Bara Naga Jilid 04

Jilid 04

Diam2 Siang Cin menyelinap keluar, panjang lorong kira2 ada dua tombak, di ujung lorong sana ada undakan batu yang menjurus ke atas, di atas undakan tertutup oleh papan besi yang tebal.

Dua orang yang juga mengenakan jubah panjang ketat tengah berjongkok di bawah tembok, di atas meja ada sepoci arak dan beberapa piring makanan, muka kedua orang tampak merah, agaknya sudah banyak minum arak.

Begitu keluar Siang Cing langsung berludah ke arah kedua orang sambil menggerutu.

"Anak kunyuk, aku sedang membungkam mulut bocah keparat itu, untuk apa kau mengoceh kalang kabut? Bedebah ......."

Kata2 yang dingin ini terasa menusuk pendengaran kedua orang yang setengah mabuk itu, keduanya melenggong dan cepat menoleh, mereka terbeliak seperti melihat setan, saking kaget dan takut mereka melonjak hingga meja didepan mereka ke terjang jungkir balik.

Siang Cin mendengus sekali, sebat sekali ia bergerak maju, rantai ditangannya terayun menyapu roboh salah seorang, kepalanya pecah membentur tembok..

Seorang lagi belum sempat meraih senjata yang tergantung di atas tembok, waktu bayangan rantai berkelebat, tangan kanannya yang terjulur itu tahu2 terpukul hancur, orang itu menjerit dan roboh.

Kaki Siang Cin menginjak dada orang, wajahnya yang membiru berlepotan darah kelihatan seram menakutkan laksana demit, dengan tejam dia tatap orang di bawah kakinya, tanyanya;

"Tempat apa ini?"

Saking kesakitan orang itu sudab lemas lunglai, badan gemetar, biji matanya terbalik, mulutpun mengeluarkan buih dan megap2. Siang Cin, perkeras injakannya, tanyanya pula lebih kereng.

"Tempat apa ini?"

Orang itu menarik napas, sesaat kemudian baru mampu bersuara dengan meringis kesakitan.

"Ampun Hohan..... ini ..... ini, kamar tahanan bawah tanah dari pekarangan pertama Ceng-siong-sanceng yang terletak di bawah empang teratai . ... ."

Siang Cin mendengus, tanyanya pula.

"Jadi ada air di sebelah atas?"

Orang itu bernapas dengan payah, sahutnya meringis.

"Ya, ya, ada air . ..... ."

Mengerut alis, Siang Cin bertanya pula.

"Cara bagaimana untuk keluar?"

Orang itu ragu, segera Siang Cin perkeras injakannya, terpaksa orang itu berteriak.

"Baiklah kuterangkan ....di sebelah kanan papan besi ada sebuah tombol, asal kau tekan tombol itu, dari lekukan undakan di atas akan menyeplak keluar sebuah pipa besi besar yang tepat menutupi lubang undakan, memasuki pipa besi itu, pucuk pipa menembus pada sebuah batu gunung2an yang menongol di permukaan air, setiba di atas gunung2an dapat kau bebas keluar ...."

Siang Cin tertawa, tanyanya.

"Berapa kali menekan tombol itu?"

Laki2 itu ragu2 pula, segera Siang Cin mendesak lebih ketus.

"Tekan berapa kali?"

Orang itu akhirnya mengaku.

"Tujuh kali"

Siang Cin mengangguk, jengeknya "Kalau salah, aku akan kembali mencabut nyawamu lebih dulu."

Sekali melejit dia sudah melayang ke undakan sana, disebelah kanan tutup besi memang terdapat sebuah tombol sebesar ibu jari, pelan2 dia lalu menekan sambil menghitung sebanyak tujuh kali.

Suara gemeratak bunyi pegas bekerja di dalam dinding, lekas sekali papan besi yang tertutup rapat itu mulai bergerak kesamping, di luar ternyata memang terpasang sebuah pipa besi yang panjang, ujung pipa sebelah sana lapat2 kelihatan ada lubang keluar yang gelap.

Siang Cin berpaling serta bersenyum ke arah laki2 yang rebah melongo itu, katanya.

"Terima kasih saudara." Mendadak laki2 itu melompat berdiri dan berteriak.

"Tolong ...."

Namun sebat sekali Siang Cin sudah mengayun rantai besi dan tepat masuk ke mulut orang yang tengah terpentang itu, kontan orang itu mencelat menumbuk dinding.

Siang Cin menghela napas lega.

pelan2 dia mulai merambat ke atas pipa besi, dalam pipa terdapat injakan untuk naik ke atas, mendadak muncul seraut wajah bengis di ujung pipa sebelah atas, terdengar suara serak kasar bertanya.

"Li-jit, ada urusan apa pula kau naik kemari? Sebelum tiba saatnya belum boleh giliran jaga kau keparat ini memang banyak tingkah, sejak tadi sudah tiga kali naik turun ....

"

Siang Cin terus manjat tanpa bersuara, sementara wajah bengis itu tetap mengawasinya, tiba2 ia menjadi siaga, serunya.

"Eh. Li-jit, sejak kapan kau ganti pakaian, kenapa kau mengenakan baju kuning?"

Masih beberapa kaki akan tiba di ujung pipa Siang Cin mendongak serta menjawab tawar.

"Pakaian yang dipakai Naga Kuning memangnya sejak kapan tidak berwarna kuning?"

Wajah bengis itu seperti mendadak kena tamparan, sekilas tampak matanya melotot, mukanya menegang, ia berdiri terpaku ditempatnya, Siang Cin unjuk senyum lucu kepadanya, belum lagi orang sempat melakukan sesuatu, rantai sudah melayang ke atas, sekali tanri leher orang yang tergubat rantai itu terus ditariknya hingga jatuh lurus ke bawah.

Tanpa pedulikan korbannya, dengan enteng Siang Cin lompat keatas, di atas ternyata betul ada sebuah lorong gua gunung2an yang berliku, dari celah2 gunung2an dapatlah Siang Cin menghirup hawa segar, merasakan embusan angin sepoi2, malah diapun dapat menikmati alunan lembut permukaan air empang, memang kamar tahanan itu tepat berada di bawah empang ini.

Menyusuri lorong gua yang berliku, dengan hati2 Siang Cin beranjak keluar, kira2 puluhan langkah, dilihatnya dua laki2 tengah berjongkok di sebuah batu besar, entah soal apa yang mereka bicarakan dengan bisik2, golok terselip di pinggang mereka.

Pelan2 Siang Cin mendekati, katanya dengan tenang.

"Eh, kalian kok enak2 saja, masih ada berapa pos penjagaan di depan sana?"

Kedua orang berpaling sembari memaki.

"Sialan, pura2 bodoh, di lorong ini ada lima pos penjagaan, apa matamu sekarang sudah lamur, pakai tanya2 segala?"

Sementara itu Siang Cin sudah lebih dekat, tanyanya pula.

"Apakah Wancu (kepala kampung) ada?"

Salah seorang yang berkepala botak menyeringai, sahutnya.

"Mungkin sedang bergumul dangan gundiknya di ranjang, wah, bila kulihat kulihat perempuan yang mulus itu, sungguh membuat ngiler melulu......."

"Masa ya?"

Tanya Siang Cin. Kedua orang itu tertawa lebar, kata yang lain "Memangnya kenapa? Bedebah, siapa kau, suaramu kok mirip ayam kebiri ......"

"Aku inilah Siang Cin,"

Ujar Siang Cin, berbareng rantai ditangannya terayun gemerincing, tahu2 kedua orang terpental roboh dengan kepala pecah berhamburan.

Dengan kalem Siang Cin melangkah keluar seperti tidak terjadi apa2, sisa empat pos penjagaan dengan mudahnya dia bereskan, akhirnya dia tiba di mulut lorong gunung2an, di situ ada delapan penjaga, setiap orang bersenjata golok besar.

Sekilas Siang Cin berpikir, lalu melangkah keluar, masih ada beberapa langkah jauhnya, salah seorang tiba2 menoleh, dengan bengis menghardik.

"Siapa? Pohon besi berbunga?"

Siang Cin tahu orang menyerukan kata rahasia, maka diapun menanggapi dendan suara yang dibikin serak.

"Betul, akhirnya pohon besi juga berbunga."

Laki2 itu melengak, segera iapun meraung keras.

"Mata2!"

Siang Cin menubruk maju, rantainya melingkar, sekaligus enam golok lawan kena disapunya mencelat ke udara, berbareng telapak tangan kirinya juga menyapu miring, lima laki2 yang kehilangan senjatanya kena ditabasnya roboh.

Sudah tentu tiga orang yang masih hidup menjadi ketakutan, tanpa berjanji serentak mereka menjerit terus angkat langkah seribu.

Bagai setan Siang Cin mengejar, rantainya hanya terayun setengah lingkaran maka terdengarlah suara "Prak, prak, prak", batok kepala ketiga orang sama terhantam hancur, mayat tanpa kepala itu masih terus berlari beberapa langkah lagi ke depan baru roboh tersungkur.

Kini Siang Cin berada di sebuah pekarangan yang luas dan sepi, empang dan gunung2an yang dibangun di sini ternyata hampir menelan separo dari seluruh luas taman ini di depan sana ada sebuah pintu bentuk bulan, pagar tembok mengalingi pekarangan sebelah sana, dibalik dinding tinggi itu kiranya merupakan bangunan berloteng yang berukir dan mentereng, mungkin di sanalah perumahan pertama dari Ceng siong san-ceng.

Dengan langkah lebar Siang Cin langsung mendekati rumah yang terdekat, rumah ini masih memperlihatkan cahaya lampu di salah satu kamarnya.

Di luar rumah ada tanaman bunga berpagar bambu suasana di sini amat nyaman dan serba bersih, Siang Cin berputar ke samping rumah, di sini ada sebuah jendela panjang, kain tirai yang menjuntai melambai tertiup angin, dari luar terlihat kelambu ranjang tertutup rapat.

Tanpa pikir Siang Cin terus melompat masuk mendekati jendela, dia coba menarik daun jendela, ternyata dengan mudah lantas terbuka, kiranya penghuni di dalam lupa menguncinya.

Siang Cin menyelinap masuk, tapi begitu dia berdiri tegak seketika dia tertegun, kiranya inilah kamar tidur seorang perempuan, di dekat jendela ada meja rias berkaca tembaga yang digosok bersih mengkilap, kain sulaman yang setengah jadi terletak di pinggir meja, di sana ada meja tulis serba lengkap, di tengah meja ada pot bunga lagi, semuanya jelas merupakan kesukaan kaum wanita, kelambu yang berwarna jambon menjuntai turun tertutup rapat, di depan ranjang tampak sepasang sepatu sulam.

Hidung Siang Cin juga mencium hau harum, tapi Siang Cin tidak sempat perhatikan semua ini, sekian saat dia berdiri melenggong, akhirnya dia geleng2 kepala, tanpa bersuara dia menyurut mundur.

Tapi baru beherapa langkah, dari dalam kelambu mendadak didengarnya suara nyaring berwibawa membentak.

"Berhenti, sebutkan namamu?"

Siang Cin melenggong, sahutnya setengah membalik badan.

"Kenapa?"

Suara perempuan dalam kelambu agaknya amat marah, tapi juga merasa malu2.

"Kau bajingan ini, tengah malam berani kelayapan memasuki kamar perempuan, sungguh kurang ajar dan tidak tahu malu, meski kau tidak sebutkan namamu, besok juga akan kulaporkan kepada engkoh, kau takkan terhindar dari ganjaran yang setimpal."

Siang Cin tertawa, katanya.

"Dalam hal apa aku kurang ajar? Aku toh hanya kesasar memasuki kamar ini, bukankah kau lihat aku hendak keluar?"

Agaknya perempuan itu mendongkol, serunya.

"Kalau aku tidak terjaga masa kau mau keluar? besar nyalimu, berani kau membantah ........"

Siang Cin melirik ke arah ranjang, katanya.

"Siapa kau? Kenapa aku tidak boleh membantah?"

Perempuan itu mengejek, katanya.

"Malam2 kau keluyuran di kamar tidurku, ini sudah merupakan penghinaan terhadapku, tapi kau malah berlagak dungu, lekas sebutkan namamu, sekarang juga akan kulaporkan kepada engkohku.......

"

Berpikir sejenak, Siang Cin bertanya .

"Siapa engkohmu?"

Bayangan orang dalam kelambu tampak bergerak, teriaknya melengking.

"Jangan pura2 bodoh, engkohku adalah kepala perumahan di sini, Sek Kui."

Siang Cin menyidi geram, segera dia menghampiri ranjang dengan langkah lebar, rantai tergenggam kencang. Agaknya perempuan dalam ranjang juga melihat kelakuannya dengan suara melengking dia berteriak gugup.

"Kau ....berhenti ......apa yang hendak kaulakukan?"

Tiba di depan ranjaag, sebelah tangan Siang Cin menyingkap kelambu, terlihat seraut wajah bundar telur nan jelita, meski wjahnya kini penuh diliputi rasa takut dan kaget, tapi tetap menggiurkan.

Denga rasa malu dia mengkeret ke dalam ranjang, kemul ditariknya untuk menutupo dada, begitu wajah Siang Cin yang berlepotan darah dan melepuh membiru itu muncul, seketika dia bergidik seram ketakutan.

Perempuan ini masih muda, gadis berusia likuran, gerakannya tampak gugup berusaha menutupi dengan kemulnya, dengan suara seram gemetar dia berteriak.

"Kau ....keluar kau . kau ....apa yang hendak kau lakukan?"

Siang Cin, menatapnya dengan sorot mata tajam, ucapnya kalem.

"Tadi kau bilang bahwa Sek Kui adalah engkohmu?"

Setelah gemetar sejenak gadis di atas ranjang baru berani menjawab.

"Betul, lekas kau enyah, dia pasti takkan memberi ampun padamu bila ... ."

Siang Cin manggut2, katanya pelan.

"Sudah tentu, seperti juga aku tidak akan mengampuni dia."

Agaknya si gadis melenggong mendengat ucapan Siang Cin yang kaku dingin dan mengancam ini, dia merasa apa yang drkatakan orang ini pasti bukan omong kosong belaka, tapi siapakah orang ini? Setelah tenangkan diri dia bertanyn.

"Kau, siapa kau?"

Dengan tertawa tawar Siang Cin menjawab.

"Siang Cin."

Mendadak berubah rona muka si gadis, mukanya sepucat kertas, desisnya seperti orang berbisik.

"Siang ....Siang Cin?"

Siang Cin mengangguk.

"

Ya, aku ini Siang Cin."

Bergetar badan si gadis katanya tergagap.

"Kau ....bukankah kau.... kau dikurung....di Liong-ong- lau (bui raja naga) ....di bawah empang itu?"

Dengan tenang Siang Cin memandangnya, katanya.

"Pernah terjadi demikian, tapi aku tak suka berdiam lama2 disana."

Dengan sorot mata menampilkan rasa takut dan ngeri, si gadis berkata.pula.

"Kau ....bagaimana kau ....bisa keluar?"

Siang Cin tertawa, tertawa yang membuat mukanya kelihatan lebih seram dan lucu, muka yang penuh bekas luka itu menjadi sedemikian jelek dan menjijikan, sekaligus menampilkan rasa dendam yang tak terlampias.

"Aku ingin keluar, maka aku lantas keluar. Kau pasti merasakan, keadaanku seperti ini teramat jelek bukan? Semua ini berkat hadiah dan karya engkohmu."

Si gadis melenggong sejenak, tanyanya lebih takut.

"Jadi kau hendak menuntut balas padanya?"

Siang Cin menjengek.

"Sudah tentu, demikian pula setiap penghuni yang ada di perumahan ini, malah seluruh orang dalam perkampungan pula, di antaranya sudah tentu termasuk kau, semuanya akan menerima ganjaran yang setimpal."

Semakin keras gemetar si gadis, katanya ketakutan.

"Tuntutanmu takkan berhasi...Ceng-siong san ceng tidak boleh dibuat permainan ...."

Tiba2 Siang Cin tertawa dingin, katanya.

"Memangnya Pendekar Naga Kuning Siang Cin juga boleh dibuat mainan?" - Merandek sebentar lalu ia menambahkan.

"Sekarang kaulah yang menjadi korbanku yang pertama."

Takut luar biasa, sedapat mungkin si gadis mengkeret lebih dalam ke belakang ranjang, tapi dia sudah mepet dinding, jelas tak bisa menyingkir lagi. dengan menggigil dia berkata penuh iba.

"Tidak, jang .... jangan Siang Cin ... jangan...."

Jerit si gadis yang penuh diliputi rasa takut ini terasa seperti tangan yang menggapai dan akhirnya menyentuh sanubari Siang Cin, terasa mengharukan dan harus di kasihani, mirip anak domba yang mengembik diambang pejagalan, memangnya gadis selemah ini, hakikatnya dia tiada kekuatan untuk meronta dan melawan.

Bimbang Siang Cin, ia menatapnya lekat2 tanpa bersuara, akhirnya dia bertanya.

"Siapa namamu?"

Tetap menggigil, si gadis menjawab dengan penuh iba.

"Sek ....Sek Pin."

Siang Cin mengerut kening, katanya.

"Sek Kui sudah setengah abad, dari mana dia memperoleh adik perempuan semuda kau?" Si gadis Sek Pin termenung sejenak, katanya kemudian.

"Kami ....kami saudara satu ayah lain ibu."

Siang Cin mengangguk, katanya.

"Baik, sementara kutinggalkan kau, tapi ini tidak berarti aku akan memberi ampun padamu, bila hatiku berubah kejam kau akan tetap kuganyang juga."

Pelan2 dia lepaskan kelambu serta mundur, baru saja dia membalik, tiba2 ia menyingkap kelambu lagi, ia mengawasi Sek Pin yang masih ketakutan itu, katanya dingin.

"Ingin kutanya, di mana engkohmu mengurung dua laki2 dan dua perempuan yang ditangkapnya? Apakah mereka juga disiksa dan disakiti?"

"Aku ..... aku tidak tahu .., .

""

Jawab Sek Pin takut2. Mendelik mata Siang Cin, katanya.

"Kalau kau tahu di mana aku dikurung, mustahil kau tidak tahu di mana mereka disekap, kalau kau tidak mau menerangkan, bisa jadi akan kugunakan kekerasan terhadapmu ...."

Sek Pin tampak mewek2, akhirnya air matapun bercucuran, katanya.

"Siang Cin yang terkenal gagah perkasa ternyata juga menyakiti anak perempuan .. ... kalau kuterangkan .... engkohku tidak akan memberi ampun"

Siang Cin melenggong, dengan tajam dia tatap wajah Sek Pin yang berlinang air mata, tanpa sadar dia menghela napas, katanya.

"Baiklah, anggap saja kau memang tidak tahu." - Lalu dia turunkan kelambu terus beranjak ke arah jendela. Pada saat itulah, langkah kaki orang banyak yang riuh disertai suara gaduh berkumandang di taman di balik tembok sana, kejap lain suara lonceng pun bergema dan tambur ber talu2...

"Suara tanda apa itu?"

Tanya Siang Cin.. Sejenak baru Sek Pin menjawab di balik kelambu.

"Suara lonceng dan tambur untuk mengundang bala bantuan."

Siang memejamkan mata, katanya.

"Ya, sudah saatnya mereka tahu bahwa aku telah lolos."

Suara ribut dan langkah orang berlari dengan suara teriakan terus berlangsung di luar sana, rombongan yang satu saling tegur dengan rombongan yang lain.

Siang Cin berdiri tegak, dengan tenang dia mengawasi lentera yang memancarkan cahayanya yang redup di atas meja, geger dari kekalutan di luar itu se-olah2 tiada sangkut pautnya dengan dia.

Dengan rada takut dan suara gemetar Sek Pin memanggil.

"Siang Cin ...."

"Ada apa?"

Tanya Siang Cin dengan pandangan tajam.

"Kau tidak takut?"

Tanya Sek Pin kagum. Siang Cin tertawa.

"Apa yang harus kutakuti?"

"Mereka akan menangkapmu."

Memandang rantai ditangannya, Siang Cin berkata.

"Mereka takkan mampu menangkapku, entah sudah berapa kali aku pergi balik ke neraka, aku adalah tamu yang paling dikenal di sana, raja akhirat malah tidak mau menyambut kedatanganku, mungkin kuatir bila aku bikin onar di sana ......"

Suasana tenang sejenak, tiba2 terdengar langkah kaki ringan di balik kelambu sana, kata si nona.

"Siang Cin, kau pandai bicara dan suka humor." . Siang Cin ber-kedip2, katanya hambar.

"Tapi dikala aku berang, tidak sedikit orang akan celaka."

Mungkin sedang memikirkan sesuatu hal, sesaat kemudian baru Sek Pin berkata pula.

"Untuk sementara ini aku berharap kau tidak tertangkap oleh mereka."

Dengan tertawa tak acuh Siang Cin betkata.

"Karena aku suka humor?"

"Dan ..... hatimupun baik"

Mendengus Siang Cin, katanya.

"Sembarang waktu akupun bisa naik pitam dan tak kenal kasihan. Nona, sebentar kau akan menyaksikannya."

Agaknya Sek Pin sedang termenung, entah apa yang lagi dipikirnya, pada saat itulah langkah orang banyak terdengar berlari datang dan berhenti di luar, menyusul suara ketukan pintu lantas berkumandang, kejap lain pintu terbuka lalu terdengar suara seorang berkata dengan kasar.

"Cui-hoa, apakah sudah tidur? Suara seorang gadis dengan rasa kesal menjawab.

"Ada urusan apa kalian ribut2? Tengah malam buta mau apa kalau Siocia tidak tidur? Lo Kim kau ini semakin tua semakin pikun, di tempat ini juga kau berani sembarang main gedor."

Suara kasar itu ngakak tawa, meski nadanya ramah tapi suaranya tetap kasar menusuk kuping, katanya.

"Jangan marah nona Cui-hoa yang baik, urusan memang cukup genting, bocah she Siang tawanan kita telah lolos dari "bui raja naga"

Tujuh pos jaga telah diobrak-abrik, tiada satupun yang tertinggal hidup, darah berceceran, borgol besi hanya sekali puntir telah diputus olehnya, kematian Gu-losam dan Li jit amat mengenaskan, seorang pecah batok kepalanya, seorang lagi mati dengan rantai tembus dari mulut ke kuduk.

hiii, sungguh mengerikan .........

Si gadis juga menjerit ngeri tertahan, katanya.

"O Thian, kejam amat orang she Siang itu? Dengan lolosnya ini pasti banyak korban akan jatuh pula, apalagi kalau dia mengamuk?"

Suara serak kasar itu ter kekeh2, katanya dengan nada pahlawan.

"Jangan takut, Cui-hoa mungil, ada aku Cun-thian-kan di sini"

Umpama orang she Siang itu memiliki enam lengan tiga kepala juga takkan berani mengusik seujung rambutmu. Hm, kalau tak percaya boleh suruh dia rasakan kelihayan gada penggetar langitku ini."

"Lo Kim yang baik,"

Terdengar Cui hoa berkata dengan rasa kuatir.

"kau harus lekas menangkapnya, jangan sampai dia lolos, lekas kau panggil orang untuk menjaga keamanan Siocia, bila ada keadaan apa2 .... .. Suara kasar itu mengiakan, lalu berkata sambil menepuk dada.

"Jangan takut, jangan kuatir, memang atas perintah Wancu aku di suruh melindungi kalian, seluruh jago dari tiga perumahan dalam perkampungan kita kerahkan, para saudara terbagi dalam beberapa kelompok dan sedang menggeledah seluruh pelosok, para kawan sekaum yang berada di luar perkampungan juga bantu memberi kabar kemana2 agar mereka bantu membekuk bocah she Siang itu, umpama dia tumbuh sayap juga jangan harap bisa lolos."

Siang Cin mendengarkan dengan tertawa tak acuh, tapi Sek Pin yang ada di dalam kelambu tiba2 berkata dengan rasa gusar dan takut.

"Siang Cin, kau membunuh orang?" .

"Em,"

Siang Cin menggerem dalam tenggorokan.

"Apa yang dikatakan itu apa benar kerjamu?"

Tanya Sek Pin. Diam sebentar, akhirnya Siang Cin mengangguk, katanya.

"Ya, seluruhnya."

Marah dan dendam suara Sek Pin.

"Kau iblis laknat, algojo yang kejam ...."

Siang Cin tertawa geli, katanya.

"Omonganmu lebih pantas kalau kau cantumkan atas nama engkohmu bila kau melihat buah tangan engkohmu sendiri."

"Aku tidak percaya!"

Seru Sek Pin,"

Umpama benar juga kau sendiri yang cari penyakit."

Siang Cin tertawa tawar, katanya.

"Betul, kita memang mencari penyakit sendiri, berkecimpung di kalangan Kangouw memang sulit untuk membedakan siapa salah dan benar. Sekarang, umpama kau mau berteriak, kau boleh berteriak sekerasnya, rneski aku bisa membunuhmu sebelum mereka menerjang kemari, tapi aku tidak akan bertindak demikian-"

"Kau kira aku takut, aku justeru mau berteriak, akan berteriak ...."

Belum habis dia bicara tiba2 dirasakan kelambu bergetar, dua bintik benda terpaut serambut menyambar lewat pipinya menancap dinding di belakangnya, cepat ia menoleh, seketika dia menjerit kaget, bintik hitam kecil yang menancap di dinding itu kiranya adalah dua kelopak bunga mawar, memang di atas meja ada pot bunga mawar yang lagi mekar.

Wahtu dia menoleh lagi, bayangan Siang Cin sudah tidak kelihatan, bagai setan saja hanya sekejap orangnya sudah lenyap entah ke mana.

Sementara itu laksana anak panah cepatnya Siang Cin melesat keluar dan melayang ke atas dinding, dengan jelas dia saksikan obor benderang di rnana2 sehingga seluruh perkampungan menjadi terang seperti siang hari, bayangan orang tampak bergerak2 membawa senjata berkilau, mereka mondar mandir kian kemari, suara makian, teriakan, aba2, semuanya ribut dan tegang.

Setelah menghirup napas segar Siang Cin berdiri bertolak pinggang di atas tembok, tentu saja jejaknya segera terlihat oleh orang2 Ceng-siong-sanceng yang lari kian kemari, maka didengarnya seorang berteriak bagai melihat setan.

"Naga Kuning! Hayo kawan2, inilah dia orangnya, lekas kemari, keparat she Siang berada di sini , ... lekas kemari..."

Mendengar suara itu barisan yang tersebar di mana2 itu serentak berlari kemari, oborpun berkumpul sehingga keadaan di sini menjadi lebih benderang lagi.

Seorang laki2 berewok berperawakan besar bagai biruang dengan bersenjata gada besar mendahului menubruk tiba di bawah tembok, teriaknya memaki.

"Siang Cin, kalau kau manusia, lekas kau turun, berlutut dan bertobat di depan Kim loya, jangan bertingkah bagai pahlawan bertengger di atas tembok melulu."

Siang Cin menyeringai, katanya.

"Kalian cuma pintar rebut dan bikin geger saja, kenapa kau kuatir, orang she Siang pasti tuntut darah yang mengalir dari badan orang she Siang, siksa derita yang kualami, kalian harus membayarnya berlipat ganda ....."

Belum habis dia bicara, suara jepretan busur telah memberondang ke arahnya, jalur2 sinar perk tak terhitung banyaknya sama tertuju ke arahnya dengan deru suara mendenging.

"Mampuskan saja anak kura2 itu." - "Hayo saudara2, tambah tenaga, bidiklah yang tepat biar dia menjadi landak." - "Acungkan obor lebih tinggi, nah pegang yang kuat ......"

Terdengar teriakan dan saling memberi aba2, di tengah keributan itu, hujan panah masih terus berlangsung.

Siang Cin menghardik sekali, bagai seekor bangau raksasa mendadak dia melambung tinggi di udara lalu berkisar satu lingkaran, terus menukik dengan kecepatan luar biasa, tiada yang melihat jelas, tahu2 puluhan orang menjerit jatuh ter-guling2.

Begitu Siang Cin tancap kaki ke bawah segera ia melejit tinggi pula, kembali rantainya bekerja, puluhan orang disapunya roboh dengan kepala pecah.

Gerakannya laksana kilat, berulang kali dia lompat kian kemari, dalam waktu singkat lima puluhan jiwa telah melayang, semuanya mati dengan kepala hancur, darah berhamburan, busur panahpun tercecer di tanah.

Jerit tangis berpadu dengan teriakan gegap gempita, tak ubahnya neraka di alam fana ini, jagal manusia berlangsung tanpa kenal ampun.

Cun thian kan Kim Wi tampak terluka jidatnya, untung kepalanya hanya keserempet rantai, mukanya tampak berlepotan darah dan mengalir membasahi pundak, mengejar tidak berani, menyerang tidak mampu, terpaksa dia hanya ber teriak memberi aba2 sambil mencak2.

Masih ada ratusan orang2 Ceng-siong-san-ceng yang mengepung, tapi mereka hanya berteriak2 sambil angkat senjata di luar kalangan, tiada satupun yang berani menyerbu maju.

Wajah Siang Cin yang melepuh penuh noda darah menampilkan secercah senyum kejam, sekilas ia menyapu pandang orang2 di sekeliling yang mengepungnya.

Sekejap tampak keributan diantara orang2 yang mengepungnya, lalu dari belakang sana terdengar teriakan senang dan sambutan gegap gempita.

Di bawah penerangan obor terlihat jelas beberapa bayangan orang tengah bergerak ke arah sin dengan gerakan tangkas, dilihat dari gerak lompatan beberapa orang itu, jelas bahwa yang datang ini adalah jago2 yang berilmu tinggi.

Selama ber tahun2 sudah biasa dan merupakan tradisi yang tak berubah bagi Siang Can untuk bergerak dulu menundukkan musuh, kini iapun menyeringai, sebat sekali dia menerjang rombongan orang yang mengepungnya bagai pagar betis itu.

Cun-thian-kan Kim Wi meraung bagai harimau ngamuk, gadanya yang besar mengkilap kuning berputar membawa kisaran angin kencang terus mengepruk batok kepala lawan.

dua puluhan orang di sebelah serempak juga angkat senjata menyerbu maju, golok besar yang kemilau tajam sama membacok badan Siang Cin.

Rantai di tangan Siang Cin tiba2 mengeras lurus bagai toya menyodok.

"trang", gada Kim Wi kena disampuknya miring ke samping. bagai ular sakti rantai Siang Cin kembali melingkar di udara, berbareng telapak tangan kiri Siang Cin setajam golok membabat miring, darah segera menyembur keluar, sekaligus dia sudah mencabut delapan belas nyawa, semuanya dengan dada robek, isi perut kedodoran memenuhi tanah. Belum lagi golok yang tersapu terbang ke udara dan berjatuhan, jerit dan pekik memilukan jeperti berlomba menusuk pendengaran. tujuh-deltapan batok kepala orang2 Ceng-siong-san-ceng kembali mencelat berpisah dengan lehernya. Betapa cepat gerakan Siang Cin, hebat serangannya, sungguh mirip iblis yang hendak membabat habis mangsanya. Mulut Kim Wi masih terus ber-kaok2, seperti orang linglung saja dia terus mengejar ke mana Siang Cin menerjang. Tapi seperti seekor kerbau tengah mengejar seekor burung yang berlompatan lincah kian kemari, bukan saja membuang tenaga sia2, kelakuannya juga kelihatan lucu, bodoh menggelikan. Se-konyong2 Kim-Wi merasa pundaknya ditepuk ringan, lekas dia berpaling, terasa angin berkesiur lewat di samping pipinya, kontan dia merasakun pipinya panas, pulang pergi mulutnya kena digampar ber-kali2, saking keras dan kesakitan dia terhuyung jatuh terduduk, darah bersama giginya tersembur dari mulutnya, tapi siapa yang menghajarnya, bayangannya saja dia tidak lihat. Kini keadaan betul2 kalang-kabut, obor yang masih menyala berserakan tercampur dengan berbagai macam senjata tajam, manusia berlari kian kemari secara membabi buta, mereka yang masih kuasa membawa lari badannya saling terjang dan berusaha menyingkir menyelamatkan diri dan dan cari selamatnya sendiri itu maka mereka tidak membedakan lagi kawan atau lawan, saling gasak dan gontok sendiri. Sementara Siang Cin enak2 berdiri di bawah pohon menonton musuh saling baku hantam sendiri, keadaan sekelilingnya yang serba mengerikan tidak mempengaruhi tekad juangnya, se-olah2 mereka yang sedang saling hantam untuk menyelamatkan diri itu tiada sangkut pautnya dengan dia. Tiba2 bergema bentakan keras, tampak bayangan seorang meluncur tiba, inilah si "kokok beluk muka putih"

Sek Kui. Baru saja dia meluncur turun, segera ia menghardik bagai geledek.

"Semuanya tenang!"

Belum lenyap suaranya, tujuh delapan bayangan orangpun meluncur tiba, dua diantaranya adalah pemuda berjubah biru dengan sulaman kupu2 rnerah di depan dada, empat laki2 lain berumur 40 an bertubuh kekar dengan muka kasar dan merah, seorang lagi berperawakan tinggi kurus, mukanya hitam legam, kumis pendek, sikapnya congkak.

Lekas sekali Sek Kui menemukan Kim Wi, sekali raih dia jinjing orang dari tanah serta mendesis dengan nada berang.

"Kim Wi apa yang terjadi?"

Cun-thian-kan Kim Wi geleng2 kepala menghilangkan rasa pusingnya, sahutnya kebingungan.

"Siang Cin ....keparat itu ada di sini ....hayo ganyang dia ...."

Sek Kui dorong tubuh Kim Wi sampai jatuh terjungkal, serunya sambil celingukan.

"Hayo geledah lekas temukan dia."

Tujuh orang di belakangnya segera memberi tanda, para centeng yang baku bantam sendiri tadi kini terpaksa mulai menggeledah ke segenap penjuru, sementara beberapa kelompok barisan yang bersenjata lengkap ber-bondong2 mendatangi, obor menyala terang dan terangkat tinggi.

Saking gemas Sek Kui mengertak gigi, katanya.

"Semua mengira keparat itu lari ke belakang gunung, sungguh tak terkira dia sudah inenerjang ke depan. Salah kita kenapa menugaskan Kim Wi si otak kerbau itu bertugas di sini hingga jatuh begini banyak korban ....... Laki2 kurus itu menanggapi dengan tertawa dingin.

"Biarpun tidak memperoleh keuntungan apapun, jago2 kosen kita begini banyak, dia hanya berlagak jagoan terhadap kaum keroco ...... ." Sek Kui menggosok kepalan, katanya.

"Hian-te sudahkah kau suruh memanggil orang2 kita yang berada di luar?"

Laki2 kurus mengangguk, sahutnya.

"Ih-moa-cu sudah pergi, semula Wancu di perumahan tengah dan di belakang sama mengejar ke arah timur, sedang Cengcu sendiri membawa Cit-hwi-cui mengudak ke arah barat, mungkin sekarang sudah puluhan li jauhnya ......"

"Keparat yang licik dan licin,"

Omel Sek Kui dengan gemas.

"kukira setelah disiksa berat begitu rupa, ditambah bekerjanya San-kin-sip-kip-tan, luka2 dalamnya belum sembuh pula, pasti tidak akan terjadi apa2, sungguh di luar perhitungan bahwa dia mampu melarikan diri, Liong ong lau pun tak kuasa menyekapnya .......

"

Selintas senyum sinis terbayang di muka laki2 kurus, katanya dingin.

"Seharusnya gorok saja lehernya, beres."

Sek Kui meliriknya sekilas tanpa bersuara, memang sekarang dia menyesal kenapa tidak mampuskan Siang Cin saja? Namun menyesalpun sudah kasip sekarang.

Dari kejauhan tampak dua bayangan orang tengah berlari mendatangi, yang di depan adalah Kongsun Kiau-hong, si orang tua yang pura2 sakit batuk dan rematik, di belakangnya adalah si nona jelita Kiang Ling.

Belum lagi tiba dari kejauhan Kongsun Kiau hong sudah berteriak.

"Sek lote, ada orang memberitahu kepada kami, katanya Siang Cin membobol penjara dan melarikan diri?"

Dengan dingin Sek Kui mengangguk, katanya sambil menunjuk sekitarnya.

"Betul, Kongsun-heng, semua korban itu adalah buah karyanya". Kongsun Kiau hong memandang para korban yang tak terhitung jumlahnya, mau tak mau dia bergidik seram, Kiang Ling juga merinding, mukanya pucat. Setelah menghela napas Kongsun Kiau-hong berkata.

"Ilmu silat Siang Cin sungguh tak terukur tingginya, se olah2 dia memiliki kekuatan terpendam yang maha sakti . .. ... sebelum dia semaput dulu waktu di Tiang-yu-san, Ling-ji muncul dan hampir saja dia mati di bawah tabasan tangannya, kalau Lohu tidak menariknya, jiwanya tentu sudah melayang. Walaupun demikian pintu tebal yang terbuat dari kayu cemara itupun jebol berantakan, padahal dia sudah keracunan kalau dalam keadaan biasa entah betapa hebat kekuatannya ......"

Sek Kui membuka mulut mau bicara. tapi dia urungkan niatnya, malah laki2 kurus itu yang menanggapi dengan nada menyindir.

"Kongsun-toaheng, bila orang pernah digigit ular, melihat tambangpun dia ketakutan. Asal pernah selesma, melihat pohon bergoyang tertiup anginpun badan merinding kedinginan, padahal Siang Cin kan bukan raksasa berkepala tiga dan bertangan enam ...."

Mendelik mata Kongsun Kinu-Kong, tapi dia tekan hawa amarahnya, hanya hidungnya mendengus keras2. Melihat sikap kedua orang yang sama berang, lekas Sek Kui menengahi, serunya keras.

"Kim Wi, memangnya kau sudah mampus, kenapa berdiri melongo saja?" . Dua pemuda berjubah biru bersulam kembang merah di depan dadanya mendekat, seorang yang perawakan agak tinggi mengangguk kepada Sek Kui, katanya.

"Wancu, tiada terdapat jejaknya di sekitar sini, tiada seorangpun yang tahu kapan dia menyingkir, gerak-geriknya terlampau cepat ...."

Serba susah Sek Kui, katanya kemudian.

"Geledah lagi lebih cermat."

Kedua pemuda membungkuk terus mengundurkan diri. Laki2 kurus itu mendengus pula, katanya.

"Siang Cin keparat itu ternyata cepat juga kalau melarikan diri, kalau dia laki2 tulen, seharusnya menunggu kedatangan kita, betapapun cepat dan tangkas gerakannya. coba dapatkah dia menyingkir dari tangan kita ....

"

Sorot mata Sek Kui kelam, baru saja dia hendak menyemprot pembantunya ini.

"sret", sesosok bayangan orang tahu2 meluncur dari pucuk pohon siong sebelah sana, hampir bersamaan seutas benda hitam panjang sudah menyambar tiba, begitu keras daya sambaran benda hitam panjang ini. Cepat Sek Kui dan lain2 melompat sejauh mungkin, begitu rantai besi tidak mengenai sasaran, suara gemerantang terasa memekak telinga, tahu2 laki2 kurus itu terhuyung kedepan, jubah bagian punggungnya tampak berhamburan, rasa panas pedas membuatnya menjerit keras. Baru sekarang Sek Kui melihat jelas penyerang ini, seketika dada hampir meledak, dampratnya.

"Kunyuk, bila kau bisa keluar dari Ceng-siong-sanceng, anggaplah hidup orang she Sek sia2 selama ini."

Tetap tenang sikap Siang Cin, katanya.

"Nah, marilah kita coba?" - Lalu dia menoleh ke arah laki2 kurus, jengeknya tertawa.

"Bagaimana saudara, cukup cepat bukan?" . Laki2, kurus itu meraung gusar, matanya melotot, begitu kaki menggeser ke samping, sebilah senjata kemilau segega menusuk dada Sang Cin. Sambil mengegos Sang Cin mendengus. Hm, potlot besi keluarga Li juga cuma begini saja."

Memang laki2 kurus ini adalah adik kandung dari Ciangbunjin Thi-pit-li-keh generasi ketujuh, dalam kalangan Kangouw dia terkenal dengan julukan Ceng-pi-pit (potlot lengan hijau) Li Thi, sekarang dia merupakan salah satu jago kosen dibawah Wancu pertama Ceng-siong-san-ceng.

Sepatah kata Siang Cin saja telah membongkar asal usul lawan, segera Li Thi menerjang maju pula, serunya .

"Siaing Cin, marilah kita perang tanding .......

"

Berputar laksana kilat rantai Siang Cin, rangsakan kencang dan deras ini membuat Li Thi terdesak mundur tiga langkah, Siang Cin mencemooh.

"Hah, kau masih jauh untuk bisa menandingiku."

Mendadak Sek Kui menghardik, dari kejauhan dia melontarkan lima pukulan ke arah Siang Cin, tenaga pukulannya yang kuat menimbulkan damparan angin kencang, Siang Cin berputar laksana gangsingan, tahu2 tubuhnya sudah menyingkir ke sana serta membalik pula, dilain putaran pergi datang ini, dia serang Li Thi serta balas memukul Sek Kui beberapa kali.

Kongsun Kiau-hong berteriak, sejalur sinar tahu2 menutuk tiba, tanpa mengedip Siang Cin tegakkan telapak tangan kiri dan balas mematuk terus ditarik pula.

"traang", dia sampuk balik sebatang toya baja yang runcing ujungnya. Bentakan nyaring berkumandang pula, bayangan semampai ikut berkelebat menyelinap maju diantara orang banyak, dua bintik sinar menyambar ke leher Siang Cin. Tapi rantai Siang Cin berputar membawa kisaran angin puyuh, dengan tangkas kaki tangan nya bekerja, tangkis atas dan sampuk kiri, tendang bawah tangkis ke kanan, dengan tenang dia berkata.

"Nona Kiang, kali ini Kongsun Kiau-hong tidak akan sempat menarikmu menyingkir lagi "

Kongsun Kiau-hong meraung gusar, toya runcingnya mengemplang dan menusuk sekali gerak dia lancarkan sembilan jurus serangan, sementara potlot Li Thi yang mengkilat itupun menyerang cepat dan lincah, dibantu tenaga pukulan Sek Kui yang mantap, empat orang mengepung ketat dan menyerang gencar, Kelima orang bertempur seperti bermain akrobat berlompatan dan berjumpalitan, putar sana kisar sini, kadang2 senjata kelima orang serempak saling beradu.

debu pasir beterbangan tinggi tersapu oleh pusaran angin yang ditimbulkan gerakan tangan, kaki dan senjata mereka.

Tanpa suara dan memberi peringatan, dua bayangan orang tiba2 menubruk tiba pula, di depan baju mereka tampak bersulam bunga merah, selincah kupu2 mereka menyelinap masuk, dua bilah pedang panjang yang bobotnya jauh lebih berat dari pedang umumnya segera menyerang Siang Cin dari kiri-kanan.

Dengan enteng Siang Cin meluputkan diri dari tusukan Toa-pui-kiam kedua pemuda yang main sergap ini.

"Anak muda,"

Jengeknya.

"sebutkan namamu."

Sembari menyerang pemuda yang lebih tinggi memaki gusar.

"Biar kau mampus dengan rela, aku So Gan dari Thi-kiam-siang-tiap ( pedang besi sepasang kupu2 )."

Siang Cin mencibir, rantainya menyampok potlot Li Thi, sebat sekali dia berputar, dengan tendangan gencar dia desak mundur Kongsun Kiau-hong, dengan tubuh sedikit miring dia menyelinap maju ke depan So Gan, katanya.

"Saudara So, kukirim kau ke akhirat lebih dulu."

So Gan tidak jelas cara bagaimana lawan menyelinap ke depannya, begitu cepatnya sehingga belum sempat berpikir, tahu2 batok kepalanya di kepruk remuk.

"Kokok beluk muka putih"

Sek Kui melihat jelas kematian anak buahnya ini, keruan hampir meledak dadanya saking murka.

dengan suara serak dia berteriak, segera iapun melancarkan pukulan dahsyat.

Adik So Gan yang bernama So Jiang juga menusuk dengan Toa-kui-kiam, kembali Siang Cin menyampuk potlot Li Thi dengan rantai, sedikit miring badan, sekaligus dia hindarkan tonjokan toya runcing Kongsun Kiau-hong, sementara sikutnya menyodok kearah Kiang Ling, sekali sendal pula rantainya menggulung ke arah Sek Kui, hampir dalam waktu yang sama, bayangannya tahu2 sudah melejit kedepan So jiang.

Sek Kui menjerit kaget, secepatnya dia memukul tiga kali berusaha menyingkirkan sambaran rantai, sementara tangan yang lain menghantam Siang Cin, akan tetapi hanya terpaut sedetik saja, didengarnya So Jiang mernekik panjang dan roboh terkapar.

Merah bola mata Kongsun Kiau-hong, toyanya berputar bagai kitiran, ujungnya yang runcing menusuk dengan ganas, tanpa hiraukan keselamatan nyawa sendiri dia menyerbu dengan nekat.

Secepat kilat Siang Cin sendal rantainya.

"srett", sekali berkisar, dengan jurus Kui-so bun dia menubruk ke arah Kiang Ling.

"Lekas mundur Ling-ji ...."

Serasa pecah jantAung Kongsun Kiau-hong, teriakannya terasa tegang dan panik.

Sebisanya Kiang Ling menjatuhkan tubuhnya ke belakang, sementara Sek Kui menyelinap maju, bersama potlot Li Thi sekaligus mereka mencogat dan menangkis, tapi gerakan Siang Cin teramat cepat, bayangan telapak tangan tetap menyambar lewat, Kiang Ling menjerit, badannya berputar dan akhirnya jatuh terguling.

Serasa hancur hati Kongsun Kiau-hong, dengan terbeliak ia berjalan ke arah Kiang Ling, sementara itu sebat sekali Siang Cin tengah menghindari pukulan Li Thi, begitu putar badan, seperti bayangan setan tahu2 mengudak ke belakang Kongsun Kiauhong.

Kelihatan pucat pias selebar muka "Kokok beluk"

Sek Kui, sambil berteriak kalap dia menubruk maju dengan gaya macan kumbang kelaparan, di udara beruntun dia lancarkan pukulan pada Siang Cin.

Dalam waktu yang sama mendadak Kongsun Kiau-hong membalik, toya ditangannya langsung menghantam ke dada Siang Cin.

Siang Cin se-olah2 berada di tengah2 pusaran air yang berarus kencang, mendadak dia menarik diri menghentikan luncurannya, dengan cepat luar biasa telapak tangannya menyanggah ke atas terus menggentakkan pula, di tengah dengung getaran toya baja, tampak toya di tangan Kongsun Kiau-hong telah melengkung, sementara rantai Siang Cin lewat bawah ketiak langsung menusuk lurus ke arah Sek Kui yang menubruk tiba.

Beberapa jurus pukulan yang dilontarkan Sek Kui sekaligus kena dipunahkan oleh gerakan rantai lawan, keruan saking gemas kedua matanya menyala merah, sambil menggertak gigi cepat dia mengegos ke samping.

Pada saat itulah tampak empat sosok perawakan tinggi besar menerjang maju dari kegelapan, empat golok raksasa peranti membelah kayu secara bersilang membacok Siang Cin.

Sambil mengegos Siang Cin mengejek.

"Ya, sudah tiba saatnya kalian harus maju bersama."

Berbareng rantainya gemerincing menyambut bacokan keempat golok raksasa ini, belum lagi rantainya bentrok dengan senjata lawan, kembali dia menyendal, tahu2 ujung rantainya menukik balik menggulung ke arah Li Thi yang baru putar balik dari sana.

Cemas hati Sek Kui, sebegitu jauh serangan mereka tiada hasilnya, betapapun ganas dan cepat serangan mereka, selalu selangkah kalah cepat daripada lawan, keroyokan mereka ternyata sia2 belaka.

Dengan tujuh lawan satu, Siang Cin bukan saja tak terkendali, malah semakin cepat dan sukar diraba, serangannya terutama dipusatkan ke arah Kongsun Kiau hong dan Sek Kui sehingga kedua orang ini didesaknya hingga kerepotan mempertahankan diri.

Sementara di luar gelanggang ratusan orang Ceng-siong son-ceng dan bantuan dari luar telah memagarinya dengan rapat, nyala obor menerangi muka hadirin yang kelihatan tegang dan terpesona, semuanya bersenjata tapi tiada satupun yang berani ikut terjun ke tengah gelanggang, karena mereka tahu dengan sedikit kepandaian "cakar ayam"

Yang dimiliki, mereka jelas tiada gunanya, paling2 menambah jumlah korban pula, apalagi hal itu akan menjadikan rintangan pula bagi Sek Kui dan kawan2nya yang lagi mengerubut Pendekar Naga Kuning.

Sejak Siang Cin menggasak Sek kui dan kawan2nya sampai kini, paling2 baru semasakan air, tapi dalam jangka waktu pendek ini, bukan saja tak mampu menyentuh baju lawan, malah yang mati dan terluka parah sudah puluhan orang di pihak yang mengeroyok.

Mendadak orang2 Ceng siong san-ceng yang mengepung di luar gelanggang sama bersorak gembira seorang Thaubak berseru.

"Nah, Cengeu dan dua Wancu sudah datang."

Tujuh orang yang masih bertempur mati2an seketika berkobar semangatnya, Sek Kui menendang dan memukul beberapa jurus, raungnya;

"Bertahanlah, kepung keparat ini."

Li Thi menyerang juga, tapi dia hanya memainkan kelincahan Bak hoa pit keluarga Li yang mengutamakan kegesitan, sementara keempat lelaki besar itu dengan golok mereka bergerak rapat, membabat dan membacok.

Sementara Kongsun Kiau-hong berputar kian kemari, toyanya bergerak serba aneh, selalu dia menyelinap setiap ada peluang dengan sergapan yang mematikan.

Kini pihak mereka budah berpegang pada serangan bertahan, tidak berani merangsak secara semberono.

Sebetulnya ketahanan fisik Siang Cin belum kuat sepenuhnya, luka luar dalam belum lagi sembuh, belum tentu dia mampu menumpas habis musuh di depan mata, tapi bila mau dia bisa saja menjebol kepungan dan tinggal pergi bahwa dia masih menyimpan tenaga dan hawa murninya, sebab dia sudah ber-siap2 untuk bertempur besar2an demi kehormatan dan menuntut balas dan melampiaskan dendam, sekarang dia sengaja menunggu kedatangan jago2 musuh yang lebih kosen, dia ingin menagih utang darah bagi derita dan hina yang diterimanya ini.

Dalam pada itu cepat sekali dua puluhan orang bagai burung beterbangan terus meluncur datang langsung menubruk ke tengah gelanggang.

Sek Kui lontarkan dua jurus serangan lalu berpaling, teriaknya.

"Keparat ditengah lingkaran inilah Siang Cin."

Siang Cin mendengus, belum lagi musuh sempat hinggap di tanah, secepat kilat ia melesat maju menyongsong kedatangan musuh, di tengah udara tampak bayangan orang2 itu menjadi sedikit kacau, dua bayangan orang diiringi jentan mengerikan beserta hamburan darah terbanting jatuh.

Rantai gemerantang bergema di angkasa.

berkumandang pula suara Siang Cin yang dingin.

"Aku inilah Naga Kuning, penagih utang dari nereka ."

Suara Siang Cin bagai bunyi guntur di angkasa, tahu2 sosok tubuh orang bagai gumpalan daging melayang turun terbanting keras di tanah.

Lalu dengan gerak jumpalitan yang indah Siang Cin sekaligus menghindarkan diri dari serangan lawan, kejap lain bayangan orang2 banyak itupun sudah turun hinggap di atas tanah secara berkeliling.

Seorang tua berusia enam puluhan dengan muka lebar bersikap dingin kereng berdiri di pinggir sana, dia mengenakan jubah panjang warna putih perak dengan sulaman huruf indah, dengan tatapan dingin dia mengawasi Siang Cin.

Siang Cinpun balas menatapnya, sesaat baru orang itu berkata dengan nada angkuh.

""Kau ini Naga Kuning?"

Pelan2 Siang Cin mengusap mukanya, sahutnya tawar.

"Tidak salah."

Dingin sorot mata si orang tua, serunya bengis.

"Siang Cin, kau terlalu jumawa.".

"

"Ini baru mulai,"

Sahut Siang Cin ketus. Orang tua itu ter-gelak2, katanya.

"Anak muda, dengan tenagamu seorang kau ingin membantai orang2 Ceng-siong-san-ceng?" Sang Cin mendengus, jawabnya.

"Ha It-cun, jangan takabur atas kemampuanmu sendiri, yang terang Ceng siong san ceng kalian takkan mampu menahan Siang Cin si Naga Kuning."

Orang tua ini adalah In-tiau (rajawali mega) Ha It-cun yang tersohor di Kangouw sebagai pemilik utama Ceng-siong-san-ceng, orang ini memiliki kepandain silat tinggi jiwanya culas, banyak akal muslihat dan keji, di wilayah barat ini dia merupakan pentolan tertinggi dari kalangan hitam.

Ha It-can manggut2 dengan wajah kaku, katanya.

"Siang Cin, kau memang tabah dan pemberani, tapi kau salah sasaran untuk keberanianmu ini."

Siang Cin membasahi bibirnya yang pecah dant kering, katanya ketus.

"Kita sama2 tahu akan kekuatan lawan, Ha It-cun, dihadapan Naga Kuning jangan kau jual ]agak sebagai orang yang lebih tua, bobotmu belum memadai untuk bertingkah di depanku. kini hanya darah yang akan mencuci bersih dendam kesumat antara kita."

Berkilat sejenak mata Ha It cun, ia menoleh ke kiri-kanan, lalu berkata dingin.

"Betul, kita akan sama2 ingat perkataan ini."

Mendadak dia menepuk tangan bentaknya.

"Cit hwi cui!"

Tujuh laki2 bertubuh kekar dengan wajah buas segera melangkah ke depan, mereka sama mengenakan seragam putih perak yang ketat, setiap tangan mereka sama memegang sebilah godam segi delapan yang tergandeng oleh rantai, mereka adalah pengawal pribadi Ha It-cun.

Siang Cin memincingkan mata, dikala kelopak matanya mengedip itulah dengan kecepatan di luar dugaan tahu2 rantai di tangannya menyerampang empat orang yang berada di sebelah kanan.

Ha It-cun berjingkrak murka, bentakoya.

"Keparat, sombong benar!"

Di tengah kumandang suaranya ini rantai Siang Cin tahu2 membelok menyapu ketiga orang di sebelah kiri, lekas ketiga orang di sebelah kiri yang diserang melompat mundur.

Sek Kui membentak, cepat iapun turun tangan dan melontarkan pukulan dahsyat.

Deru angin pukulan yang kuat berpusar bagai angin puyuh, Siang Cin tahu2 melompat mundur, sementara seorang laki2 tambun dengan perut gendut bagai gentong tengah mengayun kepalan menyerang dari belakang, berbareng tujuh godam juga mengepruk tiba.

Siang Cin menyendal rantainya balas menggempur, sementara telapak tangan kirinya bergerak mengaburkan pandangan lawan, kembali ia menggempur mundur potlot Li Thi yang hendak membokong.

Kini Siang Cin sudah bertekad membalas kekejaman dengan kekejaman, hutang darah ditagih darah, ia melayang pergi datang bagai cahaya yang sukar ditangkap dan diraba.

"Wuut". dua godam lawan melesat lewat, mendadak Siang Cin melompat mundur menerjang Li Thi, karena tak mampu menangkis, lekas Li Thi melompat ke belakang, tapi rantai Siang Cin telah terayun kaku laksana pentung dilandasi tenaga dalam.

"prak", batok kepala salah satu dari ketujuh orang bersenjata godam terkepruk hancur. Rantai yang berlepotan darah itu masih terus terayun, Li Thi menghardik, mendadak dia menubruk maju hendak merebut rantai lawan, tapi di kala tangannya masih terpaut serambut dari rantai lawan, Siang Cin yang tampaknya berada agak jauh itu tahu2 berkelebat tiba, telapak tangan yang tegak miring itupun menabas lehernya. Li Thi menggembor sambil mengkeret lehernya, potlot besi ditangan kanannya menusuk lambung orang, sementara tangan kiri tetap menarik rantai, entah mengapa, dengan mudah rantai terpegang dan tertarik, tak tahunya se-konyong2 rantai itu bagai ular terus melilit ke atas menggubat lehernya. Tadi waktu dia mengkeret leher menghindarkan tabasan telapak tangan lawan, sementara rantaipun oleh Siang Cin dibiarkan Li Thi menangkapnya, maka dibawah sendalan tenaga dalamnya, Li Thi kontan merasa lehernya seperti diganduli benda berat. Tersirap darah Sek Kui, sembari berteriak kuatir, belum sempat dia menubruk maju 70 menolong, gerakan Siang Cin ternyata lebih cepat, tahu2 badan Li Thi kena diseret dari ditempat pergi dua tombak jauh. Kongsun Kiau-hong menghela napas panjang, dia memburu ke sana, tapi Ha It can menggeleng kepala, katanya.

"Tak usah ditolong, percuma, tulang leher Li Thi telah patah dikala dia bicara ini, salah satu dari ketujuh godam itu kembali menjerit roboh dengan kedua tangan memegangi batok kepala yang pecah. Kongsun Kiau-hong nekat terjun di tengah arena, toyanya berputar bagai kitiran, rangsakannya keras dan kencang. Kongsun Kiau-hong adalah saudara angkat Ha It-cun, tapi belakangan nama Ha Itcan jauh lebih cemerlang dari Kongsun Kiau-hong di Bu-lim, persahabatan kedua orang teramat intim, dalam usahanya mencari balas kepada Siang Cin, Kongsun Kiau-hong minta bantuan Ha It-can yang secara sukarela mengerahkan seluruh kekuatan inti Ceng- siong san-ceng. tak nyana kini keadaan serba runyam, bukan saja kalah, malah pihak sendiri kena dibabat habis2an, burung yang semula sudah masuk sangkar kini terlepas dan berbalik menimbulkan korban tidak sedikit, jelas pihak Ceng siong-san-ceng telah mengalami kerugian besar, bagaimana hati Kongsun Kiau-Kong tidak sedih, malu, menyesal dan gusar. Begitu Kongsun Kiau-hong terjun pula ke tenagah arena, menyusul seorang kawannya yang berperawakan seperti kera juga menyelinap maju, bentuk dan wajah serta gerak-gerik orang ini memang mirip sekali dengan lutung, dengan gencar dia bantu menyerang Siang Cin. Rantai terayun menari pergi datang dengan suara yang berisik, begitu kencang Siang Cin memainkan rantainya, umpama hujanpun tak bisa menembus, orang sukar menduga mana serangan akan dituju, tahu2 diri sendiri yang terancam, tapi hal ini masih untung bagi mereka karena Siang Cin tidak pakai senjata andalan yang biasa dia gunakan. Kira2 semasakan air pula.

"serr, pletak", sambaran rantai diselingi suara benda terkepruk pecah, manusia kera yang lincah dan gesit itu ternyata terpukul hancur kepalanya, dia terguling lima tombak jauhnya dan jiwa melayang. Ujung mulut Ha It-can tampak mengejang, dia pandang manusia kera yang menggeletak menjadi mayat itu, dia ini adalah salah satu jago pelindung perumahan belakang Ceng-siong-san-ceng yang terkenal, yaitu Ang Kau, si lutung merah, Ma Ki. Setelah mengalami pertempuran sekian lamanya, Siang Cin juga mulai payah, badan terasa pegal dan lelah, sekuatnya dia bertahan, tetap menyerang dengan gencar. Kini yang masih mengeroyoknya ada Sek Kui, lima orang dari tujuh penggodam, Kongsun Kiau-hong dan si gendut berperut buncit Wi-jong-ciang Yu Hoat, Wancu perumahan belakang Ceng-siong san-ceng. Ha It-can sengaja bertempur dengan cara bergilir, kalau maju sekaligus mengeroyoknya, bukan saja tidak mampu mengembangkan kekuatan mereka secara serempak, malah satu sama lain kemungkinan terhambat, teralang untuk merangsak musuh, maka dari luar kalangan dia memberi aba2, roboh satu maju satu lagi secara bergiliran, dan akhirnya baru diri sendiri akan tampil ke tengah gelanggang setelah tenaga musuh terkuras. Akal ini memang licik dam keji, karena betapapun kuat tenaga seorang toh ada batasnya, diam2 Ha It-can sudah memperhitungkan kemenangan akhirnya pasti dapat dicapainya. Godam yung berantai itu mendesing simpang siur toya perak di tangan Kongsun Kiau-hong juga kemilau main tusuk, tapi hal ini justeru membuat musuh semakin berang, lawan benar2 perkasa, pertempuran besar ini entah akan bertahan dan berlangsung sampai kapan. Memangnya Siang Cin si Naga Kuning ini bertulang besi dan berotot kawat? Se konyong2 Siang Cin mengertak gigi, dia menyongsung sambaran toya Kongsun Kiau-hong, keruan Sek Kui terkejut, lekas dia berteriak.

"Awas!"

Lima buah godam melesat dengan suara mendesing ke belakang punggung musuh, sementara Kiau hong cepat2 menyurut mundur, berhasil rantai Siang Cin menyampuk pergi toya orang, mendadak Siang Cin meloncat balik menubruk ke depan Sek Kui, padahal ada niat Sek Kui melontarkan pukulan, tapi jarak kedua pihak sudah tidak memungkinkan lagi.

Maka mendadak dia merendahkan tubuh, kedua telapak tangan menggentak ke atas sekuatnya, tapi dengan sedikit mengincar, sebat sekali Siang Cin layangkan telapak tangannya menggempur.

"Plak", meski Sek Kui berusaha menjengkang ke belakang, tak urung dia kena gampar sampai ter huyung2. Sambil tertawa dingin rantai bekerja pula, Siang Cin sempat mengejek.

"Orang she Sek, ini baru yang pertama."

Di hadapan umum Sek Kui mengalami tamparan, sebagai Wancu pertama dari Ceng-siong-san-ceng betapa tinggi dan berwibawa kedudukannya, kini di hina mentah2, keruan tidak kepalang murkanya, sambil menyeka darah di ujung muluti kembali dia menerjang maju membabi buta.

Melihat gelagat jelek, Ha It-can segera membentak.

"Sek-wancu jangan semberono."

Ditengah bentakannya kedua tangan Ceng-siong-san-ceng Cengcu inipun memberi tanda, maka di bawah pimpinan seorang laki2 pertengahan umur berdandan sastrawan dengan tahi lalat hitam besar di atas bibir kirinya, dua puluhan jago2 kosen Ceng-siong-san-ceng serentak menyerbu maju seraya ber-kaok2.

Baru saja anak buahnya bergerak, di tengah gelak tertawanya Ha It-can telah merogoh keluar senjata kenamaannya, yaitu Siang-hoan-liong-bun-to (golok bergelang berukir naga), iapun terjun ke arena.

Dengan sikap dingin Siang Cin mendengus menyambut kedatangan musuh utama ini, rantai menari lebih gencar, mendadak dia menubruk langsung ke arah "rajawah mega"

Ha It cun. Ha It-can ter-gelak2, goloknya bergerak, dengan berani dia memapak ke depan sambil mengejek.

"Anak muda, memangnya kau cari mampus!"

Tampak Siang Cin bergerak ke kiri-kanan di bawah sambaran sinar golok yang kemilau, beruntun dia hindarkan beberapa jurus bacokan lawan, sekah dia sempat melancarkan Kui-so-hun (setan menagih sukma), rantai ditangannya berbunyi nyaring setiap mata rantainya sama gemeratak, lepas seluruhnya, sebelas biji sama melesat berpencar, di tengah keluh dan rintihan kejut orang banyak, Sek Kui, Kiauhong dan Yu Hoat bertiga masih sempat menghindar, lima orang dari tujuh penggodam yang masih ketinggalan hidup serta jago2 yang baru terjun ke tengah gelanggang sama roboh saling tindih, sembilan jiwa sekaligus melayang bersama.

Saking murka sampai pucat muka Ha It cun, sambil ber teriak2 kalap goloknya membacok serabutan, Siang Cin menjengek, laksana anak panah tiba2 ia melambung ke udara dan berjumpalitan dua kali lalu meluncur turun jauh ke belakahg sana, sekati kaki menutul pula, bayangannya berkelebat terus menghilang tanpa bekas.

Sambil meraba pipinya yang melepuh Sek Kui berteriak geram.

"Kejar!"

Laki2 berdandan sastrawan bersama Yu Hoat dan lain segera mengudak ke sana. tapi Ha It-can sendiri justeru menghentikan langkah, sorot matanya menatap Liongbun- to, katanya dengan menghela napas.

"Tak perlu kejar, tak mungkin bisa menyusulnya."

Kongsun Kiau-hong tertunduk sedih, katanya rawan.

"Toako, Siaute yang menimbulkan kesulitanmu ini.....

"

Ha It-can menggeleng, katanya.

"Kenapa Hiante bilang demikian, adalah pantas kalau kita saling bantu sekuat tenaga. Kalau tidak, apa artinya kita bersumpah setia sebagai saudara?"

Diam sejenak, akhirnya Kongsun Kiau-hong berkata pula dengan muram.

"Bagaimana juga karena urusan Siaute sehingga Ceng-siong san ceng jatuh korban begini banyak, betapapun membuat Siaute tidak tenteram .... ."

Guram air muka Ha It-cun, katanya.

"Jangan dipersoalkan lagi, cukup sampai di sini, kita harus berdaya membunuh keparat itu, apa gunanya saling menyesali? Yang mati toh takkan bisa hidup kembali ......."

Dari belakang tampak Sek Kui mendatangi dengan langkah lemas, sementara hadirin yang segar bugar sibuk menolong kawan2nya yang terluka dan mati, di bawah penerangan obor, keadaan masih ribut dalam suasana duka dan dendam.

Tiba di depan kedua orang, Sek Kui berkata dengan lesu.

"Cengcu, tujuh godam kepercayaanmu tiada satupun yang ketinggalan hidup."

Ha It can menyeringai, katanya.

"Biarlah, tiada peperangan yang tiada korban, seorang jendralpun akhirnya harus ajal di medan laga, beginilah insan persilatan yang berkecimpung dalam percaturan Kangouw, mati atau hidup beginilah jadinya."

Ia mendongak memeriksa cuaca, malam masih gelap, sudah hampir kentongan keempat, saat2 paling gelap sebelum fajar menyingsing. Sek Kui menghela napas katanya.

"So-keh-heng-te, Li Thi, Ang Kau Ma Ki, demikian pula Siang jiong Hoa Seng, It tiau pian Coh Yong, Sian Cu-hok semuanya gugur, masih ada pula tujuh delapan puluh korban lainnya ......."

"Suruh mereka bersihkan tempat ini, penjagaan diperketat, semua harus lebih waspada, begitu ada berita harus cepat kumpul, daerah penting harus di jaga lebih keras,"

Demikian pesan Ha It can dengan lesu.

********** Page 55 s/d 58 Hilang ********** mendekat ke tempat ini.

Sekilas pasang kuping Siang Cin lantas tahu ada tiga orang yang kemari, malah semuanya adalah perempuan..

Langkah ketiga orang berhenti di ujung sana, maka didengarnya suara merdu berkata.

"Coba lihat, kamar ini memang harus segera di bersihkan, tua bangka itu selalu melalaikan tugas dan mencari alasan belaka, beberapa hari lagi Toa-siauya dan gurunya akan segera pulang, tempat sekotor ini mana boleh ditinggali."

Sebuah suara lagi berkata lembut.

"Bong-cu, beberapa hari ini hati kita kebat kebit, suana selalu tegang. Hanya aku saja yang selalu riang dan ingin membersihkan kamar, lekaslah kau bersihkan kamar ini sekedarnya saja."

Suara merdu tadi cekikikan, katanya.

"Ah, tidak, Loya sudah berpesan surub aku membersihkan betul2, kalau kepalang tanggung aku bisa dihukum. Sian ho, pergilah kau ambil kain dan ember, akan kusapu dulu kamar ini, lalu kamar2 yang lain ..... Seorang mengiakan terus berlari pergi. Suara lembut tadi berkata pula.

"Nah kerjakan tugasmu, aku akan periksa kamar sebelah, sudah lama aku tidak kemari ..... ."

Langkahnya beranjak ke sini, tak lama kemudian seorang gadis semampai tampak muncul.

Tak heran suara gadis ini seperti sudah dikenalnya, waktu Siang Cin mengintip, yang datang ini ternyata adik Sek Kui yang mengaku bernama Sek Pin.

Sungguh kebetulan.

Tanpa hiraukan keadaan sekelilingnya yang kotor Sek Pui duduk di sebuah kursi berlapis kulit rase yang berdebu, bersandar sambil memejamkan mata seperti melepaskan lelah, kejap lain, daun pintu terdorong buka pelan2 dan mengeluarkan suara berkeriut.

Semula Sek Pin memicing mata memandang ke arah pintu, yang terbuka, tapi seperti disengat lebah dia berjingkat dengan muka tegang dan mata terbeliak mengawasi wajah Siang Cin yang melempuh berhias jalur2 luka, sampai sekian lama dia berdiri melenggong.

Dengan tersenyum Siang Cin berkata.

"Selamat bertemu, nona Sek."

Bergegas Sek Pin melangkah ke sana serta merapatkan pintu, dengan gopoh dia membalik dan berkata dengan suara tertahan.

"Hai, kau, kenapa kau masih belum lari?"

"Lari?"

Jawab Siang Cin heran "Kenapa lari?"

Sek Pin berkata dengan lirih.

"Mereka sedang mencarimu ke mana2, setiap tempat setiap pelosok ada orang mencarimu, nyalimu sungguh besar, berani sembunyi di sini, awas ...

"

Siang Cin tertawa, katanya.

"Kita kan musuh, akan hidup atau mati dibunuh mereka kan tiada sangkut pautnya dengan kau, buat apa kau berkuatir malah."

Sek Pin melengak, sekian saat dia berdiri menjublek, memang mereka adalah musuh, mati hidup lawan kenapa harus di perhatikan? Tapi apa betul tiada sangkut paut? Kenapa pula dirinya merasa kuatir? Seharusnya dia berteriak memanggil orang, tapi kenapa tidak dia lakukan? ....Ya Tuhan, sungguh memalukan ...."

Mendadak merah mukanya, dia menunduk sambil meluruskan kedua tangan. Siang Cin mengawasinya dengan pandangan geli, katanya lirih.

"Nona Sek, pertama2 kumohon bantuanmu, carikan makanan untukku, sudah empat hari sebutir nasipun belum kumakan."

Sek Pin terperanjat, tanpa terasa hatinya pedih, katanya.

"He, hampir empat hari kau tidak makan? Ya Allah, bagaimana kau kuat bertahan? Umpama kau ingin menyiksa diri juga tidak boleh ...."

Siang Cin geleng2 kepala dengan senyum getir, katanya "aku kan bukan orang gila, masa menyiksa diri sendiri? Beginilah pelayanan engkohmu sejak aku berada di Liong-ong-lau."

"Engkohku tidak memberi makan padamu?"

Tanya Sek Pin dengan terbeliak.

"Tidak mungkin!"

"Sudahlah,"

Ucap Siang Cin.

"tak usah berbinceang soal ini, tolong nona carikan makanan dan minuman saja."

Sek Pin tertawa, katanya.

"Kau tidak takut akan kulaporkan dirimu?"

Siang Cin jatuhkan diri di atas kursi, katanya malas.

"Terserah, mereka tak mungkin menangkapku, peristiwa semalam tentunya juga sudah kau saksikan."

Berubah rona muka Sek Pin, katanya merinding.

"Kau begitu kejam, dari tempatku kudengar jeritan dan lolong kesakitan para korbanmu, sungguh menggiriskan dan mendirikan bulu roma, darah dan senjata bercecer di tanah, sampai terang tanah baru selesai dibereskan, taman di belakang perkampungan bertambah gundukan tanab, korban yang jatuh sebanyak itu, siapapun takkan percaya bahwa semua itu buah karyamu seorang .......

"

Dengan lesu Siang Cin mengembus napas, katanya.

"Semula tiada keinginanku berbuat begitu, mereka yang memaksaku."

Hening sebentar, akhirnya Sek Pin berkata.

"Tunggulah sebentar, akan kucarikan makanan untukmu, tampaknya kau sangat letih ......"

"Terima kasih,"

Kata Siang Cin. Sebelum keluar Sek Pin menoleh dan berkata lirih .

"O, ya, kamar2 di sini akan dibersihkan, sebentar mereka akan kemari, lebih baik kau mencari tempat lain, tempat yang agak tersembunyi ... ..

"

Siang Cin menuding ke atas, katanya.

"Di atas loteng bagaimana?"

Sek Pin melirik ke atas, katanya.

"Tunggu sebentar, aku akan segera kembali."

"-- Dengan hati2 dia lantas keluar serta merapatkan pintu pula. Siang Cin berdiri, tapi dia tidak segera naik ke atas loteng sekilas dia periksa keadaan kamar ini, tiba2 dia meloncat ke atas belandar yang lebarnya setengah kaki, cukup untuk mendekam di sana. Selama delapan, tahun berkecimpung di Kangouw boleh dikatakan Siang Cin sudah kenyang akan asam garam kehidupan insan persilatan, bahaya macam apa yang tak pernah dialaminya? Hubungan antar manusia, pergaulan antara sesamanya, meski lahirnya dia hadapi sewajarnya, tapi diam2 ia cukup waspada, ia tahu apa artinya perasaan dan simpatik ini tahu dalam keadaan bagaimana rasa simpatik itu akan berkembang, semua ini membuatnya lebih hati2 dan waspada, dia tidak ingin terjatuh pula ke tangan musuh dan meronta di ambang neraka. Baru semalam dia kenal Sek Pin, malah orang adalah adik musuhnya, bila dalam keadaan seperti ini Sek Pin tidak melapor engkohnya, kalau mau ditanya apa sebabnya, kemungkinan inilah rasa simpatik dan pemujaan pada seorang pahlawan atau mungkin pula limpahan rasa budi kasih terhadap sesamanya, atau mungkin pula karena adanya kontak perasaan antara laki2 dan perempuan yang sukar untuk dijelaskan? 

Siang Cin menunggu dengan sabar, padahal lapar dan haus hampir membuatnya gila, selamanya tak pernah disadarinya bahwa betapa besar paedahnya makan dan minum bagi manusia. - - - -- - - - - - -- - - - - -- - - - -- - - -- - - -- - - -- Apapula yang ditunggu Siang Cin di sarang musuh? Siapakah dan tokoh macam apakah guru Kiang Ling? Siapa pula "budak"

Yang dimaksud Ha it-cun yang perlu dilindungi itu? -
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar