Bara Naga Jilid 09

Jilid 09

Kawanan tangan hitam yang berjumlah ratusan itu sudah berhenti di depan, sementara tiga sosok bayangan orang di di belakang itu dalam sekejap telah melayang lewat melampui kepala barisan manusia itu dan hinggap di depan barisan, mereka melotot gusar ke arah Siang Cin berempat.

Mendadak Siang Cin angkat tangannya, meluncurlah sebuak benda hitam bundar ke udara, ketika mencapai ketinggian belasan tombak benda itu meledak, kembang api yang berwarna warna menjadikan pemandangan udara yang indah, sesaat menatap ke atas, Siang Cin menoleh ke arah Jan Pek yang bertiga, katanya.

"Tak lama lagi situasi pasti berubah dan akan lebih baik daripada keadaan yang kita hadapi sekarang"

Kawanan Tangan Hitam di depan mereka mulai menampakkan reaksi, tapi tiada satupun yang berani bertindak tanpa perintah, sementara ketiga orang itu masih berdiri tegak tak bergeming, mata mereka tetap melotot tak berkesip.

Satu diantaranya yapg berperawakan kasar dan berhidung besar tampil kedepan, serunya dengan suara lantang.

"Anak muda, sudah cukup kau takabur, apakah Lo-jit kau yang membunuhnya?"

Siang Cin tersenyum, katanya;

"Kau inikah Si Biruang Lu Tat, pentolan keenam dari kesepuluh gembong Hek-jiu-tong?"

Bentuk mata laki2 kasar ini mirip mata ular, hidung besar seperti hidung singa, mulutpun lebar dengan bibir yang tebal pula, serunya dengan gusar.

"Akulah yang tanya kau, apakah Lo jit mati ditanganmu?". Mendengus Siang Cin dan balas bertanya.

"Kalau betul mau apa?"

Hidung laki2 kasar itu menjadi merah, hardiknya beringas.

"Siapa kau?"

Siang Cin berseru lantang.

"Napa Kuning Siang Cin."

Nama julukan ini bagai suara guntur di siang hari bolong, sekujur badan laki2 itu tampak bergetar, rona mukanyapun berubah, teriaknya.

"Bagus, Siang Cin, kiranya kau!"

Seorang laki2 setengah umur di samping yang berperawakan sedang tapi kurus menyeringai dingin. katanya.

"Liok-ko, jenazah Jit-ko belum lagi dingin, memangnya setelah dia kaku baru kau akan menuntut balas kematiannya?"

Seorang laki2 yang juga berusia pertengahan dengan alis tipis menimbrung.

"Orang she Siang, majulah kau, aku Siok-lokiu akan mengiringi kematianmu ke akhirat."

Tenang2 mengawasi ketiga orang di depannya, Siang Cin berkata kalem.

"Ya, kalian pentolan2 Hek jiu tong, Lo-liok Si Biruang gunung Lu Tat, Lo-pat Si alap2 hitam Dian Ki dan Lo-kiu Siang-to-toh-hun (sepasang golok perenggut sukma) Mo Siong telah datang sekaligus, maaf kalau aku masih asing dengan kalian, maklumlah sebelum ini memang kita belum pernah jumpa, setelah kalian memperkenalkan urutan kedudukan tadi baru kutahu akan nama kalian."

Ketiga orang ini tetap berdiri tegak tanpa bergerak, sementara itu dari bawah gunung sudah terdengar suara gaduh serbuan orang2 Bu-siang-pay, kadang terdengar juga suara ledakan keras, sementara semprotan minyak berapi masih menerangi jalan berliku di sebelah bawah, gelagatnya pertempuran cukup seru atas serbuan pasukan Bu-siang-pay itu.

Tanpa mengunjuk perasaan si Biruang gunung Lu Tat menoleh danm mengawasi kedua saudara angkat di kanan kirinya, akhirnya tatapan matanya tertuju pada saudaranya yang sudah menggeletak menjadi mayat di atas tanah sana, pelan2 dia berkata.

"Siang Cin, manfaat apa yang kau terima dari pihak Bu-siang-pay, sampai kau rela menjual nyawa bagi mereka?"

Bertaut alis Siang Cin, katanya tak acuh.

"Soalnya satu sama lain segera cocok sekali bertemu, dan yang lebih penting, aku merasa muak melihat sepak terjang dan perbuatan keji kalian."

Alap2 hitam Dian Ki segera menggerung, ia memaki.

"Kentut makmu busuk!"

Lu Tat segera mengulap tangan menghentikan caci maki Dian Ki, katanya tandas.

"Siang Cin, kau sudah main terjang ke gunung kini dia main bunuh, Hek jiu tong tidak akan memberi ampun padamu. Dan lagi tak usah kau mengharapkan bala bantuan orang Bu-siang-pay di bawah gunung itu, baiklah sekarang kami bicara blak2an saja, kawanan tikus Bu-siang-pay itu takkan mampu membobol berbagai rintangan berat yang telah kami atur dengan baik, umpama berhasil menerjang kemari juga takkan luput dari kematian oleh serangan beberapa saudara tua kami."

"Apa ya?"

Siang Cin mengejek.

"Marilah kita coba2 saja."

Sambil menggeram Lu Tat menahan rasa gusarnya seperti mengharapkan sesuatu dia menengadah melihat cuaca. Dengan tenang Siang Cin berkata.

"Kalian memang boleh juga, sebelum kawan2 Busiang- pay menerjang tiba kalian sudah tahu akan serbuan mereka ...."

Si Biruang Lu Tat menyeringai dam melangkah maju, katanya.

"Tepat sekali, dan sekarang marilah kita mulai saja."

Siang Cin memberi tanda gerakan tangan kepada Jan Pek-yang bertiga yang ada dibelakangnya, habis itu mendadak ia menerjang ke sana, telapak tangannya setajam golok membabat tenggorokan Lu Tat.

Hampir pada saat yang sama, Tok-ciang Jan Pek yang tiba2 melejit maju dan melemparkan granat belerang ke udara.

"Tarr", kembang api bercampur asap biru keputihan seketika berhamburan berjatuhan ke dalam rombongan orang2 Hek jiutong. Biruang gunung Lu Tat menggerung keras, cepat ia menghindari serangan Siang Cin, berbareng sebatang toya perak sepanjang tiga kaki sudah tergenggam di tanganya, segera ia balas menerjang ke arah Siang Cin, Tanpa bersuara Alap2 hitam Dian Ki juga menyelinap maju, telapak tangan tegak miring menggempur punggung lawan. Segera Jan Pek-yang berteriak.

"Maju!"

"

Mereka bertiga terus menerjang masuk ke Bu-wi-san ceng. Tapi baru saja mereka melompat maju, empat golok segera memapak dari kiri-kanan, si golok perenggut sukma Mo Siong lantas membentak.

"Marilah gebrak dulu bebera jurus denganku"

Thi tan Ang Siau cu segera menyongsong serangan musuh, bandulan beruas berkelopak lima sekaligus melancarkan belasan gerakan, ayunan bandulannya menderu bagai gelombang samudra.

Tapi Jan Pek-yang dan Te Yau sedikitpun tidak tertunda gerakannya, beruntun beberapa kali lompatan, tanpa menemui banyak rintangan mereka sudah melampaui pagar dan meluncur masuk ke dalam perkampungan.

Tiga puluhan anggota Tangan Hitam roboh bergulingan, api sama berkobar di tubuh mereka, bau hangus kulit daging manusia tercium keras, pekikan puluhan mulut berpadu seperti berlomba seram mengerikan.

Dengan enteng dan tangkas, Siang Cin meluputkan diri dari sergapan Dian Ki, telapak tangan berkelebat, ia balas membabat kearah musuh yang licik ini, sementara tangan kanan bergerak menciptakan bayangan ceplok2 dan tak teraba ke mana arahnya tahu2 menyongsong serangan Lu Tat.

Maka, tiga orang sama berlompatan menyingkir, terdengar Siang Cin mendengus, sebuah pukulan sakti terus dilontarkan, seketika udara seperti penuh ditaburi bayangan telapak tangan.

Tapi Biruang gunung Lu Tat juga tak mau kalah tangkas, iapun ingin pamer ilmu kebanggaannya yang telah digemblengnya selama puluhan tahun, yaitu Cui-si-cap lak-sian (enam belas kali berkelebat mengejar bayangan) dikombinasikan dengan permainan toya pendeknya yang berat itu, ia balas menyerang dengan gencar, sementara Dian Ki dengan telapak tangan kosong selalu main menyerang secara bergerilya, sehingga pertempuran tiga orang ini berjalan seru dan menegangkan, apalagi gerakan mereka sama cepat dan tangkas, masing2 sama melontarkan tipu serangan berbahaya.

No-poan-kim-cui yang diyakinkan Thi-tan Ang Siu-cu boleh dikatakan sudah cukup sempurna, selama ber-tahun2 dia tumplek segala ketekunan dan tekadnya untuk memperdalam permainan senjata bandulan yang satu ini, entah itu dikala fajar atau senja, Ho-hou cui-hoat yang punya tiga puluh enam jurus ini tak pernah lupa dilatihnya secara rajin, kini seorang diri dia menghadapi Sian ce-to-toh-hun Mo Siong, pentolan kesembilan dari Hek-jiu-tong.

Kawanan Tangan Hitam yang tidak terluka masih ada tujuh puluhan orang lebih, kecuali belasan orang yang ditugaskan memberi pertolongan kcpada para korban, sisa yang lain di bawah pimpinan beberapa Thaubak tetap merubung maju mengepung Siang Cin dan Ang Siu-cu di tengah arena.

Beruntun Siang Cin menyerang pula dengan jurus It siau-siang itu yang hebat, dikala musuh menggerung gusar seraya berkelit pergi, dengan telak kakinya mendepak roboh seorang musuh, waktu telapak tangan kirinya menyelonong ke depan, seorang lawan kena ditonjoknya terpental dengan muntah darah.

Sambil melompat kesana Siang Cin membentak kereng.

"Ang heng, kenapa mestikamu tidak segera kau gunakan?"

Dikala bicara itulah terasa deru angin mengemplang batok kepalanya, tiba2 ia melengkung badan, berbareng tangan memukul balik beberapa kali, menyusul dengan jurus Ngo mo-sio-bing langsung dia me nbelah ke arah Dian-Ki, di tengah samberan angin kencang secepat kilat itulah, tujuh kawanan Tangan Hitam telah terjungkal robob binasa.

Ang Siu-cu mengertak gigi dan melabrak Mo Siong mati2an, mendengar peringatan Siang Cin mendadak dia menyurut mundur, tapi Mo Siong bagai bayangan ikut mendesak maju, sementara sepasang goloknya yang kemilau tajam itu menyamber bersilang dari atas dan samping, sedetikpun tidak memberi kesempatan kepada lawan, malah ejeknya.

"Orang gagah dari Bu-sang-pay, hayolah maju lagi"

Bicara sejujurnya di kalangan Bu siang- pay dalam barisan Thi ji bun.

Ang Siu-cu sebetulnya terhitung jago kosen kelas wahid.

orang yang terkenal dan dijunjung tinggi martabatnya di dalam Bu siang-pay.

Kungfunya memang hebat, cerdik pandas juga pemberani, tapi kali ini ia berhadapan dengan salah satu gembong Hek-jiu tong.

nama Siang-to toh hun cukup disegani juga di kalangan Kangouw, maka Ang Siu cu dipaksa tumplek seluruh bekal kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang hebat ini, meski dalam waktu singkat Mo Siong tak mungkin mengalahkan atau membunuh Ang Siu-cu, tapi untuk mengalahkan lawannya, Ang Siu-cu jelas juga tiada harapan.

Ang Siu-cu tak berani takabur atau lena untuk mendesak lawan, sehingga Bian-hokcuci dan pelor belerang yang disimpan dalam bajunya sama sekali tak sempat dikeluarkannya, dengan nekat di samping melayani rangsakan lawan, iapun harus selalu waspada akan serangan kawanan Tangan Hitam yang membokong sehingga keadaannya cukup gawat.

Siang Cin cukup jelas akan keadaan yang dihadapi kedua musuhnya, sementara Lu Tat dan Dian Ki juga bertekad bertempur sampai titik darah terakhir untuk mengerubut si Naga Kuning, bukan saja jurus serangan mereka keji, se-olah2 merekapun rela mengorbankan jiwa raga sendiri asal gugur bersama musuh, apalagi tingkat kepandaian kedua orang ini dapat dinilai lebih unggul daripada Mo Siong.

Berkepandaian tinggi dan bernyali besar, tapi bukan tugas enteng bagi Siang Cin untuk merobohkan kedua lawannya dalam waktu singkat kecuali menggunakan jurus sakti yang tiada taranya.

padahal uutuk melancarkan jurus sakti ini dia sendiripun harus menyerempet bahaya.

Terdengar jeritan, seorang kawanan Tangan Hitam yang berbadan tinggi besar tampak terpental roboh dengan kepala remuk, sementara Mo Siong terdengar mengumpat.

"Kunyuk Bu-siang-pay, biar tuan besarmu membeset kulit dan menelan dagingmnu ...."

Tiba2 Siang Cin melambung tinggi ke atas, di tengah udara ia menukik dengan tubrukan keras, si Alap2 hitam Dian Ki berpekik aneh, kedua telapak tangan sekaligus memukul beberap kali, deru angin pukulan menyampuk bagai kisaran angin puyuh.

Tidak berkelit, tidak menghindarkan membalik, Siang Cin tetap menukik lurus ke bawah menubruk Dian Ki, dikala angin pukulan lawan hampir menyentuh tubuhnya, bagaikan mega mengambang di angkasa, dia meluncur lewat dengan jurus Gwat bong-ing, lalu disusul pula dengan tipu Ngo mo so hing, kekuatan telapak tangannya setajam golok, bagai kilat menyambar Dian Ki.

Cepat Dian Ki berusaha menyurut mundur, tapi Siang Cin tetap mengejarnya.

Pada saat itulah si Biruang gunung Lu Tat menggerung keras, toya peraknya dengan kemplangan keras terayun tiba."

Mendadak Siang Cin batalkan kejarannya kepada Dian Ki, badan melengkung, kaki mendepak di udara, gerakannya begitu indah, gesit dan tangkas, yang terlihat hanyalah segulung bayangan yang membal balik, padahal toya perak Lu Tat dengan sekuatnya telah menyabet, jelas tak mungkin ditarik balik, saking gugupnya, dengan tumit kaki dia berusaha memutar, berbareng toya perak ditarik rendah terus menjojoh.

Tapi baru ia melakukan setengah gerakan, telapak tangan Siang Cin dalam sekejap itu bagai kilat telah beberapa kali menghajar dadanya, begitu cepat sampai orang tidak sempat melihat jelas, dikala Lu Tat merasakan dadanya tergetar keras dan napas menjadi sesak oleh pukulan sekeras godam, tahu2 Siang Cin sudah berjumpalitan ke sebelah sana.

Wajah yang beringas dan kasar itu menjadi pucat dan berkerut menahan kesakitan, si Biruang gunung yang kekar ini tak kuasa lagi berdiri tegak, langkahnya sempoyongan, kerongkongan terasa amis dan tersemburlah darah segar.

Tanpa menghiraukan korbannya Siang Cin melesat ke sana, di tengah udara badannya kembali membalik, beberapa kali pukulan dahsyat sekaligus dilancarkan menyongsong Dian Ki yang memburu maju hendak menolong saudaranya.

Sambil rnenggembor marah Dian Ki melontarkan belasan jurus pukulan, tapi gerakannya tetap tertahan dan malah terdesak mundur, belum lagi sempat dia melakukan gerakan susulan, kawanan Tangan Hitam yang lain sama menjerit dan berteriak2; Liok ko roboh ......Hai kawan2, Liok ko telah ajal ...

"

Dian Ki kaget seperti disambar geledek mendengar teriakan ramai itu, sesaat dia terlongong, tapi Siang Cin tidak pernah merandek sedikitpum, dengan menjengek tiba2 dia menyelinap maju, telapak tangan tegak miring membelah batok kepala orang.

Bayangan pukulan berkelebat bagai setan perenggut nyawa, Dian Ki tersentak kaget, cepat dia menekuk pinggang seraya menunduk, berbareng kedua tangan menepuk ke atas.

Akan tetapi ia tetap tak dapat menahan pukulan Siang Cin yang dahsyat.

"Prak", suara tulang terpukul patah, tulang pipi Dian Ki terpukul pecah, ia terpental ke samping, sementara tangan kanan Sang Cin membelah pula kuduk orang, kontan Dian Ki menggelepar di tanah. Tanpa merandek sedikitpun, Siang Cin terus meluncur maju pula, sebilah Toa-liongkak tertimpuk, di mana kemilau cahaya berkelebat, lima pasang kaki orang yang.menerjang maju sama terbabat kutung. Mo Siong yang lagi melabrak Ang Siu-cu dapat melihat jelas, darah tersirap, dengan bola mata merah membara, sepasang goloknya berputar sekencang kitiran, mulut ber-kaok2 seperti serigala kelaparan, dengan kalap tanpa hiraukan diri sendiri dia cecar lawannya yang bersenjata bandulan ini. Dasar si Bandul besi Ang Siu-cu juga berwatak angkuh, kini musuh menyerang semakin gencar, maka bandulan emasnya juga tak mau kalah gencar dengan keras pula dia layani amukan Mo Siong Hanya beberapa gebrak saja Siang Cin yang mengamuk di sana terjang ke tengah rombongan kawanan Tangan Hitam, tiga puluhan orang sekaligus dibikin tunggang langgang, jerit tangis mereka tak terperikan, darah muncrat kemana2, sisanya yang masih segar lari pontang-panting, tapi segera mereka merubung maju pula dengan mengertak gigi dan nekat melotot penuh dendam. Tangan Siang Cm terpentang sebat sekali dia memburu ke arah Siang-to-toh-hun yang mencecar Ang Siu-cu itu, sekilas Mo Siong melirik Siang Cin, suketika jantungnya serasa pecah, takut tapi juga gusar dan dendam, akhirnya dia nekat, golok kanan dengan keras menyampuk bandulan Ang Siu-cu sementara golok di tangan kiri mengikuti gerakan tubuhnya melingkar miring menyelonong ke samping Ang Siu-cu. Thi tan Ang Siu cu berusaha menarik balik bandulannya, dengan tangan kanannya membelah ke dada lawan, Kejadian berlangsung cepat, se-olah2 baru saja mulai dan segera pula berakhir, belum sempat Siang Cin memburu tiba, cepat dia berteriak.

"Awas Ang-heng, mendekam ......."

Sayang baru saja suaranya keluar dari mulut.

"trot", golok Mo Siong telah menusuk masuk sela2 tulang iga Ang Siu cu, hampir pada waktu yang sama telapak tangan Ang Siu cu dengan telak juga membelah dada kiri orang.

"Trang", bandulannyapun berhasil membentur pergi golok kanan Mo Siong, di tengah percikan lelatu api, kedua orang sama terpental roboh ke belakang. Begitu tubuh Ang Siu-cu menyentuh tanah, kawanan Tangan Hitam yang merubung disekitar gelanggang segera memburu maju sambil menghujani bacokan golok mereka. Sementara itu Siang Cin telah menerjang tiba, di mana lengannya menggaris, telapak tangannya menyerempet tenggorokan tiga musuh yang memburu maju, semburan darah segera menyemprot tinggi, sementara Siang Cin menggasak pula dua lawan yang lain, dua orang kawanan Tangan Hitam ini melolong keras, golok mereka mencelat, tulang dada patah dan remuk, jiwa melayang seketika. Ang Siu-cu jatuh tengkurap dengan napas kempas kempis, tangan kiri menekan luka pada iga kiri, tapi darah tetap merembes dari celah2 jari tangannya. Setengah berjongkok Siang Cin bertanya dengan cemas.

"Ang heng, bagaimana keadaanmu?"

Dengan suara serak Ang Siu-cu menjawab.

"Sia ng ..... Siang-tayhiap .......aku tak kuat lagi."

Waktu berpaling ke sana, terlihat oleh Siang Cin kawanan Tangan Hitaan tampak memapah Mo Siong yang kelihatan bermuka pucat menuju kedalam perkampungan. Sambil angkat tubuh Ang Siu cu, segera Siang Cin membentak.

"Mo Siong, serahkan jiwamu. ....."

Di tengah kumandang suaranya Siang Cin melayang ke sana, terjun ke tengah gerombolan musuh, beberapa kawanan Tangan Hitam yang memapah Mo Siong sama berteriak kaget, ada beberapa orang angkat golok terus menerjang maju.

Sekali Siang Cin geraki tangan kanan, dua musuh melolong kesakitan dan menyernburkan darah segar, kematian mereka teramat mengenaskan.

Mo Siong menjadi kalap dan beringas, dia dorong orang2 yang memapahnya, dengan langkah sempoyongan dia menyerbu maju seraya berteriak deagan suara serak, dua bilah goloknya memancarkan sinar kemilau membabat miring, mengarah leher dan dada Siang Cin.

Mencorong bola mata Siang Cin, ia menghardik bengis.

"Bayarlah hutang jiwamu, Mo Siong!"

Sepasamg golok baru menyamber setengah jalan.

"Nyek", tiba2 Mo Siong terpukul mencelat, badannya jungkir balik di udara celakanya kepalanya membentur tanah lebih dulu dan pecah. Dua orang yang memapahnya tadi berdiri melongo ketakutan, kaki mereka seperti berakar di bumi, tenaga untuk angkat langkah seribupun sudah tiada lagi. Bola mata Siang Cin merah membara melotot kepada kedua orang yang ketakutan ini, pelahan dia berkata.

"Kalian bunuh diri saja sekarang!"- Tiba2 bergidik seperti tersentak bangun dari lamunan mereka, kedua orang ini putar badan terus hendak melarikan diri, Siang Cin mendengus sekali, di mana tangannya bergerak.

"Serr", sebatang Toa-liong-kak dia sambitkan, terdengar kedua orang itu mengeluh tertahan, Toa-liong-kak tahu2 sudah berputar kembali pula ke tangan Siang Cin. Tanpa ayal lagi Siang Cin melompat ke atas tanggul dan turun di baliknya baru dia rebahkan Ang Siu-cu yang dipanggulnya, keadaan Ang Siu-cu sudah kempas kempis, napasnya sudah lemah dan tinggal menunggu ajal belaka. Menggosok telapak tangan yang gemetar Siang Cin berteriak dengan suara serak.

"Ang-heng . .....bala bantuan kalian akan segera tiba, kuatkan hatimu, pertahankan dirimu ......takkan lama tentu ada orang akan memberi pertolongan padamu"

Pelahan2 membuka matanya yang pudar, wajah Ang Siu-cu yang pucat mengulum secercah senyum tawar, bibirnya gemetar, suaranya terdengar rendah "Mung ...

..

kin tak kuat lagi, Siang-tayhiap ....aku kuatir ......setengah hidupku berkecimpung di kalangan Kangouw ......hari ini memperoleh ganjaran ......yang setimpal, memang demikianlah ......sebab dan akibat, ini memang .....

.sudah kuduga sebelumnya .

, .., ...

"

Menggeleng pilu Siang Cin, katanya dengan suara lirih.

"Gara2ku yang tidak becus membantumu, Ang-heng. Ai, apa pula yang bisa kukatakan?"

Beberapa kali tubuh Ang Siu-cu bergetar dan berkelejetan, matanya terbeliak, sementara sinar matanya sudah mulai pudar, Siang Cin sudah sering melihat keadaan macam begini, dia tahu laki2 yang gagah perwira dihadapannya ini tak lama lagi bakal mangkat mendahuluinya menuju alam baka.

Tengorokannya bersuara rendah, jari tangan Ang Siu-cu yang gemetar dan terasa mulai dingin menggenggam kencang tangan Siang Cin, kulit mukanya berkerut, sekuatnya dia menarik napas, lalu berkata dengan tersendat.

"Suruh ...., suruh mereka ......membawa pulang abu tulangku ke padang rumput ....... ."

"Ya, pasti kulakukan,"

Sahut Sing Cin.

Ang Siu-cu berkelejetan beberapa kali, lalu tak bergerak lagi, namun bola matanya tetap terbelalak, matipun agaknya dia tak mau meram.

Tanpa bersuara Siang Cin berdoa mengawasi jenazah dihadapannya, dia menghela napas, lalu dia pondong jenasah Ang Siu-cu dan ditaruh di tempat yang agak tersembunyi, lalu dia lari ke arah Bu-wi-san-ceng.

Dinding tembok yang dibangun dari batu gunung tampak begitu tinggi dan tebal, musuh yang datang kemari pasti akan ciut nyalinya, tapi Siang Cin sedikitpun tidak gentar, dia melayang ke atas, bagai seekor burung raksasa di tengah udara dia meliuk dengan badan melengkung, dia melayang turun seringan daun jatuh.

Tempat berada Siang Cin adalah sebuah serambi panjang luas yang dialasi batu marmer hijau, maju ke depan lagi adalah deretan rumah yang di bangun dari batu gunung.

Tepat di tengah sana adalah ruang pendopo, delapan buah pintu yang diatur segi delapan dengan daun pintu terbuat dari tembaga seluruhnya terpentang lebar, cahaya lampu tampak terang benderang di dalam pendopo, di payon kiri kanan rumah bergantungan dua belas lampu kaca yang mengkilap, sebuah huruf "GI" (setia) yang besar berwarna merah darah tergantung tepat di tengah dinding ruangan, di bawah huruf besar ini, tepat di kaki tembok terdapat sebuah meja panjang, dua batang lilin besar tampak menyala terang.

Dalam suasana segenting ini tiada tampak bayangan seorangpun didalam ruang pendopo ini, Siang Cin memandang ke seluruh penjuru, perhatiannya tertuju pada pigura besar tepat tergantung di tengah ruangan, pigura ini berwarna dasar putih, tanpa tulisan sehurufpun, hanya ada lukisan tangan manusia berwarna hitam yang kelihatannya seram.

Agaknya baru saja berlangsung dalam ruang pendopo ini perjamuan pernikahan.

Diam2 Siang Cin menghela napas kasihan akan nasib anak perempuan itu, juga merasa ikut malu pula bagi pihak Bu-siang-pay, padahal pasukan sudah dikerahkan, peperangan yang menimbulkan banjir darahpun telah terjadi, betapa banyak jiwa telah dikorbankan, memangnya apa tujuannya? Tidak lain hanya ingin melampiaskan rasa penasaran belaka?.

Pelan2 Siang Cin menaiki undakan dan maju ke depan, memasuki ruang pendopo, harumnya dupa dan baunya arak masih merangsang hidung, permadani merah digelar sejak dari pintu memanjang ke arah meja sembahyang di tengah ruang sana, suasana gembira ria masih terasakan.

Menjelajah ke seluruh ruangan, tiada jejak mencurigakan yang ditemukan oleh Siang Cin, lalu dengan langkah hati2 dan penuh perhitungan Siang Cin membelok ke kiri menyusuri serambi menuju ke belakang, di sana terdapat sebuah kamar duduk yang dipajang dengan serasi dan asri.

Kamar ini terdapat tiga buah pintu, satu di antaranya menembus ke belakang pula, sementara pintu di kanan-kiri menembus ke kamar lain, setelah berpikir sejenak, Siang Cin tidak memeriksa lebih lanjut, dia membelok ke pintu kanan.

Di sini terdapat serambi yang liku2, di ujung serambi adalah sebuah rumah yang terbuat dari batu gunung pula, keadaan gelap gulita dan tidak terdengar apa2, dengan enteng Siang Cin meluncur ke depan, kira2 setengah perjalanan serambi berliku itu, tiba2 ia belok keluar serambi, sekali melenting, dia melejit tinggi dan hinggap di atap rumah.

Di atap serembi panjang ini pada kedua sisinya terdapat payon yang bertalang tempatnya yang dekuk cukup pas untuk mendekam seorang.

Segera kuping Siang Cin yang tajam mendengar suara "klik"

Sangat pelahan, payon yang kedua sisi terbuat dari lempengan besi itu mendadak terbalik dan mengatup, baru sekarang disadari oleh Siang Cin bahwa payon besi ini ternyata tajamnya luar biasa.

Sigap sekali tangan Siang Cin menepuk ke bawah sehingga badannya mencelat ke atas, dikala badannya tegak kembali di atap serambi itu, hujan panahpun memapak dirinya.

Dalam kegelapan Siang Cin masih bisa melihat bahwa hujan panah dibidik keluar dari barisan jendela di deretan rumah pertama ujung serambi sana, cepat Siang Cin melayang ke sana sembari ayun sebelah tangannya, sebuah kotak kayu warna merah dia timpukkan dengan deru suara yang kencang melayang masuk melalui jendela ke dalam rumah pertama.

Suara kotak kayu itu jatuh dan pecah berantakan sekejap saja didengarnya kegaduhan mulai timbul di dalam rumah.

"Waduh, O, apa ini yang menggigitku"" --- "Aduh biang, sakit sekali .....

""

"Celaka, dari mana labah2 sebanyak ini? Aai, minggir, jangau kau mendesak ke arahku ......" - "To-thauling, aduh, aku digigit ....... .."

Siang Cin menyeringai, mendadak ia membalik tubuh, sebuah sabuk kain berminyak bagai seekor ular panjang tiba2 meluncur, dengan tepat menghantam lampu kaca yang paling ujung.

"Prang pyaaar", ditengah suara berisik berhamburnya pecahan kaca, suara nyala api yang segera berkobar terdengar mengerikan, sabuk minyak yang mengandung belerang itu seketika menimbulkan kebakaran yang hebat. Setelah menarik napas panjang, Siang Cin pentang tangan dan mengapung ke atas hinggap di atap paling tinggi dari bangunan itu. Api berkobar semakin besar di sebelab bawah, segera Siang Cin melayang ke sana pula, dikala hampir tiba di samping bangunan tinggi besar ini, dari arah kanan dilihatnya dua orang tengah baku hantam dengan sengit, keduanya bergebrak dengan gerak cepat dan cekatan. Lapat2 Siang Cin mengenali kedua orang yang lagi berhantam di atap rumah itu satu di antaranya adalah Poan-hou-jiu Te Yau, lawannya adalah seorang yang berjubah merah. Baru saja ia hendak menerjang kesana membantu Te Yau, tiba2 ia punya pikiran lain, umumnya orang2 kawanan Tangan Hitam, sekalipun dia seorang gembong yang punya kedudukan tinggi, semuanya mengenakan warna hitam, memangnya dari mana pula jago kosen berjubah merah ini? Memangnya di dalam waktu singkat ini pihak mereka telah mengundang jago2 dari aliran lain untuk bantu menghadapi serbuan orange Bu-siang-pay? Kalau hal ini betul, betapa banyak jago2 silat yang telah tiba? Bagaimana tingkat kepandaian mereka? Kini di mana pula mereka menyembunyikan diri? Siang Cin tidak ayal lagi, cepat dia melesat ke sana, dari jauh angin pukulannya segera melanda musuh yang berjubah merah menyolok itu. Sebat sekali orang berjubah merah itu berkisar, pergi, Poan-hou-jiu Te Yau berteriak riang.

"Siang-tayhiap, jejak Siocia sudah ditemukan, Pek yang sedang ......"

Belum habis dan bicara laki2 ubah merah telah melompat maju ke kanan-kiri, dalam gerakan ke kiri-kanan ini, tiba2 sebelah tangannya menggablok ke arah Siang Cin, sedang tangan yang lain memukul Te Yau tenaga pukulannya kuat luar biasa.

Diam2 Siang Cin mendongkol, main kepalan dirinya adalah paling ahli, kenyataan lawan berani main hantam dihadapannya.

Sembari menghardik tangannya bergerak setengah melingkar, lingkaran kecil terus meluas menjadi sebuah lingkaran besar, di tengah lingkaran besar inilah tersembunyi pukulan hebat, se-olah2 sebuah jala besar yang tidak kelihatan terus mengurung ke arah musuh.

Maka si jubah merah merasakan adanya gencetan berat dari dua arah yang berbeda, begitu tahu gelagat tidak menguntungkan cepat dia menyurut mundur, tapi ujung jubahnya terobek oleh telapak tangan Siang Cin.

Bagai bayangan.

Siang Cin memburu maju dengan serangan tiga puluh tujuh jurus pukulan, sementara kedua kakinya berganti menendang secara berantai, gaya pukulannya yang keras bagai gelombang yang ber-gulung2, bayangan kakinya secepat kilat, rangsakan yang dahsyat ini sekaligus mendesak si jubah merah mundur sampai di pinggir atap rumah.

Siang Cin melejit mundur seraya mendengus, lalu ia berseru.

"Te-heng, apakah Janheng mengejar musuh?"

Te Yau menyahut.

"Betul, tadi Cayhe juga ikut mengejar, tapi dicegat keparat ini."

Dalam percakapan singkat ini, laki2 jubah merah telah menubruk balik, begitu berhadapan kedua tangannya kembali melancarkan bayangan pukulan yang bersusun dan tebal menggulung kearah Siang Cin.

Kini Sang Cin telah melihat jelas tampang lawannya, ternyata orang ini berwajah cakap, seorang pemuda yang gagah kekar, sikapnya kelihatan angkuh, sorot matapun tajam.

Sambil bcrputar, se konyong2 bayangan jubah kuning Siang Cin berkelebat, seolah2 sekaligus telah berubah menjadi ribuan Siang Cin, dari arah yang sukar diduga ini, sekaligus ia menggempur musuh dengan tak kalah gencar dan sengitnya.

Deru angin pukulan meledak saling bentur, bayangan pukulan beterbangan tanpa kenal ampun lagu ia menggempur laki2 jubah merah itu.

Siang Cin telah keluarkan Bong-li-mo (iblis dalam ini api), salah satu dari kesembilan keahliannya, selama terkenal di Kangouw jarang Siang Cin menggunakan jurus yang lihay ini Karena Bong-li-mo dan Win jian san merupakan tipu pukulan yang paling ganas diantara sembilan jurus ilmu pukulannya yang hebat, seluruhnya telah memeras tenaga dan pikiran Siang Cin selama enam tahun baru berhasil diyakinkannya ilmu pukulan ini.

Maka terdengar si jubah merah menjerit kaget, sekuatnya dia melompat sejauhnya, sembari melompat kedua tangannya masih bergerak membuat pertahanan yang kukuh bagai dinding, sekuatnya dia berusaha membendung serangan gencar musuh yang memberondong tiba dari berbagai penjuru, serentetan suara keras menggetar, tubuh si jubah merah tampak terjungkal ke bawah.

Sebat sekali Poan-hou jiu Te Yau memburu maju, serunya sambil tepuk tangan.

"Siang tayhiap, kau memang hebat, tidak lebih dari tiga jurus sudah kau bikin bocah itu terjungkal ke bawah, padahal sudah hampir ratusan jurus Cayhe bergebrak dengan dia ."

Siang Cin tersenyum, katanya.

"Te-heng, tahukah kau ketiga jurus ilmu yang kugunakan tadi telah memeras keringat, tenaga dan pikiranku selama tujuh tahun?"

Melenggong sejenak, lalu Te Yau tertawa kikuk.

"Kungfu anak muda tadi ternyata cukup lihay,"

Demikian kata Te Yau kemudian.

"bicara terus terang Siang tayhiap, kalau dilanjutkan mungkin aku tidak dapat mengalahkan dia."

Sambil menepuk pundak Te Yau, dengan rasa was2 Siang Cin berkata.

"Gelagatnya kurang beres, si jubah merah tadi jelas bukan anggota kawanan Tangan Hitam, sejauh ini kita belum tahu berapa banyak musuh telah mengundang bantuan dari golongan lain, sedang bala bantuart Bu siang pay kalian sampai sekarang belum juga menyerbu tiba di sini, padahal jejak puteri Ciangbunjin kalian belum .juga ada kepastiannya, malah ......em, herannya gembong2 kawanan Hek jiu-tong yang lain sampai sekarang belum juga muncul ........."

Tanpa sadar hampir saja Siang Cin menceritakan tentang kematian Ang Siu-cu, tapi dia tahu dalam detik2 yang masih gawat ini, berita duka cita ini sekali2 tidak boleh dia sampaikan, supaya tidak mempengaruhi semangat juang orang2 Bu-siang-pay, jika sampai kalap dan bertempur tanpa menggunakan pikiran sehat, urusan tentu bisa runyam.

Agaknya Poan-hou-jiu Te Yau tidak perhatikan bahwa Ang Siu-cu sudah tiada di samping Siang Cin, dengan rasa kuatir dia berkata.

"Kekuatiranmu memang beralasan, Siang-tayhiap, Pek-yang sudah mengejar ke sana, perumahan dalam perkampungan itu seluruhnya gelap gulita, bangunannya sambung menyambung seluas ini, untuk mencari jejak Pek yang memang bukan soal mudah ......"

Berpikir sejenak, Siang Cin berkata pula.

""Apa boleh buat, terpaksa kita berpencar mencarinya, peduli dapat tidak menemukan Jan-heng dan puteri Ciangbunjin kalian, dalam waktu sesulutan dupa kita harus sudah tiba dan menunggu di pintu ruang pendopo sana."

Baru saja Te Yau manggut, tiba2 seperti ingat apa2 dia bertanya.

"O, ya, Siang tayhiap, mana Siu-cu?"

Kebetulan Siang Cin sudah putar tubuh, sahutnya dengan tertawa getir.

"Dia terpisah denganku. Hayolah sekarang kitapun berpencar."

Habis bicara Siang Cin mendahului terjun ke tempat gelap.

Sejenak Te Yau berdiri melenggong, ia geleng kepala, iapun melompat ke sana.

Suasana dalam perkampungan yang luas gelap ini sunyi senyap, dalam kesunyian ini terasa adanya ancaman yang amat berbahaya dan membuat orang merinding, Tanpa berhenti Siang Cin terus meluncur ke barat, matanya menjelajah dan memeriksa dengan cermat setiap tempat dan setiap sudut, tapi kecuali kesunyian dan kepekatan, perkampungan besar ini hampir boleh dikatakan sudah tidak dihuni oleh makhluk hidup lagi.

Tiba pada sebuah taman bunga yang kelihatan teratur dan terawat baik, berbagai jenis bunga seruni tumbuh di dalam pot2 yang berjajar di sekeliling empang yang berbentuk sabit, sebuah jembatan berliku tampak melintang di atas empang yang panjang dan luas ini, sebuah gardu mungil berada di tengah empang sana Siang Cin memandang sekilas ke sana, baru saja ia hendak berlalu, tiba2 ia mendengar suara kresekan lirih di dalam gardu.

Tergerak hati Siang Cin, lekas dia mendekam, dengan tajam dia mengawasi gardu itu, sesaat kemudian, dari dalam gardu kembali didengarnya suara pakaian yang bergesek, batok kepala seorang tampak menongol keluar serta celingukan ke kanan kiri.

Mendadak Siang Cin pentang tangan, secepat kilat tiba2 dia menubruk kepala yang menongol itu.

Sudah tentu kejadian mendadak ini membuat orang itu kaget dan menjerit takut, belum lagi sempat dia memberi reaksi, sekali raih dan jambak Siang Cin sudah angkat orang itu ke atas, orang ini berpakaian hitam dengan kulit muka benjal benjol, wajah yang bengis dan jerih, ini memang cocok sebagai anggota kawanan Tangan hitam.

Sembari menjerit kaget, golok yang dipegang orang itupun terlepas jatuh dan bersuara nyaring.

Sekencang tanggam Siang Cin jambak leher baju orang itu, katanya dengan menyeringai.

"Pasukan besar Bu-siang-pay telah menyerbu ke atas Pi-ciok-san, sepuluh gembong kalian sudah gugur separuh, anak buah juga tak terhitung banyaknya yang binasa, yang masih hidup sudah ngacir menyelamatkan diri, dan kau sahabat, kini juga tiada harapan hidup lagi."

Saking tegang dan ketakutan orang itu tampak pucat mukanya, napasnya terasa sesak, mulutnya megap2, sekujur badan gemetar dan basah oleh keringat dingin, sedikit mengendurkan jari2nya Siang Cia berkata pula.

"Di mana kalian sekap puteri Ciangbunjin Bu-siang-pay?"

Sekuatnya orang itu menarik napas sahutnya tersendat.

"Aku ......aku tidak tahu."

Setajam pisau sorot mata Sang Cin di tempat gelap, jengeknya mengancam.

"Sekarang kau akan mampus secara sia2, Hek-jiu-tong sudah hancur, tiada orang yang akan memuji dan mengenangmu, kematianmu tak ubahnya seperti babi atau anjing yang tak berharga, tapi kau tak usah kuatir, kawan2mu sudah bubar, tiada orang yang akan membuat tuntutan dan mencari kesulitanmu, maka beritahukan saja padaku sejujurnya, nanti kuberi seratus tahil perak sebagai imbalan jasamu, ehm?"

Daging benjal-benjol di muka laki2 bermuka buruk ini tampak ber gerak2, ia mengawasi Siang Cin dengan ragu.

"Bagaimana?"

Siang Cin mendesak pula. Orang itu celingukan ke kanan-kiri, lalu berkata dengan suara lirih.

"Baiklah, kuberitahu padamu, nona dari Bu-siang-pay kalian itu dikurung dalam kamar rahasia di bawah gardu ini ..... ."

Siang Cin menatapnya lekat2, tanyanya.

"Cara bagaimana membuka pintu kamar rahasia?"

Sejenak bimbang akhirnya orang itu berkata.

"Meja batu di tengah gardu itu diputar ke kanan kiri masing2 tiga kali, meja batu itu akan bergeser dan terbuka sebuah lubang yang menjurus ke bawah dengan undakan batu, setelah melewati lorong sempit panjang akan tiba di kamar tahanan itu."

"Siapa yang menjaga nona itu?"

Tanya Ciang Cin pula. Setelah menelan liur baru orang itu menjawab ragu2.

"Ada ....Pat-ko Dian Ki dan lima orang Thaubak."

Dingin sinar mata Siang Cin, katanya.

"Bagus, kau memang jujur dan mau terus terang, sekarang biar aku memberi persen padamu."

Mulut si muka burik tampak menyungging senyum.

tangannya terulur untuk menerima dua ratus tahil yang dijanjikan Siang Cin.

Siang Cin merogoh saku mengeluarkan uang yang dijanjikan, malah jumlahnya satu kali lipat lebih banyak, tapi begitu uangnya tergenggam ditangan orang, tiba2 dia tertawa ter kekeh2 aneh, bernada kejam dan mengancam, seketika orang bermuka buruk itu merasakan gelagat jelek, belum lagi dia menggenggam kencang dua keping uang perak itu, tahu2 uang itu terebut pula oleh Siang Cin, sekali gablok, kedua keping uang perak itu ambles masuk ke sela2 tulang pundak orang itu.

"Huuaaah,"

Laki2 buruk rupa itu menjerit, saking kesakitan muka yang jelek dan hitam itu tampak pucat kelabu. Siang Cin menjambaknya pula, sepatah demi sepatah dia berkata.

"Bicaralah terus terang padaku, di mana nona itu disembunyikan?"

Sambil menahan sakit dan keringat dingin gemerobyos, kata orang itu dengan gemetar.

"Aku... aku sudah beritahu ....beritahu padamu ....aku .., . sudah bicara terus ....terus terang "

"Tapi kau lalai akan satu hal,"

Jengek Siang C,a.

"ketahuilah Pat-ko kalian si Alap2 hitam Dian Ki sudah modar, malah aku sendirilah yang merenggut nyawanya."

Laki2 itu berdiri melongo dengan badan tetap gemetar, mungkin saking kaget sampai dia lupa merintih kesakitan maka sedikit tekan uang perak yang menusuk di tulang pundak orang itu, Siang Cin mengancamnya pula.

"Di mana?"

Keruan orang itu menjerit pula seperti babi disembelih saking kesakitan suaranyapun berubah serak, katanya sambil menahan sakit.

"Me ... , memang betul ....berada ....di dalam kamar batu ...."

"Bohong!"

Bentak Siang Cin.

Telapak tangannya bekerja pulang-pergi, dia gampar muka orang beberapa kali, laki2 itu mundur sempoyongan serta roboh telentang, waktu merangkak bangun tangannya berusaha memungut goloknya yang terlempar jatuh di lantai tadi terus hendak membabat kaki Siang Cin.

Baru saja sinar golok berkelebat, mendadak kaki Siang Cing terayun, belum lagi golok orang menyamber tiba, kakinya telah menendang Thay yang-hiat dengan telak, bersama goloknya orang itu mencelat ke atas dan "byuuur"

Kecebur ke dalam empang.

Sejenak mengawasi mayat yang terapung dipermukaan air, mendadak Siang Cin membalik badan.

Dalam gardu entah sejak kapan sudah berdiri seorang laki2 tua berpakaian hitam dengan jenggot putih panjang terurai di depan dada.

Sorot mata orang tua ini setajam kilat, lama dia pandang Siang Cin lekat2, Siang Cinpun balas menatap orang dengan dingin, dalam kegelapan dia sudah mengerahkan Lwekangnya siap bertindak untuk menjatuhkan musuh lebih dulu.

Dengan lantang orang tua ini berkata.

"Biarlah Lohu saja yang beritahu di mana puteri Ciangbunjin Bu-siang-pay sekarang berada."

"Siapa kau?"

Bentak Siang Cin. Orang tua itu menyeringai dan berkata.

"King Ji-seng."

Mendengus Siang Cin, katanya.

"Lama kudengar namamu yang tersohor, sahabat tua, Kunsu (guru atau penasihat) dari Hek-jiu-tong, si bijak yang pandai membakar rumah dan membunuh orang."

Marah tapi King Ji seng tertawa, katanya.

"Kelihatannya Lohu memang welas asih, tapi bila perlu aku bisa melakukan kekejaman, sebaliknya kau, membunuh orang seperti memotong sayur, jadinya sahabat muda, kau tiada ubahnya seperti diriku"

Siang Cin menjengek.

"Kalau dua durjana berhadapan, maka dia harus menentukan antara mati dan hidup."

Sambil mengelus jenggot, sikap King Ji-seng tampak tenang, katanya.

"Akan tetapi, apakah kau tidak pikirkan lagi tentang jiwa puteri Ciangbunjin Bu-siang pay?"

"Baiklah, silakan bicara,"

Ucap Siang Cin. Setelah berdehem lalu King ji-seng berkata dengan pongah.

"Puteri CiangbunJin Busiang- pay Thi Yang-yang sudah suka sama suka dan menjadi jodoh yang setimpal dan takkan terpisahkan dengan Losam kami, mereka sudah melangsungkan pernikahan secara resmi petang tadi, keduanya sudah berjanji kepada bumi dan langit untuk hidup sampai tua .....

"

"Apakah ada comblang dan saksi dari kedua pihak?"

Jengek Siang Cin.

"Sudah tentu ada!"

Siang Cin mencibir, katanya.

"Siapa saksinya? Apakah bapak ibu Thi Yang yang telah memberi izin? Ini hanyalah permainan kotor kalian sepihak, kalian harus tahu, aku dan Bu-sang-pay bukan kaum lemah yang mudah ditipu dan dipermainkan." Sedikit berubah air muka King Ji-seng, tapi sekuatnya dia menahan emosi, katanya tawar.

"Terserah bagaimana penilaianmu, tapi kau juga harus maklum akan satu hal, jika Thi Yang-yang sendiri tidak menyetujui perjodohan ini, siapapun tak kuasa memaksanya untuk melangsungkan pernikahan ini, malahan terus terang, meski baru sekarang resminya mereka melangsungkan pernikahan, hakikatnya sebelumnya hubungan suami-isteri lahir batin telah mereka lakukan."

Diam2 Siang Cin menghela napas, hal ini memang sudah dalam dugaannya, tapi dia tetap ngotot menurut pendapat dan pandangannya, katanya.

"Yang jelas pernikahan ini diadakan secara sepihak oleh Hek-jiu-tong kalian, Khong Giok-tik membalas budi kebaikan dengan kejahatan, bukan saja tidak berterima kasih akan pertolongan jiwanya terhadap Bu-siang-pay, malah menculik orang dan mencuri pusaka, puteri penolongnya dipikat dan dibawa lari, dia telah menyalahi kebenaran, kepercayaan dan kesetiaan, karena itu sahabat tua, umpama benar Thi Yang-yang sendiri sukarela melangsungkan pernikahan ini, ehm, yang terang perjodohan ini tanpa restu orang tua dan tak dapat dianggap resmi."

King Ji-seng mendengus, katanya sinis.

"Sahabat muda, itu adalah pandangan kalian, kini bentrokan telah berlangsung secara terbuka, umpama kalian hendak mengakhiri pertikaian ini juga tidak boleh jadi, Lohu hanya ingin membeber persoalan sebenarnya, jadi bukan mengharapkan sesuatu yang mustahil. Dan lagi dendam kematian Lo-jit dan Lo-pat belum kami tuntut dari kedua tanganmu yang berlepotan darah itu, maka kau harus membayar utang jiwa ini dengan kematianmu."

"Memang sudab kupertimbangkan cara tuntut balas kalian ini,"

Ucap Siang Cin.

"bagaimana hasilnya segera akan kita buktikan bersama, sudah tentu akan terjadi banjir darah, darah kalian atau darahku."

Menatap Siang Cin sekejap pula, tiba2 King Ji-seng membalik badan pada saat tubuhnya ber-gerak itulah tahu2 bayangannya lantas lenyap.

tapi Siang Cin sudah melihat bahwa dua langkah di belakang King Ji-seng berdiri itu, lantai bergerak merapat, jadi King Ji-seng melenyapkan diri ke bawah lorong.

Menerawang sebentar keadaan, Siang Cin terus putar balik keluar, dia harus cepat mengirim berita ini kepada orange Bu-siang-pay, selain itu iapun merasakan firasat jelek, ia merasa tidak semestinya para gembong Hek-jiu-tong sejauh ini tidak menampakkan batang hidungnya, se-olah2 di balik suasasana ini tersembunyi suatu muslihat yang keji dan jahat.

Pertama, kenapa gembong2 Hek-jiu-tong tidak muncul seluruhnya membendung serbuan musuh? Adalah lucu bila mereka lupa bahwa memecah kekuatan adalah memperlemah pertahanan sendiri.

Kedua, meski Busiang- pay telah melakukan serangan besar, sejauh ini pertempuran tetap berkecamuk di daerah jalan dua belas liku sana, di puncak Pi-ciok san, terutama dalam Bu-wi-san-ceng tidak nampak suasana tegang sedikitpun, apalagi pertahanan di sinipun terlampau lemah, jelas ini bukan tindakan kawanan Hek-jiu-tong yang biasanya cukup cermat dan lihay.

Ketiga, siapa pula laki2 jubah merah tadi? Apakah Hek-jiu tong sudah simpan jago2 silat golongan lain yang telah diundang untuk membantu? Berbagai pertanyaan ini, semakin dipikir semakin terasa ruwet dan mencurigakan.

Sebat sekali dia meluncur keluar rumah, dari sini dia melihat ke arah pendopo yang tetap terang benderang, tapi tetap tidak kelihatan bayangan orang, demikian pula pintu gerbang Bu wi-san ceng tetap tertutup rapat.

Baru saja Siang Cin hendak melompat pula ke sana, teriakan pertempuran yang gegap gempita segera berkumandang ke atas gunung, suara ledakan dan kobaran api belirang dengan asapnya yang tebal, sayup2 terdengar pula benturan senjata dan jerit lolong yang menjadi korban.

Tadi di dalam dia tidak mendengar apa2, maklumlah jaraknya terlalu jauh, tapi dalam sekejap ini kenapa pihak Bu-siang-pay dapat menyerbu dan naik ke puncak gunung begini pesat, boleh dikatakan serbuan meraka amat mudah tanpa rintangan? Memangnya muslihat apa yang diatur musuh? Tanpa ayal Siang Cin melayang ke dalam Bu-wi-san-ceng, baru saja dia hinggap di balik pagar tembok, dia melihat orang2 Bu-siang-pay dengan golok sabit mereka yang kemilau itu sudah menerjang tiba dari jalan berliku yang terang benderang itu, hanya masih beberapa gelintir saja kawanan Hek-jiu-tong yang tetap bertahan mati2an.

dalam kegelapan tampak rombongan besar orang Hek-jiu-tong sedang mundur ke arah utara.

Di tengah kobaran api dan asap tebal yang bergulung itu, si Sayap terbang Kim Bok tampak memburu datang, perawakannya yang tinggi besar tampak menyolok, tiga puluhan orang Bu-siang pay yang berseragam putih dengan gelang emas melingkar di jidat tampak ikut menyerbu di belakangnya.

Cepat Siang Cin memapak maju.

Muka kim Bok tampak merah berdarah, noda darah mengotori sekujesr badannya, Cuncu Wi ji-bun dari Bu siang-pay ini tampak memburu napasnya, rambutnya awut2an, pakaiannya hangus terbakar di beberapa tempat, melihat Siang Cin segera dia girang.

"Lote, tiga barisan kita seluruhnya telah menyerbu tiba, bagaimana keadaan di sini?"

Siang Cin tertawa, katanya.

"Kim-cuncu, kenapa kalian bisa menyerbu datang secepat ini?"

Hui-ih Kim Bok tertawa, katanya.

"Tidak begitu cepat, dimulai sejak melihat tandamu, keparat Tangan hitam itu bertahan mati2an, baru setengah jalan sudah dua puluhan anak buah barisanku yang gugur, si jenggot merah yang jagal itupun terluka, tapi musuh mungkin tahu tak mampu melawan, ketika kami berhasil menduduki lagi beberapa pos penjagaan mereka, tahu2 mereka mundur dan melarikan diri, maka dengan leluasa tanpa banyak rintangan kami, serbu sampai di sini."

Setelah menghela napas, Kim Bok memandang sekitarnya dengan senyum lebar, bayangan yang bergerak semuanya berpakaian putih, mereka adalah orang2 Busiang- pay yang telah menduduki puncak gunung sebelah luar, maka dengan puas Kim Bok bertepuk tangan, katanya.

"Lote, marilah kita langsung serbu ke sarang mereka?"

"Kim-cuncu,"

Ucap Siang Cin sambil menggeleng.

"kurasa gelagat kurang wajar, serbuan harus segera dihentikan."

Terbelalak Kim Bok, serunya kaget.

"Dihentikan? Dengan susah payah kita menyerbu ke sini, mana boleh dihentikan? Kalah menang bukan soal, yang penting jangan merosotkan semangat juang mereka."

"Kim-cuncu,"

Kata Siang Cin gelisah.

"gembong2 musuh yang muncul sampai detik ini hanyalah kaum keroco yang tidak berarti, jago2 kosen yang berkepandaian tinggi belum ada satupun yang muncul, keadaan dalam Bu-wi-san-ceng juga kosong dan sunyi senyap tanpa kelihatan bayangan seorangpun, Cayhe memergoki pula jago2 kosen dari aliran lain yang membantu mereka, melihat gelagatnya, betapapun kita harus bertindak hati2 ......"

Setelah memeriksa sekelilingnya Siang Cin segera menambahkan pula.

"Semula mereka bertahan dengan segala kekuatan, tapi mendadak kekuatan mereka ditarik dan mengundurkan diri, situasi yang sukar dijelaskan ini dapat disimpulkan bahwa di balik hal aneh ini pasti ada muslihatnya, bukan mustahil mereka sedang mengatur perangkap keji."

Kim Bok rnendengarkan dengan melongo, diam2 iapun merasakan gejala2 yang tidak beres ini, tapi tatkala mana ada dua puluhan murid Bu-siang-pay di bawah pimpinan laki2 gundul bertubuh gemuk sedang menggempur pintu gerbang Bu-wisan ceng, dengan mengacung tinggi golok sabitnya, si kepala gundul gemuk besar itu tengah memberi komando kepada anak buahnya, jenggotnya yang merah, matanya melotot, alisnya tebal, mulut ber-kaok2, kelihatan beringas dan buas.

"Kim-cuncu,"

Teriak Sang Cin, `lekas perintahkan anak buahmu menghentikan aksinya."

Kim Bok mengangguk, segera ia bersuit panjang, dua puluhan murid Bu-siang-pay yang sedang menggempur pintu segera mundur dan menghentikan aksinya, dengan bingung mereka saling pandang lalu berpaling ke belakang.

Cepat sekali dua bayangan orang tampak meluncur tiba, yang di depan adalah Liat hwe-kim-lun Siang Kong-ceng.

di belakangnya adalah Ceng-yap cu Lo Ce.

Belum lagi tiba dari kejauhan Siang Kong ceng sudah berteriak marah.

"Lo Kim, memangnya kau sudah keblinger? Kemenangan sudah di depan mata, kenapa kau perintahkan mereka berhenti?"

Belum lagi Kim Bok menjawab Siang Cin sudah menapak maju, katanya dengan tenang. Siang cuncu, Cayhelah yang minta kepada Kim-cuncu untuk sementara menghentikan penyerbuan."

Begitu melihat Siang Cin, amarah Siang Kong-ceng yang sudah meledak terpaksa ditahan, dengan tertawa dia bertanya.

"lote, apakah ada sesuatu yang kurang benar? Secara ringkas Siang Cin ceritakan hasil penyelidikannya, lalu dia menambahkan.

"Siang-cuncu, Hek-jiu tong terkenal licik dan keji, betapapun mereka takkan mundur setelah jatuh korban begini banyak, kurasa mereka pasti tengah mengatur muslihat, situasi belum lagi kita jajaki, jika menyerbu masuk ke perkampungan secara gegabah, kukuatir terperangkap oleh jebakan mereka."

Sambil mengelus jenggot, Siang Kong-ceng berkata tak acuh.

"Kukira belum tentu seperti apa yang Lote kuatirkan, situasi seperti sekarang ini, terus terang tidak terpandang olehku. Yang jelas Hek-jiu tong mengalami gempuran hebat dan jatuh banyak korban, nyalinya sudah pecah, mereka ngacir menyelamatkan jiwa, kesempatan baik ini mana boleh diabaikan begini saja? Lote, lebih baik kita teruskan gempur sampai ke sarang mereka."

Diam2 Siang Cin menghela napas, katanya.

"Kim-cuncu, Cayhe masih muda dan cetek pengalaman, jelas tak dapat dijajarkan dengan Siang cuncu, tapi setulus hati Cayhe mengutarakan pendapatku, harap para Cuncu bertindak lebih cermat."

Liat-hwe-kim lun Siang Kong-ceng menyengir, katanya.

"lote terlalu merendah hati, tadi Lohu terlalu memberanikan diri, kuharap Lote jangan berkecil hati ...."

"Mana berani,"

Ucap Siang Cin.

"terlalu berat ucapan Cuncu."

Siang Kong-ceng memandang sejenak kearah Bu wi-san ceng tanpa bersuara. akhirnya ia ambil keputusan.

"Baiklah, akan segera kuperintahkan menggempur sarang musuh."

Dengan bimbang Liat-hwe kim lun yang ada di sampingnya berkata.

"Lo Siang apa yang dikatakan Siang-lote cukup beralasan, kukira hal ini harus dipertimbangkan lagi."

Dengan kurang senang Siang Kong-ceng ber-kata.

"Bimbang bukan putusan bijaksana bagi seorang pimpinan di medan laga, Lo Kim, jika kau merasakan gelagat menguatirkan, murid2 Wi-ji-bun kalian boleh tidak ikut menyerbu ke dalam."

Berubah air muka Kim Bok, katanya gusar.

"Siang Kong-ceng, kau kau mengoceh apa?"

Siang Kong-ceng mendengus terus membalik badan, ia bersuit melengking pendek beberapa kali, maka teriakan gegap gempita serbuan murid2 Bu siang pay segera bergema pula, murid2 Bu-siang-pay yang telah menduduki puncak gunung serempak menyerbu ke arah Bu-wi-san-ceng, malah ada puluhan bayangan orang telah melompati pagar tembok.

Sambil mengulap tangan Siang Kong-ceng bawa Ceng-yap-cu memburu ke sana, Kim Bok menghela napas, katanya lirih.

"

Lote, begitulah ciri orang she Siang yang suka bertindak menuruti panasnya hati, wataknya memang congkak, jangan kau berkecil hati .....

"

Siang Cin tertawa tawar, katanya rawan.

"Aku sudah bekerja sekuat tenaga. Biarlah Thian yang memberikan putusannya."

Tengah bicara, suara gempuran keras terdengar, pelan2 pintu gerbang Bu-wi-san ceng telah bobol, sambil berteriak riuh rendah murid2 Bu-siang-pay yang kesetanan segera menyerbu ke dalam. Kim Bok tertawa getir, katanya.

"Lote, hayolah kita susul mereka?"

Siang Cin mendahului meleset ke depan, ujarnya.

"Memangnya kita tidak membantu?"

Kim Bok tidak mau kalah cepat, dia lari mendampingi, katanya.

"Lote, agaknya tidak ada apa2 . ..." Terbayang rona dingin pada wajah Siang Cin, katanya prihatin.

"Aku berharap demikian."

Dalam percakapan ini kedua orang sudah melambung keatas pagar tembok, sebagian besar murid2 Bu-siang-pay telah menyerbu masuk ke Bu-wi-san-ceng, teriakan mereka masih terdengar, tapi teriakan lantang mereka yang keras itu seperti kekurangan sesuatu apa di medan pertempuran.

Seketika Siang Cin merasakan adanya keganjilan semua teriakan tanpa sambutan dari musuh, sehingga teriakan yang gegap gempita itu terdengar rada sumbang.

Menghela napas, Siang Cin berkata.

"Marilah kita masuk, Kim-cuncu."

"Sudah tentu,"

Ucap Kim Bok tertawa.

"mungkin kali ini kau salah perhitungan Lote."

Reaksi yang mendadak dan diluar dugaan agaknya memang, disiapkan khusus menyambut serbuan orang2 Bu-siang-pay, dikala Kim Bok baru selesa berkata, sebuah ledakan yang dahsyat menggoncangkan seluruh puncak gunung, dibarengi dengan semburan jalur2 api yang menyala dengan bau belirang dan minyak yang menusuk hidung, jalur2 api seperti laba2 yang menyembur dari dalam bumi menjulang tinggi menjilat apa saja yang dapat terbakar, rumah2 yang ada di seluruh Bu-wi-san-ceng bukan saja ditelan lautan api, satu persatupun telah runtuh oleh ledakan yang ber-turut2, suasana kacau balau se-olah2 dunia telah kiamat, seluruh Bu-wi san-ceng hancur lebur karena ledakan keras dan menjadi lautan api.

Dikala ledakan pertama menggelegar, sebat sekali Siang Cin tarik Kim Bok berjumpalitan keluar, remukan batu yang berhamburan selebat hujan muncrat kemana2.

Siang Cin bawa Kim Bok berguling sejauh mungkin.

sementara semburan api menjulang tinggi ke angkasa sehingga puncak gunung terang benderang.

Asap tebal berbau belirang menyesakkan napas, sambil batuk2 Kim Bok merangkak berdiri, mukanya yang memang merah kini semakin merah, tanpa hiraukan kotoran di mukanya dia ber-ternak? serak.

"Habis ..... kita betul2 tertipu ....keji ...."

Pakaian Siang Cin tergores sobek di beberapa tempat, dengan lengan baju dia kebut kotoran di badannya, dengan tenang dia saksikan kobaran api yang menelan seluruh Bu-w-san-ceng, katanya.

"Api berkobar begini besar, di dalam perkampungan tentu dipasang dinamit dan bahan bakar, Kim cuncu, anak buah kalian mungkin sudah gugur sebagian besar."

Mendadak Kim Bok berjingkrak gusar, teriaknya.

"Biar Lohu adu jiwa dengan mereka."

Cepat Siang Cin menarik lengan Kim Bok, katanya.

"Kim-cuncu jangan gegabah, bukan cuma main ledakan dan membakar saja, musuh pasti mengatur siasat lain, bukan mustahil orang2 mereka akan segera menyerbu keluar."

Sambil memukul dada dan menggentak kaki Kim Bok mencak2, teriaknya.

"Lepaskan aku, Siang lote, lepaskan aku, biarpun mereka berkepala tiga berlengan enam, dengan mempertaruhkan nyawa orang she Kim juga akan ganyang mereka."

"Kalau demikian, kenapa tidak bersabar sebentar,nanti kita sergap mereka,"

Kata Siang Cin. Bagai orang gila Kim Bok berteriak kalap.

"Peduli amat, biar Lohu adu jiwa sama mereka ... ."

Di tengah kobaran ani, dari dalam Bu-wi-san-ceng tiba2 berlari keluar belasan orang dengan langkah sempoyongan, malah ada yang merangkak, langkahnya limbung, tubuhnya bergontai, ada pula yang sekujur badan terjilat api.

Keruan Kim Bok semakin panik, teriaknya sambil meronta dari pegangan Siang Cin.

"Lohu akan menolong mereka, Siang Cin jangan kau merintangi aku!"

Bagai harimau mengamuk Kim Bok memburu maju, baru saja dia berlari lima enam langkah, dari sisi perkampungan di tempat gelap sana mendadak terdengar suara tambur ditabuh dan bende di pukul ber-talu2, disambut meluncurnya panah api yang membawa percikan kembang api melesat ke angkasa, ratusan kawanan Tangan Hitam serempak menyerbu keluar dari tempat gelap, bagai air bah mereka membanjir maju.

Orang2 Hek jiu-tong yang memburu datang mendadak melihat bayangan raksasa hitam yang menukik dari angkasa, serentak mereka berteriak kaget dan ketakutan, di tengah jeritan mereka itulah golok sabit Kim Bok telah bekerja, dalam sekejap saja, di mana goloknya berkelebat, puluhan batok kepala orang2 Hek jiu-tong telah dipenggal.

Tapi keadaan ini hanya berlangsung sekejap saja selanjutnya Kim Bok telah terkepung di tengah lingkaran orang Hek jiu- tong, Dengan melotot dan otot hijau memenuhi dahinya, Kim Bok menyerbu musuh bagai harimau mengamuk, golok sabitnya menyamber dan membubat kian kemari, jerit tangis para korbau terdengar saling susul, tapi kalau yang di depan roboh, yang di belakang segera tampil ke muka, Kim Bok tetap terkepung di tengah orang2 Hek-jiutong seolah2 bukan lagi manusia, tapi sekelompok binatang yang tidak kenal artinya mati.

Sekali golok berputar, tiga kawanan Tangan hitam tertabas kutung sebatas pinggang, darah sudah mengotori sekujur badan Kim Bok, mendadak dia berputar pula, baru saja dia hendak menyerbu, tiba2 dari belakang barisan orang2 Hek jiu-tong berkumandang gelak tawa yang aneh, geliak tertawa itu bergema laksana datang dari tempat jauh, suara gaduh seketika kelelap oleh suara gelak tawa aneh ini.

Tergerak hati Kim Bok, se-konyong2 suatu benda yang dingin mengkilap tahu2 sudah berada di depan matanya, tak ubahnya cakar iblis yang hendak merenggut nyawa.

"Wut", badan Kim Bok yang tinggi besar tiba-tiba melayang ke atas, di tengah udara ia ber salto sekali, belum lagi dia sempat melihat wajah si pembokong, gelak tawa orang itu berkumadang pula di belakangnya. Golok sabit Kim Bok menyabat dengan mengeluarkan deru angin yang kencang, berbareng dia mengisar, terasa oleh Kim Bok bahwa serangan goloknya mengenal tempat kosong, tahu2 senjata lawan telah mengepruk pula batok kepalanya, kali ini Kim Bok melihat jelas, itulah sebatang Long-ge-pang (gada gigi serigala), tongkat panjang yang penuh dihiasi gigi yang runcing. Sebat sekali golok sabitnya memapak ke atas.

"trang", benturan keras sekali, Kim Bok bersalto dua kali, sementara lawanpun berjumpalitan ke sana. Orang ini ternyata berperawakan pendek, kedua lengannya justeru teramat panjang sebatas lutut, kepalanya hanya ditumbuhi beberapa utas rambut, bentuk dan wajah orang inii bukan saja jelek juga aneh sekali. Belum lagi Kim Bok memperoleh kesempatan ganti napas, bayangan musuh telah berkelebat maju, tujuh batang golok menyamber pula dari sekelilingnya, dikala dia menangkis dan balas menggasak pengeroyok ini, Laki2 pendek berlengan panjang itu tertawa ter-gelak2, katanya dengan suara melengking.

"Kim Bok setan tua, memangnya kau kira Pi-ciok-san adalah tempat boleh dibuat sembarangan olehmu? Kalau tuan besarmu hari ini tidak mencacah tubuhmu dan mayatmu kujadikan makanan anjing, jangan anggap tuan besarmu ini gembong nomor dua dari Hek jiu tong."

Kim Bok mengamuk semakin kalap, sinar goloknya mendampar seperti gelombang samudera, menari naik turun, empat di antara tujuh musuh yang menyerbu maju disikatnya roboh binasa, tapi musuh se olah2 damparan ombak yang tidak kenal berhenti, gugur satu maju dua, golok setan musuh bergantian secara berantai merangsak maju.

Dua puluhan murid Bu siang-pay yang beruntung dapat meloloskan diri dari kobaran api dan ledakan dahsvat di dalam Bu wi san ceng kini sudah terkepung oleh tiga ratusan kawanan Tangan hitam, yang memimpin orang2 Hek-jiu-tong adalah King Ji seng dan si hidung merah Kau Pui pui, gembong nomor lima.

Dua puluhan orang gagah Bu-siang-pay tiada satupun uang tidak terluka, di antara dua puluhan orang ini temasuk si jagal jenggot merah dan Cengyap cu Lo Ce, tapi Liat-hwe-kim-lun Siang Kong ceng dan Cap-kau-hwi-ce Loh Bong-bu tidak kelihbatan bayangannya.

Pundak kiri Ceng-yap-cu Lo Ce tampak hangus dan melepuh, demikian pula mukanya tampak hitam berair di beberapa tempat, rambutnya tidak keruan dan menjadi keriting karena terbakar, sementara jidat si jenggot merah berlepotan darah, daging pahanya pun dedel, namun demikian, kedua orang sedikitpun tidak menjadi jeri, sambil mengertak gigi dan mata melotot mereka pimpin sisa kawan2nya mengadakan perlawanan dengan gigih pada musuhnya yang sepuluh kali lebih banyak.

Siang Cin sudah dapat meneropong situasi di depan mata, sayang untuk sementara dia tidak mampu memberikan bantuan, karena waktu dia hendak mengikuti jejak Kim Bok terjun ke tengah musuh, dari lereng Bu-wi-san-ceng sebelah kanan tiba2 menerobos keluar lima puluhan orang2 Hek-jiu-tong dan mencegatnya, lima puluh orang ini semuanya mengenakan hiasan kalung berbandul telapak tangan yang terbuat dari logam, ternyata mereka merupakan tulang punggung kesatuan Hek jiu tong yang paling diandalkan keberanian dan kepandaiannya, barisan gagah berani Hian-hun-tong yang terkenal.

Siang Cin pandang kelima puluh orang yang semua berwajah beringas buas, pelan2 di antara lima puluhan orang ini tampil seorang laki2 berperawakan tinggi kurus, bermuka pucat, berusia setengah umur, di depan dada orang ini juga mengenakan mainan kalung tangan hitam, cuma di telapak tangan mainan kalungnya itu masih dihiasi sebentuk batu warna merah yang mencorong terang, sekilas pandang Siang Cin lantas maklum bahwa orang ini tentu salah seorang gembong penting dari Hekjiu- tong.

Laki2 muka pucat yang bersikap ramah ini mengangguk dengan tersenyum kepada Siang Cin, ditengah kedua alisnya yang hampir tersambung itu tampak lekukan segi tiga yang menyolok, suaranya terayata keras dan kasar.

"Siang Cin si Naga Kuning?"

Siang Cin mengangguk, sahutnya kalem.

"Betul!"

Laki2 setengah umur mengelus batu di tengah telapak tangan mainannya, katanya tenang.

"Aku yang tak becus ini adalah Si-thauling (gembong keempat) dari Hek-jiutong, pimpinan Hian-hun-tong, kawan persilatan memberi julukan Siau-long (serigala tertawa) Ji Bu."

Siang Cin gosok2 tangannya, katanya.

"Memang sesuai dengan nama julukannya, selamat bertemu."

Laki2 pertengahan umur, yaitu serigala tertawa Ji Bu memandang sekelilingnya, lalu katanya.

"Situasi di depan mata kurasa tidak menguntungkan bagi pihak kalian, betul?"

"Kelihatannya memang demikian,"

Sahut Siang Cin tak acuh.

"Bicara terus terang,"

Kata Ji Bu sambil melangkah maju.

"aksi kalian yang tidak bersahabatnya sukar baginya untuk menolong kekalahan pihak Bu siang- pay. Dengan tertawa Ji Bu berkata pula.

"Di bawah gunung kalian juga meninggalkan sekelompok orang persiapan bila perlu akan memberi bantuan ke atas, hal ini juga sudah dalam perhitungan kami, oleh karena itu saudara ke sepuluh kami bersama Jik-san-tui bergabung untuk menggasak mereka, sisa kekuatan kalian itu hanya dipimpin oleh si kaki melengkung, memangnya mereka mampu menghadapi pasukan Hian hun tong yang berjumluh ratusan orang itu?"

Sekilas lirik Siang Cin melihat Kim Bok tengah bergebrak sengit melawan laki2 pendek berlengan panjang itu, perawakan Kim Bok kekar kuat, Lwekangnya tangguh, tapi lawannya ternyata bergerak sangat lincah, serangannyapun licik dan keji, maka sejauh ini pertempuran kedua orang tetap seru dan belum tampak pihak mana bakal unggul, sementara sebagian besar orang2 Hek-jiu-tong sama mengurung Ceng-yapcu dan lain2.

"Bagaimana Siang-heng, sudah paham akan penjelasanku?"

Jengek Ji Bu.

"Aku menjadi kasian, betapa sukar Siang-heng angkat nama, sayang harus gugur di Piciok- san yang tidak berarti ini, kami pihak Hek jiu-tong ikut merasa berduka cita."

Kini, setiap saat berada dalam pengawasan dan pengintaian pihak kami, baru sckarang kalian insaf situasi tidak menguntungkan, sebaliknya pihakku, hm, sebelumnya sudah kami ramalkan nasib apa yang bakal menimpa kalian bila menyerbu ke sini"

Setelah mengunjuk sikap kasihan dan simpatik Ji Bu berkata lebih lanjut.

"Dengan pasukan sekecil ini menyerbu ke sarang musuh yang jauh adalah siasat paling tidak menguntungkan, hal ini tentunya Siang-heng maklum. Sayang sekali, sudah tahu sengaja dilanggar, bukankah ini terlalu goblok, memang pihak kami juga banyak jatuh korban, tapi pihak kalian? Mungkin jauh lebih parah, Thi-ji-bun dan Wi ji-bun dari Bu-siang pay boleh dikatakan sudah musnah seluruhnya, sementara Hian ji-bun yang bertugas menyerbu dari balik gunung juga sudah di dalam cengkeraman kami, pintu belakang Bu-wi-san-ceng terbuka lebar untuk menyambut kedatangan mereka, kini mereka telah menikmati betapa segarnya dipanggang di tengah kobaran api, mungkin sudah mangkat ke surga."

Baru sekarang Siang Cin tahu apa yang terjadi, dia belum melihat bayangan Loh Bong-bu, kiranya dia menyerbu naik dari arah lain, kini kecuali diam2 berdoa bagi para pahlawan Bu-siang-pay itu, rasanya tiada upaya lain yang dapat dilakukannya"

Mengawasi jubah kuningnya yang berlepotan darah yang sudah mengering, lapat2 hidung Siang Cin mengendus bau amis, ia meraba noda darah itu, ia maklum bahwa darah yang melekat di sekujur badannya malam ini takkan menjadi kering karena darah baru dari para korban yang akan datang pasti akan membasahi badannya pula.

Setelah berdebem dua kali, Serigala tertawa Ji Bu tersenyum, katanya.

"Siang-heng, kupandang kebesaran namamu, tak tega aku menyaksikan nasibmu yang mengenaskan lebih baik begini saja, biar aku bertanggung jawab dan ambil keputusan sendiri, asal Siang-heng suka bunuh diri, aku jamin jenazahmu akan tetap utuh dan kami kebumikan dengan upacara kebesaran ......"

Tiba2 Siang Cin menyeringai, katanya .

"Apa betul ucapanmu?"

Melihat tawa Siang Cin yang aneh menyeramkan ini, melonjak jantung Ji Bu, tanpa terasa dia menyurut mundur selangkah, dia berlagak simpatik, subutnya.

"Sudah tentu, dengan martabat dan kebesaranku aku berjanji ......"

Mata Siang-Cin memandang ke angkasa nan gelap, dikala orang bicara sampai kata "janji", kedua tangannya mendadak bergerak, dua batang Toa-liong-kak yang kemilau kuning secepat kilat menyamber ke depan.

Begitu sinar kuning menyambar, lekas serigala tertawa Ji Bu mendekam ke bawah sambil tetap tersenyum dan berteriak.

"Serbu!"

Lima puluhan orang Hiat-hun tong serempak ber-teriak2 sambil angkat senjata terus menyerbu kalap, bagai harimau kelaparan mereka ingin melalap mangsanya.

Padahal Toa-liong-kak dengan deru suaranya yang membising telah menyambar tiba, maka terdengarlah suara "cras, cras", dalam sekejap mata tujuh orang terjungkal dengan kepala protol, dikala kedua Toa- liong kak menyamber maju pula, tiba2 dua laki2 menggembor kalap dan melompat maju, seorang terus memeluk Toa-liong-kak yang menyamber tiba, maka senjata tajam yang melengkung bagai sabit itu menghunjam ke dada mereka, tenaga samberannya yang dahsyat menyebabkan kedua korban nya tertolak balik dan jatuh terbanting, meski jiwa sudah melayang tapi kedua orang ini tetap memeluk kencang senjata yang merobek dada mereka.

Golok setan yang besar tebal dari tiga orang tahu2 menderu tiba, mata golok yang kemilau mengincar tubuh Siang Cin dari arah yang berbeda, sedikit miring tubuh serta berputar, telapak tangan kiri Siang Cin bergerak, cukup sekali gerakan, tapi ketiga musuh yang merangsak maju roboh dua di antaranya, seorang lagi sambil mengeluarkan suara "ngek", mukanya pecah berdarah dan terpental mundur.

Ji Bu yang memang suka tertawa segera menyelinap maju, entah sejak kapan dia telah memegang sebilah pedang pandak sepanjang dua kaki, lebarnya juga hanya tiga senti, baru bayangannya terlihat oleh Siang Cin, sementara pedang pandak yang kemilau tajam telah mengancam iga Siang Cin.

Cepat Siang Cin menggeser ke samping, kedua tangannya bekerja sekaligus, dua laki2 dipukulnya roboh dengan mandi darah, pada saat itu pula terpaut serambut saja pedang pandak si serigala tertawa Ji Bu menyamber lewat.

Siang Cin lantas melambung ke atas, di tengah udara dia berjumpalitan, kedua kakinya menyepak dan menendang, dua kapak besar yang membelah tiba kena ditendangnya mental balik menghunjam dada kawan sendiri, sementara tulang dada orang ini juga tersodok remuk oleh gagang kapak yang menerjang balik.

Tanpa bersuara Serigala tertawa Ji Bu tetap menyerbu dengan tangkas luar biasa, pedang pandaknya menggulung ke depan dengan keji, cepat dan ganas.

Sinar mata Siang Cin mencorong terang, secepat kilat ia menghindari damparan sinar senjata musuh, padahal antara serangan pertama dengan serangan berikutnya boleh dikatakan tiada peluang sedikitpun, tapi dengan menakjubkan Siang Cin menyelinap lewat di antara sela2 sinar pedang musuh se-akan2 tubuhnya itu tak berisi.

Loh si-kiu-kiu-kiam-hoat adalah ilmu pedang andalan si serigala tertawa Ji Bu yang terkenal sejak dia malang melintang di Kangouw, dia mengira ilmu pedangnya ini tiada bandingan, kini sembilan puluh sembilan jurus dari ilmu pedangnya telah dilancarkan, tapi jangankan melukai lawan, menyentuh tubuhnya saja tidak mampu.

Berkutet sekejap bayangan kedua orang lantas terpencar pula, dengan sebat sekali keduanya sama2 melambung tinggi dan bentrok pula secepat kilat, kembali Ji Bu lancarkan belasan jurus serangan, katanya tertawa.

""Siang-heng, Kungfumu memang tangguh sekali."

Tubuh Siang Cin menggeliat ke kanan-kiri, begitu cepat menghindari tabasan tusukan pedang lawan, sembari berkelit itu serentak ia balas menyerang sembilan belas pukulan dan empat kali tendangan, jubah kuning yang longgar bekibar, katanya kaku.

"Kawan, kau bukan lawanku"

Pedang Ji Bu mendadak menaburkan bayang2 sebesar kepalan, seperti kunang2 besar saja bayangan terang ini bertaburan di udara, setiap kuntum bayangan merah ini menyambut pukulan dan tendangan lawan, jelas bahwa setiap kuntum bayangan serangan lihay itu membawa tajamnya pedang Ji Bu.

Belum lagi orang tahu apa yang terjadi, kedua orang sudah terpisah pula, dengan ramah Ji Bu berkata.

"Siang-heng, siapa kuat siapa lemah, kini masih terlalu pagi untuk diputuskan." - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -- Dapatkah pihak Bu-siang-pay lolos dari perangkap Hek jiu-tong? Kisah cinta apa di balik persoalan Khong Giok tik, gembong kelima Hek jiu tong yang membawa lari puteri ketua Bu-siang-pay itu? - 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar