Jilid 39
Ki Rangga Gupita mengangguk-angguk pula. Hampir berguman ia berkata, “Kita akan menempuh banyak cara.”
“Kita akan segera mencari orang sebagaimana kita maksudkan,” berkata Warsi. “Yang sesuai dengan rencanaku tidak akan terlalu sulit,” berkata Ki Rangga Gupita. “Yang harus benar-benar diperhitungkan adalah rencana sebagaimana kau maksudkan.”
Namun keduanya memang sudah bertekad untuk menempuh segala cara. Karena itu, maka keduanya pun telah berusaha untuk menemukan orang-orang sebagaimana mereka
maksudkan.
Memang seperti dikatakan oleh Ki Rangga Gupita, bahwa mencari orang yang
dianggap memiliki kemampuan yang cukup untuk memasuki Tanah Perdikan Sembojan lebih cepat mereka dapatkan. Dua orang bekas prajurit pilihan dari Jipang dan
seorang dari gerombolan Kalamerta yang telah terhimpun kembali.
Mereka bertiga adalah orang-orang yang telah meluluhkan cara hidup mereka dengan jalan yang ditempuh oleh Ki Wiradana dan Warsi dalam ujudnya yang keras dan kasar. Mereka tinggal di salah satu sarang terpisah dari gerombolan yang
dipimpin oleh Ki Rangga dan Warsi.
“Kalian harus menyesuaikan diri dengan keadaan Tanah Perdikan itu,” berkata Ki Rangga. “Kegagalan yang pernah terjadi, justru pada saat yang tepat, menjadi pengalaman yang harus kita perhitungkan.”
Ketiga orang itu mengangguk-angguk.
“Kalian tidak akan dibatasi waktu,” berkata Warsi. “Karena itu kalian tidak
perlu tergesa-gesa. Kalian dapat mengamati keadaan sebaik-baiknya. Hanya apabila kalian yakin akan berhasil kalian dapat mulai bertindak.
Karena di dalam hidup sehari-hari, betapapun ketatnya penjagaan disekitar anak itu, agaknya akan diketemukan pula saat-saat para pengawalnya lengah. Nah, pada saat itu, dimanapun anak itu berada, kalian dapat bertindak.”
Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Sementara Ki Rangga berkata,
“Untuk mencukupi hidup kalian selama kalian berada di Tanah Perdikan, kalian tidak usah cemas. Kita mempunyai banyak persediaan. Meskipun demikian jika kalian merasa kekurangan, kalian dapat mengambil sendiri. Tetapi ingat, jangan di Tanah Perdikan Sembojan atau di Kademangan-kademangan disekitarnya.” “Baiklah,” berkata salah seorang dari ketiga orang itu. “Kami akan berusaha untuk melakukan tugas kami dengan sebaik-baiknya. Kami akan mempelajari
sebab-sebab kegagalan dari usaha yang terdahulu. Dan kami akan menemukan cara yang paling baik. Apalagi kami tidak tergesa-gesa sehingga kami mempunyai banyak waktu untuk menentukan sikap.”
“Usahakan agar semua terjadi tanpa menjeratmu. Usahakan agar kalian tidak membuka rahasia tentang sarang kita disini. Ukuran kejantanan seseorang adalah dapat kami lihat pada sikap dan keberhasilan kalian,” berkata Ki Rangga Gupita. “Besok kami akan bersiap-siap,” berkata salah seorang dari mereka.
“YANG akan kalian lakukan adalah perpaduan antara dendam dan cita-cita,” berkata Warsi. “Kita menginginkan sesuatu yang baik bagi masa depan. Bukan saja bagi Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi landasan bagi perjuangan Jipang. Saat ini masih tersebar kesatria-kesatria Jipang yang masih tetap setia pada perjuangannya.
Meskipun untuk sementara kita berjuang dengan cara yang terpisah-pisah, tetapi jika kita memiliki landasan yang mapan, maka perjuangan kita akan menjadi lebih mapan.”
Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Tertanam di jantung mereka bahwa apa yang mereka lakukan adalah perpaduan antara dendam dan cita-cita. Dengan tekad yang membara, maka mereka akan melakukannya sebaik-baiknya.
“Kalian telah mengenal Tanah Perdikan dengan baik. Tetapi dengan demikian kalian pun harus ingat, bahwa ada di antara anak-anak muda Tanah Perdikan itu yang mengenal kalian,” berkata Warsi kemudian.
“Tetapi pada saat aku menjadi prajurit,” berkata salah seorang dari kedua bekas prajurit Jipang itu. “Sekarang aku sudah berubah. Aku sekarang memelihara jambang dan kumis. Luka di kening ini telah mengubah ujud wajahku. Sementara kawanku ini pun telah berubah pula. Ia dahulu tidak mengalami cacat mata.
Sementara kawan yang ketiga itu agaknya memang belum pernah tinggal di Tanah Perdikan.”
“Kalian harus mendapat tebusan dari cacat yang kalian derita itu,” berkata Ki Rangga.
“Ya,” berkata bekas prajurit itu. “Kami akan menuntut sepuluh kali lipat dari cacat kami. Ditambah dengan kematian anak Iswari itu.”
“Bagus,” berkata Warsi. “Itu adalah sikap jantan. Namun perlu kalian ketahui, bahwa usaha untuk menyingkirkan anak itu kita tempuh lewat segala macam cara. Karena itu, kalian bertiga bukan satu-satunya kelompok yang aku tugaskan untuk melakukan tugas itu. Selain kalian bertiga, ada kelompok lain yang aku tugaskan untuk melakukannya. Bukan berarti bahwa kami tidak percaya kepada kalian. Tetapi yang mana saja yang dapat kesempatan menurut cara masing-masing.”
“Siapakah yang mendapat tugas itu selain kami?” bertanya bekas prajurit itu. “Aku belum menentukan sekarang,” jawab Warsi. “Namun pada saatnya apabila
mengetahui orang-orang itu, maka kalian harus saling membantu. Orang yang datang kemudian itu pun jika mungkin tentu akan mencari hubungan dengan kalian.”
Ketiga orang itu pun mengangguk-angguk. Bagi mereka lebih banyak kawan dalam tugas itu, tentu akan lebih baik.
Namun Ki Rangga masih juga berpesan, “Tetapi kalian tidak usah menunggu. Ada atau tidak ada, usahakanlah melakukan tugas kalian sebaik-baiknya.”
“Baik Ki Rangga,” jawab bekas prajurit Jipang itu. “Kami akan mengusahakan.” Demikianlah, maka ketika Warsi dan Ki Rangga meninggalkan sarang yang satu itu, maka ketiga orang itu telah membicarakan apa yang sebaiknya mereka lakukan. Di hari berikutnya mereka sudah mempersiapkan segala sesuatunya yang mereka anggap perlu untuk dibawa ke Tanah Perdikan Sembojan.
“Kita lebih dahulu akan mengenali kembali Tanah Perdikan itu,” berkata salah seorang bekas prajurit yang cacat dikeningnya dan yang telah membiarkan jambang
dan kumisnya tumbuh. “Baru kemudian kita menentukan langkah-langkah yang paling baik untuk melaksanakannya.”
“Kitalah yang harus lebih dahulu berhasil,” berkata bekas prajurit yang matanya menjadi cacat. “Sebelum orang lain datang ke Tanah Perdikan, anak itu harus sudah mati. Bukankah mudah sekali membunuh anak-anak? Meskipun kita sadar, bahwa
disekeliling anak itu tentu terdapat pengawal-pengawal.”
“Kita tidak boleh mengesampingkan kenyataan bahwa di Tanah Perdikan Sembojan terdapat orang-orang kuat,” berkata seorang yang terhimpun dari bekas gerombolan Kalamerta, “Bukan karena kita harus menjadi gentar, tetapi kita wajib
berhati-hati.”
“Ya,” jawab bekas prajurit yang cacat di kening, “Kita harus sangat berhati-hati.”
Demikianlah, setelah semua persiapan dilakukan, maka ketiga orang itu pun segera berangkat menuju ke Tanah Perdikan Sembojan untuk mengemban tugas yang berat, justru karena di Tanah Perdikan itu terdapat orang-orang berilmu.
KETIGA orang itu sama sekali tidak langsung memasuki Tanah Perdikan, tetapi mereka menuju ke sebuah hutan kecil yang terletak justru di luar Tanah Perdikan. Dari tempat itu, mereka bertiga berusaha untuk mengenali kembali Tanah Perdikan yang pernah dihuni oleh dua orang di antara mereka bertiga ketika mereka membantu para perwira Jipang menempa anak-anak muda Tanah Perdikan itu menjelang
anak-anak itu dibawa ke Pajang, karena kedua prajurit itu pernah menjadi pemimpin kelompok pasukan Jipang.
Sementara orang-orang yang telah berada di depan pintu Tanah Perdikan itu berusaha untuk mencari jalan menyelesaikan tugas mereka, maka Warsi dan Ki
Rangga sedang melihat-lihat setiap sarang mereka, untuk menemukan anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang masih dianggap setia kepada Ki Wiradana, yang kesetiaannya itu melimpah kepada Puguh, anak Ki Wiradana.
Ternyata usaha mereka tidak sia-sia. Mereka menemukan beberapa orang anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang telah menjadi luluh dengan orang-orang disekitarnya. Mereka melakukan apa yang dilakukan oleh bekas prajurit-prajurit Jipang dan para pengikut Kalamerta. Bahkan menurut beberapa keterangan,
anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan itu telah memiliki segala macam sifat, tingkah laku dan cita-cita sebagaimana bekas para prajurit Jipang.
Namun sebelum Warsi memberikan tugas kepada mereka, maka ia berusaha untuk mengetahui dengan pasti, sikap batin anak-anak muda Tanah Perdikan itu.
Karena itu, maka Warsi dan Ki Rangga telah menugaskan seorang kepercayaannya untuk berada disarang yang sama dengan anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang masih ada di antara bekas para prajurit Jipang itu.
Dengan hati-hati kepercayaan Warsi dan Ki Rangga itu mulai mendekati anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan itu. Ia berusaha untuk dapat berbicara cukup banyak, mengungkit sikap batin mereka. Sementara itu, orang itu pun telah mengamati sikap lahir anak-anak itu yang tidak lagi ada bedanya dengan bekas para prajurit Jipang dan bekas pengikut Kalamerta.
Sehingga dengan demikian, maka kepercayaan Warsi dan Ki Rangga itu akhirnya memberikan laporan, bahwa hampir semua dari anak-anak muda itu dapat dipercaya. “Kau dapat menunjuk dua orang di antara mereka yang paling baik untuk ditugaskan justru di Tanah Perdikan Sembojan sendiri?” bertanya Warsi.
“Aku akan menyebut beberapa nama,” berkata kepercayaan Warsi itu. “Nanti aku persilakan untuk memilihnya.”
Warsi dan Ki Rangga ternyata telah menyatakan keinginan mereka untuk dapat langsung berhubungan dengan anak-anak muda itu. Sehingga karena itu, maka Warsi dan Ki Rangga telah berada di salah satu sarangnya dan tinggal bersama beberapa orang anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang masih ada bersama dengan mereka.
Dari pengamatan langsung itu, baik Warsi maupun Ki Rangga mempunai pendapat yang sama dengan kepercayaannya, bahwa anak-anak muda yang tinggal di tempat itu
masih tetap menunjukkan kesetiaan yang tinggi kepada satu cita-cita untuk membawa kekuasaan Ki Wiradana kembali ke Tanah Perdikan Sembojan. Anak Ki Wiradana yang bernama puguh itu.
Karena itu, secara langsung, bersama kepercayaannya Warsi dan Ki Rangga telah memilih dua orang di antara mereka.
Namun baik Warsi maupun Ki Rangga tidak langsung memberikan tugas itu kepada mereka. Kedua orang itu harus mengalami pendadaran lebih dahulu di luar sadar mereka.
Keduanya telah benar-benar diuji kesetiaan mereka dengan tugas-tugas berat bersama dengan kepercayaan Warsi dan Ki Rangga itu.
Ternyata bahwa keduanya memang telah menunjukkan kesetiaan mereka. Bahkan ketika
oleh kepercayaan Ki Rangga dan Warsi, kedua anak itu dibawa memasuki kota Pajang untuk melakukan perampokan, mereka sama sekali tidak menunjukkan perasaan gentar.
“Kita merampok rumah seorang pedagang, langsung di Kota Raja,” berkata kepercayaan Warsi itu. “Pedagang itu adalah seorang pedagang kaya dan banyak memberikan sumbangan kepada para prajurit Pajang selama perang dengan Jipang. Biarlah sekarang ia merasa kecewa, bahwa setelah perang selesai, Pajang tidak lagi menghiraukannya. Pajang tidak lagi mengingat jasa-jasa pedagang itu, sehingga perlindungan pun tidak dapatkannya lagi.”
KEDUA anak muda Tanah Perdikan itu justru merasa bangga bahwa mereka mendapat kepercayaan untuk melakukannya bersama kepercayaan Ki Rangga itu.
Namun untuk melakukan tugas yang berat itu, mereka tidak hanya bertiga. Bersama mereka adalah seorang bekas perwira Jipang dan seorang bekas pengikut Kalamerta yang dianggap memiliki kemampuan yang cukup. Sehingga dengan demikian untuk memasuki Kota Raja dan merampok rumah seorang pedagang kaya itu, mereka lakukan berlima.
Tugas itu memang tugas yang berbahaya. Namun ternyata bahwa kelima orang itu mampu melakukannya. Memang ada perlawanan kecil dari pedagang yang kaya itu dan dua orang pengawalnya. Namun dalam waktu dekat, keduanya dapat dilumpuhkan.
Meskipun mereka tidak dibunuh, tetapi mereka mengalami luka-luka yang cukup parah.
Untuk memberikan kesan dalam tugasnya, maka kepercayaan Ki Rangga dan Warsi itu sebelum meninggalkan rumahnya sempat berkata kepada pedagang yang kaya itu, “Nah, apa yang kau peroleh sekarang setelah Pajang menang? Perlindungan tidak
kau peroleh sehingga kami sempat memasuki rumahmu dan mengambil kekayaanmu. Pajang yang sudah menang tidak menghiraukan kau lagi. Bantuan yang pernah kau berikan bagi perang yang tidak adil itu tidak ada gunanya lagi bagimu. Kau
sekarang benar-benar telah dilupakan oleh orang-orang yang pernah kau bantu pada waktu itu.”
“Persetan,” geram pedagang yang terluka itu.
Kepercayaan Ki Rangga tertawa. Katanya, “Kau masih tidak mau melihat kenyataan?”
Pedagang itu tidak menjawab. Sementara itu kelima orang yang merampok rumahnya sempat menertawakannya sambil meninggalkan rumahnya. Beberapa macam barang berharga telah dibawa oleh para perampok yang memperkenalkan diri sebagai prajurit Jipang.
Di pintu keluar, kepercayaan Warsi itu berkata, “Laporkan kepada para pemimpin Pajang, bahwa kami masih akan datang lagi ke Kota Raja dalam waktu-waktu mendatang, karena orang-orang yang bernasib seperti kau ini banyak sekali.” Pedang itu mengumpat. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali. Sepeninggal para perampok itu, maka istri pedagang yang ketakutan itu berusaha merawat luka suaminya dan para pengawalnya. Namun apa yang dapat dilakukan kurang memadai dengan luka yang diderita.
Atas perintah pedagang itu, maka istrinya telah memukul kentongan yang terdapat dilongkangan. Suara kentongan itu telah menguak sepinya malam, sehingga para pengawal dengan cepat telah berdatangan. Sementara itu, prajurit peronda berkuda yang mendengar suara kentongan itu pun membagi tugas. Dua orang langsung menuju ke sumber isyarat, dua orang yang lain telah berusaha untuk melingkari padukuhan yang menjadi sumber isyarat itu.
Sementara itu kelima orang perampok itu telah sempat meninggalkan padukuhan itu. Bahkan sebelum para penjaga dinding Kota Raja bersiaga sepenuhnya dan mengawasi setiap jangkal dari dinding kota apalagi pintu-pintu gerbangnya, maka kelima
orang itu telah berhasil keluar dengan meloncat dinding yang tinggi itu dengan kemampuan seorang prajurit pilihan.
Bagi para prajurit Pajang, peristiwa itu merupakan percikan noda pada tugas mereka. Ternyata Kota Raja yang dianggap tenang dan tentram itu telah diguncang oleh tindak kekerasan yang dilakukan oleh para bekas prajurit Jipang.
Namun bagi Ki Rangga dan Warsi, langkah itu merupakan pendadaran bagi kedua anak muda dari Tanah Perdikan Sembojan itu. Namun ternyata bahwa hasil yang diperoleh kelima orang itu pun agaknya sangat memuaskan, bahkan menimbulkan niat untuk melakukannya lagi pada kesempatan lain yang cukup baik dan memungkinkan. Karena dengan peristiwa itu, para prajurit Pajang tentu akan menjadi lebih
berhati-hati.
Tetapi rencana untuk mengulangi perampokan itu merupakan rencana sampingan. Yang penting bagi Ki Rangga dan Warsi adalah keyakinan yang mantap tentang kedua
orang anak muda dari Tanah Perdikan itu.
Karena itu, ketika pertimbangan-pertimbangan sudah diperhitungkan dengan seksama, maka kedua orang anak muda itu telah dipanggil oleh Ki Rangga dan Warsi untuk menghadap bersama kepercayaan kedua orang pemimpin mereka itu.
KEDUA orang anak muda Tanah Perdikan itu memang menjadi gelisah. Mereka mencoba
untuk menilai diri mereka sendiri, apakah mereka telah melakukan kesalahan. Namun kepercayaan Warsi itu pun kemudian meyakinkan mereka, bahwa mereka dipanggil untuk mendapatkan tugas yang khusus. “Tugas apa?” bertanya salah seorang dari mereka. “Nanti kalian akan mendengarnya langsung. Tidak ada seorang pun yang tahu, tugas apa yang akan dibebankan kepadamu,” jawab kepercayaan Warsi itu.
Demikianlah, maka dengan hati yang berdebar-debar kedua orang itu telah menghadap Ki Rangga dan Warsi. Dua orang yang dianggap pemimpin tertinggi dari satu gerombolan yang besar, yang terdiri dari para bekas prajurit Jipang, bekas pengikut Kalamerta, para pengikut ayah Warsi dan anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang tidak mau kembali ke kampung halaman mereka.
“Duduklah,” terdengar suara Ki Rangga yang berat menekan.
Kedua orang anak muda itu telah duduk sambil menundukkan kepala disebelah kepercayaan pemimpin mereka itu.
“Siapa nama kalian?” tiba-tiba saja Ki Rangga bertanya.
Kepercayaan itu telah mengangkat wajahnya untuk menjawab. Tetapi Ki Rangga mendahului, “Aku ingin mereka mengucapkan nama mereka masing-masing. Bukan orang
lain, karena aku sudah pernah mendengar namanya dari orang-orang lain.” Kepercayaan Ki Rangga itu menarik nafas. Lalu katanya kepada kedua orang anak muda itu, “Sebut nama kalian masing-masing.”
Seorang yang lebih tua dari yang lain pun kemudian menjawab, “Namaku Saruju.” “Sarju atau Saruju?” Ki Rangga menegaskan.
“Orang tuaku menyebut namaku Saruju. Bukan Sarju,” jawab anak itu. Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Nama yang bagus. Dan kau?” “Damar,” jawab yang seorang.
“Juga nama yang bagus. Damar berarti lampu,” sahut Ki Rangga. “Mudah-mudahan kau dapat menerangi hati orang-orang Tanah Perdikanmu yang kini sedang gelap karena pokal Iswari. Kau tahu siapa Iswari?”
Anak muda itu ragu-ragu. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil menjawab. “Ya.”
“Nah, sebut. Siapa Iswari itu,” berkata Ki Rangga pula.
“Iswari adalah istri pertama Ki Wiradana,” jawab anak muda itu.
“Hanya itu yang kau ketahui tentang Iswari?” bertanya Ki Rangga kemudian. Anak muda itu menjadi bingung. Ia tidak tahu bagaimana ia harus menjawab.
Sementara itu, Ki Ranggalah yang menjawab sendiri. “Iswari itu bukan orang Tanah Perdikan Sembojan. Iswari itu seorang pendatang. Kau ingat, kapan Iswari itu datang? Kau ingat saat Iswari kawin dengan Wiradana? Bagaimana liciknya kakek Iswari itu.
Dengan curang dilukainya Ki Gede pada waktu itu. Kemudian ia berpura-pura menolongnya. Sementara itu, ia memperkenalkan cucunya, seorang gadis kepada Ki Gede yang kemudian memaksa anaknya Ki Wiradana kawin dengan gadis itu karena Ki Gede merasa berhutang budi.”
ANAK muda itu mengangguk-angguk. Hampir di luar sadarnya iapun telah berpaling kepada Saruju. Kemudian ia pun menjawab, “Ya Ki Rangga. Kami mendengar cerita bahwa kakek Iswari itu telah menyelamatkan Ki Gede.”
“Nah, betapa liciknya mereka. Akhirnya Ki Gede itu pun disingkirkannya,” berkata Ki Rangga. “Nah, siapa mengira bahwa Iswari telah menyingkirkan Ki Gede itu ketika kedudukannya terancam,” berkata Ki Rangga. “Tentu saja bukan tangan Iswari sendiri.”
Damar mengangguk-angguk. Ceritera itu memang masuk di akalnya. Sementara Ki Rangga berkata, “Nah. Adalah kewajiban anak-anak muda Tanah Perdikan sendiri untuk menyingkirkan perempuan seperti Iswari itu. Meskipun ia mempunyai anak dengan Ki Wiradana, namun anak itu akan meneruskan kecurangan yang pernah dilakukan oleh ibunya. Apalagi seandainya Ki Wiradana masih tetap hidup, maka kau dapat menebak, anaknya yang manakah yang akan ditetapkan untuk menggantikannya.”
Damar dan Saruju mengangguk-angguk. Menurut pengamatannya, Ki Wiradana memang
lebih dekat dengan Warsi daripada Iswari. Namun jika kenyataan lain muncul di dalam ingatannya, terutama tentang hubungan Warsi dengan Ki Rangga Gupita, maka dengan serta merta diusirnya dari kepalanya.
Banyak hal yang kemudian dikatakan oleh Ki Rangga dan Warsi tentang Tanah Perdikan Sembojan dan tentang Iswari. Sehingga kedua anak muda itu pun semakin yakin, bahwa Iswari sama sekali tidak berhak untuk menguasai kepemimpinan Tanah Perdikan Sembojan. Demikian pula anak laki-lakinya.
“Sementara itu, anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan telah kehilangan gairah perjuangannya,” berkata Warsi. “Mereka telah menyerah karena tidak tahan mengalami kesulitan selama perjuangan berlangsung. Sebenarnya saatnya tepat sekali untuk menghalau Iswari dari Tanah Perdikan, karena kita mempunyai kawan-kawan seperjuangan sekarang ini. Mereka yang ingin menegakkan Jipang kembali akan dapat membantu kita. Namun ternyata sebagian dari anak-anak muda kita telah kehilangan kejantanannya.”
Damar dan Saruju mengangguk-angguk. Sedangkan Warsi masih berkata selanjutnya, “Nah, mulailah dengan satu tugas yang mulia. Kita harus mempergunakan cara.
Berhasil menangkap ikannya, tanpa mengeruhkan airnya. Sebagaimana kau ketahui, banyak anak-anak Tanah Perdikan yang menyerah dan kembali ke kampung halamannya
yang menurut pengamatan lahiriah memang menjadi lebih baik.
Tetapi sudah tentu dengan mengorbankan cita-cita. Namun kalian tidak akan berbuat demikian. Kalian kami perintahkan untuk dengan penuh kesadaran menyerahkan diri. Tetapi kita kehilangan cita-cita perjuangan kalian. Jika kalian telah berada kembali di kampung halaman dan tinggal bersama keluarga kalian, apalagi kalian telah sempat menyesuaikan diri dengan kehidupan Tanah
Perdikan Sembojan yang menurut ujud lahiriahnya menjadi bertambah baik itu, maka mulailah tugas kalian yang sebenarnya.”
Damar dan Saruju termangu-mangu. Mereka masih belum begitu jelas tentang tugas yang harus diembannya. Namun kemudian Warsi telah menjelaskan.
Kedua anak muda itu harus membunuh anak Wiradana yang lahir dari Iswari. Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sudah agak lama mereka tidak melihat
Tanah Perdikan Sembojan tanah kelahirannya. Mereka pun tidak dapat membayangkan, cara hidup anak Wiradana yang lahir dari Iswari itu. Namun nampaknya tugas yang harus mereka lakukan adalah tugas yang rumit.
“Kami memberikan kepercayaan ini kepada kalian berdua setelah kalian membuktikan, bahwa kalian mampu melakukan tugas-tugas yang lain dengan baik. Bahkan kalian berdua bersama tiga orang kawan kalian telah memasuki Kota Raja Pajang yang terkenal mendapat pengawasan yang sangat keras,” berkata Ki Rangga.
Lalu, “Tetapi tugas ini bukan tugas kekerasan melulu. Tugas ini justru
memerlukan permainan sikap batin dari kalian berdua. Karena itu, maka diperlukan landasan kesiapan perjuangan yang dalam dan tidak tergoyahkan.”
Kedua anak muda itu tidak menyahut. Ada berbagai perasaan yang bergelut di hati mereka.
mohon maaf....terpotong sedikit aja...
“BAGAIMANA dengan kau Damar?” bertanya Ki Rangga. “Aku terima tugas ini dengan penuh tanggung jawab,” katanya. “Bagus,” berkata Ki Rangga. “Aku sudah mengira bahwa kalian akan melakukannya dengan senang hati. Dan bukankah kalian masih mempunyai keluarga di Tanah Perdikan Sembojan? Dengan demikian kalian mempunyai
tempat tinggal selama kalian berada di arena tugas kalian.”
“Aku masih mempunyai ayah dan ibu,” berkata Saruju. “Mudah-mudahan ayah dan ibuku masih ada, selain tiga adikku.”
“Bagaimana dengan kau Damar?” bertanya Ki Rangga pula.
“Aku masih mempunyai ayah dan ibu. Bahkan pada waktu aku terakhir berada di Tanah Perdikan, kakekku pun masih ada.”
“Apakah kau mempunyai adik?” bertanya Ki Rangga. “Aku mempunyai dua adik perempuan,” jawab Damar.
Ki Rangga dan Warsi mengangguk-angguk. Mereka saling memandang sejenak. Namun kemudian Ki Rangga itu mengangkat wajahnya. Lalu katanya, “Baiklah. Kalian akan mendapat tugas penting ini. Kalian akan pulang ke Tanah Perdikan Sembojan.
Kalian akan menyerah dan kemudian seperti kawan-kawan kalian yang lain, maka kalian tentu akan dimasukkan ke dalam barak khusus untuk beberapa lama. Kemudian kalian akan dilepaskan dan bebas sepenuhnya. Kalian akan berada kembali di
antara sanak kadang dan kehidupan yang menurut ujud lahiriah lebih baik dari kehidupan kita disini. Sementara itu kalian pun telah mendapat keterangan, ceritera dan kabar yang tentu saja telah disusun berdasarkan atas kebohongan besar. Selama di dalam barak tertutup kalian akan digelitik oleh kepalsuan yang akan dapat membuat kalian kehilangan pengamatan atas perasaan kalian, sehingga dapat mengakibatkan kalian kehilangan pegangan.”
Kedua anak muda itu mendengarkan keterangan itu dengan seksama. Namun dengan demikian mereka mempunyai bekal pengertian tentang kesulitan yang bakal mereka hadapi. Terutama kesulitan jiwani. Mereka tidak boleh terpengaruh oleh
kebohongan besar yang diucapkan oleh para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan. Namun dalam pada itu, keduanya menjadi berdebar-debar ketika Ki Rangga berkata, “Tetapi anak-anak. Bukan berarti kami tidak mempercayaimu. Jika kami tidak mempercayai kalian berdua, maka kami tidak akan memberikan tugas kepada kalian. Tetapi sebagaimana kebiasaan kami, bahwa semua tugas harus dilakukan dengan baik, dengan pasti dan tanpa keragu-raguan sedikitpun juga. Untuk itu maka kami bekali kalian dengan pengertian, bahwa jika kalian gagal karena keadaan yang rumit dan tidak teratasi, kalian tidak akan mendapat hukuman apa-apa. Kegagalan adalah wajar dari setiap usaha. Usaha itu dapat berhasil dan dapat pula tidak berhasil, namun dapat dipertanggung jawabkan. Tetapi jika kalian tergelincir ke dalam satu langkah pengkhianatan, maka kalian akan menyesal. Kalian berdua akan kami singkirkan. Bukan saja kalian berdua, tetapi seluruh keluarga kalian. Ayah, ibu, adik-adik kalian bahkan kakek atau nenek kalian jika masih ada.”
Terasa dada kedua anak muda itu bergejolak. Ternyata Ki Rangga bukan saja membekali mereka dengan ketebalan tekad dan gairah perjuangan yang tinggi, tetapi Ki Rangga juga telah mengancam keluarga mereka.
Namun kedua anak muda itu tidak dapat berbuat lain daripada menerimanya. Agaknya ancaman yang demikian memang menjadi rangkaian dari perintah yang harus dijalankannya.
“Nah,” berkata Ki Rangga. “Apakah kalian sudah jelas?”
Kedua orang anak muda itu mengangguk meskipun jantungnya terasa berdegup semakin
cepat.
“Nah, jika demikian kalian mempunyai waktu cukup untuk bersiap-siap,” berkata Warsi. “Kalian bukan saja harus mempersiapkan bekal kewadagan kalian. Tetapi kalian harus mempersiapkan bekal kejiwaan kalian yang justru lebih berat.
Sementara itu, kalian akan mendapat petunjuk, bagaimana kalian dapat berhubungan dengan kami disini. Serta petunjuk bagaimana kalian sebaiknya melakukan tugas kalian apabila hal itu diperlukan. Besok kalian akan menerima bekal kewadagan.
Uang dan barangkali apa lagi yang perlu kalian bawa. Sedangkan bekal kejiwaan harus kalian persiapkan sendiri.”
KEDUA anak muda itu mengangguk-angguk betapapun terasa dadanya bergejolak.
Kedua
anak muda itu pun kemudian telah diserahkan kepada kepercayaan Ki Rangga untuk melakukan persiapan-persiapan sepenuhnya. Sebagaimana dikatakan oleh Ki Rangga, ternyata bahwa keduanya memang mendapat bekal uang yang cukup. Uang yang seakan-akan hanya sekadar untuk ambil saja dari rumah orang-orang kaya.
Namun kepercayaan Ki Rangga dan Warsi itu masih berpesan, “Namun berhati-hatilah dengan uang itu. Kalian tidak akan dapat membawanya dengan serta merta. Jika kalian membawa uang sedemikian banyaknya, maka kalian tentu akan dicurigai.
Demikian pula jika uang itu kalian bawa pulang dan kalian sembunyikan di rumah masing-masing.”
“Jadi harus kami apakan uang itu?” bertanya Saruju.
“Kalian harus menyembunyikannya di tempat yang tidak sering didatangi orang,” berkata kepercayaan Ki Rangga itu. “Kalian hanya akan mengambil uang itu seperlunya saja. Ingat, bahwa kalian tidak dapat menyelesaikan tugas kalian dalam waktu dua atau tiga bulan. Mungkin setengah tahun, tetapi jika kesempatan tiba-tiba terbuka, maka kalian akan dapat lebih cepat bertindak atas anak Iswari itu.”
“Baiklah,” jawab keduanya hampir berbareng. Namun seorang di antara mereka kemudian berkata, “Bukankah kami akan selalu mendapat petunjuk dalam tugas-tugas kami? Sebagaimana Nyai Wiradana pernah mengatakannya kepada kami.”
“Ya. Kami akan selalu mengamati kalian dan melindungi kalian dalam keadaan tertentu. Kami akan selalu memberikan petunjuk-petunjuk. Dan kami pun akan ikut berbuat sesuatu jika diperlukan bantuan,” jawab kepercayaan Ki Rangga itu.
Bahkan kemudian kepercayaan Ki Rangga itu pun berkata, “Tetapi yang harus kau ketahui bahwa usaha kami menyingkirkan anak Iswari itu tidak hanya melalui satu jalur. Bukan hanya kau yang akan melakukan tugas tersebut. Ki Rangga dan Nyi Wiradana sepakat untuk melakukannya dengan segala cara, sehingga jika kalian menemukan orang lain melakukannya, kalian jangan menghalanginya. Bahkan jika perlu kalian harus membantunya.”
“Siapa?” bertanya kedua orang anak muda itu.
“Untuk sementara kalian berdua. Tetapi mungkin besok atau lusa orang lain akan melakukannya dengan cara yang berbeda. Dengan cara yang berbeda-beda itu, tentu ada satu di antaranya yang berhasil,” berkata kepercayaan Ki Rangga itu.
Kedua anak muda Sembojan itu mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu mereka pun
merasa, bahwa tentu ada orang yang akan selalu mengawasi tugas mereka dan bahkan tingkah laku mereka. Sehingga dengan demikian, maka mereka memang harus berhati-hati. Mereka tidak boleh menyimpang dari tugas mereka, apalagi
berkhianat, karena yang menjadi tanggungan adalah seluruh keluarga mereka. Demikianlah, maka ketika mereka berdua telah mempersiapkan segala sesuatunya yang dianggap penting, maka mereka pun telah berangkat menuju ke Tanah Perdikan
Sembojan. Jarak antara sarang mereka dengan Tanah Perdikan Sembojan memang tidak terlalu dekat. Namun bagi mereka jarak itu sama sekali bukan lagi merupakan masalah.
Seperti yang sudah direncanakan, maka mereka telah mendapat bekal uang yang cukup. Uang yang seakan-akan tinggal mengambil seberapa mereka suka di rumah orang-orang kaya.
Namun seperti yang dipesankan, maka uang itu tidak mereka bawa memasuki Tanah Perdikan Sembojan. Ketika mereka berjalan semakin mendekati tujuan, maka mereka telah memperhitungkan waktu. Mereka menunggu matahari terbenam untuk menyembunyikan uang mereka disebuah gumuk kecil yang memang tidak pernah dijamah
oleh manusia. Sebuah bukit padas yang gersang disebuah padang perdu di pinggir hutan.
“Tidak seorang pun yang akan pernah datang kemari,” berkata Saruju.
Damar mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi apakah tempat ini tidak terlalu jauh?”
“Aku kira tidak,” jawab Saruju. “Mudah-mudahan orang yang bertugas mengawasi kita tidak melihat kita disini sekarang.”
“SEANDAINYA melihat, apa salahnya? Bukankah kita tidak menyalahi tugas yang dibebankan kepada kita,” sahut Damar. “Bukan demikian,” berkata Saruju. “Tetapi kita wajib mencurigai setiap orang. Jika orang itu melihat kita menyimpan uang disini, mungkin orang itu akan mengambilnya.” Damar menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Mudah-mudahan tidak seorang pun yang melihatnya.”
Saruju memang menyembunyikan uang pada sebuah lubang batu padas. Uang yang disimpannya di dalam sebuah kotak kayu kecil itu kemudian dibalut dengan sejenis ijuk yang mereka dapatkan pada sejenis pohon aren liar dihutan untuk menahan agar peti kayu itu tidak cepat menjadi rapuh. Kemudian menutup lubang itu dengan bongkah-bongkah batu padas pula. Baru kemudian Saruju memberikan tanda pada tempat itu.
“Marilah,” berkata Saruju. “Kita meneruskan perjalanan memasuki Tanah Perdikan. “Aku kira lebih baik jika kita memasuki Tanah Perdikan ekok pagi. Di siang hari kita tentu akan dicurigai. Jika kita memasuki Tanah Perdikan itu di malam hari, maka tanggapan para pengawal tentu akan lebih tajam daripada jika kita masuk disiang hari.”
Saruju termenung sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita memasuki Tanah Perdikan disiang hari. Kita akan menyerahkan diri di padukuhan yang paling ujung.”
“Bagus. Kita memang harus datang ke padukuhan yang paling ujung. Juga untuk menghindari kecurigaan yang berlebihan. Jika kita melewati padukuhan di ujung Tanah Perdikan maka tentu ada yang merasa terlampaui.”
Keduanya ternyata sependapat, sehingga tidak ada persoalan lagi di antara mereka. Yang mereka lakukan kemudian adalah mencari tempat untuk bermalam. Namun dalam kehidupan mereka yang keras, keduanya tidak mengalami kesulitan apapun. Mereka telah mendapat tempat yang baik untuk tidur. Mereka telah
berbaring di atas rerumputan kering dibalik sebuah gerumbul perdu. Keduanya sama sekali tidak merasa takut terhadap binatang buas. Bahkan seandainya seekor harimau datang mendekat, keduanya tidak akan lari. Tetapi keduanya tentu akan melawan meskipun mereka berdua hanya bersenjata pisau belati panjang. Itu pun akan ditinggalkan di luar Tanah Perdikan Sembojan jika saatnya tiba bagi mereka untuk memasuki padukuhan.
Sementara itu, di Tanah Perdikan Sembojan telah lebih dahulu hadir tiga orang
yang mendapat tugas yang sama, namun dengan cara lain. Mereka tidak perlu berada atau tinggal di Tanah Perdikan. Mereka dapat berada dimana saja. Namun mereka harus mencari kesempatan untuk dapat membunuh anak Iswari.
Karena itu, ketiga orang itu telah mempergunakan cara yang lebih kasar. Tetapi mereka berada di luar Tanah Perdikan. Mereka tinggal disebuah tempat persembunyian yang mereka buat ditengah-tengah hutan kecil. Hutan yang sudah tidak terlalu banyak dihuni binatang. Apalagi binatang buas.
Disekitar hutan kecil itu telah digarap tanah pategalan yang dipersiapkan untuk kemudian dijadikan tempat pemukiman. Jika jumlah penduduk di Kademangan disebelah Tanah Perdikan itu menjadi semakin banyak, maka memang harus dibuka padukuhan-padukuhan baru. Hutan yang masih terlalu luas masih dapat disusut
untuk dijadikan tempat tinggal yang akan tumbuh menjadi padukuhan-padukuhan yang ramai.
DARI tempat mereka bersembunyi mereka akan berusaha untuk dapat mengamati padukuhan induk dan mereka harus berusaha untuk dapat selalu mendekati rumah Iswari. Namun mereka pun sadar, bahwa rumah itu dihuni oleh orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi mereka pun yakin bahwa pada suatu saat
orang-orang itu akan lengah.
“Jika kita anggap tidak berbahaya sekali, maka kita akan mendekat disiang hari,” berkata bekas pengikut Kalamerta.
“Mungkin kita dapat melakukannya,” jawab orang yang cacat wajahnya. “Bukankah kita mempunyai waktu yang longgar sehingga kita tidak perlu tergesa-gesa.” “Memang tidak tergesa-gesa. Tetapi Ki Rangga akan mengirimkan orang lain. Kita tidak boleh terlambat. Mereka pun orang lain itu mungkin akan membantu kita, tetapi tindak kepahlawanan kita akan dinilai berkurang,” berkata orang yang
cacat matanya sebelah. Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Kemudian bekas prajurit
Jipang yang lain itu pun berkata, “Baiklah. Kita adalah orang yang paling baik
di antara para pejuang yang masih setia untuk menegakkan kembali Jipang yang besar. Kita adalah orang-orang yang akan berhasil merebut landasan perjuangan kita, Tanah Perdikan Sembojan. Jika kita berhasil membunuh anak Iswari, maka kita adalah orang yang paling berjasa dalam perjuangan ini. Dengan kematian anak Iswari, maka Puguh adalah satu-satunya anak Wiradana.”
“Tetapi kita harus menyadari, bahwa tugas ini sangat berbahaya. Dengan demikian kita tidak akan pernah lengah,” berkata bekas pengikut Kalamerta. Namun orang yang matanya cacat sebelah itu menyahut, “Ya. Kita tidak boleh lengah barang sekejap pun. Justru kita menunggu para pengawal anak Iswari itu lengah.”
Dengan demikian, maka ketiga orang itu telah membuat rencana yang paling baik bagi mereka. Seorang di antara mereka bergantian di siang hari akan berjalan lewat jalan di depan rumah Iswari. Tidak ada orang yang mencurigainya, karena
jalan itu merupakan jalan yang memang banyak dilalui orang dari Kademangan yang satu ke Kademangan yang lain, yang letaknya berseberangan disebelah menyebelah Tanah Perdikan Sembojan. Mereka akan lewat berganti-ganti sambil mengamati halaman rumah Iswari. Akan lebih baik jika mereka sempat melihat keadaan halaman rumah itu dan melihat anak Iswari itu bermain-main.
Namun di malam hari mereka akan pergi bersama-sama. Tiga orang. Mereka akan langsung melihat-lihat keadaan rumah itu meskipun harus dengan sangat
berhati-hati.
Ketika mereka untuk pertama kali di malam hari memasuki padukuhan induk, maka mereka memang menjadi sangat berdebar-debar. Rasa-rasanya beberapa pasang mata selalu mengikuti mereka kemanapun mereka pergi. Namun akhirnya mereka dapat meyakinkan diri sendiri, bahwa tidak seorang pun yang melihat mereka. Tanah Perdikan Sembojan yang sudah menjadi semakin tenang itu pun agaknya tidak lagi mendapat penjagaan yang berlebihan, meskipun masih nampak betapa para pengawal menjadi sangat berhati-hati
Ketika mereka berhasil pada usaha mereka yang pertama untuk mendekati rumah Iswari di malam hari, maka mereka telah melakukan pekerjaan yang sama untuk malam-malam berikutnya. Mereka melakukannya hampir setiap dua atau tiga malam sekali.
Namun ternyata mereka tidak segera menemukan dimana anak Iswari itu tidur di
malam hari. Meskipun mereka kadang-kadang menunggu untuk waktu yang cukup lama, namun seakan-akan anak Iswari itu tidak pernah terbangun di malam hari dan
apalagi menangis. Jika mereka mendengar tangis anak-anak mereka akan segera tahu, dimanakah bilik anak itu.
Tetapi mereka tidak dapat terlalu lama menunggu disekitar rumah Iswari. Agaknya terlalu berbahaya bagi mereka. Setiap kali peronda pergi berkeliling rumah dan halaman. Merasa seakan-akan telah mengamati setiap jengkal tanah, bahkan di luar halaman.
KETIKA mereka berhasil pada usaha mereka yang pertama untuk mendekati rumah Iswari di malam hari, maka mereka telah melakukan pekerjaan yang sama untuk malam-malam berikutnya. Mereka melakukannya hampir setiap dua atau tiga malam sekali.
Namun ternyata mereka tidak segera menemukan dimana anak Iswari itu tidur di
malam hari. Meskipun mereka kadang-kadang menunggu untuk waktu yang cukup lama, namun seakan-akan anak Iswari itu tidak pernah terbangun di malam hari dan
apalagi menangis. Jika mereka mendengar tangis anak-anak mereka akan segera tahu, dimanakah bilik anak itu.
Tetapi mereka tidak dapat terlalu lama menunggu disekitar rumah Iswari. Agaknya terlalu berbahaya bagi mereka. Setiap kali peronda pergi berkeliling rumah dan halaman. Merasa seakan-akan telah mengamati setiap jengkal tanah, bahkan di luar halaman.
Namun ketiga orang itu tidak berputus asa. Mereka selalu datang kembali dan menunggu beberapa lamanya. Sementara itu disiang hari mereka seorang-seorang berusaha melintasi di depan rumah Iswari sambil mengamati keadaan. Mereka melihat saat yang paling aman, selagi jalan itu ramai dilalui orang. Pagi-pagi setelah matahari naik, jalan itu banyak dilalui orang yang akan pergi ke pasar.
Atau menjelang tengah hari, saat orang-orang pulang dari pasar. Ketika bekas prajurit Jipang yang cacat wajahnya itu lewat di pagi hari, sekali ia melihat seorang laki-laki bermain dihalaman. Perhatiannya segera tertarik.
Namun ia tidak dapat berbuat sesuatu pada waktu itu. Bekas prajurit itu melihat anak laki-laki itu bermain dengan seorang laki-laki yang tentu salah seorang pelindungnya. Bekas prajurit itu tidak akan gentar menghadapi seandainya di halaman itu tidak terdapat beberapa orang lain. Dan di antara mereka tentu terdapat satu atau dua orang pengawal Tanah Perdikan yang bertugas di rumah itu.
Mungkin mereka bertugas di malam hari, namun karena sesuatu hal mereka masih belum sempat pulang. Atau bahkan mereka baru datang menggantikan kawannya yang bertugas dimalam hari. Dalam penglihatannya yang singkat bekas prajurit Jipang
itu melihat seorang yang membawa pedang dilambung, berdiri dekat dibibir pintu regol yang terbuka lebar.
Dengan demikian, maka bekas prajurit Jipang itu semakin menyadari bahwa tugas yang diembannya adalah tugas yang berat dan sulit, meskipun hanya sekadar membunuh anak-anak.
Pada kesempatan lain, kawannya yang cacat pada matanya telah berhenti beberapa langkah dari pintu gerbang halaman rumah Iswari. Ia berpura-pura kelelahan memikul dua ikat kayu bakar besar yang akan dibawanya ke pasar.
Sambil duduk di antara kedua ikat kayu bakar itu, ia sempat mengamati halaman rumah Iswari. Ia pun melihat seorang anak yang sedang disuapi sambil
berlari-lari. Pemomongnya seorang perempuan dengan sabar mengikutinya sambil sekali-kali menyuapi mulut anak itu.
“Tentu anak itu yang dimaksud,” berkata bekas prajurit Jipang itu di dalam hatinya.
Tetapi ia pun tidak dapat bertindak karena ia melihat seorang perempuan yang berdiri ditangga pendapa. Iswari itu sendiri.
Perempuan itu sekali-kali melambaikan tangannya kepada anak yang sedang bermain di halaman. Sementara pemomongnya masih saja sibuk menyuapinya sambil berlari kesana-kemari.
Bekas prajurit Jipang yang berpura-pura menjadi penjual kayu bakar itu hanya dapat menggeretakkan giginya. Namun ia pun kemudian berkata kepada diri sendiri, “Aku akan mendapatkan kesempatan itu pada satu saat.”
Ia masih duduk beberapa saat di dekat regol sambil menunggu kemungkinan yang tidak dapat diperhitungkan. Namun kesempatan itu tidak didapatkannya pagi itu. Ia pun kemudian meneruskan perjalanannya, memanggul kayu bakar itu di pasar. Namun karena kayu bakar itu benar-benar telah sampai di pasar, maka kayu itu dijualnya pula kepada seorang penjual nasi di sebuah warung yang cukup ramai di pinggir pasar. Dari hasil penjualan kayu itu maka ia pun langsung duduk di dekat seorang penjual nasi kuluban didekat pintu masuk pasar itu. Ia sama sekali tidak membeli nasi di kedai yang lebih baik, tetapi nasi kuluban itu sangat menarik perhatiannya. Bahkan setelah ia selesai makan, ia telah membeli pula dua bungkus nasi kuluban yang dibawanya kembali kepersembunyiannya untuk kedua kawannya yang
tinggal.
Ketika ia menceriterakan kepada kedua kawannya, maka kedua kawannya itu tertawa. Mereka mengerti bahwa bekas prajurit yang cacat pada matanya itu berpura-pura menjual kayu. Namun bahwa ia benar-benar telah menjual kayu itu kepada penjual nasi di pasar, agaknya telah menimbulkan kegelian di antara mereka.
“LIHAT hasilnya,” berkata bekas prajurit itu sambil memberikan dua bungkus besar nasi kuluban.” “Sepikul kayu bakar yang berat itu mendapat ganti tiga bungkus
nasi kuluban,” desis kawannya.
“Dua,” jawabnya. “Yang satu telah aku makan seberapa perutku mampu menampungnya.”
Kedua kawannya tertawa pula. Seorang di antara mereka berkata, “Kita membawa bekal uang yang cukup. Kau tidak usah menjadi penjual kayu seperti itu.”
“Jangan bodoh,” berkata bekas prajurit yang menjual kayu bakar itu. “Dengan menjual kayu bakar, aku akan mendapat banyak kesempatan mengamati regol rumah Iswari. Selain itu kepalang tanggung kayu yang sudah sampai di pasar itu.”
Namun ternyata bekas prajurit itu mempunyai pengharapan lain. Jika ia sudah dikenal sebagai penjual kayu bakar, maka ia akan lebih banyak mempunyai kemungkinan untuk hilir mudik tanpa dicurigai orang.
Karena itulah, maka ia tidak menjadi jera membawa sepikul kayu bakar. Ia selalu lewat dimuka gerbang rumah Iswari. Sekali-kali ia sempat melihat anak itu dihalaman. Namun kadang-kadang tidak sama sekali.
Sementara itu kedua kawannya membiarkannya berlalu demikian. Bahkan pada satu saat bekas pengikut Kalamerta itu pun telah mengikutinya pada jarak tertentu.
Ketika penjual kayu itu berhenti diregol, diseberang jalan yang membelah padukuhan induk itu, orang itu pun mendekatinya dan duduk pula bersamanya dibelakang sepikul kayu bakar itu.
Mereka berdua memang sempat melihat Risang berlari-lari di halaman. Tetapi mereka juga melihat pengawal yang berada dibelakang regol. Bukan saja menjaga pintu yang terbuka lebar itu. Tetapi kadang-kadang ia ikut bermain dengan anak itu.
“Kita akan melihatnya disiang hari,” berkata bekas pengikut Kalamerta itu. “Kita harus mencari alasan, kenapa kita berhenti di sini,” berkata prajurit Jipang itu.
“Nah, bahwa kau berpura-pura menjadi penjual kayu bakar agaknya memang sangat tepat. Kau dapat mengamatinya di pagi hari. Di siang hari aku akan menjual dawet berkeliling padukuhan induk ini,” berkata bekas pengikut Kalamerta itu.
“Penjual dawet?” bertanya bekas prajurit Jipang itu. “Kau memerlukan kemampuan tersendiri. Kau memerlukan alat dan barangkali sulit didapat.”
“Kita tidak usah memikirkan modal. Kita sudah mempunyainya. Sedangkan alat-alatnya akan aku bicarakan dengan penjual dawet di pasar. Jika ia mau
menjual alat-alatnya aku akan membelinya dengan agak mahal. Bukankah orang itu akan dapat membuat atau membeli lagi yang lain?”
Sebenarnyalah, bahwa bekas pengikut Kalamerta itu telah berhasil membeli seperangkat alat untuk menjual dawet. Sebuah pikulan yang bentuknya khusus.
Sebuah jambangan kecil dua kendil khusus untuk diisi dengan budek dan cendol
batang aren. Kemudian beberapa buah tempurung yang sudah dihaluskan untuk minum dewet bagi para pembelinya.
Demikianlah mereka bertiga telah berusaha untuk dapat berkeliaran di padukuhan induk, sehingga mereka mendapat kesempatan untuk mengamati rumah Iswari serta anak laki-laki yang bernama Risang.
Sebagai penjual dawet, maka bekas pengikut Kalamerta itu banyak berhubungan dengan para pembelinya. Bukan saja anak-anak. Tetapi kadang-kadang juga orang-orang tua yang bekerja di kebun dan kehausan. Juga yang bekerja di sawah.
Dengan mereka penjual dawet itu sempat berbicara tentang bermacam-macam hal. Antara lain tentang anak laki-laki Iswari yang bernama Risang itu.
Bahkan satu kesempatan telah datang bagi penjual dawet itu ketika pada suatu
hari, pemomong Risang memanggilnya untuk masuk ke halaman rumah Iswari. Dengan jantung yang berdebar-debar penjual dawet itu memasuki regol, dan membawa pikulannya ketempat yang rimbun dibawah sebatang pohon jambu air. Seorang anak yang sudah pandai berlari-lari telah mendekatinya dibimbing oleh pemomongnya, seorang perempuan. Namun ketika ia berpaling ke regol, dilihatnya dua orang pengawal duduk disebelah regol itu bersandar dinding sambil memperhatikannya.
“Satu kesempatan,” berkata orang itu di dalam hatinya. Pada saat Risang berdiri di depan pikulannya sebenarnya ia dapat mengambil pisau dibawah jambangan
kecilnya. Kemudian dengan serta merta menikam anak itu meskipun ia sendiri akan mati.
Namun orang itu merasa agak ragu. Sementara itu, seorang laki-laki yang bertubuh kekar telah mendekatinya pula sambil bertanya kepada Risang, “He, kau ingin juga minum dawet?”
“Aku haus,” jawab anak itu singkat.
Namun pemomongnyalah yang kemudian berkata kepada laki-laki itu, “Apakah kakang Gandar juga akan minum dawet?”
Gandar tersenyum. Katanya, “Jangan aku. Mungkin para pengawal itu memerlukannya.”
Tetapi para pengawal itu pun menggeleng. Seorang diantara mereka berkata, “Kami tidak haus.” Namun dalam pada itu, seorang yang berada di sudut halamanlah yang menyahut, “Akulah yang haus.” Pemomong Risang itu memanggilnya, “Kemarilah.” Penjual dawet itu menarik nafas dalam-dalam. Kesempatan untuk menikam Risang sudah lewat. Apalagi seorang di antara laki-laki yang berdiri disebelah Risang
itu adalah Gandar. Salah seorang yang disebut namanya sebagai seorang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Ketika semua telah selesai, dan perempuan pemomong Risang itu sudah membayar harganya, maka penjual dawet itu dengan hati yang berdebar-debar meninggalkan halaman rumah itu.
“Setan,” geramnya. “Kesempatan itu sebenarnya telah terbuka. Aku yang terlambat sehingga laki-laki yang bernama Gandar itu datang mendekat. Seandainya aku cepat bertindak, maka anak itu tentu sudah mati, meskipun aku juga mati. Namun aku telah mengorbankan jiwaku bagi kepemimpinan Jipang yang besar.”
Tetapi penjual dawet itu tidak berputus asa. Ia yakin bahwa kesempatan itu akan datang lagi. Apalagi bahwa ia sudah dikenal sebagai seorang penjual dawet. Ia akan dapat dengan leluasa lewat jalan di depan gerbang halaman rumah Iswari itu. Sekali-kali ia tentu akan dipanggil lagi masuk halaman. Ketika ia menceriterakan pengalamannya itu kepada kedua orang kawannya, maka kedua orang kawannya itu pun ikut menyesal bahwa kesempatan itu telah lewat. “Tetapi jika saat itu aku mempergunakan kesempatan yang ada, maka tidak akan sempat kembali ketempat ini”.
Kedua kawannya menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu bekas pengikut Kalamerta itu berkata, “Meskipun demikian, seandainya laki-laki yang bernama Gandar itu
tidak mendekat, aku kira aku benar-benar telah membunuhnya meskipun aku juga akan mati.”
“Kita akan mencari kesempatan lain,” berkata kawannya. “Meskipun demikian, tidak ada salahnya jika kita memperhatikan keselamatan kita sendiri sejauh memungkinkan.”
Bekas pengikut Kalamerta itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata dengan menjual dawet ini, aku akan berhasil melakukan tugas ini dengan baik.” “Nampaknya usahamu itu dapat mendekati keberhasilan. Kita akan membantumu,” berkata bekas prajurit Jipang itu.
Namun dalam pada itu, dihari berikutnya, penjual dawet itu telah mendengar bahwa baru saja dua orang anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang hilang untuk waktu yang agak lama, telah datang untuk menyerahkan diri.
“Gila,” geram bekas prajurit Jipang yang cacat di wajahnya itu ketika penjual dewet itu mengatakan kepada kedua orang kawannya, “Aku ingin membunuhnya.” “Jangan mencari perkara,” kawannya berusaha mencegahnya, “Aku pun ingin melakukannya. Tetapi kita harus menyelesaikan tugas kita lebih dahulu. Kita jangan mengeruhkan airnya sebelum kita dapat menangkap ikannya.
Kawannya yang cacat di wajahnya itu masih menggeram, “Aku benci kepada pengkhianat seperti itu.”
“Aku sependapat. Kita akan dapat melakukan sesuatu jika tugas pokok selesai. Bukankah kedua orang itu tentu akan dimasukkan kedalam barak khusus lebih dahulu? Apa yang dapat kita lakukan atas mereka jika mereka ada di dalam barak itu? Karena itu, kita bunuh dahulu anak Iswari. Kita kemudian melaporkannya.
Bagaimanapun juga kita memerlukan perhatian dari Ki Rangga dan Nyai Wiradana. Mungkin kita akan mendapatkan sesuatu.”
“Tetapi mungkin sekali aku mati,” berkata pengikut Kalamerta.
“Jangan begitu. Kita akan berusaha menemukan jalan yang tidak menjurus ke kematian,” berkata seorang kawannya. “Ya. Tetapi itu akan terlalu sulit. Dalam keragu-raguan kita akan banyak
kehilangan kesempatan,” berkata bekas pengikut Kalamerta itu. “Namun seandainya aku harus mati, kalian akan dapat menceriterakan apa yang terjadi.”
“Hanya jika tidak ada jalan lain. Bukan hanya kau yang mungkin akan mati. Mungkin kita semuanya,” berkata salah seorang bekas prajurit itu.
“Jangan semuanya,” jawab bekas pengikut Kalamerta. “Salah seorang di antara kita harus hidup dan menceriterakan perjuangan kita yang jantan di Tanah Perdikan Sembojan ini.”
KEDUA bekas prajurit Jipang itu termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang di antara mereka berkata, “Itu tidak perlu. Seandainya kita mati bersama-sama,
akhirnya Ki Rangga dan Ki Wiradana pun akan tahu apa yang telah terjadi.”
Bekas pengikut Kalamerta itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian berkata, “Terima kasih atas kesediaan kalian. Tetapi kita harus berusaha untuk dapat langsung melaporkan apa yang terjadi. Tidak oleh orang lain.”
“Aku kira siapapun yang mengatakannya tidak ada bedanya,” sebut kawannya yang lain. “Karena itu, kami berdua atau seorang-seorang akan selalu dekat denganmu.
Jika kau dipanggil untuk masuk ke halaman itu, maka kami akan siap melakukan apa saja yang dapat membantumu. Mungkin sekadar perhatian agar kau sempat membunuh anak itu atau hal-hal yang mungkin kami lakukan.”
“Baiklah,” berkata orang itu. “Terserah kepada kalian. Tetapi yang panting bagi kita, anak itu harus mati.”
Ketiga orang itu pun kemudian mengangguk-angguk. Rasa-rasanya mereka sudah bertekad untuk mati bersama dan hidup bersama.
Namun ketika bekas pengikut Kalamerta itu pergi kesebuah belik dibawah sebatang pohon raksasa di hutan itu, maka bekas prajurit Jipang yang cacat matanya itu berkata, “Persetan dengan orang itu. Biar saja ia mati. Kita berdua akan
menikmati hasil kemenangan ini.”
Kawannya tertawa. Katanya, “Ia yakin bahwa kita berdua benar-benar akan membantunya. Apalagi kita dianggapnya siap untuk mati bersama. Ia akan menjadi semakin bergairah bahkan bertekad untuk mengorbankan nyawanya. Semakin cepat ia melakukan, semakin baik. Kematiannya akan dapat menjadi alas keberhasilan kita untuk meniti kesempatan yang lebih baik dilingkungan para pejuang.”
Keduanya tertawa. Namun mereka pun segera menyesuaikan diri ketika orang yang pergi ke bilik itu kembali. Sementara itu, dua orang anak muda yang telah menyerahkan diri itu diterima disebuah barak yang khusus, yang tinggal dihuni oleh beberapa orang saja. Tidak lebih dari enam orang. Mereka pun termasuk anak-anak muda yang belum lama
menyerah. Namun pada mereka telah mulai tampak kesadaran yang mendalam tentang kesesatan yang pernah mereka lakukan sebelumnya.
Namun di samping enam orang itu, ternyata ada anak-anak muda yang telah disimpan ditempat yang terpisah. Mereka adalah anak-anak muda yang menurut penilaian para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan tidak lagi mempunyai kemungkinan untuk dapat mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Mereka nampaknya benar-benar telah mengeraskan hati sehingga tidak lagi mau mendengarkan pendapat orang lain. Tidak mau lagi mempertimbangkan kenyataan yang dihadapinya.
Namun dalam pada itu, Saruju dan Damar ternyata termasuk anak-anak muda yang cepat menyesuaikan diri. Semua petunjuk dan nasihat yang diterimanya selama ini berada dalam barak khusus itu, nampaknya telah diresapinya sebaik-baiknya.
Keduanya tidak pernah menunjukkan keragu-raguan untuk kembali ke lingkungannya di Tanah Perdikan Sembojan. Bahkan selama ia berada di barak khusus, keduanya menunjukkan penyesalan yang mendalam. Lebih dari keenam orang kawannya yang tinggal di barak khusus itu.
Karena itu, maka meskipun Saruju dan Damar itu lebih lambat masuk ke dalam barak itu, tetapi ternyata para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan telah memberikan kesempatan mengakhiri masa penjernihan nalar dan budi itu bersama dengan keenam orang kawannya yang lain.
Demikianlah ketika Saruju dan Damar mendapat kesempatan keluar dari barak khusus itu, hatinya terasa telah mengembang. Ditatapnya Tanah Perdikannya dengan
jantung yang mekar. Di antar oleh seorang pengawal, maka Saruju dan Damar telah dikembalikan kepada kampung halamannya. Mereka tidak langsung pulang ke rumah masing-masing. Tetapi seperti yang telah terjadi, keduanya telah diserahkan
kepada Ki Bekel. Sementara itu orang tua mereka pun telah hadir pula di banjar, untuk menerima keluarganya yang telah dianggapnya hilang itu kembali ke lingkungannya.
Memang tidak lagi dengan upacara yang meriah. Namun di banjar hadir Ki Bekel dan para bebahu padukuhan bersama beberapa orang yang mewakili anak-anak muda padukuhan itu.
Dengan beberapa sesorah, Ki Bekel telah menerima anak yang hilang itu dan menyerahkan kembali kepada keluarganya.
“Terimalah. Bimbinglah anak-anak itu untuk tidak tersesat lagi. Apa yang telah terjadi pada mereka, bukanlah salah mereka. Pada mulanya mereka telah direnggut oleh satu lingkungan di luar kehendak mereka sendiri. Untuk beberapa lama mereka terombang-ambing antara kesadarannya dan kegelapan hati. Kini mereka telah menemukan yang paling baik dan benar dari perjalanan hidup mereka yang masih panjang,” berkata Ki Bekel kepada orang-orang yang hadir di banjar.
Untuk selanjutnya, maka anak-anak itu pun telah diserahkannya kepada keluarganya untuk dibawa pulang.
Saruju dan Damar pun telah dibawa pulang oleh orang tua mereka. Betapa bahagianya perasaan seluruh keluarganya setelah mereka menerima kembali anak yang sudah dianggapnya mati itu. Karena itu, maka delapan keluarga di Tanah Perdikan Sembojan telah menyelenggarakan sedikit keramaian untuk menyambut kedatangan anak-anak mereka.
Dua orang bekas prajurit Jipang dan seorang bekas pengikut Kalamerta itu mengumpat dengan kasar. Tetapi mereka memang harus menahan diri, bahwa mereka sebaiknya tidak membuat persoalan selagi mereka masih harus menyelesaikan tugas mereka yang cukup rumit.
Dalam pada itu Saruju dan Damar memang telah menunjukkan sikap yang baik. Mereka berusaha untuk segera dapat luluh dalam pergaulan anak-anak muda Tanah Perdikan. Meskipun keduanya merasa bahwa nama mereka sudah cacat, tetapi mereka berusaha untuk menebus cacat nama mereka dengan tingkah laku yang meyakinkan.
Bahkan keduanya lebih banyak berbuat daripada anak-anak muda yang telah lebih dahulu kembali dari lingkungan para prajurit Jipang. Keduanya tidak pernah mengelakkan kewajiban anak-anak muda di padukuhan mereka.
Dengan demikian maka kawan-kawan mereka menganggap bahwa baik Saruju maupun Damar telah benar-benar menjadi dua orang anak muda yang baik.
Namun demikian mereka tidak pernah melupakan tugas mereka. Tugas pokok mereka adalah membunuh anak Iswari yang disebut Risang itu.
Tetapi keduanya tidak merasa tergesa-gesa. Bahwa bekal yang diberikan oleh Ki Rangga dan Nyi Wiradana cukup banyak, itu berarti bahwa waktu yang diberikan kepada mereka pun cukup luas. Lebih baik tidak tergesa-gesa daripada harus mengalami kegagalan.
Karena itu, maka mereka pun telah menyusun rangkaian langkah-langkah yang harus mereka ambil. Mereka harus mendapat kesempatan berhubungan langsung dengan keluarga Iswari. Jika mereka sudah mendapat kesempatan untuk berada di rumah itu dengan tugas apapun juga, maka mereka akan dengan mudah dapat melakukan tugas mereka. Membunuh anak Iswari itu. Akan lebih baik jika pembunuhan itu tidak diketahui oleh siapapun juga. Tetapi keduanya pun bertekad, jika perlu maka
mereka harus mengorbankan nyawa mereka. Membunuh dimanapun juga, meskipun banyak
saksi yang akan melihatnya dan mungkin mereka akan beramai-ramai menangkap dan membunuh mereka.
Namun sebelum mereka mendapatkan kesempatan itu, maka mereka lebih baik tidak berbuat apa-apa. Lebih baik mereka menunjukkan sikap dan tingkah laku yang dapat meyakinkan banyak orang, bahwa mereka adalah anak Tanah Perdikan yang baik. mohon maaf....terpotong sedikit aja...
“TUNGGULAH sebentar,” berkata perempuan yang disebut Bibi itu kepada penjual dawet. “Anak itu sedang mengambil mangkuk ke belakang.” “Baik Ki Sanak,” jawab penjual dawet itu. “Aku tidak tergesa-gesa.” “Dalam keadaan seperti itu, tentu daganganmu akan lekas habis,” berkata Bibi kepada penjual dawet itu.
“Biasanya memang begitu. Agak lebih cepat dibandingkan musim basah,” berkata penjual dawet itu. Bahkan katanya kemudian, “Di musim basah, aku mempersiapkan dagangan lebih sedikit daripada di musim panas begini.”
Bibi itu melangkah mendekat. Ia hanya melihat santan di jambangan saja tanpa membeli bagi dirinya sendiri.
Sementara itu Risang berlari-lari sambil membawa mangkuk kecil ke luar dari seketeng. Pemomongnya kemudian berlari-lari pula mengikutinya.
Dalam pada itu penjual dawet itu menjadi semakin berdebar-debar. Ia melihat satu kesempatan lagi telah terbuka. Karena itu maka ia harus dapat mempergunakannya sebaik-baiknya.
Dengan jantung berdebar-debar ia melihat Risang semakin lama semakin dekat dengan mangkuk ditangan. Sementara pemomongnya pun berlari-lari pula menyusulnya.
Dalam pada itu Bibi yang melihat Risang berlari-lari pun telah menunggunya pula
di sebelah penjual dawet itu. Bahkan kemudian Bibilah yang menerima mangkuknya itu sambil berkata,”Mari. Berikan mangkuk itu. Biarlah mangkuk ini diisi sampai penuh.” Risang menyerahkan mangkuk itu kepada Bibi dan kemudian Bibilah yang menyerahkannya kepada penjual dawet itu.
Sementara itu, penjual dawet itu benar-benar telah dicekam oleh kegelisahan. Risang berdiri selangkah saja didepan pikulannya. Jika ia menarik pisau belati penjangnya, maka dengan selangkah saja ia sudah dapat menggapainya sambil menghunjamkan pisau itu ke dalam tubuh anak itu yang tentu masih sangat lunak. Namun bekas pengikut Kalamerta itu telah menerima mangkuk itu pula. Ia ingin memberikan mangkuk itu nanti langsung kepada Risang. Kemudian menangkap
tangannya dan menghentakkannya. Sementara itu tangannya yang lain telah mencabut pisau belatinya, dan kemudian mudah sekali meskipun ia tidak melihat jalan
terbuka bagi dirinya sendiri. Tetapi karena tidak ada pengawal di pintu, maka ia akan lari melalui regol, turun ke jalan besar. Dua orang kawannya telah menunggunya. Mereka tentu akan membantunya dan bersama-sama berusaha melarikan
diri atau bersama-sama akan ditelan maut.
Meskipun jantungnya menjadi berdebar-debar, namun ia masih juga mengisi mangkuk itu dengan legen, cendol dan santan. Kemudian mengaduknya dengan irus kecil.
Sementara itu ia mencoba mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya.
Demikian, maka penjual dawet itu telah menyerahkan mangkuk itu langsung kepada Risang.
Tetapi pemomongnyalah yang mengulurkan tangan untuk menerima sambil berkata, “Maril, mari biarlah aku membawakannya agar tidak tumpah.”
Penjual dawet itu mengumpat di dalam hati. Namun kesempatan itu masih ada padanya. Selagi Risang memperhatikan mangkuk di tangan pemomongnya dan bahkan menggapai-gapainya, maka penjual dawet itu pun telah mengambil keputusan.
Dengan cepat ia menarik pisau belati dari sela-sela bingkai jambangan di pikulannya. Dengan cepat sekali ia bangkit dan meloncat menerkam Risang. Yang dilakukannya demikian cepatnya, sehingga orang itu yakin bahwa ia akan dapat membunuh anak itu.
Namun yang berdiri dekat Risang selain pemomongnya adalah Bibi yang pernah disebut Serigala Betina. Karena itu, maka ketika orang itu menarik sesuatu dari pikulannya, maka naluri Bibi itu pun telah menjalari tubuhnya. Demikian ia melihat benda berkilat ditangan penjual dawet yang meloncati pikulannya itu, maka ia pun telah bertindak pada waktu yang tepat. Dalam pada itu, saat pisau itu terjulur mengarah ketubuh Risang, kaki Bibi telah menyambarnya dengan kakinya. Tidak kalah cepatnya dengan gerak tangan penjual dawet itu, sehingga sentuhan kaki Bibi yang keras itu ternyata telah mampu melemparkan pisau ditangan penjual dawet itu sebelum pisau itu menyentuh dan apalagi tergores ditubuh Risang.
Risang sendiri terkejut. Demikian pemomongnya. Karena itu maka tiba-tiba saja Risang telah menjerit menangis.
PENJUAL dawet itu mengumpat kasar. Ia pun telah meloncat menggapai pisaunya yang terjatuh. Namun sementara itu Bibi telah berteriak kepada pemomong Risang, “Bawa masuk cepat.” Pemomongnya itu telah mengangkat Risang dengan tergesa-gesa dan mendukungnya dengan sebelah tangan, sementara tangannya yang lain masih memegang
mangkuk berisi dawet cendol. “Lepaskan mangkuk itu. Dukung Risang dengan baik,” pesan Bibi melihat sikap pemomong Risang itu.
Hampir di luar sadarnya pemomongnya itu pun telah melepaskan mangkuknya dan berlari-lari membawa Risang ke pendapa.
Sementara itu penjual dawet itu telah berusaha mengejarnya ketika pisau belatinya telah berhasil diambilnya.
Tetapi langkahnya ternyata telah dipotong oleh perempuan lain yang bertubuh agak kegemuk-gemukan dan bertubuh tinggi menurut ukuran seorang perempuan.
Penjual dawet itu tidak mau kehilangan waktu. Karena itu, ia sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Pisaunya telah terjulur pula ke dada Bibi untuk menyingkirkan karena penjual dawet itu akan berusaha mengejar Risang.
Namun ternyata Bibi itu cukup tangkas. Selangkah ia bergeser kesamping. Ketika pisau itu terjulur sejengkal dari tubuhnya, maka tangannya pun telah terayun.
Dengan sisi telapak tangannya ia telah memukul pergelangan tangan penjual dawet itu. Demikian kerasnya sehingga pisaunya sekali lagi terlepas dari tangannya.
Bekas pengikut Kalamerta itu meloncat surut. Dengan wajah yang tegang baru ia mencoba mengamati perempuan yang telah menghentikannya itu, bahkan telah menjatuhkan pisaunya.
“Perempuan iblis,” geramnya. “Kau telah menggagalkan rencanaku yang sudah aku susun mapan.”
Bibi termangu-mangu. Namun sementara itu Risang telah dibawa naik ke pendapa dan melintas menuju pringgitan. Ketika pemomong Risang itu telah membuka pintu pringgitan maka Bibi itu telah menarik nafas dalam-dalam.
“Anak itu sudah diselamatkan,” berkata Bibi.
“Persetan,” geram bekas pengikut Kalamerta. Tanpa bertanya lebih banyak lagi, maka ia pun telah menyerang perempuan yang agak kegemuk-gemukan itu.
Tetapi perempuan itu cukup tangkas. Ia sempat menghindari serangan itu sehingga tidak menyentuhnya. Bahkan sambil bergeser ke samping Bibi telah mempersiapkan satu serangan.
Demikian kakinya menyentuh tanah, maka tubuh Bibi yang besar dan telah terlontar pula. Kaki kirinya melangkah maju sementara tangannya terjulur lurus ke depan menggapai sasaran, dada lawannya.
Namun yang diserangnya adalah bekas pengikut Kalamerta yang dipercaya. Itulah sebabnya, maka serangan itu sama sekali tidak mengenai sasarannya. Penjual dawet itu sempat mengelakkannya dengan loncatan kesamping. Namun Bibi tidak membiarkannya. Ia pun telah meloncat pula sambil mengayunkan tangan mendatar menebas ke arah kening.
Pengikut Kalamerta itu merendahkan diri. Namun sekaligus kakinya telah bergerak melingkar menyapu kaki Bibi yang tangannya masih terjulur.
Namun Bibi itu pun tangkas pula. Ia sempat meloncat ketika kaki penjual dawet itu melingkar menyerang, sehingga dengan demikian kaki itu tidak mengenai sasaran.
“Ternyata kau mempunyai kemampuan pula he?” gumam Bibi seperti kepada diri sendiri.
Namun penjual dawet yang marah itu pun telah memutuskan untuk membunuh perempuan
itu dan ia harus mencari kesempatan untuk melarikan diri.
Dengan demikian maka bekas pengikut Kalamerta itu segera menghentakkan segenap kemampuannya.
Sebenarnyalah bahwa kemampuan bekas pengikut Kalamerta itu tidak mampu mengimbangi kemampuan Bibi yang pernah disebut Serigala Betina, apalagi setelah ia mendapat tuntunan dari Nyai Soka. Karena itu, ketika Bibi itu benar-benar
telah mempergunakan kemampuannya yang sesungguhnya, maka penjual dawet itu pun segera terdesak.
Namun penjual dawet itu tidak menyerah. Yang ingin dilakukannya jika ia tidak dapat membunuh lawannya adalah melarikan diri.
Karena itu, ketika ia sempat menghentakkan ilmu dan mendesak Bibi selangkah surut, maka ia pun telah berusaha untuk meloncat menuju ke pintu gerbang halaman.
TETAPI ternyata ia memang tidak mampu melepaskan diri dari tangan Bibi. Demikian ia meloncat berlari, maka Bibi pun telah meloncat pula dibelakangnya. Bahkan dorongan tenaga cadangan Bibi yang lebih besar, membuat langkahnya lebih cepat.
Karena itu, sebelum orang itu sampai ke regol halaman, Bibi telah mendahuluinya dan menutup kemungkinan orang itu keluar dari regol halaman, karena Bibi itu sendiri telah berdiri ditengah-tengah pintu.
“Gila,” geram penjual dawet itu. Dengan tangkasnya ia menyerang. Kakinya telah terangkat menyamping setelah ia memutar tubuhnya setengah lingkaran.
Bibi tidak menghindari serangan itu. Ia bahkan membentur serangan itu dengan
sedikit merendah sambil memiringkan tubuhnya untuk melindungi lambungnya dengan lengan dan sikunya.
Kaki penjual dawet itu pun kemudian telah membentur siku Bibi. Demikian besar kekuatannya yang telah dihentakkannya, sehingga Bibi terguncang keseimbangannya. Tetapi Bibi masih tetap tegak berdiri di regol halaman rumah Iswari itu.
Ternyata yang terjadi pada penjual dawet itu lebih parah. Ketika kakinya
membentur siku Bibi, maka kekuatannya yang besar seakan-akan telah memental dan menghantam bagian dalam tubuhnya sendiri. Karena itu maka ia pun telah terdorong beberapa langkah surut, dan bahkan ia pun telah jatuh terguling.
Namun dengan sisa tenaganya orang itu berusaha untuk bangkit. Tetapi demikian ia berdiri tegak, dengan perut yang masih mual dan kepala yang pening, tiba-tiba
saja telah datang serangan Bibi yang dahsyat, karena Bibi itu pun menjadi marah karena keseimbangannya yang terguncang.
Kaki Bibilah yang kemudian terjulur menyamping dilambari dengan kekuatan yang sangat besar. Serangan yang kuat itu telah menghantam langsung ke leher penjual dawet itu. Sesuatu yang tidak pernah diperhitungkan, karena menurut penglihatan penjual dawet itu, perempuan yang agak gemuk itu memakai kain panjang.
Namun penjual dawet itu tidak sempat memperhatikannya lebih lanjut. Kaki Bibi itu benar-benar telah mengenai lehernya. Demikian kerasnya sehingga tulang leher orang itu telah dipatahkannya.
Orang itu terlempar sekali lagi. Jauh lebih keras dan jauh. Penjual dawet itu terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah. Tetapi ia tidak lagi berusaha untuk bangkit. Demikian ia terjatuh, maka ia pun telah terbujur diam. Sementara itu, Bibi pun telah berdiri tegak dengan kaki rapat. Ternyata kain panjangnya telah koyak karena serangannya yang dilontarkannya dengan sepenuh tenaga, sementara ia tidak mempersiapkan pakaiannya untuk melakukannya.
Sementara itu, halaman itu telah banyak dikerumuni orang. Iswari sendiri telah
keluar di pendapa sambil mendukung Risang. Seakan-akan ia tidak mempercayakannya kepada orang lain. Nyai Soka pun telah berada di pandapa pula, sementara Gandar berdiri disisi pendapa bersama seorang pengawal. Beberapa orang lain yang
mendengar keributan itu telah pula ke luar dan turun ke halaman.
Dalam pada itu, maka Nyai Sokalah yang kemudian turun dari pendapa dan mendekati Bibi sambil berkata, “Pergilah kebilikmu dahulu.”
Bibi pun kemudian berkisar dari tempatnya, sementara Nyai Soka telah mendekati tubuh yang terbaring itu. Bahkan sejenak kemudian Kiai Badra pun telah berjongkok pula untuk mengamati keadaan penjual dawet itu.
NAMUN Kiai Badra itu pun telah menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Serangan itu terlalu keras.” Nyai Soka pun menarik nafas dalam-dalam. Orang itu tidak
terluka sama sekali. Namun tulang lehernyalah yang agaknya telah dipatahkan oleh Bibi yang marah.
Beberapa saat kemudian, Bibi pun telah kembali pula ke halaman. Sementara itu Iswari yang mendukung Risang telah turun bersama pemomongnya yang ketakutan. Seorang pengawal yang berdiri di pintu gerbang menjadi berdebar-debar. Ternyata bahwa ia telah melalaikan tugas karena ia berada beberapa langkah dari gerbang
itu dan sempat berbicara dan bahkan berkelakar dengan kawannya di luar regol. Karena menurut penglihatannya hanyalah seorang penjual dawet saja yang memasuki halaman, maka ia tidak banyak menaruh perhatian.
Dalam waktu yang singkat, maka padukuhan induk itu menjadi gempar. Orang-orang yang mendengar peristiwa itu telah datang beramai-ramai ke rumah Kepala Tanah Perdikan mereka. Mereka ingin melihat apa yang terjadi dan apakah tidak terdapat korban di antara orang-orang Tanah Perdikan itu, apalagi Risang.
Ternyata seisi rumah itu tidak ada yang mengalami cidera. Risang masih tetap di dalam dukungan ibunya. Sementara itu, penjual dawet yang telah terbunuh itu telah diangkat kependapa pula.
Kabar itu bukan saja hanya tersebar di padukuhan induk. Tetapi kemudian telah tersebar ke seluruh Tanah Perdikan. Hampir setiap orang telah memperkatakan percobaan pembunuhan atas Risang, anak Iswari oleh seorang penjual dawet. Namun percobaan itu telah gagal dan bahkan penjual dawet itu telah terbunuh oleh Bibi.
Sementara itu, Kiai Badra, Kiai Soka dan para pemimpin Tanah Perdikan yang lain, merasa sayang, bahwa orang itu telah terbunuh, sehingga dengan demikian daripadanya sama sekali tidak dapat disadap keterangan apapun juga tentang usaha itu.
“Kita tahu, siapakah yang memerintahkannya. Tetapi jika kita sempat bertanya, maka mungkin kita dapat mengetahui, dimanakah mereka sekarang bersembunyi,” berkata Kiai Soka.
Bibi itu menundukkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak sengaja membunuhnya. Hatiku ternyata telah dibakar oleh kemarahan yang tidak terkendali, sehingga aku kurang dapat menahan diri.”
“Sudahlah,” berkata Kiai Soka, “Segalanya telah telanjur. Namun kita harus memperkirakan bahwa orang ini tidak sendiri.”
Sebenarnyalah dua orang kawannya telah mendengar pula kegagalan yang dialami bekas pengikut Kalamerta itu. Keduanya mengumpat tidak habis-habisnya. Seorang di antara mereka menggeram, “Orang itu ternyata dungu sekali. Dalam keadaan seperti itu, bagaimana mungkin ia dapat gagal.”
“Tetapi satu kenyataan adalah, bahwa ia gagal membunuh,” geram yang lain. “Dengan demikian kita tidak segera dapat kembali dan memberikan laporan tentang kegagalan itu.”
Yang lain termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Apakah kita tidak akan mengalami kesulitan? Mungkin Ki Rangga dan Nyi Wiradana akan membebankan kegagalan ini kepada kita.”
“Kita dapat menyusun cerita,” jawab kawannya. “Apapun dapat kita katakan, karena orang dungu itu menurut pendengaranku sudah mati.”
“Untung juga orang itu mati, sehingga ia tidak dapat menyebut kehadiran kita disini,” jawab yang lain.
Beberapa saat lamanya mereka termangu-mangu. Namun kemudian kawannya berkata, “Kita akan menunggu beberapa hari lagi. Mungkin kita akan mendapat bahan yang baru sehingga kita akan dapat mengambil keputusan, apakah kita akan kembali atau kitalah yang akan menjadi pahlawan.” “Tetapi jangan mati,” sahut yang lain. “Aku ingin mendapat penghargaan karena kepahlawanan kita. Betapapun kita disanjung, tetapi kalau kita mati maka kita tidak akan dapat merasakan lagi kebanggaan itu.”
Kawannya mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia bergumam, “Ya, aku mengerti.” Demikianlah keduanya memutuskan untuk tetap berada di Tanah Perdikan itu barang satu dua hari untuk mengetahui perkembangan selanjutnya. Seorang di antara
mereka masih tetap pada pekerjaannya, penjual kayu bakar.
DUA orang lain yang membicarakan peristiwa itu dengan sungguh-sungguh adalah Saruju dan Damar. Menurut penilaian mereka, kehadiran mereka di Tanah Perdikan itu memang tidak sendiri. “Agaknya petugas itu telah gagal,” berkata Saruju.
“Ya,” sahut Damar. “Tetapi orang itu tentu bukan satu-satunya. Agaknya di Tanah Perdikan ini berkeliaran para pengikut Ki Rangga dan Nyi Wiradana.” “Kali ini
mereka mendapat tugas langsung membunuh anak Iswari yang ternyata gagal. Mungkin lain kali, jika kita dianggap sudah keluar garis kesetiaan kita, maka kitalah
yang akan menjadi sasaran. Bahkan mungkin keluarga kita,” berkata Saruju.
Damar menarik nafas dalam-dalam. Kedua anak muda itu mulai merasakan satu masalah di dalam hidup mereka dalam hubungannya dengan kesetiaan mereka terhadap Jipang.
Menurut penglihatan mereka sehari-hari di Tanah Perdikan Sembojan, segala sesuatunya telah menjadi semakin tertib, tenang dan wajar. Sementara itu, menurut penjelasan beberapa orang perwira Pajang yang masih ada di Tanah Perdikan Sembojan, Tanah Perdikan itu sejak semula memang mempunyai garis hubungan dengan Pajang.
“Bukankah hal itu sudah kita ketahui sejak kita belum menggabungkan diri dengan Jipang?” desis Damar.
Saruju mengangguk. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan ia kemudian justru berkata, “Kegagalan itu telah mempersulit tugas kita. Orang-orang Tanah Perdikan ini akan menjadi semakin berhati-hati.”
“Kita tidak dibatasi waktu. Kita akan dapat menunggu sampai mereka menjadi lengah lagi,” berkata Damar.
“Memang itu adalah satu-satunya jalan. Tetapi sampai kapan mereka akan menjadi lengah lagi,” sahut Saruju.
“Itulah yang kita tidak tahu,” jawab Damar.
“Tetapi bagaimanapun juga, kita memang berada dalam keadaan yang rumit. Peristiwa itu menjadi peringatan bagi kita, bahwa kita memang benar-benar diawasi tanpa kita sadari,” berkata Saruju.
“Kita tidak perlu cemas selama kita tidak menyimpang dari garis tugas kita,” jawab Damar.
Dengan demikian maka kedua orang anak muda itu menjadi semakin berhati-hati. Mereka tidak boleh salah langkah. Meskipun demikian maka salah paham mungkin saja dapat terjadi.
Untuk mengelabuhi orang-orang Tanah Perdikan Sembojan, mereka harus berbuat sebaik-baiknya. Tetapi hal itu akan dapat menimbulkan salah penilaian bagi
orang-orang yang mendapat tugas dari Ki Rangga Gupita dan Nyi Wiradana. Tetapi jika mereka tidak berbuat demikian, maka mereka tidak akan mendapat kepercayaan, apalagi mendapat kesempatan untuk menjadi akrab dengan keluarga Iswari.
Meskipun demikian, keduanya bertekad untuk menempuh jalan sebagaimana dilakukan. Mereka harus mendapat kepercayaan dari orang-orang Tanah Perdikan Sembojan.
Dalam pada itu, setelah mayat penjual dawet itu dikuburkan, maka Tanah Perdikan memang nampak menjadi semakin berhati-hati. Para pengawal menjadi lebih sering mengadakan ronda keliling Tanah Perdikan. Beberapa orang pengawal berkuda telah melintasi bulak-bulak sawah, menghubungkan padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain. Bukan hanya di siang hari, tetapi justru di malam hari gelombang pengamatan semakin diperketat.
Dua orang bekas prajurit Jipang yang berada di Tanah Perdikan itu merasa bahwa mereka tidak lagi mempunyai cara untuk melakukan tugas mereka sejak kegagalan seorang kawannya. Karena dengan demikian maka rasa-rasanya setiap jengkal tanah di rumah Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan itu selalu diawasi dengan ketat. Bukan saja oleh para pengawal, tetapi juga oleh para pemimpin, pemomong dan pengawal anak Iswari yang disebut Risang itu.
“Kita sudah kehilangan semua kesempatan,” berkata bekas prajurit yang cacat wajahnya.
Kawannya, yang cacat pada matanya menyahut, “Untuk sementara kita memang tidak akan dapat berbuat apa-apa. Karena itu lebih baik kita kembali dan melaporkan kegagalan ini kepada Ki Rangga.”
“Dan kita berdua akan digantung,” jawab yang lain.
Tetapi prajurit yang cacat pada matanya itu berkata, “Kita akan menceritakan kedunguan seorang dari kawan kita itu. Kita timpakan semua kesalahan kepadanya. Ia tidak akan dapat membantah, atau mengatakan lain kepada Ki Rangga dan Nyi Wiradana.”
Kawannya, yang cacat pada wajahnya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun
mengangguk sambil menjawab, “Marilah. Kita akan kembali dan melaporkan kepada Ki Rangga Gupita. Apapun yang dapat kita katakan kepada mereka, maka untuk saat ini lebih baik bagi kita meninggalkan Tanah Perdikan ini.”
Kedua orang itu benar-benar telah meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan. Mereka berniat melaporkan peristiwa yang telah terjadi dan memberi tekanan bahwa kawannyalah yang bersalah sehingga rencana itu gagal.
Ketika kedua orang itu sampai di sarang mereka, ternyata bahwa Ki Rangga dan Nyi Wiradana tidak sedang berada di sarang itu. Karena itu, maka keduanya harus menunggu beberapa hari sampai saatnya Ki Rangga dan Nyi Wiradana datang.
Demikian mereka mendapat kesempatan untuk berbicara dengan Ki Rangga, maka mereka pun telah menghadap dengan segala macam cerita yang telah disepakati bersama untuk disampaikan kepada Ki Rangga dan Warsi. Mereka telah menimpakan segala kesalahan kepada kawannya yang terbunuh itu.