Suramnya Bayang-Bayang Jilid 36

Jilid 36

Semakin cepat kalian menyerah, maka kalian akan mendapat perlakuan yang lebih baik daripada mereka yang tidak mau melihat kenyataan, dan tetap mengadakan perlawanan.”

Namun para prajurit Jipang itu sama sekali tidak berniat untuk menyerah. Namun mereka pun sadar, bahwa mereka tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi, apalagi jika pasukan yang datang itu segera menerjunkan diri ke dalam arena.

Dalam waktu yang sempit itu, para prajurit Jipang harus menemukan jawabannya, apakah yang akan mereka lakukan.

Dalam kebimbangan itu, maka pasukan Tanah Perdikan Sembojan pun semakin mendesaknya. Dengan tangkasnya anak-anak muda yang semula berpihak kepada Jipang

itu pun telah menyerang para prajurit Jipang dengan penuh kebencian.

Panglima pasukan Jipang yang telah meninggalkan lawan-lawannya itu pun melihat keadaan yang semakin mendesak. Ruang gerak yang semakin sempit dan pasukan yang kuat yang akan dapat menghancurkannya jika mereka tidak mau menyerah.

Karena itu, maka Panglima pasukan Jipang itu pun telah mengambil satu keputusan yang tidak pernah diperhitungkan sebelumnya. Menarik diri dari medan.

Namun keadaan medan ternyata menjadi sulit dengan kehadiran dua kekuatan lawan yang berseberangan. Pasukan Jipang tidak dapat mundur ke dua arah. Di depan mereka terdapat pasukan Tanah Perdikan Sembojan, sementara di ekor pasukan terdapat prajurit Pajang yang garang.

Karena itu, maka tidak ada jalan lain bagi para prajurit Jipang daripada

meninggalkan medan menurut jalan masing-masing. Panglima itu tidak memperdulikan lagi, bagaimana nasib anak-anak Tanah Perdikan Sembojan yang ada di antara

prajurit-prajuritnya. Apapun yang akan terjadi atas anak-anak itu, bukanlah tanggung jawabnya.

Karena itu, sejenak kemudian telah terdengar satu isyarat yang menjalar sambung-menyambung. Isyarat untuk mengundurkan diri dari medan yang akan menjadi

sangat berat dengan kehadiran pasukan Pajang yang kedua itu.

Tetapi suasananya tidak menguntungkan bagi pasukan Jipang yang karena lawannya berada di dua sisi. Namun memang tidak ada jalan bagi pasukan itu. Jika pasukan

itu menunggu kehadiran pasukan Pajang yang baru, maka keadaan tentu akan menjadi semakin parah.

DEMIKIANLAH, maka ketika isyarat itu terdengar, maka prajurit-prajurit Jipang itu pun telah menghambur meninggalkan medan. Tetapi karena suasana yang kalut serta keadaan para prajurit Jipang itu sendiri, maka para pemimpin kelompok

pasukan itu tidak dapat mempertahankan kesatuan kelompok-kelompok masing-masing. Dengan demikian maka pasukan Jipang itu tidak mampu melakukan upaya menarik diri dalam keadaan utuh. Namun mereka telah pecah bercerai berai.

Yang terlebih-lebih kacau lagi adalah anak-anak muda Tanah Perdikan yang ada di dalam lingkungan pasukan Jipang. Sebagian dari mereka telah kehilangan kemampuan berpikir. Karena itu, maka mereka tidak lagi dapat berbuat apa-apa. Ketika ia mendengar teriakan agar mereka menyerah saja, maka mereka pun telah meletakkan senjata mereka dan menyerah.

Sebenarnyalah beberapa pemimpin kelompok pasukan Tanah Perdikan Sembojan telah meneriakkan perintah untuk menyerah saja.

“Tidak ada jalan untuk keluar dari medan,” berkata salah seorang pemimpin kelompok, “Menyerah sajalah. Kita dapat berbicara sebagai saudara kandung.” Sementara itu Gandar juga berteriak nyaring, “Kenapa kalian, anak-anak muda Tanah Perdikan ini akan ikut melarikan diri? Bukankah kalian telah berada di atas Tanah kelahiran? Bukankah kalian ikut terpanggil oleh kampung halaman?” Namun sementara itu terdengar suara Warsi, “Tinggalkan neraka ini. Kita akan menyusun kekuatan dan berbuat jauh lebih baik dari kegagalan ini.”

Memang masih ada anak-anak muda Tanah Perdikan yang setia kepada Ki Wiradana dan

ikut melarikan diri juga. Mereka yang merasa telah bertempur dengan

sungguh-sungguh dan telah mencelakai anak-anak Tanah Perdikan itu sendiri. Bagi mereka agaknya tidak akan ada tempat lagi di Tanah Perdikan yang telah disakitinya sendiri itu.

Dalam keadaan yang kalut itu, anak-anak Tanah Perdikan Sembojan yang mempertahankan kampung halamannya itu berusaha untuk mengejar para prajurit Jipang dan saudara-saudara mereka yang melarikan diri. Namun beberapa orang pemimpin kelompok telah memperingatkan, bahwa sangat berbahaya bagi mereka untuk

mengejar prajurit Jipang yang melarikan diri itu.

Prajurit-prajurit Pajang pun telah mencoba untuk mengejar mereka. Namun akhirnya mereka membiarkan orang-orang yang tersisa itu hilang dibalik pepohonan di sawah dan pategalan serta padukuhan diseberang bulak panjang.

Tetapi Senapati Pajang yang memimpin pasukan yang datang terdahulu itu agaknya telah menghimpun pasukannya kembali dalam kesiagaan penuh. Kepada Iswari Senapati itu kemudian berkata, “Kita harus melakukan sekaligus. Kita akan mengikuti gerak mundur pasukan itu sampai ke landasannya.”

“Landasannya yang mana?” bertanya Iswari.

“Mereka tentu telah menempatkan barang-barang yang mereka bawa di satu padukuhan. Pada umumnya para prajurit Jipang itu tentu akan mundur kelandasan. Karena itu, kita akan menyusul mereka ke padukuhan itu,” jawab Senapati itu. “Tetapi kita harus mencari padukuhan yang mana?” jawab Iswari.

“Tentu tidak terlalu jauh. Dan kita akan dapat menanyakan kepada mereka yang telah menyerah. Mungkin padukuhan di seberang bulak itu,” jawab Senapati itu.

Iswari mengangguk-angguk. Ia pun kemudian telah memerintahkan pasukannya untuk bersiap kembali. Sementara itu, Iswari pun telah memerintahkan kelompok-kelompok tertentu untuk membersihkan medan, merawat kawan-kawan mereka yang terluka dan mengumpulkan mereka yang gugur di medan. Tetapi Senapati Pajang itu berkata, “Kami hanya memerlukan sebagian kecil dari pasukan Tanah Perdikan Sembojan. Kami akan membawa pasukan yang baru saja datang.”

Semuanya berjalan dengan cepat. Berdasarkan pengalaman yang luas serta kemampuan yang tinggi, maka dalam waktu singkat pasukan Pajang itu telah dapat bergerak kembali menuju ke padukuhan diseberang bulak panjang. Dua orang telah

menghubungi pasukan yang baru datang untuk memberikan laporan dan minta pasukan itu langsung mengikuti pasukan Pajang yang menyeberangi bulak.

“AKU dipaksa untuk merawat anak Ki Wiradana,” jawab perempuan itu. Sepercik gejolak kecil telah menghentak di dada Iswari. Bagaimanapun juga, ia tidak dapat menyisihkan hati dan perasaannya sebagai seorang perempuan. Anak itu adalah anak Wiradana dengan istrinya yang muda, yang karena hubungan itu, ia hampir saja menjadi korban justru pada saat ia sedang mengandung.

Namun Iswari telah berusaha dengan sekuat tenaga menyingkirkan perasaan itu. Kepada perempuan itu Iswari pun kemudian bertanya pula, “Lalu apa yang terjadi atasmu sehingga kau menjadi pingsan?”

Sejenak perempuan itu mengingat- ingat. Namun kemudian isaknya telah mengeras.

Dengan sendat ia pun berkata, “Karena aku tidak mau lagi mengikutnya, maka

tiba-tiba saja perempuan yang garang itu telah mendorongku. Yang teringat olehku adalah bahwa aku telah terjatuh. Kemudian aku tidak tahu lagi apa yang telah terjadi dengan diriku.”

Iswari mengangguk-angguk kecil. Dengan suara bergetar ia bertanya, “Jadi anak itu kemudian ikut dengan ibunya tanpa pemomong lagi?”

“Agaknya demikian,” jawab perempuan itu.

Iswari mengangguk-angguk. Namun terasa sesuatu bergejolak di dalam dirinya. Nyai Soka yang agaknya mengetahui perasaannya pun kemudian telah menarik tangannya dan membimbingnya meninggalkan perempuan itu. Namun ia masih juga berpesan kepada perempuan yang baru saja pingsan itu, “Beristirahatlah dahulu.

Nanti kita bersama-sama kembali ke Tanah Perdikan yang tinggal sejengkal lagi.” Perempuan itu mengangguk. Sementara Iswari pun telah menuju ke halaman banjar. “Kasihan perempuan itu,” desis Iswari.

“Ya. Ia tentu sangat menderita selama ia dipaksa mengikuti Warsi dalam petualangannya. Tubuhnya nampak menjadi kurus dan wajahnya pun pucat sekali,” jawab Nyai Soka. “Tetapi ia sudah bebas dari perempuan yang bengis itu dan sebentar lagi ia akan kembali kepada keluarganya.”

Iswari tidak menyahut. Sementara itu Kiai Soka dan Kiai Badra masih berada di banjar bersama para Senapati Pajang yang datang terdahulu dan yang datang kemudian.

Namun tiba-tiba telah terjadi sedikit keributan diregol halaman banjar. Seorang prajurit berlari-lari naik ke banjar untuk memberikan laporan. Kemudian beberapa orang termasuk Kiai Soka dan Kiai Badra telah keluar dan turun ke halaman langsung menuju ke regol.

Iswari dan Nyai Soka yang memang sudah berada di halaman memperhatikan mereka itu dengan wajah yang tegang. Tetapi untuk sementara mereka tidak bertanya sesuatu.

Baru sejenak kemudian, jantung Iswari bagaikan berhenti berdenyut, ketika beberapa orang telah menggotong seseorang ke banjar.

Nyai Soka pun terkejut. Namun perhatiannya kemudian lebih banyak tertuju kepada Iswari yang berdesis sambil memegangi tangannya, “Nenek.”

Nyai Soka kemudian memeluknya. Iswari jarang memanggilnya nenek seperti yang diucapkannya itu. Karena itu, maka terasa goncangan hati cucunya yang bagaimanapun juga adalah seorang perempuan.

Sejenak kemudian Kiai Badra telah turun dari Banjar dan mendekatinya. Keraguan nampak diwajahnya. Namun akhirnya ia berkata dengan nada berat, “Iswari. Yang terluka parah itu adalah Ki Wiradana.”

Iswari memang sudah menduganya. Ia melihat sekilas seorang laki-laki yang terluka dibawa masuk ke banjar. Dan ia pun mengenali laki-laki itu sebagai suaminya.

Namun untuk sesaat Iswari tengah diamuk oleh benturan-benturan perasaan di dadanya. Betapapun ia bertahan, namun terasa titik-titik air matanya meleleh di pipinya.

Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Iswari, saat ini kau adalah seorang Senapati. Kau lihat para pengawal yang berada di halaman samping itu dan yang sebagian lagi ikut melihat-lihat isi padukuhan

ini?”

Iswari mengangguk kecil. Ia mengusap air matanya dan mencoba berdiri tegak. “Marilah kita masuk,” berkata Kiai Badra.

Iswari termangu-mangu. Ketika ia berpaling kepada Nyai Soka, maka Nyai Soka itu pun berkata, “Kau memang seorang Senapati sekarang, Iswari.”

ISWARI mengangguk. Sejenak kemudian maka dengan langkah seorang Senapati Iswari telah kembali memasuki banjar. Sebenarnyalah yang terbaring disebuah amben bambu di dalam banjar itu adalah Ki Wiradana yang terluka parah di lambung. Kiai Soka

telah berusaha untuk mengobatinya sehingga untuk sesaat telah memperingan penderitaannya.

“Ia diketemukan di pematang di luar padukuhan itu,” berkata seorang prajurit Pajang.

“Bagaimana mungkin hal ini terjadi,” berkata seorang perwira Pajang. “Jika benar orang ini Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang telah terlibat ke dalam lingkungan kekuasaan Jipang sebelum Jipang dikalahkan, kenapa ia diketemukan terluka parah di pematang disebelah padukuhan ini? Apakah mungkin ia terluka dipertempuran itu dan para pengawalnya berusaha untuk menyelamatkannya.

Tetapi kenapa tiba-tiba saja ia telah ditinggalkan di pematang itu? Seandainya

para pengawalnya tidak lagi mampu membawanya, kenapa tidak ditinggalkannya di banjar ini?”

“Memang satu teka-teki,” jawab Kiai Soka. “Tetapi biarlah Ki Wiradana sendiri nanti menjawab teka-teki itu. Ia akan segera sadar dan mudah-mudahan dapat mengatakan apa yang terjadi atas dirinya.”

Para perwira Pajang itu pun mengangguk-angguk. Namun kemudian Kiai Soka pun berkata, “Kita akan membawa Ki Wiradana kembali ke Tanah Perdikan. Kita akan dapat membicarakan dan mengurai segala peristiwa ini dengan sebaik-baiknya.” Demikianlah sejenak kemudian, para perwira Pajang itupun telah membicarakan kedudukan mereka. Akhirnya diambil satu keputusan bahwa sebagian dari prajurit Pajang itu akan tetap berada di padukuhan itu.

“Kami harus belajar dari pengalaman,” berkata seorang di antara mereka. “Kami yang bertugas membayangi pasukan Jipang yang sudah kami perkirakan menuju ke Tanah Perdikan ini, ternyata jarak yang kami ambil agak terlalu jauh. Untunglah kami menempatkan pasukan kecil lebih dekat sehingga pasukan kecil itu dapat datang lebih cepat. Karena itu, kami akan memilih tempat yang tidak terlalu jauh dari Tanah Perdikan. Kami akan berbicara dengan Ki Bekel di padukuhan ini serta Ki Demang. Mudah-mudahan mereka tidak berkeberatan.”

Namun Kiai Soka pun berkata, “Di dalam pasukan Tanah Perdikan, terdapat anak-anak dari Kademangan ini.” “Syukurlah,” berkata perwira Pajang itu. “Jika demikian maka tentu tidak akan ada kesulitan.”

Sedangkan bagian yang lain dari pasukan Pajang itu untuk sementara akan ditempatkan di Tanah Perdikan Sembojan. Mereka akan langsung membantu Tanah Perdikan itu untuk membangun dirinya dan menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang

dapat ditimbulkan oleh kelompok-kelompok prajurit Jipang atau anak-anak tanah perdikan itu yang sampai saat terakhir tetap berada di antara pasukan Jipang.

Setelah semua pembicaraan mapan, maka Iswari dengan beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan Sembojan serta pasukan kecilnya akan kembali ke Tanah Perdikan untuk membenahi keadaan. Sementara pasukan Pajang masih akan menentukan langkah-langkah yang harus mereka ambil dalam waktu dekat dan panjang.

NAMUN dalam pada itu, sebelum mereka meninggalkan banjar dengan membawa Ki Wiradana dan perempuan yang telah dipaksa untuk menjadi pemomong anak Warsi itu,

Kiai Soka berkata kepada Senapati pasukan Pajang itu, “Seorang yang berilmu sangat tinggi masih berada di antara orang-orang Jipang itu. Aku agaknya telah gagal memancingnya untuk bertempur sampai kemampuan terakhir. Ia telah ikut mengundurkan diri bersama pasukan Jipang lainnya.

“Siapa?” bertanya Senapati Pajang itu. “Ki Randukeling,” jawab Kiai Soka.

Senapati Pajang itu menarik nafas dalam-dalam. Nama itu memang pernah dikenalnya. Ki Randukeling memang seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Demikianlah maka Iswari dan pasukan kecil dari Tanah Perdikan Sembojan itu pun telah menyeberangi bulak panjang kembali kepadukuhan yang terdekat dengan garis pertempuran. Di banjar padukuhan itu telah dikumpulkan tubuh mereka yang telah gugur untuk mempertahankan Tanah Kelahiran. Sementara itu, mereka yang terluka telah dibawa kerumah disebelah-menyebelah banjar itu untuk segera mendapat perawatan.

Gandar, Sambi Wulung, Jati Wulung, perempuan yang pernah disebut Serigala Betina itu, para pemimpin dari Kademangan sebelah-menyebelah dan para Bekel ikut sibuk pula mengumpulkan korban-korban itu.

Wajah-wajah pun telah menjadi muram. Korban memang cukup banyak sebagaimana diduga oleh para pengawal Tanah Perdikan Sembojan itu sendiri. Namun dengan kesadaran yang tinggi atas keselamatan Tanah Perdikannya, maka mereka sama sekali tidak menjadi gentar.

Di samping para korban, maka para pengawal Tanah Perdikan itu pun masih harus mengurus para tawanan. Para tawanan yang terdiri dari para prajurit-prajurit Jipang akan diserahkan kepada para perwira dari Pajang, sedangkan mereka yang terdiri dari anak-anak muda Tanah Perdikan itu sendiri, akan menjadi kawajiban dari para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan.

Dalam pada itu, perempuan yang telah dipaksa oleh Warsi untuk mengikutinya itu pun kemudian telah di antar kerumahnya untuk menemui keluarganya. Sedangkan Ki Wiradana yang terluka parah itu pun telah dibawa pula ke rumah yang memang diperuntukkan untuk menampung orang-orang yang terluka.

Ketika Gandar mengetahui bahwa Ki Wiradana terluka parah dan berada di tangan Kiai Soka, maka ia pun telah datang menjenguknya. Namun tiba-tiba saja giginya gemeretak. Ia teringat, bagaimana Serigala Betina itu hampir saja menyudahi hidup Nyi Wiradana yang pada saat itu sedang mengandung.

Gandar itu terkejut ketika seorang perempuan telah hadir pula disebelahnya. Perempuan yang disebut Serigala Betina itu sendiri.

“Apa katamu tentang orang ini?” bertanya Gandar.

Serigala Betina itu menarik nafas panjang. Sebenarnyalah bahwa baginya orang yang bernama Ki Wiradana itu adalah orang yang paling bengis yang pernah dikenalnya. Ia sendiri yang pernah hidup di dalam dunia yang keras, kasar dan

bahkan biadab, tidak sampai hati melaksanakan perintah membunuh seseorang yang ternyata sedang mengandung tanpa bersalah.

Namun melihat Ki Wiradana terbaring tidak berdaya dengan wajah pucat dan pakaian bernoda darah, Serigala Betina itu berkata, “Ia telah mendapatkan sebagian dari hukumannya.”

Gandar mengangguk kecil. Katanya, “Mudah-mudahan ia menyadari kesalahan yang pernah dibuatnya. Tetapi siapakah yang telah melukainya?”

Serigala Betina itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Menurut seorang pengawal, ia melihat Ki Wiradana ikut menarik diri dari medan. Nampaknya ia tidak terluka dan bahkan ia masih dapat mengikuti Ki Randukeling yang mundur perlahan-lahan sambil melawan Kiai Soka yang mengikutinya.”

“Ya,” berkata Kiai Soka. “Tetapi kemudian Ki Randukeling itu telah berhasil melepaskan diri dari pertempuran. Sejak itu aku tidak melihat lagi Ki Wiradana.” GANDAR tidak menyahut lagi. Ia pun kemudian meninggalkan Serigala Betina yang masih berada di dalam bilik itu. Perlahan-lahan perempuan yang bertubuh agak gemuk itu mendekati Kiai Soka sambil bertanya, “Bagaimana keadaannya Kiai?” “Lukanya memang agak parah. Satu tusukan dilambung. Hanya satu luka. Tetapi luka itu cukup dalam,” jawab Kiai Soka.

Sejenak Serigala Betina termenung. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah luka itu membahayakan jiwanya?”

“Kita tidak dapat menentukan. Tetapi akan berusaha untuk mengobatinya,” jawab Kiai Soka.

“Semoga ia sembuh,” gumam Serigala Betina.

Kiai Soka mengerutkan keningnya, sementara itu perempuan itu pun berkata, “Jika ia mati, maka ia tidak sempat mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi dalam keseluruhan. Jika ia hidup, maka biarlah ia melihat kesalahan yang pernah dilakukannya dan membawa malapetaka bukan saja bagi keluarganya, tetapi bagi Tanah Perdikan ini.”

Kiai Soka mengangguk-angguk. Bagi Serigala Betina, kematian Ki Wiradana pada saat itu agaknya terlalu cepat baginya. Begitu dalam kebencian perempuan yang pernah diupahnya untuk membunuh Iswari yang sedang mengandung itu, sehingga ia masih menuntut agar Ki Wiradana itu tetap hidup untuk lebih lama lagi mengalami penyesalan.

Tetapi Kiai Soka bersikap lain. Ia merasa wajib untuk menyelamatkan nyawa

seseorang yang masih mungkin dilakukan. Bukan hanya terhadap Ki Wiradana, bahkan terhadap prajurit Jipang yang terluka sekalipun, bersama-sama dengan beberapa orang lain yang menguasai ilmu pengobatan.

Karena itulah maka Kiai Soka telah berusaha dengan segenap kemampuannya untuk mengobati mereka yang terluka, termasuk Ki Wiradana. Apalagi Kiai Soka sendiri ingin mengetahui, apakah yang sebenarnya telah terjadi dengan Ki Wiradana itu.

Justru karena itu, maka Kiai Soka pun kemudian telah memisahkan Ki Wiradana dari orang-orang lain dan menempatkannya disebuah bilik. Dengan reramuan yang paling baik luka Ki Wiradana telah menjadi benar-benar mampat. Sementara itu, dengan telaten setitik demi setitik Kiai Soka berusaha memasukkan cairan obat lewat

mulut Ki Wiradana. Kiai Badra yang kemudian juga menunggui Ki Wiradana itu pun mengangguk-angguk.

Ketika titik obat berhasil masuk ke dalam mulutnya, maka Kiai Badra pun mengharap bahwa Ki Wiradana itu masih dapat tertolong.

Namun dalam pada itu, Nyai Sokalah yang harus dengan sabar memberikan petunjuk-petunjuk kepada Iswari. Meskipun ia seorang Senapati, namun ia tetap seorang perempuan.

“Kau tidak usah memikirkannya sekarang,” berkata Nyai Soka. “Aku mengerti, bahwa perasaan dan pikiranmu menjadi kalut. Tetapi kau harus dapat mencari keseimbangan di antara perasaan dan pikiranmu. Persoalan yang sebenarnya dihadapi oleh Tanah Perdikan ini belum selesai. Perempuan yang menjadi sumber malapetaka itu masih dapat melepaskan diri bersama para prajurit Jipang.

Perempuan itu tentu tidak akan menghentikan usahanya untuk merebut tanah ini. Apalagi ia berhak karena ia mempunyai seorang anak laki-laki dari Ki Wiradana.

Jika kau kemudian tenggelam ke dalam ksulitan perasaan dan pikiranmu, maka kita akan kehilangan perhitungan untuk menghadapi masa-masa datang itu. Sementara itu kita pun tahu, bahwa perempuan itu berasal dari Keluarga Kalamerta yang dibebani dendam atas Ki Gede Sembojan, ayah Ki Wiradana.”

Iswari mengangguk-angguk. Ia memang berusaha sekuat tenaga untuk dapat menguasai perasaannya yang kalut. Setiap kali nampak sekilas kenangan, bagaimana ia dibawa oleh perempuan yang bernama Serigala Betina itu ketempat yang sepi, justru pada

saat ia sedang mengandung. Perempuan yang disebut Serigala Betina itu telah mendapat perintah untuk membunuhnya tanpa belas kasihan, justru dari suaminya sendiri.

Dan kini, laki-laki yang memerintahkan untuk membunuhnya pada saat ia sedang mengandung itu ada ditangannya sebagai tawanan yang terluka parah. Jika ia mau, maka ia akan dapat melakukan pembalasan. Kapan pun ia menghendaki.

TETAPI bagaimana pun juga laki-laki itu adalah ayah anak yang pernah

dilahirkannya, yang mempunyai hak untuk menggantikannya sebagai pemangku Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Namun setiap kali ia mendengar Nyai Soka berkata, “Kau tidak usah memikirkannya sekarang. Masih ada waktu. Sementara kau dibutuhkan

oleh Tanah Perdikan ini. Tanah Perdikan yang sedang berserakan karena pertempuran yang keras.”

Iswari mengangguk kecil. Ia pun kemudian mencoba untuk melihat dengan mata hatinya, keadaan diseluruh Tanah Perdikannya. Karena itu, maka Iswari pun telah mengatupkan giginya rapat-rapat. Ia pun telah menghentakkan kekuatan batinnya untuk menghadapi persoalan yang telah mengguncangkan nalar budinya itu.

Sementara Itu Nyai Soka pun berkata, “Marilah. Kita melihat keadaan Tanah Perdikan ini.”

Iswari pun kemudian telah ikut bersama Nyai Soka untuk melihat-lihat keadaan. Ditemuinya beberapa orang Bekel dan para pemimpin dari Kademangan tetangga. Ia pun melihat pula mereka yang terluka yang berada di rumah-rumah disekitar banjar. Namun atas permintaan Nyai Soka, Iswari tidak memasuki bilik yang dipergunakan khusus untuk Ki Wiradana.

Akhirnya Iswari pun telah berada di banjar pula. Bagaimanapun juga terasa kulitnya meremang melihat anak-anak terbaik Tanah Perdikan yang gugur. Ia melihat juga beberapa orang perempuan yang menangisi anak-anaknya dan bahkan menangisi suaminya. Bahkan rasa-rasanya jantung Iswari menjadi hampir tidak berdetak ketika ia melihat perempuan yang kehilangan dua anak laki-lakinya. Yang

seorang gugur karena mempertahankan Tanah Perdikannya, yang lain terbunuh justru karena ia berada dilingkungan para prajurit Jipang.

Peperangan telah melakukannya tanpa pertimbangan apapun juga.

Ketika Iswari meninggalkan banjar itu, maka ia harus mengusap matanya yang basah betapapun ia tidak menghendakinya.

Di tempat lain, Iswari melihat para pemimpin kelompok sedang mengamati keadaan kelompoknya. Mempersiapkan kelompoknya untuk menghadapi tugas-tugas berikutnya yang mungkin akan segera menyusul.

Namun agaknya kehadiran pasukan Pajang telah jauh memperingan tugas-tugas para pengawal. Meskipun mereka sadar bahwa mereka tidak boleh lengah.

Hari itu Tanah Perdikan Sembojan dan beberapa Kademangan di sekitarnya memang sedang berkabung. Meskipun mereka merasa bahwa mereka berhasil mempertahankan Tanah Perdikannya dan mengusir para prajurit Jipang, namun mereka telah menyerahkan korban yang tidak sedikit.

Sementara itu, setelah persiapan memungkinkan, maka korban di antara anak-anak muda dari Kademangan sebelah menyebelah telah diusung kembali ke Kademangan mereka. Bagi mereka gugur mempertahankan Tanah Perdikan Sembojan tidak ubahnya seperti mempertahankan kampung halaman mereka sendiri, karena jatuhnya Sembojan ketangan para prajurit Jipang, akan berarti bencana pula bagi kademangan-kademangan itu.

Hari itu Tanah Perdikan benar-benar menjadi sibuk meskipun pertempuran yang tidak terlalu panjang telah berakhir. Dengan dihadiri oleh para pemimpin dari Tanah Perdikan Sembojan sendiri, para pemimpin dari Kademangan-kademangan sebelah dan para pemimpin dari para prajurit Pajang, maka para korban yang gugur

dari segala pihak telah dikuburkan. Namun bagaimanapun juga para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan telah memisahkan antara mereka yang bertempur bagi tanah kelahiran termasuk para prajurit Pajang dengan orang-orang yang dianggap akan merebut Tanah Perdikan itu dari yang berhak.

Sementara itu, para tawanan pun telah dibagi pula. Para bekas prajurit Jipang akan menjadi tanggung jawab pasukan Pajang, sementara anak-anak dari Tanah Perdikan Sembojan sendiri telah ditempatkan dilingkungan Tanah Perdikan dan menjadi tanggung jawab para pemimpin dari Tanah Perdikan itu.

“Dengan demikian maka kerja kita masih belum selesai,” berkata Iswari. mohon maaf....terpotong sedikit aja...

KIAI BADRA yang kemudian berdiri dibelakangnya pun berbisik, “Segala sesuatunya akan menjadi baik. Tetapi kita memerlukan waktu.” Iswari tidak menjawab. Tetapi ia sendiri tidak segera mengetahui keinginannya.

Kadang-kadang keinginannya untuk bertemu Ki Wiradana seakan-akan sangat mendesak. Namun tiba-tiba saja tumbuhlah kebenciannya karena orang itu telah berniat membunuhnya. Bukan sekadar berniat, tetapi niat itu sudah dilakukan dengan langkah-langkah. Namun Tuhan telah menahan ujung pisau yang hampir saja menembus dadanya.

“Kau harus benar-benar mempersiapkan diri menghadapi persoalan pribadimu, justru karena kau sekarang adalah pimpinan tertinggi Tanah Perdikan Sembojan atas nama anakmu,” berkata Nyai Soka.

Iswari tidak menjawab. Dan ia sadar, anak itu adalah anak Ki Wiradana.

Dalam pada itu, beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan Sembojan dan prajurit Pajang yang bertugas di Tanah Perdikan itu telah datang ke bilik tempat Ki Wiradana dirawat.

Sebenarnyalah bahwa Ki Wiradana memang sudah sadar sepenuhnya. Tetapi luka itu agaknya benar-benar parah, sehingga nampak betapa ia mengalami penderitaan karenanya.

Kiai Sokalah yang kemudian duduk dibibir pembaringan Ki Wiradana. Sambil meraba dahinya ia berkata, “Tubuhmu menjadi panas. Tetapi mudah-mudahan segalanya dapat diatasi.”

Ki Wiradana berusaha menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun telah menyeringai menahan sakit pada lukanya.

“Ki Wiradana,” desis Kiai Soka. “Untuk menentukan langkah-langkah kami berikutnya, apakah Ki Wiradana dapat mengatakan serba sedikit, apakah yang telah terjadi?”

Ki Wiradana termangu-mangu. Diamatinya orang-orang yang ada disekitarnya. Rasa-rasanya memang ada yang dicarinya. Namun ia tidak melihatnya.

Hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat seorang perwira Pajang ada pula di antara orang-orang yang mengerumuninya. Apalagi ketika nampak dibelakang orang-orang yang berdiri disekitarnya, seorang perempuan yang agak gemuk yang dikenalnya sebagai Serigala Betina itu.

Sementara itu terdengar kata-kata Kiai Soka lembut, “Ki Wiradana. Kami mohon Ki Wiradana bersedia membantu kami, apakah yang sebenarnya telah terjadi dengan Ki Wiradana?”

Ki Wiradana yang mencoba bergeser telah berdesis menahan sakit. Namun ia pun kemudian berkata dengan suara yang bergetar perlahan-lahan, “Aku telah dikhianati.”

“Siapa yang mengkhianati?” bertanya Kiai Soka.

“Ketika kami berusaha menyingkir dari padukuhan itu, maka diluar dugaanku, Rangga Gupita telah menusukku,” jawab Ki Wiradana.

“Bagaimana sikap istri Ki Wiradana? Apakah ia tidak melihatnya? Bukankah istri Ki Wiradana itu juga memiliki ilmu yang tinggi, sehingga jika ia berniat membantu, ia akan dapat menyelamatkan Ki Wiradana.”

Wajah Ki Wiradana yang nampak berkerut manahan sakit itu menjadi tegang sejenak. Namun kemudian suaranya yang bergetar itu menjadi semakin merendah. Katanya, “Warsi telah berkhianat pula. Ia justru membiarkan semuanya terjadi. Agaknya

Warsi pun ingin menyingkirkan aku.”

KIAI SOKA menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang wajah Kiai Badra dan Panglima pasukan Pajang keduanya mengangguk-angguk kecil. Agaknya keduanya dapat mengerti pergolakan yang telah terjadi di antara orang-orang yang berada di

antara prajurit-prajurit Jipang yang telah kehilangan induk itu.

Agaknya Warsi dan Ki Rangga Gupita telah menemukan langkah yang sama untuk masa depan mereka berdua. Sementara Warsi tidak merasa memerlukan Ki Wiradana lagi, karena kegagalan memasuki Tanah Perdikan. Sementara itu, ia sudah mempunyai seorang anak laki-laki yang akan dapat diperalatnya untuk menuntut semacam hak atas Tanah Perdikan itu. Meskipun mungkin harus disertai dengan satu rencana yang keji, membunuh anak Iswari dengan cara apapun juga.

Kiai Soka tidak bertanya lebih banyak lagi. Menurut pengamatannya keadaan Ki Wiradana cukup berbahaya. Karena itu, maka Kiai Soka telah memberinya kesempatan beristirahat sebanyak-banyaknya, agar keadaannya dapat menjadi berangsur baik.

Tetapi menilik pernafasan yang tersendat-sendat, serta keadaan tubuh serta peredaran darahnya, sebenarnya bahwa Kiai Soka menjadi cemas. Bahkan ia pun kemudian berbisik ditelinga Kiai Badra, “Bagaimana dengan Iswari? Apakah ia perlu menemuinya?”

Kiai Badra termangu-mangu sejenak. Namun jawabannya kemudian, “Kita bicarakan dengan Nyai Soka.”

Panglima prajurit Pajang itu pun agaknya mengerti juga bahwa Ki Wiradana masih belum selayaknya untuk terlalu banyak berbicara. Namun ia sudah mengatakan pokok peristiwa yang terjadi atas dirinya.

Karena itu, maka orang-orang yang ada disekitar Ki Wiradana itu pun kemudian mulai meninggalkannya. Di luar bilik itu, mereka sempat berbicara serba sedikit tentang Ki Rangga Gupita. Dari beberapa orang anak muda Tanah Perdikan yang menyerah dan yang telah berbalik bergabung dengan saudara-saudara mereka, telah didengar keterangan tentang hubungan Ki Rangga Gupita dan Warsi, istri muda Ki Wiradana itu.

Dalam pada itu, ternyata keadaan Ki Wiradana justru menjadi bertambah buruk. Karena itulah, maka Kiai Soka akhirnya mengambil kebijaksanaan untuk berbicara dengan Nyai Soka tentang Iswari. Apakah sebaiknya ia diberi kesempatan untuk bertemu atau tidak.

“Apakah sama sekali sudah tidak ada harapan?” bertanya Panglima prajurit Pajang itu.

Kiai Soka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Segala sesuatunya ada ditangan

Yang Maha Kuasa. Kami sudah berusaha sejauh dapat kami lakukan. Namun usaha kami yang terakhir adalah berdoa agar ia mendapat kesempatan untuk mengakui segala kesalahannya dan bertaubat kepada Yang Maha Adil.”

Panglima pasukan Pajang itu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti arti dari kata-kata Kiai Soka yang memiliki pengetahuan tentang pengobatan itu. Yang telah berusaha bersama Kiai Badra dan orang-orang lain yang memiliki pengetahuan serupa.

Dalam pada itu, Kiai Soka dan Kiai Badra pun telah berusaha untuk berbicara dengan Nyai Soka mengenai keadaan Ki Wiradana yang semakin lama justru menjadi

semakin gawat. Segala usaha sudah diakukan. Bahkan Ki Wiradana sudah dapat sadar sepenuhnya dari pingsannya. Namun keadaan lukanya memang sangat parah. “Apakah tidak ada jalan yang dapat kalian lakukan untuk menyelamatkan jiwanya?” bertanya Nyai Soka cemas.

“Nyai,” sahut Kiai Soka. “Apakah yang dapat kita lakukan jika Yang Maha Agung menghendaki memanggilnya kembali.”

Nyai Soka mengangguk kecil. Sementara itu Kiai Badra pun bertanya, “Dimanakah Iswari?”

Nyai Soka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ia sedang diguncang oleh perasaan yang tidak menentu. Kebencian, kerinduan dan dendam bercampur baur. Sementara itu, ia sadar sepenuhnya bahwa Ki Wiradana adalah ayah dari anak laki-lakinya. “Nyai,” berkata Kiai Badra, “Apa boleh buat. Kita harus memberi tahukan hal ini kepadanya. Jika ia ingin menemuinya, sebaiknya segera dilakukannya, karena keadaan Ki Wiradana sudah menjadi semakin memburuk.”

mohon maaf....terpotong sedikit aja...

NYAI SOKA termangu-mangu. Dengan nada berat ia berkata, “Hatinya akan sangat tergoncang.” “Tetapi jika terlambat, mungkin perasaannya akan menjadi semakin pahit,” jawab Kiai Soka.

Nyai Soka mengangguk kecil. Tetapi sangat berat baginya untuk mengatakan kepada Iswari tentang keadaan Ki Wiradana.

Karena itu, maka Nyai Soka pun memutuskan untuk tidak mengatakan keadaan yang gawat itu. Ia hanya akan mengajaknya menemuinya. Selebihnya Iswari akan melihatnya sendiri.

Ketika Nyai Soka menemui Iswari di ruang dalam, dilihatnya Iswari sedang mendukung anak laki-lakinya. Ketika Nyai Soka memasuki ruang itu, maka dengan serta merta Iswari mencoba menghapus air matanya yang masih saja selalu meleleh dipipinya.

“Iswari,” desis Nyai Soka. Iswari tidak menjawab. “Kakekmu telah mengatakan kepadaku, bahwa kau mempunyai kesempatan untuk melihat

suamimu,” berkata Nyai Soka dengan hati-hati.

Iswari mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia memeluk anaknya semakin erat. Seakan-akan telah bergetar dihatinya isyarat bahwa yang akan ditemuinya adalah hanya saat-saat terakhir saja dari sisa hidup suaminya.

“Iswari,” berkata Nyai Soka. “Marilah. Sekali lagi aku peringatkan bahwa disamping seorang perempuan dengan segala sifat-sifatnya, kau adalah seorang Senapati. Pada saat kau mendukung anakmu, maka kau adalah seorang ibu yang mengalami perlakuan pahit dari suamimu. Tetapi jika anak itu kau lepaskan barang

sejenak, dan kau membawa pedang dilambung atau terlebih lagi tunggul dari Pajang itu, maka kau benar-benar seorang Senapati.”

Iswari mengangguk. Ia mengerti maksud Nyai Soka. Namun bagaimanapun juga, hatinya hanya satu. Apakah ia seorang perempuan yang sakit karena tingkah laku suaminya atau ia seorang Senapati yang telah berhasil dalam pertempuran melawan orang-orang yang ingin menguasai Tanah Perdikannya.

“Nah, marilah,” berkata Nyai Soka.

“Baiklah nek,” jawab Iswari. “Biarlah aku serahkan anak ini kepada pemomongnya.”

Nyai Soka mengerutkan keningnya. Namun katanya kemudian, “Iswari. Bawalah anakmu.”

Iswari termangu-mangu. Namun kemudian ia pun mengangguk kecil.

Demikianlah Iswari bersama Nyai Soka telah pergi menuju ke tempat Ki Wiradana dirawat. Kiai Soka dan Kiai Badra telah menemani pula. Bahkan Panglima Pasukan Pajang itu pun telah mengikuti mereka pula dibelakang. Meskipun Panglima itu seorang prajurit yang pada saat-saat terakhir hidupnya seakan-akan selalu di

medan perang, namun ia dapat mengerti, goncangan-goncangan perasaan yang terjadi di dalam hati Iswari dan tentu juga pada Ki Wiradana setelah serba sedikit ia mendengar tentang kehidupan mereka yang pahit.

Iswari memang tertegun ketika mereka berada dipintu bilik tempat Ki Wiradana dirawat. Namun hatinya mulai berguncang ketika ia melihat seorang yang duduk disisi pembaringannya. Orang yang mendapat tugas untuk merawat secara khusus Ki Wiradana yang agaknya semakin parah.

Ketika orang itu melihat Iswari yang menggendong anaknya dimuka pintu, maka ia pun telah bergeser bangkit dan melangkah surut.

“Marilah,” berkata Kiai Soka. “Kau akan melihat keadaan Ki Wiradana.”

Iswari menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ditabahkannya hatinya. Satu-satu ia melangkah memasuki bilik itu mendekati pembaringan suaminya yang terbujur diam.

Berbagai perasaan telah bergejolak di dalam dadanya. Ia melihat laki-laki itu sebagai suaminya. Tetapi ia pun melihat orang itu telah berusaha membunuhnya, karena ada perempuan lain yang datang kepadanya.

Kiai Sokalah yang kemudian mendekati Ki Wiradana yang menjadi semakin lemah. Orang tua itu pun kemudian berjongkok disamping pembaringannya. Perlahan-lahan ia berbisik ditelinganya, “Ki Wiradana. Ini istrimu, Iswari.”

Ki Wiradana membuka matanya. Tetapi agaknya ia belum jelas atas pendengarannya itu, sehingga sekali lagi Kiai Soka berbisik, “Ki Wiradana. Iswari ada disini.”

Nampak dahi Ki Wiradana berkerut. Dengan suara bergetar dan sangat perlahan ia bertanya, “Siapa?”

“Iswari,” jawab Kiai Soka.

KI WIRADANA itu berusaha untuk mencerna pendengarannya. Kemudian sekali lagi ia berusaha mendapat penjelasan. “Iswari?” “Ya. Iswari,” jawab Kiai Soka. Wajah Ki Wiradana menegang sejenak. Namun ia pun kemudian menyeringai menahan sakit.

Iswari yang melihat keadaan Ki Wiradana itu pun hatinya menjadi luluh. Ia melihat laki-laki yang menjadi ayah dari anaknya itu sangat kesakitan, pucat dan

nafasnya terengah-engah. Karena itu betapapun kekecewaan, kebencian dan dendam membara didadanya, namun ia tidak sampai hati melihat laki-laki itu menderita.

Apalagi ketika ia kemudian mendengar Ki Wiradana berdesis dengan suara yang dipaksakan, “Apakah ia sudi datang melihat aku?”

“Ia telah datang bersama anakmu, Ki Wiradana,” jawab Kiai Soka. “Anakku,” Ki Wiradana mengulang.

“Ya. Anakmu,” jawab Kiai Soka.

Jantung Ki Wiradana terasa berdebar semakin cepat. Lukanya terasa menggigitnya semakin keras. Namun anak itu datang kepadanya bersama ibunya yang pernah dikhianatinya, bahkan ia sampai hati mengupah orang untuk membunuhnya pada saat ia sedang mengandung.

Sejenak Ki Wiradana termangu-mangu dalam kesakitan. Yang pernah dilihatnya adalah anak yang dilahirkan oleh Warsi. Seorang anak laki-laki yang dibawanya menjelajahi medan perang yang gawat. Namun Warsi pun kemudian telah berkhianat pula karena ia telah melarikan diri bersama Ki Rangga Gupita dan bahkan ia telah berusaha membunuhnya.

“Iswari,” desis Ki Wiradana. “Benarkah kau Iswari?” “Ya. Aku Iswari kakang,” jawab Iswari.

Air mata dipipi Ki Wiradana semakin deras mengalir. Dengan suara sendat ia berkata, “Dosaku tidak terhitung lagi Iswari. Aku tidak berhak minta maaf kepadamu. Biarlah dosa ini aku bawa untuk memasuki api neraka.”

Iswari yang mencoba bertahan, ternyata tidak mampu lagi. Ia pun telah terisak disisi pembaringan suaminya.

“Kakang, aku sudah memaafkanmu. Diminta atau tidak diminta,” desis Iswari. “O,” terdengar Ki Wiradana berdesah.

“Ini anakmu kakang,” berkata Iswari.

Ki Wiradana mencoba untuk berpaling. Dilihatnya dalam kekaburan matanya, seorang anak laki-laki yang sehat gemuk dan wajahnya seakan-akan bersinar.

Tiba-tiba Ki Wiradana melupakan rasa sakitnya. Seakan-akan ia telah mendapatkan kekuatan baru, sehingga dengan serta merta ia pun telah bangkit.

“Kakang,” Iswari mencoba mencegah. Demikian pula Kiai Soka. Tetapi Ki Wiradana telah duduk dipembaringan.

“Lihat, bawa anak itu kemari,” desisnya.

Iswari termangu-mangu. Namun kemudian diserahkannya anaknya ke tangan Ki Wiradana.

Tangan Ki Wiradana yang lemah itu tiba-tiba mendapat kekuatan untuk mendukung anaknya meskipun Iswari selalu menjaganya jika tangan suaminya tidak lagi mampu mendukung bayi yang berat itu.

“O, kau,” Ki Wiradana benar-benar menangis sambil mencium anak itu.

Anak itu meronta. Ia tidak mengenal orang yang mendukungnya itu. Apalagi ketika terasa air mata yang hangat membasahi wajahnya.

Namun Ki Wiradana itu terkejut ketika tangannya tersentuh sesuatu. Ia sempat mengamati benda di leher anaknya itu. Matanya yang kabur seakan-akan menjadi terang kembali.

“Pertanda kuasa Kepala Tanah Perdikan Sembojan,” desisnya. “Ya kakang,” jawab Iswari disela-sela isaknya.

“Darimana kau dapatkan?” bertanya Ki Wiradana.

“Ki Gede,” jawab Iswari sebagaimana dikatakan oleh Gandar. “O,” Sekali lagi Ki Wiradana mencium anaknya. Katanya, “Tuhan Maha Besar. Betapa besar dosaku, tetapi agaknya Tuhan sudah mengaturnya. Anak inilah yang telah ditunjuknya menjadi Kepala Tanah Perdikan itu. Untunglah aku tidak menemukannya pada waktu itu, sehingga terjadilah yang akan terjadi.”

Iswari hanya menunduk saja. Tetapi air matanya pun menjadi semakin deras mengalir.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Wiradana berkata, “Iswari. Inilah anakmu. Jaga ia baik-baik agar anak ini benar-benar dapat memegang jabatan yang memang seharusnya dipegangnya. Tetapi tentu ada pihak-pihak yang tidak menyukainya, sehingga ia harus diselamatkan dari usaha yang licik untuk menyingkirkannya.”

Ki Wiradana itu pun kemudian telah menyerahkan anak itu kepada Iswari. Dengan nada yang semakin lembut ia masih berpesan lagi, “Kaulah yang berhak mengembaninya. Segalanya telah tertutup bagiku.”

Tiba-tiba saja Ki Wiradana itu pun telah kehilangan kekuatannya kembali. Untunglah Ki Soka cepat menangkapnya, sehingga Ki Wiradana itu tidak terjatuh terlalu keras.

“Kakang,” desis Iswari.

Ki Wiradana sudah terbaring lagi dengan lemahnya. Bahkan terdengar ia mengaduh menahan sakit pada lukanya. Sementara itu nafasnya pun menjadi semakin sesak.

Anaknya telah berada kembali ditangan ibunya, sehingga anak itu merasa dirinya aman kembali. Disembunyikan wajahnya di dada ibunya yang berdebar-debar menghadapi keadaan yang sangat pahit itu.

Namun dalam pada itu, orang-orang yang berada di ruang itu menjadi cemas. Kiai Badra telah berjongkok pula disisi pembaringan Ki Wiradana. Wajahnya menjadi tegang ketika ia menyentuh dada Ki Wiradana yang menjadi semakin lemah. “Kiai,” desis Kiai Badra sambil menggamit Kiai Soka.

Kiai Soka pun menjadi tegang pula. Namun mereka telah melakukan segala usaha. Apapun yang mungkin mereka lakukan telah mereka lakukan. Obat yang paling baik yang ada pada mereka telah mereka berikan.

Sementara itu Ki Wiradana masih juga berdesis, “Kiai. Aku titipkan anakku kepada Kiai dan kepada semuanya yang ada disini. Semoga ia benar-benar dapat mewarisi haknya. Kiai dan semua orang akan menjadi saksi, jika Pajang menuntut pemberontakan yang telah dilakukan oleh Tanah Perdikan itu, maka semua adalah tanggung jawabku. Anak itu tidak bersalah, sehingga anak itu tidak dapat terpecik kesalahanku sehingga hak Tanah Perdikan ini dapat dicabut.”

“Ya, ya Ki Wiradana,” sahut Kiai Badra. “Kami akan menjadi saksi. Disini ada pula para perwira prajurit Pajang yang tahu benar apa yang terjadi, sehingga anakmu tidak akan mengalami perlakuan yang tidak seharusnya.”

Ki Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun telah mengeluh, justru karena lukanya terasa sakit sekali. Bahkan kemudian terdengar suaranya bergetar, “Jalan itu telah terbuka. Sebaiknya aku minta diri.”

“Kakang,” desis Iswari. Air matanya menjadi semakin deras. Bagaimanapun juga hatinya terasa sangat pedih melihat keadaan Ki Wiradana.

Namun jika Yang Maha Agung menghendaki, maka tidak seorang pun yang akan dapat ingkar. Saat itu datang pada waktunya. Tidak terlalu cepat dan tidak terlalu

lambat.

Demikian pula terjadi dengan Ki Wiradana. Saat itu pun ternyata tidak dapat ditunda dengan segala macam usaha. Saat yang tidak dapat diubah oleh apapun juga dan oleh siapapun juga.

Kiai Badra dan Kiai Soka melihat wajah Ki Wiradana yang pucat itu. Wajah yang semakin lama semakin suram. Ketika bibir itu bergerak mendengar suaranya lirih, “Aku minta diri. Aku mohon kalian berdoa untukku. Apapun yang telah aku lakukan, semoga aku mendapat keringanan.”

Kiai Badra dan Kiai Soka tidak menjawab. Mata itu terbuka perlahan-lahan. Namun kemudian tertutup lagi. Satu tarikan nafas pendek dan desis, “Jaga anakku.”

Suara itu kemudian hilang bersama hentinya detak jantung Ki Wiradana.

Nyai Soka yang melihat keadaan itu cepat tanggap. Ia pun segera mendekap Iswari yang mendukung anaknya. Sebuah jerit terdengar. Sementara itu Nyai Soka berusaha membawanya bergeser menjauh.

“Marilah Iswari,” desis Nyai Soka. “Kasihan anakmu. Ia akan ketakutan melihat

kau menangis. Ikhlaskanlah yang telah dipanggilnya menghadap. Percayalah bahwa yang terjadi itu adalah sesuatu yang terbaik baginya. Tidak seorang pun yang

akan dapat ingkar.”

Iswari berusaha untuk menguasai perasaannya. Namun tangisnya tidak dapat dibendungnya lagi.

PEREMPUAN yang juga disebut Serigala Betina itu pun segera mendekat. Diambilnya anak Iswari dari tangan perempuan yang sedang didera oleh perasaannya yang pedih itu. Di luar pintu Gandar duduk sambil bertopang dagu. Ia mendengar Iswari menangis. Tetapi ia tidak dapat berbuat apapun juga. Suasana di ruang itu pun menjadi sendu. Kiai Badra dan Kiai Soka telah menempatkan tubuh Ki Wiradana pada sikap yang seharusnya. Diaturnya tangannya bersilang didadanya.

“Marilah Iswari,” ajak Nyai Soka. “Biarlah orang-orang tua menyelesaikan segala-galanya. Penderitaan Ki Wiradana telah berakhir. Jangan hambat perjalanannya dengan tangismu.”

Iswari berusaha untuk menahan hatinya. Tetapi yang terasa di dadanya adalah

justru dendam yang membara. Ia membebankan segala kesalahan kepada perempuan yang bernama Warsi. Bahkan ia pun telah meyakinkan dirinya, bahwa perempuan yang bernama Warsi itu telah merencanakan segala-galanya sejak ia memasuki Tanah Perdikan sebagai seorang penari jalanan. Dan nampaknya rencana itu berjalan

lancar kecuali pembunuhan atas diri Iswari yang gagal itu, karena tiba-tiba dihati perempuan yang disebut Serigala Betina itu terpercik sinar terang. “Seandainya tidak demikian, maka aku pun telah terbunuh,” berkata Iswari di dalam hatinya. Namun itu pun merupakan pertanda baginya bahwa apapun yang

diusahakan oleh seseorang, tidak akan dapat mengubah apa yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Agung.

Iswari pun kemudian tidak mengelak ketika Nyai Soka membawanya ke luar dari bilik dan meninggalkan rumah yang dipergunakan untuk merawat Ki Wiradana itu.

Di dalam rumah itu masih tinggal para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan yang lain dan beberapa orang perwira pasukan Pajang. Mereka memandang tubuh Ki Wiradana yang terbujur diam. Namun nampaknya Ki Wiradana memang sudah mendapatkan ketenangannya.

Kematian Ki Wiradana itu agaknya merupakan peringatan yang sangat keras bagi Tanah Perdikan Sembojan. Para pemimpin Tanah Perdikan itu seolah-olah merasa dihadapkan kepada satu masa yang baru bagi Tanah Perdikan yang telah mengalami goncangan-goncangan yang telah menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan Tanah Perdikan itu.

Dalam pada itu, maka semua kegiatan yang lain untuk sementara telah terhenti di Tanah Perdikan Sembojan kecuali kesiagaan. Mereka sibuk menyelenggarakan tubuh Ki Wiradana. Bagaimanapun juga ia adalah Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

Berbagai tanggapan telah tumbuh di kalangan rakyat Sembojan. Namun pada saat-saat terakhir, mereka tidak merasa perlu untuk menolak penghormatan yang diberikan kepada Ki Wiradana yang pernah dianggap berkhianat kepada Pajang dan telah menjerumuskan Tanah Perdikan Sembojan ke dalam kesulitan.

Atas persetujuan segala pihak, maka tubuh Ki Wiradana itu pun telah dibaringkan

di banjar Padukuhan Induk Tanah Perdikan Sembojan. Beberapa pengawal menjaganya dengan penuh kewaspadaan. Kematian Ki Wiradana karena pengkhianatan orang-orang yang paling dipercayanya telah mendorong para pengawal untuk tetap waspada.

Karena tidak mustahil mereka akan berbuat sesuatu atas tubuh yang sudah membeku itu.

BARU dihari berikutnya, Ki Wiradana dimakamkan dengan upacara sederhana. Ia adalah orang yang mempunyai jabatan terpenting di Tanah Perdikan itu, tetapi ia bukan seorang yang pantas dijadikan teladan. Karena itu, maka orang-orang yang menghadiri upacara itupun bersikap ragu. Mereka tidak tahu, penghormatan yang bagaimana yang harus diberikan kepada Ki Wiradana itu.

Meskipun demikian, ketika tubuh itu akan diberangkatkan ke makam, Kiai Badra sempat memberikan sedikit sesorah. Orang tua itu berharap agar orang-orang Tanah Perdikan memberikan penghormatan terakhir dengan ikhlas, apapun yang pernah dilakukan Ki Wiradana. Setiap orang akan dapat terjerumus ke dalam kekhilafan. “Karena itu, selagi kita mempunyai kesempatan, maka kita harus selalu berdoa kepada Tuhan, agar kita tidak terseret ke dalam langkah sesat. Semoga kita dijauhkan dari godaan, karena hanya Tuhanlah yang mempunyai kuasa tanpa batas,” berkata Kiai Badra.

Orang-orang Tanah Perdikan Sembojan itu pun bagaikan melihat kembali apa yang telah terjadi di atas Tanah Perdikan itu. Pada saat Ki Wiradana mulai terjerat

oleh godaan. Seorang perempuan yang berparas cantik, yang memasuki Tanah Perdikan itu sebagai seorang penari jalanan. Namun akhirnya, orang-orang yang sedikit memiliki penalaran yang tajam melihat, bahwa kehadiran Warsi di Tanah Perdikan itu bukannya satu kebetulan, tetapi dibekali dengan rencana yang masak dan yang sebagian besar sudah berhasil.

Demikianlah, maka tubuh Ki Wiradana itu pun kemudian telah diusung ke kubur diiringi oleh sikap yang tidak menentu. Meskipun banyak pula orang yang mengantarkannya, namun wajah-wajah yang ragu dan tidak yakin akan

langkah-langkah sendiri telah mewarnai iring-iringan itu.

Iswari sendiri tidak ikut mengantar Ki Wiradana ke kubur. Bersama Nyai Soka ia berada di rumah merenungi semua peristiwa yang telah terjadi. Namun dalam pada itu, beberapa kali Nyai Soka berkata kepadanya, “Jangan terpancang pada masa yang pernah terjadi Iswari. Angkatlah wajahmu. Lihatlah jalan panjang yang masih harus kita lalui. Kau harus mengantar anakmu dengan selamat, sampai saatnya ia dapat berdiri sendiri sebagai Kepala Tanah Perdikan tanah ini. Para perwira Pajang yang ada di Tanah Perdikan ini telah menyatakan kesediaan mereka untuk menjadi saksi, apa yang telah terjadi disini, sehingga Pajang tidak mencabut kedudukan Tanah Perdikan yang pernah diberikan kepada tlatah ini.”

Iswari mengangguk kecil. Ia mencoba mencerna keterangan Nyai Soka itu.

Jika Iswari mendengar suara anaknya yang kebetulan tertawa atau menangis, maka ia pun seakan-akan telah mendapat dorongan di dalam dirinya, bahwa ia harus

berbuat banyak bagi anaknya dan Tanah Perdikan yang pernah mengalami kegoncangan itu.

Namun Iswari tidak pernah melupakan pesan suaminya disaat terakhir, bahwa ia harus berhati-hati menjaga anaknya. Tidak mustahil bahwa ada pihak yang ingin menyingkirkannya, karena ada anak laki-laki yang lain yang juga merasa berhak atas kedudukan Kepala Tanah Perdikan itu.

Tetapi beberapa orang perwira Pajang telah mengatakan, bahwa Pajang dapat saja menolak keturunan Kepala Tanah Perdikan yang ternyata diragukan kesetiaannya, bahkan Pajang berhak menunjuk orang lain meskipun juga dari darah keturunan yang sama, atau bahkan dari darah keturunan yang lain sama sekali. Atau yang lebih

keras lagi Pajang akan dapat mencabut hak sebagai Tanah Perdikan jika diperlukan sekali.

Meskipun demikian kemungkinan bahwa seseorang atau sekelompok orang berusaha untuk menyingkirkan anak Iswari itu bukannya satu hal yang mustahil.

Karena itu, maka perhatian yang bersungguh-sungguh harus selalu diberikan kepada anak laki-laki yang tumbuh dengan suburnya itu.

Sementara itu, Tanah Perdikan Sembojan masih mempunyai beban yang tidak ringan. Anak-anak muda yang tetap berada di pihak Jipang sampai saat terasakhir dan tertawan, merupakan masalah yang harus dipecahkan dan diselesaikan dengan

sebaik-baiknya.

Demikianlah, setelah penguburan Ki Wiradana lewat, maka Tanah Perdikan Sembojan pun mulai membenahi dirinya. Para pemimpin Tanah Perdikan itu untuk sementara sependapat, bahwa pasukan Pajang masih diperlukan. Namun perlahan-lahan jumlah pasukan Pajang itu akan dikurangi sejalan dengan kesiagaan Tanah Perdikan itu sendiri, serta keadaan keseluruhan yang meliputi Pajang, Jipang dan Demak serta Kadipaten-kadipaten yang lain termasuk keluarga Kerajaan Demak.

Para tawanan yang terdiri dari para bekas prajurit Jipang telah dibawa ke Pajang sementara tawanan yang terdiri dari anak-anak Tanah Perdikan Sembojan telah ditangani oleh para pemimpin Tanah Perdikan sendiri.

Namun para pemimpin Tanah Perdikan itu pun selalu berhubungan dan membicarakannya dengan para perwira Pajang, langkah-langkah yang sebaiknya diambil atas anak-anak muda itu.

Pada hari-hari pertama, pengawasan terhadap mereka masih benar-benar dilakukan dengan keras. Para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan ingin mengguncang perasaan anak-anak muda itu dengan cara seorang prajurit, sebagaimana mereka pernah ditempa oleh para prajurit Jipang.

Para pengawal Tanah Perdikan terpilih yang mengawal dan menjaga para tawanan itu pun mendapat perintah untuk bertindak sebagai seorang prajurit atas para tawanannya. Seorang pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu telah berbicara dihadapan para tawanan dengan bahasa yang keras.

“Jika satu atau sekelompok orang di antara kalian berbuat sesuatu yang dapat mengganggu lingkungan apalagi berusaha untuk melakukan pelanggaran atas paugeran tentang keberadaan kalian disini, maka terhadap orang yang demikian akan diambil tindakan yang keras,” berkata pemimpin pengawal itu, kemudian katanya

selanjutnya, “Kami telah mengenal kalian, dan kalianpun telah mengenal kami. Karena itu, maka kami tahu pasti kesalahan kalian yang sulit untuk diampuni.” Para tawanan itu mengumpat. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Para pengawal nampaknya bersiaga sepenuhnya untuk mengambil langkah-langkah

sebagaimana dikatakan oleh pemimpin pengawal itu. Wajah-wajah dari para pengawal yang sebenarnya memang sudah dikenal dan mengenal para tawanan itu nampak tidak ramah sama sekali. Bahkan yang menyakitkan hati, di antara para pengawal itu terdapat juga kawan-kawan mereka sendiri yang pernah bergabung dengan pasukan Jipang. Namun yang menurut pengertian para tawanan itu justru telah berkhianat.

Namun dihari-hari berikutnya, para tawanan itu mulai bergabung dengan sikap yang lain dari para pengawal. Meskipun para pengawal itu masih tetap bersikap keras

dan hati-hati, namun kata-kata yang dilontarkan telah mulai bernada lain.

Pemimpin pengawal yang pada hari-hari pertama selalu mengancam dengan kata-kata yang kadang-kadang kasar, mulai mempergunakan istilah-istilah yang lembut. “Aku minta maaf atas sikapku,” berkata pemimpin pengawal itu pada satu saat

kepada para tawanan, “Aku memang tidak dapat bersikap lain. Aku mengerti, bahwa kita adalah bersaudara. Namun kita sudah dipisahkan oleh sikap kita. Semoga

sikap kita bukan gambaran dari keyakinan kita yang sudah mantap. Kami masih berharap bahwa sikap kalian akan berubah justru karena sikap kalian tidak dilandasi oleh keyakinan.”

Para tawanan itu memang mulai berpikir. Pemimpin pengawal itu menurut pengertian mereka adalah salah seorang di antara anak-anak muda yang oleh para prajurit

Jipang tidak dianggap sebagai seorang yang cukup baik untuk diterima sebagai pengawal pada waktu itu.

Namun beberapa orang tawanan itu melihat bahwa anak muda yang dianggap kurang baik itu ternyata memiliki kemampuan melakukan tugasnya dengan wibawa yang cukup.

Tetapi masih ada juga seorang di antara para tawanan itu berdesis, “Ia hanya dapat berbicara. Coba, ada prajurit Pajang disini. Ia tidak akan berani berlagak seperti itu.”

ANGGAPAN yang demikian ternyata telah menghinggapi beberapa orang tawanan yang tidak senang melihat sikap pemimpin pengawal itu. Bahkan seorang di antara para tawanan yang tidak dapat menahan diri telah berkata langsung, “Kau jangan

berbuat sewenang-wenang. Kau dapat berbuat demikian bukan karena kau mampu. Ingat, dalam pendadaran yang dilakukan oleh para prajurit Jipang, kau pun ikut pula. Tetapi kau telah ditolak karena kau tidak mampu berbuat apa-apa. Kau menjadi sakit hati. Dan sekarang kau mendapat kesempatan untuk melepaskan sakit hatimu, karena dibelakangmu ada para prajurit Pajang.”

Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang para tawanan yang lain, ia mendapat kesan yang lain pula. Tidak banyak para tawanan yang bersikap seperti anak muda itu. Anak muda yang memang dikenalnya sebagai anak muda yang keras kepala, meskipun dengan demikian, ia termasuk anak muda yang mempunyai kemampuan jasmaniah yang tinggi.”

Untuk kali ini, pemimpin pengawal itu tidak menghiraukannya. Namun ia sempat menemui Gandar yang membimbingnya dalam olah kanuragan dan menceriterakan apa yang dialaminya.

“Apakah kau akan menunjukkan bahwa kau memiliki kemampuan yang tidak kalah dari anak itu?” bertanya Gandar.

“Aku belum yakin,” berkata anak muda itu.

“Aku akan meyakinkanmu,” jawab Gandar. “Tunda segala-galanya untuk kira-kira tiga hari. Selama ini bersikap wajar sajalah sebagaimana kau lakukan

sehari-hari. Selama itu aku akan melihat kemampuanmu.”

Pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih. Aku akan menahan diri untuk tiga hari.”

Sebenarnyalah dalam tiga hari itu, disetiap malam Gandar telah menempa pemimpin pengawal itu secara khusus. Meskipun sebelumnya pemimpin pengawal itu telah mendapat latihan-latihan yang berat, namun Gandar benar-benar harus yakin bahwa anak muda itu memiliki ilmu yang lebih baik dari para perwira yang pernah mendapat latihan-latihan dari para perwira Jipang.

Ternyata rencana Gandar itu diketahui oleh seorang perwira Pajang, sehingga

sebagai seorang perwira prajurit ia mempunyai pengetahuan tentang kemampuan apa saja yang dimiliki oleh prajurit Pajang dan Jipang yang bersumber dari induk

yang sama pada saat Demak berkuasa. Dengan demikian, maka perwira itu dapat ikut serta mengarahkan latihan-latihan yang berat dari anak muda itu sehingga ia

benar-benar mampu mengimbangi kemampuan seorang prajurit.

Bahkan pada malam ketiga Kiai Badra yang melihat Gandar melatih anak muda itu secara khusus ditunggui oleh seorang perwira Pajang telah mendekat dan bertanya, “Ada apa? Agaknya anak ini ingin secara khusus menempa diri.”

Gandar menceriterakan dengan singkat persoalan yang dihadapi anak muda itu sehingga Kiai Badra pun tersenyum sambil berkata, “Bagus. Tempa anak itu sehingga ia yakin. Perwira Pajang itu akan dapat mengatakan, apakah ia sudah memiliki kemampuan secara pribadi sebagaimana seorang prajurit.”

“Perwira itu sudah yakin,” berkata Gandar.

“Jika demikian kau pun yakin,” jawab Kiai Badra.

“Bahkan menurut perwira itu, ia sudah memiliki kemampuan seorang pelatih khusus. Bahkan secara pribadi ia memiliki kelebihan,” berkata Gandar kemudian.

Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, “Ada baiknya untuk sekali-kali berbicara dengan anak-anak yang masih belum sempat menilai tingkah lakunya sendiri itu dengan bahasa yang khusus.”

Demikianlah, maka pemimpin pengawal itu benar-benar telah siap jika memang diperlukan. Dihari-hari yang pada malam harinya dipergunakan untuk menempa diri itu, ia tidak banyak berbicara. Tetapi sikapnya sama sekali tidak berubah.

Bahkan terasa menjadi lebih angkuh dan keras. Khususnya dengan anak-anak yang seakan-akan telah menantangnya.

Dengan demikian anak muda yang masih menganggap dirinya memiliki kelebihan karena pernah mendapat latihan-latihan yang keras dari perwira Jipang itu menjadi semakin membencinya.

Beberapa kali anak-anak itu telah menegur langsung atas sikap pemimpin pengawal itu. Namun seakan-akan sama sekali tidak dihiraukannya. Namun setelah hari ketiga lewat, dan anak muda yang membencinya itu mengumpatinya lagi, anak itu berhenti dihadapannya sambil bertolak pinggang.

Tetapi tawanan itu justru berkata, “Kau menjadi semakin sombong. Tetapi kami menjadi semakin tahu bahwa kau dapat perlakuan khusus.”

“Tutup mulutmu,” geram pemimpin pengawal itu. “Kau tahu bahwa dengan kata-katamu itu kau akan dapat mendapat perlakuan khusus.”

“Apapun yang akan kau lakukan atasku. Tetapi aku tahu siapa kau sebenarnya. Anak cengeng disudut padukuhan. Ayahmu seorang pencari ikan, sedang biyungmu pekerjaannya tidak lebih dari menjual daun pisang dan sekali-kali anyaman tikar.

Nah, sekarang karena kau berhasil menjilat kaki orang-orang Pajang kau berani bertolak pinggang,” berkata tawanan itu.

“Kata-katamu menyakitkan hati,” berkata anak muda itu. “Kau memang memancing persoalan? Aku dapat mengikatmu dan memukulimu dengan rotan, anak setan. Jika kau menyebut orang tuaku, kau kira aku tidak tahu siapa orang tuamu? Seorang yang mengaku saudagar ternak namun tidak lebih dari botoh adu jago itu? Dan sebut sendiri, siapakah ibumu he?”

“Persetan dengan orang tuaku,” jawab tawanan itu. “Tetapi aku sudah berbuat sesuatu bagi Tanah Perdikan ini meskipun akhirnya aku jatuh ketangan pengkhianat-pengkhianat.”

“Seandainya anggapanmu benar, bahwa bukan kaulah yang berkhianat, apakah sebenarnya yang telah kau lakukan? Beramai-ramai pergi ke Pajang sambil bersembunyi dipunggung orang-orang Jipang? Itulah yang kau sebut telah pernah berbuat sesuatu?” bertanya anak muda pemimpin pengawal itu.

Sementara itu beberapa orang telah datang berkerumun. Dua orang tawanan yang lain berusaha untuk membawa kawannya yang marah itu untuk menyingkir. Tetapi anak muda itu tidak mau, bahkan ia telah menghentakkan tangan kedua orang kawannya itu. Sementara beberapa pengawal menjadi tersinggung melihat sikapnya. Seorang di antara para pengawal berkata, “Kita ambil saja anak itu. Bukankah ia anak tukang adu ayam yang sering berkelahi di arena itu?”

Tetapi pemimpin pengawal itu menggeleng. Katanya kepada kedua orang tawanan yang akan menyingkirkan anak itu. “Biarlah. Apa yang dikehendaki? Mungkin ia merasa bangga bahwa ia terpilih menjadi seorang pengawal pada saat orang-orang Jipang

ada disini, sedangkan aku waktu itu tidak diterima. Tetapi aku mampu membuktikan bahwa meskipun saat itu aku tersisih, tetapi aku tidak lebih buruk daripadanya dalam olah kanuragan. Agaknya ia dapat diterima bukan karena kelebihan yang dimilikinya pada tubuhnya, tetapi hanya kebetulan saja para perwira Jipang waktu itu memang tidak bersungguh-sungguh atau mereka memang dungu.”

“Gila,” geram tawanan itu. “Aku yakin kau tidak berani membuktikan.”

“Jangan tanggapi,” berkata seorang pengawal. “Biarlah aku membungkamnya dengan ujung tombak.”

Tetapi pemimpin pengawal itu tersenyum. Katanya, “Biarlah aku membuktikan, bahwa bualannya itu hanya omong kosong.”

Dan tiba-tiba saja pemimpin pengawal itu berkata kepada para pengawal, “Siapkan arena.”

“He, apakah kau bersungguh-sungguh?” bertanya beberapa pengawal hampir berbareng.

“Aku bersungguh-sungguh,” jawab pemimpin pengawal itu.

Beberapa pengawal itu menjadi cemas. Mereka menyadari bahwa tawanan itu adaah anak-anak muda pilihan yang dianggap paling baik justru pada pilihan pertama.

Apalagi anak muda itu sudah mendapat tempaan yang berat dari para perwira Jipang. Meskipun pemimpin pengawal itu juga pernah mengalami latihan-latihan yang berat, namun tataran kemampuan mereka masih harus diperhitungkan pula. “Jangan cemas,” berkata pemimpin pengawal itu. “Sebelum aku dibawa Gandar ke Pajang secara khusus, aku mendapat tempaan khusus pula. Bahkan selama aku di Pajang tanpa mengenal waktu aku selalu berlatih dan sedikit pengalaman di medan yang sebenarnya.”

PARA pengawal itu ternyata tidak dapat mencegahnya lagi. Yang dikatakan oleh pemimpin pengawal itu memang benar. Ia termasuk salah seorang yang secara khusus telah dijemput oleh Gandar dan dibawa ke Pajang. Untuk itu Gandar memang telah menempanya secara khusus. Namun para pengawal itu tidak tahu, bahwa di dalam tiga malam terakhir anak muda itu pun telah mendapat petunjuk-petunjuk dan latihan khusus lagi bahkan dibawah pengawasan seorang perwira Pajang yang mengetahui ukuran kemampuan seorang prajurit Jipang dan Pajang. Karena baik perwira itu maupun Gandar yakin bahwa tawanan itu tidak memiliki ilmu yang lebih baik dari para prajurit Jipang yang sebenarnya. Setinggi-tingginya kemampuannya tentu dalam batas setingkat dengan para prajurit.

Perintah pemimpin pengawal itu untuk membangunkan sebuah arena memang menarik perhatian. Rencana itu telah dengan cepat menjalar sehingga para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan pun mendengarnya.

Namun ketika Iswari ingin mencegahnya, Gandar berkata, “Biarkan saja. Pemimpin pengawal itu memiliki kekhususan.”

Iswari termangu-mangu. Namun ia masih saja merasa cemas. Bahkan ketika Kiai Badra pun menasihatinya untuk tidak cemas Iswari masih tetap berdebar-debar. “Para tawanan yang keras kepala itu sebaiknya memang melihat sendiri kemampuan para pengawal,” berkata Kiai Badra.

“Tetapi bagaimana jika tawanan itu dapat mengalahkannya?” berkata Iswari.

Kiai Badra tersenyum sambil berkata, “Mudah-mudahan penilaian Gandar dan perwira Pajang itu tidak salah.

Iswari akhirnya tidak mencegahnya meskipun ia masih tetap dibayangi oleh kecemasan.

Sementara itu, para pengawal benar-benar telah menyiapkan sebuah arena. Para pengawal dan bahkan beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan Sembojan dan para perwira prajurit Pajang telah menyaksikan pula. Sementara itu, para tawanan pun mendapat kesempatan pula untuk melihat. Apakah yang dikatakan oleh kawannya itu benar bahwa para pengawal Tanah Perdikan adalah sekadar sisa-sisa dari anak-anak muda yang tidak terpilih untuk menjadi pasukan pengawal yang baik, sehingga karena itu, maka para pengawal itu tidak lebih dari anak-anak muda yang hanya sekadar berlindung dibawah ketajaman ujung pedang para prajurit Pajang.

Ketika tawanan itu memasuki arena, maka wajahnya nampak menjadi cerah. Sementara itu pemimpin pengawal itu pun telah melepaskan semua senjatanya dan hadir dilapangan sebagaimana tawanan yang pernah menantangnya itu.

“Kau akan menyesal,” geram tawanan itu. “Aku akan membunuhmu meskipun aku tahu, akibatnya aku akan dihukum picis.”

“Tidak,” sahut pemimpin pengawal, “Kau tidak akan dihukum jika kau menang. Tetapi sayang, hukumanmu akan berlangsung di arena itu.

Tawanan itu tertawa, katanya, “Bukankah kau masih ingat, bagaimana kau diusir ketika kau bersamaku mengalami pendadaran? Bagaimana kau dicaci maki para pelatih pada waktu itu, karena kau dengan keadaanmu berani ikut memasuki pendadaran? Bukankah kau yang hampir pingsan ketika kau harus memanjat tambang dan kemudian terayun untuk meloncati parit?”

“Ya,” jawab pelatih pengawal itu. “Nah, jika demikian, apakah artinya kau

memasuki arena seperti ini? Bukankah kau hanya sekadar membunuh diri?” bertanya tawanan itu. “Aku ingin membuktikan bahwa para perwira Jipang itu memang dungu.

Akulah yang sebenarnya anak terbaik pada waktu itu. Tetapi mereka tidak

melihatnya. Justru mereka telah menerimamu hanya karena kau pandai membual dan bertingkah laku kasar,” sahut pemimpin pengawal itu.

Tawanan itu menggeram. Namun pemimpin pengawal itu mendahuluinya, “Bukankah kita

akan berkelahi? Jika kau masih saja membual maka perkelahian ini akan urung. Kawan-kawanmu yang menonton akan kecewa dan aku pun kecewa karena aku tidak sempat membuktikan bahwa orang-orang Jipang itu dungu dan kau pun lebih dungu lagi dari mereka.”

Tawanan itu memang tidak menjawab. Matanya menjadi merah oleh kemarahan yang menghentak-hentak.

Sejenak keduanya masih bergeser berputar. Namun sejenak kemudian tawanan itu telah meloncat menerkam lawannya.

Tetapi lawannya sempat mengelak. Bahkan ia tidak membiarkan tawanan itu menyerangnya pula. Justru pengawal itu telah berputar dengan ayunan kaki mendatar.

Tetapi tawanan itu melihat serangan mendatar itu datang. Dengan tangkas ia bergeser surut, sehingga ayunan kaki yang mendatar itu tidak menyentuhnya. Sekejap kemudian keduanya telah berdiri tegak dengan kaki renggang, siap untuk bertempur lebih sengit lagi.

Sebenarnyalah sejenak kemudian keduanya telah bertempur dengan sengitnya. Tawanan itu memang seorang yang memiliki kemampuan setingkat dengan para prajurit. Ia telah pernah ditempa oleh para perwira Jipang di Tanah Perdikan Sembojan. Satu kesempatan yang pada waktu itu agaknya diperebutkan. Dengan demikian tawanan itu memang merasa bahwa ia memiliki kemampuan yang tentu

jauh lebih baik dari pemimpin pengawal yang pernah ditolak oleh orang-orang Jipang pada waktu itu.

“Aku akan membuktikan bahwa pilihan para perwira Jipang itu tepat pada waktu itu,” berkata tawanan itu di dalam hatinya.

Tetapi sebaliknya pemimpin pengawal itu juga ingin mengatakan bahwa meskipun ia pernah ditolak oleh para perwira Jipang, namun ia memiliki kemampuan yang tidak kalah baiknya dari kawan-kawannya yang dalam pemilihan yang pertama itu telah terpilih.

Dengan demikian maka kedua orang itu telah membawa keinginan masing-masing untuk

menyatakan kebenaran sikap dan pendapatnya lewat perkelahian itu.

Para pengawal Tanah Perdikan Sembojan dan para pemimpinnya menyaksikan pertempuran antara kedua orang itu dengan tegang. Mereka melihat pengawal itu bertempur dengan tata gerak yang cepat dan langkah-langkah yang mantap.

Sedangkan tawanan itu pun telah menunjukkan kemampuannya dan kekuatan yang tersirat pada setiap geraknya.

Sementara itu tawanan itu mulai merasa heran. Lawannya ternyata tidak dapat ditumbangkan dengan mudah sebagaimana dibayangkan sebelumnya.

Ia menduga bahwa lawannya itu tidak akan dapat bertahan sepenginang karena kemampuannya akan segera dapat menggulungnya tanpa ampun. Tetapi yang dijumpainya memang agak diluar dugaannya.

Namun tawanan itu berkata di dalam dirinya, “Mungkin ia memiliki ketrampilan yang tinggi. Tetapi aku yakin ketahanan tubuhnya yang lemah itu tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi.”

Dengan demikian tawanan itu memang berusaha untuk memancing agar derap permainan

itu menjadi semakin cepat. Ia berharap bahwa dengan demikian nafas pemimpin pengawal itu akan bagaikan terkuras dari rongga dadanya.

Agaknya pemimpin pengawal itu tidak dapat menghindari dera serangan lawannya, sehingga pertempuran itu memang menjadi lebih cepat. Keduanya saling menyambar dan saling menghindar. Tangan dan kaki mereka bergerak dengan cepat, menggapai sasaran namun kemudian menangkis serangan. Tawanan yang pernah ditempa oleh para perwira Jipang itu berusaha untuk bertempur pada jarak yang panjang, sehingga langkah dan gerak mereka pun menjadi semakin banyak mengerahkan tenaga. Namun beberapa saat mereka bertempur, tawanan

itu justru menjadi semakin heran. Pemimpin pengawal itu sama sekali tidak menjadi letih dan kehilangan kemampuannya untuk melawan. Setelah mereka berkelahi beberapa lama, pemimpin pengawal itu masih saja mampu bergerak dan

bertempur dengan tangkas dan cepat. Bahkan kadang-kadang pemimpin pengawal itu telah menunjukkan gerak yang tiba-tiba dan agak membingungkan.

Tawanan itu semakin lama menjadi semakin berdebar-debar. Ternyata bahwa pemimpin pengawal itu memiliki kemampuan jauh lebih baik dari yang diduganya. Dengan demikian ia tidak dapat menguras tenaga pemimpin pengawal itu seperti yang direncanakan dan kemudian mempermainkannya seperti seekor kucing mempermainkan

seekor tikus kecil yang lemah, yang untuk lari pun tidak akan mungkin lagi mendapat kesempatan.

Tetapi pemimpin pengawal itu masih tetap garang dan berloncatan dengan cepatnya.

Karena itu, maka tawanan itu harus mengubah cara yang dipergunakannya. Ia tidak lagi menunggu sampai lawannya kehabisan tenaga dan menjeratnya ke dalam permainan yang akan menjadi tonton an yang menarik. Tetapi tawanan itu bertekad untuk dengan segera menghancurkan lawannya. Ia tidak dapat menunggu lebih lama lagi dan memberikan kesan seolah-olah pemimpin pengawal itu dapat mengimbangi kemampuannya.

Dengan demikian maka pertempuran itu bukan saja semakin cepat, tetapi juga menjadi semakin keras. Sambil meloncat menyambar lawannya, tawanan itu berteriak lantang, “Ternyata kau harus dihancurkan sama sekali.”

Pemimpin pengawal itu terkejut ketika tiba-tiba saja ia mendengar lawannya berteriak. Apalagi tangan lawannya yang mengembang dengan jari-jari terbuka hampir saja menerkam wajahnya.

“Gila,” geram pemimpin pengawal itu. “Kau membuat aku terkejut. Bukan karena ilmumu, tetapi karena mulutmu.”

Tawanan itu menjadi semakin marah. Karena tangannya tidak mengenai sasaran, maka demikian kakinya menyentuh tanah, tiba-tiba saja ia telah melenting menyerang dengan kaki mendatar.

Hampir saja serangan yang keras itu dapat mengenai lawannya. Tetapi pemimpin pengawal itu sempat meloncat mengelak. Bahkan ketika kaki tawanan itu terjulur, tiba-tiba saja dengan gerak yang sangat cepat, pemimpin pengawal itu justru telah menyerang kaki yang lain, yang tegak di atas ditanah.

Serangan itu memang tidak terduga. Tetapi tawanan itu sempat melihatnya. Namun ia agak terlambat mengambil sikap. Justru karena kakinya yang sebelah terangkat, maka sulit baginya untuk pada waktunya menghindar.

Pada saat yang demikian, maka kaki pemimpin pengawal itu sempat menyambar kaki tawanan itu pada saat kakinya yang lain terangkat. Sebuah dorongan yang kuat

telah melemparkannya.

Tetapi tawanan itu memang sudah memperhitungkan meskipun ia tidak sempat menghindar. Karena itu, demikian kaki pemimpin pengawal itu mengenainya, maka ia pun telah membiarkan dirinya berguling namun dengan cepat sekali melenting berdiri.

Namun ternyata pemimpin pengawal itu benar-benar memiliki kemampuan diluar dugaannya. Demikian ia tegak, maka tiba-tiba saja terasa dadanya bagaikan ditepuk oleh kekuatan yang luar biasa, seakan-akan segumpal batu hitam menimpa dadanya itu.

Karena itu, maka tawanan itu telah sekali lagi terdorong kuat sekali. Sekali lagi ia harus menjatuhkan diri dan kemudian melenting berdiri.

Tetapi ia mengumpat dengan kasar ketika pada saat ia tegak, pemimpin pengawal itu telah tegak dihadapannya pula. Bahkan sambil tersenyum dan bertolak pinggang ia berkata, “Satu permainan yang bagus. Ternyata latihan-latihan yang kau

lakukan dibawah bimbingan para perwira Jipang itu memberikan kemampuan yang cukup baik kepadamu.”

Tawanan itu mengumpat. Namun sebenarnyalah ia melihat pemimpin pengawal itu berdiri tegak di dalam keadaan yang masih segar. Sementara dadanya sendiri

merasa sesak oleh serangan yang ternyata adalah dorongan telapak tangan pemimpin pengawal itu.

“DARIMANA kau mendapatkan kekuatan dan ketahanan tubuh itu anak setan?” geram tawanan itu. “Sejak semula sudah aku katakan,” jawab pemimpin pengawal itu.

“Bukan keadaan tubuhku dan ketajaman nalarku yang menyebabkan aku ditolak untuk mengikuti latihan-latihan pada waktu itu. Tetapi orang-orang Jipang itulah yang dungu. Mereka tidak melihat, bahwa dengan sengaja aku berbuat demikian agar aku tidak terseret ke dalam sikap dan anggapan seperti yang bermukim dikepalamu sekarang ini.”

“Persetan,” geram tawanan itu.

“Terserahlah apa yang ingin kau katakan. Tetapi aku telah membuktikan sendiri, bahwa aku tidak lebih buruk dari kau yang pernah ditempa oleh para perwira Jipang justru pada angkatan yang pertama,” jawab pemimpin pengawal itu.

Tawanan itu tidak menjawab. Namun ialah yang kemudian dengan tiba-tiba dan diluar dugaan telah meloncat menyerang. Demikian tiba-tiba sehingga pemimpin pengawal itulah yang terlambat mengambil sikap. Yang dilakukannya kemudian ialah sekadar memiringkan tubuhnya dan menangkis serangan itu dengan tangannya.

Yang terjadi adalah benturan yang keras. Pemimpin pengawal itu agaknya masih belum bersiap sepenuhnya menerima serangan itu, sehingga ialah yang kemudian terdorong beberapa langkah surut dan bahkan keseimbangannya tidak lagi dapat dipertahankan. Karena itu maka pemimpin pengawal itu pun telah jatuh berguling. Namun dengan penuh kesadaran ia telah meloncat berdiri dan bersiap untuk menghadapi kemungkinan.

Lawannyalah yang bernafsu untuk memburunya dan menyerangnya pada saat pemimpin

pengawal itu tegak, sebagaimana dilakukan oleh pemimpin pengawal itu atas dirinya, ternyata tidak dapat dilakukan. Bahkan keseimbangannya pun menjadi goncang, karena pada saat benturan itu, ia pun telah terpental selangkah surut pada saat justru ia ingin meloncat maju memburu lawannya. Hampir saja tawanan itu pun jatuh berguling.

Namun dengan susah payah ia mampu tetap tegak, meskipun ia tidak sempat memburu lawannya sehingga lawannya mampu berdiri tegak dan bersiap menunggu serangannya.

Tawanan itu mengumpat dengan marahnya. Sementara itu pemimpin pengawal yang telah terjatuh itu pun menjadi marah pula. Darahnya mulai terasa semakin panas didalam tubuhnya.

Dengan demikian, maka perkelahian yang kemudian terjadi menjadi semakin seru. Keduanya menjadi garang dan bertempur dengan keras dan bahkan kasar.

Para tawanan yang mendapat kesempatan untuk melihat perkelahian itu menjadi berdebar-debar pula. Mereka juga tidak menyangka bahwa pemimpin pengawal itu ternyata memiliki kemampuan mengimbangi kemampuan kawannya yang mendapat kesempatan untuk ditempa dengan keras oleh para perwira Jipang. Mereka pun tahu bahwa anak muda yang menjadi pemimpin pengawal itu gagal pada pendadaran pada saat ia memasuki kesatuan pengawal pilihan.

Tetapi mereka pun mulai menjadi ragu-ragu. Apakah anak muda yang menjadi pemimpin pengawal itu benar-benar tidak mampu menempuh pendadaran pada waktu itu, atau dengan sengaja memang membuat demikian agar ia tidak dapat diterima menjadi pengawal terpilih pada waktu itu.

Sementara itu, pertempuran antara kedua orang itu pun menjadi semakin seru. Keduanya telah mengerahkan kemampuan mereka tanpa terkekang lagi.

Benturan-benturan menjadi semakin sering terjadi.

Namun dengan demikian, maka keduanya menjadi semakin menyadari tataran mereka masing-masing. Keduanya semakin mendapatkan kepastian tentang kemampuan mereka.

Tawanan itu mengumpat tidak habis-habisnya. Anak muda yang disangkanya hanya sekadar menyombongan diri karena perlindungan para prajurit Pajang itu ternyata memang memiliki kemampuan yang sulit diatasinya. Bahkan ketika mereka berkelahi beberapa lama, namun nampaknya tenaga pemimpin pengawal itu masih belum surut.

Justru pada saat tawanan itu merasa bahwa ia sudah berada pada batas tertinggi dari kekuatan dan kemampuannya.

BEBERAPA kali kedua belah pihak telah berhasil mengenai lawannya. Dan bahkan tubuh keduanya telah menjadi merah biru di beberapa tempat. Namun perkelahian itu masih saja berlangsung dengan sengitnya. Sebenarnyalah bahwa Gandar pun mulai merasa cemas. Perkelahian itu sudah berlangsung terlalu lama. Jika pertempuran itu tidak segera selesai, maka Gandar pun mencemaskan ketahanan kemampuan pemimpin pengawal itu. Tetapi pemimpin pengawal itu, betapapun kemarahan bergejolak di dalam dadanya, namun ia masih mempergunakan nalarnya sebaik-baiknya. Ia masih berusaha untuk tidak kehilangan kekang atas dirinya sendiri. Bahkan ia telah memperhitungkan kemungkinan perkelahian itu akan berlangsung lama.

Dengan sengaja pemimpin pengawal itu ingin mengukur sampai seberapa jauh kemampuan dan ketahanan tubuh tawanan yang pernah ditempa oleh para perwira Jipang itu. Ia justru ingin membuktikan, bukan saja kepada lawannya itu, tetapi juga kepada para tawanan yang lain, yang pernah merasa dirinya orang terbaik di Tanah Perdikan Sembojan.

Karena itu, meskipun keduanya telah merasa tubuh mereka saling disakiti, namun pertempuran itu masih berlangsung dengan sengitnya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar