Bara Naga Jilid 03

Jilid 03

Pelan2 Siang Cin menggeliat melemaskan otot, setelah mengisi sekedar perutnya, Siang Cin masuk kamar berganti seperangkat pakaian ketat dengan jubah kuning di bagian luarnya. An Lip menatapnya, katanya dengan lirih.

"Inkong, sekarang juga mau berangkat?"

Siang Cin mengangguk, katanya. Ya, apakah markas pusat Siang-gi-pang berada di atas Ji-long-san?"

"Betul, Ji long san kelihatan tidak angker, tapi keadaan di sana amat berbahaya, penjagaan pihak Siang-gi-pang juga sangat ketat, markas pusatnya berada di sebuah rumah yang digali di dalam sebuah batu gunung raksasa."

Pau Seh-hoa menyemburkan sekerat tulang dari mulutnya, katanya.

"Kongcuya, jangan kau terlampau pongah akan kemampuanmu.. jika kau betul2 ingin menolong perempuan itu, baiklah, biar aku saja yang mewakili kau."

Sang Cin tersenyum, katanya.

"Terima kasih, Kun-cici kutinggalkan disini. mohon kau suka merawat dan menjaganya baik2, sebelum tengah malam nanti aku pasti pulang."

An Lip kelihatan bimbang, katanya dengan kikuk dan tidak tenteram.

"Inkong, luka..... lukamu belum lagi sembuh, aku ..... aku merasa......"

"Tidak jadi soal"

Ujar Siang Cin sambil mengulap tangan.

"luka2 seringan ini masih kuat kutahan, tolong kau bantu menjaga rumah ini."

"Lote,"

Seru Pau Seh hoa sambil berdiri.

"luka2 mu itu tidak boleh dibilang ringan, nanti malam kau harus menempuh bahaya, bukan mustahil harus mengadu jiwa pula, jika terjadi apa2 di luar perhitungan lalu bagaimana? Biar aku ikut bersamamu."

Mengawasi Pau Seh-hoa. Siang Cin berkata kalem.

"Lo Pau, sungguh aku sangat berterima kasih akan kesediaanmu, tapi kita berdua tidak boleh pergi semua meninggalkan rumah ini, satu di antara kita harus jaga rumah dan melindungi Kuncici. Kau kenal akan watakku, sesuatu persoalan yang sudah dijanjikan untuk dibereskan oleh Pendekar Naga Kuning selamanya tidak pernah dijilat kembali, pula toh aku bukan orang, yang gampang kecundang."

Pau Seh-hoa berkata dengan mendongkol.

"Bukan aku ingin menambah beban padamu, kalau kau dalam keadaan sehat tentu aku tak peduli akan sepak terjangmu, tapi kondisi badanmu sekarang, betapapun aku tak tega melepasmu pergi begini saja."

Siang Cin menggeleng, katanya tegas;

"Pendek kata, Lo Pau, kau tidak boleh ikut, Kun-cici memerlukan perlindunganmu "

Sambil membanting kaki Pau Seh hoa berteriak gusar;

"Baiklah, aku tidak akan pergi biar aku menunggu gubuk kura2 ini." - Dengan gregetun dia duduk pula di kursinya. Pada saat itulah daun pintu kamar sebelah kanan kembali terbuka, Kiang Ling tampak beranjak keluar membawa baki poci teh, melihat Pau Seh-hoa yang bersungut2, dilihatnya pula sikap An Lip yang serba susah, sekilas dia tatap dengan hambar, lalu dia serahkan baki dan poci itu kepada Siang Cin dan berkata.

"Terima kasih, Siang- hiapsu."

Dengan tak acuh Siang Cin terima baki dan poci itu dan ditaruh di atas meja. dia hanya mengangguk pada Kiang Ling, lalu menjura ke arah Pau Seh hoa, katanya.

"Lo Pau, aku akan berangkat, nanti malam kita berkumpul lagi." -- Lalu dia putar badan dan keluar. Tapi baru dia sampai di ambang pintu, tiba2 `Pau Seh-hoa memburu ke depannya, dengan lekat dia tatap muka orang, sesaat kemudian baru berkata dengan lirih.

"Jangan marah padaku saudaraku."

Siang Cin tertawa lebar, jawabnya.

"Sudah tentu."

"Perhatikan akan luka2mu sendiri,"

Pesan Pau Seh hoa pula. Dengan pandangan tulus Siang Cin balas tatap mata orang. Habis itu mendadak ia berkelebat keluar. An Lip melenggong memandang keluar jendela, gumamnya.

"Thian selalu melindungimu, Inkong ....."

Kiang Ling juga tertegun, pandangannya terarah keluar pula, suasana seketika menjadi hening, sorot matanya se-olah2 ada sesuatu yang tak terkatakan, membawa perasaan hampa, risau dan masgul.

Pau Seh-hoa menghela napas, dengan tawar dia lirik kearah Kiang Ling lalu berkata tak acuh.

"Penyakit bapakmu sudah baikan tidak? Bocah ayu?"

Merah muka Kian Ling, sahutnya malu2.

"Sudah agak mendingan, cuma ayah memang sukar dilayani."

Pau Seh-hoa berdehem sambil duduk, katanya.

"Di daerah Loh, terutama Siau-angpa tempat tinggalmu itu, ada sebuah jembatan gantung dari rantai, apakah sampai sekarang masih terpasang membentang di atas sungai Gun-cui-ho?"

Kiang Ling tertegun sebentar, tapi segera dia tertawa, katanya.

"Ya, jembatan itu masih ada, cuma sudah jauh lebih rusak dari dulu, rantainya sudah karatan."

Dinging saja Pau Seh-hoa menatap Kiang Ling, sorot matanya mengandung perasaan sinis, katanya pula.

"Apakah ribuan sirip batu diseberang sungai itu juga tetap utuh?"

Kiang Ling menjulurkan lidahnya yang kecil membasahi bibir, katanya pelan2.

"Ada apa Congcu, kenapa mendadak engkau menanyakan semua ini?"

Pau Seh-hoa tertawa, sikapnya tampak tenang, katanya kalem.

"Bapakmu bilang kalian datang dari Siau-ang-pa. Em, orang she Pau ini dulu pernah melancong ke tempat itu, maka sambil lalu kutanya secara iseng, mungkin kau jarang perhatikan hal itu di Siau-ang-pa?" . Berkedip Kiang Ling. kembali dia mengunjuk sikap malu2 seorang gadis remaja, katanya.

"Bukannya tidak memper-hatikan, cuma pertanyaan Congsu terlalu janggal, aku dibesarkan di Siau-ang-pa, mana mungkin tidak tahu akan hal2 itu?"

Pau Seh-hoa tertawa pula, katanya.

"Bocah ayu, pergilah istirahat, kalau perlu apa2 boleh panggil kami saja, tidak usah sungkan."

Sekilas mata Kiang Ling mengerling ke arah poci teh di atas meja sana, tanpa bersuara pelan2 dia kembali ke kamarnya, tinggal An Lip yang masih duduk melongo kebingungan, kelihatan curiga tapi tidak mengerti.

Setelah Kiang Ling menutup pintu kamarnya lekas An Lip bersuara.

"Pau-cianpwe, barusan ....."

Lekas Pau Seh-hoa memberi tanda kedipan mata, katanya sambil ter gelak2.

"Barusan sengaja kugoda genduk ayu itu, wajahnya cantik, perawakannya padat menggiurkan bukan?"

An Lip segera tutup mulut, nalurinya merasakan adanya sesuatu yang tidak beres dalam tanya jawab tadi, cuma dia tidak berani utarakan, dilihatnya Pau Seh-boa menuding ke arah pintu kamar kanan dan memberi tanda kedipan mata, maksudnya supaya dia bantu mengawasi.

Suasana kembali menjadi tenang sunyi, dengan perasaan sedikit tegang, tanpa berkedip An Lip memperhatikan pintu kamar kanan, sementara Pau Seh-hoa duduk memejamkan mata, tidur2 ayam, tapi jelas kelihatan bulu matanya masih ber-gerak2.

"Apakah bakal terjadi sesuatu peristiwa besar? Paling tidak saat ini masih sulit untuk merabanya, tapi suasana yang hening terasa mencekam. Pe-lahan2 di dalam rumah mulai guram, haripun sudah petang, maklumlah musim rontok, malam hari biasa datang lebih cepat, terasa sekali perbedaan ini di atas gunung yang tinggi ini. Tanpa bersuara, pintu kamar kanan mulai bergerak, pelan2 kepala Kiang Ling menongol ke luar pintu, di tangannya tampak memegang baki tempat bebek panggang tadi, masih ada sisa setengah ekor malah. Segera An Lip menelan air liur, dengan suara serak dia berkata.

"O, nona, ada apa?"

Kiang Ling terjingkat, katanya sambil mendekap dada.

"O, kukira Congau berdua sudah tidur, di luar begini sunyi ....apakah aku yang membangunkah kalian ..An Lip berdiri, katanya.

"Tidak apa, serahkan saja baki itu padaku."

Kiang Ling mengerling ke arah Pau Seh-hoa, katanya lirih.

"Apakah Congsu itu sudah pulas?"

Sambil menerima baki An Lip menjawab dengan suara tertahan.

"Ya, sehari ini Paucian pwe bekerja berat, terlalu letih, baru saja tidur ...."

Mengawasi kain balutan di badan An Lip, Kiang Ling bertanya.

"Congsu sendiri terluka?"

An Lip menyengir, katanya.

"Ah, hanya luka2 ringap saja, tidak apa2"

Bola matanya menjelajah keadaan ruang tamu ini, agaknya Kiang Ling, sengaja mencari kesempatan untuk berdiam lebih lama di sini, dasar An Lip orangnya lugu, tidak bicara kalau tidak diajak omong, maka keduanya tetap berdiri diam tanpa bersuara, suasana menjadi serba kikuk.

Tiba2 Pau Seh-hoa menggeliat, matanyapun terbuka, katanya.

"Ada apa bocah ayu?"

Dengan sikap was2 Kiang Ling bersenyum kearah Pau Seh-hoa.

"Tidak apa2, aku mengembalikan baki."

Baru saja Pau Seh-hoa mau buka suara, mendadak dilihatnya tubuh Kiang Ling sempoyongan ke depan, lekas Pau Seh-hoa ulur tangan hendak memapahnya, tapi mendadak dia tarik kembali tangannya, sementara kedua tangan Kiang Ling terpentang ke depan seperti hendak menangkap sesuatu untuk menahan diri, syukurlah hanya beberapa langkah dia sudah dapat menguasai diri.

Perasaan curiga Pau Seh -hoa terlebur dalam tawanya yang lebar dengan mengunjuk giginya yang kuning, katanya.

"Kenapa kau bocah, ayu?" Tangan Kiang Ling menyeka keringat di jidatnya, sabutnya lemah.

"Kepalaku mendadak pusing ..mungkin beberapa .hari ini terlalu kerja berat, kurang, tidur lagi ....pandanganku terasa berkunang2."

Seperti tertawa tidak tertawa Pau Seh-hoa mencibir, katanya.

"Kalau begitu lekaslah tidur, jangan kian kemari, kalau bapak-anak sama2 ambruk kan berabe."

Seperti memperoleh firasat apa2 dari perkataan Pau Seh-hoa, muka Kiang ling tampak tegang sebentar lalu mengeridor pula dengan langkah lemas pelan? dia mengundurkan diri, agaknya badannya memang kurang sehat.

Mendadak Pau Seh-hoa mengendus2 seperti anjing pelacak, keningnya berkerut, lalu geleng2 kepa)a.

pandangannya penuh tanda tanya merijelajah sekelilingnya, akhirnya mulutpun menggumam.

"Memangnya ada apa sih, kelihatannya tidak beres, hatiku terasa tidak tenteram.......

"

Ji-long-san, kira2 lima puluhan li jauhnya dari tempat tinggal Siang Cin, luka2 Siang Cin sudah dibalut rapi dan takkan mengganggu gerak-geriknya yang cekatan bagai terbang.

Dua gugusan gunung yang berbentuk aneh dengan batu2 runcing berbagai bentuk tampak di depan mata, di tengah kedua gugus gunung itu membujur satu jalur gundukan tanah yang tidak begitu tinggi se olah2 sebatang pikulan yang memikul kedua gugus gunung.

Siang Cin mengatur pernapasan sambil duduk di atas batu, lukanya kembali terasa sakit, sebetulnya dia tahu dengan kondisinya sekarang, dia perlu istirahat dan tak boleh menguras tenaga, tapi iapun tahu kalau tidak lekas bertindak mungkin urusan bisa terlambat, dia sadar membantu orang harus cepat hingga beres.

Markas pusat Siang-gi-pang sudah berada di depan mata, lebih baik kalau tidak terjadi pertumpahan darah.

Berpikir demikian serta merta hidungnya mengendus bau anyirnya darah, napas serasa sesak dan mual.

Laksana seekor kucing di tempat gelap dia bergerak tanpa mengeluarkan suara.

Sebuah jalan beralas batu hijau ber-liku2 menuju ke atas gunung, kecuali orang tolol, kerapun akan tahu bahwa jalan beralas batu hijau ini tidak boleh sembarang dilalui.

Tenang2 Siang Cin, periksa keadaan sekitarnya, dengan hati2 dan penuh perhitungan ia terus menggeremet ke atas gunung, lekas sekali dia sudah selamat melewati enam pos penjagaan.

Dengan hati2 dia melompati seutas tali benang sutera, pada tali ini terikat beberapa kelintingan tembaga, ujung tali terikat pada setumpukan batu besar yang akan menggelundung jatuh dan menindih orang2 yang coba menyelundup ke atas, lebih hebat lagi di atas terpasang pula karung2 kapur yang akan ditembakkan melalui pegas batang pohon yang diatur sedemikian rupa.

Di sebelah depan yang tinggi, pagar pasanggerahan yang terbikin dari barisan batang2 pohon telah kelihatan.

Enam belas laki2 kekar berseragam abu2 berjaga di depan pintu gerbang, ada tiang yang terpasang sebuah panji yang berwarna kelabu tersulam huruf 'GI"

Yang besar, panji besar itu ber-kibar2 tertiup angin, di atas pagar sana kelihatan bayangan orang mondar-mandir, sinar golok kemilau di tengah kegelapan, penjagaan di sini ternyata sangat keras dan ketat.

Siang Cin terus menggremet maju ke sana, akhirnya tiba di bawah pagar kayu yang cukup gelap dan tidak tersinari oleh lampu yang terkerek tinggi di payon dengan mendekam Siang Cin pegang kaki pagar, sedikit kerahkan tenaga pelahan2 pagar kayu sebesar paha itu yang terikat dengan kawat telah berhasil dibongkarnya, tali kawat itu dengan mudah dipuntirnya putus pula tanpa mengeluarkan suara, cuma pagar kayu yang terbongkar dan berlubang itu sedikit miring.

Selicin belut Siang Cin menerobos ke dalam dilihatnya puluhan bangunan rumah besar kecil, ada yang berloteng tapi semuanya terbangun dari papan kayu pilihan yang kukuh dengan pondasi batu, di kejauhan sana ada gundukan bukit kecil, di atas tanah bukit inilah bertengger sebuah bangunan gedung yang mentereng dan angker, gedung ini berkapur putih bersih.

Siang Cin terus menyelinap ke depan tanpa di ketahui, akhirnya dari depan dilihatnya seorang laki2 kekar sedang mendatang dengan langkah gopoh, lekas Siang Cin sembunyi di tempat gelap, dikala laki2 itu lewat di sampingnya, secepat kilat dia tutuk Hiat to pinggang orang.

Tanpa mengeluarkan suara, laki2 itu diseret Siang Cin ke pojok tembok, sorot mata orang kelihatan kaget, ketakutan tercampur heran pula.

Pelahan Siang Cin menepuk punggungnya, lalu berkata dengan suara lirih kereng.

"Kalau kau masih ingin hidup, jangan berteriak, kalau tidak, besok pagi kau tak bisa melihat matahari lagi"

Laki2 itu membuka mulut tapi tiada suara yang keluar, akhirnya dia manggut2. Siang Cin berkata dingin.

"Calon isteri An Lip di mana?"

"Calon isteri... isteri siapa?"

Tanya laki2 itu dengan bingung.

"An Lip,"

Ulang Siang Cin.

"An Lip yang berewok itu."

"O, ya,"

Ajar laki2 itu.

"dia ..... memberontak ..... gendaknya itu kini disekap di penjara bawah tanah ..... letaknya di rumah batu tak jauh di sana itu."

Siang Cin memandang ke tempat yang ditunjuk, memang di sana ada sebuah rumah batu, kelihatannya seram dan menyendiri di sebuah tanah lapang yang kosong. Setelah menelan air liur, laki2 itu berkata pula.

"Kentongan kedua malam ini, gendak An Lip itu akan menjalani hukuman, mungkin akan dibakar hidup2."

Dengan heran Siang Cin tatap laki2 ini, dia tidak tanya soal ini, mengapa dia malah bercerita? Agaknya laki2 itu maklum akan sorot mata Siang Cin yang mengandung pertanyaan, maka dia menambahkan.

"Terus terang Hohan, perkara An Lip telah menjadi rahasia umum bagi seluruh anggota Sianggi-pang kami, siapa benar siapa salah, dalam hati masing2 sama tahu, apalagi sejak kecil aku sangat intim dengan An Lip, aku tahu bahwa Hohan ke mari hendak menolong calon isteri An Lip, perempuan itu memang bukan orang bejat."

"Kalau demikian, aku tidak akan menyakiti kau,"

Ucap Siang Cin tertawa.

"Cuma untuk sementara biarlah engkau ngendon saja di sini." --- Lalu dia tutuk Hiat-to orang, tanpa bersuara laki2 itu jatuh pingsan. Dengan beberapa kali lompatan Siang Cin melayang ke samping kiri rumah batu itu, karena rumah batu ini dibangun di tengah lapangan, maka tiada tempat untuk sembunyi, empat laki2 memeluk golok tampak berdiri tegak di depan rumah, sementara puluhan orang lagi yang juga bersenjata lengkap mondar-mandir di halaman, maka bukan soal mudah untuk mendekati rumah batu, apalagi lagi lapangan kosong itu ada puluhan tombak. Baru saja Siang Cin hendak berdiri, tiba2 kepalanya terasa pusing, pandangan menjadi gelap, cepat dia geleng2 kepala serta memijat jidat, mengapa dalam keadaan segenting ini dia pusing kepala? Memangnya terlalu letih dan terlalu banyak keluar darah karena luka2nya pagi tadi? Sejenak dia berdiam serta menenangkan perasaan, akhirnya dia melangkah keluar dari tempat gelap, dengan langkah berlenggang dia menuju ke rumah batu itu, baru saja beberapa langkah, dua kali suara tepukan tangan sudah berkumandang dari depan disusul suara orang menghardik.

"Siapa?"

Segera Siang Cin balas bertepuk tiga kali seraya, menyahut dengan suara tertahan.

"Aku!"

Agaknya pihak sana melenggong, sementara itu Siang Cin telah berkelebat maju, katanya.

"Kalian tentu lelah, saudara2, segera Pangcu akan tiba."

Bayangan seorang tampak memapak ke arahnya, katanya penuh rasa curiga.

"Saudara dari mana? Kenapa jawaban sandimu tadi tidak cocok?"

Dalam pada itu Siang Cin lantas melangkah maju semakin dekat, dengan tenang dia menjawab.

"Baru saja sandi dirubah, kenapa tidak cocok? Pangcu suruh kutanya apakah peralatan hukuman sudah disiapkan?"

Masih dalam jarak dua tombak, orang itu masih curiga, katanya.

"Berganti sandi? Kenapa aku tidak diberitahu?"

Siang Cin terkekeh pelahan, tahu2 dia sudah berada di samping orang, tak kelihatan cara bagaimana dia turun tangan, tahu2 laki2 itu sudah roboh menggeletak, bagai angin puyuh dia bergerak, dua laki2 yang berada di kanan-kirinyapun sekaligus dibikin tak berkutik, hakikatnya mereka tidak melihat jelas siapa pendatang yang turun tangan ini! Baru saja keempat laki2 yang jaga di depan rumah merasakan gelagat jelek, belum sempat mereka bersuara, tahu2 bayangan orang berkelebat, seperti orang mabuk saja mereka sama jatuh saling tindih.

Sekali kelebat Siang Cin menerobos masuk, dua laki2 yang duduk di belakang sebuah meja serentak menubruk maju sembari menghardik.

Siang Cin mendengus dan mengisar tangannya terayun serta menebas miring, sekali putar lagi, seperti orang di luar tadi, kedua orang inipun jatuh mencium lantai tanpa mengeluarkan suara.

Inilah sebuah ruangan kosong melompong, tanpa pajangan apapun, di kiri-kanan ada sebuah pintu, pintu terbuat dari batu dan tertutup rapat.

Siang Cin langsung menerjang ke pintu kanan, telapak, tangannya menggempur dengan sekali hantam "Byar", pintu batu itu dipukulnya hancur, di dalam adalah sebuah lorong gelap, pada kedua sisi lorong terdapat delapan kamar tahanan, dengan suara tertahan Siang Cin berteriak.

"Siapa calon isteri An Lip? Lekas jawab pertanyaanku."

Beruntun tiga kali dia bersuara, reaksinya malah suara keributan pada kedelapan kamar tahanan itu, tahu waktu amat mendesak, lekas Siang Cin membalik menerjang ke pintu sebelah kiri, sekali pukul dia runtuhkau pintu batu pula, belum lagi taburan debu mereda dia sudah menerjang masuk seraya berteriak pula.

"Siapa calon isteri An Lip? Kudatang menolongmu, lekas jawab pertanyaanku."

Dua kali dia berteriak, pada ujung kamar sana mendadak seorang perempuan berteriak dengan suara meratap.

"Aku ....aku inilah...."

Tanpa pikir dan sangsi lagi, Siang Cin langsung menerjang ke sana, belum lagi kakinya menginjak tanah, tangannya sudah mematahkan jeruji kamar tahanan yang terbuat dari kayu, keadaan di sini gelap remang2, walau keadaannya compancamping dan tidak terurus, tapi kelihatan sesosok tubuh yang ramping, bayangan seorang perempuan tampak bergerak dengan langkah lemah, kiranya kaki tangannya terborgol rantai.

Siang Cin kerahkan tenaga pada telapak tangap, sekali tabas ia putuskan rantai itu serta bertanya dengan suara gugup.

"Apakah kau tunangan An Lip?"

Perempuan itu manggut2 dengan menahan isak, sabutnya serak,.

"Tan ....Tan Sin akan ....akan membakarku malam ini ...."

"Dia takkan membunuhmu,"

Ucap Siang Cin, sekali raih dia kempit orang, secepat kilat dia melayang keluar.

Tapi baru saja dia keluar dari pintu batu yang digempurnya hancur itu cahaya obor yang terang benderang tahu2 menyilaukap matanya, di luar rumah tanpa bersuara sudah dipagari banyak laki2 seragam abu2 yang tak terhitung jumlahnya, senjata mereka tampak berkilau dibawah sinar obor, wajah mereka rata2 tampak sadis, terasa suasana amat tegang.

Yang berdiri dan menjadi pimpinan pengepungan ini kiranya bukan lain daripada Sam-bak-siu-su Tan Sin adanya, jago2 kelas tinggi Siang-gi-pang telah dikerahkan.

Codet di tengah alias Tan Sin tampak membara, sorot matanya menatap dingin, lama dia menatap Siang Cin tanpa bergerak.

Perempuan yang terhimpit di bawah ketiak Siang Cin tampak gemetar ketakutan, mukanya pucat, kaki-tangannya lunglai, agaknya dia amat ketakutan, semula dia kira selekasnya akan lolos dari segala siksa derita, tak tahunya elmaut justeru sudah mengadang didepan mata.

Terangkat alis Tan Sin, dengan ketus ia berkata.

"Orang she Siang akhirnya toh kau terlambat setindak."

Dengan tenang Siang Cin menggelendot di dinding batu, sikapnya yang tenang itu se-akan2 tidak tahu situasi yang tegang mendebarkan jantung ini.

"Terus terang, kalian yang tidak beruntung, kenapa lebih cepat kalian datang kemari"

Menyeringai Tan Sin dan berkata.

"Siang Cin, malam ini kukira kau takkan bisa pergi seenak perutmu sendiri."

Sang Cin mengejek.

"Jangan takabur Tan Sin, kau akan memperoleh ganjaran yang setimpal "

Seperti mekar hidung Tan Sin, secapat mungkin dia menekan amarahnya, katanya penuh kebencian.

"Jangan kau hina orang keterlaluan orang she Siang, kau ingin bertingkah di tempat Siang-gi-pang, hm, kau belum cukup punya kemampuan, orang lain takut terhadapmu, tapi orang she Tan tidak memandang sebelah mata padamu."

Siang Cin menarik napas, kembali rasa pening merangsang dirinya, dadapun terasa mual.

"Tan Sin,"

Ucapnya kemudian.

"perempuan ini milik orang lain, kenapa kau sengaja bikin mereka tercerai berai? Kalau kau tidak peduli mati hidup perempuan ini, orang lain kan mengharapkan dapat hidup rukun dan bahagia sampai hari tua ..... ."

"Tutup bacotmu,"

Bentak Tan Sin murka.

"An Lip memelet gundikku. dosanya pantas dihukum pancung, kini kau keparat ini berani hantu dia menculik orangku, kau kira Siang-gi-pang kami boleh sembarangan dihina."

Siang Cin mendengus, katanya.

"Jangan emosi, Tan Sin, demi seorang perempuan, bila kau terjungkal kan tidak setimpal."

Dibarengi suara gerungan, Gui Ih tampak muncul di samping Tan Sin, dia mengangguk pada Tan Sin, lalu berputar menghadapi Siang Cin, katanya dengan gemas.

"Siang Cin segera kau sendiri akan maklum siapa yang bakal terjungkal gara2 seorang perempuan."

Rasa pening yang merangsang kepala Siang Cin bertambah berat, sekerasnya Siang Cin geleng kepala, suaranya sudah berubah serak.

"Tan Sin, sekali lagi kutegaskan, kau mau memberi jalan tidak? Tan Sin menyeringai, katanya.

"Gampang saja memberi jalan asalkan kau mampu mencabut nyawa seluruh orang Siang-gi-pang."

Tiba2 Siang Cin tertawa aneh, katanya.

"Tan-toapangcu, kau kira Siang Cin tidak mampu melakukannya?"

Mendengus hina Tan Sin menantang.

"Kami sedang menunggu aksimu itu."

Siang Cin memperlihatkan tawanya yang acuh tak acuh, dengan langkah lambat seperti orang malas dia beranjak ke arah pintu.

Tan Sin meraung seraya mengulap tangan, orang2 Siang gi-pang yang memagari pintu serentak memecah diri lompat ke samping, di belakang mereka masih ada tiga puluhan orang berbaju abu2 yang bertiarap, tangan setiap orang sama memegang bumbung perak sepanjang dua kaki, tampak jelas alat di ujung bumbung bagian belakang siap ditarik untuk melancarkan serangan, entah bahan peledak atau senjata rahasia apa.

Terkesiap Siang Cin, tapi dengan tenang ia berkata.

"Tan Sin, kau siap bertindak kasar dan nekat?"

Otot hijau di jidat Tan Sin tampak membesar, suaranya mendesis dari deretan giginya yang gemeretuk geram.

"Turunkan perempuan itu, tutuk pula Hiat-to pelemasmu sendiri."

Siang Cin tertawa, katanya.

"Kau tahu bahwa saat ini tak mungkin kulakukan Toapangcu."

Dingin sorot rnata Tan Sin, sekilas ujung bibirnya bergetar, maka Siang Cin lantas tahu apa yang akan dilakukan orang.

Selama ber-tahun2 ini Siang Cin sudah biasa dengan tradisinya sendiri yaitu turun tangan lebih dulu, adalah logis kalau kali ini iapun tidak mau kalah cepat bertindak daripada lawan2nya yang sudah menguasai situasi.

Sesosok bayangan kuning laksana anak panah melesat ke pinggir pintu, hampir pada waktu yang sama di bawah gerungan kasar serta makian kalang kabut terdengar suara jepretan yang bersahutan ber-gulung2 gumpalan asap yang membara membawa ekor cahaya panjang memapak luncuran bayangan kuning itu.

Hampir tak terikuti oleh mata telanjang, bayangan kuning itu mendadak jatuh menelungkup di belakang pintu, tidak jelas cara bagaimana tiba2 dia bisa berdiri pula, tapi ketika bayangan kuning itu berdiri, dua Thocu Siang-gi-pang meraung keras dengan badan terlempar tiga tombak jauhnya.

Baru sekarang kobaran api yang menyala itu menerjang masuk ke dalam kamar, di tengah suara ledakan dan kobaran api yang menjilat apapun, karena itu seketikapun terjilat kobaran api, padahal lapisan batu marmar biasanya tidak mempan dijilat api kini telah berkobar dengan asap tebal warna hijau kebiruan.

Maklumlah semburan bahan peledak yang mengandung minyak dan pospor itu akan menyala dimanapun bila kena hawa, siapapun bila terciprat meski cuma sedikit saja, kecuali potong bagian yang keciprat itu, kalau tidak, seluruh badan orang akan terbakar hangus.

Ternyara tiga puluhan laki2 yang menyanding bumbung perak itu cukup tabah dan yakin akan senjata ganas mereka, melihat semprotan pertama tidak mengenai sasaran, cepat mereka keluarkan sebutir bahan peledak warna merah sebesar mangga segera terus dimasukkan ke dalam bumbung .....

Sementara itu Siang Cin telah kerjakan telapak tangannya, tiga puluh satu jurus, serentak dia gempur mundur lima jago kosen Siang-gi-pang, di mana matanya melirik, sekilas dia sudah menguasai situasi sekelilingnya., cahaya keemasan yang benderang melebar dengan deru suaranya yang mirip pekik setan memberondong ke berbagai penjuru.

Cahaya keemasan itu tampak berputar, kelihatan masih jauh, tapi tahu2 batok kepala sembilan orang sudah sama putus dan bergelinding ke tanah.

Maka gemerantang pula bumbung perak yang berjatuhan, ditambah jerit kaget dan ketakutan orang banyak, suasana menjadi kacau.

Sambil mencaci kalang kabut tampak Tan Sin menerjang maju, Kek-cu-kau (gaetan kalajengking) senjata andalannya segera menyerang dengan kalap.

Dengan cepat Siang Cin berkisar sejauh lima tombak, di kala badannya berputar laksana angin puyuh itu, puluhan orang berbaju abu2 kembali roboh tak bernyawa lagi, tiada seorangpun melihat cara bagaimana musuh menamatkan jiwa mereka.

Tiga bayangan orang menubruk tiba bersama dari tiga jurusan, tenaga pukulannya kuat dan mantap, ketiga orang ini adalah para Tongcu Siang-gi-pang, yakni Bing-gitong Tongcu It-pi-kan-san (satu tangan menyanggah gunung) Ih Giam, Jing-sim-tong Tongcu Siu li ciam (jarum dalam baju) Cui Hi dan Ting-long-tong Tongcu Ci Jan (si janggut ungu) Ban Pek-hou.

Siang Cin segera pasang kuda2, kaki berdiri kukuh tak bergeming, telapak tangan bergerak melingkar, damparan angin pukulan berpusar yang tidak kelihatan segera memapak ketiga Tongcu yang menubruk tiba itu.

Suara keras benturan telapak tangan segera memecah kesunyian, tampak ketiga Tongcu Siang-gi-pang itu sama mengerang kesakitan, ketiganya tergetar mundur dengan muka pucat dan meringis kesakitan.

Sam-bak-siu-su Tan Sin kembali menerkam laksana serigala kelaparan, mulutpun ber-kaok2.

"Cincang keparat ini, meski harus banjir darah, jangan biarkan dia pergi."

Ujung kaitan kalajengking kembali menyambar, dengan gaya serangan yang aneh ia menggantol leher Siang Cin, berbareng cambuk kulit ular juga sekaligus melecut ke kaki dengan suara yang menggeletar.

Siang Cin mengencangkan kempitannya pada perempuan tadi, bersamaan dengan gerakannya ini.

sekaligus dia melejit menyingkir dari rangsakan Tan Sin, berbareng sikutnya menyodok ke arah Gui lh, si penyerang dengan cambuk itu.

Gui Ih menjerit seraya melompat pergi sejauh mungkin dengan gugup, sungguh tak terbayang olehnya, entah dengan gerakan apa tahu2 lawan tiba di depannya dan menyerang dengan sikutnya.

Dikala dia melompat menyingkir inilah, Ting-long-tong Tongcu si jenggot ungu Ban Pek-hau menggerung, dia melejit maju, sepuluh kali pukulan telapak tangan dan sembilan kali tendangan dilontarkan ke punggung Siang Cin.

Se-konyong2 badan Siang Cin berguntai ke kiri-kanan, telapak tangannya bergerak membabat ke leher lawan, jurus babatan telapak tangan ini tampaknya sepele, tapi serangan ini justeru mengejutkan Ban Pek-hao, cepat dia mengelak ke belakang, tak urung baju di pundaknya terserempet sobek, sudah tentu tak terpikir oleh si jenggot ungu Ban Pek-hou bahwa Siang Cin telah batas menyerangnya dengan jurus Kui-sohun (setan merenggut nyawa), salah satu jurus ilmu pukulan kebanggaannya.

Ih Giam, si penyanggah gunung, bersenjata Siang-hoan-kim-to (golok emas bergelang), ia menerjang maju dari samping dengan bacokan golok, sementara kedua kakinya laksana kitiran berbareng menyapu, pada hal Siang Cin kembali lagi diserang rasa pusing, pandangannya tiba2 menjadi gelap, untung kupingnya masih dapat mendengar suara dan membedakan arah, cepat ia berkelit, menyusul jurus Kui-so hun dia lancarkan pula untuk menggempur mundur Sin li-ciam (jarum dalam baju) Cui Hi yang merunduk dari sehelah kiri.

Berkeringat codet di jidat Tan Sin, matanya mendelik, bagai harimau kelaparan dia putar sepasang gaetan dan merangsak dengan membabi buta, sementara empat Thocu Siang-gi pang yang masib segar kinipun terjun ke arena pertempuran membantu Tan Sin.

Rasa lelah dan pening Siang Cin terasa semakin berat dan membuat kondisi badannya semakin payah, Siang Cin tahu gelagat tidak menguntungkan, disadarinya bahwa dirinya telah terkena racun, tapi sungguh dia tidak habis mengerti, kapan dan di mana dia terkena racun ini? Bayangan Siang Cin berlompatan kian kemari menghindari serangan dari berbagai arah, di tengah gerakan yang sebat itu terasa oleh Siang Cin adanya gangguan yang menghambat gerak-geriknya, terpaksa dia lontarkan pukulan dahsyat untuk kemudian melompat ke sana sejauhnya.

Sambil ber-kaok2 Tan Sin mendahului mengudak, makinya.

"Naga Kuning, beginikah sepak terjangmu selama kau tenar di dunia Kangouw?"

Siang Cin tidak tanggapi cemooh orang, dia jawab dengan gerakan tangan, tiga jalur cahaya keemasan yang melengkung seperti sabit tahu2 meluncur dari tanganya, Toa-liong-kak tahu2 menyambar, tanpa berpaling juga dia yakin akan senjata ampuhnya ini, di mana senjata rahasia ini menyambar tiba segera terdengar jeritan ngeri, sekali lepas jarang Toa-liong-kak tidak minum darah korbannya.

Sekuatnya dia kerahkan sisa hawa murninya, dikala tenaganya rnasih bekerja dengan normal seringan asap tertiup angin, cepat sekali ia melayang jauh kesana dan menghilang.

Beruntun beberapa kali naik turun dia berlompatan, akhirnya dia tiba di selat antara kedua puncak Ji-long-san, tapi keringat sebesar kacang telah membasahi mukanya, sekuatnya dia menahan napasnya supaya tidak menderu kencang, dia tahu sekali dia mengembus napas, tenaga yang tersisa akan buyar seketika.

Perempuan yang dikempitnya agaknya jatuh pingsan, lunglai tak bergerak, kaki tangannya terjulur, rambutnya terurai awut2an, kini bobot badan orang terasa berat sekali.

Tapi Siang Cin bertahan sekuat tenaga sambil mengayun langkahnya berlari lagi bagai terbang, tenggorokan sudah terasa kering dan getir, rasa panas merangsang dada pula, sekuatnya dia mengedip mata, karena pandangannya seakan2 berselaput, sehingga alam sekelilingnya kelihatan remang2.

Jarak lima puluhan li ini, se-akan2 tidak bisa tercapai lagi, begitu lama dan jauh sekali rasanya, gunung gemunung seperti sambung menyambung tak ter-putus2, kegelapan dan dingin dengan deru angin yang seram bagai pekik tangis setan penasaran.

Dengan tangan kirinya yang kosong ia seka keringat, terasa oleh Siang Cin bahwa jantungnya memukul keras, pakaiannya yang rangkap luar dalam sudah basah kuyup oleh keringat dan melengket di bajunya.

Dia telan air liurnya yang terasa getir, kakinya segera bertambah tenaga dan berlari sekencang mungkin, tapi kakinya kini seperti terborgol oleh rantai yang berat, kaku dan susah digerakkan.

Lama sekali akhirnya Siang Cin menghela napas lega karena dia sudah lewat Sukui- kok (lembah kenangan) dan tiba di deretan pohon Siong itu, rumah kayu yang mungil itupun sudah kelihatan.

Ya, cahaya lampu yang remang2 tampak menyorot keluar dari jendela, cahaya lampu tampak redup dan tenang, ingin rasanya Siang Cin lekas masuk ke rumah dan menjatuhkan diri di ranjang dan tidur nyenyak.

Kembali dia mengencangkan kepitan perempuan di bawah ketiaknya, dengan menyeret langkahnya yang berat Siang Cin terus lari.

Syukurlah akhirnya tiba di depan rumah, setelah naik undakan dan akhirnya dia menggelendot di depan pintu sekian lama untuk menenangkan hati dan mengatur napas, kemudian ia mengetuk pintu dengan rada gemetar.

"Lo Pau buka pintu, aku sudah pulang ...

"

Teriakannya tiba2 berhenti, tanpa didorong tanpa dibuka daun pintu trba2 terpentang, ruang tamu sunyi senyap tak terdengar apa2, tak tampak bayanganseorangpun, sementara meja kursi tetap berada di tempatnyaa seperti waktu dia pergi tadi.

Segera dia merasakan firasat jelek, tanpa pikir segera dia menerobos masuk, sekah tendang dia bikin pintu kamar sebelah kiri terpentang.

Kun Sim ti berada di kamar ini, tapi di mana sekarang nona ini"? Kun Sim-ti tiada di ranjang seperti waktu dia tinggalkan, sementara itu kemul menggeletak di lantai.

Bagai disambar petir seketika lunglai sekujur badan Siang Cin, terasa rumah kecil ini seperti di guncangkan oleh gempa yang keras, perabot dalam rumah seperti bergunjing, selaput tebal menyelubung pandangan matanya, rasa lelah seketika merangsang otot tulangnya, perempuan yang dia kempit tak kuasa lagi dipegangnya, ia sempoyongan, dengan menggagap dia maju beberapa langkah seperti hendak berpegang pada sesuatu, ia gugup dan cemas, ia tahu dia pantang roboh, sekali2 tidak boleh ambruk .......

Di tengab remang2 pandangan dan kesadarannya itu pelahan2 tampak seraut wajah nan molek muncul di tengah kabut, seperti amat dikenalnya, raut wajah bulat kwaci ini.

Ya, dia kan Kiang Ling, tapi wajah Kiang Ling yang semula kelihatan manis dan selalu mengulum senyum malu2 itu kini kelihatan beringas, dingin kaku dan sadis, senyum manis yang selalu menghiasi bibirnya kini berganti tawa ejek dan hina.

Rasa lelah dan pushig tak tertahan lagi oleh Siang Cin, tapi kesadarannya masih tebal, tanpa kuasa dia menyurut mundur tiga langkah, tangannya berhasil menangkap pinggir ranjang, teriaknya dengan suara serak.

"Nona Kiang ..... mana mereka? Mana orang dalam kamar ini?"

Wajah jelita yang beringas itu tampak mendekat, tidak menjawab, hanya menatapnya tajam dingin sorot matanya menampilkan rasa dendam tak terperikan. Sekuatnya Siang Cin menggeleng, teriaknya pula dengan serak.

"Mana mereka? Kawan2ku, Ciciku, di mana mereka? Katakan di mana mereka?"

Raut wajah itu menjadi kabur, seperti berada di tempat jauh, tapi kejap lain terasa seperti berada di depan matanya, hanya terpaut setabir kabut tipis saja, seperti sudah amat dikenalnya, tapi juga seperti masih asing baginya, maka bergemalah suara yang bernada dingin kaku.

"Siang Cin, nasib mujurmu akan berakhir sekarang, pernahkah kau membayangkan nasib jelekmu seperti hari ini?"

Sekuatnya Siang Cin gosok pelipisnya, teriaknya sambil megap2.

"Kau, kau mencelakai mereka?"

Terbayang raut wajah yang menyeringai, terdengar pula suara ketus tak kenal kasihan.

"Karena kau terlebih dulu mencelakai jiwa saudara tuaku, kau membunuh calon suamiku, maka aku datang menuntut balas padamu. Siang Cin, kau iblis laknat yang bermuka cakap, tapi berhati serigala ini ... ."

Siang Cin goyang2 kepala, serunya heran tak habis mengerti.

"Siapa..... siapa itu saudara tuamu? Siapa pula calon suamimu?"

"

Remang2 wajah jelita yang beringas itu tanpa mendekat, suaranya mendesis penuh kebencian.

"Tak perlu diperbincangkan lagi, cuma satu hal barus helalu kau ingat Siang Cin, utang darah harus dibayar dengan darah."

Siang Cin berusaha mengerahkan tenaga, tapi dia gagal, tenaga murninya seperti sudah buyar, hampa dan tercerai berai, betapapun sukar dihimpun kembali, dia menggertak gigi, teriaknya gusar.

"Beritahukan padaku, di mana kawan2ku? Di mana Ciciku?"

Dingin suara itu menjawab.

"Kautahu bahwa neraka ada sembilan tingkat bukan, kau akan kumpul bersama mereka disana."

Siang Cin berteriak sekuatnya, sisa tenaganya dibuat melampiaskan rasa murkanya.

"Sobat!" ---

Gwat-bong-ing, salah satu dari sembilan jurus San-jiu kemahirannya tiba2 dilancarkan, kedua tangannya menyambar bersama bagai dua bilah golok, begitu cepat dan ganas, lapat2 masih dapat didengarnya jerit lengking yang disusul gerungan murka yang keras, tahu pikirannya menjadi kabur, pandanganpun gelap, pelan2 iapun roboh terkulai. Seperti melayang dan mengambang di angkasa, entah berapa lamanya, entah betapa penderitaannya, keadaan masih seperti di dalam kabut yang bergontai kian kemari, enteng dan hampa tanpa kuasa akan dirinya. Pelan2 Siang Cin membuka kelopak matanya, terasa berat dan sepat, tulang sekujur badan terasa sakit seperti di preteli, linu dan lemas, pelan2 dia pejamkan pula matanya, lama sekali baru dia buka mata pula.

Tempat apakah ini?

Per-tama2 benaknya dirangsang pertanyaan ini. Yang masuk dalam pandangannya pertama kai adalah sebuah lubang setengah bundar, lubang setengah bundar dari atap kamar tahanan ini tampak lembab dan berlumut, lentera minyak yang memancarkan sinarnya yang redup menyorot masuk dari lubang setengah bundar itu, di bawah sinar lentera redup ini dapatlah Siang Cin meneliti keadaan kamar persegi yang berdinding batu tebal, dia rebag di tumpukan jerami yang sudah membusuk, bukan saja lembab, baunya apek dan terasa gatal sehinga napas terasa sesak dan berat, sedikit menggerakkan badan segera dia mendapati kaki tangannya terborgol oleh rantai baja yang besar, pinggangnya dikalungi gelang baja sebesar lengan bayi, gelang dipinggang disambung rantai borgol di kaki-tangannya pula, semetara ujung kedua rantai terbenam di dinding sebelah sana, sedikit bergerak rantai borgol lantas bergunjing dengan suaranya yang berisik. Tempat apakah ini?

Bagaimana dirinya bisa berada di sini? Siang Cin pejamkan pula matanya, pelan2 otaknya menyusuri kembali pengalamannya, meski lambat akhirnya dia berhasil ingat cara bagaimana dia menolong keluar calon isteri An Lip dari markas Siang-gi pang, cara bagaimana dalam keadaan yang sudah payah itu dia kembali ke rumah mungil itu, akhirnya dia menghadapi seraut wajah jelita yang kaku sadis, tapi jelas dia dapat memastikan bahwa itu wajah Kiang Ling, malah dia masih ingat dalam keadaan lunglai, kehabisan tenaga dia sempat melontarkan pukulan Gwat bong-ing (bayangan bulan remang2).

Ia menggigit bibir dan termenung, lambat laun dia mulai menyadari sebab apa dirinya bisa berada di tempat ini, i,a menduga mungkin dulu dia pernah bermusuhan dengan Kiang Ling dan orang tua yang pura2 sakit itu, atau melukai dan membunuh sanak famili mereka, sehingga dengan daya upaya keji ini mereka berusaha menuntut balas atas dirinya, dan kini dia menjadi tawanan mereka. Terasa, susah juga untuk menggeser letak tubuhnya, Siang Cin membasahi bibirnya dengan lidahnya, rasa haus merangsang tenggorokannya yang kering, bibirpun sudah pecah, kerongkongan terasa pahit, rasa tegang dalam benaknya sudah lenyap, tapi kaki tangannya masih terasa lemas tak bertenaga, seperti baru saja sembuh dari sakit berat yang menguras habis segala kekuatannya. Tiba2 dia mendengar denging suara benda berat beradu, kejap lain sebagian dari kamar tahanan ini mulai terbuka, kiranya di sebelah sana ada sebuah daun pintu, pintu batu itu merupakan sebagian dari dinding batu kamar yang kokoh ini, tebalnya lebih dari dua kaki. Tampak empat laki2 tengah mendorong pintu supaya terbuka.

Di luar pintu terdengar suara percakapan beberapa orang, setelah pintu terbuka lebar tiga bayangan orang tampak melangkah masuk, dengan memicingkan mata Siang Cin mengawasi mereka, dua di antaranya ternyata adalah Kiang Kiau-hong dan puterinya Kiang Ling, mereka mengiringi seorang laki2 terpelajar bermuka putih berusia antara setengah abad, bermuka lebar dan kuping besar, orang ini mengenakan jubah putih mulus, perawakannya gendut. Pelan2 ketiga orang ini menghampiri Siang Cin, si orang tua yaitu Kiang Kiau-hong mendepaknya sekali, katanya dingin.

"Siang Cin, sudah saatnya kau bangun."

Siang Cin membasahi bibirnya, katanya serak.

"Aku sih sudah bangun sejak tadi, Lotiang, apakah penyakit bengekmu sudah sembuh seluruhnya."

Kiang Kiau hong mendengus, jengeknya.

"Kau kira olok2mu ini amat menarik ya?" Siang Cin tertawa, katanya.

"Tiada pikiranku menjurus ke situ. Cuma Lotiang, bilakah aku berbuat salah padamu?"

Baru habis dia bicara tahu2 dia merasa pandangannya kabur, serentak mukanya kena gampar pulang pergi empat kali, pipinya terasa panas pedas, Kiang Ling berdiri di depannya dengan bertolak pinggang, desisnya menahan isak dan dendam.

"Siang Cin, masih kau ingat akan Kiu tan-nay yang pernah perang tanding denganmu lima tahun yang lalu?"

Siang Cin meng-ingat2, katanya kemudian.

"Ya, masih ingat."

Air mata tak tertahankan lagi, Kiang Ling berkata dengan terisak..

"Masih ingatkah kau pada orang kedua yang mati berduel dengan kau."

Tenang suara dan sikap Siang Cin.

"Sudah tentu, orang kedua itu adalah salah satu Kiu hian dari Kiau hian-pay yang bergelar Hian-su-cu Kiang Ciau . , . ."

Mendadak dia berteriak kaget.

"Ha, dia saudara tuamu?"

Semakin keras isak tangis Kiang Ling, serunya gusar.

"Betul, masihkah kauingat setelah membunuh habis Kiu-hian (sembilan orang bijak) itu, kemudian muncul pula seorang pemuda berperawakan sedang yang melabrakmu mati2an?"

Siang Cin menghela napas, ucapnya.

"Ya, pemuda itu cakap dan gapah, sopan santun. aku tidak tega membunuhnya, tapi dia mendesakku begitu rupa, akhirnya terpaksa ...."

"Terpaksa, maka kau gunakan Pat-kian-jan yang keji itu mencacahnya hancur, betul tidak?"

Damperat Kiang Ling.

"sungguh kasihan, matipun Ji-koko tak dapat mempertahankan jazat yang utuh ...."

Siang Cin menatap Kiang Ling, katanya pelahan.

"Pemuda itu bernawa Thio Wi, apakah dia itu pacarmu?" . Semakin pilu tangis Kiang Ling, katanya sesenggukan.

"Ya, tapi kau telah membunuhnya."

Setelah merandek sejenak, kemudian Siang Cin berkata pula.

""Tahukah kau bahwa dia dulu menggunakan U-tok-sa (pasir hitam beracun) dan Wi-hue-siang (dupa penyedot sukma) serta senjata rahasiar kaum rendah untuk menyerangku secara licik? Tahukah kau sudah tiga kali aku memberi peluang padanya supaya dia insaf akan perbuatannya yang kotor?"

"Iblis laknat.

"damperat Kiang Ling.

"aku tidak peduli, aku hanya tahu kau membunuh engkohku, kau pula yang menjagal suamiku, kau menghancurkan keluargaku, menghancurkan kebahagiaan masa depanku ......Kau algojo keparat ini belum setimpal menebus dosamu dengan sekali mati ....... Siang Cin menyengir, katanya.

"Kau sendiri tidak bicara tentang kebenaran, tidak bisa membedakan salah dan benar, untuk apa pula soal ini dibicarakan?" . Tiba2 melotot bola mata Kiang Ling, sikapnya menakutkan, ia mendesis sambil membungkuk.

"Iblis laknat, akan kugunakan cara2 yang paling keji didunia ini untuk menyiksamu sampai mampus, akan kubikin kau tahu rasa segala siksa paling kejam sehingga kau mampus pelan2, akan kusaksikan kau melolong kesakitan, akan kudengarkan rintihanmu, ahhirnya akan kukorek dulu hatimu untuk sesaji pada arwah engkoh dan suamiku, akan kucacah tubuhmu untuk makan serigala."

Sedikit mengernyit alis, Siang Cin berkata malas2.

"Mungkin kau akan kecewa nona, orang she Siang tidak mudah meraung dan juga tidak akan pernah merintih kesakitan, malah kalau mungkin, tamparanmu tadi akan kubalas dengan lipat dua."

Gemetar saking murka Kiang Ling, makinya sambil menuding Siang Cin.

"Kau ..... kau...."

Pelajar muka putih setengah baya tadi melangkah maju, tanpa bicara kedua tangan langsung bekerja.

"plak-plok", entah berapa kali, yang terang selebar muka Siang Cin menjadi melepuh berdarah, mata ber-kunang2 dan kupingpun mendenging. Maki orang itu.

"Bangsat, kematian di depan mata masih keras mulut, jangan kau berlagak pahlawan di tempat ini."

Siang Cin menggoyangi kepalanya yang puyeng, sikapnya tetap tak acuh, katanya. "Siapa nama besar tuan ini?"

Dengan menyeringai pelajar muka putib berkata kereng.

"Orang pertama dari Cengsiong- san-ceng Sek Kui."

Sekilas pikir Siang Cin berkata dengan tenang.

"O, kek-bin-siau (kokok beluk muka putih) Sek Kui?"

"Ya, bagaimana?"

Tanya pelajar muka putih sambil menepuk dada. Siang Cin jilat bibirnya yang berdarah, suaranya tawar dingin.

"Tidak apa2, aku cuma berpikir, paling2 kau hanya berani bertingkah segarang ini pada waktu aku berada dalam keadaan payah begini."

Melotot mata pelajar muka putih alias Sek Kui, teriaknya penuh kebencian.

"Orang she Siang, jangan kau memancing, orang she Sek tidak akan melepasmu."

Sambil mengawasi Sek Kui kemudian Siang Cin berkata.

"Aku tahu kau tidak akan melepasku, kalau dalam keadaan biasa, Sek Kui, kukira kau tidak akan berani mengusikku."

Berkerut muka Sek Kui, desisnya dingin.

"Sungguh kurang beruntung. Siang Cin waktu itu Sek-toayamu tidak berjumpa dengan kau. waktu kulihat kau, keadaanmu sudah tak ubahnya musang ,yang tertangkap basah setelah dihajar babak belur, betapapun kau garang, gagah dan tenar, tapi kenyataan kau kuhajar sampai pipi bengap dan bibir pecah...

"

Siang Cin tertawa tak acuh, mungkin luka2nya terasa sakit pula, sekilas dia mengerut alis, katanya.

"Tidak apa2, meski cara yang kau gunakan tidak pantas. Kalau kau hadapi aku secara terang2an, perang tanding satu lawan satu, meski keadaanku sudah loyo begini, tetap bisa kusembelih kau tiga kali"

Mendadak Pek-bin siau Sek Kui ter-gelak2, beruntun dia kerjakan pula telapak tangannya pulangpergi sehingga kepala Siang Cin kena ditamparnya meleng ke kiri dan geleng ke kanan, darahpun bercucuran dari mulutnya.

Entah berapa lama dan berapa kali Sek Kui kerjakan kedua tangannya sampai akhirnya terasa pedas dan pegal sendiri baru dia berhenti, tanyanya sambil memicingkan mata.

"Sekarang masih keras mulutmu?"

Bibir Siang Cin pecah, kedua pipinya sudah biru, sesaat baru dia kuasa menggerakkan bibirnya, katanya dengan rada payah.

"Ini kan baru mulai, yang lebih keji jelas masih ada di belakang, bila aku tidak mampu bicara lagi baru aku tidak akan ber-olok2."

"Kiranya kau tidak goblok,"

Jengek Pek- bin-siau Sek Kui.

"Orang she Siang, siksaan yang lebih keji memang ada pada saat paling akhir."

Kini giliran si orang tua Kiang Kiau hong tampil ke depan, katanya dengan suara rendah.

"Sek-lote, baiklah sekarang kita mulai saja?"

Sek Kui manggut2, katanya.

"Kongsun-heng, agaknya kau ingin selekasnya membakar mampus keparat ini?"

Kiang Kiau hong tertawa, apa boleh buat, Siang Cin menoleh dan berkata dengan suara agak tersendat.

"Lotiang, jadi ... .. .. jadi kau tidak she Kiang?"

Pelan2 orang tua yang menamakan dirinya Kiang Kiau-bong menoleh, katanya sepatah demi sepatah.

"Aku bukan she Kiang, aku bernama Kongsun Kiau-Kong, Kiang Ling adalah keponakanku, Suteku Im yang-su cia Ciu Ciong le juga meninggal di tanganmu tiga tahun yang lampau."

Siang Cin melongo, katanya kemudian.

"Ciu Ciong-le itu Sutemu? Kali itu lantaran memperebutkan Jian-cu-jwe-hoan (gelang jamrud beribu mutiara) sekaligus dia membunuh tujuh belas orang, aku kurang senang melihat tingkah-lakunya, maka kubujuk dan kunasihati dia, ternyata akupun hendak di bunuhnya pula, maka terpaksa aku membela diri...."

Orang tua yang bernama Kongsun Kiau-bong menatap Siang Cin lekat2, katanya dengan kaku.

"Aku tidak akan menampar mulutmu Siang Cin, akan kulakukan semacam percobaan atas dirimu." - Lalu dia mengangguk ke arah Sek Kui. Sek Kui menyeringai kejam, teriaknya sembari berpaling.

"Bawa masuk!"

Maka muncul dua laki2 yang mengenakan jubah ketat dengan sikapnya .yang munduk2, kedua orang memegangi sebuah kotak kayu persegi warna merah. Sek Kui mengedip mata, katanya.

"Nah, layanilah Siang tonya ini, supaya dia lebih nyaman dan merasa segar badannya."

Kedua laki2 ini membungkuk sembari mengiakan, dengan muka kaku tanpa mengunjuk perasaan mereka menghampiri Siang Cin, salah seorang membuka kotak kayu serta mengeluarkan sebilah pisau kecil berbentuk tanduk kerbau, pelan2 dicabutnya seutas rambut untuk mencoba ketajaman pisau itu, sekali tiup rambut yang menjuntai di mata pisau seketika putus menjadi dua.

Dia menyeringai puas, ujung pisau kecil itu dia celupkan ke sebuah botol kecil yang berada di dalam kotak kayu, botol kecil itu berisi cairan warna hitam, sesaat dia keluarkan pisau kecil itu, lalu ia menarik baju Siang Cin, maka dada Siang Cin yang bidang terpampang di depan mata.

Melotot mata orang itu, hidungpun seperti mekar, pelan2 dia gunakan ujung pisaunya menggores kulit daging di dada Siang Cin, Begitu tajam pisau itu, hanya sedikit gores saja, darah segera meleleh keluar dari luka goresan sepanjang beberapa senti itu.

Siang Cin setengah pejam mata, sikapnya masih tenang dan rebah adem ayem, seolah2 pisau tajam itu menggores di badan orang lain, begitu tenteram dan tenang, sampaipun kelopak matanya tidak bergerak.

Tanpa berhenti dan tidak kenal kasihan, laki2 itu terus mengerjakan pisaunya, mengiris2 dada Siang Cin dengan ujung pisaunya hingga puluhan jalur luka yang berdarah bersimpang siur, habis itu baru dia taruh pisaunya.

Siang Cin lantas merasakan luka2 goresan itu mulai perih dan gatal, rasa perih dan gatal ini semakin keras dan hebat, bagai ribuan semut yang menggerogoti kulit dagingnya, sungguh tidak kepalang siksa derita yang dirasakannya.

Diam2 ia mengertak gigi, kedua matanya tetap setengah terpejam, mukanya tidak menampilkan perasaan apapun, lama sekali baru laki2 pemegang pisau itu tahu bahwa Siang Cin tidak memperlihatkan reaksi apapun, ia menjadi bingung dan tak habis mengerti, ia mengawasi cairan obat dalam botol di kotak kayunya.

"Tak usah kau periksa lagi,"

Ujar Sek Kui dengan tertawa.

"obat itu tidak akan punah kasiatnya, cuma ketahanan tuan besar she Siang kita memang jauh lebih kuat daripada orang lain, marilah sekarang giliraumu Siau-ngo-cu, kini boleh kau tambah sedikit bumbu."

Laki2 satunya yang dipanggil Siau-ngo-cu mengiakan, dia bekerja tidak kepalang tanggung, botol berisi cairan obat kental hitam itu terus dituang seluruhnya ke dada Siang Cin yang penuh goresan luka itu.

Kontan Siang Cin merasakan kulit dadanya seperti dibakar, gatal perih bertambah puluh kali lipat, rasa sakitnya , sungguh meresap ke tulang sungsum, betapa besar siksa dertta ini sukar dilukiskan dengan kata2.

Lima pasang mata sama melotot menatap Siang Cin, tapi Siang Cin tetap setengah memejamkan mata, giginya hampir hancur tergigit, tapi mukanya tetap wajar, tenang dan tawar tidak menampilkan perubahan apa2.

Setelah tunggu sesaat lagi, Sek Kui mengucek hidung, lalu katanya.

"Siang Cin, bila Sek-toaya tidak mampu menyiksamu sampai melolong kesakitan dan meraung minta ampun, aku tidak terhitung orang terpercaya dari Ceng-siong-san-ceng ini."

Siang Cin mengulum senyum, senyuman dingin mengandung ejekan.

Kongsun Kiau- Kong naik pitam, sembari menggeram gusar dia ayun kakinya menendang pipi kanan Siang Cin, ujung sepatunya seketika basah dan berwarna darah, ternyata kulit pipi Siang Cin terkupas dan berdarah.

Siau-ngo cu yang berjongkok di samping juga bergerak dengan tangkas, dari dalam kotak kayunya dia mencomot segenggam garam terus diusapkan pada luka di pipi Siang Cin, malahan dia tambahi pula dengan sekali tamparan.

Siang Cin tetap celentang dengan tenang, kelopak matanyapun tak bergerak, sikapnya begitu tenteramnya sehingga orang lain menjadi sangsi apakah badan Siang Cin sudah pati rasa? Bertaut alis Sek Kui, segera dia memberi tanda ke arah laki2 jubah ketat yang berdiri di samping sana, laki2 itu segera maju berjongkok, kotak kayu dibuka dan mengeluarkan sebatang kayu dengan gagang warna kuning emas sepanjang dua dim, garis tengah pentung kayu pendek ini kira2 sebesar mata uang tembaga, pada ujungnya terdapat sebuah benda berlubang berwarna kelabu, rupanya semacam alat pengisap, dia tekan benda di ujung pentung pendek itu ke dada Siang Cin terus dicabutnya dengan mendadak, maka kulit daging di dada Siang Cin seketika terkelupas terbawa oleh pentung yang ditarik mendadak itu.

Agaknya laki2 ini sudah biasa akan permainannya ini, tanpa berhenti secara beruntun dia tekan terus cabut lagi puluhan kali, maka kedua lengan, dada sampai ke perut Siang Cin penuh luka2 bundar yang mengeluarkan darah, kulit dagingnya yang berwarna merah segar itu tercampur darah, kelihatannya amat seram dan mengerikan.

Siau ngo-cu yang berjongkok di samping itu menyeringai senang, iapun bantu mencomot garam, dari luka yang satu ke luka yang lain dia taburi garam dan mengulapnya pula.

Siang Cin tetap celentang tidak bergerak sedikitpun, mukanya yang penuh berlepotan darah itu tidak menampilkan perasaan sedikitpun, sampai kulit dagingnya tidak kelihatan mengejang atau gemetar, andaikata dia tidak kelihatan masih bernapas, orang lain tentu menyangka jiwanya telah melayang.

"Crot", Sek Kui meludah penuh geram ke muka Siang Cin, katanya uring2an.

"Keparat ini ternyata memang tahan uji, tapi Sek-toaya masih ingin tahu berapa lama kau kuat bertahan."

Sembari bicara dia ulurkan sebelah tangan, lalu pembawa pentung pendek segera sodorkan puluhan batang jarum baja, pelan2 Sek Kui berjongkok, dia pegang telapak tangan Siang Cin, sekian lama dia amat2i tangan orang sambil mulut ber-kecek2 memuji, katanya.

"Telapak tanganmu begini putih dan terpelihara sebagus ini, em, tak ubahnya jari jemari anak gadis yang tak suka kerja di dapur, tapi entah berapa banyak pula tangan ini telah mencabut nyawa orang, darah siapa saja yang tidak pernah berlepotan di tangan ini? Ai, sayang sekali, sekarang biar Sek-toaya menyempurnakan tangan elok ini."

Dijemputnya sebatang jarum dan dicelup dulu kecairan hitam terus ditusukkan ke sela2 kuku jari Siang Cin, dia menusuk dengan mengerahkan tenaga hingga semakin dalam jarum ambles ke-sela2 kuku orang, sementara kedua matanya menatap Siang Cin, menantikan reaksinya.

Tapi Sek Kui kecelik, Siang Cin tetap tidak mengunjuk reaksi apa2, tetap seperti orang mati yang rebah tak bergeming, tapi Sek Kui tahu, tak mungkin orang tidak punya perasaan, karena mata Siang Cin setengah terpejam, malah kulit mukanya kini juga sudah berubah pucat, warna pucat ini akan kelihatan hanya bila seseorang mengalami siksa derita yang luar biasa.

Sek Kui mengumpat kalang kabut, kini dia kerjakan jarum2 baja itu lebih cepat, sepuluh jari Siang Cin ditusuk seluruhnya, tusukkannya bukan saja keras tapi juga dalam, ingin rasanya sekali tusuk mencapai ulu hati Sang Cin.

Kongsun Kiau hong yang menyaksikan di samping sampai merinding seram, padahal dia kawakan Kangouw, pengalaman apa yang tidak pernah dia rasakan, demikian pula Kiang Ling mulutnya yang kecil ternganga, sungguh sukar dipercaya bahwa manusia di depan matanya ini memiliki ketahanan yang luar biasa dari siksa derita yang tak mungkin ditahan oleh siapapun, tapi kenyataan orang ini bukan saja tahan, malah air mukanya masih kelihatan tenang wajar, jangankan meronta dan meraung kesakitan, mengerut keningpun tidak.

Akhirnya Sek Kui kewalahan sendiri dan berdiri dengan malas, katanya penasaran.

"Kongsun heng, besok hal ini akan kulaporkan kepada Cengcu, akan kumulai dengan mencacah kaki tangannya."

Kongsun Kiau hong terkekeh, katanya;

"Bahwa rencana ini terlaksana dengan baik juga berkat bantuan dari Ceng-siong san ceng kalian, apalagi sikap putera Cengcu kalian begitu baik terhadap anak Ling, kapan akan sembelih orang she Siang ini, terserah pada putusan Cengcu dan kehendakmu Lote."

Sek- Kui manggut2, katanya tertawa.

"Baiklah hari ini kita akhiri sampai di sini, apapun yang akan terjadi besok, keparat ini tidak akan kubikin mampus dengan enak, kita akan pelan2 mengerjai dia."

Lalu dia mempersilakan Kongsun Kiau-hong dan Kiang Ling. katanya menoleh.

"Siaungo- cu, lepaskan seluruh semut merah dalam kotak kecilmu itu, biarlah mereka juga mencicip betapa nikmat dan segar darah si Naga Kuning yang kosen dalam Bu lim ini. Em, memang inilah kesempatan yang sukar diperoleh."

Siau-ngo-cu mengiakan, dari dalam kotak kayunya dia keluarkan pula sebuah kotak persegi kecil dari batu jade, kotak kecil ini terdapat lubang2 kecil yang tak terhitung banyaknya, pelan2 dia buka tutup kotak kecil ini, maka semut2 merah yang kelaparan ini segera merambat keluar, bentuknya yang menjijikkan sungguh memualkan.

Sekilas menatap semut2 merah itu, tanpa terasa Kiang Ling bergidik seram, Kongsun Kiau-hong ter-bahak2, segera ia tarik Kiang Ling keluar.

Siau-ngo-cu tuang semut dalam kotak itu ke tubuh Siang Cin, begitu mencium bau darah, semut2 kecil yang jelek dan ganas ini segera berebut merambat kian kemari, akhirnya semua berkumpul di lubang2 luka yang masih berdarah segar, sekuatnya mereka mengisap darah, saling tindih dan berkelompok di sana sini, sayup2 terdengar suara rakus mereka yang tengah menggeragot kulit daging Siang Cin dengan lahapnya.

Sesaat lamanya Sek Kui menatap muka Siang Cin pula, akhirnya dia menyindir.

"Orang she Siang, hari ini anggaplah kau memang hebat, kita akan bekerja pelan2, coba saja siapa akan lebih tahan uji, apakah Sek- toaya tidak mampu bekerja atau kau yang lebih tahan siksa." - Habis berkata dia kebas lengan baju terus melangkah keluar diikuti ke dua laki2 berjubah ketat itu. Maka daun pintu batu yang tebal dan berat itupun tertutup pula. Kamar batu tahanan ini kembali dicekam kesunyian, cahaya lentera redup laksana kunang2, hawa yang sumpek terasa tebal dengan bau anyirnya darah mengandung rasa dendam kesumat yang tak terperikan, akan tetapi segalanya tetap tenteram, begitu sunyi tak ubahnya sebuah kuburan. Pelan2 dan lambat sekali Siang Cin

mulai membuka kelopak matanya, pelan2 dan hati2 sekali dia menarik napas lalu menghembuskannya pula pelan2, dalam tarikan napas dan embusan napas yang lambat ini, sejenak kemudian dari setiap pori2 di sekujur badannya mengeluarkan uap, uap ini semakin tebal, seperti uap dari air mendidih, maka semut merah yang berpesta pora mengisap darahnya itu mulai lari tercerai berai, biasanya semut2 merah ini kejam dan ganas, tapi kini mereka meninggalkan hidangan lezat dan berusaha lari, tapi sudah tak sempat lagi, seperti terkurung di dalam kuali yang semakin panas, satu persatu akhirnya sama bergelimpangan dan seluruhnya mati kaku.

Pelan sekali, dengan susah payah sedikit demi sedikit Siang Cin mulai bergerak, tangan menekuk sedikit, mulailah sekujur badannya bergetar, mengejang dan meliuk2. Pada hal dia hanya sedikit menggerakkan lengan, tapi tak ubahnya seorang kakek tua renta yang tengah merayap di pegunungan belukar dan batu2 padas runcing. Tapi usahanya akhirnya berhasil, tangannya yang diborgol itu kini berada di depan mukanya.

Gigi gemeratak dan bibir terkancing kencang sekian lamanya, dengan gemetar dia membuka mulutnya, darah segar meleleh keluar, gusi, lidah dan kerongkongan seluruhnya berdarah karena tergigit olehnya sendiri, tadi dia sudah kerahkan setakar tenaga dan semangat yang pantang menyerah sehingga tubuhnya se-akan2 bukan miliknya lagi, dalam keadaan tersiksa itu dia coba membayangkan dirinya tengah rebah di bawah pohon yang rimbun sambil meniup seruling atau bercakap mesra bersama Kun-cici di bawah lampu nan benderang, maka dia kuat bertahan, di luar kesadarannya dia telah membuktikan suatu kekuatan batin yang luar biasa untuk menandingi siksa derita fisik yang luar biasa itu. Mulutnya megap2, jarum2 yang menancap di sela2 kuku jarinya satu persatu digigitnya dan dicabut, setiap batang dicabut, sekujur badannya segera menungging dan mengejang menahan rasa sakit yang tak terhingga.

Setelah dia berhasil mencabut sepuluh batang jarum baja itu, deru napasnya hampir putus di tengah keluh kesakitan. Kedua telapak tangannya berlepotan cairan hitam ungu, jarinya tampak gemetar keras, siksa derita ini sungguh menusuk tulang sungsum, ruas tulang terasa lepas seluruhnya.

Luka2 yang ditabur garam itu terasa panas perih seperti dibakar sehingga akhirnya kulit dagingnya terasa beku dan mati rasa, pelan2 Siang Cin menarik napas dulu, pelan2 dengan uap putih yang dia desak keluar melalui pori2 kulitnya mulai membersihkan luka2 di badannya, memang hanya usaha inilah satu2nya upaya yang dapat dilakukan. Esok, ya esoknya, Sek Kui sudah bilang kaki dan tangannya akan dicacah, maka bila dia harus berusaha lolos, waktunya hanya nanti malam saja, tapi apakah dia mampu lolos? Berjalan saja mungkin tidak mampu. apalagi sekarang, jangankan berdiri, tenaga untuk memegang sumpitpun tidak punya. Entah bagaimana keadaan Kun cici, keselamatan jiwa Pau Seh-hoa dan An Lip juga menguatirkan, lalu di mana pula perempuan calon isteri An Lip yang sudah ditolongnya itu?

Di mana sekarang mereka berada? Mereka pernah berbuat salah terhadap para musuhnya ini. Tak syak lagi mereka pasti juga merasakan derita seperti dirinya pula. Padahal luka Kun-cici dan An Lip sama belum sembuh. Terangsang oleh berbagai persoalan itu pikirannya menjadi kacau, bahwa dia kuat bertahan siksaan atas badannya, tapi dia tak kuat menahan siksaan batin, mata Siang Cin melotot, bila musuh juga menyiksa Kun-cici, menyiksa Pau Seh-hoa, An Lip dan calon isterinya, bagaimana dirinya harus bertindak?

Memangnya apa pula yang dapat dilakukannya dalam keadaan seperti sekarang ini? Siang Cin menggeleng dengan pedih, kembali dia coba menghimpun hawa murni dipusarnya, ia tahu asalkan masih kuasa menghimpun hawa murni, harapan untuk keluar dari kamar tahanan ini menjadi besar. Tapi usahanya ternyata gagal, hawa murni yang biasanya dapat dikuasai dengan baik itu kini ternyata buyar dan tak bisa kumpulkan, mirip orang yang lagi sakit keras ingin mengangkat benda berat, hasrat ada, apa daya tenaga tidak sampai.

Dalam keadaan putus asa matanya menjelajah keadaan kamar batu ini, akhirnya tatapannya berhenti pada lentera yang tergantung dari lubang di atas kamar itu, sinar lampu kuning buram, api yang kelap-kelip itu semakin guram, mendadak api meletik sekali, maka cahayapun menjadi sedikit terang. Aneh, kenapa begitu? Rupanya sudah terbakar habis dan menyentuh permukaan minyak sehingga menyambung nyala apinya. Bilamana sumbu lentera itu bisa berpikir, tentu ia mengira dirinya tadi akan padam, tentu dia juga menyangka dirinya tak berdaya hidup lagi, kenyataan kini dia tetap menyala tetap bercahaya, meski hanya berkelap-kelip, tapi dia terus bertahan ..... 

Benak Siang Cin mendadak memperoleh penerangan, pancaran sinar terang ini mendatangkan ilham dalam benaknya, tiba2 dia teringat dahulu dia pernah meyakinkan semacam ilmu semadi, dengan cara menyalurkan hawa murni untuk menyambung hidup kan juga demikian pula teorinya? Kenapa hal ini hampir terlupakan? Kenapa hampir melupakan ilmu It-sian-to-bang ini? 

Sedapatnya ia tahan rasa senang hatinya, Siang Cin pejamkan mata, sesaat kemudian mulailah dia menekuk kaki tangannya, pelan2 menarik napas serta mengaturnya dengan baik dan lancar, setiap tarikan napasnya dia hirup ke dalam perut, lalu pelan2 pula dia embuskan dengan teratur, setiap tarikan napasnya berhasil disalurkan ke seluruh badan dan akhirnya kembali ke pusar, dari pusar melalui sendi tulang dan urat syaraf sekujur badan terus merembes keluar melalui pori2 tubuhnya, maka kulit daging sekujur badan menjadi kendur, Hiat-to dan urat nadipun mulai bekerja normal, lambat laun dia mencapai ketenangan, semadinya mencapai puncak tertinggi . - Kecuali memperlambat deru pernapasannya, tidak kelihatan Siang Cin melakukan gerakan apapun, dua jam kemudian, rona mukanya yang sudah pucat kelabu mulai bersemu merah dan lambat laun berubah seperti sedia kala. Dengan hati2 dia coba menuntun hawa murni tapi buyar pula, berulang Siang Cin menghela napes gegetun, tapi dia tidak kenal lelah, tak tahu apa arti putus asa, kembali dia ulangi ber-kali2 dengan cara yang hati2, ketika ia mencoba ketujuh belas kalinya, hawa murni itu pelan2 mulai mengikuti tuntunannya melewati lambung, dada dan akhirnya menembus seluruh urat nadi.

Kedua matanya mendadak terpentang, tenaga murninya mendadak mengalir kencang ke seluruh urat nadi, begitu dahsyat aliran kekuatan tenaga murninya ini seumpama air bah yang membanjir ke sekujur badannya, lambat laun aliran tenaga murni ini semakin kukuh dan terhimpun di pusar. Senyuman kemenangan dari jerih payahnya terbayang pada wajah Siang Cin, padahal sekujur badan berlepotan darah, tapi dia tidak peduli, tenaga murni yang kian gencar itu terus disalurkan dengan tertuntun secara baik sehingga keringat bertetesan membasahi seluruh badan, dikala uap mengepul bagai kabut, pelan2 baru dia mulai menghentikan saluran tenaganya. Kini keadaannya sudah jauh, berbeda dengan dua jam sebelum ini, meski luka2 di kulit badannya tak mungkin sembuh dalam waktu singkat, tapi tenaga dalamnya boleh dikatakan sudah timbul dari sumbernya yang terpendam selama ini, begitu kuat dan hebat melebihi biasanya, terasa sekujur badan penuh diliputi tenaga, pelan2 dia coba bergerak dan mulai berduduk, ternyata leluasa, sedikit dia kerahkan tenaga dan meronta, borgol yang terbuat dari besi baja di kakinya seketika gemerantang, dia tahu, bahwa kekuatannya sekarang sudah cukup untuk membebaskan tubuh sendiri dari semua belenggu ini. Sejenak dia menggerakkan anggota badannya, lalu pelan2 merebahkan diri pula, dengan seksama dia amat2i setiap jengkal keadaaan kamar tahanan dibawah tanah ini, mendadak didengarnya suara dering benturan logam keras, daun pintu yang berat dan tebal itu pelan2 didorong terbuka dari luar, seorang,laki2 berjubah panjang melongok mengawasi dirinya dari kejauhan, Siang Cin sengaja pura2 merintih, seperti mengingau mulutnya merintih.

"Air ....air ...."

Laki2 itu tertawa.

"Crot", dia berludah, damperatnya.

"Jiwamu sudah hampir amblas, masih ingin minum air segala. Maknya, sudah kukatakan jiwanya tak gampang melayang, Siau-ngo-cu keparat itu kuatir dia mati kaku. Nah, coba kau periksa, bukankah dia masih ber-kaok2?"

Kembali orang itu meludah ke arah Siang Cin lalu mengkeretkan kepalanya, daun pintu pelan2 tertutup pula, sayup2 terdengar orang itu menggerutu.

"Kalau keparat itu mampus kan lebih baik, kita berdua tidak perlu lagi jaga di sini, bau di sini apek dan busuk lagi ...."

Waktu Siang Cin membuka matanya pula, dilihatnya tempat ini memang terlampau lembab dan berbau apek busuk, karena kamar tahanan di bawah tanah, maka tiada jendela segala.

Sasaat lamanya dia mengendurkan sekujur badannya, lalu bangkit berduduk, setelah menyedot napas, kedua pergelangan tangan mulai memelintir ke arah yang berlawanan, pelan2 borgol dipergelangan tangannya mulai mengeluarkan suara retak, makin membesar dan akhirnya berbunyi "pletak", putus menjadi dua.

Siang Cin bersenyum kemenangan, dengan cara yang sama dia putuskan pula borgol dikakinya dan gelang yang membelenggu pinggang, dia merasakan badan sedikit lelah dan tangan rada gemetar, setelah istirahat pula sekian lamanya baru dia berdiri, pelan2 dia berjalan putar kayun dalam kamar tahanan untuk mengendurkan dan memulihkan otot yang masih pegal linu itu.

Delapan Toa-liong-kak yang dibawanya telah dirampas orang kini kecuali pakaian kuning yang melekat dibadan boleh dikatakan tidak memiliki apa2 lagi.

Kembali dia periksa sekelilingnya, lalu menjemput rantai serta memutusnya seutas, setelah diukur dengan jangkauan tangan, panjangnya kira2 ada lima kaki lebih.

Ya, dengan rantai inipun cukup untuk bekal perjalanan dalam usahanya meloloskan diri.

Tak lama kemudian, mendadak dia menjerit sertu meronta se kuat2nya, di tengah jeritan diseling raungan dan pekikan minta tolong, suara yang penuh derita itu, membuat merinding siapapun yang mendengar, diam2 Siang Cin merasa heran, kenapa dia bisa pura2 sedemikian mirip, mungkin lantaran siksaan yang tertahan tadi baru sekarang sempat dia lampiaskan.

Sesuai dugaannya, tak lama kemudian daun pintu yang berat itu pelan2 didorong terbuka pula, suara orang tadi terdengar mengumpat maki.

"Anak sundel piaran anjing, memangnya bacotmu hanya pintar menggonggong melulu seperti setan menangis dan serigala kelaparan ...."

Sambil memaki laki2 itupun melongok ke dalam pula, mulutnya masih tak berhenti memaki.

"Sudah, jangan kaok2 sekarat, cepat atau lambat, kau juga pasti mampus, buat apa sekarang kau gembar gembor ... He ...?"

Makiannya tiba2 berhenti dan berganti suara kejut heran se-olah2 tidak percaya akan penglihatannya sendiri..Sesaat dia berdiri melongo di ambang pintu, tapi belum lagi ia sempat berpikir apa yang telah terjadi, rantai panjang bagai seekor ular sakti tahu2 melingkar datang menggubat lehernya, seluruh badannya lantas tertarik terbang ke dalam.

Kedua tangan laki2 itu me-ronta2, dengan keras tubuhnya terbanting di lantai, belum lagi dia menyadari apa yang terjadi atas dia, sebuah suara dingin seram yang mendirikan bulu kuduk tahu2 berkumandang dipinggir telinganya.

"Sahabat baik, pada penitisan yang akan datang kau harus selalu ingat, tidak boleh sembarangan memaki orang."

Melotot sebesar jengkol mata orang itu, lidahnya melelet panjang, baru saja dia mau meronta pula, tahu2 kaki orang telah menginjak batok kepalanya.

"Prak"

Kontan batok kepala ini terinjak pecah. Siang Cin angkat kakinya serta membersihkan noda darah di badan mayat korbannya, suara seorang berkumandang pula di luar pintu.

"Gu-losam, memangnya kerja apa kau di dalam? Apa kau mampus di dalam dan tak suka keluar lagi? Sepoci arak ini biar kuhabiskan saja bersama Li-jitko ..." - - - - -- - - - - - -- - - - - -- - - - - -- - - - - -- - - - Cara bagaimana Siang Cin akan mengerjai penjaga2 itu dan meloloskan diri? Kemana perginya Pau Seh-hoa, Kun cici dan An Lip? -
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar