Suramnya Bayang-Bayang Jilid 12

Jilid 12

melampaui kawan-kawan mereka. Mereka pun berjumlah jauh lebih banyak dari para pengamen itu, sementara mereka masih muda dan tangkas, sedangkan para penabuh gamelan itu sudah terlalu tua untuk berkelahi. Namun ketika perkelahian itu mulai berlangsung cepat, para pengawal itu terkejut. Ternyata pengamen-pengamen tua itu tidak segera dapat mereka

tundukkan. Pengamen-pengamen tua itu telah memberikan perlawanan di luar dugaan.

Pemimpin para pengawal yang melihat perkelahian itu justru bagaikan mematung. Ia hampir tidak percaya kepada penglihatannya, bahwa orang-orang tua itu

benar-benar memiliki ketangkasan berkelahi melampaui para pengawal itu sendiri. Salah seorang di antara para pengamen yang harus berkelahi melawan tiga orang anak muda, dengan tangkas menghindari setiap serangan. Ketiga orang kawannya itu sama sekali tidak mampu menyentuh tubuhnya, bahkan pakaiannya.

“Gila,” geram pemimpin pengawal itu, “Apakah mereka bukan manusia kebanyakan, atau barangkali jin dan hantu?”

Tiba-tiba saja pemimpin pengawal itu ingin melihat, apakah benar penari yang berada di dalam kegelapan itu memang mirip dengan Nyai Wiradana.

Karena itu, ketika perkelahian itu menjadi semakin meningkat, pemimpin pengawal itu bergeser mendekati obor yang terpancang pada alat yang dipergunakan untuk memikul gamelan. Dengan tiba-tiba pemimpin pengawal itu telah mencabut obor itu.

Dengan satu loncatan panjang, pengawal itu berusaha mendekati penari itu. Bahkan kemudian obor ditangannya telah didekatkannya ke arah wajah penari yang berdiri termangu-mangu, disisi pengendangnya yang tua, tetapi masih saja bersikap keras. Tidak ada orang yang mencegah. Bahkan orang tua yang berdiri tegak disisi penari itu. Apalagi mereka yang sedang berkelahi. Bahkan penari itu sendiri seakan-akan justru berpaling menghadapkan wajahnya pada obor yang sedang dibawa.

Obor itu memang tidak terlalu besar. Nyalanya pun tidak sedang dibesarkan sebagaimana jika rombongan itu sedang mengadakan pertunjukan. Namun dengan mendekatkan obor itu, pemimpin pengawal itu telah melihat wajah penari yang disebut mirip dengan Nyai Wiradana itu.

Pemimpin pengawal itu benar-benar terkejut. Dalam cahaya obor di tangannya ia melihat, bahwa perempuan itu memang mirip sekali dengan Nyai Wiradana. Bahkan pemimpin pengawal itu seakan-akan telah melihat Nyai Wiradana berdiri dihadapannya dalam sikap yang beku.

Pemimpin pengawal itu tiba-tiba surut beberapa langkah. Hampir di luar sadarnya, pemimpin pengawal itu mengambilkan obor ditangannya pada tempatnya. Ketika kemudian berpaling dan memandang perempuan cantik itu, tiba-tiba saja kulitnya meremang. Perempuan yang berdiri ditempat yang remang-remang, yang tidak terlalu banyak terjangkau oleh cahaya obor, wajahnya tidak lagi nampak jelas seperti wajah Nyai Wiradana. Tetapi dimata pemimpin pengawal itu,

rasa-rasanya ia berdiri dihadapan seorang hantu Nyai Wiradana yang bangkit dari kuburnya, dikawal oleh jin dan gendruwo.

Namun pengawal itu tiba-tiba bagaikan terbangun dari sebuah mimpi yang menakutkan, ketika punggungnya digamit seseorang. Ketika ia berpaling,

dilihatnya salah seorang pengamen meloncat menjauhinya karena kawan-kawannya telah menyerang orang itu. Tetapi orang itu sempat berkata, “Bersiaplah. Kenapa kau berdiri kebingungan.”

Pemimpin pengawal itu masih sempat termangu-mangu sejenak. Orang itu hanya menggamitnya. Jika ia mau, maka ia dapat memukul tengkuknya dan sekaligus membuatnya pingsan.

Namun dalam pada itu, maka pemimpin pengawal itu menggeram, “Aku tidak peduli. Aku tidak boleh diombang-ambingkan oleh keadaan yang tidak begitu jelas. Aku harus dapat menangkap dan membawa penari itu menghadap Ki Wiradana.

Dengan demikian, maka pemimpin pengawal itu mempunyai rencana yang dianggapnya akan dapat memotong tugasnya. Ia ingin langsung meloncat dan menangkap penari

itu dan mengancamnya. Jika para pengiringnya tidak mau menyerah, maka perempuan itu akan dijadikan korban.

Pemimpin pengawal itu tidak mau menunggu lebih lama lagi. Dengan tiba-tiba saja ia telah meloncat menyergap penari yang memang mirip sekali Nyai Wiradana itu. Tetapi yang terjadi sangat mengejutkannya. Tubuhnya terasa telah terdorong dengan kekuatan yang luar biasa sehingga ia pun telah terlempar jatuh.

Dengan tangkasnya pemimpin pengawal itu berguling untuk mengurangi kekerasan benturan tubuhnya dengan batu-batu padas. Kemudian melenting berdiri.

Sejenak ia termangu-mangu. Ia melihat penari dan orang tua itu masih berdiri saja seperti semula.

“Apakah aku yang sudah gila,” katanya di dalam hati.

Ketika pemimpin pengawal itu mengedarkan pandangannya ke seluruh arena, maka ia pun melihat bahwa orang-orang yang mengiringi penari itu sebagai penabuh

benar-benar orang yang memiliki kemampuan berkelahi. Pengawal itu sadar, bahwa biasanya dalam rombongan keliling memang terdapat orang yang memiliki ilmu yang tinggi untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas seluruh rombongan atau atas penarinya. Tetapi dalam rombongan ini, bukan saja satu dua orang yang memiliki ketangkasan, namun semuanya. Semuanya telah berkelahi dengan tangkasnya.

Pemimpin pengawal itu agaknya masih tetap pada rencananya. Ia tidak tahu, kenapa ia terdorong oleh kekuatan yang tidak dapat dilawannya. Namun ia masih tetap ingin langsung menangkap penari itu dan memaksa para pengiringnya untuk menyerah.

Karena itu, maka ia pun bergeser pula mendekati penari yang masih tetap berdiri ditempatnya. Sejenak ia memperhatikan pertempuran yang berlangsung itu. Tidak seorang pun yang memperhatikannya.

"Pengendang tua itu pun agaknya memiliki ilmu yang tinggi," berkata pengawal itu di dalam hatinya.

Namun menurut pengamatannya, baik penari yang cantik maupun orang tua yang berdiri di sisinya, sama sekali tidak bersiap-siap menghadapi kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas mereka. Karena itu, maka pemimpin pengawal itu melangkah lebih dekat lagi sambil berkata, "Seharusnya kau perintahkan kawan-kawannya menyerah."

"Kenapa?" bertanya orang tua itu, "Mereka masih belum kalah. Kau dapat melihat apa yang telah terjadi."

"Tetapi aku berdiri bebas. Aku dapat menangkap penarimu dan memaksa kawan-kawanmu untuk menyerah," jawab pemimpin pengawal itu.

Tetapi orang tua itu justru tertawa. Katanya, "Kau tidak akan dapat menangkapnya. Lakukanlah jika kau mampu."

Pemimpin pengawal itu menjadi semakin heran. Tetapi sekali lagi ia menggeretakkan giginya. Ia tidak boleh terseret arus perasaannya yang dapat membuatnya seperti gila.

"Baiklah," berkata pemimpin pengawal itu dengan geram. "Tetapi jika dengan demikian aku telah menyakitinya, itu bukan salahku. Aku hanya ingin menangkapnya dan membawanya kepada Ki Wira-dana."

Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, "Silakan. Lakukanlah." Pemimpin pengawal itu mengumpat di dalam hati. Laki-laki tua yang berdiri di dekat perempuan cantik itu justru telah bergeser menjauh.

"Apakah aku memang sudah gila sehingga aku tidak mengerti apa yang sebenarnya aku hadapi?" pertanyaan itu telah membelit dihati pemimpin pe-ngawal itu. Namun seperti yang telah dilakukannya, ia berusaha untuk menghentakkan kegelisahan itu. Karena itu, maka dengan hati-hati ia melangkah mendekati perempuan cantik itu sambil berkata, "Kau jangan berbuat sesuatu yang dapat menyakiti dirimu."

Perempuan cantik itu tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.

Pemimpin pengawal itu memang menjadi bingung. Keringatnya mengalir diseluruh tubuhnya. Namun ia pun kemudian meloncat menggapai tangan penari cantik itu. Tetapi ia tidak berhasil menyentuhnya. Penari itu bergeser dengan cepat.

Meskipun penari itu mengenakan kain panjang yang rapat, tetapi ternyata bahwa ia mampu bergerak dengan agak leluasa sebagaimana jika ia menari.

"Aku sudah memperingatkanmu," berkata pemimpin pengawal itu. "Jangan berbuat sesuatu yang dapat menyakiti dirimu sendiri."

Perempuan itu tidak menjawab. Ia masih tetap berdiri ditempatnya. Meskipun pemimpin pengawal itu tidak dapat memandang wajah penari itu dengan jelas, tetapi ia sudah mendapat gambaran tentang wajah itu. Mirip sekali dengan Nyai Wiradana.

Sekali lagi pemimpin pengawal itu mendekatinya. Tetapi ia tidak mau gagal lagi. Karena itu, maka kali ini ia tidak sekadar menjangkau tangan penari itu. Tetapi pemimpin pengawal itu telah meloncat maju.

Tetapi pemimpin pengawal itu sudah mulai bergerak dengan memperhitungkan setiap kemungkinan. Ketika perempuan itu bergeser menghindar, maka dengan cepat pula pemimpin pengawal itu bergerak, meloncat dan usahanya ternyata memberikan satu kesempatan kepadanya. Pada saat perempuan itu mengelak, maka pemimpin pengawal itu dengan mengerahkan segenap tenaga yang ada padanya, berhasil melingkar ke belakang penari itu. Dengan tangkas pula, tanpa dikekang oleh keragu-raguan,

maka pemimpin pengawal itu telah menyekap penari itu dari belakang. Namun pada saat ia merasa bahwa ia berhasil, tiba-tiba saja tubuhnya terasa diseret oleh satu gerakan yang kurang dimengertinya. Ia merasa kepalanya

dijangkau oleh sepasang tangan yang lembut, namun penari itu kemudian telah membungkukkan badannya.

Yang terjadi kemudian benar-benar tidak lagi dapat diatasinya. Tubuh pemimpin pengawal itu benar-benar telah terlempar lewat di atas penari yang membungkukkan diri rendah-rendah itu. Ketika tubuh itu jatuh ditanah, maka terdengarlah pemimpin pengawal itu mengaduh. Punggungnya bagaikan patah, sementara jantungnya seakan-akan telah terlepas.

Pemimpin pengawal itu tidak dapat dengan tangkas meloncat bangkit. Tulang-tulangnya bagaikan saling terlepas dari sendi-sendinya.

Ketika pemimpin pengawal itu berusaha bangkit, maka sepasang kaki bagaikan tertancap ke bumi di sisi wajahnya. Kaki penari yang cantik itu.

“O,” pemimpin pengawal itu berdesah. “Bangunlah,” berkata penari itu.

Sekali lagi pemimpin pengawal itu terkejut. Suara itu pun suara yang pernah dikenalnya dengan baik. Suara Iswari, istri Wiradana yang terdahulu.

Karena itu, hampir di luar sadarnya pemimpin pengawal itu berusaha untuk bangkit betapapun sakitnya.

“Berdirilah,” berkata perempuan itu lagi.

Sambil menyeringai, pemimpin pengawal itu berdiri dekat dihadapan penari itu.

Meskipun malam gelap, tetapi rasa-rasanya ia yakin bahwa yang berdiri

dihadapannya itu memang Iswari. Dalam hitamnya malam, jauh dari jangkauan cahaya obor yang kecil, maka pemimpin pengawal itu tidak melihat warna-warna rias

diwajah penari itu, sehingga ia pun merasa benar-benar berada di hadapan Nyai Wiradana.

“Kenapa kau memandang aku seperti itu?” bertanya penari itu.

Tubuh pemimpin pengawal yang kesakitan itu terasa gemetar. Di luar kehendaknya jika kemudian ia dengan suara gemetar berdesis, “Nyai Wiradana. Bukankan kau Nyai Wiradana?”

Perempuan itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum sambil berkata, “Apakah kau kehilangan ingatan? Kau tahu bahwa aku adalah seorang penari yang menyusuri jalan-jalan padukuhan? Namaku Ruri Puspitasari. Kenapa kau sebut aku Nyai Wiradana? Bukankah Wiradana pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan? Jika ia mendengar kau berkata seperti itu, maka kau tentu akan dapat hukumannya. Tidak mungkin seorang penari jalanan seperti aku dapat menjadi istri seorang Kepala

Tanah Perdikan.”

“O, maaf. Kau terlalu mirip dengan Nyai Wiradana, istri Ki Wiradana yang pernah hilang,” jawab pemimpin pengawal itu.

“Pernah hilang? Apakah kemudian diketemukan?” bertanya penari itu. “Tidak. Nyai Wiradana itu tidak pernah diketemukan lagi,” jawab pemimpin pengawal itu. Lalu, “Tetapi wajahmu dan bahkan suaramu serta tekanan suaramu benar-benar mirip dengan Nyai Wiradana yang hilang itu.

“Jangan mengigau,” berkata penari itu. “Kau akan dihukum cambuk sepuluh kali dengan rotan jika kau berani menyebut seorang penari jalanan adalah istri pemangku jabatan Kepala Perdikan Sembojan.

“Kenapa tidak? Bukankan istrinya yang sekarang itu juga seorang penari jalanan?” jawab pemimpin pengawal itu.

“Ah, jangan berbicara seperti seekor burung yang berkicau,” penari itu berhenti sejenak lalu, “Sekarang katakan, apakah kita akan berkelahi terus, atau kau akan

menyerah dan memerintahkan kepada orang-orang untuk menyerah? Sementara itu kita lupakan dongengmu yang tidak masuk akal bahwa istri Kepala Tanah Perdikanmu adalah seorang penari jalanan seperti aku.”

“Aku berkata sebenarnya,” jawab pemimpin pengawal itu.

“Cukup,” tiba-tiba saja penari itu memotong. “Yang ingin aku tanyakan, kau menyerah atau tidak?”

Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Namun ia menyadari, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan perempuan itu. Perempuan yang sangat mirip dengan Iswari. Baik wajahnya, bentuk tubuhnya, suaranya dan tekanan kata-katanya.

“Agaknya kau ingin membuat perhitungan tentang imbangan kekuatan di arena ini,” berkata penari itu. “Baiklah. Aku akan menunggumu untuk beberapa saat lamanya. Ternyata bahwa pemimpin pengawal itu tidak mempunyai harapan apapun juga di medan pertempuran itu. Anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan sama sekali tidak berdaya menghadapi rombongan orang-orang ngamen itu, meskipun jumlah mereka jauh

lebih banyak.

Karena itu, maka agaknya tidak akan ada harapan lagi. Seandainya ia memberikan keputusan untuk bertempur dalam tingkat tertinggi dan siap untuk saling

membunuh, bukan sekadar untuk menangkap saja, maka masih juga diragukan, apakah para pengawal itu dapat menang atas para pengamen itu. Jika ia memberikan

aba-aba untuk mempergunakan senjata, sementara para pengamen itu juga melakukannya dan ternyata mereka mempunyai kelebihan, akibatnya akan lebih parah lagi bagi para pengawal.

Dengan demikian, maka pemimpin pengawal itu pun kemudian meneriakkan aba-aba untuk menghentikan pertempuran.

"Kami menghentikan pertempuran," berkata pemimpin pengawal itu. "Tetapi bukan berarti bahwa kami telah menyerah. Karena itu kami tidak akan menyerahkan senjata kami. Bahkan jika perlu kami akan mempergunakan senjata kami." "Baiklah," jawab penari itu. "Apapun yang kau katakan, tetapi aku setuju untuk menghentikan pertempuran ini."

Sejenak kemudian, maka anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan itu berloncatan mundur seperti yang diperintahkan oleh pemimpinnya lewat aba-aba perang. Namun mereka masih tetap bersiaga. Bahkan beberapa orang di antara mereka menjadi heran, bahwa mereka tidak dibenarkan untuk mempergunakan senjata sebagaimana dipesankan kepada mereka meskipun tugas mereka terutama hanya menangkap dan tidak membunuh. Tetapi dengan memberikan perlawanan seperti itu, maka mereka dapat diselesaikan sebagaimana seorang pemberontak atau penjahat.

Selagi anak-anak muda itu terheran-heran, maka pemimpinnya itu berkata, "Biarlah rombongan ini pergi."

Para pengawal itu terkejut. Seorang di antaranya bertanya, "Kenapa?"

Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya dengan jujur, "Kita

tidak usah mengelak lagi dari kenyataan. Kita tidak akan dapat menangkap mereka, karena kita tidak dapat menembus kemampuan mereka."

Seorang anak muda menyahut, "Kita dapat mempergunakan senjata. Jangan batasi gerak kita dengan sekadar menangkap. Jika mereka melawan, berarti mereka telah memberontak, dan kita akan dapat membunuhnya."

Pemimpin pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Apa yang dapat kita lakukan itu tentu dapat mereka lakukan juga. Jika sampai saatnya kita semua kehilangan pengendalian diri, maka senjata akan benar-benar dapat membunuh, sedangkan kita tidak yakin bahwa bukan kitalah yang terbunuh, tetapi orang-orang yang kita anggap memberontak itu."

Anak-anak muda itu memang tidak dapat mengingkari kenyataan. Dalam pertempuran tidak bersenjata, mereka tidak mampu berbuat apa-apa. Jika mereka harus

bertempur dengan mempergunakan senjata, maka akan berarti

kemungkinan-kemungkinan yang lebih buruk akan dapat terjadi. Orang-orang tua yang mereka anggap mempunyai kemampuan apapun juga itu, ternyata adalah orang-orang yang mengagumkan. “Karena itu,” berkata pemimpin pengawal itu, “Biarlah mereka pergi. Bukankah yang penting bagi kita, Tanah Perdikan ini tidak diganggu oleh kemungkinan buruk pada hubungan antara keluarga.”

Namun tiba-tiba orang tua itu yang menjadi pengendangnya itu menyahut, “Jadi menurut dugaanmu, setiap penari akan dapat merusakkan hubungan antara keluarga? Mungkin memang pernah terjadi di Tanah Perdikan ini sebagaimana aku dengar dari salah seorang di antara kalian yang mungkin adalah justru pemimpin kalian, bahwa sebuah keluarga telah dirusakkan oleh seorang penari. Justru keluarga Kepala

Tanah Perdikan ini.”

“Tidak,” dengan serta merta pemimpin pengawal itu membantah, “Aku tidak berkata begitu. Aku hanya mengatakan, bahwa istri Kepala Tanah Perdikan yang sekarang juga seorang penari.”

“O,” orang tua itu mengangguk-angguk. “Jadi begitu. Agaknya aku salah tangkap. Aku kira, karena kehadiran penari itu, maka keluarga Kepala Tanah Perdikan ini menjadi rusak. Kepala Tanah Perdikan itu ingin kawin dengan penari yang cantik itu, tetapi dengan menyingkirkan istrinya yang tua. Yang kemudian dinyatakan hilang. Kemudian dengan leluasa ia dapat kawin dengan penari jalanan itu.

Apalagi setelah ayahnya, Ki Gede Sembojan, meninggal dunia.”

“Tidak. Tidak begitu,” teriak pemimpin pengawal itu, “Kau jangan menyebarkan fitnah seperti itu.”

“Aku tidak menfitnah. Aku hanya mengatakan, bahwa ternyata aku salah mengerti. Aku mengira bahwa demikianlah yang terjadi.”

Pemimpin pengawal itu menjadi tegang. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sekarang pergilah. Jangan memasuki Tanah Perdikan ini lagi demi keselamatanmu.”

Pengendang yang tua itu menjawab, “Baiklah Ki Sanak. Kami akan meninggalkan tempat ini. Agaknya Ki Wiradana telah tersinggung oleh kehadiran kami, justru karena Nyai Wiradana juga seorang penari jalanan. Atau barangkali Nyai Wiradana yang tersinggung karena kehadiran kami dapat mengungkit kembali kenangannya kepada masa lampaunya.”

Pemimpin pengawal itu tidak menjawab. Kemungkinan yang demikian memang ada. Tetapi agaknya Wiradana ingin melepaskan kesan, bahwa penari itu adalah Iswari, istrinya yang pernah hilang. Bukan karena sebab yang lain, meskipun sebab yang lain itu mungkin pula dapat terjadi. Sejenak kemudian, maka rombongan penari itu pun telah berkemas. Mereka pun kemudian telah meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan, sementara para pengawal itu mengamati mereka dengan jantung yang berdebaran.

Namun demikian rombongan itu hilang dikelok jalan, dan obor kecilnya sudah tidak nampak lagi di mata para pengawal, maka pemimpin pengawal itu menarik nafas dalam-dalam.

Namun salah seorang pengawalnya kemudian berkata, “Sekelompok orang-orang gila yang berbahaya.”

“Ya.” jawab yang lain, lalu, “Tetapi apa yang harus kita laporkan kepada Ki Wiradana tentang mereka?”

Pemimpin pengawal itu pun kemudian berdiri menghadap kepada para pengaal sambil berkata, “Kita dihadapkan pada satu keadaan yang tidak mungkin dapat kita atasi.

Kita tidak dapat ingkar bahwa kita tidak akan dapat mengalahkan mereka.” “Kita belum mencoba mempergunakan senjata,” jawab salah seorang di antara mereka.

“Sudah aku katakan,” jawab pemimpin pengawal itu. “Mungkin bukan mereka yang akan menjadi korban ujung-ujung senjata, tetapi kita.”

“Tetapi apa yang dapat kita katakan kepada Ki Wiradana?” sekali lagi seorang pengawal bertanya.

Pemimpin pengawal itu menjadi bingung. Ia memang harus mempertanggungjawabkan tugas yang dibebankan kepadanya.

Namun kemudian katanya, “Kita dapat mengatakan kepada Ki Wiradana, bahwa kita tidak menemukan rombongan penari itu. Kita dapat melaporkan bahwa ketika kita tiba di padukuhan itu, rombongan penari itu telah dipaksa untuk meninggalkan padukuhan oleh para penghuni padukuhan itu sendiri. Kita berusaha untuk menyusulnya. Tetapi kita tidak berhasil menemukan mereka.”

Para pengawal itu saling berpandangan. Agaknya cara itu dapat ditempuhnya demi keselamatan mereka. Mungkin Ki Wiradana akan dapat mempercayainya dan tidak mempersoalkannya lebih jauh.

Salah seorang di antara para pengawal itu berkata, “Memang tidak ada yang tahu, apa yang telah terjadi. Karena itu, kita semuanya harus ikut bertanggung jawab. Hal ini tidak boleh diketahui oleh siapapun juga, sehingga jika salah seorang di antara kita membocorkan persoalan ini dan kemudian terdengar oleh Ki Wiradana, maka kita semuanya akan mengalami kesulitan.” “Ya,” sahut pemimpin kelompok itu. “Kita semuanya harus sejalan. Yang akan kita katakan harus sama kepada siapapun juga. Bahkan kepada orang-orang terdekat di antara kita. Ayah ibu kita, saudara-saudara kita dan siapapun juga.”

Orang-orang dalam kelompok pengawal itu pun kemudian berjanji bahwa mereka akan memegang rahasia itu sebaik-baiknya, sehingga mereka tidak akan mengalami kesulitan karena sikap mereka itu. Ki Wiradana tidak akan percaya bahwa mereka tidak akan dapat mengalahkan para penabuh gamelan dari sebuah rombongan penari jalanan yang jumlahnya jauh lebih sedikit dari jumlah mereka sendiri.

Dengan kebulatan tekad itulah maka mereka pun kemudian berbenah diri dan kembali ke induk padukuhan Tanah Perdikan Sembojan. Seperti yang telah mereka rencanakan maka mereka pun kemudian langsung mencari Ki Wiradana di rumahnya untuk menyampaikan laporan mereka.

Tetapi agaknya Ki Wiradana tidak menunggu mereka dan telah tertidur lelap, sehingga para pengawal itu harus menunggu sampai besok. Dengan demikian maka para pengawal itu pun sempat tidur di gardu, sementara para peronda duduk sambil mengumpat-umpat dibibir gardu, sementara beberapa orang pengawal yang lain telah berbaring di amben yang ada di serambi gandok dan di atas tikar pandan di

pendapa.

Waktu mereka memang tinggal sedikit sekali. Baru saja mereka lelap, maka terasa seseorang telah membangunkan mereka sambil membentak-bentak. Ternyata bahwa Ki Wiradana telah terbangun lebih dahulu dari mereka.

“Apa yang kau kerjakan di sini he?” bentak Ki Wiradana kepada pemimpin pengawal yang tertidur di pendapa. Rasa-rasanya baru saja ia memejamkan matanya. Namun tergagap ia bangun.

“Kenapa kau tidak memberikan laporan kepadaku, apa yang kau lakukan semalam he?” bentak Wiradana pula.

“Maaf Ki Wiradana. Aku baru saja datang. Agaknya Ki Wiradana pun baru saja lelap menurut para peronda, sehingga kami tidak ingin mengganggu dengan membangunkan Ki Wiradana. Maksudku kami akan menunggu sampai Ki Wiradana terbangun,” jawab pemimpin pengawal itu.

Ki Wiradana mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kumpulkan kawanmu. Ceriterakan hasil yang kau capai semalam.”

Pemimpin pengawal itu menjadi berdebar-debar. Namun kemudian ia pun telah mengumpulkan kawan-kawannya yang tersebar. Kemudian mereka duduk di pendapa bersama Ki Wiradana dengan rambut dan pakaian yang masih kusut. Untuk beberapa saat, para pengawal itu memang masih dicengkam oleh keragu-raguan. Apakah Ki Wiradana tidak akan mengetahuinya jika mereka berbohong.

Namun akhirnya pemimpin pengawal itu pun menceriterakan sebagaimana mereka merencanakan. Jika Ki Wiradana tidak percaya, ia akan bertanya kepada anak-anak muda padukuhan tempat rombongan penari itu kebar. Anak-anak muda itu tentu akan mengatakan apa adanya, bahwa sekelompok pengawal telah berusaha untuk menyusul. Selanjutnya anak-anak padukuhan itu tidak tahu apa yang terjadi.

Mendengar laporan itu, wajah Ki Wiradana menjadi merah. Kemarahannya telah bergejolak membakar jantung.

“Jadi kalian tidak dapat menemukan rombongan penari itu?” bentak Wiradana.

Para pengawal itu menjadi berdebar-debar. Tetapi beban mereka akan lebih ringan

jika mereka mengatakan, bahwa mereka tidak dapat menemukan rombongan penari itu, daripada jika mereka melaporkan apa yang sesungguhnya terjadi. Ki Wiradana tentu tidak akan percaya, bahwa mereka tidak dapat menangkap rombongan penari itu.

Ki Wiradana mengerutkan keningnya. Agaknya ia memang tidak dapat berbuat banyak. Segala sesuatunya sudah terlanjur. Sementara itu, maka ia pun mendapat gambaran bahwa para pengawal yang memberikan laporan kepadanya tentang rombongan itu pun tidak berbohong kepadanya.

Namun demikian Ki Wiradana masih juga berpesan dengan nada geram, “Sekali ini memaafkan kalian. Tetapi jika terjadi lagi hal seperti ini, bukan saja

menyangkut serombongan penari, tetapi hal-hal yang lain, maka aku akan mengambil tindakan. Bukankah dengan demikian ternyata bahwa kalian tidak mentaati perintahku.”

Orang-orang padukuhan itu pun hanya dapat saling berpandangan. Namun tidak seorang pun yang menjawab.

Para pengawal yang mengikuti Ki Wiradana dapat menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Ki Wiradana tidak mencurigai mereka. Ia membebankan kesalahan kepada orang-orang padukuhan itu, sehingga kepada orang-orang padukuhan itu pula Ki Wiradana melontarkan kemarahannya.

Setelah puas dengan pesan kemarahannya, maka Ki Wiradana pun kemudian telah mengajak para pengawal itu kembali.

Namun dalam pada itu, demikian mereka sampai di rumah Ki Wiradana, dan kemudian dengan geram pula ia memerintahkan para pengawal itu untuk pulang, maka pemimpin pengawal itu kemudian mengajak ketiga orang kawannya untuk menelusuri yang ditempuhnya semalam.

“Untuk apa?” bertanya salah seorang di antara para pengawal itu.

“Aku hanya ingin melihat saja. Entahlah, ada sesuatu yang mendorongku untuk melakukannya,” jawab pemimpin pengawal itu.

Ketika kawannya pun kemudian tidak berkeberatan. Sejenak kemudian maka kuda-kuda mereka pun telah terpacu dengan cepat melintasi bulak-bulak. Namun pemimpin pengawal itu telah membawa kawan-kawannya melalui jalan yang lain, bukan jalan

yang ditempuhnya semalam.

Namun akhirnya mereka harus menelusuri jalan bulak yang sama. Di bulak itu mereka berhasil menyusul rombongan penari tetapi yang tidak berhasil ditangkapnya itu.

Keempat orang itu menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat beberapa orang petani yang berkerumunan di pinggir jalan itu. Demikian keempat orang pengawal itu mendekat, maka mereka pun telah menyibak.

Para pengawal itu kemudian menghentikan kuda mereka. Dengan tangkas mereka pun telah berloncatan turun. Pemimpin pengawal itu dengan berdebar-debar telah bertanya kepada salah seorang di antara mereka, “Apa yang telah terjadi?”

“Lihatlah,” berkata petani itu, “Tentu sesuatu telah terjadi disini semalam.” “Apa yang terjadi?” bertanya pegawal itu.

“Entahlah. Tetapi sebagian dari tanaman kami telah rusak meskipun tidak terlalu berat,” jawab petani itu. “Mungkin telah terjadi sesuatu yang pahit bagi rombongan penari yang telah kita usir dari padukuhan kita itu.”

“Apa yang terjadi atas mereka?” bertanya pe-mimpin pengawal itu.

Petani itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi sebelumnya belum pernah terjadi sebagaimana yang kami angan-angankan. Namun demikian, bagaimana sekiranya jika rombongan penari itu telah dicegat oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka tentu mengira bahwa rombongan itu telah mendapatkan banyak uang. Mereka tentu ingin merampas uang itu. Tetapi lebih sakit lagi jika terjadi sesuatu atas penari yang cantik itu. Penari yang

seakan-akan tidak pernah bersalah. Yang menari dengan jujur untuk sekadar mendapatkan beberapa keping uang buat menyambung hidupnya serta keluarga nya.” Pemimpin pengawal itu termangu-mangu sejenak. Tetapi rasa-rasanya hatinya tersentuh juga. Namun ia tahu pasti, bahwa rombongan penari itu tidak dirampok orang. Penari yang cantik itu sama sekali tidak mengalami cidera. Bahkan

pemimpin pengawal itu telah dilemparkannya lewat di atas tubuhnya yang merendah dan terbanting ditanah, sehingga punggungnya terasa akan patah.

Meskipun demikian pemimpin pengawal itu bertanya, “Bagaimana jika terjadi demikian, apa keberatanmu?”

“Kami akan merasa berdosa, karena kami telah mengusirnya tanpa berbuat kesalahan. Kenapa mereka harus pergi? Padahal mereka tidak berbuat apa-apa Sementara rombongan yang lain tidak pernah mendapat perlakuan yang kasar seperti itu, bahkan penarinya telah diangkat oleh Ki Wiradana menjadi istrinya,” berkata petani itu.

“Kalian memang berdosa. Apalagi jika benar-benar perempuan cantik yang menjadi penari itu mengalami sesuatu. Bukankah kalian tidak berhak mengusirnya? Bukankah kalian justru harus melindunginya dan membawanya kepada Ki Wiradana?” berkata pengawal itu.

Petani itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Istilah yang kau pergunakan agak berbeda Ki Sanak. Kau seharusnya mengatakannya, bahwa rombongan itu harus ditangkap. Karena itulah maka kami justru telah mengusirnya agar mereka tidak ditangkap. Tetapi justru karena itu, kami telah berbuat

kesalahan sehingga rombongan itu mengalami bencana.”

Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Namun dalam pada itu salah seorang di antara para pengawal itu berkata, “Kenapa kalian merasa begitu menyesal seandainya rombongan itu mengalami kesulitan?”

“Sudah aku katakan,” jawab petani itu. “Mereka adalah orang-orang yang tidak bersalah. Dan lebih dari itu, biarlah aku katakan meskipun ada orang lain yang mengingkarinya, bahwa penari itu memang mirip sekali dengan Nyai Wiradana. Bahkan seakan-akan aku yakin akan hal itu.”

“Bohong,” bentak pengawal yang lain. “Seorang anak muda di gardu dan baru saja kami bertemu dengan orang-orang padukuhanmu, mengatakan, bahwa hanya ujudnya sajalah yang mirip. Tetapi wajahnya jauh berbeda dengan wajah Nyai Wiradana.” Tetapi petani itu sama sekali tidak menarik keterangannya. Bahkan dengan wajah yang tegang ia menjawab, “Aku tidak peduli pendapat orang lain. Sudah aku

katakan, mungkin memang ada orang yang mengingkarinya. Tetapi aku tidak. Aku tetap menganggap bahwa penari itu mempunyai wajah yang mirip sekali dengan Nyai Wiradana. Tetapi seandainya ia mempunyai wajah yang mirip dengan Nyai Wiradana, apakah orang itu dapat dianggap bersalah? Tidak. Orang itu mirip dengan Nyai Wiradana, tetapi orang itu tidak bersalah sama sekali.”

Pengawal itu menggeram. Kemarahan telah membayang diwajahnya. Namun pemimpin pengawalnya mencegahnya ketika orang itu melangkah mendekat. “Jangan kau hiraukan. Ia dapat mengatakan apa saja. Mungkin apa yang kau lihat, berbeda

dengan sudut penglihatannya. Demikian juga orang yang lain. Mungkin orang itu justru sudah lupa akan wajah dan sifat-sifat Nyai Wiradana, sehingga ia menganggap penari itu mirip sekali dengan orang yang sudah dilupakannya itu.” “Aku masih ingat benar,” potong petani itu.

“Diam kau,” bentak pemimpin pengawal itu, “Aku sedang berusaha melerai perselisihan ini. Jika kau nekad saja dengan sikapmu tanpa mundur setapakpun, aku biarkan pengawal itu mengambil sikap pula.”

Petani itu mengerutkan keningnya. Namun ia mengerti maksud pemimpin pengawal itu, sehingga dengan demikian maka ia pun segera bergeser surut dan tidak mengatakan apa pun juga.

Sejenak kemudian, maka pemimpin pengawal itu pun berkata, “Baiklah. Kami akan melanjutkan perjalanan. Tidak dirampok orang apalagi penari cantik itu. Meskipun aku belum melihat dengan jelas, karena hanya sekilas saja, maka aku tidak dapat menyebutnya. Tetapi aku yakin bahwa ia memang cantik.”

“Kau pernah melihatnya?” tiba-tiba petani itu bertanya.

Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Ya. Hanya sekilas. Jauh sebelum orang-orang Tanah Perdikan ini mempersoalkan bahwa wajahnya mirip dengan Nyai Wiradana. Ketika aku sedang ronda maka aku melihat rombongan itu kebar di sudut sebuah padukuhan.”

Petani itu mengangguk-angguk, sementara para pengawal itu pun segera meneruskan perjalanan mereka. Mereka sengaja tidak mengambil jalan kembali. Tetapi mereka berjalan terus meskipun kemudian mengambil jalan melingkar dan kembali ke rumah masing-masing.

Namun disepanjang jalan mereka sempat berbincang tentang satu alasan yang mungkin harus mereka kemukakan jika datang laporan kepada Ki Wiradana bahwa telah terjadi satu tindakan kekerasan di bulak di daerah pinggiran Tanah

Perdikan Sembojan.

“Mungkin rombongan itu justru telah dirampok,” desis salah seorang pengawal itu. Pemimpinnya mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Alasan sebagaimana dikatakan oleh petani itu.”

Dengan demikian maka pendapat para petani Itu justru telah diambil alih oleh

para pengawal. Mereka akan membuat dugaan, bahwa rombongan itu telah dirampok orang seandainya ada laporan tentang kerusakan kecil pada sawah dan ladang di pinggir jalan, satu tempat yang telah dipergunakan sebagai arena perkelahian

antara para pengawal dan rombongan penari yang gagal ditangkap itu.

Tetapi agaknya laporan itu tidak sampai ke Wiradana. Agaknya para petani itu hanya sekadar membicarakan kerusakan itu di antara mereka sendiri. Bahkan sebagian dari mereka justru menaruh belas kasihan kepada rombongan penari yang mereka sangka telah dirampok orang.

Namun dalam pada itu, pemimpin pengawal yang gagal menangkap rombongan penari itu tidak dapat mengingkari penglihatannya sendiri. Bagaimanapun juga, penari

itu memang mirip sekali dengan Nyai Wiradana yang hilang itu, seperti yang dikatakan oleh petani di tengah bulak, dibekas tempat para pengawal bertempur dengan rombongan itu.

Meskipun demikian pemimpin pengawal itu tidak dapat mengatakan hal itu kepada para pengawal. Para pengawal malam itu bertempur tanpa banyak menghiraukan penari yang dipersoalkan itu, sehingga mereka tidak banyak mengetahui, apakah perempuan itu mirip dengan Nyai Wiradana atau tidak.

Sementara itu untuk beberapa waktu lamanya, tidak ada cerita tentang penari yang mirip dengan Nyai Wiradana itu. Orang-orang yang sekali-kali masih berbicara tentang perempuan itu, hanya sekadar berbisik-bisik di antara tetangga mereka, karena semua orang Tanah Perdikan Sembojan mengetahui, bahwa Ki Wiradana tidak senang mendengar cerita tentang perempuan yang mirip dengan istrinya yang hilang itu.

Namun dalam pada itu, Warsi sendirilah yang kemudian masih saja merasa gelisah. Ia merasa seolah-olah rombongan penari itu merupakan sindiran bagi kehadirannya di Tanah Perdikan. Meskipun Warsi tidak tahu persis, maksud dari rombongan penari itu, namun bahwa penari itu mirip dengan Nyai Wiradana yang hilang itu, seakan-akan merupakan satu kesengajaan dengan maksud tertentu.

Dengan demikian, maka ada kecurigaan pada Warsi, bahwa yang dilakukan Wiradana terhadap istrinya itu telah diketahui oleh seseorang. Atau setidak-tidaknya ada pihak yang curiga terhadapnya.

Karena itu, maka dengan caranya, Warsi pun telah menyampaikan kepada Ki Wiradana kemungkinan itu.

“Apakah kau beranggapan demikian?” bertanya Wiradana.

“Mungkin sekali kakang. Karena tiba-tiba saja Nyai Wiradana itu telah hilang. Apapun yang kakang lakukan atas istri kakang itu namun hilangnya telah menumbuhkan persoalan,” berkata Warsi dengan nada dalam.

"Hanya Serigala Betina itu sajalah yang mengetahuinya," desis Wiradana.

Namun dengan demikian, maka ada keinginan Wiradana untuk menemui perempuan itu lagi. Mungkin ia akan dapat memberikan keyakinan, bahwa persoalan itu tidak

diketahui oleh siapapun juga kecuali Wiradana sendiri.

"Jika ternyata perempuan itu berkhianat dan menceriterakan persoalan ini kepada orang lain, maka tidak ada pilihan lain kecuali membunuhnya," berkata Wiradana kepada diri sendiri.

Dengan demikian, maka tanpa diketahui oleh orang lain, maka Wiradana pun telah pergi ke padukuhan kecil di luar Tanah Perdikan Sembojan. Ia ingin bertemu dengan perempuan yang pernah dimintanya untuk membunuh Iswari.

Dalam malam yang gelap Wiradana menyusuri jalan kecil yang jarang dilalui orang, apalagi di malam hari. Ia berusaha untuk menghindari pertemuan dengan siapapun, sehingga kepergiannya ke padukuhan itu tidak menumbuhkan kecurigaan bagi siapapun juga.

Namun dalam perjalanan Wiradana selalu digelitik oleh kegelisahan. Ada beberapa pertimbangan yang ingin dilakukan. Apakah cukup baginya untuk mendapatkan satu keyakinan yang lebih mantap bahwa Iswari telah dibunuh tanpa ada orang lain yang mengetahuinya? Atau ia harus bersikap lebih tegas lagi? Seandainya perempuan itu sampai saat terakhir tidak mengatakan apapun juga kepada orang lain, tetapi

apakah pada hari-hari mendatang ia juga tidak akan mengatakannya kepada siappun juga?

Wiradana belum menemukan satu keputusan ketika ia sudah memasuki regol tua sebuah rumah kecil yang dihuni oleh perempuan yang pernah disebut Serigala Betina itu.

Bagaimanapun juga terasa jantung Wiradana berdegupan. Sudah agak lama ia tidak berhubungan dengan perempuan itu. Mungkin telah terjadi satu perubahan.

Tetapi menilik rumahnya, keadaannya dan suasananya, rumah itu masih tetap seperti beberapa saat yang lalu ketika ia mulai menghubungi perempuan itu.

Dengan hati-hati Wiradana melangkah mendekati pintu. Kemudian perlahan-lahan ia mengetuk pintu rumah itu. Ia sadar bahwa perempuan itu adalah perempuan yang berbahaya, yang pernah ikut dalam sebuah gerombolan yang ditakuti.

Tetapi bagi Wiradana perempuan itu bukan perempuan yang pantas ditakuti. Betapapun berbahayanya Serigala Betina itu, namun bagi Wiradana ia tidak banyak berarti. Wiradana memiliki ilmu dan kemampuan yang jauh lebih tinggi dari perempuan itu. Sebagaimana diyakini oleh Wiradana, bahwa perempuan itu sangat takut kepadanya.

Untuk beberapa saat Wiradana menunggu. Tetapi belum ada jawaban dari dalam. Sementara itu lampu minyak yang remang-remang nampak melontarkan cahayanya lewat

dinding-dinding yang berlubang.

Sekali lagi Wiradana mengetuk pintu rumah itu. Lebih keras.

Agaknya perempuan itu tertidur nyenyak. Ketukan yang semakin keras membangunkannya, sehingga sejenak kemudian maka terdengar suara dari dalam, "Siapa diluar?"

"Aku Nyai," jawab Wiradana.

"Siapa?" bertanya suara dari dalam pula. "Aku Wiradana," jawab Wiradana pula.

"Ki Wiradana dari Sembojan?" bertanya yang berada didalam.

"Ya. Ada berapa Wiradana yang kau kenal he?" jawab Wiradana yang menjadi tidak sabar lagi.

"O," suara di dalam itu terdengar berdesah, "Apakah ada keperluan yang sangat penting Ki Wiradana?"

"Buka pintumu Nyai," geram Wiradana, "Jangan banyak tingkah. Kau tahu, jika aku datang di malam begini, maka tentu ada kepentingan yang tidak dapat ditunda."

"Aku sedang sakit Ki Wiradana," suara di dalam memang terdengar gemetar. "Bangun pun terasa sangat sulit."

"Tetapi buka pintumu," Wiradana hampir membentak.

Terdengar lagi desah di dalam. Tetapi kemudian terdengar amben berderit. Sejenak kemudian desir langkah seseorang mendekati pintu.

"Aku sedang sakit," suara itu menjadi semakin gemetar.

Ki Wiradana menunggu sejenak. Tiba-tiba saja timbul sesuatu di dalam hatinya. Perempuan itu sedang sakit, sementara perempuan itu merupakan duri di dalam dagingnya. Setiap saat ia akan dapat berkhianat. Mungkin dengan maksud tertentu, tetapi mungkin juga karena terpaksa.

Karena itu, seandainya perempuan itu dilenyapkannya saja, maka agaknya ia tidak akan menambah persoalan baginya kelak, atau setidak-tidaknya dapat mengurangi beban kegelisahannya disetiap saat.

Sebelum Ki Wiradana mendapatkan suatu keputusan, maka terdengar selarak pintu sudah dibuka. Perlahan-lahan pintu itu pun terdorong ke samping. Dalam

keremangan lampu minyak yang suram, Wiradana melihat seseorang yang berkerudung rangkap.

“O,” desah perempuan itu dengan suara yang gemetar, “Marilah masuk Ki Wiradana.

Tubuhku terasa dinginnya bukan main. Jika aku terlalu lama berdiri disini, aku akan dapat jatuh pingsan.

Perempuan itu tidak menunggu Ki Wiradana menjawab. Dengan langkah yang gemetar pula ia berjalan ke sebuah amben di ruang tengah rumahnya yang kecil. Sambil

duduk di bibir ambennya ia mempersilakan sekali lagi, “Marilah Ki Wiradana.” Wiradana memang sudah berdiri di dalam ruang itu. Ia pun kemudian menutup pintu rumah kecil itu dan menyelarakkanya sama sekali.

Selangkah ia pun kemudian mendekati perempuan yang menggigil dan mengerudungi tubuhnya rapat-rapat itu. Agaknya perempuan itu memang sedang kedinginan. “Duduklah,” perempuan itu mempersilakan tamunya dengan suaranya yang mengambang

tetapi bergetar.

Ki Wiradana termangu-mangu. Suara perempuan yang kedinginan itu sama sekali tidak dikenalnya sebagai suara Serigala Betina. Namun agaknya Serigala Betina yang sedang sakit itu, tidak dapat berbicara dengan wajar, sebagaimana kebiasaannya. Lantang dan tegas.

Wiradana maju lagi selangkah. Tetapi ia tidak duduk di amben itu.

“Apakah Ki Wiradana akan memberikan tugas lagi kepadaku? Mungkin Ki Wiradana sudah jemu dengan penari itu dan harus dibunuhnya pula?” bertanya perempuan itu dengan suara tersendat-sendat.

“Tutup mulutmu,” geram Ki Wiradana. “Dengar perempuan liar. Aku datang untuk meyakinkan, apakah benar-benar kau sudah melakukan tugasmu dengan baik.”

“Tugas yang mana?” bertanya perempuan itu. Suaranya hampir melengking, sementara ia membetulkan kerudungnya, sehingga seluruh tubuhnya telah didekap oleh selimut kain panjang yang rangkap-rangkap.

“Membunuh Iswari,” jawab Ki Wiradana.

“Bukankah Ki Wiradana sudah yakin dan yang sampai sekarang ternyata tidak ada akibat apapun juga yang meragukan?” bertanya perempuan itu.

“Tetapi kabar tentang penari yang mirip dengan Iswari itu membuat aku

ragu-ragu,” geram Wiradana. “Apalagi kita tidak dapat menemukan mayat Iswari pada saat itu.”

“Sudah aku katakan, bahwa mayatnya aku masukkan ke dalam kedung dan dalam waktu sekejap, yang tinggal hanyalah lingkaran-lingkaran di permukaan air. Tubuh itu

telah diseret oleh buaya-buaya kerdil ke dasar kedung.”

Ki Wiradana termangu-mangu. Dipandanginya tubuh perempuan yang sedang sakit itu.

Namun tiba-tiba Wiradana berkata, “Berbaringlah. Jika kau merasa tubuhmu tidak enak. Berbaringlah. Aku akan berbicara dengan berdiri saja disini.”

“Tidak Ki Wiradana,” jawab perempuan itu. “Aku masih sanggup untuk berbicara sambil duduk tetapi sudah tentu tidak terlalu lama.”

“Jangan kau hiraukan basa-basi itu,” berkata Ki Wiradana. “Mungkin aku akan berbicara panjang.”

Perempuan itu termangu-mangu. Namun tubuhnya masih saja menggigil kedinginan. “Berbaringlah,” berkata Ki Wiradana. “Agar pembicaraan kita dapat kita

selesaikan dengan tuntas dan tidak tergesa-gesa.”

Perempuan yang sedang sakit itu termangu-mangu. Nafasnya agaknya menjadi terengah-engah. Karena itu, maka katanya kemudian, “Aku memang sedang sakit Ki Wiradana. Nafasku rasa-rasanya menjadi sesak setiap perasaan dingin yang luar biasa ini datang. Sebentar lagi, perasaan dingin ini akan berubah menjadi panas, sehingga keringatku akan terperas habis. Kerongkonganku akan menjadi kering dan mataku serasa disentuh bara.”

” Jika demikian maka kau benar-benar sakit,” berkata Ki Wiradana.

Perempuan itu tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian beringsut dan dengan tubuh gemetar ia pun membaringkan dirinya. Menelentang dengan menjelujurkan tubuhnya lurus-lurus, meskipun ia masih membungkus tubuhnya dengan kain yang rangkap.

Ki Wiradana mengerutkan keningnya. Satu cara yang tidak bisa bagi orang yang sedang sakit kedinginan seperti itu. Namun ia tidak mengatakan sesuatu. Tetapi agaknya perempuan itu dapat membaca perasaan Ki Wiradana. Maka itu katanya, “Aku tidak berani tidur miring sambil melingkarkan tubuh. Jika

demikian, maka rasa-rasanya tubuh ini jadi membeku dan punggung bagaikan terasa patah jika kemudian aku harus meluruskannya kembali nanti.

“Tetapi orang sakit panas dingin, biasanya tidur melingkar di saat dingin mencengkam,” sahut Ki Wiradana.

“Mungkin,” jawab perempuan itu. “Tetapi aku sama sekali tidak berani.”

Ki Wiradana termangu-mangu sejenak. Dipandanginya perempuan yang berkerudung hingga kewajahnya sekali lagi. Hanya sepasang mata sajalah yang kelihatan, sementara kedua telapak tangannya terbungkus pula di bawah kain selimutnya.

Pada saat yang demikian, tiba-tiba timbul satu niat di hati Ki Wiradana untuk menyelesaikan saja perempuan yang sedang sakit itu, sehingga tidak akan menimbulkan persoalan di masa datang. Jika perempuan itu mati dalam keadaannya,

maka orang-orang yang akan menemukannya kelak tentu mengira bahwa perempuan itu mati karena sakit. Tidak ada orang lain di rumah itu. Sehingga tidak ada orang

yang mengetahui, apa yang telah terjadi.

Karena itu, maka Wiradana pun menjadi berdebar-debar oleh rencananya sendiri. Jantungnya terasa berdetak semakin cepat. Namun demikian desakan di dalam dirinya untuk menyelesaikan saja perempuan itu terasa semakin menekan.

“Aku dapat menutup jalan pernafasannya,” berkata Ki Wiradana di dalam hatinya. “Sehingga perempuan itu mati lemas. Tidak ada bekas luka di dalam dirinya, sementara selimutnya yang masih menyelubungi tubuhnya.

Dalam kebimbangan itu, hampir di luar sadarnya Wiradana telah bertanya, “Sudah berapa hari kau sakit Nyai?”

Nafas perempuan itu masih saja terengah-engah. Disela-sela tarikan nafasnya yang sendat ia menjawab dengan suara gemetar, “Sudah agak lama Ki Wiradana. Aku mulai berbaring sejak lima hari yang lalu, meskipun aku mulai merasa dihinggapi

penyakit ini sejak sepuluh hari yang lalu.”

“Lalu siapakah yang melayani sejak kau berbaring,” bertanya Ki Wiradana. Perempuan itu tidak segera menjawab. Tetapi terdengar perempuan itu merintih. Baru kemudian dengan suara sendat perempuan itu berkata, “Aku masih harus melayani diriku sendiri. Aku tidak mempunyai anak, Ki Wiradana. Aku juga tidak mempunyai sanak kadang.

Meskipun aku mempunyai sedikit uang, tetapi tidak ada orang yang bersedia membantuku dengan upah berapapun juga, karena mereka mengenali latar belakang hidupku.”

Ki Wiradana itu menarik nafas dalam-dalam. Keadaan perempuan itu merupakan dorongan yang kuat baginya untuk melakukan rencananya. Membunuh saja perempuan yang sedang sakit-sakitan itu.

Memang masih ada keragu-raguan yang menyelinap di hati Ki Wiradana. Kedatangannya di dorong oleh satu keinginan untuk meyakinkan bahwa rahasianya tidak akan diketahui oleh orang lain. Bahwa penari yang mirip dengan Iswari itu bukan satu kesengajaan untuk menyindirnya. Tetapi keadaan perempuan yang pernah dijuluki dengan panggilan yang menggerakkan bulu tengkuk itu agaknya telah menimbulkan dorongan baru di dalam dirinya.

Karena itu, maka Ki Wiradana pun telah menghentakkan tangannya untuk mempertegas niatnya. Selangkah demi selangkah ia mendekat.

Kemudian katanya, “Nyai. Jika kau tidak berkeberatan, sebelum aku berbicara banyak tentang bekas istriku yang kau bunuh itu, apakah kau tidak berkeberatan

jika aku mengobatimu. Mungkin dengan satu dua pijatan pada dada dan pundak Nyai, keadaan Nyai akan berangsur baik.”

“Apakah kau dapat melakukannya Ki Wiradana?” berkata perempuan itu dengan penuh harap.

“Aku akan mencoba Nyai,” jawab Ki Wiradana. Namun kemudian ia pun bertanya lebih lanjut, “Tetapi jawablah pertanyaanku dengan jujur, apakah kau tidak mempunyai hubungan dengan serombongan penari yang disebut orang mirip dengan Iswari itu?” “Ah, tentu tidak. Apa pamrihku,” jawab perempuan itu. Lalu, “Sekarang tolonglah, biarlah aku akan segera sembuh.”

“Dan kau yakin bahwa rahasia itu masih tetap tertutup rapat sampai sekarang?” bertanya Ki Wiradana kemudian.

“Demi buaya-buaya kerdil di kedung itu,” jawab orang yang pernah disebut Serigala Betina itu, “Hanya aku dan Ki Wiradana sajalah yang mengetahuinya.

Mungkin istri Ki Wiradana yang sekarang. Tetapi apakah ada kecurigaan Ki Wiradana, bahwa rahasia itu diketahui orang?”

“Aku hanya menghubungkan dengan serombongan penari yang penarinya mirip sekali dengan Iswari. Tetapi jika kau yakin bahwa rahasia kita tidak akan terungkapkan, maka aku tidak akan gelisah,” berkata Ki Wiradana kemudian.

“Aku bersumpah,” berkata perempuan itu. Lalu, “Sekarang, tolonglah aku Ki Wiradana.” Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Selangkah ia maju. Ia pun kemudian berdiri disisi pembaringan perempuan yang pernah disebut Serigala Betina itu. Sejenak Ki Wiradana mengumpulkan kekuatan lahir dan batinnya. Ia ingin menekan leher perempuan itu dengan sekali gerak dan menghentikan pernafasannya sama sekali. Sesudah itu, maka perempuan itu kelak akan diketemukan mati dibawah selimut yang rangkap-rangkap dan dugaan bahwa ia mati karena penyakitnya. Orang-orang di rumah sebelah menyebelah tentu mengetahui bahwa perempuan yang dibenci oleh orang-orang disekitarnya itu mengidap penyakit. Mereka akan menyangka, bahwa penyakitnya itulah yang telah membunuhnya.

Demikianlah, ketika jantung Ki Wiradana telah menjadi mapan, maka tangannya mulai bergerak. Tetapi ia tidak memijit dada dan pundak perempuan itu sebagaimana dikatakan untuk dapat mengurangi penyakit di dalam diri perempuan itu, tetapi tangan Ki Wiradana langsung menuju kelehernya dan tiba-tiba saja satu cengkaman yang kuat telah menerkam leher perempuan itu.

Terdengar perempuan itu memekik tertahan. Sementara itu Ki Wiradana menekan leher itu semakin keras sambil menggeram, “Kau pantas untuk dibunuh perempuan liar.” Perempuan itu meronta. Tetapi tangan Ki Wiradana mencengkam semakin keras.

Wiradana yakin, bahwa ia akan menyelesaikan perempuan itu dengan mudah. Sementara itu, tidak akan ada orang yang akan menuduhnya melakukan pembunuhan itu. Apalagi ia adalah pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

Namun yang diduga oleh Ki Wiradana telah terjadi. Kedua tangan perempuan itu, tiba-tiba saja telah menyusup di antara tangan Ki Wiradana. Ki Wiradana sadar,

bahwa meskipun dalam keadaan sakit, tetapi gerak naluriah perempuan yang memiliki ilmu kanuragan itu, tentu akan berusaha melepaskan cekikan tangannya.

Karena itu, maka Ki Wiradana pun telah menghentakkan kekuatannya.

Tetapi tepat pada saat hentakan itu, ternyata perempuan itupun telah menghentakkan tangannya pula. Kedua tangannya yang menyusup di antara tangan Ki Wiradana tiba- tiba telah terbuka dengan kekuatan yang luar biasa.

Satu kekuatan yang tidak diperkirakan sama sekali oleh Ki Wiradana telah menggoyahkan kedudukan tangannya. Bahkan kemudian kedua tangannya bagaikan direntang oleh kekuatan yang tidak terlawan dari seorang perempuan yang sedang sakit. Namun ternyata Ki Wiradana benar-benar kehilangan kesempatan untuk membunuh perempuan itu. Kedua tangannya yang mencekik itu pun benar-benar telah terbuka.

Bahkan sebelum Ki Wiradana sempat berbuat sesuatu, maka perempuan itu telah berusaha untuk bangkit.

Tetapi Ki Wiradana tidak membiarkannya. Demikian tangannya terlepas dari leher perempuan yang bangkit itu, maka Ki Wiradana pun dengan serta merta telah menyerang dada perempuan itu.

Tetapi sekali lagi, Ki Wiradana terkejut. Serangannya sama sekali tidak menyentuh sasaran karena perempuan itu telah merebahkan dirinya yang baru saja bangkit itu. Namun sekaligus ia telah menangkap tangan Ki Wiradana.

Oleh satu kekuatan yang tidak diduganya sama sekali, maka Ki Wiradana telah terseret dan terlempar melampaui lebar pembaringan perempuan itu, langsung membentur dan memecahkan dinding bambu.

Wiradana mengumpat ketika ia terjatuh di bilik sebelahnya menghantam geledeg bambu.

Tetapi dengan serta merta Wiradana telah bangkit. Dengan tangkasnya ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun dalam pada itu, perempuan yang sedang sakit itu pun telah bangkit berdiri pula. Ia masih juga berkerudung selimut meskipun tidak lagi rangkap seperti sebelumnya. Namun ia masih menunjukkan sikap seorang yang sedang sakit.

“Ki Wiradana,” perempuan itu menggeram dengan suara gemetar.

“Apa maksudmu sebenarnya? Apakah benar kau ingin membunuhku? Apa salahku?” Bukankah perjanjian kita sudah sama-sama kita penuhi. Aku membunuh Iswari dan kau memberikan uang kepadaku. Sekarang kenapa kau menuntut lebih banyak lagi? Bahkan nyawaku?”

Wiradana memandang perempuan itu dengan sorot mata yang membara. Dengan garangnya ia berkata, “Perempuan liar. Kau akan tetap merupakan duri di dalam dagingku. Setiap saat kau akan dapat membuka rahasiaku. Mungkin karena kau menginginkan upah tertentu atau oleh sebab-sebab yang lain. Karena itu, maka sebaiknya kau mati saja sekarang. Maka kemungkinanmu untuk membocorkan rahasia itu akan hapus bersama hapusnya nyawamu.”

“Kau laki-laki yang licik,” geram perempuan itu.

“Kau ingin membunuhku justru pada saat aku sedang sakit. Meskipun demikian, aku tidak akan menyerahkan nyawaku dengan begitu mudah. Aku akan melawan sekalipun aku tahu bahwa kau memiliki ilmu yang tinggi, warisan dari Ki Gede di Sembojan. Tetapi kau pun harus ingat bahwa aku adalah yang disebut Serigala Betina, yang pernah membunuh orang tanpa mengedipkan mata. Nah, marilah, jika kau masih tetap berniat membunuhku, maka biarlah aku atau kau yang akan terbunuh di sini.”

Bagaimanapun juga terasa tengkuk Ki Wiradana meremang. Serigala Betina itu agaknya terlalu yakin akan dirinya. Seolah-olah ia memiliki ilmu yang seimbang dengan ilmunya. Namun ternyata pada hentakan pertama, perempuan itu berhasil melepaskan diri dari cengkeraman tangannya di lehernya. Dengan kekuatan yang tidak pernah diduganya, yang ternyata melampaui kekuatan cengkeramannya. Bahkan kemudian ia telah terlempar oleh kekuatan perempuan yang sedang sakit itu, menembus dinding bambu dan menimpa geledeg di ruang sebelah.

Namun Wiradana yang merasa dirinya memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari Serigala Betina itu kemudian membentak dengan kasar, “Tutup mulutmu. Aku memang ingin membunuhmu dengan cara yang paling berperikemanusiaan sehingga kau dengan cepat terbunuh tanpa merasakan sakit. Bahkan aku pun telah mempercepat kematianmu karena gigitan penyakitmu yang tidak mungkin dapat kau obati, sementara aku akan terlepas dari kecemasan bahwa pada suatu saat kau akan berkhianat dengan alasan apapun juga. Tetapi kau ternyata terlalu banyak tingkah sehingga akan mempersulit jalan kematianmu sendiri. Kau kira, bahwa dengan melawan kau akan dapat bebas dari kematian? Apalagi kau sedang dalam keadaan sakit. Maka segala usahamu akan sia-sia. Bahkan hanya akan menambah penderitaan disaat kematianmu yang pahit ini.”

Semuanya itu berlangsung demikian cepatnya, sehingga Wiradana seakan-akan menjadi yakin bahwa sekali itu lawannya tidak akan mampu mengelak.

Tetapi sekali lagi Wiradana salah. Kakinya yang terjulur sama sekali tidak menyentuh apapun lagi. Bahkan di luar dugaan sama sekali, kaki perempuan yang berkerudung dan berselimut rangkap itu sempat juga menyentuh kaki Wiradana yang berpijak pada lantai, sehingga karena kakinya yang lain masih terangkat, Wiradana tidak mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga ia pun telah jatuh terlentang.

Dengan tangkasnya Wiradana berusaha untuk melenting dan tegak berdiri. Tetapi demikian ia tegak, tanpa diketahui apa yang telah dilakukan, maka perempuan yang sakit itu telah berdiri dihadapannya. Dengan kekuatan yang sangat besar, tangannya bergerak menampar pipi Wiradana.

Sekali lagi Wiradana terhuyung-huyung. Namun sebelum ia terjatuh, tangan lawannya telah memegang bajunya dan menariknya.

Wiradana sempat melihat tangan yang lain dari lawannya itu bergerak ke arah wajahnya. Dengan cepat ia berusaha melindungi wajahnya itu dengan tangannya. Namun ternyata tangan lawannya itu ditariknya. Serangannya pun berubah sasaran. Yang kemudian terasa menjadi muak adalah perutnya yang serasa ditimpa sebongkah batu hitam.

Wiradana menunduk. Tetapi bajunya masih belum dilepaskan. Sekali lagi tangan yang memegangi bajunya itu dihentakkan. Ketika wajah Wiradana sedikit tengadah, maka sekali lagi perempuan itu telah menampar keningnya, bersa-maan dengan sebuah dorongan yang kuat pada bajunya yang digenggam oleh tangan lawannya yang

lain.

Wiradana benar-benar tidak mampu mempertahankan keseimbangannya. Ketika ia berusaha berpegangan pada tiang pula, maka terasa sebuah serangan telah menghantam dadanya. Demikian kuatnya, sehingga nafasnya serasa terputus karenanya. Matanya menjadi kabur. Semakin lama semakin kabur, sementara tubuhnya tidak lagi dapat dipertahankannya untuk tetap berdiri.

Sejenak kemudian Wiradana telah terjatuh dilantai. Matanya menjadi gelap dan nafasnya terasa sesak. Sejenak kemudian maka semuanya bagaikan hilang dari ingatannya. Pingsan.

Perempuan yang berdiri tegak disebelahnya itu telah membuka kerudung dan selimutnya. Kemudian melemparkan kain itu ke pembaringannya. Dipandanginya Wiradana yang pingsan itu dengan tatapan mata yang tajam. Namun perempuan itu kemudian menarik nafas dalam-dalam.

"Nyai," tiba-tiba perempuan itu memanggil.

Dari belakang, seorang perempuan yang lain memasuki ruangan. Dipandanginya tubuh Wiradana yang terbaring diam.

"Nyai telah membunuhnya?" bertanya perempuan yang baru saja masuk itu. "Ia tidak mati," jawab perempuan yang baru saja berkelahi itu, "Ia hanya pingsan."

"Terima kasih Nyai. Tanpa Nyai, aku tentu benar-benar sudah dibunuhnya. Agaknya ia mulai dibayangi oleh ketakutan bahwa rahasianya pada satu saat akan dibongkar," berkata perempuan yang masuk dari bilik belakang itu.

"Tetapi dengan demikian maka sikapnya terhadap Serigala Betina akan berubah," berkata perempuan yang berkelahi itu.

Perempuan yang datang dari bilik belakang itu termangu-mangu. Katanya, "Namun sebenarnyalah ia mengenal kemampuanku, orang yang sesungguhnya disebut Serigala Betina. Ia mengerti bahwa kemampuanku tidak akan dapat mengimbangi kemampuannya."

Perempuan yang telah berkelahi dengan Ki Wiradana itu mengangguk-angguk. Katanya, "Ia tetap menganggap bahwa aku adalah Serigala Betina itu. Tetapi keadaan selanjutnya mungkin akan sangat berbahaya atasmu. Karena itu, marilah. Ikut aku ke padepokanku. Kau akan bertemu lagi dengan Iswari. Aku benar-benar neneknya. Maksudku, aku adalah adik kakeknya seperti yang sudah aku katakan." Perempuan yang sebenarnya disebut Serigala Betina itu termangu-mangu. Namun ia merasa, bahwa ia tidak akan dapat bertahan untuk hidup jika ia tidak meninggalkan rumahnya.

Karena itu, maka Serigala Betina itu pun kemudian berkata, "Baiklah Nyai. Aku akan ikut Nyai, Nyai sudah menyelamatkan hidupku. Dan untuk selanjutnya aku akan ikut saja kemana Nyai akan pergi dan apa saja yang akan dilakukan oleh Nyai atasku." "Baiklah. Kita akan segera meninggalkan tempat ini sebelum Wiradana sadar. Tidak sia-sia aku berada disini untuk beberapa lama. Aku sudah memperhitungkan, bahwa Wiradana akan datang kemari setelah ia gagal menangkap penari yang dikatakan oleh orang-orang Tanah Perdikan ini mirip dengan Iswari."

"Tetapi apakah benar penari itu Iswari?" bertanya Serigala Betina itu. Perempuan itu tersenyum. Katanya, "Marilah. Selagi Wiradana masih nyenyak tidur."

Perempuan yang disebut Serigala Betina itu pun kemudian mengemasi barang-barang yang mungkin dapat dibawanya. Ia memang mempunyai simpanan sejak ia masih ikut serta dalam rombongan perampok dan penyamun. Sementara itu, ia memiliki pula beberapa jenis perhiasan yang akan dapat dipergunakan untuk kepentingan- kepentingan apapun di sisa hidupnya, karena ia tidak mungkin lagi dapat menggantungkan dirinya kepada orang lain. Apalagi orang-orang yang sudah mengetahui latar belakang hidupnya di masa muda.

Setelah perempuan itu selesai, maka keduanya telah meninggalkan tempat itu. Serigala Betina itu tidak meninggalkan bekas apapun juga. Selimut kain panjang yang dipergunakan oleh perempuan yang mengalahkan Wiradana itu pun telah dibawanya pula. Hanya perkakas rumah tangganya sajalah yang ditinggalkannya dengan dinding penyekat ruang yang pecah.

Untuk beberapa saat lamanya, Wiradana masih terbaring diam. Dari celah-celah pintu yang tidak tertutup rapat, angin bertiup menyapu ruangan rumah Serigala Betina yang sudah ditinggalkan itu. Segarnya angin malam telah menyegarkan tubuh Ki Wiradana pula. Perlahan-lahan ia pun mulai bergerak. Yang mula-mula terdengar adalah keluhan perlahan. Kemudian kepala Ki Wiradana itu mulai bergeser.

Perlahan-lahan Ki Wiradana membuka matanya. Terasa nafasnya masih sesak. Namun angin yang sejuk memang membuat tubuhnya semakin segar.

Ketika Ki Wiradana mulai mengingat apa yang telah terjadi, ia pun segera berusaha bangkit.

Meskipun tubuhnya masih terasa sakit, namun Wiradana telah memaksa diri untuk berdiri. Diamatinya ruangan disekelilingnya. Pintu yang tidak tertutup rapat.

Dinding bambu yang pecah dan amben yang sudah kosong.

Perempuan yang disangkanya Serigala Betina yang sedang sakit itu sudah tidak ada di dalam ruangan itu.

"Gila," Ki Wiradana mengumpat. "Ia berhasil melarikan diri."

Selangkah Ki Wiradana bergeser. Lampu minyak masih menyala tidak begitu besar, sehingga yang nampak hanyalah remang-remang saja.

Wiradana pun kemudian berhasil mengingat sepenuhnya apa yang telah terjadi.

Kepalanya masih terasa pening dan nafasnya masih saja seolah-olah tersendat-sendat.

"Aku harus menemukannya," berkata Ki Wiradana kemudian. "Pada kesempatan lain, aku harus datang lagi dan membunuhnya. Sudah tentu dalam kesempatan yang tidak terlalu lama, agar ia belum mendapat kesempatan berkhianat."

Wiradana pun kemudian berjalan ke pintu. Dengan hati-hati ia mendorong pintu itu semakin lebar. Namun ketika ia sudah berada di luar, maka pintu itu pun ditutupnya kembali.

Dengan dada yang sakit dan kepala yang pening, maka Wiradana meninggalkan halaman rumah Serigala Betina itu. Memang ada keragu-raguan padanya untuk pulang karena ia gagal membunuh perempuan yang disebut Serigala Betina itu.

Namun akhirnya Ki Wiradana itu pun menemukan akal untuk menutupi kelemahannya, karena tentu tidak masuk akal bahwa ia dapat dikalahkan oleh perempuan yang sedang sakit itu.

Ketika Ki Wiradana sampai ke regol rumahnya itu merasa ragu-ragu. Sejenak ia membenahi dirinya. Kemudian dengan cepat ia melintasi regol yang tidak diselarak langsung menuju ke seketheng.

Para peronda yang ada di regol termangu-mangu. Tetapi karena Wiradana berpaling pun tidak, maka mereka pun sama sekali tidak pula bertanya tentang sesuatu.

Lewat pintu butulan, Wiradana memasuki rumahnya. Seorang pembantunya mendengar pintu itu diketuk dan mendangar suara Wiradana memanggil sehingga karena itu, maka ia pun telah membuka selarak pintu.

Tetapi ketika ia memasuki biliknya yang agak terang, ia pun tertegun. Istrinya yang bangkit dari pembaringannya karena derit pintu, terkejut melihat kehadiran Wiradana. “Kakang, kau kenapa kakang?” bertanya istrinya dengan sangat cemas.

“Aku kenapa?” bertanya Wiradana.

“Ada noda-noda kebiruan di keningmu,” berkata istrinya sambil meraba wajah Ki Wiradana.

Wiradana menyeringai. Yang disebut noda-noda itu adalah bekas tangan perempuan yang dikiranya Serigala Betina. Bekas itu masih terasa sakit ketika disentuh

oleh tangan istrinya.

“Apakah kau baru saja berkelahi?” bertanya Warsi yang mengenali noda-noda seperti itu.

Wiradana tidak dapat mengelak. Tetapi ia tidak dapat mengatakan kelemahannya bahwa ia sudah dikalahkan oleh perempuan yang disangkanya adalah Serigala Betina itu.

Karena itu maka katanya, “Ya. Aku memang baru saja berkelahi.” “Dengan siapa?” bertanya istrinya.

Wiradana pun kemudian menceriterakan bahwa ia memang pergi ke rumah Serigala Betina. Tetapi ternyata di rumah itu terdapat beberapa orang dari sebuah gerombolan perampok.

“Mungkin mereka orang-orang Kalamerta,” berkata Wiradana kemudian.

Warsi mengerutkan keningnya. Hampir di luar sadarnya ia menyahut, “Tentu bukan.” “Kau dapat memastikan bahwa mereka bukan para pengikut Kalamerta yang mendendam

yang kemudian bekerja bersama dengan perempuan itu?” bertanya Wiradana. Wajah Warsi menjadi tegang. Tetapi ia tidak dapat menjawab. Meskipun demikian ia sama sekali tidak rela seandainya suaminya menjadikan para pengikut Kalamerta kambing hitam.

Dalam pada itu, maka Wiradana pun berkata, “Besok malam aku akan kembali ke rumah itu. Aku harus menemukan mereka dan menangkap mereka semuanya. Aku akan membawa beberapa orang pengawal.” “Tetapi bagaimana yang terjadi atas kakang?” bertanya Warsi pula.

“Aku sama sekali tidak menyangka bahwa di dalam rumah itu terdapat beberapa orang. Sebenarnya aku ingin mendapatkan kepastian bahwa Serigala Betina itu tidak berkhianat. Tetapi aku dijebak dalam perkelahian melawan beberapa orang. Aku tidak dapat mengelakkan segala serangan yang datang beruntun. Meskipun demikian, aku telah mengusir mereka. Sayang sekali aku tidak berhasil menangkap seorang pun di antara mereka, sehingga aku tidak dapat melacak kegiatan itu untuk selanjutnya,” berkata Ki Wiradana.

Wajah Warsi menjadi tegang. Bagaimanapun juga ia pun menjadi tersinggung bahwa suaminya telah mengalami cidera karena pokal beberapa orang, yang justru oleh suaminya disangka sisa-sisa gerombolan Kalamerta. Tetapi Warsi tidak dapat berbuat apa-apa. Ia masih belum menyatakan dirinya bahwa ia memiliki kemampuan yang justru lebih tinggi dari suaminya.

Namun dalam pada itu Warsi pun bertanya, “Tetapi jika kakang membawa perempuan ke rumah pengawal itu, apakah tidak akan menimbulkan persoalan dengan Ki Demang yang menguasai padukuhan itu?”

“Aku akan datang dengan diam-diam, sehingga Ki Demang tidak akan mengetahuinya. Apalagi perempuan yang disebut Serigala Betina itu adalah perempuan yang dibenci oleh orang-orang disekitarnya. Sehingga orang-orang disekitarnya, bahkan mungkin Ki Demang akan bergembira jika perempuan itu terbunuh. Apalagi rumahnya kini telah dipergunakan untuk berkumpul para perampok dan penyamun. Agaknya perempuan itu telah menjadi kambuh lagi.”

Warsi mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi hati-hatilah kakang. Mungkin perempuan itu memang sangat licik, sehingga ia akan dapat berbuat apa saja untuk mencapai niatnya.”

“Jangan cemas Warsi. Aku adalah Wiradana, anak Ki Gede Sembojan. Aku akan dapat menyelesaikan setiap persoalan yang aku hadapi,” berkata Wiradana kemudian.

Warsi tidak menjawab lagi. Namun bagaimanapun juga ia menjadi cemas menilik keadaan suaminya, sementara perempuan yang disebut Serigala Betina itu masih belum dapat diselesaikan. Agaknya kemungkinan buruk akan dapat terjadi jika perempuan itu membongkar tingkah laku Wiradana.

Demikianlah, maka Warsi pun kemudian mempersilakan Wiradana untuk membersihkan

diri dan kemudian pergi ke pembaringan. Dengan obat-obatan yang ada maka Warsi telah berusaha untuk mengobati noda-noda di wajah Wiradana dengan obat itu. Namun dalam pada itu, ketika Wiradana telah tertidur, Warsilah yang kemudian bangkit dari pembaringannya. Dengan diam-diam ia pergi keluar. Kemudian hilang di kegelapan tanpa setahu siapapun juga.

Warsi telah menyediakan jawaban jika seandainya Wiradana terbangun dan menanyakan kemana ia pergi.

“Satu-satunya jawaban yang paling baik adalah pergi ke sungai,” berkata Warsi kepada diri sendiri. “Tetapi mudah-mudahan kakang Wiradana yang letih itu akan tertidur nyenyak. Apalagi obat yang aku usapkan pada wajahnya mengandung reramuan yang dapat membuatnya tidur nyenyak.”

Dengan kemampuan seorang yang berilmu tinggi maka Warsi telah pergi ke padukuhan yang diketahuinya sebagai tempat tinggal Serigala Betina itu. Meskipun ia belum pernah datang ke rumah itu, tetapi dalam setiap pembicaraan dengan suaminya,

maka ia dapat membayangkan dimana letak rumah itu.

Beralaskan atas ketajaman penggraitanya, maka ternyata Warsi dapat menemukan rumah itu. Tetapi ia tidak menemukan seorang pun. Rumah itu telah kosong. Namun ia memang melihat bekas-bekas perkelahian yang terjadi. Dinding yang pecah, geledeg yang terguling dan barang-barang yang berserakan.

“Memang mungkin sekali kakang Wiradana harus berkelahi melawan beberapa orang,” berkata Warsi di dalam hatinya. Tetapi ia merasa kecewa bahwa ia tidak dapat bertemu dengan perempuan yang disebut Serigala Betina itu.

Jika Warsi sempat bertemu, maka perempuan yang disebut Serigala Betina itu benar-benar tidak berarti apa-apa baginya.

Dengan demikian maka Warsi menjadi bertambah cemas. Perempuan yang luput dari tangan suaminya itu tentu akan dapat berkhianat. Karena itu, maka ia harus secepatnya diketemukannya. Namun tidak ada orang yang tahu kemana perempuan itu pergi. Jika benar ia telah berada kembali di antara para perampok dan penyamun, mungkin ia telah kembali lagi berada di sarang-sarang penyamun itu.

Dengan kegelisahan yang semakin mencengkam maka Warsi pun telah meninggalkan rumah itu dan kembali ke Tanah Perdikan Sembojan. Ketika ia memasuki rumahnya lewat pintu-pintu dibukanya pada saat ia keluar, maka ia menjumpai suaminya yang masih tidur nyenyak sebagaimana diperhitungkannya.

Warsi pun kemudian membaringkan dirinya pula di samping suaminya setelah ia membenahi pakaiannya. Namun demikian kegelisahannya, membuatnya sama sekali tidak dapat tidur barang sekejappun.

Tetapi akhirnya Warsi mengambil satu kesimpulan, “Jika pengkhianatan itu terjadi, maka aku akan menyatakan diriku. Aku harus menunjukkan kuasaku berlandaskan dengan kemampuanku.”

DEMIKIANLAH, maka sampai matahari terbit, Warsi tidak dapat memejamkan matanya

lagi. Pada saatnya ia pun bangun dan pergi ke Pakiwan sebagaimana kebiasaannya, sementara Wiradana masih saja tertidur nyenyak. Kecuali oleh keletihan dan

sakit-sakit ditubuhnya, maka obat yang diusapkan di wajah Wiradana memang mempunyai daya yang membuatnya tidur nyenyak.

Dalam pada itu, perempuan yang disebut Serigala Betina itu tengah dalam perjalanan menuju ke sebuah padepokan yang jauh bersama seorang perempuan tua, namun yang ternyata memiliki kemampuan yang sangat tinggi, Nyai Soka.

“Mudah-mudahan kita selamat sampai ke padepokan Nyai,” berkata Nyai Soka. “Aku berharap bahwa di padepokan kita akan bertemu dengan Iswari, kakang Badra

dan pembantunya yang sangat setia, yang masih mempunyai hubungan darah, bernama Gandar. Mudah-mudahan mereka tidak berada di padepokan kakang Badra.” Perempuan yang disebut Serigala Betina itu mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah ia merasa heran, bahwa perempuan tua itu dengan mudah dapat mengalahkan Wiradana. Dengan demikian ia menjadi malu kepada dirinya sendiri

yang mendapat sebutan Serigala Betina namun yang tidak berarti apa-apa bagi perempuan tua itu, sehingga ia lebih pantas disebut Kelinci Sakit-sakitan daripada Serigala Betina itu.

Perjalanan mereka memang merupakan perjalanan yang agaknya panjang. Tetapi

rasa-rasanya mereka memang sedang menuju ketempat yang menyimpan pengharapan. Apalagi bagi Serigala Betina itu. Ia memang ingin sekali bertemu dengan Iswari.

Orang yang pernah diancamnya untuk dibunuhnya. Tetapi syukurlah bahwa pada waktu itu hatinya mendapat tenang sehingga ia mengurungkan kesediaannya untuk membunuh

Nyai Wiradana yang sedang mengandung itu.

Setelah menempuh perjalanan panjang, maka akhirnya mereka memasuki sebuah padepokan yang sejuk. Padepokan Tlaga Kembang. Padepokan yang sejuk. Padepokan tempat memelihara air tawar dan yang pagarnya penuh dengan bunga-bungaan. Ketika mereka memasuki padepokan itu, ternyata padepokan itu masih kosong. Kiai Soka dan orang-orang yang lain masih belum nampak berada di padepokan.

Ketika Nyai Soka bertanya kepada seorang cantrik, maka cantrik itu menjawab, “Bukankah mereka pergi bersama Nyai.”

“Ya. Tetapi arah kepergian kami berbeda-beda,” jawab Nyai Soka.

“Tetapi agaknya mereka singgah di padepokan kakang Badra lebih dahulu.”

Namun dalam pada itu, seorang cantrik telah mengajak seorang bayi laki-laki yang gemuk panjang menghadapi Nyai Soka. Anak itu gembira sekali ketika melihat Nyai Soka sehingga kedua tangannya menggapai-gapai dan berteriak-teriak tidak menentu.

Nyai Soka pun kemudian menerima anak itu. Kepada perempuan yang datang bersamanya ia berkata, “ini adalah anak Iswari itu.”

“O,” perempuan itu termangu-mangu. Terasa kerongkongannya menjadi panas. Anak itu adalah anak yang manis. Jika ia saat itu membunuh ibunya, maka anak itu pun tentu tidak akan pernah lahir di muka bumi.

Tetapi untunglah, bahwa seakan-akan ada yang mencegah melakukannya. Ternyata perempuan yang untuk selamanya tidak pernah membayangkan akan mendapat seorang anak pun karena ia tidak pernah kawin itu, tertarik juga untuk menggendong anak yang manis itu.

Ternyata anak Iswari adalah anak yang berani. Ia mau saja diajak oleh siapapun juga. Bahkan di tangan perempuan yang belum pernah dikenalnya itu, anak yang manis itu sempat juga melonjak-lonjak kegirangan.

“O,” Serigala Betina itu pun menjadi gembira, “Anak ini tentu akan menjadi anak yang nakal sekali.”

Namun perempuan itu mengerutkan keningnya ketika ia teringat bahwa anak itu adalah anak Wiradana, seorang yang telah mencoba untuk membunuhnya. “Tetapi neneknya sangat sayang kepadanya,” berkata perempuan itu di dalam hatinya, kemudian, “Bahkan anak ini pun hampir saja menjadi korban ketamakan ayahnya sendiri lewat tanganku.”

Sejenak kemudian, maka digendongnya anak itu berkeliling padepokan bersama Nyai Soka untuk melihat-lihat dan menikmati sejuknya udara di padepokan.

Agaknya mereka masih harus menunggu dua tiga hari lagi sampai saatnya Kiai Soka datang. Menurut perhitungan Nyai Soka, mereka tentu singgah dahulu di padepokan Kiai Badra untuk satu dua hari. Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Sembojan, Wiradana telah memanggil lima orang terbaik dari para pengawalnya. Kelima orang itu telah diberinya

petunjuk-petunjuk untuk melakukan tugas mereka di luar Tanah Perdikan Sembojan. “Kita tidak boleh membuang waktu,” berkata Wiradana, “Demikian kita menemukannya, maka kita akan membunuhnya.”

Kelima orang pengawalnya mengangguk-angguk. Namun mereka menjadi berdebar- debar juga. Meskipun setiap kali Wiradana mengatakan bahwa sasaran mereka tidak lebih dari perempuan sakit-sakitan.

Ketika rencana itu di dengar oleh Warsi, maka ia telah berusaha mencegahnya.

Meskipun Warsi tidak dapat berkata berterus-terang bahwa ia pernah datang pula

ke rumah Serigala Betina yang kosong, namun Warsi dapat mengatakan, “Perempuan itu tentu tidak akan berani lagi berada di rumahnya. Ia akan pergi dan hidup di sarang para perampokdan penyamun.”

“Mungkin, tetapi mungkin pula ia merasa, karena ia tidak berada di Tanah Perdikan Sembojan, sehingga ia sama sekali tidak memikirkan bahwa kami akan datang untuk menangkap mereka.

Sementara itu meskipun mereka tidak berada di Tanah Perdikan Sembojan, namun mungkin sekali mereka membuat landasan di tempat itu untuk melakukan perampokan di Tanah Perdikan ini,” berkata Wiradana.

Warsi tidak mencegahnya meskipun ia tahu, bahwa Wiradana tidak akan menemukan orang yang dicarinya.

Ketika hari menjadi gelap, maka Wiradana pun telah bersiap dengan

orang-orangnya. Mereka akan memasuki Kademangan sebelah dengan diam-diam dan mengambil perempuan yang disebut Serigala Betina itu.

Namun pada pengawalnya dan juga Warsi menggambarkan, bahwa seandainya Wiradana masih menemukan perempuan yang dicarinya, maka akan terjadi

pertempuran melawan para perampok dan penyamun yang ada di rumah perempuan itu. Karena itu, bagaimanapun juga, ada semacam kecemasan di hati Warsi. Karena itulah, maka ketika Wiradana kemudian berangkat ke padukuhan di luar Tanah Perdikan itu menjelang tengah malam. Warsi pun telah meninggalkan rumahnya pula dengan diam- diam. Ia mencemaskan nasib suaminya.

Mungkin perempuan yang disebut Serigala Betina itu justru akan memanggil kawan- kawannya lebih banyak lagi, sehingga suaminya yang hanya membawa lima orang pengawal itu akan terjebak oleh satu kekuatan yang tidak terlawan. Namun Warsi tidak dapat berkata terus terang, bahwa ia melibatkan diri dalam persoalan antara suaminya dengan perempuan yang disebut Serigala Betina itu. Demikianlah, maka Ki Wiradana bersama kelima orang pengawalnya memasuki Kademangan di sebelah Tanah Perdikan itu dengan laku justru sebagai orang-orang yang ingin merampok.

Mereka menyusup memasuki Kademangan itu dengan menyusuri jalan-jalan setapak yang sepi. Kemudian meloncati dinding padukuhan dan menghindari gardu-gardu peronda.

Namun ketika mereka sampai di rumah perempuan yang disebut Serigala Betina itu, maka rumah itu telah menjadi kosong. Mereka tidak melihat seorang pun yang ada di rumah itu, selain bilik-bilik yang kotor, dinding yang pecah dan geledeg yang terguling.

“Gila,” geram Wiradana. “Mereka benar-benar telah pergi.”

“Ya,” jawab salah seorang dari pengawalnya, “Tidak ada tanda-tanda bahwa rumah ini ditempati oleh seseorang.”

Wajah Wiradana menjadi tegang. Kepergian perempuan itu akan dapat menumbuhkan persoalan baru padanya. Mungkin perempuan itu akan membuka rahasia, bahkan mungkin disertai fitnah yang lebih jahat lagi.

Tetapi Wiradana tidak dapat berbuat apa-apa. Perempuan itu benar-benar telah pergi dan tidak diketahui arah kepergiannya.

Karena itu, betapapun kesalnya Wiradana, maka yang dapat dilakukannya kemudian adalah kembali dengan tidak berhasil melakukan sesuatu.

Ketika Wiradana dan kelima pengawalnya dengan hati-hati meninggalkan rumah itu, agar tidak diketahui oleh para tetangga dan barangkali para peronda, maka seseorang ternyata mengamati tingkah laku mereka dari kejauhan. Orang itu adalah Warsi.

Sebenarnyalah Warsi pun menjadi cemas. Perempuan yang mengetahui rahasia kematian Iswari itu akan dapat mengkhianati suaminya sehingga akan timbul persoalan yang lebih rumit lagi.

"Tidak ada jalan lain" berkata Warsi di dalam hatinya. "Aku harus mengundang kekuatan yang akan dapat mendukung kedudukan Wiradana, karena dengan demikian, maka keturunanku kelak akan dapat mewarisi Tanah Perdikan ini."

Warsi menarik nafas dalam-dalam. Namun sebenarnyalah bahwa Warsi memang mencintai Wiradana. Ia tidak mau kehilangan suaminya apapun yang terjadi. Karena itu, maka ia merasa wajib utuk menyelamatkannya, di samping kedudukan yang mungkin akan dapat diwarisi oleh anaknya kelak.

"Dengan modal Tanah Perdikan, maka gegayuhan yang lebih tinggi tentu akan dapat dicapainya," berkata Warsi di dalam hatinya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar