Bara Naga Jilid 02

Jilid 02

perhatian Siang Cin ditujukan untuk memadamkan api, dalam keadaan kepepet tanpa siaga, tak ada peluang baginya untuk berkelit, apabila berkelit berarti membuang waktu, se-olah2 tangan kirinya memang sejak tadi sudah mencengkeram ujung ganco perak lawan, tahu2 dia seret laki2 yang menyergap ini, mulutnyapun menyeringai seram.

"To ciok-cu, serahkan saja jiwamu."

Pembokong dengan ganco perak ini memang salah satu dari lima laki2 kurus tinggi yang berjuluk Ngo heng-ciok-cu tadi, dia orang nomor empat dari kelima Ngo-heng yang bergelar To-ciok-cu Phoa Lik, saking kaget dan ketakutan, baru saja dia hendak melempar senjatanya, tahu2 jiwanya sudah melayang, batok kepalanya dikepruk hancur oleh Siang Cin.

Baru saja Siang Cin hendak menerobos masuk, hawa pedang berwarna-warni itu menyambar pula ke seluruh badannya, situasi yang dia hadapi kini cukup jelas, jika dia balik menghadapi Hoan-cit kiam hoat Keh Ki-sin, itu berarti dia akan tertahan dan membuang waktu, bila dia langsung menerjang ke dalam rumah yang sudah terjilat api, akibatnya cicinya pasti akan cidera.

Pikiran bekerja dengan cepat, Siang Cin segera mengambil keputusan, gerakannya tetap kencang dan tak berhenti, ia tetap meluncur maju, sesaat sebelum badannya terjun ke tengah kobaran api, dikala badannya, masih terapung dan menarik diri itulah, dia merasakan sakit di bawah ketiaknya, tapi beberapa jurus pukulannya juga telah di lontarkan dalam waktu sesingkat itu, dengan telak iapun merasakan telapak tangannya mengenai sesuatu yang keras, tak sempat dia perhatikan, tapi dia tahu bahwa dia sudah mendapat imbalannya.

Gubuk bambu yang dibangun serba sederhana dan mungil ini, kini sudah ditelan si jago merah, asap mengepul dan api menjilat kian kemari suara bambu yang dimakan api berkretekan menyebabkan Siang Cin kebingungan dan tak bisa membuka mata karena pedas oleh asap yang tebal.

Dua putaran Siang Cin lari kian kemari di tengah lautan api sambil berteriak sepertiorang gila.

"Cici ....bibi Ciu ....An Lip ...."

Jawabannya adalah suara bambu pecah yang terjilat api, suara wuwungan gubuknya yang mulai ambruk, sementara di luar orang ber teriak2 mencaci maki dengan sengit.

Sejak malang melintang di Kangouw Siang Cin tak kenal, gugup atau gelisah, tak pernah merasa tegang dan kuatir, reaksi di kancah pertempuran besar yang menimbulkan banjir darah, di tengah malam buta di tanah pekuburan yang sepi menyeramkan, di tengah kepungan musuh yang ber-lapis2, tak pernah ia merasa tegang, gugup dan gelisah, tapi sekarang, dalam sekejap ini, dia telah meresapi, dia paham-betapa pahit getirnya pengalaman seperti ini.

"Cici ....oh ....cici ...."

Seperti orang gila dia menerjang ke belakang, dimana adalah kamar tidur Kun Sim-ti, tiang yang telah terjilat api, kebetulan runtuh menimpa kepalanya, sekali pukul dia bikin tiang itu mencelat menjebol atap, tanpa pedulikan api yang menyambar kian kemari, tanpa hiraukan api sudah mulai menjilat badannya, seperti kehilangan ingatan dia terus menerjang masuk, dilihatnya Kun Sim-ti telah rebah di lantai, pakaiannya yang bersih itu kini sudah berlepotan darah, dinding hangus yang telah berkobar kebetulan runtuh hampir menindih badannya.

Mata sudah membara, laksana diburu setan, sekuatnya ia menubruk maju, begitu cepat sehingga sukar melukiskan gerakannya, sesaat sebelum dinding bambu yang ambruk hampir menindih badan Kun Sim-ti, dengan punggung dia tahan dinding bambu yang terbakar itu, sekilas ia melihat An Lip yang telah terjilat api tengah berguling2 di lantai, laki2 kekar ini lagi mencekik leher seorang laki2 besar berbaju putih, laki2 baju putih ini sudah mendelik matanya, lidahnyapun terjulur keluar, rambutnya sudah mulai di jilat api, sementara badiknya menembus dada An Lip di bawah tulang pundaknya.

Seluruh rumah sudah terjilat api, Siang Cin mengertak gigi, dengan tangan kanan memeluk Kun Sim ti, sedikit miringkan tubuh, tangan kirinya meraih leher baju An Lip, matanya menjelajah keadaan sekitarnya, di bawah penerangan api yang berkobar, hawa di dalam rumah sudah mencapai suhu yang paling tinggi, dilihatnya sepasang sepatu hitam terjulur keluar disebelah sana.

"Bibi Ciu...."

Ia berteriak.

Tersendat suara Siang Cin, itulah mak inang yang mengasuh dan membesarkannya sejak kecil, sekian tahun berkelana di Kangouw, dengan bekal kepandaian yang tiada taranya ini, ternyata mak inang yang membesarkannya tak mampu dilindunginya.

Sungguh pedih serta luluh hatinya.

Akhirnya dia ambil putusan, dengan kedua tangan mengempit dua orang laksana panah yang menjulang ke angkasa dia terjang atap rumah yang ber kobar2 terus meloncat keluar, tujuh tombak tingginya dia meluncur meninggalkan kobaran api yang beterbangan diembus angin.

"Hari belum terang tanah, cuaca masih gelap, badan Siang Cin yang masih berkobar itu menjadi sasaran pandangan yang jelas, maka hujan panahpun berhamburan ke arahnya dari berbagai penjuru, begitu kencang, rapat dan tak terhitung jumlahnya. Sedikit miring dan mendak, dengan cepat luar biasa badan Sang Cin anjlok turun ke bawah, kira2 masih tiga tombak dari tanah, tahu2 ia berkisar laksana baling2 sehingga tubuhnya doyong miring ke sana dan meluncur turun ke sungai.

"Byuur", api yang menjilat tubuh mereka seketika padam mengepulkan asap dan lenyap diembus angin, di-tengah jerit kaget dan keheranan orang banyak, tiba2 dengan badan basah kuyup itu Siang Cin meluncur keluar dari air terus melompat ke daratan, belum lagi hinggap di tanah, kedua kakinya dengan tepat mendepak dada dua laki2 yang tengah mengayun golok di tepi sungai. Sesosok bayangan kurus tinggi tiba2 muncul, Kim-kung-tui (bandulan emas) sebesar kepala bayi menderu tiba, dengan rambut yang sudah awut2an, Siang Cin mengegos ke samping, bandulan emas itu menyempet lewat dalam detik2 yang singkat ini, sikut kiri Siang Cin menyodok telak lambung si penyerang.

"Ngek", darah menyembur dan muncrat beterbangan, sambil merendahkan badan sebelah kaki Siang Cin terayun pula, empat laki2 yang menyerbu tiba kena disapunya jatuh lintang pukang dengan kaki "patah, semuanya menjerit kesakitan dan terguling2 di tanah. Meski kedua tangan mengempit dua orang, tapi gerak-gerik Siang Cin masih tangkas, lincah dan cekatan laksana pusaran angin, dalam sekejap mata, enam laki2 kembali terbaring tanpa nyawa, kalau bukan didepak pecah kepalanya, pasti tertendang remuk dadanya. Bayangan orang tampak berkelebat memburu datang, tapi darah korbannya mengalir semakin banyak, tubuh manusia gelimpangan tanpa nyawa, tapi mereka tidak merasa jeri, se-olah2 tak melihat dan mendengar, yang satu roboh, dua menubruk tiba, inilah lukisan nyata dari neraka, di mana jagal manusia tengah berlangsung. Tegang dan ketakutan Sin losu terbelalak kedua bola matanya, sungguh tak pernah dibayangkannya bahwa si Naga Kuning ternyata betul2 mempunyai kekuatan terpendam yang bukan olah2 hebatnya, tekad juangnya begitu gigih dan tak terpadamkan. Giok-mo-cu Keh Ki-sin tampak duduk di bawah pohon, wajahnya pucat pasi, napasnya ter-engah2 kedua tangan mendekap dada, butiran keringat dingin bercucuran, dengan suara lemah serak dia bertanya.

"Su ....Suko, apa di depan sana? Sin-losu bergidik seram, suaranya tergagap.

"Siang Cin ternyata tidak kabur......." Berkilau sorot mata Giok mo cu, serunya.

"Dia mampus?"

Sin-losu menelan liur, sahutnya hambar.

"Tidak ....dia.... dia menyerbu kembali dan banyak korban ......"

"Huuuaaah,"

Sekumur darah tertumpah dari mulut Keh Ki-sin, badan yang menggelendot itu seketika menjadi lunglai, lekas Sin losu memburu datang, sekilas bola matanya jelilatan, lalu dia membanting kaki penuh kebencian, mendadak ia berkelebat ke dalam kegelapan, dikala Sin-losu ngacir ...

yang terjadi..itulah, satu di antara Ngo heng ciok cu kembali terjungkir balik sejauh dua tombak.

Se konyong2 seorang menjerit melengking.

"Mana Sin-suya? Mana Keh-kongcu? Mereka melarikan diri."

"Ngacir? Keparat, kita ditinggalkan mengadu jiwa di sini ......"

Suara caci maki yang bernada gusar segera saling sahut.

Dalam pada itu dengan sebat Siang Cin telah hindarkan bacokan Hou thau-to, sekali sodok dengan sikutnya dia bikin laki2 penyerang itu terpental dengan muntah darah, suara ribut berkumandang di mana2, bayangan orang berlarian dan lenyap di tempat gelap, sekejap saja semuanya sudab lari mencawat ekor.

Dengan langkah sempoyongan Siang Cin berusaha menegakkan badannya, sekilas matanya menjelajah sekelilingnya, segera dia berlari pula ke depan terus melejit tinggi hinggap di pucuk pohon beringin yang tinggi lebat.

Tak lama kemudian fajarpun menyingsing, cahaya mentari yang keemasan memancar cemerlang, cuaca pagi yang cerah, hawa sejuk, tapi keadaan di sini sungguh mengerikan.

Bersandar di dahan pohon beringin yang lebat, dengan hati2 dan pelan2 Siang Cin merebahkan An Lip, laki2 kekar ini mengalami luka2 yang cukup parah, untungnya badik yang menembus dada itu menusuk miring ke atas, sehingga luka2nya tidak fatal.

Siang Cin mencabut keluar badik itu, karena tidak membawa obat, untuk mencegah darah keluar terlalu banyak dia balut luka2 itu dengan sobekan kain bajunya, kini orang tengah tidur lelap, kalau tidak tentu sudah meraung kesakitan dan jatuh semaput waktu badik itu dicabut keluar dari dadanya.

Siang Cin paham bahwa luka2nya sendiri juga tidak ringan, tapi sementara ini dia tidak sempat urus diri sendiri, Kun Sim-ti telah lelap dalam pelukannya, wajahnya nan jelita bak bidadari kini telah melepuh merah berair, bukan di pipinya saja, juga di pundak, lengan dan sekujur badannya terbakar.

Siang Cin merasa syukur bahwa pertolongannya tepat pada waktunya, dia tahu asal dirawat dan istirahat untuk waktu yang cukup lama.

Wajah Kun Sim-ti pasti tidak akan menimbulkan cacat apa2, tapi bila setengah langkah dia terlambat, wajah nan jelita ini pasti rusak, akibatnya sungguh tak berani Siang Cin membayangkan.

Selain luka2 terbakar pundak Kun Sim-ti juga terbacok golok, lukanya cukup dalam, darah sudah berhenti, membeku hitam membiru, semakin dipandang perasaan Siang Cin menjadi pedih seperti di sayat2.

Rumah bambunya yang mungil itu, kini telah tinggal puing2nya saja, sisa bambu yang masih terbakar mengepulkan asap, taman di pekarangan depan rumahnya kini sudah acak2an tak keruan, mayat tampak bergelimpangan di sana darahpun berceceran.

ditambah berbagai alat senjata yang berserakan, pemandangan sungguh amat mengerikan.

Siang Cin menarik napas panjang, di bawah ketiak kanannya ada sejalur luka panjang, tapi kulit daging sekitarnya kini sudah pati rasa, cuma luka terbakar dipunggung yang kini masih menyiksanya, rasanya seperti ditusuk ribuan jarum, atau di gigit ribuan semut.

Siang Cin menjadi kehilangan akal, padahal yang luka parah harus selekasnya diberi pertolongan, tapi umpama dia sanggup menyeret kedua orang luka parah ini dan mencari tabib, kan bisa celaka kalau jejaknya sampai konangan musuh? Siang Cin tahu, selama beberapa tahun belakangan ini, permusuhan yang dia ikat selama berkecimpung di Kangouw jauh lebih banyak dari pada teman2 yang dikenalnya.

Dikala memeras otak itulah, derap kaki kuda yang mencongklang pesat sayup2 datang dari kejauhan, derap kaki kuda terdengar kacau dan berpacu kencang, naluri Siang Gin segera merasakan adanya gejala tidak menguntungkan bakal tiba.

Tak lama kemudian, derap kuda itu berhenti di luar hutan, dengan cepat dua puluhan orang dengan mengenakan seragam abut ketat muncul dari balik pohon sana, semuanya adalah laki2 yang bermuka bengis dan jahat, gerak-gerik mereka cukup tangkas terus menyebarkan diri, tak lama kemudian muncul pula lima puluhan orang yang berseragam sama ber-bondong2 memasuki hutan, tanpa di beri aba2 mereka langsung memecah diri menjadi sebuah lingkaran, busur panah siap di tangan mereka sama diarahkan kegelanggang seperti sedang menghadapi pemandangan yang seram.

Baru saja ke delapan puluhan orang di sini selesai membenah diri, muncul pula dua puluhan orang dengan dandanan yang beraneka ragam, meluncur tiba dari berbagai penjuru hutan, lalu muncul pula seorang laki2 berusia tiga puluhan, bibir merah gigi putih, dengan jubah mentereng yang di bagian dada bersulam huruf "GI", empat laki2 yang berwajah kereng mengiring di belakangnya, di belakang ke empat orang ini beranjak pula seorang laki2, dia bukan lain adalah Gui Ih yang kemarin menghajar An Lip dengan cemetinya, Gui Ih adalah pelaksana hukum dari seksi bendera merah Siang-gi-pang.

Siang Cin menyengir getir, sungguh amat kebetulan, dalam keadaan seperti ini, pihak Siang-gi-pang ternyata meluruk datang pula hendak membuat perhitungan dengan dirinya.

Agaknya laki2 jubah kelabu dengan huruf "Gi"

Yang tersulam di depan dada itu menjadi melenggong menyaksikan pemandangan di depan mata, wajahnya yang cakap itu mengernyit, terlihat bekas luka di jidatnya, codet ini sebesar mata uang, kini kelihatan bersemu merah, sekilas dia menyapu pandang sekitarnya, lalu berkata dengan suara kereng.

"Gui-angki, selama enam belas jam ini, dengan berbagai daya upaya dan mengerahkan puluhan tenaga terpercaya baru kita berhasil menemukan alamat si Naga Kuning, tapi sekarang kita hanya menemukan puing2 dengan mayat yang tak mampu berbicara lagi.". Agaknya Gui Ih juga tertegun sekian saat dia melongo, sahutnya kemudian.

"Bahwa gubuk yang terbakar itu jelas adalah tempat tinggal orang she Siang, bocah itu terlalu banyak mengikat permusuhan, bukan mustahil para musuhnya telah mendahului kita mengobrak-abrik tempatnya ini ...."

Tangan si jubah kelabu mengelus hurus "Gi"

Di depan dadanya, dengusnya dengan kurang senang.

"Menurut penyelidikanmu, berapa banyak anak buah Siang Cin yang tinggal bersama dia?"

Berpikir sebentar Gui Ih menjawab dengan suara lirih.

"Kecuali seorang mak inang rasanya tiada orang lain yang tinggal bersama dia, selamanya dia malang melintang seorang diri ...."

Mendelik mata si jubah kelabu, katanya keras.

"Ada puluhan mayat menggeletak di sini, sukar dipercaya dengan seorang diri dia mampu menjagal orang sebanyak ini, apalagi mereka bersenjata semuanya." - Sampai di sini dia berpaling ke kanan dan berkata kepada laki2 tua berjenggot pendek.

"Jing-sim tong Cui tongcu, kau pimpin beberapa orang, geledah sekeliling sana."

Laki2 tua itu membungkuk sambil mengiakan, lalu melompat ke depan, sepuluhan orang anak buahnya segera ikut berlari di belakangnya, mereka mulai memeriksa semua mayat satu persatu, dari kejauhan tiba2 laki2 tua itu menjerit.

"Hah, bukankah ini Cui ciok-cu Ong Bu, orang ketiga dari Ngo-heng-ciok cu." - Belum lenyap gema suaranya kembali ia menjerit pula.

"Heh, inikan Bok-ciok-cu Phoa-lat. Ah. ini Tio Wijiang. Cong-thau-bak dari Thian-king-kau, Wah, Cap-ji-hwi-so dari Lam-bu-san juga menggeletak seluruhnya. Ini Nyo Cayseng, guru pelatih dari Ban-keh po. Ai, ini Liang Tam, Hupangcu dari Ui-hong pang di Toa-ih-ho ..."

Setiap kali mendengar teriakan si laki2 tua, air muka si jubah kelabupun berubah semakin kelam, akhirnya dia tidak tahan lagi, serunya.

"Cui tongcu, carilah mayat orang she Siang." --- Sampai di sini dia melotot, pula ke arah Gui Ih dengan muka merah cepat Gui Ih berlari ke sana ikut bantu mencari, perhatiannya hanya tertuju pada mayat Siang Cin saja. Sesaat kemudian, dengan tangan berlepotan darah Cui-tongcu kembali, katanya sambil menggeleng.

"Lapor Pangcu, seluruhnya ada tiga puluh dua mayat, semuanya jago2 silat yang punya nama di tiga propinsi utara, paling tidak mereka sudah cukup disegani oleh sesama kaum persilatan, beberapa tahun belakangan ini kita sudah cukup luas bergaul di Kangouw, di. antara mayat dt sini ada dua puluhan lebih yang kukenal ...."

Setelah menghela napas dia menyambung.

"Umpama Nyo Cay-seng, Nyo-lote, dua hari yang lalu masih minum arak bersamaku, tak tersangka hari ini aku harus mengubur mayatnya di sini."

Si jubah kelabu melotot tanpa bersuara, tak lama kemudian Gui Ih pun telah balik, katanya dengan ragu2.

"Di bawah puing terdapat dua mayat yang sudah menjadi arang, satu laki dan satu perempuan, dari pakaiannya jelas si perempuan itu adalah mak inang .....

"

Si jubah kelabu menggentak kaki, tanyanya gusar.

"Dan yang laki2?"

Gus Ih ragu2, sahutnya kemudian.

"Sudah menjadi abu dan sukar dikenal lagi, cuma pakaian yang dikenakan tampaknya bukan warna kuning .....

"

"Hayo, geledah seluruh pelosok!"

Teriak si jubah kelabu dengan mendelik.

Delapan puluhan orang serempak mengiakan mereka lantas memencar mengobrak abrik ke mana saja yang dipandang bisa digunakan bersembunyi.

Cui-tongcu dari Jing-sim-tong itu agaknya.

berkedudukan cukup tinggi, ia berdiri di depan si jubah kelabu dengan nada berat dia berkata.

"Pangcu, bicara terus terang, betapa tinggi kepandaian si Naga Kuning Siang Cin belum pernah kita saksikan, paling tidak juga pernah kita dengar, pemandangan di depan mata merupakan bukti nyata, maka menurut pendapatku jika Pangcu suka bersabar, urusan ini kiranya bisa disudahi saja.....

"

Codet di jidat si jubah keiabu tampak semakin merah, sedapat mungkin dia menekan amarahnya,katanya kurang senang.

"Cui-tongcu, peristiwa ini menyangkut nama dan wibawa Siang gi-pang kita, jika kita harus berpeluk dengan menghadapi usik orang lain tanpa memberi sedikit hajaran padanya, memangnya Siang gi pang masih punya wibawa untuk bertengger di kalangan Kangouw, bagaimana kita dapat memimpin anak buah yang berjumlah sekian banyak?"

Cui tongcu mengelus jenggot, katanya kalem.

"Ucapan Pangcu memang tidak salah, tapi kita juga harus menimbang, gengsi dan wibawa yang akan kita pertahankan harus kita rebut, kalau sebaliknya, kukira ini bukan cara yang baik."

Mendelik si jubah kelabu, dingin suaranya.

"Cui tongcu ini sudah menjadi keputusan Pang kita yang tak boleh diubah, peduli betapapun besar pengorbanan yang harus kita pertaruhkan, sakit hati ini tetap harus kita tuntut."

Cui tongcu tak bersuara lagi, diam2 dia mengundurkan diri ke samping.

Di pucuk pohon beringin Siang Cin dapat mertyaksikan semua ini dan mendengar pula dengan jelas, dengan senyuman getir ia mengawasi orang2 Siang gi-pang yang mondar mandir menggeledah kian kemari.

Cepat sekali sang surya naik semakin tinggi, Si jubah kelabu menunggu dengan tidak sabar lagi, sambil menggendong tangan dia mondar-mandir tidak tenang, keempat laki2 kekar berdiri berjajar di belakangnya dengan meluruskan tangan.

Siang Cin tahu keempat orang ini adalah Su-koay-Cu yang kenamaan dari Siang-gipang, mereka adalah pengawal pribadi Sam-bak-siu-su Tan Sin, Pangcu Siang-gipang.

Si jubah kelabu Sam-bak-siu-su Tan Sin, mendadak mengayun tangan ke atas, teriaknya dongkol.

"Sudah, berhenti! Semuanya pulang saja! Aku tidak percaya orang she Siang itu mampu terbang ke langit atau selulup ke bumi,"

Lekas Cui-tongcu menepuk tangan, serunya.

"Perintah Pangcu, penggeledahan dihentikan."

Orang2 yang sudah menyebar luas ke dalam hutan itu segera putar balik dan berkumpul di tempat semula, belum lagi mereka sempat membentuk formasi lingkaran tadi, dari luar hutan tiba2 terdengar suara "pletak-pletok", suara beradunya papan kayu..Baru saja Tan Sin berpaling dengan pandangan heran, anak buahnya di luar hutan sudah menghardik.

"Berhenti saudara di depan itu Siang-gi-pang sedang ada perkara di sini. Bendera kami berkibar di sana, memangnya saudara tidak melihatnya?"

Suara "pletak-pletok"

Tak terdengar lagi, diganti suara aneh yang bernada melengking.

"Eh, maknya dirodok, di siang hari bolong juga berani main begal di sini? Penyamun keroco juga pasti melihat tempat dan waktu bila mau beroperasi, kalian ini penyamun keparat dari mana yang tidak bisa melihat gelagat? Untung tuan besarmu hanya membawa batok kepala yang bertengger di leher tok, tiada sekeping uang yang bisa kau peras dari badanku, memangnya kalian mau berbuat apa terhadapku."

Hardikan di luar kembali berkumandang.

"Saudara yang baik, tentunya kaupun sudah kenyang berkecimpung di Kangouw, jangan bertingkah dan berlagak pilon di depan kami, kalau tahu diri lekas menyingkir saja."

Suara aneh seperti orang banci tadi berteriak pula.

"Wah aneh, tuanku sudah biasa berkeliaran main terobos rumah dan selundup dalam hutan, ke langit bisa terbang, ke bumi aku, bisa selulup, kemana aku suka pergi boleh sesuka hatiku, siapapun tiada yang berani mengusik seujung rambutku, memangnya kalian tetap mengadang di tengah jalan ini dan tidak mau menyingkir?"

Tan Sin menarik muka, jengeknya.

"Keparat ini jelas sengaja mencari gara2, suruh mereka biarkan dia kemari, akan kulihat ke mana dia mau pergi."

Seorang laki2 baju abu2 segera berlari keluar hutan, tak lama kemudian, suara "pletak- pletok"

Seperti ketokan kayu penjual bakmi berkumandang pula Eh ternyata beranjak kemari, menuju ke arah orang banyak ini.

Siang Cin yang ada di pucuk pohon dia sudah menjadi gelisah, dia tahu orang yang suka mengetok kepingan kayu bila berjalan ini adalah teman karibnya sehidupsemati, pendekar aneh yang bergelar Liang kui pan dari Hou-keh-can, namanya Pau Seh-hoa.

Tingkah lakunya lucu dan aneh, bajik dan dermawan, kini dia mengenakan celana panjang biru yang sudah luntur, ikat pinggungnya adalah seutas tali rami yang kelihatan mengkilap karena kotor berminyak, kakinya pakai sepatu rumput yang butut dan sudah berlubang alasnya, rambut yang awut2an laksana sarang ayam tersunggih di atas kepalanya, matanya yang sipit seperti kurang tidur tumbuh di bawah jidatnya yang lebar, hidung besar, mulutnya yang lebar dengan gigi kuning prongos, mulutnya selalu kerkecap mengiringi bunyi pletak-pletok dua keping kayu yang bergantung di belakang pantatnya, papan kayu warna hitam terbuat dari kayu kenari.

Dengan tajam Tan Sin tatap kedatangan tamu yang tak di undang ini, Pau Seh-hoa unjuk tawa lucu kepada Pangcu besar ini dengan gigi yang prongos, tiba2 matanya melirik dan mulut yang lebar itu menciut, katanya- "Rumah di sini sudah dibakar?"

Dingin tatapan Tan Sin, katanya.

"Memangnya kenapa?"

Pau Seh hoa mengernyit hidung, seperti tawa tidak tertawa dia berkata;

"Kalian yang melakukan?"

Tan Sin menengadah, jengeknya.

"Kalau benar mau apa?"

Pau Seh-hoa pandang sekelilingnya, mendadak sikapnya berubah, suaranya bukan saja dingin kaku, katanya ketus.

"Lalu bagaimana dengan saudaraku Siang Cin?"

Tan Sin menjengek.

"Aku justeru ingin tanya padamu tentang dia."

Sekilas melengak, mendadak Pau Seh-hoa terbahak2.

"Slut", dia membuang ingus, lalu miringkan kepala dan berkata sambil menuding Tan Sin.

"Ya, ya, aku tahu kawan, dengan bekal kemampuan kalian yang tak becus ini. terbukti dengan korban yang gelimpangan itu sekarang berbalik kau tanya pada tuan besarmu malah Hahaha, hohoho Siang-lote O, Siang-lote, memang hebat kau, kau benar2 hebat ...."

Dikala gema tawanya masih mendengung, tiba2 dari sebelah sana menggeledek suara hardikan, seorang laki2 baju hijau dengan jambangnya yang kasar mengayun golok besar menubruk tiba, goloknya membacok ke muka Pau Seh-hoa.

"Hait, kurang-ajar! Tidak pakai aturan ...."

Demikian seru Pau Seh-hoa, tapi tanpa bergeming sedikitpun, malah kepalapun tidak tampak bergerak, entah bagaimana, tahu2 kedua tangannya bergerak.

"pletak".

"klontang", golok besar si penyerang tahu2 terbang ke angkasa, sementara laki2 penyerang itu terlempar ke belakang jatuh terduduk dengan kaki tangan mencak2. Tangan Pau Seh-hoa tampak bergerak membalik dua keping kayunya entah sejak kapan tahu2 sudah berada di tangan dan kini sedang dilempar naik turun buat mainan, sambil geleng2 kepala kembali ia mengoceh dengan nada nyentrik.

"Keparat yang tidak tahu adat, hari ini sekedar kuhajar kau supaya selanjutnya tahu sopan santun . .."

Mulutnya mengoceh, sikapnyapun tak acuh, malah kelihatan pongah, tapi dengan jelas dilihat Pau Seh hoa betapa hebat perubahan air muka Tan Sin, mukanya sedingin es dan membesi hijau, anak buah Siang-gi-pang di sekelilingpun serentak memegang gagang senjata, panah terpasang di busur siap menanti aba2 untuk menyerang, suasana cukup tegang.

Cui-tongcu yang berjenggot kambing itu batuk2, katanya dengan suara ketus.

"Saudara ini kiranya seorang kosen, siapa benar dan siapa salah kenyataan yang akan membuktikan, sekarang saudara boleh sebutkan namamu dulu."

Mata sipit Pau Seh hoa terbelalak, lidahnya terjulur menjilat bibir dari kiri ke ujung kanan, suaranya kini berganti dingin dan kasar.

"Hm. Siang gi-pang terhitung perkumpulan kentut apa? Pau-loya sudah cukup bersikap ramah, tapi kalian justeru mau main kayu? Main serang secara serampangan, memangnya Pau-loya ini anak kura2? Dengarkan dengan baik.

"dua keping kayu- Pau Seh-hoa ialah orang yang berdiri di depan kalian ini."

Manusia punya nama, pohon ada bayangan, peribahasa ini memang tepat.

Seketika berdetak jantung Cui tongcu demi mendengar orang memperkenalkan diri, sekilas ia tertegun.

Pau Seh-hoa tidak hiraukan sikap orang, mulutnya ber kecek2 lalu berkata dengan mimik tertawa tidak tertawa.

"Bagaimana? Tan- toapangcu agaknya masih penasaran?"

Sam-bak sin-su Tan Sin belum pikun, sudah tentu dia tahu macam apa tokoh "dua keping kayu"

Dari Hou keh-san ini, beberapa tahun yang lalu dengan dua keping kayunya itu Pau Seh hoa pernah menyapu habis kaum berandal Toa-lo-cian, hongpian dan "Sam-wi tui dari Sam jay seng yang berkuasa di Kwan tang.

Memangnya siapa yang berani mengusik Hou eng (elang harimau) yang menunggui Ui-ji-eng, semacam rumput sakti yang dapat memunahkan ratusan macam racun di Hian-busan? Tapi seorang diri dengan senjata dua keping kayunya Pau-siansing ini telah sikat elang2 ganas itu, puluhan elang telah dibinasakan, dengan senang Pau Sehhoa memboyong Ui ji-eng turun gunung dengan kemenangan gemilang.

Kejadian baru tahun yang lalu pentolan It tia liong, Liu-to Ce Seng sek mengajak Pau Seh hoa duel sampai mati.

dalam tujuh belas jurus orang she Pau ini telah mengetuk remuk batok kepala lawannya.

Nama Ce Seng sek cukup disegani di utara sungai besar, anak kecil yang menangispun seketika berhenti ketakutan bila mendengar namanya.

Begitulah, Tan Sin tampak guram, katanya sambil menahan marah.

"O, kiranya kau Pau ... .. Pau-tayhiap dari Hou-keh-san."

Pau Seh-boa tertawa lebar, katanya.

"Ah, jangan begitu sungkan, memangnya macam apa tokoh Tayhiap itu? Merampas yang kaya membantu si miskin, mendukung si lemah menumpas yang jahat, dia harus punya wibawa dan gagah perkasa, nama kebesarannya mampu menggoyahkan gunung, darahnya yang panas dapat meluluhkan musuh, berjiwa baja bernyali besi, orang seperti Siang loteku itu baru boleh disebut Tayhiap. Kalau aku orang she Pau ini, aku ini cuma gelandangan kaum Kangouw saja."

Mengawasi puing2 di depan sana, Tan Sin bertanya dengan suara rendah.

"Ada hubungan apa antara tuan dengan orang she Siang itu?" Pau Seh-hoa unjuk gigi prongosnya yang kuning, katanya.

"Sahabat sehidup semati."

Bergetar badan Tan Sin, teriaknya.

"Jadi tuan mau memikul perbuatan busuknya?"

Berkedip mata sipit Pau Seh-hoa seperti orang mabuk, jengeknya.

"Andai kata Siang-gi-pang kalian bermusuhan dengan Siang-lote, boleh kau membuat perhitungan dengan aku orang she Pau."

Pelan2 Tan Sin menyurut selangkah, tampak perubahan pada air mukanya, diam2 ia menimang kekuatan sendiri serta mempertimbangkan kira2 sampai di mana kemampuan musuh, bila kekuatan dan kemampuan ini saling bentrok betapa pula akibatnya.

Secara iseng Pau Seh hoa memainkan keping kayunya secara akrobatik, kepingan kayunya itu menari naik turun ber-putar2 secara menakjubkan, hidungnya yang besar ikut ber-gerak2 seperti mengejek menambah kocak permainannya.

Keadaan menjadi beku, pihak Siang gi pang banyak orang dan kekuatanpun besar, tapi mereka juga mengerti, musuh yang mereka hadapi adalah seekor ular sakti berbisa, ular berbisa yang pandai tertawa.

Lekas Cui tongcu beranjak maju ke samping Tan Sin, lalu ber-bisik2 di telinganya, jelas kelihatan rona muka Tan Sin berubah berulang kali dan tampak semakin jelek, tapi sedapat mungkin dia menahan gejolak marahnya.

Pelan2 akhirnya Tan Sin melangkah keluar hutan dengan muka bersungut, lima-enam langkah kemudian tiba2 dia berpaling, katanya.

"Saudara Pau!"

"Hm, ada apa, aku sudab pasang kuping?"

Tan Sin menarik napas, katanya.

"Kejadian hari ini pasti akan selalu kami ingat dan akan membuat perhitungan kelak."

Pau Seh- hoa cekikikan, suaranya tak kalah dingin.

"Sudah tentu, ingin dilupakan juga tidak bisa, ya toh?"

Tanpa bersuara lagi Tan Sin mengulap tangan, cepat sekali dia undurkan diri membawa seluruh anak buahnya, Gui Ih jalan paling belakang, sebelum keluar hutan dia berpaling sambil mendelik ke arah Pau Seh-hoa. Mulut Pau Seh hoa ber kecek2.

"Pletak"

Dia adu kedua keping kayunya seraya mengejek dengan suara melengking.

"Awas batok kepalamu, bantal."

Gusar tapi tak tahu apa maksud ucapan orang, Gui Ih hanya mendelik murka. Hal ini malah mendatangkan gelak tawa Pau Seh-hoa, serunya.

"Memangnya bantal salah? Eh, menyulam!"

Dengan tatapan kebencian, lekas Gui Ih melangkah pergi.

Hutan kembali menjadi sunyi mencekam dan seram.

Sang surya tetap memancarkan cahayanya, suhu panasnya semakin mengeringkan noktah2 darah yang berceceran, bau anyirnya darah lekas sekali terembus angin lalu, Mayat2 yang bergelimpangan itu ada yang mendelik, ada yang membentang mulut, satu dan lain berbeda tapi sama mengerikan, memang beginilah kehidupan insan persilatan yang berkecimpung di Kangouw, tak kenal persaudaraan, tak kenal sesama manusia, sekali bermusuhan, mati adalah akhir dari persengketaan itu.

Mata Pau Seh hoa yang sipit itu menampilkan rasa hambar yang sukar diraba, dia mendongak seperti melihat cuaca, lalu pelan2 duduk tersimpuh di tanah, akhirnya ia menengadah ke arah pohon beringin di depan sana, di mana Siang Cin sembunyi dibalik dedaunan yang rimbun.

Katanya.

"Dengarkan Siang-tayhiap, sang naga di angkasa, lekaslah kau turun saja, memangnya enak berayun di atas dahan pohon yang bergontai?"

Siang Cin yang sembunyi dibalik dedaunan tertawa, akhirnya dia menyingkap daun serta melongok keluar, katanya.

"Lo Pau, amat kebetulan kedatanganmu, tepat pula waktunya kehadiranmu."

Hidung Pau Seh- hoa yang besar mengendus2, katanya.

"Kau terluka?"

Siang Cin tertawa, katanya.

"Tidak terlalu parah, malah Kun-cici dan seorang kawan yang terluka cukup parah."

Cepat berdiri dan langsung Pau Seh-hoa melejit ke atas pohon, dahan pohon 28 berkeresek sekian lama, akhirnya dia gendong An Lip melompat turun.

Dengan penuh perhatian dan hati2 sekali Siang Cin juga bawa Kun Sim-ti melayang turun, sementara Pau Seh hoa sudah keluarkan obat serta membalut luka2 An Lip, katanya dengan suara lirih.

"Kondisi kepala besar ini cukup baik, mujur nasibnya. kalau badik itu sedikit menceng ke bawah, terpaksa dia harus menitis kembali pada kelahiran yang akan datang."

Dengan menggigit bibir Siang Cin menatap wajah Kun Sim-ti yang terbakar hangus itu, sungguh pedih hatinya, sementara Pau Seh hoa tengah membersihkan noda darah di pundak An Lip, tanpa berpaling dia berkata.

"lote di pinggangku tergantung sebuah kotak rotan, di dalam ada tiga kaleng bubuk, yang warna merah untuk obat luar, yang warna hijau boleh diminum, sedang sekaleng lagi yang putih boleh kau gunakan sendiri untuk membubuhi luka2mu."

Tanpa bicara Siang Cin menghampiri mengambil kotak yang disebut, Kun Sim ti dibopongnya ke bawah pohon yang lebih terlindung, dengan hati2 dia baringkan Kun Sim ti, dengan seksama dia mencuci bersih luka2 serta membubuhi obat, gerak geriknya ringan dan lembut.

Hening sesaat lamanya, akhirnya Siang Cin membuka pertanyaan.

"Lo Pau, obatmu ini diracik dari bahan apa?"

Pau Seh-hoa tertawa, cemoohnya.

"Kenapa? Memangnya tidak manjur?"

Kumandang tawa Siang Cin, katanya.

"Bukan, malah manjur sekali, rasanya dingin nyaman meresap kulit daging."

Pau Seh-hoa tengah mencekok sebotol obat cairan ke mulut An Lip, katanya tawar.

"Ui ji-eng, rumput sakti dari Hiun-bu-san, binatang buas elang harimau saja menjaganya, merekapun tahu kasiat rumput ini, apalagi manusia?"

Dengan langkah enteng Siang Cin muncul dari balik pohon, raut mukanya yang tampan memancarkan cahaya terang, lukanya ternyata juga telah terbalut cukup rapi.

"Lo Pau, sebelum kau sempat mengerjakan dua keping kayumu aku bisa memberi persen dua kali tamparan ke mulutmu sebagai hukuman bagi mulutmu yang ngoceh tak keruan tadi, kau percaya?"

Lekas Pau Seh-hoa goyang kedua tangannya, serunya .

"Percaya, percaya, seribu kali percaya. Orang she Pau tak pernah jeri menghadapi siapapun juga, tapi terhadap tamparanmu itu aku paling takut. Wah, tak pernah kulupakan demontrasi yang pernah kau pamerkan di sarangku di tengah sungai Hwi-yang-kang dulu, sebelum batu seberat lima puluh kati yang kau lempar ke udara itu jatuh ke bawah, dengan kedua tanganmu sekaligus kau dapat menyampuk jatuh seratus tiga puluh tujuh ekor burung gereja .......

"

Tertawa lebar Siang Cin, ia berkata.

"Soalnya di Hou-keh san tempat kediamanmu Itu tiada burung gereja lebih banyak lagi, kalau tidak, dalam waktu sesingkat itu bisa lebih banyak lagi burung gereja yang dapat kupukul jatuh."

"Crot", Pau Seh-hoa berludah, matanya melotot, serunya.

"Ha, baru dipuji sudah lantas mau makan hati? kau memang takabur."

"Lo Pau,"

Ucap Siang Cin sambil menggosok hidungnya.

"omong2, sejak kini Sianggi pang mungkin tidak akan berpeluk tangan lagi terhadap dirimu."

Pau She-hoa menggeliat, katanya.

"Ya, Kongcu, semua itu kan hadiahmu padaku?"

Terpancar sinar dingin pada sorot mata Siang Cin, katanya tenang.

"Kuharap jangan karena persoalan ini Siang-gi pang sampai mengalami keruntuhan."

"Karena soal apa?"

Tanya Pau Seh- hoa. Secara ringkas Siang Cin ceritakan pengalaman An Lip. Pau Seh-hoa berdiam sebentar, katanya kemudian.

"Lote, kau ini memang keterlaluan, bukan saudaramu ini suka cerewet, kau memang suka bunga, mega, rumput, sanjak, lukisan dan segala keindahan, tapi semua ini serba menyebalkan bagiku. Kau mem-buang2 tenaga hanya demi persoalan sepele ini, kukira tidak setimpal, perempuan bukan melulu ...."

Tajam tatapan Siang Cin, bola matanya yang bening memancarkan cahaya yang lembut dan tulus, tapi Pao Seh hoa yang ditatapnya menjadi kikuk sendiri, serunya.

"He, kenapa kau pandang aku begitu rupa?"

Siang Cin tersenyum, katanya dengan suara rendah.

"Jangan terlalu nyentrik Lo Pau, perempuan yang pernah kau cintai dua belas tahun yang lalu memang tidak bersalah, kau sendiri yang salah. Tidak pantas lantaran dia meninggalkan kau lantas kau lampiaskan rasa sirikmu kepada perempuan yang lain, kalau dunia ini tanpa perempuan, hidup ini akan terasa tawar dan tiada artinya."

"Sudahlah Lote, jangan bicara soal itu lagi,"

Ujar Pau Seh-hoa.

"perempuan itu, hm, memang tidak punya liangsim, kalau dia punya perasaan tidak seharusnya dia merat, bila suatu ketika dia kutemukan, kalau tidak kubeset kulitnya hidup2 jangan panggil aku orang she Pau."

Siang Cin tertawa, katanya.

"Siapa suruh kau bermain patgulipat dengan perempuan lain di luar tahunya? Ini namanya kau tidak setia terhadap kekasihmu."

"Tidak setia?"

Pau Seh-hoa berteriak.

"Busyet, itu kan cuma iseng saja. Memangnya laki2 mana yang tak pernah berbuat iseng di luaran? Memang nya soal beginian juga harus dibuat perkara, malah main minggat segala? Kalau tidak bicara soal ini aku sih tidak marah, sekali menyinggung soal perempuan itu, ingin rasanya aku mencacahnya serta membakarnya menjadi abu ....

"

Siang Cin geleng2 kepala dan tak bicara lagi, dia menghampiri Kun Sim-ti, Pau Sehhoa mengawasi dengan melenggong, perasaannya hampa seperti kehilangan apa2. Mendadak dia memanggil Siang Cin ingin bicara, tapi ragu2, akhirnya dia ganti haluan.

"Lote, mayat bergelimpangan, kau belum lagi menjelaskan apa yang telah terjadi?"

Siang Cin bersenyum, katanya.

"Karena persoalan di Siau-mo-nia dulu itu, Sin-suya meluruk kemari. Kau masih ingat kejadian dulu itu?"

"Mereka meluruk kemari,"

Pau Seh-hoa bergumam sambil celingukan.

"tapi meninggalkan sekian banyak mayat ...."

Di balik pohon sana pelan2 Siang Cin beg jongkok menatap muka Kun Sim-ti yang dibalutnya hingga cuma sepasang matanya saja yang masih kelihatan, kedua matanya terpejam, namun bulu matanya yang panjang melengkung kelihatan elok dan indah.

Tiba2 badan Kun Sim-ti sedikit bergeming, lekas Siang Cin, memanggil dengan suara halus "Cici..."

Pelan2 kelopak mata itu bergerak, sorot matanya yang sayu masih membayangkan adegan seram menakutkan semalam, ia pandang Siang Cin, lama dia menatap tanpa berkedip, akhirnya ujung matanya mulai basah.

Sekuatnya Siang Cin mengunjuk senyum, katanya lembut "Ci, kau sudah baik? Segalanya sudah lalu ...."

Mata Kun Sim-ti terpejam sebentar lalu terpentang pula, sorot matanya mengandung rasa kuatir dan prihatin, Siang Cin mengerti, lekas dia berbisik.

"Aku tidak apa2, hanya sedikit terluka bakar."

Rasa lega dan terhibur jelas kelihatan dari sorot matanya, hal ini dapat di resapi oleh Siang Cin, setelah menelan liur dia berkata.

"Kau lapar tidak? Biar kusuruh bibi Ciu .... suruh bibi Ciu membuat sarapan untukmu ...."

Pelahan Kun Sim-ti menggeleng, butiran air matanya akhirnya menetes di atas kain perban, lekas Siang Cin bantu menyekanya dan katanya.

"Kau amat letih, tidurlah lagi, aku selalu menunggu di sisimu. Oh, ya, Pau-toako juga datang, bentuknya masih seperti dulu, tetap berkepala pengemis."

Tersenyum rawan pada wajah yang sayu, Kun Sim-ti pejamkan matanya, bukan lantaran dia ingin mengejar impian, tapi dia ingin menyimpan persaan hangat dalam hatinya yang hampa.

Musim semi hampir berlalu, sinar surya mulai terasa panas menyengat kulit dengan belaian lembut Siang Cin bikin Kun Sim-ti kelelap dalam tidurnya, lalu ia keluar sambil membopongnya, di luar An Lip sudah siuman, dia tengah berbincang dengan Pau Seh hoa.

Melihat Siang Cin, bergegas An Lip hendak berbangkit, tapi Pau Seh-hoa lekas mencegah, katanya.

"Eh, kau si berewok ini kenapa begini bandel? Sekujur badan terluka masih banyak tingkah? Kongcuya datang, sikapmu yang hormat sudah cukup diresapi olehnya."

Siang Cin pandang wajah si berewok yang pucat dan lemah itu, katanya.

"Kalian sudah berkenalan?"

An Lip mengangguk, sahutnya;

"Berkat kerendahan hati Pau-cianpwe, beliau sudi memperkenalkan nama besarnya ......."

"Persetan!"

Omel seru Pau Seh-hoa "kalian sama sebangsa kutu buku yang suka main kalimat......"

Siang Cin anggap tidak dengar ocehan orang, katanya.

"Lo Pau, mari kita cari tempat lain untulk istirahat, nanti malam aku masih ada urusan."

Pau Seh-hoa baru saja berdiri, katanya keheranan.

"Ada urusan, memangnya badanmu ini berotot kawat dan bertulang besi? Lukamu separah itu, kau masih mau urus apa lagi?"

Siang Cin tertawa, katanya.

"Malam nanti aku akan menolong kekasih An Lip itu."

Bersinar mata An Lip,.tapi ia menjadi kuatir, katanya.

"Jangan ..... tak perlu tergesa2, luka Inkong (tuan penolong) sendiri tidak ringan ...."

Berkedip mata Siang Cin, katanya.

"Memang, kalau bisa aku memang tidak perlu terburu2, cuma kulihat Tan Sin teramat penasaran, saking dongkol dan masgulnya mungkin dia akan melampiaskannya kepada calon isterimu itu ...."

Bergidik An Lip, mulutnya melongo dan tak mampu berbicara, ia tahu ini bisa saja terjadi, dia cukup tahu betapa watak Tan Sin, bila kekuatiran itu betul2 terjadi, maka imbalan yang telah dia pertaruhkan menjadi sia2 belaka.

Pau Seh-hoa menjilat bibirnya, katanya.

"Sekarang sudah lewat lohor, kita memang harus cari tempat untuk berteduh dan cari makanan untuk isi perut, kalau tetap tinggal di sini, salah2 bisa celaka."

Siang Cin manggut2, katanya sambil menerawang sekelilingnya, lalu mendahului beranjak ke luar hutan, Pau Seh-hoa lantas berjongkok, jangan kira badannya kurus kering, tubuh An Lip segede itu, segera digendongnya, keruan An Lip merah jengah, serunya gugup.

"Jangan, tidak usah Cianpwe, biar aku jalan sendiri."

Tanpa hiraukan seruan orang segera Pau Seh-hoa beranjak mengikuti langkah Siang Cin, sekeluar dari hutan, seperti lomba lari saja dia berpacu sekencang angin dengan Siang Cin, meski sama menggendong orang, tapi gerak langkah mereka ternyata tak kalah kencang daripada lari kuda.

Siang Cin memilih jalan yang ber-liku2 yang menembus ke puncak gunung, arahnya ke timur, kabut tebal beterbangan di lereng gunung, keadaan menjadi remang2 dan sukar menentukan arah.

Mereka berlari berjajar, Pau Seh-hoa berteriak.

"Anak muda, memangnya mau ke mana kau? Apakah kau kuat menahan luka2mu?"

Tanpa mengendorkan larinya Siang Cin menjawab dengan suara keras pula.

"Dua puluhan li dari sini ada sebuah tempat yang indah, kita sementara menetap di sana saja untuk beberapa hari. Lukaku memang tidak ringan, tapi setelah dibubuhi obat mujarab milikmu, kini sudah jauh lebih baik ......."

Pau Seh hoa ter-gelak2 bangga, dia kayuh langkahnya lebih kencang, serunya.

"Dua puluhan li kemudian, tempat apakah itu?"

Siang Cin menyeka keringat di mukanya, katanya dengan tertawa.

"Tempat nan indah permai, kau pasti kerasan dan berat meninggalkan tempat itu. Kedua orang harus memanjat lereng gunung yang cukup tinggi pula, kini mereka mulai menyusuri jalan pegunungan yang naik turun dan berbatu terus menerobos ke dalam hutan lebat. Pau Seh hoa berludah kental sambil menggerutu.

"Dirodok, setengah tahun tak melihatmu, sekali bertemu kau ajak lomba lari dan main teka teki lagi, pegunungan belukar seperti ini mana ada tempat indah segala .... ..."

Siang Cin tersenyum, mereka langsung menuju ke hutan, keadaan di sini remang2, lebatnya daun hampir seluruhnya menutupi cahaya sinar matahari sehingga keadaan di sini menjadi lebih gelap, suasana hening pula, yang terdengar hanya kresekan dedaunan yang diembus angin.

Langkah Siang Cin mulai diperlambat di antara tumpukan reruntukan daun kering sehingga mengeluarkan suara gemerisik, dengan penuh perhatian Pau Seh-hoa mengawasinya, tanyanya.

"Apakah kau tak merasa letih."

Siang Cin menyeka keringat, setelah menghambur napas dia berkata.

"Rasa sakit dilukaku seperti membetot syarafku......."

"Istirahat saja sebentar?"

Kata Pau Seh hoa. Siang Cin menggeleng dan menjawab dengan tertawa.

"Tidak, istirahat setiba di tempat tujuan saja, sudah tidak jauh lagi."

Tahu akan watak Siang Cin yang keras dan tekadnya yang besar, maka Pau Sehhoa tidak banyak kata lagi, tanpa bersuara mereka terus berlari dalam hutan.

Tak lama kemudian, di kejauhan sana tampak pemandangan yang jauh berbeda dengan keadaan di luar hutan sana.

Sebuah gunung dengan angker laksana sengaja diadangkan di situ, begitu angker dan kelihatan perkasa sekali, puncaknya nan tinggi mencakar langit ditelan mega, dari pinggang gunung, ada dua belas jalur air terjun yang mencurahkan airnya laksana rangkaian rantai perak.

Di atas pinggang gunung, pemandangan sekeliling diliputi kabut tebal, kebetulan angin mengembus buyar kabut tebal hingga kelihatan sebuah tebing yang menonjol keluar di atas pinggang gunung, letaknya kebetulan berada di atas jalur2 air terjun, warnanya serba menghijau.

Dapatlah dibayangkan betapa bahagia dan menyenangkan bila menetap di atas sana, pagi hari menyaksikan matahari terbit di ufuk timur, bila magrib melihai sang surya terbenam di balik pegunungan yang berhawa sejuk seperti ini, memangnya siapa yang tidak kerasan tinggal di sini.

Pau Seh-hoa ber-kecek2 kagum, serunya memuji.

"Kongcu, tempat ini memang luar biasa, indah permai, sungguh aku tak habis mengerti cara bagaimana kau bisa menemukan tempat ini."

Menengadah memandang ke atas, sikap Siang Cin tampak lega, katanya dengan tenang.

"Serba puitis bukan suasana di sini."

Pau Seh hoa ter-kekeh2, katanya.

"Memang senang hidup di tempat ini, cuma terlalu sepi ...."

Tanpa bicara lagi Siang Cin mulai memanjat ke atas, langkahnya tetap secepat terbang, Pau Seh-hoa tetap mengintil tak ketinggalan, teriaknya.

"Naik dari mana, Lote?"

Siang Cin berpaling sambil memberi tanda gerakan tangan, dia membelok masuk ke sebuah lekukan seperti selokan gunung, dalam selokan yang menjurus semakin tinggi itu kiranya ada sebuab jalan kecil beralas batu putih, orang mengira ini buatan manusia yang benar memang ciptaan alam, begitu aneh jalan berliku ini melingkar naik makin tinggi ke atas, tak ubahnya seekor ular raksasa yang melingkari gunung.

Berjalan di alas batu yang tidak rata ini ternyata sedikitpun tidak makan tenaga, maka Pau Seh-hoa berteriak heran.

"Kongcu, apakah kau yang suruh sang malaikat membuat jalan pegunungan ini?"

Siang Cin mengendurkan langkahnya serta mengencangkan ikat pinggang, katanya.

"Bukan begitu, tapi sang malaikat yang tahu kalau aku akan menetap di atas sini, maka pada ribuan tahun yang lalu ketika menciptakan alam permai ini sekalian membuat jalan pegunungan ini."

Pau Seh-hoa ter-gelak2 geli, sambil menikmati pemandangan di kedua sisi jalan, batu berserakan, dahan kering sama bergantungan, tampak pula bekas lumut mengering tanda derasnya air yang mengalir di sini, di waktu hujan jalan gunung ini memang merupakan selokan kecil yang mengalirkan air ke bawah gunung.

Setelah berputar sekian lamanya mengitari lamping gunung, akhirnya mereka menjurus ke jalan lurus menembus ke lembah pegunungan, Siang Cin memilih jalan ke arah kanan, di mana ada sederetan pohon Siong yang berjajar menjulang tinggi ke angkasa, di sini Sang Cin menghentikan langkah, katanya sambil menoleh.

"Lembah kecil tadi kunamakan lak-kui-kok (lembah kenangan), bagaimana pendapatmu tentang nama ini?"

"Lembah Kenangan Apa maksudmu?"

Tanya Pau Seh-hoa.

"Hidup di sini kan tidak perlu pikirkan urusan tetek-bengek lagi. Tapi manusia kan harus hidup bermasyarakat bukan."

Pau She-hoa manggut2, bersama Siang Cin dia menyusuri deretan pohon terus membelok ke kiri, pemandangan di sini berubah seratus delapan puluh derajat, kembang seruni mekar bak permadani membentang luas di embus angin pegunungan, bau harum semerbak laksana menyambutmu dengan senyum dikulum.

Tiada manusia yang menanam serta merawatnya, tapi bunga serum di sini hidup subur dan mekar segar.

Di ujung rumpun seruni sebelah sana, terdapat sebuah kolam kecil yang letaknya membelakangi tebing, sumber air mengalir dari atas tebing, kolam itu ternyata seluruhnya terbuat dari batu putih, airnya jernih, siapapun pasti ingin minum airnya yang dingin dan sejuk.

Di samping kolam terdapat dinding yang besar melintang datar, di balik dinding tembok gunung inilah terdapat sebuah rumah mungil yang dibangun dengan kayu pohon cemara, pagar kayu mengelilingi rumah, semuanya serba merah gelap.

Di balik tembok panjang di depan pekarangan rumah mungil itulah letak tebing dengan air terjun tadi.

Dari sini terlihat jelas di samping tebing sana tumbuh subur sepucuk pohon flamboyan dengan bunganya yang lagi mekar, kembangnya yang berwarna merah kekuningan itu beterbangan ditiup angin gunung.

berdiri di atas tebing dapat memandang puncak2 gunung di kejauhan yang berbentuk aneka ragam dan aneh2, tangan terjulur dapat menjamah mega yang mengambang tak berujung pangkal, seperti tinggal di atas langit rasanya, meski hawa di sini agak dingin, tapi kehidupan di alam permai seperti ini laksana hidup dewa di kahyangan.

"Aku menetap di sini seorang diri,"

Ucap Siang Cin sambil melepas pandang ke seluruh pelosok.

"maksudku sering kemari, jadi bukan selama itu terus hidup di sini. Di sini antara langit dan bumi rasanya sambung menyambung, manusiapun hidup laksana dewata, hidup di sini dapat merenungkan banyak persoalan yang tak mungkin di selami khalayak ramai di tengah kehidupan kota, betul tidak Lo Pau."

Pau Seh hoa ter-kekeh2, katanya.

"Kongcuya, orang she Pau tak semahir kau menggunakan istilah muluk2. Sekarang yang penting lekas cari makanan untuk tangsal perut yang sudah keroncongan ini."

An Lip yang digendongnya lantas berkata dengan rikuh.

"Pau cianpwe, sekarang boleh kau turunkan Cayhe."

Pau Seh hoa mengiakan, pelan2 ia turunkan An Lip serta bertanya.

"Jalan pegunungan naik turun, tentu bergoncang keras, luka2mu kambuh tidak?"

"Tidak, tidak,"

Sahut An Lip tertawa sambil menggeleng dengan muka merah.

"Sudah jauh lebih baik ......"

Sekilas Pau Seh-boa meliriknya dengan senyum di kulum, lalu dia berpaling hendak ajak Siang Cin bicara, tapi melihat keadaan Siang Cin segera dia telan pula kata2 yang sudah hampir terlontar dari mulutnya.

Siang Cin tampak termenung, seperti melamun tapi juga seperti tengah memusatkan perhatian, pandangannya tertuju ke dalam rumah, sorot matanya tampak ganjil.

Diam2 Pan Seh hoa mendekati serta berbisik.

"Kenapa Lote, ada gelagat yang tidak beres?"

Sorot mata Siang Cin tak beralih, katanya dengan suara tertahan.

"Dalam rumah ada orang."

Pau Seh-hoa terperanjat, tanyanya gugup.

"Darimana kau tahu?"

Mundur selangkah Siang Cin berkata.

"Lumut di undakan di depan pintu tampak ada bekas tapak kaki, pegangan pintu menjuntai turun, pagar kayu itupun kelihatan terbuka dengan paksa."

Pau Seh-hoa mengangguk, katanya dengan suara dingin.

"Kalau begitu gusur saja keluar dan lemparkan ke bawah tebing."

Sejenak berpikir Siang Cin berkata pula.

"Kukira bukan cuma seorang saja."

Dengan tertawa Pau Seh-hoa segera menuju ke muka pintu serta berteriak kedalam.

"Kalau ada orang di dalam rumah, lekaslah menggelinding keluar. Pau loya baru datang, kebetulan dapat melemaskan tulang dan mengendurkan otot di sini."

Pintu yang terbuat dari kayu pohon siong tetap tertutup rapat, tiada reaksi apa2. Pau Seh-hoa melangkah maju dan berteriak pula.

"Maknya, tidak mau keluar, memangnya perlu kuseret keluar? Jangan sok jadi kura2 ..... .."

Pelan2 dan hati2 sekali Siang Cin baringkan Kun Sim-ti di atas rumput, tapi dia tetap mengawasi ke dalam rumah.

Pau Seh-hoa juga mengawasi ke dalam rumah dengan pandangan menyelidik, sesaat kemudian dia berpaling memberi lirikan kepada Siang Cin, ia menepuk pinggang sendiri, lalu mulutnya memberi tanda pula.

Sedikit bimbang, akhirnya Siang Cin mengangguk.

tangan kanan merogoh saku di balik jubah kuningnya yang sudah koyak.

Melihat gerakan orang, Pau Seh hoa tertawa lebar, seperti merasa puas segera dia menghadap ke arah rumah dan ber-kaok2.

"Nah ini dia, hai, orang di dalam rumah, kalau tidak lekas keluar, orang she Pau akan menyeretmu keluar ........"

Pelan2 Part Seh-hoa menaiki undakan batu, sekonyong2 dia menerjang ke arah daun pintu, tapi sedetik sebelum badannya menjebol daun pintu, pintu yang semula tertutup rapat itu mendadak terpentang, sebatang cundrik warna kuning kemilau tahu2 menyamber keluar laksana ular memagut menusuk jidatnya.

Pau Seh-hoa menjerit kaget, cepat ia doyong kebelakang, tapi dikala badannya mendoyong ke belakang itu, tanpa mendengar adanya kesiur angin, tak terlihat bayangannya.

"Trang", terjadi bentrokan keras memekak telinga, cundrik baja yang menjulur keluar itu tahu2 tersampuk mental ke samping oleh sesuatu benda yang menerjang tiba tepat pada waktunya..Dalam waktu sesingkat itu pula, tampak Pau Seh-hoa selicin belut sudah menyingkir jauh, belum sempat dia menarik napas lega, ujung matanya sempat melirik ke arah Siang Cin, tampak orang tengah memegang sebatang pisau melengkung berkilau berbentuk seperti arit. Benda yang menyampuk balik cundrik itu kiranya adalah senjata melengkung tajam yang dipegang Siang Cin itu, benda itu berbentuk arit kecil yang tidak bergagang, tipisnya laksana kertas, tajamnya tidak menimbulkan cucuran darah bila tubuh, terpapas, senjata ini terbuat dari baja murni campur emas, tajam dan lihay sekali, Siang Cin memiliki dua belas batang senjata rahasia semacam itu, namanya Toa liong-kak (tanduk naga besar). Dengan senjata Toa liong-kak ini entah sudah berapa banyak jago kosen persilatan yang terbunuh oleh Siang Cin, tapi selamanya dia jarang dan tidak suka pamer di depan umum, karena sekali dia turun tangan dengan senjata ampuh ini membunuh orang segampang membabat rumput. Sambil pegang Toa liong kak yang melengkung itu. Siang Cin tenang2 mengawasi ke rumah, katanya.

"Saudara yang ada di dalam, sudah saatnya kau keluar."

Pau Seh-hoa seka keringat dingin. serunya gusar.

"Maknya dirodok, kalau tuan besarmu hari ini tidak mencincang tubuhmu, anggaplah aku dilahirkan kuntilanak."

Cundrik yang mental balik tadi menyentuh pintu sehingga kayunya tergores, pelan2 terdengar suara kresekan di dalam rumah, Siang Cin tetap bersikap tenang dan prihatin, sebaliknya Pau Seh hoa sudah keluarkan kedua keping kayunya, dengan memaki gusar ia menerjang ke depan pintu pula.

Bayangan seseorang pelan2 muncul dari dalam rumah dan berdiri di ambang pintu, itulah seorang laki2 tua berbadan reyot dan berwajah kurus kusut, pakaiannya yang berwarna kelabu luntur itu sudah bertambal di sana sini, mukanya kuning, rambut ubanan dengan kerut keriput di kulit mukanya, langkahnya terseret, berdiripun menggelendot di pinggir pintu.

Pau Seh hoa merandek, dia tatap laki2 tua ini, serunya.

"Hai, orang tua, kau tadi yang membokong tuan Pau ini dengan senjatamu itu?"

Dengan pandangan sayu si orang tua menatap Pau Seh hoa, sesaat baru dia bersuara dengan serak.

"Aku Kiang Kiau hong karena menghindari kejaran musuh, secara kebetulan menemukan tempat kalian ini, saking kepayahan tanpa pikir terpaksa kami pinjam tempat kalian untuk berteduh sementara. Untuk kelancangan mana harap tuan suka memberi maaf ...

"

Mendengar orang bicara dengan ramah, rasa marah Pau Seh hoa buyar sebagian, dua kali hidungnya mendengus, katanya.

"O, omonganmu memang beralasan, cuma kelancanganmu tadi memang keterlaluan, untung kau berhadapan dengan orang she Pau, kalau orang lain, bukankah jiwanya sudah melayang di tanganmu?"

Belum lagi laki2 tua itu menjawab, di belakangnya kembali muncul bayangan seorang yang ramping, eh, kiranya seorang gadis remaja yang jelita.

Wajahnya bulat kwaci, alisnya melengkung, bola matanya yang jeli diimbangi mulutnya yang kecil seperti delima merekah itu menambah manis wajahnya.

Usianya masih kurang dari 20, berbaju putih dengan gaun panjang yang kelihatan sedikit kotor, tapi justeru memperlihatkan kesederhanaannya.

Sikapnya tampak kuatir, begitu muncul di belakang si orang tua, dengan suara tersendat dia berkata.

"Cong ....Congsu, hal itu tidak bisa salahkan ayahku, aku ....aku, soalnya aku belum sempat melihat jelas ...."

Pau Seh hoa melirik dingin ke arah gadis remaja ini, kemudian dia tertawa terkekeh, ujarnya.

"Kiranya tadi perbuatan nona? Serangan telak, tenaga hebat, tak kira nona memiliki kepandaian dan tenaga selihay itu, .sungguh harus dipuji ... ."

Wajah si gadis seketika menjadi jengah, ingin bicara tapi ragu dan takut2, dia menunduk pula sambil memain ujung baju. Siorang tua menarik napas panjang, katanya.

"Terlampau lama kami ayah beranak menderita lahir batin, bak umpama burung yang takut mendengar suara busur, karena mengira musuh mengejar tiba, maka puteriku turun tangan tanpa kenal ampun, tuan ini orang bijak, harap suka maklum dan maaf .."

Pau Seh-hoa tak enak mengoceh lagi, dia berpaling menatap Siang Cin, dilihatnya Siang Cin tertawa tawar, maka Pau Seh-hoa membalik ke arah ayah beranak itu, katanya.

"Tempat ini amat tersembunyi, entah bagaimana kalian bisa menemukannya?"

Gemetar bibir si orang tua, katanya serak;

"Karena terdesak dan demi mencari hidup, hutan belantara dan gunung betapapun tingginya juga harus kami jelajahi, asalkan dapat menemukan tempat untuk berteduh dan aman, kebetulan kami sampai di sini, kami tak bermaksud jahat, untuk ini harap tuan2 maklum."

"Saudara sedang sakit?"

Tanya Pau Seh-hoa. Guram wajah si orang tua, katanya dengan lemah.

"Dulu pernah aku menderita sakit rematik, beberapa hari ini buron tanpa kenal lelah dan kelaparan lagi, darah tertumpah tak tertahankan. Ai, sudah tua, tulang2 inipun sudah reyot rasanya."

"

Di belakang sana dengan kalem Siang Cin berkata.

"Kalau begitu, Lo Pau, biarkan Lotiang ini tinggal di sini beberapa hari, di belakang masih ada kamar kosong, cuma kalian harus tinggal di tempat seadanya."

Wajah Pau Seh hoa masih menampilkan rasa ragu, sebentar dia berpikir, lalu berkata.

"Saudara ini, siapa nama besarmu?"

Siorang tua rada melenggong, katanya.

"Tadi sudah kusebutkan, aku Kiang Kiau hong."

Mulut Pau Seh hoa mengulang nama orang, katanya.

"Belum pernah kudengar nama ini, saudara tua, tolong tanya lagi, kau termasuk aliran atau perguruan mana?"

Si orang tua bimbang sejenak, katanya kemudian.

"Lohu adalah guru silat dari Siau- Kong-pa di Lok-te, beberapa murid pernah kuajari kepandaian, tapi tak pernah berkecimpung di kalangan Kangouw, sudah tentu tuan tidak tahu nama Lohu yang rendah ini?"

Pau Seh-hoa berdehem dua kali, katanya.

"Lalu, siapakah musuh besarmu itu?"

Terunjuk serba susah di wajah Kiang Kiang-hong, bibirnya bergerak tapi tak keluar sepatah kata. Pau Seh-hoa tertawa melengking, katanya.

"Memangnya musuhmu itu seekor Naga Kuning?"

Dengan keheranan Kiang Kiau hong menelan ludah katanya tergagap.

"Naga Kuning? Naga Kuning yang mana? Harap saudara suka menjelaskan ...."

Siang Cin melangkah maju beberapa tindak, Toa liong kak telah dia simpan, katanya sambil menjura pada Kiang Kiau-hong.

"Cayhe Siang Cin, silakan Lotiang duduk di dalam."

Haru dan terima kasih Kiang Kiau-hohg, ia menjura pada Siang Cin, katanya.

"Engkoh muda ini sungguh bajik dan bijaksana, Lohu sungguh merasa lega dan bersyukur, bila penyakitku tidak kumat lagi, kami akan segera berangkat, se-kali2 tak berani bikin repot engkoh muda ini ...."

"Jangan sungkan,"

Ucap Siang Cin.

"kamar di sebelah kanan itu boleh tetap kalian tempati. bila Lotiang perlu apa2, silakan bilang saja, sama2 orang yang hidup berkelana, bila menghadapi kesukaran adalah jamak, kalau kita saling bantu."

Beruntun Kiang Kiau-hong menjura dua kali, anak gadisnya lalu membimbingnya masuk ke kamar. Setelah bayangan mereka lenyap, Pau Seh boa menyeka mulut serta berkata lirih.

"Lote, tidak pantas kau terima mereka begini saja. Menurut dugaanku, kakek itu rada mencurigakan, jangan2 dia sengaja main tipu ........

"

Siang Cin tertawa tawar, katanya .

"Kuharap tiada kejadian apa2, kalau tidak, mereka akan menyesal setelah kasip " - Lalu dia putar balik, dengan hati2 dia pondong Kun Sim-ti ke dalam rumah, An Lip berjalan mengikutinya. Itulah ruang tamu yang sederhana dan membawa harum kayu cendana, beberapa kursi dan bonggol pohon asli yang di ukir sedemikaan rupa sehingga tampak sangat indah, meja kayu yang ceplok2 kuning di pojok sana terdapat sebuah pedupaan yang masih mengepulkan asap dupa yang harum.

"Lo Pau "

Ucap Siang Cin sambil berpaling.

"kau dan An Lip sementara istirahat dulu di sini."

Pau Seh-hoa mengendus2 dengan hidungnya, katanya sambil duduk dengan santai.

"Lekas pergi, aku tahu kamar tamu yang serba antik ini pasti akan menjadi tempak tinggalku."

Siang Cin tak bicara lagi, dia lantas masuk ke kamar sebelah kiri, kamar ini ternyata juga sederhana, bau kayu cendana juga merangsang hidung, di dinding bergantung buah beberapa lukisan, sebuah dipan kayu berkasur dan beralaskan tikar anyaman, rotan, selimut bantal tersedia lengkap.

Pelahan Siang Cin rebahkan Kun Sim-ti, sekian lama dia menatap wajah orang tanpa berkedip matanya nan indah itu masih terpejam, tenang tanpa membayangkan rasa kesakitan.

Setelah termenung sekian saat, akhirnya Siang Cin mengemuli badan Kun Sim-ti.

diam2 dia mengundurkan diri keluar.

Pau Seh-hoa duduk di kursi sana, melihat dia keluar lantas berkaok.

"O, tuan besarku, sudah kukatakan perut telah berkeruyukan, rasanya sungguh tersiksa, kau sebaliknya masih enak2 seperti tak kenal lapar saja, memangnya kau ingin membikin kita lekas menuju sorga?"

"Sssst", Siang Cin mencegah orang berkaok2 lagi, sekali tarik dia ajak Pau Seh-hoa keluar, dia melihat cuaca, memandang gumpalan awan di kejauhan sana. katanya kemudian.

"Lo Pau, nanti akan kutraktir kau makan panggang bebek, kau suka makan yang tua atau yang masih muda?"

"Panggang bebek?"

Teriak Pau Seh-hoa menelan ludah, tapi lekas dia geleng kepala, katanya tidak percaya.

"Panggang bebek kentut, ditempat seperti ini mana ada panggang bebek? Jangan kau menggelitik seleraku, kalau ada semangkuk nasi putih dengan sayur asin saja sudah lebih cukup bagiku sekarang."

Belum lagi dia habis bicara, tiba2 didengarnya suara kebasan angin yang ramai disertai suara burung belibis dari kejauhan, tampak di udara di kejauhan sana tengah terbang mendatangi sekelompok belibis liar.

Keruan Pau Seh-hoa melengak, serunya keheranan.

"Eh, ternyata ada bebek liar, untuk apa belibis ini jauh2 terbang ke tempat ini? Wah, sungguh menarik, semuanya gemuk2."

Siang Cin membasahi bibirnya, tuturnya.

"Kolam kecil di depan itu kunamakan Cengsim ti (kolam pembersih hati), rasa airnya harum dan agak hangat, di tengah bunga seruni yang tumbuh secara liar di pinggir kolam terdapat semacam rumput yang berbatang coklat ke-hitam2an sebesar jari kelingking, buahnya berwarna merah, kelompok bebek liar itu setiap hari pasti terbang kemari melalap buah2 merah dari tetumbuhan liar yang aneh itu serta minum air kolam itu, agaknya mereka amat suka pada ke dua macam makanan dan minuman ini."

Sementara itu sayap gerombolan bebek liar itu telah hampir menutupi angkasa di atas rumah, tak kurang dari seratusan bebek liar yang sekaligus hinggap di puncak tebing, kelompok bebek liar itu tak pernah kacau saling berebut makanan gerak langkah mereka cukup teratur dan rapi, cuma suaranya yang berisik itu memang agak menusuk pendengaran.

Mulut Pau Seh-boa terpentang lebar, sambil pentang lengan bajunya dia siap menubruk maju menangkap barang dua tiga ekor, tapi Siang Cin lekas menariknya, katanya pelahan.

"Jangan buru2, biar aku saja yang bekerja." - Lalu dia melangkah ke tembok batu gunung raksasa itu, tangan terulur ke dalam sebuah lubang, dari situ dia merogoh keluar beberapa utas benang putih kemilau, entah benang terbuat dari apa, yang terang benang itu kuat dan bisa mulur, pada setiap ujung benang tergantol satu biji buah merah, Siang Cin memberi tanda kedipan mata pada Pau Seh-hoa, sekali sendal, benang lemas ditangannya itu tiba2 menjadi lempeng lurus seperti kawat baja meluncur ke depan, benang2 itu bergontai pergi datang di tengah rombongan bebek liar itu, maka lima bebek sekaligus pentang sayap mengejar buah merah itu hendak mematuknya. Siang Cin tersenyum, ketika dia tarik balik ke lima jalur benangnya itu lima ekor bebek itupun ikut hinggap di bawah tembok, sedikitpun tidak menimbulkan suara berisik. Lekas Pau Seh-hoa memburu ke sana serta memeriksa, ternyata kelima utas benang perak itu telah tembus menusuk badan bebek laksana jarum, semua itu dilakukan tanpa menimbulkan keributan pada rombongan bebek liar itu. Siang Cin ikut memunguti bebek itu serta menyimpan benang peraknya, katanya tertawa.

"Karena selamanya aku tak pernah menangkap mereka secara kasar atau membunuhnya secara terang2an, maka mereka percaya bahwa aku bersikap baik dan bersahabat, setiap hari mereka datang kemari tanpa hiraukan diriku. Dan harus disesalkan aku justeru menggunakan daging mereka sebagai hidanganku setiap hari, kalau aku gunakan caramu tadi menangkap dan mengudak mereka, umpama dapat menangkap beberapa ekor, selanjutnya merekapun takkan berani kemari lagi."

Sambil mengangguk Pau Seh-hoa melelet lidah, katanya.

"Sudahlah, tak usah banyak komentar tuan muda, anggaplah kau yang benar dan pandai, sekarang lekas kita panggang saja."

Siang Cin tertawa geli melihat kelakuan temannya yang kocak itu.

mereka lantas bawa bebek itu ke dalam rumah, dengan giat Pau Seh hoa bantu Siang Cin menyalakan api di tungku, memasak air dan mencabuti bulu, tanpa terasa air liurnya bertetesan.

Sambil menahan sakit An Lip juga maju membantu, cukup lama juga mereka bekerja, tahu2 bau bebek panggang yang sedap merangsang hidung.

Menghirup napas panjang Pau Seh-hoa bersuara seperti merintih.

"O, sedapnya, sekaligus aku bisa menghabiskan dua ekor .....

"

Sambil, membalik sundukan bebek panggang An Lip tertawa, katanya.

"Selera Paucianpwe sungguh besar, kalau Cayhe mungkin setengah ekor saja tidak habis ......

"

Pau Seh hoa tergelak2, katanya sambil menuding An Lip.

"Anak muda, hatimu lagi melayang jauh ke tempat bekas binimu itu, mana ada selera makan minum segala? Haha ......"

Sementara itu Siang Cin sedang membubuhi bumbu pada bebek panggang, timbrungnya tertawa.

"Lo Pau, memangnya mulutmu itu tidak bisa bicara hal2 yang baik?"

Pau Seh hoa mulai sibuk menyobek daging bebek panggang yang besar dan dijejal ke dalam mulut, sambil ber-kecap2 dan mengunyah tak hentinya dia memuji betapa lezat bebek panggang itu.

Di kala dia melalap bebek panggang itulah, pintu kamar di sebelah kanan terbuka, anak perempuan jelita tadi tampak keluar dengan malu2, tanpa terasa iapun mengernyitkan hidung, memandang SiangCin, lalu berpaling ke arah bebek panggang yang sedang dilalap Pau Seh-hoa, bibirnya bergerak seperti hendak mengatakan apa2, tapi urung.

Dengan menjilat minyak di bibirnya, Pau Seh-hoa bertanya.

"Eh, ada keperluan apa anak manis?"

Sesaat lamanya anak perempuan itu bimbang, lalu berkata dengan malu2.

"Ayah ....ayahku, beliau kurang enak badan, kupikir, kupikir bolehkah kumohon sedikit kuah panas, supaya sesak napas ayah lekas berkurang."

Siang Cin meraih poci dan diangsurkan, katanya tertawa.

"Ambillah, ini air teh yang baru diseduh."

Dengan malu2 anak perempuan itu menerimanya, sekilas ia mengerling ke arah Siang Cin, kerlingan yang mengandung makna mendalam, kerlingan yang aneh, tiada perasaan lembut, tapi lebih cenderung pada perasaan kesal, tak nampak sikapnya yang lembut dan malu2 tadi.

Siang Cin tak pernah lepas perhatiannya atas gerak- gerik si nona, sekilas dilihatnya orang melenggong, dikala dia menoleh dan memperhatikan, orang lantas menunduk sambil menyatakan terima kasih terus mengundurkan diri..

Mendadak Pau Seh hoa panggil anak perempuan itu, tanyanya.

"He, anak manis, siapa namamu?"

Anak perempuan tampak itu melengak, dia menunduk, sahutnya lirih.

"Aku Kiang Ling ...."

Sambil mengunyah daging bebek, Pau She-hoa mengangguk seraya berceloteh.

"Em, bagus, namamu memang enak didengar ...."

Suara batuk di kamar sebelah terdengar semakin keras dan men-jadi2, lekas anak perempuan itu mengundurkan diri setelah mengangguk kepada orang banyak. Mengawasi punggung orang An Lip berkata lirih.

"Anak perempuan ini sungguh berbakti terhadap ayahnya, lemah lembut lagi ......"

Pau Seh-hoa menyeringai dan menyambung " ..... dan wajahnya ayu, dada montok dan menggiurkan."

Siang Cin menaruh seekor bebek yang habis dipanggangnya di atas baki, lalu menyunduk pula dua ekor, dia sibuk sendiri tanpa memberi komentar apa2. Kembali Pau Seh boa merenggut paha bebek di tangan kanannya, katanya dengan mulut kecap2.

"Kongcuya, kenapa tidak kau utarakan pendapatmu? Kau toh cukup ahli dalam menilai perempuan."

Siang Cin tertawa tawar, katanya.

"Aku sedang me-nimang2, apakah kiranya penilaianku cukup setimpal atau tidak terhadap manusia atau sesuatu yang ada di depan mata."

Seperti terketuk hati Pan Seh-hoa oleh kata2 ini, sekilas dia melenggong, akhirnya dia menunduk tanpa bercuit lagi.

Maka keadaan sesaat menjadi sunyi, semua berdiam diri, hanya suara minyak panggang bebek yang terbakar yang gemericik, lekas sekali bau sedap bebek panggang yang sudah masak merangsang hidung, kelima ekor bebek itu sudah selesar dipanggang, warnanya coklat ke-kuning2an dan berminyak, sungguh menimbulkan selera yang tak terhingga.

An Lip dan Pau Seh-hoa mendapat jatah satu ekor, Siang Cin antarkan seekor ke kamar sebelah kanan, dengan prihatin dia mengetuk pintu, tak lama kemudian daun pintu pelan2 terbuka, anak perempuan yang bernama Kiang Ling itu menongol keluar, sikapnya kelihatan ragu dan takut2 penuh tanda tanya.

Siang Cin tertawa ewa, katanya.

"Bebek panggang yang seekor ini kami berikan kepada nona untuk dimakan bersama ayahmu." Kiang Ling melengak, agaknya dia tidak mengira akan pemberian ini, dengan malu2 lekas dia menunduk, katanya.

"Ini . ...mana boleh kami terima? Bikin repot Congsu saja ...."

Siang Cin angsurkan baki ditangannya, tanpa berkedip dia berkata.

"Sesama hidup dirantau harus saling membantu, nona tidak usah sungkan." - Habis berkata dia putar tubuh menyurut mundur, mendadak Kiang Ling memanggilnya dengan suara lirih, terpaksa Siang Cin berhenti, tanyanya.

"nona masih ada pesan apa?"

"O,"

Sengaja Kiang Ling menarik panjang suaranya, dia unjuk senyum manis, katanya.

"Siang hiapsu . ...

"

Siang Cin menggoyang tangan, katanya;

"Tidak berani, Cayhe, adalah orang liar, kaum Kangouw yang hidup bergelandangan."

Dia membalik dan kembali ke tempat duduknya.

Sementara itu Pau Seh-hoa sudah hampir habis sikat seekor bebek.

Tanpa terasa sang surya sudah mulai doyong ke barat, hari sudah dekat maghrib.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - -- - - - - -- - - - - - -- Siapakah si orang tua Kiang Kiau-hong dan anak perempuannya yang bersembunyi di tempat Siang Cin ini? Cara bagaimana Siang Cin akan bantu rebut kembali pacar An Lip? -
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar