Bara Naga Jilid 12

Jilid 12

"Memang begitulah kehidupan Kangouw,"

Ujar Siang Cin sambil meletakkan sumpitnya.

"kalau manusia sama berhati bajik baru dunia ini akan damai."

Setelah menghela napas, Sebun Tin bu berkata dengan tertawa.

"Siang-heng, apakah engkau juga terjun dalam arena perternpurao di Pi-ciok-san?"

"Ya, malah tak ringan lukaku,"

Kata Siang Cin. Kin Jin unjuk rasa gusar, tanyanya.

"Perbuatan siapa antara orang2 Hek-jiu-tong itu?"

Dengan tertawa Siang Cin berkata.

"Tujuh di antara sepuluh gembong mereka, ditambah seorang King Ji seng."

"Setan tua bangka keparat ini,"

Damperat Sebun Tro bu.

"Tapi ..... konon King Ji-seng sudah mampus?"

Tanya Kin Jin. Setelah meneguk arak, Siang Cin membenarkan.

"Kau yang mengganyang dia, Siang-heng?"

Tanya Sebun Tio bu.

"Ya, tujuh gembong mereka yang melabrakku juga enam mati dan satu terluka."

Keruan kedua jago yang namanya sudah menggetar Bu-lim ini seketika terbeliak kaget dan kagum, sekian lamanya baru Sebun Tio-bu berseru dengan nada tak percaya.

"Maksud Siang-heng, seorang diri engkau menggasak mereka bertujuh""

"Ya,kira2 demikianlah."

Ujar Siang Cin tertawa. Kin Jin jadi tegang, tanyanya.

"Apakah si Serigala tertawa Ji Bu, pentolan Hiat-hun tong di Hek-jiu-tong itu juga mampus?"

Siang Cin mengangguk, katanya.

"Orang ini memang sukar dilayani, beruntung aku menang."

Tiba2 Sebun Tio-bu berseru.

"Bagus kau Siang Cin, orang bilang kepandaian Naga Kuning setinggi langit, sifatnya sebuas serigala, sepak terjangnya tegas, semula aku ragu2, hari ini baru betul2 aku percaya "

Kedua orang berdiam sejenak, kemudian Kin Jin berkata pula "Jadi, bila Bu-siangpay melakukan serbuan besar2an kepada Hek-jiu tong lagi, Siang-heng akan membantu pihak Bu siang pay?"

"Sudah tentu, tiada alasan untuk ingkar janji"

Sahut Siang Cin tegas. Mata Kin Jin memancarkan cahaya terang, katanya.

"Bila Siang-heng sudi menerima, Cayhe bersedia membantu."

Agaknya di luar dugaan, sesaat kemudian baru Siang Cin berkata pelahan.

"Kinheng, maksud baikmu sungguh mengetuk sanubariku, banyak terima kasih, cuma soal ini bukan urusan sepele, akibatnya cukup besar pula, kalau sampai Kin-heng terlibat dalam pusaran rumit ini, sungguh hatiku tak bisa tenteram."

Kin Jin tertawa, katanya.

"Kalau sudah demikian tekadku, kenapa harus takut terlibat ke dalam pertikaian ini, jika Siang-heng tidak anggap rendah kepandaianku, biarlah aku selalu berdampingan dengan Siang- heng,"

Bimbang sesaat, akhirnya Siang Cin berkata.

"Tapi, kenapa Kin-heng mau menempuh bahaya untuk membantu Cayhe? Meski sekali berkenalan lantas akrab persahabatan kita, tapi untuk hal ini rasanya Kin-heng terlalu besar mempertaruhkan modalmu ... ....

"

Kata Kin Jin dengan mantap.

"Persahabatan tidak terletak pada nilai tingginya kebendaan, akan tetapi terletak pada hati nurani yang murni, betapa besar dunia ini, sulit untuk memperoleh seorang sahabat yang sejati, sahabat yang dapat dipercaya, di samping itu ikatan persahabatan itu sendiri juga bergantung pada jodoh, meski baru saja kita berkenalan, tapi naluriku berbicara dan kuyakin Siangheng betul2 sahabat sejati yang menitik beratkan kasih sayang, kesetiaan, dan kepercayaan."

"Kin-heng, kau terlalu memujiku,"

Ucap Siang Cin.

"Hai, kalian asal omong sendiri saja, memangnya aku.tidak dianggap lagi,"

Tiba2 Sebun Tio-bu, menyeletuk.

"Kalau Kin-heng dapat membantu Siang-heng, memangnya orang Sebun hanya berpeluk tangan dan kurang sembabat untuk ikut membantu."

"Baiklah kita putuskan demikian, marilah habiskan tiga cawan sebagai tanda perserikatan kita bertiga,"

Kata Kin Jin. Sekali tenggak Sebun Tio-bu habiskan dulu isi cawannya, teriaknya.

"Memangnya kenapa kau Siang heng, masih ragu2, apakah kami berdua kurang setimpal menjadi kawan seperjuanganmu?"

"Mana berani, terus terang aku sangat senang dan rada2 terkejut malah,"

Kata Siang Cin, lalu iapun menenggak araknya.

Sang surya telah doyong ke barat dengan cahayanya yang kuning merah, hari sudah menjelang magrib.

dengan dua ekor kuda Siang Cin bertiga menuju ke kota Toa-ho tin.

Setelah membelok ke sebuah pengkolan jalan, tak jauh di depan tertampak bangunan rumah penduduk yang ber deret2, sementara jalan raya yang mereka lalui terletak di tengah deretan rumah2 itu.

Lekas Sebun Tio-bu mengendurkan lari kudanya, katanya.

"Dusun ini merupakan pos terdepan Toa-ho-tin, kira2 tiga puluh li di luar Toa ho-tin akau kelihatan tembok kotanya, maka lebih baik kita menyelundup ke sana setelah hari gelap."

"Baik, marilah istirahat saja di dusun ini sambil memupuk tenaga,"

Ujar Siang Cin.

"Menurut pendapatku,"

Deniikian kata Kin Jin sambil memandang ke depan.

"lebih baik jangan masuk ke dusun itu, bukan mustahil di situ ada mata2 Toa-ho-tin, siapa tahu kalau jejak kita dilaporkan ke sarang musuh."

"Alasan Kin heng memang benar, biarlah kita istirahat di balik hutan di belakang dusun itu, setelah malam gelap, sekadarnya kita habiskan rangsum yang tersedia ini, baru nanti kita bertindak lebih jauh, bagaimana?"

Kata Siang Cin.

Kuda mereka lantas membelok menuju ke hutan sebelah kiri, dengan cepat mereka sudah sampai di tempat tujuan, Sebun Tio-bu melompat turun, matanya yang tajam memeriksa keadaan sekitarnya, sementara Siang Cin dan Kin Jin sudah melompat turun, katanya dengan ber-malas2.

"Tangkeh, tiada sesuatu yang menarik bukan?"

Sebun Tio bu menggeleng sambil menambat kudanya, katanya.

"Tidak ada, sekarang marilah kita isi perut lebih dulu?"

Dia mengeluarkan dua bungkusan kertas minyak, isinya ternyata empat potong kue kering dan dua potong ayam panggang, belasan telur asin, sepotong paha babi panggang, lalu dari kantong pelananya kembali dia keluarkan sebuah guci arak kecil, katanya tertawa.

"Bagaimana? Arak dan daging sudah lengkap, mau makan tidak?"

Siang Cin mengedip mata, katanya.

"Hidup berkelana seperti ini sungguh nikmat bila punya kawan seteliti Tangkeh, paling sedikit dalam waktu singkat pasti tidak menjadi kurus karena kurang makan."

Sebun Tio-bu ter-bahak2 mendengar banyolan Siang Cin, mereka lantas duduk dan makan minum dengan lahapnya, cuaca sudah remang2, hawa mulai dingin, angin barat menderu kencang.

Habis makan, mereka istirahat dengan tenang untuk menghabiskan waktu ketiganya sama tenggelam dalam pikiran masing2.

Sementara itu, suasana yang memang sepi menjadi gelap, malam telah tiba.

Bertepuk tangan sekali, Sebun Tio-bu mendahului berbangkit dan berseru..

"Siangheng, hayolah berangkat."

"Tidak perlu naik kuda, bagaimana pendapat kalian?"

Usul Siang Cin.

"Ya, supaya tidak rnengejutkan mereka,"

Ucap King Jin.

Mereka tepuk2 kuda masing2 dan membelai bulu surinya, kedua orang ini sama sayang terhadap kuda tunggangan masing2, begitu besar cintanya terhadap binatang itu seperti terhadap anaknya sendiri.

Segera mereka mengembangkan Ginkang masing2, jarak tiga puluh li tanpa terasa sudah dicapai dalam waktu sekejap saja, sinar pelita yang kelap kelip mulai tampak di ke jauhan sana, itulah Toa- ho-tin.

Kurang lebih dua ribu rumah penduduk Toa-ho tin, semuanya masih membuka pintu, lampu masih menyala, orang mondar-mandir, suasana kota mash ramai, toko2 juga masih buka, tanpa banyak perhatian orang, diam2 mereka menyelinap ke sebuah gang kecil yang sepi dan gelap, di sini mereka berunding membuat rencana kerja.

Sehabis pembicaraan mereka, dengan berlenggang, mereka menuju ke jalan raya yang masih ramai orang berlalu lalang, di sana sini, orang bicara seenak sendiri, semuanya menggunakan bahasa rahasia kaum persilatan, rombongan orang2 Jik san tui yang berpakaian merah tampak mondar-mandir, tidak sedikit pula orang2 Hek-jiu-tong yang mengenakan seragam khas mereka yang hitam itu.

Sembari bicara dan berkelakar Sang Cin bertiga terus menerobos diantara orang banyak.

Tiba2 Kin Jin menarik lengan baju Sebun Tio-bu semburi berbisik.

"Awas!"

Mata Siang Cin cukup celi, sekilas dilihatnya di bawah emper rumah sana, di sebuah warung makan kecil berdiri dua laki2 berpakaian merah dengan mata jelalatan sedang mengawasi mereka dengan penuh perhatian, wajah mereka menampilkan rasa heran dan curiga.

Sebun Tio-bu menoleh ke sana, sambil mendengus ia berludah, sikapnya jumawa, dia sengaja mencemooh dan memaki orang Jik san tui.

Tiba2 bayangan orang berkelebat, kedua orang itu tahu2 sudah mengadang di depan mereka, seorang diantaranya menyapa dengan suara kasar.

"Sahabat, kau datang dari garis mana? Di sini tempat apa, memangnya kau boleh bertingkah dan menugoceh seenak perutmu sendiri."

Sebun Tio-bu tahu kedua laki2 inilah yang memperhatikan mereka di emper warung tadi "Crot", setelah berludah Sebun Tio-bu bertolak pinggang, dengan sikap yang angkuh dia meraung.

"Eeh, kalian mau apa? Kalian antek2 kecil ini berani garuk kepala tuan besarmu. Memangnya tuan besarmu yang telanjang kaki ini takut kalian yang pakai sepatu? Hayolah maju, biar kuhajar adat kalian yang tidak tahu diri ini. Nanti akan kucari pentolanmu untuk menuntut keadilan."

Kin Jin juga menyingsing lengan baju, teriaknya.

"Ya, kebetulan, memangnya kita ingin tanya pentolan mereka, kenapa barang antaran milik kita sudah sekian lama belum jupa dikirimkan, sekarang kalian malah mencari gara2 lagi."

Sudah tentu kedua laki2 itu jadi melenggong, muka mereka pucat seketika, untung yang berbadan lebih jangkung memiliki otak lebih encer, melihat gelagat jelek, tersipu2 dia tertawa sambil munduk2, katanya.

"Sabar tuan2, tolong tanya kalian ini sahabat terhormat dari gunung mana? Temanku ini barusan terlalu banyak minum, melihat kalian ngelantur seperti di rumah sendiri pula, karena emosi lantas tanya sedikit keterangan, harap sesama orang sendiri jangan sampai salah paham ...."

"Salah paham?"

Teriak Sebun Tio-bu.

"Salah paham kentut. Tuan besarmu ini dengan Pek-sam-thauling kalian umpama bukan teman karib juga boleh dikatakan tamu undangan, setelah dia menerimn panjar delapan ratus tahil perak sebagai ongkos antaran, sejauh ini belum juga berangkat menyampaikan barang milikku itu, memangnya siapa yang tidak dongkol. Sekarang kalian kawanan anjing buduk ini berani mengusikku lagi, biar Tuan besarmu pergi ke Pau-hou-ceng menuntut keadilan pada majikanmu, coba saja apa yang akan dikatakan Pek-losam."

Dari samping Kin Jin pura2 membujuk, katanya.

"Sudahlah, anggaplah kita sendiri yang sial, lebih baik kembali saja ke Ji-ih-hu dan laporkan hal ini kepada Jan-kong Loyacu, biar beliau memberi keputusan yang adil, beberapa hari di Toa-ho-tin, sungguh kenyang aku dibuat jengkel ...

"

Pandai juga kedua orang ini bermain sandiwara, padahal tak pernah latihan, sudah tentu Siang Cin sudah menyingkir ke samping dan hampir saja tertawa ter-pingkal2, tapi kedua orang Jik-san-tui ini menjadi gemetar.

dan pucat ketakutan, yang bertubuh pendek kurus lekas munduk2, katanya tergagap2.

"Para ......O, tuan2 .....harap maaf akan keteledoran kami tadi ....sesama orang sendiri, tidak ....tidak perlu bertengkar, ada persoalan apa belehlah dibicarakan baik2 ....

"

Mendelik mata Sebun Tio-bu, damperatnya.

"Orang sendiri apa? Kalian kaum keroco juga berani bicara tentang "orang sendiri?"

"

Berkeringat dingin orang itu dicaci sedemikian rupa, dia tidak berani bersuara lagi setelah menelan ludah dengan cengar-cengir dia meratap.

"Cian ....Cianpwe ....anggaplah memang mataku ini buta dan tak tahu siapa sebetulnya engkau orang tua, mohon ampun seribu ampun, mohon engkau jangan memaki lagi ...."

Tapi Sebun Tio-bu bertambah murka, teriaknya.

"Apa? Memangnya kau tidak terima kumaki? Kurangajar, Lo Kin, biar kutunggu di sini, lekas kau pulang ke Ji ih hu, panggilkan Hoan-wi-jit-so Nyo Kam, Nyo-lote kemari, katakan bahwa anak celurut Jik-san-tui ini berani main gila, kalau Nyo-lote tidak ada, boleh kau seret Pa-te-ki Toh Cong kemari kalau tidak ketemu, pergilah ke Pau hou-ceng. carilah Pek Wi bing, bila perlu temui To Yau atau Kiau Hiong juga boleh ...."

Semakin ciut nyali kedua orang Jik-san-tui itu, nama2 yang disebut terakhir ini bukan saja tokoh-tokoh pihak sendiri, malah satu dan lain lebih tinggi kedudukannya, tarnpaknya orang memang tidak main gertak, kalau tidak masa kenal begitu banyak pentolan2 dari pihak sendiri? Jika sampai hal ini dilaporkankan bisa celaka? Maka cepat2 mereka memohon.

"Lo ....Locianpwe, kalian adalah orang2 besar yang bijaksana, maafkan kesalahan kami yang tidak sengaja, betapapun selanjutnya kami tidak berani kurangajar lagi."

Sebun Tio-bu mendengus keras2, sambil menengadah ia tidak menggubris mereka.

Sementara orang yang berlalu lalang ada yang berhenti dan mengerumuni mereka, di antaranya sudah tentu ada orang Hek jiu-tong, ada Pula dari Jik-san-tui, tahu karena ada yang tahu duduk persoalannya, mereka segan turut campur, maka sekian lamanya tiada orang yang berani melerai.

Kembali kedua orang itu memohon.

"Baiklah tuan2, memang kami bersalah, mohon sudilah engkau ....."

Sebun Tio-bu mendelik, jengeknya.

"Hm, baru sekarang kau bicara seperti manusia. ketahuilah Toa-ho-tin terhitung tempat tinggalku juga, setiap kedatanganku selalu mendapat pelayanan istimewa dari Jik-san-tui? Toh-loko dan Nyo-lote pasti menjamu padaku. Baru setengah tahun tidak kemari sudah ketemu keroco yang berani mengusik kesenanganku?"

Kin Jin pura2 membujuknya.

"Saudaraku, begini saja, biar aku yang traktir minum beberapa cangkir arak, suruhlah kedua saudara ini melayani beberapa cangkir padamu ....""

"Memangnya urusan segampang ini?"

Scbun Tio bu menggeleng.

"aku toh tidak marah padamu, kenapa kau yang harus keluar duit? Tidak bisa. tidak boleh .....

"

Kedua laki2 baju merah menjadi gelisah pula, katanya.

"Apa yang diucapkan Cianpwe ini memang betul, sudilah Cianpwe suka memberi muka, biarlah anggap kami yang menjamu kau orang tua, bilamana Cianpwe sudi menerima, legalah hati kami ...."

Mendengus dua kali, dengan lagak ogah2an Sebun Tio-bu berkata.

"Tidak bisa mana boleh begitu? Itu artinya aku meucari keuntungan dari kalian ...."

"Mana boleh dikatakan begitu, anggaplah sebagai penghormatan kami, untuk ini mohon Cianpwe betul2 sudi memberi muka, mumpung ada kesempatan ini, kalau tidak kapan kami dapat menyuguh secangkir arak kepada engkau orang tua ......."

Sengaja berpikir sejenak dan berlagak ragu2, akhirnya Kin Jin pura2 membujuk pula.

"Hayolah, terima saja ajakan baik ini, jangan nanti orang bilang kau ini berjiwa sempit ........"

Seperti apa boleh buat, akhirnya Sebun Tio-bu berkata.

"Baiklah, kuterima perrnohonan kalian. Kin-lote, memang kau yang berhati lemah, masa kau malah ikut membujukku segala."

Kedua laki2 baju merah berjingkrak girang, sambil munduk2 mereka mempersilakan Sebun Tio-bu dan Kin Jin jalan di muka, mereka berempat terus menuju ke arah timur, di sana pasar malam sedang ramai.

Sekilas Kin Jin melirik ke sana, dilihatnya Siang Cin tetap mengintil dari kejauhan.

Setelah ajak bicara sekadarnya kepada kedua orang baju merah, akhirnya Kin Jin coba memancing.

"Katanya saudara2 dari Hek-jiu-tong juga hijrah keperkampungan sini, bukankah kalian harus hidup berhimpitan."

Dengan munduk2 laki2 baju merah yang tinggi menjawab.

"Berhimpitan sih tidak, perurnahan di sebelah timur dan selatan seluruhnya diperuntukkan mereka, sementara Jiong gi tong juga diserahkan ke pada orang2 Hiat-hun-tong, sedang anak buah Ji-thauling dan Sam-thauling dipindah keluar perkampungan, di sana baru beberapa bulan terakhir ini didirikan tiga deretan perumahan yang luas, jauhnya hanya dua li, pemandangan amat indah di sana ...

"

Semua ini diingat baik2 oleh Kin Jin, lalu dia bertanya lebih jauh.

"Kabarnya kali ini Hek jiu tong berhasil mengalahkan Bu-siang-pay, sungguh hebat mereka, tentunya sepanjang hari mereka terus merayakan kemenangan gilang gemilang ini?"

Orang itu celingukan sebentar, lalu berkata dengan merendahkan suara, seperti soal yang hendak dibicarakannya amat rahasia.

"Kebetulan Cianpwe yang tanya, kalau orang lain terus terang kami tidak berani memberi keterangan. Memang kawan2 Hek-jiu-tong berhasil melebur penyatron dari Bu-siang-pay, tapi musuh yang menyerbu datang hanya sekelompok kecil saja, masih besar bala bantuan mereka dari padang rumput yang belum tiba, jika musuh betul2 menyerbu secara besar2an, entah bagaimana pula situasi mendatang nanti. Padahal pihak Hek-jiu-tong sendiri kali ini juga serba runyam, anak buah mereka yang mati dan terluka ada tujuh ratusan orang, malah enam dari sepuluh gembong pimpinan merekapun gugur di medan laga, demikian pula saudara kita yang diperbantukan ke sana juga rontok ratusan banyaknya . ......"

"O, jadi keadaan mereka sekarang cukup runyam juga?"

Tanya Kin Jin.

"Betul, orang2 Hek jiu-tong yang hijrah kemari ada seribu lebih, empat ratusan di antaranya terluka parah atau ringan, keadaan mereka memang cukup mengenaskan, padahal mereka harus ber siap2 menghadapi serbuan pasukan besar Bu siang-pay, sehingga para pimpinannya harus mempersiapkan ini dan itu, maka kota inipun menjadi sibuk pula, yang celaka adalah penduduk yang tidak tahu apa2 harus ikut tegang dan hidup tertekan, kemarin ada berita bahwa bala bantuan besar dari padang rumput telah melewati Liok-sun ho, naga2nya pertempuran besar bakal berlangsung tak lama lagi . ...."

Kin Jin pura2 bergumam.

"Liok-sun-ho, Liok-sun ho ......"

Dengan keheranan orang itu berkata, kepada Kin Jin.

"Liok sun ho terletak di arah timur sana, kira2 tiga ratusan li jaraknya, apakah Kin-cianpwe tidak pernah lewat sana? Sungai itu cukup besar dan luas."

"Aku tahu, kalau demikian, Hek-jiu tong dan Pek losam kalian kan harus mencari kawan untuk membantu, memangnya kenapa masih berdiam di sini saja?"

"Sejak beberapa waktu lamanya orang2 sudah disebar untuk mengundang bantuan, cuma belum diketahui siapa dan berapa banyak jumlah bantuan yang diundang."

Dengan tak acuh Kin Jin memberi komentar.

"Soal penting dan rahasia begini kalian kaum keroco mana bisa tahu? Bila sampai membocorkan rahasia kan bisa berabe ......"

Mungkin karena diremehkan, maka laki2 ini menjadi uring2an, katanya dengan nada misterius.

"Ah, belum tentu, meski kami orang2 rendah, tapi punya jalannya sendiri untuk mencari berita, tak seluruhnya kami tahu, tapi sedikit banyak tentu tahu juga."

"Tidak mungkin, aku tidak percaya,"

Ucap Kin Jin menggeleng. Orang itu merasa penasaran, katanya.

"Bukan aku sengaja mau menyombongkan diri, aku berani bertaruh, apa yang Cianpwe ketahui belum tentu lebih banyak daripada apa yang kuketahui. Mungkin Cianpwe hanya tahu Ji ih-hu yang akan memberi bantuan, padahal orang2 Ceng -siong-san ceng juga akan datang, mungkin pula Cianpwe belum tahu bahwa Jit-ho-hwe dan Toa-to-kau juga setuju untuk berserikat, malahan Sio lian-su-coat yang bersemayam dl"

Pek hoa-kok juga diundang keluar. Hal yang lebih penting adalah Tiang-hong pay juga akan mengutus orangnya kemari, sungguh suatu usaha besar yang tak kepalang tanggung, tiba waktunya pasti amat ramai ......"

Rahasia yang tak sengaja terkorek ini sungguh membuat jantung Kin "Jin berdetak keras, maklumlah aliran dari goIongan yang disebut ini semua diketahui jelas olehnya.

Terutama Tiang hong pay, perkumpulan yang menempati Ki hong nia di Ong-ju-san ini merupakan Pay yang paling aneh dan misterius, pimpinan mereka seluruhnya ada tujuh orang, julukan mereka semuanya menggunakan, huruf "Ang" (merah).

Ketujuh makhluk aneh yang biasanya jarang berhubungan dengan dunia ramai ini melarang siapapun berkeluyuran di sekitar Ki-hong-nia, apalagi ketujuh orang ini masing2 memiliki watak aneh yang berbeda pula, konon Kungfu mereka sangat tinggi, sungguh tak nyana bahwa Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui bisa mengundang mereka keluar dari sarangnya, sungguh sukar dibayangkan dengan cara bagaimana mereka bisa dipancing keluar? Satu hal lagi yang membuat Kin Jin ngeri adalah ketujuh makhluk aneh dari Tiang hong-pay ini punya hubungan intim dengan Kun lun-pay, karena Ciangbunjin Tiang hong-pay adalah adik kandung Ciangbunjin Kun-lun pay, jika bermusuhan dengan mereka, tentu pihak Kun-lun- pay takkan berpeluk tangan.

Melihat Kin Jin hanya mengerut alis tanpa bicara, laki2 baju merah menjadi bingung, tanyanya.

"Cianpwe, apakah Cianpwe kurang enak badan?"

Setelah menghela napas, Kin Jin berkata.

"Ya, rasanya jadi kurang enak badanku, apalagi setelah mendengar ceritamu ini, hatiku ikut kebat-kebit. Tapi tak apalah. Ah, bukankah Sebun-toako sudah masuk ke sana? Itulah Jay-sing-tiu-lau (rumah makan Petik Bintang)?"

Dengan hormat yang berlebihan orang itu menyilakan Kin Jin masuk dan naik ke loteng, Sebun Tio-bu dan laki2 baju merah yang lain sudah menempati sebuah meja.

Cepat sekali masakan telah di hidangkan, merekapun makan minum sekenyangnya, terutama Kin Jin dan Sebun Tio bu, mereka tahu malam ini tugas mereka cukup berat, perut harus di isi sekenyangnya supaya tidak meruntuhkan semangat tempur mereka.

Setelah turun dari Jay-cing-siu-lau, sepanjang jalan mereka masih ngobrol dan tidak sedikit keterangan yang berhasil dikorek pula oleh Sebun Tio-bu dan Kin Jin, setelah meninggalkan kedua laki2 baju merah yang mabuk itu, Sebun Tio-bu dan Kin Jin tertawa geli sambil saling pandang, kata Kin Jin.

"Sudah sekian lamanya, mungkin Siang-lote sudah tidak sabar menunggu lagi."

Sebun Tio-bu segera menariknya ke arah barat, kini orang yang berlalu di jalan raya sudah jauh lebih sepi, maklumlah waktu menjelang tengah malam, toko2pun telah tutup, demikian pula pedagang kaki lima sudah mulai mengukuti barang2 dagangannya.

Tidak jauh mereka meninggalkan rumah makan itu, tahu2 Siang Cin muncul dari gang sebelah depan sana, dengan menengadah santai ia berjalan berlenggang, tak ubahnya seperti pelancongan yang sedang menikmati panorama nan indah permai.

Kin Jin segera mendekati, sapanya.

"Bikin Siang-heng menunggu terlalu lama."

"Tidak perlu ter-gesa2, pasti tidak sedikit berita yang berhasil kalian peroleh?"

Ucap Siang Cin dengan tertawa.

"Memang."

Sahut Kin Jin.

"supaya tidak mengejutkan musuh, maka kami tidak pakai kekerasan, terpaksa main sandiwara untuk menipu keterangan mereka."

Sebun Tio bu celingukan ke kanan kiri lalu katanya.

"Situasi kurang meguntungkan Bu-siangpay, dari padang rumput mereka sudah mengerahkan seluruh kekuatannya, kini sudah melintasi Liok-sun- ho, diperhitungkan dari kecepatan jalan mereka paling lama dua hari lagi pasti sampai di sini ....."

"Mumpung ada kesempatan, daripada menunggu terlalu iseng, barusan aku pergi ke Pa-hou-seng, jaraknya kira2 tiga li, pagar temboknya dibangun dari batu2 hijau besar, perumahan di dalamnya cukup banyak dan tersebar luas, pada setiap bagian dibangun taman dan hutan buatan yang terawat baik, agaknya keadaan di sana memang amat berbahaya, sekian lamanya aku memeriksa dari atas tembok. Bayangan orang tampak mondar mandir di dalam kampung, senjata tajam kelihatan kemilauan, cahaya lampu tampak masih menyala dibanyak rumah2 di sana, penjagaan cukup ketat, suasana terasa tegang, naga2nya mereka sudah sejak beberapa hari ini mempersiapkan diri untuk menyongsong serbuan musuh ......"

Sementara itu, mereka sudah membelok ke gang samping yang gelap, sambil berjalan secara singkat Kin Jin ceritakan kejadian tadi serta berita apa yang berhasil mereka korek itu kepada Siang Cin.

Mengawasi bintang2 di langit yang berkelip, Siang Cin berpikir sejenak, katanya kemudian.

"Arah pasukan Bu-siang-pay jelas tertuju ke Toa-ho-tin, pertempuran besar segera akan berlangsung, agaknya malapetaka dan penderitaan sukar lagi terhindar."

Ketiga orang sama2 prihatin, Siang Cin seperti hendak bicara, tapi tiba2 didengarnya derap kaki orang banyak lari lewat di jalan raya sana, terdengar suara aba2, bentakan dan caci-maki, tapi segera suara dan derap langkah barisan ini semakin jauh dan akhirnya tidak terdengar lagi.

Sebun Tio-bu berkata.

"Agaknya Jik-san-tui menemukan apa2, atau mungkin menyadari tindak tanduk kita yang mencurigakan tadi, maklumlah, beberapa hari terakhir ini mereka hidup dalam suasana tegang. Lalu bagaimana tindakan kita selanjutnya? Menghajar musuh atau menyingkir saja secara diam2? Kin Jin memberi tanda, cepat mereka melesat ke tempat yang lebih gelap, dengan suara lirih Siang Cin berkata.

"Jika mau pakai kekerasan, tadi tak perlu kalian main sandiwara segala."

Baru saja mereka mendekam di tempat gelap, puluhan orang tampak berlari mendatangi, senjata mereka tampak kemilau serta mengeluarkan suara gemerantang, secara membabi buta mereka mengadakan pemeriksaan di gang sempit gelap ini sambil menggerutu, sudah tentu mereka tidak memperoleh apapun yang diharapkan.

Sambil berludah dan mencaci maki akhirnya mereka mengundurkan diri.

Setelah orang2 itu pergi, Sebun Tio-bu mengomel, katanya.

"Siang-heng, sekarang kita terjang ke Ji-ih-hu atau menyelundup ke Pau-hou-ceng?"

Siang Cin menjawab.

"Ke Pau-hou-ceng saja."

Dengan tertawa Sebun Tio-bu bertanya.

"Apa tidak perlu berkedok?"

"Ya, harus berkedok,"

Ucap Siang Cin. Mengawasi jubah kuning Siang Cin, Kin Jin berkata.

"Berkedok atau tidak sama saja, jubah kuning yang Siang-heng pakai ini sangat menyolok, memangnya siapa yang tidak kenal bahwa Siang-heng berjubah kuning?"

"Kukira tidak jadi soal, malam terlampau gelap, bila gerak-gerikku cukup cepat, tanggung mereka tak bisa mengenalku lagi,"

Demikian ucap Siang Cin.

Sebun Tio-bu mengeluarkan sapu tangan sutera putih, dia tutupi hidung dan mulut sendiri, sementara Kin Jin keluarkan kain hijau untuk membalut kepala, demikian pula Siang Cin keluarkan sapu tangan kuning untuk menutupi mukanya, mereka saling pandang dengan tertawa geli, di bawah aba2 Siang Cin mereka segera berlalu dari tempat itu.

Dengan gaya yang indah dan ringan Siang Cin melayang ke atas rumah.

Sudah tentu Kin Jin dan Sebun Tio bu tidak mau ketingalan, merekapun ingin pamer kepandaian masing2, seperti berlomba saja ketiganya segera melesat ke depan.

Pada wuwungan terakhir di dalam kota Toa-ho-tin, pada saat mereka mengapung tinggi di udara itu, Sebun Tio-bu dan Kin Jin sama melihat Pau-hou-ceng yang terletak di balik hutan sebelah timur sana.

Pau-hou ceng memang amat luas, bangunan gedungnya tinggi dan megah, pagar tembok yang mengelilingi perkampungam juga amat tinggi.

Sinar lampu ber kelip2 di sana-sini tersebar jauh, se-akan2 mata setan yang selalu mengintip gerak gerik orang luar yang menyelundup ke dalam kampung.

Menuding ke depan Siang Cin berkata lirih.

"Itulah Pau hou-ceng," Sebun Tio bu berludah sambil mencaci. Sebaliknya Kin Jin berkata dengan tertawa.

"Semoga perjalanan kita malam ini membawa hasil yang memuaskan." ********** Halaman 27 - 28 hilang ********** sudah siap, Siang Cin meraih dua ranting pohon dan di sambitkan. Malam gelap, tapi terdengar jelas kedua ranting kayu itu menerbitkan deru angin mencicit, dikala ranting kayu itu hampir tiba di depan pintu gerbang, mendadak membelok ke kiri-kanan. Dua puluh empat laki2 yang bertugas jaga itu sama melengak, sigap sekali mereka memburu ke kiri-kanan, pada waktu yang sama Siang Cin bertiga lantas melijit tinggi ke atas, tanpa bersuara dan tiada rintangan apapun mereka meluncur masuk ke Pau-hoa-ceng. Begitu melampaui pintu gerbang, kembali Siang Cin memberikan tanda, mereka tidak hinggap ke bawah, tapi langsung melayang ke pohon besar yang berada di kanan pintu gerbang. Tertampak sebuah jalan lapang mengkilap beralas batu hijau menjurus lurus ke sebelah dalam dan berakhir pada undakan batu hijau pnla di depan sebuah gedung besar dan angker, begitu megah bangunan gedung ini, bentuknya serba antik, semuanya serba ukiran dan berwarna warni lagi, dua ekor singa batu di kanan-kiri pintu menambah angkernya gedung ini. Dari ketinggian pucuk pohon mereka memeriksa keadaan sekitarnya tanpa menghiraukan keributan para penjaga yang menggerundel tadi, Sebun Tio-bu bersuara tertahan.

"Siang-heng, gedung besar itu seperti markas mereka untuk bersidang atau pusat kekuasaan mereka ...."

Sebun Tio-bu dan Kin Jin mengangguk bersama, mereka terus meluncur ke depan dengan kecepatan luar biasa.

Dikala mencapai pucuk .pohon yang terdekat dengan gedung besar itu, mendadak Siang Cin bertiga melambung lebih tinggi ke atas, baru saja kelihatan bayangan berkelebat, tahu2 sudah lenyap pula.

Teringat pengalaman di Pi-ciok-san dulu, Siang Cin kali ini tidak sia2kan payon yang lebar panjang itu untuk menyembunyikan diri, perawakannya yang tinggi semampai berjumpalitan di udara, seenteng burung walet, dengan enteng ia hinggap di puncak tiang besar di depan gedung megah itu, maka Sebun Tio bu dan Kin Jin juga meniru caranya, merekapun hinggap dan menempel di tiang yang lain seperti tiga ekor cicak raksasa.

Kungfu yang mereka lakukan ini sebetulnya sangat makan tenaga, umumnya di dunia persilatan ilmu ini dinamakan Pia-hou-kang (ilmu cicak), ilmu ini memerlukan ketahanan napas yang dikendalikan oleh tenaga dalam sehingga badan seperti lengket pada benda apapun yang ditempelinya, bagi yang Lwekangnya tinggi sekaligus orang akan kuat ber-tahan ber-jam2, yang ilmunya rendah terpaksa harus dibantu dengan kaki tangan untuk bertahan.

Pintu gedung megah yang bertatah paku tembaga putih sebesar telur angsa itu setengah terpentang, secercah cahaya guram tampak menyorot keluar dari dalam, tapi keadaan di dadam juga sunyi senyap, Dengan cermat Siang Cin pasang kuping mendengarkan, sejenak kemudian dia berkata lirih.

"Awas, kalian harus hati2, di dalam ada orang."

Sebun Tio-bu mengangguk, sahutnya.

"Betul, ada empat orang."

Kin-Jin juga berkata.

"Agaknya mereka tengah berunding di ruangan sana, suaranya juga bisik2 tapi jelas yang dibicarakan cukup penting, jarak pembicaraan mereka dari pintu kira2 dua puluhan tombak."

Dengan tersenyum Siang Cin berkata.

"Biar kumasuk lebih dulu, kalian menyusul bergantian."

"Silakan!"

Ucap SebunTio bu.

Tubuh Siang Cin yang menempel di pilar itu tiba2 melorot ke bawah, tatkala mencapai setengah ketinggian pilar itu mendadak ia melenting ke depan dan melayang masuk melalui pintu yang setengah tertutup itu.

Begitu berada di dalam ruangan, sekilas matanya menjelajah, diam2 ia terkesiap, kiranya ruang ini adalah pendopo besar yang panjang, ada dua belas pilar besar yang berjajar di kanan-kiri pendopo, lantainya adalah marmar putih yang besar dan mengkilap, pada ujung pendopo sana di sebelah kanan kiri ada dua undakan batu yang menuju ke atas sebuah panggung, di atas panggung terdapat belasan kursi besar berukir yang berlapis kulit harimau, tepat di tengah dinding di belakang panggung, terdapat ukiran seekor harimau yang terbuat dari tembaga.

Lampu di pendopo seluruhnya dipadamkan, hanya enam pelita yang menyala di atas panggung, ada empat orang sedang duduk berkeliling sambil bicara bisik-bisik, sementara di bawah panggung, menghadap ke arah pintu besar ada dua puluhan laki2 kekar berpakaian merah sama duduk bersimpuh.

Begitu menerobos masuk dan belum lagi kaki menyentuh lantai, dalam hati Siang Cin sudah mengeluh, tapi sebat sekali dia bergerak.

"Wut", langsung ia melejit ke atap ruangan dan hinggap di belandar. Belasan orang di antaranya merasa pandangan kabur, sementara bayangan Siang Cin berkelebat di tengah keremangan, dua di antaranya lantas melonjak berdiri seraya berteriak.

"Ada mata2!"

Empat orang yang tengah berunding di atas panggung serentak berpaling, pada detik itulah kebetulan menjadi giliran Kin Jin menerobos masuk ke dalam peodopo, sudah tentu jejaknya menjadi konangan serta menarik perhatian semua orang yang berada dalam pendopo.

Delapan laki2 lain yang masih duduk di lantai serentak meraung gusar terus menubruk maju, senjata kampak mereka tampak kemilau, sebat dan tangkas sekali gerak-gerik mereka, baru saja Kin Jin berdiri tegak, mereka telah mengerubutnya.

Sungguh runyam keadaan Kin Jin waktu itu, maju-mundur serba susah.

pada detik itulah, sepuluh laki2 baju merah yang lainpun memburu tiba sambil mengayun senjata mereka.

Kin Jin jadi nekat, ia berdiri tegak sambil bertolak pinggang di tengah pintu, tangannya terangkat serta berseru lantang.

"Tunggu sebentar!"

Puluhan laki2 baju merah itu segera mengepungnya, seorang yang bertubuh tinggi kekar segera tampil sambil meraung.

"Sahabat, tanggalkan kedokmu, tekuk lututmu pula menyerah dan terima dibelenggu saja, supaya tuan2 besarmu di sini tidak perlu bercapai lelah membekukmu dengac kekerasan."

Sekilas Kin Jin melirik, dilihatnya Sebun Tio-bu tidak ikut masuk, dia tahu kawan ini telah melihat gelagat jelek, dengan dingin dia pandang orang2 yang mengepungnya, katanya kasar.

"Kentut makmu, kalian kaum keroco ini juga berani membual dihadapanku? Memangnya darimana kau tahu kalau aku mata2 dan bukan kawan sendiri?"

Laki2 kekar itu mengejek, cemoohnya.

"Kalau kawan sendiri memangnya berdandan seperti tampangmu ini? Begini pula caramu keluar-masuk di rumah orang? Jangan kira kami ini dapat kau tipu. Dalam pada itu orang2 yang berunding di atas panggung itupun sudah berdiri, di bawah penerangan api, tampak seorang berwajah merah, perawakannya tinggi besar berjenggot hitam panjang, laki2 tua ini melangkah maju setapak, suaranya rendah tapi sekeras guntur.

"Pasang lampu, biar kami berkenalan dengan sahabat yang tak diundang ini."

Laki2 kekar baju merah itu mengiakan sambil mengundurkan diri.

"Wut"

Secepat kilat tiba2 Kin Jin melayang ke sana, dikala kedua tangannya bergerak dengan kecepatan yang sukar diikuti pandangan mata, dua laki2 baju merah di kanan-kirinya sudah melolong roboh sambil memeluk perut, darah menyembur dari mulut mereka.

Gerakan Kin Jin tidak berhenti, secara beruntun dia mendesak kedepan, di mana kedua telapak tangannya menabas, tampak bayangan tangan menyambar dan mengeluarkan deru kencang, kontan dua laki2 baju merah kembali terlempar roboh dengan menyemburkan darah dari mulutnya.

Perubahan yang mendadak ini membuat enam Iaki2 baju merah yang lain melenggong, tapi dering senjata yang jatuh berkerontang diatas lantai, seketika menyentak sadar pikiran mereka.

Tapi begitu bayangan telapak tangan menyambar, seorang kawan mereka terjungkal binasa pula dengan dada remuk.

Sejak Kin Jin beraksi hingga jiwa lima korban melayang hanya berlangsung dalam sekejap mata belaka.

Maka terdengarlah geram murka dari atas panggung, empat bayangan orang laksana empat ekor kelelawar pengisap darah, cepat dan seram sekali melayang tiba dengan kecepatan,yang amat mengejutkan.

Tak terlukiskan bagaimana hebat dan tangkas gerakan Kin Jin, ia menyelinap di antara sambaran senjata musuh yang gencar dan rapat itu, ujung pakaiannya tak tersentuh sedikitpun oleh serangan lawan, seorang musuh menjadi kalap, kampaknya berputar dan tiba2 menubruk maju, sekaligus ia menyerampang dan membabat kedua kaki Kin Jin.

Tertawa dingin Kin Jin, tiba2 ia meluncur mundur seperti orang bermain ski, tapi empat kampak musuh sekaligus menghujani tubuhnya pula, terpaksa dia memutar lengan kiri, sementara telapak tangan kanan menekan ke bawah dengan gentakan kuat, sungguh tak dapat dilukiskan betapa indah dan sebat gerakannya, tahu2 bayangan berkelebat.

"pletak", suara tulang patah berkumandang diselingi lolong panjang kesakitan. Bacokan empat kampak itupun mengenai tempat kosong, menghancurkan lantai marmer malah, sehingga muncratlah lelatu api, sementara dengan gerakan yang gemulai Kin Jin telah melayang ke pinggir sana. Tapi gerakan ke pinggir ini justeru memapak kedatangan laki2 tua bermuka merah yang melayang turun dari panggung tadi, dengan mata mendelik, jenggot hitam tampak berkembang, nyata gusarnya tak terkatakan. Kin Jin yang masih terapung itu mendadak balas menyerang balik ke belakang. dalam sekejap itu terdengarlah serentetan suara adu telapak tangan yang nyaring. Hawa udara dalam pendopo seketika bergolak. Bayangan kedua orang seketika terpental dan anjlok ke bawah. wajah laki2 merah itu seketika berubah pucat kelabu, jenggot yang panjang itu bertaburan kaku, tubuh yang besar itu terus terbanting ke bawah. Untung di belakangnya seorang laki2 setengah umur berkepala gundul sempat memburu maju dan memapahnya. Menyusul dua orang laki2 berperawakan sedang juga menerjang tiba, salah satu yang sebelah kupingnya tinggal separo menerjang maju, serunya.

"Cianglo, apakah masih kuat bertahan?"

Orang tua yang bermuka merah tampak gemetar, kedua tangannya melepuh besar mirip paha babi, kulit daging hitam membiru. Laki2 pertengahan umur yang memapah laki2 tua ini, melirik benci ke arah Kin Jin, sejenak baru dia bersuara dingin.

"Sahabat, tak perlu kau tutupi mukamu, kami sudah tahu siapa kau adanya, memangnya kurang senang kau tinggal di Tan cin, jauh2 datang ke Toa ho tin mencari setori."

Mendadak laki2 tua itu menarik napas panjang, dengan melotot dia berteriak serak.

"Kim lui jiu, aku telah memperoleh pelajaranmu."

Kin Jin membuka kedoknya, katanya.

"Cianglo, maaf akan kekurang ajaranku barusan, tapi Cianglo sendiri kenapa tidak ongkang2 saja di markas Jit-ho hwe sebagai pentolan ketiga di sana, untuk apa pula kalian bisik2 sepanjang malam di sini, sungguh membuatku tidak habis mengerti." Jenggot hitam laki2 tua tampak bergoyang, katanya dengan napas tersengal.

"Orang she Kin, di Tanciu kau boleh bersimaharaja, urusan Jit ho-hwe kami tak perlu kau mencampurinya ... .. untuk apa kehadiranku di Pau-hou-ceng ini, memangnya kau ingin mengetahui?"

Sambil tersenyum Kin Jin menjura, katanya.

"Hanya karena ingin tahu saja. Tapi kalau Cianglo tidak mau menerangkan, ya apa boleh buat, biarlab Cayhe mohon diri saja."

Dada si orang tua naik turun, napasnya terengah2, bibirnya bergerak ingin bicara, tapi agaknya dia menguatirkan sesuatu, maka batal bersuara, dengan gemas akhirnya dia melengos ke arah lain.

Adalah laki2 gundul itu ternyata berperangai kasar dan berangasan, dia meraung beringas.

"Kin Jin, biarpun Kim-lui-jiu sudah menggetar dunia, memangnya kau boleh bertingkah dan datang pergi seenakmu sendiri? Kin Jin, jangan kaukira kami boleh dihina."

Kin Jin sudah memutar badan, lekat dia membalik lagi, katanya dengan tertawa ramah.

"Kalau tidak keliru, tuan ini pastilah Kui kok khek Pa Cong-si, salah satu So lian su -coat yang bersemayam di Pek-hoa-kok itu?"

Tidak menampakkan perubahan air mukanya, Iaki2 gundul ini malah menjengek.

"Orang gunung macam diriku ini mana dapat dijajarkan dengan Kim lui jiu yang tergolong tokoh besar?"

Tidak marah, Kin Jin malah bersikap tenang, katanya.

"Ah, Pa-heng terlalu memuji."

Sorot matanya berubah beringas, salah satu dari Sio lian-su-coat ini berkata kasar.

"Kau orang she Kin pasti paham akan aturan Kangouw, enam jiwa manusia ditambah luka2 Ciang-lo, lalu orang she Kin mau tinggal pergi hanya menjura begitu saja, apakah kau tidak terlalu meremehkan kami di sini?"

Pelahan Kin Jin berkata.

"Lalu, apa kehendak Pa heng?"

"Gampang.saja,"

Jengek Pa Cong-si.

"tinggalkan batok kepalamu"

Seketika Kin Jin menarik muka, desisnya.

"Pa Cong-si, terhadap siapa kau sedang bicara?"

Pa Cong-si ter-bahak2 dan berkata.

"Terhadap kau keparat yang bernama kosong dan tak tahu diri ini."

Sikap Kin Jin tetap tenang dan sabar, katanya.

"Jika demikian, Pa Cong-si, boleh kau turun tangan saja. Batok kepalaku akan kutinggalkan di sinni asal kau mampu mengambilnya."

Mencorong sinar mata Pa Cong-si, segera ia pasang kuda2. Dengan gaya santai Kin Jin mengebas lengan baju, katanya.

"Silakan!"

Tapi laki2 yang disebut Ciang-lo, yang terluka tangannya itu, mendadak mengadang di tengah mereka, teriaknya serak.

"Tunggu sebentar Pa lote ....."

Pa Co ng-si melengak dan menyurut mundur, serunya heran.

"Ciang-lo, kau ...."

Menggeleng dengan napas tersengal, si orang tua membalik menghadapi Kin Jin, katanya dengan suara serak.

"Kin-heng ...."Ciang-lo terlalu sopan,"

Kata Kin Jin tenang2.

"entah ada petunjuk apa?"

Si orang tua berkata.

"Dalam waktu dekat ini seluruh kekuatan Jik-san-tui tengah dipersiapkan untuk menghadapi cerbuan Bu-siang-pay, situasi dalam Pau- hou-ceng cukup tegang ....hal ini tentunya Kin- heng cukup maklum ...."

"Ya, kutahu,"

Ucap Kin Jin. Kata si orang tua menghela napas.

"Kami mempunyai hubungan erat dengan Jiksan- tui, betapapun kami tidak boleh berpeluk tangan melihat manusia padang rumput itu menginjak kedaulatan kita di sini ....dalam keadaan yang serba sulit ini, malam2 mendadak Kin-heng berkunjung kemari, malah sekali turun tangan membunuh enam nyawa anak buah Jik-san-tui, sungguh aku tidak mengerti apa maksud sepak terjangmu ini,"

Kin Jin menjelaskan dengan kalem.

"Barusan sudah kujelaskan, ini hanya salah paham belaka, hakikatnya kami tidak bermaksud mencari setori, bila kalian mau menyudahi persoalan sampai di sini, segera kami akan pergi." Pa Cong si dari Kui kok khek berseru gusar.

"Kin Jin, jangan kau meremehkan persoalan, bagaimana perhitungan jiwa enam orang dan luka2 Ciang-lo. Kin Jin menarik muka, katanya.

"Baiklah. akan kutunggu kalian menagihnya padaku."

Kedua orang berperawakan sedang tadi seketika naik pitam, orang yang sebelah kupingnya hilang separo itu membentak bengis.

"Kin Jin, keangkuhanrnu kelewat batas, umpama Han mo-siang kiu (sepasang alap2 dari padang pasir) harus mempertaruhkan jiwa, hari ini ingin kami menumpas kesombongan kau keparat ini."

"Han-mo-siang-kiu?"

Dengan nada sinis Kin Jin mengulang nama julukan orang, mendadak dia tergelak2, katanya.

"O, kiranya kalian adalah guru Kungfu dari Toa-tokau. Syukurlah jika kalian ada selera, Kin Jin dengan senang hati akan mengiringi keinginan kalian."

Bola mata Han-mo-siang-kiu terbelalak merah, kembali yang telinganya cacat mendengus gusar serunya sambil menoleh.

"Ciang-lo, akan kami ringkus dia."

Lekas orang tuts itu berseru dengan napas memburu.

"Nanti dulu, tunggu sebentar, asal usulnym belum jelas, betapapun tak boleh bertindak serampangan."

"Tapi jiwa enam orang yang menggeletak ini memangnya dianggap sia2?"

Seru Pa Cong-si gusar. Muka si orang tua semakin pucat, iapun berteriak.

"Pa-lote, musuh besar sudah di depan mata, mana boleh sembarang mencari musuh baru? Cepat atau lambat peristiwa ini pasti ada penyelesaiannya secara adil, buat apa harus terburu nafsu?"

Tapi Kui kok khek Pa Cong-si tetap ngotot, serunya.

"Ciang lo, tengah malam buta orang ini menyelundup kemari, tujuannya sudah jelas, tentu bermaksud jahat yang tidak menguntungkan pihak kita, kau sendiri sudah terluka, demikian pula korban enam jiwa, bila dia bukan mata2 musuh apa pula kerjanya di sini?"

Sudah tentu si orang tuta juga maklum akan hal ini.

Tapi iapun maklum akan asalusul dan kelihayan Kim-lui-jiu Kin Jin bukan saja Kungfunya tinggi, luas pengalaman, di daerah Tan-ciu dia tak ubahnya seperti raja kecil di sana, anak buahnya ribuan dan tersebar luas di mana2, hubungan luas dan banyak kawan, Kin Jin benar2 seorang tokoh yang sukar dilayani dan tak boleh diusik.

Kini Bu-siang-pay sudah berada di ambang pintu, pihak sendiri harus mengerahkan seluruh kekuatan untuk menghadapinya, mana boleh mencari musuh lain pula di dalam kandang sendiri? Oleh karena itu dia pikir biarlah telan dulu kerugian dan penasaran ini, setelah pertikaian dengan Bu-siang-pay usai, pelahan cari kesempatan lain untuk membuat perhitungan dengan Kin Jin Tapi Kui-kok-khek Pa Cong-si dan Han mo-siang-kui ternyata keras kepala dan kukuh pendapat, dengan ngotot hendak membuat penyelesaian sekarang juga, soal menang dan kalah sukar diramalkan, yang pasti permusuhan ini jelas takkan menguntungkan.

Kin Jin menarik muka, katanya.

"Ciang Heng, walau dalam Jit ho hwe kau terhitung pentolan nomor ketiga, mengingat usiamu lebih tua maka kumenghormatimu, oleh karena itu silakan kau minggir saja, bila Kui-kok-khek dan Han-mo siang-kiu ingin mencoba kelihayanku, biarkan mereka maju."

Kui-kok-khek dan Han mo-siang-kiu segera menubruk maju. Se konyong2 pendopo besar yang semula remang2 menjadi terang benderang, dua obor raksasa tahu2 menyala dalam ruangan, berbareng terdengar suara lantang berkumandang.

"Kin Jin, hidupmu akan berakhir di Pau-hou-ceng ini. Ketahuilah, Tan ciu yang kau kuasai memangnya mampu melebarkan sayanpnya ke Toa-ho-tin sini?"

Cepat Kin Jin menoleh ke sana, dalam waktu sekejap ini puluhan obor telah menyala benderang dan terus bertambah banyak, entah sejak kapan, ke dua sisi pendopo panjang ini sudah berbaris orang berbaju merah yang mengangkat obor.

Di bawah penerangan obor kelihatan betapa beringas muka mereka dengan senjata terhunus, seketika suasana bertambah tegang.

Dengan tenang Kin Jin berkata.

"Wah, cepat juga kalian kemari, hanya dalam sekejap, ruangan besar ini sudah menampilkan pameran yang boleh juga"

Sembari bicara, benak Kin Jin bekerja cepat, jelas sejauh ini pihak musuh belum dapat meraba keadaan pihaknya, ada berapa temannya yang ikut menyelundup kemari.

Mungkin mereka pernah pergoki jejak Siang Cin tapi Kin Jin yakin seketika itu pula orang yang memergokinya itu pasti dibuat bungkam dan menggeletak, kalau tidak, tak mungkin musuh mengerahkan seluruh kekuatan dan perhatiannya kepada dirinya seorang saja.

Dia merasa senang kini ada kesempatan untuk pamer kepandaian dan menggasak musuh, biar situasi di sini menjadi gaduh dan ribut, supaya Siang Cin dan Sebun Tio-bu punya peluang menggerebek seluruh pelosok sarang musuh.

Suara dingin tadi berkumandang pula.

"Kin Jin, mengakulah terus terang, kau mata2 darl pihak mana? Bu siang-pay atau Siang Cin?"

Kini pandangan Kin Jin tertuju ke arah orang yang berbicara, di bawah penerangan obor terlihat jelas wajah orang itu lebar bundar menyerupai baskom, perawakannya kekar gagah, air mukanya menampilkan rona sinis dan banyak muslihatnya, beberapa kali mulut Kin Jin berkecek, tanyanya kemudian.

"Siapa kau?"

Wajah yang lebar itu tertawa, katanya sambil melangkah maju.

"Ah, aku hanya kaum keroco saja.. Pernahkah kaudengar di dalam Jik-san-tui ada seorang yang bernama Pek Wi bing?"

"O, kiranya Toh gwa-coh-to Pek-sam-thauling, sudah lama kudengar namamu,"

Seru Kin Jin. Sam-thauling (pentolan ketiga) dari Jik-san-tui itu seperti tertawa tapi tidak tertawa, setelah mendengus dia menoleh, serunya.

"Ciang-lo!"

Muka Ciang Heng dari Jit-ho-hwe tampak bersemu kuning, lekas dia mendekat dan bertanya.

"Bagaimana Pek-lote?"

Pek Wi-bing berkata dengan suara tertahan "Aku tahu maksud Ciang-lo, tapi urusan sudah telanjur sejauh ini, menurut pendapatku, orang she Kin jelas mata2 yang dikirim kemari oleh Bu-siang-pay, bila malam ini kita tidak menahan dia, bila dia bekerja sama dengan orang2 Bu-siang-pay dan menyerbu datang, maka urusan tentu sukar dibayangkan."

Ciang Heng menjadi ragu, katanya.

"Tapi ..... Kin Jin tak boleh dipandang enteng ...."

"Jangan kuatir,"

Pek Wi bing menyeringai.

"keadaannya sekayang ibarat harimau yang kesasar masuk kampung."

Kata2nya yang terakhir sengaja diucapkan dengan nada tinggi, maka Kin Jin dapat mendengar jelas, mendadak dia tertawa serta menyambung.

"Oleh karena itu, dia digonggong anjing!"

"Orang she Kin tak usah menyindir,"

Jengek Pek Wi-bing dongkol.

"sebentar lagi ingin berteriakpun kau tak bisa lagi "

Tiba2 mencorong terang bola mata Kin Jin, dingin tajam dan sadis. katanya tenang.

"Pek Wibing, sebelum kau turun tangan, lebih baik kau berpikir dulu dua belas kali, jangan sampai mayat bergelimpangan, tetap kau tidak memperoleh keuntungan apa2."

Wajah yang lebar itu tampak merah gusar, Pek Wi-bing berjingkrak, semprotnya.

"Lebih baik pikirkan nasibmu sendiri, memangnya kaukira Jik san-tui dapat kau gertak?"

"Sedikit angkat kedua tangannya Kin Jin berkutat tawar.

"Kalau demikian, malam ini kalian harus belajar kenal dengan kelihayan Kim-lui-jiu."

Han-mo-siang-kiu segera tampil ke muka, si telinga cacat segera meraung.

"Keparat, kami kakak beradik akan jajal dulu betapa bobot kepandaianmu."

Kain hijau yang membungkus kepala tampak melambai, baru saja perhatian orang banyak tertarik akan lambaian kain kedok ini, tiba2 Kin Jin melejit bagai anak panah cepatnya, tiada seorang pun yang jelas melihat bagaimana dia beraksi, di tengah suara gemerentang, yang memekak telinga, belasan orang berbaju merah sama jungkir balik dengan kepala hancur atau dada remuk.

Sementara gema suara para korban masih mengalun dalam ruangan besar itu, secepat kilat Kin Jin sudah putar balik, kedua tangannya berubah laksana dua gada emas yang kemilau terang, sekali telapak tangan terbuka, mendadak dia dorong kedua tangannya ke arah Pek Wi-bing.

Toh gwat coh to Pek Wi-bing adalah jago kosen juga dalam Bu lim, dia tahu serangan ini tidak boleh dilawan dengan keras, sembari berteriak dia terus melompat ke samping.

Kedua telapak tangan yang melancarkan kemilau kuning itu mendadak terpencar terus membelah lurus ke arah Han-mo-siang-kiu.

Melihat gelagat jelek, kedua kakak beradik ini lekas2 menegok ke kiri dan kanan, namun demikian pukulan yang mengumandangkan suara gemuruh ini tetap menyerempet lewat tubuh mereka, lantai marmar di kaki merekapun sampai pecah sehingga debu krikil beterbangan.

Sekonyong2 suara hardikan nyaring bergema, laksana segumpal awan menggulung dari udara, seorang menerjang ke arah Kin Jin.

Cepat Kin Jin menarik kembali tangan kiri terus mencengkeram ke perut Pek Wi-bing, sementara telapak tangan kanan menggaris setengah lingkar terus menabas kesamping, Kin Jin mendengus dan menjengek.

"Pa Cong-si, kau belum setimpal melawanku."

Pembokong licik ini memang Kui-kok-khek Pa Cong-si, salah satu dari Sio-lin-su-coat di Pek-hoakok (lembah seratus bunga).

Ubun2 kepalanya yang dekuk itu tampak berdenyut turun naik, kedua badik Pa Cong-si yang tajam mengkilap dengan sendirinya menyerang tempat kosong, sebat sekali Kin Jin menendang.

"tring, tring"

Kedua badik mencelat dari tangan Pa Cong-si dan patah menjadi empat potong.

Pada waktu yang sama, seorang mendadak menubruk tiba, sebuah gelang tembaga sebesar roda kereta mendadak berputar ke atas kepala Kin Jin, berbareng sebilah pisau melengkung tajam mendadak menusuk perutnya.

Berkerut alis Kin Jin menghadapi serangan serentak dari musuh yang licik ini.

dasar kepandaian tinggi sedikitpun dia tidak menjadi gugup, mendadak dia berjumpalitan ke belakang, lalu menjengek.

"Pek Wi bing, ternyata kaupun hanya kaum keroco saja."

Cepat sekah Pek Wi bing menubruk maju pula, ia memegang sebuah gelang tembaga yang bercahaya kebiruan, sementara pinggiran gelangnya setajam pisau, gelang yang kelihatan sederhana ini hakikatnya adalah senjata yang ganas, biasanya senjata ini diutamakan untuk menggantol leher orang.

Dikala berlompatan Kin Jin sudah memperhitungkan waktunya, baru saja Pek Wi bing memburu maju tiba2 ia melambung tinggi pula sambil berputar, menyusul ia balas menyerang dengan tidak kurang lihaynya.

Sambil berteriak Pek Wi-bing berkelit, sementara Han-mo siang kiu yang sudah menubruk maju juga dipaksa melompat minggir, cahaya obor dalam pendopo seketika ber-goyang2.

Dalam pada itu, Siang Cin yang mendekam di atas langit2 diam2 tertawa geli, timbal rasa kagumnya, selama ini dia sendiri terkenal kelihayan ilmu pukulannya, tapi Kim lui-jiu Kin Jin sekarang ternyata juga gagah perkasa, meski keduanya mempunyai kelebihan masing2, tapi bahwa Kin Jin memiliki tingkat kepandaian setarap ini, mau tidak mau Siang Cin menjadi kagum.

Siang Cin dapat menilai, dengan Kim-lui jiu yang hebat itu, ia yakin seorang diri Kin Jin masih mampu menghadapi keroyokan orang banyak di pendopo ini, meski belum tentu dapat mengalahkan musuhnya, tapi dia sendrri jelas tidak bakal terkalahkan, bahwa seluruh perhatian musuh ditujukan kepada Kim Jin seorang, kenapa kesempatan ini tidak digunakan dengan baik.

Selagi Siang Cin masih bimbang, sementara di bawah Pek Wi-bing, Han-mo-siangkiu dan Pa Cong ci berempat sudah mengeroyok Kin Jin dengan sengit, sedangkan Ciang Hong yang terluka bersiaga di pinggir gelanggang, sementara lingkaran orang2 berbaju merah dari Jik-san-tui semakin diperkecil, setiap waktu mereka siap menubruk maju bersama.

Setelah menarik napas panjang, dengan diam2 selincah kucing Siang Cin menggeremet ke pojok sana terus melorot turun ke arah jendela, dengan hati2 dia, menyongkel tanpa bersuara, dengan gesit ia menyelinap keluar.

Malam dingin dan gelap, hanya diterangi kerlip bintang di langit, melompat ke atas wuwungan Siang Cin celingukan mencari jejak Sebun Tio-bu, pada saat itulah sesosok bayangan orang tahu2 menubruk dari belakangnya..

Cepat Siang Cin membalik, terlihat jelas orang ini mengenakan pakaian warna merah menyolok meski di tengah malam gelap ini, malah tangannya menenteng dua bilah kampak.

Dengan sikap angkuh Siang Cin menunggu, begitu bayangan itu mendekat, tanpa bersuara Siang Cin menabas dengan telapak tangan sembari meluncur maju.

Pendatang ini agaknya tidak menduga akan menghadapi serangan kilat begini, dengan kaget dia mendak ke bawah.

Baru Siang Cin hendak menambahkan serangan lain yang lebih ganas, dengan gugup orang itu berteriak tertahan.

"Berhenti Siang heng, aku Sebun."

Siang Cin melenggong, orang berbaju merah itu lantas melejit ke sampingnya.

Memang betul Sebun Tio bu adanya.

Dengan menyengir Siang Cin bertanya dengan suara pelahan.

Cayhe sedang mencarimu, bagaimana Tangkeh bisa salin pakaian dalam waktu secepat ini?"

Sebun Tio bu menghela napas lega, katanya.

"Masa cuma kau saja yang senang, sejak tadi aku ikut bergabung dengan para kura2 di dalam pendopo. Begitu Lo Kin masuk dan jejaknya konangan, aku lantas urung bertindak, kebetulan aku menangkap seorang anggota Jik-san-tui yang lagi buang air, kututuk dia, lalu kubelejeti pakaiannya, dengan leluasa dapatlah aku keluar masuk pendopo, semula aku kuatir akan keadaan Lo Kin, tapi setelah kuikuti beberapa gebrak, keparat itu ternyata memang lihay, diam2 aku mencarimu di sana, waktu kau menyelundup keluar dari jendela tadi kebetulan kulihat bayanganmu, kupukir kau pasti sudah ambil sesuatu keputusan, maka buru2 aku menyusul kemari, hampir saja aku menjadi korban pukulannu yang mematikan ......"

Lekas Siang Cin mohon maaf, katanya.

"Siapa suruh kau ganti pakaian tanpa menyapa pula? Kukira jejakku sudah konangan . ......Eh, Tangkeh. Kin-heng jelas tak menjadi soal meski dikeroyok, mumpung ada kesempatan mari kita beraksi selagi mereka tumplek seluruh perhatian atas diri Kin heng,"

"Baiklah, hayo mulai!"

Jawab Sebun Tio bu. Setelah menerawang keadaan sekelilingnya, akhirnya Siang Cin berkata lirih.

"Umpama nanti dipergoki musuh, Tangkeh bendaknya melawan sekadarnya, jangan se-kali2 melayani mereka sampai lama, lebih cepat berlalu lebih baik, sementara kesempatan sementara kugunakan untuk mencari tahu keadaan Pau-hou-ceng dan apakah di sini juga dikurung orang2 Bu siang pay."

Sebun Tio bu mengangguk, katanya.

"Baiklah!"

Mereka terus melayang ke wuwungan pendopo, tanpa berhenti mereka langsung berlompatan di atas wuwungan gedung yang ber-lapis2 itu menuju ke gedung berloteng yang ada di lapisan terakhir.

Bangunan gedung2 di Pau-hou-ceng ini ternyata cukup banyak, kalau tidak mau dikatakan terlalu rapat dan berhimpitan.

namun gedung2 di sini dibangun secara teratur, pepohonan yang ditanam di sinipun terletak pada sudut2 yang telah diperhitungkan secara rapi, taman bunga dan jalanan kecil beralas balok2 batu gunung.

Siang Cin dan Sebun Tio-bu sembunyi di belakang pohon besar yang ada di pojok sana, dengan jelas mereka melihat barisan berseragam merah sama ber-lari2 menuju ke ruang pendopo dari berbagai arah, semuanya bergerak lincah dan terlatih baik.

Sebun Tio bu berkata lirih.

"Pasukan Jik-san-tui seluruhnya dikerahkan untuk menghadapi Lo Kin, namun suasana perkampungan ini tetap tenang, jelas mereka mengira yang datang hanya Lo Kin seorang saja. Siang-heng, inilah kesempatan baik."

"Betul, tapi Pau hou-ceng cukup luas seperti sebuah kota kecil, belum diketahui lagi di mana pusat kekuasamn mereka ....lagi, Tangkeh, Cayhe tetap berpendapat bahwa orang2 Bu-siang-pay ada yang menjadi tawanan mereka ketika terjadi pertempuran di Pi-ciok san tempo hari itu ...."

Berpikir sejenak akhirnya Sebun Tio bu memberi usul.

"Mari kita tipu mereka saja, bila perlu gunakan pula kekerasan, waktu amat mendesak, lekas sikat dan cepat akhiri."

Siang Cin mengangguk, katanya.

""Baiklah Tangkeh, akan kulindungi aksimu dari samping."

Maka dengan langkah lebar Sebun Tio-bu langsung menuju gang kecil di sebelah kiri, baru puluhan langkah dia berjalan, dari balik pepohonan di sebelah sana berkumandang suara teguran.

"Berhenti!. Sedikitpun Sebun Tio bu tidak memperlihatkan rasa gugup dan takut, ia menarik suara dan memaki.

"Apakah Nyo Cin di sana? Kau keparat ini mungkin terlalu banyak tenggak air seni kuda ya, masa suara tuan besarmu juga tidak kau kenal lagi."

Sejenak keadaan di balik pepohonan menjadi hening, tapi segera terdengar lagi suara lebih kereng.

"Jangan kelakar, kau anak buah siapa?"

Sebun Tin bu berludah, semprotnya gusar.

"Kunyuk, masa suaraku tidak kaukenal? Memangnya kau yang berkuasa di sini ...."

Dari balik pohon berkelebat keluar bayangan seorang tinggi besar, dengan mendelik ia menatap tajam Sebun Tio-bu, katanya pula dengan ketus "Memeluk harimau di Pan hou ceng."

Dalam hati Sebun Tio-bu mengumpat, sungguh tak kira bahwa orang akan main teka-teki, bila hanya gertakannya tidak mempan, Tapi dia tetap melangkah maju, sengaja dia berseru dengan nada gusar.

"Keparat, kau kira tuan besarmu tak bisa menjawab bahasa rahasiamu, Aku justeru tidak mau menjawab, coba apa yang dapat kaulakukan atas diriku?"

Bayangan tinggi itu menyeringi, tiba2 serunya tegas.

"Tangkap dia!"

Mendengar aba2nya, empat bayangan orang segera menerobos keluar dari tempat gelap, bagai serigala kelaparan saja mereka menubruk ke arah Sebun Tio-bu.

Sebun Tio-bu sudah nekat, ia tidak melawan, mendadak dia malah lempar kedua kampaknya ke jalan yang beralas batu gunung sehingga menimbulkan suara berkerontangan, sambil bertolak pinggang Sebun Tio bu meraung gusar.

"Siapa berani bergerak? Kalian berani bertingkah, keparat piaraan anjing, tidak bisa membedakan lawan atau kawan sendiri, mau main kekerasan terhadap tuanbesarmu ini?"

Karena gertakan Sebun Tio-bu ini, keempat laki2 itu melenggong sejenak dan merandek, mereka saling pandang dengan bingung. Sementara itu Sebun Tio bu masib terus berkaok2.

"Baru saja tuan besarmu ini pulang dari arah Liok-sun-ho sana, badan capai mulut kering, ingin selekasnya memberi laporan dan minta arak pada Toa-thauling, tapi kalian anak kura2 ini mencegatku di sini, memangnya kalian mau apa?"

Keempat laki2 itu sama berdiri bingung dan serba susah, sementara laki2 tinggi besar di belakang tadi lantas maju.. Sebun Tio-bu tetap bertolak pinggang, serunya dengan marah2.

"Kebetulan kau kemari, keparat, aku orang she Sebun hari ini ingin melihat kau keparat yang sinting ini hendak berbuat apa atas tuan besarmu ini."

Laki2 gede berpakaian merah itu berusia empat puluhan, wajahnya lebar gemuk merah, tapi air mukanya tampak kaku dingin, matanya yang tajam mengamati Sebun Tio bu dengan seksama, katanya dengan suara kaku.

"Apakah kau anak buah Toathauling?"

"Kalau bukan, memangnya aku ini anak buahmu?"

Damprat Sebun Tio bu. Laki2 baju merah itu menarik muka, hardiknya bengis.

"Kawan, mulutmu harus kenal sopan santun, meski kau anak buah Toa-thauling yang tersayang juga tak dapat menggertakku, jika kau tak mampu menjawab kode rahasia malam ini, maaf, Aku orang she Pui terpaksa harus menahanmu"

Sebun Tio-bu menyeringai, jengeknya.

"Bagus. aku orang Sebun hendak pertaruhkan gentong nasiku untuk memenangkan penahanan ini, tapi bilamana urusan sampai terbengkalai, dihadapan Toa_thauling nanti kau yang harus bertanggung jawab akibatnya."

Laki2 baju merah itu menjadi ragu, jelas dia tetap gusar, akhirnya berkata dengan uring2an.

"Tinggalkan namamu."

Sambil mendengus, Sebun Tio-bu lantas berseru.

"Sebun Tio bu!"

Laki2 baju merah tampak tertegun, jelas dia seperti ingat nama ini, tapi kesannya tidak mendalam dan tidak ingat siapa gerangan tokoh yang bernama Sebun Tio bu ini, setelah berpikir sebentar, akhirnya dia mengulap tangan, serunya.

"Pergilah kita catat namamu."

Dengan menyeringai Sebun Tio-bu melangkah ke sana, katanya.

"Boleh, coba saja siapa yang salah dalam persoalan ini."

Tapi baru beberapa langkah, laki2 gede itu tiba2 membentak gusar.

"Berhenti!"

Berdebur jantung Sebun Tio-bu, tanyanya sambil menoleh.

"Ada apa?"

Laki2 gede itu mencak2, serunya.

"Didepan sana adalah tempat menyekap tawanan Hek-jiu-tong dan musuh kita, ada apa kau menuju ke sana?"

Hampir saja tergelak2 saking senang hati Sebun Tio-bu, sambil berpikir sementara mulutnya balas menjengek.

"Memangnya perlu kau mengoceh, aku juga tahu di mana tawanan Hek-jiu-tong dikurung, kalau dilarang pergi ke sana, memangnya aku orang Sebun berani terobosan ke sana."

Saking gusar laki2 gede baju merah itu mendelik, dengan gemas dia membanting kaki, serunya beringas.

"Baik, anggaplah mulutmu memang hebat, lihat saja nanti."

Sebun Tio bu menyeringai dan melangkah ke depan, tidak jauh, di balik pohon sana tampak bayangan tembok tinggi, jalanan kecil inipun tampak melebar.

Tanpa sangsi Sebun Tio-bu mengikuti arah jalan itu, baru saja dia hendak menerobos ke sebelah sana dari tempat gelap mendadak berkumandang hardikan;

"Siapa?"

Sebun Tio-bu berteriak gusar.

"Pau- hou-ceng memeluk harimau, lekas jawab."

Lima bayangan orang tampak melompat keluar dari tempat gelap, seorang yang terdepan sebagai pimpinan segera menyahut gugup.

"Hasrat terkabul di Ji-Ih hu. Eh, kiranya orang sendiri .......

"

Sambil mendengus Sebun Tio-bu bertanya.

"Ada kejadian apa di sini!"- Lagaknya seperti orang gede. Kelima orang itu cepat menghampiri, seorang yang berpakaian merah menyahut.

"Tiada apa2, engkau tentu lelah, sudah malam, begini masih ronda?"

Sebun Tio-bu menghela napas ujarnya. Makan gaji tentu harus menjalankan tugas, apa boleh buat? Keparat, apakah tawanan di dalam menimbulkan keributan? Kalian harus lebih hati2."

Laki2 itu tertawa, katanya.

"Tanggung beres! Lapisan pintu pertama adalah batu raksasa ribuan kati, dirangkap lagi papan besi tebal, lalu tiga pintu terali besi lagi, umpama rombongan gajah yang di kurung di dalam juga takkan mampu menerjang ke luar, apa lagi mereka manusia biasa?"

"Kupikir demikian juga, apalagi keparat itu sudah cukup payah setelah disiksa sedemikian rupa. Tapi situasi beberapa hari ini semakin tegang, kuatirnya bila bala bantuan Bu-siang-pay akan menyerbu kemari."

Orang itu berkedip, tanyanya lirih.

"Saudara, kabarnya ada mata2 musuh menyelundup masuk di depan?"

Sebun Tio bu celingukan sebentar, lalu merendahkan suara seperti penuh rahasia, katanya.

"Memang, kepandaian bocah itu ternyata amat lihay, beberapa jago kita ternyata tidak mampu membekuknya meski sudah dikeroyok, malah Ciang-samya dari Jit ho-hwe terluka, kudengar enam orang kitapun sekali gebrak telah terbunuh, wah. kalau bicara soal ini aku jadi ngeri ...."

Kelima laki2 itu ikut terkesiap, yang memimpin itu berkata dengan suara serak.

"Kalau demikian, lawan agaknya sukar dilayani, padahal hanya seorang musuh dan kita sudah dibikin kelabakan, kalau datang beberapa orang lagi, entah apapula yang akan terjadi di sini ...

"

"Memang ... ."

Ucap Sebun Tio-bu.

"Mendingan di sini, ada tembok tebal dan dinding tinggi, dipasangi peralatan rahasia lagi, kemanapun kalian masih bisa sembunyi, kita yang di depan harus membendung serbuan musuh mana kuat menghadapi golok tajam mereka ...."

Orang itu menghela napas, katanya dengan muka masam.

"Soal alat rahasia segala kan hanya mendengar saja, kapan kita pernah melihatnya? Entah bagaimana bentuknya, apakah betul kuat membendung serbuan musuh, juga masih merupakan tanda tanya .."

Sebun Tio bu agak kecewa karena tak dapat memancing keterangan yang penting, katanya tawar.

"Siapa saja yang terkurung di dalam, apa kalian tahu?"

Orang itu menggeleng, katanya.

"Ini soal penting, kecuali beberapa pemimpin besar, kurasa tiada yang mengetahui, bagi kita siapa mereka tidak soal, yang penting bila tiba waktunya cara bagaimana harus mencari jalan hidup .....

"

Sebun Tio-bu tertawa, katanya.

"Betul, hanya terima beberapa keping duit masakah harus mempertaruhkan jiwa ... Sudahlah, kalian tentu lelah, aku akan periksa sebelah depan."

Lima orang itu segera menyingkir memberi jalan, si baju merah berpesan.

"Harap periksa dengan seksama, saudara."

Dengan langkah enteng Sebun Tio-bu beranjak ke depan sambil mengiakan, tiba di pinggir hutan sebelah sana, keadaan gelap dan sunyi, dari pucuk pohon di dengarnya suara Siang Cin.

"Tangkeh ...."

Waktu Sebun Tio-bu mendongak, seenteng burung Siang Cin telah meluncur turun di sebelahnya, katanya.

"Percakapanmu sudah kudengar. Kini tugas pertama kita harus berdaya cara bagaimana menerjang masuk ke sana, kupikir aku perlu meniru caramu merebut seperangkat pakain mereka, bila perlu gunakan kekerasan dan terjang ke dalam dengan kerja kilat, jangan sampai menimbulkan suara berisik, supaya mereka tidak sempat lapor dan mengirim tanda bahaya ...."

Sebun Tio-bu menepuk paha, tatanya.

"Bagus, sekali kerja beres seluruhnya, memang itulah cara kerja Naga Kuning. Hayolah kita mulai."

Siang Cin tepuk pundak orang serta menyeretnya masuk ke dalam hutan cemara, katanya memperingatkan.

"Hati2, di sana ada pos penjagaan, ada dua penjaga di sana."

Tapi sengaja mereka berjalan terang2an supaya kedatangan mereka diketahui orang, tak jauh mereka maju, tampak cahaya bergerak di sebelah depan, dua bayangan orang segera muncul dengan suara bentakan.

"Siapa itu? Berhenti!"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar