Bara Naga Jilid 06

Jilid 06

Akhirnya Pau Sek-hoa bersuara serak.

"lote, apa pula yang kau pikirkan?"

Siang Cin menatap datar ke arah Pau Seh-hoa, dia menggeleng, katanya dengan tertawa rawan.

"Tiada yang kupikirkan Lo Pau, kau tahu, tiada yang kupikirkan."

Ragu2 sejenak lalu Pau Seh hoa berkata pula hati2.

"Bekas hitam di wajah nona Kun itu lantaran lukanya dulu tidak dirawat baik2 sehingga menimbulkan borok begitu, kelak bila diobati lagi ada harapan akan sembuh seperti sediakala lote, jangan timbul nafsumu membunuh pula, lote ...., ."

Siang Cin berdiri, katanya menyimpangkan persoalan.

"Lo Pau, kau sendiri apa bisa bergerak?"

Pau Seh hoa menghela napas, sahutnya.

"Sekuatnya masih bisa."

Siang Cin berputar ke arah An Lip dan bertanya.

"Bagaimana kau An Lip?"

An Lip sudah berdiri, dia membusungkan dada, katanya dengan tegas.

"Boleh saja!"

"Dengan menggendong calon isterimu?"

Siang Cin menambahkan. An Lip mengertak gigi, katanya.

"Tidak jadi soal."

Maka tanpa bicara lagi Siang Cin membopong Kun Sim-ti, sekalian dia tarik Pau Seh-hoa. Badan Pau Seh-hoa yang kurus tinggal kulit membungkus tulang itu terhuyung, katanya dengan ketus.

"Tak usah membimbingku, Lo Pau bukan kakek yang sudah loyo"

Lima orang beriring keluar dari pintu, Pau Seh-hoa melihat raksasa yang menggeletak mampus dalam keadaan yang mengenaskan, melihat pula dinding yang ambrol dan terali besi yang jebol, setelah menarik napas dia berkata.

"Kongcuya, dengan tangan kosong kau menggempur masuk."

Sambil memeriksa lorong yang dilewati, dengan tawar Siang Cin menjawab.

"Menurut pendapatmu, memangnya aku harus membawa pasukan?"

An Lip menggendong isterinya berdiri di samping, dengan penuh kebencian dia berludah pada mayat kedua raksasa, katanya gemas.

"Mereka memang patut dibunuh, Inkong, setiap hari kedua babi ini menghajar Pau cianpwe ...."

Dengan tenang Siang Cin berkata.`Kalau begitu, kematian cara begini masih untung bagi mereka."

Pau Seh-hoa mengusap muka, baru mau bicara, dari ujung lorong sana sayup2 terdengar suara ribut diselingi teriakan kaget dan ketakutan. Terbelalak An Lip, katanya gelisah.

"Inkong .... kudengar suara orang..."

Siang Cin sibuk memeriksa lorong, katanya tenang.

"Mereka takkan kemari dalam waktu dekat, di sana penuh ular2 merah beracun, kukira mereka akan sibuk setengah harian .....

"

"Kongcu,"

Ucap Pau Seh-hoa setelah ragu2 se-jenak;

"apa yang sedang kau cari?"

Siang Cin mengencangkan gendongan Kun Sim-ti, katanya.

"Kupikir, tahanan di bawah tanah ini tak mungkin hanya ada sebuah jalan lorong saja, mereka pasti ada jalan rahasia untuk melowati ketiga kerangkeng binatang itu, tak mungkin mereka terjang masuk kemari seperti caraku tadi ...."

Pau Seh hoa mengangguk, katanya.

"Kalau begitu, para keparat itu sebentar akan kemari."

Wajah Siang Cin yang masih membiru hitam itu tampak kaku, katanya.

"Betul, akan segera datang."

Mereka berdiri diam di depan pintu, mereka seperti mengharapkan entah di mana nanti tiba2 dinding akan terbuka, lalu orang2 yang bersenjata berbondong menyerbu masuk, mereka sedang menantikan datangnya pertempuran besar.

Suara gemuruh bergesernya barang2 berat sayup2 terdengar, seperti di bawah tanah, tapi juga seperti di sebelah atas, Tiba2 Siang Cin tertawa, dia berkata.

"Lo Pau, setelah pertempuran ini, bila kita masih hidup, aku akan membuat neraca dan daftar untung rugi betapa banyak aku telah membunuh mereka."

Pau Seh hoa memandangnya lekat2, katanya getir.

"Kongcu, keganasanmu sudah kuketahui, di situlah letak yang tak bisa kutiru."

Siang Cin tertawa, ucapnya.

"Waktu mereka menyedot darah segarmu dengan kelelawar, apakah kau tak pernah menyesal telah berlaku bajik terhadap mereka? Lo Pau. ketahuilah, penghuni Cengsiong-san ceng ini tiada satupun manusia baik2, mereka adalah hewan yang bertopeng manusia belaka."

Dengan beringas An Lip berteriak.

"Inkong, biar nanti kuobrak abrik kawanan bangsat itu."

"Bagus,"

Puji Siang Cin mengangguk.

"kau akan memperoleh imbalan berlipat ganda An Lip, ganyang saja, tabahkan hatimu, kesempatan hidup kita jauh lebih besar daripada mereka."

Suara Kun Sim ti, yang digendong Siang Cin seperti berkumandang dari kejauhan, lemah dan lirih sekali, hanya Siang Cin saja yang mendengar.

"Dik..."

Bergetar tubuh Siang Cin, dia sediktt menengadah sebagai tanda mendengar, suara Kun Sim-ti yang lemah dan sedih terdengar pula.

"Dik, apakah kita masih ada harapan?"

Berpikir sebentar, baru Siang Cin berkata penuh keyakinan.

"Kita akan berjuang, Ci, kau tahu, kita berlima tiada seorangpun yang segar bugar."

Tiba2 Kun Sim-ti terisak, lekas Siang Cin berkata.

"Kak ......"

Suara sedih lirih Kun Sim-ti berkata.

"Dik, apapun yang akan terjadi, ada omongan yang ingin kusampaikan padamu, kata2ku ini mungkin sudah kau ketahui, sebab sudah kita sembunyikan dalam relung hati sekian tahun lamanya ......aku, aku tidak setimpal, tapi ..... , tetap, tetap akan kuberitahukan padamu ......"

Siang Cin bergetar seperti kedinginan dia menggertak gigi, rintihnya dengan rawan.

"Kak . ....."

Kepala Kim Sim-ti mendekap di pundak Siang Cin, secara langsung dia dapat merasakan dengus napasnya yang tersengal, dengan air mata yang melefeh ia berbisik.

"Dik, aku ......aku cinta padamu ... ." Hati Siang Cin tergetar, bibirnya rada pucat, dia mengangguk pelahan. Ya, kata2 inilah yang telah sekian tahun tersimpan dalam sanubari mereka. Sebelum ini, bila mereka duduk berhadapan di bawah penerangan lilin, dikala ber jalan2 menyongsong datangnya musim semi, secara polos bodoh mereka lewatkan suasana yang romantis itu, kini yang tertinggal hanya kenangan pahit melulu? Tapi isi hati ini akhirnya terlimpahkan, dinyatakan dengan tulus dan suci. Siang Cin pejamkan mata, suaranya tegas dan tandas laksana, kukuhnya gunung .

"Kak, akupun demikian, malah sudah sejak lama ......"

Girang dan haru Kun Sim-ti tak tertahan lagi, dia rapatkan mukanya kepunggung Siang Cin. Sekuatnya Pau Seh-hoa mengangkat badannya, laki2 yang keras hati ini menahan air matanya yang hampir meleleh, tapi ia sengaja berkelakar.

"Nah, bagus sekali, seharusnya sudah sejak lama kalian nikah tamasya dan hidup bahagia ......"

Kini terasakan juga sesuatu mengetuk sanubarinya, sesuatu yang tak terlupakan selama hidupnya, selama setengah umurnya ini dia hidup sebatangkara, selama kehidupan yang merana ini dia selalu mencari sesuatu yang dapat membuat hidupnya bercahaya, kini dia telah menemukannya, meski sesuatu ini bukan diperoleh bagi dirinya sendiri, tapi dia merasa puas, paling tidak dia sudah membuktikan bahwa di dunia fana ini memang ada cinta murni yang luhur dan di atas segalanya.

An Lip menyeka air mata terharu, katanya tiba2.

"Inkong, seperti ada gerakan .....

"

Siang Cin memang sedang memperhatikan dinding di sebelah kiri, sebuah batu persegi tampak sedang bergerak tergeser keluar, mayat raksasa pertama yang dibunuhnya tadi kebetulan berada di bawah batu yang bergerak itu.

Pau Seh hoa mengernyit dahi, katanya.

"Kongcuya, kita bertindak menurut petunjuk tadi, jika kita tak dapat menerjang keluar, paling tidak kita harus melakukan apa saja sekuat tenaga."

"Sudah tentu,"

Dingin suara Siang Cin.

"mereka takkan melupakan kejadian ini, karena peristiwa di sini akan menimbulkun bayangan takut selama hidup mereka"

Di sebelah sana dengan langkah berat An Lip tengah menggeser mencari posisi, kini dia berdiri disudut yang paling mudah untuk menggempur musuh yang akan keluar dari lubang dinding itu.

Pelaban Pau Seh-hoa juga duduk bersimpuh tepat di bawah batu yang sedang bergerak itu, ke dua matanya melotot, kedua telapak tangan siap di atas lututnya.

Mundur selangkah Siang Cin berkata pelahan kepada Kun Sim ti.

"Kak, keadaan amat mendesak, kita berada di lorong yang buntu ini, semuanya terluka lagi, musuh mungkin menggunakan cara yang paling keji untuk menghadapi kita. Kak, maafkan bila kau harus ikut terseret dalam kancah pertarungan ini, tapi aku berjanji sekuat tenaga akan melindungi keselamatanmu . , ...

"

Lirih dan rawan Kun Sim- ti berkata.

"Kenapa kau bilang begini? Kau tahu aku selalu akan mendampingimu, aku tidak takut, betul2 tidak takut...

""

Se-konyong2 Pau Seh-hoa mendesis.

"Nah sudah datang, orang pertama yang akan kupukul mampus keluar."

Bongkah batu besar yang lagi bergerak itu akhirnya terbuka, sesosok bayangan tampak merambat keluar, rnembulat mata Pau Seh hoa., tubuhnya yang bersimpuh tiba2 setengah berdiri, bagai seekor ular yang semula melingkar tiba2 hendak memagut mangsanya, telapak tangan terangkat.terus hendak menggempur..Padahal bayangan itu baru saja keluar, keruan bayangan itu menjerit ngeri, untung mata Siang Cin amat tajam, sekilas dia sudah melihat jelas siapa yang menerobos keluar dari lubang batu itu, ia tak sempat berseru mencegah serangan Pau Seh-hoa, segera dia tutul sebelah kakinya, seeepat kilat ia sempat menahan tangan Pau Seh-hoa, arah pukulan Pau Sehhoa menjadi menceng.

"Plak", pukulannya mengenai dinding, batu dinding muncrat berhamburan, merekapun tertolak ke samping. Pau Seh-hoa lantai menggerutu gusar.

"Lote, kau gila ......kau.......

"

Siang Cin menggeleng, lalu berpaling ke arah orang tadi yang menggelendot lemas di kaki dinding sana, rasa kejut masih terbayang di wajahnya.

Wajahnya nan jelita tampak pucat, napasnya juga memburu, kedua bola matanya terbelalak, tanpa berkesip memandangi Siang Cin.

Dia bukan lain daripada Sek Pin, adik Sek Kui, Wancu (ketua perkampungan) pertama dari Ceng siong san ceng.

Dengan tertawa, tenang saja Siang Cin menyapa.

"Manusia hidup di mana2 selalu bersua nona!". Sek Pin mengenakan pakaian ungu ketat, gaun panjang dengan ikat pinggang sutera warna putih, bagian luarnya mengenakan mantel kulit rase, topi kain yang lebar, wajah yang pucat bagai orang yang baru sembuh dari sakit, keringat basah di ujung hidung, sikapnya tampak gelisah dan takut. Pelan2 dia merangkak bangun dan mengelus dada, katanya gugup.

"Siang Cin, besar amat nyalimu, seorang diri berani kau menerobos ke Lo-koh-ce gunung palsu ini, kini Cengcu dan lain2 sudah tahu perbuatanmu, seluruh kekuatan dikerahkan, daerah ini sudah terkepung rapat .. ... ."

Siang Cin mengangguk, katanya.

"Hal ini memang sudah kuduga."

Suara orang ribut2 dari lorong di mana kamar ular dan gajah bersayap semakin dekat, terdengar pula suara benda2 dipukul, obor bergerak dengan bunga apinya yang bertebaran.

Melihat keadaan kelima orang dihadapannya, terbayang rasa iba dan simpatik pada muka si nona, tapi sikapaya tampak teguh untuk bertindak menuruti nuraninya yang suci murni, sekilas dia berpaling ke lorong gana, lalu tanpa ragu berkata.

"Siang Cin, waktu sudah mendesak, bawalah orang2mu ikut aku."

Sedikit melengak dan ragu2, Siang Cin berkata dingin.

"Tentunya ini bukan sebuah jebakan?"

Ujung bibir Sek Pin tampak mencibir sinis, wataknya yang keras seketika meledak mengobarkan amarah dan penasaran, katanya merasa terhina.

"Kalau betul begitu, tak perlu aku bersusah payah kemari."

Siang Cin menatap tajam pada Sek Pin, akhirnya ia mengangguk, katanya.

"Baik, tunjukkan jalannya."

Tanpa bicara lagi Sek Pin membalik dan menerobos ke dalam lubang darimana tadi dia datang, Siang Cin ikut di belakangnya, lalu An Lip yang memayang isterinya, terakhir adalah Pau Seh hoa.

Di balik batu undakan sebelah kanan menurut petunjuk Sek Pin, Siang Cin menginjak sebuah tombol rahasia, maka pintu batu yang bergeser tadi pelan2 bergerak merapat.

Lorong bawah tanah ini seperti menjurus ke pusar bumi, miring turun, terasa lembab dan dingin agaknya sudah sekian tahun tak terpakai lagi, bau apek busuk yang umumnya hanya tercium di tempat gelap yang jarang terkena sinar matahari menyesakkan pernapasan, tanah licin berlumut, jauh dekat tak bisa dibedakan, karena gelap gulita, Sek Pin terus menggremet maju sambil me raba2, sepatah katapun tak bersuara..Siang Cin melangkah maju lebih dekat, dengan suara lirih dia berkata.

"Nona Sek, nona sudi menyerempet bahaya menolong kami, tak peduli Siang Cin dapat keluar dengan hidup atau mati, bila masih.ada kesempatan pasti takkan kulupakan budi luhur nona."

Sek Pin maju terus tanpa bersuara, sesaat kemudian baru dia berkata rawan.

"Tak usah kau berterima, kasih, memang ini kehendakku sendiri."

Terketuk hati Siang Cin, ia menyesal, katanya kemudian.

"Jangan berkata begitu nona, pengorbananmu teramat besar . ....

"

Lalu Siang Cin menambahkan dengan nada berat.

"Nona, apakah engkohmu tahu apa yang kau lakukan sekarang? Kecuali dirimu adakah orang lain yang tahu akan tindakanmu malam ini?"

Sek Pin menahan isak tangisnya, katanya sedih.

"Engkohku tidak tahu, tapi cepat atau lambat akhirnya dia akan tahu juga. Dia tidak akan mengakuiku lagi sebagai adik, ia pasti akan menghukum aku ... aku dan Hoan-gwat ....

"

"Siapakah Hoan-gwat?"

Tanya Siang Cin. Sek Pin terpeleset ditanah yang licin dan hampir saja jatuh, lekas Siang Cin memapaknya, Sek Pin berkata sotelah menghela napas.

"Hoan-gwat adalah pelayan yang paling kusayang, kami tumbuh dewasa bersama sejak kecil."

Berjalan beberapa jauh lagi baru Siang Cin berkata pelahan.

"Lorong rahasia ini terang sangat panjang, tembus ke mana?"

Kini Sek Pin berjalan lebih hati2, katanya.

"Hampir lima tahun lorong ini tidak dipakai lagi, letaknya antara dua puluh kaki di bawah tanah, panjangnya dua li, karena tanahnya yang sering longsor, maka pembangunan lorong rahasia ini sudah dihentikan lima tahun lalu, lorong ini tembus ke gunung di belakang perkampungan . ..."

"Mungkinkah ergkohmu takkan curiga akan lorong rahasia yang terbengkalai ini? Tidak curiga bahwa kau yang menolong kami? Kecuali lorong rahasia ini, adakah jalan rahasia lain untuk masuk ke Lo-koh-ce?"

Berpikir sekian lama baru Sek Pin berkata pula.

"Sudah lima tahun lorong ini tidak terpakai, banyak orang tahu bahwa lorong ini sudah buntu dan tak bisa digunakan lagi, bulan yang lalu, tanpa sengaja Hoan-gwat dengan . ...dengan temannya bertemu di sini, didapatinya longsoran tanah di sini ternyata sudah bergerak lagi, sehingga terbuka sebuah terowongan selebar tiga kali. Waktu itu secara diam2 Hoan-gwat beritahukan padaku, semula tidak kuperhatikan, tak nyana hari ini begini besar manfaatnya, menolong kau sekaligus juga mencelakakan diriku ...."

Siang Cin geleng2, baru saja dia mau bicara Sek Pin sudah menyambung.

"Engkohku pasti tidak tahu kalau lorong di sini masih dapat digunakan dan lebih penting lagi bahwa dia tak menduga akan perbuatanku yang durhaka ini, oleh karena itu, dalam waktu singkat mereka takkan memburu kemari, tapi bila mereka telah masuk lewat jalan rahasia lain dan kehilangan jejak kalian, pasti mereka akan menduga kalian telah kabur lewat lorong rahasia yang terbengkalai ini."

Berpikir sebentai, tiba2 Siang Cin berkata.

"Menurut perhitungan waktu, seharusnya mereka segera akan tiba di tempat kurungan kami dari jalan rahasia yang lain, tapi kenapa setelah kita pergi sekian lama masih belum kelihatan bayangan mereka?"

Sek Pin menunduk malu, sesaat baru dia bersuara pula.

"Aku kuatir mereka tiba lebih dulu maka ....maka kunci pintu yang disimpan engkohku telah kucuri ...."

Siang Cin mengangguk maklum, sebabnya orang2 Ceng-siong-san-ceng ribut dilorong tempat binatang buas itu ialah karena pintu jalan rahasia yang lain terkunci dan tak bisa dibuka, terpaksa mereka harus masuk menurut jalan yang ditempuh Siang Cin, walau harimau bertanduk sudah mati tapi gajah bersayap yang terluka dan ular2 merah itu mungkin menjadi rintangan bagi mereka.

Jalan semakin datar, maka langkah mereka bertambah cepat pula, tiba2 Siang Cin berkata pula dengan setulus hati.

"Nona Sek, kami sangat berterima kasih atas pengorbanan dan pertolongan . ......."

Tanpa berpaling Sek Pin berkata dingin.

"Sekarang kalian harus berusaha meninggalkan Cengsiong-san-eeng secepatnya, satu jam yang lalu Im-bing long-kun Ih King-hok telah tiba, mungkin sekarang dia sudab berada dalam barisan orang2 Cengsiong san-ceng."

Mendengar nama ini mau tak mau Siang Cin terkesiap, tanyanya.

"Ih King-hok? Ih King-hok dari Ang-tong-nia itu?"

Sek Pin juga terperanjat mendengar nada ucapan Siang Cin, langkahnya diperlambat, tanyanya heran.

"Sudah tentu, memangnya di dunia ini ada Ih King hok kedua?"

Setelah merandek sebentar, dia berkata pula kuatir.

"Kau juga kenal dia? Siang Cin, belum pernah aku melihat kau seprihatin ini ... .. orang ini membuatmu takut?"

Sambil tertawa tawar Sang Cin berkata.

"Tidak, mungkin ada orang yang mampu mengalahkan Naga Kuning, tapi TIada seorangpun yang mampu membuat Naga Kuning jeri. Aku hanya merasa heran, Ih King-hok bertabiat aneh, tinggi hati, sUka menyendiri. tak pernah mencampuri urusan duniawi, bagaimana mungkin sekarang dia bergaul dengan orang2 Ceng - siong - san ceng yang terkenal jahat dan sampah dari kaum persilatan ini?"

Dengan mendengus Sek Pin berkata kurang senang.

"Hm, bicaralah yang bersih, kaum jahat dan sampah persilatan apa? Setiap orang punya pendiriannya. Kau menjelekkan orang lain, belum tentu orang akan memuji sepak terjangmu ......"

Tertawa Siang Cin dan berkata..

"Ya, memang, kalau tidak, mayat takkan bergelimpangan sebanyak itu."

Saking dongkol Sek Pin membanting kaki langkahnya dipercepat, Siang Cin menarik lengan Kun Sim-ti dalam gendongannya, lalu memberi tanda ke belakang sambil menyusul dangan langkah cepat, jalan rahasia sepanjang dua li itu mungkin sudah akan tiba di ujung.

Kini terasa jalan yang mereka tempuh mulai menanjak naik, turun dan naik pula, tidak lama kemudian, dari depan sudah terasa ada embusan angin yang segar.

Menarik napas panjang, Siang Cin berkata.

"Sudah sampai."

Sek Pin mangangguk sambil menuding kedepan, Siang Cin pusatkan perhatian memandang ke sana.

Tertampak sebuah tangga batu berputar naik ke atas, mulut terowongan tertutup oleh sesuatu benda yang hitam gelap.

Siang Cin tertawa, dia tahu itulah tumpukan rumput kering, karena dari sela2 lubang tumpukan benda hitam itu dia dapat melihat sinar bintang yang kelap-kelip di cakrawala.

Setiba di undakan Sek Pin tampak tegang dan gelisah, setelah menarik napas, sekilas ia bimbang dan takut, akhirnya dia menepuk tangan dua kali, cepat dari luar mulut lorong berkumandang pula dua kali tepukan balasan.

Sek Pin berteriak tertahan.

"Hoan-gwat ....."

Benda hitam yang menutup mulut terowongan tampak digeser ke pinggir, ternyata memang tumpukan rumput kering, seorang dara jelita segera menongol, tanyanya gugup dan tegang.

"Siocia, sudah datang semua?"

"Ya,"

Sahut Sek Pin.

"Hoan-gwat, bagaimana keadaan di luar?"

Wajah jelita di atas itu tampak takut2 dan ngeri.

"Hampir saja aku mati ketakutan, sinar pedang dan golok gemilapan di dalam dan luar kampung, bayangan orang simpang siur, baru saja kulihat The moacu membawa sebarisan anak buahnya berlari lewat di depan sana. Siocia, lekas kalian naik kemari ...."

Mendadak Siang Cin melangkah maju, katanya..

"Untuk Menjaga kemungkinan, biar aku naik lebih dulu."

Habis berkata ia terus melayang ke atas, baru saja tubuhnya muncul, seorang nona berpakaian hitam di mulut gua itu segera hendak menjerit kaget. Tapi Siang Cin sempat mendekap mulut si gadis yang hampir menjerit, katanya tenang.

"Jangan berisik, aku Siang Cin."

Gadis itu mengenakan pakaian serba hitam, dengan kerudung warna hitam pula, wajahnya bundar kwaci manis dan mungil, usinya sekitar delapan belasan, kalau tidak lantaran kaget sehingga mukanya tampak pucat, mungkin dia akan kelihatan lebih jelita.

Siang Cin unjuk tawa ramah kepada dara remaja ini, lalu dia membalik bantu menarik Sek Pin keluar, disusul An Lip dan isterinya lalu Pau Seh-hoa.

Mulut gua ini berada di sisi sebuah batu gunung, sekelilingnya adalah rumput alang2 yang tumbuh tinggi setengah badan orang, bayangan puncak tinggi tampak berdiri tegak di kejauhan, angin malam meniup kencang sehingga rumput dan pepohonan bergerak mengeluarkan suara berisik, suasana pegunungan yang liar dan sepi ini terasa seram dari menggiriskan.

Pau Seh hoa memandang sekelilingnya dan menarik napas panjang ber-ulang2 untuk menghirup hawa segar.

Siang Cin juga memandang jauh ke kegelapan alam, katanya lirih.

"Lo Pau, pegunungan ini merupakan tempat sembunyi paling baik bagi kita."

Pau Seh hoa memegang dagu, sahutnya dengan serak.

"Ya, untuk sementara saja, memangnya kita berani pelesir di jalan raya sekarang?"

Pelan2 Siang Cin berpaling pada Sek Pin, Si nona tengah mengawasinya dengan tatapan tajam, katanya pelahan.

"Siang Cin, kau boleh pergi."

Menghela napas masgul, Siang Cin berkata;

"Apakah engkohmu akan menghukummu?"

Tampak senyum aneh menghias wajah Sek Pin, tapi senyum ini lantas beku oleh kerongkongan yang seperti tersumbat, lekas dia berpaling, lalu berkata dengan sedih.

"Tergantung betapa banyak yang dia ketahui .......

"

Sampai di sini dia membalik pula, deagan lagak tenang ia menyambung.

"Paling tidak, sekarang dia belum tahu, atau mungkin bila aku bisa menutupi perbuatanku dengan baik, mungkin selamanya dia tidak akan tahu "

Siang Cin rnemandangnya, dia tahu orang senugaja menghibur diri, urusan tak mungkin begitu mudah, orang2 Ceng siong-san-ceng tidak bodoh, terutama Sek Kui si durjana itu. Pau Seh hoa menghampirinya, katanya serak.

"Kongcuya, sekarang kita boleh berangkat bukan?"

Siang Cin menengadah memandang angkasa, bibirnya bergetar, sesaat kemudian baru berkata.

"Kami akan berangkat nona Sek, kau harus jaga dirimu baik2, demikian pula nona Hoan gwat."

Sek Pin diam saja, sinar matanya tampak kabur, dengan berat dan seperti tak terasa dia mengangguk, se-olah2 mengandung derita batin yang tak terperikan, takut karena dirinya telah melakukan suatu kesalahan atau jeri menghadapi hukuman yang bakal menimpa dirinya? Atau mungkin karena menyesal akan perbuatannya sendiri? Sedikit membungkuk kepada Sek Pin sebagai tanda hormat, Siang Cin lantas melangkah pergi, baru beberapa langkah dia berjalan, tiba2 Sek Pin memburu maju tanyanya dengan muka pucat dan suara gemetar.

"Kau ..... Siang Cin, apakah kau akan datang lagi?"

Diam sebentar, akhirnya Siang Cin berkata.

"Aku akan kembali, nona Sek, aku pasti akan datang lagi."

Sek Pin menyurut mundur dengan perasaan ngeri, badannya gemetar menghadapi tatapan Siang Cin yang penuh rasa dendam membara, tubuhnya gemetar mendengar nada ucapnya yang kaku dingin itu, katanya pula dengan duka nestapa.

"Kembali dengan kedua tanganmu yang berlepotan darah itu?"

Menguwasi muka orang Siang Cin berkata dengan tegas. Kau tahu aku pasti berbuat begitu, nona Sek, aku juga takkan melupakan kebaikan dan pertolonganmu malam ini, sejak masih bocah Siang Cin sudah pandai membedakan antara budi dan sakit hati."

Langkah Siang Cin berlima semakin jauh, jalan yang mereka tempuhpun semakin jelek dengan batu gunung yang runcing dan licin.

Pau Seh-hoa berpaling, dilihatnya Sek Pin berdiri ditempatnya seperti dibungkus kegelapan, pelayannya Hoan-gwat masih tetap mendampinginya, Pau Seh-hoa dapat meresapi betapa masgul hati si nona yang terpencil dalam kesunyian.

Pau Seh-hoa berjalan dengan payah, lama sekali baru dia berkata.

"Kongcuya, apa kau akan naik ke puncak gunung?"

Siang Cin menggeleng, katanya tawar.

"Tidak, kita hanya berputar melalui kaki gunung."

Di atas punggungnya Kun Sim-ti menghela napas lelah, katanya lirih.

"Dik, kau tidak letih?"

Berdetak jantung Siang Cin, dengan haru dia usapkan telinganya ke pipi si nona, dia tahu bukan hanya soal sepele ini yang ingin diajukan oleh Kun Sim-ti, dalam hatinya tentu ingin tahu siapakah Sek Pin.

Tapi dia tidak bertanya, di sinilah letak kebesaran jiwa Kun Sim-ti dan dalam hal ini dia lebih unggul dari wanita yang lain.

Siang Cin memandang jauh ke bawah, ke arah Ceng-siong-san-ceng, cahaya obor masih kelihatan bergerak kian kemari, perkampungan besar itu seperti diliputi suasana tegang dan dibungkus kabut hitam, se olah2 mereka ingin mengaduk setiap jengkal tanah di sana untuk menemukan jejak Siang Cin.

Pau Seh hoa menepuk pundaknya, katanya.

"Kongcuya, tak perlu memandang ke sana lagi, aku tahu apa yang sedang kau pikirkan. Sekarang lebih penting kita cari tempat untuk menyembuhkan luka2 ini, apalagi kita harus sembunyi dan menghindari kejaran musuh."

Memandang bayang2 hitam di puncak kejauhan Siang Cin mengangguk, katanya dengan rasa lelah.

"Kau betul, memang itulah yang kita perlukan sekarang."

Dengan tertatih saling gandeng mereka, maju terus di lereng pegunungan yang belukar ini, lambat dan sukar sekali perjalanan yang harus mereka tempuh.

tapi mereka tetap maju ke depan, menuju ke pinggir gunung, ke arah datangnya sang fajar.

Ya, tak lama lagi hari akan terang tanah.

Lereng bukit itu berserakan batu2 gunung, di belakang lereng sana adalah sebuah bukit yang penuh semak belukar, di bawah lereng adalah sebidang hutan yang daun pohonnya sudah sama rontok, di antara hutan dan serakan batu2 gunung itu terdapat sebuah jalan pegunungan yang melingkar menjurus ke atas.

Tatkala itu, suasana sekeliling sunyi senyap.

Di antara batu2 yang berserakan di lereng itu terdapat sebuah batu padas besar yang datar licin, bagian atasnya mencuat keluar seperti tergantung di tengah lereng, di bawah batu padas raksasa ini ada pula puluhan batu2 besar kecil yang ditumpuk mirip sebuah dinding yang tidak teratur, sementara batu padas yang mencuat keluar kebetulan mengalingi sinar matahari, dapat untuk berlindung dari angin dan hujan, dilihat dari luar sukar diketahui apa dan bagaimana keadaan di balik tumpukan batu itu, tapi dari celah2 batu orang dapat melihat keadaan di luar dengan jelas.

Sekarang Siang Cin, Kun Sim-ti, Pau Seh hoa berlima tengah beristirahat di sini, Siang Cin menggelendot pada sebuah batu, ber-malas2 dengan setengah memejamkan mata.

Kun Sim ti rebah tenang di sampingnya, An Lip dan bakal isterinya duduk setengah rebah di ujung kaki batu, sedang Pau Sehhoa mondar mandir sambil menggerutu entah apa yang membuatnya gelisah.

Hawa sejuk nyaman, kadang kala terdengar juga kicau burung, tapi gema suaranya seperti berada di tempat jauh.

"Sret". Pau Seh-hoa berludah, dengan gelisah dia mendekat ke samping Siang Cin, lalu berduduk, Siang Cin membuka mata memandangnya, muka Pau Seh-hoa bukan saja kurus kering tapi juga berwarna kuning dan kuyu, bibirnya yang pecah tampak putih tak berdarah, sementara kedua matanya tampak cekung, rambut yang memang awut2an itu tampak bagai rumput kering, sikap dan gerak geriknya kelihatan loyo dan lemas. Siang Cin menghela napas, katanya.

"Lo Pau, melihat keadaanmu, sungguh aku ikut bersedih."

Pau Seh-hoa tergelak2 dengan suara kering, katanya sambil unjuk giginya yang kuning.

"Sudahlah, kau yang cakap ini kini juga tidak lebih bagus daripadaku, pendeknya, derita yang kita alami sudah cukup kenyang."

Siang Cin mengawasi angkasa dengan memicingkan mata, agak lama kemudian baru dia berkata.

"Memang benar, Ceng-siong san-ceng memang teramat kejam, tapi akupun lebih suka berhadapan dengan musuh macam begini, karena hal itu akan membuatku tidak mengenal kasihan lagi dikala menuntut balas kelak. Memang mereka bekerja dengan sempurna, sempurna dalam kekejaman."

Pau Seh-hoa menggeram tertahan.

"Kongcu,"

Katanya kemudian,"

Kau hanya tahu bahwa mereka menghajarku tiga kali, saking kelaparan mataku ber-kunang2, mereka membawa kelelawar untuk menghisap darahku, tapi masih ada satu yang belum kau ketahui .......

"

Tenang Siang Cin memandang Pau Seh-hoa, tanyanya.

"Apa pula yang satu ini?"

Muka Pau Seh hoa tampak berkerut, dengan penuh dendam dia mengepal kedua tinjunya, pelan-pelan kepalanya tertunduk, rambutnya yang panjang awut2an menutupi jidatnya, sementara matanya terlongong mengawasi ujung kaki tanpa bergeming, belum pernah Siang Cin melihat kelakuan Pau Seh-hoa seperti ini selama dia kenal dan bergaul dengan dia selama puluhan tahun.

Dia tahu kecuali temannya ini mengalami suatu pukulan lahir batin yang kelewat batas, atau mungkin suatu penghinaan besar, jelas dia tidak akan bersikap seaneh ini.

Pelan2 Siang Cin mengusap bahunya, katanya.

"Ceritakan padaku, Lo Pau, pengalaman yang satu itu. Bila ada yang terhina dan hal yang memalukan, biar aku ikut meresapi dan memperoleh bagiannya."

Pelan2 Pau Seh hoa angkat kepalanya yang bergetar, sekuatnya dia menekan gejolak emosinya, lama kemudian baru dia membuka mulut sambil tertawa.

"Bukannya tak boleh kuceritakan pengalamanku itu, cuma setiap kali aku teringat adegan itu, sungguh ingin rasanya aku membenturkan kepalaku supaya mampus saja seketika."

"Katakan Lo Pau, dengan cara apa mereka menyiksamu?"

Menarik napas dalam2, seperti berusaha menekan darahnya yang mendidih, setelah bungkam sekian saat, Pau Seh-hoa mengawasi Siang Cin dengan tersenyun getir, lalu katanya.

"Mereka paksa aku menelan pil berwarna merah, setiap kali ada orang yang masuk bersama. Ternyata kepandaian kedua keparat ini tidak lemah, mereka menutuk Hiat-toku lebih dulu sehingga aku tak bisa meronta, pil merah itu rasanya getir dan wangi, karena pernah aku mempelajari ilmu pengobatan, maka aku tahu bahwa obat itu kemungkinan adalah obat perangsang pembangkit nafsu, cuma tak pernah kuduga bahwa mereka bakal menggunakan obat perangsang yang khasiatnya begitu besar dan kuat, apalagi sekaligus mereka mencekok aku lima butir, lalu aku diseret keluar lorong, di sana ......sudah menunggu tiga orang perempuan yang genit, secara kekerasan mereka membelejeti pakaianku, di tengah tawa cekikik jari tangan yang halus menggelitik badanku, satu persatu aku membawakan adegan yang memalukan, lebih rendah daripada hewan, aku merasakan lebih terhina dari seekor anjing, lebih bodoh dari babi, sungguh aku hampir kehilangan perikemanusiaan .......

"

Siang Cin mendengarkan dengan diam dan tenang, tidak menampilkan perasaan apapun, sesaat kemudian baru dia berkata perlahan.

"Mereka sengaja hendak menguras tenaga murnimu sekaligus untuk menghinamu pula, Lo Pau, beberapa kali mereka memaksamu melakukan hal itu setiap harinya?"

"

"Timbul rona merah pada muka Pau Seh hoa yang kempot, giginya gemertak, katanya dengan geram.

"Empat kali atau lima kali."

Menatap lembut dan lengang, Siang Cin baru berkata.

"Lo Pau, aku tidak senang menghibur dengan kata2 yang tak berguna, memang suatu penghinaan yang kelewat batas, bila aku sendiri yang mengalami, akupun tak tahan, apakah beberapa perempuan itu tahu akan cara mengisap sari kejantananmu?"

Gemetar kulit muka Pau Seh-hoa yang kurus, katanya mengangguk.

"Mungkin saja, setelah berakhir, aku pasti merasa amat letih, kehabisan tenaga sampai pingsan beberapa kali, tulang sekujur badan seperti terlepas, ada kalanya untuk bernapaspun terasa sesak."

Diam sesaat lamanya, akhirnya Siang Cin bertanya.

"Apakah Kun cici dan isteri An Lip tahu akan hal ini?"

Pau Seh-hoa menggeleng, katanya.

"Tidak tahu, tapi An Lip agaknya dapat meraba."

Terbayang tekad menuntut balas pada sorot mata Siang Cin, katanya penuh pengertian.

"Waktu kau dipaksa melakukan itu. kecuali ketiga perempuan itu siapa pula di antara mereka yang menonton dari samping? Maksudku mereka yang tersangkut langsung dengan kejadian ini."

"Kecuali ketiga perempuan itu, yaitu kedua raksasa dan dua orang keparat yang memaksaku menelan pil merah itu, kedua jahanam itu berperawakan tinggi kurus, seorang bercodet di ujung kanan matanya, seorang bermuka burik, usianya sekitar tiga puluhan, wajah kedua orang jelas tak bermoral ...."

"Kau tidak salah lihat dan keliru mengingatnya?"

Siang Cin menegas. Menggeram dalam tenggorokan Pau Seh-hoa.

"Umpama mereka hancur lebur jadi abu tetap bisa kukenali wajah kedua binatang yang berkedok manusia itu, selama aku tidak mati, pasti takkan pernah kulupakan."

Siang Cin mengangguk, ujarnya.

"Makhluk aneh penjaga pintu sudah kusingkirkan, kini tinggal kedua orang berwajah buruk itu yang masih hidup, kecuali itu, kita harus mencari tahu siapa orang di belakang layar yang menjadi biang keladi kejadian ini?"

Seperti mendadak maklum ke mana arti perkataan Siang Cin, Pau Seh-hoa bertanya pelan.

"Menurut pendapatmu, Kongcuya?"

"Maksudku mereka takkan lama mengenang kejadian itu, mereka harus melupakannya, cara untuk membikin mereka melupakan hal itu amat mudah kukira tak usah kujelaskan, tentunya kau sudah mengerti."

"O, ya, Kongcuya, kulihat kau se-olah2 terbungkus darah, kenapa jarimu bengkak dan membusuk? Demikian pula kulit daging dadamu seperti terkelupas .......

"

Siang Cin menekuk jarinya dan berkata.

"Mereka menusuk kuku-jariku dengan jarum baja yang telah dilumuri racun, menggunakan semacam alat penghisap untuk menyedot kulit dagingku. lalu garam dipoleskan pada luka2 badanku, masih ada pula cara2 keji lain, segan aku membicarakannya ...."

Gemeretak gigi Pau Seh hoa menahan dendam kebencian, desisnya beringas.

"Kita akan mencuci dendam dan penghinaan ini dengan darah mereka...."

Secara ringkas Siang Cin ceritakan pengalamannya dan bagaimana dia berhasil lolos kembali, akhirnya dengan letih dia berkata.

"Racun bius yang mereka gunakan dalam gubuk mungil itu amat lihay, boleh dikatakan tidak berbau dan tak berwarna, tahu2 kita semua sudah terpedaya, lain kali kita harus jauh lebih hati2 dalam hal ini ...."

Pau Seh-hoa mengangguk dan berkata.

"

Gadis tadi kau memanggilnya Sek Pin? Apakah dia adik Sek Kui, si anjing buduk itu?"

Siang Cin tertawa.

"Betul"

Sahutnya.

"Kenapa dia suka rela menempuh bahaya menolong kita, semua ini sungguh luar biasa ...."

Setelah menepekur agak lama dia angkat kepala. Melihat Siang Cin seperti lagi tertawa tapi tidak tertawa, maka tokoh Kangouw yang keras hati ini lantas berseloroh.

"Nah, tentu kau bocah bergajul ini yang memikat anak perawan orang, orang hanya tahu bahwa tanganmu gapah terhadap musuh, tapi tiada yang tahu bahwa dalam main pat-gulipat kau juga cukup ahli, dalam keadaan begitu kau masih sempat mengembangkan bakatmu, sungguh aku tak berani membayangkannya. Dari sikapnya terhadapmu, menurut pengamatanku, se-olah2 kalian sudah bersahabat puluhan tahun."

Mengawasi kesepuluh jari2nya yang bengkak menghitam, Siang Cin berkata prihatin.

"Lo Pau, apakah luka di muka Kun-cici bisa disembuhkan?"

Serta merta Pau Seh-hoa menoleh ke arah Kun Sim-ti yang rebah di sebelah sana, sahutnya ragu2.

"Sukar dikatakan, tapi besar kemungkinan bisa disembuhkan ...."

Menggigit bibir, Siang Cin berkata sungguh2.

"Peduli dengan imbalan apapun atau dengan segala pengorbanan harus kuperjuangkan harapan yang ada itu Lo Pau, ini bukan untukku, tentunya kau tahu, bagi seorang perempuan betapa besar arti wajahnya, karena kecantikan menyangkut watak pembawaan perempuan."

"Aku mengerti,"

Ujar Pau Seh hoa sambil meng-gosok2 tangan "Kongcuya, aku akan berusaha,"

Lalu dia meraba2 perut, kebetulan perutnya berkeruyukan, dengan tertawa dia berkata.

"Kongcu, perut yang kurangajar ini mulai menggerutu ... ."

Belum habis Pau Seh-hoa bicara, tiba2 Siang Cin memberi tanda supaya dia menaruh perhatian, lalu berpaling serta mendengarkan dengan seksama.

Dengan hati2 Pau Seh hoa merambat ke sana dan mengintip lewat celah2 batu, kecuali beberapa kali terdengar kicauan burung, di luar sepi dan kosong tak terlihat apapun.

Tapi Siang Cin masih mendengarkan penuh perhatian, sikapnya serius tak bergerak.

Sembari melongok Pau Seh-hoa berkata lirih.

"Kukira kau melihat setan di siang hari bolong, tiada gerakan apa2 di luar sana .....

"

Belum lenyap suaranya, kulit mukanya tiba2 mengencang, tidak salah, sayup2 memang didengarnya suara derap tapal kuda yang lagi mendatangi, masih jauh sekali se-akan2 derap kuda yang datang dari balik awan.

Berpaling cepat, Pau Seh-boa menuding ke arah datangnya suara, Siang Cin sedikit manggut, katanya.

`Berapa jauh kira2 tempat ini dari Ceng siong-san-ceng?"

Berpikir sebentar akhirnya Pau Seh-hoa berkata.

"Kurang lebih dua puluh li atau tiga puluh li."

Ber- kedip2 Siang Cin, katanya lirih.

"Apa kau masih mampu beraksi, Lo Pau?"

Pau Seh- hoa meringis, katanya.

"Sudah tentu, cuma jauh tidak sehebat biasanya."

Siang Cin tertawa getir, katanya.

"Kalau yang datang musuh, lindungilah Kun-cici, kalian harus mundur ke atas gunung biar aku yang mengadang mereka, jangan membantah, soalnya kondisiku sekarang lebih kuat daripadamu dan lagi untuk lari aku bisa lebih cepat, betul tidak?"

Bergetar bibir Pau Seh-hoa, apa boleh buat akhirnya dia berkata.

"Baiklah, tapi kau harus tahan hidup, aku tidak mengharapkan kawan yang masih muda, belum lagi menikmati kebahagiaan berumah tangga sudah mangkat . , .."

Menepuk bahu Pau Seh-hoa, Siang Cin tertawa, ucapnya.

"Sudah tentu, memangnya aku ingin mati."

Maka Pau Seh-hoa mendekati An Lip berdua supaya mereka bersiap, Sang Cin juga membangunkan Kun Sim ti, kini suasana terasa mencekam, hawa pegunungan seperti menjadi beku, lapat2 bau anyir darah seperti tercium pula.

Derap tapal kuda yang ramai itu semakin nyata dan keras beradu dengan batu2 pegunungan, dengan cermat Siang Cin mengintip keluar dari celah2 batu, Kun Sim-ti menggelendot di sampingnya, sekujur badan terasa lemas dan gemetar.

Nah, itu dia, sudah datang semakin dekat, kini sudah kedengaran dengus napas kuda yang kepayahan.

Pau Seh hoa menggertak gigi sambil menengadah, sinar matanya memancarkan rasa dendam kesumat, jari2nya terkepal kencang se-akan2 ingin meremas hancur batok kepala musuhnya.

Di bawah lereng bukit yang terdapat batu berserakan itu, pada jalan pegunungan yang melingkar berliku itu, dari pengkolan sebelah kiri tertampaklah debu mengepul tinggi, penunggang kuda pertama kini sudah kelihatan.

"Nah itu, sudah terlihat,"

Ucap Siang Cin lirih sambil berpaling memberi tanda.

Lekas dia berpaling ke sana lagi, dalam sekejap itu dilihatnya sepuluhan penunggang kuda telah muncul, di belakang masih ada, dari suaranya kemungkinan ada lima puluhan lebih penunggang kuda.

Semua penunggang kuda mengenakan pakaian ringkas warna putih mengkilap terbuat dari sutera, semuanya mengenakan mantel seragam dari warna yang sama, semuanya memelihara rambut panjang, hingga semampir di belakang pundak, jidat dilingkari gelang emas, di belakang punggung mereka memanggul jenis senjata yang sama pula, yaitu golok besar yang melengkung dengan sarung kulit harimau, tumbak pendek bersula dua terpegang miring di depan dada, kelihatan dandanan rombongan orang ini amat aneh dan menyolok, tapi barisan ini nyata membawa wibawa keperkasaan.

Pemimpinnya adalah tiga orang yang luar biasa, seorang bermuka putih halus, berkumis dan jenggot hitam, berusia pertengahan umur, seorang pemuda berwajah bersih dengan sikapnya yang dingin, orang ketiga mungkin buta sebelah matanya, dengan secuil kain bundar yang bertali dia menutup matanya itu, tepat di tengah alisnya melintang kebawah pipi sebuah garis bekas luka yang berwarna merah, diantara ketiga orang ini, tampang orang terakhir inilah yang paling jelek, tak ubahnya seekor binatang liar yang ganas, buas dan sukar dijinakkan.

Memang rombongan berkuda ini ada lima puluhan lebih, setiba di bawah lereng batu berserakan itu, laki2 pertengahan umur yang memelihara jenggot pendek itu tiba2 mengangkat tinggi tangan kanannya, maka barisan berkuda itupun berhenti, dengan pandangan penuh tanya matanya menjelajah ke arah lereng, lalu kepada dua orang di kanan-kirinya entah membisiki apa2.

Cahaya mentari nan cemerlang di pagi hari ini menerangi barisan berkuda ini, pakaian mereka yang putih mengkilap memancarkan cahaya bersih yang menyilaukan mata.

Mengerut kening Siang Cin di belakang batu, katanya pelahan.

"Mereka bukan orang Ceng siong-san ceng ... ." Sambil berjongkok Pau Seh-hoa berkata dingin.

"Mereka sudah berhenti?"

Sorot mata Siang Cin tertuju keluar, katanya bingung.

"Ya, kita tidak meninggalkan jejak apa2 sehingga menimbulkan perhatian mereka bukan? Dandanan orang2 ini rada aneh, selamanya belum pernah kulihat dan belum pernah dengar. .. ."

Pelan2 Pau Seh hoa mendekat, iapun mengintip keluar, sesaat kemudian baru berkata penuh curiga.

"Aneh, memangnya mereka ini orang2 gagah dari mana? Gelagatnya mereka akan naik kemari mengadakan pemeriksaan, memangnya mereka suka iseng ...."

Sembari berpikir Siang Cin berkata pelan2.

"Berhadapan dengan mereka lebih mending dari pada orang2 Cong siong-san ceng. Kukira, bila mereka bukan makhluk2 aneh yang bertabiat nyentrik, mungkin kita bisa mengadakan kontak dan bicara secara damai ...."

"Crot", Pau Seh-hoa berludah, desisnya benci.

"peduli mereka siapa, bila berani cari gara2, biar dia nanti rasakan kelihayanku ...

"

Tiba2 Siang Cin mengulap tangan, katanya.

"Awas hati2, mereka sudah naik kemari."

Pau Seh-hoa coba melongok ke bawah lereng, setengah dari penunggang seragam putih itu sudah turun dari kuda, di bawah pimpinan si pemuda berwajah kaku dingin, mereka membentuk setengah lingkaran terus merambat ke atas.

Diam dan seksama Siang Cin mengawasi orang2 baju putih yang tidak terang asal-usulnya dari tumpukan batu, setengah lingkaran itupun menyurut kecil, kini jelas terlihat muka mereka, mimik muka yang sukar dijajaki ke mana alam pikiran mereka tertuju.

"Apa keinginan mereka?"

Tanya Pau Seh-hoa sambil menelan ludah.

"Apa pula yang hendak dilakukannya?"

Se-konyong2 salah seorang berbaju putih menjerit girang, waktu Siang Cin menoleh kesana, tangan orang itu tengah teracung tinggi memegang sebuah benda, itulah sobekan ujung pakaian warna hijau pupus yang berlepotan darah, secuil kain dari sobekah baju perempuan.

Dari warna kain itu jelas itulah sobekan dari gaun yang dipakai Kun Sim-ti.

Kun Sim-ti yang ada di samping Siang Cin bergetar, dengan jari2nya yang halus runcing dia meraba bagian gaunnva yang robek, memang di bawah ujung kiri terobek secuil.

"Tak usah kuatir,"

Siang Cin menepuk bahu Kun Sim-ti.

"Kak, urusan toh harus diselesaikan, tiada yang perlu ditakuti."

Orang2 baju putih di luar itu sudah berhenti, pandangan mereka penuh waspada akan keadaan sekeliling, pandangan mereka tertuju ke arah tumpukan batu yang melingkar di atas sana, entah sejak kapan golok besar melengkung di punggung mereka sudah dicabut keluar, jenis golok melengkung panjang besar ini, berpunggung tebal dan berat, mata goloknya tajam luar biasa, dari pinggang golok sampai keujungnya berbentuk melengkung bak bulan sabit, sekilas pandang kelihatan jauh lebih menyeramkan dari senjata umumnya.

- -"

Dengan golok yang mengkilap tajam itu mereka berdiri pada posisi yang paling menguntungkan, leluasa dan cepat untuk melancarkan serangan ke dalam sela2 batu yang berserakan itu.

Posisi macam ini cukup dimengerti oleh Siang Cin, dengan penuh perhatian dia mengawasi gerak gerik orang2 baju putih.

"Kongcu,"

Kata Pau Seh-hoa dengan suara tertahan.

"agaknya takkan terhindar ... ." "Memangnya, kapan kita pernah menghindar,"

Jengek Siang Cin.

"kita hanya menunggu, Lo Pau, hanya menunggu kesempatan."

Mendadak di luar berkumandang sebuah suara, suara kasar, kaku dan dingin.

"Sahabat di balik batu berserakan itu, dengarkanlah, bila kalian kawanan gerombolan Hek-jiu-tong. silakan lekas keluar saja, muslihat kalian takkan bisa mengelabuhi Bu-siang-pay dari padang rumput di kaki Kiu-jin-san."

"Bu-siang- pay", ketiga huruf ini laksana tiga bola emas yang menggelinding masuk telinga Siang Cin, sekilas dia melenggong, katanya pelahan.

"Inikah orang2 Bu-siang-pay? Em, pernah kudengar namanya, cuma tiada kesempatan melihat ....""

Pau She hoa membasahi bibir, denga serak ia berkata.

"Keparat, apakah Bu-siang-pay kurang puas merajai sekitar Kiu-jin-san dan padang rumput, untuk apa pula lari ke sini dan berkaok2 lagi?"

Belum Siang Cin menjawab, suara kaku dingin tadi berkunrandang pula.

"Bila sahahat di belakang batu bukan orang2 Hek-jiu-tong, maka silakan buktikan bahwa kalian tidak bermusuhan, silakan keluar untuk berbincang beberapa patah kata"

Kembali Pau Seh hoa memaki dengan suara palahan.

"Bedebah. bocah ingusan berani bertingkah di sini ...."

Setelah menepuk kedua pipi Kun Sim-ti, lalu Siang Cin berkata kepada Pau Seh-hoa.

"Lo Pau, perhatikan baik2, aku akan keluar."

"Hati2 ...."

Lekas Pau Seh-hoa berseru.

Sekali enjot tubuh, dengan enteng Siang Cin melejit ke atas tumpukan batu, pakaiannya yang rombeng melambai tertiup angin, mengelus luka2 di muka dan badannya yang masih berlepotan darah kering, tak ubahnya seorang panglima perang yang baru saja berhasil menjebol kepungan musuh.

Orang berbaju putih seketika terbeliak, serentak mereka menggeram, golok melengkung serempak bergerak melintang di depan dada dan siap tempur.

Dingin saja Siang Cin memandang orang2 baju putih itu, sikapnya kelihatan gagah, keras dan angkuh.

Pemuda berwajah kaku dingin itu agaknya terpengaruh juga oleh sikap perwira Siang Cin, sesaat dia melenggong, lalu maju selangkah ke depan, katanya dengan ketus.

"Sahabat, mohon tanya siapa namamu yang mulia?"

Sekilas menatap muka orang, Siang Cin menjawab dengan tenang dan singkat.

"Aku she Siang."

Bimbang sebentar, pemuda itu bertanya pula.

"Kawanan Hek-jiu-tong apakah ada sangkut paut dengan saudara Siang?"

"Apa itu Hok jiu-tong, selamanya tidak kenal,"

Sahut Siang Cin dengan tersenyum.

Si pemuda lantas memandang ke bawah, ke arah kawan2nya, terpancar cahaya kemilau dari gelang emas yang melangkar di kepalanya, orang2 baju putih yang berada di lereng bukit agaknya juga sudah tahu keadaan di atas, bayangan seorang tampak melompat turun dari kuda dengan beberapa kali lompatan secepat terbang terus melambung ke atas.

Mata Siang Cin amat tajam, sekilas pandang dia sudah melihat jelas, pendatang ini adalah laki2 pertengahan umur bermuka putih dengan jenggot pendek itu.

Cepat sekali laki2 ini sudah hinggap di samping si pemuda, sikapnya gagah, lekat2 dia menatap Siang Cin, lalu berkata lirih dengan si pemuda, akhirnya di menghadap kemari serta menjura, katanya "Cayhe Loh Bong-bu, Cuncu Hiat ji-bun dari Bu siang-pay di padang rumput di kaki Kiu jin san"

Mendengar orang memperkenalkan diri, timbul rasa simpatik Siang Cin, tapi juga meningkatkan kewaspadaannya, dia tahu Bu siang-pay adalah organisasi besar, berdisiplin keras dan terkordinir dengan baik dan rapi, jago2 kosen tak terhitung jumlahnya, kekuatannya besar dan pengaruhnya luas, ,jabatan Cuncu dalam Bu-siang-pay kira2 setingkat dengan jabatan Tongcu dari Pang atau Pay yang ada di Tionggoan, jabatan yang tinggi, agung dan berwibawa, kalau tidak memiliki Kungfu yang lihay takkan mungkin bisa menduduki jabatan tinggi ini.

Setelah membalas hormat, Siang Cin berkata kalem.

"Sudah lama kudengar kebesaran Bu siang-pay, syukur hari ini berjumpa di sini."

Loh Bong-bu tertawa ramah, katanya.

"Dari laporan kawan kami, Ceng yap-cu, katanya tuan she Siang?"

"Ya, itulah she ku yang asli,"

Sahut Siang Cin tersenyum. Berpikir sebentar, dengan hati2 Loh Bong-bu berkata pula.

"Seharusnya tidak pantas kutanyakan, tapi bolehkah Cayhe tahu kenapa keadaan Siang-heng begini rupa, kelihatan letih dan kotor?"

Dari rangkaian kata orang yang hati2 diucapkan, Siang Cin merasa geli dan menaruh simpatik, segera Siang Cin berkata.

"Soal sederhana, di tengah jalan bentrok dengan musuh, dalam keadaan terkepung oleh musuh yang berjumlah lebih banyak, adalan jamak kalau mengalami cidera seperti ini, beginilah jadinya keadaan kami."

Loh Bong-bu mengawasi Siang Cin dengan rasa kasihan dan kagum, katanya dengan tulus hati.

"Siang heng, meski kita baru saja kenal, tapi pepatah bilang di empat penjuru lautan semuanya adalah saudara, Apalagi bila di tengah jalan melihat keadaan ganjil lantas melolos senjata dan memberi bantuan adalah kewajiban setiap insan persilatan kita, mungkin Cayhe terlalu semberono, tapi bila Siang-heng ada kesulitan, Cayhe ingin sekadar membantumu. Siang-heng, melihat keadaanmu sekarang, agaknya ada kesulitan apa2 yang tidak ingin kau utarakan .......

"

Tanpa berkesip Siang Cin pandang orang, demikian dengan tulus Loh Bong-bu balas memandangnya, keduanya saling menyelami relung hati masing2 yang paling dalam. Lama sekali, akhirnya Siang Cin tersenyum, katanya.

"Loh-cuncu, lebih dulu Cayhe menyampaikan rasa terima kasih."

Loh Bung-bu tertawa, katanya riang.

"Tidak, sebaliknya Cayhe yang harus berterima kasih dan bersyukur bahwa Siang-heng sudi merendah diri bersahabat denganku, bolehkah Caybe tahu nama besar Siang heng?"

Siang Cin tertawa, lekas dia merangkap kedua tangan, katanya.

"Siang Cin."

Dua patah kata yang datar ini bagi pendengaran Loh Bong-bu seperti bunyi guntur di siang bolong, ia tergetar melongo, katanya kemudian.

"Siang ........Siang Cin? Siang Cin si Naga Kuning?"

"Itulah julukan yang diberikan teman2 Kangouw, jangan dianggap .......

"

"Siang-heng,"

Tukas Loh Bong-bu sambil mengawasi Siang Cin.

"tak perlu Cayhe mengagulkan kau, nama orang dan bayangan pohon, semua ini tak mungkin dipalsukan, nama besar Siang-heng menggetarkan Bu lim, tersiar luas di utara dan selatan sungai besar, sekalipun ada yang tidak tahu keperkasaan Naga Kuning menjagoi tiga sungai lima danau, tapi siapa pula yang tidak maklum bahwa keganasan Naga Kuning justeru menggetar nyali setup insan persilatan? Tapi Siang-heng, siapa pula yang mampu membuatmu begini rupa?"

Dengan tertawa getir Siang Cin berkata.

"Berkecimpung di kalangan Kangouw, logis kalau adakalanya mengalami nasib jelek, ini tidak terhitung sia2 ..."

"Mohon penjelasan,"

Pinta Loh Bong-bu. Sambil menggosok telapak tangan, tenang2 Siang Cin mulai bicara.

"Cayhe ada dua musuh, suatu ketika menyamar sebagat orang yang terluka dan dikejar musuk serta minta perlindungan padaku, Cayhe menerima mereka. Tak nyana kami terjebak oleh muslihat yang menggunakan obat bius berkadar keras, tidak kepalang derita yang kami alami, tapi dengan akal akhirnya Cayhe berhasil menjebol penjara. Sudah tentu setelah mengalami pertempuran sengit, dalam kondisi yang payah kami mengalami luka2 seberat ini."

Loh Bong-bu naik pitam setelah mendengar cerita Siang Cin, katanya.

"Membokong orang dengan cara keji dan rendah semacam itu mana boleh dianggap Enghiong? Siang-heng, kawan dari aliran manakah yang melakukan perbuatan rendah dan kotor itu?"

Siang Cin berkata pelahan.

"Ceng-siong-san-ceng!"

"Ceng-siong-san-ceng? Sungguh memalukan,"

Teriak Loh Bong-bu dengan mendelik gusar.

"Ha It can juga terhitung tokoh yang disegani dalam Bu lim, sampai hati juga dia berbuat sehina ini, Siang-heng, cara bagaimana kau sampai bermusuhan dengan mereka?"

"Ha It cun Cengcu dari Ceng siong-san ceng adalah saudara angkat Kongsun Kiau-hong, Kongsun Kiau hong ada permusuhan dengan Cayhe, Ha It-cun hanya bantu menuntut balas. Di samping itu, masih ada pula seorang nona yang bernama Kiang Ling, mungkin putera Ha It-cun ada main cinta dengan budak ini, pantas kalau dia ikut campur permusuhan ini."

Berpikir sejenak akhirnya Loh Bong-bu berkata.

"Siang-heng, orang bersahabat mengutamakan keluhuran budi dan kejujuran, meski kita buru berkenalan, tapi sudah lama Cayhe mengagumimu, jika Siang-heng sudi, Cayhe akan pimpin anak buahku ke Ceng-siong-san-ceng untuk bantu kau menuntut balas."

Lekas Siang Cin merangkap kedua tangan, katanya haru dan berterima kasih.

"Loh cuncu, orang she Siang menerima tawaranmu dengan senang hati, cuma permusuhan ini akan Cayhe selesaikan sendiri, Ceng siong-san-ceng bukannya sarang harimau rawa naga, paling2 mereka hanya pandai main muslihat, tak perlu Loh-cuncu merepotkan diri"

Loh Bong-bu menggoyang tangan, katanya "Siang heng, jangan berkata demikian, maksudku hanya ingin mempererat persahabatan, bagaimana kalau Cayhe perintahkan anak buahku bantu teman-teman Siang-heng turus gunung dan merawat luka2nya di kota?"

Siang Cin melengak, tanyanya.

"Dari mana Cuncu tahu kalau temanku perlu perawatan?"

Loh Bong-bu ter gelak2, katanya.

"Bukankah Siang-heng tadi menjelaskan bahwa teman2mu juga tersangkut dalam perkara ini? Kita bicara sekian lamanya, belum juga terlihat teman2mu muncul, mungkin karena luka2nya cukup berat. Kalau tidak tentu sejak tadi sudah keluar."

Siang Cin tertawa tawar, katanya.

"Baiklah, terima kasih."

Dengan tertawa Loh Bong bu lantas berseru kepada anak buahnya.

"Lo Ce, perintahkan membawa usungan kulit biruang kemari, siapkan tenaga untuk membawa Siang tayhiap dan kawan2nya."

Lalu dengan tertawa dia berkata kepada pula Siang Cin.

"Siang heng, berapa temanmu?"

"Empat orang,"

Sahut Siang Cin. Loh Bong-bu berpaling pula ke arah si pemuda yang berjuluk Ceng-yap cu(si daun hijau) dan bernama Lo Ce, katanya.

"Siapkan empat usungan."

Cepat Lo Ce mengiakan dan lari ke bawah, sekali bergerak Loh Bong-bu melompat naik ke samping Siang Cin, maka iapun dapat melihat keadaan di balik tumpukan batu. Tertawa getir Siang Cin berkata.

"Lo Pau, inilah Loh cuncu, ketua Hiat ji-bun dari Bu-siang-pay."

Dengan payah Pau Seh-hoa menggeser badannya, katanya.

"Kami ini Lung pan cu Pau Seh-hoa terimalah hormatku."

Lekas Loh Bong-bu balas menghormat, serunya girang.

"Bagus, kiranya pendekar aneh dari Hau-keh-san, Pau heng, selamat bertemu."

Setelah menghela napas Pau Seh hoa berkata.

"Jangan sungkan, sejak lama aku juga sudah dengar nama besar Cap kau-hwi-ce Loh-cuncu, cuma sayang sekarang bertemu di tempat dan dalam keadaan begini, sungguh Lo Pau amat menyesal."

Loh Bong-bu melompat turun, katanya sambil membungkuk.

"Pau-heng, terlalu berat kata2mu. kaum persilatan mana yang tak pernah kecundang? Bahwa kau masih bisa bangkit kembali itulah seorang Enghiong sejati."

Sementara itu Ceng-yap cu Lo Ce telah kembali dengan membawa puluhan laki2, tiap dua orang membawa sebuah usungan yang terbuat dari kulit biruang. Sejenak melihat cuaca, Loh Bong bu berkata.

"Siang heng, apakah sekarang juga kita boleh berangkat?"

"Cayhe masih kuat bertahan, tak perlu lima usungan, empat saja cukup."

Kata Siang Cin.

"Siang heng,"

Bujuk Loh Bong bu.

"lukamu sendiri juga tidak ringan ...."

Dengan tegas berkatalah Siang Cin.

"Selama hidup manusia harus berani mengalami pukulan lahir batin, kalau sanggup bertahan, maka bertahanlah sekuat tenaga, kalau tidak, sekali ambruk, untuk merangkak bangun lagi tentu akan memakan banyak tenaga."

Lekat tatapan Loh Bong bu, dari kata2 Siang Cin ia seperti memahami sesuatu, tapi Loh Bong-bu tidak bicara, segera dia perintahkan anak buahnya memapah Kun Sim ti, An Lip dan isterinya ke atas tandu, semula Pau Seh-hoa menolak, tapi akhirnya dia menurut juga.

Setelah berputar keluar dari serakan batu di samping gunung, anak buah Bu-siang-pay yang memikul usungan, di bawah pimpinan Ceng-yap-cu Lo Ce dengan tenang mereka turun dari lereng bukit itu, Siang Cin dan Loh Bong-bu berjalan di belakang.

Sementara itu, si mata satu dari anak buahnya yang masih menunggu di bawah sana sudah turtrn dari kuda dan menyambut kedatangan mereka.

Loh Bong-bu memanggil si mata tunggal, katanya sambil tertawa.

"Te Yau, kuperkenalkan seorang Enghiong."

Si mata tunggal hanya menatap Siang Cin sekejap tanpa memperlihatkan perasaan apa2, codet di mukanya tampak berkerut, dengan langkah ogah2an dia melangkah maju dan menjura, katanya.

"Poan-hou-jiu Te Yau dari Hiat ji-bun Bu-siang-pay."

Timbul juga perasaan iba Siang Cin, sedikitpun tiada rasa marah akan sikap orang, karena dia maklum, seorang yang badannya mengalami cacat atau kekurangan pasti akan mempunyai tabiat yang aneh pula, entah suka menyendiri atau bersikap kaku dingin, yang terang mereka punya kebiasaan tidak suka bergaul dengan orang banyak, kebanyakan mereka memencilkan diri, seperti membangun lingkungannya sendiri, untuk menutupi kekurangan pribadinya ini, maka sikapnya sering angkuh dan kasar.

Loh Bong-bu melotot kurang senang, sekalipun Siang Cin sudah merangkap tangan, katanya, menjura.

"Sungguh beruntung dapat bertemu dengan To heng, Cayhe Naga Kuning Siang Cin."

Mata kanan Te Yau yang tunggal mendadak terbeliak, terpancar cahaya aneh dari mata tunggalnya, itulah pancaran rasa kaget, heran dan terharu pula, dengan darah bergolak dia maju setapak, Siang Cin ditatapnya lekat2, sesaat kemudian, sikapnya berubah bagai seorang lain, serunya riang.

"Kau, kau ini Naga Kuning?". Loh Bong-bu membentak gusar.

"Te Yau, jangan kurang ajar."

Siang Cin mengangguk, katanya ramah.

"Betul, memang Cayhe adanya."

Tenggorokan Te Yau berbunyi keruyukan saking terharu, lekas dia berputar ke arah Loh Bong-bu dan memohon dengan sangat.

"Cuncu, kukira kini saatnya tiba untuk melampiaskan keinginanku yang terkatung selama beberapa tahun ini, harap Cuncu suka meluluskan ...."

Loh Bong-bu mengerut kening, katanya serba susah.

"Tidak boleh, tidakkah kau lihat Siang-heng dalam keadaan terluka ... ."

Tergerak hati Siang Cin, sedikit banyak dia dapat menangkap arti percakapan kedua orang, maka dengan tenang dia berkata.

"Loh-cuncu, bile Te-heng memerlukan tenaga bantuanku, boleh silakan terangkan saja, sedikit luka luar ini tidak terhitung apa2"

Ragu sebentar, Loh Bong bu mengelus jenggot, lalu katanya pelan2.

"Siang-heng, soal ini agak ....ya, agak menyulitkan, ada Ngo-coat (lima kampiun) di bawah pimpinanku, bicara terus terang setiap orangnya memiliki kepandaian khas yang tidak lemah, tapi persoalan justeru terletak pada kepandaian khusus itulah, apa lagi usia mereka masih muda, berdarah panas lagi, di samping sombong dan jumawa ....suatu ketika, kira2 tiga tahun yang lalu, seorang diri Te Yau berlatih di lapangan di pinggir hutan di padang rumput besar, Poan hou-jiu yang dia yakinkan memang cukup terkenal, di kala dia berlatih itulah, Ho-lothau yang suka iseng mendadak berlari datang serta tertawa sambil tepuk tangan, Te Yau tanya apa yang dia tertawakan, dengan suara yang di-bikin2 Ho-lothau menerangkan.

"Te lote, Kungfu yang kau yakinkan memang cukup lihay. Tapi bila Poan-hou jiu yang kau latih ini kebentur dengan Joan-ciang si Naga Kuning Siang Cin, pasti kau akan kecundang. Poanhou-jiu yang kau yakinkan ini mengutamakan kecepatan dan sukar diraba, tapi Joan-ciang yang diyakinkan si Naga Kuning Siang Cin itu juga mengutamakan cepat dan aneh, tapi Kungfu yang orang latih justeru jauh lebih hebat daripada apa yang kau latih sekarang"

Sudah tentu mendengar olok2 ini Te Yau amat marah, ia lupa berlatih dan berlari pulang.

Sejak tiga tahun yang lalu ke mana saja dia berada pasti mencari jejakmu, begitu besar keinginannya untuk bertanding, untuk ini entah berapa kali aku pernah menegurnya, tapi tekadnya begitu besar ...."

Siang Cin tertawa, katanya.

"Ah, Te-heng terlalu percaya obrolan orang lain, Cayhe hanya bernama kosong belaka, terhitung apa kepandaian yang kuyakinkan ini, mana bisa dijajarkan dengan Kungfu Te-heng?"

Merah muka Te Yau, katanya penuh permohonan.

"Tidak, Siang tayhiap terlalu sungkan, bagaimana juga Cayhe mohon kepada Siang-tayhiap untuk memberi kesempatan menjajal ilmu yang pernah kuyakinkan ini, supaya hatiku bisa tenteram dan takluk lahir batin."

"Te-heng"

Kata Siang Cin dengan rendah hati.

"kukira urungkan saja niatmu, kau akan kecewa? Dengan kecewa Te Yau memandangi Loh Bong-bu. Loh Bong-bu menggeleng, katanya.

"Ah dasar Ho lothau yang banyak mulut, banyak tingkah ... ."

"Lo-cuncu,"

Tanya Siang Cin.

"siapakah Ho-lothau yang kausebut itu?"

Belum Lo Bong bu menerangkan Te Yau sudah mendahului.

"Ho-lothau adalah Yu hun-hou-cay Ho Siang-gwat, Cong-tong cu dari Bu siang-pay kami."

Dengan tertawa getir Siang Cin berkata.

"Usia Ho Siang-gwat sudah 70, beliau adalah Locianpwe, kenapa dia membuat gara2 terhadap angkatan muda."

Losiansing ini juga terlalu tinggi menilai Cayhe?"

"Siang-heng,"

Ucap Loh Bong-bu sungguh2.

"Ho-lothau memang bertabiat aneh, senang dan marah tidak menentu, sampaipun Ciangbunjin kami juga kewalahan terhadapnya. Tapi terhadapmu dia betul amat kagum, kalian belum pernah ketemu, tapi dalam kehidupan se-hari2 dia selalu menyatakan kekagumannya terhadapmu, semua ini memang kenyataan, bukan dihadapan Siang hrng sengaja aku membual?"

Siang Cin hanya angkat pundak saja. Maka Te Yau mendesak pula.

"Siang-tayhiap, harap engkau suka memberi muka padaku, jangan tolak permohonanku .....

"

Siang Cin berpaling ke arah Loh Bong-bu, dilihatnya Loh Bong-bu tertnwa, katanya kikuk.

"Andaikata Siang-heng mau memberi petunjuk, baiklah, boleh kau hajar adat bocah ini ...., cuma, tentunya akan menyulitkan Siang-heng .....

"

Baru Siang Cin mau bicara, Te Yau telah menimbrung pula sambil menjura.

"Siangtayhiap, kecuali kagum pada kepandaianmu yang tinggi, dengan ini akan sekaligus menguji sampai di mana taraf kepandaian yang telah kuyakinkan selama ini, se-kali2 tiada niat buruk apa2, untuk ini harap Siangtayhiap maklum dan suka memberikan pelajaran untuk memperluas pandanganku yang cupet ini ... ."

Bong-bu berdehem, katanya.

"Siang-heng cobalah kau pertimbangkan apakah bisa kau terima .... ."

Pau Seh hoa rebah di usungan di sebelah, tak tahan lagi ia menyeletuk.

"Kongcuya, coba kau perlihatkan dua gerakan saja, kan tidak suruh kau menggantung diri, cara ini juga biasa bagi setiap insan persilatan yang berkecimpung di Kangouw, peduli kalah atau menang nanti, cukup dia kali bergelak tawa dan urusanpun berakhirlah?"

Loh Bong bu tertawa, katanya.

"Ucapan Pau-heng memang tepat, anggaplah untuk menambah pengalaman kita semua."

"Terlalu berat kata2 Loh-cuncu ......"

Ucap Siang Cin, lalu dia berpaling kepada Te Yau, katanya.

"Te heng, kuharap nanti kau tidak kecewa . Te You berjingkrak girang, serunya.

"Jadi engkau meluluskan?"

Kata Siang Cin terpaksa.

"Begitu besar hasrat kalian, Cayhe jadi tidak enak untuk menolak?"

Te Yau berseru girang dengan merangkap kedua tangan.

"Kalau begitu, terimalah hormatku."

Ia membungkuk tubuh, tidak tampak tubuhnya bergerak, lutut juga tidak tertekuk, tapi bagai busur melenting tahu2 tubuhnya meluncur ke depan dengan gerakan yang indah dan hinggap di atas batu padas.

Pelan2 Siang Cin melangkah maju, sementara Loh Bong bu memberi aba2 kepada anak buahnya agar minggir sehingga terluang tanah lapang sebagai arena.

Lima puluhan pasang mata tanpa berkedip tertuju ke dalam arena, semua tahan napas dan menunggu dengan berdebar, wajah mereka tampak serius, meski katanya pertandingan ini hanya saling ukur kepandaian, tapi bagi setiap orang persilatan sama tahu kalah menang dari hasil pertandingan ini akan sama dengan pertempuran umumnya.

Sebelah kaki Siang Cin memancal enteng, dengan ringan tubuhnya lantas melayang ke atas sebuah batu yang berjarak dengan tempat Te Yau berdiri kira2 setombak lebih.

Hawa masih sejuk, mentari masih memancarkan cahayanya yang hangat, Tapi ujung hidung Poan-hou-jiu Te Yau telah basah oleh butiran keringat kecil2, mantel luarnya sudah dicopot, kedua mata tanpa berkesip mengawasi Siang Cin, gelang emas di jidatnya tampak mengkilap tersorot sinar matahari.

Rebah di atas usungan, dengan penuh perhatian Kun Sim-ti juga menonton, sebetulnya ia tidak menginginkan pertandingan seperti ini dikala kondisi Siang Cin masih seburuk itu.

Loh Bong-bu mengelus jenggotnya yang pendek, pelan2 dia menggeser mendekati Siang Cin, dengan suara rendah dan memohon dengan setulus hati.

"Siang-heng, cukup saling sentuh saja."

Siang Cin berpaling dengan tertawa, katanya lirih.

"Harap Te-heng bermurah hati."

Loh Bong bu mundur keluar gelanggang, di mana Te Yau telah menjura, katanya.

"Silakan Siangtayhiap."

Siang Cin angkat sebelah tangan, katanya tertawa.

"Silakan Te-heng."

Badan yang kurus sedikit berjongkok, kaki Te Yau seperti terpasang pegas yang berdaya pantul keras, tiba2 ia melenting ke atas, dengan membawa segulung angin yang dahsyat ia menubruk turun, betapa cepat dan tangkas gerakannya.

Siang Cin berdiri tegak dan tenang, setelah bayangan lawan melambung ke atas dan menukik ke arahnya, baru Siang Cin sedikit goyang tubuh ke kanan, pada saat itu Te Yau telah menghardik seraya melontarkan pukulannya, selarik cahaya setengah lingkar menyambar dengan ganas, begitu Siang Cin bergoyang ke kanan, cahaya itupun ikut berganti haluan ke kanan, sambil terapung di udara ternyata kedua kaki Te Yau dapat bergerak dengan leluasa, ia memancal lalu tubuhnya bergulung dalam lingkaran kecil di udara, sementara telapak tangannya kembali menghantam, dalam sekejap sudah berada di pinggir telinga Siang Cin.

Siang Cin mengegos, hanya sekejap Te Yau merasa pukulan lawan yang berlapis dan bersusun rapat itu bagai gelombang samudra menerpa ke arahnya, cepat dan berputar ke kiri terus melayang ke sana, bayangan tangan yang bergerak sambung menyambung itu tahu2 sirna, keduanya bergerak sama cepat dan menakjubkan sekali, memang nyata jago kosen sama2 tinggi ilmunya.

Maka telapak tangan saling gempur dengan telapak tangan di udara, bayangan saling gubat di angkasa, terdengar rangkaian suara tepukan yang ramai, di tengah bayangan yang menari itu, dua sosok bayangan orang tahu2 melorot turun kedua arah yang berlawanan serta jumpalitan dengan gaya masing2 yang mempesona, belum lagi kaki menyentuh bumi, tahu2 keduanya berputar balik dan saling labrak pula.

Sementara itu, tanpa berkedip Loh Bong-bu mengikuti pertempuran di udara itu, diam2 ia menggeleng kepala.

Bayangan kedua orang di udara bagai gumpalan asap samar2 saling berkelebat, belum lagi pandangan penonton sempat mengikuti apa yang terjadi, kedua orang ini sudah melayang turun dengan gagah indah dan tenang, baru kaki mereka menyentuh tanah, berkumandang suara tepukan yang keras, ini berarti kecepatan gerak mereka sudah melampaui kecepatan suara, maka setelah mereka turun baru ledakan pukulan berkumandang di udara.

Nampak jelas butiran keringat di wajah Te Yau, air mukanya tampak bersemu merah, deru napasnya juga lebih kasar dari biasanya, dalam dua kali bentrokan singkat ini, keduannya seperti baru saja mengalami suatu pertempuran sengit yang lama dan menghabiskan seluruh kekuatannya, dia lesu dan nampak pula merasa malu.

Sementara Siang Can berdiri tenang di samping sana, sikapnya wajar dan adem ayem seperti tak pernah terjadi apa2, se olah, sejak tadi dia memang berdiri di sana dengan bebas tanpa bergeming sedikitpun.

Kini dia tengah mengebut debu yang melekat dipakaiannya yang telah koyak2 itu, sikapnya.

ke-malas2an tapi juga gagah.

Bergelak tawa Loh Bong-bu memapak maju sambil mengacungkan jempol, serunya."Bagus, bagus, sekali, Siang-heng, Cayhe hari ini betul2 terbuka matanya, dalam gerakanmu tadi cepatnya bagai terbang.

Haha, se-olah2 sekaligus ada puluhan orang yang bantu kau menggerakkan tangan kakimu .....

"Loh-cuncu terlalu memuji," ,ucap Siang Cin.

"Soalnya Te heng sudi mengalah padaku." Semakin jengah Te Yau, ia mengencangkan ikat pinggangnya, dengan tergagap ia berkata.

"Siang-tayhiap, apa yang dikatakan Ho-cuncu memang tidak salah, engkau memang jauh lebih kuat daripadaku."

Sambil menggoyang tangan Siang Cin berkata.

"Pelajaran silat hakekatnya tiada batasnya, masing2 memiliki kelebihan kelihayannya sendiri2, siapapun takkan berani menyatakan dia lebih unggul daripada yang lain. Te-heng, dengan tarap yang telah kau capai ini, sudah harus dibanggakan."

Dengan rasa ikhlas dan kagum Te Yau melangkah maju, katanya dengan hormat.

"Siang-tayhiap, dalam pertempuran tadi meski dua kali kita saling gempur, hakikatnya aku telah mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuanku, seluruhnya Cayhe melancarkan sembilan kali pukulan, tapi engkau melancarkan belasan kali, dalam waktu yang sama, dalam situasi dan kondisi yang sama pula, jelas sekali bahwa taraf kepandaianmu jauh melampauiku, sungguh2 Cayhe merasa tunduk lahir batin, malah menurut hematku, engkau belum lagi mengerahkan seluruh kekuatanmu ......"

Siang Cin tersenyum, katanya.

."Ya, kira2 hantya begitu sajalah, bahwasanya Cayhe juga tidak memiliki apa2 yang melampaui orang lain ......" - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Apakah Siang Cin menerima bantuan pihak Bu siang-pay untuk menuntut balas pada Ceng siong san-ceng? Organisasi macam apakah Hek jiu-tong atau gerombolan tangan hitam dan apa latar belakang permusuhannya dengan pihak Bu siang-pay? 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar