Suramnya Bayang-Bayang Jilid 05

Jilid 05

“Baiklah,” berkata pengendangnya. “Sasaran sebenarnya dari balas dendam ini adalah Ki Gede Sembojan. Wiradana sebenarnya bukan apa-apa. Bahkan Warsi telah bertempur melawannya, dan Wiradana sama sekali tidak mampu menyelamatkan dirinya

seandainya Warsi membunuhnya.”

“Tetapi hal itu tidak dilakukannya.” teriak ayah Warsi.

“Tunggu,” jawab pengendang itu. “Ada jalan yang ingin ditempuh oleh Warsi. Ada satu alasan yang dapat dikatakannya. Tetapi kau sudah menutup pembicaraan dengan menolak segala macam alasan apapun juga.” Orang itu menarik nafas dalam-dalam,

lalu, “Nah, bagimu manakah yang lebih baik, membunuh Wiradana atau membunuh Ki Gede Sembojan yang telah membunuh Kalamerta dengan tangannya.

“Kau mengigau,” geram ayah Warsi, “Bagaimana mungkin dapat membunuh Ki Gede Sembojan?”

“Warsi akan dapat melakukannya jika kau setuju dengan rencananya,” jawab pengendang itu.

Ayah Warsi itu pun menjadi termangu-mangu. Sementara Warsi sendiri menjadi heran atas kata-kata bekas pengendangnya itu. Mana mungkin ia dapat membunuh Ki Gede Sembojan. Apalagi agaknya Ki Gede sudah sembuh dan mampu berbuat sebagaimana dilakukan sebelum ia terluka parah.

Dalam pada itu bekas pengendang itu pun berkata, “Kita tidak tahu persis, apakah Ki Gede dapat pulih dalam keadaan sebelum ia mengalami luka parah dalam

pertempuran melawan Kalamerta. Namun dalam keadaan bagaimana pun juga Warsi akan

dapat membunuhnya jika ia sudah berada di dalam lingkungan keluarga Ki Gede Sembojan. Katakan bahwa Warsi telah jatuh cinta kepada Wiradana. Namun yang pasti Warsi tidak akan jatuh cinta kepada Ki Gede Sembojan.”

“Omong Kosong,” geram ayah Warsi. “Jika demikian kau bermaksud membiarkan Warsi kawin dengan Wiradana yang sudah beristeri itu? Kau biarkan anakku menjadi istri muda dan tentu dengan cara yang hina, karena istri muda itu diangkat dari

lingkungan pengamen jalanan.”

“Dengarlah,” berkata tukang gendang itu. “Aku yakin Wiradana pun telah jatuh cinta kepada Warsi. Apa salahnya jika keduanya kemudian kawin? Tentu saja Warsi akan dapat mengajukan syarat, bahwa istri tua itu harus disingkirkan. Ini adalah salah satu cara pula untuk membalas dendam. Kematian akan ditebus dengan dua jiwa. Jiwa Ki Gede Sembojan dan jiwa istri Wiradana. Bukankah hal itu sudah memadai. Sementara itu, jika kelak Warsi mendapat keturunan, maka keturunannya akan menjadi kepala Tanah Perdikan Sembojan. Bukankah itu salah satu cara

membalas dendam yang paling menarik, sekaligus mendapat keuntungan? Sebagaimana kami mengamen. Semula kami hanya ingin mempergunakan cara ini untuk menyusup ke

dalam lingkungan Tanah Perdikan Sembojan, namun ternyata dalam perjalanan itu, kami juga mendapat banyak rejeki. “

Ayah Warsi mulai merenungi kata-kata bekas pengendang itu. Sementara Warsi sendiri pun mengangguk-angguk. Semula ia tidak berpikir sejauh itu. Ia memang ingin merenggut Wiradana dari tangan istrinya. Tetapi ia belum m-emikirkan caranya. Namun dalam pada itu pengendang itu telah mengatakannya, kematian Kalamerta dapat ditebus dengan dua jiwa. Istri Wiradana dan sekaligus ayahnya.

Ada semacam perlawanan di dalam hati Warsi sebagai seorang perempuan sebagaimana istri Wiradana itu. Tetapi kemudian ia pun menggeretakkan giginya. Jalan itu

adlaah jalan yang sangat baik. Memenuhi keinginan sendiri dan sekaligus membalas dendam atas kematian pamannya, Kalamerta.

Warsi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian terdengar suaranya lembut, “Bagiku, daripada membunuh Wiradana, lebih baik aku merampasnya dari tangan istrinya.”

“Dan membunuh istrinya itu?” bertanya ayahnya pula.

“Jika Wiradana tidak mau menceraikannya, apaboleh buat,” jawab Warsi hampir tidak dapat didengar.

Tetapi ayah Warsi sama sekali tidak terkejut. Ia mengenal watak anaknya. Dan ia pun sama sekali tidak berkeberatan jika hal yang demikian itu memang akan terjadi.

Ternyata pendapat bekas pengendang Warsi itu dapat memberikan pemecahan. Ia dapat mengatasi ketegangan yang terjadi antara Warsi dan ayahnya. Karena keduanya menerima pendapat yang dikatakannya, meskipun dengan demikian pelaksanaan dendam itu akan tertunda untuk waktu yang tidak diketahui.

Sejenak kemudian, ayah Warsi itu pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Penyelesaian yang diusulkan orang ini akan aku pikirkan baik-baik. Aku masih akan berbicara dengan beberapa pihak. Terutama Warsi sendiri. Karena seperti sudah kita ketahui, bahwa Warsi telah mendapat lamaran dari seseorang. Seorang yang kaya dan keturunan orang baik-baik.” “Baik-baik bagimana maksud ayah?” bertanya Warsi.

“Ia masih mempunyai hubungan kadang dengan kita. Dan orang itu hidup dalam suasana yang wajar,” jawab ayahnya.

“Apakah kita tidak hidup dalam suasana yang wajar?” bertanya Warsi. “Jika kita sekarang harus melakukan satu langkah yang tidak wajar, adalah karena pokal paman Kalamerta.”

“Warsi, maksudku tata kehidupan dan nilai-nilai kehidupan yang kita anut memang berbeda dengan tata nilai dari orang itu,” berkata ayahnya.

“Jika demikian, maka hidup kami kelak tentu tidak akan menemukan satu kebahagiaan,” jawab Warsi.

“Aku mengerti. Tetapi maksudku semula, aku ingin mengajarimu hidup sebagaimana orang kebanyakan. Kau dapat menjadi seorang perempuan sebagaimana

perempuan-perempuan lain,” berkata ayahnya.

“Itu tidak mungkin,” jawab Wasi.. “Ayah sudah membentuk aku menjadi begini. Aku tidak dapat berubah lagi. Laki-laki yang ayah katakan melamar aku itu tidak

lebih dari seorang laki-laki cengeng yang tidak pantas kawin dengan seorang perempuan. Justru hati orang itu melampaui lemahnya hati seorang perempuan.” “Ya, aku mengerti. Tetapi ia benar-benar sudah melamar karena ia tidak tahu

siapakah kau sebenarnya. Laki-laki itu memang pernah mengenalmu sebagaimana kau mengenalnya. Tetapi hanya ujud lahiriahnya saja,” berkata ayahnya.

“Lupakan saja orang itu ayah,” berkata Warsi. “Jika aku terpaksa kawin dengan orang itu, maka pada suatu ketika aku akan mencekiknya.”

Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Warsi mungkin hanya ingin mengungkapkan ketidak inginannya untuk memilih orang itu daripada Wiradana. Tetapi ungkapan itu akan benar-benar dapat dilakukan jika ia dipaksa untuk melakukan perkawinan itu.

Karena itu ayahnya kemudian berkata, “Ternyata kemudian aku condong untuk mengijinkan kau kawin dengan Wiradana, tetapi dengan syarat bahwa kau tidak akan dimadu. Aku akan memberi tahukan kepada laki-laki yang melamarmu itu, bahwa kau ternyata keberatan. Tetapi biarlah hal ini kita bicarakan lebih mendalam.

Sekarang, beristirahatlah. Kalian tentu merasa lelah.”

“Aku kelelahan lahir dan batin,” desis Warsi perlahan-lahan hampir ditujukan kepada diri sendiri.

Demikianlah, maka Warsi dan para pengiringnya pun kemudian membersihkan dirinya di pakiwan. Sementara seseorang sempat menyediakan minuman panas bagi mereka. Baru kemudian mereka pergi ke bilik mereka masing-masing. Warsi ke biliknya sendiri, sedang yang lain pergi ke gandok.

Di hari-hari berikutnya, maka dengan sungguh-sungguh ayah Warsi telah membicarakan tentang hari depan anaknya. Rencana Warsi untuk kembali ke Tanah Perdikan Sembojan dan merebut Wiradana dari sisi istrinya telah disetujuinya.

Dengan demikian, apabila Warsi berhasil, maka ia akan mendapat banyak kesempatan untuk membalas dendam kematian Kalamerta, sekaligus berharap bahwa keturunannya kelak akan menjadi Kepala Perdikan Sembojan.

“Kepala Tanah Perdikan adalah kedudukan yang jauh lebih baik daripada sekadar istri seorang yang kaya dan keturunan baik-baik,” berkata ayah Warsi itu didalam hatinya.

Sehingga dengan demikian, maka ayahnya pun sependapat bahwa Warsi mulai bersiap-siap untuk pergi ke Sembojan sekali lagi dalam ujudnya sebagai seorang penari.

“Apakah kau tidak dapat datang dengan cara yang lebih baik dari seorang pengamen?” bertanya ayahnya.

“Ia tertarik Warsi dalam keadaan yang demikian,” sahut laki-laki yang menjadi pengendangnya pada petualangan yang terdahulu, namun yang akan dilakukannya pula. Apalagi pengendang itu telah mengaku bahwa ia adalah ayah Warsi.

“Kita tidak usah menunggu terlalu lama,” berkata pengendang itu. “Kita harus memperhitungkan perasaan Wiradana. Jika karena kebiasaan ia kemudian benar-benar mencintai istrinya dan sanggup melawan perasaan yang tertuju kepada Warsi maka kesempatan yang demikian akan hilang.”

“Jika demikian, aku benar-benar akan membunuhnya. Lebih baik aku melihat Wiradana mati daripada aku kehilangan kesempatan untuk mengambilnya dan sekaligus menurunkan seorang Kepala Perdikan,” berkata Warsi.

“TETAPI kalian juga harus memperhitungkan setiap kemungkinan. Sebagai anak seorang Kepala Perdikan maka Wiradana akan menjadi kiblat kehidupan anak-anak muda. Karena itu, ia tentu tidak akan tergesa-gesa menceraikannya. Bahkan seandainya istrinya itu meninggal dengan alasan apapun juga, ia tentu tidak akan tergesa-gesa kawin,” berkata ayah Warsi. Lalu, “Karena itu, jika kalian ingin berhasil, maka kalian tidak boleh tergesa-gesa. Aku setuju bahwa kalian tidak

perlu menunggu terlalu lama untuk pergi ke Sembojan. Tetapi setelah itu, maka langkah-langkah yang akan kalian ambil harus berdasarkan kepada perhitungan yang mapan dan tidak tergesa-gesa.”

Pengendang Warsi itu pun mengangguk-angguk. Rencana yang akan mereka lakukan memang rencana yang rumit. Bukan sekadar memancing Wiradana keluar dari padukuhan dan membunuhnya. Tetapi rencana ini berkaitan dengan tata nilai dari anak laki-laki seorang Kepala Tanah Perdikan yang akan segera menggantikan kedudukan ayahnya dalam segala segi kehidupan.

Karena itu, maka seperti yang dikatakan oleh ayah Warsi, segalanya tidak dapat dilakukan dengan tergesa-gesa sebagaimana saat Warsi akan membunuhnya.

Tetapi Warsi pun kemudian menyadari, bahwa keinginannya untuk merebut Wiradana tidak akan dapat dilakukannya dalam satu dua bulan. Mungkin ia harus menunggu satu dua tahun. Tetapi sebelum waktu yang panjang itu ia akan dapat memancing kepastian sikap sikap Wiradana. Dan agaknya bagi Warsi, hal itulah yang lebih

penting dari pelaksanaan rencana itu sendiri. Meskipun ia harus menunggu satu dua tahun, namun apabila pada saat-saat sebelum itu ia sudah mendapat keyakinan bahwa rencananya akan berlaku, maka ia tidak akan segan melakukannya. Apalagi

sebagai manusia biasa, maka ia akan dapat saja berhubungan dengan Wiradana kapan saja ia kehendaki diluar batas pelaksanaan rencananya untuk secara resmi menjadi istrinya.

Adalah kelebihan Warsi dari perempuan lain, juga dalam persoalan Wiradana, Warsi dapat mengambil cara apapun untuk mencapai maksudnya. Ia pun merasa tidak terikat pada tata nilai kehidupannya, pergaulan antara sesama dan juga dalam hubungan perkawinan.

“Jika aku menyukainya dan laki-laki itu menyukai aku, apa peduliku terhadap orang lain,” berkata Warsi dalam hatinya.

Dengan bekal sikap itulah, maka ia pun menyusun rencana bersama dengan ayahnya dan pengendangnya untuk kembali ke Tanah Perdikan Sembojan.

Namun dalam pada itu, sebagaimana dikatakan oleh ayahnya, seorang laki-laki memang telah melamar Warsi. Justru masih ada hubungan darah dengan keluarga Warsi. Laki-laki yang kaya dan memiliki tanah yang luas serta keturunan orang baik-baik. Namun sayang bahwa laki-laki itu terlalu tua buat Warsi.

“Ayah dapat menolaknya,” berkata Warsi. “Jangan menunggu lebih lama lagi. Dengan demikian persoalannya akan cepat selesai.”

“Ada keseganan untuk menolaknya dengan serta merta,” berkata ayahnya. “Bukanlah keluarganya sudah kita kenal dengan baik?”

“Tetapi itu bukan berarti bahwa kita tidak dapat menolaknya. Ayah dapat mempergunakan sikapku sebagai alasan. Aku tidak mau,” geram Warsi.

Ayah Warsi menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ia memang harus menolak jika ia tidak ingin Warsi benar-benar mencekik laki-laki itu.

Tetapi ayah Warsi itu pun sudah memperhitungkan, bahwa akibat dari penolakannya itu akan dapat menimbulkan persoalan tersendiri.

Namun ayah Warsi bukan orang yang segera menjadi ketakutan menghadapi masalah-masalah. Yang sebenarnya ada didalam dirinya bukanlah ketakutan. Tetapi justru kesegaran.

Demikianlah, maka ketika keluarga laki-laki itu datang pada saat yang sudah dijanjikan, maka sebenarnyalah telah terjadi ketegangan itu.

“Jadi kau menolak?” bertanya tamunya.

“Maaf kakang,” jawab ayah Warsi. “Bukan maksudku menolak. Tetapi Warsi merasa keberatan utuk kawin dengan seorang laki-laki yang dianggapnya sudah terlalu

tua. Anak kakang memang sudah terlalu tua buat Warsi.”

“Kau jangan menghina. Sepekan yang lalu kau tentu sudah tahu bahwa anakku memang sudah tua. Tetapi nampaknya kau menerima lamaran itu. Bahkan sejak dua bulan

yang lalu, aku sudah menyebut-nyebut meskipun belum secara terbuka. Dan kau tidak pernah menyatakan keberatanmu. Warsi pun belum pernah menunjukkan sikap sebagaimana kau katakan,” berkata tamunya yang marah. “Atau barangkali ada orang lain yang melamar anakmu dengan mas kawin yang lebih tinggi dari yang mungkin dapat aku berikan? Katakan berapa mas kawin yang kau minta?”

“Jangan begitu kakang,” jawab ayah Warsi. “Aku bersikap wajar sekali. Warsi ternyata telah menolak. Jika sejak sebulan yang lalu, bahkan lebih lama lagi,

aku tidak pernah menyatakan keberatanku dan Warsi pun tidak pernah menunjukkan sikap yang bertentangan dengan maksud itu. Semata-mata adalah karena kakang adalah saudara yang lebih tua meskipun sudah tatanan ketiga. Tetapi kami masih mempunyai hubungan darah. Apalagi sikap kakang waktu itu belum tegas. Baru sejak sebulan yang lalu, dan dengan resmi kakang datang sepekan yang lalu pada saat Warsi tidak ada di rumah. Demikian Warsi pulang, maka aku pun mendapat keputusannya bahwa Warsi menolak maksud kakang. Tetapi Warsi masih tetap menganggap keluarga kakang sebagaimana keluarga sendiri. Warsi memang ingin tetap dalam hubungan kadang saja dan tidak terikat dalam hubungan perkawinan.” “Kau memang pandai menyusun alasan-alasan,” berkata orang yang datang melamar itu. “Tetapi kau harus sadar, bahwa yang kau lakukan adalah satu penghinaan. Kau harus belajar dari pengalaman hidup, bahwa orang yang terhina akan dapat melakukan sesuatu yang kadang-kadang tidak pada tempatnya.”

“Jangan berkata begitu kakang,” jawab ayah Warsi.

“Kakang pun tentunya tahu, jika perkawinan yang tidak dikehendaki oleh salah satu pihak itu dipaksakan, maka akibatnya juga akan kurang baik. Mungkin perkawinan itu tidak akan berlangsung lama. Jika hal yang demikian terjadi, padahal keduanya sudah dikaruniai satu atau dua orang anak, maka akibatnya akan lebih parah lagi.”

“Anak-anak itu akan menjadi perekat perkawinan,” berkata tamunya.

“Tetapi tidak jarang terjadi, bahwa hidup seorang istri justru menderita selama itu. Ia hanya bertahan untuk dapat disebut seorang perempuan yang setia. Namun batinnya telah tersiksa. Karena itu sebaiknya, perkawinan itu benar-benar dapat diterima oleh kedua belah pihak,” jawab ayah Warsi.

“Segalanya tergantung kepadamu. Anakmu adalah seorang perempuan. Ia akan dapat kau paksa menurut perintahmu,” berkata orang yang melamar itu.

“Sudah aku katakan, perkawinan yang demikian tidak akan dapat mendatangkan kebahagiaan,” jawab ayah Warsi.

“Aku sudah datang kerumah ini beberapa kali. Sekarang kau berani menghina aku seperti itu,” geram orang yang datang melamar Warsi, “Apakah kau menyadari apa artinya?”

“Apa maksudmu mengancam kakang?” bertanya ayah Warsi.

“Apa saja namanya, tetapi penghinaan ini akan dapat berakibat buruk bagimu,” jawab orang itu.

“Kakang,” berkata ayah Warsi. “Ketika aku menanyakan sikap Warsi, aku berkata kepadanya, bahwa bakal suaminya adalah seorang laki-laki yang kaya dan keturunan orang baik-baik. Aku menjelaskan kepadanya pengertian baik-baik sebagaimana aku maksudkan. Tetapi sikap kakang yang mengancam itu bukannya sikap seorang yang baik-baik menurut pengertian yang aku katakan kepada Warsi.”

“Sebut saja aku memang bukan orang baik-baik,” jawab orang itu. “Tetapi aku memang kaya. Aku dapat membeli seisi padukuhan ini. Mungkin di padukuhan ini kau dianggap orang yang paling kaya. Perabot rumahmu termasuk perabot yang baik. Rumahmu pun termasuk rumah yang besar dengan halaman yang luas. Tetapi kau sudah

tahu, bahwa aku dapat membeli rumah yang besarnya lipat dua dari rumah ini buat Warsi.”

“Sudahlah kakang,” jawab ayah Warsi. “Aku benar-benar mohon maaf. Tetapi kakang jangan mengancam begitu. Akibatnya memang akan kurang baik. Bukankah kita mempunyai aliran darah yang bersumber dari orang yang sama, meskipun dalam tataran yang sudah terpisah beberapa keturunan.

“Aku tidak peduli,” jawab orang itu. “Jika kau mengakui bahwa aliran darah itu

lebih tua, maka kau jangan menghina keluargaku. Jangan menghina anakku yang kau katakan terlalu tua buat Warsi. Atau katakanlah bahwa anak-anakku telah pernah kawin sampai dua kali tetapi gagal.”

Ayah Warsi menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang yang akan melamar Warsi untuk anak laki-lakinya itu sama sekali sudah tidak dapat diajak bicara.

Meskipun demikian, maka ayah Warsi itu masih berkata, “Maaf kakang. Tetapi aku sama sekali tidak bermaksud menghina. Aku hanya ingin anak-anak kita kelak mendapatkan kebahagiaannya. Itu saja. Dan karena itu maka dengan menyesal kembali, aku tidak dapat menerima lamaran kakang. Meskipun demikian, aku mohon agar kakang bagiku tetap terkesan sebagai orang baik-baik. Sehingga dengan demikian aku tidak menjadi kecewa kepada kakang.”

“Sudah aku katakan. Aku bukan orang baik-baik,” jawab orang itu. “Karena itu, aku dapat berbuat sesuatu yang sangat buruk.

“Kakang,” ayah Warsi dengan sudah payah telah mengekang dirinya. Sebenarnya ia bukan orang yang sabar, yang dapat berbuat dan mengambil sikap berdasarkan atas keseimbangan nalar dan perasaannya. Katanya kemudian, “Sekali lagi aku minta kakang tetaplah menjadi orang baik dimataku. Jika kakang benar-benar mengancam dan akan mengambil langkah-langkah yang kasar, maka kepercayaanku kepada orang lain benar-benar akan larut sama sekali. Untuk seterusnya tidak akan percaya

bahwa sebenarnya ada orang yang baik itu.”

“O,” geram tamunya. “Jangan merajuk begitu. Kau sudah menghina aku. Kemudian merajuk seperti kanak-kanak. Jika kau sudah berani menghina aku, maka bersikaplah seperti laki-laki.”

“Kakang berkata sebenarnya,” jantung ayah Warsi bagaikan akan pecah oleh ketegangan yang ditahannya. “Ya,” jawab tamunya.

Akhirnya bendungan itu pun pecah juga. Jika sebelumnya ayah Warsi berusaha untuk bersikap baik dihadapan orang yang dianggapnya orang baik-baik, namun ternyata kepercayaannya bahwa masih ada juga orang yang baik itu pun telah larut. Karena itu, maka jawabnya, “Jadi kakang mau apa?”

Wajah tamunya menjadi merah padam. Katanya, “Daripada aku melihat Warsi menjadi menantu orang lain, maka lebih baik bagiku bahwa aku tidak akan melihat Warsi

dan kau untuk selama-lamanya.”

“Jadi kakang benar-benar menjadi gila oleh penolakan itu? Sebenarnya aku telah berusaha menyesuaikan diri menghadapi kakang. Aku berusaha menolak dengan cara yang paling baik yang dapat aku lakukan. Aku lebih baik mempergunakan sifat

asliku menghadapi orang yang aku anggap terhormat seperti kakang ini,” jawab ayah Warsi.

“Apa maksudmu?” bertanya tamunya.

“Pergilah kakang, sebelum segalanya berubah,” berkata ayah Warsi.

Wajah tamunya itu menjadi bagaikan menyala. Sementara itu ayah Warsi berkata, “Mungkin dalam beberapa kejap ini aku masih mampu bertahan dengan sikap yang aku persiapkan sejak lama menghadapi kakang yang aku anggap mempunyai tata nilai kehidupan yang jauh lebih baik dari aku.”

“Persetan,” geram orang itu. “Aku adalah orang yang kaya. Aku akan dapat berbuat apa saja dengan uangku. Aku tahu sejak mudamu, kau adalah seorang petualang. Tetapi dengan uangku aku akan dapat membeli orang berapapun aku kehendaki untuk melakukan niatku. Aku akan mengambil sikap yang keras dan kasar. Mungkin aku akan menculik Warsi, tetapi mungkin melenyapkannya sama sekali. Termasuk kau.” “Cukup,” potong ayah Warsi. Tangannya sudah mulai gemetar. Rasanya ia sudah

ingin menerkam tamunya yang ternyata hatinya tidak sebersih yang diduganya. Orang yang melamar Warsi bagi anak laki-lakinya itu pun menggeretakkan giginya. Ia pun kemudian bangkit dan tanpa berkata apapun juga ia melangkah keluar pintu. Di luar dua orang pengiringnya sudah menunggu. Dua orang yang bertubuh tinggi tegap. Seorang di antara mereka rambutnya sudah mulai memutih. Jambangnya, kumisnya yang panjang dan janggutnya yang telah memutih pula. Namun tubuhnya masih tetap tegap bagaikan dilapisi baja. Dengan demikian orang itu justru

nampak menyeramkan.

Ayah Warsi yang kemudian melangkah keluar pula melihat dua orang pengiring itu. Karena itu, maka kepercayaannya kepada orang yang dianggapnya menganut satu kehidupan yang mempunyai tata nilai yang baik itu pun telah lenyap sama sekali. “Orang yang disebut baik-baik itu pun pada satu saat adalah serigala yang kelaparan,” berkata ayah Warsi di dalam hatinya. “Ternyata bahwa watak dan sifatnya tidak ada bedanya dengan kami, orang-orang yang dianggap tidak berkesadaran dalam peradaban sesama. Bedanya, kami melakukan sendiri dengan tangan-tangan kami, tetapi orang yang baik-baik itu mengupah orang untuk melakukan hal seperti kami.”

Tetapi ancaman itu bagi ayah Warsi sama sekali tidak membuatnya ketakutan. Bahkan demikian orang-orang yang bertamu ke rumahnya itu pergi, Warsi muncul dari balik dinding penyekat di ruang dalam. Dengan wajah yang merah ia bergumam, “Ayah, apakah aku diperbolehkan menyusul paman itu?”

“Untuk apa?” bertanya ayahnya.

“Aku ingin menunjukkan kepada paman, bahwa apa yang akan dilakukan itu sia-sia. Aku akan membunuh dua orang pengiringnya dihadapan paman,” jawab Warsi. “Gila,” geram ayahnya. “Kau jangan mengigau tentang pembunuhan. Aku sudah mengatakan kepadamu lebih dari seribu kali. Jangan mudah membunuh jika tidak terpaksa.”

"AYAH mengajari aku, bahwa cara itu adalah cara yang paling baik untuk menyelesaikan masalah-masalah yang pelik di dalam kehidupan ini," jawab Warsi. Lalu, "Dan ternyata sulit bagiku untuk mengetahui batas keterpaksaan itu." "Tetapi kau salah menerapkan artinya," sahut ayahnya.

Warsi mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, "Tetapi paman juga mengancam akan

membunuh aku. Apakah ayah sangka bahwa hal itu tidak akan benar-benar dilakukannya?"

Ayah Warsi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Mungkin saja itu dilakukannya. Karena itu, kau harus berhati-hati. Agaknya pamanmu benar-benar sakit hati." "Jika paman benar-benar akan membunuh, maka wajar jugalah jika aku pada suatu saat membunuh istri Wiradana," desis Warsi.

Ayahnya terkejut. Ia tidak menyangka bahwa jalan pikiran Warsi bergeser ke arah yang berbeda. Tetapi kemudian ia pun mengangguk-angguk sambil berkata, "Jika perlu. Tetapi jika Wiradana mau menceraikannya, maka kau tidak perlu melakukannya." Warsi menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa lebih mantap untuk melakukan rencananya. Orang yang dianggap mempunyai landasan tata nilai yang baik itu pun akan melakukan kekerasan. Apalagi orang-orang yang memang sudah meletakkan dirinya dalam satu tataran kehidupan yang lain seperti keluarga Warsi dan keluarga Kalamerta.

Dalam pada itu, sebenarnyalah orang yang melamar Warsi untuk anak laki-lakinya itu benar-benar menjadi sakit hati. Ketika ia sampai di rumahnya, maka ia pun segera menyampaikan hal itu kepada anak laki-lakinya.

"Gila," geram anak laki-lakinya. "Jadi paman berani menolak lamaran kita? Apakah ia sudah jemu hidup?"

"Aku sudah mengatakannya, bahwa penolakan itu akan berarti kesulitan bagi keluarga Warsi. Tetapi ia keras kepala. Agaknya mereka menganggap aku sekadar menakut-nakuti saja," jawab ayahnya.

"Kita akan melakukannya. Sungguh-sungguh melakukannya," berkata anaknya. "Aku dapat berbuat lebih garang dari para penyamun di bulak-bulak panjang. Aku dapat lebih kejam dari bajak laut di lautan. Aku sendiri akan pergi bersama beberapa

orang yang mengambil Warsi dengan kasar dan membawanya kemari. Aku dapat berbuat

apa saja. Tetapi jika keadaan memaksa, aku lebih baik melihat perempuan itu menjadi mayat."

"Aku sudah mengatakan. Tepat seperti apa yang kau katakan," sahut ayahnya.

"Jika demikian, kita tidak hanya sekadar mengancam dan menakut-nakuti. Kita akan melakukannya," berkata anak laki-lakinya.

Dengan demikian, maka ia pun kemudian berbicara dengan dua orang pengiringnya. Orang-orang bertubuh raksasa. Seorang di antaranya telah berambut putih.

"Kita akan membawa lima orang kawan," berkata laki-laki yang ingin memperistri Warsi itu. "Aku akan membayar lipat, jika kita dapat membawa Warsi pulang dan menyimpannya di dalam rumah ini."

Kedua orang pengiringnya itu tersenyum. Orang yang berambut putih itu berkata, "Kau hanya membuang-buang uang saja. Berikan uang itu kepadaku. Aku akan mengambilnya dan membawanya kepadamu."

"Omong kosong," jawab laki-laki yang ingin memperistri Warsi itu, "Jangan dikira kalau keluarga Warsi itu tidak dapat mencari perlindungan. Ia juga termasuk

orang yang kaya. Sementara itu, menurut pendengaranku, ayah Warsi adalah seorang yang suka bertualang."

"Apakah yang menarik, bahwa kau nampaknya tergila-gila kepada gadis itu? Jika ayahnya seorang petualang, apakah gadis itu gadis baik-baik?" bertanya orang bertubuh raksasa dan berambut putih itu.

"AKU tidak peduli, apakah ia gadis baik-baik atau bukan. Warsi adalah gadis yang sangat cantik. Tubuhnya merupakan idaman bagi setiap laki-laki. Itu saja.

Mungkin aku memerlukannya untuk waktu yang lebih lama dari kedua perempuan yang sudah aku singkirkan itu," berkata laki-laki yang menginginkan Warsi itu.

Orang berambut putih itu tidak menjawab. Ia sudah terbiasa dengan sifat laki-laki itu. Setiap kali ia ingin pekerjaannya selesai dengan tuntas. Ia tidak

ingin mengalami kegagalan. Karena itu, maka ia tidak tanggung-tanggung untuk mengambil keputusan sebagaimana ayahnya.

Dalam pada itu, seperti yang dikatakan, maka laki-laki itu atas persetujuan ayahnya telah memanggil lima orang gegedug yang dapat dipercaya untuk

bersama-sama mengambil Warsi. Bersama mereka adalah dua orang pengawal laki-laki yang menginginkan Warsi, laki-laki itu sendiri dan ayahnya.

"Sembilan orang adalah satu pasukan segelar sepapan. Seakan-akan kita akan maju berperang merebut Pajang atau bahkan Jipang dan Demak sekaligus," berkata pemimpin sekelompok orang yang terdiri dari lima orang itu.

"Jangan besar kepala," bentak laki-laki yang ingin mengambil Warsi itu. "Kita tidak boleh gagal."

"Kapan kita berangkat?" bertanya ayah laki-laki itu.

"Kita akan mengambilnya malam hari," jawab anak laki-lakinya.

Seperti yang direncanakan, maka ketika malam mulai membayang, mereka pun segera bersiap-siap. Sembilan orang di atas punggung kuda dan senjata di tangan. Ada di antara mereka yang menyelipkan golok di pinggangnya. Tetapi ada yang membawa tombak pendek dengan mata ngeripandan. Ada yang membawa kapak bertangkai pendek

dirangkapi dengan sebuah perisai yang tidak begitu besar. Sedangkan raksasa berambut putih itu menggantungkan bindinya di pelana kudanya, sementara sebuah pedang pendek tetapi besar terselip di pinggangnya. Kawannya, juga seorang yang bertubuh raksasa tetapi berkepala kecil, bersenjata pedang lengkung yang didapatnya dari seorang kawannya yang pernah mengembara keseberang lautan.

Pedang yang tajamnya melampaui tajamnya welat pring wulung itu merupakan senjata yang sangat disegani lawan-lawannya.

Namun dalam pada itu, orang-orang yang agaknya menunggu malam mendekati puncaknya. Mereka akan berkuda langsung menuju ke rumah Warsi. Mereka tidak akan terhalang oleh para peronda yang akan dengan mudah mereka takut-takuti. Apalagi mereka berjumlah sembilan orang.

"Ingat," berkata laki-laki yang menginginkan Warsi, "Gadis itu jangan sampai terluka kulitnya. Ia harus kita dapatkan utuh sebagaimana selalu kau lihat sebelumnya."

"Jika ia melawan?" bertanya pemimpin dari kelima orang yang diupah untuk pergi bersama ke rumah Warsi itu.

"Apa artinya tenaga seorang perempuan. Tetapi biarlah aku sendiri yang akan menangkapnya. Aku tidak mau kulit kalian yang kasar itu menggores kulit Warsi," jawab laki-laki yang tergila-gila kepada Warsi itu.

Orang-orang yang mendengar jawaban itu tertawa berkepanjangan. Bahkan akhirnya orang itu sendiri pun tertawa pula sambil berkata, "Nah, hanya aku yang boleh menyentuhnya. Mengerti?"

Tidak ada jawaban. Tetapi suara tertawa itu masih terdengar.

Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa perjalanan mereka sama sekali tidak terganggu. Jika mereka melewati regol yang dijaga, maka laki-laki yang

bersenjata tombak pendek dengan mata ngeripandan itu berkata kepada anak-anak muda di regol itu, "Beri kami jalan. Kami sedang mengejar segerombolan perampok."

"Mereka tidak lewat jalan ini," pada umumnya para penjaga itu menjawab demikian.

"Kami mengambil jalan memintas. Mereka merampok di rumah Ki Demang Watumulih,"

jawab orang bertombak itu pula.

Tidak seorang pun yang mencegah mereka lewat. Selain mereka percaya akan keterangannya, maka tidak akan ada kekuatan di padukuhan itu untuk menahan agar kesembilan orang itu tidak meninggalkan gardu mereka.

Dengan demikian, maka sedikit lewat tengah malam, maka orang-orang itu sudah mendekati padukuhan tempat Warsi tinggal.

Pemimpin dari kelima orang itu pun kemudian berdesis, “Kita tidak boleh memberikan kesan yang dapat memaksa para peronda memukul tanda bahaya jika mereka mencurigai kita.”

“Kita akan memberikan jawaban seperti yang sudah kami lakukan,” jawab raksasa berkepala kecil itu.

Pemimpin dari lima orang gegedug itu mengangguk. Tetapi katanya, “Ada beberapa perbedaan. Padukuhan ini adalah padukuhan tempat tinggal Warsi. Jika ayahnya menjadi cemas atas ancaman yang pernah diucapkan, maka ia tentu telah memberitahukan kepada para peronda kemungkinan seperti ini. Karena itu, kita harus berhati-hati.

“Aku sependapat,” sahut ayah laki-laki yang menginginkan Warsi itu, “Aku memang pernah mengancamnya. Mungkin ayah Warsi itu memang sudah bersiaga.” Pemimpin dari kelima orang gegedug itu pun menyahut, “Sebenarnya kita tidak perlu takut, seandainya dibunyikan isyarat titir sekalpun. Jika kita berusaha,

untuk mencegah hal itu, karena kita ingin menghindari terjadi pembantaian yang berlebih-lebihan. Aku sebenarnya tidak ingin membunuh terlalu banyak, karena upah yang akan aku terima tidak terlalu banyak pula.”

“Tutup mulutmu,” bentak laki-laki yang menginginkan Warsi, “Aku memberi kalian upah lipat dari kebiasaan.”

Tetapi pemimpin para gegedug itu tertawa, “Memang, upah itu dua kali lipat. Tetapi tentu tidak bernilai seperti jika aku membunuh duapuluh lima orang malam ini karena seisi kampung berusaha menangkap aku. Karena itu kita harus

berhati-hati, agar tidak terlalu banyak membunuh malam ini.”

Laki-laki yang menginginkan Warsi itu mengumpat. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi.

Demikianlah, maka iring-iringan itu pun telah sampai ke regol padukuhan. Seperti yang mereka duga, di regol itu pun terdapat beberapa orang anak muda yang sedang meronda. Mereka pun bertanya sebagaimana pernah ditanyakan di perondan sebelumnya. Dan orang bertombak pendek itu pun menjawab sebagaimana pernah diucapkan.

Ternyata anak-anak di regol itu pun tidak banyak membuat persoalan. Seperti anak-anak muda di padukuhan-padukuhan lain, mereka memang agak ketakutan melihat

sembilan orang bersenjata.

Ketika orang-orang itu lewat, maka pemimpin perondan itu pun berkata, “Bagaimana pun juga kita harus bersiaga.” "APA yang dapat kita lakukan atas mereka?" bertanya salah seorang dari anak-anak muda itu.

"Mudah-mudahan mereka benar-benar hanya lewat," jawab pemimpin peronda itu. "Tetapi jika tidak, dan mereka ingin mengganggu ketenangan padukuhan kita, setidak-tidaknya kita dapat membunyikan isyarat dengan kentongan."

Tapi rasa-rasanya memang ngeri berurusan dengan orang-orang itu. Meskipun demikian, bagaimana pun juga ada secercah perasaan tanggung jawab dihati anak-anak muda itu.

Dalam pada itu, di padukuhan-padukuhan sebelumnya, sembilan orang itu

benar-benar hanya lewat dan tidak membuat gaduh sama sekali. Agak berbeda dengan padukuhan yang terakhir. Mereka ingin mengambil seseorang dari padukuhan itu.

Seorang gadis yang sangat cantik, yang dikenal oleh setiap laki-laki dan bahkan

tidak jarang anak-anak muda yang memimpikannya. Sekadar bermimpi, karena untuk benar-benar melamarnya, anak-anak muda itu merasa segan, karena Warsi adalah anak seorang yang termasuk kaya di padukuhan itu.

Namun ada satu hal yang tidak diketahui oleh sembilan orang itu. Sebenarnyalah bahwa ayah Warsi telah bersiaga menghadapi segala kemungkinan, karena ia pun yakin, bahwa laki-laki yang melamar Warsi itu tidak hanya sekadar bermain-main dan mengancam.

Karena itu, maka ia pun telah menempatkan dua orang pengamat di regol padukuhan sebelah menyebelah. Pengamat yang tidak diketahui oleh para peronda di regol.

Dalam pada itu, demikian para pengamat itu melihat sembilan orang memasuki regol padukuhan, maka mereka pun segera menyadari bahwa yang mereka tunggu selama itu telah datang.

Karena itu, maka kedua orang yang berada di regol yang menjadi pintu masuk dari kesembilan orang itu segera berloncatan dari dinding ke dinding halaman berikutnya, meminta jalan kembali ke rumah Warsi.

Ternyata mereka datang lebih dahulu dari sembilan orang berkuda. Mereka sempat mengetuk pintu dan membangunkan Warsi dan ayahnya serta para pengikutnya yang pernah menjadi pengiring pada saat Warsi pergi ke Sembojan.

Dengan cepat maka mereka pun segera mengetrapkan pembicaraan-pembicaraan yang pernah mereka lakukan sebelumnya. Beberapa orang pengikut ayah Warsi itu pun

tiba-tiba telah menghilang dari halaman. Namun sebelumnya ayah Warsi berpesan, "Mereka tentu mengambil jalan keluar yang lain dari saat mereka memasuki padukuhan. Mereka tidak akan menempuh jalan kembali melalui gardu para peronda di regol. Tetapi mereka akan mengambil jalan berikutnya."

Karena itu, maka para pengikut Warsi itu pun mengetahui kemana mereka harus pergi.

Baru sesaat kemudian, maka sembilan orang berkuda telah memasuki regol halaman rumah Warsi. Tidak ada seseorang pun yang menjaga rumah itu. Halaman rumah itu nampaknya sepi saja. Tidak ada tanda-tanda kesiagaan dari keluarga Warsi.

"Gila," geram ayah laki-laki yang menginginkan Warsi, "Ternyata mereka tidak percaya. Ternyata mereka menganggap bahwa aku hanya main-main saja dengan ancamanku. Dan itu sangat menyakitkan hati."

Pemimpin dari kelima orang gegedug itu tertawa, katanya, "Kalian menyesal bahwa kalian telah bersedia membayar kami berlima tanpa berbuat apa-apa."

"Persetan," geram laki-laki yang menginginkan Warsi.

"Apapun yang terjadi, tetapi upah kami tetap. Dua kali lipat jika kita berhasil membawa Warsi utuh sampai ke rumah kalian," berkata pemimpin gegedug yang lima orang itu.

Laki-laki yang menginginkan Warsi tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian segera turun dari kudanya dan naik ke pendapa. Ayahnyalah yang kemudian mengatur orang-orangnya untuk berjaga-jaga, karena bagaimana pun juga mereka harus berhati-hati.

“BAGAIMANA dengan ayahku?” bertanya Warsi.

“Aku tidak memerlukannya. Biarlah ayahmu menjadi urusan ayahku,” berkata laki-laki itu.

Namun tiba-tiba Warsi memegang hulu pisaunya sambil berkata, “Aku minta ayah pergi bersamaku. Jika tidak, aku menolak keinginanmu, aku akan membunuh diri.” Sejenak laki-laki itu termangu-mangu. Ketika kemudian ayahnya juga memasuki bilik itu dan mendengar permintaan Warsi ia mengumpat, “Buat apa aku membawa ayahmu Warsi.”

“Aku memerlukannya paman,” jawab Warsi. “Jika paman tidak mau membawa ayah bersama kami, maka aku pun menolak untuk pergi. Jika paman memaksa, maka aku akan membunuh diri sekarang dihadapan paman dan ayah.”

“Tunggu,” berkata ayah laki-laki yang menginginkan Warsi itu. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Apaboleh buat.”

Dengan demikian maka orang-orang yang datang ke rumah Warsi itu pun telah bersiap-siap untuk kembali. Pemimpin dari lima orang gegedug yang menunggu di halaman tertawa sambil berkata, “Alangkah mudahnya pekerjaannya hari ini.

Sementara itu, aku akan mendapat upah dua kali lipat.” “Tutup mulutmu,” geram laki-laki yang membimbing Warsi.

Warsi mengikuti saja. Namun pisaunya masih terselip pada ikat pinggangnya. Ketika laki-laki itu mencoba untuk mengambilnya, Warsi sama sekali tidak memberikannya.

Dalam pada itu, dua orang pengiring laki-laki yang datang itu telah menyiapkan dua ekor kuda dari kandang ayah Warsi sendiri. Kemudian kedua ekor kuda itu diperuntukkan bagi Warsi dan ayahnya.

“Aku tidak dapat naik kuda,” berkata Warsi.

Laki-laki yang menginginkannya itu pun termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Jika demikian, marilah. Berkuda saja bersama aku. Aku akan dapat menjagamu.”

Warsi memandang laki-laki itu dengan tajamnya. Namun kemudian ia berdesis, “Aku akan berkuda sendiri.”

“Bukankah kau tidak terbiasa?” berkata laki-laki yang mengambilnya itu. “Tetapi aku tidak mau berkuda berdua, kecuali dengan ayah,” jawab Warsi. “Baiklah. Cobalah berkuda sendiri. Kita tidak tergesa-gesa,” jawab laki-laki yang mengambilnya itu.

Demikianlah, maka sejenak kemudian sebuah iring-iringan telah meninggalkan halaman rumah Warsi. Laki-laki yang akan mengambilnya itu berusaha menuntun kuda yang dipergunakan oleh Warsi sambil duduk di punggung kudanya sendiri. Sementara itu, ayah Warsi berkuda di belakang diiringi oleh dua orang bertubuh raksasa

yang pernah datang ke rumah Warsi sebelumnya. Sementara itu lima orang upahan yang bersama mereka, berkuda berpencar. Kadang-kadang pimpinannya ada di depan. Tetapi kadang-kadang ada di belakang.

Ketika iring-iringan itu keluar dari regol padukuhan diarah yang lain dari saat mereka datang, sebagaimana diperhitungkan oleh ayah Warsi, maka laki-laki yang menginginkan Warsi itu minta agar ayah Warsilah yang menjawab jika para peronda nanti bertanya.

“Bagaimana jawabku?” bertanya ayah Warsi.

“Katakan, bahwa kau akan pergi ke tempat keluargamu yang sakit keras. Katakan bahwa kami adalah orang-orang yang menjemputmu,” jawab laki-laki itu. “Sekian banyaknya,” bertanya ayah Warsi.

“Mereka tidak akan berpikir seperti itu. Tetapi seandainya mereka bertanya juga, maka kau dapat menjawab, bahwa jalan yang akan kita tempuh adalah jalan yang berbahaya,” jawab laki-laki yang mengambil Warsi.

Ayah Warsi tidak menjawab. Tetapi satu dari perhitungannya, justru landasannya, ternyata tepat. Iring-iringan itu tidak keluar padukuhan dengan menempuh jalan kembali. Tetapi mereka mengambil jalan seterusnya dan keluar di regol yang lain.

SEBAGAIMANA mereka duga, maka di regol anak-anak muda yang sedang meronda pun

telah bertanya. Seperti yang dipesan, maka ayah Warsi pun menjawab bahwa iring-iringan itu akan pergi ke tempat keluarganya yang sedang sakit.

"Mereka datang menjemput aku di tengah malam, karena keadaan yang gawat," berkata ayah Warsi kepada anak muda yang sudah dikenal dan mengenalnya.

Memang tidak ada yang bertanya, kenapa yang menjemputnya sebuah iring-iringan yang besar. Sehingga karena itu, maka ayah Warsi pun tidak perlu menjelaskannya.

Demikian mereka keluar dari regol padukuhan, maka orang-orang dalam

iring-iringan itu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya mereka telah selesai dengan sebuah tugas yang besar. Namun sekali lagi pemimpin dari lima orang yang diupah oleh laki-laki yang menginginkan Warsi itu berdesis, "Aku merasa tugasku kali ini menyenangkan sekali dengan upah yang cukup."

Sementara itu, raksasa yang berambut putih pun tersenyum pula. Katanya, "Aku sudah menawarkan diri untuk melakukannya. Tetapi segala sesuatunya harus meyakinkan bahwa tidak akan gagal."

Tidak ada yang menyahut lagi. Iring-iringan itu berjalan tidak terlalu cepat,

karena Warsi menurut pengakuannya belum terbiasa duduk di punggung kuda. Apalagi Warsi harus duduk dengan kedua belah kakinya di satu sisi, karena ia mengenakan kain panjang. Setiap kali Warsi harus membetulkan letak duduknya karena setiap

kali rasa-rasanya tubuhnya akan meluncur turun.

"Cobalah letakkan kakimu pada sanggawedi," berkata laki-laki yang menginginkan Warsi. "Kita harus berjalan lebih cepat sedikit. Kita harus sampai ke rumahku sebelum dini hari. Sebelum orang-orang bangun dan menyapu halaman atau bahkan pergi ke pasar." "Aku tidak dapat," jawab Warsi

"Jika kau mengalami kesulitan, duduk saja bersamaku disini," ajak laki-laki itu.

"Tidak mau," Warsi tetap menolak.

Laki-laki itu tidak memintanya lagi. Tetapi ia berusaha untuk mempercepat perjalanan mereka. Jika mereka sampai disebuah simpang empat ditengah-tengah bulak, mereka harus berbelok dan melingkari padukuhan tempat tinggal Warsi kembali ke jalan yang semula. Mereka sama sekali tidak akan merasa cemas atas pertanyaan-pertanyaan dari anak-anak muda yang berada di gardu-gardu. Mereka akan dapat menjawab apa saja seandainya ada di antara mereka yang akan mempertanyakan Warsi yang ikut dalam iring-iringan itu.

Untuk beberapa saat perjalanan itu sama sekali tidak terganggu. Meskipun ayah laki-laki yang menginginkan Warsi itu sama sekali tidak merasa senang, bahwa ayah Warsi bersama mereka, namun ia tidak dapat berbuat lain. Jika ia memaksa orang itu tinggal dan apalagi diperlakukan buruk, maka Warsi benar-benar akan dapat melakukan satu tindakan yang tidak menguntungkan.

Dalam pada itu, mereka telah menjadi semakin dekat dengan simpang empat

ditengah-tengah bulak. Mereka pun telah bersiap-siap untuk membelok dan kemudian menempuh perjalanan melingkar.

Namun tiba-tiba saja mereka melihat sesuatu yang mencurigakan di simpang empat itu. Karena itu, maka ayah Warsi pun telah memerintahkan kedua orang raksasa pengiringnya untuk berada di paling depan.

"Ya, kami melihat sesuatu meskipun tidak jelas," berkata kedua orang pengiringnya. Lalu katanya kepada pemimpin dari lima orang upahan itu. "Nah, mungkin baru disini kalian mendapat pekerjaan yang berarti."

Orang itu tersenyum. Katanya, "Aku tidak pernah mendengar bahwa di daerah ini terdapat penyamun atau perampok. Mungkin yang kita lihat di simpang empat itu adalah para petani yang menunggu air yang mengalir sedikit sekali di parit sebelah."

KEDUA orang raksasa itu tidak menjawab. Tetapi mereka berdua berkuda di paling depan. Bahkan raksasa yang berkepala kecil itu telah meraba hulu pedangnya.

Pedang yang nggegirisi yang tajamnya jarang ada bandingnya. Setiap sentuhan pada tubuh seseorang berarti koyak sampai ke tulang.

Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka mereka melihat semakin jelas. Beberapa orang memang berdiri di pinggir jalan dekat dengan simpang empat itu.

Karena itu, maka orang-orang di dalam iring-iringan itu pun menjadi semakin berhati-hati. Kelima orang yang semula menganggap bahwa tugas mereka terlalu ringan untuk upah yang dua kali lipat dari kebiasaannya, mulai menjadi berdebar-debar. Bahkan salah seorang berdesis, “Jika orang-orang itu ingin mengganggu perjalanan ini, mereka adalah orang-orang gila yang jemu hidup,

karena mereka sudah mengganggu kenikmatan perjalanan kami yang sangat lancar ini.”

Namun dalam pada itu, laki-laki yang ingin mendapatkan Warsi itu pun berkata lantang, “Jika mereka benar-benar ingin berbuat jahat, maka tidak ada hukuman yang pantas bagi mereka, kecuali kebinasaan.”

Kedua orang pengiring ayah Warsi yang bertubuh kekar itu pun mulai memperlambat kudanya. Ternyata orang-orang yang semula berdiri di pinggir jalan itu justru

telah bergeser ke tengah, sementara yang lain justru meloncat parit di pinggir jalan.

Melihat sikap orang-orang itu, maka pemimpin dari kelima orang upahan itu pun berkata, “Hati-hatilah. Mereka bukan orang kebanyakan. Tentu juga bukan penyamun kecil atau orang-orang yang sering merampok orang-orang yang pergi ke pasar.

Kelima orang gegedug itu pun mulai berpencar pula. Dua orang bertubuh raksasa

itu sudah menghentikan kudanya. Bahkan mereka pun kemudian telah meloncat turun. Jika terjadi sesuatu, maka medannya tidak menguntungkan apabila mereka harus bertempur di atas punggung kuda.

Dalam pada itu, maka seluruh iring-iringan itu pun berhenti. Beberapa orang pun telah meloncat turun. Merreka menanggapi kehadiran orang-orang di pinggir jalan itu dengan sangat berhati-hati.

Namun dalam pada itu, ayah laki-laki yang menginginkan Warsi itu mulai curiga. Adalah mustahil bahwa ayah Warsi sama sekali tidak bersiap-siap menghadapi ancaman yang pernah diucapkannya dengan sungguh-sungguh. Karena itu, maka ia pun cepat menghubungkan orang-orang yang berdiri di jalan itu dengan kesiagaan ayah Warsi.

Karena itu maka tiba-tiba saja dengan nada lantang ia berkata, “Hati-hatilah. Mereka adalah orang-orang yang telah diminta ayah Warsi dengan sengaja mencegat kita.”

Orang-orang yang bersamanya sejenak mencoba mengerti keterangan itu. Namun yang sejenak itu telah mengubah segala-galanya. Warsi yang semula disangka tidak terbiasa berkuda serta ayahnya yang gemetar itu tiba-tiba saja meloncat keluar dari iring-iringan itu. Demikian cepatnya sehingga tidak seorang pun mampu mencegahnya.

"ANAK setan," geram laki-laki yang menginginkan Warsi, sementara Warsi telah berdiri di seberang parit. Seorang laki-laki di antara mereka yang mencegat

iring-iringan itu telah meloncat pula mendekatinya seakan-akan siap untuk melindunginya. Sedangkan ayah Warsi justru telah berada di sebelah yang lain dari jalan bulak itu.

"Kalian memang licik," geram ayah dari laki-laki yang menginginkan Warsi. "Tetapi cara apapun yang kalian tempuh tidak ada gunanya."

"Maaf," sahut ayah Warsi. "Aku terpaksa melakukan cara ini. Sebenarnya aku sama sekali tidak menginginkan perselisihan. Apalagi dengan kadang sendiri. Tetapi

kau memaksa aku untuk mempertahankan diri. Kau benar-benar telah mengupah orang untuk mengambil Warsi. Karena itu aku pun benar-benar harus mempertahankannya demi kebahagiaan Warsi di hari kemudian."

"Caramu sangat licik dan pengecut," geram ayah laki-laki itu.

"Yang aku lakukan adalah sekadar cara. Sebenarnya bagiku lebih mudah menghancurkan kalian di halaman. Tetapi aku tidak mau mengganggu tetangga-tetanggaku, sehingga karena itu, maka aku telah berusaha untuk bertempur ditengah bulak ini," jawab ayah Warsi.

"Tetapi aku masih ingin memperingatkan kalian sekali lagi," berkata laki-laki

yang menginginkan Warsi. "Serahkan Warsi. Jika tidak, maka kalian akan menyesal. Kami tidak segan-segan untuk mengambil tindakan yang paling kasar sekalipun.

Bahkan terakhir dari tindakan kami jika perlu adalah membunuh Warsi sendiri." "Lakukan apa yang ingin kalian lakukan," berkata Warsi yang tiba-tiba saja telah melepaskan kain panjangnya, sehingga ia tinggal mengenakan pakaian sebagaimana seorang laki-laki. Sambil membenahi rambutnya ia berkata selanjutnya, "Kami sudah siap untuk mempertahankan hidup kami. Tetapi ingat, setiap kali aku berhadapan dengan seseorang yang benar-benar ingin membunuhku, maka aku pun ingin membunuhnya."

Sikap Warsi memang mengejutkan. Dengan wajah yang tegang laki-laki yang akan memperistrinya itu bertanya, "Apakah kau juga akan ikut berkelahi?"

"Sebagaimana akan aku lakukan, aku pun mampu melakukannya. Dan sebagaimana kalian kehendaki atas kami, kami pun menghendaki demikian pula atas kalian. Karena itu, maka kami pun ingin memberikan satu peringatan atas kalian.

Tinggalkan tempat ini. Aku masih tetap menyadari, bahwa kita adalah bersaudara," berkata Warsi.

"Kau jangan berbicara yang aneh-aneh Warsi," berkata laki-laki yang menghendakinya. "Kau harus menyadari, bahwa kau tidak mempunyai pilihan. Tetapi jika kau keras kepala, maka apaboleh buat. Sudah aku katakan. Daripada aku

melihat kau diperistri oleh orang lain, maka aku lebih baik senang melihat kau di usung ke kubur."

"Aku memberi kesempatan kepada kalian sekali lagi," teriak Warsi. Suaranya

benar-benar membuat jantung orang yang mendengarnya menjadi berdebar-debar. "Tinggalkan tempat ini. Sikap kalian akan kami maafkan. Tetapi sekali kami membenturkan kekerasan, maka yang akan terjadi kemudian adalah kematian. Kalian semuanya akan kami tumpas di simpang empat ini. Tidak seorang pun akan tersisa."

"Cukup," teriak laki-laki yang menginginkan Warsi, "Gadis secantik kau masih mampu membual pula."

"Waktu kalian telah habis," berkata Warsi tanpa menghiraukan kata-kata laki-laki yang akan mengambilnya. "Sekarang kalian tidak mempunyai jalan keluar dari simpang empat ini. Kalian benar-benar akan mati."

Sebelum laki-laki yang menginginkan Warsi dan yang menjadi sangat marah itu sempat menjawab, maka ayah Warsi telah mendahului, "Maaf kakang. Kakang sendiri yang membakar setumpuk jerami kering di dalam lumbung. Jika kemudian api akan berkobar dan menelan semua yang kau bawa, termasuk anak laki-lakimu dan kau sendiri, sama sekali bukan tanggung jawabku. Kau sendirilah yang masuk ke dalam api seperti sulung di malam hari."

“Tutup mulutmu,” bentak ayah laki-laki yang menginginkan Warsi itu. “Kalian benar-benar akan membunuh diri.”

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar pemimpin dari para gegedug yang diupah oleh laki-laki yang menginginkan Warsi itu tertawa. Katanya, “Aku menjadi muak mendengar orang bertengkar tanpa ujung pangkal. Masing-masing mengancam untuk saling membunuh. Tetapi tidak seorang pun yang mulai berbuat sesuatu.” “Bagus,” sahut Warsi. “Marilah. Jika benar-benar kita harus saling membunuh.” “Itulah,” jawab pemimpin dari kelima orang itu. “Waktuku tidak terlalu banyak,” lalu katanya kepada laki-laki yang menginginkan Warsi. “Uruslah perempuan itu. Kami akan membersihkan jalan yang akan kalian lewati.”

Orang di kedua belah pihak kemudian justru terdiam. Pemimpin dari kelima orang upahan itu pun segera membagi orangnya. Ia sendiri bersiap menghadapi laki-laki yang berdiri di sebelah Warsi, yang ternyata adalah pengendangnya. Sementara itu, laki-laki yang menginginkan Warsi itu pun telah siap untuk menangkap Warsi dan membawanya. Ayah laki-laki itu telah bersiap pula menghadapi ayah Warsi. “Orang tua tidak tahu diuntung,” ia masih bergeremang sambil melangkah maju. “Jika anak perempuanmu mati malam ini dalam umurnya yang masih muda, maka kaulah

yang bertanggung jawab.”

“Anakku dapat bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Mau atau tidak mau tergantung kepada Warsi. Tidak kepadaku. Karena itu, tanggung jawabnya pun ada pada anakku sendiri,” berkata ayah Warsi.

“Kau gila. Kau mau mencuci tangan he? Jika anakmu mati, kau persalahkan anakmu itu sendiri,” geram ayah laki-laki itu.

“Segalanya memang terserah kepadanya,” jawab ayah Warsi.

Ayah laki-laki yang menginginkan Warsi itu pun tidak sabar lagi. Tiba-tiba saja ia pun sudah meloncat menyerang sambil berteriak, “Kaulah yang harus dibunuh lebih dahulu.”

Ayah Warsi meloncat mengelak sambil berkata, “Kau tahu kakang, bahwa aku adalah seorang petualang. Karena itu, seharusnyalah kau menyadari, bahwa dalam keadaan yang memaksa aku dapat menjadi keras dan kasar. Sementara itu pengalamanpun cukup luas menghadapi keadaan yang lebih buruk dari keadaan ini.”

Tetapi ayah Warsi terpaksa berhenti berbicara. Tiba-tiba saja senjata lawannya berdesing hampir mengenai mulutnya.

Dalam pada itu, maka orang-orang yang berada di simpang empat itu pun mulai bergerak. Lima orang gegedug itu pun berpencar, sementara dua orang raksasa pengiring ayah laki-laki yang menginginkan Warsi itu pun sudah mulai bergerak pula.

Sejenak kemudian pertempuran benar-benar telah membakar simpang empat itu. Kedua belah pihak telah mendapatkan musuhnya masing-masing.

Namun agaknya para pengikut Warsi jumlahnya lebih banyak dari sembilan orang yang datang ke rumahnya. Karena itu, maka raksasa yang berambut putih itu harus bertempur melawan dua orang.

Ternyata orang yang bertubuh tegap kekar, meskipun rambutnya sudah mulai memutih, demikian pula jambangnya, kumis dan janggutnya, namun orang itu masih segarang harimau kelaparan.

Demikianlah sejenak kemudian pertempuran telah menjadi semakin garang. Semua orang telah terlibat kedalamnya, kecuali Warsi dan laki-laki yang ingin mengambilnya.

“Kenapa kau masih termangu-mangu?” bertanya Warsi.

“Kau jangan melakukan sesuatu yang dapat menyulitkan keadaanmu. Bagaimanapun juga, aku masih berusaha untuk menyelamatkanmu. Meskipun ayah sudah mengambil keputusan untuk membunuh semua orang tetapi aku akan dapat menyelamatkan kau,” berkata laki-laki itu.

“SUDAH dikatakan oleh ayah dan sudah aku katakan pula, aku tidak mau kau ambil dengan cara apapun juga. Apalagi dengan cara yang kasar ini,” berkata Warsi.

“Jika demikian, maka menyesal sekali, bahwa aku akan memperlakukan kau sebagaimana aku katakan,” berkata laki-laki itu.

Tetapi laki-laki itu menjadi heran. Warsi justru tertawa. Ia sama sekali tidak

menjadi cemas apalagi ketakutan. Bahkan katanya, “Dengar. Aku sudah mengatakan. Aku akan memperlakukan kau sebagaimana kau ingin memperlakukan aku. Jika kau ingin membunuh aku, maka aku pun ingin membunuhmu. Dan agaknya aku sama sekali tidak akan merasa kehilangan jika kau mati.”

“Anak iblis,” geram laki-laki itu.

Warsi masih saja tertawa. Bahkan ia masih sempat memperhatikan pertempuran yang membakar simpang empat itu. Namun terasa jantungnya berdegup keras, ketika ia melihat orang-orang yang disewa oleh laki-laki yang menginginkannya itu. Mereka nampaknya benar-benar ingin menyelesaikan pertempuran itu dengan cepat. Sekilas Warsi melihat tombak bertangkai pendek dengan ujung ngeri pandan. Ia pun melihat jenis-jenis senjata yang lain. Seseorang dengan kapak dan perisai bertempur

bagaikan mengamuk. Sedangkan yang lain mempergunakan sebuah golok yang besar. Sementara itu, sebilah pedang telah menggetarkan dada Warsi. Pedang yang lengkung, tetapi tajamnya tujuh kali pisau penyukur. Dalam cahaya bintang daun yang lengkung itu nampak berkilat seakan-akan melemparkan cahaya yang menyilaukan.

Namun Warsi tidak mempunyai banyak kesempatan untuk merenung. Laki-laki yang akan mengambilnya itu benar-benar marah. Dengan tangkasnya ia pun telah meloncat menyerang. Tetapi agaknya ia masih berusaha untuk dapat menangkap Warsi dalam keadaan utuh, sehingga karena itu ia sama sekali tidak mempergunakan senjata.

Tetapi laki-laki itu terkejut bukan kepalang. Sebagai seorang yang tidak hidup dalam lingkungan olah kanuragan seutuhnya, maka ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu, ketika justru pada saat ia menyerang, maka kaki Warsi telah mengenai dadanya.

Laki-laki itu terlempar beberapa langkah. Tubuhnya terbanting bagaikan sebatang pohon pisang yang rebah.

Terdengar laki-laki itu menyeringai. Punggungnya rasa-rasanya akan patah. Ia sama sekali tidak menduga bahwa hal seperti itu dapat terjadi. Ia hanya mengira bahwa Warsi yang benar-benar tidak mau mengikutinya itu berbuat lepas dari penalaran. Seolah-olah Warsi akan mampu melawan dan membebaskan dirinya. Tetapi yang terjadi ternyata bertentangan dengan dugaannya. Kaki Warsi itu benar-benar menghantam dadanya sehingga ia terlempar jatuh ditanah. Ia

benar-benar mengalami kesakitan pada punggungnya dan dadanya bagaikan terhimpit sehingga nafasnya terasa menjadi sesak.

Namun laki-laki itu kemudian masih juga berusaha bangkit. Ketika ia melihat Warsi berdiri tegak dengan tangan bertolak pinggang, maka rasa-rasanya ia melihat Warsi yang lain. Bukan Warsi yang cantik yang berkulit semulus kulit mundu masak. Tetapi Warsi dimatanya telah berubah menjadi iblis betina yang memang harus dibinasakan.

Warsi tidak berbuat sesuatu ketika laki-laki itu berusaha untuk tegak berdiri. Dengan wajah yang membara laki-laki itu memandang Warsi yang masih saja berdiri bertolak pinggang.

“Kau benar-benar tidak tahu diri,” geram laki-laki itu.

“Sudah aku katakan,” jawab Warsi. “Aku akan membunuhmu. Tetapi aku masih mencoba sekali lagi memberimu kesempatan. Hal ini tidak pernah aku lakukan sebelumnya.

Pergilah. Pulanglah dan menangislah jika kau kesakitan. Tetapi jika kau benar-benar tidak ingin meninggalkan tempat ini, apalagi bermimpi untuk membawaku pulang, maka aku benar-benar akan membunuhmu disini. Namun, masih ada kesempatan yang terbuka. Justru karena kita masih mempunyai hubungan darah.”

“Persetan,” geram laki-laki itu. “Kau benar-benar ingin mati.” Warsi mengerutkan keningnya ketika ia melihat laki-laki itu benar-benar menarik senjatanya dari sarungnya. Sehelai pedang yang berwarna kehitam-hitaman. “Luwuk itu pernah aku lihat,” desis Warsi.

Sejenak ia mengingat-ingat. Namun tiba-tiba saja ia berkata lantang, “He, luwuk itu ternyata telah kau curi dari rumah kakek ya?”

Laki-laki itu menggeram. Katanya, “Kakekmu mencuri luwuk ini dari rumah kakekku. Bukankah kakekku lebih tua dari kakekmu dalam tataran keturunan? Kakekkulah yang berhak atas luwuk ini. Tetapi kekekmu telah mencurinya. Karena itu, aku telah mengambilnya kembali.”

“Luwuk itu hilang ketika aku masih terlalu kecil untuk mengerti persoalannya. Tetapi aku pernah melihat luwuk itu di rumah kakek. Beberapa saat kemudian kakek menjadi marah-marah karena luwuk itu telah hilang. Ternyata kaulah yang mencurinya. Karena itu, kembalikan luwuk itu. Jika kau keberatan, maka kau

bersalah ganda terhadapku. Hukumanmu adalah hukuman mati dua kali. Artinya kau akan mati perlahan-lahan,” berkata Warsi.

Wajah Warsi benar-benar menjadi menyeramkan. Di luar sadarnya bulu-bulu di tengkuk laki-laki itu meremang. Namun kemudian ia menjadi tatag kembali. Sambil mengayunkan pedang berwarna hitam dan berhulu ukiran kepala serigala, maka laki-laki itu melangkah mendekati Warsi.

“Aku benar-benar akan membunuhmu iblis betina,” geram laki-laki itu.

Tetapi jawab Warsi mendebarkan, “Jika demikian aku sudah mengambil keputusan. Membunuh tanpa peringatan lagi.”

Namun kata-kata Warsi terdiam. Laki-laki itu telah meloncat menyerangnya dengan ayunan pedang mendatar. Pedang yang disebut oleh Warsi luwuk itu.

Tetapi Warsi dengan tangkasnya meloncat mundur. Serangan itu sama sekali tidak membuat jantungnya bergejolak.

Ternyata laki-laki itu menjadi makin marah. Seakan-akan Warsi dengan sengaja telah menghinanya dengan sikapnya itu.

Dengan demikian maka laki-laki itu pun kemudian bertempur semakin garang.

Selain kemarahan laki-laki itu yang menghentak-hentak dadanya, ternyata luwuk

itu memang bukan luwuk kebanyakan. Luwuk itu seakan-akan mempunyai kemampuan untuk mendorong tangan yang menggenggamnya bergerak lebih cepat.

Karena itu, maka sejenak kemudian, Warsi mulai berloncatan dengan langkah-langkah panjang. Luwuk di tangan laki-laki itu bagaikan mengejarnya. Bahkan seakan-akan laki-laki itulah yang terseret oleh kekuatan luwuk di tangannya.

“Gila,” geram Warsi. “Betapa dungunya laki-laki ini, tetapi dengan luwuk kakek ditangannya ia menjadi garang dan sangat berbahaya.”

Dalam pada itu, kemarahan laki-laki itu rasa-rasanya tidak dapat lagi diendapkan. Ia tidak lagi melihat wajah seorang gadis yang cantik yang berdiri di depannya sambil tersenyum manis, tetapi ia merasa benar-benar berhadapan dengan iblis betina yang dengan taring-taringnya yang tajam siap menghisap sampai kering.

Karena itu, dengan luwuk pusaka itu, ia memang benar-benar berniat membinasakan Warsi.

Sikap laki-laki itu ternyata terasa oleh Warsi. Niat untuk membunuhnya itu

benar-benar telah memantapkan sikapnya. Ia pun harus membunuh pula. Bahkan bukan saja laki-laki yang menghendakinya itu. Tetapi sekilas terbersit pula kemantapan sikapnya untuk memaksakan keinginannya dengan cara itu. Merampas Wiradana dengan

kekerasan.

Sesaat kemudian Warsi pun benar-benar telah kehilangan kendali. Ia tidak mengingat lagi bahwa laki-laki itu adalah masih kadang sendiri. Apalagi

laki-laki itu pun tidak pula mengingat hal yang demikian, sedangkan laki-laki itu dapat disebut seorang laki-laki dari keturunan baik-baik.

KARENA itu, maka sesaat kemudian, ketika Warsi menjadi semakin terdesak, ia pun telah mengurai rantainya dari balik bajunya. Rantai yang merupakan senjata andalannya.

Sejenak kemudian rantai itu pun telah berputar di atas kepalanya. Suaranya berdesing seperti seribu kumbang yang beterbangan di sekitar sarangnya.

Dalam pada itu, pertempuran antara dua kekuatan itu pun menjadi semakin lama semakin dahsyat. Orang berambut putih itu benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang mapan. Dua orang lawannya sekali-kali justru merasa terdesak. Hanya karena kerja sama di antara mereka yang cukup rapi, maka keduanya mampu bertahan melawan amukan kekuatan orang berambut putih itu.

Sementara itu, pedang lengkung yang berada di dalam genggaman raksasa berkepala kecil itu memang sangat mengerikan. Kilatan cahaya yang terpantul oleh daun pedang yang melengkung itu bagaikan bunga api yang berloncat-loncatan.

Dalam pada itu, lima orang upahan yang bertempur dipihak laki-laki yang menginginkan Warsi itu benar-benar bertempur dengan cara mereka. Mereka sama sekali tidak menghiraukan tata nilai apapun juga. Yang mereka lakukan adalah bertempur dengan segenap kemampuan yang ada pada mereka. Dengan senjata mereka yang aneh dan nggegirisi.

Namun ternyata mereka telah membentur satu kekuatan yang merupakan bagian dari kekuatan keluarga Kalamerta. Kekuatan yang memang hidup di dalam lingkungan kekerasan.

Dengan demikian, maka sejenak kemudian, mereka telah sampai kepada kebiasaan mereka masing-masing. Keras, kasar dan bahkan kemudian menjadi buas dan liar. Kedua belah pihak telah saling menerkam dan mendesak lawannya. Keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan mereka, tanpa menghiraukan aturan apapun juga.

Dalam pada itu, ayah Warsi masih bertempur dengan sengitnya melawan ayah

laki-laki yang menginginkan Warsi itu. Namun ternyata bahwa ayah Warsi memiliki pengalaman petualangan yang lebih luas. Bahkan sekali-kali ayah Warsi yang mempunyai pengalaman lebih itu terlibat pula dalam lingkungan petualangan Kalamerta.

Karena itu, maka sejenak kemudian, ayah Warsi telah berhasil mendesak lawannya. Bahkan agaknya ayah Warsi pun sudah tidak lagi dapat mengingat bahwa orang yang menjadi lawannya itu adalah masih saudara kadang sendiri.

Dua orang raksasa yang biasanya menjadi pelindung ayah laki-laki yang menginginkan Warsi itu menjadi gelisah. Tetapi ternyata mereka sedang menghadapi lawan mereka masing-masing yang tidak dapat mereka tinggalkan. Apalagi raksasa berambut putih itu harus menghadapi dua orang sekaligus yang agaknya memiliki kemampuan yang bersama-sama dapat mengimbangi kemampuannya.

YANG bertempur tidak jauh dari Warsi adalah pemimpin dari lima gegedug itu. Tetapi ia pun mendapat lawan yang mengejutkan pula. Orang yang pernah menjadi tukang gendang disaat-saat Warsi ngamen ke Tanah Perdikan Sembojan itu ternyata mampu mengimbangi ilmu dari pemimpin gegedug yang garang itu.

"Gila," geram pemimpin gegedug itu, "Ternyata ada juga orang yang mampu melawan aku lebih dari sepenginang."

"Jangan terlalu sombong," jawab pengendang itu. "Aku dapat menggilasmu lebih cepat. Tetapi aku masih ingin menunjukkan ilmuku. Mudah-mudahan kau dapat mengenali, bahwa aku adalah salah seorang pengikut Kalamerta yang setia." "Persetan dengan Kalamerta," geram pemimpin gegedug itu. "Kau kira aku takut mendengar nama itu. Nama seorang perampok kecil yang tidak berarti, yang mati terbunuh di petualangannya. He, bukankah Kalamerta sudah mati."

Hampir diluar dugaan, bahwa pembicaraan itu didengar oleh Warsi sehingga ia menjawab, "Memang. Paman Kalamerta sudah meninggal. Tetapi kau masih dapat melihat ilmunya yang tertinggal padaku."

Pemimpin gegedug itu mengumpat. Bahkan ia pun bergerak lebih cepat untuk mendesak lawannya. Namun dalam pada itu, laki-laki yang menginginkan Warsi itu menjadi berdebar-debar. Ia sudah pernah mendengar nama Kalamerta. Bahkan ia mengerti bahwa Kalamerta sebagaimana ayah Warsi, masih ada hubungan kadang. Namun yang paling mendebarkan ialah, bahwa laki-laki yang menginginkan Warsi itu mengetahui, bahwa Kalamerta adalah orang yang memiliki kemampuan yang sulit dicari bandingnya.

Karena itu, ketika Warsi mengaku bahwa ia memiliki ilmu Kalamerta, maka hatinya pun tiba-tiba menjadi kecut. Apalagi ketika kemudian senjata Warsi itu berputar semakin cepat.

Tetapi semuanya sudah terlambat. Warsi sudah menentukan akhir dari pertempuran itu. Sebagaimana laki-laki itu berniat untuk membunuh Warsi, maka Warsi pun telah bertekad untuk membunuh laki-laki itu.

Dalam pada itu, kelima gegedug yang diupah oleh ayah laki-laki yang menginginkan Warsi itu pun berusaha untuk dengan segera mengakhiri pertempuran. Ia melihat laki-laki yang mengupahnya ayah beranak itu terdesak. Jika mereka mengalami cidera, maka mungkin sekali akan ada perhitungan tentang upah mereka.

Karena itu, maka para gegedug itu pun bertempur semakin cepat dan garang. Demikian pula kedua orang pengawal ayah dari laki-laki yang menginginkan Warsi itu. Keduanya bertempur semakin seru. Bahkan keras dan kasar.

Para pengikut ayah Warsi yang bertempur dengan segenap kemampuan mereka, benar-benar membentur kekuatan yang sulit untuk ditundukkan. Bahkan raksasa

berambut putih yang bertempur melawan dua orang itu pun masih belum terkalahkan.

Bahkan sesaat kemudian, maka raksasa yang berpedang lengkung itu pun telah berhasil menyentuh kulit lawannya. Sentuhan yang kebetulan terjadi ketika ia berusaha menangkis pedang lengkung itu. Tetapi ujung pedang itu bergerak melingkar dan menyentuh kulitnya.

Lawan raksasa berpedang lengkung itu mula-mula tidak merasakan sesuatu pada tubuhnya. Ia baru sadar, bahwa kulitnya tersentuh, ketika kemudian ia merasa bahwa darah mengalir dari lengannya.

"Gila," orang itu menggeram sambil meloncat surut. Ketika dengan telapak tangannya ia meraba lengannya, alangkah terkejutnya. Luka itu ternyata merupakan luka yang dalam.

Ternyata darah itu telah membuat orang itu bagaikan menjadi gila. Dengan garang ia berloncatan menyerang raksasa berkepala kecil dan bersenjata pedang lengkung itu. Namun raksasa itu memang memiliki ilmu yang luar biasa.

DALAM pada itu, di luar sadarnya, raksasa berkepala kecil itu melihat keadaan laki-laki yang menginginkan Warsi itu menjadi semakin sulit. Ia semakin terdesak dan sekali-kali rantai di tangan Warsi berdesing hampir menyentuhnya. Namun bagaimana pun juga binalnya Warsi, kadang-kadang ia masih juga disentuh satu kesadaran, bahwa laki-laki itu adalah masih kadangnya sendiri.

“Tetapi ia bersalah ganda,” Warsi menggeregetkan giginya untuk mengusir kelemahan hatinya. “Ia berniat membunuhku dan ia sudah mencuri luwuk kakekku.”

Dalam keragu-raguan itu, setiap kali laki-laki yang menginginkannya itu rasa-rasanya mendapat kesempatan untuk lolos dari bayangan maut.

Namun sementara itu telah terjadi sesuatu yang mempengaruhi keseimbangan dari pertempuran itu ketika raksasa berkepala kecil itu dengan garangnya memanfaatkan keadaan. Lawannya yang sudah terluka itu, yang menjadi bagaikan kehilangan akal oleh kemarahan yang menghentak-hentak, justru telah mendapat kesempatan. Darah yang semakin banyak mengalir memang sangat berpengaruh. Sementara itu pedang lengkung itu pun bergerak semakin cepat.

Ketika sekali lagi pedang itu berhasil menyentuh pundaknya, maka kulitnya benar-benar telah terkoyak sampai ketulang. Bahkan rasa-rasanya sebelah tangan orang itu tiba-tiba saja telah menjadi lumpuh.

Pada saat yang tegang raksasa berkepala kecil itu telah berhasil menggoreskan tajam pedangnya yang lengkung itu di dada lawannya. Karena itu, maka lawannya pun terdesak tertahan. Namun ia tidak mampu bertahan. Luka-lukanya benar-benar menjadi sangat parah, sehingga ia tidak mampu untuk berbuat apa-apa ketika pedang lengkung itu menghunjam langsung mengarah jantung.

Orang bertubuh raksasa dan berkepala kecil itu menarik pedangnya sambil menggeram, “Kematian adalah wajar bagi seorang laki-laki yang sombong dan dungu.”

Sebenarnyalah kematian itu membuat kedua belah pihak menjadi semakin terbakar oleh kemarahan. Sementara itu raksasa berkepala kecil yang melihat bahwa

laki-laki yang menginginkan Warsi itu justru semakin mengalami kesulitan, maka ia pun telah melangkah mendekatinya.

“Bagus,” desis laki-laki yang menginginkan Warsi itu. “Kita bunuh saja perempuan iblis itu. Jika ia tetap hidup, maka ia adalah perempuan binal yang paling berbahaya. Aku tidak memerlukannya lagi.”

Kata-kata itu sangat mengejutkan Warsi. Baru ia menyadari kesalahannya, bahwa ia tidak segera membunuh laki-laki itu. Ia merasa bahwa ia telah membiarkan

laki-laki itu terlalu lama sehingga ternyata kemudian seseorang akan sempat membantunya.

Tetapi Warsi adalah seorang yang mewarisi kemampuan Kalamerta. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia pun menggeram dengan suara yang bagaikan menggetarkan bumi.

Memang mengejutkan, bahwa seorang perempuan telah menggeram dengan suara yang menggetarkan jantung. Namun bagi laki-laki yang semula menginginkannya, Warsi memang sudah berubah menjadi iblis betina yang mengerikan.

Raksasa berkepala kecil dengan pedang lengkung itu pun menjadi semakin dekat. Wajahnya menjadi tegang ketika ia melihat cara Warsi menggerakkan rantainya. Sementara itu Warsi pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ia sadar bahwa raksasa berkepala kecil itu memiliki kemampuan yang tinggi.

Tetapi justru karena itu, maka kebinalan Warsi pun justru berkembang. Ia ingin menunjukkan kepada laki-laki yang menginginkannya itu, bahwa ia benar-benar memiliki kemampuan bertempur yang tidak hanya sekadar dapat mengalahkannya saja. KARENA itulah, maka Warsi telah menunggu. Jika dikehendaki, maka ia dapat mempergunakan saat-saat yang pendek itu untuk membunuh laki-laki yang menginginkannya itu untuk mengurangi bebannya pada pertempuran yang mendatang.

Tetapi ia tidak memerlukannya. Bahkan ia menunggu raksasa berkepala kecil yang telah membunuh seorang di antara pengawalnya itu.

“Raksasa ini pun harus mendapat hukuman,” berkata Warsi di dalam hatinya. “Ia sudah membunuh satu dari orang-orangku yang setia.”

Karena itu, demikian laki-laki berpedang lengkung itu mendekat, maka Warsi pun berkata, “Marilah. Aku memang menunggu. Aku tidak membunuh laki-laki cengeng itu sebelum ia yakin, bahwa aku memang memiliki kemampuan untuk melakukannya.

Bukan

hanya atas dirinya sendiri, tetapi juga atasmu raksasa yang berkepala kecil. Apalagi kau sudah membunuh seorang di antara para pengikut ayahku.” Raksasa berkepala kecil itu menjadi marah, justru karena ia telah disinggung cacatnya. Karena itu, maka ia pun segera telah meloncat menyerang dengan garangnya.

Warsi seakan-akan telah mendapatkan satu kegembiraan. Ia mendapat lawan yang terasa perlawanannya. Karena itu maka ia pun menjadi semakin lincah. Warsi mulai berloncatan seperti anak kijang. Namun sekali-kali menyambar lawannya bagaikan seekor burung sikatan.

Dua orang laki-laki yang menjadi lawannya berusaha untuk bertempur berpasangan. Saling mengisi dan saling memecah perhatian Warsi. Tetapi ternyata Warsi adalah tetap seorang perempuan yang garang.

Perhatian Warsi kemudian memang lebih banyak tertuju kepada raksasa yang berkepala kecil. Serangannya terasa mantap dan desing pedangnya memang mendebarkan jantung. Namun rantai di tangan Warsi pun berputar seperti

baling-baling. Kadang-kadang rantai itu menebas mendatar. Namun tiba-tiba rantai itu mematuk dengan cepat bagaikan terjulur memanjang.

Raksasa berpedang lengkung itu mulai merasakan. Warsi memang memiliki ilmu yang tinggi. Ia bukan sekadar seorang perempuan binal. Tetapi ia memang memiliki

bekal dalam kebinalannya itu.

Dalam pada itu pertempuran memang sudah diwarnai dengan darah. Selain seorang sudah terbunuh, maka seorang lagi pengikut Warsi sudah terluka. Tetapi luka

segores di lengannya itu masih belum berarti melumpuhkannya. Ia masih memberikan perlawanan sebagaimana sebelumnya.

Tetapi sementara itu, raksasa yang berambut putih, yang bertempur melawan dua orang pengikut Warsi mulai terdesak. Ketika seorang di antara kedua orang yang bertempur ber-pasangan itu mencoba membantu Warsi, maka Warsi berteriak, “Selesaikan kuda tua berambut putih itu. Raksasa berkepala kecil ini tidak berbahaya sama sekali.”

“Gila,” raksasa berpedang lengkung itu marah sekali. Dengan serta merta ia menyerang dengan garangnya. Pedangnya yang tajamnya tujuh kali lipat tajamnya pisau cukur itu berdesing, hampir saja menyambar telinga Warsi. Warsi mengumpat kecil. Namun sementara itu, ia mulai mencemaskan keadaan para pengikutnya. Apalagi ketika ia mengetahui bahwa seorang dari pengikutnya telah terluka pula setelah seorang terbunuh.

Kemarahan itulah yang mendorong Warsi untuk menghentakkan ilmunya. Rantainya berputar semakin cepat. Sekali-kali rantai itu mematuk memanjang dan menyambar sendal pancing sebagaimana sebuah cambuk.

Raksasa berkepala kecil itu mulai merasa, betapa sulitnya menjinakkan Warsi. Bahkan ketika ia berusaha menembus putaran rantai Warsi sambil menjulurkan pedangnya, maka terasa ujung rantai Warsi telah menyengat pundaknya.

“Iblis betina,” teriak raksasa itu. Tetapi demikian mulutnya terkatup, demikian cepatnya seakan-akan mendahului penglihatannya, ujung rantai itu telah menyentuh lambung laki-laki yang menginginkan Warsi itu.

Terdengar orang itu mengaduh. Darah mulai mengalir dari lambung laki-laki itu dan dari pundak raksasa berkepala kecil itu.

Pertempuran selanjutnya menjadi semakin garang bagi kedua belah pihak. Tetapi laki-laki yang menginginkan Warsi dan yang sudah terluka dilambung itu menjadi semakin lemah.

“Ayah,” desis laki-laki itu.

Tetapi ayahnya tidak dapat menolongnya. Ia terlibat dalam pertempuran melawan ayah Warsi. Pertempuran yang menjadi semakin cepat. Namun yang mulai terasa, bahwa ayah Warsi telah mendesak lawannya semakin berat.

Yang seimbang adalah bekas pengendang Warsi yang bertempur melawan pemimpin gegedug yang diupah oleh ayah laki-laki yang menginginkan Warsi itu. Ternyata pemimpin gegedug itu benar-benar seorang yang sudah mapan di dalam dunianya. Ia sama sekali tidak ragu-ragu menyerang dan bahkan apabila mungkin menghancurkan lawannya sampai lumat.

Tetapi lawannya pun seorang yang memiliki pengalaman yang luas di dalam olah kanuragan. Karena itu, maka pemimpin gegedug itu tidak segera dapat menguasai lawannya. Betapa ia berusaha mengerahkan ilmunya.

Namun pemimpin gegedug itu melihat, seorang kawannya telah berhasil melukai lawannya. Jika ia dengan cepat dapat memenangkan pertempuran itu, maka semuanya akan segera selesai. Apalagi pengawal laki-laki yang mengupahnya itu sendiri

telah mampu membunuh seorang lawan.

“Jika kedua raksasa itu merupakan kunci kemenangannya, maka kami tidak akan dapat upah yang lebih banyak,” berkata pemimpin gegedug itu di dalam hatinya. Namun sebenarnyalah bahwa mereka tidak dapat mengingkari kenyataan. Warsi yang marah itu akhirnya benar-benar berhasil menguasai kedua lawannya. Raksasa yang berkepala kecil dan berpedang lengkung itu sudah dilukainya dan kehilangan kemampuan untuk bergerak secepat saat ia mulai dengan pertempuran itu. Bahkan rasa-rasanya serangan Warsi semakin lama semakin cepat. Rantainya

menyambar-nyambar semakin dahsyat bagaikan ribuan lebah diseputar tubuhnya dan sekali-kali terasa ujungnya menyengat kulitnya.

Raksasa itu mempercayakan ilmunya pada landasan kekuatannya yang sangat besar, sesuai dengan besar dadanya. Tetapi menghadapi senjata rantai, pedangnya menjadi tidak begitu banyak dapat menyalurkan kekuatannya. Benturan yang terjadi, bukannya kekuatan. Jika ia dengan sengaja menangkis serangan Warsi, maka yang terjadi justru kesulitan. Sekali-kali rantai itu membelit daun pedangnya. Ketika Warsi menariknya menghentak, hampir saja pedangnya itu terlepas dari tangannya. Laki-laki yang menginginkan Warsi dalam pertempuran yang semakin cepat dan keras, seakan-akan tidak berarti apa-apa lagi. Meskipun ia masih berusaha membantu raksasa yang berkepala kecil itu, namun gerak dan sikapnya tidak banyak mempengaruhi pertempuran yang semakin keras itu.

Dalam pada itu, seorang dari para gegedug yang berhasil melukai lawannya itu semakin mendesak. Darah yang mengalir benar-benar berpengaruh bagi kemampuannya

untuk tetap bertahan.

Dengan harapan untuk segera mengakhiri pertempuran itu, maka gegedug itu berusaha semakin keras untuk dengan cepat mengalahkan lawannya yang sudah terluka.

Tetapi yang kemudian terdengar mengaduh adalah raksasa berkepala kecil dan bersenjata pedang lengkung itu. Rantai Warsi yang berputar benar-benar mengacaukan pertahanannya. Tiba-tiba saja rantai yang berputar itu bagaikan terurai. Ujungnya terjulur memanjang dan mematuk kearah dada.

Raksasa itu sempat mengelak. Tetapi tiba-tiba saja rantai itu terayum mendatar. Demikian cepatnya, sehingga rantai Itu telah mengoyak lambung raksasa berkepala kecil dan bersenjatakan pedang lengkung itu.

Sejenak raksasa itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Namun Warsi tidak membuang kesempatan itu. Ia sadar, bahwa salah seorang pengikutnya telah terbunuh dan seorang lagi telah terluka. Jika ia tidak dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu, maka akibatnya akan dapat menjadi parah bagi orang-orangnya.

Karena itu, maka Warsi pun telah meloncat memburu. Dengan garangnya dan tanpa ampun Warsi mengayunkan rantainya dan sekali lagi menyambar lawannya. Akibatnya benar-benar menentukan justru karena rantai itu menyambar leher lawannya.

Dengan demikian, maka sejenak kemudian raksasa bersenjata pedang lengkung itu sudah terkapar di tanah. Diam. Sementara nafasnya pun telah terputus pula.

Dalam pada itu, laki-laki yang menginginkan Warsi dan yang telah terluka itu pun telah berusaha untuk mencegah hal itu terjadi. Dengan cepat ia meloncat sambil mengayunkan pedangnya mengarah ke arah leher Warsi.

Namun ternyata Warsi dengan tangkasnya telah merendah. Demikian pedang itu menjulur di atas kepalanya, maka sambil berjongkok Warsi pun telah mengayunkan rantainya mendatar. Dengan derasnya rantai itu telah menyambar sekali lagi lambung laki-laki itu. Bahkan ujungnya telah melingkar, bagaikan memeluk tubuhnya. Ketika Warsi menarik rantai itu, maka laki-laki itu telah terputar.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar