Bara Naga Jilid 11

Jilid 11

Orang2 berbaju merah di sekeliling serentak berteriak sambil menyerbu, kampak terayun dan menyamber seliweran.

Tapi dua orang aneh itu dapat bergerak lincah, lompat ke sana dan kelit ke sini, dengan tangkas merekapun menyerang dari atas dan bawah sekaligus, dalam sekejap enam orang berbaju merah telah dirobohkan lagi.

Si muka merah menjadi murka, segera dia sendiri menyerobot maju dan mendamprat.

"Kalau tuan besar tak mampu membeset kulit kalian hidup2, jangan panggil aku hek-bin-hou ( harimau muka merah ). Kedua orang aneh itu tiba2 memutar, yang di sebelah atas dengan leluasa memainkan goloknya naik turun, beberapa musuh kembali dibacoknya mampus, lalu iapun mengejek.

"Hm, kukira kau lebih pantas dinamakan babi gemuk berpantat merah."

Di tengah makian lawan inilah, si laki2 muka merah sudah menubruk maju, sekaligus dia menyerang tujuh jurus dengan kampaknya, pada waktu yang sama, orang2 berbaju merah yang lainpun ikut menerjang, maka terjadilah hujan serangan kampak yang sengit.

Golok melengkung orang aneh yang di atas itu mendadak diputar, ia balas membacok, menabas dan menusuk, sementara telapak tangan kiri ikut mengepruk dan menampar, sedang orang yang berada di bawah dengan ketangkasan gerak kakinya menendang kian kemari serta menyapu roboh pula, dua orang ternyata dapat bergerak dengan teratur dan saling mengimbangi, di tengah benturan senjata yang ramai, lelatu api bercipratan, kekuatan kedua pihak ternyata seimbang.

Di sebelah lain, sambil meraba kulit mukanya yang kering seperti kulit jeruk terjemur, laki2 kurus kerdil tengah umur itu menyeringai lebar sehingga kelihatan barisan giginya yang kuning katanya.

"Hayolah anak2, tiba saatnya kitapun terjun ke dalam arena, jangan biarkan anak buah Ho-ya berhasil meringkus hidup2 kedua makhluk ini, kita harus bagi pahala sama rata."

Tanpa bersuara tiga puluhan orang berbaju merah menggeremet maju sambil mengacungkan kampak, dari arah yang berbeda serentak mereka menyerang dengan gencar.

Golok melengkung panjang itu masih sempat menangkis kiri dan bacok kanan, kedua orang aneh itu bertempur dengan gigih pantang mundur meski musuh berjumlah banyak, seperti berlomba mengejar pahala, orang2 Jik san tui terus mengayun kampak dan menyerang serabutan, tanah pegunungan yang belukar dan tidak rata, jumlah orang yang terlalu banyak membuat mereka berjubel dan saling mengganggu gerakan masing2, meski tekad mereka sama untuk merobohkan lawan serta menawannya hidup2, tapi keadaan yang tidak terkontrol ini malah menguntungkan musuh yang dikeroyok.

Pelan2 laki2 kurus tadi mengusap mata kampaknya, ia melangkah maju sambil menyeringai.

"Aku ini orang yang paling suka keramaian. Hehe, dalam suasana seperti ini memangnya aku harus berpeluk tangan? Nah, kalian juga boleh maju semua."

Sementara kedua orang aneh masih berlompatan kian kemari, golok di tangan yang berada di atas sekaligus menyerang belasan jurus, tiga kampak yang menyerang datang dipapasnya kutung, sekali memutar dia tangkis pula serangan laki2 muka merah, sementara kedua kaki orang yang di bawah menyepak dan menendang, seorang lawan kontan menjerit sanibil memegang perut dan menggelinding pergi.

Setelah menyeka keringat, kembali orang yang di atas memutar golok sabit serta memaki.

"Boleh kau maju, coba apakah Locu tidak anggap kau sebagai barang mainan belaka."

Si kurus kembali mendekat beberapa langkah, katanya dengan suara melengking aneh.

"Jangan kuatir, biarlah kalian hidup sejenak lagi ...."

Belum lenyap suaranya, tiba2 dia melompat maju, kampak dua mukanya membawa sinar tajam terus membelah batok kepala lawan.

Lekas orang di bawah menggeser ke pinggir, sementara golok yang di atas berputar menangkis ke atas, pada detik yang menentukan itulah suatu kejadian aneh telah terjadi, kampak besar yang tajam kemilau itu tahu2 tergetar mengeluarkan suara nyaring di susul pekik nyaring seperti raungan binatang yang hendak dijagal.

Dengan melengak kedua orang aneh sama mengawasi musuhnya.

Busyet, entah mengapa laki2 kurus itu kelihatan berdiri bingung dengan sorot mata rawan tertunduk mengawasi gagang pedang yang entah sejak kapan telah menembus dadanya, sungguh lucu juga mengerikan.

Pelan2 tubuhnya ambruk ke tanah, sudah tentu orang2 berseragam merah di sekeliling gelanggang sama merasa seram dan menyurut mundur.

Tapi tidak demikian dengan laki2 muka merah yang telanjur kalap dan menyerang secara membabi buta, melihat anak buahnya menyingkir dia lantas memaki.

"Ada apa? Siapa berani lari kubunuh dan!"

Agaknya dia belum tahu akan nasib kawannya. Dikala menangkis bacokan golok melengkung tadi, hampir saja laki2 muka merah terserampang jatuh oleh kaki lawan yang di bawah, teriaknya kaget.

"Keparat, memangnya kau hanya pandai main jegal?"

"Crot", orang yang di atas berludah, sementara goloknya berputar dengan sinarnya yang kemilau.

"Cras", batok kepala seorang musuh, kembali dipenggalnya.

"Berpalinglah saudara yang garang, coba lihat nasib temanmu yang sudah mampus,"

Kedua orang sinting itu ber olok2. Meraung sambil berkelit kesamping, laki2 muka merah kembali balas menyerang, serunya dengan gusar.

"Anak jadah, segera kau akan tahu siapa yang bakal mampus."

Belum lagi lenyap suaranya, anak buah di belakangnya sudah sama berteriak kaget dan ngeri.

"Wah, celaka, Song-ya sudah mati. Dadanya ditembus pedang."

Kali ini si muka merah mendengar jelas, keruan jantungnya serasa dipalu wajahnya yang merah kasap itu seketika berubah kelam, beruntun dia merangsak empat jurus, lalu melompat mundur, teriaknya kaget.

"Siapa yang melakukan? Lekas tangkap dia.

"

Belum habis dia berkaok, kembali terdengar "blang, prak", suara tulang patah dan remuk, kembali lolong kesakitan membuat ramai suasana pertempuran yang seru ini.

"Ada musuh tersembunyi, dua saudara kita mati lagi ... ."

Si muka merah menjadi bingung, serunya gugup.

"Tangkap dia, kalian memang gentong nasi semua, akan kubunuh kalian."

"Aduh,"

Kembali seorang berteriak kesakitan, disusul seorang berteriak ngeri.

"Wah hanya dengan dua butir lempung bisa meremukkan batok kepala orang ....betul2 . kejam dan menakutkan, setan penjaga hutan telah muncul dan menghukum kita, wah celaka!"

Agaknya si muka merah menjadi semakin kalap, sekaligus dia menendang dan membacok dengan kampak beberapa kali, teriaknya mencaci.

"Dirodok, hanya teriak melulu, memangnya makmu bisa menolong? Lekas tangkap musuh gelap itu."

Sambil memaki, kakinya menyapu dua kali, tapi mengenai tempat kosong, karena terlalu bernapsu dengan serangan kampaknya sehingga serangannya luput seluruhnya. Belum lagi sempat menyusuli seranigan lain, sinar golok lawan tiba2 menyambar.

"Cret", dikala dia melompat mundur, pundak serasa kesakitan setengah mati, kiranya tergores golok lawan sampai kulit daging pundaknya terpapas.

"Waah,"

Saking kesakitan dan ngeri melihat luka sendiri, tanpa terasa dia menjerit, kembali ia mendengar suara tulang patah dan remuk di susul jeritan mengerikan dari mulut anak buahnya.

Diam2 kedua orang sinting itupun maklum bahwa ada orang pandai telah membantu mereka, maka semakin berkobar semangat tempur mereka bagai harimau galak mereka terjang sana dan seruduk sini, dalam sekejap saja dua puluhan musuh telah dijagalnya, sisanya yang masih hidup sama lari menyingkir, keadaan jelas berada dalam genggaman kedua orang sinting ini, maka serangannya tidak tanggung2 lagi.

Hampir saja laki2 muka merah semaput melihat luka dipundak sendiri yang parah sampai tulang pundaknya yang putih kelihatan.

Seorang lari menghampiri, teriaknya dengan berkeringat.

"Komandan, terus bertempur atau bertahan? Situasi sudah jelas, separo teman2 kita sama menggeletak, musuh di tempat gelap belum lagi muncul, entah berapa banyak musuh yang terpendam di sekitar sini."

Saking kesakitan, mata si muka merah berkunang2, katanya sambil merintih.

"Tidak boleh mundur, keparat, Jik san tui kita semuanya adalah orang gagah ......gagah perwira."

"Komandan."

Seru orang itu gelisah.

"berlagak gagah kan harus lihat waktu dan keadaan, kalau sekarang tidak mundur sebentar lagi jiwapun ikut melayang ..... komandan sendiri terluka, ini bisa dipertanggung-jawabkan kepada atasan...."

Pada saat itu, seorang laki2 baju merah di sana kembali menjerit roboh dengan kepala remuk, keruan bergidik si muka merah, dengan mengertak gigi akhirnya dia berseru.

"Baiklah, mundur. Tapi kalian yang minta padaku ......"

Laki2 di sebelahnya ini tidak pedulikan lagi, sambil mengacung kampaknya dia terus berteriak.

"Ada perintah dari komandan, lekas mundur."

Sembari berteriak, dia mendahului aogkat langkah seribu, sekali cemplak langsung ia melompat ke punggung kuda.

Si muka merah menggerutu, lekas iapun lari ke sana menarik seekor kuda terus merangkak ke punggungnya dengan menahan sakit, sudah tentu sisa anak buahnya yang lain menjadi kacau balau, semuanya saling caci-maki dan lari mencawat ekor.

Sebetulnya kuda cukup banyak, sayang sudah terpencar ke sana-sini karena pertempuran gaduh tadi, yang masih ada menjadi rebutan di antara sesama kawan demi menyelamatkan diri, tapi yang simpatik mau juga membantu temannya, sehingga seekor kuda sekaligus ditunggangi tiga orang, cepat sekali seperti digulung angin lesus sebentar saja mereka sudah lari semua.

Kedua orang sinting jadi bingung dan tertegun di tempatnya, melihat musuh sudah lari, hanya mayat saja yang masih tertinggal, perasaan mereka menjadi hambar, orang yang di atas geleng2 kepala, katanya serak.

"Loh Hong, apa sebetulnya yang terjadi? Seperti menggiring bebek?"

"

Menghela napas, yang di bawah berkata.

"Kan bukan kita yang menggiring, yang jelas ada orang pandai telah membantu, jangan kau pura2 bodoh, memangnya cuma beberapa jurus cakar kucingmu mampu menggiring bebek sebanyak ini?"

Mengawasi mayat yang bergelimpangan, yang di atas menghela napas, katanya.

"Loh Hong, mari panggil sahabat yang bersembunyi itu untuk bicara. jangan nanti bilang orang Bu-siang-pay tidak tahu aturan."

Yang bernama Loh Hong berputar memandang sekeliling, katanya kemudian.

"Sebetulnya, setelah musuh lari, orang pandai itu sudah harus keluar menemui kita, memangnya dia tidak sudi unjuk muka dan telah tinggal pergi."

Mendadak terdengar suara tertawa di belakang gundukan tanah, dengan muka yang penuh noda darah dan pakaian yang tidak keruan Siang Cin muncul di depan mereka, baru saja melihat bayangannya, kedua orang sinting ini sama menjerit kaget.

"Eh, jadi kau ini ...."

Dengan terbelalak yang di atas bertanya ragu.

"Sahabat, apakah kau yang barusan membantu kami?"

Dengan langkah berat Siang Cin maju dua langkah, jawabnya.

""Kukira demikian, apakah kalian melihat ada orang lain?"

Dengan kikuk lekas orang di atas menyarungkan goloknya, ia memberi hormat, katanya.

"Kami orang Bu-siang-pay, karena suatu hal bentrok dengan pihak Hek-jiutong, musuh berjumlah terlalu banyak sehingga begini keadaan kami, untung tuan sudi membantu kami, kalau tidak entah bagaimana nasib kami selanjutnya .... Sungguh kami bersaudara sangat berterima kasih akan budi pertolongan ini. Ai, entah tuan penolong sudi memberitahu siapa namamu yang mulia supaya kelak kami bisa selalu mengenangnya"

Dengan tertawa Siang Cin berkata.

"Sebetulnya, kita bukan orang luar."

"Bukan orang luar?"

Gwan Hoan menegas. Gwan Hoan adalah nama orang yang di bawah. Setelah memeriksa sekelilingnya, pelan2 Siang Cin memperkenalkan diri.

"Aku she Siang, bernama Cin, ada kalanya orang memanggilku Naga Kuning, demikian pula Kim Bok, Loh Bong-bu dan lain2, mereka juga menyebut nama julukanku."

Kedua mahkluk aneh ini seperti mendengar guntur di siang hari bolong, seketika kedua-nya melongo, sampai sekian lama baru mereka seperti sadar dari mimpi, kata mereka.

"Ah, kiranya Siang-tayhiap, kami bersaudara memang buta, betapa besar nama Siang-tayhiap, tapi kami tak mengenalmu ..."

Siang Cin menggeleng, katanya.

"Apakah kalian yang dijuluki "dua sinting"?"

Gwan Hoan mengangguk, katanya.

"Betul, tentunya Siang-tayhiap dapat menerka setelah melihat tampang kami ini?"

""Bentuk kalian memang aneh, sekali pandang orang akan tahu siapa kalian, selama ini belum pernah melihat kalian, tapi namamu sudah kudengar ... ."

Gwan Hoan tertawa mendengar umpakan Siang Cin. Segera Siang Cin mendekat ke sana dan mencabut pedang pandak dari dada si laki2 setengah umur, setelah menyeka darah di tubuh orang, dia membalik dan berkata.

"Sekarang, lekas tinggalkan tempat ini, apakah kalian terluka?"

Dengan langkah lebar Loh Hong mendekat, katanya sambil geleng kepala.

"Kami tiada yang terluka, sayang kami tidak tahu bagaimana nasib si jagal berjenggot merah dan si kaki bengkok ....anak buah yang kami bawa telah tercerai, semuanya ada tiga puluhan orang ."

Sembari bicara mereka terus pergi, kata Gwan Hoan setelah menghela napas.

"Sebenarnya kami ditugaskan mengikuti rombongan Loh-cuncu menyerbu dari belakang gunung, tapi sampai di tengah jalan, belum lagi bertemu dengan barisan Loh cuncu kami telah dicegat musuh, jumlah mereka ada dua ratusan orang dalam pertempuran besar ini hanya kami berdua yang berhasil menjebol kepungan dan melarikan diri."

Lekas Loh Hong menambahkan.

"Tapi kami tidak bikin malu Bu siang pay kita, dalam pertempuran itu sedikitnyn separo musuh berhasil kami robohkan."

"Jadi tiada orang lain lagi yang pernah kalian temukan?"

Tanya Siang Cin prihatin.

"Kecuali kau Siang-tayhiap, tiada satupun yang pernah kami lihat,"

Sahut Gwan Hoan. Diam sebentar, Siang Cin berkata pula.

""Kim-cuncu dari Wi-ji-bun, Ceng-yap-cu Lo Ce dan si jenggot merah sudah lolos dari kepungan musuh."

Serentak Loh Hong berteriak gembira.

""Si jagal gundul berjenggot merah itu ialah Le Peng. Aku tahu keparat itu memang berumur panjang, tak mungkin mampus semudah itu."

Gwan Hoan tertawa cekikikan dan menimbrung.

"Kim cuncu selalu pesan kepada kami supaya selalu mengawasi dia agar tidak menimbulkan onar, tak nyana keparat ini lebih licin malah dan berhasil selamat lebih dulu ...."

Bimbang sesaat, kemudian Loh Hong bertanya pula.

"Siang-tayhiap, apakah kau tahu bagaimana nasib Loh-cuncu dan Siang cuncu serta yang lain2? Tentunya mereka juga selamat."

Muram air muka Siang Cin, katanya sambil menengadah.

"Aku tidak melihat mereka, tapi kutahu mereka terkepung ditengah kobaran api di daliam Bu wi-san-ceng ....melihat gelagatnya, tak sulit dibayangkan bagaimana nasib mereka."

Kedua orang sinting jadi melenggong, sesaat kemudian Gwan Hoan berkata pelahan.

"Siang-tayhiap, apa yang terjadi dengan kebakaran besar itu?"

Siang Cin menggeleng dan ceritakan apa yang terjadi, kedua orang aneh ini sama menggreget penuh dendam, mata melotot dan mencaci kalang kabut. Akhirnya Siang Cin menambahkan.

"Siang cuncu kalian terlalu terburu nafsu untuk merebut pahala, agaknya dia lupa bagaimana kebiasaan sepak terjang orang2 Hekjiu- tong, setiap gerakan tentu sudah dirancang dengan keji, mana mungkin mereka dapat dikelabui. Sayang dia tak mau dengar nasihatku, memangnya sebagai orang luar, apa yang dapat kulakukan?"

Gwan Hoan dan Loh Hong diam saja, sampai sekian lama setelah menempuh perjalanan cukup jauh, baru Gwan Hoan berkata pula.

"Biasanya tindak-tanduk Siang-cuncu sangat hati2, dulu dia tidak pernah ceroboh, tapi kali ini mungkin lantaran puteri Ciangbunjin kita ada hubungan yang erat dengan dia ....tentunya Siang-tayhiap maklum juga hal ini, sekali urusan menyangkut pribadinya, maka kacau pula pikirannya, memang sejak beberapa hari ini kurasakan sikap Siangcuncu beda dengan biasanya .......

"

Loh Hong ikut bersuara.

"Biasanya sikapnya ramah terhadap siapapun, tempo hari karena sedikit salah, Pek-yang pernah di makinya habis2an, karena itu Pek-yang sampai murung selama beberapa hari ...."

Dengan pedang pandak sebagai tongkat, Siang Cin berjalan ter-tatih2, katanya tawar.

"Apakah pernah diantara kalian berjanji akan kumpul di mana bila urusan di sini berhasil?"

Gwan Hoan melenggong sebentar, katanya.

"Waktu itu diputuskan, setelah berhasil menduduki sarang musuh, kita diharuskan berkumpul di depan pintu gerbang Bu-wisan- ceng.".

"Itu menurut perhitungan bila kalian menang dalam penyerbuan ini,"

Ujar Siang Cin tertawa, apakah tidak kalian pikirkan sebelumnya bagaimana bila kalian yang kalah?"

Menyengir sedih, Gwan Hoan berkata.

""Tidak, siapa kira bahwa kami akan kalah.."

Maka berkata Siang Cin.

"Selamanya aku suka bicara secara blak2an. Setelah mengalami pengajaran nyata kali ini, kurasa perlu aku memberi wejangan. Yakin akan kesanggupan sendiri adalah syarat utama bagi setiap insan persilatan, tapi keyakinan itu harus disertai rencana yang cermat dan pemikiran yang matang, kalau bertindak serampangan dan di luar garis kebijaksanaan, sekali salah hitung, akibatnya tentu runyam dan menyedihkan."

Gwan Hoan dan Loh Hong mendengarkan dengan diam saja, meski hati merasa tertusuk, tapi apa yang dikatakan memang benar dan tepat. Setelah menghela napas, Siang Cin berucap pula.

"Aku tahu dengan kata2ku ini secara langsung telah menyinggung wibawa Bu-siang-pay kalian, tapi aku bicara dari relung hatiku yang paling tulus, dengan rasa setia kawan lagi, terima atau tidak terserah kepada kalian."

"Siang-tayhiap, akhir katamu terlalu berat untuk kami resapi,"

Ucap Gwan Hoan cepat.

"ini adalah nasihat emas yang amat berharga, belum lagi kami sempat berterima kasih kepadamu, mana berani mencela malah? Kamipun senang mendengar kritikmu ini." - Merandek sejenak, lalu Gwan Hoan berkata pula.

"Biasanya petuah yang menusuk kuping memang sukar diterima, kalau bukan teman baik, memangnya siapa sudi memberikan nasihat yang bisa menimbulkan salah mengerti? Siang-tayhiap, untuk ini jangan kau salah paham..."

Siang Cin hanya tertawa tanpa bicara lagi, bertiga mereka terus menyusuri lereng bukit dan tiba di balik gunung sana, tampak di sini seluruhnya adalah semak2 welingi.

"Siang-tayhiap,"

Ujar Gwan Hoan dengan hormat.

"bagaimana kalau kita istirahat sejenak di semak2 welingi itu?"

Menghela napas lelah, Siang Cin berkata.

"Baiklah, aku memang sangat letih."

Loh Hong lantas mendengus, katanya.

"Hai, kaki buntung, kukira kau kunyuk ini lupa daratan karena terlalu enak bercokol di atas punggung tuan besarmu?"

Gwan Hoan hanya terkekeh saja tanpa memberi tanggapan.

Dengan pedang sebagai tongkat Siang Cin terus maju dengan langkah ter-seyot2, napasnya rada terengah, badanpun ter-bungkuk2, sungguh payah dan menderita sekali keadaannya.

Baru saja mereka tiba di puncak bukit, belum sempat Siang Cin istirahat, dari balik dedaunan welingi menyongsong keluar sesosok bayangan besar terus menubruk seperti serigala kelaparan, sebilah golok melengkung tahu2 membacok batok kepalanya.

Secara refleks Siang Cin miringkan tubuh.

"trang"

Dengan pedang pandak dia tangkis golok melengkung itu, tidak sampai di sini saja gerakan pedang pandak itu, secepat kilat ujung pedangnya terus menusuk pula ke dada orang.

Baru sekarang kedua orang sinting di sebelah belakang menjadi gugup, Gwan Hoan lantas meraung "Tahan Siang-tayhiap ......sesama keluarga sendiri .......

"

"Si jagal jenggot merah ..... ."

Loh Hong juga berteriak gugup. Dengan mendongkol Siang Cin menarik kembali serangannya, rasa sakit pada luka2nya membuat keringat dingin membanjir keluar. katanya.

"Saudara, sebelum turun tangan hendaklah lihat dulu siapa orang yang akan kau serang."

Pembokong ini memang si jagal jenggot merah Le Ping, pedang pandak Siang Cin baru saja ditarik mundur dari depan dadanya, keruan mukanya merah jengah, katanya gugup dan menyesal.

"Terlalu tegang, Siang-tayhiap, sampai tidak kulihat jelas engkau adanya, harap suka memaafkan."

"Sudahlah,"

Ucap Siang Cin.

"mana Kim-cuncu dan Lo Ce, Lo-heng."

Menunjuk ke balik semak si jagal berkata.

"Semua ada di sana, setelah lolos kami putar kayun setengah malam sampai di sini, setelah makan ala kadarnya semua tak mampu bergerak lagi, terpaksa kami rebah melepaskan lelah dulu ...."

Kedua orang sinting mendekat maju, dengan sedikit membungkuk Gwan Hoan menggaplok pundak si jagal, teriaknya.

"Jagal pikun, kami kira kau sudah menjadi daging panggang, kobaran api di puncak gunung membuat benderang langit, syukurlah kau berumur panjang ...."

Si Jagal jenggot merah mengelus batok kepalanya yang gundul kelimis, katanya sambil menyengir.

"Jangan ber-olok2, jika tiada bantuan Siang-tayhiap, mungkin satupun tiada yang lolos dengan hidup, Cuncu dan Lo Ce sama2 terluka parah."

Gwan Hoan berkata.

"Kamipun lolos kepungan berkat pertolongan Siang-tayhiap. Kalau tidak, kali ini tak mungkin kau bisa bertemu dengan kami bersaudara."

Wajah si jagal yang kasap itu mengunjuk rasa kagum dan hormat serta tunduk, katanya.

"Mungkin kalian belum tahu apa yang telah terjadi di atas gunung?" . Sekilas melirik ke arah Siang Cin yang tertatih2 melangkah ke dalam semak2 welingi, Gwan Hoan menelan liur, tanyanya dengan gelisah.

"Apa yang terjadi?"

Si jagal juga melirik ke punggung Siang Cin, lalu katanya sungguh2.

"Enam diantara sepuluh gembong2 Hek- jiu-tong telah disikat mampus oleh Siang tayhiap seorang diri, seorang lagi luka parah, demikian pula ahli perang mereka yang bernama ....King apa yang tua bangka itu juga dimampuskan, apalagi kaum keroco Hek jiu-tong, ada ratusan yang mampus di tangan Siang-tayhiap."

Begitulah sambil menyibak daun welingi mereka terus menerobos semak2 lebih dalam, beberapa tombak kemudian, tampak si sayap terbang Kim Bok dan Ceng yap-cu Lo Ce duduk di tanah, sementara Siang Cin sudah duduk di hadapan mereka.

Dalam semalam ini, agaknya terlampau besar penderitaan mereka, wajah Kim Bok yang semula merah bersemangat kini kelihatan lesu, pucat menghijau, kerut mukanya yang biasa tidak kelihatan kini tampak banyak, dalam semalam ini dia seperti tambah tua puluhan tahun.

Demikian pula keadaan Ceng-yap cu Lo Ce, pucat, lemas keletihan, mirip laki2 yang baru sembuh dari sakit parah, sekujur badan berleporan darah, bibirnya yang kering merekah, sorot matanya yang pudar kelihatan seperti orang mengantuk.

Kedua orang sinting maju memberi hormat kepada Kim Bok, dengan kepayahan Lo Ce, membalas saja ala kadarnya, Gwan Hoan tepuk pundak Loh Hong, katanya.

"Baiklah, biar aku turun dnduk di tanah, supaya kau bisa istirahat sebentar ...."

Begitu Loh Hong berjongkok Gwan Hoan tepuk pundak orang terus melompat turun dan berduduk dengan ringan, kedua kakinya yang kecil lantas terjulur datar di tanah.

Loh Hong menggeliat sambil menekuk pinggang, menepuk pundak serta memijit leher, kelubiiya.

"Ai, tugas menjadi kuda tunggangan begini entah kapan baru akan berakhir .......

"

Si Sayap terbang Kim Bok mengerling ke arah Loh Hong, katanya dengan serak.

"Bukankah kalian bersama It-coh san Hoan Kiang? Mana Hoan Kiang?"

"Hoan Kiang?"

Kedua orang sinting saling pandang, kata Gwan Hoan gugup.

"Bukankah dia menyusul Cuncu bersama dua puluhan saudara setelah barisan besar bergerak ke atas gunung?"

Terbeliak mata Kim Bok, serunya gusar.

"Siapa suruh dia pergi? Memangnya ke mana pula kalian waktu itu?"

Lekas Gwan Horn menjawab.

"Sebelum bergerak Loh-cuncu memberi pesan agar dia bantu menggempur kebelakang gunung, tapi ditengah jalan dicegat musuh, hanya kami berdua saja yang berhasil lolos, Lo Hoan berpisah dikala kami bergerak ke atas hendak membantu Loh-cuncu, karena waktu itu pertempuran di atas gunung teramat ramai dan gaduh, sebaliknya di bawah gunung tiada tugas penting apa2, kuatir tenaga pihak kita tidak mencukupi, maka Lo Hoan lantas membawa orang2nya menerjang ke atas, semula kami kira dia sudah gabung bersama Cuncu sekalian ......"

Saking gusar Kim Bok mengertak gigi, raungnya.

"Gentong nasi, semuanya gentong nasi."

Kedua orang sinting tak berani bersuara lagi, keduanya tunduk tak berani bergerak, dengan mengepal tinju Kim Bok berkata.

"Kali ini kita betul2 memperoleh ganjaran setimpal, Thi, Hiat dan Wi tiga barisan besar Bu-siang-pay kita sama dikerahkan, tiga ratus tenaga inti yang terdidik baik seluruhnya gugur di tangan orang Hek--jiu-tong, sisanya yang masih hidup bercerai berai, cara bagaimana harus mempertanggungjawabkan hal ini kepada Thi-ciangbun? Bagaimana pula harus memberi penjelasan kepada tiga barisan yang lain yang masih ada di pusat? Kalau kalian tidak tahu malu, aku justeru tiada muka berhadapan dengan mereka, jiwa pahlawan padang rumput kini sudah ternoda oleh kalian ... ."

Siang Cin membuka matanya yang terpejam, katanya pelahan.

"Kim-cuncu jangan marah, ada beberapa kata ingin kusampaikan."

Lekas Kim Bok unjuk tawa, katanya.

"Silakan, silakan."

Diam sejenak baru Siang Cin membuka suara.

"Perubahan kehidupan Kangouw memang sukar diramalkan, dalam waktu sedetik keadaan dapat berubah menjadi buruk, entah itu seorang pribadi, suatu aliran atau perguruan, jika dia ingin bercokol abadi dalam percaturan Bu-lim, jelas bukan suatu usaha yang mudah, perbedaan antara kalah menang, kuat dan lemah hanya terpaut segaris saja, kalau melampaui garis tegas ini maka berarti berakhirlah riwayatnya. Tiada dalam sejarah Bu-lim seorang pahlawan yang abadi, selama beratus tahun belum pernah tertulis dalam sejarah adanya suatu aliran atau perguruan silat yang tak pernah runtuh atau kalah, begitu pula tiada bedanya seseorang dan suatu aliran, di dalam menghadapi berbagai masalah tak mungkin mereka selalu berada di atas angin, karena sering sesuatu terjadi di luar perhitungan dan dugaan, maka peristiwa yang telah terjadi tak perlu lagi disesalkan, sebaliknya harus menjadikan kekalahan itu sebagai cambuk untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi ........"

Merandek sejenak lalu Siang Cin meneruskan dengan tertawa tawar.

"Siang Cin masih muda usia, cetek pengalaman dan dangkal pengetahuan, dengan rangkaian nasihat ini, sebetulnya aku telah berlaku sembrono, untuk ini harap Kim-cuncu tidak ber-kecil hati."

Sekian lama mengawasi Siang Cin, akhirnya Kim Bok menghela napas panjang, ucapnya.

"Nasihat Siang-lote memang betul, tapi , ... ai, kenyataan memang demikian, bila dendam tak terlampias, memangnya dapat kupulang menemui Ciangbunjin?"

Siang Cin berkata.

"Biarlah soal itu kita bicarakan lagi kelak, kini yang penting harus mencari tempat untuk memulihkan kesehatan."

Seperti teringat apa2, tiba2 Kim Bok berkata.

"Lote, lukamu cukup parah, lebih penting menyembuhkan luka2mu dulu .... Lote, untuk kepentingan Bu-siang-pay, betapa besar pengorbananmnu ....

"

Tertawa tawar, Siang Cin berkata.

"Seorang ksatria rela mati demi persahabatan, Cuncu, hal ini jangan diperbincangkan lagi."

Merah muka Kim Bok, katanya gegetun.

"Begitu besar setia kawan Lote terhadap Bu-siang pay membantu dengan mempertaruhkan jiwa raga lagi, tapi Bu-siang-pay kita memang terlalu ceroboh dan bodoh, jerih-payah dan nasihat Lote yang berharga tak pernah kita resapi, bila Siang-loheng mau mendengar nasihatmu di Pi-ciok-san, nasib kita tentu tidak akan seburuk ini ....Ai"

Siang Cin berkata.

"Hal ini tak bisa menyalahkan Siang-cuncu, dia terialu emosi waktu itu, kabarnya biasanya Siang-cuncu tidak begitu gegabah, maka Cuncu tidak usah menyalahkan dia "

Tapi Kim Bok masih juga menggerundel.

"Tak usah lote membela dia, kelak bila kembali berhadapan dengan Ciangbunjin, aku akan membuat perhitungan dengan dia, coba saja siapa yang benar."

Sampai di sini tiba2 ia melenggong, sekian lama dia termenung, lalu menghela napas, katanya rawan.

"Cuma, entah bagaimana nasib tua bangka ini, apakah aku masih sempat membuat perhitungan dihadapan Ciang-bunjin.."

Siang Cin memejamkan mata, katanya lesu.

"Mati hidup ada di tangan Thian, kuyakin Siang-cuncu juga tidak berumur pendek, menurut hematku, kesempatan hidupnya masih besar ...."

Kim Bok menghela napas katanya.

"Ya, begitulah harapan kita, demikian pula Bongbu, tidak pantas dia gugur di medan laga dalam usia yang masih muda ....di antara pimpinan Bu-siang-pay, usianya terhitung yang paling muda . ..."

"Aku tahu, biasanya kalian suka mempoyoki `pipi halus` padanya,"

Ucap Siang Cin.

"Ya, hubungan mereka suami-isteri juga penuh kasih sayang,"

Ucap Kim Bok.

"Loh-cuncu pernah bicara hal ini, demi hubungan suami-isteri inilah sehingga dia menolak jabatan di Lan cian-tong?"

Ber kaca2 mata Kim Bok, lekas ia melengos, katanya pilu.

"Yang membuatku teramat sedih adalah Yang-yang ....budak itu, berarti dia mengkhianati ayahnya dan leluhurnya, mengingkari seluruh Bu-siang- pay ... dia sungguh bodoh, teramat bodoh. ."

Tiba2 Ceng-yap cu ikut bicara.

"Kalau hal ini betul, menurut watak Ciangbunjin ....kemungkinan Siocia akan mengalami hukuman yang berat,"

Kim Bok menoleh seraya berkata.

"Bukan saja akan dihukum, aku berani bertaruh, Ciangbunjin malahan bisa membunuhnya."

Siang Cin berkata.

"Kalau benar demikian tindakan Ciangbunjin kalian atas puterinya, kukira persoalannya menjadi mudah."

Kim Bok melenggong, tanyanya heran.

"Sukalah Lote menjelaskan?"

"Bicara terus terang,"

Ucap Siang Cin.

"jika betul Ciangbunjin kalian ingin mengakhiri pertikaian ini dengan kematian puterinya, atau hanya untuk melampiaskan penasaran-nya, maka persoalannya menjadi mudah diselesaikan."

Terbelalak Kim Bok, sekian lama dia menatap Siang Cin.

Tapi Siang Cin menggeleng, katanya prihatin.

Hubungan lahir batin ayah dan anak tak mungkin diselesaikan hanya dengan hukuman melulu, masih banyak pertimbangan lain2, umpama benar Ciangbunjin kalian ingin membunuh puteri sendiri, kukira dia sendiripun akan menderita batin."

Sedikit banyak Kim Bok kini sudah maklum, katanya.

"Maksud Lote ...."

"Maksud Cayhe, Ciangbunjin kalian akan sukar memberi keputusan, malah hatinya juga akan sedih."

Lama Kim Bok meresapi kata2 ini, akhirnya ia manggut2, katanya.

"Betul, ucapanmu memang betul lote, nama Naga Kuning yang kauperoleh kuyakin bukan melulu karena kehebatan ilmu silatmu, cara berpikirmu ternyata juga melebihi orang banyak ...."

"Ah, Cuncu terlalu memuji ujar Siang Cin dengan tertawa. Kini kedua orang sudah duduk bersimpuh, perasaan mereka sama berat dan prihatin, Siang Cin menengadah mengawasi daun welingi, daun yang bergoyang menari ditiup angin lalu, mengeluarkan suara berisik yang berpadu menjadikan irama yang menga-syikan juga, sayang suara ini terasa hampa, terasa memilukan. Entah berapa lamanya, akhirnya Kim Bok bersuara.

"Lote, marilah kita berangkat?"

"Baiklah,"

Siang Cin sadar dari lamunan-nya dan tertawa. Segera Kim Bok melompat berdiri, katanya kepada si jenggot merah.

"Le Ping, kemari kau, gendong Siang tayhiap." Si Jenggot merah mengiyakan dan menghampiri dengan langkah lebar. Lekas Siang Cin mengoyang tangan, katanya gugup.

"Tak usah, tak usah! Cayhe sendiri masih sanggup berjalan, apa lagi ruji payung yang menghiasi tubuhku ini belum lagi kucabut, kurang leluasa kalau digendong ...."

"Lalu bagaimana baiknya?"

Ujar Kim Bok prihatin.

"Lote, aku sendiri merasa ngeri melihat luka2 sekujur badanmu, apalagi kau yang langsung merasakannya? Kalau aku yang terluka parah seperti itu, pasti tak kuasa bergerak dan sudah di atas usungan."

"Seperti apa yang Cuncu katakan sendiri, kalau Naga Kuning Siang Cin tidak memiliki kelebihan yang luar biasa daripada manusia umumnya, mana mungkin aku memperoleh gelar Naga Kuning? Ketahuilah bukan saja aku mahir menghajar dan menyiksa, jiwa ragaku sendiripun tahan akan segala macam siksa derita."

Kim Bok tertawa geli, suasana yang kurang menyenangkan tadi seketika tersapu lenyap seluruhnya, kata Kim ,Bok.

"Kalau demikian, marilah jalan pelan2."

Sambil menyibak semak2 welingi mereka berenam berjalan keluar, cuaca tampak mendung, hawa terasa dingin, mereka berjalan di tanah pegunungan yang belukar, pandangan mereka meneliti setiap gerakan di sekeliling mereka, maklumlah daerah ini masih dalam pengaruh orang2 Hek-jiu-tong.

Setelah jalan sekian lama, si jenggot merah mendekati Siang Cin, katanya lirih.

"Siang-tayhiap, apakah perlu kugendong kau saja?"

"Tak usahlah,"

Ujar Siang Cin.

"kau sendiri juga sudah payah."

Menggaruk batok kepalanya yang gundul kelimis, laki2 kasar yang dijuluki jagal ini berkata.

"Siang-tayhiap, terima kasih atas pertolonganmu semalam. Siang-cuncu dan lain2 putus hubungan dengan kami di tengah kobaran api yang besar itu, padahal rencana semula sudah dipikirkan dengan rapi, tapi kenyataan serba mengenaskan ....kalau tidak mendapat bantuan Siang-tayhiap, tak berani aku membayangkan akibatnya, mungkin satupun tiada yang bisa lolos, lalu siapa yang akan mengirim kabar buruk ini. ."

Padahal langkah Siang Cin cukup berat, jalan sambil bertongkat pedang, tapi suaranya tetap ramah.

"Tidak apa2, Le-heng, sakit hati ini kelak pasti dapat ditagih seluruhnya."

Kim Bok menoleh, timbrungnya tertawa.

"Lote, bila tiba waktunya, jangan kau lupa memberitahu kepadaku, kita semua akan patuh dan tunduk akan pimpinanmu."

Siang Cin tertawa, katanya.

"Jangan berkata demikian Cuncu."

Jalan punya jalan akhirnya mereka tiba di tanah bukit yang menurun, seluas mata memandang, jalan raya tampak berliku menjalar di kejauhan sana, mendung tambah tebal, tiada bayangan manusia atau binatang, keadaan sunyi hening.

Menelan liur si jagal berkata.

"Cuncu, ke mana tujuan kita selanjutnya?"

Berpikir sejenak Kim Bok berkata.

"Jalan raya itu menuju ke Kia tin, tapi kota kecil itu terlalu dekat dari Pi ciok-san, bukan mustahil di sana ada mata2 musuh, kita pergi saja ke Gu-keh-wa di sebelah timur sana ...."

"Giu keh-wa?"

Tanya Siang Cin.

"tempat apakah itu"?"

"Sebuah dusun kecil, letaknya dihimpit gunung di timur sana, kira2 ada seratusan keluarga, semuanya hidup bercocok tanam sebagai petani yang sederhana dan berkecukupan. Kira2 lima tahun yang lalu pernah aku mampir ke sana, panorama di sana permai, tak mungkin ada kaum persilatan yang mondar-mandir ke sana, tempat itu amat cocok untuk istirahat menyembuhkan luka2 kita."

Menghela napas kesal, Siang Cin berkata.

"Masih berapa jauh letak dusun itu?"

Setelah mengira2 Kim Bok menjawab.

"Kurang dari tiga puluh li, kalau jalan lebih cepat sedikit, kira2 dua jam akan tiba di tempat tujuan."

Dalam keadaan Siang Cin sekarang, perjalanan dua jam ini sungguh terasa amat berat dan menyiksa.

Tapi semangat jantannya menunjang wataknya yang keras kepala, meski lebih parah lagi dia juga tetap menempuh perjalanan ini tanpa sudi dibantu oleh siapapun.

oo0 000 Ooo 
Dusun kecil yang letaknya dihimpit dua gunung ini dilingkari sebuah anak sungai yang jernih airnya, pada ujung depan dan di belakang dusun ini ditumbuhi hutan bunga Bwe yang cukup rindang, seratusan rumah penduduk berderet menjadi beberapa baris, jalan kampung yang beralas krikil tampak bersih dan terawat baik, inilih Gu-keh-wa.

Selama sebulan lebih, menempati rumah penduduk yang terletak di ujung belekang dusun kecil itu, Siang Cin berenam benar2 mengecap kehidupan tenang dan tenteram, hidup teratur dan terawat pula kesehatan mereka.

Pagi nan cerah, hawa sejuk mengandung bau harum bunga Bwe yang menambah semangat.

Pagi hari itu Siang Cin mengenakan jubah kuning yang baru dipesannya pada seorang penjahit di dusun kecil itu.

Sambil menggendong tangan seorang diri Siang Cin jalan2 ke hutan Bwe, kebetulan dilihatnya Kim Bok tengah keluar dari hutan.

Melihat bayangan kuning Siang Cin, sejenak dia melenggong akhirnya dia menghela napas serta menyapa.

"Siang-lote ........"

Bergegas dia menghampiri. Tenang2 Siang Cin menoleh, katanya tertawa.

"Selamat pagi Kim-cuncu, pagi betul kau sudah bangun."

Kim Bok tertawa, Siang Cin ditariknya duduk di bawah pohon katanya.

"Lote, Gu-keh wa memang tempat yang baik bukan?"

"

"Ya, memang,"

Ucap Siang Cin.

"berkat pertolongan tabib tua itu, luka2 kita sudah dapat disembuhkan seluruhnya."

Kim Bok manggut2, air mukanya mengelam, pandangannya menjadi rawan menatap puncak gunung di kejauhan sana, seperti teringat sesuatu yang menyedihkan, dia menghela napas. Siang Cin bertanya.

"Apakah Cuncu teringat pada orang2 yang hilang di Pi-ciok-san tempo hari?"

Kim Bok tertawa getir, katanya.

"Ya ......aku jadi bingung cara bagaimana harus pulang memberi laporan kepada Ciangbun-jin? Sebulan telah berselang, dusun kecil yang terpencil ini jauh dari keramaian dunia, tak pernah mendengar berita apapun selama ini, entah bagaimana keadaan dan perkembangan di luar sana?"

Berhenti sebentar lalu meneruskan.

"Hidup di sini memang tenang namun hati gelisah seperti dibakar. Ai ......"

"Kim-cuncu, bagaimana jika Ciangbunjin kalian memperoleh berita tentang kegagalan kalian ini, apa pula yang bakal dilakukan?"

Kata Kim Bok dengan nada penuh keyakinan.

"Ciangbunjin pasti akan mengerahkan pasukan untuk menggempur sarang Hek-jiu-tong, malah dengan seluruh kekuatan yang tersedia."

"Apakah tiada yang perlu dikuatirkan?"

Tanya Siang Cin setelah berpikir.

"Tiada,"

Sahut Kim Bok tegas.

"Apakah Bu-siang-pay kalian terdiri dari enam `Bun" ( pintu ) dan satu `Tong" ( seksi )."

"Betul, keenam Bun itu terdiri dari Hwi (terbang), Say (singa), Thi (besi), Wi (lindung), Hiat (darah) dan Bong (rumput). Satu Tong yaitu Lan-cian-tong, di samping itu didirikan pula Cong-tong ( pusat pimpinan), Cong- tong secara langsung mengepalai atau menguasai keenam Bun dan satu Tong ini. Di dalam Cong-tong ada beberapa Toa-hucu, jabatan Toahucu kira2 setingkat dengan ketua Bun dan Tong ..... ..

"

Berpikir sebentar Siang Cin bertanya.

""Apakah susunan keenam Bun dan satu Tong itu seperti yang barusan Cuncu uraikan"

"Ya, begitulah, Hwi ji-bun berada paling atas, yang terendah adalah Bong-ji bun, tapi itu hanya urusan untuk mempermudah perbedaan belaka, yaag penting adalah para pimpinan tertinggi setiap Bun dan Tong, itu disesuaikan dengan usia mereka, dalam tugas masing2pun menerima bagian yang berbeda satu sama lain, tiada perbedaan tinggi atau rendah ......"

Sampai di sini Kim Bok lalu menambahkan.

"Tentang Lan-cian-tong, secara langsung berada di bawah komando Ciangbunjin, jadi urutannya tidak berada dalam keenam Bun, maklumlah tugas Lan cian tong memang agak khusus dan cukup berat tanggung jawabnya......." Setelah berdiam sejenak Siang Cin berkata pula.

"Kalau demikian, kali ini kalian menderita keruntuhan Thi, Wi dan Hiat, ketiga Bun, tapi ketiga Bun dan satu Tong yang masih ada, kekuatannya pasti tak boleh dipandang enteng juga ..... ...

""

Sedikit diumpak, senang hati Kim Bok, katanya ter gelak2.

"Betul, Thi, Wi dan Hiat, tiga Bun ini hanya merupakan sekelompok kecil dari seluruh kekuatan Bu-siang-pay yang belum dikerahkan, bukan maksudku hendak mengatakan bahwa kekuatan Busiang- pay mampu menggetar langit dan menggoncangkan bumi, tapi kekuatan besar kami memang bukan omong kosong."

"Bu-siang-pay di padang rumput kaki bukit Kiu-jin-san memang sudah lama tersohor di luar perbatasan, di manapun, entah di gunung, di sungai, di hutan atau di kota, asal gelang emas berbaju putih muncul, kebesaran Bu-siang-pay pasti memperoleh sambutan hangat dari khalayak ramai, hal inipun Cayhe sudah lama mendengarnya."

Senang sekali Kim Bok, ujarnya.

"Oleh karena itulah, meski kami pulang dengan kekalahan besar, tapi keyakinanku masih belum pudar, bila gelang emas dan jubah putih keluar pula padang rumput, dengan orang2ku, kami akan menyerbu kembali ke Pi-ciok-san."

Lama Siang Cin menatap Kim Bok, katanya kemudian dengan pelahan.

"Kim-cuncu ada beberapa usul ingin kusampaikan, entah boleh tidak kuutarakan."

Melengak Kim Bok, katanya sungguh2.

"Silakan bicara, akan kudengarkan dengan penuh perhatian,"

"Pertama,"

Ujar Siang Cin.

"selama terpencil di dusun ini, putus hubungan dengan dunia luar, entah kapan bala bantuan Bu-siang-pay kalian akan tiba? Kedua, bagaimana pula keadaan Hek-jiu-tong selama sebulan lebih ini? Umpamanya, setelah sarang mereka musnah, apakah meraka tidak boyong ke tempat lain? Bukan mustahil merekapun mengundang banyak bala bantuan dan menambah kekuatan mereka? Mungkin pula telah mengatur tipu muslihat keji dan lain sebagainya. Maklumlah, Hek-jiu-tong juga tahu bahwa Bu siang-pay masih punya kekuatan terpendam di padang rumput yang tak boleh di pandang ringan. Ketiga, bilamana benar Bu siang-pay mengerahkan seluruh kekuatannya, hal ini pasti menggemparkan kaum persilatan entah itu di dalam atau di luar perbatasan, sementara ketahanan di padang rumput sendiri tentu kosong dan lemah, hati orang Kangouw sukar diraba, apakah tidak mungkin pusat pertahanan kalian akan diduduki musuh? Semua ini perlu direnungkan."

Bercucuran keringat dingin Kim Bok mendengarkan uraian Siang Cin, katanya tergagap.

"Betul, masuk akal, memang tidak pernah kupikirkan sejauh itu ..... .tapi waktu sudah berselang sekian lama, apakah masih keburu mengirim kabar ke padang rumput?"

Dengan penuh kepercayaan, Siang Cin berkata.

"Hal ini tidak perlu dikuatirkan, dalam hal ketahanan, kukira Ciangbunjin kalian dan para pimpman tertinggi Bu siang-pay yang lain tentu sudah mengaturnya dengan baik. yang penting kini adalah hal pertama dan kedua, untuk kedua hal inilah kita harus lebih banyak memeras pikiran dan tenaga."

"Lalu bagaimana?"

Tanya Kim Bok.

"Untuk ini Cayhe tidak akan berpeluk tangan,"

Ujar Siang Cin. Lekas Kim Bok goyang tangan, katanya.

"Tak boleh, luka lote belum sembuh, tenagamu belum pulih, mana boleh membikin susah kau? Menurut pendapatku, biarlah suruh Lo Ce dan Le Ping saja yang melaksanakan tugas ini."

"Urusan sudah telanjur sejauh ini, Cayhe tidak perlu main sungkan lagi. Kim-cuncu, bicara terus terang, untuk menunaikan tugas ini Cayhe yakin lebih mantap, lebih kuat dan dapat dipercaya dari pada Lo dan Le, biarlah Cayhe sendiri yang pergi,"

"Kalau demikian,"

Ujar Kim Bok.

"biarlah lohu pergi bersamamu ...."

"Urusan ini bukan perang tanding, terlalu banyak orang malah tidak menguntungkan, apalagi Kim-cuncu perlu pegang peranan di sini, siap menghadapi segala perubahan, begitu memperoleh kabar dan menghadapi perkembangan apapun, Cayhe akan segera memberi kabar ...."

Apa boleh buat, akhirnya Kim Bok berkata.

"Kalau demikian baiklah pasrah kepada Lote saja, entah kapan Siang-heng akan berangkat, ke mana pula tujuanmu?"

Siang Cin tertawa, katanya.

"Sekarang juga kuberangkat, langsung menuju ke Piciok- san."

"Tapi ...

"

Kata Kim Bok gugup.

"pagi ini kau belum sarapan ...".

"

Mendadak bayangan kuning berputar, tahu2 Siang Cin sudah melayang pergi, di tengah udara gelak tawanya berkumandang, katanya dari kejauhan.

"Mendapat tugas penting, mana ada selera makan lagi? Kim cuncu, sampai bertemu pula ...."

Seperti tanpa mengerahkan tenaga, kecepatan Siang Cin sungguh amat mengejutkan, hanya kelihatan bayangan kuning berkelebat, tahu2 sudah lenyap tak kelihatan.

Cepat sekah Pi ciok-san sudah semakin dekat, kini Siang Cin sudah tiba di semak2 welingi, dia sudah berada di semak belukar dimana tempo hari dia menolong kedua orang sinting itu, kini di kejauhan tampak sebidang hutan cemara, maju ke depan lagi adalah tempat di mana tempo hari orang2 Bu siang pay bersembunyi sebelum bergerak ke atas gunung.

Entah mengapa secara aneh hidungnya seperti mengendus bau anyirnya darah, pemandangan seram di puncak gunung seperti terbayang di depan mata.

Sekali lompat Siang Cin berjumpalitan di udara, terus meluncur jauh kedepan, baru saja dia hendak melejit lebih jauh, tiba2 dari tempt yang agak jauh di sana terdengar suara pujian yang lantang- "Gerakan Hun-jiau hoan- bun yang hebat."

"Serr", tubuh Siang Cin yang sudah melambung berputar arah, dilihatnya diluar hutan cemara sana berdiri seorang laki2 berusia 30-an berpakaian seperti pelajar, dengan sikapnya yang santai tengah mengawasi dirinya dengan tersenyum. Laki2 ini mengenakan jubah warna hijau, di tengah dada bersulam lingkaran huruf "Siu" (panjang umur) warna putih, mengenakan sepatu kulit bersol tinggi, ikat kepalanya berwarna hijau pula, tepat di atas jidat pada ikat kepalanya dihiasi sebentuk batu jade warna hijau tua, matanya gemerlap bak bintang kejora, mulutnva merah lebar tapi tipis, sikapnya gagah dan berwibawa. Terpaksa Siang Cin menghentikan gerakan, dengan hambar dia awasi laki2 aneh yang muncul mendadak ini, orang itu mendekat beberapa langkah, sapanya sambil menjura.

"Kin Jin dari Tanciu kebetulan datang kemari, mohon tanya siapakah she dan nama besar saudara ini?"

Terunjuk rasa curiga pada sorot mata Siang Cin, tapi lahirnya tetap sopan dan balas menghormat, katanya.

"Bertemu di tengah jalan, belum kenal lagi, anggaplah tidak melihat saja, untuk apa saudara tanya she dan namaku!"

Pelajar yang mengaku bernama Kin Jin tersenyum, katanya.

"Meski sandara tidak sudi memperkenalkan nama, sedikit banyak Cayhe juga sudah dapat meraba, jika saudara tidak anggap Cayhe kurang ajar rasanya Cayhe bica menebaknya."

Tersenyum tawar Siang Cin berkata.

"Selamanya tak kenal, darimana saudara bisa tahu namaku?"

Kin Jin menggeleng, katanya serius.

"Tidak kelihatan orang sudah tampak bayangannya, seluas jagat raya ini, orang yang mampu mengembangkan Liongsiang- toa-pat-sek sehebat ini, kecuali kau saudara kukira tiada orang keduanya lagi."

Berkedip Siang Cin, katanya.

"Kalau demikian, rupanya saudara ini seorang ahli."

"Di hadapan Siang-heng, mana berani aku mengagulkan diri, bikin orang tertawa saja."

Tiba2 Siang Cin menarik muka, sikapnya dingin, katanya.

"Tempat apakah ini ?"

Tenang2 saja, Kin Jin balas bertanya.

"Kenapa Siang-heng tanya soal ini ?"

"Di pegunungan yang belukar ini, saudara menyendiri di tempat ini, mencegat perjalanan dan menyapaku, kukira bukan hanya ingin berkenalan dengan si Naga Kuning Siang Cin bukan?"

Tetap tenang dan wajar Kin Jin berkata.

"Habis kalau menurut pendapat Siang-heng, untuk tujuan apa aku berada di sini?" Siang Cin mendengus.

"Kukira saudara pasti berkomplot dengan pihak Hek-jiu-tong dan Jik san-tui?"

Sekilas tampak Kin Jin melengak, lalu tertawa, katanya.

"Hek-jiu-tong? Jik-san-tui? Siang-heng, kukira kau kurang cepat memperoleh berita. Memang sebulan yang lalu sarang Hek-jiu-tong berada di Pi-ciok-san tak jauh di depan sana, tapi kini mereka sudah boyong ke lain tempat, bahwasanya Cayhe tiada sangkut paut dengan mereka, kalau tidak kenapa berada di sini seorang diri? Memangnya Cayhe mau menikmati pemandangan belukar yang sepi ini? Siang heng seorang pandai, tentu dapat berpikir.

"

Siang Cin menegas.

"Anggaplah demikian, lalu untuk apa saudara berada di sini?"

Dengan senyum dikulum Kin Jin tatap Siang Cin, katanya.

"Tiada lain karena ingin menepati sebuah janji pertemuan."

Memandang sekelilingnya Siang Cin tidak bersuara. Kin Jin tertawa, katanya pula sambil malangkah maju selangkah.

"Apakah Siang-heng tahu maksud perjanjian pertemuanku ini?"

Siang-Cin menggeleng, katanya.

""Bertemu di tengah jalan, untuk apa main selidik urusan orang lain? Tapi, menurut hematku, bukan mustahil itu pertemuan untuk menentukan mati hidup."

Kin Jin memperlihatkan rasa kaget dan heran, katanya kagum.

"Pandangan tajam, tebakan yang tepat, cara bagaimana Siang-heng dapat meraba bila Cayhe menunggu pertemuan mati hidup di sini?"

"Sorot mata saudara setajam kilat, sikapmu gagah, bayangan wajahmu menampilkan rasa dendam, tapi sebagai seorang pengelana yang tidak mempunyai tanggungan apa2, tampaknya engkau terlalu tawar menghadapi kehidupan ini, padahal saudara gagah perkasa, seorang laki2 yang patut mendarma baktikan tenaganya bagi umat manusia umumnya, tidaklah pantas bersikap tak acuh terhadap hal2 di dunia fana ini."

Kin Jin diam sebentar, akhirnya dia menghela napas, katanya.

"Orang bilang Naga Kuning teramat lihay, kali ini aku Kim-lui-jiu ( tangan geledek emas ) betul2 meresapinya."

"Kim-lui jiu?"

Seru Siang Cing sambil mengernyitkan kening.

"Tidak berani, itulah julukanku,"

Sahut Kin Jin.

"Dengan siapakah Kin-heng janji bertemu di sini?"

Tanya Siang Cin.

"Siang heng lama berkecimpung di Kangouw, tentunya pernah dengar Cap pi kuncu?"

Bertaut alis Siang Cin, katanya.

"Maksud Kinheng Cap-pi-kuncu Sebun Tio-bu dari Jian ki-beng?"

"Benar,"

Sahut Kin Jin mengangguk.

"dialah orangnya."

Mendekat dua langkah Siang Cin berkata.

"Pernah dua kali Cayhe bertemu dengan Sebun Tio-bu, orangnya kekar, gagah dan angkuh, dialah orang yang paling angkuh kaum persilatan tulen, cara bagaimana Kin heng bermusuhan dengan dia?"

Bimbang sejenak akhirnya Kin Jin bicara terus terang.

"Hanya soal sepele, anak buah Sebun Tio-bu pada suatu malam memasuki Tan cin dan menuntut balas pada sebuah keluarga hartawan kenalanku, mereka mohon bantuan padaku, terpaksa Cayhe ikut campur urusan mereka. Setelah kembali dengan kegagalannya, orang itu lapor kepada pimpinannya, Sebun Tio bu lantas kirim utusan mengancamku supaya keluar dari pertikaian ini, tapi sebagai seorang insan persilatan yang menjunjung tinggi keadilan, apa lagi menyangkut gengsi, jelas aku tidak mau mundur, oleh karena itu hari ini Sebun Tio-bu menjanjikan pertemuan denganku di sini."

Siang Cin mengerut kening, tanyanya.

"Waktu Kin-heng ikut campur urusan itu di Tao-ciu, apakah Kin-heng melukai orang2 Jian-ki-beng?"

"Orang bilang kalau perang mulut tentu keluar kata2 yang tak pantas, adalah janggal kalau berkelahi tiada yang terluka. Waktu itu mereka begitu garang dalam jumlah besar lagi, jelas tak mungkin bisa dilerai?"

"Jadi Kin heng melukai orang2 mereka?" "Waktu itu ada tujuh belas orang mereka yang kulukai.."

Siang Cin tertawa, katanya.

"Sekarang Sebun Tio-bu mengajakmu kemari untuk bertanding dengan cara apa? Satu lawan satu atau berkelahi dengan cara bebas?"

"Tidak, hanya satu lawan satu, sebelum salah satu pihak ada yang ajal pertempuran takkan berhenti."

Siang Cin berkata dengan menghela napas.

"Secara terus terang, di kalangan Bu-lim kini Kin-heng dan Sebun Tio bu sama2 ternama, kalau duel sampai mengorbankan jiwa, akibataya dapatlah dibayangkan. Kalian sama2 berkuasa di wilayah masing2, kenapa pula hanya lantaran soal sepele harus mempertaruhkan segalanya?"

"Cayhe tahu akibat dari pertempuran ini jelas tidak menguntungkan kedua pihak, tapi urusan sudah telanjur sejauh ini.". Siang Cin maju beberapa langkah pula, baru saja dia hendak buka mulut, dari kejauhan dibelakangnya terdengar derap kaki kuda yang berlari kencang mendatangi. Sikap Kin Jin yang semula santai itu sekilas tampak membayangkan ketegangan, alisnyapun sedikit berkerut, katanya dengan nada berat.

"Nah, itu dia Sebun Tio-bu telah datang."

Waktu Siang Cin berpaling, di antara padang belukar sana tampak seekor kuda putih yang gagah tinggi sedang mencongklang pesat ke arah sini, pelananya putih, penunggangnya juga berpakaian serba putih.

Hanya satu kuda dengan seorang penunggang, tanpa pengawal dan tidak membawa teman, dengan kecepatan yang mengejutkan kuda putih itu membedal semakin dekat dan kelihatan lebih nyata.

Penunggangnya memiliki raut wajah putih bersih, alisnya tebal hitam, hidungnya mancung, bibir tipis, di atas pipi kanannya dihiasi codet merah, lebih mengejutkan lagi adalah sepasang bola matanya yang mencorong terang.

Pendatang ini memang penguasa Jian-ki beng, Cap-pi-kun-cu (laki2 sejati berlengan sepuluh) Sebun Tio bu yang tenar di kalangan Kangouw.

Kira2 lima tombak jauhnya kuda putih itu berhenti, bagai burung elang penunggangnya itu melompat tinggi ke atas terus meluncur turun ke tanah.

Tatapan mata yang tajam langsung tertuju ke arah Kin Jin, suaranya terdengar bengis dan kereng.

"Kin Jin, entah masih berapa banyak lagi bantuan yang kau bawa?"

Sambil mengebas lengan baju Kin Jin menjawab.

"Hanya Cayhe seorang Sebuntangkeh, jangan kau salah lihat."

Dengan sikap menghina Sebun Tio-bu mengerling ke arah Siang Cin, tapi pandangannya seketika terbeliak, terasa wajah orang seperti pernah dilihatnya, waktu dia memandang lebih jelas, tiba2 ia maju mendekat serta berteriak kaget.

"Naga Kuning!"

Lekas Siang Cin menjura, katanya tertawa.

"Selamat bertemu, sekian tahun tak berjumpa, kukira Sebun-tangkeh sudah tidak mengenalku lagi ...."

Si baju putih memburu maju dan genggam tangan Siang Cin dengan kencang, serunya kegirangan.

"Ai, karena ada persoalan sehingga tidak kuperhatikan, atas kelalaian ini harap Siang-heng suka memaafkan, sudah lima tahun lebih bukan? Betapa besar rasa rinduku selama ini, bukan saja Siang-heng tidak kelihatan tua, malah kelihatan gagah bersemangat ...."

"Sebun tangkeh terlalu memuji, kehidupan selama seribu enam ratusan hari ini memang sulit, waktu yang sekian lama ini, manusia mana yang tidak bertambah tua?"

Demikian ucap Siang Cin berkelakar. Si baju putih Sebun Tio-bu, bergelak tertawa, katanya.

"Kalau demikian, Siang-heng kan baru berusia dua puluh limaan, bila kau bilang sudah tua, aku yang sudah loco ini kan lebih pantas masuk liang kubur? Hahahaha ...."

Kemudian Siang Cin berkata dengan suara tertahan.

"Kim lui jiu Kin-heng berada di sana, apakah perlu kukenalkan."

Sebun Tio-bu seketika menarik muka, tapi segera dia berubah sikap dan tersenyum lebar, katanya.

"Tak berani merepotkan Siang-heng, dengan Kin-tayhiap sudah lama kukenal." "Melihat gelagatnya, ada perselisihan dengan Kin heng,"

Ujar Siang Cin. Sebun Tio bu mendengus, katanya dongkol.

""Memang kedatanganku ini hendak membuat perhitungan dengan dia."

Terangkat alis Siang Cin, katanya.

"Apakah Sebun-tangkeh tidak pikirkan bahwa dua harimau berkelahi apa pula akibatnya?"

"Meski harus gugur bersama telur busuk ini, betapapun harus melampiaskan rasa dendamku ini."

Sejenak berpikir, Siang Cin berkata pula.

"Kebetulan Cayhe pergoki persoalan ini, sudilah kiranya Tangkeh memberi muka padaku, marilah bicara sebagamana lazimnya para sahabat berbincang dan jangan saling labrak dulu."

Ragu2 sejenak akhirnya Sebun Tio-bu berkata.

"Untuk ini aku sih tiada pendapat apa2, Silakan Siang-heng tanya orang she Kin itu."

Kin Jin yang berdiri beberapa langkah di sana segera menanggapi dengan tertawa.

"Cayhe sudah tentu setuju saja, sekarang atau nanti persoalan antara kau dan aku jelas harus diselesaikan, tak perlu ter-buru2."

"Syukurlah, sebelum saling gebrak bolehlah kita ber-bincang2 soal apa saja asalkan baik, kalau tidak, setelah saling labrak hubungan tentu sudah tegang, mana ada kesempatan untuk beramah tamah?"

Kedua orang yang bertentangan ini dipaksa unjuk tertawa, Siang Cin sengaja menengadah melihat cuaca, katanya kalem.

"Sebun-tangkeh, perselisihanmu dengan Kin-heng barusan sudah kudengar dari penuturan Kin-heng, memang berkecimpung di dunia persilatan, yang diperjuangkan hanya nama dan gengsi, tapi untuk perjuaugan nama dan gengsi toh harus dinilai pula segi untung-ruginya, harus dipertimbangkan betapa besar imbalan yang harus dipertaruhkan hanya untuk melampiaskan rasa dongkol belaka?"

Sebun Tio-bu dan Kin Jin diam saja, Siang Cin meneruskan.

"Umpamanya kalian, sebagai orang yang lebih muda, dalam segala bidang jelas aku tak dapat dibandingkan kalian, sesungguhnya tak berani ku jadi juru pemisah ........"

"Ah, Siang-beng terlalu rendah hati . ..... tanpa merasa Kin Jin dan Sebun Tio-bu menyela. Sebun Tio-bu lantas berkata pula.

"Mana mungkin kami tidak memberi muka kepada Siang-heng? Selamanya aku sangat kagum dan memujamu ...."

Kin Jin juga menyela.

"Jangan sungkan Siang-heng, urusan apapun asal Siang heng yang memberikan petunjuk, pasti kupatuhi?"

Mendadak keduanya menutup mulut dengan telapak tangan, sekilas keduanya saling pandang, tiba2 mereka menyadari di tempat dan saat seperti ini, mereka bicara demikian rasanya jadi amat janggal.

Tapi Siang Cin tidak membuang kesempatan baik ini, segera dia ter bahak2 katanya.

"Banyak terima kasih bahwa kalian suka menghargai diriku. Kalau Cayhe tidak mengeluarkan isi hatiku, kan seperti aku menghendaki kalian bentrok. Pepatah ada bilang, permusuhan .lebih mudah terikat daripada dilerai. Dikatakan pula, tanpa berkelahi orang gagah tidak akan saling berkenalan. Sebagai orang gagah harus saling menghargai. Tentang perselisihan kalian, tidak lebih juga hanya soal gengsi, Sebun tangkeh jengkel karena anggap Kin-heng mencampuri urusan keluarganya, sebaliknya Kin-heng anggap Sebun tangkeh tidak memberi muka kepadanya. Hanya karena soal sepele ini kalian sampai harus duel di sini, kurasa tindakan ini kurang bijaksana. Coba pikir, sejak Sebun-tangkeh mendirikan perserikatan pemilik kuda, betapa jerih payah yang telah dikorbankan sehingga memperoleh kebesaran seperti sekarang? Kalau hanya karena soal ini, umpama Sebun-tangkeh sampai mengalami sesuatu yang tidak diinginkan, bukan saja ketenaran akan hanyut, usaha besar selama inipun akan bangkrut. Demikian pula halnya Kin-heng, Tan-ciu merupakan wilayah tersendiri yang luas, jika hari ini kau runtuh, betapa mengenaskan nasib seluruh rakyat di Tan-ciu, kepada siapa pula mereka harus bersandar? Kepada siapa pula keluarga Kin-heng sendiri akan bernaung? Untuk ini sebelum kalian bertindak, sukalah pikirkan dulu untung ruginya dengan kepala dingin."

Setelah menyampaikan cetusan sanubarinya, pelan2 Siang Cin memejamkan mata, namun diam2 ia melirik reaksi kedua orang yang tenggelam dalam pikiran masing2.

Tanpa terasa kedua orang sama menggosok telapak tangan.

Cukup lama, kemudian Siang Cin berdehem pelahan, katanya dengan suara mantap.

"Dengan nama pribadiku, ingin Cayhe melerai pertikaian kalian supaya hubungan kalian selanjutnya bisa damai dan lebih bersahabat, sudah tentu jika kalian sudi mendengar dan memberi penghargaan kepadaku."

Cukup lama juga perang batin kedua orang itu, akhirnya dengan nada berat Sebun Tio-bu berkata.

"Siang-heng, apa yang kau uraikan memang beralasan, cuma ......ada belasan anak buahku yang dirugikan oleh orang she Kin ini, kalau aku pulang begini saja, bagaimana aku harus memberi keterangan kepada mereka .......

"

Siang Cin mengangguk, katsnya.

"Kekuatiranmu memang beralasan, tapi bilamana Sebun-tangkeh memberikan penjelasan seperti apa yang kuuraikan tadi sementara ongkos pengobatan mereka boleh dipikul seluruhnya oleh Kin-heng. Kukira persoalan ini tidak usah ditarik panjang lagi."

Lalu dia berpaling dan bertanya kepada Kin Jin.

"Cayhe mendahului keputusan ini, apakah Kin heng mau menerimanya?"

Kikuk Kin Jin, katanya.

"Sudah tentu Cayhe menurut saja."

Tapi Sebun Tio-bu masih ragu2.

"Namun ....ai ....

"

Siang Cin berkata pula dengan sungguh2.

"Mungkin Sebun-tangkeh masih belum mempercayai diriku?"

Melenggong sebentar, akhirnya Sebun Tio-bu rnembanting kaki, katanya.

"Ya, sudahlah, siapa suruh aku bertemu dengan Siang-heng di sini?"

Maka Siang Cin mendesak lebih lanjut.

"Jadi Kin-heng dan Tangkeh sudi mengakhiri pertikaian ini?"

Apa boleh buat, Sebun Tio-bu berkata.

"Kalau tidak demikian, memangnya Siangheng merasa puas?"

Tersenyum lebar Siang Cin dan tanya Kin Jin.

"Bagaimana pendapat Kin-heng?"

"Sudah tentu, aku tiada pendapat lain,"

Sahut Kin Jin.

"Kalau begitu,"

Ucap Siang Cin, dia tarik sebelah tangan Sebun Tio-bu untuk menjabat tangan Kin Jin. katanya.

"Marilah berjabatan tangan sebagai tanda berakhirnya pertikaian ini, dan selanjutnya harap bersahabat se-baik2nya,"

Terpaksa keduanya berjabatan tangan dengan menyengir2, semula keduanya merasa kikuk, tapi tanpa terasa genggaman tangan mereka menjadi erat.

Suatu pertikaian berakhir berkat usaha Siang Cin yang mendamaikan, suasana yang semula tegang kini berubah gembira, dua jagoan yang bermusuhan dalam sekejap berubah menjadi sahabat karib.

Siang Cin tertawa riang, katanya.

"Bahwa kalian sudi memberi muka, Siang Cin teramat senang, bersama ini terimalah ucapan selamat dan terima kasihku."

Kin Jin dan Sebun Tio-bupun tertawa riang, kata Sebun Tio-bu.

"Siang-heng, hari ini kami telah kau permainkan, kau harus dihukum."

"Sudah tentu,"

Ucap Siang Cin.

"Cayhe sendiri juga merasa patut dihukum."

"Siang-heng,"

Kata Sebun Tio-bu.

"sepuluh li ke arah barat dari sini ada sebuah desa, di sana ada sebuah warung arak vang menjual daging2 binatang buruan, kau harus traktir kami berdua, di sana kau akan kami hukum makan-minum?" .

"Baik, silakan Tangkeh tunjukkan tempatnya,"

Sambut Siang Cin dengan senang hati.

Sebun Tio-bu lantas menghampiri kudanya, sementara Kin Jin bersuit nyaring, maka terdengariah ringkik kuda di dalam hutan, tampak seekor kuda berbulu kelabu membedal tiba.

Memangnya kuda jempolan, tiga orang berkuda dua, tanpa sesuatu rintangan kedua ekor kuda terus menerobos semak dan hutan yang lebat, dalam sekejap saja, tak jauh di depan sudah kelihatan melambai secarik kain hijau yang dikerek tinggi di atas galah, di tengah kain yang panjang satu meter itu tertulis sebuah huruf "Ciu" ( arak ).

Sebun Tio-bu terus larikan kudanya memasuki desa dan dibedal menuju ke warung arak itu.

Belum lagi kudanya berhenti Sebun Tio-bu sudah melompat turun, serunya.

"Hai, Ciangkui, sambutlah tamu!"

Seorang laki2 berusia empat puluhan berbadan gemuk berkulit putih dengan tertawa lebar bergegas lari keluar menyambut, sementara itu Kin Jin dan Siang Cinpun menyusul tiba.

Meja kursi dalam warung terbuat dari bambu kuning, sebuah lukisan bunga teratai menghias dinding, dipojok sana terdapat sebuah guci arak besar, hanya itulah yang ada di dalam ruangan sempit ini, namun suasana terasa nyaman.

Mereka memi!ih sebuah meja, Sebun Tio-bu pesan lima macam daging binatang buruan, lima kati arak dan beberapa macam nyamikan, si Ciangkui ( pengurus ) mengiakan terus lari masuk menyiapkan pesanan.

Setelah menyeka keringat di mukanya Sebun Tio-bu berkata dengan suara lantang.

"Jangan kau kira Tauke warung ini hanya mencari nafkah di dusun kecil ini, dahulu dia pernah lulus sebagai Siucay, bukan saja pandai tulis, juga mahir melukis."

Lalu dengan tertawa dia menoleh kepada Siang Cin.

"Siang-heng, sejak berpisah di Lokyang dulu, sudah lima tahun berselang, urusan apa yang menarik perhatianmu sampai kau berada di tempat ini?"

Siang Cin menjawab.

"Membantu teman dan menyelesaikan urusan"

Tertegun sejenak, lalu Sebun Tio-bu bertanya pula.

"Apakah ada hubungan dengan Hek-jiu-tong?"

Siang Cin bertanya heran.

"Darimana Tangkeh tahu?"

Dengan tertawa Sebun Tio-bu berkata.

"Berita yang tersiar di Kangouw sangat cepat, waktu yang lalu Bu-siang pay menyerbu sarang Hek jiu tong di Pi ciok-san, berita diluar mengatakan mereka berhasil mengalahkan Bu-siang-pay, tapi keadaan mereka sendiri juga mengenaskan, peristiwa ini merupakan topik pembicaraan setiap insan persilatan, kebetulan Siang heng muncul di sini, memangnya tiada sangkut pautnya dengan Hek-jiu-tong?"

Siang Cin mengangguk membenarkan. Kin Jin lantas menambahkan .

"Malah, kurasakan bahwa Siang heng bertentangan dengan pihak Hek-jiu-tong?"

Sesaat Siang Cin diam saja, katanya kemudian.

"Ya, betul."

Terbeliak Sebun Tio-bu, katanya pelahan.

"Jadi kedatangan Siang-heng ini adalah untuk kepentingan Bu siang pay?"

"Betul,"

Siang Cin terus terang.

"Tiga "bun"

Dari Bu-siang-pay hancur seluruhnya dalam pertempuran di Pi ciok-san, hanya lima dari tiga belas jago2nya yang lihay masih hidup, kecuali sudah terbukti meninggal, sisanya yang lain tidak diketahui nasibnya, tiga ratusan anak buahnyapun tiada satupun yang lolos, maka tugasku kali ini adalah mencari orang yang hilang itu."

"Sebulan yang lalu Hek-jiu-tong sudah mem-boyong sisa2 miliknya ke tempat lain, keadaan Pi-ciok san tinggal puing belaka, beberapa kuburan memang tersebar di beberapa tempat, tiada makhluk hidup lagi di Pi-ciok-san"

Demikian Kin Jin menerangkan. Mengawasi Kin Jin, Siang Cin berkata dengan cemas.

"Hal ini memang ingin kuminta penjelasan kepada Kin- heng apakah kautahu ke mana Hek-jiu tong pindah sarangnya? Daerah subur di kedua pinggiran sungai besar adalah tanah yang mereka buka sebagai sumber penghasilan terbesar, menurut hemat Cayhe, tak mungkin mereka rela meninggalkan tempat itu begitu saja, apalagi pindah ke tempat lain yang jauh?"

"Memang beralasan, baru kemarin di tengah jalan aku bertemu seorang kawan dan mendapat kabar dari dia, katanya Hek-jiu-tong pindah ke Toa ho tin, kira2 tiga ratus li dari sini, Pau hou-ceng di Toa ho tin adalah sarang lama Jik-san-tui yang dipimpin Kiau Hong."

Mendadak Siang Cin menggebrak meja dan berkata.

"Tidak salah lagi, waktu Busiang- pay menyerbu Pi ciok-san, kedapatan orang2 Jik-san-tui ikut membantu Hekjiu- tong."

Sebun Tio-bu berkata.

"Kiau Hiong memang kenalan lama pihak Hek-jiu tong, bahwa mereka berserikat tidak perlu dibuat heran, Hek jan-kong (aki berewok) yang berkuasa di Toa ho tin adalah bapak angkat Kiau Hong, umum juga tahu mereka bersekongkol melakukan berbagai kejahatan, begitu sisa2 Hek-jiu tong pindah kesana seketika Toa ho-tin menjadi ramai, untung kota itu tidak sampai terbalik."

Berpikir sejenak, Siang Cin bertanya.

"Hek-jan-kong? Siapa dia?"

"Masakah Siang-heng tidak tahu iblis kemaruk paras elok ini?"

Seru Sebun Tio-bu heran. Siang Cin menggeleng dan menjawab.

"Belum pernah kudengar namanya."

Ter-kekeh Sebun Tio bu menjelaskan dengan suara tertahan.

"Di depan Pau-houceng ada sebuah bangunan gedung yang megah, tapi gedung serba antik ini bukan milik pembesar, tapi milik Hek-Jan-kong itulah, tua bangka ini sudah berusia 70-an, bini dan gundiknya tidak terhitung banyaknya, hidupnya mewah dan ber-foya2, berbuat mesum di hadapan umum tanpa tedeng aling2. Tapi dasar tua bangka itu memang sudah tinggi ilmunya, kaki tangannyapun banyak dan tersebar di mana2, maka Toa ho-tin se-olah2 menjadi daerah kekuasaannya ...."

Kin Jin tertawa, katanya.

"Maka tempat kediaman Hek-jan-kong itu lantas dinamakan Ji-ih-hu."

"Em, mungkin tua bangka itu selalu terkabul segala keinginannya, setua ini masih doyan pelesir, pantas dia namakan gedungnya itu Ji ih-hu (gedung suka ria),"

Kata Siang Cin. Dengan tertawa Sebun Tio-bu berkata.

"Haha, orang kira Naga Kuning berwajah dingin, sifatnya nyentrik dan kaku, siapa tahu kalau bicara juga begini binal." -. Sampai di sini tiba2 sikapnya serius.

"Tapi, Hek jan kong memang seorang lawan teramat tangguh, tingkat kedudukannya amat tinggi di Bu-lim, sedikitnya setingkat lebih tinggi daripada kita, dia mahir menggunakan ilmu Tiang kwa-ciang- kian-kiu sek dan Jin-ho-khi, sampai kini ilmu pukulan dan Lwekangnya ini belum ada yang mampu menandinginya ...."

""Itu tak menjadi soal"

Ujar Siang Cin.

"paling mempertaruhkan jiwa dan gugur bersama, yang dikuatirkan pertaruhan sudah dikorbankan, tapi urusan masih belum bisa beres, orang tua selihay ini mendukung kejahatan, betapapun memang agak menyulitkan ..... ."

Sementara itu hidangan telah diberangsur keluar, ada daging kelinci panggang, daging menjangan rebus dan sebagainya. Di tengah makan minum itulah Siang Cin bertanya.

"Tangkeh, anak buahmu banyak dan tersebar luas, tahukah kau pihak Bu-siang-pay akhir2 ini ada gerakan apa?"

Sebun Tio-bu menjawab sambil geleng kepala.

"Maksud Siang heng bala bantuan Bu-siang-pay dari padang rumput? Agaknya belum terlihat ada tanda gerakan apa2, selama ini tidak kudengar ada orang membicarakannya, entah Kin-heng?"

Kin Jin juga menggeleng, ujarnya.

"Tidak, umpnama berita cepat disampaikan, perjalanan pulang pergi ke padang rumput sedikitnya makan waktu dua puluh hari, jadi kira2 setengah bulan lagi baru bisa terlihat gerakan mereka."

"Siang-heng,"

Ucap Sebun Tio-bu setelah menenggak secawan arak pula.

"apakah, orang2 Bu-siang-pay pasti akan datang menuntut balas?"

Ya, pasti,"

Sahut Sang Cin tegas.

"Jadi bakal ada pertempuran besar lagi,"

Ucap Sebun Tio-bu sambil menggosok telapak tangan.

"sifat orang2 Hek-jiu-tong memang kejam, kejahatan sudah menjadi kehidupan mereka se-hari2, bahwa mereka berhadapan dengan Bu-siang-pay pertanda mereka bernasib sial, tapi betapapun fatal akibatnya, jelas pihak Hek-jiutong takkan undur setapak pun, apalagi mereka dibantu Jik-san-tui, demikian pula Hek-jan-kong takkan berpeluk tangan, jadi Toa-ho-tin bakal menjadi arena pertempuran yang menggemparkan ......." - - -- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Apakah bala bantuan Bu-siang pay segera akan tiba? Apapula yang dilakukan kawanan Hek-jiu tong di tempat hijrahnya yang baru? Tokoh macam apakah Hek-jan-kong? 

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar