Suramnya Bayang-Bayang Jilid 27

Jilid 27

Tetapi untuk sejenak para pengawal itu hanya berdiam diri saja. Sementara Ki Wiradana sendiri rasa-rasanya masih belum mampu berdiri dengan tegak. Apalagi ketika ia akan melangkah, maka hampir saja ia jatuh terjerembab. Namun ketika be berapa orang pengawal bersamaan melangkah mendekat untuk membantunya, maka sekali lagi ia membentak, "Aku tidak apa-apa? Sebagaimana kalian lihat. Atau

mata kalian sudah menjadi buta?"

Dalam kebingungan, maka seorang pengawal yang lebih tua dari kawan-kawannya akhirnya berkata, "Mereka sudah melarikan diri Ki Wiradana. Agaknya mereka menyusup jalan-jalan sempit, sehingga sulit untuk dapat menemukannya."

"Siapa di antara kalian yang mempunyai kemampuan mengenali jejak? He, bukankah dalam penempaan diri kalian mendapat latihan untuk menelusuri jejak?" "Bersamaan dengan masa pasar bubar seperti ini, sulit sekali untuk mengikuti

jejak kaki di jalan-jalan yang memang banyak dilalui orang Ki Wiradana," jawab pengawal itu.

Ki Wiradana menjadi terengah-engah. Namun katanya, "Tetapi bukan karena aku kalah melawan perempuan gila itu. Bukan karena kalah. Tetapi mereka dengan licik telah melarikan diri dari arena pertempuran."

Para pengawal tidak menjawab. Tetapi sebenarnyalah mereka tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa mereka memang kalah. Namun hal itu memang menguatkan pendapat orang-orang yang telah meninggalkan mereka itu, bahwa Ki Wiradana benar-benar merasa ketakutan apabila kenyataan ini didengar oleh istrinya.

Sejenak kemudian, maka Ki Wiradana dan para pengawalnya itu pun telah berbenah diri. Kepada ketiga orang pengawal yang berasal dari padukuhan itu, Ki Wiradana berpesan, "Kumpulkan kawan-kawanmu. Cari mereka sampai ketemu. Jangan takut. Jika perlu bunyikan isyarat sehingga aku akan datang sendiri untuk menangkap mereka."

Ketiga pengawal itu mengangguk bersama-sama. Seorang diantara mereka pun menjawab, "Baik Ki Wiradana. Kami akan mencoba melakukannya."

"Bagus," desis Ki Wiradana. "Kalian adalah pengawal Tanah Perdikan ini. Karena itu, kalian harus menjunjung nama baik Tanah Perdikan ini dengan mengorbankan apa saja yang dapat kalian korbankan."

"Ya Ki Wiradana," jawab pengawal itu. "Kami akan melakukannya." Ki Wiradana pun kemudian meninggalkan pasar itu dengan jantung yang berdebaran. Bukan saja karena ia ternyata dikalahkan oleh Serigala Betina lagi, tetapi lebih mendebarkan baginya, bagaimana ia harus menjawab jika Warsi nanti bertanya."

Hampir diluar sadarnya tiba-tiba saja ia bergumam, "Orang-orang itu memang licik. Mereka tidak berani bertempur beradu dada. Dalam kesempatan yang memungkinkan mereka selalu melarikan diri."

Para pengawal termangu-mangu sejenak. Mereka merasakan kepahitan perasaan Ki Wiradana. Namun para pengawal itu merasa tidak dapat berbuat apa-apa. Jika Ki Wiradana saja bagi orang-orang itu tidak lebih sebagai bahan kelakar, maka apa yang dapat mereka lakukan diarena benturan kekerasan.

Dalam pada itu, semakin dekat dengan padukuhan induk Ki Wiradana pun menjadi semakin termangu-mangu. Sebenarnyalah didalam jantungnya bergejolak kegelisahan yang sangat. Apa kata istrinya jika ia mengetahui bahwa Ki Wiradana pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan telah dikalahkan oleh seorang pemomong penari jalanan. Karena kegelisahannya yang hampir meledakkan dadanya itu,

tiba-tiba saja ia membentak, "He, apakah kalian tidak dengar. Orang-orang itu adalah orang-orang yang licik, yang tidak mau bertempur beradu dada. Mereka selalu melarikan diri dalam setiap kesempatan. He, kalian dengar?"

“Ya, ya Ki Wiradana,” hampir berbareng beberapa orang telah menjawab.

Ki Wiradana justru menggeram. Katanya, “Kalian sadari bahwa aku mengenal kalian seorang demi seorang?”

Para pengawal itu termangu-mangu. Mereka tidak tahu maksud Ki Wiradana. Namun sementara itu, Ki Wiradana meneruskan, “Karena itu, maka jika salah seorang di antara kalian telah memfitnah aku dengan mengatakan yang bukan-bukan tentang peristiwa itu, maka kalian akan tahu akibatnya.”

Para pengawal itu saling berpandangan. Sementara itu Ki Wiradana berkata, “Kalian harus mengatakan apa adanya dari peristiwa yang baru saja terjadi. Orang-orang licik itu telah melarikan diri di antara keramaian orang-orang yang berada di pasar, sehingga kita tidak dapat menangkap mereka. Orang-orang seisi pasar menjadi ribut dan berlari-larian tidak menentu.”

Beberapa di antara para pengawal menarik nafas dalam-dalam. Mereka pun kemudian mengangguk-angguk. Mereka mengerti sepenuhnya, apa yang harus mereka katakan di padukuhan induk nanti.

Namun sebagian di antara mereka sempat juga bertanya di dalam diri mereka sendiri, “Tetapi apakah orang-orang yang melihat perkelahian itu dipasar tidak akan dapat berceritera tentang keadaan yang sebenarnya terjadi?”

Tetapi mereka pun menjawab sendiri, “Persetan. Aku tidak peduli. Seandainya demikian itu baru akan terjadi kemudian. Mungkin Warsi akan mendengarnya, mungkin tidak. Atau mungkin Ki Wiradana sempat menemukan jawabannya.” Dengan demikian maka para pengawal itu pun menjadi malas berpikir. Apapun yang akan terjadi, mereka tidak mau bersusah payah merenungkannya.

Dengan demikian, maka perjalanan Ki Wiradana itu pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan padukuhan induk, sementara kegelisahan di dalam dadanya telah bergejolak semakin menderu.

Dalam pada itu, ketiga orang pengawal yang ikut terlibat dalam perkelahian di pasar itu pun kemudian telah menghubungi kawan-kawan mereka. Dengan gairah

mereka menceriterakan apa yang sudah terjadi. Sambil menunjukkan luka-luka pada tubuhnya mereka berkata, “Aku juga ikut berkelahi melawan para penabuh gamelan yang berada di pasar itu.”

“Kenapa kau juga dilukainya?” bertanya kawannya. “Bukankah mereka tahu, bahwa kau sudah menentukan sikap?”

“Aku merasa, bahwa yang mereka lakukan terhadap kami bertiga tidak bersungguh-sungguh,” berkata salah seorang di antara para pengawal itu. “Mereka bermaksud agar Ki Wiradana tidak segera mengetahui, apa yang sebenarnya kami lakukan.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun sambil tersenyum, seorang di antara mereka berkata, “Ki Wiradana akan mengalami satu masa yang sangat sulit. Ia akan memetik hasil tanamannya sendiri. Dan kita semua adalah salah satu korban permainannya yang sesat ini.”

“Ki Wiradana tidak sedang bermain-main,” jawab kawannya. “Ki Wiradana justru sedang menjadi permainan. Dan kita terseret pula karena kita adalah pengikutnya.”

Kawannya merenung sejenak. katanya, “Ya. Kau benar. Ki Wiradana memang tidak sedang bermain-main. Ia justru telah terjerat dan menjadi sasaran permainan yang tidak dapat dihindarinya lagi. Tetapi itu bukan berarti bahwa Ki Wiradana tidak bersalah. Ia sebenarnya masih mempunyai pilihan ketika Warsi itu datang kepadanya. Agak berbeda dengan kita. Kita tidak dapat berbuat lain daripada melakukan tugas yang dibebankannya kepada kita.” Yang lain menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baru sekarang kita mendapat kesempatan untuk memilih. Mudah-mudahan pilihan kita tepat.”

Kawannya mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Kita harus bertindak sebaik-baiknya. Apapun yang terjadi atas diri kita, tetapi ini adalah hasil dari

pilihan kita sendiri. Bukan sebagaimana yang terjadi atas kawan-kawan kita yang berada di Pajang. Mereka sama sekali tidak memilih untuk melakukan hal seperti yang telah mereka lakukan itu. Apalagi jika kita harus mati. Kematian kita

dilandasi dengan keyakinan, sementara kematian kawan-kawan kita adalah sekadar umpan yang tidak banyak memberikan arti apa-apa.”

Dengan demikian maka para pengawal itu pun bertekad semakin mantap. Apalagi ketika kemudian beberapa orang di antara mereka yang paling berpengaruh telah dipanggil untuk berkumpul dan berbicara tentang langkah-langkah yang akan mereka ambil.

“Jika tekad kita telah bulat, maka tidak ada lagi yang akan dapat menghambat kita,” berkata Iswari.

“Tekad kita sudah bulat,” jawab beberapa orang hampir bersamaan.

“Jika demikian, maka aku minta kalian tidak lagi merahasiakan diri. Kita harus bersiap. Tiga padukuhan akan menyatakan memisahkan diri dari kuasa Ki Wiradana dan siap untuk bertempur jika memang mereka menghendaki,” berkata Iswari.

“Aku sependapat,” berkata Ki Bekel dari padukuhan yang terbesar dari ketiga padukuhan yang telah menyatakan berpihak kepada Iswari. Padukuhan yang memiliki beberapa desa yang besar dan kecil, bahkan satu di antaranya adalah sebuah

Banjar panjang, “Aku telah menghimpun bukan saja para pengawal, anak-anak muda dan remaja, tetapi juga semua laki-laki yang masih mampu mengangkat senjata.

Agaknya kita tidak perlu menunggu sampai sisa pasukan Tanah Perdikan yang berada di Pajang kembali. Mungkin kita akan kehilangan waktu, apalagi jika orang-orang Jipang datang bersama mereka.”

Ternyata bahwa Ki Bekel dari padukuhan yang lain pun tidak berkeberatan. Mereka pun ternyata telah siap pula sebagaimana Ki Bekel di padukuhan terbesar itu.

Iswari menarik nafas dalam-dalam. Jantungnya bagaikan mengembang. Ia berharap bahwa orang-orang yang akan menjadi pengikutnya itu benar-benar meletakkan niatnya atas dasar keyakinan.

Meskipun Iswari sendiri kemudian berkata, “Saudara-saudaraku. Jika aku menyatakan niatku untuk melawan kekuatan kakang Wiradana, sama sekali bukan karena keinginanku untuk memperoleh kekuasaan atas Tanah Perdikan ini bagiku sendiri. Tetapi karena istri kakang Wiradana yang muda telah melahirkan anak laki-laki, maka aku akan melakukan apa saja atas hak yang ada pada anakku.

Apalagi pertanda kekuasaan Tanah Perdikan telah berada ditanganku. Bagaimana pun caranya, tetapi ternyata bahwa bandul bertatahkan burung elang itu sekarang ada pada anakku.”

Ki Bekel dari padukuhan yang terbesar itu pun berkata, “Apapun yang terjadi, kami berniat ingin mengembalikan keadaan Tanah Perdikan ini sebagaimana seharusnya. Selain menghapus kekuasaan yang berada di sekitar Ki Wiradana yang sebenarnya bukan orang-orang yang berhak untuk ikut serta mengemban tugas kepemimpinan di Tanah Perdikan ini, juga Tanah Perdikan ini harus kembali ke

dalam lingkungan keluarga Pajang. Kami memang bermusuhan dengan Jipang. Namun yang terjadi sebaliknya. Justru kami telah berpihak kepada Jipang untuk melawan Pajang. Hal ini terjadi karena kuasa Wiradana sudah haus oleh kewibawaan

orang-orang disekitarnya.”

“Terutama perempuan iblis itu,” desis Ki Bekel yang lain, “Kita rebut Tanah Perdikan ini kembali.”

“Terima kasih,” berkata Iswari. “Sejak hari ini kita akan bersiaga. Kita harus menyiapkan tanda-tanda bahaya dan isyarat. Beberapa orang terpenting di antara kita akan siap dengan kuda, sehingga jika terdengar isyarat tertentu, maka dengan cepat, kita akan mencapai tujuan.”

Para Bekel itu pun kemudian telah bersepakat untuk menentukan bunyi-bunyi isyarat yang berbeda dengan kebiasaan yang berlaku di Tanah Perdikan Sembojan. Dengan demikian maka jika terdengar isyarat, maka orang-orang yang berpihak kepada Iswari akan segera dapat mengetahui, siapakah yang membunyikannya.

Sementara itu, di rumah Ki Wiradana, pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan itu sedang duduk sambil menundukkan kepalanya. Warsi, istrinya berjalan hilir mudik didepannya. Sementara itu orang yang mengaku pedagang permata itu duduk pula beberapa langkah dari padanya disamping Tukang Gendang yang pernah diakui sebagai ayah Warsi.

“Jadi kau mencoba berbohong ya?” bentak istrinya. “Tadi siang aku mempercayaimu.

Tetapi ternyata aku telah mendengar ceritera yang lain. Orang-orang itu sama sekali tidak melarikan diri sebagaimana kau katakan. Tetapi kau dan para pengawal telah mereka kalahkan.” “Siapa yang mengatakannya?” desis Ki Wiradana.

“O, jadi kau akan berusaha untuk membela diri? Jika aku sebut nama salah seorang pengawal yang ikut bersamamu, maka kau akan mencekik anak itu,” geram Nyi Wiradana. “Tetapi memang bukan pengawalmu yang mengatakannya. Mereka semua sudah

kau pesan untuk berbohong. Tetapi seisi pasar melihat, bahwa kau telah

dikalahkan oleh seorang perempuan. Dan perempuan itu ternyata bukan istrimu yang kau sembunyikan itu. Yang kau katakan telah tidak ada lagi, tetapi yang ternyata

kau simpan ditempat yang tidak aku ketahui.”

Ki Wiradana memang tidak dapat membantah, bahwa ia telah dikalahkan. Tetapi ia ingin menjelaskan tentang istrinya yang hilang dan ternyata telah muncul kembali itu.

“Aku tidak menyembunyikannya,” berkata Ki Wiradana. “Yang aku katakan kepadamu sebenarnyalah telah aku lakukan. Perempuan yang bertempur melawan aku di pasar itulah yang telah berkhianat.”

“O,” Nyi Wiradana itu justru bertolak pinggang dihadapannya, “Jadi kau

benar-benar dikalahkan oleh perempuan itu. Bukan sekadar satu pertunjukan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan.” Ki Wiradana tidak dapat menjawab. Karena itu, maka ia pun telah berdiam diri sambil menundukkan kepalanya.

Sementara itu, kata-kata Warsi mengalir seperti derap kaki sepasang kuda yang berpacu. Tidak ada saat-saat untuk dapat memotong, menyela apalagi menjawab. Bahkan sekali-kali ayah Warsi itu pun ikut pula mengumpati menantunya yang dianggapnya sangat dungu.

“Aku kira anak Ki Gede yang telah mampu membunuh Kalamerta itu memiliki sedikit ketajaman nalar dan kemampuan dasar olah kanuragan,” berkata Ki Saudagar. “Ternyata ia tidak lebih dari kanak-kanak yang masih harus bergantung kepada kehangatan pelukan ibunya,” Ki Saudagar itu berhenti sejenak, lalu, “Warsi

adalah istrimu. Bukan ibumu. Kau harus melindunginya, bukan ia harus melindungimu”

Ki Wiradana sama sekali tidak dapat menjawab. Sekali-kali terdengar tarikan nafasnya. Namun kemudian kepalanya telah tertunduk lagi.

Dengan perasaan yang hancur ia harus mendengarkan umpatan-umpatan, caci-maki dan ejekan-ejekan yang menyakitkan hati. Namun kepahitan itu harus ditelannya dengan penyesalan di dalam hatinya.

“Kita harus menebus penghinaan ini,” berkata Warsi. “Kemudian jika kakang mau mengatakan apa yang sebenarnya, mungkin aku sempat memburunya, mencarinya dan kemudian menyeret perempuan itu dibelakang kaki kudaku.”

“Ya,” jawab Ki Saudagar. “Tetapi kemana kita harus mencari perempuan iblis itu. Apalagi penari yang mirip dan yang barangkali memang perempuan yang bernama Iswari itu sekarang.”

“Pada suatu saat kakang Wiradana harus mengatakan. Dimana istrinya itu disembunyikan,” geram Warsi.

“Aku tidak menyembunyikan,” sahut Ki Wiradana. “Aku bersumpah.”

“Apapun yang kau katakan,” Warsi menjawab dengan nada tinggi. “Sekarang kita bersiap. Kita akan mengelilingi Tanah Perdikan ini sesudah senja. Biasanya rombongan penari jalanan itu kebar pada saat-saat sesudah senja jika mereka akan melakukan pertunjukan pada malam hari.”

Ki Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Namun istrinya telah membentaknya, “Cepat, siapkan pasukan. Kenapa kau masih merenung saja?”

Wiradana itu pun kemudian bangkit dan berjalan keluar. Namun demikian ia berada di luar pintu, maka ia pun telah mengangkat wajahnya.

Dengan garang Ki Wiradana pun memanggil pemimpin pengawal yang bertugas. Dengan lantang ia berkata, “Siapkan pasukan pengawal yang kuat. Kita akan mengelilingi

Tanah Perdikan untuk mencari langsung orang-orang yang telah mengacaukan Tanah Perdikan ini. Ternyata kita tidak dapat lagi mempercayai para pengawal

dipadukuhan yang hanya dapat bermanja-manja saja. Mungkin kita akan bertempur karena kita tahu, ada di antara mereka yang memiliki kemampuan yang cukup.” Pemimpin pengawal itu mengangguk hormat. Katanya, “Baiklah Ki Wiradana. Siapa saja yang akan pergi selain para pengawal, agar disiapkan kuda bagi mereka?” “Aku,” bentak Ki Wiradana.

“Sendiri?” bertanya pengawal itu pula.

Ki Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak. Aku akan pergi dengan Warsi, Ki Saudagar dan ayah Warsi.”

Pengawal itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Aku akan menyiapkan empat ekor kuda. Bukankah kita akan berkuda?”

“Ya. Kita akan pergi setelah senja,” berkata Ki Wiradana. Dengan cepat pemimpin pengawal itu pun kemudian memerintahkan menyiapkan empat

ekor kuda disamping kuda para pengawal sendiri. Pemimpin pengawal itu sudah tahu, apa yang sudah terjadi dengan Ki Wiradana di pasar. Karena itu, maka ia

pun berusaha untuk tidak terulang lagi, sehingga dengan demikian maka pemimpin pengawal itu telah menyiapkan pengawal yang kuat.

Ketika senja turun, maka semuanya telah siap. Warsi pun telah siap pula.

Meskipun di mata para pengawal Ki Wiradanalah yang akan memimpin sekelompok pasukan Tanah Perdikan Sembojan itu, namun sebenarnya bahwa Ki Wiradana berada dibawah pengaruh istrinya.

Sejenak kemudian, ketika semuanya sudah siap, maka sekelompok orang berkuda telah meninggalkan rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan untuk menemukan para pengamen yang telah menghina pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan itu.

Derap kaki kuda mereka telah menggetarkan jantung orang-orang yang tinggal dipinggir jalan keluar dari Tanah Perdikan itu, karena beberapa orang di antara mereka mengetahui, bahwa sekelompok pengawal yang dipimpin oleh Ki Wiradana sendiri akan mencari dan menangkap para pengamen yang mempunyai seorang penari yang mirip sekali dengan Nyi Wiradana yang terdahulu.

Orang-orang padukuhan induk belum pernah melihat kelompok pengamen itu, karena kelompok pengamen itu tidak sampai ke padukuhan induk. Tetapi dari kawan-kawan mereka atau saudara-saudara mereka yang tinggal dipadukuhan-padukuhan lain yang terutama terletak di daerah pinggir Tanah Perdikan mereka telah mendengar, bahwa penari itu bukan saja mirip, tetapi memang Nyi Wiradana sendiri.

Karena itu ada semacam kecemasan bahwa sekelompok pengawal yang kuat itu akan dapat menemukan kelompok pengamen itu dan kemudian menangkapnya. Istri pemangku

jabatan Kepala Tanah Perdikan itu tentu akan memperlakukan Nyi Wiradana dengan kasar dan semena-mena bahkan mungkin akan melampaui batas-batas kewajaran.

Bukan

hanya karena penari itu adalah istri Ki Wiradana pula, tetapi justru karena Nyi Wiradana itu telah dianggapnya membuat Tanah Perdikan ini tidak tenang.

Namun orang-orang itu tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya merenung dan berangan-angan. yang dapat mereka lakukan tidak lebih dari berdoa, agar tidak terjadi sesuatu atas Nyi Wiradana itu. Sementara itu, maka kuda-kuda pun telah berderap. Ki Wiradana bersama istrinya, Ki Saudagar dan pengendang itu pun telah melintasi bulak-bulak panjang diiringi oleh sekelompok pengawal yang kuat. Sasaran pertama adalah pasar yang tentu telah menjadi sepi. Mungkin pengamen itu telah kebar didekat pasar, ditempat yang cukup lapang.

Tetapi ketika iring-iringan orang berkuda itu telah melewati sebuah simpang empat dan memasuki jalan menuju kesebuah padukuhan, maka Ki Wiradana yang berkuda dipaling depan terkejut. Dengan isyarat ia pun telah menghentikan

iring-iringan itu.

Ternyata ditengah-tengah jalan telah dipasang patok yang rapat dan rintangan yang melintang, menutup jalan.

“Siapa yang berbuat gila ini?” Warsi mulai berteriak.

Ki Wiradana pun kemudian melompat turun. Ketika ia berusaha mengguncang patok-patok itu ternyata bahwa patok itu telah dipasang dengan kuatnya. Bukan sekadar tangan-tangan jahil yang bermain-main dengan tanpa menghiraukan akibatnya. Tetapi patok-patok itu benar-benar telah dipasang.

Ki Wiradana itu pun kemudian dengan lantang memerintahkan kepada para pengawal untuk turun dan membongkar patok-patok itu. Namun Nyai Wiradana berkata, “Biarlah. Kita akan melihat, apakah ada juga patok-patok semacam ini ditempat

lain. Jika kita menemukannya juga, maka kita harus menanggapinya dengan sungguh-sungguh.”

Ki Wiradana justru termangu-mangu sejenak. Kemudian ia pun kembali meloncat ke punggung kudanya ketika Warsi berkata, “Marilah. Kita melihat di jalan yang

lain.”

Iring-iringan itu pun kemudian berbalik dan mengambil jalan yang lain yang menuju ke pasar itu pula, meskipun agak melingkar.

Tetapi ternyata perjalanan mereka telah terhambat pula. Di jalan itu pun telah terdapat patok-patok yang kuat sehingga iring-iringan itu tidak dapat meneruskan perjalanan.

“Ini tentu perbuatan yang sudah direncanakan dan diperhitungkan,” berkata Warsi. “Aku tidak percaya bahwa yang melakukan hal ini hanya para pengiring dari penari yang menjadi sangat terkenal di Tanah Perdikan ini. Meskipun demikian, kita akan melihat, apakah yang telah terjadi di jalan-jalan yang lain.”

Lewat senja sampai malam menjadi sangat pekat, maka iring-iringan itu telah menempuh perjalanan beberapa jalur jalan. Ternyata jalan-jalan itu memang sudah ditutup dengan patok-patok yang kuat dan rapat. Bahkan beberapa batang pohon munggur yang tumbuh dipinggir jalan telah ditebang dan cabang-cabang serta ranting-rantingnya telah dipergunakan untuk membuat patok-patok yang menutup jalan.

“Siapa yang telah menjadi gila seperti ini,” geram Ki Wiradana.

Yang menjawab adalah Warsi, meskipun ia masih mengekang diri dan mengucapkannya sangat perlahan, “Ini pertanda bahwa kewibawaanmu telah pudar sama sekali.”

Ki Wiradana tidak menjawab. Sementara Warsi berkata, “Kita harus berbuat sesuatu.”

“Kita bongkar saja patok-patok ini,” berkata Ki Wiradana.

“Tidak ada gunanya. Persoalan ini harus kita tanggapi dan kita selesaikan sampai tuntas. Bukan sekadar membongkar patok-patok ini. Kita tahu, bahwa patok-patok ini terpasang dijalan menuju ke Tanah Perdikan bagian barat. Ada beberapa padukuhan yang dengan demikian telah tertutup karenanya,” berkata Ki Saudagar. “Marilah kita kembali,” berkata Warsi. “Kita akan berbicara dengan para pemimpin pengawal. Kita ternyata dihadapkan kepada persoalan yang bersungguh-sungguh. Bukan sekadar sekelompok pengamen saja.”

Dengan demikian, maka iring-iringan itu pun telah kembali ke padukuhan induk. Namun malam itu juga Ki Wiradana telah memerintahkan para pengawal untuk memanggil para pemimpin pengawal, terutama yang berada di barak-barak, yang sedang menempa diri dalam latihan-latihan yang berat. Mereka adalah kekuatan yang akan dapat diandalkan.

Namun ternyata mereka telah mendapat laporan yang sangat mengejutkan. Sekelompok di antara para pengawal yang berada di dalam barak, yang terdiri dari anak-anak

muda dan para pengawal dari beberapa padukuhan telah meninggalkan barak. “Ini adalah laporan yang paling gila yang pernah aku dengar,” teriak Ki Wiradana yang bukan saja marah, tetapi ia juga merasa cemas menghadapi sikap istrinya. “Apakah pemimpin kelompok itu tidak dapat mencegah mereka.”

Pengawal yang menyampaikan laporan itu menjawab, “Kami menemukan pemimpin kelompok dan pelatih dari kelompok-kelompok yang melarikan diri itu pingsan dan terluka pada tubuh mereka. Agaknya mereka telah berusaha untuk mencegah, tetapi justru mereka menjadi korban.”

“Panggil mereka kemari,” bentak Ki Wiradana. “Mereka berada dalam keadaan yang sangat lemah. Tetapi baiklah kami akan membawa mereka kemari,” jawab pengawal itu.

Laporan itu ternyata benar-benar telah menggoncangkan perasaan Ki Wiradana dan kekuasaan yang sebenarnya yang memerintah Tanah Perdikan itu sendiri.

“Tentu bukan satu kebetulan bahwa pada saat-saat jalan dipatok dan menutup beberapa padukuhan tertentu, maka anak-anak yang berada di barak, yang juga berasal dari padukuhan yang sama, telah melarikan diri,” geram Warsi.

Ki Wiradana mengangguk. Jawabnya, “Ya. Kita menyadari.”

“Kita harus bertindak cepat. Sebelum mereka sempat menyusun kekuatan dengan sebaik-baiknya, kita harus menghancurkannya,” berkata Ki Saudagar.

“Kita tidak boleh tergesa-gesa ayah,” berkata Warsi yang menanggapi peristiwa itu dengan sungguh-sungguh. “Mereka bukan orang-orang dungu seperti kakang

Wiradana. Ternyata para pengiring dari penari yang cantik itu memiliki kemampuan yang tinggi. Mereka masih sempat berkelakar ketika mereka harus melawan dua tiga orang pengawal sekaligus. Sementara itu, perempuan yang menyatakan diri pemomong dari penari yang cantik itu dengan mudah dapat mengalahkan pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan ini.”

Ayah Warsi mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu?”

“Kita jangan terjebak pada langkah-langkah yang tidak diperhitungkan,” jawab Warsi. “Kita bukan anak-anak ingusan dalam putaran kekuatan. Karena itu, maka kita harus memperhitungkan setiap langkah yang akan kita ambil.”

Ki Saudagar itu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku sependapat Warsi, segala sesuatunya memang terserah kepadamu.”

“Kita harus tahu pasti, berapa orang pengawal yang ada di padukuhan-padukuhan yang telah memberontak itu. Berapa pula yang lari dari barak-barak. Sementara itu, berapa kekuatan yang ada pada kita,” berkata Warsi.

Ki Saudagar mengangguk-angguk. Ternyata dalam keadaan yang sulit itu Warsi tidak kehilangan akal. Ia masih sempat berpikir jernih untuk mengatasi kemelut yang terjadi itu.

Namun dalam pada itu, dalam keheningan malam yang mencekam sesaat, telah terdengar derap kaki kuda berpacu memasuki regol halaman rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

“Siapa?” bertanya Warsi. “Kenapa para penjaga membiarkan mereka memasuki halaman?”

Ki Wiradana termangu-mangu sejenak. Namun ketika terdengar pintu diketuk orang, ia bangkit dan berjalan menuju ke pintu.

“Siapa?” bertanya Ki Wiradana.

“Aku ngger. Randukeling,” terdengar jawaban dari luar.

“Kakek,” Warsi hampir memekik ketika ia mendengar nama kakeknya. Dalam keadaan yang sulit itu rasa-rasanya ia telah mendapatkan satu titik cerah dengan

kehadiran kakeknya itu.

Ketika Ki Wiradana membuka pintu, maka yang melangkah masuk kemudian adalah benar Ki Randukeling dan seorang yang sambil tersenyum berkata, “Selamat malam semuanya.”

“O, Ki Rangga,” wajah Warsi menjadi semakin cerah. “Marilah. Silakan.”

Keduanya pun kemudian dipersilakan duduk pula diatas sebuah amben bambu yang besar, sementara Ki Wiradana telah menutup pintu kembali.

“Kedatangan kalian tepat pada waktunya,” berkata Warsi. “Kenapa?” bertanya Ki Rangga.

“Kami memang mengharap kakek dan Ki Rangga datang,” jawab Warsi dengan nada berat. “Aku memerlukan kawan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang timbul.” “Bukankah disini ada Ki Wiradana?” bertanya Ki Rangga. “Aku tidak dapat

berbincang dengan orang dungu itu,” sahut Warsi. “Warsi,” potong kakeknya. “Bukankah Ki Wiradana itu suamimu. Siapapun orang itu, dalam keadaan apapun, kau telah memilihnya untuk kau jadikan suamimu. Karena itu, kau harus bersikap

sebagai seorang istri.”

“Aku sudah mencoba kakek,” jawab Warsi. “Tetapi ternyata kakang Wiradana itu kelewat dungu. Aku tidak menduga sama sekali, bahwa ia tidak memiliki apapun juga sebagaimana yang dimiliki oleh Ki Gede Sembojan dahulu.”

“Sudahlah,” jawab Ki Randukeling. “Tetapi agaknya kalian memang sedang membicarakan sesuatu yang penting, sehingga malam-malam begini kalian masih juga duduk berbincang.”

“Ya kakek,” jawab Warsi. “Memang penting sekali. Soalnya menyangkut hidup dan mati Tanah Perdikan ini.”

Ki Randukeling mengerutkan keningnya. Ia pun kemudian berpaling kepada Ki Rangga sambil berkata, “Persoalan telah timbul dimana-mana.”

Ki Rangga mengangguk-angguk, desisnya, “Tetapi Nyi Wiradana belum mengatakan, persoalan apa yang timbul di Tanah Perdikan ini.”

Ki Randukeling termangu-mangu sejenak. Katanya, “Baiklah, katakanlah Warsi. Apa yang telah dibicarakan dengan sungguh-sungguh oleh para pemimpin di Tanah Perdikan ini.”

“Di Tanah Perdikan ini telah terjadi pemberontakan kakek,” jawab Warsi langsung pada persoalannya.

“Pemberontakan?” bertanya kakeknya.

“Ya kakek. Beberapa padukuhan telah menutup diri dengan membuat batas pada jalan-jalan yang menuju ke padukuhan itu,” jawab Warsi.

“O,” Ki Randukeling dan Ki Rangga mengangguk-angguk. “Itulah sebabnya kami menjadi agak bingung. Kami memang harus melingkar mencari jalan atau turun dari kuda dan menuntun kuda-kuda kami melintasi tanah persawahan. Baru sekarang kami menjadi jelas bahwa padukuhan-padukuhan itu telah memberontak.”

“Ya. Beberapa kelompok pengawal di barak telah melarikan diri. Mereka adalah pengawal dari padukuhan-padukuhan yang memberontak itu,” berkata Warsi lebih lanjut.

Ki Randukeling menjadi berdebar-debar sebagaimana juga Ki Rangga Gupita. Dengan suara dalam Ki Rangga berkata, “Tetapi orang-orang padukuhan itu tidak berbuat

apa-apa. Mungkin ada juga orang yang melihat kami turun ke sawah sambil menuntun kuda, bahkan menginjak-injak tanaman. Tetapi tidak seorang pun yang menegur kami.”

“Mungkin mereka masih berusaha menahan diri, atau mereka tidak tahu siapakah kakek sebenarnya. Atau mereka mengenal Ki Rangga sebagai salah seorang perwira dari Jipang sehingga mereka masih membatasi diri agar Jipang tidak ikut campur dalam hal ini,” jawab Warsi.

Ki Randukeling mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata persoalannya menjadi gawat. Jika para pengawal telah meninggalkan baraknya, maka pemberontakan itu tentu sudah diatur dengan baik.”

“Tentu kakek,” jawab Warsi. “Tentu penari yang cantik itulah yang mengatur segalanya.” “Penari yang mana maksudmu?” bertanya Ki Randukeling.

“Istri kakang Wiradana. Semua orang sekarang sudah menyakini bahwa perempuan itu memang Nyi Wiradana. Ternyata ia masih mempunyai pengaruh di Tanah Perdikan ini, sehingga beberapa padukuhan telah berhasil di bujuknya untuk memberontak,” jawab Warsi. Ki Randukeling jadi termangu-mangu. Dengan nada datar ia berkata kepada Ki Rangga, “Apakah dengan keadaan seperti ini kita akan dapat memenuhi maksud kedatangan kita di Tanah Perdikan ini?”

Ki Rangga Gupita menjadi tegang. Dengan nada berat ia berkata, “Semua ini kesalahan pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan ini yang tidak mampu mengendalikan orang-orangnya. Jika ia memiliki wibawa sebagai Kepala Tanah Perdikan, maka semuanya ini tidak akan terjadi.”

“Sudah aku katakan kepadanya,” sahut Warsi. “Ia telah kehilangan kewibawaannya.”

“Sudahlah,” berkata Ki Randukeling. “Yang penting, apa yang harus kita lakukan sekarang ini?”

“Aku tetap memerlukan pasukan untuk melawan pasukan Pajang,” berkata Ki Rangga Gupita.

“Tetapi tidak dalam keadaan seperti ini,” jawab Warsi, “Kita harus menyelesaikan lebih dahulu persoalan yang kita hadapi disini. Kekuatan beberapa padukuhan yang memberontak itu tentu cukup memadai, sehingga jika sebagian dari para pengawal masih akan dibawa keluar, maka dalam beberapa hari ini, mereka yang memberontak itu akan berhasil mengusir kita.”

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Randukeling pun berkata, “Kita dihadapkan pada persoalan yang sama-sama berat. Tetapi aku berpendapat, bahwa kita harus menyelesaikan persoalan di Tanah Perdikan ini lebih dahulu.” “Apakah itu tidak terbalik Ki Randukeling. Dengan kekuatan yang masih ada, kita akan menghancurkan Pajang. Baru kemudian kita akan menyelesaikan persoalan ini. Dengan bantuan Jipang maka pemberontakan disini akan dapat diselesaikan dalam waktu setengah hari,” berkata Ki Rangga.

“Tetapi jika keadaan sudah menjadi parah, maka persoalannya menjadi lain,” jawab Ki Randukeling. “Mungkin orang-orang yang sekarang memimpin Tanah Perdikan ini sudah diusir dan yang perlu diperhatikan, jika pasukan Jipang memenangkan pertempuran melawan pasukan Pajang di medan sebelah Timur apakah berarti bahwa perang dengan Pajang sudah selesai dan pasukan Jipang dapat ditarik kembali?”

Ki Rangga Gupita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kita selesaikan pemberontakan ini besok. Aku akan ikut bersama kalian. Kita akan menghancurkan padukuhan-padukuhan itu sampai lumat, sehingga tidak ada kesempatan bagi mereka untuk bangkit kembali. Jika para bekel ikut campur dalam pemberontakan ini, maka mereka pantas dihukum mati. Demikian pula yang terlibat. Dengan demikian, maka padukuhan-padukuhan yang lain akan melihat, hasil dari langkah sesat para pemberontak itu.”

“Kita memang harus menunjukkan sikap yang keras,” sahut Warsi.

“Bagus,” geram Ki Rangga Gupita. “Semua yang bersalah akan dihukum mati. Hanya mereka yang bersedia ikut ke Pajang sajalah yang akan mendapat pengampunan.” Namun dengan ragu-ragu Ki Wiradana berkata, “Tetapi apakah dengan pembunuhan yang semena-mena itu persoalan akan dapat diatasi dengan bijaksana?”

“Kau memang pantas kehilangan kewibawaanmu,” jawab Ki Rangga Gupita. “Dengan sikap yang keras, maka kau telah mencegah hal yang serupa terulang kembali.” “Tetapi kematian yang tidak terhitung jumlahnya akan berakibat buruk bagi Tanah Perdikan ini,” sahut Ki Wiradana.

“Tutup mulutmu,” bentak Ki Rangga Gupita. “Kita berjuang untuk tegaknya kewibawaan Tanah Perdikan ini. Untuk menjunjung kekuasaan Kepala Tanah Perdikan meskipun masih pemangkunya. Tetapi kau sendiri berhati lemah seperti perempuan.

Bahkan perempuan seperti Warsi itu pun mampu mengatasi perasaannya bagi kepentingan Tanah Perdikan ini, sementara kau merajuk dan merengek dengan cengeng.

Wajah Ki Wiradana menjadi merah. Apalagi ketika Randukeling tersenyum sambil berkata, “Sudahlah ngger. Kau memang telah melakukan banyak kesalahan, sehingga istrimu, dan kini tamumu, telah melontarkan kata-kata kasar.”

“Tetapi aku tetap pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan ini kakek,” jawab Ki Wiradana. Namun Ki Rangga Gupita membentak, “kau tidak dapat berbuat apa-apa tanpa kami. Tanpa Warsi, tanpa Ki Saudagar, tanpa Ki Randukeling dan tanpa prajurit-prajurit Jipang disini. Kau hanya mampu merayu penari-penari cantik untuk memenuhi keinginanmu yang ternyata tidak seimbang dengan gejolak perjuanganmu di Tanah Perdikan ini. Karena itu, kau berterima kasih kepada Warsi yang sebenarnya merasa sangat kecewa mempunyai suami seperti kau. Namun demi kesetiaannya sebagai seorang istri, ia telah berbuat apa saja bagi Tanah

Perdikan ini.” Ki Wiradana menjadi semakin terdesak. Wajahnya menjadi semakin merah. Namun ia sadar, bahwa ia tidak akan berbuat apa-apa. Karena itu, maka ia pun hanya dapat menundukkan kepalanya dengan jantung yang hampir meledak. Sementara itu, terdengar Ki Rangga Gupita, “Kita siapkan para pengawal sekarang.” “Sudah aku katakan kepada ayah, tetapi sebelum kau dan kakek datang,” jawab Warsi. “Jangan kehilangan akal dan tergesa-gesa. Aku ingin tahu pasti, imbangan kekuatan yang ada. Bukankah kau seorang perwira prajurit Jipang?” Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku mempercayakan pengamatanku pada

firasat di dalam hatiku. Tetapi jika kau akan bertindak dengan hati-hati, aku tidak berkeberatan. Tetapi ingat harus menyelesaikan persoalan ini dengan cepat.” “Kehadiranmu dan kakek akan dapat mempercepat gerakan kita,” jawab

Warsi. “Bagus,” jawab Ki Rangga. “Bukankah dengan demikian maka tugas kita akan cepat selesai.” Warsi pun kemudian bertanya kepada Ki Wiradana, “Kakang, apakah malam ini kita dapat melihat keseimbangan kekuatan antara para pengawal di padukuhan-padukuhan itu dengan para pengawal diluarnya, termasuk yang melarikan diri dan yang masih tinggal di barak?” “Mungkin dapat diusahakan Warsi,” jawab

Ki Wiradana. “Tentu dapat,” desis Warsi. “Bukankan jumlah orang-orang itu pasti dan namanya sudah diketahui? Karena itu, maka tolong kakang. Usahakan agar kita semua mendapat gambaran, sehingga kita akan bergerak lebih cepat. Kehadiran Kakek dan Ki Rangga meyakinkan kita, bahwa kita akan dapat mengatasi kesulitan. Para pengiring dari penari yang cantik itu, jumlahnya terbatas. Dan sudah tentu tidak semuanya di antara mereka memiliki ilmu yang tinggi, sehingga seandainya jumlah mereka sebanyak orang yang dijumpai oleh kakang Wiradana di pasar, maka jumlah itu tidak akan menggetarkan kita lagi. Disini ada kakang Wiradana, ada

aku, ayah dan kakek serta Ki Rangga. Juga ada ayah angkatku ini. Disamping itu para pengawal yang sudah mendapat tempaan yang matang masih cukup banyak dibanding mereka yang melarikan diri.” Ki Wiradana pun kemudian telah meninggalkan ruangan itu. Ketika ia keluar ruangan, maka tidak lagi melakukan sebagaimana kebiasaannya. Ki Wiradana tidak lagi menengadahkan wajahnya dan dengan garang, memanggil para pengawal. Tetapi dengan kepala tunduk ia berjalan ke gardu mendekati para pengawal yang sedang bertugas. Para pengawal yang melihat Ki Wiradana pun segera beringsut. Beberapa orang justru telah turun dari gardu dan berdiri menyambutnya. Suara Ki Wiradana tidak lantang lagi. Namun demikian yang dikatakannya cukup jelas bagi para pengawal. Ki Wiradana akan pergi ke barak untuk menghitung jumlah para pengawal. Dari para pemimpin

pengawal di barak Ki Wiradana kemudian mendapat kepastian, bahwa jumlah pengawal yang berada di padukuhan yang memisahkan diri itu serta para pengawal yang melarikan diri, masih lebih kecil dari para pengawal dari padukuhan-padukuhan

yang lain serta yang masih berada di barak. “Apa yang akan Ki Wiradana lakukan?” bertanya pemimpin pengawal itu. “Apakah Ki Wiradana akan mengambil langkah kekerasan?” Ki Wiradana ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk, “Mungkin sekali.

Tetapi pemimpin pengawal itu berkata, “Ki Wiradana. Apakah tidak ada cara lain. Mungkin Ki Wiradana dapat mengadakan pendekatan dengan mereka. Apakah yang sebenarnya mereka kehendaki? Bukankah Ki Wiradana belum pernah menanyakannya?”. Ki Wiradana menggeleng. Jawabannya, “Aku memang belum pernah berhubungan dengan

mereka.”

“Nah, karena itu, maka agaknya dapat dihindari pertumpahan darah di antara kita. Apalagi kami yang pernah tinggal disatu barak ini,” berkata pemimpin pengawal itu. Ki Wiradana termangu-mangu. Sebenarnya ia sependapat dengan pemimpin pengawal itu. Tetapi apakah istrinya dan Ki Rangga akan dapat menyetujuinya?” Namun hal itu tidak dikatakan kepada para pengawal itu. Biarlah perasaan itu tetap menjadi bebannya yang terasa sangat berat.

Bahkan kepada pemimpin pengawal itu ia menjawab, “Sudah bukan waktunya lagi kita bersikap lunak. Pada suatu saat, orang-orang Tanah Perdikan ini harus mengerti, bahwa langkah-langkah yang diambil oleh mereka yang memberontak itu harus mendapat hukuman yang setimpal.”

“Tetapi, jika hal itu dapat diselesaikan dengan baik, bukankah akan lebih

berarti daripada jika diselesaikan dengan kekerasan? Kekerasan akan menumbuhkan dendam. Orang-orang yang sanak kadangnya terbunuh akan merasa tergelitik untuk membalas dendam. Sementara itu gejolak perasaan yang tidak terkendali akan dapat merusakkan Tanah Perdikan ini. Mungkin ada padukuhan yang akan menjadi abu oleh kobaran api kemarahan. Bahkan orang-orang yang tidak bersalah pun akan dapat menjadi korban mendidihnya darah di dalam jantung ini,” berkata pemimpin pengawal itu.

“Waktu untuk berhati manis telah lewat,” berkata Ki Wiradana, “Kita sudah banyak belajar dari kehidupan yang lampau. Dan sekarang tiba waktunya untuk bertindak tegas.”

“Apa yang pernah kita alami sebelumnya, Ki Wiradana? Kehidupan yang manakah yang telah memberi pelajaran bagi kita?” bertanya pemimpin pengawal itu. “Yang

terjadi di Tanah Perdikan ini sulit untuk diikuti dengan nalar sampai saatnya beberapa padukuhan telah memberontak.” Wajah Ki Wiradana menjadi merah. Dengan lantang ia bertanya, “Apakah kau juga sudah terpengaruh?”

“Tidak,” jawab pemimpin pengawal itu. “Tetapi aku mengikuti perkembangan keadaan. Aku sudah mendengar semua ceritera yang terjadi di Tanah Perdikan ini dengan sebenarnya. Para pengawal yang beberapa kali dikalahkan oleh orang-orang yang tidak dikenal, meskipun mereka ingkar. Bahkan Ki Wiradana juga. Penari yang sebenarnya adalah Nyi Wiradana sendiri. Dan pendirian beberapa orang bekel yang disebut memberontak itu.”

“Kau adalah pemimpin pengawal,” bentak Ki Wiradana, “Kau hanya dapat menjalankan perintah.”

Pemimpin pengawal itu mengangguk hormat. Katanya, “Jika demikian, aku memang tidak mempunyai pilihan lain.”

Ki Wiradana justru termenung sejenak. Dipandanginya wajah pemimpin pengawal yang memandanginya dengan sorot mata yang kosong itu.

Hampir saja Ki Wiradana berkata, bahwa ia pun sebenarnya mempunyai pendirian seperti pemimpin pengawal itu. Tetapi dengan susah payah ia bertahan untuk tetap menyimpannya di dalam hatinya.

Yang kemudian dikatakan oleh Ki Wiradana justru satu perintah, “Para pengawal harus bersiap besok pagi-pagi. Mungkin mereka akan kita perlukan.”

Tidak ada jawaban lain dari pemimpin pengawal itu kecuali, “Baik Ki Wiradana. Perintah itu akan kami lakukan.”

Ki Wiradana pun kemudian meninggalkan barak itu. Pemimpin pengawal itu dengan beberapa orang kawannya menjadi termangu-mangu. Namun ada juga di antara pemimpin pengawal itu yang berkata, “Aku puji sikap tegas Ki Wiradana. Ia harus bersikap demikian agar kewibawaannya terpelihara.”

Pemimpin pengawal yang bersikap lain itu tidak menjawab. Ia adalah pengawal Tanah Perdikan yang harus tunduk kepada perintah, sebagaimana diajarkan oleh para prajurit Jipang kepada mereka.

Ketika Ki Wiradana kembali ke rumahnya, ternyata para pemimpin Tanah Perdikan itu masih menunggunya. Dengan serta merta Warsi telah bertanya kepadanya, “Bagaimana kakang? Apakah kakang sudah mendapat gambaran tentang imbangan kekuatan itu?”

Dengan terperinci Ki Wiradana memberitahukan sebagaimana didengarnya dari para pemimpin pengawal tentang keseimbangan kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Sembojan. Karena padukuhan yang memberontak itu lebih kecil dari yang lainnya, maka jumlah pengawalnya pun ternyata lebih sedikit. Juga mereka yang meninggalkan barak dibandingkan dengan mereka yang tetap setia kepada Ki Wiradana.

Warsi mengangguk-angguk. Katanya, “Sebenarnya aku ingin menunda sampai hari berikutnya untuk meyakinkan keseimbangan kekuatan ini. Tetapi dengan kehadiran kakek dan Ki Rangga maka aku sudah mendapat keyakinan itu.”

“Jadi kau setuju bahwa besok kita mulai bergerak?” bertanya Ki Rangga. “Ya,” jawab Warsi.

“Bagus,” sahut Ki Saudagar. “Aku sudah mengusulkan sejak semula. Tetapi Warsi menganggap sikap itu sebagai kehilangan akal dan tergesa-gesa.”

“Yang aku perlukan sudah aku dapatkan,” berkata Warsi. Lalu katanya kepada Ki Wiradana, “Kakang, siapkan para pengawal. Besok pagi kita bergerak. Kita harus membuat para bekel yang memberontak itu menjadi jera.”

“Hanya sekadar menjadi jera?” bertanya Ki Rangga.

“Kita akan melihat ukuran kesalahan mereka. Jika mereka sekadar terpaksa karena tingkah anak-anak mudanya, maka ia akan mendapat pengampunan. Tetapi jika mereka ikut terlibat langsung, maka mereka akan dihukum mati,” jawab Warsi. “Tidak ada hukuman lain yang lebih pantas bagi seorang pengkhianat.”

Ki Wiradana hanya dapat mengangkat wajahnya sejenak. Namun wajah itu pun kemudian menunduk lagi. Ia memang tidak dapat ikut menentukan apapun lagi di Tanah Perdikan itu, meskipun ia adalah pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan. “Nah, kau menunggu apa lagi kakang. Siapkan semua pengawal. Waktu kita tinggal sedikit. Tetapi masih ada waktu untuk sekadar beristirahat. Juga bagi para pengawal.” Ki Wiradana tidak dapat menolak. Sekali lagi ia keluar dari ruangan

itu dengan kepala tunduk. Kemudian ia berpacu lagi diatas punggung kuda ke barak bersama beberapa orang pengawal. Kepada pemimpin pengawal Ki Wiradana menjatuhkan perintah, “Sekarang sudah pasti.”

“Jadi besok kita akan bergerak?” bertanya pemimpin pengawal yang sudah hampir tertidur itu.

“Ya. Siapkan semua pengawal. Bukan hanya yang ada dibarak ini. Tetapi semua pengawal dari padukuhan-padukuhan. Kita akan bergerak. Sekali pukul, kita harus sudah menyelesaikan persoalan kita dengan para pemberontak. Sudah disiapkan tiga tiang gantungan untuk tiga orang bekel dan tiga lagi untuk tiga orang pemimpin pengawal,” berkata Ki Wiradana.

Pemimpin pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun telah membenahi diri bersama dua orang pembantunya.

“Kita akan menjalankan perintah. Kita akan menghubungi para pemimpin pengawal di padukuhan-padukuhan,” berkata pemimpin pengawal itu.

“Baiklah. Aku akan kembali dan bersiap-siap untuk melakukan tindakan atas kebodohan para bekel di padukuhan-padukuhan yang telah memberontak itu,”berkata Ki Wiradana.

Sejenak kemudian maka kuda-kuda pun berderap. Ki Wiradana dan pengawalnya kembali ke rumahnya, dan para pemimpin pengawal itu pergi ke padukuhan-padukuhan untuk memberikan perintah agar semua pengawal dipersiapkan besok pagi.

Ketika ia sampai ke rumahnya, Ki Wiradana itu menjadi berdebar-debar. Semua orang ternyata telah tertidur. Tetapi dua di antara mereka masih duduk sambil berbincang dengan wajah yang cerah. Warsi dengan Ki Rangga Gupita.

“O,” Warsi berpaling ketika suaminya mendorong pintu, “Bagaimana” Apakah kau sudah menghubungi pemimpin pengawal itu?”

“Aku sudah memerintahkan mereka untuk bersiap-siap,” jawab Ki Wiradana. ”Bagus,” jawab Warsi. “Nah, jika demikian, kita dapat mempergunakan sisa pagi ini untuk beristirahat.” Ki Wiradana tidak menjawab. Sementara itu Warsi berkata kepada Ki Rangga, “Mudah-mudahan semua rencana dapat kita lakukan dengan sempurna, sehingga peristiwa pemberontakan seperti ini tidak akan terulang lagi. Sekarang silakan Ki Rangga untuk beristirahat.”

Ki Rangga tersenyum. Sambil menepuk bahu Ki Wiradana ia berkata, “Besok aku akan berjuang bagi tegaknya kewibawaanmu.

Ki Wiradana memandang wajah Ki Rangga sekilas. Hampir diluar sadarnya ia berdesis, “Terima kasih.”

“Dan kamu kemudian harus tahu diri. Aku memerlukan anak-anak muda Tanah Perdikan

ini untuk menghancurkan Pajang. Sekaligus memberikan pengalaman bagi para pengawalmu. Dengan demikian maka kelak Tanah Perdikan ini akan merupakan Tanah Perdikan yang sangat kuat, karena memiliki pengawal yang berpengalaman dan berilmu tinggi,” berkata Ki Rangga itu selanjutnya.

Betapa panasnya terasa darah didada Ki Wiradana. Ia merasa diperlakukan sebagai kanak-kanak yang baru dapat melangkah satu-satu sambil menghisap ibu jari tangannya. Namun ia tidak dapat menolak perlakuan itu.

Sejenak kemudian, maka Ki Rangga pun telah meninggalkan ruangan itu untuk pergi ke gandok. Sementara Ki Wiradana dan istrinya telah pergi ke biliknya pula.

Dengan suara memerintah Nyi Wiradana berkata, “Kakang harus menyiapkan segala sesuatunya besok menjelang fajar. Sebagai pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan kakang akan memimpin pasukan Tanah Perdikan ini untuk menumpas pemberontak itu. Ki Wiradana tidak menjawab. Ia pun telah meletakkan tubuhnya diatas pembaringan.

Namun ternyata bahwa angan-angannya telah bergejolak menyelusuri jalan hidupnya yang terasa sangat pahit itu.

Ki Wiradana menarik nafas dalam-dalam ketika sejenak kemudian ternyata Warsi telah tertidur disampingnya, tanpa menengok anaknya yang tidur bersama seorang

pembantunya. Untunglah bahwa pembantunya itu demikian sayangnya kepada anak itu, sebagaimana kepada anak sendiri.

Sesaat Ki Wiradana justru membayangkan anak itu. Bahkan anak Iswari yang tentu juga sudah lahir.

Terdengar tarikan nafas yang panjang. Penyesalan yang datang terlambat itu membuat Ki Wiradana bagaikan kehilangan nalarnya. Ia membayangkan bahwa kedua anaknya itu kelak akan saling bermusuhan, sebagaimana ibu mereka. Kesalahannya terletak dipundaknya.

“Adalah wajar sekali jika Iswari berusaha untuk berbuat sesuatu,” berkata Ki Wiradana di dalam hatinya. “Ia sudah disingkirkan. Bahkan sudah dilakukan rencana pembunuhan atas dirinya. Hanya tangan Tuhan sajalah yang telah mencegahnya.”

Sampai menjelang fajar Ki Wiradana sama sekali tidak dapat memejamkan matanya. Berbagai macam angan-angan bergejolak di dalam kepalanya.

Ketika ayam jantan berkokok didini hari, maka ia pun telah bangkit. Ia tidak mau terlambat. Karena itu, maka ia pun segera keluar dan pergi ke pekiwan, sementara itu ia sempat singgah di gardu dan memberikan perintah-perintah.

TERNYATA bahwa perintahnya masih tetap diindahkan oleh para pengawal. Dalam kesiagaan, maka para petugas didapur telah bangun jauh sebelumnya dan menyiapkan makanan bagi para pengawal yang akan menunaikan tugas yang sangat berat.

Baru sejenak kemudian Warsi pun telah terbangun pula. Ia tersenyum ketika ia melihat Ki Wiradana telah bersiap sepenuhnya. Bahkan pedang pun telah tergantung dipinggangnya. Ternyata para pemimpin Tanah Perdikan itu pun dengan cepat pula mempersiapkan diri. Mereka pun segera makan dan minum minuman panas sebagaimana

dilakukan oleh para pengawal. Bahkan para pengawal di padukuhan-padukuhan tentu telah melakukannya lebih dahulu, karena sebelum matahari terbit, mereka harus sudah berkumpul di ara-ara yang luas tidak jauh dari barak. Di ara-ara itu

pasukan Tanah Perdikan itu akan bergerak menuju ke padukuhan yang terbesar di antara ketiga padukuhan yang telah menutup dan memisahkan diri dari kesatuan Tanah Perdikan Sembojan. Demikianlah menjelang matahari terbit, pasukan Tanah Perdikan itu sudah berkumpul. Mereka telah memasang semua pertanda kebesaran Tanah Perdikan untuk menunjukkan bahwa mereka adalah penguasa yang mempunyai wewenang untuk mengambil langkah-langkah yang perlu bagi Tanah Perdikan itu.

Namun sebelum mereka berangkat, mereka telah dikejutkan oleh suara isyarat yang aneh. Isyarat yang tidak mereka mengerti maknanya, bersahutan di kejauhan.

Tetapi dengan cepat, Ki Rangga mampu menanggapinya dan berkata, “Itu tentu isyarat yang telah dibuat dan dimengerti oleh para pengawal yang memberontak. Agaknya mereka telah mendengar rencana kami dari pengkhianat-pengkhianat yang ternyata bertebaran dimana-mana.” “Gila,” geram Warsi. “Tetapi tidak apa.

Kekuatan kami lebih besar dari kekuatan mereka. Para pemimpin Tanah Perdikan ini pun tentu lebih baik dari mereka, sehingga kami akan mampu menghancurkan mereka meskipun mereka akan menyongsong kehadiran kami.” Ki Randukeling dengan nada dalam menyahut, “Kalian masih saja meributkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal

terjadi. Bukankah sudah pasti bagi kita, bahwa segalanya akan dapat kita selesaikan hari ini?” “Ya kakek. Mungkin hanya karena aku bermaksud terlalu berhati-hati,” jawab Warsi. “Karena itu, marilah. Kita jangan merisaukan lagi hasil langkah kita ini. Kita yakin bahwa kita akan berhasil. Karena itu, maka tanpa ragu-ragu kita akan berangkat sekarang,”berkata Ki Randukeling selanjutnya. Warsi pun mengangguk sambil menjawab, “Baiklah, kakek. Sebentar lagi matahari akan naik ke atas bukit. Kita sudah siap untuk berangkat,” lalu Warsi pun berpaling kepada Ki Wiradana. “Kita sudah siap?” Ki Wiradana

mengangguk. Ia pun kemudian memberikan isyarat kepada pemimpin pasukan yang selanjutnya meneriakkan aba-aba kepada pasukan itu untuk berangkat. Ternyata

bahwa pasukan Tanah Perdikan Sembojan itu pun cukup menggetarkan jantung. Mereka membawa tunggul dan umbul-umbul. Pasukan itu bagaikan pasukan kerajaan Agung yang siap menumpas perlawanan dari sebuah lingkungan yang sedang memberontak.

Tetapi demikian pasukan itu mulai bergerak, telah terdengar isyarat dikejauhan yang sahut menyahut. Padukuhan-padukuhan yang memberontak itu telah membunyikan

kentongan dengan irama yang tidak dikenal sebelumnya. “Mereka telah bersiap menyambut kedatangan kita,” berkata Ki Rangga. “Mereka terdiri dari orang-orang gila. Apakah mereka tidak mempunyai otak, sehingga mereka berani melakukan perlawanan seperti ini? Perlawanan terbuka?” geram Warsi. “Kita harus memikirkannya,” berkata Ki Randukeling. “Meskipun menurut penilaianmu berdasarkan keterangan para pemimpin pengawal, bahwa kekuatan kita lebih besar dari kekuatan yang ada di padukuhan-padukuhan itu, namun kita harus tetap berhati-hati.” “Ya kakek,” jawab Warsi. “Kita harus selalu berhati-hati.”

KI Randukeling tidak menjawab lagi. Sementara itu pasukan Tanah Perdikan Sembojan yang terdiri dari para pengawal dari padukuhan-padukuhan serta para pengawal yang sedang ditempa di dalam barak itu bergerak dengan cepat menuju ke padukuhan yang terbesar dari ketiga padukuhan yang menyatakan diri terpisah dari Tanah Perdikan Sembojan dengan membuat batas-batas.

Beberapa saat kemudian, orang-orang di dalam pasukan itu perhatiannya telah tertarik kepada kepulan debu di jalan bulak sebelah. Dua ekor kuda telah berpacu menuju ke arah yang sama dijalan yang dibatasi oleh kotak-kotak persawahan. “Mereka tentu pengawas dari para pemberontak,” geram Ki Rangga.

“Ya,” jawab Ki Randukeling. “Tetapi tidak apa. Biar mereka memberikan laporan, bahwa telah datang pasukan yang kuat untuk menumpas mereka.”

Ki Rangga tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Sebuah cermin dari batas kematian mereka. Memang ada baiknya.”

Demikianlah, maka pasukan itu pun bergerak terus. Mereka melewati bulak-bulak yang memisahkan desa dan desa, padukuhan dan padukuhan. Dengan jantung yang berdebaran, pasukan itu menjadi semakin dekat dengan sasaran.

Ki Wiradana sendiri rasa-rasanya bagaikan terpanggang diatas api. Ia sama sekali tidak sependapat dengan langkah yang diambil itu. Tetapi ia tidak mempunyai kekuatan untuk menolaknya. Bahkan ia sendiri telah hanyut di dalamnya dan ikut pula di dalam pasukan yang akan menghancurkan saudara-saudara mereka sendiri dengan sikap yang keras. Bahkan dengan bekal niat menghukum mati beberapa orang penghuni padukuhan itu. Dalam pada itu, di padukuhan-padukuhan yang sudah bertekad untuk menuntut satu perubahan di Tanah Perdikan Sembojan telah bersiap pula. Dari beberapa keterangan yang terkumpul, serta arah perjalanan pasukan itu yang dapat dilihat oleh para pengawas, maka iring-iringan pasukan itu menuju ke padukuhan terbesar dari ketiga padukuhan yang menyatakan diri terlepas dari kuasa orang-orang yang sebenarnya tidak berhak memimpin Tanah Perdikan itu.

Ketiga orang bekel dengan para pemimpin kelompok pengawal di padukuhan- padukuhan

itu telah menyusun satu pasukan yang diperkuat oleh anak-anak muda yang semula berada didalam barak. Bahkan Ki Bekel telah memanggil laki-laki yang dengan suka rela bersedia untuk ikut mempertahankan diri jika serangan yang sudah diperhitungkan itu akan datang.

Ternyata beberapa orang yang pernah menjadi pengawal Tanah Perdikan itu, bahkan ada beberapa orang bekas prajurit Pajang yang sudah kembali ke kampung halamannya karena umur mereka, telah bersedia ikut dalam pasukan yang tersusun dengan cepat itu. Meskipun para bekas prajurit itu sudah terhitung tua, tetapi mereka memiliki bekal kemampuan seorang prajurit. Didorong oleh keyakinan yang

mantap, maka rasa-rasanya mereka masih juga semuda pada saat-saat mereka berada didalam lingkungan prajurit Pajang.

Pasukan yang demikian itulah yang tidak diperhitungkan oleh Warsi dan para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan. Bahkan orang-orang yang belum pernah meraba senjata pun telah menyatakan diri untuk ikut serta mempertahankan kampung halaman mereka dari kuasa orang-orang yang sebenarnya tidak berhak.

Dengan demikian maka pasukan yang tersusun itu nampaknya menjadi sebuah pasukan yang sangat besar. Namun para pemimpin pengawal padukuhan itu telah berpesan

agar mereka yang belum memiliki dasar-dasar olah kanuragan sama sekali, sebaiknya tidak berada digaris-garis terdepan.

“Nampaknya pertempuran benar-benar akan terjadi,” berkata Ki Bekel dari padukuhan terbesar itu.

Seorang Bekel dari padukuhan yang lain pun mengangguk-angguk. Katanya, “Kita pun sudah siap. Apapun yang terjadi, kita berdiri diatas satu keyakinan.”

“Pasukan yang datang itu ternyata membawa segala macam tanda kebesaran Tanah Perdikan Sembojan,” berkata Ki Bekel yang seorang lagi.

“Kita akan mengimbanginya,” terdengar suara disamping mereka. Ketika para Bekel itu berpaling, dilihatnya Kiai Badra berdiri disamping Iswari yang telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Mereka sudah bersiap dalam pakaian tempur. Sementara itu di tangan Iswari dipegang sebatang tunggul pertanda wewenang dari Pajang.

“Tunggul ini mempunyai nilai tersendiri,” berkata Kiai Badra.

Para Bekel itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka sudah mendapat penjelasan tentang tunggul itu. Dengan demikian maka mereka menjadi semakin mantap. Apalagi ketika mereka melihat bahwa Iswari dan orang-orang yang terbiasa mengiringinya

jika ia menari, telah bersiap pula di antara mereka.

“Kita akan memasang tunggul itu,” berkata Kiai Badra. “Aku memerlukan orang-orang yang mengenakan pakaian prajurit Pajang.

“Beberapa orang bekas prajurit Pajang ada di antara kita,” berkata salah seorang

Bekel. “Mereka mengenakan pakaian keprajuritan mereka ketika mereka masih muda.”

“Tolong Ki Bekel. Panggil mereka,” sahut Kiai Badra.

Ki Bekel itu pun kemudian telah memerintahkan untuk memanggil semua orang bekas prajurit Pajang yang mengenakan pakaian keprajuritan.

Ketika mereka telah berkumpul, maka Kiai Badra pun berkata, “Kalian adalah prajurit-prajurit Pajang. Meskipun umur kalian telah menjadi semakin tua, tetapi sifat-sifat kesatria yang melekat didiri kalian ternyata masih kalian miliki

terus. Karena itu, maka kalian akan mendapat kehormatan untuk mengawal Tunggul ini. Tunggul ini adalah pertanda kuasa Pajang yang dilimpahkan kepada kita untuk bertindak atas orang-orang yang telah menyalahgunakan kekuasaannya di Tanah Perdikan ini. Tunggul ini adalah pertanda bahwa kita sedang mengemban tugas yang dibebankan oleh Pajang, untuk mengembalikan kedudukan Tanah Perdikan ini sebagaimana seharusnya.”

Para bekas prajurit yang mengenakan pakaian keprajuritan itu mengangguk-angguk. Salah seorang di antara mereka yang rambutnya telah bercampur uban berkata, “Kami akan bertindak sebagaimana seorang prajurit Pajang. Jiwa itu akan tetap melekat di dalam hati kami.”

“Terima kasih. Tunggul ini akan dibawa oleh Iswari sendiri sebagai seorang yang mendapat wewenang,” berkata Kiai Badra.

Namun wajah Iswari nampaknya tidak secerah biasanya. Bahkan ia pun kemudian mendekati kakeknya sambil berdesis, “Kenapa aku harus membawa tunggul ini kakek. Aku ingin turun langsung di medan. Setelah untuk waktu yang cukup lama aku menempa diri di padepokan Tlaga Kembang, maka rasa-rasanya aku sudah mempunyai bekal yang cukup. Tetapi nampaknya kakek masih belum mengijinkan aku menghadapi perempuan cantik itu tanpa diganggu oleh tunggul ini.”

Kiai Badra tersenyum. Katanya, “Kau harus mengendapkan perasaanmu lebih dahulu Iswari. Jika pada benturan pertama kau langsung berhadapan dengan Nyi Wiradana, maka semua niat perjuanganmu bagi tegaknya kembali wibawa Tanah Perdikan ini telah hilang. Yang bergejolak didalam dadamu adalah dendam seorang perempuan.” “Tidak kakek,” jawab Iswari. “Aku akan menempatkan diriku sebaik-baiknya.” “Iswari,” berkata Kiai Badra. “Cobalah kali ini kau mengikuti petunjuk kakek.

Bukankah sejak kecil kau adalah seorang penurut?”

Iswari menarik nafas dalam-dalam. Betapa perasaan kecewa mencengkam jantungnya, namun ternyata bahwa ia telah menurut perintah kakeknya. Ialah yang kemudian membawa tunggul, dikawal oleh para prajurit Pajang. Namun Kiai Badra tidak melepaskan Iswari sekadar dikawal oleh bekas prajurit yang sudah menjadi semakin tua itu. Tetapi para pengiringnya jika ia menari ada disekitarnya.

Sementara itu, para pengawal pun telah menebar. Yang telah melarikan diri dari baraknya telah berada didalam barisan. Sementara orang-orang yang merasa serba sedikit pernah menggenggam senjata ikut pula bersama mereka. Sedangkan dibelakang mereka adalah hampir semua laki-laki yang masih kuat yang merasa ikut bertanggung jawab atas padukuhan mereka.

Dengan tertib pasukan itu telah menunggu dibalik dinding banjar panjang dipadukuhan terbesar. Pada saat-saat terakhir para pemimpin pengawal masih memberikan pesan-pesan terakhir kepada kelompok masing-masing.

“Yang akan berdiri dipaling depan adalah Iswari dengan tunggul yang diterimanya dari Pajang sebagai pertanda bahwa yang kita lakukan adalah atas nama kuasa

Pajang yang dilimpahkan bagi kita untuk mengembalikan kedudukan Tanah Perdikan ini. Jadi sama sekali tidak benar bahwa kita adalah pemberontak. Tetapi kita

adalah kekuatan yang mendapat kuasa justru untuk menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh pemimpin Tanah Perdikan ini,” berkata pimpinan pengawal itu kepada kelompok masing-masing.

Dalam pada itu, iring-iringan pasukan Tanah Perdikan Sembojan pun menjadi semakin dekat. Mereka telah melampaui batas padukuhan dan memasuki daerah sasaran. Ketika mereka sampai pada jalan yang ditutup patok-patok yang kuat, maka Ki Wiradana pun memerintahkan untuk merusak patok-patok itu, sehingga jalan pun telah terbuka pula.

Beberapa saat kemudian banjar panjang padukuhan yang menjadi pusat pertahanan pasukan yang dianggap memberontak telah ada dihadapan mereka, sehingga karena itu, maka Ki Wiradana pun telah memberikan isyarat agar pasukannya berhenti. “Kita akan memasang gelar,” berkata Ki Wiradana kepada Ki Rangga Gupita. “Bagus,” jawab Ki Rangga. “Ternyata kau benar-benar seorang Senapati yang baik. Tetapi sebaiknya kita maju lebih dekat lagi. Kita tidak usah cemas, bahwa lawan akan mendahului menyerang kita. Agaknya mereka akan bertahan dibalik dinding padukuhan.”

Ki Wiradana mengangguk-angguk. Dihadapan mereka memang belum nampak kekuatan

segelar sepapan. Yang mereka lihat hanyalah beberapa orang yang mengamati keadaan. Sekali-kali mereka muncul diatas dinding dan didepan regol. Namun mereka pun segera hilang kembali.

Ki Wiradana pun telah memerintahkan pasukannya untuk maju lebih dekat lagi, sehingga jarak mereka dengan banjar panjang itu menjadi semakin dekat.

“Nah,” berkata Ki Rangga. “Aku kira jarak sudah cukup dekat. Kita akan memasang gelar, dan kemudian memerintahkan pasukan ini maju memasuki banjar panjang itu. Kita akan menghancurkan mereka sampai lumat. Tetapi sekali lagi harus diingat, mereka yang menyerah dan bersedia pergi ke Pajang akan diampuni. Mereka akan diperlakukan seperti kawan-kawan mereka yang tidak memberontak.”

Ki Wiradana mengangguk-angguk pula. Katanya, “Baiklah. Aku akan mengumpulkan para pemimpin kelompok sebelum kita mulai.”

“Bagus,” Ki Rangga tertawa. “Kau memang pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan yang sangat baik. Lebih baik dari yang kuduga semula.”

Ki Wiradana tidak menjawab. Tetapi diperintahkannya untuk memanggil para pemimpin kelompok.

Kepada para pemimpin kelompk dijelaskan apa yang harus mereka lakukan. Mereka pun telah mendapat pesan sebagaimana dikatakan oleh Ki Rangga tentang mereka yang menyerah dan bersedia pergi ke Pajang.

Para pemimpin kelompok itu mendengarkan pesan Ki Wiradana dengan

sungguh-sungguh. Namun beberapa orang di antara mereka justru menjadi gelisah. Para pemimpin Tanah Perdikan itu menghendaki agar mereka berlaku sebagai serigala lapar atas saudara-saudara mereka sendiri. Membunuh, membakar dengan maksud agar yang terjadi itu dapat menakut-nakuti seluruh rakyat Tanah Perdikan. Dengan demikian maka yang terjadi itu untuk seterusnya tidak akan terulang kembali.

Bahkan jika ketiga orang Bekel dari tiga padukuhan yang dianggap memberontak itu beserta para pemimpin pengawalnya tertangkap, maka mereka akan dihukum gantung jika ternyata mereka terlibat langsung dalam pemberontakan itu.

Tetapi para pemimpin pengawal itu tidak bertanya lebih jauh. Ketika mereka memandang wajah orang-orang yang ada disekeliling pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan mereka rasa-rasanya di wajah itu memang sudah terbayang nafas maut.

Dengan demikian, maka Ki Wiradana pun segera memerintahkan mereka kembali ke kelompok masing-masing. Sebentar lagi, Ki Wiradana akan memberikan isyarat untuk membuka gelar dan siap untuk menyerang, memasuki banjar panjang dihadapan mereka.

“Jika kekuatan induk lawan tidak ada di banjar itu, maka banjar itulah yang akan kita lumatkan menjadi abu,” perintah Ki Wiradana.

“Bagus,” desis Ki Rangga Gupita, “Satu perintah yang tegas. Akhirnya aku harus memujimu Ki Wiradana.”

Ki Wiradana tidak menjawab. Namun ketika ia memandang ke arah banjar panjang dihadapannya, rasa-rasanya kepalanya menjadi pening. Apakah banjar panjang yang merupakan bagian dari Tanah Perdikan Sembojan itu benar-benar harus dihancurkan? Orang-orang yang tinggal di dalamnya harus dikorbankan tanpa ampun?

Justru pada saat Ki Wiradana dicengkam oleh bayangan-bayangan yang mengerikan itu, ia terkejut. Ki Rangga telah menggamitnya dan berdesis, “Sudah waktunya.

Perintah untuk menebar dalam gelar sudah dapat dilakukan.”

“O,” Ki Wiradana tergagap. Namun sejenak kemudian maka ia pun telah meneriakkan aba-aba.

Para pemimpin kelompok telah mengulangi aba-aba itu. Dan sejenak kemudian, maka pasukan Tanah Perdikan Sembojan itu telah menebar.

Ternyata para pengawal Tanah Perdikan Sembojan itu telah memiliki pengetahuan yang cukup untuk turun ke medan. Dalam waktu dekat, maka pasukan mereka telah tersusun dalam gelar yang menebar. Gelar Garuda Nglayang. Kekuatan utama pasukan itu berada di induk pasukan yang merupakan paruh dari gelar. Kemudian pada sebelah menyebelah yang dipimpin oleh Senapati pengapit, yang merupakan kuku-kuku gelar yang tajam, yang akan dapat meremas dan menghancurkan lawan. Sedangkan kekuatan yang lain terletak beberapa langkah dari ujung gelar. Kekuatan yang dapat menghancurkan sayap lawan dan kemudian menggulungnya sebelum keseluruhan gelar lawan dikoyak-koyak oleh kekuatan kuku dan paruh yang kuat dan tajam di induk pasukan.

Sementara itu, para pengawal yang berada di belakang dinding banjar panjang itu pun telah bersiap pula. Ketika mereka melihat pasukan Tanah Perdi- kan sudah memasang gelar maka Kiai Badra pun berkata, “Sudah waktunya kita melangkah.” “Apa yang kita lakukan lebih dahulu?” bertanya pemimpin pasukan pengawal yang mendapat kepercayaan dari para pemimpin yang lain untuk memimpin seluruh kekuatan mereka.

Kiai Badra memandang Iswari sesaat. Kemudian jawabnya, “Tunggul itu. Buka pintu gerbang. Tunggul itu akan keluar dikawal oleh para prajurit Pajang. Kemudian

kita akan memberikan aba-aba agar anak-anak kita keluar dari padukuhan dengan kesiagaan sepenuhnya.

Pemimpin pengawal dari pasukan yang disebut telah memberontak itu pun kemudian memerintahkan untuk membuka gerbang padukuhan. Sejenak kemudian, Iswari pun telah keluar dari pintu gerbang dengan tunggul ditangannya yang dilekati sebuah kelebet pertanda kuasa Pajang, diikuti oleh mereka yang pernah menjadi prajurit Pajang pada masa mudanya. Namun mereka telah mengenakan pakaian kebanggaan mereka, selagi mereka masih menjadi prajurit. Kemudian beberapa orang keluar

dari dua padepokan yang akan menjaga Iswari dan tunggul itu dari kemungkinan yang kurang baik.

Sementara itu, terdengar aba-aba yang lain, sehingga sejenak kemudian, maka para pengawal pun telah berloncatan keluar dari balik dinding banjar panjang mereka. Ternyata jumlahnya jauh lebih banyak dari yang diperkirakan, karena dibelakang para pengawal, hampir semua laki-laki telah ikut pula di dalam barisan itu.

Kehadiran pasukan yang besar itu memang mengejutkan. Tetapi yang lebih mengejutkan lagi adalah, hadirnya sebuah tunggul yang tentu bukan tunggul kebanyakan. Menilik ujud, bentuk dan pancaran wibawanya, maka para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan, terutama Ki Rangga Gupita, segera mengenalinya, bahwa tunggul itu tentu ada hubungannya dengan Pajang. Apalagi Ki Rangga juga mengenali pakaian orang-orang yang mengawal tunggul itu.

Dalam pada itu, selagi mereka sedang dicengkam oleh kebimbangan, tiba-tiba saja tiga batang lembing telah meluncur dan jatuh beberapa langkah dihadapan para pemimpin Tanah Perdikan itu.

Dengan serta merta maka para pemimpin itu pun menghentikan langkah mereka. Bahkan mereka pun telah memberikan isyarat kepada pasukannya dalam keseluruhan untuk berhenti sejenak.

Yang terdengar adalah aba-aba yang diteriakkan oleh Ki Wiradana dan disambung oleh para pemimpin kelompok, sehingga dengan demikian maka pasukan Tanah Perdikan itu pun telah berhenti sepelempar lembing dari dinding banjar panjang yang menjadi sasaran.

“Gila,” geram Ki Rangga. “Permainan apa saja yang sebenarnya dilakukan oleh orang-orang itu?”

Warsi menggeram. Ketika ia melihat seorang perempuan dengan tunggul ditangannya, bahkan yang bagaikan memancarkan cahaya yang cerah itu, jantungnya bagaikan terbakar.

“Aku ingin meremas wajahnya yang sangat cantik itu,” katanya.

Dalam pada itu, maka terdengar seseorang di antara orang-orang yang disebut memberontak itu berkata, “Selamat datang dipadukuhan kami para pemimpin dan pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan.”

Orang-orang Sembojan itu termangu-mangu. Namun justru para pemimpinnya mengumpat

mendengar kata-kata lantang itu. Apalagi ketika mereka melihat Ki Bekel dari padukuhan yang menjadi sasaran serangan itulah yang telah menyambut mereka dengan sebuah sesorah pendek itu.

Bahkan Ki Bekel itu melanjutkan, “Kami memang sudah mengira bahwa kalian akan datang dengan pasukan. Karena itu maka kami pun berusaha untuk tidak mengecewakan kalian dalam penyambutan ini. Namun seperti yang kalian lihat, kalian ternyata berhadapan dengan pengemban kuasa dari para pemimpin di Pajang. Dengan tunggul pertanda kuasa Pajang itu, maka penyambutan kami akan menjadi lebih bersifat resmi.”

“Diam,” Ki Ranggalah yang tidak dapat menahan sendiri sehingga berteriak

nyaring. “Kau dapat saja membawa tunggul apapun yang kau sebut sebagai pertanda bahwa kalian mengemban tugas dari Pajang. Tetapi seandainya tunggul itu benar kalian terima dari Pajang, maka adalah kebetulan sekali bahwa kalian memang harus ditumpas. Tanah Perdikan ini adalah bagian dari Jipang yang kini memang sedang bermusuhan dengan Pajang.”

Tetapi Ki Bekel itu menjawab tidak kalah lantangnya, “Siapakah yang meneriakkan kata-kata sumbang itu? Darimana kau dapat menyebut bahwa Tanah Perdikan ini merupakan bagian dari Jipang? He, dengar orang-orang Tanah Perdikan Sembojan, apakah kalian tidak pernah mengerti, kepada siapa kalian selama ini berlindung?

Pajang atau JIpang? Siapakah yang telah menempatkan dan kemudian mewisuda para pemimpin, khusus Kepala Tanah Perdikan ini sejak beberapa keturunan, sehingga sampai pada saat wisuda terakhir, yang menetapkan Ki Gede Sembojan sebagai Kepala Tanah Perdikan ini, dan yang kemudian telah menyiapkan untuk mewisuda Ki

Wiradana untuk menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan menggantikan ayahnya yang dibunuh oleh orang-orang licik yang ingin menelan Tanah Perdikan ini?”

“Tutup mulutmu orang gila,” teriak Ki Rangga. “Bersiaplah, sebentar lagi pasukan kami siap untuk melumatkan padukuhanmu.”

“Baik. Kami telah bersiap. Tetapi dengar pertanyaanku, apakah kalian menyadari, bahwa yang membunuh Ki Gede Sembojan adalah gabungan kekuatan dari keluarga Kalamerta yang telah dibunuh oleh Ki Gede dengan kekuatan sandi Jipang di Tanah Perdikan ini. Kemudian menjerat kelemahan hati Ki Wiradana dengan penari jalanan yang kemudian justru berkuasa. He, dimanakan bersembunyi kekuatan Kalamerta itu?” teriak Ki Bekel lebih keras lagi. Sementara itu, kedua Bekel yang lain

telah berdiri sebelah menyebelah didepan Tunggul yang diterima dari Pajang itu. Ki Rangga pun menyahut, “Ya. Kita harus cepat bergerak.”

“Cepat kakang,” berkata Warsi. “Berikan aba-aba itu.”

Ki Wiradana segera beringsut. Namun dalam pada itu, terdengar Ki Bekel itu pun berkata, “Nah, bukankah kalian sudah siap untuk bergerak. Bagus. Siapa yang

ingin melawan kuasa Pajang yang dilimpahkan kepada kami marilah. Dengan demikian maka kalian telah memberontak dan tidak lagi tunduk kepada Pajang. Pada saatnya seorang pemberontak akan mendapat hukuman sepadan dengan kesalahan. Dan dengarlah, he para pengawal Tanah Perdikan Sembojan. Hukuman bagi para pemberontak adalah hukuman mati.”

“Cukup-cukup,” teriak Ki Rangga. “Satu pikiran gila. Cepat, Ki Wiradana. Berikan aba-aba itu.”

Ki Wiradana pun kemudian telah memberikan aba-aba sehingga para pemimpin kelompok pun telah bersiap dengan pasukan masing-masing.

Namun dalam pada itu, para pengawal masih mendengar Ki Bekel berkata, “Nah, sebelum terlambat. Siapakah yang ingin kembali ke jalan yang benar? Tidak terpengaruh oleh orang-orang yang sebenarnya tidak berhak memimpin Tanah Perdikan ini? Nyi Wiradana itu sama sekali bukan orang Tanah Perdikan ini. Ki Saudagar adalah seorang yang hanya tahu mencari uang dan keuntungan bagi diri sendiri. Sedangkan Ki Randukeling adalah bayangan dari kekuatan Kalamerta di Tanah Perdikan ini. Dan ia adalah kakek Nyi Wiradana yang bernama Wrasi, penari jalanan yang garang itu. Kemudian satu pertanyaan yang harus kalian jawab, siapakah yang sebenarnya telah membunuh Ki Gede Sembojan?”

Pertanyaan itu telah menggetarkan medan dan seakan-akan telah mengetuk setiap jantung. Meskipun Ki Wiradana mengulangi meneriakkan aba-aba agar pasukannya bergerak, namun suara Ki Bekel itu seakan-akan telah mengumandang dan terdengar berulang-ulang tanpa henti-hentinya.

Suaranya bergulung-gulung seperti mendung dilangit berputaran dan berdengung disetiap telinga.

“Gila,” geram Ki Randukeling. “Kekuatan apakah yang telah membuat suaranya bagaikan gemuruhnya guntur dilangit.”

Ki Rangga pun termangu-mangu. Ternyata lontaran suara itu bukan saja lontaran suara wajar betapapun kerasnya. Tetapi tentu ada kekuatan yang mendukung lontaran suara itu.

Sebenarnyalah tanpa diketahui oleh para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan, dibelakang Ki Bekel itu berdiri Kiai Badra yang dengan kedua telapak tangannya telah menekan punggung Ki Bekel. Dengan demikian, maka seolah-olah telah tersalur kekuatan yang luar biasa yang mendorong suara Ki Bekel sehingga suara itu telah memenuhi bulak yang luas dengan bergema di dinding

padukuhan-padukuhan.

Namun bagi orang-orang Sembojan suara itu bagaikan suara dari langit yang telah menghentak-hentak di dalam dada mereka.

Untuk beberapa saat para pengawal Tanah Perdikan Sembojan itu justru tidak mendengar aba-aba yang diteriakkan semakin keras oleh Ki Wiradana. Bahkan para pemimpin kelompok yang harus mengulangi perintah itu pun menjadi termangu-mangu.

Keadaan para pengawal itu telah membuat Warsi menjadi semakin marah. Dengan suara lantang ia berkata kepada Ki Wiradana, “Kakang. Perintahkan sekali lagi. Cepat. Kita jangan memberi terlalu banyak kesempatan kepada orang-orang gila itu.”

Ki Wiradana tidak menjawab. Ia pun telah berteriak semakin keras memerintahkan agar para pengawal dengan cepat bergerak maju menuju ke sasaran.

Namun ternyata sesuatu telah terjadi. Tiba-tiba saja seorang pemimpin kelompok dari para pengawal yang justru tinggal di barak untuk ditempa menjadi pengawal yang memiliki kemampuan seimbang dengan para prajurit itu seakan-akan telah mendengar satu berita yang telah menggerakkan jantungnya untuk mencari jawab, siapakah yang telah membunuh Ki Gede Sembojan? Dan apakah hal itu ada hubungannya dengan orang-orang yang kemudian berkuasa disekitar Ki Wiradana? Justru karena pertanyaan-pertanyaan itulah, maka ia pun menjadi ragu-ragu.

Bahkan kemudian tiba-tiba saja pemimpin kelompok itu bertanya kepada para pengawal di dalam kelompoknya, “He, apakah kita akan dapat bertempur melawan saudara-saudara kita sendiri?”

Sebenarnyalah pertanyaan seperti itu telah menghinggapi perasaan para pengawal, sehingga karena itu, maka salah seorang di antara para pengawal itu menjawab, “Apakah tidak ada jalan lain?”

“Ya,” desis yang lain. “Kita menjadi ragu-ragu. Apakah benar mereka bersalah? Ataukah kita yang selama ini menjadi dungu?”

Pemimpin kelompok yang berjalan dipaling depan itu kemudian berkata, “Kita tidak akan bertempur bersungguh-sungguh. Kita akan berterus terang kepada

saudara-saudara kita nanti jika pasukan ini bertemu. Kita tidak berniat untuk saling membunuh.”

Ternyata para pengawal di dalam kelompok itu setuju, sehingga jika pasukannya berbenturan dengan pasukan dari padukuhan dihadapan mereka, maka para pengawal itu tidak akan bertempur bersungguh-sungguh.

Sebenarnyalah perasaan yang demikian itu ada di dalam hati para pengawal yang lain. Namun mereka tidak berani mengatakannya, karena mereka tidak tahu perasaan apakah yang tersimpan dihati kawan-kawannya sebelah-menyebelah.

Dalam pada itu, maka Ki Bekel dari padukuhan yang terbesar itu pun kemudian bertanya kepada Kiai Badra, “Apakah kita juga harus bergerak?”

“Ya, sudah waktunya kita menyongsong pasukan mereka. Mudah-mudahan para pengawal kita dapat memenuhi pesan Ki Bekel, sehingga pertempuran yang kemudian terjadi bukannya pembantaian keluarga sendiri,” berkata Kiai Badra.

“Mudah-mudahan Kiai. Anak-anak akan mencoba meyakinkan para pengawal Tanah Perdikan yang akan menjadi lawan mereka, bahwa sebaiknya mereka menempuh jalan lain daripada saling terbunuh,” berkata Ki Bekel.

Dengan demikian maka sejenak kemudian kedua pasukan itu pun menjadi semakin dekat. Namun rasa-rasanya pada kedua belah pihak tidak nampak api permusuhan yang menyala yang mendorong kedua pasukan itu untuk dengan penuh geram saling menyongsong.

Yang tidak tertahankan lagi adalah justru Warsi. Rasa-rasanya ia ingin meloncat menerkam Iswari yang membawa pertanda limpahan kuasa Pajang.

Tetapi Warsi menjadi kecewa. Nampaknya Iswari tidak akan menyongsongnya dan melawannya. Sebagai seorang yang membawa tunggul maka jika tidak dalam keadaan yang terpaksa, ia tidak akan melibatkan diri ke dalam pertempuran. Kecuali jika karena pelindungnya telah kehilangan kemampuan, maka pembawa tunggul itu akan mempergunakannya sebagai senjata.

Karena itulah, maka justru para pemimpin Tanah Perdikan Sembojanlah yang nampak dengan gelora didalam dadanya, bergegas melangkah bagaikan menerkam lawan.

Sementara para pengawal semakin dibayangi oleh keragu-raguan ketika kedua pasukan itu menjadi semakin dekat. Pasukan Tanah Perdikan itu melihat,

wajah-wajah dari para pengawal yang disebut pemberontak itu sama sekali tidak menunjukkan nyala dendam dan kemarahan. Senjata di tangan mereka yang meskipun sudah merunduk, tetapi sama sekali tidak bergetar.

Sebenarnyalah, bahwa Warsi memang tidak mendapat kesempatan untuk langsung melawan Iswari. Seorang yang dikenal sebagai penari yang sangat cantik. yang

telah mengguncangkan kedudukannya sebagai istri Ki Wiradana dan bahkan kemudian telah mengguncangkan kekuasaan di Tanah Perdikan itu.

Ketika Warsi menjadi semakin dekat, maka yang menyongsongnya memang seorang perempuan. Tetapi perempuan itu bukan Iswari. Bukan pula perempuan yang menyebut dirinya pemomong Iswari, karena yang menyongsong adalah Nyai Soka sendiri. “Serahkan perempuan itu kepadaku,” berkata Gandar. “Jangan Gandar,” berkata Nyai Soka. “Jika kau tidak dapat mengendalikan kemarahanmu, maka kau mungkin sekali tidak akan membunuhnya. Kita masih memerlukannya sebagaimana orang-orang lain disekitar Ki Wiradana. Kita harus tahu, sampai dimana peran keluarga Kalamerta dalam hal ini, agar kelak tidak akan menjadi semacam api di dalam sekam. Dendam keluarga Kalamerta yang tidak kita kenal akan sangat berbahaya.”

“Jadi buat apa perempuan itu dibiarkan hidup?” bertanya Gandar.

“Kita akan memancing kekuatan Kalamerta sampai tuntas,” jawab Nyai Soka. “Aku tidak yakin, bahwa mereka hanya terdiri dari orang-orang yang sekarang ada. Ki Randukeling tentu mempunyai landasan kekuatan yang jika diperlukan dapat dikerahkan. Sementara itu kita juga harus melihat sampai dimana peran para petugas sandi Jipang di Tanah Perdikan ini. Itu harus kita pancing seluruhnya agar keluar. Dengan demikian mereka tidak akan menganggu pada saat-saat justru kita tidak berbuat apa-apa lagi. yang pada suatu saat mungkin akan mengalami kesulitan adalah Iswari atau justru anaknya.”

Gandar mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti keterangan Nyai Soka sehingga dengan demikian, maka ia pun telah berusaha untuk menunggu lawan yang lain.

Sementara itu, para pengawal dari kedua belah pihak pun menjadi semakin dekat. Para bekas prajurit Pajang yang mengenakan pakaian keprajuritan telah berada di depan Iswari yang membawa tunggul. Namun disekitar mereka terdapat keluarga Iswari sendiri yang siap untuk melindunginya serta menjaga tunggul dari Pajang itu.

Sejenak kemudian, maka kedua pasukan itu benar-benar telah berbenturan. Adalah kebetulan bahwa Gandar telah bertemu dengan Ki Rangga Gupita, sementara Warsi benar-benar harus berhadapan dengan seorang perempuan tua yang bernama Nyai Soka. Sementara itu Kiai Sokalah yang telah berusaha untuk menghadapi Ki Randukeling, karena Kiai Soka menyadari, bahwa pertapa itu memiliki kemampuan yang tinggi, sementara ia tidak ingin melepaskannya untuk melawan Kiai Badra,

karena dalam kedudukannya, maka Kiai Badra akan menjadi pendamping Ki Bekel yang seolah-olah telah mengatur seluruh pasukan.

Warsi yang tiba-tiba saja telah berada di hadapan seorang perempuan tua telah berkata lantang, “Kenapa aku harus berhadapan dengan perempuan tua? Apakah perempuan cantik itu tidak berani turun ke medan.”

Telinga Iswari bagaikan tersentuh api. Tetapi Nyai Sokalah yang menjawab, “Aku adalah seorang pemomongnya. Kau baru boleh menyentuh kainnya jika kau sudah dapat mengalahkan aku. Ki Wiradana, pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan itu tidak mampu mengalahkan pemomong Iswari yang seorang lagi. Nah, sekarang kau berhadapan dengan pemomongnya yang lain.” “Persetan,” geram Warsi sambil menyerang. Ia masih mempergunakan senjata yang wajar dipergunakan dipeperangan. Pedang.

Namun Nyai Soka telah memperhitungkannya. Karena itu, maka ia pun dengan cepat pula menghindar.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar