Jilid 05
Entah apa yang tengah dilakukan oleh Sek Pin sekarang? Memangnya dengon alasan apa pula dia akan kemari membawa makanan? Urusan yang sepele dan mudah dilakukan pada hari2 biasa, rasanya teramat sulit dilakukan sekarang.
Kira2 setengah jam kemudian, daun pintu berkeriut terbuka, Sek Pin melangkah masuk membawa keranjang yang penuh bunga seruni, wajahnya tampak tenang, dengan hati2 dia melangkah masuk sambil menoleh sekejap ke belakang.
Sejenak Siang Cin nenunggu, tiba2 ia melompat turun dan berdiri di depan Sek Pin sambil berseri tawa.
Sek Pin berjingkrak kaget dan menyurut mundur, baru saja mulutnya terbuka hampir menjerit, lekas Siang Cin mendesis, katanya.
"Kenapa lama sekali?"
Sek Pin berkata dengan muka pucat.
"Ah, kau sering menakutkan orang cara begini?" Siang Cin mengedip, ucapnya.
"Tidak, kukuatir ada orang menguntitmu."
Sek-Pin mendengus dongkol, katanya setelah angsurkan keranjang.
"Jangan kira hanya kau yang pintar..... dengan baik hati kucarikan kau makan, kau malah membikin aku kaget setengah mati."
Siang Cin terima dengan tertawa, katanya.
"Maafkan aku kalau begitu. Uh, mungkin makanan kau taruh di bawah."
"Sek Pin taruh keranjang di meja yang kotor dan lama tak terpakai, dengan hati2 ia keluarkan puluhan kuntum bunga, dilembari sehelai sapu tangan sutera, di bawahnya ada empat porsi makanan, setengah potong ayam panggang dan sepoci arak, tersedia pula handuk basah untuk cuci muka. Siang Cin menelan liur dan memuji.
"Bagus, masakan lezat yang memenuhi seleraku, terima kasih nona Sek."
Sek Pin mendengus, katanya sambil duduk di kursi tua di sebelah samping.
"Lekas makan, tak usah memuji segala, apa gunanya berucap terima kasih melulu? Siapa tahu dalam benakmu sedang merancang muslihat apa pula ...."
Dari buntalan Siang Cin keluarkan pula sepasang sumpit, dengan kalem dia mulai makan, seperti amat menarik hati Sek Pin mengawasinya dengan terlongong, katanya lirih.
"Hai, poci itu bukan berisi arak, kuatir kerongkonganmu terlampau kering, maka kubawakan air teh saja ...."
Sambil mengunyah daging ayam, Siang Cin berkata.
"Syukurlah kau berpikir secermat ini, cuma kurang cangkir untuk minum."
Melengak sebentar, akhirnya Sek Pin tertawa cekikik geli, katanya.
"Ya, aku lupa, waktu ambil masakan ini hatiku terlampau tegang ....bolehlah kau minum langsung dari mulut poci saja"
Sementara itu Siang Cin sedang menyobek sepotong daging bersaus, dengan sumpitnya dia jejalkan ke mulut, dia mengunyah dengan lambat, seperti sedang menikmati lezatnya. Sambi bertopang dagu Sek Pin mengawasi-nya, katanya.
"Hai, kulihat kau dilahirkan dan dididik dari keluarga mampu, waktu makanpun begini kalem dan sopan, mirip gadis pingitan ....meski wajahmu sekarang kelihatan seram, namun tidak mirip manusia kejam yang suka mencabut nyawa orang, oleh karena itu menilai orang sekali2 lidak boleh diukur dari wajahnya ...."
Setelah menghirup seteguk teh panas langsung dari mulut poci, Siang Cin berkata.
"Berapa usiamu sekarang, nona Sek?"
Merah muka Sek Pin, sahutnya malu.
"Un..untuk apa kautanya soal ini?"
Siang Cin tertawa ulapnya.
"Budak masih ingusan berani menilai orang lain, sungguh tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi."
"Cis, siapa budak yang masih ingusan? Tahun depan umurku selikur ...."
Siang Cin menatapnya lekat2 dengan mulut tetap mengunyah sekerat daging ayam sambil mengangguk, lalu katanya pula dengan memicingkan mata.
"Ehm, memang cantik,"
Sudah tentu semakin merah selebar muka Sek Pin, dia menunduk, katanya lirih.
"He, kenapa kau pandang orang begitu rupa...."
Siang Cin mengangguk pula, ujarnya.
"Perut sudah hampir gendut, matapun ingin menikmati kecantikan, inilah yang dinama-kan perut kenyang terpikat paras ayu."
"Cis ...."
Semprot Sek Pin, mendadak dia bertanya.
"Hai, kau belum beritahu padaku, di mana tempat tinggalmu."
Setelah menuang air teh ke mulutnya, baru Siang Cin menjawab.
"Aku tinggal di Tiang-an."
"Tiang-an?"
Terbayang tabir kabut tipis di mata Siang Cin, katanya pula.
"Itulah tempat yang indah permai, di sana ada bangunan kuno dari kerajaan masa silam, bangunan kota yang serba antik dan artistik. Wah, pokoknya hidup di Tiang-an tidak akan pernah merasa bosan ....
"
Sek Pin melenggong sekian lamanya, akhirnya dia menghela napas gegetun, katanya.
"Siang Cin, tentunya tidak sedikit buku yang pernah kau baca?"
Sambil tertawa Siang Cin berkata.
"Memangnya, kenapa kalau pernah banyak membaca? Bukankah seperti insan persilatan umumnya, aku tetap seorang laki2 kasar yang hidupnya bergelandangan."
Dengan agak emosi sebetulnya Sek Pin sudah siap mengajukan suatu pertanyaan kepada Siang Cin, tapi urung, katanya kemudian.
"Siang Cin, wajahmu matang biru penuh luka2 lagi, tidak enak dipandang mata, kenapa tidak dicuci dan dibersihkan? Kukira setelah di cuci mukamu akan jauh lebih elok."
Menghentikan sumpit, berkata Siang Cin dengan tenang.
"Apa paedahnya dipandang lebih elok? Watak sejati seorang kan tidak boleh dinilai dari wajahnya, seperti apa yang tadi kau katakan, manusia tidak boleh diukur dari wajahnya."
Tertegun sambil menggigit bibit, lalu Sek Pin ubah haluan.
"Tadi aku pura2 memetik bunga sambil mencurikan beberapa makanan ini di dapur. waktu aku kemari, kebetulan Beng-cu dipanggil oleh Cengcu supaya membantu kerja di luar, lalu aku masuk kemari memeriksa adakah tempat rusak yang perlu dipanggilkan tukang untuk diperbaiki ....."
"
"Siapa itu Beng-cu?"
Tanya Siang Cin.
"Salah seorang gundik Cengcu, isteri Ceng-cu sudah meninggal lima tahun yang lalu."
"Siapakah yang akan tinggal di sini?"
Tanya Siang Cin. Gelagapan sejenak, Sek Pin teringat akan ucapan engkohnya tadi pagi, maka dia meng-geleng, katanya.
"Tidak boleh kukatakan."
Siang Cin tertawa, ucapnya.
"Aku tahu, orang yang diundang untuk menghadapiku, betul tidak"?"
Kelihatan Sek Pin rada gugup dan berkata.
"Jangan salahkan aku, aku tidak boleh mengkhianati engkohku, betapapun tak bisa kulakukan sesuatu yang merugikan dia..Siang Cin menarik sebuah kursi, katanya pelan2 sambil duduk .
"Sudah tentu, aku kan, tidak memaksa keteranganmu."
"Siang Cin,"
Kata Sek Pin lebih lanjut setelah bimbang sebentar.
"lekaslah kau pergi, jangan lama2 di sini, kehadiranmu di sini tidak akan menguntungkan dirimu, sekaligus merugikan perkampungan kami pula, kini mereka sudah mempersiapkan diri dengan sempurna, segalanya untuk menghadapi kau."
Duduk ber-goyang2 di kusinya, Siang Cin berkata dengan tenang.
"Engkohmu dan Kongsun Kiau-hong harus menerima ganjarannya dan pula saudara serta Ciciku terjatuh di tangan mereka, sampai sekarang jejaknya belum jelas bagiku ......"
"Cici?"
Sek Pin menegas dengan ragu.
"kau punya Cici?" .
"Sudah tentu, seperti kau mempunyai engkoh."
"Tapi engkohku bilang, di antara perem-puan yang menjadi tawanannya hanya seorang perempuan she Kun, seorang lagi entah she apa, tapi jelas tiada yang she Siang .....
"
Berdebur jantung Siang Cin, katanya pelan.
"Orang she Kun itulah Ciciku, Cici angkatku." -- Sekilas dia melirik Sek Pin serta menambahkan.
"Tapi tiada bedanya seperti kakak kandung, selama ini dia begitu kasih sayang dan melindungiku, meladeni segala keperluanku, sejak beberapa tahun lalu kami sudah tinggal bersama."
Tajam reaksi Sek Pin, dia sendiri tidak tahu kenapa badannya bisa bergetar, katanya pula.
"Kalian, kalian hanya tinggal bersama seperti kakak beradik umumnya?"
Mengusap mukanya yang bengap, berkata Siang Cin dengan tegas.
"Asal kami saling mencintai, mengapa kami tidak bisa hidup berdampingan seperti kakak beradik kandung? Ciciku itu baik sekali, ya baik sekali .......
"
"Cinta?"
Entah mengapa tegang perasaan Sek Pin.
"Cinta macam apa itu?"
Lama Siang Cin menatapnya, akhirnya dia bertanya.
"Untuk apa kau tanyakan hal ini?"
Tersentak Sek Pin dari lamunannya, terasa pipinya panas, katanya tergagap .
"Oh, aku ....... aku hanya tanya secara iseng. Kupikir, ehm, kupikir, Cicimu tentu amat baik terhadapmu ......"
"Ya, terlampau baik,"
Ujar Siang Cin "Bagaimana luka2nya? Apakah engkohmu pernah ceritakan padamu? Apakah sahabat karibku Pau Seh-hoa disiksa olehnya?"
Sek Pin mengawasinya dengan ragu, katanya.
"Entah, aku tidak tahu."
Menggeliat Siang Cin dan tidak bersuara lagi. Tiba2 Sek Pin bersuara pula.
"Siang Cin, dengan cara apa kau ingin menghadapi engkohku?"
Mengawasi wajah molek itu, berkata Siang Cin.
"Akan kurenggut jiwanya."
Bergetar badan Sek Pin, terasa hawa dingin merembes dari belakang lehernya, dengan kaget dia tatap Siang Cin, katanya getir.
"Kau ..... belum cukupkah korban yang telah kau bunuh?"
"Inilah dendam, tiada orang yang bisa mengalirkan darah si Naga Kuning dengan percuma, dia harus membayar utang dengan darahnya sendiri, begitu pula dengan engkohmu, nona Sek."
"Semalam sudah berapa banyak darah orang perkampungan ini telah kau alirkan ...."
"Tapi bukan darah engkohmu ...."
Merah mata Sek pin, bergegas dia berdiri sambil memalingkan muka, ia membereskan mangkuk piring ke dalam keranjang serta menumpuki pula dengan bunga, lalu katanya.
"Siang Cin, jangan terlalu yakin akan kekuatanmu seorang, aku harap kau lekas pergi karena aku tidak tega melihat kau gugur di sini. Kau takkan mampu melukai engkohku, Ceng-siong san-ceng bukan sembarang tempat, jika kau berkukuh pada pendapatmu, nasibmu tentu akan mengenaskan ....."
Siang Cin berdiri, wajahnya yang masih melepuh mengunjuk senyuman tawar, katanya sedikit membungkuk badan.
"Terima kasih atas rangsummu ini nona Sek, kalau ada kesempatan Siang Cin pasti membalas budi kebaikanmu"
Sek Pin membanting kaki, tak tertahan air matanya menetes, katanya terisak.
"Siapa minta balas budimu? Aku tak ingin melihatmu lagi."
Bergegas dia melangkah pergi, pintu itu dia sentakkan dengan keras, pertanda bahwa hatinya amat mendongkol.
Suasana kembali sunyi, kini sudah lewat lohor, tak lama lagi tabir malampun akan tiba apakah malam ini dia harus mulai beraksi pula? Duduk bersandar di kursinya Siang Cin pejamkan mata dan memeras otak, dia maklum lukanya harus cepat diobati, kalau tidak bukan saja sukar disembuhkan, dikuatirkan pula akan menimbulkan penyakit sampingan.
Diam2 iapun bersyukur bahwa racun di tubuhnya hanya obat pembius yang bekerja sementara saja, kalau tidak, bagaimana akibatnya tak berani dibayangkannya.
Sang waktu berlalu tanpa terasa, sang surya semakin doyong ke barat, Siang Cin tengah merancang aksi yang akan dilakukannya malam nanti, pertama yaitu cara bagaimana berdaya menolong Kun Sim-ti dan Pau Soh-hoa yang berada dalam kurungan musuh.
Tenang2 dia memandang langit2 loteng, ia pikir langkah pertama harus mencari seorang penghuni Ceng siong-san-ceng yang punya kedudukan lumayan yang tahu di mana letak kurungan rahasia yang menyekap teman2nya, lalu mengorek keterangannya, meski harus memakai cara keji apapun.
Malampun tiba, malam gelap dengan angin menghembus kencang, musim gugur sudah hampir berlalu, daun kering rontok di embus angin, semakin malam hawa terasa makin dingin.
Sementara itu Siang Cin sudah berada di atas wuwungan loteng, dari sini dapat dilihatnya penjagaan di segala pelosok Ceng siong-san-ceng sangat keras, rombongan ronda yang berseragam hitam mondar-mandir, di mana2 terlihat kemilau senjata tajam, sering pula dilihatnya berkelebat bayangan orang yang bergerak gesit dan cepat pergi datang, terdengarlah pula suara sahut menyahut di sana sini, keadaan tegang seperti- menghadapi musuh besar..Setelah memeriksa keadaan, Siang Cin mengencangkan pakaiannya yang koyak, seringan burung dia melejit ke pucuk pohon, sedikit menutul kaki di puncak pohon, segera ia hinggap di atas sebuah gardu taman yang mungil.
Baru saja dan mendekam disitu dan bayangan orang berlari datang dan berhenti di bawah gardu, mereka memeriksa dengan celingukan, pada saat itulah delapan laki2 kekar berseragam hitam ketat sama berlompatan keluar dari belakang pohon, seorang yang bersenjata Kui-thau-to menegur sambil melintangkan goloknya.
Setelah menyahut segera orang itu mendengus.
"Apakah Ci Kui keparat, bikin tegang orang saja?"
Laki2 yang bernama Ci Kui itu seorang burik, bopeng, lekas unjuk tawa. katanya.
"Apakah Ciu-losu dari perumahan tengah?"
Setelah mendengus, orang yang dipanggil Ciu-losu berkata.
"Tadi seperti kulihat ada bayangan orang di sini, hanya sekejap lantas lenyap, apa kalian melihatnya?"
Ci Kiu menggeleng, katanya.
"Tak mungkin, kami selalu jaga di sini, tikuspun tidak kami lihat, memangnya manusia bisa lewat di sini? Mungkin pandangan Ciu-losu yang kabur ...."
Dengan penasaran Ciu-losu berka.
"Mata orang she Ciu ini tidak pernah kabur, pasti ada mata2 musuh yang menyelinap kemari, kalian berjaga disini, memang kalian ini gentong nasi semua."
Waktu dimaki Ci Kiu hanya menyengir dan mengiakan, Orang she Ciu bertolak pinggang katanya angkuh.
"Kalian harus lebih wespada, bukan mustahil keparat she Siang itu malam ini akan bikin onar, keparat itu bukan anggur yang enak, kalau sampai lengah, mangkuk nasi kita bisa berantakan."
Lalu orang she Ciu melangkah pergi. Setelah bayangan lenyap di balik tembok sana, Ci Kiu berludah sambil mengejek.
"Keparat, kalau kebentur setan tanggung jiwamu melayang lebih dulu. Kunyuk, waktu terjadi pertempuran semalam kau cucunya kura2 hanya sembunyi dalam pelukan gendakmu . ..."
Seorang laki2 disampingnya segera membujuk.
"Sudahlah Kiu-ko, salah kita sendiri kenapa membekal kepandaian rendah, buat apa kau marah2 pada orang macam dia .....
"
Ci Kiu berludah lagi dengan penasaran, katanaya.
"Nenek moyangnya, bagi yang tidak tahu kan menyangka kunyuk she Ciu itu jagoan lihay yang diagulkan oleh Wancu, yang benar dia itu cucunya kura2, antek yang cuma iri sesuap nasi ... ."
Siang Cin yang sembunyi di atap gardu diam2 menahan geli, setelah orang2 di bawah pergi, kembali dia kembangkan ketangkasannya, sekali lompat delapan tombak jauhnya, beruntun juga kaki menutul dan kembali dia meluncur jauh ke depan kembali terdapat dua bangunan berloteng yang kelihatan mungil, di atas loteng sinar lampu masih menyorot keluar.
Tanpa mengeluarkan suara Siang Cin melekatkan tubuhnya di jendela tingkat kedua, dengan hati2 dia membasahi kertas penutup jendela dengan ujung lidahnya, dari lubang kecil ini dia mengintip ke dalam, itulah sebuah ruang yang dipajang cukup mewah, seorang laki2 berusia empat puluhan, dengan muka sebelah kanan berwarna kelabu tengah mondar mandir sambil menggendong tangan.
Diam2 Siang Cin menilai bobot laki2 ini, dia tidak berani bertindak semberono, sebab kalau orang ini tidak tahu di mana Pau Seh-hoa dan lain2 dikurung, kemungkinan akan membuat geger sehingga rencana semula bisa gagal total.
Sesaat kemudian, Iaki2 itu mengambil secangkir teh panas serta menghirupnya seteguk, lalu dia memanggil.
"An Hok."
Seorang kacung mengiakan dan lari mendekati pintu, serunya.
"Suhu ...."
Laki2 itu berkata.
"Ingat, sebelum kentongan ketiga sampai fajar menyingsing adalah waktuku bertugas bersama Bok suhu."
An Hok mengiakan dan mengundurkan diri.
Seperti iseng orang itu menggeliat sekali lalu menutup pintu dan langkah balik ke dalam.
Pelan2 Siang Cin mencongkel kertas jendela, sekali menyelinap dan berkelebat, sekali dia sudah meloncat ke atas belandar.
Mendadak terasa angin berkesiur, laki2 itu berpaling, tapi tiada sesuatu yang dilihatnya, sekilas dia tertegun, lalu mendekati jendela dan memeriksa ala kadarnya, dia menggeleng sambil menggerundel.
"Ah, terlalu takut akan bayangan sendiri, kalau keadaan seperti ini terus berlangsung, rasanya bisa gila ... ."
Seringan asap Siang Cin melayang turun ke belakang orang, katanya kalem.
"Sudah tentu, perasaan was2 memang menekan batin."
Bergetar sekujur badan orang itu, tanpa menoleh tangannya menepuk ke belakang, Tapi Siang Cin keburu bergerak maju, empat jurus pukulan di lancarkan sekaligus.
Hakikatnya orang itu tidak sempit melawan atau berkelit dikala dia menyurut kelabakan itulah Siang Cin berhasil membantingnya jatuh ke lantai.
Belum lagi sempat melompat bangun, tahu2 sebelah kaki Siang Cin sudah menginjak batok kepala orang itu.
"Jangan sembarang bergerak sahabat, kalau aku mau merenggut nyawamu, apakah kau bisa hidup?"
Muka orang itu menjadi merah padam, keringat sebesar kacang membasahi mukanya, ia berkata dengan serak.
"Kau Sang Cin, apa keinginanmu?"
Siang Cin tarik kakinya, katanya.
"Bangunlah, berdiri!"
Orang itu melompat bangun dengan terhuyung, katanya dengan gusar.
"Orang she Siang, kalau berani sebutkan caranya, kalau mau bicara, lekaslah terus terang, aku Ki Toa-bok kalau takut bukanlah laki2 sejati."
Sang Cin mendengus, katanya.
"Sahabat, dengarkan baik2 dan jangan coba main2, dalam waktu sedetik Siang Cin mampu mencabut nyawamu. Sekarang beritahu padaku, teman2ku itu dikurung di mana?"
Berubah air muka Ki Toa bok, katanya geram.
"Aku tidak tahu."
Siang Cin tertawa, katanya.
"Seorang laki2 harus bisa melihat gelagat, saudara Ki, jangan kau minta disiksa baru mau bicara."
Ki Toa-bok nenyeringai, katanya.
"Hampir dua puluhan tahun Ki Toa bok berkecimpung di Kangouw, orang she Siang jangan kau main gertak padaku, mau sembelih atau mau gantung boleh silakan, tapi jangan harap memperoleh keterangan apapun dari mulutku."
Siang Cin menarik murka, katanya pelan.
"Kau boleh menjerit, tapi kalau aku memberi kesempatan membuka mulut, anggaplah sia2 Naga Kuning dilahirkan."
Ki Toa bok menyurut mundur, keringat gembrobyos, katanya dengan napas memburu.
"Orang she Ki bukan pengecut .... ...."
"Hm,"
Siang Cin menggeram.
"berkata tidak?"
Ki Toa bok menggeleng, katanya.
"Aku tidak tahu."
Mendadak Siang Cin tertawa dan berkata.
"Sahabat akan kucukil mata kananmu."
Belum sempat Ki Toa-bok menjawab, tahu2 bayangan berkelebat, tangan Siang Cin telah mencolok, tahu2 jarinya telah menempel di kelopak mata kanannya.
"Kau terlalu bodoh sahabat, ingat gunakan cara yang paling singkat untuk mengejar waktu, sementara gerak kepalamu juga terlalu lamban,"
Ejek Siang Cin. Gemetar badan Ki Toa bok, muka kelabunya bersemu hijau, mulutnya megap2 tak mampu bicara. Siang Cin melangkah mundur, katanya tenang2.
"Jangan kau paksa aku melukaimu. Nah, beritahu padaku, di mana teman2ku dikurung?"
Ki Toa-bok berdiri menjublek bagai patung tanpa bicara, pecah nyalinya menyaksikan gerakan orang secepat dan selihay itu. Dengan tanganya Siang Cin mengusap muka, katanya.
"Ki Toa-bok, nanti kau boleh bilang aku memaksamu. Jangan bodoh, hal yang sepele itu jangan kau pertaruhkan untuk jiwa ragamu, ini termasuk Cengcu kalian Ha It-cun."
Namun Ki Toa-bok memang kepala batu, sepatah katapun tetap tak mau bicara, betapapun dia tidak mau menjadi pengkhianat Ceng-siong-san-ceng.
Melihat sikap orang, Siang Cin tahu urusan bisa runyam, bukan maksudnya ingin mencelakai orang ini, tapi kalau menggunakan kekerasan, coba bagaimana dapat menundukkan kekerasan hatinya? Sambil menggeleng Siang Cin menegas.
"Kau betul2 tak mau menerangkan?"
Ki Toa-bok tetap tutup mulut, se-olah2 gunung runtuh di depan mata juga takkan menggoyahkan tekadnya. "Baiklah, aku mau pergi saja,"
Pelahan Siang Cin membalik tubuh, sekilas melirik ia dapat menangkap perubahan air muka Ki Toa-bok yang merasa lega serta bangga, maka baru saia tubuhnya bergerak secepat kilat dia turun tangan, hakikatnya Ki Toabok tak sempat berkelit, kontan dia roboh terkapar.
Siang Cin menutuk Hiat-to pembisu dan pelemas badannya, sekali raih dia jinjing tubuh orang serta didudukkan di atas kursi, lalu Siang Cin berjongkok dibalik kursi, dengan suara dibikin kasar dia berteriak.
"A Hok, A Hok ...."
Setelah memanggil beberapa kali, didengarnya langkah berlari di luar, suara orang tadi berkumandang di luar pintu.
"Suhu, A Hok ada di sini!"
Dengan setengah menahan suara Siang Cin berkata.
"Panggil Bok-suhu kemari."
Agaknya A Hok yang di luar melengak, katanya lirih.
"Bukankah Bok-suhu akan ronda bersama Suhu pada kentongan ketiga nanti? Kenapa ...."
"Lekas pergi,"
Desak Siang Cin menirukan suara Ki Toa-bok. Lekas A Hok mengiakan dan berlalu cepat2, Ki Toa-bok yang duduk lemas di kursi hanya mendelik gusar. Siang Cin menepuk pundaknya, katanya.
"Kutiru suaramu, meski tidak begitu mirip, tapi nadanya sudah hampir sama, dalam keadaan seperti ini A Hok tentu tidak memperhatikan, meniru suara orang harus ingat akan satu hal yaitu bicara harus pendek dan samar2, bicaranya tidak boleh terlalu banyak, terlalu banyak bicara pasti ketahuan."
Saking gusar gemetar sekujur badan Ki Toa-bok, Siang Cin tersenyun, kursinya diputar ke arah jendela, katanya pelan2.
"Tak usah marah, laki2 keras kepala, kututuk hiat-tomu, orang lain mungkin tidak tahu, tapi Bok-suhu itu pasti tahu dari air muka dan sikapmu, nanti akan kutipu dia, memang aku juga tahu harapan mencapai tujuan hanya setengah saja."
Menunggu lagi beberapa kejap, tangga loteng di luar mulai berderap langkah orang, langkah kakinya cepat tapi mantap. Pintu diketuk pelahan, suara nyaring seorang berkata di luar.
"Ki toako, Cayhe sudah datang, Toako ada pesan apa?"
Pelahan Siang Cin membisiki Ki Toa-bok.
"Suara orang ini nyaring keras, dia pasti masih muda belia, dia memanggil kau Toako, kalau usiamu sekitar empat puluhan, maka usianya pasti cuma tiga puluhan, anak muda biasanya suka bicara terus terang dan tentu jauh lebih gampang ditipu ......"
Saking gusar dengus Ki Toa-bok bertambah cepat, sekujur badan bergetar, tapi dia tidak mampu berbuat apa2, Siang Cin tertawa, dengan suara lemah, seperti kehabisan tenaga dia berseru.
"Aku lagi kurang enak badan, Bok-lote, untuk tugas nanti boleh kau lakukan sendirian saja."
Agaknya orang she Bok di luar melengak kaget, katanya.
"Ki toako, ada beberapa tempat aku kurang apal, apalagi untuk meronda sampai ke Lokoh-ce tanpa kau aku takkan diperbolehkan melewati pos penjagaan, ini ....ini ...... Siang Cin batuk2 dua kali, serunya.
"Lo- kohce (sumur perawan tua) ...."
"Itulah tempat untuk mengurung teman2 orang she Siang,"
Kata orang di luar gugup.
"meski penjagaan diperketat dan orang she Siang juga belum tentu tahu akan tempat itu, tapi bila sampai kita tak meronda ke sana dan terjadi sesuatu, tak berani aku memikul tanggung jawabnya ...."
Siang Cin pura2 merintih lirih, katanya.
"Ha, tapi aku benar2 kurang enak badan ...."
Tiba2 orang di luar itu berkata.
"Ki toako, maukah kupanggilkan tabib Kho di depan sana untuk memeriksa penyakitmu? Sekalian kulaporkan kepada Sek-wancu dan mohon beliau menambah tenaga lain untuk menggantikan kau?"
Siang Cin berpikir sejenak, setelah batuk2 dia menjawab.
"Baiklah! Huk, huk! Malam ini terpaksa aku menderita ...."
Setelah diam sebentar, orang di luar kedengaran heran, katanya.
"Kitoako ... .suaramu seperti agak berubah? Kenapa ...."
Siang Cin tertawa serak, sahutnya megap2.
"0, tenggorokanku gatal....badan terasa lemas....."
Suara orang di luar kedengaran2 ragu, katanya.
"Ki-toako, perlukah aku masuk meladenimu?"
Dengan suara dibikin parau Slang Cin menjawab.
"Tak usahlah."
"Baiklah Ki-toako. Cayhe akan kembali nanti sebelum kentongan ketiga,"
Lalu cepat ia menuruni tangga dan tak terdengar lagi. Siang Cin berdiri, dengan tersenyum dia awasi Ki Toa bok yang merah padam, katanya.
"Adakalanya manusia perlu menggunakan akal, tapi dalam mengatur akalnya itu juga bergantung pada nasib, keduanya saling berkaitan, tadi nasibku lagi baik, aku telah mencapai setengah dari pekerjaanku."
Terbeliak mata Ki Toa-bok, mukanya merah bagai kepiting direbus, keringat sebesar kacang bertetesan, napas memburu, keadaannya sungguh harus dikasihani. Siang Cin tepuk jidat Ki Toa-bok dan berkata "Kau seperti sakit betul2 Baiklah kau tidur saja"
Besok pagi tenagamu pasti sekuat harimau, sekarang maafkan kalau aku menutuk Hek-tiam-hiatmu."
Dengan ringan Siang Cin menutuk Hiat-to yang di-sebut, Ki T'oa bok lantas merasa kelopak matanya semakin berat dan pelan2 terpejam, dia tidak ingin tidur, tapi rasa kantuk tak tertahankan lagi.
Siang Cin menghela napas lega, dia bersyukur bahwa akalnya berhasil, padahal Ki Toa-bok ini bergelar Ci-bin hwi-ja (guru terbang muka kelabu), ilmu silatnya tinggi dan keji pula, sebagai pengawas umum Ceng siong-san-ceng, kepandaiannya cukup hebat, tapi sekali gebrak dia justeru kecundang oleh Siang Cin.
Mengawasi Ki Toa bok yang tidur nyenyak.
Siang Cin membetulkan jubah orang, lalu sekali berkelebat dia menyelinap keluar dan lenyap.
Kini dia sudah tahu tempat mengurung Pau Seh-hoa dinamakan Lo keh ce, tapi dapat dibayangkan betapa keras penjagaan di "sumur perawan tua"
Itu, lebih penting lagi dia harus bisa menentukan arah mana letaknya? Demikianlah dia mendekam di belakang sepucuk pohon serta memeras otak, terpaksa dia berkeputusan untuk menyerempet bahaya sekali lagi.
Dengan langkah lebar dia maju ke depan, baru beberapa langkah, dua laki2 kekar melompat keluar mengadangnya dengan bentakan kereng.
"Ceng-siong ....... ."
Siang Cin menjawab tenang.
"Ban-kiu." --Kata rahasia ini ditirunya dari pos penjagaan tadi. Kedua orang itu menarik senjata dan minggir. tanyanya.
"Suhu manakah yang kemari?"
Siang Cin tertawa, katanya.
"Inilah Ui-liong Siang-suhu"
Bagai petir menyambar kepala, kedua laki2 itu tersentak keget, seketika mereka berdiri kaku mematung, Sekali berkelebat bayangan Siang Cin sudah tiba di depan mereka, dengan suara lembut dia berbisik.
"Sahabat baik, malam sudah larut dan dingin, lebih baik kalian tidur saja."
Begitu Hiat-to tertutuk kedua orang lantas jatuh lemas, Siang Cin jinjing tubuh mereka melompat ke atas pohon.
Tak lama kemudian dia sudah lompat turun, kini dia berganti seperangkat pakaian seragam hitam, ikat kepala warna hitam pula, dengan menjinjing Kui-thau-to lagaknya mirip penjaga tadi.
Dia pura2 gugup dan gelisah, sambil berjalan meronda dia celingukan, dengan hati2 ia terus maju mencari tempat tujuannya - "sumur perawan tua"
Tiba di taman bunga, mendadak empat laki2 mencegatnya dan menegur.
"Hai, kau bocah ini dari pekarangan mana? Mondar-mondrr seorang diri, memangnya kau tidak takut jiwamu direnggut setan?"
Meendengar orang menyangka dirinya kawan sendiri, Siang Cin menjawab sambil menghela napas.
"Ai, atas perintah Ki-suhu, aku disuruh memeriksa kemari, jalan sendirian di malam gelap sungguh kebat-kebit dan merinding bulu romaku."
Empat laki2 itu sama mentertawakan, kata salah seorang.
"Jangan sok pintar, apa yang dapat kau lihat dan periksa, bila kebentur bocah she Siang itu, belum lagi saling gebrak mungkin kau sudah terkencing2 ketakutan .. ... ...." Siang Cin pura2 takut, katanya menyengir.
"Memang, tapi Ki-suhu malah rnenyuruhku pergi ke Lo-keh-ce segala ......"
Kembali keempat laki2 itu berseloroh, kata salah seorang yang lain.
"Lo-koh-ce kan terletak di pekarangan belakang di bawah Keh-im-san, tempat yang seram itu memang menggiriskan, siang hari bolong orangpun akan merinding lewat di sana, apa lagi pada malam gulita dan dalam suasana tegang begini, memang sialmu sendiri, kenapa kau memperoleh tugas berat ini ......"
Memperoleh keterangan letak Lo-koh-ce, Siang Cin tidak ayal lagi, ia menjura terus melangkah pergi, sambil berjalan mulutnya menggerutu.
"Makan sesuap nasi orang harus turut perintahnya. Ya, apa boleh buat? Biar sekarang juga aku kesana...
"
Dengan ketajaman mata dan telinga Siang Cin terus maju kedepan, sedapat mungkin dia menghindari pos penjagaan, dia mengembangkan ketangkasannya, dengan cepat ia menyusur ke depan.
Setelah melampaui pagar tembok yang dikapur putih serta melewati dua lapangan berumput yang luas, iapun tiba di pekarangan belakang, dari jauh terlihat bayangan pagar tembok yang mengelilingi sebuah bangunan.
Dia memeriksa keadaan sekeliling, di ujung kiri belakang pekarangan sana dilihatnya segundukan bayangan gelap, itulah sebuah gunung2an, gunung2an buatan ini cukup luas, kelihatannya sunyi dan angker, mungkin di sinilah letak Keh-im-san yang dicarinya itu? Dia bergerak di bawah bayang2 berbagai benda yang ada di sekitarnya terus maju tanpa menemui rintangan, lekas sekali dia sudah tiba di tempat tujuan, bentuk dari keseluruhan Keh-im-san yang dibangun dengan pecahan batu2 yang ditata rapi dan bagus dibuat mirip dongeng neraka, ada pintu kematian, jembatan gantung, panggung kenangan, empang teratai, jalan yang menyesatkan dan puluhan macam gedung2 sidang para setan, setiap gedung atau istana dari neraka yang pernah dijadikan dongeng dalam masyarakat, semuanya ada di sini, malah disusun sedemikian rapi sehingga terbentuklah gunung2an yang menggiriskan ini, walau di sini tidak dipasang ukir2an malaikat dan setan, tapi bangunan istana bawah tanah yang mirip neraka itu terasa seram dan menakutkan.
Sekilas Siang Cin melenggong mengamati keadaan yang seram ini, sorot matanya menjelajah sekelilingnya.
dengan enteng segera dia melayang ke arah empang teratai, di tengah empang teratai ini ada sebuah empang kecil berisi air kotor warna hitam yang tenang, tak bergelombang, scperti permukaan kaca beku, di bagian tengahnya terdapat teratai yang diukir dari batu hitam, bentuknya mirip setan yang mati tenggelam dan kepala menongol keluar.
Berbagai bentuk batu2 hitam raksasa lain dan aneh2 mengelilingi empang teratai, tampak sebuah jalanan kecil yang berlandas batu2 krikil menjurus ka dalam dihimpit dua batu raksasa hitam, batu2 hitam itu tingginya ada delapan tombak, jika tidak mampu melompat ke atas, maka orang harus jalan melalui jalanan kecil itu.
Sudah tentu Siang Cin tidak sebodoh itu, setelah menarik napas dia melejit enteng tanpa mengeluarkan suara, dia hinggap di atas batu.
Di depan ternyata diadang oleh sebuah dinding batu yang miring, entah bagaimana keadaan di balik dinding batu ini, baru saja Siang Cin hendak bertindak lebih lanjut, air empang teratai di bawahnya tiba2 bersuara gemericik, tak ubahnya air yang mendidih.
Melihat uap yang keluar dari pemukaaan air, Siang Cin lantas paham, itu bukan uap biasa, tapi penguapan air hitam kotor itu sehingga mengandung hawa beracun yang jahat.
Dia tahu dirinya tak boleh terlalu lama lama berada di sini, bila hawa beracun itu sampai membumbung ke udara, siapapun takkan luput dari bencana keracunan.
Cepat Siang Cin melambungkan tubuhnya, di udara dia menukik miring serta jumpalitan sekali lagi, badannya kembali melejit dua tombak ke atas, dengan enteng dia tancapkan kakinya di atas dinding batu yang mengadang di depan itu.
Kini di depan kiranya adalah "jembatan kenangan abadi", air gemencik mengalir di bawah jembatan, diseberang jembatan berjajar puluhan ruang sidang mirip istana dalam dongeng neraka, cuma di sini tidak kelihatan ada setan2 cilik yang berjaga.
Bimbang sejenak akhirnya Siang Cin meluncur turun bagai anak panah, sedikit menutul kaki di atas jembatan ia terus meluncur pula ke depan, tapi, di kala kakinya menutul jembatan, timbul reaksi yang hebat, dua pagar yang ada di dua sisi jempatan tiba2 menjeplak dan menyabet ke tengah.
"Trang", timbul"
Percikan api, ternyata di sisi pagar jembatan terpasang barisan golok baja yang tajam luar biasa, untung gerakan Siang Cin cukup sebat, setelah dia melayang pergi baru barisan golok itu mengatup.
Sebelum tiba di seberang Siang Cin membelok arah menyelinap ke tempat gelap, dia mengusap telapak sepatunya di atas batu untuh menghilangkan cairan hitam ketika kakinya menutul permukaan jembatan tadi.
Bayangan delapan orang melompat keluar dari "istana neraka"
Itu dan berlari ke arah jembatan, mereka celingukan ke sana sini, suara seorang serak mengomel.
"Keparat, pagar jembatan sudah kembali ke asalnya, barusan jelas ada orang lewat jembatan, kenapa bayangan setan saja tidak kelihatan, memangnya dia bisa terbang,"
Suara serak yang lain ikut bicara.
"Belum tentu manusia? Bisa juga kucing atau tikus, jembatan rahasia ini memang tajam daya kerjanya, barang apapun sedikit menyentuhnya pasti menimbulkan reaksi, bukankah tempo hari seekor kucing mati terkacip oleh golok2 baja itu?"
Setelah menggerutu akhirnya merekapun mengundurkan diri, keadaan kembali menjadi sunyi dengan suasana yang seram.
Dari balik sebuah batu besar Siang Cin melesat keluar, beruntun dua kali lompatan, iapun menyelinap masuk ruangan ke mana beberapa orang tadi mengundurkan diri, keadaan di sini gelap dan seram.
Kecuali sebuah panggung panjang di sini tiada perabot lainnya.
serba kosong, sejenak Siang Cin berdiri bingung, dinding batu warna hitam, lantainya juga gelap, sampai panggung itupun hitam, kecuali dari arah masuk tadi tiada kelihatan pintu atau lubang keluar lainnya, tapi jelas beberapa orang tadi masuk kemari, lalu ke mana saja mereka menghilang? Dinding terasa dingin lembab dan berlumut, tiba2 timbul akal Siang Cin, dengan tangan dia meraba dinding pelan dan penuh perhatian, sejengkal demi sejengkal dia periksa dengan teliti, tak lama kemudian, betul juga ditemukan suatu tempat terasa kering daripada dinding disekitarnya yang lembab, kiranya di sini letak rahasianya.
Sorot matanya seketika bercahaya, pelan2 dia tolak ke dalam, lalu dijorong pula kedua kalinya, tapi tidak bergeming dan tidak menimbulkan reaksi, dia me-raba2 pula sekeliling dinding yang kering ini, akhirnya ditemukan sebuah tombol yang menonjol di bawah kaki dinding, tanpa pikir segera dia tekan tombol itu.
Bagian dinding sepanjang tiga kaki dan lebar tiga kaki tiba2 menjeplak, hanya sekejap saja terus putar kembali ke tempatuya, setelah itu baru pelan2 terbuka lagi.
Siang Cin tertawa, kalau dia ter-buru2 menerobos masuk secara sembrono, tentu tertabrak dinding yang membalik tadi, umpama tidak mampus pasti juga akan terluka.
Bagian dalam adalah sebuah lorong panjang, disebelah kanan ujung lorong ada kamar batu dan cahaya lampu, terdengar ramai suara orang di dalam..
Siang Cin tarik balok batu itu ke tempat asal nya, seringan kucing dia rnenggeremet maju ke depan kamar batu, daun pintu tebal terbuat dari kayu setengah terbuka, bau arak merangsang hidung, hawa dalam kamar terasa panas, kiranya orang2 di dalam tengah berlomba minum arak sehingga lupa daratan.
Kamar batu ini ada dua tombak persegi luasnya dan belasan orang, delapan diantaranya tengah mengelilingi sebuah meja dengan beberapa macam hidangan yang belum termakan habis, ada empat poci arak, wajah ke delapan orang ini tampak merah kelam karena terlampau banyak minum, seorang laki2 kepala besar sedang duduk dipojok sana, disampingnya ada sebuah kotak kayu.
Waktu Siang Cin melangkah masuk, seorang yang duduk menghadap pintu berkepala botak lantas melihatnya, sekilas dia tertegun, seperti dipagut ular dia berjingkrak sambil berteriak.
"Celaka, lekaa ....." Di samping duduk seorang berewok yaug segera mendelik kepadanya, bentaknya.
"Kenapa kau? Keparat, memangnya kau melihat setan?"
Belum habis si berewok bicara, tiga orang yang lain juga sudah melihat Siang Cin, sikap mereka sama berubah, be-ramai2 seperti berlomba cepat mereka mencabut senjata serta melompat ke samping dan mengawasi Siang Cin dengan pandangan takut dan penuh tanda tanya, mereka tidak habis mengerti, cara bagaimana Siang Cin bisa masuk kemari? Siang Cin gosok2 tangan, katanya.
"Saudara2, malam dingin berkabut tebal, minum arak mencari hangat di sini memang menyenangkan."
Si brewok menelan ludah, dia berseru.
"Sahabat, kau takkan bisa keluac dari sini ..... ."
Melihat sekitarnya, Siang Cin berkata dengan tertawa.
"Ini bukan soal, yang penting apakah kalian mampu menangkapku. Sekarang taruh senjata kalian dan teruskan minum arak, setelah kutanya jelas sesuatu hal, segera aku akan berlalu, takkan mengganggu kalian."
Dikala Siang Cin bicara, diam2 si kepala besar ulur tangan ke dalam kotak kayu, disitu ada sebuah genta kecil yang tergatung di dalam lubang dinding.
Tapi batu tangan si kepala besar bergerak, teasa angin menyambar, tahu2 tangan kanan yang menjulur itu sudah terbacok putus jatuh ke lantai, darah seketika berhamburan, kiranya yang membacok putus lengan si kepala besar adalah Kuithau- to yang berada di tangan Siang Cin.
Si kepala besar terbanting ber guling2 di lantai sambil menjerit.
Jeritan yang menggiriskan menggugah bangun si orang kurus kering bagai lutung yang sejak tadi tidur nyenyak di atas dipan, begitu membuka mata belum lagi sadar apa yang terjadi, langsung ia keluarkan pedang terus membacok ke arah Siang Cin.
Kasihan, belum lagi dia sempat beraksi, sekali golok Siang Cin menabas miring, kontan kepalanya mencelat..Kecuali jerit kesakitan si kepala besar, suasana mencekam semua orang, wajah mereka tampak pucat penuh rasa takut dan ngeri.
Siang Cin tertawa, katanya.
"Jangan kuatir, bila kalian mau bekerja sama denganku, orang she Siang pasti tidak akan mencelakai kalian, sekarang ingin kutanya, untuk menghindari salah satu di antara kalian dituduh sebagai pengkhianat, maka setiap pertanyaanku harus dijawab.bersama, siapa yang ragu2 dan menjawab tidak semestinya, kedua kawan kalian itu menjadi contoh yang baik buat kalian."
Sembilan orang yang berdiri mengelilingi meja itu saling pandang, mereka berdiri kaku seperti linglung, tangan pegang senjata tapi tiada satupun yang berani bergerak, mereka maklum bila tidak ingin mati, mereka harus terima syarat yang diajukan.
Siang Cin kucek2 hidung, lalu katanya pelahan.
"Di mana letak Lo koh-ce?"
Sekilas orang2 itu saling pandang pula, seperti berlomba saja mereka lantas berebut bicara.
"Di belakang lorong di luar kamar batu itulah . .... ."
Siang Cin manggut, katanya tertawa.
"Bagus, kalian mau bekerja sama, adakah benda apa2 yang menutupi Lo-koh-ce?"
Jawaban orang2 ini sekarang lebih cepat lagi, jawaban yang satu menambah terang jawaban yang lain.
"Itulah sebuah meja persegi, Lo koh-ce berada di bawah meja persegi ......"
"Meja batu persegi, beratnya ribuan kati ........
"Mejanya amat berat, di dalam sumur ada undakan batu yang menjurus ke bawah ...."
"Dasar sumur merupakan sebuah lorong panjang, ada tiga rintangan binatang buas ...."
"Tiga rintangan binatang buas masing2 terdiri dari harimau bertanduk, gajah bersayap dan ular merah ...."
"Paling akhir adalah kamar kurungan, teman2 Siang-toaya tersekap di sana ...."
"Di luar sel dijaga oleh dua raksasa segoblok babi tapi sebuas serigala ...."
Jawaban seperti berlomba cepat itu sungguh menggelikan. Setelah jawaban mereka cukup lengkap, Siang Cin berkata dengan tertawa.
"Bagus sekali, kalian memang baik hati, hanya Enghiong seperti kalian ini yang bisa melihat gelagat dan tahu diri, orang she Siang sangat berterima kasih akan keterangan ini, soal ini, tanggung tidak akan kusiarkan, kalian tidak usah kuatir."
Orang2 itu diam2 merasa lega, rasa tegang merekapun mengendur, kembali mereka saling pandang dengan menyengir. Kemudian Siang Cin berkata pula.
"Cayhe akan tutuk Hiat-to pelemas kalian, satu jam kemudian akan pulih kembali, kalian boleh lapor orang she Siang menerobos masuk ke Lo-koh-ce, kepala besar itu tak menjadi soal, walau dia tidak mampus, tentunya kalian juga bisa menbayangkan betapa kesakitan bila lengan kutung."
Dengan rasa tidak tenteram orang2 itu berpaling ke arah si kepala besar yang menggeletak tak bergerak lagi.
mereka merasa lega, tiba2 terasa pinggang terasa kesemutan, bayangan orang tidak kelihatan bergerak, tapi hampir pada waktu yang sama mereka lantas roboh terkulai.
"Maaf, kalian boleh tunggu satu jam lagi."
Ucap Siang Cin.
Di tengah kumandang suaranya ia lantas meluncur keluar.
Setiba di pojok, dengan kuat kedua telapak tangan menghantam ke depan dinding di ujung lorong itu seketika pecah berhamburan, kiranya dinding itu hanya tumpukan batu yang disusun sedemikian rupa untuk mengaburkan pandangan orang.
Di bagian dalam adalah sebuah kamar batu kecil yang sumpek, tiada angin mengembus kemari, kesana tiada benda apapun kecuali sebuah meja batu yang berada di tengah ruangan, Siang Cin tidak membuang waktu, segera dia mendorong meja itu, meja batu mulai bergeser dengan suaranya yang gemuruh dan akhirnya jatuh ke tanah.
Di bawah meja ternyata berlubang, itulah mulut sumur bersegi delapan, keadaan di bawah gelap gulita.
Tanpa ragu Siang Cin lompat ke bawah, sumur ini sedalam tiga tombak, di bawah ternyata memang ada undakan batu, dinding di kedua samping lembab berlumut, tapi ada puluhan obor yang berjajar di dinding.
di bawah penerangan obor yang kehijaun itu tampak beberapa tombak di sebelah depan, di dalam sebuah kerangkeng yang mengadang, berkumandang raungan binatang buas.
Raungan binatang ini bukan saja terdengar buas, galak dan rakus sekali.
Siang Cin berdiri sejenak di tengah lorong, keadaan gelap, tiada terlihat apa2 dibalik kerangkeng, tapi raungan keras menggetar seluruh lorong itu jelas bergema dari depan.
Terdengar letupan kecil bunga api obor, lidah apinya yang berwarna merah kehijauan menambah suasana lorong terasa seram, apalagi raungan binatang buas semakin keras.
Tiba2 terasa lelah merangsang dirinya, Siang Cin menggelengkan kepalanya, selangkah demi selangkah dengan hati2 dia mendekati terali besi, dengan penuh perhatian Siang Cin awasi keadaan di balik kerangkeng sana, tapi yang dilihatnya hariya kegelapan melulu.
Bau langu busuk merangsang hidungnya, Siang Cin mengerut kening, bau langu busuk memang ini mirip bau kelek orang gemuk yang tak pernah mandi selama tiga tahun.
Pelan2 Siang Cin mendekati terali besi, dengan gerakan enteng terali besi dipentangnya hingga melengkung, segera Siang Cin menyelinap ke dalam, kemudian dua batang terali dicabutnya mentah-mentah, debu krikil sama bertebaran.
Bau langu busuk semakin tebal, Siang Cin menggigit bibir, bagai bayangan setan dia melesat maju lebih lanjut, tanah di bawah kakinya terasa lembab licin berlumut, tapi dinding kedua samping justeru mengkilap licin.
ini berarti lorong di balik terali ini kosong melompong tanpa ada apa2nya, hal ini rada ganjil.
Raung binatang buas entah kenapa knwi tidak terdengar lagi, suasana hening di balik terali besi ini terasa aneh, Siang Cin merasa merinding juga, se-olah2 ada sepasang mata setan yang sembunyi di tempat gelap tengah mengawasi gerakgeriknya, mendadak ia berpaling dan menatap lorong.
Di sebelah atas sana kiranya terdapat sebuah belandar batu sepanjang lima kaki dan lebar tiga kaki seperti tergantung di udara, letaknya justeru lepas dari sorotan cahaya obor, di pinggir belandar batu ini menongol keluar sebuah kepala yang ditumbuhi bulu panjang berwarna hitam dan putih, sepasang mata tampak mencorong berkedip2 di kegelapan, ujung hidungnya yang basah tampak berwarna merah mengendus2 liar, dua baris gigi putih runcing dengan kedua taringnya tampak menyeramkan, tepat di tengah batok kepalanya tumbuh sebuah tanduk setengah melengkung ke depan, warnanya kuning emas, tampangnya mirip kepala harimau, tapi juga seperti iblis yang sedang menyeringai seram.
Pelan2 Siang Cin maju selangkah, tanpa berkedip ia mengawasi kepala harimau bertanduk yang istimewa itu.
Siang Cin sengaja menggodanya, sambil menuding dan menari Siang Cin bergelak tawa, beberapa kali ia sengaja berputar tepat di bawah harimau, maka auman harimau yang kelaparan itu menjadi lebih keras dan beringas, di tengah sampukan angin kencang, segumpal bayangan putih-hitam tiba2 melayang turun menerkam Siang Cin.
Cepat Siang Cin menjatuhkan diri dan menggelinding ke sana seraya berteriak "Binatang!"
Dikala dia menjatuhkan diri itulah, terkaman harimau menyamber lewat di atas badannya, tanduknya yang runcing menumbuk dinding sehingga dinding batu ambrol berhamburan, tak ubahnya sebuah martil raksasa yang dipukulkan ke dinding yang keras.
Siang Cin melompat bangun, menyusul tangan menghantam, tapi binatang itupun sempat mengelak, dengan cepat harimau itu berputar balik serta menerkam pula dengan beringas.
Mendadak Siang Cin merendahkan tubuh, telapak tangannya tegak bagai mata golok terus menggaris ke perut harimau, tapi binatang buas yang aneh ini ternyata cukup cerdik, dengan enteng dia mengegos, berbareng ekornya yang besar panjang itu menyabet.
Setelah beberapa gebrak saling serang ini, agaknya harimau itu juga merasakan bahwa lawan yang satu ini jauh lebih kuat dan lihay daripada korban yang pernah masuk ke perutnya, kini dia mendekam sambil meng-gerung2, bola matanya memancarkan cahaya hijau, air liur berbuih meleleh dari ujung mulutnya, taringnyapun menyeringai, sungguh seram dan menjijikan tampang yang buas ini.
Siang Cin berdiri diam, menunggu dengan tenang, dengan seksama iapun amati binatang aneh yang lain dari harimau umumnya ini, panjangnya kira2 lima kaki, bulunya warna putih hitam mengkilap, badannya kekar gempal penuh kekuatan, cakarnya yang panjang melengkung tajam, berbeda dengan harimau umumnya yang sembrono asal terkam saja, di balik kepala yang bertanduk itu agaknya penuh akal muslihat yang licik dan jahat.
Tanduknya yang kuning emas itu seperti selalu tergosok mengkilap, tak ubahnya sebuah ganco, jelas merupakan senjata yang ampuh.
Kembali Siang Cin menepuk tangan, seperti menyapa kenalan baik dia berkata.
"Marilah, harimau bertanduk, marilah kita ber main2 untuk menyelesaikan perang tanding ini ........."
Pelan2 harimau bertanduk berdiri, selangkah demi selangkah mendekat ke arah Siang Cin, setiap batang bulunya tampak menegak, dengus napasnya mulai berat, matanya menatap tajam ke arah Siang Cin, tanduk yang melengkung itu seperti siap menyeruduk.
Lahirnya Siang Cin bersikap tak acuh, yang benar hatinya juga gelisah, dia tahu waktu sudah mendesak, harus secepatnya menolong kawannya, kalau musuh tahu adanya kejadian ini, situasi bisa berubah memburuk baginya, apalagi tempat seram seperti ini siapapun takkan sudi tinggal lama2 di sini.
Segera dia menyurut mundur sambil mengerahkan salah satu ilmunya yang tak pernah terpakai selama berkelana di Kangouw, yaitu "Sim-hoa-hong hiat", hawa murni diam2 terhimpun.
Harimau semakin dekat, hatinya yang langu sungguh memualkan, apalagi dengus napasnya yang keras, sorot matanya yang mencorong, bulunya yang hitam putih serta cakarnya yang mengkilap tajam, semua itu cukup mengerikan.
Mendadak Siang Cin tertawa, bagai anak panah dia mendahului menubruk maju.
Hampir pada waktu yang sama harimau juga mengaum serta melompat tinggi menerkam ke arah Siang Cin, tanduknya yang kuning membawa cahaya yang menyilaukan, kuku kaki depannya setajam pisau mencakar ke dada dan perut Sang Cin, betapa garang, cepat dan kuat terkamannya sungguh luar biasa.
Siang Cin sedikit mengegos, sambil membertak telapak tangan berkelebat.
"plak", dengan telak badan harimau terpukul, menyusul telapak tangan kirinya menepuk ke arah kepala harimau, badan harimau yang besar kekar itu ber-guling2 sambil meraung2 kesakitan, tanduk menggaris tajam di lantai berbatu sampai memercikan lelatu api. Siang Cin tidak berhenti, kedua tangannya bekerja lebih kencang, suara "Plak- plok"
Saling susul, sinnentara harimau yang ganas itu terus ber-guling2 di tanah sambil me raung2, darahpun berhamburan, auman yang keras menyeramkan berkumandang menggetar seluruh lorong.
Siang Cin membentak dan menubruk maju, kedua tangannya terayun sekuat tenaganya, harimau itu kena ditamparnya mencelat, setelah terbanting dengan keras dan berkelejetan, lalu tak bergerak lais untuk selamanya.
Menarik napas panjang, pelan2 Siang Cin menyeka keringat dimukanya, matanya mengawasi harimau bertanduk yang menggeletak itu dan berguman.
"Binatang tetap binatang, kecuali tenaganya yang besar, tiada sesuatu yang patut ditakuti . .. ..."
Setelah istirahat sejenak, Siang Cin kerahkan hawa murni, cepat sekali tenaganya telah pulih, dengan mudah dia menyelinap masuk lebih lanjut ke dalam sana.
Beberapa tombak kemudian, kembali terali besi mengadang jalan, kini di bawah obor yang menyala terang dapat terlihat jelas, seekor gajah warna kelabu sebesar kerbau jantan berdiri di dalam kerangkeng, matanya yang kecil tengah mengawasi Sang Cin dengan heran, gajah kelabu ini kelihatannya jinak.
Siang Cin merasa kepalanya sedikit pening, ia bersandar pada terali besi dan menarik napas panjang, dia pandang tajam gajah kelabu di dalam sana, sang gajah juga tengah mengawasinya, sepasang matanya yang kecil, tapi daun kupingnya ternyata besar dan lebar mirip dua kipas raksasa, tidak panjang tapi gadingnya amat runcing dan mengkilah kuning menghimpit bclalainya yang ber-gerak2 naik turun, bentuknya tak ubahnya seperti gajah umumnya, cuma perawakannya sedikit lebih kecil, tapi tepat di belakang kupingnya entah terdapat benda apakah itu? Dua lembar benda bersusun di atas punggung gajah, warnanya ungu, dan tembus cahaya, urat hijau hitam tampak membentang di seluruh lembaran itu.
"Gajah bersayap", dalam hati Siang Cin membatin, pelan2 dia berjongkok, dengan kekuatan jarinya dia hancurkan batu lantai, lalu diremasnya menjadi krikil, tubuh gajah bersayap yang besar ini kebetulan merupakan sasaran empuk dijadikan bidikan kerikilnya. Siang Cin tersenyum, katanya pelahan.
"Sahabat tua, kelihatannya kau amat sopan dan ramah, kita tiada permusuhan apa2, sebetulnya tak perlu aku memusuhimu, tapi kau berdiri di tempat yang keliru, berada di tengah jalan yang harus kulalui, oleh karena itu, terpaksa aku menyalahimu, sayang sayapmu itu ...."
Satu biji batu kecil segera meluncur kencang mendesing, gajah bersayap melengking rendah, matanya yang kecil mengedip, krikil yang mengenai badannya terpental balik dan hancur menjadi bubuk.
Melenggong sebentar, Siang Cin mencoba sekali lagi, hasilnya tetap serupa, seperti merasa gatal si gajah bersayap menggerakan kupingnya, sementara hidungnya yang panjang masih ber-gerak2 tak hentinya.
Siang Cin menggeleng, sekali lompat dia raih sebatang obor yang tertancap di dinding, katanya penuh penyesalan.
"Sahabat yang berkulit tebal, terpaksa kucoba memanggang kulitmu yang gemuk."
"Wut", menerobos terali besi obor itu melayang ke arah gajah bersayap, kali ini agaknya gajah itu tahu diri, dia tidak menahan dengan kulitnya yang tebal, mulutnya menguik keras, kulit ungu di punggungnya tiba2 terpentang lebar dan mengeluarkan suara menggelepar, tubuhnya yang gembur besar itu mengapung dua kaki ke atas, obor melayang lewat di bawah perutnya, timpukan obor ini membikin gajah bersayap naik pitam, dengan beringas dia bersuara keras. Beruntun Siang Cin mencabut tiga obor lagi dengan cara yang sama dia timpuk ke dalam, dua obor dengan telak mengenai badan gajah bersayap, maka gajah bersayap ini kini betul2 marah, dengan belalai yang panjang dia memukul terali besi sambil meraung keras, akhirnya belalai membelit terali serta ditariknya sekuatnya, atap lorong sampai ambrol dan debupun berhamburan. Cepat Siang Cin menerjang maju, di mana telapak tangannya bergerak, kembali dia lontarkan jurus Sim hoa hong hiat, sepenuh kekuatannya ia menabas, darah seketika muncrat, belalai gajah yang membelit terali itu ditabasnya putus sebagian. Sudah tentu gajah bersayap itu kesakitan, dia mengamuk dan menerjang terali di depannya, sementara mulut ber kuik2 semakin keras, darah berhamburan dari kutungan belalai, sementara sayap di punggungnya terpentang dan bergerak, lambat laun terali besi sebesar lengan bayi itu kena ditariknya hingga bengkok. Siang Cin mengancing mulut, kedua tangan bekerja sekaligus.
"crat", di tengah raungan gajah yang mengamuk, tahu2 sepasang mata kecil sang gajah memuncratkan darah segar, gajah itu semakin murka karena matanya tertimpuk buta, sang gajah kini betul2 telah kehilangan kesadaran, sayapnya menggelepar, kepalanya menerjang kian kemari, raungannya diselingi darah yang berhamburan, suasana yang sudah seram bertambah mengerikan."
Sejenak bimbang akhirnya Siang Cin menarik napas dalam2, tiba2 dia menyelinap maju, secepat itu pula tahu2 dia sudah melompat balik dan begitulah secara berulang, pada setiap kali lompatannya terali besi di depannya pasti dia tekuk bengkok sehingga ruang gerak sang gajah semakin sempit karena gerak geriknya terganggu, keruan gajah itu mengamuk semakin hebat.
Setelah merapikan diri Siang Cin terus menyelinap masuk, menerobos lewat melalui sela2 terali yang melengkung selebar dua kaki itu terus melayang ke dalam.
Agaknya gajah bersayap merasakan kehadiran Siang Cin dari bau badannya, sayapnya kembali menggelepar turun naik dengan kekuatannya yang luar biasa, gadingnya yang runcing dengan belalai yang panjang sekaligus menyapu pergi datang, sementara badannya yang besar itu main tumbuk secara membabi buta.
Selincah kera Siang Cin lompat sana dan menyelinap sini dengan tangkas, pada setiap lompatannya, kedua tangan juga bekerja melukai si gajah, di samping menyingkirkan terali besi yang merintangi gerak-geriknya, meski agak payah, tapi akhirnya selicin belut dia bisa menyelinap keluar, tinggal sang gajah yang terluka parah itu masih mencak2 di dalam sangkar besi.
Waktu sudah banyak terbuang, setelah menyeka keringat, beruntun dua kali lompatan Siang Cin melayang tiba di depan sebuah pintu batu, tak peduh makhluk apa yang berada di situ, dan apapula akibatnya, dia kerahkan setaker tenaganya menggempur, beberapa kali hantaman kemudian, daun pintu yang terbuat dari balok batu besar dan tebal itupun telah rontok berhamburan, tanpa berhenti Siang Cin terus menerobos masuk.
Tapi dia menjerit kaget, tiba2 dia menyelinap keluar pula secepat kilat bagai melihat setan, menyusul dari balik pintu terdengar suara mendesis riuh ramai, ular2 kecil sebesar ibu jari sepanjang tiga kaki berwarna merah darah berlomba merayap keluar, begitu besar jumlah ular yang merayap ini sungguh menggiriskan, lidahnya yang menjulur keluar, baunya yang amis memualkan, siapa yang takkan ngeri?" .
Begitu jelek dan menjijikkan, kepala segi tiga binatang melata itu, ekornya kasar, matanya memancar biru, jelas seluruhnya ular2 beracun, Bagai air mengalir saja ular2 itu merayap memenuhi lantai lorong.
Belum kaki sempat menyentuh lantai Siang Cin langsung mengapung ke atas, dengan punggung lengket di langit2 lorong tak ubahnya seekor cicak dia awasi ular2 merah di bawah, ular2 itupun mendongak sambil meujulurkan lidahnya, lidah yang bercabang itu mendesis keluar masuk, mau tidak mau Siang Cin menjadi merinding.
Seluruh lorong dipenuhi ular, sedikitnya ada ribuan, tempat luang untuk berdiri saja tidak ada, lalu bagaimana baiknya? Memangnya dia harus bergantung terus di atas dinding?, Ia coba menggeser mendekati obor yang tertancap di dinding, dia cabut batang obor dia, bikin remuk gagang obor yang terbuat dari kayu cemara serta dipuntirnya pula, gagang kayu menjadi hancur berkeping, kepingan kayu yang tak terhitung jumlahnya ini disulut oleh Siang Cin, setelah api menyala dia ayun tangannya, membawa deru api yang memancar terang, kepingan kayu itu berhamburan laksana panah berapi.
Ular2 yang ada di lorong seketika menjadi kalut, desis suaranya semakin keras sehingga hawa terasa amis dan memualkan, kepingan kayu cemara yang runcing kecil serta menyala itu melukai ular2 yang ada di lorong, ular yang terluka dan terbakar itu menjadi panik dan terguling kesakitan, terjang sana gigit sini, keadaan menjadi kacau antara sesama ular saling gigit, ular merah ini terhitung kecil, tapi taringnya panjang dan melengkung bagai kaitan.
Melihat usahanya berhasil mengacaukan barisan ular, maka Siang Cin bekerja lebih lanjut, dari atas dinding dia menggeremet maju, obor kayu cemara ternyata merupakan senjata yang ampuh untuk mengalahkan barisan ular, setiap kali dia mengayun obor, ular sama menyurut mundur dan lari serabutan, tidak sedikit pula yang terbakar, ular2 itu dipaksa menyingkir ke mana saja asal ada tempat luang, maka gajah bersayap yang lagi mengamuk di dalam sangkarnya itu kini menjadi musuh kawanan ular berbisa ini.
Gajah besayap dalam sangkar mengamuk semakin jadi, ular2 kecil itu sama merambati keempat kakinya dan menggigit kulit dagingnya yang tebal, terang kawanan ular ini terasa menganggu, gajah bersuara semakin keras, kakinya menggentak2, kedua sayapnyapun menggelepar, maka tidak sedikit kawanan ular yang terinjak hancur.
Sekuatnya Siang Cin timpuk pula dua batang obor, kini tinggal dua batang obor lagi yang tertancap di dinding, maka cahayanya jauh lebih gelap, tapi sebatang lagi dia cabut, setelah menarik napas, pelan2 lalu dia melayang masuk ke balik pintu.
Di balik pintu ternyata adalah sebuah kamar yang tidak keruan bentuknya, di lanta penuh serakan rumput busuk tercampur najis ular yang tak sedap baunya, Siang Cin tidak berani bernapas di sini kuatir hawanya mengandung bisa, maka tanpa ayal ia terus melayang pula ke depan menerjang dinding di sebelah depan, waktu jarak tinggal satu kaki, tinjunya segera menggempur ke arah dinding, di tengah gemuruhnya dinding yang terpukul retak, badan Siang Cin terpental balik ke belakang, Jumpalitan sekali di udara, Siang Cin tidak jatuh di lantai, tapi kedua kaki terus memancal di tengah udara, kembali tubuhnya melesat maju pula kedepan, kini dinding kena dipukulnya runtuh berantakan, secercah cahaya segera menyorot masuk lewat lubang dinding yang jebol, di sebelah sana kiranya juga sebuah lorong.
Siang Cin menyelinap keluar, dengan gaya yang indah dia meluncur ke pengkolan sebelah kiri, belum lagi dia melayang turun, matanya sudah melihat dua orang raksasa aneh dengan rambut kuning gonderong tengah melotot padanya.
Kedua raksasa aneh ini hanya memakai cawat kulit harimau kumbang, bulu panjang tumbuh di sekujur badannya.
jidat lebar, hidung pesek, bibirnya mencuat keluar, giginya yang kuning gede itu meringis keluar bibir, tampangnya buas dan jelek sekali, lebih mirip orang hutan dibanding manusia.
Dengan enteng Siang Cin melayang turun, sorot matanya menatap dingin kedua raksasa yang berwajah kaku ini, bukan saja berbulu badan kedua raksasa ini, ternyata mengkilap seperti berminyak, tinggi besar tak ubahnya sebuah bukit.
Sambil menggerung serentak kedua raksasa ini mendorong bangku yang semula mereka duduki, seorang langsung menyambar senjatanya, yaitu sebatang gada besar penuh paku runcing, gada sebesar paha itu cukup kuat untuk mengemplang manpus seekor biruang.
Siang Cin menjura, katanya.
"Selamat bertemu tuan2, apakah kalian tidak ingin ngobrol denganku?"
Dengan langkah yang berat kedua raksasa maju menghampiri, mendengar Siang Cin bicara, mereka berhenti dan saling pandang dengan tak mengerti, wajah mengunjuk rasa heran. Siang Cin tertawa pula, katanya.
"Apakah kalian tidak mengerti maksud ucapanku? Ini bukan soal, boleh kalian duduk saja di sana, nanti setelah aku menyelesaikan urusanku, pasti akan kujelaskan kepada kalian."
Habis bicara dia coba maju selangkah, seketika kedua raksasa berjingkrak dan menggeram, keduanya mencegat di tengah lorong, gada berpaku terangkat tinggi, taring mereka tampak seram menjijikkan.
Pelahan Siang Cin menggeser ke pinggir, dengan jari telunjuk dia memberi tanda pada kedua raksasa itu, lalu ia kerahkan tenaga, ujung jarinya menjojoh dinding batu yang keras.
Kedua raksasa berteriak kaget, matanya melotot seperti ingin menikmati tontonan yang menarik.
Siang Cin membuat tanda2 yang bersahabat, telunjuknya dia tarik keluar, lalu dia menarik napas panjang2, badannya yang ramping segera merayap lurus ke atas setinggi lima kaki, kemudian melayang turun pula pelan2.
Kedua raksasa itu menyaksikan dengan mata terbeliak sambil bersorak gembira, Siang Cin tepuk2 tangan lalu memberi gerakan tangan pada mereka, supaya merekapun mencobanya.
Agaknya mereka ragu2, tapi setelah saling bercowetan sebentar, mereka membuang gada masing2.
Yang satu menirukan cara Siang Cin menjojok dinding dengan jari, sementara yang lain ber-jingkrak2 ingin mengapung dengan mulut terkekeh geli, keduanya mirip sekali anak2 nakal.
Siang Cin menghela napas lega dengan rasa letih, pelan dia menggeremet maju ke sana, dia tepuk bahu kedua raksasa serta tersenyum manis penuh persahabatan, lalu menyelinap di tengah2 mereka langsung menuju ke ujung lorong, di sini memang terdapat sebuah pintu batu yang besar.
Setiba di depan pintu Siang Cin menoleh kearah kedua raksasa yang masih bermain dengan asyik sekah.
Dia coba mendorong pintu batu ini bagai gunung yang kukuh tak bergeming sedikitpun.
Ia mengerut kening, tenaganya memang sudah banyak terkuras, kalau setiap kali harus menggempur dengan seluruh kekuatan, mungkin dia takkan sanggup bertahan lebih lama lagi, maklumlah manusia terdiri dari tulang dan darah daging, bukan terbuat dari kawat dan besi.
Sebetulnya Siang Cin tidak ingin mengganggu kedua raksasa yang bermain begitu asyik, dia lebih suka membuka pintu ini tanpa mengeluarkan suara berisik dan tanpa susah payah menolong kawan2nya, tapi kenvataan sekarang tak mungkin terjadi demikian, tanpa kunci untuk membuka gemboknya, pintu tak mungkin bisa dibuka, kecuali menggunakan kekerasan menggempurnya rasanya tiada jalan lain lagi.
Dengan menggertak gigi pelan2 dia himpun semangat dan kerahkan tenaga, akhirnya seluruh kekuatan dia pusatkan pada kedua lengan, ketika dia menghembuskan napas diiringi gertakan, pukulan yang dahsyat segera menggempur pintu batu itu.
Ditengah suara gemuruh yang bergema sampai lama, batu dan debu sama muncrat, tapi suara gemuruh ini sekaligus membuat kaget kedua raksasa yang lagi ber-main2 itu, sekilas tampak mereka kaget serta berhenti main, dengan pandangan bingung mereka membalik ke sini mengawasi Siang Cin.
Tanpa menunggu kedua raksasa ini memaklumi apa yang terjadi, cepat Siang Cin menggempur pula beberapa kali, pintu batu itu lambat laun tergempur runtuh dan ber goyang2, pintu batu yang tebal dan berat ini boleh dikatakan sudah retak parah, kini mudah dijebolnya.
Tiba2 kedua raksasa itu meraung gusar, suaranya mirip serigala kelaparan, seperti badak menyeruduk keduanya menerjang datang sambil angkat gada terus mengepruk, sebat sekali Siang Cin menyingkir, sekilas ia lihat mata kedua raksasa yang beringas tak mengenal persahabatan lagi.
Sebuah gada menyambar dari samping.
Kembali Siang Cin berkelit, sementara raksasa yang lain juga menyerbu tiba dan ber- teriak2 gusar, gada berayun serabutan menimbulkan kisaran angin lesus yang kencang.
Siang Cin berkelit kian kemari sambil menyelinap di antara kedua raksasa yang lagi mengamuk ini, serunya dingin.
"Kalian mundur saja, aku tidak ingin melukai kalian, tahu tidak? Lekas mundur ...
"
Kedua raksasa ini adalah manusia liar, mereka meraung2, suaranya lebih mirip binatang buas, sorot matanya yang ber-kunang2 lebih mirip mata elang yang buas, tak kelihatan adanya sifat2 kemanusiaan, maka Siang Cin mengerti sekarang kecuali mengalirkan darah, tiada jalan lain yang dapat dimengerti oleh mereka.
Badan yang kasar sebesar kerbau itu tiba2 menerjang maju, bau badan yang apek rnenyusup ke hidung Siang Cin, sementara gada besar teiah mengemplang batok kepalanya, berbareng sebelah kakinya mendepak iganya pula.
Sungguh tak nyana bahwa raksasa liar ini juga pandai berkelahi dengan macam2 tipu serangan.
Siang Cin menghela napas, dia menyelinap ke samping, mepet dinding, begitu punggung menyentuh dinding, secepat kilat badan membal balik, tiada kata2 yang dapat melukiskan kecepatan gerakannya, tahu2 raksasa di depannya meraung keras seperti babi disembelih.
"Duk, duk, duk", ia terhuyung mundur menyusul telapak tangan Siang Cin yang sudah ditarik keluar dari rongga dada si raksasa, telapak tangan berlumuran darah. Tiada peluang bagi raksasa yang lain untuk menyerang maju pula, tangan Siang Cin yang berlepotan darah itu sudah bekerja pula, selagi gada besar si raksasa menyambar lewat di atas kepala Siang Cin, dalam waktu sekejap ini Siang Cin menyarangkan tangannya belasan kali di antara dada dan perut lawan. Rintihan raksasa di kaki dinding sana masih berkelejetan, raksasa yang lain sudah menyusul dengan jeritannya yang menyayat hati, badannya yang sebesar kerbau me-liuk2 sambil ber-putar2 dan akhirnya menumbuk dinding, lalu jatuh tersungkur dengan kepala menyeruduk lantai. Siang Cin mencibir sambil menggeliat letih, tanpa hiraukan kedua korbannya lekas dia beranjak maju, beruntun beberapa kali pukul dia menggempur daun pintu, di tengah gemuruhnya debu dan pasir, daun pintu batu itupun runtuh ber keping2. Sebelum kepulan debu mereda, bayangan Siang Cin sudah menyelinap masuk. Di belakang pintu adalah sebuah kamar yang remang2 dengan sebuah lampu minyak, di atas jerami yang mulai membusuk berduduk empat orang, itulah "dua keping papan"
Pau Seh hoa, An Lip, lalu calon isterinya serta ....Kun Sim-ti yang tampak kurus dan lemas. Jantung Siang Cin seperti mengejang, sekuatnya dia tekan emosinya, katanya.
"Lo Pau, aku telah datang!"
Pau Seh hoa mengawasinya dengan pandangan melongo, tatapannya seperti berlapis kabut, sorot matanya seperti memancarkan rasa ngantuk, lelah luar biasa, bagai melihat seorang asing yang tak dikenalnya.
Pelan2 Siang Cin berjongkok di depan Pau Seh hoa, dia terkejut didapatinya tubuh Pau Seh-hoa penuh berlepotan darah yang sudah mengering berwarna hitam, rambutnya yang memang awut2an bagai rumput itu tampak lebih kotor dan tak keruan lagi, Siang Cin menarik napas, lalu memanggilnya pula dengan suara pelahan.
"Lo Pau, aku inilah, Siang Cin ...."
Berjingkat seperti kena lecutan Pau Seh-hoa, dia terkejut, pada saat lain tubuh Pau Seh-hoa seperti tersentak sadar dari impian buruk, sekuatnya dia geleng2 kepala, Siang Cin di tatapnya lekat2, se-akan2 sudah puluhan tahun tak melihatnya, suaranyapun kaget, girang dan gemetar.
"Kongcuya ...... betulkah kau ....oh, oh, memang betul kau, kukira aku sedang bermimpi ...."
Derita macam apakah yang telah menyiksa jago kosen yang tak kenal takut ini? Dengan cara keji apa pula laki2 sekeras baja ini dibikin loyo dan linglung begini? Gemertak gigi Siang Cin saking dendam, sesaat dia berdiam diri.
satu persatu dia puntir putus borgol di tubuh Pau Seh-hoa, lalu berganti membebaskan An Lip, perempuannya, keadaan An Lip jauh lebih mending dibanding Pau Seh-hoa waktu Siang Cin memuntir putus borgol ditubuhnya, laki2 kasar dan keras hati yang berewok ini, berkata penuh haru.
"Inkong, akhirnya kau datang juga, tahukah kau dengan cara apa mereka menyiksa Pau-cianpwe ... kedua binatang liar di luar itu tiga kali setiap hari di suruh menghajar Pau-cianpwe ..... hanya sekeping roti kering pula setiap hari Pau-cianpwe diberi makan, dan yang paling mengenaskaan, setiap malam seorang nenek jahat membawa masuk seekor kelelawar raksasa yang jelek untuk mengisap darah segar Pau-cianpwe ....masih ada lagi, masih ada ...."
"Hai,"
Seru Pau Seh-hoa dengan serak.
"An Lip, memangnya kau tak bisa bungkam saja."
Dengan pelahan Siang Cin menepuk bahu Pau Seh-hoa, katanya lirih.
"Jangan marah Lo Pau, ingatlah selalu, derita dan siksa yang kita alami sekarang akan kita tagih dengan imbalan yang berlipat ganda dari mereka."
Habis berkata dia ke sana menghampiri Kun Sim-ti, pelan2 dan hati2 dia membuka borgol di tubuhnya, pembalut di muka Kun Sim-ti sudah terbuka, wajah yang tadinya ayu segar bak kuntum bunga baru mekar itu kini dihiasi segumpal daging warna ungu menjadikan wajahnya kelihatan kurus, kuyu dan harus dikasihani.
terpancar perasaan pilu, sedih tak terlampias dari wajah pucat itu, sejak Siang Cin datang sampai sekarang, Kun Sim-ti tetap memejamkan mata, tidak bergerak dan tidak mengeluarkan sepatah kata, tidak memperhatikan gejolak perasaan-nya, dia hanya diam saja, diam keputus-asaan.
Bahwa terakhir Siang Cin baru memeriksa orang yang paling diperhatikan dan dikasihinya, justeru karena terlampau besar perhatiannya, dia tidak ingin cepat2 tahu betapa hebat siksa derita yang dialaminya, meski akhirnya toh dia akan tahu, malah iapun tahu bahwa derita itu telah terjadi dan tak mungkin dihindarkan lagi.
Setelah memuntir putus borgol yang membelenggu kedua kaki Kun Sim ti, pelan2 Siang Cin mengelus jalur membiru yang melingkar di kakinya, dengan suara serak dan tersendat dia berkata.
"Ci, kau terlalu menderita ...."
Kun Sim-ti menggeleng, dia tetap memejamkan mata, Pau Seh-hoe menjilati bibirnya yang kering pecah, katanya.
"Luka terbakar nona Kun belum lagi sembuh, dengan kasar mereka membuka pembalut-nya, tidak diberi obat dan tidak dibersihkan lagi, justeru hal2 demikian inilah yang paling dikuatirkan untuk luka2 terbakar ...."
Siang Cin menengadah, wajahnya tampak tenang, ia memandang langit2, tapi Pau Seh hoa justeru gemetar, ia tahu, ia paling dapat meresapi apa arti kelakuan sahabatnya ini, tentu banjir darah akan terjadi pula.
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Dapatkah Siang Cin menyelamatkan kawan2nya dan cara bagaimana meloloskan diri ? Pengalaman pahit apapula yang akan menimpa mereka? -