Suramnya Bayang-Bayang Jilid 29

Jilid 29

Tetapi pasukan yang mengejar itu sudah menjadi sangat dekat. Bahkan sebagian

dari mereka sudah mulai memencar untuk menyerang iring-iringan itu dari lambung.

Ki Rangga berpikir cepat. Dengan serta merta ia pun segera mendekati Ki Wiradana, sementara Ki Randukeling telah berada ditempat itu pula.

“Mereka mulai menyerang,” berkata Ki Rangga. “Kita harus bertahan,” berkata Ki Randukeling. “Kita korbankan sekelompok pasukan yang dipimpin oleh pengawal yang berdarah panas itu. Biarlah mereka menahan arus pasukan itu, sementara kita berusaha melepaskan diri dengan sisa pasukan yang ada,” berkata Ki Rangga. Ki Wiradana tidak membantah. Apalagi ketika Warsi datang pula dan berkata,

“Lepaskan kelompok itu. Kita percepat gerak pasukan.” Ki Wiradana tidak dapat berbuat lain. Namun Ki Randukeling lah yang menyahut, “Tidak mungkin hanya satu kelompok. Tentu tidak akan berarti apa-apa. Setidak-tidaknya dua kelompok.”

“Baik. Lepaskan dua kelompok pasukan. Yang lain akan meninggalkan arena dengan cepat dan keluar dari hutan kecil ini,” sahut Warsi.

Demikianlah maka Ki Wiradana pun telah menjatuhkan perintah kepada pemimpin pengawal yang sudah siap dengan senjata ditangan.

“Bawa dua kelompok pasukan. Cegah mereka untuk menyusul kami. Kemudian kalian harus melepaskan diri kembali kepada induk pasukan jika kami sudah berada diluar hutan karena mereka tidak akan bertempur diluar hutan sehingga akan dapat menimbulkan persoalan dengan Kademangan tetangga,” berkata Ki Wiradana kepada pemimpin pasukan pengawal yang telah siap dengan senjata ditangan.

“Kami akan melakukan sebaik-baiknya,” berkata pengawal itu.

Sejenak kemudian maka Ki Wiradana pun telah menyusul pasukannya yang dengan cepat berusaha meninggalkan hutan kecil itu, sementara dua kelompok pengawal telah siap menghambat gerak maju pasukan yang berusaha untuk menyusul.

Bagaimanapun juga, maka pasukan yang disebut pemberontak itu harus bersiap-siap menghadapi pasukan kecil yang akan menghambat perjalanan mereka. Sambi Wulung yang kemudian berada di paling depan telah bersiap untuk bertempur.

Namun ia menjadi bimbang ketika pemimpin pengawal itu berteriak kepada para pengawal yang dipimpinnya,” Lepaskan senjata. Kita menyerah.” Para pengawal menjadi heran. Bahkan mereka menjadi gelisah. Namun sekali lagi terdengar suaranya jelas, “Lepaskan senjata. Kita tidak akan bertempur melawan sanak kadang sendiri.”

Namun seorang pemimpin kelompok mendekatinya sambil bertanya, “Apa artinya ini?”

“Aku adalah salah seorang pengkhianat bagi Ki Wiradana,” jawab pemimpin pengawal itu. “Terserah kepadamu, apakah kau akan melawan dan kemudian ikut menjadi umpan di Pajang?”

“Setan,” geram pemimpin kelompok itu. Lalu ia pun berteriak kepada para pengawal di dalam kelompoknya, “Tahan para pemberontak itu. Aku akan menghabisi nyawa pengkhianat ini. Jangan sekali-kali melepaskan senjata agar kalian tidak

dibantai tanpa perlawanan disini.”

Pemimpin kelompok itu tidak menunggu lebih lama. Ia pun langsung mengayunkan pedangnya keleher pemimpin pengawal yang memerintahkannya untuk menyerah.

Tetapi pemimpin pengawal itu ternyata cukup berhati-hati. Ketika ia melihat

sorot mata pemimpin kelompok itu maka ia sudah menduga apa yang akan terjadi. Karena itu, maka ia pun telah menangkis serangan itu dengan pedangnya pula.

Dengan demikian maka pertempuran pun telah terjadi antara kedua orang pemimpin itu. Namun justru karena itu, maka para pengawal menjadi kebingungan.

Namun dalam pada itu, pemimpin kelompok yang lain pun ternyata masih tetap setia juga kepada Ki Wiradana. Ialah yang kemudian memegang kendali kelompok-kelompok yang dilepaskan dari pasukan induk itu untuk menahan gerak maju pasukan yang

ingin menyusul Ki Wiradana.

Sementara itu, pasukan yang disebut pemberontak itu pun telah berada dihadapan mereka. Melihat sikap para pengawal, maka Iswari pun telah bergeser kepaling depan. Ia berusaha untuk menyelesaikan persoalan dengan para pengawal tidak dengan kekerasan.

“Apakah kita akan bertempur?” bertanya Iswari.

Pertanyaan itu telah membuat para pengawal termangu-mangu. Namun sementara itu, pemimpin yang ingin menyerah itu telah bergeser dan bertempur di antara kedua pasukan yang saling berhadapan.

DENGAN lantang pemimpin pengawal yang bertempur itu berteriak, “Menyerahlah. Kita belum terlambat. Tetapi penjilat ini memang harus dihabisi.”

“Kau yang berkhianat,” jawab lawannya. Lalu ia pun memberikan aba-aba pula, “Bunuh mereka yang berkhianat seperti orang ini.”

Suasana menjadi tegang. Namun kedua pasukan masih belum terlibat dalam pertempuran. Mereka masih terpukau melihat kedua pemimpin pengawal yang akan bertempur itu.

Sementara itu, Iswari berkata pula, “Masih ada waktu untuk merenungi

kata-katanya,” namun sementara itu Iswari pun telah memberikan isyarat kepada para pengawalnya. Sambil melambaikan tangannya ia berkata, “Jika masih mungkin, susul pasukan yang telah dengan tanpa jantung mengumpankan sebagian kecil dari kawan-kawannya sendiri itu. Kita tidak akan membunuh saudara-saudara kita yang dengan sengaja telah dilemparkan kedalam api, disini dan yang lain di Pajang.” Ternyata kata-kata Iswari itu mempunyai pengaruh yang besar bagi para pengawal.

Apalagi ketika pemimpin mereka yang bertempur itu berteriak pula, “Dengar kata-kataku. Lepaskan senjata. Kita akan bekerja bagi Tanah Perdikan ini. Tidak

untuk menjadi umpan ujung pedang orang-orang Pajang karena kita berpihak kepada Jipang.”

Namun dalam pada itu, Sambi Wulung dan Jati Wulung telah membawa beberapa kelompok pengawal menyusul mereka yang telah meninggalkan kawan-kawannya.

Namun

jarak mereka sudah menjadi semakin jauh justru pada saat pasukan yang disebut pemberontak itu tertahan meskipun tidak harus bertempur.

“Lihat,” berkata Iswari. “Kalian tidak mampu berbuat apa-apa atas pasukan yang menyusul kawan-kawanmu. Jika kalian bergerak, maka pasukan yang tinggal ini pun akan bergerak. Sia-sialah usaha kalian untuk menghambat perjalanan kami karena jumlah kalian yang kurang memadai. Karena itu, pertimbangkan untuk menyerah.

Kalian hanya mempunyai dua pilihan. Menyerah dan bekerja bersama kami membangun Tanah Perdikan ini, atau mati. Jika tidak mati disini, maka kalian akan mati di

Pajang, justru anak keluarga kalian tidak akan sempat melihat dimana kubur kalian. Atau barangkali, karena kalian hanya anak-anak Tanah Perdikan Sembojan, maka mayat kalian tidak akan ada yang menguburkan.”

“Persetan,” sahut pemimpin kelompok yang sedang bertempur, “Jangan dengarkan.” “Justru dengarkan kata-katanya,” tiba-tiba saja seorang di antara para pengawal

itu berteriak. Suaranya seakan-akan telah meledakkan isi hutan karena

hentakan-hentakan perasaan yang untuk beberapa lama dibenamkannya dalam-dalam di dalam hatinya, “Kita harus mendengarkan suaranya. Aku tidak mau dibawa ke Pajang. Aku ingin berjuang untuk Tanah Perdikan ini.”

“Pengkhianat,” geram pemimpin kelompok yang seorang lagi. Dengan geram ia telah mengayunkan pedangnya menebas ke arah lambung.

Namun tiba-tiba saja seorang kawannya telah mendorong pengawal yang hampir saja ditembus oleh ujung pedang itu. Bahkan tiba-tiba pula seorang yang lain dengan serta merta telah berteriak pula, “Kita akan menyerah.”

Pemimpin kelompok itu tidak sempat menyerang lagi. Di luar dugaan bahwa sebuah pisau belati telah terhunjam dipunggungnya. Seorang anak yang masih sangat muda berkata, “Aku tidak mau mati sekarang atau besok di Pajang.”

Pemimpin kelompok itu terkejut. Tetapi luka itu terlalu dalam. Untuk sesaat ia

masih sempat memandangi anak yang masih terlalu muda itu dengan sorot mata penuh dendam dan kebencian. Yang terdengar adalah desis mulutnya, “Pengkhianat.”

Namun pemimpin kelompok itu pun kemudian telah jatuh terjerembab. Ia telah terbunuh oleh anak buahnya sendiri yang masih sangat muda.

Ketegangan menjadi semakin mencengkam para pengawal. Ada di antara mereka yang masih merasa setia kepada Ki Wiradana. Tetapi ternyata banyak diantara para pengawal itu yang kemudian telah menyatakan niatnya yang sebenarnya.

“Kami menyerah,” berkata seorang pengawal. Tetapi kami tidak dapat melepaskan senjata kami, karena mungkin kawan kami yang berdiri disebelah menyebelah kami akan menusuk sebagaimana dilakukan oleh pemimpin kelompok itu. Untunglah bahwa ia tidak sempat melakukan pembunuhan itu dan harus menebus dengan nyawanya.” “Terima kasih,” berkata Iswari. “Marilah. Siapa yang ingin bergabung dengan

kami, bergeserlah kekanan. Dengan demikian, maka kita akan segera menjadi jelas.” Dengan serta merta, sebagian besar dari para pengawal itu telah bergeser kekanan. Beberapa orang yang semula masih tinggal. Namun mereka tidak ingin menjadi sasaran dan akan dibantai beramai-ramai. Maka mereka pun telah bergeser pula kekanan seperti yang lain.

“Terima kasih. Terima kasih,” desis Iswari. Tetapi ia masih juga berkata, “Namun

aku mengerti, bahwa ada diantara kalian yang memenuhinya karena merasa terpaksa. Karena merasa tidak ada lagi kawan untuk bertahan pada pendiriannya sebagai penjilat. Tetapi kita akan melihat bersama-sama, apakah yang akan kita lakukan kemudian. Dengan demikian maka lambat-laun, mereka yang ragu-ragu itu pun akan yakin bahwa sikap kita adalah benar.” Tidak seorang pun yang menjawab. Tetapi para pengawal itu pun mengerti pula bahwa ada di antara kawan-kawan mereka yang menyerah karena terpaksa.

Namun dalam pada itu, pemimpin kelompok yang bertempur itu masih juga bertempur. Ketika pemimpin pengawal itu sekali lagi menawarkan agar pemimpin kelompok itu menyerah, maka justru pemimpin kelompok itu telah meloncat menyerang dengan cepat sekali. Pedangnya terjulur lurus mengarah ke jantung.

Lawannya terkejut sekali. Justru pada saat ia menawarkan satu penyelesaian. Karena itu, maka ia menjadi agak terlambat bertindak. Meskipun ia berhasil menangkis pedang yang mengarah kejantungnya, namun pedang itu masih juga tergores dilengannya.

Pemimpin pengawal itu menggeram marah. Dengan suara berat ia berkata, “Kau memang keras kepala. Tidak ada jalan lain kecuali mengakhirimu.”

“Kau sudah terluka. Meskipun aku akan dibunuh beramai-ramai disini, tetapi aku akan membunuhmu lebih dahulu,” geram pemimpin kelompok itu.

Tetapi pemimpin pengawal yang sudah terluka dilengannya itu ternyata masih mampu bergerak cepat. Meskipun sekali-kali terasa perasaan pedih dan nyeri menyengat

kulit dan dagingnya.

Dengan demikian maka pertempuran antara kedua orang pengawal Tanah Perdikan Sembojan itu menjadi semakin seru. Keduanya memang sudah sampai kepada keputusan

untuk membunuh lawan.

Sementara itu, para pengawal yang lain, yang sudah menyatakan menyerah serta para pengawal yang berpihak kepada Iswari menyaksikan pertempuran itu dengan berdebar-debar. Ternyata keduanya memiliki kemampuan yang tidak terpaut banyak.

Sehingga dengan demikian keduanya mempunyai kesempatan yang sama untuk saling membunuh. Sementara itu, pemimpin pengawal yang memberikan perintah untuk menyerah itu sudah terluka.

Untuk beberapa saat Iswari menyaksikan pertempuran itu. Namun karena darah mengalir semakin banyak dari luka pemimpin pengawal yang ingin menyerah itu, maka ia pun kemudian melangkah mendekati arena.

“Nah, lihatlah,” berkata Iswari kepada para pengawal yang menyatakan telah menyerah, “Bukankah terasa sakit melihat keluarga sendiri saling bertengkar?”

Para pengawal itu tidak menjawab. Namun Iswari terkejut ketika pemimpin kelompok yang setia kepada Ki Wiradana itulah yang menjawab sambil bertempur, “Kaulah yang membuat kita saling bermusuhan. Kau hasut pengawal untuk memberontak dan saling membunuh.”

“O, jadi akulah yang bersalah dalam hal ini?” bertanya Iswari.

“Ya. Kau kecewa karena Ki Wiradana kawin lagi. Tetapi itu adalah persoalan keluargamu. Kau ternyata telah membawa kita, isi Tanah Perdikan Sembojan saling bertempur dan membunuh. Ketahuilah, bahwa kami tidak akan dapat kau peralat untuk melepaskan dendam pribadimu,” teriak pengawal itu sambil bertempur. “Ternyata banyak yang tidak kau ketahui tentang Tanah Perdikan ini,” berkata Iswari.

“Persetan,” geram orang itu.

Iswari tidak berkata apa-apa lagi. Tetapi dengan sungguh-sungguh ia mengikuti pertempuran yang semakin seru. Keduanya benar-benar telah mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan mereka.

Namun pemimpin pengawal yang telah terluka itu ternyata memiliki pengalaman yang lebih luas. Ia telah mendapatkan latihan yang lebih lama dari para perwira

Jipang karena ia termasuk salah seorang di antara para pengawal yang mendapat latihan utama yang ditinggalkan di Tanah Perdikan.

Dengan demikian maka untuk beberapa saat kemudian Iswari mulai melihat, bahwa pemimpin pengawal itu menjadi lebih mapan, meskipun dari lukanya masih mengalir darah.

Pada saat yang demikian, tiba-tiba seorang pemimpin pengawal yang berpihak kepada Iswari telah mendekatinya sambil berkata, “Apakah kita harus membiarkannya berperang tanding?”

Sebelum Iswari menjawab, pemimpin kelompok yang setia kepada Ki Wiradana itu menjawab lantang, “Marilah jika kau akan mengeroyokku. Aku tidak berkeberatan. Aku memang sudah mengenal sifat-sifat kalian. Seorang pengkhianat tidak akan berpegang pada sifat seorang laki-laki.”

Pemimpin pengawal yang berpihak kepada Iswari itu menggeram. Namun Iswari mendahuluinya, “Jangan terpancing oleh perasaanmu. Sebenarnya keduanya tidak sedang berperang tanding. Kita semuanya dapat berpihak kepada salah seorang di antara mereka dan dengan demikian pertempuran itu pun akan segera berakhir.

Namun agaknya, jika kita berbuat demikian, maka kita justru akan menyinggung perasaan orang yang kita bantu.”

Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Namun dari sorot matanya nampak, betapa hatinya menjadi geram melihat kesombongan pengawal yang setia kepada Ki Wiradana itu.

Namun dalam pada itu pemimpin pengawal yang telah terluka itu pun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Luka dilengannya semakin lama terasa semakin pedih, sementara titik-titik darah yang keluar mulai terasa berpengaruh pula.

Karena itu, maka pada saat-saat yang gawat itu, ia telah menghentakkan kemampuannya. Senjatanya berputar seperti baling-baling. Namun tiba-tiba senjata itu meluncur menikam ke arah lambung.

Lawannya mulai terdesak, sementara pemimpin pengawal itu sudah mempergunakan segenap unsur kemampuannya yang dipelajarinya dengan latihan-latihan yang berat dan keras dari para perwira Jipang.

Dengan demikian maka keseimbangan telah berubah. Pemimpin pengawal yang telah terluka itu membuat lawannya kadang-kadang tergagap. Dalam kesempatan yang demikian, maka senjatanya yang mematuk bagaikan menggeliat dan menyerang mendatar.

Perubahan-perubahan serangan yang cepat itu membuat pemimpin kelompok yang setia kepada Ki Wiradana itu setiap kali terkejut. Bahkan sekali-kali ia kehilangan kesempatan untuk menangkis serangan lawannya itu, sehingga ujung senjata

lawannya tiba-tiba saja telah tergores dipundaknya.

“Kau juga sudah terluka sekarang,” geram pemimpin pengawal itu, “Sekali lagi aku memberimu peringatan, menyerahlah.”

“Persetan,” lawannya justru meloncat menyerang. Tetapi pemimpin pengawal itu sempat menghindar dengan loncatan kecil menyamping. Namun bersamaan dengan itu, senjatanyalah yang justru terjulur. Demikian cepatnya, sehingga lawannya tidak

sempat mengelak dan menangkis.

Dengan demikian, maka luka baru telah menganga di paha pemimpin kelompok yang setia kepada Ki Wiradana itu.

Pemimpin kelompok itu menggeram. Dua langkah ia meloncat surut. Namun darahnya menjadi semakin banyak mengalir.

Namun yang terjadi demikian tiba-tiba ketika pemimpin kelompok yang terluka itu mencabut pisau belati kecilnya dan dengan serta merta telah dilemparkan kepada lawannya. Demikian cepat dan tidak terduga bahwa hal itu akan dilakukan.

Iswari yang melihat gerak tangannya dengan cepat memperingatkan, “Hati-hati. Pisau itu.” Tetapi pemimpin pengawal itu memang terlambat menghindar. Belati kecil itu tidak terlepas sama sekali dari tubuhnya, karena belati itu kemudian telah tertancap

di bagian kanan dadanya.

“Gila,” geram pemimpin pengawal yang terluka oleh pisau belati kecil itu. Namun pada saat terakhir, ternyata ia pun masih sempat mengerahkan sisa tenaganya dengan melakukan hal yang sama. Ia masih sempat pula mencabut belati kecilnya dan melontarkannya ke arah lawannya.

Pemimpin kelompok yang merasa serangannya berhasil itu sama sekali juga tidak menyangka, bahwa lawannya masih mampu berbuat demikian. Itulah sebabnya, ia pun menjadi lengah. Karena itu, maka pisau belati lawannya itu pun tidak sempat dihindarinya pula dan menancap pula didadanya. Keduanya pun terhuyung-huyung sejenak. Tetapi keduanya tidak mampu bertahan untuk tetap berdiri. Beberapa saat kemudian keduanya telah terjatuh.

Namun pemimpin pengawal yang berpihak kepada Iswari sempat menangkap kawannya yang hampir terjatuh itu dan dengan hati-hati membaringkannya ditanah. Sementara itu, pemimpin kelompok yang setia kepada Ki Wiradana berada di jarak yang cukup panjang, sehingga tidak seorang pun yang mampu menangkapnya sebelum ia jatuh tertelungkup.

Nampaknya memang sudah menjadi garis hidupnya bahwa justru karena ia jatuh tertelungkup itu maka seolah-olah pisau yang tertancap di dadanya itu tertekan semakin dalam. Sehingga dengan demikian, maka untuk selanjutnya, ia tidak akan dapat bangkit kembali.

Iswari memalingkan wajahnya. Kemudian kepada para pengawal yang menyerah ia berkata, “Rawatlah kawanmu itu. Apapun yang telah dilakukan, adalah menjadi kewajiban kita untuk merawatnya baik-baik. Mungkin ia masih hidup. Tetapi jika tidak, maka kita pulalah yang harus menyelenggarakannya.”

Beberapa orang pengawal yang menyerah itu pun telah mengerumuni pemimpin kelompok mereka yang terbunuh. Ketika mereka memutar tubuh itu sehingga menelentang, maka mereka pun segera mengetahui, bahwa pengawal itu telah meninggal.

Tetapi pemimpin pengawal yang seorang lagi ternyata masih tetap hidup dan kesadarannya masih tetap utuh meskipun ia menjadi sangat kesakitan. Justru karena ia sempat bergeser betapapun kecilnya, namun pisau itu tidak menembus jantungnya. Beberapa orang telah berusaha untuk menolong pemimpin pengawal yang terluka. Dengan obat yang ada dicoba untuk mengurangi arus darah yang keluar dari lukanya ketika pisau belati kecil itu sudah dicabut dari tubuhnya. Betapapun perasaan

sakit menghentak, namun ia tidak menolak usaha untuk merawatnya, karena pengawal itu yakin bahwa semua usaha itu dilakukan dengan niat yang baik atas dirinya.

Namun dua orang kawannya, yang memimpin kedua kelompok pengawal itu telah terbunuh.

Sejenak kemudian maka pasukan itu pun segera membenahi diri. Namun mereka masih harus menunggu, apa yang terjadi dengan pasukan yang berusaha menyusul pasukan yang akan pergi ke Pajang. Meskipun agaknya mereka sudah mengira bahwa pasukannya tidak akan dapat menyusul mereka sebelum mereka keluar dari hutan.

Sebenarnyalah sejenak kemudian, pasukan yang menyusul para pengawal yang akan dibawa ke Pajang itu telah kembali. Sambi Wulung telah menceriterakan, bahwa mereka memang terlambat.

“Kami tidak dapat bertempur ditempat terbuka,” berkata Sambi Wulung. “Ya,” jawab Kiai Badra. “Persoalannya akan beralih dengan Kademangan ini.

Peristiwa di dalam hutan ini masih dapat dijelaskan karena terjadi di daerah tertutup dan tidak menimbulkan kegelisahan. Tetapi ditempat terbuka, mungkin Ki

Demang di Kademangan ini sulit untuk dapat menerimanya. Meskipun Kademangan ini tidak mempunyai kekuatan untuk menghukum Tanah Perdikan Sembojan, tetapi hubungan yang buruk dengan tetangga akan dapat menimbulkan akibat tersendiri.” “Tetapi lalu bagaimana dengan mereka yang pergi ke Pajang?” bertanya Iswari. “Mereka akan menjadi bagian yang dikorbankan oleh Ki Wiradana di Pajang.

Kasihan,” sahut Kiai Badra, “Untunglah dua kelompok di antara mereka tertahan di sini dan menyadari bahwa langkah-langkah yang telah diambil oleh Ki Wiradana salah.”

Pemimpin pengawal yang terluka, yang mendengar pembicaraan itu sambil menyeringai menya-hut terputus-putus,” Bukan semata-mata kesalahan Ki Wiradana.

Pengaruh orang-orang disekitarnya-lah yang telah merusak citra Tanah Perdikan ini.”

“Kalau Ki Wiradana tidak lemah hati, maka semuanya tidak akan terjadi,” sahut Iswari.

Pemimpin pengawal yang terluka itu menarik nafas dalam-dalam. Namun lukanya terasa sakit sekali. Meskipun demikian ia masih berusaha untuk mengangguk. “Jika demikian, maka sebaiknya kita kembali ke padukuhan induk saja kakek,” berkata Iswari kemudian.

“Ya. Kita akan kembali ke padukuhan induk,” jawab Kiai Badra.

Demikianlah maka pasukan itu pun kemudian berbenah diri. Mereka kemudian meninggalkan hutan itu dan kembali ke padukuhan induk. Namun dua orang dari ketiga orang Bekel yang ada di antara mereka akan segera menemui Ki Ddemang yang memiliki hutan itu, agar tidak timbul salah paham yang akan dapat memperburuk hubungan yang untuk beberapa lama menjadi kabur karena tingkah laku Ki Wiradana dibawah pengaruh orang-orang disekelilingnya.

Namun kedua orang Bekel itu akan pergi bersama beberapa orang pengawal yang di antaranya terdapat Sambi Wulung dan Jati Wulung.

“Siapa tahu, jika diperjalanan Ki Bekel akan bertemu dengan orang-orang yang ternyata pengikut Ki Wiradana,” berkata Kiai Badra.

“Tentu kami akan merasa tenang perlu bersama mereka,” jawab salah seorang dari kedua Bekel itu. “Namun, kami akan pergi secepatnya, agar persoalannya tidak lebih dahulu berkembang di Kademangan itu.”

“Baiklah Ki Bekel,” berkata Kiai Badra. “Kami mohon Ki Bekel dapat menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya di Tanah Perdikan ini, sehingga kami tidak berani menembus perbatasan dan barangkali sedikit merusakkan hutan kecil itu.”

“Aku yakin bahwa mereka selalu mengikuti perkembangan Tanah Perdikan ini, meskipun mereka tidak berani mencampurinya, karena kademangan-kademangan disekitar Tanah Perdikan ini sama sekali tidak memiliki kekuatan yang memadai. Meskipun ada juga para pengawal, tetapi mereka sekadar mengamati keadaan Kademangan mereka masing-masing. Mencegah perselisihan antara tetangga, mengatur agar air yang mengaliri sawah dapat terbagi adil dan menggerakkan anak-anak muda memperbaiki bendungan, jalan-jalan padukuhan dan semacamnya,” berkata Ki Bekel itu.

Demikianlah, maka Ki Bekel pun kemudian telah pergi ke Kademangan sebelah untuk menjelaskan persoalan agar tidak menjadi semakin kabur.

Ternyata Ki Demang berusaha untuk mengerti. Dengan nada dalam Ki Demang berkata, “Aku juga mendapat laporan, bahwa pasukan dari Tanah Perdikan Sembojan telah melintasi Kademangan ini tanpa memberitahu lebih dahulu. Iring-iringan pasukan

itu ternyata telah membuat rakyat kami menjadi gelisah. Hal yang serupa pernah terjadi beberapa waktu yang lalu. Bahkan dengan sangat mencolok, seakan-akan yang lewat adalah pasukan Kadipaten Pajang.”

“Mereka memang akan pergi ke Pajang,” berkata salah seorang dari kedua Bekel yang datang ke Kademangan itu.

“Jika demikian, maka pendengaranku benar bahwa Tanah Perdikan Sembojan telah berpihak kepada Jipang,” berkata Ki Demang.

“Bukan Tanah Perdikan Sembojan,” jawab salah seorang dari kedua Bekel itu.

“Tetapi pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikannya yang berada dibawah pengaruh beberapa orang termasuk istrinya.

Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, “Kami memang mendengar dan mengetahui bahwa pergolakan telah terjadi di Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi kami tidak

berhak mencampurinya. Apalagi kami tidak memiliki sesuatu yang dapat kami pergunakan untuk berbuat apapun juga. Bahkan kami menjadi sangat cemas, bahwa Tanah Perdikan dibawah pimpinan Ki Wiradana akan mengambil langkah-langkah yang garang terhadap tanah disekitarnya. Kademangan demi kademangan akan diambilnya.

Apalagi jika Jipang menang atas Pajang, maka kami sama sekali tidak akan mendapat perlindungan dari manapun juga.”

“Kami akan berusaha untuk menegakkan paugeran di Tanah Perdikan Sembojan,” berkata salah seorang dari kedua orang Bekel itu.

“Apakah landasanmu? Ki Wiradana lah yang berhak untuk mewarisi jabatan Kepala Tanah Perdikan. Apalagi jika Jipang menang atas Pajang,” bertanya Ki Demang. “Bukan aku,” berkata Ki Bekel, “Tetapi anak Ki Wiradana. Aku sedang berjuang untuk menegakkan jalur kekuasaan para pemimpin di Tanah Perdikan ini. Ki Wiradana sekarang mempunyai dua anak laki-laki yang masih kanak-kanak dari dua orang ibu. Yang sekarang berkuasa adalah Nyi Wiradana yang muda yang sudah barang tentu ingin menurunkan kuasa Ki Wiradana kepada anak laki-lakinya.

Sementara itu istrinya yang tua, Iswari juga mempunyai anak laki-laki yang lahir lebih dahulu dari anak istri yang muda itu. Anak itulah yang seharusnya berhak

atas Tanah Perdikan ini. Dan kami orang-orang Tanah Perdikan Sembojan mempunyai penilaian tersendiri atas Warsi, istri Ki Wiradana yang muda itu. Sehingga

dengan demikian, maka dasar keturunan bagi kedua orang laki-laki itu pun telah menempatkan kita pada satu pilihan.”

Ki Bekel itu pun mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Kami memang tidak berhak mencampuri persoalan Tanah Perdikan. Apalagi persoalan keluarga Ki Wiradana. Namun kami juga tidak ingin Kademangan kami menjadi korban pergolakan yang terjadi di Tanah Perdikan Sembojan itu.” “Ki Demang,” berkata Ki Bekel.

“Seharusnya Ki Demang tidak hanya sekadar mempercayakan diri kepada perlindungan Pajang yang sedang berperang dengan Jipang. Tetapi sebaiknya Ki Demang juga berjaga-jaga dengan menyusun kekuatan diri. Sudah tentu bukan maksudnya untuk menakut-nakuti pihak lain. Tetapi sekadar untuk melindungi rakyat Kademangan ini dari kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Ki Demang tentu sudah mengetahui sebagaimana Ki Demang katakan, bahwa keadaan di Tanah Perdikan Sembojan masih belum menentu. Jika kami memenangkan perjuangan kami, sehingga anak Iswari yang memegang kuasa di Tanah Perdikan dengan perwalian yang dipegang oleh ibunya, maka keadaan Tanah Perdikan akan menjadi baik. Juga dalam hubungannya dengan tetangga. Apalagi jika Pajang memenangkan perang. Tetapi jika yang berkuasa di Tanah Perdikan tetap Warsi yang dengan kedok kuasa Ki Wiradana memerintah Tanah Perdikan Sembojan, maka keadaannya tentu akan jauh berbeda, sebagaimana Ki Demang rasakan pada saat-saat terakhir ini.”

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian mengangguk-angguk.

Katanya, “Aku dapat mengerti keterangan Ki Bekel. Tetapi jika kami ingin

menyusun kekuatan, tidak ada orang yang akan mampu memberikan kepada anak-anak kami di Kademangan ini.”

“Ki Demang akan dapat berhubungan dengan kami,” berkata Ki Bekel. “Kami akan mengusahakan sesuai dengan kemampuan yang ada pada kami. Beberapa orang pengawal

kami memiliki kemampuan yang memadai meskipun tidak berlebihan. Namun mereka akan dapat membantu Ki Demang menyusun kekuatan anak-anak muda yang ada di Kademangan ini menjadi kekuatan pelindung yang dapat dipercaya. Dengan demikian, untuk waktu yang akan datang, mungkin kita akan bekerja bersama menghadapi kekuatan yang selama ini membayangi kekuasaan Ki Wiradana di Tanah Perdikan, sehingga Ki Wiradana sendiri sudah tidak mampu lagi berbuat apa-apa kecuali melakukan apa yang diinginkan oleh orang-orang itu.”

“Terima kasih,” berkata Ki Demang. “Tetapi sudah tentu tidak pada saat sekarang ini. Bukankah di Tanah Perdikan Sembojan sedang terjadi pergolakan sehingga sulit bagi kami untuk membuka hubungan? Kami tidak dapat memilih dengan siapa kami harus berhubungan, karena di Tanah Perdikan ada dua pihak yang merasa masing-masing memiliki hak dan wewenang.” “Kami mengerti perasaan Ki Demang dan sikap dari Kademangan ini. Kalian tidak ingin terlibat dalam pertentangan yang terjadi di Tanah Perdi- kan Sembojan.

Namun kami ingin memberitahukan, bahwa sekarang Ki Wiradana dan orang-orang yang

mengelilinginya termasuk istrinya telah meninggalkan Tanah Perdikan. Bukankah kau sudah mendapat laporan bahwa pasukan Tanah Perdikan telah melewati Kademanganmu tanpa memberitahukan lebih dahulu? Nah, itulah mereka yang sekarang

menuju ke Pajang.”

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun sambil mengangguk ia berkata, “Baiklah Ki Bekel. Kami akan tetap memelihara hubungan dengan Tanah Perdikan. Tetapi kami akan mengikuti perkembangan Tanah Perdikan itu lebih dahulu. Baru kami akan mengambil sikap yang paling tidak buat kepentingan kami. Seperti kami katakan, kedudukan kami sangat lemah dihadapan Tanah Perdikan Sembojan. Karena itu jika Tanah Perdi- kan Sembojan, siapapun yang berkuasa mengambil

langkah-langkah yang keras terhadap kami maka kami tidak akan dapat berbuat

apa-apa kecuali memohon perlindungan. Maka jika Jipang menang, kami akan dalam keadaan yang sulit. Bahkan mungkin kademangan ini untuk selanjutnya tinggal nama yang hanya dapat dikenang saja.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Tetapi ia menjawab, “Kami mengerti. Tetapi kami dapat juga mengambil langkah-langkah.”

Ki Demang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah maksud Ki Bekel?”

“Seandainya Jipang menang, kami masih mempunyai sandaran kekuatan. Yaitu tekad rakyat Tanah Perdikan Sembojan. Kami yakin bahwa dengan tekad yang mapan dan bulat, kami akan dapat menentukan masa depan kami, Tanah Perdikan Sembojan.

Jipang tidak akan mampu terus-menerus berada disemua lingkungan kuasanya. Pada suatu saat mereka akan menarik pasukannya kembali. Karena Jipang sendiri tentu menghadapi masalah-masalah yang harus diselesaikannya pula,” berkata Ki Bekel.

Namun nampaknya Ki Demang benar-benar sangat berhati-hati. Karena itu, maka kedua orang Bekel itu pun tidak ingin dengan tergesa-gesa memberikan pola sikap kepadanya. Jika ia tergesa-gesa mungkin akan dapat timbul salah paham, sehingga justru akan merenggangkan hubungan antara kedua tetangga yang hanya berbatasan pagar itu. Kedua orang Bekel bersama para pengawalnya itu pun kemudian mohon diri. Ternyata mereka pun merasa bahwa sebaiknya mereka juga menemui Demang yang lain di perbatasan sebelah yang lain pula.

Namun sementara Ki Demang itu juga sempat berpesan, “Ki Bekel. Kami mohon, untuk sementara biarkan kami mengamati apa yang terjadi. Baru kami akan menentukan sikap kemudian.”

“Baik Ki Demang. Kedatangan kami kali ini adalah dalam rangka permohonan maaf kami, karena kami telah melanggar perbatasan. Sementara persoalan yang lain adalah sekadar persoalan yang akan dapat Ki Demang jadikan bahan pertimbangan,” sahut Ki Bekel.

Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.

Demikianlah maka kedua orang Bekel dan para pengawalnya itu pun segera kembali ke Tanah Perdikan Sembojan. Tanah Perdikan yang sedang mengalami pergolakan karena pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikannya yang sedang dibayangi oleh kekuasaan yang telah menjeratnya sehingga tidak mampu berbuat sesuatu atas landasan penalarannya sendiri sesuai dengan kepentingan Tanah Perdikan Sembojan.

Namun ternyata bahwa kekuasaan yang memerintah dengan pengaruh yang buram itu telah terdesak ke luar dari Tanah Perdikan Sembojan.

Tetapi tidak seorang pun yang mengetahui dengan pasti, apakah kekuasaan itu akan kembali lagi atau tidak.

Namun bagi mereka yang harus menggantikan tugas kepemimpinan di Tanah Perdikan Sembojan mempunyai perhitungan, justru mereka akan kembali dengan kekuatan yang lebih besar. Apakah mereka akan datang bersama kekuatan Kalamerta atau dengan kekuatan Jipang setelah mereka mengalahkan Pajang.

Atas dasar perhitungan itulah maka mereka yang memegang pimpinan yang baru di Tanah Perdikan Sembojan berusaha mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Iswari yang mewakili anaknya yang berhak menggantikan Ki Wiradana jika Ki Wiradana berhalangan, telah memanggil semua Bekel dari padukuhan-padukuhan. Ternyata bahwa sebenarnya pendirian semua Bekel tidak berbeda. Tetapi mereka tidak berani dan tidak mendapat kesempatan untuk menyatakannya.

Sejak kekuasaan para Bekel dikurangi, bahkan kemudian seolah-olah telah

dihapuskan sama sekali, digantikan dengan kekuasaan para pemimpin pengawal, maka perasaan para Bekel itu mulai goncang. Namun mereka tidak dapat berbuat sesuatu karena kekuatan para pengawal yang semakin besar justru dibawah pengaruh para perwira dari Jipang.

Pada pertemuan itulah Iswari memberi kesempatan kepada mereka untuk menyatakan sikap mereka terhadap Tanah Perdikan Sembojan.

Sikap para Bekel itu bulat. Mereka harus menegakkan pemerintahan di Tanah Perdikan Sembojan sebagaimana seharusnya. Mereka harus menempatkan Tanah Perdikan Sembojan dibawah perlindungan Pajang. Bukan Jipang, sebagaimana telah

berlangsung beberapa waktu sejak Pajang memegang kekuasaan yang dilimpahkan oleh Demak sebagai sebuah Kadipaten sebagaimana Jipang.

“Terima kasih,” berkata Iswari. “Tetapi kebulatan tekad itu harus kita dukung dengan langkah-langkah yang nyata.”

“Tentu,” jawab seorang Bekel. “Meskipun aku terlambat selangkah dibandingkan dengan ketiga orang Bekel yang telah menunjukkan sikapnya, namun aku akan berusaha melengkapi kekurangan itu sekuat tenaga.”

“Kita akan bekerja keras,” berkata Iswari. “Menjelang dendam yang tentu membara dihati orang-orang yang sekarang meninggalkan Tanah Perdikan ini melanda kita semua, maka kita harus siap menghadapinya. Kita masih mempunyai anak-anak muda meskipun sudah banyak berkurang karena mereka harus menjadi umpan di Pajang.

Namun kita masih meyakini kita, siapapun yang kita hadapi, karena di samping anak-anak muda dan remaja, kita semua akan berbuat apa saja.”

“Yang sudah terjadi merupakan pelajaran pahit namun yang dapat kita jadikan satu pengalaman yang berharga,” berkata salah seorang Bekel, “Tetapi yang penting, bagaimana kita dapat menempatkan diri kita masing-masing.”

“Aku mengerti,” berkata Iswari. “Semua harus kembali kepada wadah dan isinya masing-masing.”

“Tetapi harus ada saling pengertian dengan para pengawal,” berkata Bekel yang lain. “Jangan sampai terjadi, dahulu kita yang merasa dikurangi hak kita, sedangkan sekarang para pengawallah yang merasa diperlakukan demikian.”

“Kita akan mengambil keseimbangan tugas dan kewajiban kita masing-masing,” jawab Iswari. “Semua akan dikembalikan kepada paugeran yang berlaku. Meskipun belum terlalu lama, tetapi aku pernah mendampingi pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan, justru sebelum jabatan itu dipangkunya, karena pada saat itu

Ki Gede masih ada, sehingga aku pernah mengikuti jalannya pemerintahan di Tanah Perdikan ini, sebagaimana dilakukan oleh Ki Gede pada waktu itu. Sementara itu, para bebahu tentu masih memahami apa yang harus kita lakukan.”

Ternyata para Bekel itu menjadi semakin mantap mengambil langkah. Seolah-olah mereka telah menemukan kembali apa yang hilang selama Ki Wiradana memegang pimpinan. Waktu yang pendek itu ternyata telah mengubah wajah Tanah Perdikan Sembojan menjadi sangat buram dan pucat sehingga mencemaskan sekali. “Setelah kita keluar dari ruangan pertemuan ini,” berkata Iswari. “Kita akan

mulai dengan langkah-langkah yang harus kita lakukan dengan cepat. Kita akan mempersiapkan diri kita dan seluruh rakyat Sembojan menghadapi satu masa yang berat dan rumit. Pada saat terakhir, kehidupan di Tanah Perdikan ini telah meluncur turun dengan derasnya, sehingga Tanah Perdikan ini mengalami taraf kehidupan dan kesejahteraan yang pahit. Bahkan nilai-nilai kehidupan dan harga diri telah rusak karena tingkah laku beberapa orang yang lebih berkuasa dari pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan.”

Para Bekel pun mengangguk-angguk. Meskipun tidak diucapkan, tetapi mereka telah berjanji di dalam diri mereka masing-masing, bahwa mereka akan bekerja keras

bagi Tanah Perdikan Sembojan yang hampir saja hancur itu.

Namun dengan sikap sebagaimana dikatakan oleh Iswari, bahwa Sembojan harus tetap berhati-hati, bahwa pada suatu saat mungkin akan datang kekuatan yang lebih

besar dari yang meninggalkan Tanah Perdikan itu.

Sejenak kemudian, maka Iswari pun menganggap bahwa pertemuan itu untuk sementara

telah cukup. Para Bekel dan para pemimpin Tanah Perdikan itu, termasuk para pemimpin pengawal telah meninggalkan ruang pertemuan. Namun ketika mereka keluar dari halaman dan menuju ke padukuhan masing-masing, mereka masih saja berbincang tentang kerja berat yang mereka hadapi.

Sementara itu, pasukan pengawal Tanah Perdikan Sembojan yang dibawa ke Pajang sudah mendekati perbatasan. Sebentar lagi mereka akan memasuki daerah yang berbahaya, sehingga dengan demikian mereka harus menjadi sangat berhati-hati.

Pasukan kecil itu tentu tidak akan mampu bertahan, jika pasukan Pajang

mengetahui kehadiran mereka akan mencegatnya. Karena itu maka perjalanan mereka pun menjadi semakin panjang, karena mereka berusaha menghindari kemungkinan yang

paling buruk dengan mengambil jalan-jalan melingkar.

Namun berita kedatangan pasukan kecil itu memang sudah terdengar oleh orang-orang Pajang. Penghubung Pajang yang selalu mengadakan kunjungan ke tempat yang sudah ditentukan bersama keluarga Iswari ditempat yang terpencil telah mendengar apa yang terjadi di Tanah Perdikan Sembojan dan membawanya ke Pajang.

Bahkan beberapa pesan telah sampai pula kepada para pemimpin di Pajang bahwa ikut dalam pasukan Tanah Perdikan Sembojan para pemimpin di Tanah Perdikan Sembojan serta orang-orang yang membayanginya.

Namun kedatangan pasukan kecil itu tidak mencemaskan Pajang.

Ketika Ki Rangga Gupita sampai di perbatasan, maka pasukan kecil itu pun telah berhenti. Ki Rangga memang cukup berhati-hati menghadapi medan yang garang di Pajang. Ia tidak langsung membawa pasukannya. Namun bersama Ki Randukeling ia berusaha untuk mengamati keadaan.

Ternyata bahwa yang terjadi membuat Ki Rangga menjadi pening. Ketika bersama Ki Randukeling mereka dimalam hari dengan hati-hati mendekati pesanggrahan pasukan Jipang tempat itu ternyata sudah kosong.

“Gila,” geram Ki Rangga Gupita, “Kemana tikus-tikus itu pergi.

Ki Randukeling tidak segera menjawab. Tetapi dalam keremangan malam ia mengamati keadaan.

“Tempat ini pernah menjadi medan pertempuran,” berkata Ki Randukeling. “Tentu orang-orang Pajang telah menyerang kedudukan orang-orang kita disini,” geram Ki Rangga pula, “Sementara itu para pengecut itu telah menarik diri.”

“Ya. Agaknya pasukan Jipang telah ditarik mundur,” sahut Ki Randukeling. “Tetapi kemana?”

Kedua orang pemimpin pasukan yang dibawa dari Tanah Perdikan Sembojan itu menjadi gelisah. Pasukan Jipang yang cukup besar telah terusir dari tempatnya. Apalagi pasukan kecil itu jika bertemu dengan pasukan Pajang, tentu hanya akan menjadi debu saja meskipun di antara mereka terdapat beberapa orang yang memiliki kelebihan.

“Sekarang, apa yang akan kita lakukan,” teriak Ki Randukeling.

“Kita akan memikirkan bersama,” jawab Ki Rangga, “Kesalahan ini jangan dibebankan kepadaku seluruhnya.”

“Jangan mudah tersinggung,” berkata Ki Randukeling.

“Ki Randukeling nampaknya memang berpendapat demikian. Karena itu, maka Ki Randukeling bertanya kepadaku, apa yang akan kita lakukan, seolah-olah aku harus menebus kesalahan yang sudah aku lakukan,” sahut Ki Rangga. “Jangan berpikir pendek,” berkata Ki Randukeling. “Kau adalah seorang di antara para perwira dari pasukan sandi yang dikirim oleh Jipang untuk satu tugas yang berat. Jika kau cepat mengambil kesimpulan tanpa penalaran, maka kau akan salah langkah. Dan kau tahu akibatnya, jika kesalahanmu itu didengar Patih Mantahun.”

Ki Rangga Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa yang berdiri dihadapannya itu adalah orang yang sangat dekat dengan Patih Mantahun dan bahkan Arya Penangsang sendiri.”

“Ki Rangga,” berkata Ki Randukeling kemudian, “Aku bertanya sesungguhnya untuk dipertimbangkan. Bukan maksudku menyalahkanmu dan membebanimu dengan pertanyaan

yang mengandung tuduhan.”

“Kita kembali ke pasukan kita,” berkata Ki Rangga, “Kita akan berbicara dengan orang-orang lain, termasuk Warsi. Apa pendapatnya.

“Apakah tidak lebih baik bagi kita untuk mencari hubungan lebih dahulu dengan pasukan Jipang?” bertanya Ki Rangga Gupita.

“Kita tidak menemukan seorang pun dipadukuhan yang kosong itu untuk dapat memberikan keterangan,” jawab Ki Rangga Gupita.

“Kita dapat bergeser ke padukuhan yang lain,” jawab Ki Randukeling.

“Mudah-mudahan kita tidak terjebak. Aku menganggap bahwa Ki Rangga adalah seorang yang memiliki kemampuan dalam tugas sandi. Karena itu, maka kita akan dapat melakukannya. Tetapi jika perasaan Ki Rangga menjadi gelap, maka penalaran Ki Rangga pun kabur.”

Ki Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Ya. Aku memang seorang perwira dari pasukan sandi Jipang yang terpercaya. Marilah, kita akan mencari keterangan tentang pasukan Jipang,” Ki Rangga berhenti sejenak, lalu, “Tetapi bagaimana dengan pasukan kecil itu. Apalagi Warsi membawa seorang bayi.”

“Biarlah mereka untuk sementara mengurus diri mereka sendiri. Maksudku diri pasukan kecil itu,” berkata Ki Randukeling. “Asal mereka tidak melanggar

pesan-pesan kita maka agaknya pasukan Pajang tidak akan mengetahui kehadiran pasukan itu.”

Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Marilah Ki Randukeling. Aku akan membuktikan kepada Ki Randukeling, bahwa aku adalah seorang perwira dari pasukan sandi Jipang.” Demikianlah, keduanya untuk beberapa saat masih mengitari padukuhan itu. Padukuhan yang sepi, karena penghuninya telah pergi mengungsi. Untuk beberapa hari tempat itu menjadi pesanggrahan pasukan Jipang yang ditarik mundur dari garis pertahanan mereka yang pertama, sementara Ki Randukeling dan Ki Rangga Gupita pergi ke Tanah Perdikan Sembojan untuk mengambil sisa pasukan pengawal yang ada. Namun agaknya pasukan Pajang sempat menyerang lagi dan mendesak pasukan Jipang untuk ke luar dari padukuhan itu.

Namun tiba-tiba saja Ki Rangga berdesis, “Naluriku meraba sesuatu yang kurang wajar Ki Randukeling.”

“Naluri seorang petugas sandi. Kau benar Ki Rangga,” jawab Ki Randukeling. “Kita harus berhati-hati.”

Keduanya menjadi semakin waspada menghadapi medan yang samar-samar itu. Angin malam yang dingin dan suasana yang sepi senyap terasa menyimpan sesuatu yang mendebarkan.

Untuk sesaat kedua orang itu masih berusaha mengetahui tentang padukuhan itu. Namun tiba-tiba saja mereka terkejut ketika mereka mendengar suara ribut dari sesuatu yang kurang mereka perhatikan. Dua ekor angsa yang terbangun dari tidurnya telah menjerit-jerit memecah sepinya malam.

“KITA tidak pernah memikirkannya bahwa binatang itu akan membuat gaduh,” berkata Ki Rangga. “Perhatian kita tidak tertuju kepada mereka,” berkata Ki Randukeling. “Namun siapa tahu, bahwa binatang ini memang dilepaskan dihalaman belakang ini.”

“Dengan maksud tertentu,” sahut Ki Rangga.

“Marilah, kita tidak ingin terjadi keributan disini. Aku yakin bahwa padukuhan ini tidak kosong tanpa penghuni sama sekali,” berkata Ki Randukeling.

Keduanya pun kemudian bergeser surut, sementara dua ekor angsa itu masih saja berteriak-teriak dengan ributnya.

Namun langkah mereka kemudian tertegun ketika mereka mendengar langkah-lankah cepat disekitarnya, “Bukan langkah seorang angsa yang berteriak-teriak itu.

Tetapi langkah-langkah beberapa orang yang telah mengepung mereka. “Terlambat,” desis Ki Rangga.

“Apa boleh buat,” berkata Ki Randukeling.

Dengan demikian maka kedua orang itu pun justru telah bergeser ke tengah-tengah. Sementara itu kedua ekor angsa yang berteriak-teriak itu telah diusirnya pergi. Sejenak kemudian, beberapa orang memang telah muncul di halaman itu. Mereka langsung berpencar dan mengepung kedua orang yang justru telah berada ditempat yang terbuka.

“Siapakah kalian?” bertanya salah seorang yang mengepung kedua orang Jipang itu.

“Kalian tidak dapat mengenal kami meskipun kalian dapat menduganya. Tetapi dugaan kalian tidak akan selalu benar,” jawab Ki Rangga.

“Baiklah,” jawab salah seorang yang agaknya pemimpin dari orang-orang yang mengepung itu, “Siapapun kalian, maka kalian adalah tawanan kami sekarang.” “Atas nama pemerintah Pajang yang berkuasa, jangan melawan,” berkata pemimpin dari orang-orang yang mengepung itu.

“Aku sudah yakin bahwa kalian tentu orang-orang Pajang yang berkuasa dan mendapat tugas untuk berjaga-jaga di padukuhan ini. Tetapi jangan bermimpi untuk dapat menangkap kami,” jawab Ki Rangga.

Para prajurit Pajang yang telah mengepung kedua orang itu termangu-mangu. Namun sejenak kemudian pemimpin pasukan itu berkata, “Kalian hanya berdua. Apakah kalian memang sedang membunuh diri?”

“Tidak Ki Sanak,” jawab Ki Rangga. Sudah tentu kami ingin tetap hidup. Tetapi bukan sebagai dua orang tawanan.”

“Jika demikian, baiklah. Kami akan memaksa kalian untuk menjadi tawanan. Kami bertujuh sekarang. Apakah kalian akan melawan kami?” bertanya pemimpin prajurit Pajang itu.

Ki Rangga mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling ke arah Ki Randukeling, dilihatnya Ki Randukeling mengangguk. Karena itu maka katanya, “Meskipun kami hanya berdua, tetapi kami ingin menunjukkan kepada kalian, bahwa kami tidak mau menjadi tawanan. Atau kami terkapar mati disini.”

“Bagus,” jawab pemimpin prajurit Pajang itu, “Aku mengenal sifat jantan seperti ini. Kau tentu seorang petugas sandi Jipang.”

“Terima kasih atas pujian ini,” jawab Ki Rangga. “Tetapi marilah kita buktikan, apakah kalian benar-benar akan dapat menangkap kami.”

Pemimpin prajurit Pajang itu tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian bersiap bersama para prajurit yang mengepung kedua orang itu. Beberapa helai pedang telah bersilang di dada, sementara beberapa ujung tombak telah mulai merunduk. Ternyata bahwa Ki Rangga Gupita dan Ki Randukeling pun telah menanggapi sikap prajurit Pajang itu dengan wajar. Kedua orang itu pun telah mencabut senjata mereka pula. Juga helai-helai pedang yang mendebarkan disentuh cahaya bintang dilangit.

Para prajurit itu melihat dua helei pedang yang berbeda. Ki Rangga mempergunakan sehelai pedang yang berwarna keputih-putihan dan berkilat-kilat memantulkan cahaya bintang. Sementara pedang Ki Randukeling adalah justru agak

kehitam-hitaman. Namun dari daun pedang yang kehitam-hitaman itu seakan-akan nampak warna kemerahan seolah-olah daun pedang itu telah membara.

Para prajurit Pajang itu sadar, bahwa mereka telah bertemu dengan petugas pilihan. Karena itu, maka mereka pun harus berhati-hati. Meskipun mereka bertujuh, namun kedua orang itu harus dinilai sebagaimana mereka berhadapan dengan lawan yang seimbang.

Pemimpin prajurit Pajang itu pun melangkah semakin dekat sebagaimana prajurit yang lain. Senjata mereka mulai bergetar sementara Ki Rangga Gupita dan Ki Randukeling pun telah bersiap. Ketika pemimpin prajurit Pajang itu mulai menjulurkan pedangnya, maka senjata-senjata yang lain pun mulai mematuk pula. Dengan demikian, maka segera terjadi pertempuran yang seru. Ketujuh prajurit Pajang itu adalah prajurit-prajurit yang cukup terlatih. Tetapi lawan mereka adalah seorang perwira terpilih dari pasukan sandi Jipang dan yang seorang lagi adalah seorang pertapa yang menyimpan selumbung ilmu di dalam dirinya.

Ki Rangga dan Ki Randukeling yang ada itu berdiri saling membelakangi. Mereka bertempur melawan siapapun yang menyerang mereka. Bahkan sekali-kali Ki Rangga pun menyerang pula dengan garangnya. Namun agaknya Ki Randukeling masih merasa segan untuk menyerang orang-orang Pajang itu. Meskipun demikian jika Ki Randukeling itu menangkis setiap serangan, maka benturan yang terjadi itu telah mendorong lawan-lawannya beberapa langkah surut.

Pedang Ki Rangga yang berkilat-kilat itu berputaran bagaikan baling-baling sehingga timbul kabut putih mengelilingi Ki Rangga Gupita.

Sedangkan dibelakang Ki Rangga Gupita, Ki Randukeling memegang pedangnya seakan-akan tidak bergerak sama sekali. Hanya pada saat-saat pedang lawannya mematuk tubuhnya maka pedang itu bergetar sesaat, namun cukup melemparkan arah sasaran senjata lawan menyamping.

Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin sengit. Ketujuh orang prajurit

Pajang itu semakin meningkatkan kemampuan mereka. Latihan-latihan yang berat di segala medan, serta pengalaman mereka menghadapi lawan yang berilmu tinggi, memberikan landasan pada tata gerak mereka.

Namun ternyata mereka sangat sulit untuk mengatasi kemampuan lawan.

Tetapi sementara itu, pemimpin kelompok kecil itu pun telah memusatkan perlawanannya terhadap Ki Rangga yang dianggapnya lebih mudah diatasi daripada Ki Randukeling. Menurut penglihatannya Ki Randukeling memiliki ilmu yang sulit untuk dijajagi. Dengan demikian maka pemimpin kelompok kecil itu ingin berusaha untuk mengakhiri perlawanan Ki Rangga lebih dahulu, baru kemudian Ki Randukeling.

Untuk beberapa saat pertempuran itu masih berlangsung dengan sengitnya. Pemimpin kelompok itu berusaha untuk dapat menembus kemampuan bermain pedang Ki Rangga yang tubuhnya bagaikan berperisai kabut putih.

Dua orang prajuritnya telah mendapat isyarat untuk memusatkan serangannya dari arah lambung sebelah menyebelah. Sedangkan pemimpin kelompok itu akan menyerang ke arah dada. Sementara empat orang lainnya harus berusaha mengikat Ki

Randukeling dalam pertempuran, apapun yang dapat mereka lakukan.

Usaha pemimpin kelompok itu memang mulai menggetarkan pertahanan Ki Rangga. Serangan yang datang dari tiga arah itu kadang-kadang membuatnya bergeser satu dua tapak.

Dengan demikian maka pemimpin kelompok kecil itu mempunyai perhitungan, bahwa pertahanan Ki Rangga itu sudah mampu digoyahkannya meskipun baru sedikit. Tetapi dengan kerja keras, maka sedikit sedikit pertahanan itu tentu akan pecah.

Berbeda dengan Ki Randukeling. Pertahanannya masih sangat mantap. Ia seakan-akan sama sekali tidak mengalami kesulitan bertempur melawan empat orang prajurit Pajang. Hanya sekali-kali saja terdengar ia justru memuji, “Bagus. Kau

benar-benar seorang prajurit pilihan.”

Namun yang disebut prajurit pilihan itu harus meloncat surut untuk menghindarkan diri dari patukan ujung pedang yang kehitam-hitaman itu.

Dalam pada itu, pemimpin kelompok yang melihat pertahanan Ki Rangga menjadi berguncang menjadi semakin garang menyerang bersama-sama dengan dua orang prajuritnya. Semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin cepat, sehingga gumpalan awan putih yang menjadi perisai Ki Rangga seakan-akan telah mulai terkoyak.

Ki Rangga menggeram mengalami perlakuan seperti itu. Ia tidak dapat mengelak bahwa ilmu pedang prajurit-prajurit Pajang memang cukup tinggi, sehingga ujung-ujung senjata mereka mampu mengoyak kabut pertahanannya.

Karena itu, maka Ki Rangga pun telah sampai ke puncak kemampuannya. Ia tidak

saja bersandar kepada kemampuan ilmu pedangnya. Tetapi Ki Rangga mulai merambah kepada kekuatan ilmunya.

Dengan demikian, maka pertempuran itu pun keseimbangannya telah berubah pula.

Ketika para prajurit Pajang itu menyerang semakin cepat, maka rasa-rasanya tiba-tiba saja tangannya telah menyentuh api. Hulu senjata mereka bagaikan menjadi panas membara. Para prajurit itu terkejut karenanya. Mereka bergeser

selangkah surut, sementara Ki Rangga mulai memutar lagi pedangnya dan kabutpun nampak diseputar tubuhnya.

“Hati-hati,” berkata pemimpin kelompok prajurit itu, “Orang itu memiliki ilmu yang jarang ada duanya. Ia mampu menyalurkan panasnya api lewat sentuhan senjata. Karena itu, usahakan, serangan-serangan kalian jangan dapat ditangkis.”

Tetapi sangat sulit bagi para prajurit itu untuk mampu berbuat demikian. Namun mereka pun berusaha untuk meningkatkan kecepatan gerak serta kerja sama di antara mereka, sehingga kemungkinan serangan-serangan mereka tersentuh senjata lawan menjadi semakin kecil.

Namun Ki Rangga tidak membiarkan mereka mendapat kesempatan untuk berbuat demikian. Ki Ranggalah yang kemudian justru lebih menyerang, sehingga ketiga orang lawannya itu mengalami kesulitan. Mereka berusaha untuk menghindari serangan-serangan dan tidak menangkisnya.

Namun mereka tidak dapat berbuat demikian selanjutnya. Sekali-kali mereka memang harus menangkis meskipun tangan mereka seakan-akan telah menyentuh bara.

Hanya dengan kerja sama yang rapi sekali maka mereka telah mendapat kesempatan untuk memperbaiki kedudukan masing-masing jika tangan mereka rasa-rasanya bagaikan terkelupas.

Sementara itu, keempat orang prajurit yang bertempur melawan Ki Randukeling pun telah mendapatkan kesulitan pula. Ketika Ki Randukeling mulai merasa jemu, maka sekali-kali ia mulai menyerang. Bahkan seorang di antara keempat prajurit itu

telah terluka dilengannya. Meskipun ia masih juga dapat bertempur terus, tetapi dari lengannya itu telah menitik darah.

Dalam keadaan demikian, maka pemimpin kelompok kecil itu mulai berpikir, apakah yang sebaiknya dilakukan. Sebenarnya bahwa kelompok kecil prajurit Pajang itu memang menjadi semakin terdesak. Jika mula-mula mereka mengepung kedua orang Jipang itu, namun akhirnya mereka bergeser surut sehingga kepungan itu menjadi sangat longgar.

Karena itu, maka bagi mereka tidak ada pilihan lain, bahwa mereka harus memberikan isyarat kepada kawan-kawan mereka untuk datang ke arena dan bersama-sama menangkap kedua orang itu.

Sejenak kemudian, maka terdengar pemimpin kelompok itu bersuit nyaring. Dua kali berturut-turut.

Isyarat itu memang mengejutkan dua orang kawannya yang berada di sebelah rumah yang mereka pergunakan selama mereka berada dan bertugas mengamati padukuhan yang telah dikosongkan oleh orang-orang Jipang karena serangan orang-orang Pajang.

Dengan demikian kedua orang itu menyadari, bahwa kawan-kawannya mengalami kesulitan menghadapi orang-orang yang tidak dikenal.

Karena itu, maka ia pun telah membunyikan isyarat kentongan untuk melaporkan apa yang terjadi itu kepada induk pasukan yang bertugas di padukuhan itu.

Suara kentongan itu ternyata telah berpengaruh atas Ki Rangga dan Ki Randukeling. Mereka sadar, bahwa isyarat itu berarti panggilan bahwa prajurit-prajurit yang lain untuk datang ke tempat itu.

Karena itu, maka Ki Rangga dan Ki Randukeling itu pun telah mengambil satu keputusan.

“Tidak ada gunanya kita berada disini Ki Rangga,” berkata Ki Randukeling.

Ki Rangga menggeram. Sebenarnya ia ingin menghancurkan lawan-lawannya jika ia mendapat waktu agak lebih banyak.

Pengaruh panas ditangan para pengawal itu sudah menjadi semakin jelas, sehingga beberapa saatlagi, ia merasa yakin dapat membinasakan ketiga orang lawannya.

Tetapi isyarat itu telah memanggil prajurit lebih banyak lagi, sehingga dengan demikian kemungkinan lain akan dapat terjadi.

Karena itu, maka dengan geram ia berdesis, “Kalian memang orang-orang licik. Aku tidak mengira bahwa prajurit-prajurit Pajang adalah prajurit-prajurit yang licik

dan pengecut seperti ini.”

Pemimpin kelompok kecil itu menjawab, “Kenapa licik?” Bukankah kami dapat mengerahkan kekuatan berapapun juga untuk menangkap pencuri? Bukan hanya satu dua orang tetapi seluruh padukuhan?” “Kami bukan pencuri,” teriak Ki Rangga.

“Apa bedanya?” sahut pemimpin kelompok itu.

Darah Ki Rangga bagaikan mendidih. Namun sementara itu ia pun menyadari bahwa prajurit Pajang memiliki kemampuan bergerak cepat. Karena itu, maka seperti yang dikatakan oleh Ki Randukeling maka mereka berdua tidak akan ada gunanya berdua berada di tempat itu.

Karena itu, maka dengan satu isyarat, Ki Rangga pun telah bergeser meninggalkan arena disusul oleh Ki Randukeling.

Prajurit Pajang itu tidak mampu mencegah keduanya karena mereka memang tidak memiliki kekuatan untuk itu. Dengan berat hati para prajurit itu harus

melepaskan keduanya keluar dari lingkaran kepungan mereka.

Ternyata prajurit Pajang memang mampu bergerak cepat. Hanya sekejap kemudian, maka beberapa orang prajurit telah berdatangan. Bersama dengan ketujuh orang yang kehilangan lawannya itu mereka berusaha mengejarnya. Bahkan prajurit yang berada di rumah-rumah yang lain pun telah ke luar pula dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

Namun prajurit-prajurit Pajang itu tidak mampu menemukan Ki Rangga Gupita dan Ki Randukeling, yang sejenak kemudian telah berhasil ke luar dari padukuhan.

Dengan hati-hati mereka menelusuri pematang di antara tanaman jagung yang tumbuh agak tinggi, sehingga mereka tidak mudah dapat dilihat dari kejauhan.

“Gila,” geram Ki Rangga. “Kita datang terlambat.”

Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Rangga berkata sejujurnya, “Semua ini akibat kebodohan Wiradana. Jika ia mampu mengendalikan Tanah Perdikannya, maka tentu tidak akan terjadi pemberontakan yang dapat

menghambat kepergianku kemari dengan membawa meskipun hanya sekelompok kecil pasukan pengawal.”

“Jangan membebankan kesalahan sepenuhnya kepada Ki Wiradana,” sahut Ki Randukeling. “Ia tidak lagi banyak dapat berbuat di Tanah Perdikan Sembojan justru karena kehadiran kita disana.”

“Itu adalah kelemahannya yang utama,” sahut Ki Rangaga yang beberapa kali mengalami kekecewaannya, “Jika ia berdiri pada satu sikap, maka orang lain tidak akan mudah mempengaruhinya.”

“Kita tidak sekadar mempengaruhinya,” berkata Ki Randukeling. “Aku datang memang untuk memaksakan pendapat dan sikapku, sebagaimana keinginan Ki Rangga. Wiradana bukan seorang yang lemah hati, atau katakanlah bukan semata-mata karena

kelemahan hatinya saja yang telah membuat Tanah Perdikannya menjadi sulit,

tetapi kita memaksakan kehendak kita dengan kekerasan. Ki Wiradana bukan seorang yang memiliki ilmu tinggi. Terhadap istrinya saja ia sudah tidak mampu melawannya.”

mohon maaf terpotong sedikit...saya peroleh memang sudah begitu...

Wiradana tidak menyahut. Tetapi sekilas ia pun teringat bahwa Iswari pun telah mempunyai seorang anak, yang menurut pendengarannya juga laki-laki. Apalagi tunggul kuasa yang dilimpahkan oleh Pajang ada ditangan Iswari pula.

Ki Wiradana memegangi kepalanya yang terasa pening. Dua orang keturunannya akan dapat berhadapan sebagai lawan yang bebuyutan, didukung oleh kekuatan yang besar sehingga masing-masing memiliki landasan berpijak yang kuat.

Sementara itu, para pemimpin dari Tanah Perdikan Sembojan itu telah berusaha untuk mempergunakan waktunya beristirahat barang sejenak. Namun mereka hampir tidak dapat memejamkan mata mereka karena kegelisahan yang bergejolak di dalam dada mereka.

Esok pagi harus menemukan jalan untuk mencari pasukan Jipang yang terdesak. Namun Ki Rangga telah dapat memperkirakan arahnya meskipun mungkin dapat juga keliru.

Tetapi sementara itu, di luar pengetahuan Ki Rangga dan Ki Randukeling, dua orang perwira petugas sandi dari Pajang telah berhasil mengikuti pasukan kecil dari Tanah Perdikan itu. Berdasarkan keterangan yang diperoleh penghubng dari

Pajang di Tanah Perdikan Sembojan di tempat yang telah ditentukan bersama dengan keluarga Iswari, maka para petugas sandi Pajang telah mengamati semua jalur dari Tanah Perdikan Sembojan ke Pajang. Dengan demikian maka mereka telah melihat kehadiran pasukan kecil itu dan dimana mereka bersembunyi.

Namun petugas sandi Pajang itu tidak melihat Ki Rangga dan Ki Randukeling yang pada malam hari keluar dari iring-iringan itu untuk mencari hubungan dengan orang-orang Jipang.

Tetapi ketika para petugas sandi itu kemudian mendengar dua orang yang berada di padukuhan yang ditinggalkan oleh orang-orang Jipang, maka mereka pun segera mengerti, bahwa kedua orang itu tentu para pemimpin dari pasukan kecil yang baru datang itu. “Mereka ternyata memiliki ilmu yang tinggi,” berkata para prajurit Pajang.

Namun Pajang juga mempunyai beberapa orang yang memiliki ilmu, sehingga seandainya tidak mampu menghadapinya seorang diri, maka dalam kelompok-kelompok kecil mereka akan dapat menghadapinya.

“Kita harus menjaga, agar pasukan itu tidak justru pergi ke Tanah Perdikan Sembojan,” berkata seorang perwira Pajang. “Jika pasukan itu bersama orang-orang Jipang meninggalkan perbatasan dan menuju ke Sembojan, maka Sembojan akan menjadi ajang pembalasan dendam.”

“Kita akan ikut bertanggung jawab,” sahut perwira yang lain. “Karena itu, maka kita akan membayangi pasukan itu dengan sebagian kekuatan yang ada di daerah perbatasan ini. Sementara itu di Tanah Perdikan masih ada sebagian dari kekuatan

yang tertinggal, yang akan dapat membantu menyelamatkan Tanah Perdikan itu dari dendam orang-orang Jipang dan para pemimpin yang berpihak kepada Jipang itu.” Yang lain mengangguk-angguk. Namun dengan demikian maka berarti bahwa Pajang harus menyiapkan pasukan yang mampu bergerak cepat dan untuk menempuh jarak panjang meskipun tidak sejauh Jipang.

Tetapi Pajang akan mencoba cara yang pertama. Jika mereka selalu mengganggu pasukan Jipang di Pajang, maka pasukan itu tentu tidak akan bergeser apalagi sebagian.

Namun kecemasan ini telah disampaikan lewat penghubung ke Tanah Perdikan Sembojan. Di tempat yang terasing penghubung itu menyampaikan segala pesan para perwira Pajang kepada keluarga Iswari.

Ketika matahari terbit keesokan harinya, maka Ki Rangga dan Ki Randukeling telah bersiap untuk mencari keterangan tentang pasukan Jipang. Mereka telah mengenakan penyamaran, sehingga ujud mereka tidak lebih dari dua orang pengembara atau dua orang petani miskin.

Dengan sangat hati-hati kedua orang itu meninggalkan hutan yang terbentang menyilang bulak itu. Mereka menembus padang perdu dan langsung menuju ke sebuah padukuhan.

Sementara itu para pengawas dari petugas sandi Pajang hanya mengawasi pasukan itu dalam keseluruhan sehingga mereka tidak memperhatikan dua orang dalam penyamaran ke luar dari hutan itu dan menyusup lewat padang perdu.

Ketika Ki Rangga memasuki padukuhan itu, terasa padukuhan itu menjadi sepi. Sebagian dari isi padukuhan itu telah mengungsi meskipun padukuhan itu belum disentuh oleh peperangan.

Namun demikian orang-orang yang masih ada di padukuhan itu, masih juga melakukan tugas mereka sehari-hari. Bahkan ketika Ki Rangga dan Ki Randukeling menyusuri padukuhan itu lebih dalam lagi, maka Ki Rangga menemui sebuah pasar yang

ternyata masih juga banyak dikunjungi orang meskipun agaknya tidak sebanyak bila keadaan tenang.

Namun Ki Rangga dan Ki Randukeling sempat berada di pasar itu untuk beberapa saat. Dengan cerdik mereka berhasil memancing pembicaraan. Namun tidak seorang pun yang tahu pasti, dimanakah pasukan Jipang itu berada.

Meskipun demikian, Ki Rangga dan Ki Randukeling mendapat sedikit gambaran, apa yang pernah terjadi di padukuhan yang telah dipergunakan oleh pasukan Jipang untuk menyusun pertahanan mereka.

“Pertempuran itu tidak terlalu seru,” berkata salah seorang di antara mereka, “Justru karena Pajang mengirimkan pasukannya jauh lebih banyak dari pasukan Jipang.”

“Dan pasukan Jipang itu tentu telah dihancurkan,” pancing Ki Rangga Gupita. “Menurut pendengaranku, pasukan Jipang itu sempat melarikan diri. Menurut para prajurit Pajang yang tersebar di antara orang-orang padukuhan, Pajang tidak berniat untuk menghancurkan pasukan Jipang itu, kecuali mengusirnya,” jawab orang di pasar itu.

Ki Rangga mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.

Tetapi orang itulah yang bercerita lebih jauh, “Pajang ternyata telah memanggil anak-anak muda dari berbagai padukuhan untuk ikut berjuang bersama para prajurit. Menurut kabar yang tersebar, pasukan Jipang itu juga terdiri dari

anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan karena Jipang sudah kehabisan prajurit.”

Hampir saja Ki Rangga mengumpat. Untunglah bahwa ia sempat melihat Ki Randukeling tersenyum, sehingga karena itu, maka ia pun telah tersenyum pula. Namun Ki Rangga tidak mau mendengarkan orang itu berbicara lebih banyak agar ia tidak lupa diri dan berbuat sesuatu yang dapat merusak penyamarannya. Karena

itu, maka keduanya pun segera bergeser dari orang itu untuk melihat-lihat isi pasar yang agak sepi itu.

Tetapi mereka tidak terlalu lama berada di pasar itu. Ketika dari orang lain

mereka juga mendengar hal yang serupa, maka keduanya telah mengambil keputusan untuk berusaha mencari padukuhan yang dipergunakan oleh orang-orang Jipang untuk membangunkan pertahanannya.

Mereka melakukannya dengan sangat hati-hati agar mereka tidak bertemu dengan orang-orang Pajang. Di padukuhan-padukuhan lain, mereka juga berusaha memancing keterangan tentang orang-orang Jipang itu.

Ketika mereka melihat dua orang berada di sudut sebuah padukuhan maka keduanya telah bertanya jalan yang manakah yang paling aman untuk dilalui.

“Ki Sanak mau kemana?” bertanya salah seorang dari kedua orang yang ada di sudut padukuhan itu.

“Kami adalah dua orang pengembara,” jawab Ki Rangga. “Kami berasal dari Mangir sebelah Alas Mentaok. Ketika kami menginjakkan kaki di Pajang, ternyata Pajang baru dilanda peperangan. Kami ingin meneruskan pengembaraan kami, tetapi kami takut tersesat ke perkemahan orang-orang Jipang.”

“O,” salah seorang di antara kedua orang itu mengangguk-angguk. “Memang ada dua padesaan yang dipergunakan oleh orang-orang Jipang. Tetapi keduanya terletak di belakang gumuk yang berada diseberang sungai. Masih beberapa ratus patok dari tempat ini.”

Ki Rangga mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya, “Apakah benar mereka bersikap garang dan menakutkan?”

Orang itu merenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Yang dilakukan adalah wajar sebagaimana dilakukan oleh para prajurit di medan. Kadang-kadang garang dan kadang-kadang keras. Tetapi mereka tidak terlalu banyak memusuhi kami,

orang-orang yang tidak tahu apa-apa tentang perang ini. Mereka membiarkan saja kami hidup sebagaimana hidup kami sehari-hari. Namun bagi padukuhan-padukuhan terdekat, timbul juga kegelisahan dan sebagian besar penghuninya telah

mengungsi. Bahkan orang-orang dari padukuhan ini pun telah banyak yang mengungsi pula.”

Ki Rangga mengangguk-angguk. Memang banyak tanggapan yang didengarnya atas kehadiran pasukan Jipang itu. Namun bagaimanapun juga bagi orang-orang Pajang, Jipang adalah musuh mereka.

Dengan ancar-ancar itu, maka Ki Rangga dan Ki Randukeling pun telah dapat mengetahui dimana pasukan Jipang itu berkemah. Namun mereka pun sadar, bahwa sekitar padukuhan yang dipergunakan oleh orang-orang Jipang itu tentu terdapat banyak petugas sandi dari Pajang yang mengawasinya. Karena itu, maka keduanya harus berhati-hati agar keduanya tidak masuk ke dalam perangkap mereka. Ki Rangga adalah seorang perwira dari pasukan sandi yang berpengalaman.

Sedangkan Ki Randukeling adalah seorang pertapa yang juga memiliki pengalaman yang sangat luas. Karena itu, maka keduanya merasa mampu untuk menembus pengawasan orang-orang Pajang yang ada di sekitar padukuhan itu.

Sebenarnyalah kelebihan kedua orang itu telah mampu membawa mereka tanpa diketahui oleh orang-orang Pajang yang selalu mengawasi pasukan itu, apalagi para petugas dari Pajang itu lebih banyak mengawasi gerak pasukan itu dalam

keseluruhan, sebagaimana para petugas yang mengawasi sekelompok pasukan Tanah Perdikan Sembojan yang bersembunyi di hutan.

Kedatangan Ki Rangga memang mengejutkan. Hampir saja para penjaga mematuknya dengan ujung tombak. Namun dengan cepat Ki Rangga memberikan penjelasan tentang dirinya dan Ki Randukeling.

“Dimana Senapatimu?” bertanya Ki Rangga.

“Ia berada di padukuhan sebelah,” jawab prajurit Jipang itu.

“Apakah padukuhan itu terpisah jauh dan jarak itu diawasi oleh orang-orang Pajang?” bertanya Ki Randukeling.

“Tidak,” jawab prajurit itu. “Padukuhan itu hanya dipisahkan oleh bulak sempit dan jarak itu sepenuhnya dikuasai oleh kita.”

“Bagus,” berkata Ki Rangga. “Bawa aku kepada mereka. Para Senapati pasukan ini.”

Dua orang prajurit kemudian mengantar Ki Rangga dan Ki Randukeling ke padukuhan sebelah untuk bertemu dengan para pemimpin pasukan Jipang yang sudah semakin terdesak itu.

Kedatangan Ki Rangga memang memberikan harapan kepada para Senapati Jipang. Namun Ki Rangga ternyata tidak membawa pasukan yang cukup banyak.

“Meskipun demikian, kedudukan kita akan menjadi semakin kuat,” berkata Panglima pasukan Jipang itu.

“Apakah ada harapan kita untuk mendesak pasukan Pajang?” bertanya Ki Randukeling.

“Sulit untuk mengatakannya,” jawab Panglima itu. “Tetapi dengan kekuatan itu, kita akan dapat bertahan disini untuk waktu yang lama. Kita tidak perlu diusir lagi semakin jauh dari perbatasan.”

“Tetapi bagaimana membawa pasukan itu kemari?” bertanya Ki Rangga Gupita. “Pasukan itu hanya kecil saja. Jika kita terjebak, maka keadaan akan menjadi sangat sulit bagi pasukan itu untuk dapat keluar.”

Panglima itu pun mengangguk-angguk. Ia pun mengerti, bahwa pasukan kecil itu agaknya sudah masuk pula ke dalam pengawasan para petugas sandi Pajang.

Untuk beberapa saat para Senapati itu ber-pikir. Namun kemudian Panglima itu berkata, “Siapkan pasukan itu. Besok mereka masih harus bersembunyi. Jika malam datang, maka sebagian dari pasukan kita disini akan menjemput mereka. Dengan demikian, maka jika terjadi benturan kekuatan, maka kita termasuk pasukan yang baru datang itu akan mendapat kesempatan untuk menarik diri karena kita tidak terlalu lemah. Dalam keadaan yang khusus, maka akan dikirim isyarat sehingga seluruh pasukan terpaksa bergerak untuk menyelamatkan mereka. Setidak-tidaknya kita akan mampu bertahan.”

“Terima kasih,” berkata Ki Rangga. “Aku akan mempersiapkan mereka.”

Untuk beberapa saat lamanya mereka masih berbincang. Sehingga akhirnya Ki Rangga dan Ki Randukeling pun minta diri untuk kembali ke pasukan kecil itu. Besok

malam, mereka akan dijemput oleh kekuatan yang cukup besar meskipun dalam gerak rahasia.

Dengan demikian, maka keduanya telah meninggalkan padukuhan itu. Sebagaimana mereka datang, maka mereka pun harus pergi dengan sangat berhati-hati. Namun keduanya cukup memberikan bekal kepada mereka untuk melakukan tugas mereka dengan baik.

Sejenak kemudian, maka mereka pun merasa telah terlepas dari pengawasan para petugas sandi Pajang. Namun ketika mereka mendekati hutan kecil itu, maka mereka pun kembali harus sangat berhati-hati, karena mungkin pasukan kecil itu pun

telah diketahui dan selalu diawasi pula.

Menjelang dini hari Ki Randukeling telah berada kembali di antara pasukan

Pengawal Tanah Perdikan. Mereka pun segera memberikan laporan, apakah yang telah mereka lakukan.

“Nah, kau dengar kakang,” berkata Warsi kepada Ki Wiradana. “Bukankah sambutan para Senapati Jipang cukup baik. Mereka akan menjemput kita. Itu adalah pencerminan sikap bertanggung jawab dari para Senapati Jipang.”

“Terima kash,” desis Ki Wiradana.

“Terima kasih, terima kasih. Hanya itulah yang dapat kau lakukan? Sekadar mengucapkan terima kasih?” bentak Warsi. Ki Wiradana terkejut. Ia tidak tahu maksud Warsi, sehingga ia justru menjadi bingung.

“Kau harus berbangga diri, bahwa pasukan pengawalmu mendapat kehormatan untuk ikut serta dalam persoalan yang besar ini. Dengan demikian maka para pengawalmu akan mendapatkan pengalaman yang cukup, sehingga kelak Tanah Perdikan Sembojan akan menjadi Tanah Perdikan yang memiliki kekuatan yang seimbang dengan beberapa Kadipaten. Mungkin tidak dalam jumlah pasukan, tetapi tingkat kemampuannya akan memadai,” berkata Warsi.

Ki Wiradana mengangguk. Katanya, “Ya. Aku pun berpikir seperti itu.”

“Kau tidak pernah mampu memikirkannya,” sahut Warsi. Namun kemudian Warsi pun bertanya kepada Ki Rangga. “Jadi besok malam kita akan bergabung dengan pasukan induk itu?”

“Ya. Besok kita harus mempersiapkan diri,” berkata Ki Rangga. “Namun demikian kita harus tetap berhati-hati. Mungkin pasukan Pajang akan menyergap kita siang nanti.”

Warsi mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada Ki Wiradana, “Kau jangan tidur saja. Hati-hati dengan pasukanmu. Mereka harus selalu siap. Beberapa orang harus tetap ditempatkan ditepi hutan untuk mengamati apa yang terjadi diluar hutan dan di padang perdu itu. Kita tidak banyak mengenal medan disini.”

Ki Wiradana hanya mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali. Namun dalam pada itu, ketika Ki Rangga Gupita ingin sekadar beristirahat dengan duduk bersandar sebatang pohon yang besar menjelang fajar, maka Ki Randukeling telah duduk pula disampingnya. Dengan tanpa memandangnya Ki Randukeling bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang pasukan Jipang disini?”

“Tambahan kekuatan ini akan memberikan arti,” jawab Ki Rangga Gupita.

“Tetapi agaknya pasukan Jipang disini tidak mempunyai harapan dalam waktu dekat untuk mendesak pasukan Pajang,” sahut Ki Randukeling. “Bagaimana jika kita menempuh jalan lain seperti yang pernah kita bicarakan?”

Ki Rangga mengerutkan keningnya. Kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apa yang pernah kita bicarakan?” “Sejak semula kita berbicara tentang dua kemungkinan yang dapat ditempuh. Kita bantu Jipang di medan ini lebih dahulu, atau Jipang membantu memulihkan kewibawaan Tanah Perdikan Sembojan lebih dahulu,

sehingga dengan demikian maka perlawanan Jipang bersama pasukan Tanah Perdikan Sembojan menjadi semakin kuat, karena para pengawal dari Tanah Perdikan ini semakin banyak yang akan dapat membantu pasukan Jipang di Pajang,” berkata Ki Randukeling.

Ki Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kita sudah berada ditempat ini Ki Randukeling. Apakah kita akan menarik pasukan ini dan kembali ke Tanah Perdikan Sembojan? Bukankah itu hanya akan membuang waktu saja?”

“Ki Rangga,” berkata Ki Randukeling. “Perang antara Pajang dan Jipang nampaknya akan berlangsung lama, sehingga dengan demikian maka waktu yang diperlukan untuk memulihkan kuasa atas Tanah Perdikan Sembojan itu sama sekali tidak akan mempengaruhi keadaan.”

“Sebenarnya segalanya tergantung kepada Wiradana. Apakah ia mampu mengendalikan pemerintahan atau tidak. Meskipun kita kembali dengan pasukan Jipang yang kuat, namun jika Wiradana tidak mampu memegang pimpinan atas Tanah Perdikan itu, maka persoalannya akan sama saja. Mereka akan memberontak lagi, dan kita akan menghadapi mereka dengan kekerasan sebagaimana yang telah terjadi. Sementara

itu, persoalan Pajang dan Jipang menjadi semakin memuncak sehingga pada suatu saat kita diperlukan sekali kehadiran kita di sini, kita tidak ada ditempat,”

jawab Ki Rangga.

“Aku mengerti,” jawab Ki Randukeling. “Tetapi kita jangan melemparkan kesalahan dengan begitu mudahnya kepada Ki Wiradana. Aku sama sekali tidak berniat membelanya. Aku juga tidak begitu senang kepadanya. Tetapi kita harus mengetahui persoalan yang sebenarnya. Kelemahan kedudukan kita di Tanah Perdikan Sembojan. Sebagian adalah karena sikap kita terhadap rakyat Sembojan. Pajak yang terlalu tinggi dan barangkali mereka juga merasakan ketidaksenangan melihat Ki Wiradana, pemimpin mereka seakan-akan telah kehilangan kuasanya. Ditambah lagi pengaruh Nyai Wiradana yang tua di antara rakyat Sembojan itu sendiri.”

“Karena itu Ki Randukeling” berkata Ki Rangga, “Bagiku lebih baik kita berada disini untuk sementara. Kita akan melakukan perintah Jipang. Jika kita tidak berada di sini, mungkin Pajang akan mengirimkan pasukan untuk memperkuat

kedudukannya di pesanggrahannya diseberang Bengawan Sore yang berhadapan dengan pasukan Jipang.”

Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Jika pasukan ini meninggalkan Pajang dan untuk beberapa hari berada di Tanah Perdikan Sembojan sudah tentu dengan persetujuan Jipang. Karena keterlibatan Tanah Perdikan Sembojan juga atas persetujuan Jipang.”

Ki Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Segala sesuatunya harus dibicarakan dengan Panglima pasukan Jipang itu di sini. Tetapi Ki

Randukeling harus menyadari, bahwa untuk berbicara tentang kemungkinan itu harus ada utusan khusus yang menghadap Kanjeng Adipati Arya Penangsang di Jipang, atau setidak-tidaknya Patih Mantahun yang keduanya berada di tepi Bengawan Sore berhadapan dengan pasukan Pajang yang dipimpin oleh Hadiwijaya dengan para panglimanya yang paling berbahaya. Pemanahan dan Penjawi. Untuk itu diperlukan waktu yang cukup panjang.”

Ki Randukeling mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Baiklah. Besok pasukan ini akan dijemput. Sementara itu kita akan dapat berbicara tentang kemungkinan yang lain yang barangkali dapat kita tempuh.”

Ki Rangga mengangguk-angguk. Jawabnya dengan suara datar, “Kita tunggu sampai besok Ki Randukeling.”

Ki Randukeling mengangguk pula sambil menjawab, “Baiklah. Aku pun akan beristirahat.”

Langit memang sudah menjadi merah. Tetapi Ki Randukeling bergeser dan mencoba untuk tidur pula barang sejenak.

Sementara itu, beberapa orang pengawal justru telah terbangun. Mereka telah pergi ke sebuah mata air yang besar yang terdapat ditengah-tengah hutan kecil itu, sehingga airnya yang melimpah telah mengalir menjadi sebuah parit kecil yang berair sangat bening.

Dalam pada itu, Ki Wiradana pun telah menyempatkan diri pula untuk beristirahat. Sementara Warsi berada disamping anaknya yang masih bayi agar anak itu tidak menangis kedinginan. Seorang perempuan yang tidak dapat menentang kemauan Warsi untuk ikut, tertidur pula beralaskan sehelai tikar kecil yang memang dibawa dari

Tanah Perdikan Sembojan. Di luar sadarnya, dari kedua matanya yang terpejam

telah mengembun air mata, karena perempuan itu telah menangis di dalam mimpinya yang buruk.

Sementara itu, ditepi hutan, beberapa orang pengawal yang bertugas telah mulai terkantuk-kantuk. Ketika langit menjadi semakin terang, beberapa orang pengawal yang lain telah menggantikan mereka di beberapa tempat untuk mengamati padang perdu di luar hutan itu, karena setiap saat sesuatu akan mungkin terjadi.

Menurut perhitungan para pemimpin pasukan kecil itu, kedatangan mereka tentu telah tercium oleh petugas sandi di Pajang yang seakan-akan telah menyebarkan telinga dan mata di batang-batang pepohonan dan gerbang-gerbang padukuhan. Namun pasukan pengawal yang kecil itu telah dapat beristirahat dengan tenang dan tanpa gangguan.

Dalam pada itu, pasukan Pajang memang tidak berusaha untuk mengganggu pasukan Jipang. Kecuali pasukan Pajang belum tahu pasti kekuatan pasukan Jipang itu meskipun mereka yakin bahwa pasukan itu hanya pasukan kecil, namun orang-orang Pajang mempunyai perhitungan tertentu atas pasukan itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar