Suramnya Bayang-Bayang Jilid 19

Jilid 19

Karena itulah, maka para pemimpin pengawal pun menjadi keras pula seperti sikap Ki Wiradana. Perintah yang terloncat dari mulut Ki Wiradana itu pun telah menjalar pula kepada para pengawal.

“Jika orang-orang di dalam rombongan penari jalanan itu tidak mau ditangkap dan berusaha melawan, maka para pengawal diberi wewenang untuk mempergunakan kekerasan,” berkata para pemimpin pengawal itu kepada para pengawal. Bukan saja para pengawal khusus yang terpilih untuk mendapat latihan-latihan dari para perwira di Jipang, tetapi juga para pengawal yang lain.

Namun dalam pada itu, di antara para pengawal terpilih itu terdapat orang-orang

yang pernah gagal menangkap rombongan penari itu. Meskipun mereka telah mendapat tempaan dari para perwira Jipang, namun mereka masih tetap ragu-ragu, apakah

para pengawal akan dapat melakukannya.

Tetapi lebih daripada sekadar keragu-raguan, apakah mereka akan dapat menangkap atau tidak, ternyata pengawal itu lebih banyak dipengaruhi oleh satu anggapan, bahwa penari itu bukan sekadar mirip Nyai Wiradana, tetapi orang itu adalah Nyai Wiradana sendiri.

“Jika benar orang itu Nyai Wiradana, apakah yang harus aku lakukan seandainya aku menjumpainya sekali lagi?” bertanya pengawal itu kepada diri sendiri. “Apakah aku harus menangkapnya atau aku harus bersikap lain?”

Beberapa orang terdekat memang mulai membicarakannya. Jika orang itu bernama Iswari, seharusnya Ki Wiradana merasa bersyukur, bahwa istrinya yang hilang itu telah diketemukan kembali. Tetapi dengan kehadiran Warsi, maka persoalannya tentu akan berbeda.

Namun dalam pada itu, Ki Wiradana benar-benar dicemaskan oleh kehadiran penari yang mirip dengan Iswari itu. Menilik sikap perempuan yang disebut Serigala Betina, maka Ki Wiradana menjadi ragu-ragu apakah perempuan itu benar-benar

telah membunuh Iswari. Bahkan Ki Wiradana condong menduga, bahwa Serigala Betina itu telah membohonginya.

Karena itulah, maka Ki Wiradana menjadi cemas, bahwa rahasianya akan dapat terbuka.

Dengan demikian maka atas persetujuan Warsi, Ki Wiradana sendiri hampir setiap malam telah meronda di daerah rombongan penari itu muncul untuk yang terakhir kali. Bahkan kadang-kadang telah ikut pula bersamanya, penggendang yang diakunya sebagai ayah Warsi dan pedagang emas berlian yang justru sebenarnya adalah ayah Warsi.

Ki Wiradana menolak jika para perwira dari Jipang menawarkan diri untuk ikut meronda berkeliling Tanah Perdikan. Ia tidak yakin bahwa orang-orang Jipang itu akan dapat sejalan dengan rencananya.

“Jika rombongan itu diketemukan, maka yang harus diperhatikan adalah penari itu. Jika benar ia adalah Iswari yang belum dibunuh oleh Serigala Betina itu, maka dengan cara apapun juga, perempuan itu harus dibungkam untuk selamanya,” berkata Ki Wiradana di dalam hatinya.

Sementara itu kemelut di Demak ternyata bukan semakin susut, tetapi justru semakin membara. Sepeninggal Sunan Prawata, maka telah terjadi pula pembunuhan

yang menggemparkan. Ketika Ratu Kalinyamat mengadukan kematian kakaknya, Sunan Prawata ke Demak, maka diperjalanan pulang, suaminya telah terbunuh pula oleh orang-orang yang tidak dikenal.

Namun Ratu Kalinyamat yakin, bahwa pembunuh-pembunuh itu adalah orang-orang yang telah dikirim oleh Arya Penangsang dari Jipang.

Di Tanah Perdikan Sembojan para perwira Jipang yang bertugas ternyata telah mendapat perintah pula untuk mempersiapkan Tanah Perdikan itu dalam keterlibatan yang lebih jauh. Karena itulah, maka Rangga Gupita telah berbicara secara khusus dengan Ki Randukeling mengenai persoalan yang akan menjadi semakin luas itu. “Nampaknya Arya Penangsang telah mengambil langkah-langkah berikutnya,” berkata Ki Randukeling.

“Ya. Kanjeng Adipati Jipang sudah jemu menunggu. Ia harus mempercepat persoalan, sehingga akan segera menjadi jelas baginya mukti atau mati,” jawab Rangga Gupita.

“Apakah Tanah Perdikan ini harus segera mempersiapkan pasukan tempur dan bersiap melawan Pajang?” berkata Ki Randukeling.

“Agaknya memang demikian. Tetapi masih belum dengan terbuka. Jipang sendiri juga masih belum dengan terbuka menyatakan perang melawan Pajang. Bagi Jipang, Pajang adalah kekuatan yang paling besar yang dihadapinya untuk menuju ke tahta Demak yang ditinggalkan oleh Sultan Trenggana itu,” jawab Rangga Gupita.

Ki Randukeling mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Cucuku juga sudah melahirkan. Ia akan dapat berbuat lebih banyak dari sebelumnya.”

“Ki Wiradana sudah cukup berbuat sesuai dengan yang kita kehendaki,” berkata Rangga Gupita.

Tetapi Ki Randukeling menggeleng. Katanya, “Ia masih terlalu lamban. Bayangan istrinya yang lama masih mengendalikan langkah-langkahnya. Agaknya Warsi akan dapat berbuat lebih baik jika pimpinan pemerintahan ada padanya.”

Rangga Gupita menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun menjawab, “Mungkin. Tetapi jangan dengan serta merta. Apalagi Warsi masih belum pulih benar setelah ia melahirkan.”

Ki Randukeling mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Memang semua langkah harus diperhitungkan baik-baik. Aku sependapat. Tetapi aku pun menganggap bahwa waktunya sudah tiba. Yang perlu diperhatikan adalah cara yang paling tepat dan tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru yang dapat justru mempersulit diri kita disini.”

Rangga Gupita mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Aku akan berbicara dengan Ki Wiradana sambil melihat anaknya yang memberikan kebanggaan bagi Ki Wiradana dan seluruh Tanah Perdikan ini. Tetapi sudah tentu bersama dengan Ki Randukeling.”

Ki Randukeling mengangguk-angguk. Katanya, “Wiradana sudah tahu siapakah sebenarnya Ki Rangga Gupita.”

Rangga Gupita tersenyum. Katanya, “Meskipun ia sudah mengetahuinya, tetapi kita akan berbicara bersama-sama.”

Ki Randukeling tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku akan minta agar Ki Wiradana memanggil orang-orang terpenting di Tanah Perdikan ini. Bukankah begitu yang kau maksud?”

Warsi yang hadir juga dalam pertemuan itu pun menjadi berdebar-debar. Tetapi ia masih tetap menahan diri untuk tidak dengan serta merta menyatakan diri untuk berbuat sesuatu, sebagaimana dinasihatkan oleh kakeknya.

Sementara itu, Ki Wiradana pun berkata, “Kita dapat melakukan bersama-sama. Kita membentuk pasukan tempur yang kuat sebagaimana dikehendaki, bukan sekadar pasukan pengawal, sekaligus membersihkan kerusuhan-kerusuhan yang ada di dalam lingkungan Tanah Perdikan ini. Para pengawal di padukuhan-padukuhan pun telah meningkat pula kemampuan mereka sehingga mereka bukan lagi sekadar orang-orang yang hanya dapat menjaga gardu di malam hari.”

Rangga Gupita mengangguk-angguk. Katanya, “Memang itu adalah jalan yang paling dekat yang dapat ditempuh. Dan kita akan menempuh jalan itu. Sampai sekarang Ki Wiradana masih menolak uluran tangan para perwira untuk membantunya membersihkan Tanah Perdikan ini dari kegelisahan itu. Dan itu aku hargai sebagai satu langkah yang bijaksana dan atas dasar harga diri. Namun jika keadaan memaksa, maka aku kira tidak ada salahnya jika para perwira itu ikut pula membantunya. Tentu akan dapat juga dilakukan oleh para pengawal khusus yang sudah terlatih. Tetapi dengan para perwira yang jauh lebih berpengalaman itu, tidak akan nampak terlalu banyak orang yang meronda di malam hari, sehingga tidak akan menimbulkan kegelisahan di antara orang-orang Tanah Perdikan ini.”

Ki Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya beberapa orang pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu. Namun kemudian katanya, “Baiklah Ki Rangga. Aku akan memikirkannya. Mungkin pada saat tertentu aku juga akan memerlukan bantuan. Namun maksudku menghindari kemungkinan pengamatan orang lain atas kehadiran para perwira dari Jipang itu, sebagaimana rencana kita untuk menyusun satu pasukan tempur yang kuat, tetapi tidak dengan terbuka.”

Ki Rangga mengangguk-angguk. Kemudian katanya kepada Ki Randukeling, “Kita sudah dapat mulai melangkah. Tetapi bagaimana pendapat Ki Randukeling?”

“Aku sependapat dengan isi pembicaraan ini. Tetapi aku pun sependapat dengan Wiradana, bahwa untuk sementara biarkan saja Tanah Perdikan ini membersihkan diri sendiri tanpa bantuan para perwira dari Jipang untuk tetap menegakkan wibawa para pemimpin dan pengawal Tanah Perdikan ini. Jika perlu biarlah aku, Ki Saudagar dan ayah Wiradana sajalah yang membantu membersihkan Tanah Perdikan ini. Baru jika keadaan sangat memaksa, kami akan berhubungan dengan para perwira dari Jipang,” sahut Ki Randukeling.

Ki Rangga Gupita mengangguk. Kemudian katanya, “Baiklah. Kita akan melihat perkembangan keadaan di Tanah Perdikan ini, sementara kita juga menunggu perkembangan yang terjadi di Demak.”

Dengan demikian, maka Ki Wiradana merasa bahwa tugasnya menjadi semakin berat. Tetapi ia masih menghargai para perwira dari Jipang yang tetap menghargai kepemimpinannya.

“Sikap yang tentu tidak dimiliki oleh para perwira Pajang,” berkata Ki Wiradana di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu, Warsi yang memperhatikan pembicaraan itu, meskipun ia sama sekali tidak mencampurinya sebagaimana biasa dilakukannya, seolah-olah ia tidak lebih dari seorang istri yang setia dan tidak mempunyai keinginan untuk melampaui

langkah yang dilakukan oleh suaminya, diluar sadarnya telah memperbandingkan kedua orang yang masih sama-sama muda. Suaminya, Ki Wiradana pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan di Sembojan, dengan Ki Rangga Gupita, seorang perwira Jipang dalam tugas sandi di Tanah Perdikan Sembojan.

Sama sekali diluar keinginannya bahwa kemudian Warsi menilai keduanya. Namun yang dilihatnya adalah justru kelebihan pada Rangga Gupita. Baik seorang prajurit dan pemimpin maupun wujudnya sebagai orang muda.

Tetapi angan-angan itu pecah ketika Warsi mendengar anaknya menangis. Anak

laki-laki yang lahir dari perkawinannya dengan Ki Wiradana yang sudah melepaskan korban istri Ki Wiradana yang bernama Iswari.

Dengan demikian maka Warsi pun meninggalkan pertemuan itu untuk pergi ke biliknya. Dilihatnya anak laki-lakinya yang lahir dalam keadaan sehat itu menangis ketika ia terbangun dari tidurnya.

Sementara itu pertemuan di pendapa itu masih berlangsung sesaat. Karena sebentar kemudian, pertemuan itu pun telah dianggap cukup.

Namun Warsi yang baru berbaring disisi anaknya terkejut ketika ia mendengar suara di depan biliknya.

“Silakah menunggu sebentar,” terdengar suara suaminya.

Sejenak kemudian, pintu bilik itu pun telah terbuka. Suaminya melangkah masuk sambil menutup pintu itu kembali.

Warsi yang kemudian bangkit itu pun bertanya, “Ada apa kakang?”

“Tidak apa-apa Warsi. Sekadar ingin melihat anakmu,” jawab Ki Wiradana. “Siapa?” bertanya Warsi.

“Ki Rangga Gupita,” jawab Wiradana. Tanpa diketahui sebabnya, Warsi menjadi berdebar-debar. Namun ia pun kemudian membenahi pakaiannya sambil berkata, “Biarlah aku bawa anak kita keluar. Bilik ini terlalu kotor.”

Warsi pun kemudian membawa anaknya ke luar pintu biliknya.

Sebenarnya telah menunggu di ruang dalam Ki Rangga dan Ki Randukeling. Demikian Warsi keluar sambil mengemban anaknya, maka Ki Rangga pun tersenyum sambil melangkah mendekat.

“Begitu cepat besar,” berkata Ki Rangga.

Warsi masih saja berdebar-debar. Apalagi ketika Ki Rangga itu kemudian semakin mendekatinya sambil menyentuh bayinya.

“Gagah seperti ayahnya,” desis Ki Rangga. “Besok tentu akan menjadi seorang laki-laki pilihan seperti ayahnya juga.”

Ki Rangga tertawa. Warsi pun tersenyum pula. Tetapi ia berkata di dalam hati,

“Tidak sekadar seperti ayahnya. Ayahnya sama sekali tidak mampu mengimbangi ilmu ibunya. Anak ini harus menjadi seperti atau bahkan malampaui kemampuan ibunya.” Sejenak Ki Gupita masih mengamati anak Warsi di dalam gendongannya. Baru kemudian ia berkata, “Sudahlah. Aku akan kembali ke barak para perwira Jipang.”

Ki Wiradana mengangguk-angguk sambil menjawab, “Silakan Ki Rangga. Beberapa persoalan yang tumbuh akan aku bicarakan dengan kakek dan Ki Rangga.”

“Ya. Aku akan selalu berusaha untuk ikut memecahkan masalah-masalah yang apalagi timbul karena hubungan Tanah Perdikan ini dengan Jipang.”

Demikianlah, maka Ki Rangga yang kemudian tinggal bersama para perwira Jipang itu pun segera meninggalkan ruang dalam. Ketika ia turun dari tangga pendapa, Ki Randukeling masih saja mendampinginya.

“Warsi nampaknya telah sehat kembali,” berkata Ki Rangga.

Ki Randukeling berpaling. Dilihatnya Ki Wiradana dan Warsi berdiri di pendapa sambil memandangi mereka yang menyeberangi halaman menuju ke regol. Di tangan Warsi masih nampak anaknya yang sehat dan kuat menggerak-gerakkan tangannya, seolah-olah melambai kepada kedua orang yang meninggalkan pendapa itu.

“Ya,” desis Ki Randukeling kemudian. “Kau ternyata lebih banyak mengetahui

tentang Warsi daripada suaminya. Ki Wiradana masih belum mengetahui bahwa Warsi memiliki kemampuan yang tinggi dan bahkan pernah berkelahi dan mengalahkannya.” Ki Rangga Gupita tertawa. Katanya, “Bukan salahku. Bukankah Ki Randukeling sendiri lebih percaya kepadaku daripada kepada Ki Wiradana?”

“Kenapa?” Ki Randukeling mengerutkan keningnya. Tetapi Ki Rangga Gupita tidak segera menjawab. Ketika mereka melalui regol seorang pengawal berjaga-jaga dengan tombak ditangan. Selangkah tiga orang lainnya berada di gardu.

Dengan serta merta ketiga orang yang berada di gardu itu pun meloncat turun sambil membungkuk hormat kepada Ki Rangga.

Ki Rangga tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Sementara itu kakinya melangkah terus sampai keduanya berada di luar regol.

“Ki Randukeling. Kenapa Ki Randukeling justru memberitahukan kepadaku tentang kelebihan Warsi itu. Tidak kepada suaminya?” bertanya Ki Rangga.

“Justru karena Ki Rangga bukan suaminya,” jawab Ki Randukeling sambil tertawa.

“Ki Rangga. Warsi memang menghendaki demikian. Untuk dapat memasuki rumah itu, ia telah berpura-pura menjadi penari jalanan. Nah, atas dasar pribadi seorang

penari itulah maka Warsi menjadi istri Ki Wiradana. Namun pada saatnya maka Warsilah yang akan mengendalikan kekuasaan di Tanah Perdikan ini. Meskipun demikian ia tidak akan dapat meninggalkan Ki Wiradana, karena hak atas Tanah Perdikan ini ada pada Ki Wiradana.

“Bukankah hal itu menurut pandangan mata orang Pajang?” bertanya Ki Rangga. “Ya, sudah tentu, karena Tanah Perdikan ini berada di dalam wilayah Pajang,” jawab Ki Randukeling.

“Dan apakah Ki Randukeling akan mempertahankan Tanah Perdikan ini untuk seterusnya berkiblat kepada Pajang?” Ki Rangga justru bertanya.

Ki Randukeling tertawa. Tetapi ia tidak menjawab.

Sementara itu, setelah Ki Rangga dan Ki Randukeling hilang di balik pintu regol, maka Warsi pun telah membawa bayinya kembali ke dalam biliknya, sementara Ki

Wiradana masih akan berbicara dengan beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan yang masih tinggal.

Namun dalam pada itu, adalah diluar kemauan Warsi sendiri, bahwa ia selalu memperhatikan sikap suaminya dibandingkannya dengan sikap Ki Rangga Gupita. Adalah diluar kehendaknya pula bahwa pada saat-saat tertentu ia melihat dengan mata angan-angannya tingkah laku Rangga Gupita.

Tetapi Warsi tetap menyadari, bahwa ia adalah istri pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Anak yang dilahirkannya itu adalah anak Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang kelak akan menggantikan kedudukan ayahnya. Namun sementara itu, memang sudah mulai tumbuh niat di dalam hati Warsi,

sebagaimana dirancangkannya sebelumnya, bahwa setelah ia melahirkan, maka ia akan menyatakan dirinya sendiri dihadapan suaminya dan mengendalikannya menurut kehendaknya.

Dalam pada itu, maka Tanah Perdikan Sembojan pun telah berkembang dalam kendali Jipang. Setiap peristiwa dan perkembangan keadaan di Demak dan Jipang sendiri akan menjadi pegangan langkah-langkah yang diambil oleh Tanah Perdikan Sembojan.

Namun dalam pada itu, di dalam lingkungan Tanah Perdikan itu sendiri telah terjadi pergolakan yang meskipun masih berada dibawah selimut ketaatan rakyat

Sembojan kepada pemimpin-pemimpin mereka yang terasa asing. Beban yang semakin berat dan tingkah laku para pemimpin mereka yang semakin tidak dapat mereka mengerti. Kehadiran beberapa orang yang tidak dikenal sebelumnya yang langsung ikut mengendalikan pemerintahan dan kemudian kesibukan para pengawal yang betapapun diselubungi namun terasa oleh rakyat Sembojan bahwa di Tanah Perdikan itu tengah dilakukan satu kegiatan seolah-olah Tanah Perdikan itu akan terlibat kedalam satu peperangan.

Namun dalam kedaan yang tidak menentu itu, perhatian rakyat Sembojan justru telah tertuju kepada seorang penari jalanan yang mirip dengan Nyai Wiradana yang hilang. Adalah sama sekali bertentangan dengan keinginan para pemimpin Tanah Perdikan itu, bahwa dalam keadaan yang semakin sulit, citra Nyai Wiradana yang hilang itu menjadi semakin baik dimata rakyat Tanah Perdikan.

Perempuan-perempuan telah berbisik-bisik kepada suaminya di rumah, bahwa tingkah laku Nyai Wiradana yang hilang itu jauh lebih berbeda dengan tingkah laku Nyai Wiradana yang sekarang. Bagi perempuan-perempuan di Tanah Perdikan itu, Nyai Wiradana yang lama, meskipun masih muda dan belum terlalu lama berada di Tanah Perdikan itu, namun rasa-rasanya sudah menjadi sangat akrab dan bahkan

rasa-rasanya dapat menjadi pengayoman yang manis dan tanpa pamrih.

Karena itulah, setiap terbetik berita, serombongan orang-orang ngamen mamasuki Tanah Perdikan Sembojan dengan penari seorang perempuan yang mirip dengan Nyai Wiradana maka telah timbul harapan bahwa Nyai Wiradana itu akan timbul kembali di Tanah Perdikan itu.

Sebenarnyalah, sementara itu Iswari telah menyelesaikan laku yang sangat berat yang harus ditempuhnya untuk sampai kepada puncak ilmunya. Namun dengan kesungguhan hati dan tekad yang membaja serta rasa tanggung jawab akan hari depan anak laki-lakinya, maka Iswari benar-benar telah berubah. Meskipun nampaknya Iswari menjadi semakin kurus dan hitam dibakar oleh terik matahari dalam laku yang sangat berat, namun ia telah benar-benar menjadi seorang yang jarang ada duanya.

Bahkan bukan saja Iswari yang telah menemukan satu tataran penguasaan ilmu yang sangat tinggi dibawah asuhan kakek dan neneknya, namun perempuan yang disebut Serigala Betina yang telah berada di padepokan kecil bersama dengan Iswari,

telah mendapat kesempatan pula untuk meningkatkan ilmunya.

“Aku yakin bahwa kau benar-benar telah menyadari jalannya yang sesat yang pernah kau rambah,” berkata Nyai Soka kepada perempuan yang disebut Serigala Betina

itu.

“Ya Nyai,” jawab perempuan itu. “Aku berjanji bahwa aku akan hidup dalam satu kehidupan yang baru. Hidupku yang lama yang berlumuran dosa itu harus aku tinggalkan dan tidak akan pernah tersentuh lagi.”

“Apalagi setelah kau mendapat kesempatan untuk menguasai tingkat ilmu yang lebih tinggi dari yang pernah kau miliki dan kau pergunakan untuk kepentingan yang berbeda itu. Maka kau harus benar-benar hidup dalam satu dunia yang baru yang justru sangat berlawanan dengan duniamu yang lama,” berkata Nyai Soka.

Serigala Betina itu tidak menjawab. Namun kepalanya tertunduk dalam-dalam. Ia sangat berterima kasih kepada Iswari yang justru telah menyentuh perasaannya pada saat ia siap untuk membunuhnya. Karena dengan demikian, maka Iswari telah

memungkinkannya untuk memasuki satu kehidupan baru yang lebih cerah dan berarti bagi sesamanya.

Sementara itu, perkembangan Tanah Perdikan Sembojan tidak terlepas dari perhatian orang-orang di padepokan tersebut setiap langkah Ki Wiradana selalu mereka ikuti dengan seksama. Satu kesempatan telah dicoba oleh Kiai Badra, apakah perhatian orang terhadap Nyai Wiradana yang lama masih tetap besar, dengan sekali mengirimkan rombongan pengamen dengan seorang penari yang oleh orang-orang Tanah Perdikan Sembojan dianggap mirip sekali dengan Iswari, justru pada saat Tanah Perdikan itu sedang bergolak.

Ternyata bahwa perhatian orang-orang Tanah Perdikan masih cukup besar. Dan ternyata bahwa rakyat kebanyakan masih menganggap bahwa penari itu mempunyai kedudukan yang khusus, sehingga tidak seorang pun di antara mereka yang telah mencoba mengganggu atau bahkan mencoba menangkapnya meskipun perintah itu sudah

dijalankan.

Ketika rombongan penari itu berhenti disebuah padukuhan, di depan mulut butulan dinding padukuhan itu, ternyata banyak orang yang telah keluar dan menemuinya. Pada saat seperti itu, penari jalanan itu memang mendapat tanggapan sebagaimana mereka berhadapan dengan Nyai Wiradana sendiri.

“Citra Nyai Wiradana tidak berubah dimata rakyat Tanah Perdikan,” berkata Kiai Badra.

Kiai Soka mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya, “Tetapi kita harus memperhatikan persoalannya yang terjadi di Tanah Perdikan itu sekarang. Ternyata Wiradana berhasil menyusun satu kekuatan yang sangat besar dengan hadirnya orang-orang Jipang. Karena itu, jika pada saat ini kita bertindak, maka kita

akan berhadapan dengan kekuatan yang seharusnya ditujukan kepada Pajang.”

Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar. Memang bukan saatnya sekarang kita bertindak. Tetapi kita tidak boleh melepaskan ikatan rakyat Sembojan dengan

Nyai Wiradana yang hilang itu.”

“Aku sependapat,” desis Kiai Soka. “Setiap kali kita lakukan sesuatu untuk memberikan satu kesan tersendiri kepada orang-orang Tanah Perdikan Sembojan. Namun langkah kita yang terakhir masih harus kita tunda sampai saat yang paling tepat.”

“Kita harus mencari kekuatan dari dalam lingkungan Tanah Perdikan itu sendiri,” berkata Kiai Badra. “Dan ini harus kita lakukan dengan sangat berhati-hati dan tidak berkeputusan.”

“Bagaimana pendapat kalian jika kita berhubungan dengan Pajang,” tiba-tiba saja Nyai Soka bertanya.

“Memang mungkin kita lakukan. Tetapi langkah-langkah terakhir Pajang nampaknya dipersiapkan untuk menghadapi pergolakan di Demak. Pajang juga sudah mempersiapkan pasukannya tidak saja untuk mempertahankan Pajang, tetapi nampaknya pasukan yang siap dikirim ke medan. Agaknya Pajang pun membuat perhitungan seperti Jipang yang lebih baik mengirimkan pasukan daripada sekadar bertahan. Itulah sebabnya maka Pajang agaknya menunda tanggapannya atas Tanah Perdikan Sembojan,” jawab Kiai Soka. “Atau Pajang memang tidak menyadari akan sikap Sembojan karena perhatiannya yang dengan tajam ditujukan kepada Jipang,” berkata Nyai Soka selanjutnya. “Kemungkinan yang demikian memang ada,” Kiai Badralah yang kemudian menyahut. “Memang Demak memerlukan perhatian sepenuhnya dari Kanjeng Adipati Hadiwijaya, sebab tumpuan harapan keluarga Kanjeng Sultan Trenggana sepenuhnya ada pada Kanjeng Adipati Hadiwijaya di Pajang. Sementara sikap Jipang semakin tegas dan apalagi beberapa orang yang berpengaruh di Demak nampaknya telah timbul perbedaan pendapat pula, siapakah yang pantas untuk memegang kendali kekuasaan Demak.”

“Agaknya Kanjeng Adipati di Pajang tidak hanya sekadar bersikap menunggu,” sahut Kiai Soka. “Agaknya Kanjeng Adipati di Pajang justru sudah mengambil

langkah-langkah. Memang terlalu berat baginya jika ia dituduh terlalu bernafsu untuk merebut tahta Demak. Tetapi jika cara itu yang paling baik dilakukan pada saat seperti ini, maka Kanjeng Adipati harus rela mengorbankan sebutannya

sebagai seorang yang tidak mempunyai pamrih. Karena pamrih yang sebenarnya bukan tahta itu sendiri, tetapi keselamatan dan kelangsungan kuasa Demak meskipun

dapat saja berpusat di Pajang atau tempat lain. Tetapi tidak di Jipang yang bukan keturunan langsung Sultan Trenggana.”

“Agaknya Pajang memang kurang memperhatikan Sembojan. Tetapi dengan demikian dapat membantunya. Kita dapat mengumpulkan keterangan tentang Tanah Perdikan itu sebanyak-banyaknya. Dalam kesempatan tertentu kita akan berhubungan dengan Pajang. Agar Pajang tidak dikejutkan oleh satu kekuatan yang tidak diketahuinya

sama sekali,” berkata Kiai Badra. “Bahkan alangkah baiknya jika Tanah Perdikan Sembojan dapat menyelesaikan persoalannya sendiri.”

“Apa maksud kakang?” bertanya Nyai Soka.

“Tanpa menambah kesibukan berpikir dan kesibukan keprajuritan Pajang, Sembojan dapat dikuasai kembali oleh jalur kepemimpinan yang tidak menyimpang dan tetap berkiblat kepada Pajang,” jawab Kiai Badra.

“Maksudmu kita berhubungan dengan Ki Wiradana untuk menyadarkan kesesatannya?” bertanya Nyai Soka.

“Tidak,” jawab Kiai Badra. “Kekuatan di Sembojan sendiri menuntut pulihnya kekuasaan dan kiblat pemerintahan. Bukan Ki Wiradana yang sudah dikuasai oleh satu kekuatan yang tidak akan mungkin dilepaskannya.”

“Lalu siapa?” bertanya Nyai Soka. “Seseorang yang memiliki pertanda khusus Tanah Perdikan Sembojan,” jawab Kiai Badra.

Orang-orang yang mendengar keterangan itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti maksud Kiai Badra. Anak Iswarilah yang harus tampil meskipun masih harus ada seseorang yang menjadi walinya dalam pemerintahan karena anak Iswari itu masih belum dapat melaksanakan tugasnya.

Kiai Soka pun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan mencoba. Kita akan mempersiapkan satu kekuatan di antara orang-orang Perdikan sendiri. Satu rencana yang mungkin merupakan rencana yang panjang. Karena mula-mula kita baru dapat memelihara perhatian mereka terhadap Iswari. Kemudian menumbuhkan kesadaran orang-orang Sembojan atas sikap yang kurang menguntungkan dari para pemimpinnya.

Jika perasaan ini dapat menyusup di antara para pengawal, maka akibatnya tentu akan lebih baik.”

“Tetapi apakah kita akan sampai hati melihat perpecahan dan pertumpahan darah yang terjadi di Sembojan jika dua kekuatan yang timbul itu akan saling berhadapan?” bertanya Nyai Soka.

“Pada saat yang demikian kita akan tampil menghadapi para pemimpin di Tanah Perdikan itu. Jika para pemimpin itu sudah dikuasai, maka persoalannya tidak akan terlalu banyak berkembang,” desis Kiai Soka.

Orang-orang tua yang sedang berbicang tentang kemungkinan yang berkembang di Tanah Perdikan itu mengangguk-angguk. Nampaknya mereka telah menemukan kesepakatan. Meskipun demikian Kiai Badra masih berkata, “Tetapi segala sesuatunya masih harus disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di Tanah Perdikan itu sendiri, Demak dan bahkan Jipang. Karena para perwira Jipang di Tanah Perdikan Sembojan tentu dikendalikan oleh perintah-perintah dari Jipang langsung.”

Dengan demikian maka yang harus dilakukan oleh keluarga Iswari itu untuk selanjutnya hanyalah sekadar memelihara ingatan dan perhatian mereka kepada Iswari, sehingga orang-orang Sembojan masih merasa mempunyai ikatan dengan Iswari itu. Bahkan kesan bahwa Iswari masih hidup harus diperluas dan harus menjadi semakin jelas bagi orang-orang Sembojan.

Namun dalam pada itu, Gandar ternyata mempunyai pendapat tersendiri. Katanya, “Di samping semua rencana itu Kiai, aku berpendapat bahwa para pengawal di Sembojan harus menyadari, bahwa kemampuan mereka bukanlah kemampuan yang patut

dibanggakan, agar mereka tidak merasa menjadi kekuatan yang meyakinkan. Apalagi untuk melawan Pajang.”

“Aku sependapat,” sambung Jati Wulung. “Orang-orang Tanah Perdikan Sembojan harus mendapat kesan, bahwa orang-orang yang pernah mengikuti latihan pada para perwira dari Jipang untuk waktu yang pendek itu, tidak mampu untuk mengatasi kerusuhan yang terjadi di Sembojan sendiri. Apalagi untuk menentang Pajang yang mempunyai kelengkapan keprajuritan yang tinggi dengan prajurit-prajuritnya yang terlatih dan berpengalaman untuk waktu yang terhitung panjang.”

Orang-orang tua yang mendengarkannya ternyata tidak menentangnya. Bahkan sambil tersenyum Kiai Badra berkata, “Perhatian kalian justru tertuju kepada benturan kekerasan.”

“Tetapi ada juga baiknya,” sahut Sambi Wulung, saudara tua seperguruan Jati Wulung dari perguruan Guntur Geni, “Bahkan jika perlu sekali-kali harus dibuktikan bahwa perwira-perwira Jipang itu tidak cukup mampu untuk

mempertahankan diri dalam benturan kekerasan dengan orang-orang yang mungkin di Tanah Perdikan Sembojan disebut sebagai perampok atau perusuh atau istilah apapun.”

“Kami tidak berkeberatan,” berkata Kiai Badra. Namun kemudian, “Tetapi hati-hatilah. Di Tanah Perdikan itu juga terdapat orang-orang yang disegani.

Menurut Gandar Nyai Wiradana adalah orang yang memiliki ilmu tinggi dari keluarga Kalamerta. Dan bukankah kalian juga mengetahui, bahwa Ki Randukeling, kakek Warsi ada juga di Tanah Perdikan itu. Sementara kalian telah berhasil menjajagi kemampuan pedagang emas berlian yang ternyata adalah ayah Warsi itu sendiri sebagaimana pernah kalian katakan, karena kalian melihat mereka pernah bertemu di pasar. Tetapi Ki Randukeling dan petugas sandi yang berada di barak para perwira dari Jipang harus kalian perhatikan benar-benar. Bahkan aku ingin menasehatkan, hidarilah benturan kekuatan dengan Ki Randukeling.”

Kedua orang dari Guntur Geni itu mengangguk-angguk. Sementara Gandar hanya menundukkan kepalanya saja. Apalagi ketika Kiai Badra kemudian berkata, “Khusus bagi Gandar yang sudah dikenal di Tanah Perdikan Sembojan. Kau harus lebih berhati-hati. Setiap pengenalan atas dirimu akan berakibat buruk bagi padepokan kecil kita. Meskipun barangkali mereka tidak akan dapat memburu kita sampai ke Tlaga Kembang ini, tetapi mereka akan dapat menghancurkan padepokan kita yang kecil itu.”

“Aku akan berhati-hati Kiai,” jawab Gandar. “Namun meskipun aku pernah dikenal di Tanah Perdikan Sembojan, tetapi hanya dalam lingkungan yang sangat terbatas. “Tetapi ciri-ciri tubuhmu akan dapat dikenali dalam ingatan Ki Wiradana karena

ia tentu akan menghubungkannya dengan orang-orang disekitar Iswari,” jawab Kiai Badra.

Gandar mengangguk-angguk. Tetapi ia dapat memahami pesan Kiai Badra itu, sehingga pesan itu akan tetap diingatnya. Meskipun demikian katanya kemudian, “Tetapi tidak seorang pun dari para perwira dari Jipang itu yang mengenal aku.” “Ah,” desah Kiai Badra. “Berpikirlah dengan tenang. Jangan terlalu dipengaruhi oleh perasaan. Bagiku sikap hati-hati adalah sikap yang paling baik.”

Gandar mengangguk-angguk. Ia tidak lagi menyatakan sesuatu. Agaknya memang tidak ada pertentangan sikap. Namun orang-orang tua menghendaki langkah-langkah yang diambil dilandasi dengan sikap yang hati-hati. Karena persoalannya akan

menyangkut persoalan yang sangat luas. Termasuk Tanah Perdikan Sembojan seluruhnya bahkan dalam hubungannya dengan Pajang dan Jipang.

Sementara itu, pergolakan di Demak menjadi semakin menegangkan. Jipang benar-benar telah menyiapkan pasukan yang kuat. Bahkan ternyata sesuai dengan rencana, Jipang telah mengirimkan pasukan ke Selatan, mendekati Kadipaten Pajang. Satu perjalanan pasukan yang panjang. Namun ketabahan pasukan Jipang memang terpuji, sebagaimana sikap Adipatinya yang garang. Perjalanan itu sama

sekali tidak membuat mereka mengeluh. Bahkan menghadapi tugas yang sangat gawat itu pun mereka sama sekali tidak merasa sebagai beban yang berat.

Para pemimpin dari pasukan Jipang yang dikirim ke Selatan itu sudah mendapat keterangan terperinci tentang Pajang dan pasukan yang dipersiapkan di Tanah Perdikan Sembojan. Mereka mendapat perintah untuk langsung menghubungi para perwira yang bertugas di Tanah Perdikan Sembojan agar gerakan pasukan dapat diatur sebaik-baiknya.

Namun gerakan itu tidak lepas dari pengamatan para petugas sandi dari Pajang. Mereka mengetahui bahwa Jipang telah mengirimkan pasukan ke Selatan mendekati kedudukan Pajang.

Tetapi Pajang tidak tergesa-gesa mengambil sikap. Namun demikian para pemimpin di Pajang memerintahkan untuk mengamati gerakan pasukan itu dengan cermat. Juga akibat dari gerakan itu terhadap padukuhan-padukuhan yang dilewatinya dan bahkan kemudian padukuhan yang akan menjadi tempat mereka membuat pasanggrahan.

Dengan teratur laporan-laporan tentang gerakan itu diterima oleh para pemimpin di Pajang, sehingga mereka dapat menyesuaikan diri dengan sikap Jipang. Namun Pajang memang tidak dengan semata-mata bergerak menghadapi pasukan Jipang.

Tetapi Pajang lebih banyak bergerak di lingkungannya dengan menyusun pertahanan yang kuat dan berlapis.

Namun keterangan yang kemudian diterima, bahwa gerakan pasukan Jipang tidak hanya ke arah Pajang, tetapi juga ke arah Demak.

Dengan demikian, maka Pajang harus dengan cepat mengambil sikap Pajang sendiri tidak mencemaskan pasukan Jipang yang membayangi Kadipaten itu. Tetapi bahwa Jipang kemudian juga menggerakkan pasukannya ke arah Demak, maka Adipati Pajang menjadi gelisah. Jika Adipati Jipang menguasai Demak, maka akan timbul pengaruh jiwani bagi para Adipati di daerah Timur, seolah-olah Arya Penangsang dari

Jipang memang menguasai Demak sepeninggal Sultan Trenggana

Sementara itu pasukan Demak sendiri yang kehilangan gairah perjuangannya karena meninggalnya Sultan Trenggana, serta kekalutan yang kemudian timbul, harus mendapat lecutan untuk dapat bangkit kembali dari kegoncangan perasaan mereka. Jika Jipang menyerang Demak dalam keadaan yang demikian, maka Demak akan dengan

mudah dapat dikalahkan oleh kegarangan Adipati Jipang Arya Penangsang dan pasukannya yang kuat.

Karena itu, maka Pajang harus dengan segera mengimbangi gerakan Jipang karena menurut beberapa orang pemimpin Demak serta orang-orang yang berpengaruh di Demak, maka tidak ada orang lain yang akan menjadi pengganti Sultan Trenggana selain adipati Pajang, meskipun ia hanya seorang anak menantu.

Ternyata Pajang telah mengambil satu sikap yang mengejutkan Jipang. Pajang tidak saja menyusun pertahanan yang kuat untuk menghadapi pasukan Jipang dikirim mendekati Pajang, namun ternyata Pajang juga mengirimkan pasukannya yang kuat langsung dihadapan pasukan Jipang yang membuat pesanggrahan di sebelah Timur Bengawan Sore dalam usahanya mendekati Demak. Sementara itu Pajang telah membuat

pesanggrahan di sebelah Barat Bengawan Sore dan justru langsung dibawah pengamatan Adipati Pajang sendiri. Kemarahan Arya Penangsang tidak terbendung lagi menghadapi sikap Adipati Pajang. Namun demikian, Patih Mantahun yang bijaksana telah berusaha untuk menahan ledakan perasaan Adipati Jipang itu.

“Apalagi yang kita tunggu?” bertanya Arya Penangsang.

“Kanjeng Adipati, justru karena pasukan Pajang yang kuat berada disini, maka biarlah kita menghancurkan Pajang. Kita rebut Pajang dan dengan demikian maka Adipati Pajang akan menjadi bingung. Sementara itu, kita akan dapat menarik sebagian pasukan kita setelah Pajang jatuh untuk menghancurkan pasukan Pajang yang ada disini,” jawab Mantahun.

Arya Penangsang termenung sejenak. Namun ia pun kemudian bertanya, “Apakah pasukan yang kita kirim ke Pajang cukup kuat untuk menghancurkan Pajang?” “Betapapun kuatnya pasukan Pajang yang ada di sebelah Bengawan Sore, namun Adipati Pajang tidak akan begitu bodoh untuk mengosongkan Pajang itu sendiri.” “Kita mempunyai kekuatan cadangan yang akan mampu membantu pasukan kita menghancurkan Pajang,” berkata Patih Mantahun.

Arya Penangsang termangu-mangu. Namun ia pun segera teringat akan Sembojan. Karena itu, maka kemudian katanya, “Apakah Sembojan akan benar-benar dapat dibanggakan dalam persoalan yang besar dan bersungguh-sungguh ini?”

“Aku percaya kepada para perwira yang sudah kita kirim ke Sembojan. Mereka akan berhasil membentuk satu pasukan yang kuat, yang akan dapat membantu menghancurkan Pajang dari sisi yang lain,” berkata Mantahun. “Selama ini kita selalu mengadakan hubungan dengan perwira itu untuk mendapat laporan dan mengirimkan pesan-pesan. Sementara itu, Ki Randukeling juga selalu berada di

Sembojan sejak pergolakan semakin meningkat. Ia hampir tidak pernah meninggalkan Tanah Perdikan itu untuk kembali ke padepokannya.”

Arya Penangsang mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku mendengarkan pendapatmu. Aturlah sebaik-baiknya, agar Sembojan sempat mengerahkan pasukannya dan mendekati Pajang. Jika pasukan itu dianggap terlalu lemah, maka sebagian pasukan Jipang akan dapat dibaurkan dengan mereka. Dengan demikian maka Pajang akan dibayangi dari dua arah. Pada saat tertentu, maka kedua pasukan itu akan menyerbu Pajang yang lemah, karena sebagian pasukannya berada disini.”

“Nah, baru setelah itu, maka sebagian dari pasukan Jipang akan ditarik untuk menghancurkan pasukan Pajang yang berada disini,” sambung Patih Mantahun. “Tetapi bagaimanakah jika justru Pajang yang mendahului menyerang kita disini?” bertanya Arya Penangsang.

“Pajang tidak akan mungkin berani menyerang dengan pasukannya yang ada sekarang Kanjeng. Sebagaimana aku berpendapat bahwa sebaiknya kita juga tidak menyerang pasukan Pajang,” jawab Patih Mantahun.

“Bengawan itu?” bertanya Arya Penangsang pula.

“Ya. Pasukan yang seimbang seperti ini, akan selalu memperhitungkan

langkah-langkah yang akan diambil sebaik-baiknya. Siapa yang berani menyeberangi Bengawan Sore, maka pasukannya akan dihancurkan di tengah-tengah Bengawan, atau justru pada saat pasukan itu akan naik ke darat. Dengan anak panah dan lembing, maka pasukan yang menunggu di darat akan dengan mudah mengurangi jumlah pasukan

yang masih berada di dalam air Bengawan itu,” sahut Patih Mantahun.

Arya Penangsang mengangguk-angguk. Menurut perhitungan nalar memang demikian. Tetapi kadang-kadang ledakan perasaannya sulit untuk dikekang, sehingga dalam keadaan tertentu, Arya Penangsang sering kehilangan kendali nalarnya. Pada kesempatan berpikir dengan bening. Arya Penangang merasa berterima kasih

terhadap patihnya yang tua dan bijaksana itu.

“Mantahun,” berkata Arya Penangsang kemudian, “Kau harus memperingatkan aku setiap saat agar aku tidak terseret oleh gejolak perasaanku.”

“Aku selalu berusaha Kanjeng. Namun kadang-kadang Kanjeng terlalu dipengaruhi oleh perasaan, sehingga sulit untuk dikekang.”

Arya Penangsang mengangguk-angguk. Memang tidak mungkin bagi Pajang atau Jipang mendahului menyerang dengan menyeberangi Bengawan Sore. Menurut perhitungan kridaning perang, maka yang menyerang akan dengan mudah dihancurkan tanpa ampun sebelum sempat naik ke darat.

Dalam keadaan yang demikian, maka Jipang telah memberikan perintah kepada para perwiranya di Sembojan agar menyiapkan pasukan secepatnya dan bergerak mendekati Pajang dari arah yang berbeda dengan pasukan yang telah lebih dahulu berada di padukuhan-padukuhan di sebelah Pajang untuk membayanginya.

Karena sebelumnya Sembojan memang sudah mempersiapkan diri, maka usaha untuk membentuk pasukan itu pun dapat dilakukan dengan cepat. Di samping duaratus orang pengawal khusus, maka telah disusun pula pasukan dalam jumlah yang lebih banyak di antara para pengawal di padukuhan-padukuhan.

“Ini adalah tanggung jawab kita,” berkata Ki Randukeling kepada Ki Wiradana. “Kita telah menyatakan diri berdiri dipihak Jipang. Maka kita pun harus melakukan segala perintahnya.”

Namun Ki Wiradana rasa-rasanya menjadi sangat berat untuk melepaskan anak-anak mudanya meninggalkan Tanah Perdikannya untuk membayangi, dan bahkan kemudian menyerang Pajang

“Kakek,” berkata Ki Wiradana kemudian. “Apakah bukan sebaiknya bahwa pasukan yang kita susun itu sekadar untuk mempertahankan Tanah Perdikan ini. Tetapi bukan untuk menyerang?”

“Bukankah hal seperti ini sudah kita sadari sejak kita menerima para perwira dari Jipang itu?” jawab Ki Randukeling. “Dan kini saatnya sudah tiba. Bukan Pajang yang menyerang Tanah Perdikan ini. Tetapi kita yang akan menyerang Pajang.”

“Tetapi rasa-rasanya sangat berat untuk melepaskan anak-anak muda itu kakek. Mereka akan berhadapan dengan prajurit-prajurit pajang yang sudah jauh lebih banyak berpengalaman. Sebagian dari mereka tentu tidak akan pernah melihat Tanah Perdikan ini kembali,” suara Ki Wiradana merendah.

Ki Randukeling mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Sebagian dari mereka memang akan menjadi korban. Tetapi korban itu adalah korban yang tidak sia-sia. Sebagaimana

setiap gegayuhan tentu harus berani melepaskan korban. Bukankah kau ingin melepaskan diri dari Pajang yang tidak berminat untuk mengukuhkan kedudukanmu sebagai Kepala Tanah Perdikan dan kemudian berpihak kepada Jipang? Sudah tentu dengan satu keinginan bahwa Jipang akan dengan senang hati menetapkan dan mewisudamu menjadi Kepala Tanah Perdikan.”

“Tetapi bagiku pengorbanan yang diberikan itu rasa-rasanya terlalu berat.

Sepuluh atau duapuluh bahkan mungkin lebih dari anak-anak muda terbaik Sembojan akan menjadi banten,” berkata Ki Wiradana.

“Itu harus sudah kita sadari jauh sebelumnya. Coba bayangkan, apakah tidak akan ada bebanten seandainya Pajang yang datang kemari untuk memaksamu kembali tunduk

kepada mereka?” Ki Randukeling berhenti sejenak.

Kemudian katanya selanjutnya, “Justru sekarang tugasmu menjadi jauh lebih

ringan. Jipang sudah menempatkan pasukannya dihadapan Pajang. Sementara Pajang telah mengirimkan pasukan segelar-sepapan yang kuat kehadapan pasukan Jipang seberang-menyeberang Bengawan Sore. Bukankah dengan demikian kekuatan Pajang dirumahnya sendiri menjadi jauh lebih susut? Yang harus kita perhatikan kemudian adalah kesatuan langkah dengan pasukan Jipang yang sudah berada diharapan Pajang. Demikian pasukan Jipang itu menyerang untuk menembus pertahanan Pajang yang lemah, maka kita pun harus segera bergerak. Nah, kau dapat memperhitungkan kemungkinan itu. Bukankah tidak ada kesempatan lain yang lebih baik dari kesempatan itu? Jika Pajang pecah, maka Jipang akan memberikan bukan saja pengukuhan atas kedudukanmu, tetapi juga hak-hak yang lebih luas dan bahkan mungkin hadiah yang tidak pernah kau bayangkan sebelumnya.”

Ki Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti bahwa dengan demikian Tanah Perdikan Sembojan akan mendapat hak-hak yang lebih banyak dari Jipang yang letaknya lebih jauh dari Pajang. Namun apakah ia akan sampai hati berdiri di

atas pengorbanan anak-anak muda terbaik dari Tanah Perdikan ini. Karena betapapun besarnya keinginan Wiradana untuk mencapai kedudukan yang setinggi-tingginya, namun pada saatnya nuraninya pun telah terungkit untuk membuat pertimbangan-pertimbangan yang lebih baik.

Dalam keadaan yang demikian, di luar sadarnya, terbayang kembali usaha ayahnya untuk membentuk satu lingkungan yang baik. Yang tenang dan tenteram. Yang memberikan perlindungan kepada isinya dan menyiapkan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mudanya. Bukan justru mengorbankan anak-anak mudanya untuk kepentingan kedudukan yang lebih baik bagi dirinya sendiri.

Dalam hal yang demikian, maka Ki Wiradana menjadi ragu-ragu. Tetapi ia sadar, bahwa para perwira Jipang telah berada di Tanah Perdikan itu.

Sementara itu, para pengawal Tanah Perdikan itu sendiri, sebagian besar telah mendapat tempaan bukan saja lahiriahnya tetapi juga batiniah, sehingga kebencian terhadap Pajang perlahan-lahan sudah ditanamkan oleh para perwira itu.

Dengan demikian, maka para pengawal itu sendiri, tentu akan menyambut dengan gembira, seandainya kepada mereka diberitahukan bahwa mereka harus pergi ke Pajang untuk bertempur. Apalagi setelah sekian lama mereka mengalami

latihan-latihan yang sangat berat, maka sebagian besar dari mereka tentu akan berusaha untuk mencoba kemampuan mereka benar-benar di medan perang. Dalam pada itu, selagi Ki Wiradana termangu-mangu, maka Warsi telah datang menghampirinya. Wajahnya nampak menyorotkan sinar yang berbeda dengan

kebiasaannya yang luruh dan lembut. Dengan wajah tengadah Warsi berkata, “Kakang Wiradana. Saatnya sudah tiba. Kita tidak boleh terlalu pasrah kepada keadaan. Kita harus berani bergerak untuk mengubah keadaan, karena sebenarnyalah kita sendirilah yang akan menentukan keadaan kita.”

Wiradana mengerutkan keningnya. Dipandanginya Warsi yang baginya nampak agak lain dari biasanya. Warsi itu tidak berbicara dengan wajah tunduk dan suara

lembut kemanjaan. Tetapi suaranya menjadi tegas dan wajahnya tengadah memandanginya.

”Warsi,” desis Wiradana kemudian, “Jadi kau juga sependapat jika kita mengirimkan pasukan ke Pajang?” “Ya. Kita tidak perlu cemas tentang keadaan kita jika Pajang telah hancur. Jika kita melewatkan kesempatan ini, dan Pajang sempat menahan diri, maka kitalah yang akan digilas. Dan dengan demikian maka korban akan jauh lebih banyak jatuh. Bahkan mungkin orang-orang yang tidak bersalah sama sekali. Jika Pajang yang datang ke Tanah Perdikan ini, maka Tanah Perdikan ini akan menjadi ajang pembantaian yang tidak terkendali. Sementara itu semua harta benda Tanah Perdikan ini akan dijarah rayah dirampas oleh

prajurit-prajurit Pajang yang memasuki Tanah Perdikan ini.”

Ki Wiradana benar-benar menjadi heran melihat sikap dan cara Warsi menyatakan pendapatnya. Namun ia masih berusaha untuk memaklumi karena Warsi ingin menekankan pendapat kakeknya Ki Randukeling.

Agaknya Ki Wiradana tidak akan dapat lagi ingkar. Jika ia menentang arus yang sudah terlanjur melanda Tanah Perdikan itu, maka ia sendiri akan mengalami kesulitan.

Memang ada sepercik penyesalan di hati Ki Wiradana atas kesediaannya untuk berbalik dari Pajang dan kemudian berkiblat kepada Jipang. Tetapi ia sudah terlambat. Karena itu maka yang dapat dilakukan kemudian adalah mengikuti arus yang melanda Tanah Perdikannya. Ia harus menyiapkan pasukan yang akan disusun bersama dengan para perwira Jipang itu untuk menyerang Pajang bersama dengan pasukan Jipang pula.

Namun tanpa menghiraukan persoalan yang berkembang antara Jipang dan Pajang, Gandar dan kedua saudara seperguruan dari Guntur Geni itu mempunyai rencananya tersendiri. Dengan caranya mereka berusaha agar orang-orang Tanah Perdikan Sembojan tidak melupakan Nyai Wiradana yang telah hilang itu. Karena itu, maka yang mereka lakukan ternyata kadang-kadang nampak aneh. Yang penting bagi keduanya adalah, memberikan kesan tentang satu kemungkinan bahwa Nyai Wiradana akan muncul kembali di Tanah Perdikan itu. Pada satu kesempatan ketika orang itu telah berada di Tanah Perdikan Sembojan di siang hari, Gandar yang sudah dikenal oleh orang-orang Tanah Perdikan itu telah mengenakan pakaian yang lain dari yang biasa dipergunakannya. Ia tidak mengenakan ikat kepalanya di kepala, justru disangkutkannya saja di pundaknya. Sementara tanpa memakai baju dan berjalan timpang sambil membawa tongkat bersama

kedua orang perguruan Guntur Geni yang juga memakai pakaian yang lusuh, mereka menyusuri sebuah bulak yang tidak begitu panjang.

Ketika mereka bertemu dengan dua orang petani yang baru beristirahat duduk di tanggul sebuah parit maka Sambi Wulung mendekatinya sambil bertanya dengan nada memelas, “Ki Sanak apakah jalan menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan ini masih jauh?”

Kedua orang petani itu memperhatikan ketiga orang itu. Mereka pun kemudian bangkit berdiri sambil termangu-mangu. Seorang di antara mereka pun bertanya, “Apakah Ki Sanak mencari seseorang atau ingin bertemu dengan pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan ini?”

“Ya Ki Sanak,” jawab Sambi Wulung. “Kami memang mencari seseorang. Kami mempunyai sanak keluarga yang menurut pendengaran kami berada di Tanah Perdikan ini.”

“Siapa namanya,” bertanya petani Itu.

“Namanya Iswari. Menurut keterangan yang kami dengar, ia telah menjadi istri Kepala Tanah Perdikan Sembojan,” jawab Sambi Wulung.

“O,” kedua orang petani itu saling berpandangan. Seorang di antara mereka kemudian bertanya, “Kenapa baru sekarang Ki Sanak mencarinya?”

“Aku baru baru saja mendengar tentang hal itu,” jawab Sambi Wulung. “Karena itu, maka kami memerlukan untuk datang menengoknya. Kami merasa sangat berbangga hati, karena salah seorang dari keluarga kami telah menjadi seorang istri Kepala Tanah Perdikan.”

“Bukan Kepala Tanah Perdikan, tetapi pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan, karena masih belum mendapat pengukuhan,” jawab salah seorang dari petani-petani itu. “Tetapi apakah kau belum bertemu dengan Kiai Badra, kakek perempuan yang kau cari?”

“Aku adalah saudara sepupu Kiai Badra,” jawab Sambi Wulung. “Aku mendengar dari seorang cantriknya yang kebetulan bertemu ketika cantrik itu menengok keluarganya di tempat yang jauh.

“KAPAN kau bertemu dengan cantrik itu?” bertanya petani itu pula.

“Belum lama. Cantrik itu adalah anak padukuhan pula. Akulah yang membawanya ke padepokan Kiai Badra,” jawab Sambi Wulung.

“Ceriteramu aneh Ki Sanak. Seharusnya cantrik Kiai Badra itu mengetahui apa yang sudah terjadi atas Iswari, cucu Kiai Badra itu,” jawab petani itu pula.

“Apa yang sudah terjadi?” bertanya Sambi Wulung.

“Iswari, istri pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan ini sudah lama hilang. Sudah kurang lebih setahun yang lalu,” jawab petani itu.

“Hilang bagaimana?” Sambi Wulung berpura-pura keheranan.

“Hilang, ya hilang. Tiba-tiba saja Iswari itu tidak ada di Tanah Perdikan ini.

Semua orang, terutama Ki Gede Sembojan sendiri dimasa hidupnya, telah mencarinya kemana saja. Tetapi Iswari tidak dapat diketemukan,” jawab petani itu pula.

“Ah, mustahil. Apakah seseorang dapat hilang begitu saja?” Sambi Wulung mendesak. “Aku tidak percaya.”

“Kenapa kau tidak percaya?” bertanya petani yang seorang lagi. “Iswari itu hilang. Jika kau tidak percaya baiklah. Silakan pergi menemui suaminya yang sekarang sudah kawin dan mempunyai seorang anak laki-laki.”

“O,” Sambi Wulung memegangi dahinya. “Bagaimana hal ini mungkin terjadi. Cantrik itu berkata, bahwa Iswari masih berada di Tanah Perdikan ini.”

“Tidak Ki Sanak,” jawab petani yang lain. “Kau dapat juga bertanya kepada Kiai Badra. Ia dapat berceritera tentang cucunya.”

Sambi wulung mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Kenapa anak itu hilang? Apakah ia tidak disenangi di Tanah Perdikan ini, sehingga seseorang atau segolongan orang yang tidak menyenanginya telah membunuhnya dan dengan diam- diam

menyembunyikan mayatnya sehingga tidak dapat diketemukan lagi?” “Tidak. Sama sekali tidak. Orang-orang Tanah Perdikan ini tidak pernah

membencinya. Justru ia adalah seseorang yang dianggap sangat memperhatikan keadaan Tanah Perdikan ini,” jawab petani itu dengan serta merta.

“Tetapi kenapa ia tiba-tiba saja hilang?” bertanya Sambi Wulung.

“Itulah yang membingungkan kami,” jawab petani itu. “Sebenarnyalah kami mengharap Iswari itu muncul kembali. Mungkin ini merupakan satu keajaiban yang tidak mungkin terjadi. Tetapi kadang-kadang kami berharap mudah-mudahan penari yang disebut mirip dengan Nyai Wiradana itu benar-benar Nyai Wiradana.” Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Jadi, hilangnya Iswari bukan karena ia tidak dikehendaki oleh orang-orang Tanah Perdikan ini?”

“Tentu bukan,” jawab petani itu. “Kami sama sekali tidak mengira bahwa hal itu terjadi. Dan kami, rakyat Tanah Perdikan ini merasa sangat kehilangan.” “Tetapi bukankah seperti kau katakan, bahwa suaminya sudah beristri lagi, dan bahkan sudah lahir anaknya laki-laki,” bertanya Sambi Wulung.

“Ya,” jawab petani itu. “Ki Wiradana memang sudah kawin lagi dan mempunyai seorang anak laki- laki.”

“Bagaimana dengan istrinya yang sekarang?” bertanya Sambi Legi.

“Istrinya yang sekarang adalah seorang perempuan yang hanya tahu berhias sebagaimana kebiasaannya ketika ia masih menjadi janggrung di sepanjang jalan,” jawab petani itu.

“Jadi, jika kalian harus memilih, maka kalian akan memilih Iswari dari istrinya yang sekarang?” bertanya Sambi Wulung.

“Sayang bahwa kami tidak berwenang memilih, karena yang menentukan segala-galanya adalah Ki Wiradana,” jawab petani itu.

Namun petani-petani itu menjadi heran ketika Sambi Wulung kemudian berkata, “Tetapi sebagaimana aku yakin, maka yakinilah, bahwa Iswari itu masih hidup.

Cantrik itu berkata sesungguhnya bahwa Iswari masih hidup.” “Tetapi ia tidak ada di sini,” sahut petani itu.

“Mungkin. Mungkin ia tidak ada disini. Tetapi biarlah aku berusaha mencarinya. Aku akan bertemu dengan Kiai Badra,” berkata Sambi Wulung kemudian.

Para petani itu termangu-mangu. Ia melihat sesuatu yang kurang wajar pada ketiga orang itu. Sikapnya, kata-katanya dan terutama apa yang dikatakan. Tetapi keduanya tidak ingin bertanya, apa yang sebenarnya dikehendaki.

Namun dalam pada itu, dari kejauhan mereka melihat debu mengepul. Beberapa orang berkuda menyusuri jalan bulak itu untuk mengamati keadaan yang berkembang di Tanah Perdikan itu setelah Tanah Perdikan itu benar-benar mengadakan persiapan untuk melibatkan diri ke dalam pertentangan antara Jipang dan Pajang.

“Siapa mereka?” bertanya Sambi Wulung. “Para pengawal,” jawab petani-petani itu.

“O,” apakah mereka akan bertindak kasar?” bertanya Sambi Wulung. “Hanya terhadap orang-rang yang dicurigai,” jawab salah seorang petani itu, lalu katanya. “Agaknya kalian bertiga memang lebih baik duduk saja di belakang semak-semak itu. Meskipun tidak selalu, tetapi orang-orang yang asing disini seperti kalian bertiga akan mungkin sekali dicurigai.”

“Tetapi bukankah kami tidak berbuat apa-apa?” bertanya Sambi Wulung. “Cepat,” desak petani yang lain. “Debu itu menjadi semakin jelas. Mereka menjadi semakin dekat.”

Ketiga orang itu memandangi debu yang mengepul di jalan bulak. Semakin lama memang menjadi semakin dekat. Namun ketiga orang itu sama sekali tidak beringsut dari tempatnya.

Sebenarnyalah, bahwa Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak ingin bersembunyi. Mereka justru ingin berbuat sesuatu. Mereka ingin menyatakan sebagaimana pernah dilakukan, bahwa para pengawal Tanah Perdikan itu bukan orang-orang yang memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan, apalagi untuk bertemu dengan para prajurit Pajang.

Karena itu, ketika para petani itu semakin mendesaknya, maka Sambi Wulung pun berkata, “Kami tidak berbuat apa-apa. Jika mereka ingin menangkap kami, maka merekalah yang bersalah.”

“Tetapi mereka adalah para pengawal. Mereka dapat berbuat apa saja. Bahkan terhadap orang-orang Tanah Perdikan ini sendiri,” berkata petani-petani itu. Tetapi ketiga orang itu sama sekali tidak beringsut dari tempatnya, sehingga salah seorang dari kedua petani itu berkata, “Terserahlah kepada kalian. Aku sudah memberitahukan apa yang sebaiknya kalian lakukan.”

Namun sambil tersenyum Sambi Wulung berkata, “Terima kasih. Jika terjadi sesuatu bukan salah kalian.” Petani-petani itu menjadi heran. Namun tiba-tiba mereka menjadi curiga. Ketika orang itu sama sekali tidak menjadi cemas melihat sekelompok orang-orang berkuda yang lewat di jalan bulak itu sebanyak lima

orang.

“Siapakah sebenarnya mereka, dan apakah hubungannya mereka sebenarnya dengan Nyai Wiradana yang hilang itu?” bertanya para petani itu di dalam hati.

Sementara itu, orang-orang berkuda itu pun menjadi semakin dekat. Namun tiba-tiba saja salah seorang dari petani itu berdesis dengan nada yang sangat cemas,

“Yang seorang itu bukan pengawal Tanah Perdikan.” “Siapa?” bertanya Sambi Wulung.

“Salah seorang dari para pelatih yang membentuk pasukan khusus itu menjadi pasukan yang luar biasa,” jawab salah seorang petani itu.

“Orang Jipang?” bertanya Sambi Wulung.

Petani itu termangu-mangu. Para pengawal sendiri nampaknya sudah tidak menganggap bahwa kehadiran orang-orang Jipang itu masih menjadi rahasia, setelah semuanya menjadi jelas. Bahkan setelah dipersiapkan pasukan untuk mendekati Pajang.

Namun percakapan itu terhenti ketika lima orang berkuda itu menjadi semakin dekat. Yang paling depan dari kelima orang berkuda itu memang salah seorang perwira Jipang yang berada di Tanah Perdikan Sembojan.

Seperti yang telah diduga oleh para petani, maka ketiga orang itu telah menarik perhatian kelima orang berkuda itu. Karena itu maka kelima orang berkuda itu telah menarik kekang kuda mereka, sehingga kelimanya telah berhenti beberapa langkah dari ketiga orang yang mereka anggap orang asing itu.

Kedua orang petani itupun bergeser beberapa langkah dengan jantung yang berdegupan. Ketiga orang itu tentu akan ditangkap dan dibawa menghadap Ki Wiradana. Jika demikian agaknya masih untung bagi ketiganya. Tetapi jika

persoalan mereka ditangani langsung oleh para pengawal untuk memeras keterangan mereka karena dianggap mencurigakan, maka nasib mereka akan menjadi lebih buruk lagi.

“He, Siapakah orang-orang ini?” bertanya salah seorang pengawal yang kemudian bergeser maju di samping perwira dari Jipang yang berada di antara mereka, kepada para petani itu.

Salah seorang dari kedua petani itu menjawab, “Aku tidak mengenal mereka. Bertanyalah sendiri.” . Pengawal itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun memandang ketiga orang itu berganti-ganti. Pakaian yang lusuh. Sikap yang agak memelas dan wajah-wajah yang kotor.

“Siapakah kalian?” bertanya pengawal itu.

Seperti semula, Sambi Wulung lah yang menjawab, “Kami adalah orang-orang yang datang dari jauh.”

“Untuk apa?” bertanya pengawal itu.

“Kami ingin menengok kemanakan kami. Iswari,” jawab Sambi Wulung. Pengawal itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia bertanya, “Istri Ki Wiradana yang tua maksudmu?”

“Ya,” jawab Sambi Wulung, “Menurut keterangan dari seorang cantrik, ia adalah istri Kepala Tanah Perdikan ini.”

“Iswari sudah tidak ada di Tanah Perdikan ini. Sudah lama sekali,” jawab pengawal itu.

“Aku tidak percaya,” jawab sambi Wulung. “Agaknya kalian ingin menghina kami.

Kami menganggap bahwa karena ujud kami dan pakaian kami, maka kalian menganggap bahwa kami tidak pantas disebut sanak kadangnya Iswari. Tetapi ketahuilah, bahwa

aku adalah saudara sepupu Kiai Badra.”

Para petani itu terkejut mendengar jawaban orang itu. Bahkan para pengawal pun terkejut.

Namun dalam pada itu, ternyata Sambi Wulung pun tidak lagi dapat mengendalikan perasaannya. Ia ingin cepat-cepat terjadi sesuatu karena justru ada seorang

perwira Jipang yang ada di antara para pengawal itu. Dengan demikian, maka ia akan berhasil menjajagi kemampuan para perwira itu. Bahkan sebagaimana ia

inginkan, bahwa Sambi Wulung ingin mengatakan kepada para pengawal, bahwa para perwira Jipang itu pun bukan orang-orang yang memiliki ilmu linuwih dan tidak terkalahkan dalam dunia kanuragan. Meskipun mereka memiliki keahlian dalam perang gelar.

Pengawal itu mengerutkan keningnya. Namun ketajaman perasaannya cepat menghubungkan peristiwa yang dihadapi itu dengan peristiwa yang terjadi atas kedua orang pengawal yang lain, yang berjumpa dengan sekelompok orang yang kemudian telah merampas kuda-kuda mereka, sebagaimana mereka katakan dalam pengakuan mereka.

Karena itu, maka katanya langsung dengan nada keras, “Ternyata kau sengaja memancing persoalan. He, apakah kau merupakan sebagian dari sekelompok orang yang pernah merampas kuda para pengawal?”

Sambi Wulung pun tidak lagi ingin berputar-putar. dengan tegas ia menjawab, “Ya”, namun kemudian ia pun bertanya, “He, kenapa merupakan sebagian dari sekelompok orang? Kamilah yang melakukannya. Tidak ada orang lain.” “Persetan,” geram pengawal itu, sementara para pengawal yang lain pun telah bersiap. Seorang di antara mereka menggeram, “Satu kebetulan. Kami akan

menangkap kalian dan memeras keterangan kalian. Siapakah kawan-kawan kalian.” Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Namun ia sadar agaknya pengawal yang kehilangan kudanya itu tidak mengatakan sebagaimana adanya.

Tetapi ia tidak peduli. Yang dihadapinya adalah para pengawal dan kebetulan sekali seorang di antara para perwira Jipang yang ada di Tanah Perdikan itu.

Karena itu maka katanya, “He, kenapa kalian akan menangkap kami? Kenapa tidak kau tangkap saja penari janggrung yang sekarang berada di rumah Ki Wiradana? He apakah kalian sekarang sudah kehilangan nalar sehingga kalian tidak dapat

melihat apa yang sebenarnya berkembang di Tanah Perdikan ini? Setelah Ki Wiradana kawin dengan penari jalanan itu serta menyingkirkan istrinya, ternyata

kemudian telah melakukan satu kesalahan yang paling memuakkan. Ki Wiradana telah berpihak kepada Jipang dengan mengorbankan kehidupan rakyatnya yang harus diperas untuk membiayai pasukan yang dibentuk untuk kepentingan Jipang.

“Tutup mulutmu,” perwira Jipang itu berusaha untuk tidak mencampuri persoalan itu tiba-tiba saja membentak. Suaranya menggelegar seperti suara guruh oleh kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya.

Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Suaramu membuat aku terkejut. He, apakah kau salah seorang dari para perwira Jipang itu?”

“Persetan,” geram perwira itu. Lalu katanya, “Mulutmu memang harus disumbat dengan tumit.”

“Baiklah,” berkata Sambi Wulung kemudian, “Aku akan berterus terang. Aku ingin membuktikan bahwa apa yang kalian lakukan sama sekali tidak memadai. Apakah artinya kepergian para pengawal Tanah Perdikan ini ke Pajang? Tidak lebih dari satu perbuatan bunuh diri yang bodoh.

Wajah perwira Jipang itu menjadi merah membara. Sementara itu Sambi Wulung masih berkata lebih lanjut, “Karena itu sebelum terlanjur, tinjau kembali rencana

pengiriman pasukan ke Pajang itu. Apalagi anak-anak muda di Sembojan ini sebenarnya mempunyai tugas yang sangat berat bagi Tanah Perdikannya sendiri. Kenapa kalian tidak berbuat sesuatu bagi Tanah Perdikan kalian, justru melibatkan diri ke dalam pertentangan antara Jipang dan Pajang? Sementara itu rakyat Tanah Perdikan ini sendiri diperas habis-habisan untuk membiayai pasukan pengawal khusus yang tidak lebih daripada alat untuk menakut-nakuti rakyat itu

sendiri dan yang kemudian sebagai batang-batang kayu bakar yang diselusupkan ke dalam api, jika kalian benar-benar pergi ke Pajang.”

Perwira Jipang itu ternyata tidak dapat menahan diri lagi. Dengan serta merta ia pun telah meloncat turun dari kudanya. Para pengawal Tanah Perdikan itu pun telah melakukan hal yang sama. Mereka pun telah berloncatan turun dan mengikat kuda-kuda mereka pada batang-batang perdu. Para petani yang melihat peristiwa Itu menjadi gemetar. Mereka pun bergeser semakin lama semakin jauh. Namun rasa-rasanya ada yang mengikat mereka untuk tetap berada di tempat itu dan menyaksikan apa yang terjadi.

Kelima orang itu pun dengan wajah yang marah mendekati ketiga orang yang telah dengan terbuka menantang mereka. Karena itu maka tidak ada langkah lain yang mereka ambil kecuali menangkap ketiga orang itu.

Tetapi ketiga orang itu pun sudah bersiap. Namun Sambi Wulung masih berkata kepada para pengawal yang merupakan kekuatan yang sebenarnya di Tanah Perdikan ini. “Kenapa selama ini kalian telah kehilangan kiblat sehingga kalian tidak

lebih dari seekor kerbau yang dicocok hidungnya dan kemudian diterapkan di depan wuluku dan dipekerjakan di sawah tanpa mempersoalkan martabatnya? Bukankah kalian masih lengkap dengan nalar dan perasaan kalian sebagai anak-anak muda di Tanah Perdikan ini?”

Suara Sambi Wulung terputus. Perwira Jipang yang tidak dapat menahan kemarahannya itu tidak berkata sepatahpun lagi. Tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang Sambi Wulung dengan tumitnya ke arah mulut sebagaimana dikatakannya. “Uhu,” Sambi Wulung dengan tangkasnya menghindari, sehingga tumit perwira Jipang itu tidak benar-benar menyumbat mulutnya.

Tidak ada yang sempat berbicara lagi. Sejenak kemudian orang-orang itu sudah terlibat di dalam perkelahian. Sambi Wulung harus menghadapi perwira Jipang yang marah itu, sementara Gandar dan Jati Wulung harus bertempur menghadapi

masing-masing dua orang pengawal.

Tidak ada masalah bagi Gandar dan Jati Wulung. Namun Sambi Wulunglah yang harus berhati-hati. yang dihadapinya adalah seorang perwira dari Jipang.

Yang kemudian bertempur dengan dahsyatnya adalah memang Sambi Wulung. Ternyata perwira Jipang yang marah itu telah mengerahkan segenap kemampuannya.

Beberapa kali Sambi Wulung meloncat surut. Bukan karena ia benar-benar terdesak, tetapi semata-mata untuk menempatkan diri pada keadaan yang mantap untuk melawan seorang perwira yang ternyata memang memiliki kemampuan yang tinggi.

Perwira Jipang itu berusaha untuk dengan cepat mengakhiri perkelahian. Ia ingin menangkap orang itu dan menyerahkan ke hadapan para pemimpin Tanah Perdikan. Orang itu tentu bagian dari kelompok-kelompok yang selama ini sengaja membuat kerusuhan di Tanah Perdikan ini. Jika kemudian para pemimpin Tanah Perdikan ini dapat membongkar kelompok ini, maka untuk seterusnya Tanah Perdikan Sembojan akan menjadi tenang. Keberangkatan pasukan ke Pajang tidak lagi tersendat-sendat karena adanya kekacauan yang selalu mengganggu Tanah Perdikan ini. Karena menurut perhitungan perwira Jipang itu, orang yang menjadi lawannya itu tentu mempunyai hubungan dengan para perampok yang pernah merampok saudagar emas dan

berlian sebagaimana pernah diceriterakannya kepadanya. Juga orang-orang yang pernah merampok Ki Wiradana sendiri sekembalinya dari Pajang. Bahkan tentu orang-orang inilah yang telah menghimpun menjadi serombongan orang ngamen dengan

seorang penari yang mirip dengan Nyai Wiradana yang hilang itu. Atau bahkan jika orang itu memang Nyai Wiradana, maka segalanya akan segera terbongkar.

Namun agaknya perwira dari Jipang itu telah membentur kekuatan yang tidak dibayangkan sebelumnya. Ternyata bahwa Sambi Wulung telah mengerahkan kemampuannya pula untuk mengimbangi perwira Jipang yang marah itu. Sambi Wulung

mampu berloncatan secepat perwira Jipang itu meloncat. Dalam benturan kekuatan yang terjadi, maka kekuatan Sambi Wulung pun ternyata tidak berada di tataran yang lebih rendah dari perwira Jipang itu.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin dahsyat. bahkan para petani yang menyaksikan pertempuran itu seakan-akan justru mematung. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi.

Sementara itu, Gandar yang timpang itu harus bertempur melawan dua orang pengawal. Ia sama sekali tidak menemui kesulitan. Bahkan ia masih tetap dalam kedaan timpang yang dibuat-buatnya itu untuk menghilangkan ciri-ciri yang akan dapat dikenali oleh orang yang pernah mengenalnya sebelumnya.

“Jika orang-orang itu menyebut lawannya timpang, maka tidak ada seorang pun yang akan menduga bahwa lawannya itu adalah Gandar yang pernah datang ke rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan ini,” berkata Gandar di dalam hatinya.

Dalam pada itu, dua orang pengawal yang bertempur melawan Gandar itu menjadi heran. Orang yang timpang dan berpakaian lusuh itu ternyata mampu melawan mereka berpasangan. Bahkan nampaknya orang timpang itu sama sekali tidak perlu mengerahkan tenaganya untuk mengimbangi kedua lawannya yang telah sampai kepada puncak kemampuannya.

“Iblis timpang ini sangat menjengkelkan,” berkata salah seorang pengawal itu. Kawannya tidak menyahut. Namun tiba-tiba saja ia telah mencabut pedang pendeknya.

“Uah,” desan Gandar. “Kalian bersungguh-sungguh?”

“Jika aku gagal menangkapmu, maka aku akan membunuhmu,” geram salah seorang dari kedua orang pengawal itu.

“Kalian memaksa aku untuk melawan kalian dengan senjata pula,” berkata Gandar. “Lakukan,” geram para pengawal itu.

Tetapi Gandar tidak menjawab lagi, “Tetapi aku tidak membawa senjata apapun.” Namun tiba-tiba Gandar berdesis, “He, aku tadi membawa tongkat kayu justru karena aku timpang.”

Tiba-tiba pula Gandar melenting dan dengan tangkasnya menggapai sebuah tongkat kayu yang memang dipakainya untuk menopang tubuhnya karena ia timpang, yang tersandar pada sebatang pohon jarak.

Tetapi tongkat kayu itu bukanlah senjata, dan sama sekali tidak memadai untuk mengimbangi dua buah pedang pendek. Sehingga karena itu, maka salah seorang pengawal itu menggeram, “Kau sangka kami berdua tidak lebih dari sekelompok itik yang dapat digembalakan dengan tongkat kayu semacam itu.”

Gandar memperhatikan tongkatnya. Tidak lebih sepotong kayu yang diambilnya pada sebatang ranting dipinggir jalan. Hanya kecil, tetapi lebih panjang dari tombak pendek itu.

Karena itu, maka katanya, “Tongkatku memang terlalu lemah untuk melawan pedang. Tetapi tongkatku lebih panjang dari pedang kalian sehingga dengan demikian, aku akan dapat menggapai tubuh kalian lebih dahulu sebelum pedang pendek kalian menyentuh tubuhku.”

“Dan kau sangka tubuhku akan terkoyak oleh ujung tongkat kayumu yang tidak lebih kuat dari sebatang lidi?” geram salah seorang dari kedua pengawal itu.

“Aku menyadari. Tetapi dengan tongkat ini aku akan merasa lebih baik daripada tidak membawa tongkat sama sekali.”

Kedua pengawal itu benar-benar merasa terhina. Karena itu, maka keduanya tidak

mau bertanya lagi. Keduanya segera mengacukan pedang pendeknya mengarah ke dada Gandar. Bahkan seorang di antara mereka pun dengan serta merta telah meloncat menyerang dengan garangnya.

Tetapi yang terjadi benar-benar tidak terduga. Demikian orang itu meloncat menyerang dengan pedang terjulur, maka tiba-tiba saja ia berteriak mengumpat. Dengan serta merta ia telah melenting surut sambil mengibaskan pedang pendeknya.

Kawannya termangu-mangu. Namun kemudian terdengar orang timpang itu tertawa, “He, aku masih mempunyai belas kasihan. Aku tidak mengenaimu tepat pada biji matamu.”

Pengawal itu mengusap dahinya yang berdarah. Hanya beberapa lapis di atas matanya.

Pengawal yang lain termangu-mangu. Tongkat yang kecil dan nampaknya tidak berarti itu ternyata mampu melukai kawannya didahinya.

Namun luka itu justru membuat pengawal itu bertambah marah. Sambil mengusap lukanya, maka pengawal itu telah melangkah mendekat lagi sambil menjulurkan pedangnya.

“Kau memanfaatkan kelengahanku,” berkata pengawal itu.

“Ya. Ternyata kelengahanmu adalah senjataku yang paling baik, justru karena aku tidak mempunyai senjata yang memadai. Untuk seterusnya aku akan mempergunakan senjata yang sama,” jawab orang timpang itu.

“Persetan,” pengawal itu menggeram dengan marah sekali. Namun ia menyadari, bahwa ia memang harus berhati-hati menghadapi orang yang ternyata memiliki ilmu yang tinggi itu meskipun ia timpang.

Dengan demikian kedua orang pengawal yang bertempur melawan Gandar itu harus memperhatikan tongkatnya yang semula dianggapnya tidak berarti sama sekali.

Namun sejenak kemudian, maka kedua pengawal itu harus memeras tenaga mereka. Gandar yang timpang itu bergerak semakin lama semakin cepat. Tongkat kayunya berputar-putar dan bahkan berdesing-desing ditelinganya. Sekali-sekali terasa tongkat kayu itu menyentuh tubuh para pengawal yang bertempur berpasangan itu. Bahkan kemudian tongkat kecil itu telah menimbulkan perasaan sakit pada tubuh kedua orang pengawal itu.

“Tentu tidak dengan kemampuan sewajarnya,” desis kedua pengawal itu di dalam hatinya, setelah beberapa kali terasa tongkat kecil itu membentur pedangnya dan sama sekali tidak patah. Bahkan rasa-rasanya sentuhan tongkat ditubuh mereka bagaikan sentuhan ujung tongkat baja yang kerasnya melampaui besi. “Orang ini mampu menyalurkan kekuatan tenaga pedangnya pada tongkat kayunya,” gumam pengawal itu di dalam hatinya.

Sebenarnyalah kedua pengawal yang bersenjata pedang itu tidak mampu mengatasi putaran tongkat kayu yang nampaknya tidak lebih dari tongkat untuk menggembalakan itik di pinggir parit.

Beberapa kali tongkat itu telah mengenai mereka dan bahkan menimbulkan luka-luka kecil, tetapi dari luka-luka kecil itu telah mengalir darah. Bahkan darah yang mengalir meskipun tidak banyak tetapi dari beberapa tempat itu telah menimbulkan kesan, seolah-olah para pengawal itu telah menjadi luka arang krajang.

Pakaian para pengawal yang bernoda darah hampir disegala tempat menumbuhkan kesan yang mengerikan, meskipun daya tahan para pengawal itu dapat mengatasi rasa sakit dari luka-luka kecil di beberapa bagian tubuhnya.

Namun yang sulit untuk mengatasi adalah justru sakit hati para pengawal itu. Ujung tongkat kayu itu masih saja menyengat-nyengat dan menimbulkan luka-luka. Bahkan bukan saja di badan kedua pengawal itu, namun juga dikening dan dahi. “Sebentar lagi, ujung tongkat kayu itu akan mengenai biji matamu,” berkata

Gandar sambil tertawa.

“Persetan,” geram salah seorang dari pengawal itu. Namun mulutnya segera terkatub karena ujung tongkat itu terlepas mengenai mulutnya dan dua buah giginya telah terlepas, sehingga mulutnya telah berdarah.

Melihat darah meleleh dari sela-sela bibirnya, maka pengawal yang lain dengan cemas bertanya, “Kau memuntahkan darah? Apakah dadamu terluka?”

“Sama sekali tidak,” pengawal itu hampir berteriak, “Gigiku patah.” Kawannya mengumpat, sedangkan Gandar tertawa berkepanjangan.

Sementara itu, Jati Wulung telah bertempur melawan dua orang pengawal bersenjata. Namun ternyata Jati Wulung telah membawa senjata yang khusus. Senjata yang tidak begitu banyak dipergunakan. Senjata janget yang dibelit rangkap tiga, dengan sebuah bandul timah diujungnya.

Ketika kedua lawannya menarik pedang pendeknya, sebagai ciri senjata para pengawal Tanah Perdikan yang dipergunakan dilingkungan Tanah Perdikannya, maka Jati Wulung telah mengurai janget rangkap tiganya yang dibelitkan di lambungnya, yang diberi bandul timah yang tidak begitu besar tidak lebih besar dari buah

kemiri.

Namun ketika bandul itu telah berputar diujung janget, maka suaranya berdesing bagaikan seribu gangsing yang berputar bersama-sama.

Karena itu, maka kedua lawannya menjadi termangu-mangu. Namun mereka tidak dapat

berbuat lain kecuali bertempur melawan bandul timah yang bagaikan selalu memburu mereka.

Meskipun bandul timah itu hanya sekecil buah kemiri, namun sentuhannya telah membuat tulang bagaikan retak. Kulit dan daging menjadi biru kehitam-hitaman. Bahkan ketika bandul itu menyentuh kepala, maka kepala itu pun telah tumbuh bengkak sebesar bandul itu pula. Bahkan seandainya tidak dialasi dengan ikat kepala, maka tulang kepalanyalah yang akan retak.

Dengan demikian, maka kedua orang pengawal yang bertempur melawan Jati Wulung itu pun segera mengalami kesulitan. Bandul itu bagaikan beterbangan mengelilingi kepala kedua orang pengawal itu, bahkan seluruh tubuhnya. Sekali-kali menyengat dan berdesing lagi semakin keras.

Sementara itu, dilingkaran pertempuran yang lain, Sambi Wulung benar-benar telah mengerahkan segenap kemampuannya. Perwira Jipang itu pun berkemampuan tinggi. Ia memiliki tenaga cadangan yang sangat besar, sehingga kekuatannya pun sering mengejutkan Sambi Wulung.

Tetapi murid perguruan Guntur Geni itu ternyata memiliki bekal yang lebih

rangkap. Pada saat-saat yang paling menentukan, Sambi Wulung telah menghentakkan tenaga cadangannya. Tidak saja melandasi kekuatannya yang menjadi bagaikan berlipat, tetapi tenaga cadangannya itu mampu mendorong pula kecepatannya bergerak. Sehingga dengan demikian, maka Sambi Wulung itu pun menjadi mampu bergerak semakin cepat. Sementara kekuatannya pun mampu mengimbangi kekuatan perwira Jipang yang telah mengerahkan tenaga cadangannya pula.

Benturan-benturan kekuatan pun kemudian terjadi. Tetapi justru pada saat murid perguruan Guntur Geni itu mengeterapkan puncak kemampuannya dengan tenaga cadangannya, maka mulai nampak bahwa keseimbangan pun mulai berubah.

Gandar yang sambil bertempur memperhatikan Sambi Wulung itu menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah cemas, bahwa hanya melawan seorang di antara dua puluh perwira Jipang yang berada di Tanah Perdikan Sembojan, Sambi Wulung akan mengalami kesulitan.

“Tetapi kemampuan puncak Sambi Wulung ada pada pedangnya yang tidak dibawanya dalam kesempatan seperti ini,” berkata Gandar yang tahu bagaimana dahsyatnya kekuatan pedang yang bergabung dengan ilmu yang ada di dalam diri Sambi Wulung itu. Pedang yang pernah membentur kemampuan ilmu yang sulit dicari bandingnya yang ada di dalam diri Kiai Badra.

Dengan demikian, maka perlahan-lahan Sambi Wulung dapat mendesak lawannya. Kecepatannya bergerak membuat lawannya menjadi bingung. Justru pada saat kemampuan lawannya yang dikerahkan dengan sepenuh tenaganya telah mulai surut. Perlahan-lahan tetapi pasti Sambi Wulung telah mendesak lawannya. Perwira yang terpilih dan dikirim oleh Jipang untuk menyusun pasukan yang kuat di Tanah Perdikan itu tidak mampu mengimbangi kecepatan gerak dan ketahanan kekuatan orang yang dianggapnya orang kebanyakan saja.

Karena itulah, maka beberapa kali perwira dari Jipang itu harus meloncat surut. Loncatan-loncatan panjang Sambi Wulung kadang-kadang memang mengejutkannya, sehingga justru pada saat ia meloncat surut, Sambi Wulung memotongnya sambil mengayunkan tangannya mendatar.

Tetapi perwira dari Jipang itu pun masih sempat pula menangkisnya. Dengan menekuk tangannya pada sikunya untuk melindungi wajahnya.

Tangan Sambi Wulung yang terayun mendatar ke arah wajah perwira Jipang itu telah membentur tangan lawannya. Namun ternyata bahwa perwira Jipang itu harus meloncat surut sambil menyeringai menahan sakit.

Tetapi Sambi Wulung tidak melepaskannya. Ia pun meloncat memburunya sambil menjulurkan kakinya ke arah lambung.

Perwira Jipang itu masih harus meloncat surut lagi. Namun agaknya ia tidak lagi mempunyai kesempatan. Gerak Sambi Wulung rasa-rasanya menjadi semakin cepat justru pada saat geraknya sendiri mulai menjadi lamban.

Karena itu, maka tidak ada jalan lain bagi perwira Jipang itu. Meskipun agak menyinggung harga diri namun perwira dari Jipang itu telah menarik pedang pendek sebagaimana pedang yang dibawa oleh para pengawal.

Sambi Wulung tertegun sejenak. Ia mengurungkan niatnya untuk meloncat memburu. Seperti Gandar, maka ia tidak membawa senjata untuk menghadapi pedang pendek perwira dari Jipang itu.

Karena itu, maka ia harus menghadapi pedang pendek itu hanya dengan kemampuannya bergerak cepat.

Tetapi adalah tidak diduganya, bahwa tiba-tiba Jati Wulung bertanya, “He, kakang. Apakah kau memerlukan pedang pendek seperti yang dipakai oleh perwira Jipang itu?”

Sambi Wulung termangu-mangu. Namun sebelum Sambi Wulung menjawab, Jati Wulung

telah bergerak lebih dahulu. Dengan cepat ia mengayunkan jangetnya melampaui kesadaran orang-orang Tanah Perdikan Sembojan yang bertempur melawannya. Karena itulah, maka jangetnya telah melilit pergelangan tangan salah seorang di antara

mereka. Satu hentakan telah membuat pengawal itu terkejut sekali. Tangannya yang terjerat itu terasa sakit sekali, sementara pedangnya bagaikan dihentakkan dan terlepas dari tangannya.

Dengan cepat ia berusaha meloncat meraih pedangnya. Tetapi adalah diluar kemampuannya untuk menghindar dan menangkis ketika kaki Jati Wulung telah menghantamnya dan melemparkannya beberapa langkah.

Pengawal yang lain pun berusaha untuk dengan cepat memburunya. Namun Jati Wulung

bergerak lebih cepat. Jangetnya bergeletar dan tiba-tiba saja telah membelit

kaki pengawal itu. Satu hentakan telah membuat pengawal itu terpelanting jatuh. Demikian kerasnya dan diluar dugaan, maka ternyata pedang pengawal itu telah menggores tubuhnya sendiri.

Luka itu tidak begitu dalam, tetapi darah pun telah mengalir pula dari luka itu. Pada saat yang demikian, perwira Jipang itulah yang dengan tangkasnya telah menyerang Sambi Wulung.

Tetapi Sambi Wulung tidak lengah. Ia pun mampu menghindar secepat datangnya serangan. Pedang yang terjulur sama sekali tidak menyentuh tubuhnya.

Namun perwira dari Jipang itu tidak ingin memberi kesempatan kepada lawannya. Demikian serangannya gagal, maka dengan serta merta ia pun memutar pedangnya menyamping menyambar dada Sambi Wulung.

Tetapi Sambi Wulung justru mempergunakan kesempatan itu untuk melenting mengambil jarak. Ia tidak ingin mendesak tanpa dapat mengambil ancang-ancang untuk memberikan perlawanan atas lawannya yang bersenjata pedang.

Namun sementara itu terdengar suara Jati Wulung, “Jangan terlalu memberikan hati kepadanya. Waktu kita tidak terlalu banyak. Kita tidak ingin terlalu lama berada disini.”

Sambi Wulung berpaling sejenak. Pada kesempatan itulah, Jati Wulung telah melemparkan pedang yang berhasil dirampasnya dari lawannya. Dengan tangkas Sambi Wulung menangkap pedang itu. Tepat pada saat serangan datang, sehingga ia masih sempat melenting menghindar.

Namun kemudian, ketika keduanya telah bersiap untuk bertempur kembali, keduanya telah sama-sama menggenggam pedang ditangan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar