pepohonan lain yang tumbuh di sini.

Sebelum kuda berhenti berlarinya, Siang Cin segera melayang turun ke pinggir tanah lekukan itu, lalu ia melompat ke sana dan berhenti di belakang sepotong batu cadas besar warna coklat.

Segera Sebun Tio-bu dan Kin Jin juga menyusul tiba, dalam jarak ratusan langkah, tepi Ceciok-giam sudah berada di depan mereka.

Dengan mengerut kening Sebun Tio bu berkata, ke mana saja kawanan anak kura2 itu bersembunyi? Memangnya kita yang salah arah? Tapi sepanjang jalan ini tidak terlihat adanya sesuatu yang tidak benar? Memangnya Hek-jiu tong dan Jik-san-tui bernyali kecil dan cuma bersembunyi di Pau-hou-ceng atau Toa-ho tin?"

"Tidak akan salah, disinilah tempatnya,"

Ucap Siang Cin. Kin Jin juga berkata dengan tertawa.

"Em betul, ada beberapa batu besar itu kelihatan ber-gerak2 ..... ."

Lekas Sebun Tio-bu mengawasi dengan seksama, memang benar, di dekat pinggir selokan memang dilihatnya sebuah batu bisa bergerak merambat, meski pelahan gerakannya, bila tidak diperhatikan orang takkan tahu akan kepalsuan dari batu itu.

Sebun Tio bu berseru.

"Keparat, permainan macam apa ini?"

"Tangkeh,"

Ucap Siang Cin sambil bersandar pada sebuah batu besar di sampingnya.

"Jian-ki-beng pimpinanmu biasanya bergerak secara terang2an, dalam menyelesaikan urusan juga suka blak2an, bila urusan bisa didamaikan pasti pantang angkat senjata, sebaliknya kalau bertempur akan berjuang sampai titik darah terakhir. Sepak terjang ini jelas jauh berbeda dengan orang2 Hek-jiu-tong serta Jik-san-tui, tak heran laki2 yang gagah berani seperti kau juga mudah dikelabui oleh kelicikan musuh."

Sebun Tio- bu tertawa, katanya.

"Batu, besar yang aneh2 bentuknya itu berwarna sama, di antaranya memang banyak yang tiruan ......."

Setelah mengawasi sebentar akhirnya Kin Jin menanggapi pelahan.

"Batu2 tiruan itu semuanya terbuat dari kulit binatang yang keras serta diwarnai, di dalamnya bersembunyi manusia, sayang batu yang berserakan dan bertumpuk tindih itu sangat banyak sehingga sulit juga membedakan mana yang tulen dan mana yang palsu, batu2 tiruan itu memang dibikin oleh tangan ahli, kalau tidak diteliti memang mudah dikelabui ....". Siang Cin mengangguk, katanya.

"Jangan sampai musuh tahu akan jejak kita, kini waktu sudah mendesak, hayolah berangkat."

Setelah mengawasi sekian lamanya pula batu2 yang berserakan di kejauhan sana, Kin Jin berkata.

"Terpaksa kita harus putar balik saja supaya tidak menimbulkan curiga mereka, bukan mustahil kedatangan kita sudah diketahui mereka."

Mendadak Sebun Tio-bu mendekam serta ber-kata dengan suara tertahan.

"Awas, ada serombongan orang."

Lekas Siang Cin dan Kin Jin ikut berjongkok, lalu mereka mengintip, kira2 lima ratusan langkah disana, tampak dua puluhan orang Jik-san tui yang bersenjata kampak dengan memanggul busur dan panah dengan sikap tegang dan waspada sedang merunduk maju seperti tengah menghadapi musuh.

Sambil membungkuk menggeremet maju, tapi arah mereka sedikit melenceng, maka mereka terus lewat di sebelah Siang Cin bertiga sehingga jejak mereka tidak sampai konangan.

Sambil menahan napas mereka mengawasi orang2 Jik-san tui ini turun ke selokan, diam2 Sebun Tio-bu mendengus.

"Untung mereka tidak kemari, kalau tidak, cukup sekali gebrak, saja tanggung seluruhnya akan kubereskan." "Malah semuanya akan mampus dengan leher berlubang,"

Demikian goda Siang Cin tertawa. Sebun Tio bu tertawa dan berkata.

"Darimana kau tahu, Siang-heng?"

"Bagi insan persilatan yang berkecimpung di Kangouw, siapa yang tidak tahu cara khas Cap-pi kun cu melukai orang? Sepuluh korban sepuluh lubang di tenggorokan mereka,"

Merandek sejenak lalu Siang Cin menambahkan.

"semula Cayhe masih berpikir, kenapa waktu di Pau-hoa-ceng sasaran Tangkeh sedikit meleset? Kini tahulah aku .....

"

Sebun Tio-bu tertawa, ucapnya.

"Bila sebelum mereka tahu akupun terlibat dalam pertikaian ini, selain bakal menambah kesukaran bagi kita, tentu juga tiada manfaat yang dapat kita peroleh."

"Memang begitulah, hayo berangkat,"

Kata Siang Cin...

Lekas mereka cemplak kuda terus membelok dan mengitari selokan ini.

Kuda terus dibedal menyusuri jalanan kecil di pinggir selokan yang menonjol menyerupai tanggul yang sempit Dengan cepat mereka sudah hampir mencapai seberang selokan di depan sana.

Kin Jin menoleh dan berkata.

"Tidak meleset perhitunganku, untunglah mereka tidak mencegat."

Siang Cin menjawab.

"Terlalu kencang lari kuda kita, bukan saja sukar dirintangi, tapi mereka sendiri juga tidak ingin rahasianya diketahui orang lain"

Setelah membelok ke kiri mereka terus menyusur tegalan, suasana di sini amat sepi, padang tegalan masih diliputi kabut, tapi cepat sekali akhirnya menembus ke jalan raya.

Dikatakan jalan raya karena tanah yang berlapis salju tipis kini sudah tampak bekas jalur roda kereta dan tapak kaki orang, sementara hutan yang lebat masih memagari kedua sisi jalan.

Sebun Tio bu membuka jalan di depan, tiba2 ia menarik kendali, kudanya berjingkrak sambil meringkik panjang.

Cepat Kin Jin juga menghentikan lari kudanya, segera Siang Cin bertanya.

"Ada apa?"

Sebun Tio-bu menunduk sambil memejamkan mata, mendadak dia terbeliak dan berkata.

"Di sini terasa ada sesuatu yang tidak beres Siang-heng, indera ke enamku merasakan sesuatu yang tidak enak, menurut pengalaman, bila timbul perasaan begini tentu akan terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan diriku."

Siang Cin menjelajah keadaan sekelilingnya, katanya. `"Aku percaya perasaan Tangkeh itu, kadang2 perasaan begitu timbul tepat pada waktunya."

Dengan sorot tajam Kin Jin juga sedang menyapu pandang sekitarnya, katanya tenang.

"Suasana di sini memang rada ganjil ..... terlampau sunyi ... ."

Benar juga, tanpa mengeluarkan suara, di antara gundukan salju yang meninggi di kedua sisi jalan raya sama pelahan2 berjalan keluar sebarisan orang2 berbaju putih, pakaian putih mereka mirip warna salju, sampaipun muka mereka juga ditutupi kedok kain putih, bilamana barisan ini tidak bergerak, sungguh orang takkan mengetahui kehadiran manusia2 serba putih ini.

Barisan orang2 berbaju putih ini ternyata tampil ber-turut2, semuanya berbaris teratur, posisi mereka setengah lingkaran, setiap orang memegang tiga batang bumbung bundar warna hitam, pangkalnya dipasangi suatu benda aneh yang berbentuk seperti sayap tapi melengkung laksana busur, lubang kecil pada bumbung bundar hitam itu mengincar dan ditujukan ke arah Siang Cin bertiga.

Sebun Tio-bu mendengus, pelan2 dia merogoh saku, Kin Jin juga siap, tiba2 Sebun Tio-bu berseru tertahan.

"Mari terjang kepungan mereka, Kin-heng jaga kuda kesayangan kita."

Belum lagi Kin Jin menjawab, tiba2 Siang Cin menghela napas lega, lekas dia memberi tanda dan berkata.

"Jangan bergerak, coba perhatikan gelang emas di atas kepala mereka yang kemilau itu."

Memang benda yang melingkari kain kerudung orang2 berbaju putih adalah gelang kuning kemilau. Dengan bergelak tertawa Sebun Tio-bu berkata.

"Para kawan Bu-siang-pay, sudah lama kukagumi dan ingin bertemu."

Buru2 Siang Cin lompat turun dari kuda dan mendekat dengan langkah cepat, serunya lantang.

"Apakah kalian anak murid Bu siang-pay yang datang dari padang rumput."

Orang2 berbaju putih menggeremet maju dengan formasi mengepung itu kelihatan sama melengak dan bingung, tapi sorot mata mereka yang tajam tetap menatap dengan curiga. Siang Cin mendekat beberapa langkah lagi, katanya dengan keras.

"Murid Bu-siangpay dengarkanlah, kami adalah teman2 kalian, kedatangan kami khusus untuk bergabung dengan kalian .....

"

Dari lingkaran orang2 berbaju putih itu tampil seorang yang berperawakan kekar, sembari maju dia menarik kain kedoknya, maka tertampaklah seraut wajah yang lebar dengan mimik kaku dingin, sesaat dia berdiri mengawasi Siang Cin, suaranya tenang dan mantap.

"Tuan ini siapa?"

Dengan tenang Siang Cin berkata.

"Ada seorang yang berjuluk Naga Kuning Siang Cin, apakah pernah tuan mendengarnya?"

Bergetar tubuh si baju putih, ia terbelalak kagum, namun nadanya masih curiga.

"Kau, kau inikah Naga Kuning?"

Siang Cin berkata dengan tertawa.

"Benar, memang Cayhe adanya."

Si baju putih lantas maju lebih mendekat, serunya gugup.

"Jadi tuanlah yang sekaligus menjagal enam gembong Hek jiu tong di Pi-ciok-san? Ratusan orang2 Hek jiu tong mampus di tanganmu? Tuan pula yang membantu dan ikut berjuang bahu membahu dengan saudara kita dari Bu-siang-pay?"

"Hanya kebetulan bersua di tengah jalan, bantuan itu bukan apa2 . ...."

Terunjuk sikap kagum, hormat dan penyesalan pada wajah si baju putih, tiba2 dia berlutut terus menyembah, serunya.

"Murid tertua Say-cu-bun Siang Goan-kan dari Busiang- pay menyampaikan sembah hormat kepada Siang susiok yang berbudi."

Hal ini betul berada di luar dugaan Siang Cin, sekilas melengak lekas dia menyingkir, sembari memapah bangun Siang Goan kan, serunya gugup.

"Siang heng. usiamu sebaya denganku, bolehlah membahasakan saudara saja, kau menjunjung tinggi diriku seperti ini sungguh tak berani kuterima."

Tanpa kuasa Siang Goan-kan kena dipapah berdiri oleh Siang Cin, katanya.

"Bukan maksud Tecu ingin menjunjung tinggi Siang-inkong, soalnya Ciangbunjin ada perintah, seluruh murid Bu-siang pay untuk selanjutnya harus menghormati Siang-inkong sebagai susiok yang telah menolong kebesaran nama kita, memang betul Siang-inkong bukan sealiran dengan Bu siang pay, namun sebutan `In-susiok` (paman guru berbudi) adalah pantas untuk menandakan bahwa Siang-inkong ada hubungan yang karib dengan Bu-siangpay kita."

Dengan sikap kikuk Siang Cin menjawab.

"Ini ... wah Cayhe menjadi serba susah dan tidak berani terima kehormatan besar ini ....Ciangbunjin kalian sungguh terlalu sungkan ... ."

"Tiga hari yang lalu,"

Ucap Siang Goan kan pula.

"laskar kita telah duduki Liok sun-ho dan menyeberang dengan selamat kecuali menemui beberapa rombongan orang yang patut dicurigai, sepanjang jalan ini belum pernah mengalami kesulitan apapun, kini barisan sudah disebar, mata2 kita juga telah diutus menyelidiki daerah yang cukup berbahaya di sebelah depan, tadi waktu Siang-inkong dan kedua teman ini mendekati daerah sini, tecu sudah lantas memperoleh berita, sungguh mimpipun tidak terpikir oleh kami bahwa Sianginkong sendiri bakal kemari ...."

Dengan prihatin Siang Cin bertanya.

"Untuk kali ini, berapa banyak jumlah pasukan yang dikerahkan Bu-siang pay kalian?"

Siang Goan kan menjawab dengan pelahan.

"Hwi cu-bun, Say cu-bun dan Bong-cubun serta murid2 yang langsung dipimpin oleh Cengtong (pusat) kali ini dikerahkan seluruhnya, jumlah seluruhnya ada tiga ribu lima ratus orang lebih."

Mendengar jumlah yang besar ini, Siang Cin merasa kaget, belum lagi dia menunjukkan sikapnya Siang Goan kan sudah menambahkan.

"Sementara anak buah Thi, Hiat dan Wi ji-bun karena kehilangan pimpinan, dikuatirkan dalam kesedihan karena gugurnya para saudara yang lain sehingga bekerja diburu emosi, maka mereka tidak diizinkan ikut datang, untuk sementara waktu Lan cian tong diserahi tugas untuk menguasai keadaan di padang rumput."

Siang Cin menarik napas, katanya.

"Jadi Ciang bunjin kalian Thi-cianpwe juga datang?"

Siang Goan kan mengangguk hormat. Siang Cin berkata pula dengan terharu.

"Dari padang rumput jauh di kaki Kiu-jin-san pasukan besar kalian berbondong kemari, betapa besar dan kekuatan barisan ini, apalagi kalau sampai enam Bun dan satu Tong dikerahkan seluruhnya, mungkin kekuatan besar Bu-siang-pay mampu menggetar bumi dan menggoncang langit."

"Ya,"

Ucap Siang Goon-kan.

"jumlah seluruhnya mendekati selaksa orang."

Siang Cin menoleh ke belakang, Kin Jin dan Sebun Tio-bu masih bercokol di atas kuda dan mengunjuk senyum. Kata Slaug Cin kemudian.

"Ayolah kalian turun, marilah temui Ciangbunjin Bu siang-pay." Cepat Siang Goan-kan memberi pesan kepada anak murid Bu-siang-pay, dalam waktu singkat sebuah suara sempritan yang melengking tinggi berkumandang sampai jauh, baru saja suara sempritan tajam di sini berhenti, suara sempritan yang sama terdengar melengking ditempat kejauhan, begitulah dari satu tempat kelain tempat suara sempritan ini terus bersahutan. Siang Cin amat kagum dan menyenangi cara mengirim berita dengan suara sempritan khusus dari orang2 padang rumput ini, suara nyaring ini sekaligus membawakan suasana yang hidup bebas penuh gairah perjuangan di pedang rumput. Dalam pada itu Siang Cin telah perkenalkan Sebun Tio-bu dan Kin Jin dengan Siang Goan-kan, lalu Siang Cin dengan tetap setunggangan dengan Kin Jin, sedang Siang Goankan lantas setunggangan dengan Sebun Tio-bu, empat orang dua kuda segera kabur ke arah timur dengan kecepatan yang luar biasa. Di tengah tegalan yang masih remang2 itu, derapan kaki kuda berdetak memecah kesunyian. Meski di atas kuda yang berlari sekencang itu, tapi Sebun Tio-bu tetap waspada memeriksa sepanjang jalan yang dilalui, dia berharap dengan ketajaman matanya dapat menemukan orang2 Bu-siang-pay yang disebar sekitar sini untuk mendirikan perkemahan atau pos penjagaan tertentu. Tapi hasilnya nihil, ia rada kecewa, sejauh ini dia tidak melihat adanya tanda atau bekas apa2. Sementara Kin Jin yang mencongklang kudanya di sebelah belakang telah membisiki Siang Cin.

"Siang-heng, betapapun licik dan licin orang2 Hek-jiu-tong, tapi Bu-siang pay dengan peralatan perangnya yang serba lengkap, dengan semangat juang yang tinggi serta terlatih pula, tentu bukan lawan yang enteng."

"Betul, mereka sudah biasa hidup dalam semangat yang tinggi di padang rumput, jujur dan sederhana di samping kecerdikan otak dan kecermatan kerja, maka tidaklah heran kalau gelang emas dan baju putih orang2 Bu-siang-pay terkenal di manapun."

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar