Jilid 35
SEBAGAIMANA direncanakan, maka ketika malam menjadi semakin malam, perintah untuk bersiap sepenuhnya karena mereka akan mulai dengan gerakan mereka memasuki Tanah Perdikan Sembojan pun telah dijatuhkan. “Kita akan berangkat lewat tengah malam,” perintah Panglima pasukan Jipang itu.
Ada beberapa anggapan mengenai perintah itu. Setiap prajurit Jipang yang telah kehilangan kedudukannya sejak Jipang dikalahkan itu pada umumnya merasa gembira, karena mereka akan memasuki satu daerah baru yang lebih baik dari satu pengembaraan. Sementara itu, mereka tidak akan banyak mengalami kesulitan untuk memaksa lawan mereka keluar dari lingkungan itu. Selanjutnya tinggal menyusun kekuatan baru untuk mempertahankannya.
Bahkan beberapa orang perwira memang sudah merencanakan, bahwa mereka harus menyerap tenaga dari lingkungan disekitar Tanah Perdikan itu untuk memperkuat kedudukan mereka.
Belum tengah malam semuanya telah bersiap. Panglima pasukan itu pun segera memerintahkan pasukannya menyusun barisan. Kemudian dengan lantang Panglima itu pun telah memberikan beberapa perintah dan pesan.
Ketika semuanya sudah siap, maka Panglima itu pun menjatuhkan perintah, pasukan segera berangkat. Sementara itu, menilik gerak bintang dilangit, maka hari
memang telah mencapai tengah malam.
Sebuah iring-iringan yang panjang merayap melalui jalan-jalan bulak menuju ke Tanah Perdikan. Betapapun juga Panglima pasukan Jipang itu melalui para pemimpin kelompok memerintahkan agar tidak terjadi kegaduhan, namun suara pedati dan para prajurit yang berangkat itu telah menimbulkan keributan di padukuhan yang akan mereka tinggalkan.
Padukuhan itu agaknya memang telah menjadi hampir kosong. Tetapi di padukuhan sebelah, para penghuninya masih tetap berada di rumah masing-masing. Bahkan di padukuhan sebelah itu telah tertampung orang-orang yang mengungsi dari padukuhan yang dipergunakan oleh prajurit Jipang itu. Dalam pada itu, dua orang yang berada di padukuhan sebelah itu pun telah melihat kesibukan yang terjadi pada pasukan Jipang yang bersiap untuk bergerak. Keduanya melihat beberapa obor yang hilir mudik pada saat pasukan Jipang itu mengatur
diri. Namun pada saat pasukan itu mulai bergerak, maka tidak tampak lagi sebuah pun dari obor-obor itu. Bahkan lampu-lampu pedati pun tidak dinyalakan sama sekali, kecuali satu lentera kecil di dalam sebuah pedati yang membawa anak
Warsi yang digendong oleh pemomongnya. Bukan saja anak Warsi itu nampak menjadi kurus karena pemeliharaan yang kurang memadai, pemomongnya pun telah menjadi kurus pula. Bukan saja kekurangan makanan yang berarti bagi tubuhnya, tetapi kerinduannya kepada kampung halaman serta ketakutannya menghadapi hari-hari yang keras, membuatnya semakin lama semakin kurus dan pucat.
“Kita memberikan isyarat dengan panah sanderan,” berkata salah seorang dari kedua orang pengamat itu.
“Jangan,” jawab yang lain. “Orang-orang Jipang itu tidak boleh mengetahui bahwa langkah mereka selalu kita amati. Biarlah aku mendahului mereka mencapai Tanah Perdikan.”
“Apakah aku masih ada tugas disini?” bertanya yang pertama, “Jika tidak, kita pergi bersama-sama.”
“Tidak,” jawab yang lain.
“Baiklah, aku akan pergi bersamamu,” berkata kawannya.
Yang lain tidak menolak. Keduanya pun segera bersiap untuk meninggalkan padukuhan itu. Namun mereka pun masih sempat melaporkan diri kepada seorang tua yang bertanggung jawab atas tugas mereka di paduhan itu.
“Pergilah,” berkata orang tua itu. “Kalian harus lebih dahulu sampai di Tanah Perdikan Sembojan.”
“KAMI yakin akan mendahului mereka dan masih ada kesempatan tersisa untuk bersiap-siap,” berkata orang yang akan melaporkan hasil pengamatannya itu ke Tanah Perdikan Sembojan.
“Baiklah,” berkata orang tua itu. “Tetapi usahakan untuk melihat besarnya
pasukan lawan. Sebab menurut laporan-laporan yang kita terima, agaknya pasukan itu merupakan satu pasukan yang sangat besar bagi Tanah Perdikan Sembojan.” “Kami akan melakukannya,” jawab orang yang akan mendahului ke Tanah Perdikan itu.
Demikianlah, maka kedua orang itu pun telah meninggalkan padukuhan mereka. Dengan sangat berhati-hati keduanya berusaha untuk bersembunyi dibalik rimbunnya semak-semak tidak terlalu jauh dari jalan yang dilalui oleh iring-iringan
pasukan Jipang itu, tepat di tikungan.
Keduanya menjadi berdebar-debar. Pasukan itu memang pasukan yang cukup besar. Pasukan yang terdiri dari prajurit-prajurit Jipang dan anak-anak muda dari Tanah Perdikan Sembojan itu sendiri.
Ketika iring-iringan itu telah sampai ke ujungnya, maka keduanya pun dengan sangat berhati-hati telah beringsut menjauhi jalan itu. Mereka kemudian memintas melalui pematang dan jalan-jalan sempit memotong arah mendahului pasukan yang sangat kuat itu menuju ke Tanah Perdikan Sembojan.
Meskipun pasukan itu tidak banyak berpengaruh atas perang antara Pajang dan Jipang, bahkan tidak mampu menembus benteng pertahanan pasukan Pajang disisi Timur, namun bagi Tanah Perdikan Sembojan pasukan itu adalah pasukan yang sangat kuat, apalagi anak-anak Tanah Perdikan Sembojan yang terpilih justru berada di dalam pasukan itu pula.
Keduanya itu pun berusaha untuk mempercepat langkah mereka. Bahkan kadang- kadang
mereka telah berlari kecil menyeberangi bulak mendahului pasukan yang besar itu.
Namun karena iring-iringan itu di antaranya terdapat beberapa pedati, maka iring-iringan itu pun merambat sangat lamban.
Karena itu, maka jarak antara kedua orang itu dengan pasukan yang menuju ke Tanah Perdikan itu pun menjadi semakin lama menjadi semakin panjang.
Ketika kedua orang itu kemudian memasuki daerah pertahanan yang telah disiapkan kerangka gelar untuk menghadapi pasukan Jipang yang akan datang, maka kedua orang itu pun langsung berpesan kepada pemimpin pasukan itu, bahwa lawan telah berada di perjalanan.
Pemimpin pasukan Tanah Perdikan itu pun mendapat keterangan pula bahwa pasukan Jipang itu jauh lebih besar dari yang pernah diduga.
“Terima kasih,” berkata pemimpin pasukan itu. “Kita akan mempertahankan Tanah Perdikan ini dengan segenap kemampuan yang ada, meskipun kita harus mengorbankan nyawa kita.”
“Berhati-hatilah,” berkata kedua orang itu. “Mudah-mudahan kita mendapat jalan keluar dari keadaan ini. Bukan maksud kami menakut-nakuti. Tetapi kami mengharap kalian mendapat gambaran yang sesungguhnya dari lawan yang bakal datang.” “Kami mengerti,” jawab pemimpin itu. “Kami siap melakukan apa saja. Bukankah kau akan menyampaikan laporan ini kepada pemimpin tertinggi Tanah Perdikan ini?” “Ya, aku akan menghadap,” jawab orang itu.
Keduanya pun kemudian melanjutkan perjalanan mereka memasuki Tanah Perdikan Sembojan, langsung menuju ke padukuhan induk.
Ketika kedua orang itu sampai ke banjar yang dipergunakan sebagai bangsal kepemimpinan, maka mereka menjumpai para pemimpin masih berada di tempat itu. DENGAN singkat mereka melaporkan apa yang telah mereka lihat tentang pasukan Jipang itu. Mereka pun memberikan laporan terperinci mengenai jumlah dan kekuatan pasukan itu.
Kiai Soka yang berada di antara para pemimpin Tanah Perdikan itu pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ternyata pengamatanku kurang lengkap selama aku berada di Pajang. Agaknya aku belum pernah menemui pasukan Jipang itu selengkapnya, sehingga karena itu, maka kekuatan mereka sesungguhnya memang lebih besar dari yang aku duga.”
“Ya,” Gandar mengangguk-angguk. “Mereka berada di beberapa padukuhan yang terpencar meskipun pada jarak yang tidak terlalu jauh. Agaknya mereka tidak selalu melepaskan semua prajurit dan anak-anak muda Tanah Perdikan ini.” “Tentu mereka selalu menahan pasukan cadangan,” berkata Iswari. “Hanya dalam keadaan tertentu pasukan cadangan itu dilepaskan.”
Kiai Soka mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Jadi, apakah yang akan kita lakukan?”
“Apapun yang akan terjadi,” jawab Iswari. “Kita akan bertahan.”
Tetapi Kiai Badra yang merenung itu pun kemudian berkata, “Kita jangan
tergesa-gesa. Jika kekuatan lawan memang tidak mungkin untuk dihadapi dengan gelar karena jumlahnya yang sangat besar, maka kita harus memikirkan cara lain.”
“Maksud kakek?” bertanya Iswari.
“Itulah yang harus kita bicarakan sekarang. Apakah yang paling baik kita lakukan,” jawab Kiai Badra.
Iswari mengerutkan keningnya. Katanya, “Waktu kita tinggal beberapa saat lagi. Disini ada para Bekel dan para pemimpin yang mewakili beberapa Kademangan yang telah menyatakan kesediaannya membantu kita. Kita akan menentukan sebagaimana kita perlihatkan selama ini. Apapun yang terjadi, kita akan mempertahankan Tanah Perdikan ini.”
“Aku mengerti Iswari,” jawab Kiai Badra. “Mempertahankan tanah ini artinya tidak membiarkan tanah ini dikuasai lagi oleh orang-orang yang tidak berhak itu.
Bahkan berarti kita harus membunuh diri dan kemudian melepaskan tanah kelahiran ini kepada orang-orang itu.”
“Apakah dengan demikian berarti bahwa kita harus menarik diri lebih dahulu?” bertanya Iswari.
Kiai Badra menjadi ragu-ragu. Namun Nyai Sokalah yang kemudian berkata, “Kita harus membuat perhitungan berdasarkan kenyataan yang ada.”
Iswari menjadi tegang. Kiai Soka yang mengetahui keadaannya berkata, “Kita akan mempertahankan tanah ini. Kita akan menanyakan kepada para Bekel dan wakil dari Kademangan yang ada disekitar kita, kekuatan yang mungkin kita siapkan apakah cukup memadai. Artinya, kita akan bertempur dalam imbangan perhitungan seorang prajurit.”
“Kakek,” berkata Iswari. “Seandainya perhitungan itu menunjukkan bahwa kekuatan kita kurang memadai, apakah itu berarti kita harus menarik diri dan membiarkan mereka memasuki Tanah Perdikan ini?”
Kiai Soka dan Kiai Badra saling berpandangan. Namun dalam pada itu, wakil-wakil dari Kademangan sebelah menyebelah itu pun telah menyatakan sikapnya.
Salah seorang dari mereka berkata, “Anak-anak muda di Kademanganku masih utuh seperti yang kita lihat setiap hari. Mereka telah melatih diri meskipun belum memadai kesiagapan seorang prajurit. Tetapi jumlah mereka cukup banyak, ditambah dengan laki-laki yang masih sanggup mengangkat senjata yang jumlahnya tentu akan memadai.”
Sementara itu, yang lain pun telah memberikan sikap serupa sehingga dengan demikian, mereka akan mendapat jumlah pasukan yang mungkin dapat mengimbangi. Namun belum merupakan dasar kekuatan dan kemampuan yang cukup.
Namun dalam pada itu para Bekel pun bersikap serupa. Mereka tidak ingin meninggalkan Tanah Perdikan itu barang sekejap. Seorang di antara mereka berkata, “Yang akan terjadi adalah malapetaka.”
KIAI Soka dan Kiai Badra termangu-mangu. Namun Bekel itu menjelaskan, “Jika kita pergi meninggalkan Tanah Perdikan ini, isinya tentu akan dihancurkan sama sekali oleh orang-orang yang datang itu. Setiap laki-laki akan dilumpuhkan, bahkan
mungkin akan dibunuh. Rumah-rumah yang tidak dikehendaki akan dibakar dan semua kekayaan yang ada akan dirampas. Apalagi prajurit Jipang yang sudah tidak mempunyai ikatan itu. Mereka tidak lagi terikat oleh paugeran apapun juga, sehingga mereka akan dapat berbuat sesuka hati meskipun melanggar peradaban sekalipun. Karena itulah, maka kedatangan mereka akan mencemaskan setiap laki-laki dan akan menakutkan bagi setiap perempuan, apalagi gadis-gadis.”
Kiai Soka dan Kiai Badra mengangguk-angguk. Sementara itu Nyai Soka pun berkata, “Aku kira memang tidak ada jalan lain. Kita dapat mengerti keterangan Ki Bekel
itu dan kita pun dapat membayangkannya.”
“Baiklah,” berkata Kiai Badra. “Jika kita memang sudah bertekad bulat, maka apaboleh buat. Kami yang tua-tua ini tidak akan ingkar akan tanggung jawab kami. Namun kami memang perlu untuk memastikan, apakah kita semuanya memang sudah bertekad untuk bertahan sampai orang yang terakhir. Dengan demikian kita tidak akan lagi saling melepaskan tanggung jawab kita masing-masing.”
“Baik kakek,” jawab Iswari. “Kita akan bertempur. Kita sudah siap, sementara jumlah kita, termasuk kesediaan beberapa Kademangan tetangga, cukup mamadai.
Jika kita dapat menempatkan diri pada keadaan yang menguntungkan, maka kita
tidak akan mereka hancurkan meskipun kemampuan kita secara pribadi masing-masing berada dibawah kemampuan para prajurit.”
“Jika demikian,” berkata Kiai Badra. “Waktu kita tinggal sedikit.”
“Masih belum dini. Kita masih mempunyai waktu untuk menentukan garis pertahanan kedua,” berkata Iswari.
“Ingat Iswari,” berkata Kiai Soka kemudian. “Pasukan Jipang tidak lagi perlu menempati paugeran perang. Mungkin mereka akan menyerang tanpa menunggu fajar. Karena itu, maka persiapan kita pun harus dilakukan secepatnya.”
Iswari mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian berkata, “Baiklah. Kita akan berada di antara pasukan kita masing- masing. Kita akan mengisi pertahanan yang kerangkanya sudah kita siapkan. Sementara itu, mereka yang tidak terpasang pada gelar, akan berada di pertahanan baris kedua yang tidak akan terlalu jauh dari pertahanan pertama. Semua diserahkan kepada para pemimpin kelompok menurut ketentuan yang sudah kita sepakati sebelumnya.”
Demikianlah, maka pertemuan itu pun sudah hampir ditutup. Namun tiba-tiba dua orang pengawal bergegas masuk. Seorang di antaranya berkata, “Kami membawa dua orang yang ingin menghadap.”
“Siapa?” bertanya Iswari. “Mereka tidak mau menjelaskan siapakah mereka. Tetapi mereka bersedia dibawa menghadap para pemimpin dalam kawalan para pengawal Tanah Perdikan.” Iswari memandang Kiai Badra sejenak. Ketika Kiai Badra mengangguk kecil, maka Iswari pun berkata, “bawa orang itu kemari.”
Kedua pengawal itu pun keluar dari ruangan pembicaraan itu. Sejenak kemudian, maka mereka pun telah datang kembali membawa dua orang yang dikawal oleh dua orang bersenjata tombak yang merunduk dibelakang punggung mereka.
Keduanya pun kemudian bergeser maju mendekati Iswari yang memegang pimpinan pembicaraan itu. Dengan suara berat seorang di antara mereka berkata, “Selamat malam.”
“Marilah Ki Sanak,” sahut Iswari. “Kedatangan Ki Sanak agak mengejutkan kami. Siapakah Ki Sanak berdua?”
Seorang di antara mereka menjawab, “Kami adalah prajurit sandi dari Pajang. Kami memang tidak menyebut siapakah kami ketika para pengawal menyergap kami, karena kami tidak dapat membedakan, yang manakah para pengawal yang setia dan yang manakah yang mungkin akan berbuat lain yang dapat merugikan kehadiran kami disini.”
“O,” Iswari mengangguk-angguk. Sementara orang itu berkata, “Memang tidak ada ciri yang terlalu khusus. Tetapi ikat pinggangku adalah ikat pinggang prajurit Pajang, meskipun mungkin saja ikat pinggang seperti ini aku ketemukan di medan perang.”
“Baiklah Ki Sanak,” berkata Iswari. “Kami akan menilai apa yang akan Ki Sanak katakan. Jika Ki Sanak dapat meyakinkan kami, maka kami akan percaya bahwa Ki Sanak adalah petugas Sandi dari Pajang.”
Kami memang mendapat tugas untuk mengawasi pasukan Jipang yang meninggalkan sisi
Timur daerah pertempuran di Pajang. Menurut perhitungan kami, mereka akan pergi ke Tanah Perdikan ini. Agaknya perhitungan kami tidak terlalu jauh dari
kenyataan. Kami akan memperingatkan para pemimpin Tanah Perdikan ini, bahwa pasukan Jipang sudah bergerak.”
“O,” Iswari mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih. Pengawas kami juga sudah melaporkan apa yang terjadi sebagaimana Ki Sanak katakan. Tetapi apakah ada keterangan lain yang melengkapi kami tentang pasukan itu?”
“Tidak banyak. Tetapi satu hal yang perlu kami beritahukan, bahwa dua orang petugas sandi yang lain telah melaporkan keberangkatan pasukan Jipang itu kepada sekelompok prajurit Pajang yang membayangi pasukan Jipang itu, meskipun pasukan induk dari Pajang berada di tempat yang agak jauh. Tetapi kelompok itu akan
dapat bergerak mendahului pasukan Induk. Namun demikian, pasukan Pajang berharap bahwa Tanah Perdikan ini memantapkan pertahanannya sehingga jika terjadi keterlambatan kedatangan pasukan Pajang keadaan para pengawal Tanah Perdikan ini tidak terlanjur menjadi parah. Mungkin para pemimpin Tanah Perdikan ini dapat mengambil langkah-langkah yang memungkinkannya,” berkata petugas sandi itu.
“O,” Iswari termangu-mangu. Sementara itu Kiai Badra berkata, “Langkah-langkah yang bagaimanakah yang sebaiknya harus kami ambil. Kami sudah memutuskan untuk menahan pasukan Jipang itu agar mereka jangan memasuki Tanah Perdikan ini.
Menurut pertimbangan kami jika mereka sempat masuk, maka Tanah Perdikan ini akan menjadi sangat parah.”
“Kami mengerti,” jawab petugas itu. “Tetapi apakah Tanah Perdikan ini memiliki kekuatan yang cukup untuk menahan arus pasukan Jipang itu barang sesaat. Jika mereka langsung membuka pertempuran, maka menjelang dini pertempuran itu sudah akan mulai. Jika pasukan Tanah Perdikan ini mampu bertahan sampai fajar, maka pasukan Pajang yang sekelompok itu akan sampai di medan. Mungkin pasukan yang sekelompok itu dapat memperingan beban pasukan Tanah Perdikan ini. Namun kita harus bertempur sampai saatnya matahari sepenggalah. Jika pasukan induk Pajang
itu dapat bergerak cepat sesuai dengan perhitungan tanpa hambatan apapun juga, maka saat matahari sepenggalah mereka akan sampai.”
“Jadi apakah maksud Ki Sanak, ada pertimbangan untuk menarik diri dari medan?” bertanya Kiai Badra. “Maksudku menghindari benturan kekuatan untuk sementara?” “Jika itu dianggap perlu,” jawab petugas sandi.
Tetapi Iswari menyahut, “Kita bertekad untuk menahan mereka. Para Demang dari Kademangan tetangga siap membantu kita dan para Bekel di Tanah Perdikan pun telah menyatakan kesediaannya melakukan apa saja bagi Tanah Perdikannya.” Kedua petugas sandi itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, mulailah menyusun pertahanan. Waktunya tinggal sedikit.”
“Kerangka gelar telah disusun,” jawab Iswari.
“Baiklah,” berkata petugas sandi itu. “Jika demikian silakan mengatur pasukan. Aku pun akan tetap berada disini sampai pasukan Pajang itu datang.”
“Terima kasih Ki Sanak,” jawab Kiai Badra. “Kalian akan dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan yang berarti. Kami masih belum cukup berpengalaman menghadapi perang seperti itu.”
Namun bagi Iswari, para Bekel dan para pemimpin Kademangan tetangga, kedatangan kedua orang petugas sandi dari Pajang itu justru telah membuat mereka menjadi semakin mantap.
Mereka harus bertahan sampai matahari terbit. Jika sekelompok prajurit Pajang itu datang, maka yang sekelompok itu tentu akan mempengaruhi pertempuran. Apalagi jika induk pasukan Pajang itu benar-benar datang.
Karena semuanya sudah dipersiapkan, maka dengan cepat gelar pasukan Tanah Perdikan Sembojan dan beberapa Kademangan tentangganya itu pun telah siap. Sementara itu, malam pun menjadi semakin tipis.
DISEBERANG bulak panjang dihadapan garis pertahanan Tanah Perdikan Sembojan, pasukan Jipang sedang menyusun diri. Setelah mereka memasuki padukuhan itu, mereka berusaha untuk mengatur pasukannya sebaik-baiknya. Namun dalam pada itu padukuhan itu pun ternyata sudah ditutup. Pada saat pasukan Jipang datang,
mereka segera mengepung padukuhan itu dan tidak membiarkan seorang pun dari penghuninya meninggalkan padukuhan mereka.
“Kami hanya memerlukan banjar padukuhan ini,” berkata Panglima pasukan Jipang itu.
Tidak seorang pun yang dapat menghalangi mereka, ketika pasukan Jipang itu membawa pedati-pedati mereka memasuki halaman banjar yang cukup luas. Sejenak kemudian maka tugas pun telah tersusun. Sesuai dengan kemampuan dan pengalaman mereka, maka pasukan Jipang itu telah membagi diri. Sebagian besar dari mereka harus menuju ke medan.
Dari petugas sandi mereka yang telah pernah memasuki Tanah Perdikan Sembojan mereka mempunyai gambaran, bagaimana mereka harus menyusun pasukan untuk memasuki Tanah Perdikan itu.
“Kita akan bergerak melalui dua jurusan,” berkata seorang perwira. “Kita tidak akan membentur pertahanan pasukan Tanah Perdikan yang agaknya sudah dipersiapkan.”
“Dengan petunjuk pemimpin pengawal yang terdiri dari anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang ada di lingkungan kita itu serta Ki Wiradana sendiri,
maka pasukan Jipang akan dapat menyusun garis serangan, yang justru menghindari kesiagaan garis pertahanan yang pernah diperhitungkan oleh para petugas sandi Jipang yang pernah memasuki Tanah Perdikan,” berkata perwira yang lain.
Panglima pasukan Jipang itu termangu-mangu. Namun agaknya ia masih memerlukan pertimbangan Ki Rangga Gupita.
“Cara itu mungkin juga baik,” berkata Ki Rangga. “Tetapi menurut perhitungan kita, pasukan Tanah Perdikan itu tentu tidak akan terlalu kuat. Jika kita
langsung membentur garis pertahanan mereka, maka agaknya tugas kita akan cepat selesai. Kita akan dapat menghancurkan kekuatan induk pasukan Tanah Perdikan Sembojan. Yang tersisa tentu tidak akan berarti lagi.”
Panglima itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku perhatikan pertimbangan ini. Agaknya kita akan memilih cara yang paling cepat. Kita akan membatasi arena dan penghancuran mereka disatu tempat. Berbeda dengan Pajang yang mempunyai pertahanan yang kuat sehingga kita perlu memecah pasukan dan memasuki sasaran kita melalui dua atau tiga jalur.”
Beberapa orang perwira yang lain ternyata sependapat dengan Panglima itu, sehingga mereka mengusulkan untuk menyerang langsung Tanah Perdikan itu dalam gelar.
“Kerja kita akan cepat selesai,” berkata seorang di antara mereka.
Seperti yang mereka rencanakan, maka pasukan Jipang tidak akan menunggu matahari terbit.
Demikianlah, maka akhirnya para perwira itu pun sepakat untuk menyerang Tanah Perdikan Sembojan langsung beradu gelar, karena menurut perhitungan para perwira Jipang kekuatan mereka jauh lebih besar dari kekuatan Tanah Perdikan Sembojan.
Ketika semua persiapan sudah siap, maka pasukan Jipang yang besar itu pun mulai bergerak. Hanya sebagian kecil saja yang mereka tinggalkan untuk menjaga
barang-barang yang mereka bawa serta menyiapkan makan dan minum bagi pasukan Jipang itu jika setiap saat diperlukan.
Tetapi pada saat yang demikian pertahanan pasukan Tanah Perdikan Sembojan pun telah siap pula untuk menerima mereka. Dengan cepat pasukan pengawal Tanah Perdikan Sembojan dan beberapa Kademangan disekitarnya telah mengisi dan melengkapi kerangka gelar yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya. Atas petunjuk kedua orang petugas sandi Pajang dan sesuai pula dengan perhitungan beberapa para pemimpin Tanah Perdikan, maka pertahanan kedua jangan terlalu jauh dari gelar di garis pertama.
“JIKA memang menurut perhitungan kalian, garis pertahanan akan dengan sengaja ditarik mundur sambil menjajagi kekuatan lawan, maka sebaiknya garis pertahanan kedua segera mampu menopang agar gelar itu tidak telanjur pecah sebelum sampai ke garis pertahanan kedua,” berkata salah seorang petugas sandi Pajang itu, “Rencana yang kalian persiapkan memang baik. Kesediaan digaris pertahanan kedua
memang dapat mengejutkan pasukan lawan yang mereka berhasil mendesak mundur. Tetapi kalian harus mampu mempergunakan saat itu terjadi, saat pasukan digaris pertahanan kedua pasukan gelar. Jika saat itu dapat kalian pergunakan
sebaik-baiknya, agaknya memang akan ada pengaruhnya.”
Iswari mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan melakukan sebaik-baiknya. Mudah-mudahan para pemimpin kelompok mampu menangkap semua keterangan yang telah
kita berikan kepada mereka sehingga segalanya akan dapat berjalan dengan rencana.”
Namun dalam pada itu, kedua petugas sandi dari Pajang itu pun merasa heran ketika mereka melihat tunggul pertanda limpahan kuasa dari Pajang yang berada di tangan para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan.
Kiai Badra yang melihat perasaan dihati kedua orang petugas sandi itu pun menjelaskan dengan pendek, kenapa tunggul itu berada di Tanah Perdikan. “Jika demikian, memang seharusnyalah Pajang melibatkan diri langsung dalam
persoalan ini,” berkata petugas sandi itu. “Mudah-mudahan mereka tidak terlambat karena berbagai hambatan. Menilik jumlah kekuatan Tanah Perdikan, kita akan dapat bertahan sampai pasukan pertama Pajang itu datang.” Namun ia masih berkata di dalam hatinya, “Tetapi aku belum tahu tingkat kemampuan pasukan ini meskipun jumlahnya memadai.”
Tetapi petugas sandi itu tidak mengatakannya.
Menjelang dini hari, maka dua orang pengawas telah melaporkan, bahwa pasukan Jipang telah bergerak. Agaknya pasukan Jipang itu pun telah yakin bahwa mereka akan dengan cepat menyelesaikan tugas mereka bersama dengan anak-anak muda Tanah
Perdikan itu sendiri.
Beberapa orang yang mendahului pasukan itu pun berhasil mengamati gerak pertahanan pasukan Tanah Perdikan, sehingga mereka pun segera melaporkan kepada Panglima pasukan Jipang itu.
“Jumlah mereka cukup banyak,” berkata prajurit yang bertugas mengamati keadaan medan itu.
“Mungkin mereka dapat mengerahkan setiap laki-laki yang kakek-kakek sampai yang masih ingusan. Tetapi kemampuan mereka tidak berarti apa-apa,” sahut Ki Rangga Gupita yang mendengar laporan itu.
Panglima pasukan Jipang itu mengangguk-angguk. Namun sudah tetap dihatinya untuk bergerak dan menghancurkan pertahanan Tanah Perdikan itu, siapapun yang berada
di pasukan lawan.
Pasukan Jipang itu pun telah mendekati Tanah Perdikan Sembojan tidak saja melalui jalan bulak. Tetapi sebagian dari mereka berjalan di sawah di antara tanaman-tanaman yang sedang tumbuh subur menjelang masa berbunga.
Dengan demikian maka tanaman yang hijau gelap itu pun telah berpatah terinjak-injak oleh kaki sepasukan prajurit yang membawa senjata telanjang ditangan.
PRAJURIT Jipang dan anak-anak Tanah Perdikan yang tergabung di dalamnya telah memiliki pengalaman yang luas. Karena itu, maka ketika pasukan itu mendekati daerah pertahanan pasukan Tanah Perdikan, maka dengan cepat, mereka pun telah menebar dan membentuk satu gelar yang mantap.
“Kita jangan menganggap bahwa kita sedang berhadapan dengan pasukan yang lemah. Kita harus tetap merasa bahwa kita berhadapan dengan pasukan Pajang yang kuat.
Kita harus mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada diri kita. Jika timbul korban tidak terhitung pada pasukan lawan, maka itu adalah karena kesalahan mereka sendiri, yang dengan sombong berani menentang pasukan Jipang yang kuat ini,” pesan Panglima pasukan Jipang itu kepada para pemimpin kelompok sesaat menjelang pasukan itu bergerak langsung menyerang pertahanan lawan.
Demikianlah, menjelang fajar, pasukan Jipang telah bersiap sepenuhnya dihadapan pasukan Tanah Perdikan Sembojan. Meskipun langit masih gelap, namun Panglima pasukan Jipang itu merasa tidak terkait lagi oleh segala macam paugeran perang yang mengikat pasukan-pasukan di medan perang dalam perang gelar.
Karena itu, maka sejenak kemudian, maka pasukan Jipang itu telah menjatuhkan perintah agar pasukannya mulai bergerak.
Isyarat pun kemudian telah terdengar. Suara bende yang melengking tinggi telah memecahkan kesenyapan fajar di bulak panjang itu.
Orang-orang Tanah Perdikan Sembojan terkejut mendengar suara bende. Mereka tidak mengira, bahwa pasukan Jipang mempergunakan tengara yang memang sering dipergunakan di peperangan yang besar. Namun biasanya bende itu berbunyi pada saat matahari sudah mulai melemparkan cahaya ke bumi.
Namun pasukan Tanah Perdikan pun telah bersiap sepenuhnya. Bende itu sekaligus telah memerintahkan kepada mereka untuk menarik senjata mereka dari sarungnya. Sementara itu, sebagian dari mereka telah mempersiapkan anak panah dan busurnya telah bersiaga pula untuk menghambat gerak maju pasukan Jipang.
Namun dalam pada itu, pasukan Tanah Perdikan itu telah mempersiapkan jalur untuk mengundurkan diri sambil menjajagi kemampuan lawan. Jika pada benturan yang pertama, terasa kekuatan lawan terlalu keras, maka pasukan Tanah Perdikan itu harus menjadi lentur agar tidak pecah dan terkoyak-koyak. Pasukan Tanah Perdikan akan ditarik mundur dan harus memantul pada kekuatan pertahanan di garis pertahanan kedua. Pada garis pertahanan kedua pasukan Tanah Perdikan Sembojan tidak boleh mundur lagi apapun yang akan terjadi, karena jika pasukan itu
menarik diri, maka tidak akan ada lagi tempat untuk bersandar, sehingga pasukan itu tentu akan terusir keluar, bahkan bercerai berai. Dalam keadaan yang
demikian, Tanah Perdikan akan diduduki oleh pasukan Jipang dengan segala akibat yang paling parah untuk waktu yang tidak dapat ditentukan.
Kedua orang prajurit dari pasukan sandi Pajang itu pun berdebar-debar sambil menunggu pasukan Jipang yang bergerak dalam kegelapan. Mereka masih belum melihat pasukan lawan dengan jelas. Namun mereka dapat membayangkan bagaimana pasukan itu maju dalam gelar.
Sebenarnyalah pasukan Jipang telah menyerang dalam gelar perang dengan senjata telanjang. Suara bende yang mengiringi gerak maju mereka telah memberikan getaran didalam setiap jantung di dalam pasukan itu, bahwa mereka harus berhasil dalam waktu dekat menghancurkan pertahanan lawan dan memasuki Tanah Perdikan Sembojan.
Para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan sama sekali tidak bersiap dengan isyarat seperti itu. Namun Iswari tidak kekurangan akal. Ia harus memberikan dorongan kepada pasukannya agar mereka tidak terpengaruh oleh isyarat yang terlontar dari suara bende yang beruntun tidak henti-hentinya.
Dua orang penghubung diperintahkannya memasuki padukuhan terdekat dibelakang garis pertempuran. Semua orang yang ada di padukuhan itu, agar membunyikan kentongan. Sekaligus memberikan perintah, agar perempuan dan anak-anak menyingkir ke padukuhan berikutnya, karena menilik keadaan yang dihadapi oleh pasukan Tanah Perdikan, agaknya pasukan lawan itu cukup berat dan medan pun akan dapat bergeser-geser.
Jika sekelompok pasukan lawan terlepas dari pertahanan dan memasuki padukuhan itu, maka perempuan dan anak-anak itu tidak akan mengalami bencana karenanya. DENGAN cepat kedua orang penghubung itu bergerak. Karena itu sebelum benturan terjadi, maka telah terdengar suara kentongan diseluruh padukuhan. Bahkan kemudian telah menjalar diseluruh Tanah Perdikan Sembojan. Kentongan dalam nada titir yang sahut menyahut. Suara kentongan itu memang dapat memberikan satu suasana yang lebih bergejolak dihati setiap orang dalam pasukan Tanah Perdikan Sembojan. Mereka merasa digetarkan oleh teriakan kampung halamannya lewat suara kentongan itu, seakan-akan jerit minta perlindungan.
Sementara itu, pasukan Jipang pun telah mulai memasuki batas pandang pasukan Tanah Perdikan Sembojan di dalam gelapnya ujung malam. Seperti yang sudah dipersiapkan, maka mereka yang harus menghambat gerak maju pasukan Jipang dengan panah pun telah mulai memasang anak panah pada busurnya.
Sejenak kemudian, ketika pasukan Jipang memasuki jarak jangkau anak panah mereka, maka anak panah itu pun berloncatan dari busurnya.
Hal itu memang sudah diperhitungkan oleh pasukan Jipang seperti
benturan-benturan gelar yang pernah terjadi jika pasukan itu menyerang. Karena itu, maka mereka yang mempersiapkan perisaipun segera mengambil tempat, melindungi kawan-kawannya yang berada di belakangnya.
Namun yang tidak diperhitungkan oleh pasukan Jipang adalah bahwa tiba-tiba saja obor-oborpun telah menyala pada garis pertahanan orang-orang Tanah Perdikan Sembojan. Untuk sesaat para pemimpin pasukan Jipang itu tidak mengerti, apa yang akan dilakukan oleh orang-orang Tanah Perdikan. Namun karena hari masih gelap, maka para pemimpin prajurit Jipang itu menganggap, bahwa orang-orang Tanah Perdikan itu tidak mau mengalami kesalahan, berbenturan dengan kawan sendiri.
Meskipun pasukan Jipang itu telah mempersiapkan perisai, namun ternyata bahwa anak-anak panah yang meluncur bagaikan hujan itu mampu menghambat gerak maju mereka. Dalam keremangan fajar, anak panah itu tidak dapat mereka lihat dengan jelas. Karena itu, maka prajurit yang berperisai telah mengangkat perisai mereka
sebagaimana mereka mempergunakannya melawan anak-anak panah tanpa mengetahui dengan pasti arah datangnya.
Dengan demikian, maka pasukan itu pun masih tetap bergerak maju selangkah demi selangkah yang terayun semakin cepat untuk memberikan tekanan pada benturan pertama. Meskipun satu dua orang di antara mereka terluka oleh anak-anak panah yang menyusup di antara perisai-perisai mereka.
Namun yang kemudian terjadi benar-benar diluar perhitungan mereka. Ketika jarak kedua pasukan itu menjadi semakin dekat, maka tiba-tiba saja orang-orang Tanah Perdikan telah melemparkan obor-obor mereka ke arah pasukan lawan yang mendekat.
Para prajurit Jipang memang terkejut karenanya. Untuk sejenak mereka melupakan anak panah yang menghujam. Mereka yang kakinya tersentuh api pun telah berloncatan. Namun dengan demikian, maka perisai-perisai mereka telah terbuka, sehingga ujung anak panah pun menyengat mereka.
Para pemimpin kelompok dari pasukan Jipang itu mengumpat. Dengan lantang seorang di antara mereka berteriak, “Jangan menjadi bingung.”
Tetapi jika api mulai membakar ujung kain panjang maka seorang prajurit telah melonjak-lonjak kepanasan, sehingga kawannya harus membantunya memadamkan api itu.
Pada saat yang demikian justru anak panahpun telah menghambur bagaikan semburan air. Di luar perhitungan, maka ternyata anak panah itu telah memungut banyak
korban yang luka-luka.
Semula memang ada niat untuk memilih sasaran, agar anak panah itu tidak terlalu mengarah kepada kelompok-kelompok anak-anak Tanah Perdikan. Namun karena malam
masih tersisa, sehingga orang-orang Tanah Perdikan dan sekitarnya tidak begitu
dapat membedakan sasaran. Ketika obor-obor dilemparkan, maka jarak kedua pasukan itu sudah menjadi semakin dekatnya, sehingga sulit bagi orang-orang Tanah
Perdikan untuk dapat membidik.
Sesaat kemudian, maka benturan kedua pasukan itu telah terjadi. Orang-orang Jipang justru telah dibakar oleh kemarahan yang membuat darah mereka mendidih.
Anak panah orang-orang Tanah Perdikan telah mengambil banyak korban kawan-kawan mereka sehingga luka-luka dan memerlukan perawatan, sehingga mereka telah dibawa kebelakang garis pertempuran.
TETAPI orang-orang Tanah Perdikan serta beberapa Kademangan disekitarnya
benar-benar telah bersiap. Meskipun mereka sadar, bahwa kemampuian mereka kurang berimbang, namun tekad mereka yang menggelora di dalam dada, agaknya mampu membuat pertahanan orang-orang Tanah Perdikan itu menjadi kuat. Demikianlah kedua pasukan itu pun kemudian telah berbenturan. Dalam sisi gelapnya dini hari menjelang fajar, kedua pihak tidak mampu memilih lawan.
Mereka harus berhadapan dengan orang-orang yang kebetulan bertemu dalam benturan itu.
Orang-orang Tanah Perdikan merasa betapa kerasnya benturan itu. Namun seperit yang dipesankan oleh beberapa orang pemimpin kelompok pasukan pengawal Tanah Perdikan itu, bahwa mereka harus memberikan hentakan pada benturan yang pertama. Itulah sebabnya maka terdengar dibeberapa bagian medan yang masih remang-remang itu teriakan-teriakan nyaring. Bahkan sorak yang gemuruh.
Sejenak kemudian, maka terjadilah pertempuran yang seru di antara kedua pasukan itu. Meskipun anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan masih belum banyak berpengalaman, namun tekad yang menyala di dalam setiap dada telah mempengaruhi tenaga dan kemampuan anak-anak muda itu.
Sebagaimana pesan yang pernah diberikan oleh para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan, mereka pun harus memakai akal untuk menahan desakan lawan. Karena mereka menyadari, sebagian di antara pasukan lawan itu adalah anak-anak muda Tanah Perdikan sendiri, maka dibeberapa bagian dari arena itu telah terdengar
teriakan-teriakan yang dengan sengaja mempengaruhi anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang berada di pihak pasukan Jipang.
Seorang pemimpin kelompok dari para pengawal Tanah Perdikan itu telah berteriak di antara suara dentang senjata beradu, “He anak-anak Tanah Perdikan ini. Apapun yang terjadi, kita akan mempertahankan kampung halaman kita. Tempat kita dilahirkan dan dibesarkan.”
Sementara itu orang lain pun telah menyahut, “Kita berjuang untuk kehormatan Tanah Kelahiran.”
Dalam pada itu, seorang perwira Jipang yang marah berteriak, “Pengkhianat. Kau kira kau mampu mengelabuhi kebenaran pandangan kami atas tingkah laku kalian? Setiap pengkhianat harus dihukum dengan hukuman yang paling berat.”
Namun yang terdengar adalah teriakan yang lain, “Kita berjuang untuk tanah ini. Untuk kelangsungan hidup anak-anak kami. Kita pertahankan setiap jengkal tanah warisan nenek kakek kita.”
Yang lain lagi berteriak nyaring, “Sedumuk bathuk, senyari bumi, taruhannya mati.” Teriak-teriakan yang bersahut-sahutan itu telah memacu setiap orang di dalam pertempuran itu untuk lebih memeras kemampuan mereka, meskipun mereka masing-masing menyadari, bahwa tenaga mereka tidak boleh terkuras habis pada benturan pertama itu.
Dalam pertempuran yang semakin panas itu, pergolakan yang keras bukan saja terjadi di arena. Tetapi di sebagian isi dada anak-anak Tanah Perdikan yang berada di lingkungan pasukan Jipang.
Bagaimanapun juga, ketika mereka berada diambang Tanah Perdikan yang sudah beberapa lama mereka tinggalkan, serta menghadapi perlawanan dari sanak kadang, kawan bermain dan barangkali keluarga sendiri, maka mereka pun merasa berada di ujung jalan simpang.
Lebih-lebih lagi mereka yang sejak semula telah menjadi ragu-ragu. Mereka yang telah disentuh oleh berbagai perasaan yang menggelitik hati. Bahkan ada di
antara mereka yang sebenarnya telah mengambil sikap pasti, namun belum menemukan jalan yang pantas untuk dilewatinya.
Pergolakan yang terjadi di dalam dada anak-anak muda Tanah Perdikan yang sudah berbenih sejak benturan-benturan terakhir di Pajang sebelah Timur itu, menjadi tumbuh dan mekar, sehingga terasa mempengaruhi sikap dan tata gerak mereka.
Namun bagaimanapun juga pertempuran itu merupakan pertempuran yang dahsyat. Benturan antara dua pasukan yang memiliki dorongan yang kuat untuk menghancurkan lawan.
TETAPI ternyata bahwa sejumlah anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang ada di antara pasukan Jipang tidak mampu untuk bertempur sepenuh hati karena pergolakan yang terjadi di dalam diri mereka. Dalam pada itu, untuk mencegah kemungkinan yang sangat parah, maka Tanah Perdikan Sembojan telah menebarkan orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Mereka sudah memperhitungkan, bahwa di dalam kegelapan, sulit bagi mereka untuk mencari lawan, sehingga karena itu, mereka harus menerima lawan yang datang kepada mereka.
Jika para pemimpin dan orang-orang yang berilmu tinggi ditebarkan, maka agaknya akan sangat membantu bagi para pengawal jika secara kebetulan mereka bertemu dengan orang-orang pilihan di lingkungan lawan.
Karena itulah, maka di induk pasukan, pada paruh gelar dari para pengawal Tanah Perdikan terdapat Iswari yang didampingi oleh Nyai Soka sendiri. Sementara itu, sebagai Senapati pengapit yang terdapat pada sebelah kiri dan kanan terdiri dari Kiai Soka dan Kiai Badra, sedangkan yang berada di antara induk gelar dan sayap sebelah menyebelah terdapat Gandar dan perempuan yang pernah disebut Serigala Betina yang telah dengan tekun menempa diri untuk menyadap ilmu dari Nyai Soka untuk melengkapi ilmu yang serba sedikit telah ada padanya. Sedangkan
diujung-ujung sayap terdapat Sambi Wulung dan Jati Wulung.
Di antara mereka terdapat para Bekel yang memang bertekad untuk ikut berjuang mempertahankan Tanah Perdikan itu. Namun Iswari telah berpesan, hanya mereka yang memiliki kemampuan sajalah yang dibenarkan untuk berada langsung di garis pertempuran, sementara yang lain diminta untuk berada di garis pertahanan kedua.
Para pengawal yang mempunyai kelebihan dari kawan-kawannya telah bersiap-siap untuk bertempur bersama para Bekel yang pada umumnya sudah berumur menjelang setengah abad. Namun justru karena itu, pada umumnya mereka telah memiliki pengalaman yang luas di dalam tugas mereka sejak pada masa pemerintahan yang tertib dari Ki Gede Sembojan.
Karena Ki Gede Sembojan adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, maka para Bekel pun pada umumnya berusaha juga untuk memiliki ilmu sejauh dapat mereka jangkau.
Di samping para pemimpin dari Tanah Perdikan Sembojan sendiri, maka beberapa orang murid Kiai Soka, Nyai Soka dan Kiai Badra di padepokan masing-masing, telah berada pula di medan. Meskipun jumlah mereka tidak banyak, tetapi mereka memiliki kemampuan lebih baik dari para pengawal yang dengan tergesa-gesa melatih diri. Sementara para murid di padepokan itu pada umumnya telah berguru dalam bilangan tahun.
Didalam gelar pasukan lawan, Panglima pasukan Jipang pun telah menebar Senapati. Tetapi para pemimpin anak-anak Tanah Perdikan Sembojan yang ada di antara mereka, agaknya tetap berada di satu kelompok. Mereka mempercayakan kekuatan sayap pasukan kepada para Senapati Jipang dan para pemimpin kelompok dari para pengawal Tanah Perdikan yang pernah ditempa oleh para perwira dari Jipang.
Warsi yang lebih banyak memerintah anak-anak muda Tanah Perdikan meskipun melalui mulut Ki Wiradana ternyata tidak berada di induk pasukan, karena di
induk pasukan terdapat Panglima pasukan Jipang. Warsi dan Ki Rangga Gupita telah berada di sisi sebelah kiri dalam kedudukan sebagai Senapati pengapit di samping Senapati yang sebenarnya dari Jipang. Namun karena kekuatan anak-anak muda Tanah Perdikan sebagian besar terletak disebelah menyebelah pasukan induk pada gelar, maka Warsi pun berada di antara mereka. Tetapi Ki Randukeling telah membawa Ki Wiradana justru berada disisi sebelah kanan.
Dalam benturan yang terjadi, maka ternyata orang-orang berilmu tinggi itu benar-benar telah bertempur dan tidak hanya sekadar bermain-main. Mereka
menyadari taruhan yang harus diberikan jika pasukan mereka dikalahkan. Meskipun orang-orang berilmu puncak, baik Kiai Soka, Kiai Badra dan juga Ki Randukeling tidak berniat untuk membunuh lawan sebagaimana menebas ilalang dengan parang setajam pisau cukur, namun mereka benar-benar berniat melumpuhkan lawan sebanyak-banyaknya.
“YA. Sejak semula sudah aku sadari. Karena itu,mungkin pembicaraan kita tidak akan bertemu,” jawab Kiai Soka. “Nah, sekarang kita harus menyelesaikan persoalan diluar pembicaraan.” Ki Randukeling mengangguk. Namun ia pun masih berpaling ke arah Ki Wiradana yang tiba-tiba saja sudah berhadapan dengan seorang Bekel yang dibantu oleh dua orang pengawal Tanah Perdikan. “Aku kasihan kepadanya,” berkata Ki Randukeling. “Istrinya, cucuku sendiri, ternyata telah menghancurkan hidup dan masa depannya. Tetapi itu adalah akibat kesalahannya sendiri. Apalagi
setelah hadir seorang petugas sandi Jipang yang bernama Ki Rangga Gupita itu.” “Tetapi kau tetap saja pada langkah-langkahmu yang sesat,” berkata Kiai Soka. “Jangan menyebut dengan kata-kata yang menyakitkan itu,” berkata Ki Randukeling. “Sudah aku katakan, aku memandanginya dari sudut yang berbeda daripada yang kau lakukan.”
Kiai Soka mengangguk-angguk. Namun Ki Randukelinglah yang kemudian berkata, “Baiklah. Kita akan bertempur. Kali ini kita memang akan bersungguh-sungguh.” Kiai Soka tidak menjawab. Tetapi apapun segera mempersiapkan diri. Ia sadar bahwa yang dihadapinya adalah seorang tua yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.”
Sejenak kemudian keduanya telah mulai terlibat dalam pertempuran. Perlahan-lahan ilmu keduanya menjadi semakin meningkat, sehingga keduanyapun telah membuat satu lingkaran yang ternyata harus dijauhi oleh orang-orang lain di dalam pasukan
masing-masing, karena ilmu yang kemudian terlontar dari keduanya merupakan ilmu yang sulit untuk dimengerti. Sementara itu, Ki Wiradana masih juga bertempur menghadapi salah seorang Bekel yang pernah diperintahnya bersama dua orang pengawal Tanah Perdikan Sembojan. Meskipun Ki Wiradana itu mempunyai bekal ilmu, tetapi gejolak di dalam dadanya menghadapi kenyataan itu telah membuat terkekang oleh perasaannya sendiri. Ia tidak dapat mengerahkan segenap kemampuannya untuk membunuh lawan-lawannya, karena bagaimanapun juga, pengakuan dari langkah-langkahnya yang sesat serta penyesalan yang dalam selalu membayanginya.
Namun lawannya pun bukan orang yang tidak berperasaan. Ki Bekel yang pernah menjadi bawahan Ki Wiradana itu pun agaknya ragu-ragu untuk menghentakkan kemampuannya bersama kedua orang pengawalnya. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran itu pun bukan merupakan pertempuran yang seru dan puncak kemampuan masing-masing.
Tetapi dibagian lain, orang-orang Jipang benar-benar menjadi keras dan kasar. Mereka telah mendapatkan perintah untuk membunuh sebanyak-banyaknya tanpa dikekang oleh perasaan atau pertimbangan-pertimbangan lain.
Namun para pengawal Tanah Perdikan Sembojan pun telah berbekal tekad yang membara di dalam hati. Dalam jumlah yang cukup banyak mereka bertempur tanpa mengenal takut. Berbekal latihan-latihan yang bersungguh-sungguh, meskipun waktunya tidak cukup panjang, serta tekad yang menyala, maka mereka menjadi lawan yang tangguh bagi pasukan Jipang.
Di bagian lain, ternyata para prajurit Jipang telah dikejutkan oleh kehadiran seorang perempuan yang bertubuh agak gemuk dan kokoh. Perempuan yang pernah disebut dengan Serigala Betina. Ternyata setelah menempa diri dibawah bimbingan Nyai Soka, maka ia benar-benar telah memiliki ilmu yang tinggi meskipun belum setataran dengan Iswari yang telah tuntas ing kawruh kanuragan.
Namun ternyata bahwa perempuan yang agak gemuk itu telah mengacaukan garis pertempuran para prajurit Jipang.
Kehadiran Serigala Betina itu telah mempengaruhi garis perang yang cukup panjang. Beberapa orang prajurit Jipang harus memperhatikan kehadirannya yang mencemaskan itu, karena setiap ayunan senjatanya akan dapat berakibat maut bagi lawan-lawannya.
Dalam pada itu, disisi lain dari gelar yang lebar itu, Warsi dan Ki Rangga Gupita telah mematahkan setiap perlawanan anak-anak muda Tanah Perdikan
Sembojan. Namun mereka tidak dapat dengan leluasa melakukan pembunuhan, karena kehadiran Kiai Badra yang menjadi Senapati pengapit.
Dengan sareh Kiai Badra berkata, “Luar biasa. Kalian mengamuk sebagai harimau kelaparan. Harimau yang berpasangan seperti ini agaknya memang sangat berbahaya.”
“SETAN kau,” bentak Ki Rangga Gupita. “Agaknya kau yang lebih dahulu harus dibunuh.” Kiai Badra tertawa. Katanya, “Jangan bersikap terlalu keras dan kasar terhadap orang tua.” “Apa peduliku,” jawab Warsi yang garang. “Kita berada dipeperangan. Coba tunjukkan kepadaku, dimana perempuan yang disebut pemimpin Tanah Perdikan Sembojan itu.”
“Jangan mencari yang tidak kau jumpai. Pasukan Jipang itu sudah melanggar paugeran. Sebelum matahari terbit, gelar perang yang utuh ini telah menyerang. Karena itu, kita tidak perlu memilih lawan. Siapapun yang kita jumpai dalam gelapnya dini hari, itu adalah lawan kita. Ketika kemudian langit menjadi
terang, maka kita pun baru tahu dengan jelas, siapakah yang berhadapan dengan kita dalam susunan gelar yang bagaimana,” jawab Kiai Badra.
Warsi tidak menjawab lagi. Ia pun dengan serta merta telah menyerang Kiai Badra dengan garangnya disusul oleh Ki Rangga Gupita yang berbekal ilmu yang tinggi pula.
Namun Kiai Badra adalah orang tua yang memiliki kemampuan dan pengalaman yang sangat luas. Itulah sebabnya, bahwa meskipun ia harus berhadapan dengan dua
orang yang berilmu tinggi, namun Kiai Badra masih mampu melindungi dirinya. Dibagian yang lebih jauh dari induk pasukan, Gandar yang garang itu pun telah bertempur tanpa kendali sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Jipang. Semakin garang orang-orang Jipang menyerangnya, maka semakin banyak pula korban yang jatuh. Namun akhirnya Gandar pun berada seakan-akan dalam kepungan, karena beberapa orang perwira Jipang dan pemimpin kelompok Tanah Perdikan Sembojan sendiri telah menempatkan diri untuk melawannya.
Demikian pula terjadi di ujung-ujung sayap gelar. Sambi Wulung dan Jati Wulung ternyata harus berhadapan dengan kelompok-kelompok yang kuat. Ayah Warsi yang juga berada diujung sayap sebagaimana orang yang pernah diakunya sebagai ayahnya diujung yang lain namun mereka tidak mampu mengimbangi lawannya yang kuat seorang diri.
Ayah Warsi yang pernah menyebut dirinya sebagai seorang saudagar itu ternyata tidak mampu melawan Sambi Wulung yang berilmu tinggi melampaui tataran kemampuannya. Itulah sebabnya, maka beberapa prajurit Jipang harus membantunya dan bersama-sama melawan pimpinan pasukan Tanah Perdikan yang berada di ujung sayap itu.
Lebih-lebih lagi orang yang pernah menjadi ayah Warsi, pengendang pada saat Warsi menjadi penari yang menyusup ke Tanah Perdikan Sembojan. Ia sama sekali tidak banyak berarti dihadapan Jati Wulung, sehingga seperit disayap yang lain, maka Jati Wulung pun harus melawan beberapa orang prajurit Jipang.
Namun para pengawal Tanah Perdikan Sembojan pun tanggap akan keadaan. Mereka tidak membiarkan Jati Wulung terkepung. Para pengawal itu pun telah berusaha untuk membantu memecahkan kepungan itu bersama-sama dengan kemampuan yang tinggi
dari Jati Wulung sendiri.
Meskipun demikian, beberapa kekuatan yang lebih tinggi dari kemampuan para perwira Jipang tidak berhasil mencegah kekuatan pasukan Jipang dalam keseluruhan mendesak pasukan Tanah Perdikan Sembojan. Sebagaimana sudah diperhitungkan, maka
dalam benturan yang keras, pasukan Tanah Perdikan Sembojan harus lentur. Pasukan Tanah Perdikan itu memang disiapkan untuk menarik diri sampai garis pertahanan kedua yang akan menumpu kekuatan pasukan Tanah Perdikan Sembojan memantul kembali mendesak pasukan lawan dengan kekuatan baru. Pada saat yang diperhitungkan, pasukan digaris pertahanan ke dua itu akan memasuki medan sehingga membuat satu hentakan yang diharapkan akan berpengaruh atas pasukan lawan.
Karena itu, maka para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan yang seharusnya tidak merasa terdesak oleh lawan harus menyesuaikan diri dengan gerak mundur pasukan Tanah Perdikan dalam keseluruhan. Gelar pasukan Tanah Perdikan itu tidak boleh koyak, sehingga lawan akan dapat menyusup kedalamnya.
Demikianlah, pada saat langit menjadi terang, pasukan Tanah Perdikan Sembojan mulai bergerak mundur. Namun dengan perhitungan dan latihan-latihan yang matang sebelum peristiwa sebenarnya itu terjadi, maka gelar pasukan Tanah Perdikan itu memang tidak dapat dikoyak oleh lawan, meskipun kekuatan pasukan Jipang itu memang cukup besar dan mampu mengguncang pertahanan Tanah Perdikan.
TETAPI para pemimpin dan bahkan para pengawal Tanah Perdikan sudah menyadarinya sejak semula. Meskipun anak-anak muda Tanah Perdikan ditambah dengan anak-anak muda beberapa Kademangan di sekitarnya mencapai jumlah yang memadai, namun kemampuan secara pribadi antara setiap orang didalam kedua pasukan itu tidak setataran.
Namun beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan Sembojan yang memiliki ilmu yang tinggi itu ternyata ikut menentukan ketahanan perlawanan pasukan Tanah Perdikan Sembojan, karena kemampuan mereka harus dinilai sebagaimana sekelompok prajurit Jipang itu sendiri.
Gerak mundur pasukan Tanah Perdikan Sembojan itu agaknya telah membesarkan hati para prajurit Jipang. Mereka menyangka, bahwa perlawanan pasukan Tanah Perdikan Sembojan itu sudah akan sampai pada akhirnya. Karena itu, maka mereka pun telah mendesak pasukan yang mundur itu dengan segenap kemampuan yang ada. Para Senapati mereka telah meneriakkan aba-aba yang keras untuk semakin menekan pasukan Tanah Perdikan.
Tetapi para pengawal Tanah Perdikan Sembojan dan anak-anak muda dari beberapa Kademangan di sekitarnya, sama sekali tidak merasa terdesak. Mereka memang dengan sengaja bergerak mundur untuk mencapai sandaran yang lebih kuat. Semakin cepat gerak mundur itu, terasa semakin baik bagi mereka.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian maka mereka telah mendekati batas pertahanan ke dua dari pasukan Tanah Perdikan Sembojan. Demikian orang-orang Jipang itu meneriakkan kemenangan mereka, tiba-tiba saja terdengar sorak yang menggelegar dibalik pasukan Tanah Perdikan. Tiba-tiba dari balik pematang dan rimbunnya batang jagung disawah, berloncatan anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan dan Kademangan disekitarnya. Dengan senjata ditangan, serta teriakan-teriakan
nyaring mereka telah memasuki gelar pasukan Tanah Perdikan Sembojan.
Kehadiran mereka memang mengejutkan. Saat itulah yang harus dipergunakan
sebaik-baiknya. Ketika orang-orang Jipang masih termangu-mangu, maka ujung-ujung senjata pun semakin mendesak mereka. Bahkan ujung-ujung senjata itu telah
tergores dikulit daging mereka yang tidak sempat menanggapi keadaan dengan cepat.
Pertempuran pun menjadi semakin dahsyat. Kehadiran kekuatan baru itu benar-benar telah menahan arus kekuatan pasukan Jipang.
Namun prajurit Jipang yang berpengalaman itu pun segera menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru. Para Senapati pun telah meneriakkan aba-aba. Demikian juga para pemimpin berpengalaman itu pun segera menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru. Para Senapati pun telah meneriakkan aba-aba.
Demikian juga para pemimpin kelompok anak-anak muda Tanah Perdikan yang berada di lingkungan pasukan Jipang itu. Para pemimpin kelompok yang setia kepada Ki Wiradana tanpa mengetahui kegoncangan hati Ki Wiradana sendiri. Bagi mereka, orang-orang Tanah Perdikan Sembojan yang berani menentang Ki Wiradana adalah pengkhianat yang harus dihancurkan sebagaimana dikatakan oleh para pemimpin Jipang. Bahkan Panglima pasukan Jipang itu pernah juga langsung memerintahkan membunuh semua pengkhianat, siapapun mereka. Bahkan saudara sendiri.
Karena itu, maka pertempuran itu pun menjadi semakin seru.
Namun kelebihan setiap pribadi di dalam pasukan Jipang termasuk anak-anak Sembojan sendiri, memang mempunyai pengaruh yang besar terhadap pertempuran itu.
Untuk beberapa saat pertempuran itu berlangsung seru. Dibeberapa tempat tertentu, pasukan Jipang telah dicemaskan oleh beberapa orang yang memiliki
kemampuan yang sangat tinggi. Di antara beberapa pemimpin pasukan Tanah Perdikan Sembojan menunjukkan bahwa mereka tidak akan dapat dihancurkan meskipun diusahakan untuk melawannya dalam kelompok-kelompok khusus, karena para pengawal
Tanah Perdikan Sembojan sendiri tidak membiarkannya. Bahkan kerja sama di antara anak-anak muda Tanah Perdikan itu dengan para pemimpinnya yang berilmu tinggi, mampu menghambat gerak maju pasukan Jipang.
NAMUN ternyata bahwa pasukan Tanah Perdikan itu harus mengakui kelebihan pasukan
Jipang. Di induk pasukan, Iswari telah bertempur dengan segenap kemampuannya. Tetapi karena di induk pasukan lawan, kekuatan utama pasukan dipusatkan, maka Iswari justru lebih banyak berusaha untuk melindungi anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan meskipun kelebihannya kadang-kadang memang menggetarkan jantung para prajurit Jipang.
Sedangkan disamping Iswari, Nyai Soka pun telah berbuat serupa. Ia pun lebih banyak berusaha untuk menyelamatkan anak-anak muda Tanah Perdikan dari kegarangan para prajurit Jipang.
Sementara itu Panglima pasukan Jipang itu pun telah bertempur tanpa kekang sama sekali. Ia tidak peduli, siapakah yang dihadapinya. Senjatanya berputaran, terayun dan mematuk. Setiap kali terdengar seorang mengeluh karena ujung senjata Panglima pasukan Jipang itu menyentuh sasaran.
Namun akhirnya, Panglima pasukan Jipang itu membentur perlawanan yang mengejutkan. Ketika Iswari kemudian menghadapinya, maka seolah-olah ia tidak mempunyai kesempatan sama sekali.
Seorang pengawal Tanah Perdikan yang terpercaya, diapit oleh dua orang terbaik telah mendapat kepercayaan Iswari untuk memegang tunggul yang diterimanya dari Pajang. Tetapi sesuai dengan pendapat Nyai Soka, bahwa tunggul itu harus dibawa dibelakang garis perang, justru karena pasukan Jipang yang sangat kuat.
Panglima pasukan Jipang yang bertemu dengan Iswari di medan pertempuran itu pun menggeram. Ketika Iswari telah berada dihadapannya, barulah Panglima itu jelas, bahwa orang yang menghadapinya itu adalah seorang perempuan.
“Kenapa kau?” bertanya Panglima itu. “Apakah tidak ada Senapati laki-laki di antara pasukanmu?”
“Sudahlah,” berkata Iswari. “Kita sudah berhadapan disini. Marilah kita uji, siapakah yang paling baik di antara kita. Aku kecewa melihat sikapmu terhadap anak-anak ingusan. kau telah membabatnya seperti membabat batang ilalang.” “Bukankah kita berada di medan perang?” bertanya Panglima itu.
“Perlakukan aku seperti itu. Bukankah kita berada dimedan?” sahut Iswari. “Baiklah. Aku akan bersikap serupa,” jawab Panglima itu. “Agaknya aku tahu siapakah yang aku hadapi. Bukankah kau yang disebut-sebut bernama Iswari yang mengaku memimpin Tanah Perdikan Sembojan ini?”
“Aku bukan sekadar mengaku. Aku memang pemimpin Tanah Perdikan ini. Dibelakang ada tunggul pertanda limpahan kekuasaan dari Pajang. Sementara itu aku juga memegang pertanda kuasa Kepala Tanah Perdikan ini.”
“Kau tentu telah mencurinya,” berkata Panglima itu. “Yang berkuasa di atas Tanah Perdikan ini adalah Ki Wiradana.”
“Ia tidak ada di atas Tanah Perdikan ini,” jawab Iswari.
“Ia telah diusir oleh pengkhianat kalian. Dan kini kembali untuk memperoleh haknya,” jawab Panglima itu.
“Tidak ada tempat lagi baginya di Tanah Perdikan ini,” sahut Iswari kemudian. Panglima itu tidak menjawab lagi. Ia memang berniat menghancurkan saja Iswari yang sombong itu. Sebagai seorang Panglima pasukan Jipang, maka Panglima itu tentu memiliki ilmu yang mumpuni. Karena itu, maka sejenak kemudian, ia pun telah menyerang Iswari dengan senjatanya. Sebuah pedang yang panjang dan besar, sesuai dengan ujud tubuhnya yang tinggi dan kekar.
Namun ternyata Iswari memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Untuk menghadapi pedang yang besar dan berat serta panjang itu Iswari memilih senjata sebatang tombak pendek.
Sejenak kemudian terjadi pertempuran yang sangat seru di antara kedua orang pemimpin itu. Panglima itu memang seorang yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Dilandasi dengan ilmunya, maka ia adalah seorang yang sangat berbahaya. Namun Iswari memiliki bekal ilmu linuwih. Karena itu, maka meskipun ia seorang perempuan dengan tubuh sedang, namun dengan melepaskan tenaga cadangannya, maka
kekuatan Iswari tidak kalah dari kekuatan lawannya.
KARENA itu, ketika terjadi benturan senjata, lawannya benar-benar menjadi heran. Apalagi ketika mereka menjadi lama bertempur. Beberapa hal yang dilakukan Iswari ternyata tidak mampu diurai dengan nalarnya. Sehingga karena itu, maka Panglima itu pun hampir saja kebingungan.
Namun ketika ia selalu terdesak surut, maka ia pun telah memberikan isyarat kepada dua orang pengawal khususnya untuk ikut menyelesaikan perempuan yang bernama Iswari itu.
Meskipun demikian, namun di bagian-bagian lain, pasukan Tanah Perdikan
benar-benar telah terdesak. Betapapun mereka bertahan, namun prajurit Jipang dan anak-anak muda Tanah Perdikan yang setia kepada Ki Wiradana pun telah mendesak mereka tanpa belas kasihan sebagaimana para prajurit di medan perang.
Beruntunglah bagi pasukan Tanah Perdikan, bahwa sebagian dari anak-anak muda Tanah Perdikan itu masih saja menjadi ragu-ragu. Seorang di antara mereka yang pernah berada di lingkungan pasukan Pajang dan atas kehendaknya sendiri kembali ke tengah-tengah pasukan Jipang, ternyata tidak tahan lagi melihat
kawan-kawannya yang mempertahankan tanah kelahirannya mengalami kesulitan. Beberapa orang kawan-kawannya telah tertusuk senjata di dada. Bahkan yang lain telah terbunuh dengan lambung terkoyak.
Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berteriak, “He, anak-anak Tanah Perdikan Sembojan. Apakah kalian masih saja menjadi gila dan tidak tahu diri bertempur melawan keluarga sendiri? Sejak berangkat dari Tanah Perdikan ini aku sudah ragu, untuk apakah sebenarnya kami mempertaruhkan nyawa?”
Kata-katanya tidak tuntas. Tiba-tiba seorang menyerangnya. Namun ia mampu mengelak. Bahkan tiba-tiba saja ia telah meloncat menyusup di antara pertempuran dan sedikit menimbulkan kebingungan.
Ternyata anak muda itu hilang ditelan pasukan Tanah Perdikan Sembojan. Untunglah bahwa ia cepat meyakinkan anak-anak muda Tanah Perdikan, bahwa ia telah berpihak kepada mereka.
“Jangan salah mengerti,” berkata anak muda itu. “Jika kalian dapat menunjukkan dimana Gandar, maka ia tahu pasti, bahwa aku benar-benar ingin berada di antara kalian.”
Dua orang pengawal telah membawanya kepada Gandar. Dengan senang sekali Gandar menerimanya untuk bertempur bersamanya.
Bukan hanya anak muda itu. Ketika anak muda itu sekali lagi meneriakkan keyakinannya, maka beberapa orang anak muda yang lain pun pendiriannya mulai mantap. Keragu-raguan yang sudah lama disimpannya tiba-tiba saja meledak tidak tertahankan lagi.
Karena itulah, maka kemudian berturut-turut beberapa orang anak muda telah berlari menyusup garis benturan dan menyatakan diri berpihak kepada pasukan Tanah Perdikan.
Sikap itu ternyata menjalar. Namun para prajurit Jipang pun akhirnya menyadari apa yang terjadi. Demikian pula para pengawal yang setia kepada Ki Wiradana.
Karena itu, jika seseorang nampak meragukan, tanpa peringatan lagi ujung pedang telah menikamnya. Mungkin oleh prajurit Jipang tetapi mungkin oleh kawannya sendiri yang juga berasal dari Tanah Perdikan Sembojan.
TETAPI ternyata bahwa sikap para prajurit Jipang dan sebagian anak-anak muda yang setia kepada Ki Wiradana itu tidak menakut-nakuti mereka. Ketika sekelompok kecil pengawal yang berada di lingkungan prajurit Jipang itu menentukan sikap meskipun sebelumnya tidak pernah dibicarakannya, maka justru telah terjadi pertempuran diantara anak-anak Tanah Perdikan sendiri yang berada di lingkungan prajurit Jipang.
Namun prajurit-prajurit Jipang tidak sempat membantu menghancurkan anak-anak muda yang dianggap berkhianat itu. Apalagi ketika dengan sekuat tenaga,
anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang melihat keadaan itu telah menghentakkan kekuatannya betapapun kecilnya untuk mencabik kekuatan prajurit-prajurit Jipang yang harus menghadapi dua medan. Apalagi
prajurit-prajurit Jipang itu merasa telah ditikam dari belakang oleh anak-anak muda Tanah Perdikan yang mereka anggap berkhianat itu.
Karena keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya, maka para prajurit Jipang itu pun telah kehilangan sesaat, sehingga anak-anak muda Tanah Perdikan yang sekelompok itu sempat berlari menyusup garis pertempuran dan kemudian berada di antara kawan-kawan dan saudara-saudaranya.
“Disinilah tempat kita,” teriak pemimpin kelompok yang ikut berbalik itu. “Aku sudah merasa berada di dalam kandang sendiri. Nah, sekarang kematianku bukan soal lagi.”
Sebenarnyalah, beberapa orang anak muda masih saja berusaha untuk menyusup keluar dari barisan pasukan Jipang dan memasuki barisan Tanah Perdikan Sembojan, meskipun ada di antara mereka yang tidak sempat melakukannya karena ujung pedang yang membelah kulit daging.
Dengan demikian, maka keseimbangan pun perlahan-lahan telah berubah. Pasukan Jipang tidak lagi dengan mudah dapat mendesak pasukan Tanah Perdikan Sembojan. Beberapa kelompok anak muda Tanah Perdikan yang memiliki kemampuan prajurit justru telah berada di antara saudara mereka sendiri, bertempur melawan prajurit Jipang. Namun ternyata ada di antara mereka yang telah bertemu dengan kawan sekelompok yang masih tetap berada di antara pasukan Jipang.
“Kau juga berkhianat,” geram kawannya yang masih berada di antara pasukan Jipang.
“Akhirnya aku memutuskan untuk memilih,” jawab kawannya yang sudah berbalik. “Aku melihat kenyataan ini. Bukan sekadar ceritera sebagaimana pernah aku dengar di Pajang. Lebih baik aku membunuhmu daripada aku membunuh adik-adikku yang masih belum trampil mempermainkan senjata.”
“Persetan,” geram kawannya yang marah sambil menikam.
Tetapi yang ditikam sempat mengelak dan berkata, “Atau sadari apa yang kau hadapi. Mungkin di antara pasukan Tanah Perdikan itu terdapat ayahmu.”
“Aku tidak peduli,” jawab kawannya yang masih tetap berada di tataran pasukan Jipang.
Dengan demikian maka pertempuran itu pun menjadi semakin seru. Namun tanpa dirasakan, selangkah demi selangkah pasukan Tanah Perdikan Sembojan memang terdesak surut. Meskipun dibeberapa tempat sekelompok pasukan yang berada disekitar orang-orang berilmu tinggi mampu mendesak, namun dalam keseluruhan pasukan Tanah Perdikan itu surut. Jika orang-orang berilmu tinggi itu tidak mau menyesuaikan diri, maka akhirnya pasukan itu memang akan terkoyak dan
orang-orang berilmu tinggi itu akan berpisah dan terperosok ke dalam lingkungan lawan. Karena itu sambil melindungi anak-anak muda yang berada disekitarnya, mereka pun ikut pula bergeser selangkah demi selangkah.
Iswari benar-benar gelisah mengalami keadaan ini. Ia tidak ingin menarik diri. Ia ingin bertahan sampai orang yang terakhir. Namun ketika ia berada dimedan, maka ia pun tidak sampai hati melihat korban yang berjatuhan bergelimpangan berlumuran darah.
“Apakah pasukan ini pada saatnya harus mati semuanya,” bertanya Iswari kepada diri sendiri.
Namun pasukannya masih mampu bertahan meskipun semakin lama menjadi semakin mendekati padukuhan.
“JIKA pasukan ini terdesak sampai ke padukuhan, maka kemungkinan pasukan ini pecah menjadi semakin besar,” berkata Iswari di dalam hatinya sambil menghadapi Panglima pasukan Jipang dan kadang-kadang sempat juga melindungi anak-anak muda yang bertempur disekitarnya. Namun tidak dapat diingkari satu kenyataan bahwa pasukan Tanah Perdikan Sembojan dalam keseluruhan gelar telah terdesak mundur, betapapun pasukan itu bertahan tanpa mengenal takut sama sekali. Bahkan
dibeberapa tempat terdapat anak-anak muda yang kurang diperhitungkan dan bagaikan membunuh diri menyerbu ke dalam barisan lawan.
Prajurit-prajurit Jipang adalah prajurit yang berpengalaman. Namun menghadapi anak-anak muda yang seolah-olah membunuh diri tanpa mengenal takut itu, terasa bulu tengkuk mereka meremang juga.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka padukuhan terdekat itu pun telah berada beberapa puluh langkah saja dibelakang pasukan Tanah Perdikan Sembojan. Beberapa saat lagi, maka pasukan itu akan terdesak masuk sehingga pecahlah gelar yang telah disusun dan dipersiapkan dengan rapi.
Tetapi Iswari tidak dapat meneriakkan aba-aba untuk bertahan apapun yang terjadi. Ia sudah melihat banyaknya korban yang jatuh dikedua belah pihak.
Anak-anak muda Tanah Perdikan yang kurang memiliki bekal telah bertempur tanpa mengenal takut.
Iswari justru menjadi gelisah karenanya. Bahkan kemudian ia pun hampir kehilangan akal. Ia mempunyai kemampuan yang sangat tinggi sehingga ia dapat mengesampingkan pesan kemanusiaan, maka ia akan dapat memperingan tekanan pasukan lawan dengan bertempur tanpa menghiraukan dasar-dasar penalaran kemanusiaan. Namun dengan demikian maka ia akan dapat disebut sebagai seorang yang biadab.
“Tetapi apa boleh buat,” berkata Iswari. “Jika benar aku menjadi biadab,
semata-mata karena aku ingin melindungi pasukanku yang diperlakukan dengan biadab pula.”
Bahkan Iswari pun kemudian mengharap bahwa orang-orang lain dalam pasukannya yang memiliki ilmu yang tinggi, akan melakukan pula demi untuk mempertahankan Tanah Perdikan Sembojan.
Dalam kebimbangan itu tiba-tiba seluruh pasukan kedua belah pihak di dalam gelar yang sedang berbenturan itu terkejut. Mereka dari kedua belah pihak ternyata
telah mendengar suara bende yang mengumandang menggetarkan udara. Suara bende yang nadanya berbeda dengan suara bende pasukan Jipang.
“Siapa?” tiba-tiba terdengar Panglima pasukan Jipang itu bergumam.
Iswari tidak mengendorkan serangannya. Meskipun ia belum memasuki tingkat yang disebutnya sendiri diluar peradaban, namun serangan-serangannya cukup membuat lawannya kadang-kadang kebingungan. Panglima yang bertempur berpasangan dengan dua orang pengawalnya yang terpercaya itu banyak mengalami kesulitan sehingga kadang-kadang mereka harus berloncatan mengambil jarak.
Sebenarnyalah suara bende itu telah menggetarkan arena. Semakin lama menjadi semakin dekat.
Dua orang petugas sandi dari Pajang itu pun mendengar suara bende yang mengumandang. Sejenak keduanya menegang. Namun sejenak kemudian mereka melihat
sekelompok pasukan yang datang mendekati arena.
“Mereka telah datang,” berkata salah seorang dari petugas sandi itu.” “Hanya sekelompok,” sahut yang lain.
Kawannya mengangguk-angguk. Yang datang itu memang hanya sekelompok pasukan Pajang yang cepat dijangkau oleh penghubung. Namun yang lain akan datang menyusul.
“Yang lain tentu masih cukup lama,” berkata petugas sandi yang pertama itu. “Ya. Sekelompok ini pun datang terlambat menurut perhitungan kita. Yang lain tentu lewat tengah hari atau bahkan di sore hari,” berkata yang lain. Tetapi katanya kemudian, “Mudah-mudahan yang sekelompok ini mempunyai arti.”
Kehadiran sekelompok prajurit Pajang itu telah menimbulkan berbagai perasaan pada mereka yang sedang bertempur. Umbul-umbul dan ciri-ciri yang ada, meskipun hanya sekadarnya, menunjukkan bahwa pasukan itu adalah pasukan Pajang.
ORANG-ORANG Jipang yang kemudian juga melihat kedatangan pasukan itu telah mengumpat-umpat. Meskipun pasukan itu hanya pasukan kecil, tetapi sekelompok prajurit Pajang itu tentu mempunyai arti yang besar bagi pertempuran itu.
Sementara itu, orang-orang Tanah Perdikan Sembojan merasa, bahwa pasukan kecil itu tentu akan dapat mengubah keseimbangan pertempuran yang sengit itu. Dalam pada itu, Panglima pasukan Jipang yang marah itu pun kemudian berteriak lantang, “Hancurkan lawan sekarang juga. Kita akan segera menyambut lawan lain yang baru.”
Perintah itu pun disambut dan diteriakkan pula oleh setiap pemimpin kelompok, sehingga para prajurit Jipang itu pun telah menghentakkan kemampuan mereka. Namun para pengawal Tanah Perdikan itu pun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Karena di antaranya terdapat anak-anak muda yang semula berada di pihak Jipang, maka mereka pun dapat mengimbangi kemampuan lawan-lawannya yang setia kepada Ki Wiradana serta prajurit-prajurit Jipang.
Demikianlah, sejenak kemudian sekelompok pasukan Pajang itu telah mendekati arena. Kedua orang petugas sandi Pajang itu telah berlari-lari melingkari arena yang lebar dan berusaha untuk dapat mencapai pasukan Pajang itu.
Dengan singkat petugas sandi itu memberikan laporan kepada Senapati yang memimpin sekelompok pasukan Pajang itu. Kemudian mempersilakan pasukan itu mengambil sikap.
“Baiklah,” berkata Senapati Pajang itu. “Kami akan memasuki arena dari arah kami datang. Beritahukan kepada pemimpin pasukan Tanah Perdikan.”
Kedua orang petugas sandi itu pun kemudian kembali kepada pasukan Tanah Perdikan setelah mempersilakan Senapati Pajang itu terjun ke dalam pertempuran.
“Pasukan Tanah Perdikan Sembojan sudah terlalu letih,” berkata petugas sandi itu.
Sebenarnyalah bahwa anak-anak Tanah Perdikan yang belum berpengalaman itu merasa muai menjadi letih. Mereka telah mengerahkan tenaga mereka untuk bertahan agar pasukan Tanah Perdikan itu tidak pecah. Namun ternyata pertempuran itu berlangsung berkepanjangan, sehingga pada suatu saat mereka tentu akan kehabisan tenaga.
Dalam pada itu, seorang pemimpin kelompok yang bertugas di bagian belakang gelar pasukan Jipang melihat pasukan Pajang itu mendekat. Meskipun tidak terlalu
besar, tetapi pasukan itu tentu akan sangat berpengaruh. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa ia pun berusaha mencari hubungan dengan Panglima pasukan Jipang. Tetapi Panglima pasukan Jipang itu sedang sibuk melayani seorang perempuan yang garang. Karena itu, maka ia pun telah berteriak, “Panglima, pasukan Pajang itu datang dan akan turun ke arena dari arah belakang gelar.”
“Sesuaikan dirimu. Hancurkan pula mereka dengan kelompok-kelompok di ekor pasukan,” perintah Panglima pasukan Jipang itu sambil bertempur melawan Iswari bersama dua orang pengawalnya.
Pemimpin kelompok itu pun segera kembali ke tempatnya. Ia pun telah meneriakkan perintah itu kepada kelompoknya untuk menarik diri dari pertempuran mereka melawan orang-orang Tanah Perdikan Sembojan. Bahkan ia telah menghubungi dua orang pemimpin kelompok yang lain untuk melakukan langkah serupa menghadapi pasukan Pajang yang tidak terlalu besar itu.
Senapati yang memimpin pasukan Pajang itu pun untuk beberapa saat mengawasi arena yang riuh. Namun Senapati itu merasakan dengan naluri keprajuritannya, bahwa pasukan Jipang memang akan semakin mendesak pasukan Tanah Perdikan Sembojan jika tidak ada bantuan yang datang.
“Untunglah bahwa kita masih berangkat lebih dahulu,” berkata Senapati pasukan Pajang itu kepada seorang perwira pambantunya. “Jika kita menunggu pasukan induk, maka pasukan Tanah Perdikan itu tidak akan mampu bertahan lagi.”
“Ya,” desis perwira itu. “Agaknya kita pun harus segera memasuki arena.”
Senapati itu pun kemudian memerintahkan pasukannya yang tidak begitu besar itu menebar. Tebarannya tidak dapat menjangkau dari ujung sampai ke ujung gelar.
Namun pasukan Pajang itu mampu membayangi seluruh pasukan di pusat gelar lawan. SENAPATI Pajang itu telah memerintahkan sekali lagi agar membunyikan suara bende sebagai tengara, bahwa pasukannya akan memasuki medan. “Kita tidak menyerang mereka dengan diam-diam dari belakang,” berkata Senapati itu.
Ketika bende itu ditabuh, maka terdengar sorak orang-orang Tanah Perdikan itu membahana bagaikan meruntuhkan langit. Mereka yang sudah mulai merasa letih pun seakan-akan telah mendapatkan kekuatan baru, sehingga tenaga mereka seolah-olah bertambah.
Sementara itu, kekuatan Jipang di induk pasukan pun menjadi berkurang. Sebagian dari mereka telah ditarik mundur untuk menghadapi prajurit Pajang yang menyerang dari belakang. Sementara itu pasukan yang ada disebelah menyebelah pusat gelar
itu pun telah berkerut untuk mengisi kekosongan pasukan di pusat gelar.
Dengan kehadiran pasukan Pajang itu, maka keseimbangan pertempuran itu pun dengan cepat berubah. Pasukan Jipang yang harus menghadapi lawan dari dua arah itu mengalami kesulitan, karena kedua belah pihak berusaha untuk menekan dan menjepit pusat gelar pasukan Jipang.
Panglima pasukan Jipang itu pun kemudian memutuskan untuk meninggalkan lawannya,
karena ia harus mengatur perlawanan dari dua arah itu. Namun Iswari harus mendapat lawan yang memadai.
Dua orang perwira Jipang kemudian telah menggantikan kedudukan panglimanya. Namun kedua orang itu tidak juga banyak dapat berbuat dihadapan Iswari sebagaimana Panglimanya. Sehingga dengan demikian, Iswari, seorang perempuan dari Tanah Perdikan Sembojan telah bertempur melawan empat orang prajurit Jipang yang memiliki pengalaman yang keras dibanyak medan pertempuran. Namun keempat orang itu ternyata tidak mampu mengalahkannya.
Ketika pasukan Pajang sudah mulai melibatkan diri kedalam pertempuran, pasukan Tanah Perdikan Sembojan merasa mempunyai kesempatan untuk bernafas. Tekanan pasukan Jipang tidak lagi terasa bagaikan mencekik.Sehingga dengan demikian, maka rasa-rasanya beberapa orang yang mulai merasa kehabisan tenaga mampu beristirahat sejenak.
Namun pengaruh kehadiran pasukan Pajang itu belum banyak terasa di sayap-sayap gelar. Kedua belah pihak masih bertempur sebagaimana sebelumnya, sehingga perlahan-lahan pasukan Tanah Perdikan masih juga terdesak.
Dengan demikian maka gelar itu pun telah menjadi lengkung seperti busur.
Sayup-sayup gelar yang seharusnya maju ke depan, ternyata tidak mampu menahan tekanan yang sangat berat.
Iswari yang sempat memperhatikan pasukannya serta mendapat laporan tentang keadaan disayap pasukannya, telah mengambil kebijaksanaan untuk mengatasinya. Karena ia melihat bahwa pasukan Pajang lebih banyak tertuju kepada pusat gelar lawan, maka Iswari pun telah memerintahkan dua kelompok kecil pasukan di pusat gelarnya untuk pergi ke ujung kedua sayap yang masih saja terdesak.
Akhirnya kedua orang pemimpin kelompok telah membawa pasukannya masing-masing ke
ujung sebelah kiri dan kanan dari sayap gelar pasukannya. Sementara itu, beberapa orang anak muda Tanah Perdikan yang baru saja berbalik dari pasukan
Jipang dan memasuki pasukan Tanah Perdikan telah ikut pula menuju ke ujung-ujung sayap.
Dengan demikian Iswari berharap bahwa kekuatan pasukannya akan menjadi rata setelah pasukan Pajang itu datang.
Namun anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan dan Kademangan disekitarnya yang belum berpengalaman sulit untuk dengan sendirinya menyesuaikan dirinya pada perubahan yang terjadi di medan. Itulah sebabnya, maka beberapa orang yang ada
di antara mereka yang memiliki ilmu yang tinggi serta wawasan yang luas membantu anak-anak muda Tanah Perdikan itu menanggapi keadaan.
Demikian pula setelah kehadiran pasukan Pajang. Para pemimpin Tanah Perdikan harus memberikan beberapa petunjuk sambil bertempur agar mereka dapat bergeser menebar, karena di induk gelar, kekuatan Pajang akan banyak memberikan bantuan. Meskipun perlahan-lahan namun akhirnya kekuatan pasukan Tanah Perdikan itu pun merata juga, sehingga kehadiran pasukan Pajang itu terasa manfaatnya dari ujung
ke ujung gelar yang lain.
DALAM pada itu, pasukan Pajang yang segar itu telah bertempur dengan keras pula sebagaimana prajurit Jipang. Mereka telah mendapat tempaan sebagaimana prajurit Jipang pula. Mereka pun telah mempunyai pengalaman yang cukup di medan perang yang paling kasar sekalipun. Karena itu, maka kehadiran mereka benar-benar merupakan lawan yang seimbang dengan para prajurit Jipang. Dalam pada itu, matahari pun semakin lama menjadi semakin tinggi di langit yang cerah.
Selembar-selembar mega yang putih mengalir lamban ke utara. Angin yang semilir bertiup dari arah laut mengusap tubuh-tubuh yang basah oleh keringat dan darah. Semakin tinggi matahari merayap di wajah langit, maka anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan pun menjadi semakin letih. Namun kehadiran pasukan Pajang ternyata telah menentukan akhir dari pertempuran itu. Satu-satu para prajurit Jipang telah jatuh. Meskipun lawan mereka pun telah menaburkan korban pula, tetapi prajurit Pajang yang segar telah mendesak mereka ke dalam kesulitan.
Panglima pasukan Jipang itu pun mengumpat sejadi-jadinya. Dengan garangnya ia telah memilih Senapati Pajang sebagai lawannya daripada harus melawan Iswari bersama dua orang pengawalnya.
Menghadapi Senapati dari Pajang agaknya Panglima pasukan Jipang itu mempunyai sedikit kelebihan. Tetapi Senapati itu pun telah melibatkan seorang prajuritnya untuk membantunya menghadapi Panglima Jipang yang marah itu.
Namun setelah pertempuran itu berlangsung lebih lama, maka ternyata bahwa gabungan pasukan Tanah Perdikan Sembojan, Kademangan-kademangan sekitarnya dan
pasukan Pajang meskipun tidak cukup besar, telah mampu mengatasi kekuatan pasukan Jipang dan anak-anak Tanah Perdikan Sembojan yang setia kepada Ki Wiradana. Apalagi ketika anak-anak Tanah Perdikan Sembojan yang semula berada di dalam lingkungan pasukan Jipang menjadi semakin banyak yang menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi, sehingga mereka pun telah menembus garis benturan dan bergabung dengan pasukan Tanah Perdikan.
Panglima pasukan Jipang yang melihat keadaan pasukannya mengumpat kasar. Ia pun telah melepaskan lawannya pula dan menyerahkan kepada pengawal-pengawalnya. Ia sendiri berusaha untuk dapat melihat pertempuran itu dalam keseluruhan.
Namun sebenarnyalah keadaan pasukannya memang menjadi semakin parah. Pasukan Pajang yang tidak terlalu banyak itu benar-benar telah ikut menentukan keseimbangan. Kemampuan pasukan Pajang itu ternyata telah berhasil menghimpit pusat gelar pasukan Jipang, sehingga para prajurit Jipang di pusat gelar itu
benar-benar mengalami kesulitan.
Sementara itu, pasukan Tanah Perdikan yang menebar dari pusat gelar menjalar sampai ke ujung sayap telah memperkuat kedudukan seluruh gelar.
Dengan demikian maka pasukan Jipang itu agaknya benar-benar semakin terdesak. WARSI yang melihat anak-anak Tanah Perdikan Sembojan banyak yang menyeberang mengumpat tidak habis-habisnya. Seperti juga Ki Rangga Gupita, maka ia telah menganggap anak-anak itu telah berkhianat, sementara Ki Wiradana memang tidak mampu untuk mengikat mereka dalam satu kesetiaan yang utuh.
Karena itu, jika benar pasukan Jipang itu pecah, maka Ki Wiradana sama sekali tidak akan berarti bagi Warsi dan Ki Rangga Gupita.
Ketika matahari telah mulai melewati puncak langit, maka pasukan Jipang sudah tidak mampu lagi untuk bertahan lebih lama lagi. Pasukan Pajang semakin menekannya, sementara itu, pasukan Tanah Perdikan Sembojan pun rasa-rasanya justru menjadi semakin kuat. Kekuatan di pusat gelar yang merayap sampai ke
ujung sayap, ternyata telah mampu memberikan tekanan balik dan mendesak pasukan Jipang untuk bergeser mundur. Kekuatan Tanah Perdikan Sembojan yang diisi oleh anak-anak muda yang baru saja menyeberang benar-benar sulit untuk diatasi oleh para prajurit Jipang.
Sementara itu, ketika para pemimpin Jipang sedang berusaha untuk memecahkan kesulitan, tiba-tiba medan itu telah digetarkan oleh suara bende pula, namun dalam nada yang lain lagi.
Ketika beberapa orang sempat berpaling, maka nampaklah iring-iringan pasukan yang lebih besar. Pasukan Pajang yang datang kemudian menyusul pasukannya yang lebih dahulu datang.
Kedatangan iring-iringan itu benar-benar telah menggoyahkan jantung para prajurit Jipang. Mereka memang prajurit yang tidak mudah mengenal takut. Tetapi dalam keadaan mendesak, dan bahkan kemudian datang lagi pasukan yang dapat memperkuat pasukan lawan tentu akan sangat menentukan.
Dalam pada itu, ketika pasukan Pajang itu menjadi semakin dekat, maka Senapati Pajang yang lebih dahulu datang itu pun telah berteriak ditujukan kepada Panglima Jipang yang sudah meninggalkannya, “Pasukan Jipang, menyerahlah.