Bara Naga Jilid 01

Jilid 01

Gunung itu hitam, batu2 gunung yang berbentuk aneh itupun hitam, bunga dan rumput yang tumbuh di sela2 batupun berwarna hitam.

Semuanya serba hitam, serba gelap, sehingga suasana bertambah kelam dan dingin..

Gunung itu tidak tinggi, tapi suasana di sini membuat orang berdiri bulu romanya merinding dengan jantung berdetak..

Pohon cemara yang berjajar enam di pucuk gunung juga berwarna hitam, keenam cemara ini sanaa menjulurkan cabang dahannya laksana enam raksasa yang pentang tangan hendak menerkam mangsanya.

Cuaca terasa lembab, mendung mega mengambang rendah dan tebal.

Waktu itu musim rontok, angin menghembus kencang, men-deru2 seperti orang menangis, suaranya menambah misteriusnya keadaan sekeliling-nya.

Segumpal darah tiba2 muncrat dari balik batu hitam sebelah sana, terhembus angin kencang hingga tercecer ke mana2, seorang laki2 tinggi besar dengan langkah sempoyongan seperti orang mabuk berputar dua kali terus jatuh terpelanting, batok kepalanya ternyata sudah remuk, darah tercampur otak meleleh keluar, keadaannya tampak mengenaskan.

"Wut", sesosok bayangan orang melambung tinggi ke atas laksana sebatang galah besar yang di luncurkan ke udara dengan keras menumbuk dinding gunung, lalu terpental balik pula, membentur batu padas hitam di belakangannya suara "pletak"

Dari tulang2 yang patah terdengar jelas sampai jauh, batu gunung hitam yang dingin 2 dan berlumut kini dilapisi cairan darah, dengan cepat batu gunung itu telah menyerapnya sehingga warnanya semakin hitam rnenyeramkan.

Angin gunung seperti mengamuk sehingga ke enam cemara di pucuk gunung itu menari2 lebih keras seperti raksasa yang marah, lebih seram dan mengerikan, suasana tegang mencekam alam pegunungan.

Di balik batu2 padas besar sana, di tengah sebuah tanah lapang yang tidak begitu luas, tujuh orang berjubah warna hitam, semuanya berusia setengah umur, wajah mereka tampak dingin kaku dan kejam, mereka berdiri setengah bundar, bola mata mereka mendelik memancarkan sinar dingin, tak ubahnya binatang buas yang mengincar mangsanya, yaitu sesosok bayangan orang berwarna kuning muda.

Orang ini berdiri tepat di tengah lingkaran, jubahnya yang kompreng berwarwa kuning me-lambai2 tertiup angin, biji matanya bening memancarkan cahaya cemerlang hidungnya mancung, bibirnya yang tebal merah laksana cabai, warna kuning jubah yang dipakai tampak sangat serasi, tenang dan mantap, kuning angsa ini se-olah2 memancarkan cahaya keagungan, dilandasi kulit badannya yang putih halus dengan sikapnya yang gagah perwira.

Kedelapan orang ini berdiri berhadapan dan saling tatap, sementara tidak kelihatan ada sesuatu gerakan, dua orang yang telah binasa tadi se-olah2 tiada sangkut paut dengan mereka.

Pelan sekali orang berbaju hitam yang berdiri paling kiri mulai bergerak sedikit, pemuda jubah kuning itu tampak mengulum senyum dengan santai, kedua tangannya yang panjang berpangku di depan dada, orang berbaju hitam itu kelihatan amat jeri, kulit muka mereka yang kasar dan berkeringat itu kelihatan tegang dan rada pucat.

Mata tunggal orang berbaju hitam di sebelah kanan tampak mendelik sebesar jengkol, dengan keras hidungnya mendengus sekali, maka si baju htam di sebelah kiri seketika menggertak gigi, laksana kilat menyambar, sebat sekali dia melompat maju, bayangan telapak tangan beterbangan di udara serapat jala, dengan enteng dan cepat menerjang ke arah pemuda jubah kuning.

Seiring dengan gerakan orang di sebelah kiri enam orang yang lain serempak menubruk maju pula, masing2 melancarkan serangan yang berbeda, angin pukulan segera membadai, bayangan hitam saling sambar menyambar.

Kejadian hanya sekejap saja, sekejap orang mengedipkan mata, maka tertampak sesosok bayangan orang se-olah2 kehilanga imbangan badannya seperti sekeping batu yang dilontarkan ke udara, seperti kedua orang yang mendahului tadi, tanpa bertenaga sedikitpun meluncur menumbuk batu gunung yang runcing.

"Bluk", suaranya menusuk telinga, keadaan lekas sekali kembali tenang seperti semula, dalam posisi setengah lingkar mergelilingi pemuda jubah kuning, cuma jumlah kawanan baju hitam sekarang tinggal enam orang. Tidak kelihatan perubahan perasaan sedikitpun pada wajah pemuda jubah kuning, tenang dan mantap, setenang permukaan air empang, se-akan2 dunia kiamat juga tidak membuatnya gugup dan risau. Kedua pihak sementara lama berdiam diri, mendadak bayangan orang kembali saling tubruk dan berkelebat silang menyilang, tertampak sesosok bayangan orang seperti dilontarkan oleh kekuatan yang maha besar mencelat jauh dan terbanting keras, lekas sekali keadaan menjadi tenang kembali pada posisi semula, sudah tentu orang berbaju hitam yang berdiri setengah lingkar itu kini bersisa lima orang saja. Pemimpin orange baju hitam ini mungkin ialah si laki2 mata tunggal setengah baya itu, mukanya tampak kurus tirus, tulang pipinya menonjol, alisnya jarang, setiap kali dia menyeringai, dua gigi taringnya tompak menongol keluar, mata tunggalnya kini semakin mendelik, putih matanya sudah merah membara, demikian pula air muka keempat temannya, tegang dan jeri, tapi nekat, mukanya sudah basah kuyup oleh keringat, sinar mata mereka mulai menampilkan kegoyahan hati mereka yang tidak tenteram lagi. Si mata tunggal menyapu pandang sekilas ke arah teman2nya, kalau permainan dilanjutkan dengan cara terdahulu, maka sekarang tiba giliran orang nomor satu dihitung dari sana yang harus bertindak lebih dulu, orang ini berusia setengah umur juga, perawakannya kekar, jambang lebat, tapi laki-laki kekar ini tampak menggigit bibir, biji lehernya naik turun menelan ludah, sorot matanya tampak memancarkan rasa cemas dan ketakutan. Memang, bagi seorang normal biia tahu jiwa raga yang dikaruniai oleh bapak-ibu dalam sekejap ini akan musnah, maka betapapun besar hatinya pasti juga akan merasa berat untuk meninggalkan kehidupan ini. Pemuda jubah kuning tenang2 saja memandanginya, ujung mulutnya menjungkit seperti tertawa tapi tak tertawa, dia menarik napas panjang, cahaya matanya yang cemerlang seketika berubah dingin kejam, sorot mata dingin kejam ini justeru menatap tajam muka laki2 berjambang dengan sinis. Mendadak laki2 berjambang menggerung murka, tiba2 ia melompat maju sambil berputar dan meliuk beberapa kali, dengan gerakan aneh dan gaya yang lucu ia menerkam. Pemuda jubah kuning tertawa lebar, cepat ia bergerak, dikala keempat musuh yang lain serempak ikut menyerang dan belum lagi mencapai posisi yang dapat melukai dirinya, di tengah bayangan telapak tangan musuh yang menari turun naik, kedua telapak tangannya yang setajam golok telah menabas dengan gerak cepat yang sukar diikuti oleh mata telanjang, tahu2 laki2 berjambang menjerit ngeri, seperti kawan2 nya yang mendahuluinya, badannya mencelat tinggi, dalam sekejap itu, telapak tangan musuh dengan telak telah bersarang enam belas kali di tubuhnya, tapi hanya dia saja yang tahu, selamanya iapun tak dapat menceritakan penderitaanya ini kepada siapapun juga. Posisi kembali seperti semula, sisa empat orang laki baju hitam ini tidak mungkin dapat mengurung lawan dengan melingkar lagi, kini mereka berdiri berjajar menjadi satu baris, keringat membasahi seluruh badan sampai pakaian hitam mereka melekat kencang di atas tubuh, dengus napas mereka yang berpadu memperdengarkan ketegangan perasaan mereka yang sudah mulai panik, takut dan putus asa, mati dan hidup segera akan menentukan nasib mereka. Dengan gerakan kalem dan indah si pemuda jubah kuning mengebaskan lengan jubahnya yang kuning, warna kuning jubahnya menampilkan rona bersih dan suci, ia mendongak memandang langit, sikapnya tak ubahnya seperti anak sekolahan yang lembut dan ramah, se-olah2 sedang menikmati panorama nan indah. Tatkala dia mendongak itulah, sinar kemilau berkelebat, sesosok bayangan orang tiba2 menubruk tiba, pada waktu yang sama tiga bayangan orang lain dari tiga jurusan yang berbeda juga serentak menyerang ketiga arah yang mungkin akan digunakan mengundurkan diri. Tapi anak muda itu tidak bergerak, bergemingpun tidak, hampir sulit dilihat mata telanjang, tahu2 kedua tangannya bergerak, gerakan yang mempesona, karena gerakan itu sedemikian aneh dan luar biasa, begitu kejam dan keji, bersamaan waktunya ketika musuh yang rnenubruk tiba itu dipukul mental dengan keras, gerak tangan dengan landasan kekuatan hebat pemuda baju kuning ternyata masih berlebihan untuk menyerang, pula ketiga musuh yang serempak tiba dari tiga jurusan. Dua bayangan dengan empat telapak tangan saling bentrok, di tengah bentrokan sekejap itu, keadaan menjadi runyam, seorang roboh telentang, celakalah temannya yang Lwekangnya tidak setangguh dia, baru dia menyadari situasi tidak menguntungkan, telapak tangan kanan si pemuda jubah kuning setajam golok tahu2 membelah tiba menyerempet lehernya, hanya gerakan enteng dengan serempetan yang ringan saja, tapi akibatnya sungguh fatal, batok kepalanya terpanggal mencelat entah ke mana. Aksinya terjadi dalam sekejap dan berakhir dalam sekilas pula, si pemuda jubah kuning tampak menggendong tangan dengan kepala tetap mendongak, dengan napas yang terhela enteng terasa wajar se-olah2 sejak tadi ia hanya menikmati panorama dan tak pernah terganggu oleh apa dan siapapun. Hanya Thian yang tahu, dalam gerakan sekejap itu, dua jiwa telah melayang direnggut elmaut. Kini tinggal dua orang lagi, keduanya berdiri memaku bagai patung, sorot mata mereka yang redup bagai titik sinar kunang2 yang sudah mulai pudar, sisa cahayanya hampir padam, terasa betapa besar ketakutan, dendam dan benci hati mereka. Dingin dan tawar pandangan si pemuda jubah kuning mengawasi kedua orang di depannya, wajahnya trdak menampilkan rasa puas dan senang karena menang, tiada rasa beruntung, sikapnya lebih mirip seorang yang merasa memang patut menerima anugerah kemenangan dari akhirnya suatu pertempuran. Kedua orang baju hitam beradu pandang sekejap, si mata tunggal yang mendelik garang dan buas tadi kini telah kuncup nyalinya, temannya yang tinggal satu ini berperawakan gemuk dan tinggi besar, wajah laki2 raksasa ini sangat jelek, mukanya penuh daging lebih yang bergelantungan di selembar mukanya, di bawah dagunya ada tahi lalat besar warna hitam, ujung tahi lalat ini tumbuh tiga lembar rambut kasar yang bergoyang gemetar, karena jelek mukanya sehingga tidak kentara betapa besar perubahan air mukanya, tapi dari gerak tiga utas rambut di tahi lalatnya itu dapat diketahui bahwa laki2 raksasa ini sudah mulai goyah keberaniannya. Sejak mula sampai detik ini belum pernah si pemuda jubah kuning bersuara barang sekecap, namun sorot mata dan air mukanya menampilkan kepandaian silatnya yang maha tinggi, se-olah2 dia sudah yakin akan akhir dari pertempuran seru ini, sikapnya yang gagah dan perbawanya yang angker menampilkan pula suatu kekuatan yang tak terlawan oleh siapapun. Hampir tidak terasakan oleh siapapun, lambat dan lambat sekali, akhirnya kedua orang baju hitam itu diam2 menyurut mundur. inilah gerak otomatis dari rasa takut, tak pernah terbayang dalam benak mereka bahwa hidup yang biasa mereka kenyam dengan segala kejayaan selama ini, kini segalanya akan sirna. Si pemuda jubah kuning melengos ke sana, dengan tenang dia menatap keenam pucuk pohon cemara di belakangnya yang serba hitam itu, dahan pohon cemara masih bergerak turun naik tertiup angin seperti sedang menari, gumpalan awan bergulung2 di angkasa menambah suasana menjadi semakin seram. Pelan2 si jubah kuning menghela napas, sekonyong2 ia berseru nyaring dan berkumandang bagai datang dari tempat nan jauh sekali.

"Nay-hosan ini sungguh sunyi, rimbun dan menyeramkan!"

Diam2 bergidik kedua orang baju hitam, tanpa sadar mereka saling adu pandang sekejap, pelan2 si jubah kuning berpaling kembali, sorot matanya memandang jauh ke bawah gunung yang kelam sana dan bergumam pula.

"Kehidupan di dunia memang terus berputar, ada hidup juga ada mati, siang dan malam saling berganti, tukar menukar tak putus2, tiada sesuatu apapun dalam kehidupan duniawi ini yang kekal, bunga ada saatnya berkembang dan layu, manusia dilahirkan dan akan menjadi tua, musim berganti, siang berganti malam, kejadian hari ini pasti berbeda dengan esok, bunga akan layu dan gugur, meski akhirnya mekar lagi, tapi sudah bukan bunga yang semula itu. Demikian pula manusia, sekali dia mangkat, selamanya dia tidak akan kembali dalam keadaan semula meski ada inkarnasi, dan sekarang ......... Bening dan tajam matanya menatap kedua orang baju hitam bergantian.

"Hari ini akan menjelang, selamanva hari ini takkan berulang, senja hari memang elok laksana gambaran dalam syair yang melukiskan suatu akhir nan abadi, bila manusia mangkat di kala senja ini, dia akan membawa kenangan yang khidmat, baru dan tenang."

Sungguh memelas, dalam keadaan seperti ini sudah tentu kedua laki2 baju hitam tiada minat buat mendengarkan kata2 bersanjak si pemuda jubah kuning, tanpa sadar kembali mereka menyurut mundur, tiga bola mata mereka tak berani berkedip menatap si pemuda jubah kuning.

Tertawa tawar pemuda jubah kuning dan berkata pula.

"Nama gunung ini tidak baik, dia bernama Nay-ho, (apa boleh buat), tentunya kalian juga tahu, di neraka terdapat pula sebuah jembatan yang bernama Nay-ho-kio?"

Naik turun pula biji leher si mata tunggal, setelah mengerang gusar, dia berkata dengan suara serak.

"Siang Cin, kau kejam sekali ...."

"Tidak,"

Ajar pemuda jubah kuning.

"aku tidak kejam, manusia hidup di dunia fana ini jangan selalu dirundung kesusahan, kalau derita hidup terlalu menekan jiwa, lebih baik dilupakan saja, sudah tentu tidak mudah melupakan derita nestapa itu, tapi aku punya suatu cara yang terbaik, kalau tidak melupakan dendam hari ini, inipun merupakan derita batin, akan kugunakan cara yang terbaik itu untuk melenyapkan penderita kalian, bukankah sikap dan tindakanku ini amat arif bijaksana, hm?"

Laki2 gendut itu tiba2 menbanting kaki, teriaknya dengan menggerung gusar.

"Koko, apa pula yang kita tunggu? Kau kuatir setelah kita mati tiada orang akan menuntut balas bagi kematian kita?"

"Pasti ada,"

Timbrung pemuda jubah kuning "bila nasib kalian mujur, kalian tidak akan mati sia2 di sini."

Bola mata si mata tunggal melotot buas, napasnya mulai memburu, si jubah kuning menegakkan alisnya, tiba2 dia berkelebat maju, sejak pertempuran di mulai tadi, baru pertama kali ini dia bertindak menyerang musuh lebih dulu.

Warna kuning berkelebat bagai cahaya lalu, baru saja si mata tunggal dan si gendut terperanjat tahu2 bayangan orang sudah berada di depan mereka, bergegas keduanya melompat mundur ke kiri kanan, empat telapak tangan serempak menebas miring, tapi serangan mereka msngenai tempat kosong, seperti menyerang sebuah bayangan belaka, belum lagi sempat mereka menarik tangan dan ganti serangan, si gendut tiba2, menguik keras seperti sapi digorok lehernya, mulutnya menyemburkan darah segar, ia ter-huyung2 dan jatuh tersungkur.

Jantung si mata tunggal serasa beku demi mendengar pekik si gendut menjelang akhir hayatnya tak sempat memperhatikan temannya, sigap sekali kedua tangannya menyodok, menyusul kedua kaki menendang secara berantai.

Tapi sayang sekali, dalam suatu gerak kisaran yang aneh, pemuda jubah kuning tahu2 sudah menangkap kedua kakinya malah, seperti seorang atlit pelempar peluru, tubuh si mata tunggal diputar sekali, se-olah2 ingin melampiaskan dendamnya, badannya ia lempar sekuatnya.

Si mata tunggal me-ronta2 di tengah udara, se-akan2 ingin melepaskan diri dari daya luncuran keras yang bakal merenggut jiwanya.

Tapi dia gagal, dikala kaki tangannya mencak2 di udara itulah, sang waktu telah menjadikan penyesalan dan dendamnya secara abadi, punggungnya dengan telak dan keras menunduk dinding batu gunung yang hitam itu, daya tolak benturan itu membuat badannya mencelat balik ke arah yang berlawanan hingga sejauh tujuh kaki.

Dengan tenang si jubah kuning saksikan adegan ngeri ini, sesaat dia terdiam, lalu pelan2 menghampiri si mata satu yang kempas kempis menunggu ajal, muka si mata satu selintas pandang kelihatan lucu dan aneh, kerut2 kulit mukanya mirip kulit binatang yang dikeringkan sehingga tak mirip wajah manusia lagi, mulutnya terbuka lebar, dua gigi siungnya mencuat keluar, alisnya yang jarang2 tampak gemetar mengikuti dengus napasnya yang tinggal satu dua, selebar mukanya berlepotan darah, sekujur badanpun bernoda darah, bola mata tunggalnya seperti hampir mencotot keluar mendelik ke arah pemuda jubah kuning.

Tenang si jubah kuning balas menatapnya, katanya kalem.

"Ko Kuh, kalau kau menderita, maka derita ini akan segera berakhir."

Berkeriut kerongkongan si mata satu, bola mata tunggalnya terbalik memutih, sekuatnya dia menggerakan mulut yang megap2.

"Siang ......Siang Cin ......kau .....kau memang pantas ......di..... dijuluki durjana."

Si jubah kuning, dia bernama Siang Cin, dengan tawar mengawasi Ko Kuh, suaranyapun tawar.

"Yang kuat menang yang lemah mampus, ini sudah hukum alam. Ko Kuh, mungkin akan datang suatu ketika akupun akan terjungkal entah di mana, memang kondisi dan keadaan kita berbeda, tapi akhirnya akan sama, cepat atau lambat kita pasti akan bertemu di Nay-ho-kio."

Bola mata Ko Kuh membalik, sorot matanya sudah pudar, badannya tampak mengejang, sekuatnya dia berteriak.

"Menunggumu ..... kami Kian-pau-kiuliong ........seluruhnya akan menunggu kedatanganmu."

Bahwa suaranya yang sumbang masih bergema terbawa angin lalu, tapi jiwa si pembicara sudah melayang setelah berkelejetan beberapa kali. Siang Cin meluruskan badan, pandangannya menyapu keenam pucuk pohon cemara raksasa hitam dan bergumam.

"Musim rontok hampir berselang, hawa mulai dingin ......" - Pelan2 dia membalik tubuh terus turun gunung, bagai segumpal awan kuning, mengambang enteng, melayang secepat terbang dan lenyap tak berbekas. Nay-ho-san tetap berdiri tegak menjulang angkasa dibungkus mega setenang raksasa yang tidur pulas, keadaan remang2, suasana mulai dingin mencekam, seolah2 tidak menyadari arti kehidupan, dia tidak mengenal hidup yang merana dan derma manusia dalam pergulatan kehidupan ini, yang jelas dia hanya tahu bahwa segala yang terjadi adalah "apa boleh buat". 

0-0-0-0-0-0-0-0-0

Angin sepoi2 menerobos jubah kuning yang halus melambai, Siang Cin tengah beranjak di tanah tegalan yang cukup luas di lereng pegunungan, pohon randu yang memagari sepanjang jalan tinggal rantingnya yang kering. Sebuah sungai ber-liku2 menembus hutan cemara di sebelah depan, pohon2 cemara yang mulai gundul itu tetap tumbuh di musim rontok yang hampir berselang ini. Alis Siang Cin tampak terpentang lebar, langkahnya kalem dan mantap, akhirnya menuju ke tepi sungai dan duduk dengan tenang, ia melamun mengawasi air yang mengalir hening, begitu khusuk, begitu tenang, se olah2 dia tengah menanti dan ingin menangkap sesuatu apa di tengah air yang gemericik itu, entah apa yang ingin ditangkapnya itu sudah lalu atau akan datang. Tiba2 terdengar derap langkah yang ter-seok2, langkah yang gugup dan tak teratur, tanpa melihat orang akan tahu bahwa orang yang tengah ber-lari2 ini sedang diburu oleh rasa kebingungan, takut dan kesakitan. Sekilas Siang Cin mengerling ke sana, di jalanan sana tampak bayangan seorang tengah bersempoyongan, orang ini berjambang, kulitnya hitam dengan alis gombyok dan mata besar, tapi keadaannya sekarang sungguh amat mengenaskan, sekujur badan berlepotan darah, rambut awut2an, mukanya menampilkan penderitaan yang luar biasa, bola matanya yang mendelik menunjuk keberangan hatinya, mulutnya megap2, buih berhamburan dari mulutnya, keadaannya sungguh amat menyedihkan. Mendadak laki2 besar itu terbanting ketanah, cepat dia merangkak bangun, tapi kembali jatuh tersungkur mencium tanah, di tengah bunyi cambuk yang menggeletar di udara, punggung orang itu segera dihiasi tanda silang berdarah dari bekas luka2 cambukan. Waktu Siang Cin memandang ke belakang orang itu, kiranya beberapa tombak di sebelah sana ada seorang laki2 berpakaian pelajar dengan jubah putih bertubuh tinggi dengan tangan kiri memegang sebuah cambuk kulit sepanjang sembilan kaki, sikapnya adem ayem seperti sedang melepaskan lelah sehabis makan, se-akan2 cuma menghajar seekor anjing yang telah mencuri ayam peliharaannya, laki2 besar itulah yang menjadi bulan2an cambuknya, agaknya laki2 besar itu sudah dihajarnya babak belur sepanjang jalan. Dengus napas laki2 besar itu bagai binatang yang meregang jiwa di ambang pejagalan, agaknya dia sudah menahan segala siksa derita yang tak terperikan itu. tak urung mulutnya masih mengeluh tertahan juga, sekuatnya dia berusaha merayap bangun sambil berusaha menghindari cambuk orang, begitu besar siksa deritanya, tapi pemuda pelajar itu sedikitpun tak mengenal kasihan, ujung cambuknya masih terus menggeletar menghujani punggungnya. Cuilan pakaian laki2 besar yang basah oleh cairan darah berhamburan seperti kupu terbang, matanya melotot gusar, giginya menggigit kencang bibirnya sampai berdarah, darah muncrat ke mana2 terbawa lecutan cambuk, tapi sekuatnya laki2 besar itu mengertak gigi, sedikitpun dia pantang merintih dan minta ampun. Pemuda pelajar itu mencibir, ia menengadah ke atas, cambuknya terayun melingkar di udara.

"Tar", tahu2 ujung cambuknya membelit leher laki2 itu, sekuatnya dia menyendal sehingga badan laki2 yang besar itu terbawa mencelat jauh dan terbanting keras. Rebah celentang di tanah dan kelejetan badan laki itu, kaki tangannya menggelepar, luka di sekujur badan yang berlepotan darah menjadi kotor tercampur debu dan pasir, keringat membasahi pakaian yang sudah ter-koyak2, tapi kedua matanya tetap melotot, tetap mendelik menatap pemuda pelajar itu tanpa berkesip, sorot matanya menampilkan bara dendam yang tak terperikan. Pemuda pelajar balas menatapnya dengan kalem dan penuh rasa kemenangan, katanya dingin.

"An Lip, jalan yang kau tempuh tak jauh lagi, akhirnya kau akan tiba di tempatnya, di sana akan datang seorang yang memberikan ganjaran setimpal padamu."

Beberapa kali laki2 besar itu kelejetan, sekuatnya dia angkat kepala dan memperdengarkan tawa kering, suaranya serak.

"Orang she Gui, tak ....tak usah kau temberang, aku .... An Lip ....tidak ....tidak sudi ....minta ampun padamu." . Pemuda pelajar she Gui mendengus dongkol, ucapnya, bengis.

"Minta ampun juga tak berguna, An Lip sudah puluhan tahun kau menjadi anggota Pang kita, tak tersangka kau lupa diri dan khianat, diam2 kau melakukan perbuatan serong dengan gundik Pangcu yang tersayang. An Lip, sungguh aku ikut malu akan perbuatan kotormu, tak kira di Siang-liong-gi-pang bisa muncul orang seperti dirimu."

Laki2 besar bernama An Lip menampilkan rasa hambar dan pedih, dengan penuh rasa duka nestapa dia pejamkan mata, kerongkongannya berkerok2, sekuatnya dia menelan ludah, tapi dia tak membantah atau membela diri atas tuduhan orang.

Memangnya dalam keadaan seperti sekarang ini, membantah dan membela diri demi kebersihan nama pribadinya tetap akan sia2 belaka.

Dengan gagang cambuk kulit ular ditangannya, pemuda pelajar she Gui menggaruk2 pipinya, katanya dingin.

"Aku Gui Ih sejak menjabat kepala bendera merah Siang gi pang, boleh dikatakan cukup akrab dengan kau, tentunya kau cukup kenal perangaiku, aku paling benci pada manusia cabul dan segala kejahatan seks dan yang membuatku serba susah sekarang adalah orang yang harus kuhukum sesuai hukum yang berlaku di dalam Pang kita justeru talah kau"

An Lip tampak kelejetan sekali lagi, tapi dia tetap tak bersuara, pelajar itu, Gut Ih, berkata lagi, suaranya agak tawar.

"Tak mungkin aku menolongmu membebaskan penderitaan ini, karena aku harus menjalankan perintah, loyalitasku terhadap Sianggi- pang tak terpengaruh oleh persahabatanku dengan kau, terpaksa kaulah yang harus bersabar sepanjang jalan ini, setelah tiba di tempat tujuan, gundik Pangcu akan sama2 dibakar bersama kau, waktu itu kau tidak menderita lagi, cepat sekali segalanya akan menjadi tenang dan tenteram." - Tiba2 ia menarik muka, suaranya berubah kereng dan melengking.

"Sekarang, bangunlah kau!"

An Lip mengertak gigi, pelan2 dia merayap bangun, baru dua langkah dia bertindak sempoyongan, tanpa bicara lagi Gui Ih ayun cambuknya menghiasi dua jalur lecutan berdarah di punggungnya pula, ujung cambuk mengeluarkan suara nyaring, tatkala merobek kulit daging punggung An Lip.

Kontan An Lip terhuyung maju beberapa langkah, tapi dia tidak jatuh, seperti orang mabuk langkahnya sempoyongan dan setengah berlari ke depan, kini dia sudah hampir mendekati tempat di mana Siang Cin duduk santai di tepi sungai.

Seringan kapas terembus angin Gui Ih melangkah dibelakangnya, cambuk kulit kembali terayun melingkar kekanan-kiri, tanpa mengenal kasihan sedikitpun dia terus menghajar laki2 besar alias An Lip yang terhuyung ke depan itu, sekilas matanya mengerling ke arah Siang Cin dengan tatapan waspada.

Lecutan pecut kembali menghajar batok kepala An Lip, kontan An Lip mendekap kepala sambil menjerit tertahan, ia terjerembab jatuh ke depan, sekujur badannya tampak mengejang, giginya gemeratak menggigit tanah berpasir di depannya, kesepuluh jarinyapun mencakar ke dalam tanah saking menahan sakit yang tak terkatakan.

Gui Ih mendekatinya, dengan suara ketus dingin ia membentak.

"An Lip, berdirilah."

Dengan sisa tenaganya An Lip coba merangkak bangun, tapi sayang tenaga tidak memadai keinginannya, tiga kali dia mengulangi usahanya, tapi tetap tak mampu merangkak bangun, muka Gui Ih semakin membesi, sekali sendal cambuknya kembali melingkar membawa deru angin berkesiur "Tar, tar, tar".

puluhan kali kembali dia menghajar An Lip sampai ter-guling2, kaki tangan menggelepar sekujur badan mengejang.

Tiba2 terdengar suara mantap tenang mengandung sindiran berkumandang.

"Tentu kau tahu, hajaran cambuk yang mengenai badan serupa itu tentu menimbulkan derita yang tak terperikan betul tidak?"

Dengan sigap Gui Ih menarik tangan seraya melompat mundur, sorot matanya yang tajam menyapu ke arah datangnya suara, di pinggir sungai, di samping jalan sana, di tempat yang mendekuk turun, Siang Cin tengah mengawasinya dengan pandangan lucu, bibirnya tampak mencibir mengandung cemooh yang sinis.

Secara naluri Gui Ih merasakan adanya ancaman serius, lapat2 terasakan kedatangan orang yang tak dikenal ini teramat aneh dan tak terduga, nadanya tidak bersahabat sama sekali.

Sedikit miringkan tubuh, Gui Ih menengadah, kedua tangan mengepal dengan gaya atas dan bawah di depan dada.

Inilah gaya Siang gi-pang yang khusus ditujukan kepada orang luar agar orang tahu akan asal usul dan jabatannya dalam Pang.

Dinging saja sikap Siang Cin sambil mengangkat alis, dengusnya.

"Aku mengerti, kau ini sahabat dari Siang-gi-pang."

Gui Ih seketika menarik muka, katanya.

"Tentunya tuan juga segolongan, Siang-gipang tengah menghukum anggotanya yang melanggar aturan, tuan adalah manusia yang bisa berpikir, harap minggir dan tidak mencampuri urusan kami."

Siang Cin mengawasi An Lip yang masih menggelepar menahan sakit di tanah, katanya tenang.

"Kupikir, kau harus membebaskan dia."

Berubah hebat air muka Gui Ih, dengan bengis dia menatap orang, katanya ketus.

"Aturan Kang-ouw tidak tuan hiraukan lagi? Kau berani mencampuri urusan keluarga orang lain? Ketahuilah Sianggi-pang bukan golongan lemah yang boleh dibuat permainan."

Aneh kerlingan mata Siang Cin, katanya pelahan sambil menghampiri.

"Sekarang, akan kucoba dirimu untuk membuktikan ucapanmu barusan."

Entah mengapa, tanpa terasa Gui Ih mundur setapak, sekuatnya dia menahan gejolak amarahnya, teriaknya bengis.

"Berhenti sahabat, mungkin kau belum tahu apa akibatnya dari kesemberonoanmu ini?"

Siang Cin tidak berhenti karena ancaman orang, dia tetap berlenggang menghampiri semakin dekat, katanya dengan tenang.

"Aku tahu, malah lebih tahu daripada kau sendiri."

Sambil mengertak gigi, mendadak Gui Ih berkisar setengah lingkaran, badan bagian atas bergerak enteng, sementara cambuk kulit di tangan kanan mendadak tertuding lempeng kaku seperti galah, menusuk ke ulu hati lawan.

Se-akan2 tidak memperlihatkan, gerakan apa2, tapi kenyataan Siang Cin sudah menggeser tiga kaki, sukar dilihat bagaimana dia bergerak, se-olah2 sejak tadi dia memang sudah berdiri di situ, maka ujung cambuk ular Gui lh yang mendesis kencang menusuk tempat kosong.

Jantung Gui Ih betul2 hampir melompat keluar dari rongga dadanya, seketika Gui Ih rasakan kepulanya sedikit pening dirangsang darah mendidih tak sempat memikirkan langkah selanjutnya, badan melengkung bagai busur tiba2 melambung ke atas setombak lebih, tatkala badannya terapung itulah, cambuk kulit ular bagai hujan lebat berderai menghajar musuh.

Sukar untuk dipercaya, sungguh menakjubkan, Siang Cin dengan warna kuningnya yang anggun ternyata dapat berkelit pergi datang di tengah sambaran cambuk yang deras dan kencang, gerak geriknya halus gagah mempesona.

Sambil berjumpalitan di udara, cambuk Gui Ih kembali melingkar dengan deru angin kencang menyapu tiba.

Siang Cin berdiri tegak sekukuh gunung, sedikit memiringkan badan, mendadak dia balas menerjang.

Gui Ih menjadi gugup dan secepatnya melompat minggir, tapi dalam gebrakan sekilas yang berlangsung secepat kedipan mata itu, tahu2 cambuk di tangan sudah berpindah ke tangan lawan, sekilas matanya sempat melirik, hanya terlihat sebuah tangan dengan jari yang putih halus menepuk pundak kirinya, tak sempat dia berpikir, telapak tangan putih itu tahu2 sudah menyentuh tubuhnya, semacam tenaga kuat seketika membuatnya terpental beberapa tombak jauhnya, terus ter-guling2..

Sebagai kepala bendera merah Siang-gi-pang, betapa tinggi Kungfu dan Lwekang Gui Ih, begitu badan menyentuh tanah, dengan sigap sekali dia hendak melejit bangun, tak terduga sebuah kaki dengan sepatu warna kuning tahu2 sudah menginjaknya rebah di tanah pula, kaki orang tepat menginjak di punggungnya.

Suara orang tetap tawar dan dingin, berkata.

"Gui Ih, pulanglah dan laporkan kenada majikanmu Sam bak siu su Tam Kip, katakan akulah yang membawa orangmu."

Dengan susah payah Gui Ih memalingkan kepalanya ke atas, selebar mukanya berlepotan lumpur, dia mengerung gusar.

"Kunyuk, tinggalkan namamu"! Punggung tiba2 terasa enteng, kaki yang menginjak punggungnya tahu2 sudah berpindah, sebuah suara berkumandang di kejauhan terdengar jelas olehnya.

"Gelombang bergulung, mega berlapis, hujan membadai, angin menderu, semuanya bagai gumpalan asap berlalu ...."

Sekujur badan Gui Ih tiba2 merinding dan gemetar, bola matanya mendelik, bibirnya bergetar, gumamnya jeri.

"Ui liong Siang Cin ... Oh, Thian, dia adalah Siang Cin si Naga Kuning ...."

Dalam sekejap ini, laki2 yang disiksanya tadi telah lenyap, sudah tentu dia dibawa kabur oleh Siang Cin alias si Naga Kuning.

- o0-oo-Oo - Malam telah larut, tiada sinar rembulan, hanya kerlip bintang2 yang jarang2 di cakrawala, angin musim rontok terasa mengiris kulit, keheningan malam terasa menghantui sanubari orang.

Itulah sebuah rumah mungil yang dibangun dengan rangka kayu cemara dan usuk bambu kuning, rumah mungil itu dikelilingi pepohonan randu di tepi sebuah sungai yang mengilir tenang bening, di depan dan di belakang rumah penuh di taburi tanaman bunga seruni, meski di malam hari, warna-warni seruni yang menyolok dengan bau harumnya yang semerbak amat melegakan perasaan.

Sebuah jembatan bambu tiga lekukan menembus ke belakang menambah gaya bangunan rumuh mungil ini tampak lebih artistik.

Malam semakin kelam, sesosok bayangan berkelebat dengan kecepatan yang luar biasa, begitu enteng laksana kapas meski sebelah tangannya menyeret seorang lagi, tapi gerakannya tetap lincah dan gesit, hanya tiga kali lompatan dia telah melampui jembatan bambu itu dan tanpa bersuara hinggap di pelataran depan rumah.

Orang itu mengenakan jubah kuning angsa, kedua bola matanya tampak bercahaya di malam gelap.

Dia adalah si Naga Kuning Siang Cin, pelan2 dia membaringkan laki2 besar yang di tolongnya tadi, lalu dia mengetuk pintu.

Menyusul terdengar suara nyaring merdu bak kicau burung kenari berkumandang dari dalam rumah.

"Siapa itu?"

Siang Cin mengedip, katanya dengan suara tertahan.

"Raja naga kembali ke istana dengan kebesarannya."

Suara cekikikan lantas terdengar di dalam rumah, tawa riang yang mengandung rasa terhibur dan lega, pintu rumah yang terbuat dari bambu kuning berkeriut terbuka pelan2, bayangan semampai dengan menenteng sebuah pelita minyak berdiri di ambang pintu, begitu pelita terangkat, matanya memandang ke arah Siang Cin, seketika mulutnya bersuara kaget heran, katanya kemudian.

"Cin, kau membuat onar lagi?" Siang Cin tersenyum lebar tanpa bersuara, laki2 besar tadi dipapahnya masuk ke rumah, di bawah penerangan pelita minyak wajah pemegang pelita tampak cantik molek, secantik bidadari dalam lukisan. Dalam ruangan yang tidak begitu besar terdapat seperangkat meja kursi dari bambu, lukisan kerai bambu tampak tergantung di dinding, asap dupa wangi mengepul dari Hiolo kecil di meja sembahyang di bawah jendela sana, sebuah harpa terletak di atas meja, di samping harpa terletak sebatang pedang, seprei yang bersulam indah warna warni melembari permukaan dipan bambu, di depan dipan beraling sebuah pintu angin yang berukir indah, suasana serba tenteram, bersih tak berdebu, indah mengesankan. Setelab menaruh pelita di atas meja pelan2 pemegangnya membalik badan dan menghampiri Siang Cin yang tengah memapah laki2 tadi duduk di kursi bambu, kedua bola matanya yang bundar besar tampak jeli bercahaya, manis mesra lagi, tanyanya dengan suara lembut.

"Siapakah Congsu ini, Cin?"

Siang Cin membasahi bibirnya dengan lidah, sahutnya .

"Dia bernama An Lip, orang Siang gi-pang, karena main patgulipat dengan gundik Pangcunya, dia dihukumi dera yang berat dan akhirnya akan dibakar hidup2, tatkala kulihat dia dihajar sedemikian rupa oleh pelaksana hukum Siang gi-pang ."

Alis yang lentik laksana bulan sabit di atas mata si cantik tampak berkerut, katanya dengan prihatin.

"Aduh kasihan ........dia pingsan?"

Siang Cin menghela napas, katanya setelah duduk di kursi sebelah.

"Luka2nya sudah kucuci dan kububuhi obat, dia dihajar begitu rupa, tapi dia memang laki2 sejati, jangankan minta ampun, mengeluhpun tidak pernah, menyatakan terima kasih padaku juga belum sempat lantas jatuh pingsan, kupikir setelah terang tanah baru keadaannya akan lebih baik."

Bola mata nan bening jeli si cantik menatap Siang Cin, katanya lembut.

"Kau tentu amat capai juga Cin, kuseduhkan secangkir teh untukmu, lalu kubuatkan makanan .......

"

"Ci, tak usah repot,"

Ujar Siang Cin dengan tertawa.

""Bibi Ciu kan ada? Biar dia .....

"

Hidung si cantik yang mancung tampak mengernyit, katanya manja.

"Hui, kau ini, kalau sudah ngelayap, paling cepat 10 hari atau setengah bulan baru mau pulang, kalau pulang pasti di tengah malam buta, memangnya bibi Ciu harus selalu menunggu kedatanganmu, kecuali aku kakakmu yang bodoh ini ...."

Siang Cin menggosok mukanya dengan telapak tangan, ia berkedip lalu memicingkan matanya, katanya.

"Ya, sudah kutahu kau selalu menanti kepulanganku, maka akupun tidak tega membikin repot kau ...."

Sinar mata si cantik menjadi redup, ter-sipu2 dia alihkan sorot matanya, katanya masgul.

"Aku tahu akan diriku ....dik, aku tidak akan menuntut berlebihan, kau sudah cukup baik terhadapku ...."

Siang Cin berdiri, tanyanya dengan tenang.

"Ci jangan kau singgung kejadian masa lalu, soal itu sudah berselang, sekarang bukankah kita baik2 saja?"

Si cantik terharu katanya sambil menggeleng rawan.

"Kehidupan yang tenteram seperti ini takkan lama kita nikmati, Cin, sudah tiba masanya kau berumah tangga, kelak bila kau sudah mempersunting isterimu, aku, diriku yang menjadi kakakmu ini terhitung apa pula."

Pelan dan lembut Siang Cin tarik tangan yang halus dingin itu, ucapnya pelahan.

"Ci dalam hatimu kautahu bahwa aku Siang Cin bukan laki2 seperti yang kaukatakan, walau kita bukan saudara sekandung, tapi selama ini kupandang kau sebagai kakak kandungku sendiri ...."

Bergetar badannya, pelahan si cantik angkat kepala sambil mengulum senyum, walau dia tahu senyum getir ini mengandung rasa resah, hambar dan kehilangan. Katanya kemudian.

"Cin, aku senang mendengar omongan ini, sungguh, hatiku amat terhibur ... ."

Sembari bicara lekas2 dia putar. tubuh beranjak ke dalam, katanya dengan rada gugup.

"Cin, kau istirahat sebentar, biar kuseduhkan teh untukmu." Jelas terasa oleh Siang Cin nada perkataan si cantik yang mengandung isak tangis tertahan, pertanda betapa pilu dan rawan hatinya, diapun mengawasi bayangan semampai nan menggiurkan itu lenyap dibalik pintu, akhirnya dia menghela napas. Angin berkesiur di luar jendela, malam semakin larut, kabut semakin tebal, bunga api pelita di atas meja tampak memanjang lalu mengkeret dan menyala terang benderang pula. Benak Siang Cin sukar menahan gejolak keresahan, dia mengerti dari mana datangnya keresahan ini, yaitu dari kakak angkatnya ini, perempuan tercantik di kota Tiang-an - Kun Sim-ti. Pelahan2 Siang Cin mengembuskan napasnya yang panjang, masih segar dalam ingatannya pada enam tahun yang lalu betapa nekat dan mati2an Kun Sum-ti menolak keputusan sang ayah yang ingin mengawinkan dia. Ayahnya sudah lanjut usia - Kun Keh-boh, seorang pujangga yang memperoleh gelar tertinggi dalam kalangan pejabat pemerintah, dengan kekerasan telah menghajarnya dengan sebatang pentung dan menyeretnya naik ke tandu, akan diusungnya ke rumah keluarga Oh, salah seorang bangsawan ternama di kota Tiang-an untuk dikawinkan dengan puteranya yang bungsu. Belakangan dia mendapat kabar, setelah masuk kerumah mertuanya itu Kun Sim-ti mogok makan dan minum, sepanjang hari tak pernah berucap sepatah katapun, tapi suaminya, Oh Hian, justeru berpesta pora dengan perempuan2 cantik di luaran, setiap malam pulang seteiah mabuk serta menganiaya dan menyakitinya, belum ada setahun sejak pernikahan itu. Oh Hian ditemukan mati tidak wajar di kamarnya, maka keluarga Oh sama menuduh Kun Sim-ti sebagai pembunuh suami, maka nasibnya lantas terjerumus ke dunia yang lebih mengenaskan, sejak itu dia hidup dalam kegelapan yang tak pernah melihat sinar matahari, tak kenal apa itu hidup riang dengan tawa gembira, sampai suatu ketika Siang Cin telah menolongnya. Itulah kejadian tiga tahun yang lalu. Seribu hari lebih ini terasa berlalu dengan cepat, kejadian dulu bagai baru berlangsung kemarin dulu. Dalam waktu singkat Siang Cin yang semula masih hijau pelonco telah menjadi tokoh persilatan yang sudah kenyang liku2 kehidupan Bu-lim. Tanpa terasa Siang Cin mengulum senyum hambar, yang betul, sudah lama dirinya terhitung seorang tokoh persilatan, cuma jarang orang tahu bahwa dia membekal Kungfu luar biasa. Akhirnya Siang Cin geleng2 kepala, baru sekarang lubuk hatinya yang paling dalam menyadari kenapa dulu Kun Sim-ti rela mati daripada dikawinkan dengan pemuda yang tidak dicintainya, sebab tidak lain karena dia sudah cinta padanya, begitu murni dan suci dan begitu besar cintanya dengan segala pengorbanannya. Sorot matanya rada kabur, Siang Cin menggigit bibirnya sambil melamun, terbayang ketika Kun Sim-ti menceritakan kejadian itu sambil sesenggukan, se olah2 bunyi guntur di siang bolong seketika dia melenggong dan berdiri kaku. Keluarganya memang kenal turun temurun dengan keluarga Kun Sim-ti, orang tua merekapun adalah saudara angkat. biasanya kalau iseng, sering dia keluyuran ke rumah keluarga Oh. dia suka bergaul dengan kakak angkat yang lemah lembut dan welas asih ini, betapa dia menikmati raut wajahnya nan mekar mengulum senyum manis dengan sikapnya yang agung suci setiap gerak geriknya terasa indah bak lukisan tapi tak pernah terbayang dalam benaknya soal "cinta", lebih tak pernah terpikir olehnya bahwa kakak angkat yang lebih tua empat tahun ini betul2 jatuh cinta ke-pati2 padanya. Waktu itu Siang Cin hanya menghela napas maklum saat itu dia baru berusia lima belas, tapi bukankah biasanya dia suka mengagulkan diri berpengetahuan dan pengalamannya cukup banyak dan luas? Apa betul begitu banyak yang di ketahuinya? Tidak, kadang2 dia memang suka melamun, sering berkhayal yang muluk2, khayalan yang lucu dan menggelikan ....... Tiba2 terdengar suara lembut menyadarkan lamunannya.

"Cin, apa yang kau pikirkan?"

Entah kapan Kun Sim-ti sudah berdiri di sampingnya, wajahnya nan molek tampak pucat, matanya tampak merah seperti habis menangis, tangannya menjinjing nampan berwarna hitam, sebuah cangkir porselin yang terukir indah terletak di nampan, air teh di dalam cangkir masih mengepul, terendus bau teh yang harum sedap.

Bergegas Siang Cin berdiri menerima cangkir itu, katanya pelahan.

"Ci, kaupun duduklah."

Kun Sim-ti menatapnya penuh tanda tanya, pelan2 dia duduk di samping, sementara Siang Cin sudah menghirup tehnya seteguk, katanya memuji".

"Wah, wangi, betul."

"Inilah oleh2 yang kau bawa tempo hari ....."

Sambil menatap lembut raut muka orang, Siang Cin berkata pelan.

Teh seperti ini sering juga aku meminumnya di luaran, tapi selalu kurasakan teh yang kuminum di rumah jauh lebih sedap dan menyegarkan, cukup lama juga aku ber-pikir2, akhirnya baru kusadari apa sebabnya .."

Kun Sim ti mengedipkan matanya yang jeli, tanyanya.

"Sebab apa?"

Siang Cin tertawa riang, ucapnya.

"Sebabnya karena orang yang menyeduh teh ini berlainan."

Merah jengah muka Kun Sim ti, omelnya malu"

"Ah, kau memang banyak tingkah, dik, senakal masa kecilmu dulu ..

"

Tiba2 Siang Cin memandangnya dengan terlongong, pandangan yang polos dan membawa rasa kehangatan yang menimbulkan pikiran yang suci tanpa memikirkan hal2 yang tidak senonoh, walaupun hakikatnya Siang Cin sudah menahan bara nafsunya yang telah sekian lama bergejolak dalam sanubarinya.

Memang badan sedikit gemerinjing, tapi tanpa berkedip, tanpa malu dan takut Kun Sin-ti balas menatapnya lekat2, bibirnya nan tipis merah bagai delima merekah seolah2 menantang, memang rasa kesalnya selama ini selalu mengganjal dalam hati, menjadikan pikiran suka murung dikala berada seorang diri, selalu dia penuh harap, harapan yang dilandasi keinginan yang berkobar mendekati gila, semoga Siang Cin suatu ketika bisa memberikan sesuatu padanya, meski sesuatu itu terlalu kecil artinya.

Dulu sering juga mereka berdiri berhadapan saling tatap, tapi mereka sama tahu dan dapat menyelami alam pikiran masing2, se-akan2 ada sebuah dinding tak kelihatan yang menjadikan penghalang yang tak tertembuskan untuk ini, mereka tahu selain rasa jengkel memang masih banyak pula alasan dan sebabnya.

Seperti biasanya, pelan2 akhirnya Siang Cin mengalihkan sorot matanya, dengan perasan berat dia habiskan teh secangkir yang masih panas itu.

Maka Kun Sim-ti lantas tahu bahwa kali ini dia tidak akan memperoleh apa2 lagi.

Betapapun dia adalah seorang perempuan yang berperasaan halus, perempuan yang harus jaga harga diri, sungguh tak berani dia menurunkan pamor sendiri untuk memohon sesuatu itu kepada Siang Cin, yang dia doakan hanyalah suatu ketika Siang Cin akan memberikan peluang, memberi kesempatan untuk dia melimpahkan perasaan hatinya yang selama ini terpendam dalam hati.

Memang dia merasa benci juga, dia paham tanpa menyatakan isi hatinya tentu juga Siang Cin sudah tahu..

tapi kenapa sikapnya selama ini tetap begitu dingin, kurang agresif, meski sikapnya selalu mesra penuh kasih sayang, tapi cepat sekali mencair dikala keadaan hampir mendekati titik beku.

Siang Cin duduk bersandar di kursi, setelah menghela napas panjang dia meluruskan kaki dan tangannya, katanya hambar.

"Ci, masihkah kau ingat pohon cendana di taman belakang rumahmu itu?"

Diam2 Kun Sim-ti menyeka air mata, ia mengangguk pelahan, meski Siang Cin tengah menengadah memandangi langit2, tapi gerakan sekecil apapun tak lepas dari pengawasannya, dia paham apa yang menyebabkan orang berlaku demikian, dengan tenang melanjutkan.

"Sekarang tiba musimnya kayu manis itu berkembang biak, aku amat suka mencium baunya yang manis harum, bila aku menyedot napas panjang sambil memejamkan mata, seolah2 rebah bergelimang di tumpukan bunga di tengah awang2, sungguh nyaman segar. Kuingat, suatu ketika kakak Seng dari tetangga sebelah pernah memaksa kita menjadi pasangan pengantin dan . .. ." Kun Sim-ti tertawa rawan, katanya pilu.

"Waktu itu aku menerima saja paksaannya, tapi kau tidak punya keberanian, seperti kejadian beberapa tahun kemudian dikala aku dipaksa kawin, kaupun tidak punya keberanian menerima aku .... ..

"

Mengejang jantung Siang Cin, lekas dia batuk2 lirih untuk menutupi perasaannya yang tertusuk katanya.

"Waktu itu aku masih kecil, Ci, sungguh, aku tidak tahu bahwa kau sangat suka dengan permainan itu ...."

Kun Sim-ti menunduk, dengan suara lirih dan selembut sutera ia berkata.

"Akhirnya kau tahu juga, tapi sudah terlambat ...."

Tergetar perasaan Siang Cin, cangkir diangkatnya dan diteguk hingga habis seluruh isinya, hanya dia sendiri yang tahu asmara yang terpendam selama ini dalam hatinya, tapi cintanya itu memang sudah terlambat? "Ci .. .."

Dia membasahi bibir dengan ujung lidahnya dengan suara semakin rendah.

"pergilah kau istirabat, biar aku istirahat di sini saja."

Kun Sim-ti menatapnya, lama dan lama sekali, akhirnya dia menghela napas, lalu memutar tubuh dan masuk kedalam.

Letak rumah itu jauh di luar kota, di sini tiada kentongan tanda waktu, tapi dari perasaan dan pengalaman yang dimiliki Siang Cin dapat meraba saat itu sudah menjelang kentongan keempat, tidak lama lagi fajar akan menyingsing.

Pelan2 dia berdiri, laki2 besar yang terluka parah itu tiba2 menggeliat miring di atas kursi dan mengeluarkan keluhan lirih, Siang Cin mengawasinya, pelan2 kelopak mata orang itu mulai bergerak, maka terbayang oleh Siang Cin akan bola mata orang yang melotot sebesar mata sapi siang tadi.

Agaknya kelopak mata An Lip, laki2 besar ini, seberat ribuan kati rasanya, sekuatnya dia berusaha membuka mata, tapi rasa kantuk tak kuasa ditahannya lagi, didengarnya suara tawar lembut mengiang di telinganya.

"Sudah siuman?"

Sekuatnya An Lip menggerakkan kepala, pelan2 dia membuka secercah kelopak matanya, tampak remang2 sebuah wajah ganteng yang putih halus berbentuk lebar wajah yang gagah ini seperti pernah dilihatnya entah di mana, rasanya seperti sudah lama sekali.

Siang Cin berdiri dihadapan orang, dengan cermat dia awasi rona muka orang, katanya kemudian dengan tertawa.

"Rona merah di bola matamu sudah pudar, sahabat, sungguh siksaan yang lumayan beratnya untukmu."

Mengejang dan bergetar sekujur tubuh An Lip, seketika dia terbayang pada adegan yang seram dan menyakitkan itu, seketika pula dia teringat akan keadaan sendiri sekarang, sekuatnya dia rneronta bangun dan berteriak haru.

"Inkong, Inkong (tuan penolong), terimalah sembah hormatku ...."

Lekas Siang Cin memapahnya, katanya ramah.

"Bila kau ingin berterima kasih padaku, akupun akan menerimanya dengan senang hati, maka tak perlu kau banyak adat lagi."

An Lip menghela napas lega, katanya sambil mencucurkan air mata.

"Inkong kalau bukan pertolongan Inkong, jiwa An Lip ini tentu sudah sejak kemarin melayang, Inkong ....

"

Bertaut kedua alis Siang Cin, suaranya rendah berat.

"Aku bernama Siang Cin."

"Siang Cin", nama ini laksana ular berbisa yang tiba2 memagut ulu hati An Lip, kaget sampai badannya gemetar, ia melongo dan lidaiinya terjulur, sesaat dia tergagap.

"Siang ... , Siang Cin ....naga .... naga kuning?"

Mulut Siang Cin berkecek sekali, lalu berkata.

"Agaknya kau rada tegang? Sahabat, kedua tangan orang she Siang memang berlepotan darah, tapi masih bisa membedakan antara jahat dan baik." . Meski berjambang lebat tapi wajah An Lip yang merah masih kelihatan, sikapnya tampak tersipu, katanya.

"Tidak Inkong, bukan begitu maksudku, jangan salah paham ....Nama besarmu yang amat tersohor ...."

"Namaku tersohor?"

Siang Cin menyeringai.

"yang benar sudah beberapa kali pada saat2 aku harus mampus ternyata nyawaku ditarik balik hidup2. Kau tahu, manusia siapapun tentu tidak mau mati, betul tidak?" Sejenak An Lip melenggong, lalu meng-angguk2, Siang Cin mengucek hidung dengan dua jarinya, katanya pula.

"Kenapa Siang-gi-pang menyiksamu begitu rupa ehm?"

Melenggong sebentar An Lip dan menunduk, laki2 besar ini ternyata mencucurkan air mata, Siang Cing melengos sedikit, katanya kemudian.

"Kabarnya kau main serong dengan gundik Pangcu mereka?"

Mendadak An Lip angkat kepala, kulit mukanya berkerut, teriaknya tak terkendali.

"Main serong? Dia yang merebut calon isteriku, menghancurkan masa depanku yang bahagia, setiap hari aku harus munduk2 di depan moncongnya yang cengar-cengir seperti tertawa iblis, selalu memperoleh lirikan dingin dan cemooh yang memalukan dari bakal isteriku, tapi aku harus tetap pura2 membusungkan dada sebagai laki2 pemberani. O, Thian, senyuman yang dipaksakan, wajah ayu nan layu, aku terpaksa hanya mengawasinya dengan mendelong, dia jatuh ke pelukan laki2 lain, yang dapat kulakukan hanya berdoa, menelan liur, aku harus memaki diriku sendiri sebagai manusia pengecut, kenyataan dia sudah menjadi gundik Pangcu ... ."

Bicara punya bicara, laki2 yang kekar yang dihajar tanpa mengeluh ini ternyata pecahlah isak tangisnya.

Siang Cin menarik sebuah kursi bambu lalu duduk di depannya, sambil bertopang dagu, dia biarkan saja orang menangis dan melepaskan duka nestapanya.

Sudah tentu Siang Cin sendiri juga dapat meresapi betapa besar sedih dan rasa dendam orang, meski bukan pengalaman sendiri, tapi dia cukup dapat merasakan juga penderitaan semacam ini, kadangkala banyak persoalan di dunia ini yang sukar diresapi dan dirasakan sendiri, tapi asal kau bisa berpikir dengan bijak, maka kau akan dapat menyelaminya.

Lama juga baru An Lip menghentikan tangisnya, agaknya dia teramat letih dan kehabisan tenaga, apalagi setelah melimpahkan rasa duka dan dendamnya, badan menjadi lunglai.

Tanpa bicara Siang Cin angsurkan selembar sapu tangan sutera warna kuning, sambil menyeka air mata, An Lip berkata malu2 dengan mata merah.

"Inkong, An Lip tak kuasa mengendalikan perasaan, harap dimaafkan ....."

"Bukan salahmu,"

Ucap Siang Cin tertawa, sejak jaman dahulu kata cinta memang suka menyiksa manusia."

An Lip tertunduk, air mata masih bercucuran maka cepat dia seka dengan sapu tangan. Siang Cin berkata pula.

"Saudara, Pangcu kalian itu sebetulnya punya berapa isteri dan gundik?"

"Seluruhnya ada tujuh gundik."

Sahut An Lip gemas. Siang Cin tertawa lagi, katanya.

"Apa yang kau katakan barusan seluruhnya benar?"

Bola mata An Lip yang sebesar mata sapi melotot pula, katanya sambil menuding langit dan bumi, bersumpah.

"Inkong, jiwa An Lip telah Inkong tolong, masa An Lip berani membual dihadapan Inkong? Kalau sepatah kataku tidak benar, boleh Inkong penggal kepalaku."

Siang Cin mengangguk dan berkata.

"Kalau demikian calon isterimu itu sudah digagahi orang, apa kau masih rela mengawininya? Ehm, maksudku, sudah tentu kalau dia masih mau ikut padamu."

Sejenak An Lip melenggong, mendadak ia berteriak.

"Sekalipun dia menjadi pelacur murahan juga selamanya aku tidak akan melupakan dia."

Se-konyong2 Siang Cin merasa kepalanya menjadi pusing. beberapa patah kata orang terasa pedas dan menusuk sanubarinya. Dengan tajam dia tatap laki2 yang lahiriah kelihatan kasar itu dengan suara pelahan ia bertanya.

"Kenapa?"

An Lip menelan liur, sedikit gagap dan tersengal, tanpa ragu dia berkata.

"Bila engkau mencintai seseorang sepenuh hati, cinta yang murni dan suci pasti takkan luntur, apapun yang pernah terjadi tak perlu dipertimbangkan lagi."

Sekian lama Siang Cin terlongong, katanya lirih.

"Baik saudara, akan kubantu rebut kembali bakal isterimu."

Saking haru dan senang, bergemetar badan An Lip, mulutnya terpentang, katanya. "Betul? Tapi .... tapi Inkong, itu berarti kau harus menyerempet bahaya dan bermusuhan dengan Siang gi pang ....."

Siang Cin tertawa pongah, katanya.

"Memangnya kenapa, masa si Naga Kuning Siang Cin tidak mampu menghadapi para kurcaci Siang-gi-pang itu? Lalu bagaimana anggapanmu?"

Lekas An Lip geleng kepala, katanya bingung.

"Tidak Inkong, bukan begitu maksudku, aku hanya mengira ..... demi persoalanku seorang apakah perlu sampai menimbulkan keonaran besar .....

"

Siang Cin menarik napas, katanya tawar.

"Kalau kurasa perlu, maka hal itu pasti cukup berbobot."

Bergolak darah di rongga dada An Lip, beribu kata ingin dia utarakan, maksud hati yang tak terbatas ingin dia tuturkan, tapi terlalu banyak dan luas, terlalu tebal untuk dicairkan dalam sekejap ini, kecuali mencucurkan air mata tak kuasa dia mencurahkan isi hatinya.

Api pelita di atas meja ber-goyang2, sinarnya yang kelap kelit terasa seram, bayangan kedua orang di sisi rumah memanjang di dinding sampai ke tanah.

Mereka tiada yang buka suara lagi, biarlah suasana hening lelap ini mencekam keadaan, tapi di dalam kesunyian ini, keduanya merasakan adanya saling pengertian dan ketulusan antar sahabat.

Siang Cin berkedip, katanya.

"Kalau letih boleh saudara istirahat saja di atas kursi, aku akan keluar melihat keadaan."

An Lip tersentak kaget, katanya sambil mengawasi tajam.

"Keadaan? Inkong, memangnya ada sesuatu yang tidak beres? Keadaan sekeliling terasa tenang dan tenteram .....

"

Sembari berdiri Siang Cin menggeleng, katanya.

"Justeru terasa tidak aman, kudengar suara lambaian pakaian yang tertiup angin serta daun kering yang terinjak kaki, ada beberapa orang tengah berlari ke mari. jumlahnya cukup banyak."

Jantung An Lip seketika berdebur, katanya tegang.

"Mungkinkah, mungkinkah orang2 Siang-gi-pang memburu kemari?"

Sejenak berpikir, Siang Cin menyabut.

"Mungkin saja, tapi tidak jadi soal."

Sekuatnya An Lip himpun tenaga dan menarik napas, ia hendak meniup padam pelita di atas meja, cepat Siang Cin mencegah.

"Biarkan lampu tetap menyala, saudara, aku senang akan sinar pelita yang remang2 hening ini."

Dengan rasa heran An Lip berpaling mengawasi Siang Cin, sungguh dia tidak habis mengerti dan sukar menyelami kenapa laki2 yang disegani kaum persilatan ini sekarang melakukan tindakan yang melanggar kebiasaan Kangouw umumnya tapi hanya sekejap itu, dikala dia dengar suara kesiur angin dan berpaling itulah, dalam rumah sekarang hanya tinggal dia seorang diri.

Bukan melalui pintu, juga tidak lewat jendela yang setengah terbuka, tapi Siang Cin telah melam bung ke atas belandar, di atas belandar ada sebuah keranjang bambu yang dapat digeser dan bergerak bebas, dari lubang keranjang di atap rumah inilah dia menerobos keluar.

Menjelang fajar, hawa terasa dingin menusuk tulang.

Begitu keluar dan mencapai wuwungan, Siang Cin lantas mendekam diam tak bergerak.

Alam gelap gulita, hening lelap, hanya suara keresakan daun pohon yang dihembus angin, manakala hari hampir terang tanah, alampun terasa menjadi lebih gelap, umumnya tidur manusia pada waktu itupun lebih nyenyak.

Sebuah bayangan samar2 tampak berkelebat, selincah kucing, seenteng burung walet dia berlompatan hinggap dipagar bambu di atas jembatan, di belakangnya menyusul dua bayangan orang pula, kedua bayangan ini lantas terpencar ke sisi rumah, pelita dalam rumah tetap menyala, sinarnya terasa tenang, suasana terasa mantap.

Kecuali tiga orang yang berkelebat datang dengan gerak-gerik sembunyi2, menyusul datang pula seorang yang berlenggang seperti tuan besar, langsung menuju ke atas jembatan bambu, lalu tampak sesosok bayangan lain, langkahnya lembut teratur dan sopan mengikut dibelakangnya.

Bayangan orang yang bersikap congkak ini membalik, dengan hormat dia menjura kepada bayangan lembut dan sopan itu, lapat2 kelihatan bayangan lembut sopan itu adalah seorang pemuda berusia likuran tahun, jubahnya serba biru, dandanan perlente ini lebih mirip anak seorang bangsawan.

Pemuda itu tampak memberi anggukan kepala kepada orang di depannya, maka orang itu beranjak pula dengan langkah yang pongah, kiranya dia memang kepala besar, kepalanya yang gede itu bila diukur pasti tidak lebih kecil daripada kepala keledai, tiba di ujung jembatan segera dia pentang mulut memperdengarkan suaranya yang seruk keras bagai gembrang.

"Perhitungan lama di Sia-mo-nia harus diselesaikan, orang she Siang, payah juga Sin-losu mencarimu."

Suara orang itu serak sumbang, logatnya sukar dimengerti, suaranya terdengar seperti bunyi pasir yang rontok menusuk telinga, kedua membusung tangannya bertolak pinggang, perutnya yang gendut itu mirip perut babi.

Siang Cin mendekam di atas wuwungan mengerut kening, diam2 ia menghela napas, tanpa suara pula dia melayang turun dari atap rumah bagai bayangan setan pelan2 mengapung turun ke depan laki2 tambun itu.

Begitu bayangan muncul, seperti membawa bau anyirnya darah, si kepala besar memancarkan sorot matanya yang masih ngantuk, sikapnya yang pongah tadi seketika lenyap, tanpa disadari dia menyurut mundur tiga tindak, jembatan bambu yang terinjak kakinya sampai berkeriut hampir patah.

Ujung mulut Siang Cin menyungging senvuman aneh yang mencemooh, lengan jubahnya yang gondrong kuning mengebas, katanya dengan nada tawar seperti biasa.

"Sin-suya, dunia ini rupanya cuma sebesar daun kelor, tak nyana kita bertemu pula di sini."

Muka babi Sin-suya itu tampak pucat lesi, kulit daging pipinya tampak mengencang, bola matanya yang mirip mata kura2 mendelik, ter sipu2 dia membetulkan letak jubahnya yang kesempitan membungkus badannya yang gendut, katanya sambil menyegir.

"Orang she Siang, dirodok kau, hakikatnya aku tiada permusuh apa2 dengan kau, urusanku dengan Kik Cu hong dari Tay hian pay di Siau-mo-nia kan tiada sangkut pautnya dengan kau, tapi kau mencampuri urusanku, bukan saja memunahkan Kungfu dua saudara angkatku, kau bikin aku kehilangan tempat berpijak di Siau-mo-nia, perhitungan ini orang she Siang, terserah bagaimana kau hendak membereskannya padaku."

Seperti sedang mengingat2 Siang Cin menengadah, katanya kemudian.

"Kik Cuhiong dari Tay-hian-pay ada hubungan intim denganku, dulu gurunya pernah berdampingan denganku memukul mundur delapan belas Lama kasa merah di perbatasan Tibet, maka tak mungkin aku berpeluk tangan melihat Sin-suya bertiga mengeroyok dia seorang, terpaksa kubantu dia sekadarnya."

Saking murka daging tubuh Sin-suya tampak bergetar, raungnya.

"Membantu sekadarnya? Memangnya makmu yang suruh kau sekaligus menamatkan jiwa dua saudaraku?"

Pancaran sinar mata Siang Cin yang semula bening tiba2 berubah dingin tajam, suaranya bernada mengancam.

"Sin-losu, dikalangan Kangouw kau memperoleh gelar Tho-san-sin, sudah sekian tahun kau malang melintang di Kangouw, seharusnya kau juga paham apa akibatnya berani kau bertingkah di depan Naga Kuning."

Seperti dikemplang tongkat besi Sin-losu menyurut mundur, baru saja mulutnya terpentang mau bicara, pemuda yang sejak tadi berdiri di seberang jembatan sana tiba2 tertawa lebar, katanya menimbrung.

"Menyaksikan sikapmu yang gagah dan congkak ini, maka tahulah aku bahwa saudara tentu si Naga Kuning Sang Cin adanya."

Terangkat alis Siang Cin, suaranya tetap tawar.

"Mana berani, setelah kulihat lagakmu ini, akupun lantas tahu bahwa kau ini Giok-mo-cu (iblis kemala ) Keh Kisin." Pemuda yang berpakaian ketat warna biru tua itu memang benar adalah Giok-mo-cu Keh Ki-sin yang baru muncul tiga tahunan di daerah Thian-lam. Dia murid didik Singkok- bun di Thian-lam, belakangan dia berguru pula pada jago kosen nomor satu di perbatasan Hun-lam Hoan-jit-kiam-khek Han Siau-kan, Setelah lulus dari perguruan dia angkat saudara dengan It-tiau-tay Mo Kim, Cengcu dari Gih-tay-ceng yang kenamaan di Bu-lim, malah adik Mo Kian yang masih perawan Mo Hun-cu telah main cinta dengan Giok-mo-cu yang kabarnya pernah merobohkan Tiam-jong-ngo-eng (kelima jagoam Tiam-jong-pay), menurut kabar yang tersiar di kalangan Kangouw sejak lulus perguruan dan berkelana di Bu-lim Giok-mo-cu belum pernah menemukan tandingan. Giok-mo-cu Keh Ki-sin tertawa lantang, katanya.

"Pandangan saudara memang tajam, julukan Naga Kuning ternyata tidak bernama kosong."

Siang Cin mendengus, katanya.

"Sin-suya, malam begini gelap, hawa dingin lagi, jauh2 Suya meluruk kemari, memangnya kau mau bikin perhitungan lama di Siaumo- nia dulu?"

Sin-suya berkecek mulut, matanya mengerling ke arah Giok-mo-cu Kch Ki-sin tanpa berani memberi komentar, maka Giok-mo-cu tertawa, katanya kalem.

"Memang begitulah menurut pendapatku."

Mendadak Siang Cin tertawa juga, katanya kepada Keh Ki-sin.

"Saudara, kau datang untuk membantu Sin-suya?"

Wajah Giok mo-cu menyungging senyuman ramah, katanya mengangguk.

""Betul, seperti pula waktu saudara membantu Kik Cu-hong dari Tay hian-pay di Sian-mo-nia dulu."

Dengan tak acuh Sang Cin mengebaskan lengan bajunya, katanya.

"Saudara Keh, tahukah kau, selama tiga tahun ini, tidak mudah kau mengejar nama dan mengangkat gengsi?"

"Sudah tentu aku tahu,"

Sahut Koh Ki-sin tertawa. Siang Cin menepekur sejenak sambil menengadah, katanya.

"Kau tahu apa akibat dari sikapmu yang temberang ini?"

""Sudah tentu,"

Sahut Koh Ki-sin sambil manggut.

"Baiklah, Cukup sampai di sini peringatanku, sebabai seorang pandai, kuharap kau tidak melakukan tindakan bodoh, sekarang kalau kau ingin mengundurkan diri masih kuberi kesempatan ....

"

Senyum lebar yang menghias muka Keh Ki-sin seketika lenyap, desisnya.

"Siang Cin, sejak hari ini, tidak akan ada tempat berpijak lagi dalam Bu-lim untukmu, sampaikan saja kotbahmu kepada bini di rumahmu."

Sin-suya ter-loroh2 geli, serunya.

"Orang she Siang, jangan di sini kau memupur wajahmu sendiri, nanti kupenggal kepalamu dan kujadikan bola untuk main tendangan."

Diam saja Siang Cin, pandangannya menjelajah keempat penjuru, katanya.

"Sinsuya, ingatlah, turun tangan harus cepat, laksana meteor melanglang angkasa."

Seperti tersengat Sin-suya menghentikan tawanya, cepat ia bergerak, tahu2 ia mengeluarkan sebilah Siang-jin-jan (pacul dua muka) sepanjang dua kaki, matanya yang sipit sebesar kacang tampak mendelik menatap Siang Cin, Mundur selangkah Siang Cin berkata.

"Musim rontok adalah musimnya daun pohon rontok ....ucapan "rontok"

Terulur memanjang bergema di angkasa, belum lagi gema suara ini lenyap, bayangan telapak tangan tiba2 menyambar ke arah Sin-suya, cepatnya bagai halilintar.

Menggerung keras bagai kerbau gila, dengan sigap Sin-suya berkelit, meski tambun badannya, tapi selicin belut tiba2 dia berkisar lima kaki jauhnya, paculnya yang mengkilap berputar membawa sinar panjang bagai rantai menggulung maju, tapi bayangan telapak tangan lawan mendadak menciut, bagai iblis tahu2 menyelinap masuk ke tengah lingkaran pacul yang diputar kencang itu.

Giok-mo-cu Keh Ki sin tertawa dingin, mendadak dia menyergap maju, jelas dia melihat bayangan kuning angsa ada di depannya, tapi belum lagi dia sempat menyerang, deru angin telapak tangan yang maha kuat tahu2 sudah menyerampang tenggorokannya dengan cepat dan setajam golok.

Kedua tangan Keh Ki-sin membalik, ia melancarkan pukulan yang aneh, tapi kupingnya sempat mendengar suara "bret", suara kain pakaian yang robek, diiringi jeritan Sin-losu.

"Kunyuk kurangajar, kau memang keji ...."

Belum lagi raungan Sin-suya buyar, bayangan pukulan telapak tangan tahu2 sudah menyambar lewat pipi Keh Ki-sin, sampukan anginnya yang tajam serasa mengiris pipi Keh Ki-sin tujuh kali.

Sudah tentu jantungnya berdetak keras, diam2 Keh Ki sin mengumpat, gerak tubuh apakah ini? Ilmu pukulan telapak tangan apa pula? Kenapa begitu cepat? Mungkinkah manusia dapat mencapai gerak cepat yang luar biasa ini? Keh Ki-sin mengertak gigi, mendadak dia melompat menyingkir, tapi begitu dia menyingkir, sebat sekali dia melejit balik pula, pulang-pergi ini dilakukan hampir dalam waktu yang sama, berbareng sebilah pedang tajam yang memancarkan cahaya warna-warni, bagai pelangi yang menyorot turun dari tengah angkasa, dengan cepat luar biasa menusuk lurus ke arah Siang Cin.

Bayangan kuning tampak berkelebat memutar mengiris ke cahaya warna-warni pedang tajam itu, belum sempat Keh Ki-sin melanjutkan jurus kedua, bayangan telapak tangan yang berada tahu2 sudah menempel pakaiannya, saking kejut lekas dia menjengking ke belakang sekuatnya, tak urung dia tetap terdorong dua langkah oleh tenaga pukulan lawan itu.

Pacul dua muka Sin-suya segera menyerampang dari samping, mata paculnya yang tajam kemilau, terasa dingin, keadaan Sin-suya yang lengan baju kirinya sukah koyak itu amat runyam, keadaannya lucu dan menggelikan, dengan menggreget dia ingin menelan bulat2 lawannya baru terlampias dendamnya.

Kelam rona muka Siang Cin, kedua tangan menepuk sekali, tiba2 ia bergoyang ke kiri-kanan sehingga pacul dua muka itu menyamber lewat, berbareng sebelah tangan seperti tak acuh dan menyongsong dada Sin-losu yang gembur penuh daging berminyak itu.

Melengking keras jeritan kaget Sin-losu, sekuatnya dia berusaha menggelinding ke samping, tak urung kulit daging pundak kanannya laksana dipapas tajam golok, darah muncrat keluar dari kulit dagingnya yang terbeset.

Dengan sebat sekali kembali Siang Cin menghindarkan libatan sinar pedang warnawarni yang menggulung tiba, malah sempat pula dan melontarkan cemooh kepada Sin-losu.

"Suya, tahanlah kesabaranmu." -- Di tengah berkata itu, sekaligus ia melakukan tujuh belas kali pukulan jarak pendek yang luar biasa, selintas pandang dia hanya sekali menggerakan tangannya, sasarannya menepuk punggung pedang Keh Ki-sin, tapi kenyataan Keh Ki-sin sendiri merasakan batang pedangnya bergetar tujuh belas kali sampai lengannya terasa kemeng, sementara pukulan telapak tangan terakhir lawan tahu2 sudah menyelonong menggempur batok kepalanya. Menghadapi serangan kilat ini, cepat2 Giok mo cu gunakan ujung pedangnya menutul tanah, tubuhnya bertolak mundur kebelakang, didengarnya Sin losu tengah mencak2.

"Hayo kawan2 maju semua, ganyang durjana ini!"

Seiring dengan aba2nya, dari kolong jembatan sesosok bayangan tiba2 melompat keluar, selincah kucing tiba2 menerkam, dengan senjata bernama Ci-kim-to (golok tebal) di tangannya membawa sejalur sinar dingin segera membacok.

Bayangan kuning muda kembali berkelebat kurang jelas cara bagaimana jadinya.

"Trang", tahu-tahu Ci-kim-to mencelat ke udara, sementara bayangan tubuh itu seperti ingin berlomba kecepatan, diiringi jeritan yang menyayat hati ikut mencelat terbang ke udara, darah menyembur deras dari mulutnya. Dari dua sisi rumah kembali menerjang keluar dua bayangan orang, hampir dalam waktu yang sama pula dari seberang jembatan bambu ber-turut2 jaga muncul empat puluhan orang yang bersenjata lengkap, cahaya warna-warni kilauan pedang kembal menderu tiba, otak Siang Cin bekerja cepat, sesekali dia melejit ke depan rumah, di sana didengarnya Sin-suya lagi ber teriak2.

"Sin-losu bersumpah kepada ibubapaknya kalau kali ini tak bisa membabar akar orang she Siang, kita takkan berkecimpung lagi di Kaugouw. Hayo gasak, bakar juga rumahnya!"

Dalam kegelapan cahaya pedang warna-warni itu tampak menyolok, hawa pedang yang tajam kembali berhamburan, Siang Cin berkelit beruntun sembilan kali, mautidak- mau dia harus memuji kehebatan lawan.

"Saudara Keh, Han Siau-kan ternyata tidak sembarang mengajarkan ilmu pedangnya padamu."

Siang Cin tahu bahwa Giok-mo-cu Keh Ki-sin kini telah keluarkan keahlian ilmu pedangnya, Hoan-jit kiam-hoat.

Bayangan empat puluhan orang bagai gelombang ombak samudera mendampar tiba, yang datang mendahului adalah lima orang laki2 setengah umur yang berperawakan kurus tinggi laksana galah, sekilas pandang Siang Cin lantas menyambut mereka dengan tertawa lebar.

"Ngo-heng-ciok-cu, permusuhan kita agaknya sukar diakurkan."

"Cis!"

Laki2 paling depan yang berjenggot pendek berludah, gada ditangannya menari memenuhi udara, serunya.

"Siang Cin, hari ini kau mengaku kalah saja."

Siang Cin tidak menanggapi, sebat sekali ia menerjang keluar cahaya pedang warna-warni terus membuntuti gerakannya, tapi tiga-empat bayangan orang belum lagi sempat berteriak tahu2 sudah jungkir balik sejauh beberapa kaki.

Senjata tampak bersimpang siur dengan kilauan cahayanya yang serabutan.

bayangan orangpun saling terkam dan tubruk, dalam sekejap itu, tujuh delapan jiwa kembali melayang direnggut maut.

Tiba2, selarik sinar merah menjulang tinggi ke atas, lalu diiringi ledakan yang cukup keras disertai percikan api yang terus berkobar menjilat apa saja yang gampang terbakar.

Sekali tempeleng Siang Cin bikin laki2 berikat kepala hitam terbanting mampus dengan kepala pecah, sekilas melirik ke sana, dilihatnya rumah bambu yang mungil kesayangannya itu sudah dijilat jago merah, asap yang mengepul tinggi semakin membara sehingga alam sekeliling yang semula gelap menjadi terang benderang.

Bibirnya terkancing rapat, sebat sekali dia menggenjot tubuh, ia meluncur ke sana, tapi cahaya pedang warna-warni itu masih terus membayanginya.

Waktu Siang Cin tiba di depan rumahnya hawa panas cukup membuat sesak napas manusia, sesosok bayangan orang sejak tadi sudah mendekam di sana, kini mendadak dia melejit maju sambil ayun sebatang Liang-gin-kau (ganco perak bercahaya) mengincar perut Siang Cin.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -- Siapakah dan apa latar belakang pembakaran rumah bambu Siang Cin ini? Bagaimana nasib Kun Sim ti dan An Lip masih berada di dalam rumah itu? 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar