Suramnya Bayang-Bayang Jilid 07

Jilid 07

juga harus mengalami kebahagiaan batin sebagaimana seharusnya orang hidup berkeluarga, berkata Wiradana.

Warsi tidak menjawab. Namun dalam pada itu, Wiradanalah yang berkata sambil mengusap rambut perempuan yang menangis itu. “Sudahlah. Aku tahu, bahwa kau adalah seorang perempuan yang berbudi luhur. Kau ingin melihat aku bahagia tanpa mengorbankan siapapun juga, meskipun dengan demikian kau sendirilah yang harus menjadi korban. Ternyata kau tidak memikirkan kesenangan dirimu sendiri. Bahkan kau masih juga ingin melihat perempuan yang menjadi madumu itu hidup tenang.

Karena itu Warsi, dengan penilaian itu, maka aku tahu, apa yang harus aku lakukan. Perasaan yang demikian, sebagaimana kau lakukan, tidak akan aku dapatkan dari Iswari. Ia tentu lebih mementingkan dirinya sen-diri sebagaimana aku lihat pada sifatnya sehari-hari.”

Warsi masih tetap berdiam diri. Tetapi agaknya ia berusaha untuk menguasai tangisnya sehingga justru isaknya rasa-rasanya telah menyesakkan dadanya. DENGAN susah payah Wiradana berusaha menenangkan istrinya yang cantik itu, sehingga akhirnya isak tangis Warsi pun mereda. Meskipun demikian titik-titik air mata masih nampak di pelupuk perempuan itu.

Ketika kemudian Wiradana meninggalkan Warsi dan kembali ke padukuhan induk Tanah

Perdikan, maka di dalam benaknya telah mulai berkembang rencana untuk menyingkirkan Iswari. Agaknya iblis benar-benar telah menguasai hatinya sehingga yang kemudian mengalir dari nalar budinya adalah kegelapan semata-mata.

Warsi, sepeninggalan Wiradana masih mengusap matanya yang basah. Namun ia tersenyum di dalam hati. Jalannya sudah menjadi semakin lapang. Bahkan ia yakin, bahwa ia akan segera berhasil merebut Wiradana.

Namun yang kemudian menjadi masalah baginya adalah Iswari yang sedang mengandung

itu. Sebenarnya terlintas juga satu kilatan cahaya terang dihatinya dengan satu niat untuk membiarkan bayi di dalam kandungan itu lahir. Namun yang kemudian dipikirkannya adalah masa depannya. Pengendangnya memang pernah berkata kepadanya, bahwa pewarisan itu akan terjadi jika anak itu akan dapat bertahan hidup sampai dewasa.

“Itu berarti bahwa anak itu harus mati sebelum ia pantas mewarisi kedudukan ayahnya,” berkata Warsi di dalam hatinya. Namun kemudian, “Tetap dengan demikian kerja itu harus dilakukan dua kali. Menyingkirkan ibunya, kemudian menyingkirkan anaknya.”

Di hari berikutnya Warsi masih tetap merenungi persoalan itu. Namun akhirnya ia menggeretakkan giginya sambil berkata kepada diri sendiri. “Apa boleh buat.

Orang-orang yang disebut baik-baik pun melakukan usaha pembunuhan pula untuk mencapai maksudnya. Apalagi aku. Kematian yang dua nyawa sekaligus itu adalah satu kebetulan saja karena dua nyawa itu masih terselubung dalam satu wadag.” Sehingga akhirnya, maka Warsi pun mengambil keputusan, jika mungkin justru sebaiknya istri Wiradana itu disingkirkan sebelum bayi itu lahir.

“Dengan demikian, maka aku tidak akan membiarkan seekor harimau akan sempat menjadi besar dan buas,” berkata Warsi di dalam hatinya.

Dengan demikian, maka usahanya kemudian harus ditunjukkan kepada mempercepat kepu-tusan Wiradana untuk menyingkirkan istrinya. “Tidak ada jalan lain. Perempuan itu tentu akan dibunuhnya, karena ia tidak akan berani menceraikannya, justru karena perempuan itu sangat disayangi oleh ayahnya.”

Di hari-hari berikutnya, maka sikap Wiradana pun menjadi semakin pasti. Dengan licik Warsi selalu berhasil menghasutnya, bahkan selalu dengan kesan,

seakan-akan Warsi adalah seorang yang berhati sebening mata air di lereng perbuktian. Namun yang sebenarnya mengandung racun yang melampaui tajamnya racun

ular bandotan.

Akhirnya hari itu, Wiradana pun menjadi gelap. Hidupnya benar-benar sudah berada dibawah bayangan sebuah mimpi yang suram. Anak Kepala Perdikan Sembojan itu telah kehilangan kiblat hidupnya dan kehilangan pribadinya. Sehingga dengan demikian maka ia tidak lagi dapat mengenali buruk dan baik.

Namun justru pada saat yang demikian, di sebuah pedepokan kecil yang hanya dihuni oleh beberapa orang saja, seorang tua duduk dihadap oleh seorang cantriknya yang sangat dekat dengan dirinya, karena cantrik itu masih termasuk kadangnya sendiri.

“Gandar,” berkata orang tua itu. “Ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu.” Gandar termangu-mangu. Namun ia bergeser semakin dekat sambil bertanya, “Nampaknya Kiai bersungguh-sungguh.”

“Ya Gandar. Aku memang bersungguh-sungguh,” berkata Kiai Badra. “Apa yang akan Kiai katakan?” bertanya Gandar.

“Aku bermimpi Gandar,” desis Kiai Badra.

Gandar mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tersenyum. “Kenapa dengan mimpi itu? Bukankah hampir setiap saat kita tidur, kita selalu bermimpi?”

“Aku bersungguh-sungguh Gandar,” berkata Kiai Badra.

Gandar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera menyahut. Dibiarkannya saja Kiai Badra mengatakan tentang mimpinya.

“Gandar,” berkata Kiai Badra kemudian. “Sudah berapa lama Iswari berada di Tanah Perdikan Sembojan?”

“Sudah hampir setahun bukan Kiai,” jawab Gandar. Tiba-tiba saja suaranya merendah.

“Ah, tentu belum. Tetapi sudah lebih dari delapan atau sembilan bulan,” jawab Kiai Badra. “Selisih itu tidak terlalu banyak,” jawab Gandar. Lalu, “Kira-kira memang sekian bulan.”

“Gandar,” suara Kiai Badra seakan-akan menjadi semakin dalam, “Aku bermimpi bahwa Iswari telah menyalakan obor dimuka rumah Ki Gede Sembojan. Tetapi tiba-tiba saja angin bertiup kencang sekali. Bahkan kemudian obor itu mati dan Iswari telah tersaput oleh pedut yang sangat tebal.”

Gandar mendengarkan kata-kata itu dengan seksama. Tiba-tiba saja ceritera tentang mimpi itu telah menarik sekali baginya. Meskipun demikian, Gandar tidak bertanya sesuatu.

Dalam pada itu, Kiai Badra pun telah melanjutkannya. “Gandar, rasa-rasanya ada sesuatu yang mendorong aku untuk menengoknya. Tetapi rasa-rasanya segan juga aku melakukannya. Baru saja kita meninggalkan Tanah Perdikan. Jika aku datang lagi

ke Tanah Perdikan itu tentu akan dapat menimbulkan kesan yang lain pada Ki Gede.”

Gandar mengangguk-angguk. Ia segera mengerti maksud Kiai Badra. Karena itu, maka katanya, “Bukankah Kiai akan memerintahkan aku untuk menengoknya?”

“Ya Gandar,” jawab Ki Gede, “Tepat. Aku ingin kau pergi ke Tanah Perdikan Sembojan untuk menengok adikmu. Mudah-mudahan ia selalu dalam keadaan sehat.” Gandar menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak pernah menolak segala perintah yang diberikan oleh Kiai Badra. Bahkan seandainya Kiai Badra itu ingin mengambil

hidup matinya sekalipun. Namun perintah untuk menengok Warsi membuatnya menjadi

berdebar-debar.

Sejak ia meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan, rasa-rasanya ia sudah berjanji kepada diri sendiri untuk tidak bertemu lagi dengan Iswari. Cucu Kiai Badra yang dalam hubungan kadang, ia mempunyai kedudukan lebih tua.

Namun tiba-tiba datang perintah itu perintah yang sangat dibencinya.

Tetapi sebenarnyalah Gandar memang tidak dapat menolak. Ia hanya dapat menerima dan menjalankan tugas itu. Apalagi bagi tugas yang sangat ringan. Seakan-akan

Kiai Badra memberikan tugas kepadanya untuk pergi bertamasya ke Tanah Perdikan Sembojan.

Namun tugas yang ringan itu ternyata akan terasa sangat berat bagi Gandar. Tetapi ia sama sekali tidak dapat mengatakan, kenapa tugas ke Tanah Perdikan Sembojan itu akan merupakan tugas yang sangat berat. Meskipun demikian, Gandar hanya dapat mengiyakan. yang ditanya kemudian adalah, “Kapan aku harus berangkat?”

“Semakin cepat semakin baik Gandar. Ada semacam kekhawatiran atas adikmu, seolah-olah aku meninggalkan seorang bayi yang baru pandai merangkak di pinggir jurang yang terjal,” jawab Ki Badra.

Gandar mengangguk-angguk. Katanya, “Besok aku akan pergi ke Tanah Perdikan Sembojan. Mungkin aku terpaksa bermalam satu malam. Baru di hari berikutnya aku kembali.”

Tetapi Kiai Badra justru berkata, “Jangan hanya satu malam Gandar. Kau harus berada di Tanah Perdikan itu barang satu pekan. Mungkin memang tidak ada perlunya, tetapi mungkin ada manfaatnya.”

Gandar memang tidak pernah dapat membantah. Karena itu, betapapun berat perasaannya, maka ia pun menjawab, “Baiklah Kiai. Aku akan berada di Tanah Perdikan barang satu pekan.”

“Mungkin mimpiku adalah mimpi yang tidak punya arti apa-apa Gandar. Tetapi mungkin Yang Maha Agung memberikan satu isyarat bagiku. Tetapi karena kepicikan pengetahuanku, mungkin aku salah menangkap arti isyarat itu,” berkata Kiai

Badra. Lalu, “Karena itu, tengoklah. Lihatlah apa yang terjadi atas Iswari. Mudah-mudahan tidak ada sesuatu.”

Gandar mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Badra berkata, “Berkemaslah. Besok kau akan berangkat.”

Gandar pun kemudian pergi ke biliknya. Dengan wajah yang murung ia duduk merenungi pintu biliknya yang tertutup. Hampir di luar sadarnya, tiba-tiba terbayang wajah seorang perempuan yang pernah tinggal di padepokan itu pula.

Iswari yang masih mempunyai hubungan darah dengan dirinya. Baginya Iswari adalah seorang perempuan yang memiliki unsur-unsur yang lengkap.

Tetapi Gandar yang selalu merasa bahwa dirinya tidak berharga berwajah buruk dan bodoh itu sama sekali tidak pernah menyatakan perasaannya kepada siapapun juga. Karena itu, ketika Iswari kemudian kawin dengan Wiradana, Gandar benar-benar berusaha menguasai perasaannya dengan nalarnya. Bahkan ia mencoba untuk merasa dirinya terbebas dari belenggu perasaan dan ketidakpastian, karena ia tidak akan mungkin lagi merenungi Iswari yang baginya merupakan seorang perempuan yang utuh. Namun keinginannya untuk tidak melihat dan bertemu lagi dengan Iswari ternyata tidak dapat terpenuhi. Ia masih harus pergi ke Tanah Perdikan Sembojan memenuhi perintah Kiai Badra.

Demikianlah, maka Gandar berusaha untuk mengatur perasaannya sebaik-baiknya. Ia da-tang di Tanah Perdikan dengan sikap yang seharusnya wajar dan tidak

dibuat-buat.

Ketika Gandar kemudian perlahan-lahan berdiri, di luar sadarnya ia berpaling ke arah geledeg bambunya, yang dipergunakannya untuk menyimpan barang-barangnya yang tidak seberapa. Namun di dalam geledeg itu pula ia menyimpan sesuatu yang baginya sangat berarti. Sebilah cundrik yang terikat pada seutas rantai baja

putih. Sejenis senjata peninggalan orang tuanya.

Gandar menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah meletakkan senjata itu di dalam geledeg itu untuk beberapa lama. Sejak ia merasa bahwa ia lebih senang tidak diganggu oleh perasaan yang harus dipecahkan dengan senjata.

Namun tiba-tiba mimpi Kiai Badra itu mengingatkannya kepada senjata itu. Justru karena di dalam mimpi itu, Iswari, seorang perempuan yang menjadi kiblat penilaiannya terhadap seorang perempuan, telah mengalami peristiwa yang dapat dibaca sebagai suatu isyarat yang kurang menyenangkan.

BEBERAPA saat Gandar berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ia melangkah meninggalkan geledeg itu tanpa menyentuh senjata peninggalan orang tuanya itu, namun yang penggunaannya telah disempurnakannya kemudian, setelah ia berada di padepokan itu.

Namun sebagaimana dikatakan oleh Kiai Badra, bahwa senjata bukan satu-satunya alat untuk menyelesaikan persoalan.

Meskipun demikian, ketika ia turun ke halaman di malam yang sepi menjelang keberangkatannya di keesokan harinya, di luar sadarnya Gandar telah melangkah menunju ke pintu sanggarnya. Sanggar padepokan kecil.

Perlahan-lahan ia mamasuki sanggar yang gelap, karena tidak ada sebuah lampu pun yang terpasang. Namun tiba-tiba saja Gandar mengerutkan keningnya. Ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya. Baru kemudian, ruang yang gelap itu dapat diamatinya dengan jelas, meskipun sebenarnyalah bahwa ruang itu masih tetap gelap.

Telah cukup lama Gandar tidak bermain-main di dalam sanggar itu. Diamatinya beberapa tonggak yang berdiri tegak dengan ukuran tinggi yang tidak sama. Kemudian seutas tali yang merentang. Seonggok pasir dan batu-batu kerikil. Gandar menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia pergi bersama Kiai Badra ke Tanah Perdikan Sembojan, maka ia tidak lebih dari seorang yang dungu, yang hanya berbuat sesuatu untuk melayani Kiai Badra yang memiliki kemampuan pengobatan. “Apakah aku masih akan tetap seperti itu pada perjalananku kali ini,” berkata Gandar di dalam hatinya.

Tetapi akhirnya Gandar itu merasa malu kepada dirinya sendiri. Yang sudah diletakkan itu seakan-akan akan diambilnya kembali karena tumbuh persoalan tentang Iswari.

“Aku akan pergi ke Tanah Perdikan Sembojan sebagaimana aku pergi beberapa saat yang lalu,” berkata Gandar di dalam hatinya.

Karena itu maka Gandar itu pun kemudian meninggalkan sanggar itu dan kembali ke dalam biliknya.

Pagi-pagi benar Gandar sudah siap. Setelah minum beberapa teguk minuman panas, maka ia pun segera minta diri kepada Kiai Badra untuk segera berangkat ke Tanah Perdikan Sembojan. Satu perjalanan yang cukup jauh. Terlebih-lebih lagi, perjalanan itu rasa-rasanya merupakan perjalanan yang pada perasaan tertopang beban.

Namun perjalanan itu sendiri berlangsung tanpa hambatan apapun juga. Menjelang senja ia sudah memasuki padukuhan induk dan langsung menuju ke rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

Tiba-tiba saja langkah Gandar itu terasa tersendat. Ia selalu teringat mimpi

yang dikatakan oleh Kiai Badra. Mimpi yang menurut pengertiannya secara kasar, Iswari akan disaput oleh satu keadaan yang gelap. Keadaan yang tidak diketahui. Karena itu, maka Gandar pun mulai mengatur perasaannya. Ia harus tetap dapat mempergunakan nalarnya sebaik-baiknya. Jika ia menjumpai satu persoalan, maka ia harus memecahkannya dengan nalar. Tidak semata-mata dengan perasaan.

Ketika Gandar melewati gardu-gardu peronda, agaknya masih belum terisi oleh anak-anak muda yang biasa berjaga-jaga. Namun di regol rumah Kepala Tanah Perdikan, obor sudah menyala dan beberapa orang peronda pun sudah siap.

Debar jantung Gandar pun terasa menjadi semakin cepat. Namun selangkah demi selangkah ia pun mendekati regol. Ia sadar, bahwa ia sudah banyak dikenal di padukuhan induk itu sehingga ia tidak akan mengalami kesulitan untuk datang ke rumah Kepala Tanah Perdikan itu untuk menemui Ki Gede dan Iswari serta suaminya. Sebagaimana di duganya, maka kedatangannya justru mendapat sambutan yang ramah dari anak-anak muda Tanah Perdikan itu.

“MARILAH Gandar,” sambut salah seorang dari para peronda, “Sudah lama kau tidak datang menengok Nyai Wiradana.”

“Bukankah belum terlalu lama?” bertanya Gandar.

“He, bukankah sudah lebih dari setengah tahun?” sahut yang lain.

Gandar mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia menjawab, “Ya. Lebih setengah tahun. Tetapi bukankah sekarang aku sudah disini?”

“Marilah. Ki Gede ada di ruang dalam,” berkata seorang di antara anak-anak muda itu.

Dalam pada itu, salah seorang dari peronda itu telah menyampaikan kepada Ki Gede, bahwa ada seorang tamu yang ingin menemuinya.

“Siapa?” bertanya Ki Gede. “Gandar,” jawab peronda itu.

“Gandar,” ulang Ki Gede, “Bawalah ia masuk.”

Sejenak kemudian, Gandar itu pun telah dibawa masuk langsung ke ruang dalam melintasi pendapa dan pringgitan. Demikian ia memasuki pintu, Ki Gede dengan tergopoh-gopoh telah ber-diri menyambutnya.

“Marilah, marilah,” Ki Gede mempersilakan dengan ramah.

Gandar pun kemudian duduk di ruang dalam, ditemui langsung oleh Ki Gede. Dengan wajah yang cerah Ki Gede pun kemudian menanyakan keselamatan Gandar dan Kiai Badra yang tidak datang bersamanya.

“Kami semua dalam keadaan selamat Ki Gede,” jawab Gandar.

“Syukurlah. Kami sudah merasa terlalu lama tidak mendapat kunjungan Kiai Badra dan kau, Ki Sanak,” berkata Ki Gede kemudian.

Gandar tersenyum. Rasa-rasanya perasaannya pun menjadi sejuk melihat sikap Ki Gede, meskipun ia masih belum bertemu langsung dengan Iswari. Jika benar terjadi sesuatu dengan Iswari, maka sikap Ki Gede dan anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan tentu berbeda.

Dengan demikian, maka perlahan-lahan ketegangan di hati Gandar pun telah memudar. Ia pun kemudian sebagaimana Ki Gede nampak menjadi semakin cerah dan lancar.

Namun dalam pada itu, maka tiba-tiba saja Ki Gede berkata, “Kau tentu ingin bertemu dengan adikmu. Biarlah seseorang memanggilkannya.”

“Ya Ki Gede. Sudah lama aku tidak bertemu dengan Iswari,” jawab Gandar. “Tentu, selama kau tidak bertemu dengan aku,” sahut Ki Gede sambil tertawa. Dalam pada itu, maka Ki Gede pun kemudian menjenguk ke ruang belakang.

Disuruhnya seorang pelayan untuk memanggil Iswari yang agaknya masih berada di dapur menyiapkan makan malam Ki Gede Sembojan.

Namun dalam pada itu, ketika Ki Gede sudah duduk lagi menemui Gandar, seorang pelayan datang sambil berkata, “Ki Gede, Nyai Wiradana sedang berada di pakiwan. Agaknya ia sedang muntah-muntah.”

“Muntah-muntah,” Gandarlah yang menyahut dengan serta merta, “Apakah Iswari sedang sakit?”

Gandar menjadi heran, justru Ki Gede menanggapinya sambil tertawa saja. Jawabnya, “Jangan cemas. Adikmu tidak apa-apa. Meskipun setiap kali ia selalu muntah-muntah, tetapi kau boleh ikut bergembira karenanya.”

“Kenapa?” wajah Gandar menjadi tegang. “Adikmu sedang mengandung,” jawab Ki Gede.

Wajah Gandar justru menegang. Namun kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hati, Gandar mengucap syukur kepada Yang Maha Agung, bahwa Iswari justru telah mendapat satu karunia bagi kelangsungan keturunannya kelak. Dengan melupakan perasaan yang bergejolak di dalam dadanya, maka Gandar merasakan kegembiraan sebagaimana dirasakan oleh Ki Gede yang menunggu hadirnya seorang cucu.

“Gandar,” berkata Ki Gede kemudian. “Sebentar lagi kita akan merayakan dengan menyelenggarakan upacara tujuh bulan kandungan Iswari. Karena itu, aku minta kau jangan meninggalkan Tanah Perdikan ini sebelum upacara itu kami selenggarakan.

Adakah kebetulan sekali bahwa kau datang justru pada saat kami akan mengirim seseorang untuk memberitahukan hal ini kepada kakek Iswari, Kiai Badra.” “Tetapi Ki Gede,” berkata Gandar kemudian. “Sebaiknya aku kembali untuk memberitahukan hal ini kepada Kiai. Kiai tentu ingin sekali menghadiri upacara cucunya itu.”

“Ah, bukankah aku dapat mengirimkan orang lain? Beberapa orang disini sudah pernah melihat padepokan kecil ini, sehingga kau tidak perlu meninggalkan Tanah Perdikan ini. Biarlah aku menyuruh dua tiga orang untuk menjemput Kiai Badra.” Gandar mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak membantah. Untuk sementara ia memang belum memikirkan, siapakah yang akan memberitahukan hal ini kepada Kiai Badra, karena pada saat itu muncul Iswari yang pucat dan berkeringat.

“Kakang,” desis Iswari dengan wajah yang cerah, “Kau datang sendiri saja?” Terasi denyut nadi Gandar semakin cepat. Namun ia pun dapat menguasai perasaannya. Karena itu, ia pun segera menjawab, “Ya Iswari. Aku datang sendiri.”

“Kenapa tidak bersama kakek?” bertanya Iswari pula. “Kakek sedang sibuk di padepokan,” jawab Gandar.

“Sibuk? Apa saja yang dikerjakan kakek di padepokan? Bukankah ada beberapa orang cantrik yang membantunya?” desak Iswari pula.

Gandar mencoba untuk tertawa. Katanya, “Sekarang Kiai Badra berusaha untuk beternak. Itulah sebabnya, maka ia tidak dapat setiap saat meninggalkan padepokan. Para cantrik masih belum terbiasa dengan kesibukan baru itu, sehingga Kiai Badra masih harus selalu menuntunnya.”

Tetapi Iswari justru tertawa. Meskipun demikian ia tidak membantah.

Bahkan kemudian katanya, “Ternyata kau memang mempunyai banyak rejeki kakang. Kau datang tepat pada saat Ki Gede akan makan malam.”

“Bagus,” sahut Ki Gede. “Kita akan makan bersama.”

Sejenak kemudian, maka mereka pun sudah duduk mengelilingi hidangan makan malam.

Nasi hangat dengan sayur yang hangat pula. Sambal terasi dan lalapan. Beberapa potong ikan gurameh yang diambilnya dari kolam sore tadi.

“Marilah,” Ki Gede mempersilakan.

Namun rasa-rasanya masih ada yang kurang bagi Gandar. Sejenak ia menunggu. Namun kemudian ia pun bertanya, “Dimanakah suami Iswari?”

“O,” Ki Gede tersenyum. “Ia sekarang banyak bertugas keluar padukuhan induk. Menurut keterangannya, keadaan menjadi agak kurang meyakinkan. Sekali-kali para peronda melihat orang-orang yang mencurigakan. Menurut dugaan Wiradana, mereka mungkin para pengikut telik sandi yang dikirim oleh Kalamerta atau para

pengikutnya yang masih mendendam.”

Gandar mengangguk-angguk. Namun terasa aneh, bahwa saat di gardu-gardu masih belum ada seorang peronda pun, Wiradana telah meninggalkan rumahnya tanpa menunggu makan malam.

Nampaknya Iswari dapat menangkap perasaan Gandar. Karena itu, maka katanya, “Kakang Wiradana selalu setia kepada tugas-tugasnya. Tetapi bukankah itu sudah wajar?”

“Apakah hal seperti ini dilakukannya setiap hari?” bertanya Gandar. “Ya. Kebanyakan demikian,” sahut Iswari.

“Sebelum makan?” bertanya Gandar pula.

Iswari merenung sejenak. Namun ia pun kemudian mengangguk sambil menjawab, “Ya kakang. Hampir setiap hari kakang Wiradana tidak sempat makan malam.”

Gandar mengangguk-angguk. Tetapi ia masih berkata,

“Iswari. Kau adalah seorang istri. Adalah kewajibanmu untuk memberinya peringatan, bahwa bekerja terlalu berat dan dalam pada itu melupakan makan dan minum, akan berakibat kurang baik bagi kesehatan wadagnya. Bukankah kau cucu seorang yang mumpuni di bidang pengobatan, sehingga kau akan dapat mengatakan kepada suamimu tentang hal itu.”

Iswari tiba-tiba menundukkan kepalanya. Namun dalam pada itu Ki Gede lah yang menyahut, “Sebenarnya tidak kurang Iswari memperingatkan suaminya seperti yang kau kehendaki itu Ki Sanak. Tetapi Wiradana sejak kecil memang merupakan seorang yang keras kepala. Jika ia sudah mempunyai rencana, maka sulit untuk dapat

dicegah. Bahkan aku pun sudah pula memper-ingatkan. Bukan saja tentang makan dan minum tetapi juga tentang keselamatan dirinya. Tetapi agaknya ia benar-benar

merasa bertanggung jawab atas keselamatan Tanah Perdikan ini.”

Gandar mengangguk-angguk. Ia mencoba untuk mengerti, betapa tnggi perhatiannya terhadap Tanah Perdikannya.

“Mungkin ia ingin menunjukkan kepada ayahnya, bahwa ia sudah siap untuk menggantikan kedudukannya, menjadi Kepala Tanah Perdikan. Mungkin bahkan sebelum

bayinya lahir,” pikir Gandar.

Demikianlah, maka Gandar pun kemudian makan malam bersama Ki Gede dilayani oleh Iswari tanpa Wiradana. Dari Iswari, Gandar mendengar bahwa biasanya Wiradana kembali menjelang dini hari. Bahkan kadang-kadang justru sampai pagi.

Perangai Wiradana itu ternyata menarik perhatian Gandar. Ketika kemudian di malam itu, Gandar dipersilakan untuk beristirahat di Gandok, maka ia mulai merenungi tingkah laku Wiradana. Bagi Gandar tingkah laku Wiradana memang agak berlebihan.

“Tetapi aku belum mengetahui keadaan Tanah Perdikan ini di saat-saat terakhir,” berkata Gandar didalam hatinya. “Mungkin keadaannya memang menuntut sikap Wiradana yang demikian.”

Namun karena itu udara malam yang panas, maka rasa-rasanya Gandar tidak tahan untuk berada di dalam biliknya. Sementara itu, ia pun memang belum mengantuk. Karena itu, maka ia pun kemudian keluar dari biliknya dan melangkah menuju ke gerbang menemui anak-anak muda yang sedang meronda.

“Marilah Gandar,” anak-anak muda itu mempersilakan.

Gandar tersenyum. Lalu katanya, “Nampaknya penjagaan terlalu ketat malam ini.” “Tidak,” jawab seorang anak muda, lalu, “Penja-gaan malam ini tidak lebih dari malam-malam sebelumnya.”

“Apakah demikian pula di gardu-gardu di mulut-mulut lorong? Ketika aku memasuki padukuhan induk ini menjelang senja, gardu-gardu masih nampak kosong,” berkata Gandar.

“Meskipun kami tidak boleh kehilangan kewaspadaan, namun adalah satu kenyataan, bahwa akhir-akhir ini keadaan menjadi semakin baik. Rasa-rasanya tidak pernah

ada gangguan yang berarti di dalam Tanah Perdikan ini,” jawab salah seorang di antara anak-anak muda itu.

“Di seluruh Tanah Perdikan?” bertanya Gandar. “Ya,” jawab anak muda itu.

“Tetapi Wiradana nampaknya terlalu sibuk di saat-saat terakhir. Malam ini aku tidak menjumpainya di rumah,” berkata Gandar.

Anak muda itu terdiam sejanak. Namun seorang kawannya menjawab, “Memang keamanan

agak terganggu sekarang Gandar. Tetapi tidak di dalam Tanah Perdikan ini. Justru di luarnya. Agaknya Wiradana memang selalu mengadakan hubungan dengan anak- anak

muda di luar Tanah Perdikan ini. Menurut keterangannya, gerombolan Kalamerta masih saja berkeliaran meskipun mereka tidak berani memasuki Tanah Perdikan ini.”

Gandar mengangguk-angguk. Ada beberapa hal yang menarik. Tetapi ia mengambil satu kesimpul-an, bahwa Wiradana selalu pergi seorang diri.

Tetapi Gandar tidak berani mengambil kesimpulan lebih lanjut. Yang kemudian terngiang kembali di telinganya adalah mimpi Kiai Badra. Mimpi yang dalam banyak hal tidak lebih dari bunga-bunga orang yang sedang tidur. Namun dalam satu masalah tertentu, mimpi kadang-kadang dapat memberikan isyarat yang berarti. Namun dengan demikian, maka Gandar pun telah bertekad untuk tetap berada di Tanah Perdikan sebagaimana disarankan oleh Kiai Badra. Adalah kebetulan bahwa Ki Gede akan menyelenggarakan satu upacara, sehingga ia mempunyai alasan yang tidak segera dicurigai orang lain jika ia berada agak lama di Tanah Perdikan Sembojan.

DALAM pada itu, untuk beberapa lama Gandar berada di antara anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan. Namun kemudian ia pun minta diri untuk kembali ke dalam biliknya.

"Aku sudah mengantuk," berkata Gandar.

"Kau tentu lelah," berkata salah seorang anak muda. "Bukankah kau baru sore menjelang senja tadi kau datang?"

"Ya," Gandar mengangguk-angguk. "Sekarang, rasa-rasanya aku sudah ingin tidur. Besok dan malam-malam berikutnya aku akan dapat berada di gardu ini sampai fajar."

"Besok bukan aku yang meronda," jawab anak muda itu.

"O," Gandar mengangguk-angguk. "Tetapi sama saja bagiku. Siapapun yang meronda."

Sejenak kemudian maka Gandar pun telah meninggalkan gardu peronda itu, kembali ke dalam biliknya. Beberapa saat ia masih berangan-angan. Namun kemudian ia pun telah tertidur nyenyak.

Di dini hari, Gandar telah terbangun sebagaimana kebiasaannya. Ia pun segera pergi ke pakiwan dan menimba air, seperti yang selalu dikerjakan selagi ia berada di Tanah Perdikan dahulu. Ketika pakiwan telah penuh, maka ia pun lalu mandi, selagi pakiwan itu masih belum dipakai. Jika saatnya orang mandi, maka pakiwan itu akan dipakai bergantian terus menerus.

Demikian ia selesai mandi, maka ia pun me-langkah kembali ke gandok untuk membenahi diri. Namun Gandar terkejut bukan buatan. Tiba-tiba saja, Wiradana telah muncul dari sudut kandang di sebelah longkangan.

"Wiradana," desis Gandar.

Wiradana mengangguk-angguk. Di bibirnya nampak sebuah senyum. Dengan nada yang ramah ia bertanya, "Kapan kau datang Gandar?"

"Kemarin sore. Kau tidak ada di rumah. Menu-rut Ki Gede kau sedang nganglang," jawab Gan-dar.

"Ya. Aku memang sedang mempunyai banyak tugas," jawab Wiradana. Lalu, "Tetapi apakah kedatanganmu itu sekadar karena niatmu sendiri, atau kau membawa pesan dari kakek?"

Sejenak Gandar termangu-mangu. Namun kemudian ia pun menjawab, "Tidak ada pesan

apa-apa Wiradana. Aku hanya merasa kangen kepada adikku. Sudah kira-kira setengah tahun aku tidak menengoknya. Bahkan mungkin lebih."

Wiradana mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Syukurlah, jika kau hanya seka-dar menengoknya. Berapa hari kau akan berada disini?"

Pertanyaan itu terdengar agak aneh. Tetapi Gandar tidak mau berprasangka. Maka jawabnya, "Ki Gede minta aku tinggal disini sampai upacara tujuh bulan yang akan segera dilaksanakan."

Wajah Wiradana menegang. Hampir diluar sadarnya ia bertanya, "Dan kau juga menyanggupinya."

"Ya," jawab Gandar.

Wiradana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun tidak bertanya lagi. Sambil melangkah pergi ia bergumam," Aku perlu istirahat."

Tetapi tiba-tiba saja Gandar bertanya, "Apakah kau baru pulang Wiradana?"

“YA,” jawab Wiradana. “Aku bertanggung jawab atas pengamanan Tanah Pedikan ini.” “Apakah kau pergi seorang diri?” bertanya Gandar pula.

Wiradana mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab, “Tidak selalu. Kadang-kadang aku membawa satu dua orang pengawal.”

Gandar tidak bertanya lagi. Wiradana pun kemudian masuk ke ruang dalam lewat pintu butulan.

Gandar menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian melangkah kembali menuju

ke gandok.

“Aku tidak boleh berprasangka,” berkata Gandar di dalam hatinya. “Sementara Ki Gede dan Iswari tidak menaruh kecurigaan apa-apa.”

Di hari itu, Gandar tidak banyak bertemu dengan Wiradana. Seolah-olah Wiradana lebih banyak berada di dalam biliknya. Sementara itu Iswari selalu sibuk bekerja

di dapur.

Namun menjelang tengah hari, Iswari telah siap berbenah diri. Ketika ia akan pergi, ia singgah sejenak di gandok untuk minta diri kepada Gandar, “Kakang, aku akan pergi ke rumah sebelah.” “O,” Gandar yang duduk di dalam gandok pun melangkah keluar, “Untuk apa?” “Tetangga di sebelah melahirkan tiga hari yang lalu. Aku menungguinya di saat bayi itu lahir. Agak sulit. Sejak itu aku belum mene-ngoknya lagi,” jawab Iswari.

Gandar mengangguk-angguk. Katanya, “Pergilah.”

Tetapi ketika Iswari melangkah turun dari tangga gandok, Gandar bertanya, “Kau tidak pergi bersama suamimu?”

“Ah. Tidak,” jawab Iswari. “Selain bukan kebiasaan laki-laki mengunjungi kelahiran, kakang Wiradana sedang beristirahat. Semalam suntuk ia nganglang.” “Lalu di siang hari suamimu tidak banyak berbuat apa-apa?” bertanya Gandar. “Ah, tentu saja ia melakukan tugasnya pula. Tetapi karena kewajibannya di malam hari lebih banyak menuntut waktunya, maka ia berusaha untuk mengurangi

tugas-tugas di siang hari. Kakang Wiradana telah membagi tugas yang kurang penting dan dapat dikerja-kan oleh orang lain di siang hari.”

Gandar mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.

Ketika Iswari kemudian meninggalkannya, maka Gandar itu pun telah duduk di serambi gandok. Dipandanginya kesibukan di rumah Kepala Tanah Perdikan itu.

Meskipun Ki Gede sudah menjadi cacat kaki dan tangannya, tetapi ia masih tetap berada di pendapa untuk mene-rima beberapa orang bebahu yang datang me-nemuinya.

Gandar mengerutkan keningnya, ketika ia melihat Wiradana pun kemudian duduk pula bersama ayahnya. Agaknya memang ada bebe-rapa masalah yang sedang dibicarakan oleh para berbahu.

“Namun agaknya bukan persoalan yang gawat,” berkata Gandar di dalam hatinya. Karena menilik sikap para bebahu, agaknya mereka justru sedang membicarakan sesuatu yang menarik.

Ketika kemudian sekilas Gandar memandang Wiradana yang sedang sibuk berbicara dengan tamu-tamu ayahnya itu, terasa sesuatu bergetar di dahi Gandar. Sambil menarik nafas da-lam-dalam ia berkata kepada diri sendiri, “Aku terlalu

dipengaruhi oleh mimpi Kiai Badra, sehingga semua pandanganku kepada orang-orang di sekitar Iswari telah dialasi dengan kecurigaan. Agaknya aku memang tidak

pantas mencurigai orang-orang yang justru sedang bekerja keras untuk kepentingan Tanah Per-dikan ini.”

Namun sebenarnyalah, alas dari sikap Gandar bukan saja karena mimpi Kiai Badra. Tetapi ia seakan-akan di dorong oleh satu keinginan untuk berbuat sesuatu bagi keselamatan Iswari. Ia merasa tidak rela melihat seandainya Iswari digigit

nyamuk sekalipun. Sejak mereka bersama-sama tinggal di padepokan, maka hampir semua tingkah laku Gandar semata-mata ditujukan untuk kesenangan Iswari.

DAN kini, mimpi Kiai Badra membuatnya sangat cemas tentang perempuan yang sedang mengandung itu. Dalam beberapa kesempatan di hari itu, Gandar dapat berbicara

pula dengan Wiradana yang datang menemuinya di gandok. Namun nada pembicaraan Wiradana agak berbeda dengan Ki Gede Sembojan.

Ketika mereka membicarakan rencana upacara tujuh bulan kandungan Iswari, maka Wiradana itu pun berkata, “Sebenarnya tidak akan ada apa-apa, Gandar. Agak-nya

ayah hanya mengatakan menurut basa-basi saja. Semuanya akan dilangsungkan dengan sederhana. Karena itu, bukan satu hal yang seharusnya kau lakukan untuk menunggu hari itu seandainya kau memang mempunyai kepentingan yang lain. Kecuali jika kau memang ingin menunggui adikmu. Sementara itu, agaknya Kiai Badra pun tidak perlu diberi tahu. Besok saja, jika bayi itu lahir, maka biarlah satu dua orang datang

kepada kakek untuk mengabarinya.”

Gandar mengerutkan keningnya. Semula ia sudah berusaha untuk menyingkirkan segala macam prasangka. Tetapi sikap Wiradana itu justru telah menumbuhkan pertanyaan-pertanyaan baru.

Sementara itu Wiradana pun berkata selanjutnya, “Yang sekarang lebih menarik perhatianku sebenarnya adalah justru pengamanan daerah ini. Ada beberapa laporan tentang hadirnya beberapa orang yang pantas dicurigai. Beberapa kejahatan kecil telah terjadi dipadukuhan-padukuhan justru di luar Tanah Perdikan ini. Karena

itu, aku harus mendapat keterangan sebanyak-banyaknya tentang hal itu, agar dengan demiki-an aku dapat mengatur Tanah Perdikan ini sebaik-baiknya. Aku masih selalu memikirkan kemungkinan Kalamerta kembali membawa dendam di Tanah Perdikan

ini.”

Gandar mengangguk-angguk. Ia tidak memberikan banyak tanggapan. Namun ia lebih banyak berbicara kepada dirinya sendiri. Rasa-rasa ada semacam kecemasan bahwa dengan demikian Iswari akan merasa kesepian. Bagaimanapun juga, tidaklah sewajarnya jika seorang istri terlalu sering ditinggalkan di rumah sendiri

semalam-malaman.

Lebih dari itu, ada perasaan tidak rela di dalam dada Gandar melihat perlakuan Wira-dana atas Iswari apapun alasannya. Karena betapapun besarnya tanggung jawab Wiradana atas Tanah Perdikan Sembojan, namun ia pun harus bertanggung jawab pula atas kesejahteraan istrinya, lahir dan batin. Karena itu, adalah tidak wajar

jika setiap malam Iswari dibiarkannya merenungi dirinya sendiri di

pembaringannya justru pada saat harapannya untuk mendapatkan seorang anak sedang melambung.

Sesaat kemudian, Wiradana masih melanjutkan, “Karena itu Gandar, jangan terikat oleh keinginan ayah untuk tinggal disini sampai upa-cara tujuh bulan kandungan Iswari. Tidak akan ada apa-apa. Jika kau segan mengatakannya kepada ayah, biarlah aku saja yang mengata-kannya.”

Tetapi justru karena itu, keinginan Gandar tetap berada di Tanah Perdikan itu menjadi semakin besar. Namun ia tidak mengatakannya, bahkan tiba-tiba saja telah tumbuh rencana di dalam dirinya.

Karena itu, maka Gandar pun kemudian menjawab, “Wiradana, sebenarnyalah bahwa aku mempunyai kewajiban yang tidak dapat aku tinggalkan terlalu lama. Jika demikian halnya, maka biarlah aku berterus terang kepada Ki Gede bahwa aku tidak perlu menunggu sampai upacara itu.”

“Bagus,” desis Wiradana hampir di luar sadarnya. Sementara itu terkilas di dalam hatinya, bahwa kehadiran Gandar hanya akan mengganggu rencananya yang sudah disiapkannya bersama Warsi. Menyingkirkan Iswari. Jika perlu justru pada saat bayinya belum lahir. Bagi Warsi hal itu akan merupakan kerja yang sekaligus

tanpa bersusah payah melakukan lagi untuk melenyapkan anak Iswari yang akan berhak mewarisi Tanah Perdikan ini.

Karena itu, maka Wiradana itu pun berkata, “Tetapi segalanya terserah kepadamu. Jika kau ingin tinggal di Tanah Perdikan ini, kami pun akan menerimanya dengan senang hati. Namun seandainya kau harus kembali karena tugas-tugasmu di padepokanmu, maka aku kira ayah pun tidak akan berkeberatan.”

“Ki Wiradana,” berkata Gandar kemudian, “Aku akan mengambil jalan tengah-tengah. Aku akan berada beberapa hari lagi di Tanah Perdikan ini, tetapi tidak sampai upacara tujuh bulan kandungan Iswari. Dengan demikian, maka rasa-rasanya aku dapat memenuhi semua keinginannya.”

“Terserah kepadamu,” berkata Wiradana. Sebenarnya ia masih kecewa juga. Tetapi itu akan lebih baik daripada Gandar menunggu sampai hari upacara itu.

“Aku harus melenyapkan Iswari sebelum upacara,” berkata Wiradana yang hatinya sudah disusupi iblis itu.

Demikianlah, maka Gandar masih akan berada di Tanah Perdikan itu untuk beberapa hari. Namun ia akan memanfaatkan saat-saat itu sebaik-baiknya. Saat yang hanya beberapa hari itu.

Ternyata bahwa Gandar tidak dapat bertahan pada sikapnya sebagai sekadar orang yang dungu dan tidak mampu berbuat apa-apa. Meskipun ia tetap mempertahankan anggapan orang lain atasnya, tetapi ternyata bahwa ia telah berbuat sesuatu.

Ketika malam turun, maka ia tidak berada di dalam gandok tanpa diketahui oleh siapapun. Ia sempat melihat Wiradana turun di saat Tanah Perdikan Sembojan mulai diselubungi oleh kegelapan. Ternyata bahwa Gandar mempunyai kemampuan untuk melakukan sesuatu. Di dorong oleh gejolak perasaannya, maka telah timbul di

dalam hatinya keinginan untuk mengetahui, apa yang dilakukan oleh Wiradana di malam hari.

Karena itu, maka Gandar pun telah mengikutinya. Ia sadar, bahwa Wiradana anak Ki Gede Sembojan sekaligus muridnya, adalah seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Ki Gede sendiri telah berhasil membunuh orang yang bernama Kalamerta.

Nama yang sangat disegani bukan saja di Tanah Perdikan Sembojan, tetapi nama itu rasa-rasanya telah menghantui seluruh Kadipaten Pajang.

Dengan demikian maka Gandar pun telah melakukannya dengan sangat hati-hati. Ia tidak boleh gagal, sehingga Wiradana mengetahui apa yang dilakukannya. Jika demikian, maka persoalannya benar-benar akan menjadi sangat menyulitkan Iswari. Seandainya sebelumnya tidak ada persoalan apapun juga, maka yang dilakukannya itu justru akan menghancurkan hidup Iswari dan hari depannya.

Namun ternyata bahwa Gandar yang dianggap dungu itu mampu melakukannya. Ia mampu

mengikuti perjalanan Wiradana yang tergesa-gesa, keluar dari Tanah Perdikan. “Apakah setiap malam Wiradana menempuh perjalanan yang cukup panjang ini?” bertanya Gandar di dalam hatinya.

Semakin lama Gandar rasa-rasanya menjadi semakin ingin tahu, kemana Wiradana itu akan pergi. Karena itu, maka ia pun menjadi semakin rapat mengikutinya, agar ia tidak kehilangan jejak, namun juga tidak diketahui bahwa ia telah mengikutinya.

Ketika kemudian Wiradana memasuki sebuah padukuhan, jantung Gandar berdebar semakin cepat. Nampaknya daerah tetangga Perdikan Sembojan itu bukannya satu Tanah perdikan. Tetapi satu Kademangan yang tidak begitu besar. Kegiatan anak-anak mudanya pun tidak sebagaimana dilakukan oleh anak-anak muda Sembojan, apalagi setelah Ki Gede Sembojan membunuh orang yang bernama Kalamerta.

Karena itu, maka rasa-rasanya padukuhan itu sangat lengang. Tidak ada orang sama sekali di gardu di mulut padukuhan. Ketika Wiradana memasuki padukuhan itu, tidak seorang pun yang menyapanya. Setiap pintu rumah sudah tertutup rapat.

Bahkan regol-regol halaman pun telah tertutup pula. tidak ada kesan sama sekali bahwa padukuhan itu telah di jamah oleh kerusuhan sebagaimana dikatakan oleh Wiradana.

Kecurigaan Gandar menjadi semakin meningkat, ketika kemudian Wiradana memasuki sebuah regol halaman rumah yang tidak terlalu besar.

Jantung Gandar menjadi semakin cepat berdenyut. Namun ia masih berusaha untuk dapat berbuat sebaik-baiknya. Baginya Wiradana adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi karena ia adalah anak dan murid Ki Gede Sembojan.

Untuk beberapa saat lamanya, Gandar tidak segera mendekati rumah itu. Ia berusaha untuk menenangkan hatinya, agar ia mampu memusatkan kemampuannya, menahan pernafasannya sehingga desahnya tidak mudah didengar oleh orang lain.

Apalagi orang yang memiliki ilmu yang tinggi.

Baru setelah ia berhasil menenangkan dirinya maka dengan sangat berhati-hati Gandar telah mendekati rumah kecil itu. Dengan berlandaskan kemampuannya, maka ia berusaha untuk menyerap segala macam bunyi yang mungkin timbul dari dirinya. Pernafasannya, langkahnya, mungkin jika tubuhnya menyentuh dinding, dan kemungkinan-kemungkinan lainnya yang dapat terjadi.

Dalam keadaan yang demikian itulah, Gandar kemudian mendekati dinding rumah itu.

Namun langkahnya tiba-tiba berhenti. Ia menjadi ragu-ragu. Ada semacam hambatan di dalam dirinya untuk meneruskan niatnya.

“Bagaimanakah jika aku melihat sesuatu yang dapat menyakiti hati Iswari,” berkata Gandar di dalam hatinya.

Sejenak Gandar termangu-mangu. Namun dorongan ingin tahunya kemudian telah memaksanya untuk bergeser semakin dekat dengan dinding rumah kecil itu.

Dengan ketajaman pendengarannya, maka dari balik dinding Gandar mendengar percakapan di dalam. Perlahan-lahan sekali. Tetapi jelas bagi Gandar.

Terasa jantung Gandar bagaikan akan terlepas dari tangkainya. Dalam beberapa saat kemudian, ia tahu pasti, apa yang sebenarnya telah terjadi. Apa yang dilakukan oleh Wiradana jika ia pergi meninggalkan rumahnya, meninggalkan Iswari dan meninggalkan Tanah Perdikannya di malam hari. Hatinya yang sudah mulai tenang itu telah bergejolak kembali. Rasa-rasanya ia ingin meloncat dan mencekik Wiradana yang curang itu.

Namun untunglah, bahwa Gandar masih dapat menahan diri. Rasa-rasanya masih ada satu keinginan untuk membuktikannya dengan penglihatannya. Apa yang telah dilakukan oleh Wiradana di rumah itu. Seakan-akan bukan oleh kehendaknya

sendiri, Gandar telah bergeser melekat dinding. Ketika ia menemukan sebuah lubang di antara anyaman bambu dan tiang kayu, maka ia telah mengintip ke dalam.

“O,” Gandar mengeluh. Ia melihat Wiradana duduk bersama seorang perempuan yang sangat cantik. Seorang perempuan yang menyambutnya dengan manja dan agaknya telah menyediakan makanan dan minuman yang hangat baginya.

Namun dalam pembicaraan mereka, Gandar mengetahuinya bahwa keduanya telah menjadi suami istri sebagaimana Wiradana dengan Iswari.

Tubuh Gandar menjadi gemetar. Tetapi justru dengan demikian, maka ia telah kehilangan pemusatan nalar budinya untuk menyerap bunyi yang timbul dari dirinya. Karena itu, maka penyerapannya pun menjadi berkurang pula.

Gandar baru sadar, baha ia telah melakukan sesuatu kesalahan ketika tiba-tiba saja ia melihat perempuan yang duduk di samping Wiradana itu mengangkat

wajahnya, justru pada saat Wiradana baru menghirup minuman hangatnya, sehingga Wiradana tidak memperhatikannya.

“Kakang,” tiba-tiba saja terdengar suara perempuan cantik itu, “Ada sesuatu yang terlupa. Aku akan mengambil gula kelapa di dapur sejenak.”

“Minuman ini sudah cukup manis,” berkata Wiradana.

Perempuan itu tersenyum. Sambil berdiri ia menepuk bahu Wiradana sambil berdesis, “Hanya untuk sekejap. Nanti kita makan bersama-sama.” Perempuan cantik itu pun kemudian berdiri dan melangkah ke dapur.

Gandar menyadari kelengahannya. Ia pun kemudian telah kembali memusatkan ilmu serapnya, sehingga tidak ada lagi bunyi apapun yang timbul daripadanya. Bahkan seandainya ia menyentuh dinding sekalipun.

Namun sebenarnyalah Gandar ingin tahu, apa yang akan dilakukan perempuan cantik itu di dapur.

Dengan hati-hati Gandar bergeser dari tempatnya. Melihat arah perempuan itu, Gandar dapat menduga, di manakah letak dapur di rumah itu.

Karena itu, maka ia pun telah melingkari sudut rumah itu dan berusaha untuk dapat mengintip pula ke dalam dapur.

Ternyata Gandar menemukan lubang kecil di sela-sela anyaman dinding. Dari sela-sela itu ia melihat ke dalam dapur yang gelap. Namun dengan mengerahkan

kemampuannya, maka pandangan matanya pun menjadi semakin tajam sehingga dapat mengatasi kegelapan dapur yang lampunya sudah tidak dinyalakan lagi itu.

Namun tiba-tiba jantungnya berdegup lebih cepat lagi. Bahwa ia menghadapi satu kenyataan tentang Wiradana yang mempunyai istri yang lain kecuali Iswari dan telah membuat darahnya menjadi panas.

Namun kemudian ia telah melihat satu kenyataan lain yang membuat darahnya semakin mendidih.

Ternyata Gandar melihat perempuan cantik itu berdiri tegak sambil menengadah kepalanya. Tangannya ditekuk pada sikunya sejajar di sebelah menyebelah tubuhnya dengan jari-jari yang mengepal.

“Gila,” desis Gandar di dalam hatinya. Ia mengenal sikap itu. Sikap pemusatan kekuatan lahir dan batin dari satu aliran ilmu yang mendebarkan. Satu garis keturunan dengan ilmu yang dimiliki oleh Kalamerta.

“Siapakah sebenarnya perempuan ini?” bertanya Gandar kepada dirinya sendiri. Namun ia tetap sadar akan dirinya. Ia pun telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk mempertinggi daya serapnya, karena itu ia tahu bahwa agaknya perempuan itu telah mendengar sesuatu, sehingga ia pun telah berusaha mendengar lagi dengan memusatkan ilmunya untuk mempertajam pendengarannya.

Sebenarnyalah memang telah terjadi satu benturan ilmu. Ilmu yang melandasi

Gandar atas ilmu serap bunyi, dan ilmu Warsi yang mampu mempertajam daya tangkap pendengarannya.

Namun pertempuran itu tidak berlangsung terlalu lama. Sejenak kemudian terdengar suara Wiradana memanggil, “Warsi.”

Warsi menarik nafas dalam-dalam. Ia terpaksa melepaskan ilmunya. Namun nampaknya

ia sudah puas dengan pengamatannya yang sesaat dengan pendengarannya, karena ia memang tidak mendengar apa-apa.

“Agaknya aku telah tergoda oleh desis angin,” berkata Warsi di dalam hatinya.

Ia pun kemudian melangkah, keluar dari kegelapan. Namun begitu ia melampaui pintu, cepat-cepat ia melangkah kembali sehingga Gandar menjadi berdebar-debar. Namun ternyata Warsi masih menyempatkan diri mengambil beberapa gula kelapa. Demikian cepatnya meskipun di dapur itu tidak ada lampu sama sekali.

Demikinlah Warsi hilang dari balik pintu dapur, maka Gandar pun menarik nafas

dalam-dalam. Yang dilakukannya pertama-tama kemudian menjauhi rumah itu. Bahkan Gandar telah meloncati dinding halaman dan kemudian menyusuri lorong sempit ke jalan yang lebih besar. Dengan hati-hati Gandar berjalan dengan langkah yang

diberati oleh tekanan perasaannya, keluar dari padukuhan itu.

Namun untuk beberapa saat, Gandar yang kemudian turun ke sungai kecil yang menyilang jalan itu, duduk di atas sebongkah batu di belakang semak-semak. Getar di dadanya bagaikan tidak dapat diterangkan lagi. Rasa-rasanya ia sudah siap untuk mengoyak tubuh Wiradana yang telah berkhianat terhadap Iswari.

Tetapi dengan susah payah Gandar berusaha untuk mempergunakan nalarnya. Agaknya Iswari sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi. Karena itu,

seandainya ia melakukan satu langkah yang mengarah kepada terbukanya rahasia itu, maka ia tidak akan sampai hati melihat akibat yang akan terjadi atas

Iswari, justru pada saat Iswari sedang mengandung.

“Kejutan itu akan sangat berpengaruh atas kandungannya,” berkata Gandar di dalam hatinya.

Namun demikian kebencian yang tidak terbatas telah mengguncang perasaannya terhadap Wiradana.

“Apa yang harus aku lakukan?” Gandar menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Betapa ia berusaha, tetapi ia tidak menemukan jalan terang yang paling pantas untuk dilakukannya. Bahkan demikian ia berusaha memikirkan persoalan itu, maka kepalanya pun telah menjadi sangat pening karenanya.

Akhirnya Gandar itu pun berdiri. Ia masih sadar, bahwa ia harus berada di gandok sebelum fajar. Sehingga karena itulah, maka dengan langkah yang gontai ia berjalan kembali ke Tanah Perdikan Sembojan.

Dalam dinginnya udara malam, ternyata Gandar menemukan satu jawaban, “Aku akan menunggu sampai Iswari melahirkan. Anak itu adalah anak Wiradana. Laki-laki atau perempuan, anak itu adalah anaknya yang pertama. Jika ia laki-laki, ia akan

langsung menjadi calon pengganti ayahnya kelak. Jika ia perempuan, maka menantunyalah yang akan menduduki jabatan itu.”

Tetapi satu pertanyaan timbul, “Bagaimana jika perempuan itu mempunyai anak laki-laki?”

Gandar menggeram. Namun akhirnya ia bertekad untuk berbicara kelak dengan Ki Gede. Tetapi sekali lagi ia berdesis, “Aku harus menahan diri sampai anak itu lahir. Jika satu persoalan akan mempengaruhi anak di dalam kandungan itu, maka hati Iswari akan menjadi semakin hancur karenanya.”

Dengan demikian, maka rasa-rasanya hati Gandar menjadi lebih mapan untuk menentukan langkah-langkahnya, meskipun masih belum pasti. Segalanya akan dilakukan setelah anak Iswari lahir. Bahkan seandainya ia harus berhadapan dengan perempuan cantik, istri Wiradana yang ternyata memiliki ilmu yang tinggi itu.

Namun Gandar pun berkesimpulan, agaknya Wiradana tidak menyadari bahwa istrinya memiliki ilmu yang nggegirisi. Istrinya itu pun agaknya dengan sengaja telah menyembunyikan kemampuannya.

“Ia memikat Wiradana tentu dengan kecantikannya,” berkata Gandar di dalam hatinya.

DALAM pada itu, ketika fajar menyingsing dan terdengar suara sapu lidi di halaman, Gandar memang sudah berada di dalam biliknya di gandok rumah Ki Gede Sembojan. Ketika ia membuka pintu, dilihatnya dalam keremangan dini hari, seseorang sedang menyapu halaman.

Gandar pun melangkah turun ke halaman dan sejenak kemudian ia pun telah pergi ke pakiwan. Maka senggot timba pun telah berderit. Seperti yang dilakukannya sebelumnya, maka Gandar pun telah mengisi pakiwan.

Para pembantu di rumah Ki Gede telah mempersilakannya untuk langsung mandi saja. Tetapi Gandar menjawab, “Aku sudah terbiasa bekerja apa saja di padepokan.”

Karena itu, maka akhirnya Gandar itu pun dibiarkannya saja mengambil air untuk mengisi pakiwan.

Jantung Gandar terasa berdesir ketika tiba-tiba saja melihat Wiradana dengan tergesa-gesa pergi ke pakiwan. Ketika Wiradana itu melihat Gandar, maka ia pun telah tertegun. Namun Gandar justru bagaikan membeku. Ia sedang bergulat dengan perasaannya agar ia tidak berbuat sesuatu yang dapat merusak suasana tenang di rumah itu. Suasana yang dapat membentuk ketenangan hati Iswari dan bayi di dalam kandungannya.

Karena Gandar tidak menyapanya, maka Wiradanalah yang kemudian bertanya, “Sepagi ini kau sudah menimba air Gandar?” Gandar menarik nafas dalam-dalam. Hampir tidak terloncat dari bibirnya, namun akhirnya terdengar juga ia menjawab, “Sebagaimana selalu aku lakukan di padepokan.”

Wiradana tidak bertanya lagi. Ia pun langsung pergi ke pakiwan. Demikian ia selesai membersihkan diri, maka ia pun telah meninggalkan pakiwan itu.

Tetapi Gandar ternyata sudah sempat ber-tanya, “Apakah kau baru pulang?”

“Ya,” sebenarnyalah Wiradana benci sekali mendengarkan pertanyaan itu. Tetapi ia harus menjawabnya. Lalu, “Aku langsung nganglang dan melihat air di

parit-parit.”

Gandar tidak bertanya lagi. Ia mencemaskan dirinya sendiri bahwa pada satu saat ia tidak lagi mampu mengekang pertanyaannya.

Tanpa berpaling lagi, Wiradana pun telah hilang lewat pintu dapur masuk ke ruang dalam.

Dalam pada itu, selagi Gandar masih belum selesai memenuhi jambangan di pakiwan, jantungnya berdesir ketika ia melihat Iswari keluar pula dari pintu dapur sambil membawa beberapa mangkuk kotor yang akan dicuci didekat sumur. Sambil tersenyum cerah ia bertanya kepada Gandar, “Kau sudah menurut kakang.”

Dada Gandar terasa berdegupan. Ia melihat senyum Iswari yang cerah. Namun seakan-akan ia juga melihat Iswari yang sedang menangisi nasibnya yang sangat malang, karena suaminya telah mengambil orang lain untuk menjadi istrinya pula. Bahkan agaknya Wiradana lebih mencintai yang kedua, karena hampir tiap malam, Wiradana memilih berada di tempat istri-nya itu.

“Tetapi memang mungkin sekali terjadi, perempuan itu telah kawin dengan Wiradana sebelum ia kawin dengan Iswari,” berkata Gandar di dalam hatinya. Tetapi kemungkinan itu agaknya kecil sekali. Karena sebelumnya, Wiradana seakan-akan tidak pernah meninggalkan rumahnya sampai semalam-malaman. Bahkan ia lebih banyak berada di rumahnya atau di gardu-gardu perondan di Tanah Perdikan Sembojan.

Iswari mengerutkan keningnya. Gandar tidak segera menjawab pertanyaannya, bahkan seakan-akan Gandar itu sedang mengingat-ingat sesuatu yang terlupakan.

“Ada sesuatu yang kau pikirkan kakang?” bertanya Iswari.

“O,” Gandar tiba-tiba saja berdesah. Namun dengan cepat ia berusaha memperbaiki kesalahannya. Katanya, “Aku memang sedang mengingat mimpiku semalam. Aku berniat mengatakan kepadamu. Tetapi tiba-tiba aku telah lupa.”

“MIMPI tentang apa kakang? Apakah mimpi itu begitu pentingnya sehingga kau berniat untuk mengatakan kepadaku?” bertanya Iswari.

“Tidak begitu penting. Aku memang telah melupakan mimpi itu, tetapi kesannya mimpi itu baik bagimu Iswari,” jawab Gandar.

Iswari tertawa. Tetapi rasa-rasanya suara tertawa itu tidak ubahnya dengan suara tangis yang memilukan. Namun demikian, Gandar masih tetap dikendalikan dengan nalarnya. Bukan sekadar perasaannya.

Iswari kemudian meletakkan mangkuk-mangkuknya di dekat jambangan kecil yang sering dipergunakannya untuk mencuci alat-alat dapurnya kemudian berjongkok sambil berkata, “Kakang, aku minta airnya.”

Dengan serta merta Gandar pun telah menimba air dan dituangkannya ke dalam jambangan kecil itu. Ada semacam gejolak di dalam hatinya mendengar permintaan Iswari meskipun hanya air se jambangan kecil. Justru karena Gandar mengetahui keadaan yang sedang dialami oleh Iswari.

Demikian, sejak hari itu, Gandar harus berusaha sekuat-kuatnya untuk menahan gejolak di dalam hatinya Ia harus bersikap wajar dan seakan-akan tidak mengetahui apapun juga.

Kadang-kadang memang ada perasaan menyesal di dalam dirinya, bahwa ia sudah mengikuti dan kemudian mengetahui apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh Wiradana, sehingga dengan demikian, maka perasaannya telah dibebani karenanya. Beban yang justru terasa sangat berat.

Dengan demikian, maka Gandar merasa bahwa ia tidak akan dapat terlalu lama berada di rumah Ki Gede dengan beban tersebut. Sehingga dengan demikian maka ia memutuskan untuk segera meninggalkannya dengan pengertian, bahwa setelah anak yang ada di dalam kandungannya itu lahir, maka ia akan membuat perhitungan dengan Wiradana.

“Aku akan melaporkannya kepada Ki Gede,” geram Gandar yang agaknya tidak berkeberatan apabila karena itu akan timbul akibat yang memaksanya berhadapan dengan perempuan cantik, yang memiliki ilmu yang tinggi yang ternyata telah menguasai Wiradana itu.

“Apa boleh buat,” geram Gandar, “Dan agaknya ilmu perempuan itu melampaui ilmu yang dimiliki oleh Wiradana.”

Ketika Gandar kemudian menyampaikan maksudnya untuk pulang ke padepokannya, Ki Gede terkejut sekali. Menurut tangkapannya, maka Gandar akan berada di rumahnya sampai upacara tujuh bulan kandungan Iswari. Namun tiba-tiba saja ia telah minta diri.

“Aku merasa sangat gelisah untuk terlalu lama berada disini Ki Gede,” berkata Gandar. “Rasa-rasanya aku sudah meninggalkan tugas-tugasku terlalu lama. Sementara itu Kiai Badra akan menjadi kebingungan menunggu kedatanganku. Mungkin

Kiai Badra telah dicemaskan oleh kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi atasku diperjalanan. Jika ternyata kelak Kiai Badra sendiri ingin hadir, maka alangkah baiknya dan alangkah senangnya Iswari dalam upaya tujuh bulan kandungannya itu.”

“Sudah aku katakan,” berkata Ki Gede. “Biarlah orangku pergi ke padepokan. Kau berada disini dan Kiai Badra akan aku undang pula untuk datang. Waktunya tinggal beberapa hari saja.”

“Biarlah aku sendiri saja kembali ke padepokan Ki Gede,” berkata Gandar. “Rasa-rasanya ada sesuatu yang memanggil aku pulang,” jawab Gandar.

Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun ia pun berkata, “Tetapi pada hari upacara, kau dan Kiai Badra harus berada disini. Harus.”

Gandar berusaha untuk tersenyum. Katanya, “Baiklah Ki Gede. Aku akan mengatakannya kepada Kiai Badra.”

Ternyata Iswari pun terkejut mendengar Gandar yang minta diri untuk pulang. Tetapi Gandar kemudian berhasil meyakinkan bahwa ia akan datang lagi bersama Kiai Badra secepatnya.

“AKU akan menangis jika kau dan kakek tidak ada disini pada upacara itu,” berkata Iswari.

Gandar menyadari, bahwa Iswari hanya se-kadar bergurau. Tetapi hati Gandar justru merasa sakit, karena ia tahu, bahwa pada suatu saat Iswari benar-benar akan menangis jika ia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi atas dirinya.

Namun dengan susah payah Gandar memaksa dirinya untuk tersenyum sambil berkata, “Aku tentu akan datang Iswari.”

Demikianlah, maka Gandar pun telah meninggalkan rumah Ki Gede Sembojan. Tetapi rasa-rasanya hatinya telah terbelah. Yang dilihatnya di Sembojan adalah satu peristiwa yang sangat pahit, bukan saja bagi Iswari, tetapi juga bagi Kiai Badra

dan dirinya sendiri. Semakin jauh Gandar melangkah, hatinya terasa menjadi semakin bergejolak. Kemarahan, kebencian dan bahkan dendam telah membakar hatinya. Rasa-rasanya terlalu sakit jika ia harus sekadar merendamnya di dalam dadanya.

Karena itu, demikian Gandar terlepas dari Tanah Perdikan Sembojan, maka tiba-tiba saja ia sudah berlari mendaki sebuah bukit berbatu-batu. Rasa-rasanya ia ingin melepaskan kepenatan hatinya di atas bukti yang tidak dihuni oleh seorang pun juga.

Dengan mengerahkan tenaga dan kemampuannya, Gandar pun berlari dan berlari. Kakinya semakin lama menjadi semakin cepat bergerak. Bahkan kemudian kaki itu telah berloncatan dari batu ke batu, mendaki dan kemudian bagaikan

melayang-layang di puncak bukit itu.

Ketika Gandar yakin bahwa ia telah berada jauh dari sesamanya, maka tiba-tiba saja ia telah berdiri di atas sebongkah batu. Sambil menengadahkan kepalanya, tiba-tiba saja ia berteriak sekeras-kerasnya. Seakan-akan ia ingin melontarkan

segala persoalan yang telah menyumbat dadanya, dilambari dengan segenap kekuatan ilmunya.

Akibatnya ternyata mendebarkan jantung. Suara yang terlontar dari sela-sela bibir Gandar telah menggetarkan bukit berbatu kapur itu. Batu-batu kecil yang terletak di bibir lereng-lereng bukit itu telah berguguran. Sementara

semak-semak bagaikan digundang. Daun-daun yang kuning telah runtuh jatuh di atas bebatuan.

Untuk beberapa saat Gandar mengguncang bukit itu. Namun agaknya ia masih belum puas. Tiba-tiba saja ia telah meloncat, berdiri tegak sambil menyilangkan

tangannya di dada dengan telapak tangan terbuka. Dengan satu loncatan panjang, maka tangan itu telah terayun dengan kerasnya menghantam lereng batu kapur di atas bukit itu.

Sejenak kemudian terdengar suara gemuruh. Tangan Gandar benar-benar telah memecahkan batu-batu kapur itu, sehingga berguguran menghambur dibawah kakinya. Sejenak Gandar masih berdiri mematung. Namun kemudian ia telah menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya beban di dalam dadanya telah berkurang, setelah dilontarkannya lewat suara dan kekuatannya.

Seluruh tubuh Gandar telah menjadi basah oleh keringatnya. Nafasnya menjadi berkejaran lewat lubang hidungnya. Setelah menghentakkan segenap kekuatan ilmunya, maka rasa-rasanya tubuh Gandar menjadi letih. Gandar pun kemudian duduk di atas sebongkah batu kapur. Dipandanginya lereng disekitarnya. Sepi.

Namun terasa kemudian angin yang semilir telah menerpa tubuhnya yang menjadi semakin segar.

Untuk beberapa saat Gandar duduk merenung. Ia masih berusaha menemukan sikap yang sebaiknya dilakukan. Ia memang telah memutuskan untuk mempersoalkan hubungan Wiradana dengan Iswari setelah anak Iswari lahir. Namun sementara itu, apakah yang se-baiknya dilakukannya. Apakah ia akan menyampaikan persoalan itu kepada Kiai Badra yang hatinya tentu akan menjadi hancur pula mengingat nasib cucunya yang malang itu. Ayah ibu Iswari telah mengalami nasib yang buruk. Dan sekarang Iswari pun mengalami nasib yang kurang baik pula meskipun dalam ujud yang berbeda.

Tetapi Gandar telah beringsut. Ia telah duduk di atas sebongkah batu sambil merenung.

Rasa-rasanya Gandar telah berdiri disimpang jalan. Ada keinginannya untuk kembali ke padepokannya dan melupakan persoalan Iswari, ia selalu ingat pesan Iswari meskipun sambil bergurau, jika ia dan Kiai Badra tidak datang pada upacara tujuh bulan kandungan Iswari, maka Iswari akan menangis.

Gandar tidak sadar berapa lama ia merenung di atas bukit kapur itu. Tetapi ketika ia menengadahkan wajahnya kelangit, dilihatnya matahari telah turun.

Tubuhnya rasa-rasanya menjadi semakin panas oleh cahaya matahari yang membakar. Tetapi Gandar telah beringsut. Ia telah duduk di atas sebongkah batu sambil merenung.

Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka Gandar masih saja berada di tempatnya. Ketika ia bangkit dan melangkah turun untuk kembali ke padepokannya, tiba-tiba saja ada semacam hambatan dari dalam dirinya. Rasa-rasanya ia tidak sampai hati untuk meninggalkan Iswari sendiri dalam keadaannya. Karena itu, maka ia telah duduk kembali ditempatnya.

“Lalu aku mau apa?” bertanya Gandar di dalam hatinya.

Bahkan ketika matahari menghilang dibalik bukit, Gandar masih tetap duduk ditempatnya. Ia sama sekali tidak merasa lapar dan haus. Kekalutan nalarnya membuatnya tidak menghiraukan lagi kepada dirinya sendiri.

Gandar baru bangkit ketika terasa angin yang dingin mulai menembus kulitnya. Langit nampak bersih. Bintang-bintang nampak bergayutan di langit, menebar dari tepi sampai ketepi.

Gandar yang berdiri tegak di atas batu kapur itu kemudian telah berniat untuk tidak segera kembali. Ia ingin mengamati lebih dekat, apa yang akan terjadi atas Iswari. Kesan sikap Wiradana terhadapnya membuatnya semakin curiga, karena Wiradana seakan-akan telah mengusirnya.

“Mungkin Wiradana cemas bahwa pada suatu saat aku dapat mengetahui rahasianya,” berkata Gandar di dalam hatinya. Tetapi semacam firasat telah menahannya agar ia tidak tergesa-gesa meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan.

Gandar pun ternyata menuruti kata hatinya. Ia ingin tetap berada di bukit kapur itu. Ia ingin tetap berada dibukit kapur itu. Ia mempunyai sisa bekal uang serba sedikit, sehingga disiang hari ia dapat turun dan membeli makanan apa saja justru diluar Tanah Perdikan, sementara di malam hari, ia telah berkeliaran di

Tanah Perdikan. Setiap malam ia menunggu Wiradana lewat. Kemudian mengikutinya sampai ke rumah perempuan cantik itu untuk mendengarkan pembicaraan mereka serba

sedikit.

Namun karena Gandar telah dapat menjajagi ilmu istri Wiradana tanpa disengaja maka setiap kali ia telah mengetrapkan ilmu sebaik-baiknya, agar kehadirannya tetap tidak diketahui oleh perempuan cantik yang akan menjadi istri Wiradana itu.

Tetapi pada suatu saat, rasa-rasanya telinga Gandar bagaikan disambar petir ketika ia mendengar satu rencana yang sangat keji. Dari mulut Wiradana ia

mendengar bahwa telah disiapkan perangkap untuk membunuh Iswari sebelum upacara tujuh bulan kandungannya.

Rasa-rasanya hati Gandar tidak terkendali lagi. Siapapun perempuan itu, dan ilmu apa yang dimilikinya, namun Gandar tidak akan gentar.

Tetapi ternyata bahwa Gandar masih dapat mengekang dirinya. Ia masih mampu mempergunakan nalarnya, sehingga ilmunya tidak terlepas daripadanya untuk tetap menyerap bunyi apapun yang timbul dari dalam dirinya.

Bahkan kemudian Gandar pun berusaha untuk mendengar semakin banyak. “Aku telah memanggil serigala betina itu,” berkata Wiradana.

“Apakah ia dapat dipercaya?” bertanya perempuan cantik itu. “Serahkan semuanya kepadaku,” jawab Wiradana. Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian perempuan itu menundukkan kepalanya. Tiba-tiba saja titik-titik air telah menetes dari pelupuk matanya.

“Kenapa kau Iswari?” bertanya Wiradana.

“Aku tidak sampai hati membiarkan perempuan itu diperlakukan seperti itu,” isak Warsi.

“Tetapi bukankah kau sependapat, bahwa ia tidak ada jalan lain yang dapat aku tempuh?” berkata Wiradana.

Perempuan itu mengangguk. Tetapi ia berkata, “Bagaimanapun juga aku pun seorang perempuan.”

“Jangan kau renungkan terlalu dalam. Kita akan segera dapat menyelesaikan persoalan ini untuk kemudian mencari jalan untuk memecahkan persoalan berikutnya,” berkata Wiradana.

Perempuan itu tidak menjawab. Tetapi terdengar ia terisak.

Namun justru isak itulah yang membuat Gandar menjadi muak. Ia sadar, bahwa yang dilakukan oleh perempuan itu tentu satu sikap pura-pura.

Tetapi dalam pada itu, maka bagi Gandar, persoalannya bukan lagi sekadar ingin tahu atau menunggu setelah bayi Iswari lahir. Nyawa Iswari ternyata telah terancam. Karena itu, maka mau tidak mau ia harus berbuat sesuatu.

Dari pembicaraan berikutnya Gandar mengetahui, bahwa dua hari lagi, seseorang akan mengajak Iswari pergi ke tempat seseorang yang sedang menyambut kedatangan anaknya. Mereka akan berangkat dari rumah diwaktu senja. Tetapi saat mereka sampai di bulak, hari tentu sudah gelap. Sejak saat itu, Iswari tidak akan

sampai ke rumah untuk selamanya.

Dengan demikian, maka Gandar tidak lagi dapat ingkar dari kewajiban. Masalahnya sudah terlalu jauh dari kewajaran. Karena itu maka apapun yang akan terjadi, Gandar merasa wajib untuk berbuat sesuatu.

Meskipun Gandar telah mendengar, saat yang akan dipilih untuk membunuh Iswari, namun malam sebelumnya ia tetap mengawasinya. Ia merasa cemas bahwa Wiradana mengubah dan mempercepat rencananya.

Ternyata rencana Wiradana adalah benar-benar rencana yang sudah masak, sehingga dengan demikian, maka sebagaimana dikatakan, rencana itu akan dilakukan dihari yang sudah ditentukan.

Pada saat yang dikatakan oleh Wiradana, sebenarnyalah seorang perempuan telah singgah di rumah Nyai Wiradana. Perempuan yang masih belum dikenal oleh Iswari. “Nyai,” berkata perempuan itu, “Ki Wiradana berpesan kepadaku. Jika aku akan pergi mengunjungi Nyi Pasih, aku diminta untuk singgah sebentar. Bukankah Nyai Wiradana akan pergi ke rumahnya?”

Nyi Wiradana mengangguk. Namun terasa sesuatu yang janggal pada orang itu. Ia belum pernah mengenalnya. Jika perempuan itu perempuan Tanah Perdikan, maka ia tentu sudah mengenalnya, karena setiap orang perempuan bahkan laki-laki pun di Tanah Perdikan itu telah dikenalnya dengan akrab.

“O,” perempuan itu menyadari bahwa Nyai Wiradana agak heran melihat kehadirannya, “Aku adalah penghuni Kademangan sebelah. Mungkin Nyai memang belum

mengenal aku. Karena aku akan mengunjungi Nyai Pasih dan melewati jalan ini, maka sekaligus aku singgah barang sejenak agar aku mempunyai kawan di jalan. Nanti, pada saatnya pulang suamiku akan menunggu aku disini.”

Iswari mengangguk-angguk. Tetapi rasa-rasanya masih ada sesuatu yang meragukannya. Sementara itu perempuan itu berkata, “Suamiku adalah Jagabaya di Kademangan sebelah. Ia banyak berhubungan dengan Ki Wiradana, karena suamiku banyak belajar tentang keamanan Tanah Perdikan ini, sementara Ki Wiradana dengan tekun mempelajari kerusuhsan yang sering timbul di Kademangan kami sebelum kerusuhan itu menjalar ke Tanah Perdikan ini.”

Baru kemudian Iswari mengangguk-angguk ketika orang itu memperkenalkan diri sebagai Nyai Jagabaya. Karena itu, maka Iswari pun segera menjawab, “Maaf Nyai Jagabaya. Karena aku belum mengenal Nyai, maka aku merasa agak canggung.

Marilah, duduklah. Aku memang sudah mengatakan kepada suamiku, bahwa aku akan pergi ke rumah Nyi Pasih hari ini.”

“Nah, karena itulah atas pesan Ki Wiradana maka aku singgah,” jawab Nyai Jagabaya.

Iswari pun kemudian mempersilakan perempuan itu masuk. Tetapi katanya, “Sudahlah Nyai. Aku menunggu disini. Bukankah Nyai juga sudah siap untuk berangkat.” Sementara itu Wiradana pun telah keluar dari pringgitan. Ketika ia melihat

Iswari berbicara dengan seorang perempuan, maka ia pun mendekat sambil berkata, “Inilah Nyai Jagabaya yang akan aku katakan itu Iswari.”

“Tetapi kakang tidak mengatakan bahwa Nyai Jagabaya akan singgah,” jawab Iswari. “Sehingga aku menjadi bingung, karena aku belum mengenalnya.” “Nyai Jagabaya,” berkata Wiradana. “Sebenarnya aku sendiri akan mengantar Iswari ke padukuhan sebelah untuk menengok Nyai Pasih, karena aku juga mempunyai kepentingan dengan padukuhan sebelah. Namun ternyata aku harus pergi ke padukuhan lain. Karena aku tidak dapat mengantar, maka biarlah kalian pergi berdua. Tetapi jangan terlalu malam pulang. Meskipun di daerah ini sekarang termasuk daerah yang aman, namun sebaiknya kalian juga berhati-hati.”

“Ah,” desis Nyai Jagabaya, “Suamiku tidak pernah sempat mengantarku kemana saja. Karena itu, aku sudah terbiasa pergi sendiri. Meskipun demikian suamiku sudah berjanji untuk menjemputku aku disini nanti.”

“O, baiklah. Ia akan diterima disini dengan senang hati. Mudah-mudahan persoalanku pun sudah selesai, sehingga aku akan dapat menemuinya sendiri,” berkata Ki Wiradana.

Wiradana pun kemudian menyuruh istrinya untuk segera bersiap sebelum hari menjadi gelap. “Biarlah aku mengawani Nyai Jagabaya ini.”

“Ah, aku akan menunggu disini saja Nyai,” berkata perempuan itu selanjutnya. Demikianlah, maka Nyai Wiradana yang semula akan pergi di antar oleh suaminya ternyata urung. Tetapi baginya hal itu bukanlah satu persoalan. Ia sudah

terbiasa pula pergi sendiri. Apalagi mengunjungi kelahiran. Adalah tidak biasa bagi seorang laki-laki. Hanya pada waktu malam biasanya laki-laki disebelah menyebelah datang untuk berjaga-jaga semalam suntuk sambil membaca kidung. Sejenak kemudian maka Iswari pun telah siap. Sejenak kemudian ia pun turun ke halaman. Sementara itu langit pun sudah menjadi kian suram.

Ketika kedua perempuan itu minta diri, maka Wiradana menjadi semakin suram. Demikianlah, maka kedua orang perempuan itu pun telah turun ke jalan dan menyusuri jalan di padukuhan induk itu menuju ke regol padukuhan. Ketika mereka keluar dari regol padukuhan induk itu, gelap benar-benar telah turun.

TETAPI keduanya sama sekali tidak menjadi cemas. Padukuhan yang akan mereka tuju adalah padukuhan sebelah yang hanya di antarai oleh sebuah bulak pendek.

Nyai Wiradana sama sekali tidak merasa cemas untuk pulang di malam hari. Jika ia merasa agak takut oleh sesuatu, mungkin seekor binatang buas yang tersesat, atau oleh hal-hal lain yang tiba-tiba saja timbul, ia dapat minta diantarkan oleh

para peronda atau orang-orang lain yang ada di rumah yang dikunjunginya. Demikian mereka keluar dari padukuhan dan memasuki bulak, maka Iswari pun bertanya, “Sudah berapa lama kau tinggal di Kademangan sebelah?” “Sejak kecil Nyai,” jawab perempuan itu. “Agak berbeda dengan Nyai. Bukankah Nyai tinggal di Tanah Perdikan ini sejak kawin dengan Ki Wradana?”

Iswari mengangguk-angguk, sementara perempuan itu melanjutkan, “Aku lahir dan di-besarkan di Kademangan itu. Orang tuaku pun lahir dan dibesarkan di sana

pula. Kedua-duanya. Mereka adalah kawan bermain sejak kecil. Kemudian orang tua mereka telah menjodohkan mereka menjadi suami istri.

Nyai Wiradana mengangguk-angguk. Kata-nya, “Jika demikian, maka kau dapat melaku-kan tugasmu sebagai seorang istri Jagabaya sebaik-baiknya, karena kau mengenal kampung halamanmu sebaik mengenal dirimu sendiri.”

Perempuan itu tertawa. Katanya, “Bukankah Nyai juga dapat melakukan kewajiban Nyai sebaik-baiknya meskipun Nyai bukan seorang yang dilahirkan dan dibesarkan di Tanah Per-dikan ini?”

“Aku, aku baru belajar melakukannya,” jawab Iswari.

Perempuan itu tidak menjawab lagi. Diamati-nya jalan yang akan dilaluinya. Sementara hari benar-benar sudah menjadi gelap.

Ketika mereka sampai disimpang tiga, Iswari terkejut. Tiba-tiba saja perempuan itu meng-gamitnya dan berkata, “Kita berbelok ke kanan Nyai.”

Iswari tertegun. Katanya, “Bukankah rumah Ki Pasih ada di padukuhan di hadapan kita?”

“Ya. Tetapi kita akan berbelok kekanan,” jawab perempuan itu tegas. “Aku tidak mengerti,” jawab Iswari.

“Nanti kau akan mengerti,” jawab perempuan itu pula.

Iswari masih termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja tubuhnya menjadi gemetar ketika tiba-tiba saja melihat perempuan itu menarik sesuatu dari balik bajunya. Patrem.

Dengan suara bergetar Iswari bertanya, “Apa artinya ini Nyai?”

Orang yang menyebut dirinya Nyai Jagabaya itu mendesak maju sambil berdesis, “Marilah. Jangan banyak persoalan jika kau ingin mengalami nasib buruk.”

Iswari mundur selangkah. Namun perempuan itu kemudian membentak, “Berbeloklah kekanan.”

Iswari tidak mempunyai pilihan. Ia pun kemudian harus memenuhi perintah perempuan itu. Meskipun jantungnya serasa berhenti mengalir, tetapi ia berusaha untuk dapat melangkah sebagaimana dikehendaki oleh perempuan itu.

Bahkan beberapa langkah kemudian Iswari masih sempat bertanya, “Siapakah kau sebenarnya?”

Perempuan itu tidak segera menjawab. Ia berjalan rapat disisi Iswari dengan patrem di tangannya.

“Siapa kau dan apa maksudmu?” desak Warsi.

Perempuan itu memandang wajah Iswari sejenak. Kemudian katanya, “Aku adalah perempuan yang dipanggil serigala betina di Kademangan sebelah. Aku adalah seorang perempuan yang pernah ikut dalam gerombolan berandal yang mempunyai nama

yang ditakuti, meskipun tidak segarang Kalamerta.” “Jadi apakah kau ingin merampok aku?” bertanya Iswari.

“AKU tahu, bahwa kau tidak membawa apapun yang berharga sekarang. Dan aku sudah lama tidak lagi hidup dalam dunia itu lagi,” jawab perempuan itu.

“Jadi apa maksudmu?” bertanya Iswari berulang kali.

Perempuan itu tidak segera menjawab. Tetapi ia mendesak agar Iswari berjalan semakin cepat.

Hari masih belum terlalu malam. Tetapi jalan-jalan bulak sudah menjadi sepi. Padukuhan yang sudah terlalu dekat itu justru menjadi semakin jauh, karena kedua perempuan itu telah berbelok dari jalan yang seharusnya.

Ternyata bahwa perempuan itu telah membawa Iswari menuju ke luar Tanah Perdikan. Bahkan kemudian mereka telah berbelok di sepanjang jalan terjal.

“Kita akan kemana?” bertanya Iswari yang menjadi semakin ketakutan.

“Jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakaimu,” geram perempuan yang disebut serigala betina itu.

Iswari menjadi semakin ketakutan. Mereka kemudian berjalan menyusur tebing sebatang sungai kecil tetapi curam.

“Aku letih sekali,” desis Iswari.

“Jangan berhenti,” bentak perempuan itu. “Kita masih akan berjalan beberapa langkah lagi.

“Kakiku rasa-rasanya sudah tidak mau melangkah lagi. Sakit dan perutku pun terasa sakit pula,” Iswari hampir menangis.

Perempuan itu tidak menjawab. Namun ia masih mendorong Iswari untuk berjalan beberapa puluh langkah lagi, sehingga akhirnya mereka sampai pada kelokan sungai itu. Di bawah tebing itu nampak air sungai bagaikan tidak mengalir. Tetapi

agaknya dikelokan sungai itu, air menjadi sangat dalam. “Nyai Wiradana,” berkata perempuan itu. “Kita sekarang berhenti disini.”

Tubuh Iswari benar-benar terasa gemetar. Ketika ia berdiri berhadapan dengan perempuan yang mengaku sebagai Nyai Jagabaya di Kademangan sebelah itu, maka rasa-rasanya ia ber-diri berhadapan dengan iblis betina yang sedang kehausan darah.

“Siapa sebenarnya kau yang disebut serigala betina itu?” bertanya Iswari. “Dan maksudmu kau membawa aku kemari? Jika hal ini diketahui oleh suamiku, maka kau tentu akan mendapat hukuman daripadanya.”

Tetapi yang disebut serigala betina itu tertawa. Katanya, “Nasibmu memang buruk Nyai.”

“Katakan,” minta Nyai Wiradana. “Apa maksudmu?”

Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku sedang mengemban satu tugas.”

“Tugas apa?” bertanya Iswari dengan jantung yang berdegupan.

“Jika suamimu mengerti apa yang aku lakukan sekarang, maka ia tidak akan berbuat apa-apa. Yang aku lakukan ini justru karena perintah suamimu,” jawab perempuan itu.

“Apa yang kau maksudkan?” desak Iswari.

“Baiknya aku berterus terang, karena kau tidak akan mempunyai kesempatan untuk membuka rahasia ini,” berkata perempuan itu. “Aku mendapat tugas dari suamimu untuk membunuhmu.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar