Suramnya Bayang-Bayang Jilid 40

Jilid 40

Ketika keduanya telah menghadap, maka Ki Rangga pun bertanya, “Bagaimana dengan tugasmu?”

Bekas prajurit Jipang yang cacat pada wajahnya menyahut, “Ampun Ki Rangga. Sebenarnya tugas kami sudah mendekati keberhasilan.”

“Ya,” jawab Ki Rangga. “Sebenarnya anak itu sudah berada dalam jangkauan. Hanya berjarak sepikul saja. Tetapi ternyata bahwa perempuan yang disebut Serigala Betina itulah yang menghalangi. Sementara pada saat yang mendebarkan itu kalian berdua tidak berbuat apa-apa. Jika seandainya kalian berdua membantu, misalnya dengan menarik perhatian Serigala Betina itu, maka Risang tentu sudah mati.

Orang yang berpura-pura menjual dawet itu sudah membuat perhitungan cukup cermat dan mapan.”

Kedua orang bekas prajurit Jipang itu termangu-mangu. Ternyata Ki Rangga telah mengetahui segala-galanya. Dengan demikian maka kedua orang itu tidak dapat berbuat apa-apa. Yang dikatakan oleh Ki Rangga sebenarnyalah apa yang telah terjadi.

“Nah, jika demikian, maka kesalahan itu sebenarnya terletak pada kalian. Kenapa kalian tidak berusaha untuk menarik perhatian Serigala Betina itu pada saat

pisau belati kawanmu yang menjual dawet siap menusuk, seharusnya perempuan itu berpaling ke arah kalian apapun yang kalian lakukan. Tetapi kalian justru telah bergeser pergi dari regol halaman rumah Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan itu.”

Kedua orang itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tidak sepatah kata pun dapat diucapkan. Bahkan keduanya telah sampai pada kesimpulan bahwa mereka akan dapat dihukum mati.

Namun ternyata Ki Rangga tidak melakukannya. Bahkan ia berkata, “Baiklah. Kalian dapat beristirahat. Tetapi jika pada suatu saat kalian mendapat tugas yang

rumit, maka kalian tidak boleh berbuat bodoh seperti itu. Dengan kegagalan yang sudah kedua kalinya itu, maka usaha kita akan menjadi semakin rumit.

Setidak-tidaknya untuk beberapa waktu mendatang karena halaman dan anak Iswari itu tentu dijaga dengan lebih ketat lagi.”

Kedua orang itu termangu-mangu. Mereka seolah-olah tidak percaya akan pendengaran telinganya. Namun Ki Rangga itu telah beringsut dan meninggalkan tempat itu. Ketika mereka sudah berada di luar, mereka masih saja merasa berdebar-debar. Bahkan prajurit yang cacat wajahnya itu berdesis, “Apakah benar kita telah dibebaskan dari segala hukuman?”

Kawannya termangu-mangu. Namun dengan nada berat ia berkata, “Apakah ini bukan sekadar permainan untuk menyakiti perasaan kita sebelum kita akan digantung?”

Keduanya masih saja dibayangi oleh kegelisahan. Mereka tidak yakin akan diri mereka sendiri.

Meskipun demikian prajurit yang cacat di wajahnya itu kemudian berkata untuk menentramkan hatinya sendiri, “Jika Ki Rangga dan Nyi Wiradana itu mengetahui dengan pasti apa yang sudah terjadi, maka mereka pun tentu mengetahui pula kesulitan tugas yang mereka emban.”

“TETAPI Ki Rangga sudah mengatakan, bahwa kitalah yang bersalah, karena kita tidak berusaha menarik perhatian perempuan yang disebutnya Serigala Betina itu, sehingga tidak memberi peluang kawan kita menikam anak Iswari yang sudah berada di jangkauan pisau belatinya,” sahut yang lain.

Leher mereka terasa meremang. Namun yang cacat diwajahnya itu berkata, “Biar sajalah. Apapun yang akan terjadi akan kita tanggungkan.”

Dengan demikian untuk dua tiga hari kedua orang itu masih gelisah. Bahkan ketika kemudian Ki Rangga dan Warsi meninggalkan sarangnya yang satu itu. Kedua bekas prajurit itu masih juga dibayangi oleh kesalahannya.”

“Mungkin Ki Rangga akan menghukum kita dari kejauhan,” berkata prajurit yang cacat matanya itu.

Namun hukuman itu tidak juga kunjung datang.

Ternyata bahwa Ki Rangga memang tidak menjatuhkan hukuman kepada kedua orang itu. Ia memerlukan kekuatan yang sebesar-besarnya bagi perjuangannya, sehingga karena itu, maka ia telah mengurangi jumlah orang yang dijerat dengan hukuman.

Namun Ki Rangga akan menjatuhkan hukuman yang semakin berat bagi mereka yang berkhianat. Kegagalan satu tugas bukan merupakan kejahatan yang tidak dapat diampuni. Hanya pengkhianatan sajalah yang merupakan kejahatan tertinggi, dan harus menjalani hukuman mati.

Ketika kedua orang itu mulai yakin bahwa mereka memang tidak akan dihukum, karena yang mereka lakukan bukan pengkhianatan, maka Saruju dan Damar yang berada di Tanah Perdikan Sembojan masih belum mempunyai cara yang tepat untuk melakukan tugas mereka. Orang-orang disekitar Risang masih tetap berjaga-jaga

dan mengawasinya dengan rapat sekali. Sehingga karena itu, maka Saruju dan Damar masih menunggu kesempatan itu datang kepada mereka.

Namun sebenarnyalah bahwa keduanya sudah mulai dihubungi oleh seseorang yang harus mengawasi mereka. Yang mula-mula mereka jumpai adalah kepercayaan Ki Rangga dan Warsi. Pada saat Saruju berada di pasar, maka seseorang telah berdiri disampingnya sambil berdesis, “Selamat pagi Saruju.”

Ketika Saruju berpaling ia menjadi berdebar-debar. Orang itu dikenalnya dengan baik.

“Sudah cukup lama kau berada di Tanah Perdikan. Bagaimana kesanmu,” bertanya orang itu.

Hampir saja Saruju salah menjawab. Hampir saja ia mengatakan bahwa Tanah Perdikan ini telah menjadi baik, tenteram dan kesejahteraannya telah meningkat. Untunglah bahwa ia segera menyadari dengan siapa ia berbicara. Karena itu, maka jawabnya, “Secara lahiriah Tanah ini memang nampak bertambah baik. Tetapi isinya masih saja seperti dahulu. Orang-orang asing itulah yang memerintah Tanah Perdikan ini.”

Kepercayaan Ki Rangga itu mengangguk-angguk. Menurut penilaiannya Saruju masih tetap merupakan orang yang dapat dipercaya. Ia masih mampu menilai keadaan Tanah Perdikan itu sesuai dengan pesan yang pernah diberikan.

Sementara itu orang itu pun telah bertanya pula, “Kemudian bagaimana dengan tugasmu?”

“Aku sedang berusaha merebut kepercayaan orang-orang Tanah Perdikan ini,” jawab Saruju. “Kegagalan orang yang ditugaskan membunuh anak Iswari dengan kasar itu mempersuli tugas kami. Mungkin kami memerlukan waktu yang lebih panjang dari seharusnya. Tetapi kami yakin, bahwa kami akan dapat melakukannya.”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan selalu menghubungimu. Jika bukan aku, maka seseorang akan segera memperkenalkan dirinya.”

Saruju mengangguk-angguk.

Namun sepeninggalan orang itu, maka Saruju pun bergegas meninggalkan pasar itu. Ia langsung pergi ke rumah Damar. Untunglah Damar masih ada di rumahnya.

Dengan singkat Saruju menceriterakan pertemuannya dengan kepercayaan Ki Rangga itu dan minta agar Damar mempersiapkan diri untuk menjawab

pertanyaan-pertanyaan.

Damar mengangguk-angguk. Namun ia tidak dapat ingkar kepada dirinya sendiri, bahwa ia memang mulai terpengaruh oleh tata kehidupan Tanah Perdikan itu.

Rasa-rasanya ia benar-benar mendapat ketentraman dan kedamaian. Berbeda dengan tata cara kehidupan di barak yang keras dan kasar itu. Meskipun para pemimpinnya selalu mengatakan bahwa suasana itu dipengaruhi oleh gejolak darah perjuangan mereka.

“BAIKLAH,” berkata Damar. “Aku akan berusaha untuk tidak salah ucap.” “Di sekitar kita tentu banyak terdapat orang-orang yang selalu mengawasi kita,”

berkata Saruju. Damar mengangguk-angguk. Katanya, “Kita tidak dapat melepaskan diri dari keadaan ini. Kita adalah binatang buruan yang setiap saat akan dapat ditangkap, di jerat dan bahkan dibunuh sama sekali.”

Demikianlah, maka Saruju pun telah meninggalkan rumah Damar dengan hati yang berdebar-debar. Namun ia telah merasa lega bahwa ia sempat memberitahu Damar atas kehadiran kepercayaan Ki Rangga Gupita dan Warsi itu.

Ternyata yang dikatakan Saruju itu benar. Di pagi harinya, ketika Damar membuka air untuk mengairi sawahnya seorang telah berhenti di tanggul paritnya.

Damar menjadi berdebar-debar. Orang itulah yang dikatakan oleh Saruju Kepercayaan Ki Rangga Gupita.

“Bagaimana keadaanmu selama ini Damar?” bertanya orang itu Damar tersenyum sambil melangkah mendekat. Jawabnya, “Baik Ki Sanak. Bagaimana dengan kau dan kerabat di rumah?”

“Semuanya baik,” jawab orang itu. “Apakah kau sudah kerasan disini?”

Damar tersenyum pula. Katanya, “Tanah ini adalah tanah kelahiranku. Aku memang kerasan tinggal disini seandainya Tanah ini dalam keadaan wajar.”

“Maksudmu? Apakah sekarang keadaannya tidak wajar?” bertanya orang itu. “Aku memang ingin tinggal di kampung halaman ini untuk seterusnya,” berkata

Damar. “Tetapi tidak dengan orang-orang pendatang yang tiba-tiba saja menduduki jabatan kepempimpinan di Tanah ini. Rasa-rasanya ada sesuatu yang menggelitik perasaan. Bukan karena aku mendapat tugas dari Ki Rangga Gupita. Tetapi sebagai anak Tanah Perdikan ini aku memang merasa tersinggung.”

Kepercayaan Ki Rangga Gupita itu mengangguk-angguk. Ia pun menganggap bahwa Damar masih juga termasuk orang yang dapat dipercaya. Karena itu, maka katanya kemudian, “Syukurlah jika kau masih berpijak pada sikap seorang pejuang. Yang aku lihat selama ini seakan-akan kau telah tenggelam di dalam arus sikap dan pendapat anak-anak muda Tanah Perdikan ini yang telah kehilangan kiblat.”

“Aku memerlukan kepercayaan mereka,” berkata Damar. “Tanpa kepercayaan mereka, aku tidak dapat berbuat apa-apa.”

“Ya. Kalian memang cerdik. Mudah-mudahan kalian berhasil. Kami, para pejuang akan selalu menghubungi kalian. Seorang yang lain akan datang kepada kalian. Ia akan menyebut nama anak Ki Wiradana yang lahir dari Nyi Wiradana, pemimpin kita.”

Damar mengangguk kecil. Sementara itu kepercayaan Ki Rangga itu pun telah minta diri.

Sambil memandang orang itu berjalan menyusuri bulak panjang menjauh, Damar menarik nafas dalam-dalam. Ia telah benar-benar terperosok ke dalam satu ikatan yang sulit untuk dipatahkannya. Ia harus berjalan terus betapapun ancaman ditelinganya, bahwa jika ia bergeser dari sikapnya, maka bukan saja ia sendiri, tetapi keluarganya akan menjadi korban.

Damar menarik nafas dalam-dalam.

KETIKA orang yang menemuinya itu sudah hilang dikelokan jalan, maka Damar pun telah kembali ke pekerjaannya, mengairi sawahnya. Siang itu Damar telah bertemu dengan Saruju di antara anak-anak Tanah Perdikan yang sedang mengerjakan bendungan. Tanpa didengar oleh orang lain, maka Damar telah menceriterakan kedatangan kepercayaan Ki Rangga sebagaimana pernah datang pula kepada Saruju. “Apa katanya?” bertanya Saruju.

Damar pun telah menceriterakannya apa yang telah dikatakannya. “Mudah-mudahan orang itu tidak menjadi curiga,” berkata Saruju.

Dengan demikian maka Saruju dan Damar menjadi semakin berhati-hati. Tetapi mereka merasa lebih tenang bekerja di antara anak-anak muda Tanah Perdikan justru setelah mereka mengatakan, bahwa hal itu mereka lakukan sekadar untuk mengelabuhi anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan.

“Apalagi kita tidak tergesa-gesa,” berkata Saruju kemudian, “Ki Rangga dan Nyi Wiradana tidak memberiku batasan waktu, sehingga kita sendirilah yang menentukan kapan kita akan melaksanakannya.”

Tetapi rasa-rasanya mereka memang enggan untuk melakukan secepatnya. Mereka masih ingin mengalami hidup tenang dan tentram. Merka masih ingin berada dilingkungan keluarga. Bermain dengan anak-anak sebaya dan mereka masih ingin melupakan dendam dan kebencian, kekasaran dan kekerasan. Di antara anak-anak muda yang sebaya, mereka sempat berkelakar. Kadang-kadang berbicara tentang sesuatu yang tidak ada ujung pangkalnya, melupakan kesibukan, bukan saja kewadagan, tetapi juga kejiwaan.

Baik Saruju maupun Damar kadang-kadang memang bertanya kepada diri sendiri, apakah benar bahwa mereka merasa tersinggung dengan kehadiran Iswari dan kakek serta neneknya. Serta kehadiran orang-orang lain dari luar Tanah Perdikan ini?

Lalu bagaimana dengan Warsi sendiri? Apakah ia seorang yang memang berasal dari Tanah Perdikan ini?

Namun kulit mereka merasa meremang ketika mereka menyadari bahwa nyawa mereka terancam. Bahkan keluarga mereka.

Meskipun demikian, keduanya memang agak terlalu lama menunggu kesempatan.

Namun

bukan saja terlalu lama, tetapi mereka memang menunggu kesempatan itu datang. Mereka sama sekali tidak mengusahakan kesempatan itu untuk diperolehnya.

Hampir di luar sadar mereka, maka hari demi hari berlalu. Minggu ke minggu berikutnya dan bahkan bulan telah lewat. Tetapi kesempatan itu tidak datang kepada Saruju dan Damar.

Apalagi untuk beberapa lama tidak seorang pun yang datang menghubungi mereka. Menanyakan atau menegur tentang tugas-tugas mereka. Namun dalam pada itu, ketika Saruju sedang berada di tempat seorang pandai besi untuk membeli sebuah kapak pembelah kayu, seorang telah berjongkok disampingnya. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku tunggu kau disimpang tiga itu.”

Saruju menjadi berdebar-debar. Namun ia pun segera sadar, bahwa orang itu tentu merupakan alat dari Ki Rangga Gupita dan Warsi.

Karena itu, setelah ia membayar harga kapak itu, maka ia pun telah meninggalkan pandai besi itu dan menuju ke simpang tiga sebagaimana dikatakan oleh orang yang belum dikenalnya itu.

“Marilah Ki Sanak,” berkata orang itu ketika Saruju mendekatinya.

Tetapi Saruju tidak mau duduk disampingnya. Simpang tiga itu adalah simpang tiga yang banyak dilalui orang. Jika ia terlalu lama berbincang dengan orang yang

tidak dikenal di Tanah Perdikan itu, maka mungkin sekali akan dapat menarik perhatian.

“Siapa kau?” bertanya Saruju.

“Aku hari ini hanya ingin sekadar memperkenalkan diri,” berkata orang itu. “Aku datang atas nama Ki Rangga Gupita dan Nyai Wiradana demi kesetiaanku kepada Puguh anak yang berhak untuk mewarisi kedudukan ayahnya di Tanah Perdikan ini.” “Kenapa baru sekarang kau datang?” bertanya Saruju.

Pertanyaan itu mengejutkan orang itu. Namun kemudian jawabnya, “Aku berbuat tidak atas kehendakku sendiri. Tetapi aku melakukan perintah.”

Saruju menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah. Lalu apa perintah yang harus aku lakukan?”

“Aku menyampaikan sebuah pertanyaan dari Ki Rangga,” jawab orang itu. “Pertanyaan apa?” desis Saruju. “Kenapa tugasmu belum kau lakukan?” sahut orang itu.

Namun dalam pada itu, orang itu pun berkata, “Sudahlah. Kita akan bertemu lagi. Aku tahu, bahwa kau tidak ingin diamati oleh seseorang. Kita akan memilih tempat yang lebih tenang untuk dapat berbicara panjang. Seperti aku katakan, aku

sekadar memperkenalkan diri hari ini.”

Saruju menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tidak mau menunjukkan kegelisahannya. Karena itu, maka katanya, “Pergi sajalah ke pasar. Di pasar semua orang dapat berbicara dengan siapa saja tanpa mendapat perhatian dari orang lain. Aku akan mengajak Damar. Aku tahu, persoalannya tentu akan menyangkut tugas yang belum dapat dilaksanakan itu.” “Baiklah. Aku akan pergi ke pasar besok pagi-pagi,” berkata orang itu.

Saruju tidak bertanya sesuatu lagi. Ia pun segera melangkah meninggalkan orang itu sendiri. Ketika ia berpaling ke sekitarnya, ia menarik nafas panjang.

Agaknya memang tidak ada orang yang memperhatikannya.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun telah meninggalkan tempat itu pula.

Saruju yang gelisah agaknya langsung menuju ke rumah Damar. Tetapi ternyata ia tidak menemukan Damar di rumahnya.

“Kemana?” bertanya Saruju kepada keluarga Damar yang ada di rumah. “Aku tidak tahu, tetapi ia pergi dengan kawannya,” jawab yang ada di rumah.

Saruju mengangguk-angguk. Jika demikian ia tidak perlu mencari Damar karena jika ia berada di antara orang lain, maka ia tidak akan dapat mengatakan sesuatu.

Karena itu, maka Saruju pun justru berpesan, “Tolong sampaikan kepada Damar, bahwa aku menunggu dirumah sore ini.”

“Apakah kau ingin memberikan pesan yang lain?” bertanya keluarga Damar itu. “Tidak. Aku berharap Damar dapat datang ke rumahku,” jawab Saruju. “Ia memesan ayam jantan.”

Saruju meninggalkan rumah Damar dengan hati yang gelisah. Ia harus sempat berbicara dengan Damar sebelum menemuinya orang itu besok di pasar.

Namun sebenarnyalah di sore hari Damar datang ke rumahnya. Namun agaknya Damar pun telah mengetahui untuk apa Saruju memanggilnya. Tentu bukan karena seekor ayam jantan.

“Marilah,” berkata Saruju mempersilakan Damar, “Masuk sajalah.Kita berbicara di dalam.”

Damar pun telah masuk ke ruang dalam.

Dengan hati-hati Saruju pun menceriterakan bahwa ia telah bertemu dengan petugas yang dikirim oleh Ki Rangga Gupita. Demikian hati-hati karena ia tidak ingin seorang pun antara keluarganya yang mendengarnya.

“Jadi orang itu telah datang?” desis Damar.

“Ya. Pertanyaannya adalah, kenapa kita masih belum melakukan tugas kita,” berkata Saruju.

Damar menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Bukankah tidak ada batas waktu yang diberikan kepada kita?”

“Ya. Memang tidak ada batas waktu. Tetapi kesabaran merekalah yang terbatas. Kita tidak akan dapat melampaui batas kesabaran mereka itu,” jawab Saruju. Wajah Damar menjadi buram. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Apakah kita harus kembali ke dalam kehidupan itu?”

“Kita sudah terjebak ke dalamnya,” berkata Saruju. “Kita terlambat melihat kenyataan. Dan agaknya kita sudah terjerat ke dalam satu lingkungan yang kita tidak akan dapat ke luar lagi.”

Damar mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan mengalami kehidupan yang baik seperti ini lagi, jika usaha Warsi berhasil. Jika Warsi dan Ki Rangga berhasil menduduki Tanah Perdikan ini dan membina kehidupan di dalamnya, maka kita akan dapat hidup seperti ini lagi meskipun yang memimpin Tanah Perdikan ini berbeda.

Bahkan mungkin kita akan mendapat kedudukan dan kuasa yang membuat kehidupan kita lebih baik dari sekarang.”

“Apakah kau berbicara dari dasar nuranimu?” bertanya Saruju.

“Aku menyampaikan sebuah pertanyaan dari Ki Rangga,” jawab orang itu. “Pertanyaan apa?” desis Saruju. “Kenapa tugasmu belum kau lakukan?” sahut orang itu. Namun dalam pada itu, orang itu pun berkata, “Sudahlah. Kita akan bertemu lagi. Aku tahu, bahwa kau tidak ingin diamati oleh seseorang. Kita akan memilih tempat yang lebih tenang untuk dapat berbicara panjang. Seperti aku katakan, aku sekadar memperkenalkan diri hari ini.”

Saruju menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tidak mau menunjukkan kegelisahannya. Karena itu, maka katanya, “Pergi sajalah ke pasar. Di pasar semua orang dapat berbicara dengan siapa saja tanpa mendapat perhatian dari orang lain. Aku akan mengajak Damar. Aku tahu, persoalannya tentu akan menyangkut tugas yang belum dapat dilaksanakan itu.”

“Baiklah. Aku akan pergi ke pasar besok pagi-pagi,” berkata orang itu.

Saruju tidak bertanya sesuatu lagi. Ia pun segera melangkah meninggalkan orang itu sendiri. Ketika ia berpaling ke sekitarnya, ia menarik nafas panjang.

Agaknya memang tidak ada orang yang memperhatikannya.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun telah meninggalkan tempat itu pula.

Saruju yang gelisah agaknya langsung menuju ke rumah Damar. Tetapi ternyata ia tidak menemukan Damar di rumahnya.

“Kemana?” bertanya Saruju kepada keluarga Damar yang ada di rumah. “Aku tidak tahu, tetapi ia pergi dengan kawannya,” jawab yang ada di rumah. Saruju mengangguk-angguk. Jika demikian ia tidak perlu mencari Damar karena jika ia berada di antara orang lain, maka ia tidak akan dapat mengatakan sesuatu.

Karena itu, maka Saruju pun justru berpesan, “Tolong sampaikan kepada Damar, bahwa aku menunggu dirumah sore ini.”

“Apakah kau ingin memberikan pesan yang lain?” bertanya keluarga Damar itu. “Tidak. Aku berharap Damar dapat datang ke rumahku,” jawab Saruju. “Ia memesan ayam jantan.”

Saruju meninggalkan rumah Damar dengan hati yang gelisah. Ia harus sempat berbicara dengan Damar sebelum menemuinya orang itu besok di pasar.

Namun sebenarnyalah di sore hari Damar datang ke rumahnya. Namun agaknya Damar pun telah mengetahui untuk apa Saruju memanggilnya. Tentu bukan karena seekor ayam jantan.

“Marilah,” berkata Saruju mempersilakan Damar, “Masuk sajalah.Kita berbicara di dalam.”

Damar pun telah masuk ke ruang dalam.

Dengan hati-hati Saruju pun menceriterakan bahwa ia telah bertemu dengan petugas yang dikirim oleh Ki Rangga Gupita. Demikian hati-hati karena ia tidak ingin seorang pun antara keluarganya yang mendengarnya.

“Jadi orang itu telah datang?” desis Damar.

“Ya. Pertanyaannya adalah, kenapa kita masih belum melakukan tugas kita,” berkata Saruju.

Damar menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Bukankah tidak ada batas waktu yang diberikan kepada kita?”

“Ya. Memang tidak ada batas waktu. Tetapi kesabaran merekalah yang terbatas. Kita tidak akan dapat melampaui batas kesabaran mereka itu,” jawab Saruju.

Wajah Damar menjadi buram. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Apakah kita harus kembali ke dalam kehidupan itu?”

“Kita sudah terjebak ke dalamnya,” berkata Saruju. “Kita terlambat melihat kenyataan. Dan agaknya kita sudah terjerat ke dalam satu lingkungan yang kita tidak akan dapat ke luar lagi.”

Damar mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan mengalami kehidupan yang baik seperti ini lagi, jika usaha Warsi berhasil. Jika Warsi dan Ki Rangga berhasil menduduki Tanah Perdikan ini dan membina kehidupan di dalamnya, maka kita akan dapat hidup seperti ini lagi meskipun yang memimpin Tanah Perdikan ini berbeda. Bahkan mungkin kita akan mendapat kedudukan dan kuasa yang membuat kehidupan kita lebih baik dari sekarang.”

“Apakah kau berbicara dari dasar nuranimu?” bertanya Saruju.

PANDE BESI itu mengangguk-angguk sambil mengamati keris yang dibawa oleh Damar. Katanya, “Kerismu luar biasa. He, apakah kau akan menjualnya?” Damar tersenyum.

Katanya, “Seorang kawanku ingin melihatnya. Tetapi sebenarnya ayah tidak ingin menjualnya.” “Jika keris itu memang akan dijual, jangan dijual kepada orang lain. Berikan kepadaku,” berkata Pande Besi itu. “Aku hanya ingin menjajagi,” berkata Damar.

Ternyata bahwa tidak lama kemudian, orang yang mereka tunggu itu pun telah datang. Mereka kemudian duduk disebelah gubug yang dipergunakan oleh Pande Besi itu. Tidak terlalu jauh. Namun karena pande besi itu kemudian mulai bekerja,

maka pembicaraan ketiga orang itu tidak dapat didengar oleh orang lain, meskipun mereka tidak berbisik-bisik.

“Nah,” berkata petugas itu. “Beri kesempatan aku menyampaikan pesan dan penilaian Ki Rangga Gupita dan Nyi Wiradana atas kerja kalian.”

Damar dan Saruju mengangguk. Sementara itu Damar masih memegang keris yang tidak

lagi berada di wrangkanya.

“Jangan cemas,” berkata Damar. “Kita pergunakan keris ini sebagai alat untuk duduk berbicara dan tidak dicurigai orang, seakan-akan kita sedang tawar menawar keris ini.”

Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi setiap kali ia masih memperhatikan keris itu dengan cemas.

“Nah, katakan,” minta Saruju kemudian.

Orang itu menarik nafas. Lalu katanya, “Ki Rangga dan Nyi Wiradana menilai pekerjaan kalian terlalu lamban.”

“Aku akui,” berkata Saruju. “Tetapi ini adalah akibat dari cara yang sangat kasar yang telah dipergunakan oleh seorang petugas yang lain.

“Jawaban itu sudah diduga,” berkata orang itu. “Tetapi Ki Rangga tidak mau alasan itu kau pergunakan tanpa batas. Karena itu baik Ki Rangga maupun Nyi

Wiradana menuntut tugasmu segera dapat dilaksanakan. Perjuangan kita meningkat terus, sementara kita belum sempat mempersiapkan landasan perjuangan di Tanah Perdikan ini.” “Kami sudah berusaha,” berkata Saruju dengan wajah berkerut. “Tetapi kami masih menemui kesulitan. Meskipun demikian, laporkan, bahwa aku sudah mendapat kepercayaan dari anak-anak muda di Tanah Perdikan ini.”

Tetapi orang itu tersenyum. Namun senyumnya membuat bulu tengkuk Saruju dan Damar justru meremang. Dengan nada rendah orang itu bertanya, “Hanya itu yang harus aku laporkan?”

Betapa hatinya bergetar Damar masih juga menjawab sambil menyembunyikan perasaan

itu, “Bukankah itu satu langkah yang harus aku capai dalam tugas ini? Tanpa melalui langkah itu, maka semuanya akan sia-sia.”

“Aku tahu,” jawab orang itu. “Tetapi perbandingan antara waktu dan hasil yang kau capai sama sekali tidak seimbang. Jika langkahmu selamban ini, maka baru setelah anak itu mampu mengangkat pedang kau akan bertindak. Bahkan mungkin justru jantungmulah yang akan dilubangi oleh pedangnya.”

“Jangan berlebih-lebihan menanggapi kesulitan kami,” berkata Damar. “Kau kira

tugas kami sama mudahnya dengan merampok meskipun di Kotaraja sekalipun. Bahkan memasuki Istana Hadiwijaya itu sendiri.”

“Kalian memandang diri kalian terlalu besar hanya karena tugas ini,” berkata orang itu. “Itulah sebabnya kalian menganggap bahwa dengan tugas ini kalian merupakan orang yang paling dihargai di lingkungan kami.”

Jantung Saruju dan Damar menjadi semakin berdebar-debar. Sementara itu Saruju pun kemudian bertanya, “Tegasnya, apa yang dikehendaki oleh Ki Rangga Gupita dan Nyi Wiradana?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berpaling ke keramaian pasar yang semakin sibuk, justru matahari mulai naik. Suara Pande Besi

disebelahnya pun menjadi semakin nyaring pula.

Dengan nada rendah orang itu berkata, “Ki Rangga dan Nyi Wiradana menghendaki kalian cepat menyelesaikan tugas kalian.”

“Setelah anak itu terbunuh, apa yang akan dilakukan oleh Ki Rangga dan Nyi Wiradana? Apakah kita dengan serta merta akan dapat memasuki Tanah Perdikan ini? Tidak Ki Sanak. Semuanya memerlukan waktu yang panjang. Jika Risang itu terbunuh, maka diperlukan pengesahan atas nama Puguh sebagai anak Wiradana. Itu tidak dapat berlangsung dalam satu dua hari. Jika para pemimpin dari Tanah Perdikan ini bertahan, maka akan terjadi persoalan yang masih memerlukan pemecahan. Sementara itu Pajang masih dapat menentukan sikapnya atas peristiwa itu.”

“KAU kira Ki Wiradana dan Nyi Wiradana itu tidak mempunyai penalaran dalam persoalan ini?” bertanya orang itu. “Semua orang tahu, bahwa jika Risang itu mati, masih diperlukan perjuangan tahap berikutnya. Namun langkah itu harus ditempuh lebih dahulu. Semakin cepat kepastian itu terjadi, maka semakin yakin kita akan berhasil perjuangan kita kelak. Tanpa Risang, maka arah pewarisan

kuasa di Tanah Perdikan menjadi pasti, karena tidak mungkin Iswari itu mempunyai anak lagi, karena Wiradana sudah mati.” “Aku tahu,” jawab Saruju. “Tetapi apakah sudah diperhitungkan sikap Pajang?”

“Kau gila,” geram orang itu. “Apakah artinya Pajang? Bukankah Tanah ini akan menjadi landasan perjuangan melawan Pajang? Jika Risang mati, maka kehadiran Puguh akan mempengaruhi sikap orang-orang Tanah Perdikan ini. Mereka akan berpaling dari Iswari ke Nyi Wiradana yang ternyata masih mempunyai seorang anak laki-laki dari Ki Wiradana. Dengan sedikit menjelaskan permasalahannya, maka orang-orang Tanah Perdikan akan berganti sikap, karena pada dasarnya mereka

setia kepada Kepala Tanah Perdikan mereka dan sudah barang tentu dengan keturunannya yang sah.”

Saruju dan Damar masih akan membantah. Mereka melihat seribu macam persoalan yang terbentang dihadapannya. Namun orang itu telah memotongnya, “Aku tahu, bahwa kau telah memperhitungkan segalanya dengan terlalu cermat, sehingga kau menjadi ragu-ragu untuk menentukan langkah. Tetapi agaknya berbeda dengan Ki Rangga dan Nyi Wiradana. Tahap yang harus dilalui itu harus dilakukan

secepatnya, apapun yang akan terjadi kemudian. Tugasmu adalah menyelesaikan anak itu. Kau tidak usah berpikir setelah itu lalu apa dan bagaimana. Orang lain akan memikirkannya dan orang lain pula yang akan memecahkannya. Kau bukan pemimpin tertinggi yang berhak menentukan langkah-langkah kita sampai pada tahap yang terakhir. Landasan kita sekarang adalah Risang harus tidak ada. Yang ada

kemudian tinggal Puguh saja. Itu saja.”

Saruju dan Damar menarik nafas dalam-dalam. Beberapa orang berjalan didekatnya hilir mudik. Untunglah tidak ada anak muda yang melihat mereka dan mendekatinya meskipun mereka menyangka bahwa yang dibicarakannya adalah keris yang dibawanya itu.

“Nah,” berkata orang itu. “Semuanya telah jelas bagi kalian berdua. Jangan mempersoalkan seribu macam masalah yang belum tentu akan terjadi atau yang telah diperhitungkan oleh orang lain. Sekali lagi, tugasmu membunuh Risang. Tidak

lebih.”

Saruju dan Damar mengangguk-angguk. Mereka sadar bahwa mereka tidak akan dapat berbantah. Karena itu, maka Saruju pun berkata, “Baiklah. Kami mengerti. Kami

akan segera melakukannya. Kami sekarang sudah mendapat kesempatan berada di lingkungan para petugas di rumah Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan itu. Kami akan segera mencari kesempatan itu meskipun dengan demikian akan merenggut nyawa kami.”

“Bagus,” berkata orang itu. “Singkirkan perhitungan dan kecemasanmu tentang langkah-langkah berikutnya. Kau hanya mendapat satu tugas. Dan tugas itu harus

kau lakukan dalam waktu dekat. Selambat-lambatnya dalam batas waktu sampai akhir bulan berikut nanti.”

mohon maaf....terpotong sedikit aja...

DAMAR menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu orang itu berkata, “Sudah aku katakan. Sama sekali bukan niatku. Juga sudah aku katakan, jika aku mengucapkannya bukan berarti bahwa aku sependapat dengan cara ini. Tetapi perintah ini justru harus kau dengar agar kau dapat mengatur diri. Mengatur perasaan dan lebih baik jika semuanya itu tidak terjadi.”

Saruju tidak berkata sesuatu. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Terasa bahwa kaki dan tangannya memang telah terbelenggu dan tidak mungkin akan terlepas lagi.

Ternyata bahwa Saruju lebih berhasil menguasai perasaannya dari pada Damar yang hampir meledak. Bahkan dengan nada dalam Saruju kemudian berkata, “Kau tidak bersalah. Aku justru mengucapkan terima kasih bahwa kau telah memberitahukan ancaman itu kepada kami. Agaknya memang lebih baik bagi kami untuk lebih cepat mengetahui. Tetapi yakinkan Ki Rangga dan Nyi Wiradana, bahwa kami akan menyelesaikan tugas kami sebelum batas waktu itu datang. Langkah-langkah kami sudah mendekati langkah akhir yang menentukan. Kepercayaan yang sangat kami perlukan dalam tugas ini telah kami dapatkan.”

“Baiklah anak-anak muda,” berkata orang itu. “Lakukanlah tugas kalian

sebaik-baiknya. Aku masih akan selalu menghubungi kalian. Jika kalian memerlukan bantuan, katakanlah dengan terus terang agar aku dapat mempersiapkan

sebaik-baiknya. Sebenarnya menurut pengamatanku, suasana di Tanah Perdikan ini akan membantu kalian. Tanah Perdikan ini terasa menjadi tenang dan dengan demikian mereka sudah mulai menjadi lengah dan tidak mengira hal yang akan kalian lakukan itu terjadi.”

Saruju dan Damar mengangguk-angguk. Sebenarnyalah mereka memang tidak akan mempunyai pilihan lain. Mereka harus melakukannya.

Memang ada sepercik penyesalan bahwa mereka tidak memisahkan diri saja dari Ki Rangga dan Nyi Wiradana sebagaimana dilakukan oleh sebagian dari kawan-kawannya yang telah menyerah lebih dahulu. Mereka justru dapat menikmati ketenangan Tanah Perdikan itu tanpa dibayangi oleh kuasa Ki Rangga Gupita dan Nyi Wiradana.

Bahkan ancaman untuk membunuh seluruh keluarga.

“Apakah kalian masih ragu-ragu?” tiba-tiba saja orang yang datang itu bertanya ketika dilihatnya kedua anak muda itu merenung.

Saruju menarik nafas dalam-dalam. Jawabannya, “Bukan menyesal. Tetapi aku mulai memperhitungkan waktu sebaik-baiknya.”

“Nah,” berkata orang itu, “Aku minta diri. Aku harus melaporkan pertemuan ini kepada Ki Rangga dan Nyi Wiradana.”

Saruju dan Damar mengangguk kecil. Dengan nada rendah Damar, berkata, “Beri kami petunjuk-petunjuk berikutnya.”

“Tentu, meskipun mungkin bukan aku sendiri yang akan datang kemari,” berkata orang itu.

Saruju dan Damar kemudian beringsut pula ketika orang itu kemudian meninggalkan mereka.

“Kita berpisah disini,” berkata Saruju. “Kita akan bertemu dan berbicara pada kesempatan lain. Kita akan menjadi serigala di antara domba-domba yang hidup tenang dan damai di padang rumput yang menjadi semakin subur.”

Damar menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian menyarungkan kerisnya dan membiarkan Saruju memasuki keramaian pasar yang riuh. Sementara Damar sendiri berjalan termangu-mangu dengan langkah yang goyah. Kepalanya rasa-rasanya menjadi pening dan jantungnya berdebaran semakin cepat.

Hampir diluar sadarnya, maka Damar telah memasuki sebuah warung di pinggir pasar itu dan memesan minuman panas.

“Kau nampak pucat,” sapa pemilik warung yang sudah dikenalnya itu, seorang perempuan yang gemuk. “Apakah kau sakit?”

“Aku merasa agak pening,” jawab Damar. ”Karena itu aku singgah. Jika aku minum minuman hangat aku kira tubuhku akan menjadi segar lagi.” Perempuan gemuk itu dengan cekatan telah menyiapkan minuman panas bagi Damar. Kemudian mempersilakannya, “Minumlah. Mumpung masih panas. Wedang jahe itu akan membuat tubuhmu menjadi hangat.”

Damar menghirup wedang jahe sehingga semangkuk penuh telah dihisapnya. Setelah makan beberapa potong makanan, maka ia pun kemudian meninggalkan warung itu setelah membayar harganya.

“TERNYATA lebih baik jika kita orang asing sama sekali,” berkata Damar. “Cara yang kasar pernah dipergunakan oleh orang terdahulu telah menutup kemungkinan bagi kita untuk melakukannya sekarang. Dalam kesempatan yang jarang kita dapatkan, kita melihat Risang selalu diawasi oleh orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Jika bukan Gandar, maka Bibi itulah yang ada didekatnya disamping

pemomongnya.” Saruju mengangguk-angguk. Namun akhirnya ia berkata, “Kita akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan cara lain kecuali membunuhnya sambil membunuh diri. Namun dengan demikian keluarga kita akan selamat.”

Saruju menundukkan kepalanya. Minggu pertama telah lewat. Sementara itu mereka belum melihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.

Namun sementara itu Saruju dan Damar menjadi semakin rajin bekerja di antara anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan. Apapun yang dilakukan oleh anak-anak muda, maka Saruju dan Damar tentu ada di antara mereka.

Tidak ada seorang pun di antara kawan-kawan mereka yang tahu, apakah sebenarnya yang sedang bergejolak di dalam dada mereka. Kegelisahan yang semakin lama semakin menyesak.

Tetapi kesempatan masih belum terbuka bagi mereka. Meskipun Saruju dan Damar merupakan sebagian dari mereka yang dianggap mempunyai pengabdian yang baik, namun bagi keduanya masih belum diberi kesempatan untuk bertugas di rumah Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan. Hanya para pengawal yang dipercaya sepenuhnya sajalah yang mendapat giliran bertugas di rumah Risang.

“Jika kita mendapat kesempatan seperti itu,” desis Damar ketika keduanya bertemu dan membicarakan rencana-rencana mereka.

“Kita dan anak-anak muda seperti kita, tidak seorang pun yang mendapat kesempatan bertugas di rumah Kepala Tanah Perdikan,” sahut Saruju.

“Jadi bagaimana?” bertanya Damar. “Waktu kita semakin menyempit, sedangkan aku tidak ingin keluargaku mati.” “Siapa yang mau membiarkan keluarganya dibunuh seorang demi seorang,” berkata Saruju. “Bagi kita memang lebih baik membunuh daripada dibunuh. Keadaan Tanah Perdikan ini ternyata telah membius kita, sehingga kita telah kehilangan

semangat berjuang sebagaimana telah membakar hati kita pada saat kita berangkat ke Tanah Perdikan ini.”

Damar mengerutkan keningnya. Sambil menarik nafas ia berkata namun tanpa gairah, “Ya. Kita telah kehilangan tekad yang membara. Suasana kehidupan di Tanah Perdikan ini jauh berbeda dengan suasana kehidupan di dalam sarang kita.”

“Karena itu, kita memang harus bangkit. Kita harus bertindak dengan cepat tanpa ragu-ragu. Kita harus mampu menyingkirkan pengaruh yang telah mencengkam kita selama ini. Sementara kita sebenarnya tahu pasti, bahwa kehidupan yang tenang, tenteran ini adalah kehidupan yang semu semata-mata,” berkata Saruju. “Kita

harus kembali kepada jiwa kita sebagai pejuang untuk membebaskan tanah ini dari tangan-tangan orang-orang yang tidak berhak, karena Iswari itu memang bukan orang yang dilahirkan di Tanah Perdikan ini.”

DAMAR mengangguk-angguk. Ia pun mencoba untuk menghayati kembali sikap sebagaimana saat mereka berangkat menuju ke Tanah Perdikan ini.

“Kenapa kita tidak bergerak di malam hari?” bertanya Saruju.

Damar mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia bertanya, “kita memasuki rumah itu sebagai laku seorang pencuri?”

“Ya. Kita masuk rumah itu. Jika kita ketemukan bilik Risang, maka semuanya akan menjadi beres,” berkata Saruju.

“Aku setuju. Tetapi apakah akan semudah itu?” desis Damar. “Kita akan mencobanya,” sahut Saruju.

Dengan demikian, maka mereka berdua mulai membuat rencana untuk bergerak di malam hari. Sebagai anak muda yang hampir setiap saat ikut serta dalam kegiatan anak-anak muda di Tanah Perdikan, maka mereka tahu pasti, tempat-tempat yang dapat mereka lalui, dan tempat-tempat yang harus dihindarinya. Bukan hanya di padukuhan mereka sendiri tetapi juga di padukuhan induk yang sekali-kali pernah mereka amati.

Setelah rencana mereka menjadi masak, maka kedua anak muda itu pun mulai melakukannya. Mereka merasa lebih baik mencoba daripada tidak berbuat sama sekali, sementara haripun merayap terus mendekati batas waktu yang telah ditentukan. Di malam hari keduanya bertemu ditempat yang telah mereka tentukan. Kemudian dengan hati-hati keduanya pergi menuju ke padukuhan induk. Dengan mudah mereka dapat menelusuri jalan yang paling aman sehingga mereka tidak bertemu dengan seorang pun yang akan mencurigainya. Demikian pula setelah mereka sampai ke padukuhan induk. Maka mereka pun mengetahui bagaimana mereka memasukinya tanpa

melalui pintu-pintu regol yang manapun juga, karena regol-regol itu selalu diawasi oleh para pengawal yang bertugas meronda.

Dengan mengendap-endap mereka berhasil mendekati dinding rumah Kepala Tanah Perdikan.

Namun yang terjadi adalah sebagaimana pernah terjadi dengan orang-orang

terdahulu mencoba menghabisi Risang. Mereka tidak dengan mudah menemukan bilik Risang. Hampir semalam suntuk Risang tidak terbangun jika tidur. Apalagi

merengek dan menangis.

Karena itu, maka usaha mereka untuk menemukan bilik Risang pun sia-sia. Sementara itu, kedua orang anak muda itu sama sekali tidak berani memasuki rumah Kepala Tanah Perdikan itu sebagaimana laku perampok. Mereka dapat merampok justru di Kota Raja Pajang yang terkenal karena pasukannya yang kuat. Namun untuk memasuki rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan dengan menggedor pintu maka

keduanya berarti membunuh diri.

Karena itu, maka usaha mereka untuk melakukan tugas mereka di malam hari telah mereka hentikan. Sementara itu, hari-hari pun telah menjadi sempit. Bulan pertama dari waktu yang diberikan sebagaimana batasan telah lewat. Jika dalam

bulan berikutnya mereka tetap tidak mampu melakukan tugas mereka, maka seorang demi seorang keluarga mereka akan dihabisi.

Sebenarnyalah ketika bulan pertama habis, ternyata Saruju dan Damar telah ditemui pula oleh petugas yang dikirim Ki Rangga dan Warsi.

Berbeda dengan petugas yang terdahulu, maka kedua orang itu ternyata adalah dua orang yang kasar. Mereka tidak menemui Saruju dalam kesempatan yang baik. Tetapi mereka telah menunggu Saruju langsung di depan rumahnya.

“Saruju,” berkata orang itu dengan serta merta tanpa basa-basi. “Aku mendapat tugas untuk memberimu peringatan. Sebulan telah lampau sejak perintah kepadamu diberikan, bahwa waktumu hanya sampai akhir bulan ini.” “Aku sudah tahu,” jawab Saruju. “Bulan pertama yang sudah genap sebulan telah lampau. Aku sudah sampai pada bulan berikutnya. Dan aku tidak akan pernah lupa, bahwa keselamatanku dan keluarga terancam jika aku gagal melakukan tugasku sampai akhir bulan ini.”

“Bagus,” berkata orang itu. “Karena itu kau harus menyesuaikan diri.”

“Jangan ajari aku seperti kanak-kanak,” berkata Saruju. “Aku tahu apa yang harus aku lakukan.”

NAMUN ia merasa terlalu sulit untuk melepaskan diri dari lingkungan itu. Keluarganya seorang demi seorang akan menjadi korban. Dan tentu yang terakhir adalah dirinya sendiri. Sementara itu, kedua orang yang pernah datang kepadanya itu telah pergi ke rumah Damar.

Agak berbeda dengan Saruju, maka Damar yang biasanya sekeras Saruju itu menanggapinya dengan sikap yang lain. Damar tidak banyak memberikan tanggapan atas perintah yang dibawa oleh kedua orang itu.

Sebagaimana Saruju maka seorang di antara keduanya itu telah dikenalnya. Ia pun terkejut ketika tiba-tiba saja kedua orang itu mengetuk pintu rumahnya

keras-keras dan bertanya kepada salah seorang adiknya, apakah ia ada di rumah. Adiknya memang agak takut melihat kedua orang itu. Karena itu maka ia pun dengan tergesa-gesa memanggil Damar dan mengatakannya bahwa dua orang yang berwajah seram mencarinya.

Damar memang sudah menduga. Karena itu, ketika ia melihat kedua orang itu berdiri di muka pintu, ia tidak terkejut lagi.

Berbeda dengan Saruju maka Damar mempersilakan kedua orang itu untuk masuk ke rumahnya dan duduk di ruang dalam. Sehingga menurut perhitungan Damar, tidak ada orang lain yang melihatnya. Sementara itu ayahnya berada di sawah dan ibunya

berada di dapur, sehingga pembicaraan mereka tidak akan didengar oleh orang

lain. Bahkan adik-adiknya pun tidak akan berusaha mendengarkan percakapan mereka karena mereka merasa tidak berkepentingan.

Kedua orang itu memang orang-orang yang kasar. Demikian mereka duduk disebuah amben yang besar, maka kaki mereka pun langsung ditekuknya pada lututnya yang tegak tanpa menghiraukan apapun.

“Damar,” berkata orang yang pernah dikenalnya itu sebagaimana ia berkata kepada Saruju. “Aku datang untuk memberimu peringatan bahwa waktumu telah kau lalui hampir separohnya.” Damar mengangguk kecil. Katanya, “Ya. Aku menyadari.”

“Jika kau tidak dapat menyelesaikan pada waktu yang sudah ditentukan, maka kau tentu sudah dapat membayangkan akibatnya.”

“Ya,” Damar mengangguk-angguk.

“Karena itu, maka kau harus bersungguh-sungguh dengan tugasmu,” berkata orang itu pula.

Damar masih mengangguk-angguk sambil menjawab, “Baiklah. Aku akan berusaha sejauh dapat aku lakukan.”

“Jangan hanya sejauh dapat kau lakukan. Kau harus yakin bahwa tugas itu akan dapat kau selesaikan. Jika tidak maka satu-satu keluargamu akan dibunuh,” berkata orang itu lagi.

“Jangan terlalu keras berbicara di ruang ini,” berkata Damar. “Aku dapat mendengar meskipun kau berbicara perlahan-lahan.”

Orang itu menarik nafas. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk. “Baiklah,” berkata orang itu. “Aku minta diri. Aku hanya memberimu peringatan. Mudah-mudahan kau berhasil.”

Damar memang tidak banyak memberikan tanggapan. Rasa-rasanya segan baginya untuk

berbicara tentang tugasnya.

Sebenarnyalah kedua orang itu pun segera meninggalkan rumah Damar. Demikian mereka melintasi halaman, maka adik Damar yang kecil yang sedang berada di halaman segera mendekati kakaknya, sambil bertanya, “Siapakah mereka kakang?” Damar mencoba tersenyum. Katanya, “Itu adalah orang-orang yang terbiasa menebangi kayu dihutan-hutan. He, kau nampaknya takut kepada mereka?”

“Ya. Aku takut,” berkata adiknya.

Damar berusaha untuk tertawa. Katanya, “Tidak apa-apa. Mereka tidak apa-apa.” “Tetapi kenapa mereka kemari? Apakah kakang mempunyai hubungan dengan penebang

kayu dihutan-hutan?” bertanya adiknya.

“Tidak. Aku hanya mengenalnya. Dan mereka juga bertandang kemari,” jawab Damar berbohong.

Tetapi nampaklah adiknya yang kecil itu kurang yakin akan jawaban kakaknya itu. Tetapi ia tidak bertanya lebih banyak lagi. Bahkan adik Damar yang kecil itu pun telah meninggalkannya. Damar berdiri termangu-mangu memandang adiknya itu. Namun ia pun kemudian telah kembali masuk ke dalam rumahnya. Bahkan Damar itu telah masuk ke dalam biliknya. mohon maaf....terpotong sebagian...

Dengan wajah muram Damar duduk merenungi dirinya sebagaimana dilakukan oleh Saruju. Angan-angannya bergejolak sebagaimana terjadi pada Saruju.

Ternyata bahwa kedua orang itu mempunyai kesan dan sikap yang sama terhadap keadaan diri mereka dan masa depan mereka.

“Gila,” geram Damar. Namun seakan-akan ia tidak berkemampuan melawan nasib yang sangat buruk yang selalu membayanginya itu.

Malam itu, Saruju dan Damar telah bertemu. Tetapi mereka sudah tidak lagi berusaha untuk mengintip rumah Kepala Tanah Perdikannya. Mereka merasa tidak mampu untuk menembus dinding rumah itu, karena di dalam rumah itu terdapat orang-orang berilmu tinggi memagari Risang. Bahkan untuk mengetahui dimana Risang tidur pun mereka tidak berhasil.

“Apa yang dapat kita lakukan,” berkata Saruju. “Di siang hari pun dalam kesempatan yang sedikit bagi kita memasuki halaman rumah Risang itu, kita selalu melihat bahwa anak itu selalu diawasi oleh orang-orang berilmu tinggi. Jika

bukan Gandar, maka Bibilah yang ada didekatnya. Bahkan kadang-kadang ibunya sendiri atau kakek buyutnya.”

“Memang tidak ada pilihan lain Saruju. Seperti yang pernah kita bicarakan. Kita harus melakukannya sambil membunuh diri,” berkata Damar. “Namun dengan demikian

keluarga kita akan selamat.”

“Jika kita berhasil membunuh anak itu, meskipun kita sendiri menjadi korban, agaknya tidak apa-apa. Kita menjadi bebanten dari keselamatan keluarga kita sendiri,” berkata Saruju. “Tetapi yang paling pahit adalah jika kita gagal dan kita justru tertangkap atau terbunuh. Maka keluarga yang kita tinggalkan pun

akan mengalami nasib yang paling buruk. Mereka akan menjadi sasaran kemarahan Ki Rangga Gupita dan Nyi Wiradana, sementara itu orang-orang Tanah Perdikan ini pun akan menyoroti mereka sebagai keluarga pengkhianat. Mereka akan tersisih dari pergaulan dan terutama adik-adik kita, akan kehilangan masa depannya. Sementara itu, dalam kepahitan hidup dan keterasingan, maka puncak daripada penderitaan mereka adalah ujung-ujung senjata orang-orang Ki Rangga Gupita dan Nyi

Wiradana.” Damar merenungi kata-kata itu. Tetapi dadanya bagaikan pecah jika teringat olehnya kedua adik perempuannya. Apakah mereka juga merasa menjadi korban. Dalam pada itu Saruju pun berkata, “Sudahlah. Besok kita bicarakan lebih lanjut. Marilah kita pergi ke gardu.”

Damar mengangguk. Tetapi seperti biasanya keduanya tidak selalu bersama-sama. Saruju pergi dahulu, baru kemudian Damar menyusulnya. Agar tidak menimbulkan kesan, bahwa mereka masih terikat secara khusus.

Di gardu anak-anak muda yang berkumpul berkelakar seperti biasanya. Bukan hanya mereka yang sedang bertugas, tetapi banyak anak-anak muda yang lain ikut duduk dan bergurau untuk mengisi kekosongan waktu mereka di malam hari. Namun jika mereka sudah mulai mengantuk, kecuali yang bertugas, langsung saja menjatuhkan diri dan tidur di gardu itu pula, sehingga kadang-kadang di gardu itu justru berjejalan anak-anak muda yang tertidur, sementara mereka yang sedang bertugas justru berada di luar gardu.

Namun malam itu Saruju dan Damar tidak nampak gembira seperti biasanya. Hanya sekali-kali saja mereka ikut tertawa. Namun keduanya lebih banyak dipengaruhi oleh kegelisahan mereka tentang diri mereka sendiri, terutama keluarga mereka.

Apalagi jika mereka berada di tengah-tengah kawan-kawannya. Anak-anak muda Tanah Perdikan itu bukan saja anak-anak muda yang pandai menyabit rumput dan bersenandung di padang penggembalaan. Atau mencangkul di sawah dan menebang kayu

di hutan. Namun anak-anak muda itu pada umumnya juga memiliki ilmu kanuragan meskipun baru dasarnya saja. Bahkan ada di antara mereka yang telah mendapat tempaan secara khusus dan menjadi pemimpin kelompok pengawal di padukuhannya. Dalam pada itu, ketika kawan-kawannya yang lain sudah tertidur di gardu,

sementara mereka yang bertugas meronda sedang berkeliling dan justru menitipkan gardu itu kepada Damar dan Saruju yang tidak tertidur, maka Saruju sempat berdesis, “Apakah aku dapat mempunyai keberanian untuk meninggalkan kehidupan seperti ini dan kembali ke dalam kehidupan yang kelam?”.

KETIKA ayam jantan berkokok menjelang dini, Saruju sudah siap dengan jambunya.

Tetapi ia tidak dapat segera berangkat ke rumah Iswari, karena menurut kabar yang didengarnya, baru ketika matahari sepenggalah, Iswari akan pergi ke hutan itu untuk melihat dan menancapkan patok-patok atas bagian yang akan dijadikan persawahan. Terasa hari bergerak dengan malasnya. Lambat sekali. Bahkan rasa-rasanya tidak bergerak, karena matahari tidak segera terbit.

Saruju terkejut ketika ibunya bertanya dengan suara lembut keibuan, “Kau nampak gelisah sekali Saruju. Bukankah tidak pantas kau pergi sepagi ini hanya untuk memberikan jambu itu ke rumah Kepala Tanah Perdikan.”

Saruju mengangguk kecil katanya, “Aku memang gelisah biyung. Tetapi tidak apa-apa. Aku hanya berpikir, apakah mungkin aku juga mendapat kesempatan mengerjakan sawah yang akan dibuat di bekas hutan yang akan ditebang itu.” “O,” ibunya mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Jangan gelisah. Seharusnya kau tidak perlu memikirkannya. Bukankah sawah kita cukup luas?” “Tetapi bukankah aku tidak sendiri? Sawah itu akan dibagikan kepadaku dan

adik-adikku kelak. Jika aku mendapat tanah itu, maka biarlah tanah kita sekarang diberikan kepada adik-adik saja.”

Ibunya tersenyum. Katanya, “Kau tidak usah berpikir sajauh itu. Mungkin kehidupan kita akan berubah. Jika keadaan Tanah Perdikan ini semakin baik, maka kita akan mendapatkan kesempatan-kesempatan baru kemudian,” berkata ibunya. Saruju menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat mengatakan gejolak perasaannya yang sebenarnya.

Betapa lambannya, namun akhirnya matahari puin terbit juga. Bahkan kemudian memanjat langit dan sampailah saatnya matahari itu sepenggalah.

Dengan jantung yang berdegupan keras, Saruju telah membawa sebakul jambu air yang paling baik dari hasil kebunnya menuju ke padukuhan. Di sudut padukuhan ditemuinya Damar telah menunggunya. Nampaknya Damar pun telah dicengkam oleh kegelisahan pula.

Berdua mereka telah pergi ke Padukuhan Induk. Mereka telah mulai kehilangan pertimbangan-pertimbangan nalar mereka yang bening. Jika untuk waktu-waktu sebelumnya keduanya masih mampu menghindari kemungkinan pergi bersama-sama justru karena mereka berdua telah menyerah bersama-sama pula, maka saat itu mereka telah melupakannya.

Ketika mereka mendekati padukuhan induk, maka mereka mengetahui bahwa Iswari memang sudah berangkat bersama beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan yang lain dan beberapa orang bekel dari padukuhan-padukuhan yang dianggap miskin, karena tanahnya yang kurang baik. Mereka akan melihat dan menilai hutan disisi Selatan, apakah hutan itu akan dapat memberikan kemungkinan-kemungkinan baru bagi Tanah Perdikan Sembojan.

“Mereka telah berangkat,” berkata Saruju. “Anak itu tentu tidak dibawa serta.” “Mudah-mudahan,” berkata Damar.

Saruju tidak menjawab lagi. Namun jantungnyalah yang berdegupan semakin keras. Demikian mereka memasuki regol halaman rumah Kepala Tanah Perdikan itu, maka keringat telah membasahi tubuh kedua anak muda itu. Ketika seorang penjaga bertanya kepada mereka, maka mereka pun telah menjadi gagap.

“Apakah kau mempunyai kepentingan dengan Nyi Wiradana?” bertanya pengawal itu yang sudah dikenalnya pula dengan baik.

Saruju menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun telah mencoba tersenyum sambil berkata, “Ya. Aku ingin menghadap.”

“Nyi Wiradana sudah berangkat,” jawab pengawal itu. “O,” Saruju mengangguk-angguk.

Tetapi Saruju pun kemudian berkata, “Tetapi apa salahnya jika kau mengetahuinya. Aku akan memberikan jambu hasil kebunku sendiri kepada anak Nyi Wiradana yang nakal itu.”

“Hanya itu?” bertanya pengawal itu.

Saruju tertawa, katanya, “Tidak. Aku juga akan memohon kepada Nyi Wiradana untuk dapat berbuat sesuatu atas hutan itu. Sebagaimana kau ketahui, tanah kami berdua terlalu sempit untuk dibagi-bagikan dengan adik-adik kami kelak.”

“O,” pengawal itu mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi menurut pendengaranku, tanah itu terutama akan diberikan kepada orang-orang yang tinggal di

padukuhan-padukuhan yang paling miskin di Tanah Perdikan ini karena tanah garapannya tidak lagi memberikan harapan. Itulah agaknya yang mendorong Nyi Wiradana untuk membuka hutan baru dan berusaha menghutankan kembali tanah- tanah

yang tidak lagi dapat digarap sebagai tanah persawahan.”

Saruju mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Baiklah. Jika demikian biarlah aku menghadap Nyi Wiradana nanti sore. Sekarang, biarlah aku memberikan jambu ini kepada Risang. Aku tidak tahu apakah anak itu menyukainya atau tidak.”

Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku tidak melihat anak itu sejak pagi. Namun entahlah. Cobalah bertanya kepada orang dalam.”

“Tetapi lewat pintu yang mana?” bertanya Saruju. “Masuk sajalah lewat seketheng itu. Dilongkangan akan kau temui seseorang. Atau jika tidak maka kau dapat mengetuk pintu butulan,” berkata pengawal itu.

Saruju mengangguk kecil. Ia pun kemudian berjalan bersama Damar memasuki seketheng.

Jantung kedua orang anak muda itu menjadi semakin berdebar-debar karenanya. Karena di longkangan belakang seketheng itu tidak terdapat seorang pun, maka Saruju memang telah mengetuk pintu butulan. Sementara itu ia berdesis, “Damar, tataplah langit untuk yang terakhir. Kita akan membunuh diri sekarang ini.” Damar menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apapun yang akan terjadi.”

Saruju mengangguk. Katanya, “Kita adalah pahlawan-pahlawan yang pantas mendapat penghargaan tertinggi jika Jipang kelak benar-benar berdiri.”

Namun tiba-tiba saja Damar tersenyum. Tetapi senyumnya terasa pahit sekali. Saruju yang termangu-mangu itu pun sekali lagi mengetuk pintu butulan. Semakin keras.

Sejenak kemudian terdengar langkah mendekati pintu. Ketika pintu terbuka, seorang perempuan telah berdiri di depan pintu.

“O,” Saruju menjadi gagap. “Sebenarnya aku ingin menghadap Nyi Wiradana untuk sedikit berbicara tentang tanah. Tetapi ternyata Nyi Wiradana telah berangkat.” “Ya,” sahut perempuan itu. “Bersama para bekel dan beberapa orang bebahu.” “Jika demikian, maka biarlah aku memberikan jambu yang aku petik langsung dari kebun sendiri kepada Risang. Mudah-mudahan ia menyukainya,” berkata Saruju.

Perempuan itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Sayang, Risang sedang tidur.”

“Sepagi ini?” bertanya Saruju. “Bukankah matahari baru naik?”

“Badannya agak kurang sehat. Semalam anak itu panas dan pagi ini baru dapat tidur agak nyenyak. Karena itu, maka ibunya berpesan agar anak itu tidak dibangunkan sampai saatnya ia bangun sendiri,” berkata perempuan itu.

Saruju dan Damar menjadi berdebar-debar. Satu kesempatan yang paling baik bagi mereka. Mungkin kesempatan yang demikian baru akan datang beberapa bulan lagi, melampaui jatah waktu yang diberikan kepada mereka.

Karena itu, maka tiba-tiba Damar pun berkata, “Bibi, apakah kami berdua diperbolehkan untuk menengoknya barang sejenak. Jika anak itu sudah terbangun, kami akan memberikan jambu air ini. Anak itu tentu senang menerimanya.” “Tetapi ibunya berpesan, agar tidak seorang pun mengganggunya,” berkata perempuan itu.

“Kami tidak akan mengganggunya. Kami tidak akan membangunkannya. Kami hanya akan

menengoknya. Ia sangat lucu, lincah bahkan tangkas menurut umurnya, melampaui ketangkasan anak-anak sebayanya,” berkata Damar.

Perempuan itu ragu-ragu. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Masuklah.”

Damar memandang Saruju sejenak. Dadanya menjadi berdebar-debar. Jika mereka berhasil menengok anak itu, maka mereka akan mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya meskipun mereka berdua kemudian akan mati.

mohon maaf....terpotong sebagian...

“MUDAH-MUDAHAN para pemimpin dan keluarga Nyi Wiradana pergi bersamanya, sehingga hanya pemomong sajalah yang menungguinya,” berkata kedua anak muda itu di dalam hatinya.

Kedua anak muda itu mengikuti perempuan yang membawanya masuk ke ruang dalam. Ternyata bilik Risang ada disenthong kiri di antara tiga senthong yang berjajar menghadap ke ruang tengah.

Namun kedua orang anak muda itu tertegun. Mereka untuk sesaat berdiri mematung.

Di atas tikar pandan yang dibentangkan di depan bilik sebelah kiri, yang disebut

oleh perempuan itu sebagai bilik yang dipergunakan oleh Risang dan pemomongnya, duduk seorang laki-laki yang rambutnya sudah mulai memutih. Kiai Badra.

Tulang belulang kedua anak muda itu bagaikan terlepas dari sendi-sendinya. Harapan mereka untuk melakukan tugas mereka tiba-tiba bagaikan terbang ditiup angin.

Mereka tahu pasti, siapakah Kiai Badra itu dan sampai dimana kemampuan laki-laki tua itu. Sementara itu, ia adalah kakek buyut Risang yang disebutnya sedang

sakit itu.

Dada mereka bergetar ketika mereka mendengar suara orang tua itu, “Marilah ngger. Duduklah.”

Kedua anak muda itu bagaikan tidak berdaya untuk berbuat lain kecuali sebagaimana dikatakan oleh Kiai Badra itu. Sambil menjinjing sekeranjang jambu air, Saruju bergeser mendekati diikuti oleh Damar. Kedua anak muda itu pun kemudian duduk di depan pintu Senthong kiri.

“Marilah ngger. Apakah angger berdua mempunyai keperluan?” berkata Kiai Badra. Sesaat keduanya bagaikan membeku. Namun kemudian Saruju pun menjawab, “Ya Kiai. Sebenarnyalah kami berdua ingin menghadap Nyi Wiradana.”

“Apakah ada masalah yang timbul di antara kalian?” bertanya Kiai Badra. “Bukan di antara kami Kiai. Tetapi kami berdua ingin mengajukan permohonan kepada Nyi Wiradana,” jawab Saruju.

“Permohonan apa?” bertanya orang tua itu.

“Bukankah Nyi Wiradana berniat untuk membuka hutan bagi tanah persawahan?” jawab Saruju pula. “Sebenarnyalah bahwa kami ingin memohon agar kami diperkenankan untuk ikut menggarap tanah itu.”

Kiai Badra mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “memang kalian harus menemui Nyi Wiradana. Hanya Nyi Wiradana yang dapat memberikan keputusan.

Tetapi

apakah orang tua kalian memang tidak mempunyai sebidang tanah garapan yang baik?”

“Ayah memang mempunyai sebidang tanah garapan. Tetapi jika aku diperkenankan mendapatkan tanah, maka aku tidak akan mengganggu orang tuaku lagi. Aku ingin berdiri sendiri sementara tanah orangtuaku dapat diberikan kepada adik-adiku,” berkata Saruju.

“Aku juga ingin berbuat demikian Kiai,” sahut Damar. “Kami ingin membuktikan pula, bahwa kami masih mempunyai kemauan bekerja dan ikut membangun Tanah Perdikan ini.”

Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, “Aku dapat menghargai sikap kalian, anak-anak muda. Tetapi segalanya tergantung sekali kepada Nyi Wiradana.”

“Ya Kiai. Aku mengerti,” Saruju pun mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi Kiai. Selain menghadap Nyi Wiradana, kami ingin memberikan jambu air ini kepada Risang. Aku dengar anak itu sedang sakit.”

“O,” Kiai Badra mengangguk-angguk. “Anak itu memang sedang agak kurang sehat. Ia tidur sepanjang pagi. Malam tadi ia hampir tidak tidur sama sekali.”

“Jika demikian apakah kami diperkenankan sekadar menengoknya?” bertanya Saruju. Kiai Badra berpikir sejenak. Namun kemudian jawabannya, “Sebaiknya nanti saja ngger, jika ia sudah terbangun.”

“Kami hanya akan sekadar melihat,” desak Damar. “Sudah lama kami tidak melihatnya. Terakhir kami lihat anak itu berlari-lari di halaman. Tiba-tiba saja ia sekarang sakit.”

“Terima kasih atas perhatian kalian ngger,” berkata Kiai Badra. “Tetapi sayang, anak itu harus beristirahat sebanyak-banyaknya.”

“Kami tidak akan membangunkannya,” berkata Damar yang mulai tidak sabar. “Kami hanya akan menengoknya saja.”

Isi dada keduanya serasa terguncang semakin keras. Bahkan darah mereka terasa berhenti mengalir ketika mereka kemudian mendengar Kiai Badra berkata, “Risang tidak sedang sakit.” Kedua anak muda itu memandang Kiai Badra dengan tajamnya, seakan-akan mereka ingin melihat isi dada orang tua itu. Dengan suara gemetar Saruju bertanya, “Apa sebenarnya yang terjadi dengan Risang.”

“Risang tidak apa-apa. Ia bermain di gandok bersama pemomongnya ditunggui oleh Gandar dan Bibi,” berkata Kiai Badra.

“Kenapa anak yang sehat itu disebut sedang sakit?” bertanya Damar.

“Anak-anak muda,” berkata Kiai Badra. “Seperti sudah aku katakan, aku menjadi sangat heran, bahwa yang datang mencari Risang adalah kalian berdua. Anak muda yang selama ini kami kenal baik dan memberikan arti yang besar bagi Tanah Perdikan ini.”

Kedua anak muda itu pun kemudian menundukkan kepalanya. Namun demikian Damar masih juga bertanya, “Bagaimana dengan mereka yang mencari Risang?”

“Anak-anak muda,” berkata Kiai Badra. “Pengalaman telah mengatakan, bahwa ada pihak yang tidak senang dengan kehadiran Risang. Ada pihak yang berusaha untuk membunuhnya. Ada-ada saja cara yang ditempuhnya.”

Saruju dan Damar menarik nafas. Tetapi mereka tidak mengatakan sesuatu.

“Karena itu, ketika Iswari mempunyai rencana untuk meninggalkan rumahnya karena tugasnya, maka ia telah berpesan, agar pengawasan terhadap Risang diperketat.

Rasa-rasanya Iswari sudah menjadi jera atas peristiwa yang telah terjadi. Usaha untuk membunuh Risang. Karena itulah, maka Risang telah disembunyikannya.

Sementara itu, kami telah mempunyai dugaan buruk kepada orang yang telah mencari Risang,” berkata Kiai Badra.

Dada kedua anak muda itu bagaikan didera oleh hentakan-hentakan yang sangat menyakitkan.

“Anak-anak muda,” berkata Kiai Badra. “Aku minta maaf jika dugaan kami salah. Tetapi dengan terpaksa kami tidak dapat mempertemukan kalian dengan Risang. Nanti jika ibunya sudah kembali, maka silakan menemuinya. Tetapi terus terang aku katakan, bahwa Risang tidak sakit.”

Saruju dan Damar menjadi bingung. Mereka tidak segera dapat menjawab atau menanggapi kata-kata Kiai Badra itu. Apalagi ketika Kiai Badra kemudian berkata, “Anak-anak muda. Jika kalian mencari Iswari, bukankah kalian tahu bahwa Iswari memang sedang pergi? Sehingga kecurigaan kami, jika kami menduga bahwa kalian berdua dengan sengaja datang setelah Iswari berangkat untuk dapat bertemu langsung dengan Risang. Mungkin untuk benar-benar memberikan jambu air itu.

Tetapi mungkin untuk kepentingan yang lain.”

Wajah kedua anak muda itu bukan saja menjadi tegang. Tetapi juga menjadi pucat. “Anak-anak muda. Katakan terus terang,” berkata Kiai Badra. “Barangkali itu

lebih baik bagi kalian dan lebih baik bagi kami, keluarga yang tinggal di rumah ini. Apalagi kalian berdua termasuk orang yang paling lambat menyerahkan diri.” “O, Kiai,” tiba-tiba saja Saruju tidak lagi dapat menahan hatinya yang meledak.

Saruju yang garang yang pernah memasuki beberapa buah rumah untuk merampok.

Yang

pernah mencegat orang ditengah-tengah bulak untuk menyamun itu, tiba-tiba saja menangis. Kepalanya menunduk sampai dahinya menyentuh lantai. Sementara itu Damar pun seakan-akan telah membeku karenanya. Namun jantungnya pun rasa- rasanya

bagaikan berhenti berdetak melihat sikap Saruju dan hentakan-hentakan yang ada di dalam dirinya sendiri. ia sadar bahwa Kiai Badra sebenarnyalah telah mencurigai mereka dan menuduh mereka untuk berbuat sesuatu atas Risang. Kiai Badra bahkan telah menghubungkan kehadirannya itu dengan saat-saat

penyerahannya, sehingga dengan demikian Kiai Badra menganggap bahwa ia memang menyerah hanya sekadar sebagai satu cara untuk melakukan satu pengkhianatan. “Kami tidak akan dapat berbohong terhadap Kiai,” berkata Saruju yang terisak.

Damar menepuk bahu kawannya sambil berkata lemah. “Baiklah kita berterus terang. Tidak ada gunanya bagi kita untuk menyembunyikan diri lagi. Jika dengan demikian kita harus dihukum mati, biarlah hukuman itu segera dilakukan. Sementara itu kehidupan keluarga kita pun telah terancam.”

mohon maaf....terpotong sedikit aja...

KIAI BADRA pun telah menepuk pundak Saruju sambil berkata, “Katakan terus terang anak-anak muda. Jika ada jalan keluar, marilah kita tempuh untuk mengatasi persoalan ini.” Saruju masih terisak. Karena itu, maka katanya kemudian kepada Damar, “Katakan Damar. Apa saja yang kita ketahui tentang diri kita. Aku tidak

akan bersembunyi lagi.” Damar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dikuatkannya hatinya untuk mengucapkan

kata-kata pengakuan dihadapan Kiai Badra, bahwa mereka memang mempunyai tugas untuk membunuh Risang.

Berbeda dengan dugaan mereka bahwa Kiai Badra akan segera bertindak dengan kasar menangkap mereka dan menyerahkan mereka kepada para pengawal, maka Kiai Badra justru untuk beberapa saat lamanya hanya mengangguk-angguk saja.

Bahkan kemudian katanya dengan nada lembut, “Anak-anak muda. Menilik cerita yang kalian ucapkan, maka sebenarnyalah bahwa kalian telah kehilangan gairah untuk kembali ke lingkungan yang keras dan kelam itu. Sehingga dengan demikian kalian tidak berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melakukan tugas kalian. Namun kalian telah diancam, satu demi satu kelaurga kalian akan dibunuh.”

“Ya Kiai,” sahut Damar. “Itulah yang membuat kami berdua hampir menjadi gila. Pertentangan yang luar biasa terjadi di dalam diri kami masing-masing. Sehingga akhirnya kami datang ke rumah ini semata-mata demi keselamatan keluarga kami, karena sebenarnyalah kami sudah kehilangan gairah tentang apa yang disebutnya sebagai satu perjuangan untuk menegakkan Jipang kembali.”

Kiai Badra mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja suaranya terdengar lemah, “Sebenarnyalah bahwa aku menaruh kasihan kepada kalian berdua.” “Kiai,” wajah Damar menjadi semakin tegang.

“Anak-anak muda,” berkata Kiai Badra. “Persoalan kalian memang pantas untuk dibicarakan, karena persoalan kalian akan menyangkut ketenangan Tanah Perdikan ini.”

“Kiai,” berkata Saruju yang gagap. “Kami menyerahkan segalanya kepada kebijakan Kiai dan kemudian Nyi Wiradana. Jika kami harus menjalani hukuman mati, kami tidak akan ingkar. Namun kami mohon keluarga kami mendapat perlindungan.” Kiai Badra mengangguk-angguk. Tetapi baginya persoalan yang dihadapi oleh kedua anak muda itu memang persoalan yang cukup rumit. Yang memerlukan penanganan secara khusus dan hati-hati.

Sebelum Kiai Badra memberikan tanggapan, maka tiba-tiba saja terdengar derap beberapa ekor kuda memasuki halaman. Wajah Damar dan Saruju pun menjadi semakin pucat karenanya. Sementara itu Kiai Badra pun berdesis, “Itulah mereka datang.”

“Kiai, gantung aku Kiai. Tetapi bagaimana dengan keluargaku,” suara Saruju masih gemetar. “Aku akan membicarakannya nanti dengan Iswari,” berkata Kiai Badra. Lalu, “Duduk sajalah disini bersama aku.”

Kedua anak muda itu telah benar-benar pasrah. Mereka tidak tahu lagi apa yang sebaiknya dilakukan menghadapi persoalan mereka. Untuk lari dari hadapan Kiai Badra pun tidak mungkin karena mereka menyadari kemampuan orang tua itu. Karena itu, maka yang paling baik bagi mereka adalah menyerahkan segalanya kepada Kiai Badra dan kemudian kepada Nyi Wiradana.

Beberapa saat kemudian mereka mendengar suara beberapa orang yang naik dan duduk di pendapa.

Damar dan Saruju bagaikan membeku ketika mereka kemudian melihat pintu yang terbuka dan Nyi Wiradana memasuki regol dalam itu.

Nyai Wiradana terkejut. Katanya, “O, ternyata ada tamu.”

Sebelum Damar dan Saruju menjawab, Kiai Badralah yang berkata, “Angger Saruju dan Damar membawa sekeranjang jambu air untuk kita.”

“O, terima kasih,” sahut Nyai Wiradana. “Aku memang senang sekali jambu air.” “Selanjutnya, keduanya memang mempunyai kepentingan dengan kau, Iswari,” berkata Kiai Badra. “Mereka memerlukan perlindungan. Tetapi nanti sajalah kita

bicarakan. Barangkali kau masih harus menemui orang-orang yang pergi bersamamu memasang patok di hutan itu.”

ISAWARI tersenyum. Dengan nada dalam ia berkata, “Baiklah. Aku selesaikan dahulu persoalan tanah di hutan itu.” Iswari pun kemudian kembali ke pendapa dan berbicara tentang banyak hal dengan tamu-tamunya. Terutama para bekel yang

merasa padukuhannya tandus dan tidak lagi mempunyai harapan untuk dikembangkan lagi.

Pembicaraan itu rasa-rasanya menjadi sangat lama bagi Damar dan Saruju yang menunggu di dalam. Meskipun Kiai Badra banyak memberikan petunjuk terutama mengenai ketahanan jiwani menghadapi persoalan mereka, namun kegelisahan yang sangat masih tetap mencengkam perasaan mereka. Keduanya belum dapat meraba, apa yang akan dilakukan oleh Nyi Wiradana setelah ia mendengar tentang tugas

keduanya di Tanah Perdikan itu.

Namun akhirnya pembicaraan Nyi Wiradana dengan para bekel dan beberapa orang bebahu itu pun selesai juga. Para bebahu itu setelah mendapat hidangan minum dan makanan, telah mohon diri meninggalkan pendapa rumah Kepala Tanah Perdikan itu. Namun pembicaraan itu agaknya masih belum tuntas, karena dalam dua hari lagi mereka masih harus datang untuk melanjutkan pembicaraan itu.

Sepeninggalan para bekel dan para bebahu, maka Iswari pun telah masuk kembali ke ruang dalam. Namun ketajaman penggraitanya memang telah menangkap, bahwa tentu ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi pada kedua orang anak muda itu.

Ketika Iswari kemudian duduk di antara mereka, maka Kiai Badra lah yang menyampaikan persoalan kedua anak muda itu. Namun ternyata yang dikatakan oleh Kiai Badra membuat jantung kedua anak muda itu rasa-rasanya semakin lambat berdenyut.

Ternyata orang tua itu dengan hati-hati telah memberikan keterangan yang sangat meringankan beban keduanya. Orang tua itu tidak dengan serta merta melontarkan tuduhan yang dapat mengancam mereka untuk bergantung ditiang gantungan. “Iswari,” berkata Kiai Badra. “Kedua anak muda ini datang untuk mengadukan persoalannya. Mereka memerlukan perlindungan dari ancaman Ki Rangga Gupita dan Warsi. Mereka mengaku terus terang bahwa kehadiran mereka di Tanah Perdikan ini memang mendapat tugas khusus. Menyerah, mendapatkan kepercayaan dan kemudian membunuh Risang. Tetapi setelah mereka berada di Tanah Perdikan ini, mereka mengalami pergolakan jiwani. Kesadaran telah tumbuh di hati mereka, sehingga mereka tidak berniat lagi untuk melakukan tugas mereka. Tetapi persoalan baru timbul, karena Ki Rangga dan Warsi telah mengancam akan membunuh keluarganya satu demi satu sampai mereka berdua berhasil membunuh Risang.”

Nyi Wiradana mengerutkan keningnya. Sejenak diamati kedua orang anak muda itu berganti-ganti. Namun kemudian Nyi Wiradana itu mengangguk-angguk.

Dengan nada dalam ia bertanya, “Jadi kalian benar-benar telah menyadari, bahwa kalian sebenarnya adalah bagian dari Tanah Perdikan ini?”

“Kami menyadari,” jawab keduanya hampir bersamaan.

“Kami tidak berkeberatan memberikan perlindungan kepada kalian asal kalian benar-benar mengerti persoalan yang sebenarnya kalian hadapi,” berkata Iswari. “Kami mencoba untuk mengerti,” berkata Saruju.

Iswari mengerutkan keningnya. Ia melihat mata Saruju dan isaknya yang masih tertinggal satu-satu. Dengan demikian Iswari mengerti bahwa Saruju itu telah menangis. Adalah jarang sekali terjadi, bahwa seorang laki-laki menangis jika tidak ada ledakan jiwa yang tidak terbendung lagi.

Karena itu, maka Iswari pun berkata, “Coba, katakan dengan terus terang. Ancaman dan perlindungan yang kau inginkan.” Damarlah yang kemudian menceriterakan ancaman yang pernah diterimanya dari Ki Rangga dan Nyi Wiradana yang muda jika mereka gagal membunuh Risang.

Jantung Iswari berdesir juga mendengar pengakuan keduanya untuk melakukan tugas yang terkutuk itu. Sasarannya adalah anaknya. Bahkan Iswari itu ternyata tidak

lagi mampu menguasai gejolak perasaan seorang ibu yang anaknya terancam. Karena itu di luar kehendaknya ia bertanya, “Apakah kedatangan kalian hari ini

sebenarnya untuk melakukan tugas itu tetapi gagal?”

“SUDAH aku katakan,” Kiai Badra lah yang menjawab. “Mereka datang untuk mohon perlindungan. Akulah yang menerima mereka berdua sejak mereka datang.” Iswari menarik nafas dalam-dalam. Namun untuk sesaat ia masih berdiam diri.

Jantung kedua anak muda itu menjadi semakin bergejolak. Mereka melihat kerut di wajah Iswari. Agaknya tanggapan Iswari agak berbeda dengan tanggapan Kiai Badra.

Namun tiba-tiba saja Iswari itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Baiklah. Agaknya aku harus mendengarkan keluhan setiap orang yang tinggal di Tanah Perdikan jika memang mereka memerlukan aku.”

Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Keduanya memang sangat memerlukan perlindungan. Keduanya mengaku hampir menjadi gila karenanya. Mereka merasa tidak akan mampu melakukan tugas mereka, sementara keluarga mereka telah diancam untuk dibunuh seorang demi seorang sampai orang yang terakhir.”

Iswari mengangguk-angguk. Namun kemudian ia masih juga bertanya, “Jika mereka merasa tidak mampu melakukan tugas ini, apakah sebenarnya mereka berniat untuk melakukannya.”

Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Iswari, apapun yang bergetar di dalam dada kedua anak muda itu kita tidak dapat mengetahuinya.

Tetapi yang kita lihat, mereka telah datang, menyerahkan diri dan bahkan mohon perlidnunganmu. Karena kau kini adalah Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan, maka ia memang harus datang kepadamu.”

Iswari memandang kakeknya dengan sorot mata yang bergetar antara percaya dan tidak percaya. Namun kemudian pandangannya menjadi lunak. Katanya dengan nada rendah keibuan, “Baiklah. Apapun niat di hati, namun sekarang kalian telah

pasrah. Aku akan mencoba menghindarkan diri dari getar perasaanku sebagai seorang ibu yang cemas karena anaknya selalu terancam.” Saruju dan Damar menundukkan kepalanya dalam-dalam. Keduanya memang tidak dapat

lagi mengendalikan keharuannya, sehingga Saruju telah menjadi terisak kembali. Sementara itu, Damar berusaha untuk menahan titik-titik air hangat di pelupuk matanya. Namun Damar berhasil bertahan untuk tidak menangis seperti Saruju. Sementara itu, Iswari pun kemudian bertanya tentang keluarga kedua orang anak muda itu. Siapa sajakah keluarga mereka yang terancam oleh Ki Rangga Gupita dan Warsi jika keduanya gagal membunuh Risang.

“Semua ada sepuluh orang,” desis Saruju.

“Jika setiap bulan mereka membunuh seorang, maka mereka akan habis dalam waktu sepuluh bulan,” desis Nyi Wiradana.

“Itulah yang sangat merisaukan,” desis Damar.

“Jadi kau masih mempunyai waktu berapa hari lagi?” bertanya Nyi Wiradana. “Tidak ada setengah bulan lagi,” jawab Saruju dengan suara bergetar.

“Baiklah. Aku akan memikirkan satu cara untuk melindungi kalian dengan keluarga kalian. Tetapi sudah tentu bahwa kami memerlukan bantuan kalian sekeluarga.” “Tentu Nyi Wiradana,” sahut Damar dengan serta merta. “Kami akan melakukan segala perintah.”

“Apakah sampai hari ini keluarga kalian sudah mengetahui adanya ancaman ini?” bertanya Iswari.

“Belum,” jawab Damar. “Kami tidak sampai hati untuk mengatakannya. Keluarga kami, terutama orang tua kami yang memang sudah tua, akan menjadi sangat gelisah. Sementara itu dua adikku yang perempuan tentu akan kehilangan kegembiraannya, justru pada saat remajanya.”

“Nah, agaknya kalian dapat merasakan, betapa gelisahnya seorang yang diancam bahaya. Bahkan keluargamu pula. Jika kalian merasa cemas akan nasib orang tua kalian dan adik-adik kalian, maka kalian tentu akan dapat membayangkan, bagaimana cemasnya seorang ibu yang nyawanya terancam setiap saat tanpa batas waktu,” berkata Iswari.

Damar dan Saruju tergetar hatinya mendengar kata-kata Iswari. Sebelumnya mereka tidak pernah membayangkannya, apalagi mencoba untuk merasakannya.

Namun kemudian mereka menyadari, perasaan itu tentu tumbuh di hati perempuan itu sebagaimana kecemasan dan kegelisahan yang tumbuh di hati mereka. Bahkan kasih sayang seorang ibu kepada anak-anaknya tentu melampaui segala-galanya. KARENA kedua anak muda itu tidak menjawab, maka Iswarilah yang kemudian berkata, “Jadi gejolak kegelisahan dihati kita mempunyai persamaan. Kita masing-masing dibayangi ketakutan bahwa kita akan kehilangan orang-orang yang kita cintai.”

Iswari berhenti sejenak, lalu, “Namun memang ada bedanya. Anakku masih kecil, sehingga mudah disembunyikan. Anak itu tidak akan pergi terlalu jauh dari ibunya dan tidak akan keluar dari halaman rumah ini tanpa kawan. Sementara itu, orang tua, adik-adik dan sanak kadangmu tidak dapat terlalu dibatasi. Mereka mempunyai kewajiban di luar rumah. Mungkin di sawah, di pasar atau dimana saja. Itulah

yang memerlukan perhitungan tersendiri.”

“Kita dapat membatasi gerak mereka demi keselamatan mereka sendiri,” berkata Kiai Badra.

“Mungkin memang demikian,” sahut Iswari kemudian. “Dan itulah yang perlu kita atur bersama.”

“Kami serahkan segala-galanya kepada Nyi Wiradana,” berkata Saruju kemudian. “Baiklah. Kita masih mempunyai sedikit waktu untuk mengatur langkah-langkah kita,” jawab Nyi Wiradana.

Namun sementara itu Damar pun berkata, “Tetapi Nyi. Sebenarnya bahwa kaki tangan Ki Rangga Gupita dan Warsi itu selalu berkeliaran di Tanah Perdikan ini. Bahkan kadang-kadang aku tidak mengenalinya sama sekali atau ingat-ingat lupa terhadap seseorang yang memasuki Tanah Perdikan ini.”

Nyi Wiradana mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Semakin dekat dengan waktu yang diberikan, maka orang-orang mereka akan semakin banyak berkeliaran disini.

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar