Bara Naga Jilid 10

Jilid 10

Sambil menghardik Siang Cin sekaligus lontarkan tiga belas kali pukulan.

Sambil tertawa Ji Bu menyingkir mundur, Siang Cin menarik napas panjang, baru saja ia hendak memburu, tiba2 sebuah suara lolong panjang yang mengerikan menarik perhatiannya.

Waktu dia berpaling, dilihatnya orang2 Bu-siang pay yang masih bertahan sudah kurang dari sepuluh orang, jeritan mengerikan itu keluar dari mulut orang Hek-jiutong, bola mata orang ini tercolok buta, bola matanya masih bergelantung di mukanya karena urat matanya belum putus, tapi golok setan miliknya juga menembus dada seorang Bu-siang-pay, dikala Siang Cin menoleh ke sana, kedua orang sedang roboh pelahan dan binasa.

Rangsakan Serigala tertawa Ji Bu segera bertambah gencar dan sengit, katanya tertawa.

"Menusuk perasaan bukan?"

Sebat sekali Siang Cin balas menyerang, katanya tawar.

"Kawan, marilah kita bertempur besa2an saja bagaimana? Suruhlah anak buahmu mengeroyok maju, supaya pertempuran lekas berakhir." Tantangan ini kelihatan menusuk hati Ji Bu, tampak sikapnya rada beruba, dia maklum kalau anak buahnya ikut maju mengeroyok, sedang kekuatan lawan begini tangguh, jelas anak buahnya akan banyak jatuh korban, lawan lebih sukar dikendalikan pula. Maka ia tak berani menjawab. Sementara itu Siang Cin telah lancarkan pukulan lagi, ejeknya. Jangan tegang, semakin banyak orang yang bertempur bukankah lebih ramai?"

Pedang pandak Ji Bu, berputar kencang, katanya.

"Orang she Siang, kupandang kau sebagai laki2 sejati maka kulayani kau dengan aturan persilatan, satu lawan satu menentukan mati-hidup, jika kau sudah jeri dan ingin merat, bukanlah nama besarmu yang sudah tersohor itu akan ludes dalam waktu singkat ini."

Seperti terbang Siang Cin berputar ke kanan kiri, jengeknya.

"Kawan, jangan kau memancing kemarahanku dengan cara yang bodoh ini, bukan maksudku menghindari bertempur satu lawan satu dengan kau, aku yakin kau maklum ke mana maksud tujuanku yang sebenarnya."

Ji Bu menjadi beringas, mendadak dia berteriak kalap.

"Murid2 Hian-hun, cacah keparat ini."

Bagai anak panah lepas dari busurnya, tubuh Siang Cin mendadak melenting tinggi ke atas, begitu cepat dan tangkas, sehingga tiada seorangpun yang sempat merintangi, dikala dua puluhan orang2 Hek-jiu-tong menubruk ke tengah arena, mereka saling membacok dan saling tindih sendiri, sementara Siang Cin sudah melayang pergi tiga tombak jauhnya.

Sambil menggembor si Serigala sekuat tenaga mengapungkan tubuh mengudak ke atas, sementara di belakangnya tiga puluhan kawanan Tangan Hitam dari Hiat-hun tong segera putar haluan memburu ke arah sana pula.

Di tengah udara Siang Cin jumpalitan dengan indah, dengan enteng ia meluncur turun ke depan pintu gerbang Bu-wi-san- ceng, keadaan Ceng-yap-cu Lo Ce dan si jagal jenggot merah sudah teramat gawat, dalam sekejap ini mereka tinggal enam orang saja yang masih bertahan mati2an.

Luka baru kembali menghias badan Cengyap- cu Lo Ce, tapi dia seperti tidak merasakan sakit, padahal ratusan orang Hek-jiutong mengepung mereka, sinar golok setan musuh berseliweran disekitar tubuh.

Dengan menggertak gigi dia putar golok sabitnya, keringat bercampur darah membasahi sekujur badan, pandangannya berubah beringas, rasa murka dan dendam kesumat membakar sanubarinya, dia tidak lagi menghiraukan keselamatan sendiri, yang terpikir hanyalah mengganyang musuh se-banyaknya.

Keadaan si jagal jenggot merah yang gundul lebih payah lagi, si hidung merah Kau Pui-pui justeru mengincar dia dengan berbagai serangan keji, hampir seratus orang mengepungnya, darah luka2 di tubuhnya telah bikin jubah putih yang dipakainya berubah warna merah seluruhnya.

Di samping itu masih ada kira2 tiga ratusan orang Hek jiu-tong memagari gelanggang di bawah pimpinan Kunsu King Ji-seng, mereka siap menyergap bila perlu.

Empat murid Bu siang-pay yang lain saling beradu punggung berdiri di samping Ceng-yap-cu, semangat juang mereka ternyata tidak menjadi padam meski badan terluka dan musuh mengepung sedemikian rapat, jenazah saudara2 mereka yang telah gugur bergelimpangan disekitar kaki mereka, semuanya mati dalam keadaan yang mengerikan, pahlawan2 padang rumput yang tadinya segagah harimau mengamuk itu kini sudah saling tindih menjadi mayat.

Bagai segumpal mega kuning bayangan Siang Cin meluncur dari udara, tiga ratusan orang Hek-jiu-tong yang memagari gelanggang sama berteriak sampai sang Kunsu King Ji-seng mau tidak mau juga melenggong, dari belakang suara si Serigala tertawa Ji Bu segera berkumandang.

"King losu, cegat dia!"

Mendadak King Ji-seng menghardik, ia melejit ke atas memapak kedatangan gumpalan mega kuning, dia timpukkan segenggam Oh-ling-soh, dikala pasir hitam berhamburan ke depan, Thi kut-san (payung kerangka besi) di tangannyapun ikut menjojoh.

Segesit burung menukik di angkasa tubuh Siang Cin tiba2 melingkar laksana seekor naga kuning, di dalam gerakan melingkar dan mengapung inilah secara aneh dia meluncur pergi.

Jenggot King Ji seng mendadak berjingkat.

tapi sebelum dia sempat beraksi, Siang Cin sudah bertindak lebih dulu, empat batang Toa liong kak dengan membawa sinar kuning ber putar2.

menyerang orange Hek-jiu-tong.

Serigala tertawa Ji Bun menubruk tiba pada saat itu, melihat samberan Toa liong kak yang berbahaya itu, lekas dia berteriak.

"Semua lekas tiarap ... ."

Sayang luncuran Toa liong-kak yang tajam itu ternyata lebih cepat, daripada suara peringatannya, dua puluhan batok kepala sekaligus copot dari batang leher, sementara keempat batang Toa -liong-kak itu masih terbang ber putar2 mencari sasaran yang lain, setelah melingkar satu kali.

"tring, tring", Toa-liong kak saling bentur menimbulkan daya pental yang keras sehingga luncurannya terlebih kencang, sekaligus tujuh belas orang Hek-jiu-tong tertabas putus pula kepalanya. Gerakan Siang Cin ternyata tidak kalah cepat dari luncuran Toa-liong kak, begitu menubruk tiba, tangannya terayun.

"plak, plok", beruntun batok kepala beberapa orang hancur, entah bagaimana kedua tangannya bergerak, tapi korban berjatuhan saling susul, tiga belas nyawa mampus dalam sekejap pula, golok setan di tangan merekapun mencelat beterbangan melukai teman membinasakan teman sendiri. Angin berpusar bagai badai mengamuk, Siang Cin putar tubuh dalam lingkaran lebar menerjang ke samping, di mana dia tiba, telapak tangannya tajam bagai golok, sementara kakinya menendang bagai samberan geledek, jerit dan teriakan orang2 Hek-jiu tong terjadi di sana-sini, darahpun muncrat berhamburan. King Ji-seng, sang Kunsu yang tua dan keji ini matanya melotot, dia mengudak di belakang Siang Cin, tapi betapapun keji dan deras serangannya, selalu terpaut serambut dan tak berhasil menyandak musuh. Sekuat tenaga Serigala tertawa Ji Bu berusaha mencegat dan merintangi Sang Cin, tapi gerak geriknya menjadi kurang leluasa karena teralang oleh anak buahnya sendiri, secara terang2an orang2 Hek jiu-tong itu tak berani ngacir ke belakang, tapi sedapat mungkin mereka menjauhi gelanggang, maklumlah mereka berjumlah terlalu banyak dan berjubel lagi, menghadapi pertarungan yang seram ini, hati siapa yang takkan panik? Maka suasana menjadi kacau balau, tampak bayangan orang saling berdesakan, tindih menindih dan saling cacimaki sendiri, kalau orang2 yang di depan berusaha mundur mencari salamat, maka yang berada di belakang justeru mendorong maju kawan2nya yang mendesak mundur itu, tidaklah heran kalau aksi Siang Cin berhasil membikin musuh kocar kacir dan tak terkendali pula. Jenggot King Ji-seng tampak tak taratur lagi, dia berteriak.

"Saudara2 Tangan Hitam, dengarlah, sekuat tenagamu kepung dan bunuh keparat ini, siapapun dilarang mundur, ke mana dia pergi sambut dengan golok kalian."

Siang Cin yang terjun ke tengah2 musuh seperti harimau mengamuk dalam gerombolan domba, setiap kali tangan bergerak, jiwa musuh pasti direnggutnya, tendangan kakinya saban juga mencabut nyawa orang.

Suatu ketika dia berkelit menghindari bacokan lima golok musuh, berbareng kedua tangannya bergerak.

"plak, plok", disertai suara menguak seperti sapi hendak disembelih dua jiwa musuh kembali melayang. Sebat sekali Siang Cin melompat maju ke sana, kaki kanannya menyapu, enam orang Hek-jiu-tong kembali disapunya tunggang langgang. Kini dia sudah dekat dengan kawanan Tangan Hitam yang mengepung Ceng-yap-cu Lo Ce. Di tengah orang banyak yang kacau balau sana, Serigala tertawa Ji Bu kembali mengumandangkan suaranya yang melengking gusar.

""Orang2 Hiat-huntong, putar ke samping, untuk apa kalian berdesakan di dalam? Memangnya kalian gentong nasi semua!"

Dalam pada itu Ceng-yap-cu telah meluputkan diri dari bacokan golok, berbareng galok sabit di tangannya tiba2 menyabet.

"cret,"

Dengan telak dia bacok putus lengan seorang musuh, sigap sekali ia menubruk maju sembari menusukkan golok sabitnya, dada seorang musuh kembali ditembus goloknya dan binasa.

Tapi satu diantara empat murid Bu-siang-pay yang berdiri beradu punggung pelahan2 juga tersungkur roboh, luka bekas bacokan penuh menghiasi badannya, darah segar masih mengucur.

Orang lain tidak ambil pusing, tiada orang yang menolongnya karena semua orang sedang sibuk mengadu jiwa dan mempertahankan hidup.

Cepat Siang Cin menerjang masuk ke tengah gerombolan musuh, kebetulan di sampingnya ada seorang musuh berperawakan kasar seperti kerbau, segera orang itu menyerang, lalu menyurut mundur sambil mencaci maki.

Siang Cin meraba enam batang Toa-liong-kak yang masih berada dalam sarungnya, jengeknya.

"Tapi kau harus mampus lebih dulu."

Tanpa ampun kepalan kanan Siang Cin menggenjot.

"bluk", tubuh segede kerbau itu mencelat terbang, batok kepalanya pecah, tubuhnya menindih kawan2nya. Tanpa berhenti sedikitpun kedua tangan Siang Cin bekerja pula, kontan empat orang Hekjiu- tong kembali dirobohkan, bilamana kaki kanannya menyerampang pula, perut lima orang ditendangnya pecah dan isi perutnya terburai, dalani sekejap dia sudah membobol kepungan musuh. Lekas Ceng-yap cu Lo Cc menerjang keluar.

"sret", mendadak punggungnya terbacok hingga sobek, tapi seperti tidak merasa sakit sedikitpun, kakinya balas mendepak kebelakang, seorang musuh ditendangnya jungkir balik, goloknya mencelat melukai teman sendrri. Tiga murid Bu-siang-pay yang masih bertahan melihat kepungan yang bobol ini. Serempak mereka menghardik terus menerjang ke sana, tapi baru bergerak dua langkak, satu diantaranya segera terbacok roboh oleh para pengepungnya. Siang Cin kembali merobohkan dua musuh cepat dia menyongsong Ceng-yap-cu yang memburu ke sampingnya, teriaknya.

"Lo heng, mendekatlah ke sampingku . ..."

Agaknya Ceng-yap-cu Lo Cc sudah kalap, hakikatnya dia tidak mendengar seruan Siang Cin, mendadak ia menyerang Siang Cin malah.

Dengan tangkas Siang Cin tangkap pergelangan Lo Ce yang memegang golok, Lo Ce melonjak kaget, serta merta sebelah kakinya teraangkat dan menyodok dengan dengkulnya.

Sembari menghardik Siang Cin geser langkah sambil tarik tangan Lo Ce terus diputarnya.

"Cret, cret", ujung golok sabit berhasil merobek perut dua musuh yang menubruk maju. Baru sekarang Lo Ce sadar dan melihat jelas siapa orang didekatnya. Tenggorokannya berbunyi "krok, krok", dengan suara serak dia menjerit.

"Siang .... Siang-tayhiap ..... Siang Cin lepaskan tangannya, sekali membalik telapak tangan.

"plok", batok kepala seorang musuh yang menyergap di hantamnya remuk, katanya dongan kereng.

"Ikuti aku, terjang mereka, babat habis mereka."

Golok sabit Lo Ce kembali bekerja seperti kesetanan, haru, sedih dan dendam membakar hati Lo Ce, katanya dengan tersendat "Habis semuanya ....Siangtayhiap . .. .semuanya habis . ..."

Siang Cin menerjang kian kemari, sekali putar sekaligus dia pukul roboh tujuh musuh.

Tiba2 dua murid Bu-siang-pay yang terkepung tadi ikut menerjang maju ke arahnya, sambil menghadang hardik satu diantaranya mengayun golok memenggal kepala seorang musuh, tapi dalam waktu yang hampir sama, golok setan seorang musuh dengan telak berhasil menusuk pundak kanannya dari arah bawah.

Wajah murid Bu-siang-pay yang berlepotan darah ini tampak berkerut menahan sakit, sembari menggembor dia putar goloknya dan membacok.

"cras"

Pembokong itu ditabasnya mampus.

Siang Cin melompat maju dan binasakan beberapa musuh yang masih mengeroyok seorang murid Bu-siang-pay.

Golok murid Bu-siang-pay inipun merobohkan lima lawan, akhirnya dia tarik ujung goloknya yang terbenam di dada seorang musuh, matanya tampak melotot beringas, dengan langkah sempoyongan dan memburu ke samping Siang Cin, teriaknya serak.

"Terima kasih, kawan ....". Siang Cin tarik dan terus melompat jauh ke sana, laki2 yang sudah lemas kehabisan, tenaga dengan luka2 di sekujur badannya terseret setombak lebih sambil masih berkaok2.

"Lepaskan aku, kawan ..... aku hendak bunuh . ..... ."

Golok sabit Ceng yap-cu Lo Ce baru saja membabat lewat di leher seorang musuh, semburan darah membikin muka dan sekujur badannya basah kuyup, Siang Cin menyeret murid Bu-siang itu ke sampingnya, terus membentak.

"Lo-heng, hayolah kita terjang kepungan."

Sekujur badan Lo Ce bergetar, ia menyeringai dan berkata.

"Tidak, Siangtayhiap ..... tidak, bukan mustahil masih ada kawan2 kita yang masih hidup dalam perkampungan, tak boleh kita tinggal pergi tanpa menghiraukan mereka.......

"

Siang Cin merobohkan pula beberapa orang musuh yang menggempur datang, serunya gusar.

"Kini jiwamu sendiri belum tentu bisa selamat, mana ada waktu untuk pikirkan keselamatan orang lain?"

Berlinang air mata Lo Ce, katanya tegas.

"Siang tayhiap, kumohon padamu, biarlah kami mati seluruhnya di sini mengadu jiwa dengan musuh ... ."

Saking dongkol Siang Cin membanting kaki, belum lagi dia bicara lebih lanjut, bayangan orang tampak berkelebat, suara si Serigala tertawa Ji Bu mengejek.

"Orang she Siang, main kucing2an dan takut mati, apakah tidak keliru perhitunganmu."

Sikap Siang Cin tetap dingin, tapi otaknya bekerja cepat.

Di tengah kumandang suaranya, Serigala tertawa Ji Bu tampak menubruk tiba seperti bayangan setan.

Sembari teriak kalap Lo Cc angkat golok terus membacok ke arah musuh, Serigala tertawa Ji Bu mengekeh tawa, pedang pandaknya yang lebar itu tampak berkelebat menciptakan bayangan sinar yang ber-lapis2.

sekaligus dia lancarkan belasan serangan pada Lo Ce..Gerakan kedua pihak sama2 tangkas, sayang Lo Ce sudah kehabisan tenaga, gerakannya kalah cepat, untunglah Siang Cin yang berhasil merobohkan enam musuh sempat menolongnya, telapak tangannya segera menabas pelipis Ji Bu.

Sudah tentu Ji Bu harus menyelamatkan jiwa sendiri lebih dulu, sebelum sempat menusuk musuh cepat dia berputar pergi.

Mengusap mukanya yang basah oleh keringat dan darah, wajah Lo Ce yang cakap kelihatan letih dia menarik napas panjang, katanya lemas.

"Terima kasih ......Siang tayhiap ......"

Siang Cin hindarkan samberan dua golok, ia berseru gelisah.

"Lo-heng, siapkan dirimu untuk menerjang keluar."

Lo Ce mengeluh dengan rasa pedih, katanya serak.

"Tapi ......tapi........"

"Prak", telapak tangan kanan Siang Cin berkelebat, tiga batok kepala musuh dikepruknya pecah, sambil mengertak gigi Siang Cin berseru.

"Jangan banyak omong, Lo-heng, seorang laki2 harus pandai membawa diri."

Secepat angin Siang Cin berputar ke sana, murid Bu siang pay yang tak jauh di sampingnya terbacok luka pula pahanya, sebelum tubuh orang ambruk Siang Cin sudah menariknya mundur.

Tanpa bersuara si Serigala tertawa Ji Bu menyelinap maju pula, diam2 Siang Cin juga telah memperhitungkan waktunya, tiba2 Gwat bong-ing dia lancarkan, berbareng kakinya bergerak deras, Tau-ce-tui.

Serigala tertawa memang licik dan licin, dibawah hujan bayangan pukulan dan tendangan, segesit belut tiba2 dia menyurut mundur, ia tahu serangan musuh tak mungkin dapat dihadapinya, maka dia menghilang di balik tubuh anak buahnya.

Mendadak Siang Cin memburu maju, sambil menepuk pundak Ceng-yap-cu dia berkata lirih.

"Ikuti aku!"

Lalu iapun mengundang murid Bu-siang pay yang tinggal satu itu.

Tapi waktu dia berpaling, kebetulan dilihatnya murid Bu-siang-pay itu tengah menatapnya sambil menyeringai lucu, pahlawan padang rumput yang gagah perwira ini, golok sabitnya itu membacok masuk dari pundak kanan sampai perut seorang Hek-jiu-tong tapi golok Kui thau-to murid Tangan Hitam itu juga menembus dadanya.

Di tengah teriakan gegap gempita murid2 Tangan Hitam kembali merubung maju bagai air bah.

Siang Cin meraih tangain kiri Lo Ce yang berlepotan darah, sekali lompat dia melayang tinggi ke atas.

Di tengah bayangan orang banyak yang saling tubruk dengan kacau balau itu, didengarnya suara teriakan Serigala tertawa Ji Bu memberi aba2.

"Bidik dengan panah, incarlah yang tepat, mereka hendak lari."

Di tengah udara Siang Cin dan Lo Ce saran berjumpalitan dua kali, mata Siang Cin yang tajam dapat melihat si Sayap terbang Kim Bok di sebelah sana sedang dalam keadaan yang teramat gawat.

Jelas Cuncu Wi-ji-bun Bu siang-pay ini sudah kehabisan tenaga, keringat membasahi tubuh sampai pakaiannya lengket ditubuh, uap tampak mengepul dari kepalanya yang kelimis, musuhnya yang utama adalah laki2 pendek dengan lengan panjang dan secomot rambut kuning menghias batok kepalanya, lawan tengah melontarkan pukulan yang dahsyat, sementara kawanan Tangan Hitam di sekitarnya secara licik maju mundur menyergap, roboh satu maju dua.

Kawanan Tangan Hitam di sana sudah beramai mengudak kemari, malah anak panahpun berseliweran, tapi bidikan panah ini sudah terlambat, dikala hujan panah berlangsung, sementara itu Siang Cin dan Lo Ce sudah terjun ke dalam arena yang mengepung Kim Bok.

Tombak Lo Ce sudah sejak tadi hilang, sehingga dia tidak kuasa menyerang musuh dari jarak jauh, tapi goloknya masih bekerja lincah dan ganas, sekaligus dia merobohkan tiga musuh, ia berteriak lantang.

"Cuncu, kami datang ........."

Sekuat tenaga Kim Bok menahan musuh di sekelilingnya, bukannya dia tidak mampu melarikan diri, namun demi dendam dan karena penasaran dia tidak rela tinggal pergi begini saja, teriakan Lo Ce seketika membakar semangatnya, iapun berteriak.

"Lo Ce, tidak lekas kau terjang keluar kepungan, tunggu apa lagi?"

Seiring dengan teriakannya, puluhan kawanan Tangan Hitam tak jauh di sekitarnya sama jungkir balik dan menjerit, sesosok bayangan tinggi menyelinap maju, katanya dingin.

"Kim-cuncu, sebelum kau sendiri pergi, siapa berani pergi mendahuluimu?"

Golok sabit Kim Bok sekaligus menyerang belasan jurus, waktu ia mengerling, segera ia berteriak girang.

"Siang-lote, kaupun datang ...."

Yang menerjang datang ini ialah Siang Cin, sekali pukul dia binasakan seorang musuh, sahutnya dingin.

"Sudah tentu."

Kim Bok tidak berhenti, ia bergerak ke kanan kiri, golok sabitnya menciptakan goresan sinar kemilau, teriaknya lantang.

"Siang-lote, apakah masih ada harapan?"

Sebelum Siang Cin menjawab, laki2 pendek )awan Kim Bok itu ter-kekeh2, sapanya dengan tertawa aneh.

"Naga Kuning?"

Sekaligus Siang Cin lancarkan pukulan dan tendangan berantai, dalam satu kali tarikan napas sebelas jiwa musuh telah diganyangnya, setelah itu dia menengadah dan menjawab dengan sinis.

"Kenapa?"

Sembari pergencar serangannya, laki2 pendek lengan panjang itu bergelak tertawa, serunya.

"Sungguh kasihan, kau yang terkenal cerdik ini, ternyata juga bodoh dan ceroboh ...."

Tersembul senyuman dingin di wajah Siang Cin, katanya.

"Aku tahu kau adalah gembong kedua dari Hek jiu tong Thong thian-wan (lutung meraih langit) Ban Lok, meski namamu amat tersohor di Kangouw, tapi otakmu puntul dan tampangmu jelek."

Golok Kim Bok membacok ke depan terus membabat ke samping, dia ter gelak2, serunya.

"Tepat sekali pujianmu, Siang lote."

Laki2 pendek bertubuh aneh ini memang betul gembong kedua dari Hek jiu tong, setiap insan persilatan bila menyebut nama Thong-thian-wan Ban Lok pasti mengerut kening.

Secomot rambut kuning di kepalanya se-olah2 berdiri, gada gigi serigala di tangannya segera berputar, di tengah deru samberan angin yang kencang, dia mengamuk dan mencaci maki "Naga Kuning, kau harus mampus karena olok2mu ini."

Siang Cin tertawa tenang, dia balas menyerang, sahutnya dingin.

"Orang she Ban, kau belum setimpal untukku." - Pada akhir katanya di lihatnya bayangan beberapa orang telah mengudak tiba. satu di antaranya yang bergerak paling gesit diketahui adalah Serigala tertawa Ji Bu.. Siang Cin menyurut mundur, dengan suara lirih dia berbisik.

"Kim-cuncu, biar Cayhe bertahan dibelakang, bawalah orang2mu yang masih hidup untuk meloloskan diri."

Golok sabit Kim Bok menyamber bagai halilintar, sesaat ia tampak bimbang, katanya kemudian.

"Tapi ... , Siang lote, kemungkinan masih ada orang2 kita di dalam sana... ."

Keringat sudah membasahi jidat Siang Cin, sambil mengertak gigi dia pukul musuh yang berusaha menerjang maju, katanya tegas.

"Kim-cuncu, anggap saja mereka sudah ajal."

Melenggong sekejap, Kim Bok berseru bingung."

"Tapi ....Siang-lote ...."

Dengan jurus Kui so-hun mendesak mundur Serigala tertawa Ji Bu yang menubruk tiba, lalu Siang Cin berkata pula.

"Kim-cuncu, apakah kau masih ingin meresapi suatu pengajaran?"

Setelah ragu sejenak mendadak Kim Bok menggembor.

"Baiklah!"

Siang Cin melangkah maju, katanya.

"Jangan melupakan orang gagah yang berjenggot merah itu, mundurlah cepat!"

Ber-kaca2 kedua mata Kim Bok, aiisnya bertaut kencang, sembari menarik Ceng yap cu Lo Ce, golok sabit berputar sekencang kitiran, serunya.

"Lo Ce, hayolah."

Di tengah suaara gerungannya, Ceng-yap-cu mendadak menjatuhkan diri terus menggelundung ke sana, golok sabitnya membabat miring, dalam sekejap saja puluhan pasang kaki manusia sama ditabasnya kutung, jerit kesakitan mengerikan mendirikan bulu roma, dikala Lo Ce melompat berdiri pula, lekas Kim Bok memapahnya terus dibawa melompat ke udara, ketika tubuh terapung itulah, tombak pendek yang terselip di depan dada Kim Bok mendadak menyamber dalam waktu yang sama, sekotak penuh berisi Bun tui-ti to (labah2) ditaburkan dengan gerakan "bidadari menyebar bunga".

Maka jerit kaget kesakitan berpadu pula, bagai disapu badai orang2 Hek jiu-tong yang berjubel itu sama roboh bergelimpangan, ada pula yang berjingkrak sambil mengebut dan memukul, sementara puluhan orang lari sambil menjerit ngeri, suasana menjadi kacau-balau.

Thong-thian-wan..

Ban Lok mendadak memburu maju, serunya.

""Siang Cin, kau licik!"

Tidak jadi mundur Siang Cin malah memapak maju, sekaligus dia lontarkan beberapa jurus pukulan lihay, ,bayangan telapak tangan beterbangan laksana air bah yang lolos dari tanggul yang dadal.

Begitu dahsyat daya pukulan Siang Cin, keji dan mematikan lagi, betapapun Thongthian wan Ban Lok takkan mampu menghadapinya, terpaksa ia meraung penasaran sambil melompat menyingkir sejauh mungkin.

Serigala tertawa Ji Bu yang tetap tertawa tampak berlari hendak membantu si hidung merah Kau Pui-pui di sana, tapi Siang Cin lebih cepat lagi, sebelum orangnya tiba, tenaga pukulannya yang dahsyat sudah membacok musuh.

Serigala tertawa Ji Bu putar pedang pandaknya, cahaya pedangnya yang kemilau berwujud lapisan dinding cahaya yang kukuh untuk membendung damparan angin pukulan lawan, maka terjadilah benturan angin pukulan dan pertahanan cahaya pedang, begitu dahsyat benturan ini, Ji Bu sampai tertolak mundur dua langkah, wajahnya yang pucat tampak merah padam.

Gerakan kedua pihak berlangsung cepat, dikala dua batang Toa liong-kak berputar dengan desing suaranya yang memekak telinga menyamber tiba, si sayap terbang Kim Bok dan Ceng-yap-cu Lo Ce kebetulan terjun ke tengah rombongan orang2 Hek-jiu-tong.

Bagai iblis yang haus darah, kedua batang Toa-liong kak menyamber kian kemari dengan cahaya kemilauan, suaranya yang membising mengaburkan perhatian orang banyak pula, sehingga orang salah duga bahwa kedua senjata melengkung aneh ini seperti benda hidup.

Jerit orang banyak terus bersahutan, korban berjatuhan, puluhan batok kepala manusia sama terpental, kalau Toa liong-kak kemilau cahayanya, adalah golok sabit Kim Bok juga menaburkan cahaya benderang, dalam dua kali gebrak delapan nyawa direnggut oleh golok sabitnya.

Kaki lengan dan kepala sama protol, isi perut sama terburai, dada dan perut robek oleh tabasan golok.

Kepala gundul yang berjenggot merah itu sudah payah kehabisan tenaga, serta melihat kedatangan sang pimpinan yang menerjang datang seperti banteng ketaton, seketika bangkit pula semangat tempurnya, entah dari mana datangnya kekuatan baru, dengan nekat dia cecar si hidung merah Kau Pui-pui, lalu dengan suara menggelegar dia berseru.

"Cuncu, aku si jagal hari ini akan mengadu jiwa, dua puluh tahun lagi akan menitis pula sebagai laki2 gagah perkasa ......."

Si Hidung merah Kau Pui-pui melayaninya dengan gerakan cepat dan tangkas pula, permainan telapak tangannya masih tetap mantap, sorot matanya membara, katanya.

"Betul ucapanmu, dua puluh tahun lagi, kau mungkin laki2 sejati ... ...

"

Jenggot merah si jagal se-akan2 kaku tegak, golok di tangan laki2 gemuk ini mendadak berputar kencang, keringat sudah membasahi sekujur badan, dengan suara kasar dan sengit dia berkata.

"Tapi kau keparat tua boneka ini harus mengiringi aku bertamasya ke neraka .......

"

Hidung Kau Pui pui yang tinggal secuil daging yang benjol merah itu tampak bergerak2, dengan sengit dia lontarkan sembilan jurus pukulan, serunya murka.

"Kematian sudah di depan mata masih berani jual lagak!"

Sambil menabas dan membacok, golok si gemuk terus bekerja tak kurang kencangnya, dia tergelak2, serunya pongah.

"Jika kau sendiri tahu malu, kau mahluk aneh yang tidak punya hidung ini tentu merasa malu mengeroyok diriku dengan bantuan begundalmu sebanyak ini."

Wajah Kau Pui pui yang jelek dan beringas itu tampak semakin buruk, sekaligus dia lontarkan beberapa jurus pukulan dan tendangan, dikala tangan dan kaki bekerja, timbul pusaran angin yang kencang.

Tanpa jeri si gemuk, tetap putar golok sabitnya balas menyerang, di tengah gempuran yang beradu cepat itu, terdengar suara "bret"

Yang menusuk telinga, jubah si gemuk yang putih itu tampak sobek sebagian.

Di tengah suara sobekan ini, dari samping selarik sinar golok melengkung membacok ke punggung si hidung merah Kau Pui-pui.

Berteriak kaget lekas Kau Pui-pui menggeser ke samping, waktu ia berpaling, serta-merta ia berteriak melengking.

-"Kim Bok!"

Kim Bok mencecar lawan pula, katanya penuh hebencian.

"Kau Pui pui, sejak tadi kau memang pandai menghindari bentrokan langsung dan main sergap mencari lawan yang lemah, kini kau tidak akan bernasib mujur lagi."

Sambil berkelit dengan gesit dan tangkas, Kau Pui-pui berhasil lolos dari serangan golok Kim Bok, tapi dikala badannya menyelinap menghindar kian kemari itu, ia sempat melihat sembilan puluhan anak buahnya lebih dari separo sudah roboh binasa oleh amukan golok musuh.

Keruan tidak kepalang kagetnya, belum lagi otaknya sempat bekerja, Kim Bok yang menjadi lawannya ini telah mendesaknya lebih ketat, kembali dia melompat mundur, tapi Kim Bok ternyata tidak mengejarnya, dikala dia berdiri tegak pula, tahu2 bayangan seorang sudah melayang ke samping kirinya dengan bayangan seorang lagi.

Sedikit melenggong lekas Kau Pui-pui memandang ke sana, ternyata laki2 gemuk kepala botak yang berjenggot merah yang menyatakan ingin jadi laki2 gagah pula pada penitisan dua.puluh tahun yang akan datang telah menerjang ke arah kiri, seketika Kau Pui-pui sadar, lekas dia berteriak.

"Mereka hendak lari, cegat mereka ...."

Kejadian berlangsung cepat sekali, belum lagi orang2 Hek-jiu-tong menyadari maksud teriakan sang pemimpin, sekali gebrak, di bawah samberan golok kedua orang Bu siang-pay ini, sepuluh orang sudah roboh menjadi korban.

Kim Bok tergelak2, dengan memimpin Ceng yap cu Lo Ce dan si jagal jenggot merah mereka terus menerjang membobol kepungan.

Baru saja ketiga orang lolos dari kepungan, belum ada tiga tombak jauhnya, di depan sudah mengadang seorang laki2 tua berjenggot panjang dan memimpin tiga puluhan orang Hek-jiu-tong yang mengenakan mainan kalung telapak tangan di depan dada, mereka adalah jago2 Hiat-hun tong yang siap menyambut mereka.

Kim Bok mendelik, teriaknya gusar.

"Kita ganyang mereka?"

Laki2 tua berjenggot putih itu bukan lain adalah si cerdik pandai dari Hek-jiu-tong, jago yang tadi dipaksa jungkir-balik oleh Siang Cin yaitu King Ji-seng.

Belum lenyap gerungan Kim Bok, badannya yang besar itu mendadak meloncat tinggi ke udara, mirip seekor burung raksasa dengan badan menukik dia langsung menubruk ke arah King Ji seng.

King Ji-seng tertawa melengking bagai suara kokok-beluk, payung ragang besi di tangannya melingkar satu bundaran, ujung payung yang runcing tiba2 menjojoh ke depan laksana pagutan ular berbisa.

Sambil mengertak gigi golok pendek di kedua tangan Kim Bok sekaligus membacok gagang payung lawan, selicin belut mendadak King Ji seng melompat mundur sambil menarik payung, hardiknya.

"Kepung mereka."

Tiga puluhan murid Hiat-hun-tong yang sejak tadi berdiri berjajar itu serentak menggembor, bagai serigala haus darah, dengan tangkas dan terlatih mereka merubung maju.

Dalam hati Kim Bok diam2 mengeluh, dia pikir malam ini mungkin teramat sukar untuk menjebol kepungan musuh dan lolos turun gunung.

Tapi baru saja tiga puluhan murid2 Hiat hun-tong yang berani mati itu menerjang maju beberapa langkah, dari udara meluncur turun sesosok bayangan orang, belum lagi orang banyak sempat melihat gerakannya, enam orang Hiat-hun-tong yang terdepan sudah menggelepar roboh, semuanya pecah kepalanya."

"Siang-tayhiap,"

Sambut Ceng-yap- ce Lo Ce dengan girang sambil mengayun goloknya.

Yang baru datang memang si Naga Kuning Siang Cin, wajahnya yang cakap bersih tampak berlepotan darah dan keringat, begitu kaki menginjak bumi Siang Cin segera susuli lagi dengan pukulan telapak tangan, tiga jiwa musuh direnggutnya pula, teriaknya dengan serak.

"Lekas pergi, biar aku tahan mereka."

Mendengar seruan ini Kim Bok menjadi haru dan berduka pula, teriaknya.

"Sianglote!"

Mendadak Siang Cin berjongkok menghindari sabetan lima batang golok setan lawan, waktu dia menegak pula, telapak tangannya telah memapas patah lengan dua orang, ditengah hamburan darah segar itulah, kembali dia meraung gusar.

"Lekas pergi!"

Mau tak mau terpaksa Kim Bok, tarik Ceng yap-ce Lo Ce dan si jagal jenggot merah, bertiga mereka sama2 melompat ke depan sejauh mungkin, selagi mengapung di udara, mendadak kedua kaki Kim Bok memancal, kedua sayap buatan di bawah ketiaknya segera berkembang, seperti burung raksasa yang pentang sayapnya, mereka melayang turun ke bawah gunung.

Orang2 Hek-jiu-tong hanya ber-teriak2 dengan melongo saja, hampir mereka tidak percaya akan pandangan mata sendiri, manusia apalagi dengan muatan dua orang, bagaimana mungkin bisa mela yang terbang seperti burung di angkasa? Sungguh kejadian yang luar biasa.

Siang Cin sendiri menjadi lega seperti bebas dari suatu tugas berat, sementara di sana King Ji-seng sedang mencak2 seperti kebakaran jenggot, teriaknya kalap.

"Losu, Loji, Longo, lekas kejar, lekas ....."

Serigala tertawa Ji Bu dan Kau Pui-pui segera memburu ke bawah gunung, beberapa tombak di sebelah sana Thong-thian-wan Ban Lok juga pimpin ratusan anak buahnya ikut menguber ke bawah gunung, Siang Cin ter-gelak2 sambil menengadah, serunya.

""King Ji seng, tunggulah pembalasanku."

Beringas pandangan King Ji-seng, ia mengayun payung besinya dan berteriak kepada murid2 Hiat-hun tong yang berdiri disekitarnya.

"Kalian tunggu apa lagi? Mau pura2 mampus? Puluhan jago Hiat-hun-tong tersentak kaget serentak mereka bergerak, seperti gerombolan serigala yang kelaparan tanpa pikir keselamatan sendiri mereka menyerbu ke arah Siang Cin. Waktu itu Thong-thian-wan Ban Lok dengan ratusan anak buahnya sudah lari beberapa tombak ke bawah gunung, beberapa langkah lagi akan tiba di balik gundukan tanah dan lenyap di balik sana. Dengan menyeringai Siang Cin kerahkan seluruh kekuatannya, kedua tangan terayun bersama, dua batang Toa-liong-kak menyamber keluar, suara mendenging seperti jerit tangis setan penagih sukma, begitu cepat membabat ke arah Thong-thian-wan Ban Lok di kejauhan itu. Baru saja Toa liong kak menyambar keluar, Siang Cin lantas melompat ke balik gundukan dan mendekam ke bawah, mendadak ia berputar, telapak tangannya yang tajam membabat satu lingkaran. Tiga belas jago Hiat-hun-tong yang menubruk maju tiba2 sama merasakan perut kesakitan, sebelum mereka menyadari apa yang terjadi, serta merta mereka sama menunduk memandang perut masing2 entah sejak kapan isi perutnya ternyata sudah kedodoran menjebol perut. Gaya serangan Siang Cin yang menakjupkan ini merupakan salah satu jurus dari San-jiu yang lihay, sehingga tiga belas musuh yang terbelah perutnya tidak merasakan sakit padahal isi perut sudah berlimpah keluar. Maka berpadulah jerit tangis sekarat ketiga belas orang yang berkelejatan itu, semuanya membuang senjata dan mendekap perut sambil ter-guling2, wajah mereka yang tadinya buas kasar itu kini tampak pucat berkeringat. Tanpa hiraukan nasib anak buahnya, serigala tertawa Ji Bu, hidung merah Kau Puipui Ban Lok, King Ji-seng menubruk dari tiga arah yang berlainan, Siang Cin sudah memperhitungkan waktu dan mengincar sasaran dengan baik, mendadak ia jumpalitan, dua Toa-liong-kak yang tersisapun dia sambitkan dengan desing suaranya yang memekak telinga, tiga musuh yang merangsak maju sementara teralang oleh "tanduk naga"

Ini. begitu sinar kuning muncul, Serigala tertawa Ji Bu segera berteriak kalap.

"Lo-ngo, adu jiwa!"

Si hidung merah Kau Pui-pui menyahut.

"Baiklah!"

"Siuutt", sebuah Toa liong-kak dengan membawa cucuran darah menyamber tiba, Kau Pui-pui tidak menyingkir, mendadak dia menjatuhkan diri terus berputar.

"Cret", tanduk naga dengan telak menancap di pundaknya, tapi dengan berputar tadi iapun sudah mengelinding ke samping Siang Cin. Hal ini memang di luar dugaan Siang Cin, baru saja tanduk naga disambitkan, tahu2 orang yang meski terluka sudah mendesak tiba, sungguh dia tidak menduga musuh berani nekat mengadu jiwa. Sekilas dia melenggong, sementara telapak tangan Kau Pui-pui sudah terayun membelah dadanya, sedang tanduk naga yang lain melayang diatas kepala si Serigala tertawa Ji Bu, dasar licik, dengan menyelamatkan jiwa sendiri, sigap sekali Ji Bu tarik seorang anak buahnya terus dilempar ke arah tanduk naga yang menyamber tiba, terdengar jeritan ngeri, tanduk naga yang tajam itu sudah ambles ke dalam perut murid Hek jiu-tong itu. Tak sempat berpikir, lagi Siang Cin melenting ke atas, pada saat yang sama, tanpa hiraukan keselamatan sendiri King Ji-seng juga menyelinap maju seraya menjojoh iga kiri Siang Cin dengan ujung payungnya yang runcing itu.

"Pletak", suara tulang remuk disusul "bluk"

Yang keras pula, si hidung merah Kau Pui-pui terpental ber-guling2, sementar Siang Cin terhuyung mundur tiga langkah, wajah King Ji-seng tampak beringas seram, ujung payungnya yang runcing itu baru dicabut keluar dari paha Siang Cin.

Bayangan orang segera berkelebat, sebat sekali si Serigala tertawa Ji Bu menubruk maju sambil berteriak, lantang.

"Bunuh dia!" - Baru saja dua patah kata ini terlontar dari mulutnya, Ji Bu mendoyong ke depan.

"Ngum", pedang pandaknya bergetar, dengan keji ia menusuk. Inilah serangan maut ilmu pedang si Serigala tertawa Ji Bu yang tiada taranya. Tak mau ketinggalan gagang payung besi King Ji-seng srgesit ular juga mematuk tiba, cuma untuk kali ini ujung payung yang runcing itu tidak langsung menusuk ke arah Siang Cin, tapi menjojol, di sebelah belakang Siang Cin. Dalam waktu sekejap ini dua gembong utama Hek-jiu-tong sekaligus melancarkan serangan bersama, kali ini mereka tidak main sergap atau bertempur dari jarak jauh, tapi bergebrak dalam jarak dekat, malah serangan yang dilancarkan juga lebih ganas. Siang Cin insyaf detik2 yang menentukan dari pertempuran terakhir ini sudah di depan mata, dia tahu akibat kalah dan menang pertempuran sengit ini tentu teramat besar bagi kedua pihak, hanya antara mati dan hidup. Serangan gencar kedua pihak begitu dahsyat, Siang Cin tiba2 memicingkan mata, perawakannya yang jangkung itu tiba2 setengah berjongkok. Bong li-mo ( iblis dalam impian ) dan Hian jian-sin ( darah menciprat hati ), dua jurus dari sembilan jurus serangan maut sekaligus dilancarkan, dikala bayangan telapak tangannya beterhangan dengan deru angin yang kencang, dua jurus lihay yang lain dari Gwatbong- ing dan Ban-thian hong menyusul pula. Hampir tidak terasakan gerakan Siang Cin yang begitu cepat dan tangkas, baru empat jurus serangan ini ber-gulung2 di udara, empat jurus susulan yang lebih dahsyat lagi telah diberondong keluar pula, keempat jurus susulan ini adalah Kui-sow bun ( setan menagih nyawa ), Hay-swan-boh ( pusaran air laut ), Ing- poh long (elang menerjang ombak )dan Liong kik-hun ( naga naik ke mega ), angin menderu menjadikan pusaran yang kencang, debu pasir beterbangan, gaya Siang Cin yang setengah berjongkok tiba2 tegak kembali, maka jurus terakhir dari sembilan tipu pukulan yang paling ganas, yaitu Kan- thian bun ( menggetar pintu langit ) didorong ke luar pula. Betapa hebat kekuatan pukulan berantai ini, boleh dikatakan hampir tak mungkin dilakukan oleh manusia biasa. Serangan berantai dilancarkan dalam sekejap dari jurus pertama sampai jurus kesembilan, damparan angin semakin bertambah hebat. Bersamaan dengan serangan sembilan jurus berantai Siang Cin ini. Jenggot King Jiseng tampak bergerak, kedua matanya melotot besar, gagang payung besi yang mengatup itu tiba2 terbuka, di tengah suara "cret"

Yang keras, enam belas batang ruji payung besi itu melesat bersama kedepan, berbareng si Serigala tertawa Ji Bu juga memutar senjatanya seperti kitiran, keduanya menyusup ke tengah arus tenaga pukulan Siang Cin yang dahsyat itu.

Jubah kuning dan lengan baju warna hitam beterbangan, tiga pasang tangan dan kaki tengah melakukan gerakan cepat yang tidak mungkin dilakukan oleh tiga ratus orang, gebrakan berlangsung dalam sekejap dan sebat, sekali lantas terpencar pula ke arah masing2.

Begitu melompat ke belakang Serigala tertawa Ji Bu sudah tidak mampu berdiri lagi dia jatuh tertunduk, pakaian hitam di sekujur badannya sudah hancur ber-keping2, rambutnya yang gondrong semrawut, darah tampak membasahi jidat dan belakang lehernya bercampur dengan keringat yang gemerobyos, mukanya pucat menguning, napasnya tampak ter-sengal2, mukanya menampilkan rasa kesakitan yang luar biasa.

Di sebelah sana King Ji-seng juga terlempar keluar dua tombak jauhnya, masih terguling2 lagi, akhirnya rebah telentang tanpa bergerak lagi, sekujur badan dibasahi noda darah, kulit muka mengkeret, darah meleleh dari hidung dan kuping serta mata, kulit badannyapun berubah biru hitam.

si cerdik pandai dari Hek-jiu-tong yang lihay otaknya ini meringkuk tak bergerak lagi, jenggot putih dibawah dagunya juga kelihatan guram dan kotor oleh keringat yang tercampur darah, sungguh mengenaskan sekali keadaannya.

Lima tombak dari arena, tampak Siang Cin berdiri kaku laksana patung, bola matanya tampak melotot memancarkan cahaya cemerlang di dalam kegelapan, air mukanya tetap dingin dan kaku, jubah kuningnya itu juga tampak berderai di bagian bawahnya, noda2 darah bercipratan di sekujur badan, tiga batang ruji payung yang tajam kemilau tampak jelas menusuk di paha, pundak dan iganya, sementara pedang pandak si Serigala tertawa terselip di antara tulang pundak kirinya, namun Siang Cin kelihatan tetap tenang se-akan2 derita ini bukan tumbuh di atas badannya, dia seperti sudah pati rasa.

Serigala tertawa Ji Bu maklum betapa parah luka2nya kini, dalam gebrak menentukan barusan, dia terkena lima kali tendangan dan satu pukulan, pukulan yang teramat berat.

Sisa2 orang Hek-jiu-tong yang masih hidup berdiri terpencar di berbagai penjuru, semuanya berdiri menjublek, tak tahu apa yang harus dilakukan, sungguh mereka ngeri menyaksikan kejadian yang mengenaskan ini, hampir2 semuanya tidak percaya atas penglihatan masing2, bahwa tiga gembong pimpinan mereka yang diandalkan selama ini telah ambruk pada waktu yang sama, mampus dengan mengerikan.

Pelahan sesosok bayangan orang tampak bergerak dari balik bukit sebelah sana, langkah orang ini teramat pelahan, di belakangnya ada delapan puluhan murid Hekjiu- tong, sementara di atas tanah bergelimpangan mayat kawan mereka yang tak berkepala, dua batang Toa-liong-kak tampak menancap di atas tanah padas dan dada seorang musuh, sang korban tampak mendelik sambil memeluk dada.

Bayangan orang itu semakin dekat, kini kelihatan jelas, dia adalah Thong-thian-wan Ban Lok, pada bagian pundak kiri pakaian hitamnya tampak basah oleh goresan senjata yang mengeluarkan darah, di belakangnya juga ada goresan panjang di punggung, darah masih mengucur keluar dan mengalir sampai ke ujung kaki.

Ada beberapa murid Hek-jiu-tong yang menyingkir jauh di sana, berjongkok sambil memeluk perut, tak jauh dari mereka si hidung merah Kau Pui pui meringkuk lemas tak bergerak dikelilingi anak buahnya.

keadaannyapun kelihatan parah.

Pelahan Thong-thian-wan melangkah maju dan berhenti tiga tombak di depan Siang Cin, air mukanya menampilkan rasa lelah, lama dia menatap musuh bak iblis di depannya ini, dengan suara serius akhirnya dia berkata.

"Siang Cin, kau memang tersohor bertangan ganas di Bu lim, semula aku tak percaya, kini baru terbukti kau memang setimpal dengan julukan itu, kau memang buas, ganas dan keji, kalau tidak tentu sejak lama kau sudah mampus ...."

Aneh pancaran sinar mata Siang Cin, katanya kalem.

"Untuk adu jiwa, orang she Siang tidak gentar menghadapi keroyokan iblis2 laknat seperti kawanan Tangan Hitam kalian. Ban Lok, pihak kalianla yang menarik keuntungan, tapi pernahkah kau menaruh belas kasihan terhadap musuhmu?"

Secomot rambut kuning di kepala Thong-thian wan Ban Lok tampak melekat di depan jidatnya yang basah keringat, kedua lengannya yang panjang bergontai lemas di samping tubuhnya, dengan susah dia menelan ludah, lalu berkata dengan suara serak.

"Gambaranmu teramat seram, Siang Cin, kau memang pantas dipuji sebagai pengganas nomor satu, tapi kau harus mengerti, utang jiwa harus dibayar dengan jiwa."

Menyeringai Siang Cin menahan rasa sakit yang menusuk tulang sungsumnya, katanya berat.

"Sudah tentu, orang she Siang selalu siap untuk ini, entah sekarang atau kelak, kau atau orang2 lain."

Dengan lidah kaku Thong-thiau wan menjilat bibirnya, katanya serak.

"Siang Cin, biarlah sekarang saja?"

Siang Cin menggeleng dan berkata.

"Ban Lok, kau sendiri maklum aku tidak akan menyerah mentah-mentah, kita sama2 mempunyai kesempatan, betul tidak?"

"Betul, tapi kesempatanmu tak banyak ...."

Ban Lok menyeringai. Siang Cin mendengus.

"Benar, tapi kau sendiri, dengan tipu muslihatmu kau sudah berhasil mencapai sedikit dari apa yang kau harapkan. Ban Lok, jika menurut kebiasaan watakmu, sejak tadi tentu sudah melabrakku mati2an, tapi kenapa tidak kau lakukan? Sebab kau sendiri sudah terluka parah, kau sudah menyaksikan betapa Lwekangku, para pembantumu sudah modar, tiada satupun yang setimpal menjadi pembantumu untuk mengalahkan aku, maka kau sengaja menunggu, mengulur waktu dengan ocehanmu, kini orang2mu tengah memanggil bantuan. kalau ingatanku tidak keliru, pihak Hek-jiu-tong kalian masih ada Lotoa (tertua) Dian Gun, Losam ( yang ketiga) Mo Giok yang belum muncul, betul tidak?"

Untuk menyembunyikan perasaannya Ban Lok mengusap pipi dengan telapak tangan, katanya.

"Siang Cin, kau memang pintar dan ini tidak menguntungkan dirimu."

Siang Cin menggeleng, katanya.

"Hatimu tentu gelisah, kenapa bala bantuan yang kau harapkan tidak kunjung tiba. Mereka akan segera tiba, mungkin sudah dalam perjalanan, kau ingin sekarang juga melabrakku, tapi takut tak mampu merintangiku, betul tidak? Ban Lok, tak usah kuatir, kelak masih banyak kesempatan."

Hampir tidak terlihat cara bagaimana Ban Lok memberi-aba2, tapi orang2 Hek-jiutong yang tersebar itu mulai bergerak di bawah komandonya. Dengan tertawa Siang Cin berkata.

"Kau ingin segera mulai? Tapi aku ingin lekas pergi, pertikaian ini agaknya tak bisa selesai malam ini, Ban Lok selamat bertemu pada kesempatan lain."

Mendadak Ban Lok berteriak sengit.

"Siang Cin, kau terhitung orang gagah di kalangan Kangouw, pada saat menang kalah akan ketahuan kau justeru ngacir mencawat ekor? Di mana akan kau taruh pamormu?"

"Betul, kau tahu Siang Cin adalah laki2 sejati, tapi kau harus lebih tahu bahwa aku bukan laki2 goblok, aku tidak sebodoh itu untuk terperangkap oleh muslihatmu,"

Habis kata2nya, segera Siang Cin membalik tubuh. Biji mata Ban Lok memancarkan nafsu membunuh, sambil menggertak gigi dia mendesis.

""Seluruh anak2 Tangan Hitam, kepung dia!"

Orang2 Hck-jiu-tong yang memang sudah bersiap segera merubung maju dari berbagai penjuru, golok besar ditangan mereka sama teracung. Mendadak Siang Cin angkat tangan seraya menghardik.

"Awas Toa-liong-kak!"

Thong-thian-wan Ban Lok sudah bergerak maju, dia pernah merasakan betapa rasanya samberan "tanduk naga"

Yang tajam ini, keruan ia kaget dan jeri, ia merandek, sementara gada bergigi serigala dia putar sambil menggeser ke samping.

Hanya sekejap ini sudah cukup bagi Siang Cin, di tengah gelak tawanya, kedua kakinya memancal bergantian, empat orang yang menubruk maju ditendangnya mencelat, sebelum badan musuh2nya terbanting ke bumi, bagai burung terbang Siang Cin menjulang tinggi ke udara, sekali berputar ia terus meluncur ke sana dan lenyap di telan kegelapan.

Thong-thian-wan Ban Lok meraung dan memburu, tapi segera dia menghentikan langkahnya, mukanya merah padam, sambil membanting kaki ia mencaci maki.

"Kalian semua gentong nasi, mampus semuanya.....

"

Serigala tertawa Ji Bu yang duduk lemas di sana tiba2 menengadah sambil tertawa seram, biji matanya melotot memandang ke arah menghilangnya bayangan Siang Cin, darah segera menyembur dari mulutnya.

"bluk". akhirnya dia roboh terkulai. Keruan anak buah Hek-jiu-tong menjadi ribut dan kacau, ada pula yang berteriak.

"Siko meninggal ....Siko sudah meninggal ...."- Setiap patah kata itu laksana ujung jarum menusuk hati Ban Lok, setiap patah kata itu se-akan2 guntur menggelegar di pinggir telinganya, keringat dingin bercucuran, otot di jidatnya merongkol keluar, seperti orang linglung dia berdiri tak bergerak dan bersuara lagi, dalam waktu semalam yang singkat ini dia seperti sudah lebih tua puluhan tahun. Dari kejauhan, di samping Bu-wi san-ceng yang sudah menjadi puing itu, tampak bayangan ratusan orang tengah berlari secepat terbang, mereka lari seperti memburu waktu, Tong-thian-wan Ban Lok mendengar gemuruh langkah orang banyak ini, dia tahu siapa yang datang, tapi segalanya sudah terlambat. Mukanya yang kuning mengulum senyum pilu, matanya berlinang air mata, pelan2 Ban Lok terkulai duduk di atas tanah, pertempuran banjir darah malam ini memangnya pihak mana yang kalah atau menang? Betapa banyak nyawa menjadi korban? Langit di ufuk timur mulai menampakkan secercah cahaya, lambat laun fajarpun menyingsing, suasana pagi dengan hawa segar tercium pula bau anyir darah yang tebal. Hawa pegunungan di waktu pagi sedemikian sejuknya, segumpal awan tipis mengambang rendah di kejauhan sana, seperti melayang di permukaan Gak-yangho. Dengan langkah limbung Siang Cin sedang berjalan seorang diri, luka2 di tubuhnya sedemikian sakit, tapi dia tetap bersemangat dan memperhatikan keadaan sekelilingnya, dia maklum, dalam keadaan sekarang sedikit lena akan mendatangkan akibat yang fatal baginya, wataknya tidak suka menyesal pada apa yang sudah terjadi, bahkan masih banyak urusan yang harus dia kerjakan, ya, banyak sekali ......... Di kejauhan dia sudah melihat hutan itu, di hutan mana semalam mereka bersembunyi sebelum menyerbu ke atas Pi-ciok-san, di sebelah samping yang teraling hutan, yaitu di tanah lekuk itu, kuda tunggangan mereka disembunyikan di sana, entah sekarang apakah masih ada di situ? Ia istirahat sebentar bersandar pohon sambil memejamkan mata, lalu dengan penuh kewaspadaan dia menyelinap ke hutan itu, dia balut lukanya ala kadarnya, darah telah membasahi kain pembalut dari lengan bajunya, pedang pandak yang menyelip tulang pundaknya sudah dia cabut, sedang ketiga ruji payung besi itu dia tidak berani mengusiknya secara gegabah, hanya Thian yang tahu betapa dalamnya besi2 runcing itu menancap ke dalam dagingnya, Siang Cin kuatir bila sekarang dia mencabutnya, mungkin dia takkan kuat beranjak lagi. Setelah dekat hutan, pelan2 Siang Cin merebahkan diri, dengan payah dia merangkak maju dengan kedua sikunya, dikala dia menggeremet tiba di semak rumput yang subur itu, tiba2 ia mendengar suara percakapan beberapa orang. Dengan hati2 Siang Cin mengintip dari celah2 dedaunan, terlihat beberapa tombak di depan sana ada delapan laki2 seragam merah tengah berbicara, semua bersenjata kapak dua muka, pakai ikat kepala kain merah pula. Setelah membasahi bibirnya yang kering, Siang Cin merunduk ke tempat lain, dalam hutan dilihatnya masih ada beberapa orang, pakaian mereka ada yang merah ada pula yang hitam, agaknya mereka sedang mencari dan menggeledah hutan ini, cuma kelakuan mereka tidak begitu serius, gerak-geriknya acuh tak-acuh, senjata mereka dibuat membabat rumput dan tetumbuhan yang merintangi jalan mereka, itulah sikap pemenang setelah mengalahkan musuhnya. Siang Cin bertiarap dan diam saja, dari percakapan beberapa orang ini, kira2 dia tahu situasi pertempuran di bawah gunung dan bagaimana akhirnya. Jelas bahwa aksi Bu siang pay menyerbu kesarang Hek jiu-tong ini sudah gagal total, Kegagalan atau kekalahan ini dengan sendirinya juga menyangkut Siang Cin pula, meski sekuatnya dia sudah berjuang untuk memperkecil kekalahan, tidak sedikit pula musuh yang diganyangnya, tapi akhirnya tetap sama, darah yang tercecer, nyawa yang tercabut, semuanya sudah terjadi dan telah berlalu. Kebetulan bagi Siang Cin, ia merebah di tempatnya untuk melepaskan lelah, entah berapa rombongan orang telah pergi, lama kelamaan suasana dalam hutan menjadi sepi, tiada terdengar suara percakapan, tak terdengar langkah kaki orang, sampaipun kicau burungpun tak terdengar lagi, begitu sunyi seperti di tanah pekuburan. Menunggu lagi sekian lama, dengan pedang pandak menyangga badan, pelan2 dia melangkah ke hutan sebelah sana. Sambil jalan pelahan pikiran Siang Cin bergolak, dia menguatirkan keselamatan si sayap terbang Kim Bok bertiga, entah mereka sudah lolos dari kepungan dan kejaran musuh atau tidak? Liat-hwe kim lun Siang Kong ceng dan lain2 sama memiliki Kungfu yang tangguh, tentunya tak mudah terkubur hidup2 di tengah kobaran api? Demikian pula Cap-kau-hwi ce Loh Bong-bu, Jan Pek-yang, Te Yau dan lain2, biasanya mereka cerdik dan cekatan, berjuang penuh semangat, asal ada setitik harapan tentu mereka rebut untuk mempertahankan hidup. "Pletak". tanpa sengaja kakinya menginjak patah ranting kering, suara ini cukup mengejutkan lamunan Siang Cin, lekas dia menyelinap ke belakang pohon, dengan waspada dia celingukan, dilihatnya sudah tiba di pinggir hutan, sebelah depan adalah ladang belukar. Dari balik pohon Siang Cin mengawasi keadaan sekeliling, tak jauh di depan sana dilihatnya mayat2 yang ratusan jumlahnya berjajar dan bertumpuk, ada yang berpakaian merah, hitam dan putih, menandakan para korban campur aduk dari tiga pihak, tapi kini mereka sama2 sudah mati, berlepotan darah dan mengerikan, semuanya rebah tenang berdampingan, tiada dendam dan bermusuhan. Dua orang laki2 kekar tampak menjaga mayat2 itu, mereka berdiri jauh dari tumpukan mayat, seperti takut orang2 mati itu bangkit kembali menagih jiwa kepada mereka, dari sikap mereka, jelas kelihatan bahwa mereka merasa sebal dan jijik serta penasaran akan tugas mereka ini. Dengan langkah sempoyongan Siang Cin menggeser keluar hutan, Kedua laki2 baju merah itu entah sedang mengerutu apa, satu di antaranya yang menghadap ke sini tiba2 berjingkat kaget seperti melihat setan. Maklumlah keadaan Siang Cin sekarang memang seram dan mengerikan. karena tidak menduga, laki2 yang bernyali kecil ini ingin berrteriak tapi yang keluar dari kerongkongan hanya suara "uh, uh", kampak yang dipegangnya juga terjatuh. Melihat kelakuan temannya, seorang lagi seketika berubah pucat, cepat dia berpaling, saking kagetnya ia melongo seperti patung. Dengan langkah ter seyot2 Siang Cin terus mendekati, sikapnya tampak sedih, lama dia menatap mayat yang berjajar seperti udang dijemur ini, akhirnya dia menoleh dan memandang kedua orang hidup yang kesima bagai patung itu. Terbeliak mata kedua laki2 ini dan mulut ternganga, tak tahu apa yang harus dilakukan, sesaat mereka adu pandang dengan Siang Cin, kemudian seorang di antaranya memberanikan diri, dengan suara gemetar dia berkata.

"Kau ... .. kau...... apa kerjamu di sini?" . Menuding mayat yang berjejar di tanah itu, Siang Cin berkata tenang2.

"Aku adalah teman salah seorang di antara mereka."

"Mereka..... mereka siapa?"

Tanya orang itu. Siang Cin tertawa, katanya.

"Mereka yang berpakaian putih, orang2 Bu-siang-pay."

Kedua laki2 baju merah melonjak kaget, keduanya sama menyurut mundur, orang yang kehilangan senjata tadi lekas memungut pula kampaknya, dengan membesarkan nyali ia berteriak.

"Kau, kau, besar sekali nyalimu! Ke sorga kau tidak mau pergi, malah kau menuju akhirat yang tak berpintu. Memangnya aku tidak kau Bu-siang-pay sudah tertumpas habis2an? Berani kau keluyuran kemari dan pura2 jadi setan menakuti kami? Lekas buang senjatamu, biar tuan besarmu menelikungmu, kalau tidak terpaksa kucincang tubuhmu ."

Mengawasi pedang pandak ditangannya, Siang Cin berkata dengan suara berat.

"Biarlah aku memanjatkan doa untuk para pahlawan Bu-siang-pay yang mendahuluiku ini, kemudian ada beberapa persoalan yang ingin kutanyakan pada kalian, setelah itu aku akan segera berlalu, tanpa mengganggu seujung rambut kalian."

Kedua laki2 ita melongo, salah seorang mendadak menjadi beringas, teriaknya.

"Eh, keparat, kau yang turut perintahku atau kami yang menurut omonganmu? Serdadu yang sudah kalah pantasnya menjadi tawanan, memangnya berani kau bertingkah segala? Hayo berlutut, biar kuikat, kalau main senjata kau bisa celaka ....... Siang Cin menyeringai aneh pada kedua orang ini, katanya.

"Jangan gembar gembor, tutup mulut kalian coba kalian pikir, jika aku takut pada kalian. memangnya aku berani keluyuran ke sini?"

Kedua orang saling pandang sekejap, tapi mereka sudah melihat luka2 Siang Cin, maka nyali mereka menjadi besar pula, keduanya lantas melangkah maju malah, yang di sebelah kanan segera berkata dengan marah.

"Kunyuk, tak usah berlagak, buang pedangmu dan menyerah saja . ...." Siang Cin menggeleng, katanya.

"Kalian memang bodoh, Jik-san-tui sudah habis orangnya, memangnya kalian bisa berbuat apa lagi?"

Kedua orang saling memberi isyarat dan siap beraksi, tiba2 Siang Cin tertawa pedang pandak tahu2 menjamber ke depan, sebatang pohon sebesar pelukan orang di depan sana seketika tertabas kutung, sinar pedang yang gemilap dan menyilaukan mata masih meluncur dan berputar satu lingkaran terus melesat balik, waktu Siang Cin angkat tangannya, pedang pandak yang tajam luar biasa ini sudah kembali ke tangannya.

Demonstrasi Kungfu yang tiada taranya ini membuat kedua orang ketakutan sampai ter-kencing2.

"Hah", mulut mereka ternganga dan kaki menyurut mundur, mata juga terbelalak lebar. Siang Cin tertawa, katanya.

"Berdiri, diam saja, tunggulah pertanyaanku, kalian masih bisa hidup lama, jangan bertingkah, nanti nasibmu seperti pohon yang tertabas itu."

Lalu Siang Cin membalik tubuh serta menundukkan kepala, dia memanjatkan doa bagi para pahlawan Bu-siang-pay, dengan suara berat ia ber-uncap.

"Kepada arwah saudara2 Bu-siang-pay yang tengah menuju alam baka, dendam sakit hati hari ini, aku Siang Cin bersumpah menuntut balas bagi kalian ...."

Sesaat kemudian baru ia angkat kepala serta menghampiri kedua laki2 yang masih kesima itu, beberapa langkah di depan mereka ia berhenti.

Kedua laki2 itu semakin gemetar ketakutan, keringat dingin memenuhi selebar mukanya, saking takut kedua lutut terasa lemas dan hampir tak kuat berdiri, betatapapun mereka ngeri membayangkan pohon sebesar pelukan manusia yang sekali tabas kutung jadi dua, betapapun mereka tidak ingin mengalami nasib sial seperti pohon itu.

Siang Cin berdiri diam dan menatap kedua orang yang sudah ketakutan setengah mati ini, dengan suara yang penuh kemarahan yang meluap dia bertanya.

"Siapa yang memimpin Jik-san-tui mengepung pihak Bu-siang-pay kali ini?"

Kedua orang saling pandang, bibir sudah bergerak, tapi bimbang untuk bicara, pelan2 Siang Cin angkat pedang pandak ditangannya, dengan jari telunjuk dia mengelus mata pedangnya yang kemilau, katanya tawar.

"Siapa yang ragu2 menjawab, batok kepalanya akan terpenggal ...."

Baru saja kata "penggal"

Diucapkan Siang Cin, kedua laki2 baju merah ini seperti berlomba saja segera berteriak gugup.

"Di bawah pimpinan Kiu kui hwi-ce Kiau Hiong, Toa-thauling kami . ...

"

Memandang ke arah hutan yang sunyi, wajah Siang Cin yang berlepotan darah tampak kelam, ia mendengus, lalu menegas.

"Kiau Hiong? Apa hubungannya dengan Hek-jiu tong?"

Kedua laki2 baju merah tetap ragu dan serba susah, terpaksa Siang Cin mengancam.

"Dengar tidak pertanyaanku?"

Laki2 yang bertubuh lebih tinggi agaknya menjadi nekat, katanya dengan menggertak gigi.

"Toa-thauling adalah saudara angkat Liongthau (ketua) Hek-jiu tong ...."

Mencorong sinar mata Siang Cin, dia tatap laki2 yang agak pendek, katanya.

"Berapa banyak kekuatan yang kalian kerahkan? Berapa orang pula yang memimpin?"

Merinding laki2 pendek ini, tanpa sadar dia menyurut selangkah, seperti memohon bantuan dia melirik kepada temannya, laki2 yang berkepala besar itupun sudah menggerakkan bibir, tapi Siang Cin mendahului dengan nada dingin.

"Siapa yang kutanya dialah yang menjawab."

Terpaksa laki2 pendek ini berkata dengan suara serak.

"Eh ......eh, seluruhnya dikerahkan lima ratus orang ... ...di bawah pimpinan Kiau toa-thauling sendiri, dibantu oleh To ji-thauling dan Pek sam-thauling yang terbagi tiga barisan, barisan pertama sembunyi di jalan belakang gunung, barisan kedua dipendam di sekitar Buwi- san-ceng, sementara barisan ketiga bersama kawan2 Hek jiu tong yang dipimpin Can-lomo menyapu bersih sisa musuh yang ditinggal di bawah gunung ........kami termasuk barisan terakhir itu, setiap barisan kira2 berjumlah seratus lima puluh orang .......

"

"Sudah cukup,"

"

Bentak Siang Cin. Seperti mendapat pengampunan kedua orang itu berseru bersama.

"Hohan, jadi ..... jadi kami boleh pergi?"

Siang Cin menggeleng dan berkata.

"Tidak, akulah yang akan pergi." - Lalu dia putar tubuh dengan pedang pandak sebagai tongkat dia beringsut pergi. langkahnya berat terseret, kelihatan betapa dia keletihan dan kehabisan tenaga, umpama ada orang mendorongnya pelahan tentu akan roboh dia. Tapi kedua laki2 itu tak berani dan tak pernah membayangkan akan melakukan hal ini, maklum mereka sudah telanjur ketakutan, betapapun mereka tak ingin mencari kesulitan melainkan mencari jalan selamat saja. Setelah meninggalkan hutan dan mayat2 itu dengan menahan segala derita Siang Cin terus maju melalui tanah pegunungan yang belukar dan sepi dari keramaian, memang jalan semak belukar inilah yang dipilihnya untuk menghindari pengejaran musuh. Mentari sudah makin tinggi, hawa tambah panas, Siang Cin menyeka keringat di jidatnya, pelahan2 dia duduk dengan gerakan sukar tiga ruji payung masih bergoyang2 menancap di badannya, dan setiap getaran yang membuat ruji payung itu bergoyang tentu menambah deritanya, tampak mukanya semakin pucat, bibir menghijau. Panjang ruji payung itu ada dua kaki dan lebih dua inci nancap ke dalam daging, ruji payung terbuat dari baja, putih mengkilap memancarkan cahbaya dingin, untung yang menusuk di ketiaknya agak miring, jika sedikit lurus saja tentu jantungnya tertusuk dan jiwanya melayang. Setelah istirahat sejenak, Siang Cin mulai mengatur pernapasan, setelah merasa tenaga sedikit pulih, dengan dibantu pedang pandak kembali dia merangkak berdiri. Baru saja kedua kakinya menegak dari lereng bukit di belakang sana, tiba2 didengarnya suara teriakan dan hardikan, suaranya cukup jauh tapi dapat didengar jelas, malah menuju kemari. Pandangan Siang Cin segera tertuju ke sana, gumamnya.

"Memangnya, orang2 dari golongan mana? Dari suaranya agaknya sedang mengejar pelarian ... ."

Se-konvong2 seperti ingat sesuatu, badan yang sudah tegak itu cepat2 merebah pula, ia mengawasi lereng bukit di kejauhan sana, mungkin karena tergesa2 merebahkan diri sehingga luka2nya pecah dan mengeluarkan darah, rasa sakitnya bukan kepalang, tapi dia tidak sempat pikirkan luka2 sendiri, perhatiannya tertuju ke sana, kemungkinan suatu peristiwa bakal berlangsung di depan matanya.

Sejenak kemudian, dari semak belukar sana, tampak muncul sebagian badan manusia, dengan cepat badan bagian bawah orang inipun terlihat jelas, tapi Siang Cin lantas dibuat melongo heran, kini jaraknya semakin dekat, apa yang dilihatnya ini memang ganjil.

Kiranya dua orang bersusun menjadi satu, orang yang dipanggul memiliki kaki yang kecil pendek, mungkin sakit folio, mirip segumpal daging belaka.

tapi kedua lengannya ternyata sangat panjang, besar dan kekar.

Sementara kaki orang yang menggendongnya kelihatan normal, malah tampak kukuh kuat, kebalikannya kedua lengannya justeru sangat aneh, lemas lunglai, tak ubahnya seperti dua potong kayu yang kaku.

Dengan bergendongan begini, yang tidak punya kaki dipanggul yang kakinya kukuh, sehingga sekilas pandang dari kejauhan, dua makhluk bersusun ini kelihatan seperti satu orang saja, satu sama lain saling menambal kekurangan masing2, malah kelihatan tiada kekurangan apa2, lengan panjang, kaki kukuh, lebih kuat dan tinggi dari pada orang biasa.

Kini ""orang jangkung"

Ini tengah berlari dengan gopoh ke arah sini.

wajah kedua orang kelihatan mirip sekali, keduanya sama2 bermuka kemerah2an, dengan daging menonjol, hidung pesek dan mulut lebar, jidatnya dilingkari gelang emas kemilau, dilihat dari dandanan dan gelang emas itu, kiranya kedua orang ini adalah kawan dari Bu siang-pay.

Yang bercokol di atas pundak kawannya sedang ber kaok2 sambil menoleh kebelakang.

"Loh Hong, bisa cepat sedikit tidak? Kura2 di belakang sudah dekat ........"

Maka orang yang di bawah lantas mempercepat langkahnya, tapi napas sudah ngos2an, serunya penasaran.

"Sudah, tak usah mengoceh yang lari kan bukan kau, memangnya kau tahu betapa rasanya? bicara sih enak, kau kira pinggang tidak pegal? Coba saja kau yang ganti memanggulku "

Yang di atas kelihatan murka dan meraung.

"Dalam saat begini kau masih mau bertingkah"

Memangnya belum cukup kau kecundang? Kunyuk, jika kura2 itu mengejar tiba, memangnya kita berdua tidak akan dicacah mampus?"

Pada waktu kedua orang ini adu mulut, di kejauhan sana terdengar suara kaki kuda, dua puluhan penunggang kuda tengah membedal kudanya ke arah sini, di punggung kuda itu semuanya duduk orang2 yang berpakaian merah, semula mereka sudah kehilangan arah, tapi mendadak sama menarik kendali serta membelokkan.

kuda mereka ke semak belukar dan mengejar ke sini dengan formasi setengah melingkar.

Manusia "dua menjadi satu"

Yang aneh tadi mencaci kalang kabut, jelas musuh telah mengejar dekat, maka yang bercokol di atas berseru kuatir.

"Celaka, padahal tadi mereka telah kehilangan jejak kita. Loh Hong, jangan kau tinggalkan aku dan lari sendiri, kalau mau mati biar kita mati bersama saja."

Sambil berlari dengan napas ter-sengal2, yang di bawah balas menyemprot.

"Jangan kentut melulu, sejak kapan tuan besarmu pernah lari sendiri? Sejak hampir terang tanah tadi, kalau aku tidak berhasil menerobos kepungan, memangnya sekarang kau masih bisa ngoceh?"

Yang di atas mendengus, katanya.

"Jangan membual, kalau tidak ada aku kaupun sudah dicacah hancur oleh musuh, yang terang kita sama2 memerlukan bantu membantu."

Sambil lari mereka terus ribut mulut, lebih jauh di belakang lagi, tampak muncul pula tiga puluhan penunggang kuda yang ikut mengejar ke sini dengan formasi setengah lingkar pula.

Kira2 beberapa tombak dari tempat sembunyi Siang Cin, kedua orang yang bergendongan ini mendadak berhenti, orang yang di bawah dengan kedua kaki yang kukuh itu memandang ke depan dan belakang, akhirnya dia berkata dengan lesu.

"Tak perlu lari lagi, laripun tiada jalan, sedangkan pengejar sudah dekat, lari juga tak bisa lolos, malah akan diejek sebagai pengecut lagi, kakak yang tak punya kaki, biarlah kita adu jiwa saja dengan mereka."

Setelah memeriksa keadaan sekelilingnya, yang bertengger di atas menghela napas, katanya.

"Tampaknya memang tiada harapan, semoga saja kau yang she Loh bernama Hong ini masih ingat akan persahabatan selama lima belas tahun ini, kelak jangan lupa pasang hio-soa (dupa) dan bakar beberapa lembar kertas perak, supaya dinerakapun tuan besarmu ini merasa tenteram dan berterima kasih akan kebaikanmu."

Yang bernama Loh Hong berludah, serunya dongkol.

"Jangan kau ber-olok2, memangnya kau kira aku ini tidak kenal kebaikan, bila kau kejeblos ke neraka, memangnya aku akan naik ke sorga? Biarlah kita mendaftar bersama, tiba saatnya kita sama2 masuk dalam satu liang kubur, jadi siapapun takkan bikin susah siapa2 untuk membakar kertas perak segala."

Di tengah pembicaraan ini, para pengejar yang merubung dari berbagai arah itupun telah mendekat.

"Sret", suaranya nyaring berdering, orang cacat yang bercokol di atas mendadak mencabut golok melengkung, ia berseru.

"Loh Hong, sedikitnya kita harus minta rente beberapa jiwa supaya isi peti jenazah sama padat."

Yang di panggil Loh Hong mendengus, katanya.

"Baiklah, kerahkan segala daya kekuatanmu, aku sih tidak percaya pada nasib."

Waktu itu orang2 berbaju merah yang mengepung itu telah berhenti kira2 tiga tombak di depan, sekali aba2 semuanya lantas melompat turun dari punggung kuda, seorang laki2 bermuka merah berjambang hitam melangkah maju, serunya.

"Apakah di sana adalah saudara2 anak buah To-ji-thauling?"

Rombongan tiga puluhan orang baju merah yang menyongsong dari arah berlawanan muncul seorang Iaki2 kurus kecil, berusia setengah umur, dengan suara melengking dia berseru.

"Apakah di sana Ho Ceng, anak buah Pek-sam-thauling?"

Laki2 bertambang ter gelak2, katanya.

"O, kiranya Siang loko, kalian mengejar dari arah sana? Baik sekali, di sini kita sama2 memergoki buronan ini, hayolah kita bekuk mereka hidup2."

Laki2 kurus itu menyeringai, serunya pongah.

"Sudah tentu, Ji-thauling bilang hendak membikin sebuah sangkar raksasa untuk memelihara makhluk aneh ini ......"

Kedua rombongan orang berbaju merah bertanya-jawab dari jauh, se-olah2 kedua orang pelarian yang sudah terkepung di antara mereka itu pasti akan tertawan, betapa tengik sikap mereka sungguh membikin orang mendongkol.

Kedua manusia aneh tadi betul2 terbakar amarahnya, mata mereka mendelik dan otot hijau merongkol di jidat, orang yang di atas segera mengempit kedua kakinya yang kecil serta meraung dengan murka.

"Kawanan anjing Jik-san-tui, kalau berani hayolah terjang maju, untuk apa cuma membacot saja"

Laki2 muka merah itu ter-gelak2, katanya.

"Pelarian Bu siang pay, ibarat ikan dalam jaring, masih berani kalian bermulut besar, sungguh menggelikan. Hari ini kalian akan kami bekuk hidup2, setelah puas kami kerjai, kalian akan kami jadikan umpan anjing liar."

Keruan kedua orang aneh itu berjingkrak gusar, yang di atas meraung pula.

"Majulah, kunyuk2 Jik-san, kalian penjilat Hek jiu tong, sampah persilatan, hayolah maju, biar tuan besarmu kirim kalian ke akhirat."

Laki2 berjambang menarik muka, hardiknya bengis.

"Keparat bermulut kotor, kalian sudah bosan hidup?"

Yang bernama Loh Hong meludah, makinya.

"Memangnya kalian bersih? Orang suci? Jangan jual lagak, tidak tahu malu. Biarpun seorang kacung atau babu dalam Bu siang-pay kami tetap lebih unggul daripada kalian manusia2 sampah ini."

Sambil membanting kaki si muka merah mengangkat tangan, serunya.

"Ringkus dia". Serentak dua puluhan anak buahnya mengiakan, sambil mengacungkan kampak mereka terus menyerbu maju, kampak dua muka yang kemilau menderu kencang mengerikan. Dua orang aneh itu meraung bersama, yang di sebelah bawah mendadak melejit ke atas, di tengah udara kedua kakinya terus menendang berantai, dua puluhan musuh yang menerjang maju itu berusaha berkelit atau menyingkir, tapi pada saat itu pula sinar kemilau menyamber, golok melengkung yang dipegang orang di atas pundak membacok tiba.

"Crek", tiga batok kepala orang seketika mencelat dari lehernya. Darah menyemprot, terutama laki2 muka merah yang berada di depan tersembur basah kuyup selebar mukanya, dengan gelagapan dia menyurut mundur, sekilas dia kebingungan sambil menyeka muka, akhirnya ia berjingkrak murka pula, teriaknya.

"Terjang, terjang maju! untuk apa kalian berdiri nonton saja?" - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -- Siapakah kedua manusia aneh yang selalu lengket menjadi satu ini ? Pertarungan sengit apa pula yang akan terjadi dan bagaimana tindakan Siang Cin ? -
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar