Suramnya Bayang-Bayang Jilid 28

Jilid 28

Dalam pada itu, Ki Wiradana yang berada di induk pasukan itu pula menjadi termangu-mangu melihat Iswari yang cantik, yang membawa tunggul pertanda limpahan kuasa dari Pajang. Ia mulai bertanya kepada diri sendiri. Apakah yang sebenarnya telah terjadi pada dirinya pada saat ini. Apakah yang telah

mendorongnya untuk berbuat gila, mengupah Serigala Betina untuk membunuh Iswari yang sedang mengandung.

Diluar sadarnya, Ki Wiradana yang masih belum terlibat ke dalam pertempuran itu sempat berpaling mengamati Warsi yang bertempur melawan seorang perempuan tua. Dengan jantung yang berdegupan semakin keras, Ki Wiradana telah bertanya pula kepada diri sendiri, “Kenapa aku memilih Warsi. Apakah kelebihan Warsi dari Iswari?”

Dalam pertempuran yang menjadi semakin seru itu, maka seorang perempuan lain yang bertubuh tegap telah menghampirinya. Dengan nada lembut perempuan itu berkata, “Selamat bertemu kembali Ki Wiradana.”

Ki Wiradana mengerutkan keningnya. Perempuan itu adalah Serigala Betina. Dengan demikian maka jantungnya terasa berdegupan semakin keras.

Namun perempuan itu berkata, “Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya akan melayanimu sejauh dapat kau lakukan. Aku tidak akan mengalahkanmu dan tidak akan menangkapmu.” “Persetan,” geram Ki Wiradana. “Kau membuat aku menjadi gila.” “Aku berkata sebenarnya Ki Wiradana,” berkata perempuan itu. “Sebaiknya kau memenuhi tugasmu sebagai pemimpin pasukan. Kau harus bertempur. Atau aku akan memaksamu bertempur?” Ki Wiradana tidak dapat berbuat lain. ia pun kemudian mengayunkan pedangnya menyerang Serigala Betina itu.

Serigala Betina itu meloncat menghindar. Ia pun telah memegang senjata pula. Tidak seperti yang dipergunakannya bertempur melawan Ki Wiradana di pasar. Tetapi ia mempergunakan pedang seperti para prajurit yang lain.

Namun ternyata seperti dikatakan. Serigala Betina tidak berusaha mengalahkan Ki Wiradana. Ia memang bertempur melawannya. Namun seolah-olah Serigala Betina itu hanya sekadar mempertahankan diri.

Yang kemudian bertemu lagi adalah Sambi Wulung dengan Ki Saudagar yang pernah dirampoknya. Namun nampaknya Ki Saudagar tidak mengenalinya.

Dengan demikian, maka para pemimpin dari kedua belah pihak itu pun telah menemukan lawannya masing-masing. Pengendang yang pernah diaku sebagai ayah Warsi itu bertemu dengan Ki Jati Wulung. Bertemunya dua tataran ilmu yang tidak seimbang.

Namun sebagaimana yang dikatakan oleh Nyai Soka, bahwa pertempuran itu bukannya pertempuran yang menentukan. Para pemimpin Tanah Perdikan itu masih diperlukan untuk memancing kekuatan lawan sampai tuntas.

Dengan demikian, maka bekal dari setiap orang dari pasukan yang dianggap memberontak itu memang bukan untuk membunuh. Mereka hanya ingin menunjukkan kekuatan yang tidak dapat diabaikan.

“Jika kita berhasil mengusir mereka dari Tanah Perdikan ini, maka mereka tentu akan datang dengan kekuatan yang ada pada mereka sepenuhnya,” berkata Kiai Badra di dalam hatinya.

Sejenak kemudian, maka kedua pasukan itu benar-benar telah berbenturan. Bukan saja induk pasukan. Tetapi dari ujung sampai ke ujung sayap.

Namun demikian, maka ternyata di dalam pertempuran itu masih juga terjadi pembicaraan. Para pengawal dari lingkungan yang disebut pemberontak itu masih berusaha untuk berbicara.

Seorang pemimpin kelompok telah berkata lantang disela-sela dentang senjata, “Apakah kita benar-benar akan saling membunuh?”

Pertanyaan itu benar-benar membingungkan. Sementara pemimpin kelompok itu menjawab sendiri, “Kita adalah satu keluarga besar. Kita bersaudara. Dan kita telah menempatkan jalan sesat sampai saat ini. Apakah kita masih akan mengikuti jalan sesat ini?”

Para pengawal yang berada di pasukan Tanah Perdikan Sembojan termangu-mangu. Sementara itu, mereka merasakan, bahwa para pengawal yang dianggap memberontak itu tidak dengan keras berusaha untuk menghancurkan lawannya.

“Kita dapat memilih satu jalan,” berkata pemimpin pengawal itu. “Kita tidak bertempur dengan sungguh-sungguh.

Lawannya tidak menjawab. Tetapi agaknya tawaran itu dapat mereka terima, sehingga dengan demikian maka pertempuran yang terjadi itu pun seakan-akan hanya sekadar latihan yang keras.

Meskipun ada juga di antara mereka yang terluka, namun ternyata pembicaraan yang serupa telah terjadi dimana-mana. Di ujung sampai ke ujung. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran yang terjadi antara kedua pasukan itu tidak menunjukkan benturan kekuatan yang sebenarnya. Apalagi karena sejak semula, para pengawal yang berpihak kepada Ki Wiradana itu sudah menjadi ragu-ragu.

Yang benar-benar bertempur adalah justru para pemimpin dari kedua belah pihak dan beberapa orang pengawal yang paling dekat dengan Ki Wiradana dan para pemimpin dari pengawal yang pernah mendapat latihan berat sebelumnya, yang tersisa dari mereka yang dibawa ke Pajang.

Namun mereka benar-benar membentur kekuatan para pengawal yang disebut pemberontak, karena di antara mereka terdapat para bekas prajurit yang

sebenarnya meskipun sudah menjadi semakin tua, namun mereka masih mempunyai hasrat pengabdian yang sangat tinggi. Apalagi disekitar mereka terdapat para pengawal yang masih muda dan memiliki latihan yang cukup pula.

Dalam pada itu, Ki Rangga yang sekali-kali sempat memperhatikan seluruh arena pertempuran itu mengumpat di dalam hati. Bahkan karena kepepatan perasaannya, tiba-tiba saja ia berteriak, “He, pasukan Tanah Perdikan Sembojan. Tunjukkan sikap kepahlawanan kalian. Pertahankan wibawa Tanah Perdikan dengan menghancurkan pemberontakan ini.”

Para pengawal di paruh gelar Garuda Nglayang itu memang terpengaruh juga dan berusaha untuk menumpahkan segenap kemampuan mereka. Namun lawan-lawan mereka

pun telah berbuat serupa. Mereka pun telah mengerahkan segenap kekuatan mereka untuk menghadapi kekuatan Tanah Perdikan Sembojan yang merasa dibebani tugas menumpas pemberontakan.

Dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi hambar karenanya. Rasa-rasanya tidak ada hentakan-hentakan kekuatan. Tidak terdengar teriakan-teriakan yang menggelegar dan tidak ada keluh dan ratap kesakitan. Jika ada satu dua orang

yang terluka maka orang itu pun segera bergeser surut dan tempatnya segera diisi oleh orang lain dengan beban perasaan yang sama.

Kejanggalan itu ternyata terasa oleh para pemimpin Tanah Perdikan. Mereka merasa bahwa sesuatu telah terjadi dengan tidak sewajarnya, meskipun mereka tidak dapat menyebutnya dengan tepat.

Namun para pemimpin Tanah Perdikan itu menganggap bahwa, jika mereka telah menyelesaikan tugas mereka, menghadapi pemimpin pasukan yang mereka sebut pemberontak itu, mereka akan dapat berbuat banyak atas para pengawal.

Yang kemudian mereka lakukan, adalah sekadar memelihara agar garis pertempuran itu tidak bergeser surut.

Karena itulah, maka Ki Rangga Gupita telah mengerahkan kemampuannya untuk segera mengalahkan lawannya. Jika ia berhasil membunuh lawannya, maka ia akan dapat melibatkan diri bersama para pengawal. Kematian demi kematian akan terjadi dan meskipun para pengawal tidak bertempur dengan sepenuh kemampuan mereka oleh keragu-raguan, maka kehadiran Ki Rangga di antara para pengawal tentu akan memberikan pengaruh.

Tetapi yang dihadapi Ki Rangga adalah Gandar. Seorang yang memiliki ilmu yang tinggi pula. Seorang yang memiliki kekuatan yang jarang ada duanya dan mampu melakukan sesuatu dalam ilmu kanuragan yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain.

Karena itu, maka pertempuran antara Ki Rangga dan Gandar pun menjadi semakin sengit. Keduanya memiliki kelebihan. Tetapi keduanya pun juga memiliki kelemahan.

Dalam pada itu, Warsi yang menjadi garang dan bahkan hampir menjadi liar, telah berusaha menekan Nyai Soka dengan segenap kemampuannya. Namun Nyai Soka adalah

seorang perempuan yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga dengan demikian Warsi itu sama sekali tidak berarti.

Dalam pada itu, Nyai Soka sebenarnyalah sedang berpikir, apakah ia akan menangkap Warsi hidup-hidup atau membiarkannya terlepas.

Jika ia menangkap Warsi, maka kekuatan yang ada dibelakang Warsi mungkin tidak akan segera muncul. Tetapi pada satu saat yang tidak diperhitungkan, mereka datang untuk menghancurkan Tanah Perdikan ini, sebagaimana dilakukan oleh

keluarga Kalamerta. Mereka tidak berani dengan terbuka menyerang Tanah Perdikan itu pada saat Ki Gede Sembojan masih hidup. Tetapi mereka telah mempergunakan cara yang sangat licik.

Karena itu, maka Nyai Soka memutuskan untuk membiarkan orang-orang yang mengelilingi Ki Wiradana itu untuk tetap hidup dan melepaskan mereka. Nyai Soka mengharap bahwa dengan demikian maka mereka akan segera kembali dengan segenap kekuatan yang ada pada mereka.

Jika demikian maka mereka akan dapat menyelesaikan persoalannya sampai tuntas. Dengan pikiran itu, maka Nyai Soka tidak ingin menunjukkan tingkat kemampuannya yang sebenarnya. Ia bertempur melawan Warsi sekadar untuk tidak dikalahkannya.

Dalam pada itu, ternyata Sambi Wulung dan Jati Wulung pun mampu menyesuaikan diri. Mereka sebenarnya dapat mengalahkan lawan mereka dengan segera, namun mereka bertahan sebagaimana dilakukan oleh Nyai Soka.

Berbeda dengan mereka adalah Gandar. Gandar yang bertempur melawan Ki Rangga Gupita benar-benar telah bertempur bertaruh nyawa.

Seperti yang lain, Gandar pun telah mempergunakan senjata sebagaimana yang biasa dipergunakan dalam pertempuran. Ia membawa sebatang tombak pendek, sementara Ki Rangga Gupita mempergunakan sebilah pedang yang besar.

Dengan senjata tersebut, maka keduanya benar-benar merupakan lawan yang menggetarkan.

Pedang Ki Rangga Gupita yang berputaran bagaikan gumpalan awan itu telah melibat Gandar yang bertahan dengan tombaknya. Namun dalam benturan ilmu, tiba-tiba saja tombak Gandar telah berhasil memecahkan putaran pedang Ki Rangga sehingga gumpalan awan itu bagaikan pecah dan lenyap di udara. Sementara itu, tombak Gandarlah yang telah mematuk seperti paruh seekor ikan cucut yang ganas di

lautan.

Ki Rangga telah meloncat sambil memukul tombak Gandar menyamping. Namun tombak

itu terayun dan berputar. Sekali lagi tombak itu telah mematuk, hampir saja mengenai keningnya. Untunglah bahwa Ki Rangga masih sempat memiringkan kepalanya, sehingga ujung tombak itu berdesing hampir menyentuh telinga.

Gandar ternyata tidak mau melepaskannya. Tombak itu tiba-tiba telah bergerak mendatar menyambar leher. Namun Ki Rangga telah berhasil memperbaiki letak kakinya, sehingga dengan putaran setengah lingkaran, maka ujung tombak itu

berdesing tanpa menyentuhnya. Bahkan kemudian searah, dengan sambaran tombak itu Ki Rangga meloncat selangkah maju sambil menjulurkan pedangnya yang besar ke

arah lambung.

Gandarlah yang harus meloncat mundur. Namun kemudian bagaikan badai tombaknya berputar mendatar. Satu sambaran yang hampir saja mengoyak pundak Ki Rangga.

Untunglah ia masih sempat merendahkan diri. Bahkan sekaligus menjulurkan pedangnya ke arah perut.

Pertempuran antara Gandar dan Ki Rangga itu menjadi semakin sengit. Seakan-akan keduanya adalah lawan yang penuh dengan dendam. Masing-masing ternyata telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada. Dengan tenaga cadangan yang mungkin dikerahkan, keduanya telah saling menyerang dan menghindar.

Namun dalam benturan-benturan yang terjadi kemudian, dalam puncak kekuatan mereka berlandaskan cadangan yang ada, maka benturan antara Ki Rangga Gupita dan Gandar merupakan pertempuran yang sangat seru.

Tetapi dalam puncak dorongan tenaga cadangan mereka, ternyata bahwa kemampuan Gandar terasa lebih mantap. Demikian pula kematangan ilmunya, sehingga dengan demikian maka mereka yang memiliki pengamatan yang sangat tajam dalam olah kanuragan akan dapat menilai, bahwa Ki Rangga mulai merasakan kesulitan menghadapi ujung tombak Gandar.

Dalam pada itu, pertempuran di kedua sayap pasukan itu terasa sangat hambar. Para pengawal hanya sekadar mengacu-acukan senjata sambil berteriak-teriak tanpa tekanan. Meskipun demikian satu dua di antara mereka dengan tidak sengaja telah tergores oleh ujung-ujung senjata yang silang melintang di medan itu.

HANYA di pasukan induk pertempuran benar-benar telah terjadi. Para pengawal pengikut Ki Wiradana bertempur dengan sepenuh kemampuan yang ada. Namun yang mereka hadapi ternyata sebagian adalah bekas prajurit Pajang yang memiliki pengetahuan yang luas tentang ilmu senjata. Disamping mereka adalah para

pengawal yang telah melarikan diri dari barak mereka dan bergabung dengan kekuatan yang disebut pemberontak itu.

Sebenarnyalah bahwa di induk pasukan itu, terdengar beberapa orang pengawal mulai mengeluh. Dalam pertempuran yang seru, orang-orang tua bekas prajurit Pajang itu mampu membuat permainan gelar yang kadang-kadang mengejutkan

lawan-lawannya. Ternyata mereka masih mampu mengungkit kembali perbendaharaan pengalaman mereka sebagai prajurit dan dituangkannya dalam pertempuran itu.

Dengan demikian maka yang terjadi di induk pasukan itu pun telah sangat mengecewakan Warsi dan keluarganya. Juga Ki Rangga Gupita yang berharap dapat menyelesaikan pemberontakan itu dalam waktu yang pendek sebelum para pengawal itu akan dibawa ke Pajang.

Tetapi ternyata bahwa yang terjadi itu sama sekali tidak seperti yang

diharapkan. Di kedua sayap pasukan pengawal Tanah Perdikan Sembojan sama sekali tidak dapat kemajuan apa-apa. Rasa-rasanya pertempuran yang terjadi di kedua sayap itu adalah benturan dua kekuatan yang seimbang. Namun yang sebenarnya, karena kedua belah pihak seakan-akan bersepakat untuk tidak bertempur dengan sungguh-sungguh.

Tetapi di induk pasukan itu, korban telah benar-benar jatuh dari kedua belah pihak. Bukan hanya terluka. Tetapi ada di antara mereka yang terbunuh. Kematian

itu telah membakar jantung para pengawal dari kedua belah pihak. Kematian kawan mereka telah mengetuk jantung mereka untuk menuntut balas. Dengan demikian maka di induk pasukan para pengawal dari kedua belah pihak telah benar-benar berdiri dalam sisi yang bermusuhan meskipun mereka telah saling mengenal sebelumnya.

Bahkan tinggal dibarak yang sama. Tetapi para pengawal terpilih mendampingi para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan itu telah terlalu banyak menerima bagian dari penghisapan yang dilakukan oleh Warsi dan keluarganya atas orang-orang Tanah Perdikan Sembojan.

Sementara itu, gejolak perasaan, yang memang telah membekali Gandar sejak sebelumnya, telah membuatnya semakin garang. Dengan demikian, maka lambat laun,

Ki Rangga pun tidak dapat ingkar lagi bahwa lawannya itu tentu sulit sekali untuk dikalahkannya.

Ketika Ki Rangga sempat berpaling ke arah Wasi, maka ia pun melihat, bahwa Warsi tidak banyak dapat berbuat atas lawannya yang tua itu. Bahkan setiap kali Warsi justru telah terdesak meskipun serangan-serangan perempuan tua itu tidak berbahaya baginya.

Sementara itu, Ki Sudagar pun tidak banyak mempunyai kesempatan. Apalagi pengendang yang pernah diaku sebagai ayah Warsi itu. Sementara itu Ki Wiradana pun tidak akan dapat mengalahkan lawannya, perempuan yang telah diupahnya untuk membunuh Iswari, tetapi tidak dilakukannya.

Dengan demikian maka kekuatan di induk pasukan itu telah mulai nampak tidak seimbang. Sementara itu kekuatan pasukan Tanah Perdikan Sembojan dikedua sayap tidak mampu membuat keseimbangan pula atas tekanan pasukan yang disebut pemberontak itu di induk pasukan.

Dengan demikian maka pertempuran di induk pasukan itu pun semakin lama menjadi semakin nampak, bahwa pasukan Ki Wiradana menjadi terdesak. Korban berjatuhan dan para pemimpin disekitar Ki Wiradana tidak mampu menolong mereka.

Dalam keadaan yang demikian itu, tiba-tiba saja terdengar suara nyaring, suara seorang perempuan. “Atas nama kuasa Pajang, menyerahlah.”

Suara itu bagaikan jilatan lidah api ditelinga Warsi. Dengan lantang ia menjawab, “Kemarilah perempuan cantik. Aku ingin memotong lidahmu yang bercabang

seperti lidah ular itu.”

Tetapi sekali lagi terdengar suara Iswari, “Menyerahlah. Tidak ada pilihan lain bagi kalian. Antas nama Adipati Pajang.”

WARSI menghentakkan kemampuannya. Tetapi ia berhadapan dengan Nyai Soka, sehingga kekuatannya itu bagaikan membentur dinding karang ditebing pegunungan. Sama sekali tidak bergetar.

Betapapun kemarahan menghentak-hentak di dalam dadanya, namun ternyata bahwa ia benar-benar tidak mampu berbuat apa-apa, sehingga ia pun kemudian harus melihat kenyataan itu.

Yang masih berusaha untuk menundukkan lawannya adalah Ki Rangga Gupita. Ketika ia mendapat tekanan yang semakin berat dari Gandar, maka mulailah ia mengetrapkan ilmunya yang mempunyai kekuatan yang luar biasa.

Sebagaimana ia telah berhasil membuat Ki Tumenggung Wirajaya menjadi cemas, maka ilmunya itu pun telah diterapkannya untuk menghancurkan perlawanan Gandar.

Gandarlah yang kemudian terkejut. Ketika tombaknya menyentuh pedang Ki Rangga, maka gandar tiba-tiba saja telah meloncat surut. Aliran panas yang mengejutkan telah menyengat telapak tangannya yang menggenggam tombak. Hanya sesaat. Tetapi hampir saja ia melepaskan tombaknya.

Namun untunglah bahwa Gandar segera menyadari apa yang terjadi. Bara yang menyentuh tangannya itu tentu disebabkan oleh kekuatan ilmu lawannya. Gandar telah mengetahui bahwa sejenis ilmu dapat mengalir lewat sentuhan senjata dan membakar kulit lawannya.

Dengan demikian, maka Gandar menjadi lebih berhati-hati. Namun ia tidak lagi dengan kemampuannya dapat mendorong Ki Rangga keluar dari benturan kekuatan antara Pajang dan Jipang untuk bertempur tanpa terganggu. Bahkan sekali-kali Gandarlah yang harus berloncatan surut.

Tetapi keadaan itu tidak diimbangi dengan keadaan pertempuran dalam keseluruhan. Jika Ki Rangga masih mampu bertahan dan sekali-kali mendesak lawannya, maka pertempuran itu dalam keseluruhan sama sekali tidak menguntungkan bagi pasukan Ki Wiradana.

Sementara itu, Ki Randukeling yang berhadapan dengan Kiai Soka lebih banyak saling menjajagi daripada bertempur dengan ujud kewadagan mereka. Karena itulah, maka Ki Randukeling pun kemudian menyadari, bahwa usaha mereka tidak akan dapat berhasil hari ini.

Sebagai seorang yang berilmu tinggi maka Ki Randukeling mengetahui, bahwa pertempurannya melawan Kiai Soka tidak akan segera dapat diselesaikan.

Demikian pula dengan Kiai Soka. Ia sudah mengira bahwa Ki Randukeling adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Karena itu untuk menundukkannya diperlukan waktu dan benturan ilmu yang keras. Mungkin ia harus mengerahkan seganap ilmunya untuk dapat mengatasi ilmu Ki Randukeling. Bahkan Kiai Soka itu tidak dapat menentukan bahwa dirinya dalam puncak kekuatan, kemampuan dan ilmunya akan dapat mengalahkan dalam arti yang sebenarnya atas Ki Randukeling. Dengan kesadaran atas kenyataan yang terjadi, maka Ki Randukeling melihat pertempuran itu dalam keseluruhan. Sekilas-sekilas ia sempat melihat pertempuran yang tengah berlangsung. Ia melihat Warsi yang bertempur melawan seorang perempuan tua. Meskipun perempuan tua itu tidak menunjukkan tingkat kemampuan yang sebenarnya, namun Ki Randukeling melihat, bahwa sebenarnya tataran ilmunya jauh lebih baik dari Warsi.

Demikian pula orang-orang yang lain dari pasukannya, ternyata sangat mengecewakan. Hanya Ki Rangga Gupita sajalah yang mampu menunjukkan bahwa ia adalah seorang Senapati dari Jipang. Senaati dari satu kekuatan yang besar di lingkungan Demak yang kemudian menjadi sasaran dan sumber perselisihan.

Ki Randukeling pun telah berusaha menilai pertempuran yang terjadi disayap sebelah menyebelah. Dengan kesal ia berkata di dalam hatinya, “Mereka adalah

bersaudara. Mereka adalah kawan bermain sebelumnya. Kawan bergurau dan sebagian di antara mereka telah berada di dalam satu barak untuk waktu yang cukup lama.

Bahkan mungkin di antara mereka terdapat anak-anak muda yang masih mempunyai hubungan sanak kadang, sehingga mereka tidak dapat bertempur dengan

sungguh-sungguh dan dengan penuh dendam berusaha untuk saling membunuh. Kesadaran itulah yang kemudian membuatnya semakin yakin, bahwa pasukan Ki Wiradana tidak akan berhasil menyelesaikan pemberontakan itu dalam sehari. “KI RANGGA harus menyadari akan hal ini,” berkata Ki Randukeling itu didalam hatinya. “Sehingga karena itu ia tidak akan dapat menuntut secepatnya pasukan Tanah Perdikan ini harus dibawa ke Pajang.”

Demikianlah unutk beberapa saat pertempuran itu masih berlangsung. Namun kemudian Ki Rangga itu pun menyadari sebagaimana Ki Randukeling, bahwa mereka tidak akan dapat memaksakan sesuatu pada pertempuran yang sedang berlangsung itu.

Sementara itu Gandar telah menemukan di dalam dirinya kemampuan untuk mengimbangi ilmu Ki Rangga Gupita. Dengan mengerahkan daya tahan tubuhnya, serta kemampuannya mempermainkan tombaknya, maka Gandar mampu mengelakkan semua

benturan senjata yang mungkin terjadi, setidak-tidaknya mengurangi kemungkinan itu sampai sekecil-kecilnya. Gandar mengambil keuntungan pada senjatanya yang lebih panjang dari senjata Ki Rangga, sehingga karena itu, maka Gandar berusaha untuk dapat menyerang lebih banyak dan dengan kecepatan geraknya mengatasi sentuhan pada saat-saat Ki Rangga menangkis serangannya.

Namun ketika Gandar masih juga sekali-sekali mengalami kesulitan, sehingga hampir saja tombaknya terlepas dari genggaman karena perasaan sakit yang menyengat ketika sekali-kali tombaknya masih menyentuh pedang Ki Rangga, maka Gandar pun telah berusaha mempergunakan unsur kekuatannya yang sangat besar untuk memperkuat perlawanannya. Jika terpaksa terjadi sentuhan, maka bukan saja senjata Gandar yang akan terlepas karena tangannya bagaikan menggenggam bara, namun tangan Ki Rangga pun menjadi pedih karena ia harus mempertahankan senjatanya yang membentur kekuatan yang sangat besar. Gandar tidak saja mempergunakan tombak yang mematuk, tetapi sekali-kali diayunkannya tombaknya mendatar, sengaja untuk dengan kekuatannya sepenuhnya menghentakkan senjata lawannya.

Dalam keadaan yang demikian itu Ki Randukeling berkata kepada lawannya, “Ki Sanak. Tidak ada gunanya jika kita akan bertempur kali ini dengan

bersungguh-sungguh. Pertempuran yang sungguh-sungguh di antara kita memerlukan satu suasana yang khusus. Karena itu, maka sebaiknya kali ini kami menarik

diri.”

“Bagaimana mungkin hal itu kau lakukan,” berkata Kiai Soka. “Kami akan dapat menangkap kalian.”

“Tidak,” jawab Ki Randukeling. “Kau tahu bahwa hal itu tidak akan dapat kau lakukan atasku. Mungkin juga atas beberapa orang lain. Tetapi jika kau memaksanya, maka aku pun dapat berbuat banyak untuk membunuh membabi buta.

Usaha

kalian untuk menangkap kami harus kalian tebus dengan berpuluh-puluh jiwa anak-anak mudamu.”

“Apakah kalian akan menjadi berputus asa?” bertanya Kiai Soka.

“Ya. Aku dapat saja menjadi putus asa dan berbuat sesuatu yang tidak wajar. Meskipun kau mungkin dapat menguasai keadaan, tetapi kematian dapat terjadi dalam sekejap,” berkata Ki Randukeling.

Kiai Soka termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki Randukeling yang berusaha menggeser putaran pertempurannya mendekati Ki Wiradana memberikan isyarat agar Ki Wiradana memberikan aba-aba untuk menarik pasukannya.

KI WIRADANA memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia pun kemudian memberikan perintah untuk menarik pasukannya dari medan. Kiai Soka termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak dapat mencegah ketika pasukan lawan itu mulai bergeser surut.

Para pemimpin dari pasukan yang berpihak kepada Iswari memang sudah mendapat perintah, agar merreka membiarkan Warsi dan orang-orang yang mendukungnya untuk melepaskan diri. Mereka akan menjadi alat untuk memancing kekuatan Kalamerta seluruhnya, sehingga dengan demikian, maka persoalannya akan dapat diselesaikan dengan tuntas.

Karena itu, ketika Jati Wulung dan Sambi Wulung berusaha untuk dengan

sungguh-sungguh menangkap lawan-lawan mereka, Kiai Badra pun telah mendekati mereka sambil berkata, “Biarkan mereka. Kita akan menunggu bahwa pada suatu saat, mereka akan datang lagi.”

Kedua orang bersaudara seperguruan itu tidak membantah. Mereka pun kemudian tidak lagi berusaha untuk menangkap kedua lawannya. Dibiarkannya kedua orang itu hanyut dalam arus pasukan Tanah Perdikan yang mundur.

Yang sebenarnya dibiarkan saja oleh Kiai Badra adalah Gandar. Menurut pendapat Kiai Badra, maka Gandar tidak akan dengan mudah menguasai Ki Rangga Gupita. Meskipun dalam beberapa hal Gandar nampak lebih mantap, namun Ki Rangga pun memiliki kelebihan-kelebihan tertentu.

Karena itulah, maka ketika pasukan Tanah Perdikan mundur, serta Ki Rangga berada di dalamnya, Gandar mengalami kesulitan untuk berbuat lebih banyak. Para pengawal Tanah Perdikan diinduk pasukan itu benar-benar telah menarik pasukan sebagaimana seharusnya. Mereka tidak mengelak ketika mereka kemudian menjadi perisai dari beberapa orang pemimpin mereka yang berlindung dibalik gerakan mundur itu.

Kiai Badra tidak memerintahkan pasukannya untuk memburu mereka. Tetapi Kiai Badra memberikan isyarat, agar pasukannya berada ditempat.

Para Bekel pun telah meneriakkan aba-aba yang disambung oleh para pemimpin kelompok, agar mereka tidak mengejar lawan-lawan mereka. Apalagi mereka yang berada disayap pasukan.

Namun ternyata bahwa telah terjadi sesuatu di sayap pasukan itu. Ternyata

beberapa kelompok pasukan Tanah Perdikan tidak ikut serta dalam gerakan mundur. Mereka telah menyatakan diri menyerah dan bergabung dengan pasukan Iswari yang berhasil menahan gerak pasukan Tanah Perdikan yang hari itu berusaha untuk menumpas pemberontakan. Namun yang akibatnya justru kebalikannya.

Dengan demikian maka pertempuran yang dibayangkan oleh Warsi dan orang-orang yang mengelilingi Ki Wiradana itu akan merupakan pertempuran yang sengit dan bagaikan arus badai yang tidak akan tertahankan oleh orang-orang yang mereka anggap pemberontak itu, ternyata tidak terjadi. Pertempuran itu bukannya pertempuran yang dahsyat yang menghancurkan pertahanan para pengikut Iswari, tetapi justru telah menunjukkan bahwa pengaruh Iswari masih cukup besar di Tanah Perdikan Sembojan.

Gerak mundur pasukan Ki Wiradana itu berlangsung dengan cepat. Rasa-rasanya tidak ada hambatan dan kesulitan apa-apa. Namun kebanggaan dan harga diri orang-orang yang ada di sekitar Ki Wiradana itulah yang hancur karenanya. “Pengkhianat,” geram Warsi. “Kau lihat kakang. Berapa bagian dari orang-orangmu yang berkhianat. Itulah sebabnya maka yang terjadi disayap sama sekali tidak seperti yang kita harapkan. Jika orang-orangmu tidak berkhianat, maka kita

benar-benar akan dapat menumpas mereka.”

Ki Wiradana tidak menjawab. Ia pun telah mendengar laporan dari para pemimpin pengawal, terutama disayap pasukan sebelah menyebelah, bahwa ada di antara mereka yang tidak ikut menarik diri, tetapi justru telah menyerah.

Keadaan itu telah membuat semua rencana menjadi kacau. Ki Rangga Gupita yang sudah hampir bermimpi untuk membawa sebagian dari anak-anak muda Tanah Perdikan

Sembojan yang tersisa itu ke Pajang, ternyata menghadapi satu kenyataan lain. Karena itu dengan kesal ia berkata, “Kebodohan yang telah memerintah Tanah Perdikan ini membuat semua rencana menjadi rusak.”

KI WIRADANA tidak juga menjawab. Ia sadar, bahwa semua kesalahan tentu akan ditimpakan kepadanya. Jika mereka sudah sampai di induk padukuhan, dan mereka sempat berbincang tentang pertempuran itu, maka semua orang tentu akan memakinya.

Di padukuhan yang ditinggalkan oleh pasukan Ki Wiradana, para bekel pun kemudian berkumpul. Mereka telah menerima beberapa kelompok pengawal yang menyatakan kesediaan mereka untuk ikut dalam pasukan mereka yang disebut pemberontak itu.

Para pemimpin kelompok itu pun kemudian telah diterima di antara para pemimpin pengawal yang memang telah berada di pihak Iswari untuk menerima beberapa pesan dan petunjuk.

“Kita dapat beristirahat hari ini,” berkata Kiai Badra, “Besok kitalah yang akan menyerang. Kita akan mengusir orang-orang yang tidak berhak atas Tanah Perdikan ini, apalagi memegang pimpinan. Tidak akan terjadi pertempuran yang sengit, karena mereka tidak akan bertahan sepenginang. Namun kita harus segera mempersiapkan diri, karena yang akan terjadi kemudian adalah beban-beban yang berat yang harus kita pikul. Mereka yang terusir itu akan kembali membawa kekuatan yang besar, karena mereka adalah keluarga besar Kalamerta. Bahkan

mungkin Jipang pun akan ikut campur. Namun agaknya mereka masih harus menunggu. Betapapun Ki Rangga Gupita merasa terhina, tetapi ia tidak akan dapat berbuat sekehendak hatinya terhadap pasukan Jipang di Pajang.”

Dengan demikian maka para pemimpin pasukan serta para pengawal sempat mempergunakan waktunya untuk beristirahat. Sementara itu beberapa di antara mereka telah mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka. Bahkan pertempuran yang benar-benar terjadi di induk pasukan memang telah menuntut korban.

Bagaimanapun juga, ada di antara mereka yang gugur dipeperangan itu. Sementara itu, maka Kiai Badra telah memanggil para pemimpin dari ketiga padukuhan yang telah menyatakan kesediaan mereka dan telah mereka buktikan, bahwa mereka memang menghendaki perubahan di Tanah Perdikan itu.

Namun yang wajahnya nampak buram adalah justru Iswari. Ia merasa tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Ia tidak lebih dari seorang yang hanya membawa tunggul dan tanpa berbuat apa-apa membiarkan semua terjadi di sekelilingnya. “Iswari,” berkata Kiai Badra. “Kau harus mengerti maksudku dan orang-orang tua yang lain. Yang terjadi ini baru permulaan dari satu perjalanan yang panjang

untuk kepentingan Tanah Perdikan Sembojan dan sekaligus anakmu. Kau jangan tergesa-gesa ingin menyelesaikan sesuatu yang nampaknya dapat terjadi dengan cepat dan mudah.” Iswari tidak menjawab. Sementara Kiai Badra berkata selanjutnya, “Aku, kakek dan nenekmu serta para pemimpin padukuhan ini bersepakat, untuk memancing kekuatan lawan seluruhnya. Sudah beberapa kali aku katakan, lebih baik persoalan ini kita selesaikan dengan tuntas, daripada suatu saat kau akan mengalami kesulitan. Jika

kita tidak berhasil menghancurkan gerombolan Kalamerta sampai ke akarnya, maka akan terjadi sebagaimana terjadi Ki Gede Sembojan.”

Iswari masih tetap berdiam diri. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Namun hatinya mulai terbuka atas persoalan yang dihadapinya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai Badra pun telah berbincang dengan para pemimpin dari mereka yang dianggap memberontak itu. Mereka sepakat, bahwa mereka tidak akan hanya sekadar bergerak di ketiga padukuhan itu. Tetapi sejak esok

pagi mereka akan memasuki padukuhan-padukuhan lain dan berbicara dengan para pemimpinnya, sehingga akhirnya seluruh Tanah Perdikan itu dapat dikuasainya. “Kita harus mengusir orang-orang yang berada disekitar Ki Wiradana itu keluar

dan menunggu mereka datang kembali dengan mambawa kekuatan mereka yang sebenarnya. Kita akan menghancurkan mereka untuk tidak akan mengganggu lagi untuk selama-lamanya,” berkata Kiai Badra.

Karena itulah, maka para pemimpin pengawal pun telah mendapat perintah untuk mempersiapkan diri, karena esok pagi mereka akan bergerak ke padukuhan-padukuhan disekitar mereka.

KETIKA para pemimpin dari ketiga padukuhan yang dianggap memberontak itu mulai beristirahat, sementara para pemimpin pengawal sudah berada di antara pasukan masing-masing, maka pada saat itu di padukuhan induk Ki Wiradana benar-benar mengalami perlakuan yang sangat menyakitkan hati dari orang-orang yang selalu membayanginya.

Dengan suara lantang Ki Rangga Gupita berkata, “Aku tidak tahu, apa yang dapat dilakukan oleh Ki Wiradana atas Tanah Perdikan ini. Selama ini kami para prajurit dari Jipang sudah membantunya dengan sekuat tenaga. Namun hasilnya tidak lebih dari satu pemberontakan.”

Ki Wiradana sama sekali tidak menjawab. Ia berhadapan dengan beberapa orang yang sedang marah, yang semuanya memiliki kelebihan daripadanya.

Bahkan istrinya hampir saja kehilangan kesabarannya ketika dengan menjerit ia telah mencengkam baju Ki Wiradana, “Kau laki-laki tidak berarti sama sekali. Kau hanya pantas menjadi bapak dan sama sekali bukan Kepala Tanah Perdikan.” Namun Ki Randukeling telah berusaha menenangkan sambil berkata, “Warsi, bagaimanapun juga laki-laki itu adalah suamimu. Kita memang melihat banyak kekurangan terdapat padanya. Bodoh, dungu, pengecut dan banyak lagi kekurangan-kekurangannya.

Tetapi adalah kewajiban kita untuk mencari jalan keluar dari kesulitan yang kemudian telah ada dihadapan kita sekarang ini.”

“Jerih payah kami tidak berarti sama sekali,” geram Ki Rangga Gupita. “Ternyata pada saat yang sangat diperlukan, Tanah Perdikan ini tidak dapat berbuat apa-apa untuk membantu Jipang.”

“Marilah sekarang kita bicarakan, apa yang paling baik kita lakukan,” berkata Ki Randukeling.

“Tidak ada lagi yang dapat kita lakukan,” sahut Ki Rangga Gupita.

“Bagaimana jika kita mengambil langkah yang sebaliknya dari rencana Ki Rangga,” jawab Ki Randukeling kemudian, “Untuk dapat membawa anak-anak Tanah Perdikan ini ke Pajang, biarlah pasukan Jipang yang ada di Pajang atau katakanlah anak-anak

Tanah Perdikan ini yang ada Pajang, kita tarik untuk menghancurkan pemberontakan itu. Baru kemudian Ki Rangga kembali ke Pajang sambil membawa para pengawal Tanah Perdikan ini.”

“Sulit untuk dilakukan,” jawab Ki Rangga, “Panglima pasukan Jipang di Pajang belum tentu sependapat. Apalagi setiap saat prajurit Pajang akan dapat menyerang

kedudukan Jipang meskipun sudah ditarik mundur dan membangun pertahanan baru.” “Aku kira itu jalan yang paling dekat,” berkata Ki Randukeling.

“Apa ada jalan lain?” bertanya Ki Rangga.

“Jalan yang agak jauh adalah pengerahan kekuatan yang ada disekeliling kita,” jawab Ki Randukeling.

“Disekeliling kita yang mana?” bertanya Ki Rangga.

“Di antara para pertapa yang sejalan dengan sikapku serta mengumpulkan kembali keluarga Kalamerta yang telah terpencar,” jawab Ki Randukeling.

“Untuk itu diperlukan waktu yang sangat panjang, sementara Jipang tidak memerlukan lagi pasukan apapun juga karena Pajang tentu sudah hancur,” sahur Ki Rangga.

“Sudah aku katakan. Jalan itu agak panjang. Tetapi mungkin dapat ditempuh bagi kepentingan Tanah Perdikan ini. Pemberontakan itu harus dihancurkan. Sementara kita tidak dapat lagi mempercayakan kekuatan pada pendukung Ki Wiradana di Tanah Perdikan ini,” berkata Ki Randukeling.

“Aku memerlukan sekarang,” berkata Ki Rangga, “Aku tidak dapat menunggu sampai besok.”

“Lalu apa yang dapat kita lakukan?” bertanya Ki Randukeling.

Ki Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Semuanya telah rusak. Tanggung jawab dari kesulitan yang kita hadapi ada pada pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan ini.”

Ki Randukeling berpaling ke arah Ki Wiradana yang menundukkan kepalanya. Namun ia tidak berkata apapun juga.

WARSILAH yang tiba-tiba saja berkata, “Kita dapat menempuh kedua-duanya. Biarlah pasukan yang masih ada itu dibawa oleh Ki Rangga ke Pajang, sementara itu kita

akan mengumpulkan kekuatan. Kita akan memanggil orang-orang yang akan dapat memperkuat kekuatan kita disini. Biarlah kita bersama-sama menyelesaikan tugas kita dengan baik. Disini dan di Pajang.”

Ki Randukeling menggelengkan kepalanya, katanya, “Sulit untuk dilakukan. Kita memerlukan pasukan betapapun kecilnya untuk setidak-tidaknya mengganggu kesombongan perempuan yang membawa tunggul itu. Aku yakin bahwa mereka tidak akan berhenti pada kedudukan mereka sekarang. Mereka mungkin akan bergerak di padukuhan sebelah menyebelah.”

“Jika mereka bergerak, apa yang dapat kita lakukan?” bertanya Ki Rangga Gupita. “Pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan sama sekali tidak mempunyai wibawa lagi. Beberapa kelompok pasukan yang tidak berjuang dengan

sungguh-sungguh di arena itu justru telah menyerah dan sudah tentu akan merupakan kekuatan baru bagi para pemberontak.”

“Dan kekuatan yang sedikit itu akan kau bawa?” bertanya Ki Randukeling. “Disini mereka pun tidak mempunyai arti apa-apa,” Warsi menyahut. “Lebih baik

mereka diserahkan saja kepada Ki Rangga agar mereka justru mempunyai arti bagi Tanah Perdikan ini dalam hubungannya dengan Jipang. Sementara kita mengumpulkan kekuatan sekaligus menunggu tugas prajurit Jipang selesai di Pajang. Dengan

demikian, maka kita akan dapat berbuat apa saja disini.”

Ki Randukeling mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Menurut perhitunganku, perselisihan antara Pajang dan Jipang itu tidak akan cepat

selesai. Kemenangan pasukan Jipang atas Pajang disatu medan, belum merupakan ukuran kemenangan di segala putaran pertempuran. Pajang disisi Barat, disebelah menyebelah Bengawan Sore, bahkan di batas kota Jipang sendiri, karena Pajang pun mengambil langkah yang sama dengan Jipang dalam perselisihan ini.”

“Tetapi tentu kita tidak akan dapat membiarkan kekalahan demi kekalahan terjadi di medan perang yang mana pun juga kakek,” jawab Warsi.

“Yang perlu kita lakukan adalah justru membangunkan landasan perjuangan yang akan mampu menopang perjuangan ini untuk waktu yang panjang. Perang antara Jipang dan Pajang nampaknya bukan sekadar perang di benturan pasukan. Tetapi seandainya salah satu pihak dapat dihancurkan di arena, namun perlawanannya masih akan berlangsung untuk waktu yang lama,” jawab Ki Randukeling. Lalu katanya pula, “Karena itu, maka kita perlu membangun landasan yang kokoh disini.”

“Tetapi apakah kita mampu bertahan terhadap pemberontakan itu?” bertanya Ki Rangga.

“Kita masih akan mencoba meskipun agaknya terasa sulit. Tetapi kita tidak menyakiti hati para pengawal yang masih ada dan ternyata setia kepada Ki Wiradana. Jika perlu mereka akan kita bawa keluar, tetapi tidak ke Pajang. Dari kedudukan kita yang akan kita tentukan kemudian, kita akan mengadakan pembalasan, sementara kekuatan baru akan datang di Tanah Perdikan ini. Tetapi sudah barang tentu bahwa kekuatan baru tanpa dukungan sama sekali dari Tanah Perdikan ini sendiri, agaknya tidak akan memberikan arti apapun juga,” jawab Ki Randukeling.

“Kakek,” berkata Warsi, “Kita hanya akan kehilangan banyak waktu. Perjuangan Jipang di Pajang sudah sampai pada satu tataran yang menentukan. Sementara kita disini masih harus menemukan cara untuk mengatasi kesulitan. Sementara kita berpikir, biarlah kita memberikan kekuatan baru kepada Jipang, sehingga akan memberikan keuntungan pula bagi para pengawal, karena mereka akan mendapatkan pengalaman yang berharga.”

Tetapi agakya Ki Randukeling masih tetap pada pendiriannya. Karena itu, maka katanya, “Aku adalah salah seorang pendukung tegaknya Jipang. Aku mempunyai hubungan yang khusus dengan Patih Mantahun dan Arya Jipang sendiri. Tetapi aku mempunyai perhitungan lain. Landasan perjuangan seperti Tanah Perdikan ini justru harus kita pertahankan mati-matian, karena aku tidak menganggap bahwa perang Jipang dan Pajang akan selesai besok.

WAJAH Ki Rangga menjadi semakin tegang. Ternyata Ki Randukeling tetap bertahan pada pendiriannya, meskipun agaknya Warsi tidak berkeberatan. Namun dalam pembicaraan itu justru tidak didengar pendapat Ki Wiradana. Pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan, karena ki Wiradana dianggap tidak mempunyai arti apa-apa lagi.

Dalam pada itu, maka Warsi pun telah berkata, “Kakek. Marilah kita melihat keadaan dengan wajar. Kakek agaknya kurang melihat keadaan yang sebenarnya kita hadapi. Dalam keadaan seperti ini Sembojan tidak akan mungkin kita pergunakan sebagai landasan. Tetapi Sembojan justru akan menelan kita dan menghancurlumatkan. Karena itu, maka selagi masih ada kesempatan, biarlah kekuatan yang ada itu kita bawa ke Pajang. Tetapi dengan pengertian, bahwa

setelah Pajang runtuh, pasukan Jipang akan mengembalikan kewibawaan kakang Wiradana disini. Jika perlu dengan kekerasan.”

Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ada perbedaan sikap antara mereka. Namun kemudian, hampir diluar kehendaknya sendiri Ki Randukeling bertanya kepada Ki Wiradana, “Apa katamu Wiradana? Bukankah kau masih pemangku jabatan Tanah Perdikan ini?”

Ki Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah tidak mampu lagi berpikir dan ia memang tidak berpikir apapun juga, karena ia sadar, bahwa pikirannya tidak akan berarti apa-apa.

Ketika ia mendengar pertanyaan itu, ia justru menjadi semakin bingung, sehingga untuk beberapa saat ia tidak dapat menjawab.

“Nah, kakek. Lihat. Itu adalah pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan ini. Apa yang dapat diharapkan dari padanya? Ia tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Dan bahkan ia tidak lagi tahu, apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan ini,”

berkata Warsi.

Tetapi Rangga Gupita sengaja membuat suasana menjadi semakin panas. Katanya, “Yang diingatnya hanyalah penari yang disebut sebagai bekas istrinya itu saja.”

“O, benar begitu?” wajah Warsi menjadi tegang.

Wajah Ki Wiradana menjadi pucat. Tetapi ia berusaha menjawab, “Aku sedang mencoba untuk melihat keadaan Tanah Perdikan ini dalam keseluruhan.” “Bagus,” geram Warsi. “Jadi kau masih juga berpikir tentang Tanah Perdikanmu? Tetapi akhirnya apa yang kau lihat? Apa? Apakah kau dapat mengatakan sesuatu tentang Tanah Perdikan ini dalam keseluruhan itu?”

Ki Wiradana menjadi bertambah bingung, sehingga ia pun kemudian harus mengatupkan kembali mulutnya rapat-rapat.

“Nah,” berkata Warsi dengan nada tinggi, “Bukankah kau lihat bahwa pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan sudah tidak tahu apa-apa lagi sekarang ini? Karena itu, kitalah yang harus mengambil keputusan.

Kita tidak perlu mendengarkan pendapatnya yang tidak akan ada artinya.”

Ki Randukeling mengangguk-angguk. Namun kemudian ia masih juga bergumam, “Warsi,

bagaimana pun juga ia adalah pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan ini dan sekaligus suamimu. Setiap kali aku memperingatkanmu agar kau bersikap lebih lunak sedikit terhadapnya.”

“SUDAH aku katakan pula berulang kali kakek, bahwa aku sudah mencoba menghormatinya. Bahkan berlebih-lebihan. Aku sama sekali menyembunyikan kemampuanku agar aku tidak menyinggung harga dirinya. Tetapi aku tidak dapat bertahan terlalu lama, karena ternyata kakang Wiradana sama sekali tidak mempunyai kemampuan sedikit pun untuk melakukan tugasnya sebagai pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan,” jawab Warsi.

Ki Randukeling termangu-mangu sejenak. Namun agaknya Warsi masih ingin menekankan pendapatnya, “Kakek. Karena itu, aku kira kita harus mengambil langkah yang paling berarti bagi kita. Menurut pendapatku, kita tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi di Tanah Perdikan ini dalam keadaan seperti ini. Karena itu, maka biarlah kita bawa pengawal yang tersisa itu untuk meninggalkan Tanah Perdikan ini dan bergabung dengan pasukan Jipang di Pajang. Kita memang untuk sementara melepaskan Tanah Perdikan ini. Tetapi kita akan kembali dengan kekuatan yang memadai.”

Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling kepada Ki Saudagar, maka Ki Saudagar itu pun berkata, “Kita tidak akan dapat berbuat apa-apa disini. Aku yakin bahwa semakin lama jumlah pengawal itu pun akan menjadi semakin susut.”

Untuk beberapa saat Ki Randukeling berdiam diri. Namun kemudian ia pun bergumam, “Jadi Tanah Perdikan ini tidak akan ada artinya sama sekali bagi kita?”

“Tentu ada kakek. Sepasukan pengawal telah berada di Pajang. Sementara itu, kita akan membawa lagi sepasukan yang masih tersisa sekarang. Bukankah itu berarti bahwa kekuatan Tanah Perdikan ini sudah ikut serta dalam perang antara Jipang dan Pajang? Ki Rangga menjadi saksi, sehingga pada saatnya Pajang hancur nanti, Tanah Perdikan ini akan mempunyai kedudukan yang khusus di antara wilayah Jipang yang lain. Bukan saja kedudukannya sebagai Tanah Perdikan tetapi juga batas

daerah Tanah Perdikan ini akan mencakup lembah yang subur disebelah pegunungan yang sekarang masih dalam kedudukan sebagai sebuah Kademangan kecil yang tidak mempunyai pengaruh apapun juga dalam hubungannya dengan pemerintahan Pajang dan

sudah tentu kelak dengan Jipang. Tetapi jika lembah yang subur itu termasuk dalam lingkungan Tanah Perdikan ini, maka tanah yang subur itu akan berarti bagi pertanian dan peternakan.”

Sekali lagi Ki Randukeling memandang Ki Wiradana. Tetapi ia tidak menemukan apapun di mata pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan itu. Apapun yang tergejolak di dalam perasaannya, maka Ki Wiradana itu tidak akan berani mengatakannya. Bahkan menunjukkan kesan diwajahnya pun ia tidak berani.

Ki Randukeling ternyata berusaha untuk mengerti pendapat orang-orang disekitarnya itu. Apalagi Warsi pun kemudian berkata, “Kakek. Seandainya kita tidak meninggalkan Tanah Perdikan ini, kita pun akan didesak dengan kekerasan.” “Kau tidak yakin tentang kemampuanku?” bertanya Ki Randukeling.

“Aku yakin kakek. Tetapi jumlah mereka terlalu banyak untuk dihadapi,” jawab Warsi.

Ki Randukeling kemudian ternyata mengalah. Katanya, “Baiklah. Aku tidak akan berkeras mempertahankan sikapku. Jika kalian menganggap bahwa persoalan Tanah Perdikan ini dapat ditinggalkan untuk sementara, serta mengerahkan pemusatan untuk melawan Pajang, maka aku akan tunduk kepada keputusan kalian. Tetapi ingat, medan yang dihadapi oleh Jipang tidak hanya Pajang disisi sebelah Timur.

Perang antara Jipang dan Pajang tidak tergantung kepada medan yang kecil itu. Bahkan seandainya Jipang mampu memasuki Pajang dan mendudukinya, belum tentu bahwa Jipang sudah memenangkan pertempuran. Meskipun pasukan Pajang disebelah

Bengawan Sore justru akan memecahkan pertahanan Jipang dan memasuki Jipang pula bersama pasukan dari Demak yang dapat dipengaruhi oleh Hadiwijaya.”

Ki Ranggalah yang menjawab, “Jangan mencemaskan pasukan Jipang di tepi Bengawan Sore. Pasukan itu dipimpin sendiri oleh Kanjeng Adipati Arya Penangsang. Tidak

ada kekuatan yang dapat mencegah kekuatan Adipati Pajang. Sipat kandelnya, kudanya yang disebut Gagak Rimang dan pusakanya Setan Kober akan mampu menghancurkan seluruh kekuatan Pajang disebelah Bengawan Sore. “Mungkin perhitunganmu benar,” berkata Ki Randukeling. “Tetapi di dalam perang kita juga harus memperhitungkan kekuatan lawan. Arya Penangsang dan Patih Mantahun memang memiliki kemampuan yang seakan-akan tidak terbatas. Tetapi kita harus ingat, bahwa Pajang memiliki Tombak Kiai Pleret dan Senapati besar seperti

Ki Pemanahan dan Ki Penjawi.”

Ki Rangga masih saja tertawa. Katanya, “Ki Randukeling memiliki ketajaman pandangan dan sikap yang hati-hati yang diperlukan oleh para Senapati di medan perang. Tetapi satu hal yang kurang dipahami, bahwa Ki Randukeling tidak mengetahui keseluruhan kekuatan Jipang. Jumlah prajuritnya dan para pengawal yang mampu digerakkan, justru karena Ki Randukeling lebih banyak berada di pertapaan. Namun demikian, aku akan berbicara dengan para Senapati Jipang, agar mereka menaruh perhatian terhadap banyak persoalan yang mungkin dihadapi oleh para prajurit Jipang dalam perang melawan Pajang.”

Ki Randukeling mengangguk-angguk. Ia benar-benar tidak dapat bertahan atas sikapnya. Karena itu, maka ia lebih condong menyerahkan persoalannya kepada Warsi.

Dengan demikian maka Warsi pun telah menentukan sikap Tanah Perdikan Sembojan yang dipaksanya kepada pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikannya. Malam itu juga, pasukan Sembojan yang tersisa akan meninggalkan Tanah Perdikannya untuk membantu pasukan Jipang yang berada di Pajang.

“Siapkan mereka,” berkata Warsi. “Bawa mereka seluruhnya kemari. Jangan beri kesempatan mereka mengetahui apa yang harus mereka lakukan malam nanti untuk menghindarkan pengkhianatan.”

Ki Wiradana tidak dapat menjawab apapun juga. Ia pun kemudian pergi ke barak dan berbicara dengan para pemimpin pengawal yang setia kepadanya.

“Jangan sampai bocor,” berkata Ki Wiradana. “Para pengawal harus sudah berada di halaman rumahku sebelum para pemberontak membuat gerakan-gerakan yang semakin merugikan kita.”

Para pemimpin pengawal yang setia itu pun telah melakukan perintah Ki Wiradana. Mereka telah menggerakkan semua pengawal yang masih tersisa untuk dibawa ke rumah Ki Wiradana. Mereka berkumpul dihalaman rumah yang luas itu. Namun sebagian dari mereka telah berada di pinggir jalan di depan rumah itu bahkan di halaman rumah sebelah menyebelah.

Para pemimpin yang berada di pendapa telah mendapatkan beberapa penjelasan tentang kedudukan mereka yang memang sulit. Dengan hati-hati, agar tidak dianggap membuat kesalahan Ki Wiradana berkata, “Tanah Perdikan ini sudah memberikan terlalu banyak kepada kalian. Karena itu, maka kalian harus menyadari. Apa yang kalian dapatkan itu, harus kalian syukuri dengan

langkah-langkah yang nyata. Pengorbanan bagi Tanah Perdikan ini. Dengan demikian, maka tegaknya Tanah Perdikan ini tergantung kepada kalian. Kepada kita semua.”

Para pemimpin pengawal yang setia itu mengangguk-angguk. Namun Ki Wiradana masih

belum mengatakan, bahwa pasukan itu akan dibawa ke Pajang malam nanti. Jika satu dua di antara pemimpin pengawal yang sudah mendapat penjelasan khusus dari Ki Wiradana di barak mereka, maka mereka adalah para pemimpin yang paling dipercaya, justru untuk mengawasi agar tidak ada gerakan-gerakan yang dapat merugikan.

Kepada para pengawal, para pemimpin itu memberikan keterangan tentang para pemberontak. Karena itu, maka mereka harus bersiap untuk bertempur dalam kesiagaan tertinggi.

Sementara itu, para pemimpin di Tanah Perdikan Sembojan telah membuat rencana-rencana terperinci, bagaimana mereka akan meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan. Mereka harus menempuh jalan melingkar, sehingga perjalanan itu tidak akan diganggu oleh para pemberontak.

Namun ternyata bahwa apa yang dirahasiakan oleh para pemimpin Tanah Perdikan itu telah bocor pula. Satu di antara para pemimpin yang masih mendapat kepercayaan dari Ki Wiradana telah menembus kerahasiaan itu. Dengan sangat hati-hati ia

telah memerintahkan seorang di antara para pengawal untuk berusaha melarikan diri dan menghubungi para pengawal yang disebut pemberontak itu.

Sebenarnyalah, ketika para pengawal yang dikumpulkan di rumah Ki Wiradana dan sekitarnya itu beristirahat, maka pengawal yang seorang itu telah mencari jalan keluar. Ia sadar bahwa beberapa orang kepercayaan Ki Wiradana sedang mengawasi mereka dan mengadakan penjagaan yang ketat, sehingga sulit bagi seseorang untuk melepaskan diri. Namun pengawal yang mendapat tugas untuk menghubungi

kawan-kawannya yang disebut pemberontak itu mengenal lingkungan itu dengan baik, sebagaimana kawan-kawannya yang lain. Karena itu, betapapun ketatnya penjagaan, maka ia akan tetap berusaha untuk dapat lepas dari pengamatan mereka. Waktu yang ada memang tidak terlalu banyak. Pengawal itu mendapat penjelasan

dari seorang kepercayaan Ki Wiradana yang memerintahkannya menyampaikan berita itu kepada kawan-kawan mereka yang disebut pemberontak, bahwa lewat tengah malam mereka akan disiapkan, sehingga menjelang fajar pasukan itu sudah akan berangkat

ke Pajang.

Karena itu, maka ketika suasana menjadi sepi dan terdengar dengkur yang sahut menyahut dari para pengawal yang tertidur betebaran di pendapa, di halaman, digardu-gadu dan bahkan di regol-regol halaman tetangga, maka pengawal itu pun mulai bersiap-siap untuk menyelinap.

Dengan hati-hati ia harus memperhatikan para petugas yang berjalan hilir mudik. Namun kesempatan itu pun terbuka ketika seorang pengawas justru baru saja lewat membelakanginya.

Dengan sigap ia telah meloncat dinding rumah tetangga dan hilang dikegelapan. Meskipun demikian, pengawal itu masih harus memperhatikan jalan-jalan di lingkungan padukuhan induk itu. Ia sadar, bahwa setiap sudut dan simpang jalan mendapat pengawasan dengan seksama. Karena itu, maka ia harus sangat berhati-hati.

Namun akhirnya, pengawal yang seorang itu dapat juga keluar dari dinding padukuhan induk. Demikian ia berada diluar, maka ia pun telah menarik nafas dalam-dalam.

Dengan hati-hati ia menyuruk di antara tanaman jagung yang muda untuk menghindari penglihatan para petugas yang berjaga-jaga di beberapa tempat disekitar padukuhan induk itu.

Ketika beberapa kotak sawah telah dilampaui, maka pengawal itu merasa bahwa dirinya telah terlepas dari setiap pengamatan, sehingga karena itu, maka ia pun telah muncul disebuah jalan kecil yang jarang sekali dilalui orang.

Namun tiba-tiba saja jantungnya berdegup semakin cepat. Hampir berbareng pada saat ia meloncati parit, telah muncul pula seorang yang lain di simpang tiga

jalan kecil itu.

Dengan sigapnya keduanya telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Dalam keremangan malam akhirnya keduanya saling mengenali yang satu atas yang lainnya. Keduanya adalah pengawal Tanah Perdikan Sembojan.

Pengawal yang berusaha untuk menghubungi kawan-kawannya yang disebut pemberontak itu menjadi tegang. Namun ia sudah bertekad untuk melakukannya. Karena itu, maka apapun yang dihadapinya, ia tidak boleh ingkar. Bahkan seandainya maut akan datang menjemputnya.

“Kau akan kemana?” tiba-tiba saja terdengar suara parau dari pengawal yang muncul dengan tiba-tiba disimpang tiga itu.

“Aku akan kesungai,” jawab pengawal yang menyuruk di antara batang-batang jagung muda itu.

“Untuk apa?” bertanya pengawal itu.

“Perutku sakit,” jawab pengawal yang ingin melarikan diri itu.

“Langkahmu mencurigakan,” berkata pengawal yang muncul disimpang tiga, “Kenapa kau merunduk dibawah batang jagung? Jika kau benar pergi ke sungai dan mendapat ijin, maka kau tidak akan berbuat seperti itu.”

Pengawal yang menyuruk dibawah batang jagung itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian tanpa menjawab lagi dicabutnya pedangnya sambil berkata dengan nada berat, “Kita adalah dua orang dari lingkungan yang sama. Kita berkawan sejak

kanak-kanak. Tetapi dalam menegakkan keyakinan apaboleh buat. Jangan ganggu aku, atau kita akan saling membunuh. Kau atau aku yang akan mati di pategalan ini.”

Wajah pengawal yang muncul disimpang tiga itu menegang. Namun kemudian suaranya justru merendah, “Jangan kehilangan akal. Kita tidak usah bermusuhan. Katakan, sebenarnya kau akan kemana?”

“Aku akan melepaskan diri dari lingkungan orang-orang gila disekitar Ki Wiradana. Karena itu pergilah. Beri kesempatan aku lari melintasi bulak ini, sehingga aku tidak akan dapat dikejar lagi. Sebenarnyalah aku masih segan untuk saling membunuh dengan kawan-kawan bermain semasa kanak-kanak.”

Pengawal yang muncul disimpang tiga itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kita tidak akan saling membunuh. Aku juga sedang melarikan diri dari lingkungan yang semakin lama menjadi semakin gila itu. Aku mendengar diluar niatku untuk mendengarkan, dua orang kepercayaan Wiradana berbicara tentang keberangkatan para pengawal ke Pajang.”

“Apakah kau bersungguh-sungguh?” bertanya pengawal yang menyuruk di kebun jagung itu.

“Aku bersungguh-sungguh. Aku tidak mau diumpankan di Pajang. Jika aku harus mati, biarlah aku mati di Tanah Perdikan kelahiran ini, dan bagi tanah kelahiran ini pula,” berkata pengawal yang muncul disimpang tiga itu. Pengawal yang menyuruk di tanaman jagung itu kemudian berkata, “Jika benar katamu, maka marilah. Waktu kita tinggal sedikit.”

“Kenapa? Bukankah kita sudah bebas? Kita tidak perlu tergesa-gesa. Biar saja Ki Wiradana pergi ke Pajang” jawab pengawal yang berada disimpang tiga.

“Kita sampaikan persoalan ini kepada Ki Bekel yang dianggap memberontak itu,” jawab yang lain. “Mungkin ada sesuatu yang dapat mereka lakukan.”

Kedua pengawal itu pun akhirnya sepakat untuk berlari-lari kecil menuju ke tempat kawan-kawan mereka yang dianggap memberontak.

Kedatangan kedua orang itu memang mengejutkan para penjaga. Dengan tombak merunduk, orang-orang yang berlari-lari kecil itu telah dihentikan.

“Aku membawa kabar penting,” berkata salah seorang dari kedua pengawal itu. “Beri kesempatan aku bertemu dengan salah seorang di antara ketiga orang bekel itu atau jika mungkin aku ingin bertemu dengan penari itu.”

“Nyi Iswari maksudmu?” bertanya penjaga yang menghentikan kedua pengawal itu. “Ya. Aku ingin menyampaikan berita yang barangkali penting,” jawab pengawal itu.

Para penjaga itu pun tidak merasa keberatan. Apalagi mereka hanya berdua. Karena itu, maka keduanya pun telah dibawa ke tempat Iswari dan kakeknya yang tinggal di rumah Ki Bekel.

“Tinggalkan senjatamu,” minta pengawal yang membawa keduanya masuk ke ruang dalam.

Iswari memang sudah tidur. Namun ia sama sekali tidak berkeberatan dibangunkan jika keadaan memang memerlukannya.

“Ada apa?” bertanya Iswari dan beberapa orang tua yang terbangun pula.

Para pengawal itu tidak mau kehilangan waktu. Mereka pun segera menceriterakan apa yang mereka ketahui tentang rencana Ki Wiradana untuk membawa pasukan pengawal yang tersisa ke Pajang.

“Bukankah pasukan itu tinggal beberapa kelompok kecil saja?” bertanya Iswari. “Ya. Dan beberapa kelompok itu akan menjadi umpan pula di medan perang yang garang di Pajang,” desis Kiai Badra.

Iswari menarik nafas dalam-dalam. Atas nama anak laki-lakinya serta kuasa Pajang atas dirinya, maka ia merasa berkeberatan apabila para pengawal itu benar-benar akan dibawa ke Pajang justru untuk memperkuat pasukan Jipang. Karena itu, maka katanya, “Kita akan mencegahnya. Kita akan menghancurkan orang-orang yang telah mengendalikan pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang lemah itu.” “Maksudmu?” bertanya Kiai Badra.

“Kita tidak akan memberi kesempatan lagi kepada mereka,” berkata Iswari dengan perasaan yang bergejolak.

“Kita tidak memang akan mencegahnya Iswari,” berkata Kiai Badra. “Tetapi sudah aku katakan, biarkan saja orang-orang dari bayangan kekuatan Kalamerta itu bermain untuk beberapa saat lagi. Aku mengharap mereka akan datang pada kesempatan lain. Agaknya dengan seluruh kekuatan yang ada pada mereka, sehingga kita tidak akan mencemaskan lagi dimasa-masa mendatang.”

“Kakek,” jawab Iswari. “Kita tidak boleh merendahkan kemampuan mereka. Jika kita memancing seluruh kekuatan Kalamerta, apakah kita akan dapat melawannya. Tetapi jika apa yang ada ini kita binasakan, maka kekuatan Kalamerta itu sudah jauh berkurang.”

“Dan yang tersisa itu akan menjadi duri di dalam kehidupan Tanah Perdikan ini. Pada saat-saat yang lengah mereka akan memasuki Tanah Perdikan ini sebagaimana Nyi Wiradana dan orang-orang yang ada disekitarnya sekarang ini. Mungkin dengan cara lain tetapi mungkin mereka mempergunakan kekerasan justru pada saat-saat Tanah Perdikan ini sepi,” sahut Kiai Badra. Lalu, “Karena itu, maka biarlah kita

berusaha mencegah kelompok-kelompok yang akan dibawa ke Pajang itu, namun sekali lagi aku minta, jangan kita tumpas orang-orang yang mungkin akan dapat memancing kekuatan yang masih tersembunyi, karena aku yakin bahwa kekuatan Kalamerta yang terkenal itu tersebar sepeninggalan Kalamerta itu sendiri. Bahkan mungkin masih

ada kekuatan yang sejajar dengan Kalamerta itu sendiri yang akan dapat kita ungkit ke luar dari sarangnya.”

Iswari tidak membantah. Namun ia memang harus berbuat cepat. Karena itu, maka ia pun minta para bekel yang dipanggilnya untuk menyiapkan para pengawal.

Para Bekel itu pun kemudian memanggil para pemimpin pengawal dan memerintahkan mereka untuk bersiap dalam waktu yang singkat.

Namun dalam pada itu, di padukuhan induk telah terjadi sesuatu yang mengguncangkan. Ternyata bahwa kepergian dua orang pengawal itu diketahui oleh kelompok masing-masing. Pemimpin kelompok mereka yang setia kepada Ki Wiradana, segera melaporkan kehilangan itu kepada Ki Wiradana.

Wajah Ki Wiradana menjadi tegang. Untuk beberapa saat ia justru terdiam. Namun yang bergejolak di dalam dadanya ternyata tidak sebagaimana diduga oleh para pemimpin kelompok itu. Para pemimpin kelompok yang melaporkan kepadanya itu menganggap bahwa kemarahan yang menghentak di dada Ki Wiradana membuatnya tidak

dapat bertindak dengan segera. Para pemimpin kelompok itu menganggap bahwa Ki Wiradana sedang berusaha menenangkan hatinya karena laporan yang mengejutkan itu.

Namun sebenarnya Ki Wiradana telah dicengkam oleh kebimbangan. Ketika mereka mendengar bahwa ada dua orang pengawal yang hilang dari kelompok masing-masing, maka tiba-tiba saja Ki Wiradana merasa bersyukur, bahwa keberangkatan itu akan didengar oleh mereka yang disebut pemberontak, karena Ki Wiradana yakin bahwa orang-orang itu tentu akan pergi kepada orang-orang yang disebut pemberontak

itu. Namun Ki Wiradana menjadi cemas juga, bahwa akhirnya ia juga yang akan menjadi sasaran umpatan dan makian dari orang-orang yang ada disekitarnya itu.

Namun Ki Wiradana tidak dapat berdiam diri dalam kebimbangannya. Ia memang harus mengambil sikap. Karena itu, maka ia pun telah menemui Ki Randukeling. Seorang

yang menurut pendapat Ki Wiradana adalah orang yang berpendirian paling lunak terhadapnya.

Ki Randukeling mengerutkan keningnya. Dengan nada datar dan yang hanya didengar oleh dirinya sendiri, ia bergumam, “Aku sudah menduga bahwa rahasia ini tidak

akan dapat dipertahankan dengan ketat. Menilik sikap orang-orang Tanah Perdikan ini sendiri.” Namun Ki Randukeling tidak mengatakan kepada siapapun juga. Juga tidak kepada Ki Wiradana.

Tetapi seperti Ki Wiradana, maka ia pun merasa wajib untuk mengambil

langkah-langkah. Karena itu, maka ia pun telah memanggil Warsi dan Rangga Gupita serta beberapa orang lain.

“Setan,” geram Warsi. “Siapa yang telah berkhianat? Atau barangkali kau sendiri kakang?”

“Jangan menuduh begitu,” potong Ki Randukeling. “Pada saat seperti ini kita jangan bertengkar lagi. Kita harus mengambil langkah yang paling baik.”

“Aku memang tidak dapat percaya lagi kepada orang-orang Tanah Perdikan ini,” berkata Ki Rangga. “Mungkin di antara para pemimpin pengawal yang menjadi kepercayaan Ki Wiradana itulah yang berkhianat. Tetapi baiklah. Kita harus mengambil langkah-langkah.” “Apa yang harus kita lakukan?” bertanya Warsi.

“Siapkan pasukan,” berkata Ki Rangga. “Kita berangkat sekarang. Kita tidak menunggu fajar.”

Darah Ki Wiradana terasa mengalir semakin cepat. Tetapi ia tidak dapat berbuat

apa-apa. Ketika Wiarsi memerintahkan kepadanya, maka ia pun telah memanggil para pemimpin pengawal.

Ki Wiradana seolah-olah tidak lebih dari seorang penghubung yang menyampaikan perintah yang dilimpahkannya kepada yang berkepentingan. Kepada para pemimpin pengawal Ki Wiradana memerintahkan sebagaimana didengarnya dari Warsi. Pasukan harus disiapkan dan berangkat segera tidak menunggu fajar.

Para pemimpin itu pun dengan tergesa-gesa melakukan perintah itu. Para pengawal yang berserakan itu pun telah berkumpul kelompok demi kelompok.

“Hitung setiap orang di dalam kelompok,” pemimpin terpercaya dari para pengawal itu menjatuhkan perintah, “Jika ada yang kuarang, maka para pemimpin kelompok harus melaporkannya.”

Ternyata memang hanya dua orang yang tidak ada di dalam kelompoknya sebagaimana sudah dilaporkan kepada Ki Wiradana. Namun yang dua orang itu akan dapat menimbulkan kemungkinan-kemungkinan yang jauh pada pasukannya yang akan berangkat ke Pajang itu.

Dengan keterangan singkat, maka Ki Wiradana memberitahukan bahwa pada saat itu mereka akan berangkat menunaikan satu kewajiban yang sangat penting dan terhormat.

“Kita akan berjuang bersama-sama di samping para prajurit dari Jipang di Pajang. Bukankah hal itu akan merupakan satu kehormatan? Karena itu, marilah kita mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kita akan meninggalkan Tanah Perdikan ini untuk satu kewajiban yang mulia, sementara di Tanah Perdikan ini sedang timbul pergolakan. Tetapi pada saatnya kita akan kembali dan menyusun kembali Tanah Perdikan ini dengan landasan kebenaran paugeran bersama dengan para prajurit Jipang,” berkata Ki Wiradana.

Keterangan itu memang mengejutkan. Tetapi tidak seorang pun lagi yang sempat keluar dari barisan. Para pengawal hanya dapat saling berpandangan dengan penuh kecurigaan, karena orang yang berdiri disampingnya itu akan dapat menusuk lambungnya, jika seorang di antara mereka berusaha meninggalkan pasukan itu.

Karena itu, maka para pengawal itu hanya dapat mengumpat di dalam hati, sementara Warsi yang sudah siap dalam pakaian tempurnya itu pun berkata lantang dihadapan para pengawal, “Kita adalah pejuang-pejuang yang pantang meninggalkan kewajiban. Jika di antara kita sengaja atau tidak sengaja meninggalkan beban

yang dibebankan di pundak kita, maka itu akan berarti pengkhianatan. Kita tahu pasti, apakah hukuman bagi seorang pengkhianat.”

Para pengawal menjadi semakin berdebar-debar, sementara Ki Rangga berkata, “Kita akan berjuang sampai kemenangan ada ditangan kita atau kematian merenggut nyawa kita.

Dengan demikian juga berarti bahwa siapa yang ingkar akan sama halnya dengan menyusrukkan diri ke dalam maut.”

Ancaman-ancaman itu telah membuat para pengawal menjadi semakin gelisah, sementara mereka tetap tidak tahu, siapakah di antara kawan-kawan mereka yang benar-benar setia kepada Ki Wiradana dan siapa di antara mereka yang mulai dibayangi oleh kenyataan yang pahit tentang Tanah Perdikan Sembojan.

Karena itu, maka para pengawal itu tidak dapat berbuat lain kecuali melakukan segala perintah. Mereka telah menyiapkan senjata mereka sebagaimana diperintahkan, agar ditempat tujuan, mereka tidak merasa terganggu oleh senjata-senjata mereka sendiri.

Demikianlah, dengan tergesa-gesa pasukan itu disiapkan. Kemudian sebelum fajar membayang di langit, maka pasukan itu mulai mendapat perintah untuk bergerak.

Pasukan yang tidak begitu besar, tetapi akan sangat berarti bagi pasukan Jipang di Pajang sebelah Timur.

Sementara itu, ternyata bahwa Warsi telah membawa apa saja yang dapat dibawa. Ia sadar, bahwa orang-orang yang disebutnya sebagai pemberontak itu tentu akan memasuki rumah itu, sehingga benda-benda yang ada perlu diselamatkannya dalam batas kemungkinan. Terutama perhiasan, benda-benda berharga dan berbagai jenis senjata.

“Tetapi pada satu saat aku akan kembali ke Tanah Perdikan ini, memegang kendali pemerintahan dan menghukum para pemberontak,” berkata Warsi di dalam hatinya. Namun dalam pada itu, ada sesuatu yang merupakan persoalan yang harus dipecahkannya. Ia tentu tidak akan dapat meninggalkan anak laki-lakinya di Tanah Perdikan itu, karena hal itu akan dapat berbahaya bagi jiwa anak itu. Apalagi

anak itu adalah sandaran kekuasaannya kelak di atas Tanah Perdikan itu, karena anak itu adalah anak Wiradana. Dalam pembicaraan khusus, maka Ki Randukeling lah yang kemudian mengusulkan, Katanya, “Bawa anak itu ke padepokanku.”

“Padepokan itu terlalu jauh kakek,” jawab Warsi.

“Apakah kau akan membawanya ke Pajang,” bertanya Randukeling.

“Apa salahnya,” jawab Warsi. “Anak itu akan ditempa oleh peperangan dimasa bayinya sehingga ia akan menjadi seorang laki-laki yang perkasa. Aku akan

membawa seorang pemomong yang terpercaya. Ia akan dapat dititipkan pada seorang dilingkungan pesanggrahan orang-orang Jipang untuk menjaga dan memelihara bayi itu sampai Pajang pecah. Kemudian bersama pasukan Jipang kita akan kembali memasuki Tanah Perdikan ini. Anakkulah yang kemudian akan memerintah Tanah Perdikan ini di bawah payung kuasa Jipang yang besar.”

Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Namun untuk membawa bayi kecil itu ke Pajang, rasa-rasanya memang agak mendebarkan. Apalagi di malam hari dalam ancaman bahaya yang datang setiap saat. Persoalan kemudian, apakah ada seorang perempuan selain Warsi sendiri yang akan dapat menempuh perjalanan panjang menuju ke Pajang. Sedangkan jika mereka membawa pedati, maka perjalanan akan menjadi sangat lamban.

Namun Warsi berkeras untuk membawa anak laki-lakinya ke Pajang dan selanjutnya mengikutinya kemana ia akan pergi, sampai saatnya Wrasi akan memasuki Tanah Perdikan Sembojan dengan kekuatan yang besar.

“Kita membawa kuda,” berkata Warsi. “Jika perempuan yang tidak memiliki ketahanan wadag seperti aku itu tidak mampu lagi berjalan, maka ia akan naik ke atas punggung kuda. Jika ia tidak terbiasa, maka biarlah seorang pengawal menjaganya.”

Tidak ada orang yang dapat menahannya lagi. Meskipun pemomong anak Warsi itu tidak ingin untuk ikut keluar dari Tanah Perdikan Sembojan, namun ia tidak dapat menolak. Ia harus ikut bersama Warsi dengan membawa anak laki-lakinya yang masih terlalu kecil.

Demikianlah, maka dengan cepat Ki Wiradana telah menggerakkan para pengawal meninggalkan padukuhan induk. Dalam suasana yang bagaikan sedang berkabung mereka berbaris dan mengambil jalan melingkar.

Di antara para pengawal yang berjalan kaki, maka dalam iring-iringan itu memang terdapat beberapa ekor kuda. Berapapun kuda yang ada pada mereka, telah mereka bawa serta. Orang-orang yang kelelahan akan dapat berganti-ganti naik ke atas punggung-punggung kuda itu. Sementara itu, Ki Wiradana pun telah memerintahkan para pengawal untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi disepanjang jalan. Mungkin mereka harus bertempur dan menghindar.

“Dua orang telah berkhianat dengan meninggalkan pasukan,” berkata Ki Wiradana. “Mungkin mereka telah menghubungi para pemberontak. Dengan demikian, mungkin akan dapat timbul gangguan di dalam perjalanan ini. Karena itu, maka kita harus

siap bertempur dalam keadaan yang bagaimanapun juga.”

Para pengawal menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain kecuali menjalankan segala perintah. Sementara itu, Kiai Badra telah siap pula dengan pasukan pengawal yang menentang kebijakan Ki Wiradana. Mereka harus berusaha untuk mencegah para pengawal yang akan dibawa ke Pajang. Bahwa mereka

mulai dengan sikap keras itu, mereka memperhitungkan bahwa pasukan pengawal yang ada di Tanah Perdikan Sembojan tidak akan dibawa keluar, sebagaimana yang berada di Pajang tidak akan dikirim kembali ke Tanah Perdikan. Namun ternyata

perhitungan mereka keliru. Pengawal yang tersisa di dalam pengaruh Ki Wiradana itu masih juga akan dibawa ke Pajang, sedangkan Tanah Perdikan Sembojan untuk sementara akan dikosongkan. Namun Kiai Badra dan orang-orang tua, bahwa Iswari sendiri telah memperhitungkan, bahwa pada suatu saat, yang akan datang adalah kekuatan yang lebih besar. Bukan hanya kekuatan Kalamerta, tetapi mungkin juga bantuan Jipang.

Namun dalam pada itu, Kiai Badra berkata, "Jipang tidak akan mempunyai kekuatan lagi. Menurut perhitunganku, jika perselisihannya dengan Pejang diteruskan, maka Jipang akan mengalami kesulitan. Apalagi Jipang telah membuka permusuhan lebih dahulu dengan Pengging dan Kalinyamat."

Demikianlah, maka ketika pasukannya sudah siap seluruhnya, Kiai Badra dan para pemimpin dari padukuhan-padukuhan yang menentang kebijakan Ki Wiradana bersama para pengawal yang berpihak kepada mereka telah menuju ke padukuhan induk.

Menurut laporan yang mereka terima, menjelang fajar pasukan itu baru berangkat. Mereka akan mengepung padukuhan induk, sehingga pasukan yang dipersiapkan itu tidak akan dapat meninggalkan padukuhan induk itu.

Namun ternyata bahwa perhitungan mereka keliru. Ketika mereka sampai di padukuhan induk, maka pedukuhan itu telah kosong.

Pengawal yang memang mendapat pesan untuk menyampaikan keberangkatan itu kepada mereka yang menentang kebijaksanaan Ki Wiradana pun menjadi kebingungan. Ternyata para pemimpin Tanah Perdikan serta kekuasaan yang mengelilinginya telah mengubah rencana mereka dan berangkat lebih awal.

Ketika para pemimpin dari pasukan yang datang itu memasuki rumah Ki Wiradana, mereka tidak menemukan apapun juga. Yang ada adalah para pembantu rumah itu yang tidak tahu apa-apa. Dengan ketakutan mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka tanpa mengulasnya sama sekali.

"Dimana anak Warsi itu," tiba-tiba Iswari bertanya kepada seorang pembantu perempuan.

"Anak itu dibawanya," jawab pembantu itu. "Seorang kawan kami dipaksa ikut bersama mereka."

Iswari menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya kepada Kiai Badra dan Kiai Soka, "Mereka belum terlalu lama pergi. Kita mungkin akan dapat menyusulnya."

Kiai Badra mengangguk-angguk. Sementara Kiai Soka berkata, "Kita akan mencoba." Kiai Badra pun kemudian telah berbicara dengan para Bekel. Mereka pun bersepakat untuk mencoba menyusul pasukan Ki Wiradana yang akan keluar dari Tanah Perdikan.

"Mereka mengambil jalan melingkar," berkata salah seorang dari para Bekel itu. Sejenak kemudian, maka iring-iringan pasukan itu berjalan dengan cepat untuk berusaha menyusul pasukan Ki Wiradana. Mereka mencoba mengamati jejak pasukan itu, sehingga mereka tidak akan mengambil jalan yang salah. Dengan obor-obor

biji jarak, mereka melihat jejak pasukan itu. Jejak kaki kuda dan

langkah-langkah yang diseret ditanah berdebu. Bahkan pohon-pohon perdu yang berpatahan dipinggir jalan.

"Nampaknya memang ada yang dengan sengaja meninggalkan jejak pada pohon-pohon perdu ini," berkata Kiai Badra.

Kiai Soka mengangguk-angguk, jawabnya, "Ya. Ada yang dengan sengaja mematahkan ranting-ranting perdu itu."

Dengan demikian maka mereka tidak terlalu sulit untuk mengikuti jejak pasukan yang telah meninggalkan padukuhan induk itu.

Namun ternyata bahwa jarak mereka tidak cukup dekat untuk dapat menyusul pasukan yang meninggalkan Tanah Perdikan itu. Para Bekel dan pemimpin pasukan telah memacu pasukan mereka untuk berjalan lebih cepat. Namun mereka tidak segera dapat menyusul. Sementara itu, jarak perbatasan Tanah Perdikan Sembojan semakin lama menjadi semakin dekat pula.

Ketika langit menjadi merah, maka iring-iringan itu sudah mendekati batas. Jalan yang keluar dari Tanah Perdikan Sembojan itu memang akan memasuki hutan kecil. Tetapi hutan kecil itu berada dibawah pengamatan Kademangan tetangga.

“Apakah kita dapat menyusul?” berkata salah seorang dari ketiga orang Bekel itu.

“Kita tinggal mempunyai kesempatan sedikit,” berkata Bekel yang lain.

Tiba-tiba saja Kiai Badra berkata, “Apakah kita masih mempunyai oncor jarak?” “Masih banyak,” sahut salah seorang pemimpin pengawal.

“Nyalakan saja,” berkata Kiai Badra.

“Tetapi langit justru semakin terang,” jawab pengawal itu. “Biarlah. Mudah-mudahan ada akibatnya,” jawab Kiai Badra.

Pemimpin pengawal itu pun segera memerintahkan menyalakan semua obor meskipun langit menjadi semakin terang. Namun cahaya obor itu masih juga nampak

menjilat-jilat ke udara. Para pengawal itu telah merangkap tiga atau empat oncor biji jarak dan menyalakannya sekaligus, sehingga oncor itu nampaknya merupakan oncor-oncor yang besar.

Dengan cepat pasukan itu berusaha menyusul. Setidak-tidaknya obor-obor itu dapat dilihat oleh orang-orang yang mereka ikuti.

Dalam pada itu, beberapa saat kemudian, ternyata bahwa pasukan Ki Wiradana memang telah sampai ke batas. Sejenak kemudian mereka akan meninggalkan Tanah Perdikan. Para pengawal menjadi berdebar-debar. Beberapa orang di antara mereka merasa cemas, bahwa mereka tidak akan dapat melihat Tanah Perdikan itu lagi.

Karena itu, maka beberapa orang pun telah berpaling. Diamatinya keremangan fajar serta cahaya merah yang menyangkut diujung pepohonan.

Namun tiba-tiba saja mereka telah melihat sesuatu yang bergerak. Obor. Beberapa orang menjadi berdebar-debar. Bahkan seseorang dengan hampir tidak sengaja telah berdesis, “Obor.”

“Ya obor,” sahut kawannya.

Beberapa orang yang telah melihat obor itu juga. Tiba-tiba saja mereka telah memperlambat langkah mereka.

Para pemimpin pengawal yang menyadari keadaan telah memberikan aba-aba untuk mempercepat langkah mereka. Namun salah seorang di antara para pemimpin itu tiba-tiba berteriak, “Kita bersiap untuk bertempur. Pasukan benar-benar telah menyusul kita.”

Perintah-perintah yang simpang siur itu terdengar oleh Ki Wiradana dan

orang-orang yang membayanginya. Karena itu, maka bersama Ki Rangga, maka Ki Wiradana pun telah menelusuri pasukannya sampai kepada mereka yang telah melihat obor itu.

“Apa yang terjadi?” bertanya Ki Wiradana. “Obor,” jawab salah seorang pemimpin.

Ki Rangga menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berkata, “Kita percepat langkah kita. Mereka tidak akan membuka pertempuran di daerah orang lain. Bukankah kita sedang melintasi perbatasan.

“Belum tentu,” jawab salah seorang pemimpin pengawal, “Mereka adalah orang-orang gila. Mereka tidak akan berpikir sekian jauhnya. Karena itu, tidak ada cara lain

yang harus kita lakukan kecuali bertempur sampai orang yang terakhir.

“Jangan terlalu memanjakan perasanmu,” berkata Ki Rangga. “Kita justru harus mempercepat perjalanan ini.”

Sementara itu, oncor-oncor biji jarak itu pun menjadi semakin dekat. Ketika mereka berbelok sekali disela-sela batang perdu yang tumbuh dipinggir jalan bulak, maka pasukan itu menjadi semakin jelas. Apalagi langit menjadi semakin terang.

Namun yang terdengar adalah perintah Ki Wiradana, “Kita mempercepat perjalanan ini.”

Iring-iringan itu agaknya memang ingin mempercepat langkah mereka. Tetapi terasa sesuatu telah membenani mereka, sehingga laju pasukan itu justru terasa

tersendat-sendat.

Sementara itu pasukan yang menyusul itu justru berjalan semakin cepat. Seorang di antara para Bekel itu memang menjadi ragu-ragu. Dengan bimbang ia berkata, “Apakah kita akan membuka pertempuran di hutan milik tetangga?”

“Kita akan memberikan penjelasan kelak,” berkata Bekel yang lain.

Karena itu, maka mereka sama sekali tidak merasa terpotong oleh perbatasan. Asal iring-iringan itu belum keluar dari hutan kecil itu, maka para Bekel itu masih merasa akan dapat menjelaskan persoalannya kepada kademangan tetangganya.

Di depan mereka Ki Wiradana justru telah membentak-bentak untuk mempercepat perjalanan pasukannya. Namun beberapa orang di antara mereka justru telah mencabut senjata. Seorang pemimpin masih juga berkata, “Kita harus bersiap sepenuhnya.”

Sementara itu Ki Rangga pun telah berteriak, “Jangan menjadi pengecut. Jika mereka memang menyerang, kita akan menghancurkan mereka. Tetapi untuk kepentingan yang lebih besar, kita akan pergi ke Pajang. Karena itu, jangan hiraukan gangguan-gangguan kecil yang tidak berarti itu.

Pasukan itu memang berjalan lebih cepat. Tetapi pasukan yang menyusul itu pun justru telah berlari-lari kecil sehingga jarak antara mereka pun menjadi semakin pendek.

Seperti dikatakan oleh salah seorang pemimpin pengawal, bahwa pasukan yang menyusul itu sama sekali tidak menghiraukan perbatasan. Meskipun pasukan Ki Wiradana seluruhnya telah memasuki hutan kecil di luar batas Tanah Perdikan Sembojan, namun yang menyusul itu telah memasuki hutan itu pula.

“Jangan biarkan mereka menerkam dari belakang,” tiba-tiba pemimpin pengawal yang telah bersiap-siap itu berteriak, “Aku sudah mengatakan, bahwa mereka akan menyergap kita.”

“Jangan menjadi gila,” Ki Rangga telah berteriak lebih keras, “Tinggalkan mereka.”

Tetapi pemimpin pengawal itu menjadi ragu-ragu. Katanya kemudian, “Silakan meninggalkan tempat ini. Aku dan kelompokku akan menghambat mereka. Tidak ada pilihan untuk menghadapi mereka kecuali dengan bertempur.”

“Tidak. Kau dengar perintahku,” geram Ki Rangga.

Pemimpin pengawal itu menjadi tegang. Tetapi ia tidak dapat menolak perintah Ki Rangga, sehingga karena itu, maka ia pun telah melanjutkan perjalanan dibelakang pasukan yang telah berjalan beberapa langkah lanjut.

“Cepat,” teriak Ki Rangga itu.

Namun yang mengejar mereka pun semakin cepat pula. Sementara Ki Rangga bergeser ketengah-tengah barisan yang tergesa-gesa, maka pasukan yang mengejarnya menjadi semakin dekat.

Ketika pasukan itu memasuki hutan, maka obor-obor telah dimatikan. Namun langit sudah menjadi terang. Meskipun demikian di dalam hutan masih terasa selubung kelam karena dedaunan yang rimbun dan rapat saling berhimpitan.

Agaknya para pemimpin dari pasukan yang menyingkir itu memang mempunyai perhitungan, jika pasukan yang dianggapnya pemberontak itu berani mengejar sampai ke tengah hutan, namun mereka tidak akan berbuat apa-apa jika pasukan dipimpin oleh Ki Wiradana itu sudah keluar dari hutan dan berada di jalan persawahan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar