Sayap-Sayap Yang Terkembang Jilid 66

Jilid 66

“AKU memang kecewa atas sikapmu, Kasadha. Ke napa kau tempuh jalanmu tanpa berbicara lebih dahulu dengan orang tuamu. “

“Aku sudah berbicara dengan guru. Gurulah yang datang kerumah Ki Rangga Dipayuda dan menyampaikan lamaranku. “

“Aku juga kecewa atas sikap gurumu, la tentu datang mengatas-namakan aku, orang tuamu. “

“Ibu “tiba -tiba nada suara Kasadhapun meninggi “ibu tidak dapat berkata seperti itu. Ibu tidak berhak

merasa kecewa terhadap guru. Jika ibu sempat memba- yangkan sejenak, apakah aku dapat menjadi orang se- andainya aku tidak berada dalam asuhan guru? Ibu tentu dapat membayangkan, kira-kira aku akan menjadi apa jika aku harus tetap berada dibawah asuhan ibu dan orang yang harus aku sebut ayah itu. “

“Kasadha “tiba -tiba saja tangan ibunya telah menampar pipi Kasadha.

Kasadha bergeser setapak surut. Sesaat ia justru tidak dapat berkata sepatah katapun. Sementara ibunya berdiri termangu-mangu sambil meremas tangannya. Sorot mata- nya membayangkan penyesalan yang dalam. Katanya “O, maafkan aku Kasadha. Kekasaran jiwa ini masih saja tersangkut sampai sekarang dan barangkali sampai kapan- pun juga. Tetapi sebenarnyalah aku sulit untuk dapat menerima kenyataan tentang hubunganmu dengan Ri- sang. “

“Ibu “suara Kasadha merendah “apakah dida -lam semua hal aku harus mengalah, justru karena kita sudah berhutang budi? “

Dengan suara sendat ibu Kasadha itu berkata “Ketika Nyi Wiradana menyatakan memaafkan semua kesalahanku, aku merasa bahwa aku akan dapat menikmati sisa hidupku dengan tenang dan damai. Aku mengira bahwa aku akan dapat menikmati sisa hidupku dengan tenteram. Ternyata aku keliru. “

“I bu, selama hidup ini masih kita jalani, maka perubahan akan dapat terjadi. Selama ini aku memang berniat untuk tidak menuntut apa-apa. Aky sudah puas dengan sikap Risang dan ibunya terhadap aku dan ibu. Aku sangat berterima kasih. Tetapi apa yang terjadi kemudian sudah berada diluar batas hutang piutang budi itu. Aku tidak akan menyerahkan Riris kepada siapapun dengan alasan apapun. “

Ibunya tidak menjawab lagi. Tetapi hatinya pecah bagaikan belanga yang jatuh diatas batu hitam. Remuk berserakan. Bibinya mendengarkan pembicaraan itu dengan perasaan yang pahit, la berharap bahwa Kasadha akan mau berpaling kepada anak gadisnya yang juga sudah dewasa. Tetapi ternyata Kasadha telah mempunyai pilihan sendiri.

-

Tetapi justru karena itu, bibi Kasadha itu tidak dapat berkata sepatahpun. Jika ia ikut berbicara apalagi berdiri dipihak ibu Kasadha, maka Kasadha akan dapat menjadi salah paham. Kasadha akan mengira bahwa ia mempunyai pamrih dengan sikapnya itu.

Demikianlah, maka untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Ibu Kasadha itu mengusap matanya yang basah, la benar-benar tidak mengira bahwa jalan hidupnya yang mulai terasa tentram itu akan membentur gelombang yang akan dapat menghempaskannya ke batu-batu karang. “Baiklah ibu “berkata Kasadha kemudian “t erserah tanggapan ibu. Tetapi setidak-tidaknya aku sudah memberitahukan persoalan ini kepada ibu, sehingga ibu tidak akan terkejut jika persoalan ini akan mempunyai ekor yang panjang. “

“Aku sekarang bukan aku yang dahulu lagi Kasadha. Aku dahulu akan menjadi gembira mendengarnya, jika kau dapat menyaingi dan bahkan memenangkan satu perebutan dengan Risang. Aku akan gembira mendapat tantangan lswari di padang perdu, dibawah bulan purnama. Suara serigala yang menggonggong di atas bukit-bukit padas, memberikan gairah yang menyala didalam hatiku yang haus darah. Sinar bulan akan dapat membakar nafsuku yang membara diatas landasan hitamnya jiwaku. “suara ibunya menjadi sendat “tetapi aku sekarang adalah perempuan yang berwajah lain. Aku mencoba untuk hidup tenteram di sisa umurku. Aku ingin melupakan hari-hari yang pernah aku jalani dengan tapak-tapak hitam bercampur dengan merahnya darah. “

Jantung Kasadha berdesir mendengar kata-kata ibunya. Tetapi hatinya yang mengeras sudah tidak dapat diluluhkannya lagi. Karena itu, maka Kasadha itu masih juga bertanya “Jadi, maksud ibu? “

“Kasadha. Sekarang aku tidak lagi dapat mengan tarmu. Pergilah lewat jalanmu sendiri. “

“Baik “jawab Kasadha “sejak dahulu, kita memang berjalan di jalan yang berbeda. Aku mohon diri ibu. Untuk selanjutnya ibu tidak usah mencampuri persoalanku.

Persoalan yang aku hadapi sekarang adalah persoalan antara dua orang laki-laki. Meskipun demikian aku masih berharap bahwa Risang dapat berpikir bening dan dapat menerima kenyataan bahwa Riris memang tidak me- milihnya, sehingga tidak akan timbul persoalan di kemudian hari. Tetapi jika Risang bersikap keras, maka akupun akan mengimbanginya. Aku tahu, bahwa Risang mempunyai ilmu yang tinggi sebagaimana ibunya. Tetapi aku tidak akan pernah gentar menghadapi apa saja untuk mempertahankan hakku sendiri. “

“Cukup, cukup Kasadha “ibunya menutup kedua telinganya dengan kedua telapak tangannya.

“Baik. Baik “jawab Kasadha “sekarang aku min ta diri. Bibi aku pergi. “

Kasadha tidak menunggu jawaban ibunya, lapun kemudian turun ke halaman dan meloncat naik ke punggung kudanya. Sejenak kemudian terdengar derap kaki kudanya menghambur meninggalkan rumah ibunya yang sederhana itu.

Sepeninggal Kasadha, maka meledaklah tangis ibunya, seperti bendungan yang tidak dapat menahan lagi genangan air yang melimpah, sehingga runtuh berserakan. Adik sepupunya berusaha untuk meredakan tangis itu.

Dengan lembut ia berusaha untuk menenangkannya. “Kasadha sudah dewasa “berkata adik sepupunya itu “karena itu, maka ia sudah berhak mengambil kepu-tusan sendiri, la akan dapat memilih bagi dirinya sendiri, yang mana yang baik dan yang mana yang tidak baik. “

Tetapi ibu Kasadha itu menjawab “Ketika aku memilih yang buruk daripada yang baik, saat itu aku juga sudah dewasa. “

“Ada bedanya “jawab adik sepupunya “yang ter jadi pada Kasadha adalah persoalan yang sangat pribadi antara Kasadha dan Risang. Sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan penilaian orang banyak atas sikapnya itu. Permasalahannya sangat terbatas. Sebagaimana juga Risang, Kasadha mempunyai sisi kebaikan menurut sikap dan sudut pandang searah. “

Ibu Kasadha itu menarik natas dalam-dalam. Namun ia berkata “Bagaimanapun juga, kami sudah berhutang budi. “ Sambil memeluk ibu Kasadha, maka adik sepupunya itupun berkata “Sudahlah. Sebaiknya kita berdoa. Mu dah-mudahan tidak terjadi sesuatu dengan Risang dan Kasadha. Serahkan segala-galanya kepada kuasa Yang Maha Agung. “

Ibu Kasadha itu mengangguk meskipun isaknya masih menyesakkan dadanya. Tangannya sibuk mengusap air mata yang masih saja meleleh dari pelupuknya.

Angan-angannya telah menyelusuri masa lampaunya yang hitam. Penyesalan yang tajam telah menghunjam dalam- dalam dilubuk hatinya. Tetapi ibu Kasadha itu sadar sepenuhnya, bahwa yang telah terjadi itu telah terjadi.

Namun, akhirnya ibu Kasadha itu memang hanya dapat bersandar kepada Yang Maha Agung, yang kuasa-Nya tidak terbatas. Tetapi yang bagi ibu Kasadha agak terlambat dikenalnya. Meskipun demikian, pengenalannya yang agak terlambat itu jauh lebih baik daripada mereka yang tidak mengenalnya sama sekali.

Dalam pada itu, Kasadha berpacu seperti dikejar hantu kembali ke Pajang. Tetapi Kasadha tidak langsung pergi ke baraknya. Dengan jantung yang berdegup semakin cepat, Kasadha menuju kerumah gurunya.

Gurunya terkejut melihat wajah Kasadha yang tegang. Namun gurunya tidak dengan tergesa-gesa bertanya, apa yang telah terjadi dengan muridnya. Tetapi dengan sikap seorang tua, ia mempersilahkan Kasadha naik dan duduk bersamanya diruang dalam.

Namun sebelum gurunya bertanya, Kasadha itupun berkata “Guru. Aku baru saja menemui ibu. “

“O “gurunya mengangguk -angguk, la sudah mulai melihat, apa yang telah terjadi dengan muridnya. Namun gurunya itu masih juga berkata “Duduklah dahulu. Kau tentu haus. Biarlah aku mengambil minuman buatmu. “

“Terima kasih guru. Terima kasih. Biarlah aku mengambilnya sendiri. “

Kasadha tidak menunggu. Tetapi iapun segera bangkit untuk mengambil minum ke dapur, la tidak memerlukan mangkuk. Tetapi ia langsung minum air yang ada di-dalam gendi.

Ketika Kasadha kembali ke ruang dalam, anak muda itu masih mengusap bibirnya yang basah.

“Duduklah dengan tenang Kasadha. Jika kau berce -ritera dengan perasaan yang bergejolak, maka ceriteramu menjadi kurang jelas. Bahkan mungkin ada yang terlampaui atau tersisipi angan-anganmu sendiri. “

Kasadha menarik nafas dalam-dalam, la memang mencoba mengendapkan perasaannya, agar ceriteranya dapat jelas dimengerti oleh gurunya.

“Guru “berkata Kasadha kemudian “aku baru saja menemui ibu dirumahnya. “ Gurunya mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia bertanya “Kau berceritera tentang lamaranmu atas anak Ki Rangga Dipayuda? “

“Ya guru. “jawab Kasadha.

“Apakah ibumu berkeberatan bahwa aku telah me wakilinya tanpa mendapat ijinnya lebih dahulu? “

“Bukan itu soalnya guru. Tetapi ibu justru memikirkan perasaan Risang. “

“Apakah kau berceritera tentang Risang? “

“Ya, guru. Aku bermaksud bahwa ibu tahu segala -galanya, sehingga ibu mendapat gambaran yang utuh tentang aku, Riris dan Risang. “

“Bagaimana sikap ibumu? “ “Ibu me nyalahkan aku. “

“Aku memang sudah mengira. “

“Ibu masih saja dibebani oleh perasaan bersalah, se hingga kebaikan hati dan kebesaran jiwa ibu Risang telah menindih segala macam pertimbangannya. “

“Kita tidak dapat menyalahkan ibumu, Kasadha. “ “Tetapi, bag aimana dengan aku sendiri? “ber tanya Kasadha.

“Maksudku, dari sudut pandang ibumu, kita memang tidak dapat menyalahkannya. Aku tahu benar, betapa besar kesalahan ibumu terhadap ibu Risang, sehingga ketika ibu Risang menyatakan memaatkan segala kesalahannya itu, maka beban hutang budi itu tidak akan dapat diletakkannya dari seluruh sisa hidupnya. “

“Apakah dengan demikian, aku tidak akan pernah dapat menentukan sikap dan perbuatan bagi aku sendiri? Apakah segala sesuatunya kemudian bergantung kepada Risang dan ibunya? Juga tentang memilih seorang isteri?

“Bukan maksudku, Kasadha “jawab gurunya dengan tenang “aku hanya mengatakan bahwa ibumu benar menurut sudut pandangnya. Tetapi aku juga tidak menyalahkan kau. Kau tidak dapat mengorbankan segala- galanya untuk kebaikan hati Risang dan ibunya. Karena itu, menurut pendapatku, kau tidak bersalah, bahwa kau telah melamar Riris. Apalagi kemudian Ki Rangga Dipa-yuda mengijinkan dan Riris sendiri ternyata juga menerimamu. Bahkan ia menyatakan bahwa ia memang mencintaimu. Hal ini penting sekali Kasadha, karena banyak perempuan dan laki-laki yang menikah tidak atas dasar cinta. “

“Lalu bagaimana hubungannya dengan Risang? “ “Bukankah -kita belum tahu sikap Risang yang sebenarnya? Seandainya Risang menjadi kecewa, itupun wajar pula.

Namun agaknya Risang juga harus melihat kenyataan sikap Riris kepadanya. Jika Riris memang tidak mencintainya tetapi mencintaimu, maka Risang tidak berhak lagi menuntut dan menyalahkanmu. “

Kasadha mengangguk-angguk. Sementara gurunya berkata “Aku masih mempunyai kepercayaan, bahwa Risang akan dapat berpikir bening. “

“Tetapi nampaknya tidak guru “jawab Kasadha “ia tidak mau menghadap ketika Ki Tumenggung Jayayuda memanggilnya. Sikapnyapun menjadi gelap. Bahkan sebagai Kepala Tanah Perdikan Sembojan, ia tidak lagi melakukan tugasnya dengan baik. “

“Kasadha “berkata gurunya kemudian “penilai anmu atas Risang agaknya juga sudah terpengaruh oleh perasaanmu terhadap Risang. Tetapi segala sesuatunya masih harus dibuktikan Risang. Kita berharap bahwa antara kau dan Risang tidak akan timbul persoalan apa-apa.

“Jika akhirnya juga timbul? “bertanya Kasadha. Gurunya menarik natas dalam-dalam. Bagi gurunya,

Kasadha bukan saja dianggapnya sebagai seorang murid. Tetapi Kasadha telah melekat padanya sejak kanak-kanak, sehingga baginya, Kasadha sejak ia masih disebut Puguh itu, sudah tidak kurang dari anak kandungnya sendiri.

Karena itu, maka ketika Kasadha menyudutkannya dengan pertanyaan itu, gurunyapun menjawab “Ka sadha. Kita tidak mencari persoalan dengan orang lain. Apalagi orang yang telah berbuat baik terhadap kita. Yang telah memaafkan kesalahan-kesalahan kita. Yang telah membantu kita dan bahkan dengan mempertaruhkan nyawanya. Tetapi adalah hak kita untuk menengadahkan wajah kita menyongsong hari depan kita sendiri. Meskipun demikian, sekali lagi aku berpengharapan, mudah-mudahan persoalanmu dengan Risang tidak akan berkepanjangan. “

Kasadha menarik natas dalam-dalam. Tetapi pernyataan gurunya itu telah mempertegas sikapnya, la tidak akan mundur meninggalkan Riris, karena Riris sendiri sudah mengatakan kepadanya, bahwa ia mencintainya.

Dalam pada itu, maka untuk beberapa saat lamanya, Kasadha masih saja berada di rumah gurunya. Dengan lembut gurunya menasehatinya untuk tenang dan tidak tergesa-gesa mengambil sikap, karena jika ia tergesa-gesa mengambil sikap, maka mungkin sekali ia akan melakukan kesalahan.

“Ya, guru “jawab Kasadha.

“Yang penting kau perhatikan adalah sikap Ki Rangga Dipayuda sendiri. Sikapnya akan dapat memberikan petunjuk, apa yang harus kau lakukan.

“Ya, guru “jawab Kasadha.

“Nah, selanjutnya jangan bingung. Jangan memu suhi ibumu yang sudah cukup menderita karena ulahnya sendiri. Pengakuannya atas segala macam kesalahan yang telah dilakukannya, merupakan hukuman yang tak terhitung berat baginya. Namun karena ia menerimya dengan ikhlas, maka pengakuan itu justru membuat hatinya menjadi tenang. Seolah-olah ia sudah berhasil meletakkan sebagian dari beban yang harus dibawanya kemana ia pergi. “ Kasadha mengangguk kecil, la memang tidak berniat memusuhi ibunya. Tetapi iapun merasa sangat sulit untuk memenuhi keinginannya, agar ia mengalah saja terhadap Risang.

Ketika hati Kasadha kemudian menjadi sedikit tenang, maka gurunya itupun berkata “Kembalilah ke barakmu. Tugasmu akan dapat membantumu, mengurangi kegelisahanmu. “

Kasadha mengangguk sambil menjawab “Ya, guru. Menjelang senja, Kasadha memang sudah berada di baraknya. Namun wajahnya masih saja nampak muram. Dahinya yang selalu berkerut. Pandangan matanya yang kosong karena angan-angannya yang menerawang jauh. Para prajuritnya sengaja tidak mengganggunya. Mereka seakan-akan ikut merasakan kegelisahan Lurahnya yang masih muda itu.

Baru ketika senja turun, Ki Lurah Kasadha itu telah menemui Ki Rangga Dipayuda. Kepada Ki Rangga, Kasadha menceriterakan pertemuannya dengan ibunya. Namun Kasadha tidak dapat menceriterakan seluruhnya kepada Ki Rangga, karena memang masih ada beberapa hal yang sengaja disembunyikan.

“Kasadha “berkata Ki Rangga “bersabarlah. Kau akan dapat meyakinkan ibumu, bahwa kau tidak melakukan kesalahan. “

Kasadha mengangguk-angguk. Tetapi justru meyakinkan ibunya itulah yang sangat sulit baginya. Apa yang diketahuinya Ki Rangga Dipayuda tentang ibunya, tentang keluarganya dan tentang hubungannya dengan Risang dan Tanah Perdikan Sembojan, belum lengkap.

“Sudahlah “berkata Ki Rangga “beristirahatlah. Kau jangan memikirkan persoalan yang terjadi atas Risang berkepanjangan. Menurut pendapatku, kau tidak bersalah. Aku yakin akan hal itu. Agaknya Risangpun akhirnya akan mengakuinya. Jika satu dua pekan Risang masih dicengkam oleh perasaan kecewa, itu adalah wajar sekali. Tetapi pada suatu saat, ia tidak lagi akan menangisi kegagalannya itu. “Ya, Ki Rangga “desis Kasadha “aku akan ber istirahat. Aku akan mencoba untuk tidak terlalu terpengaruh oleh sikap Risang. “

Namun ketika Kasadha kemudian meninggalkan Ki Rangga, maka seorang prajurit telah datang menemui Ki Rangga Dipayuda untuk menyampaikan perintah Ki Tumenggung Jayayuda.

i

“Ki Rangga dipanggil untuk m enghadap. “berkata

prajurit itu.

“Sekarang? “bertanya Ki Rangga.

“Ya, Ki Rangga. Ki Tumenggung sudah menunggu. “Baiklah. Aku akan segera menghadap. “Beberapa saat kemudian, Ki Rangga telah berada di-

bilik Ki Tumenggung. Seperti yang diduga, maka Ki Tumenggung telah memanggil Ki Rangga untuk membica- rakan lagi persoalan Risang di Tanah Perdikan Sembojan. “Kita sudah cukup bersabar, Ki Rangga “berkata Ki Tumenggung “kita sudah menunggu beberapa hari. “

“Ya, Ki Tumenggung “jawab Ki Rangga.

“Aku sudah berniat untuk mengirim surat peringatan kepada Kepala Tanah Perdikan itu, peringatan yang pertama. “

Ki Rangga Dipayuda tidak dapat mengulur waktu lagi. Karena itu, maka iapun berkata “Ya Ki Tumeng gung. “ “- Bagaimana menurut pendapat Ki Rangga? “Ki Rangga

memang menjadi ragu-ragu. Sebagai seorang prajurit, ia menganggap bahwa Ki Tumenggung telah cukup sabar menunggu kedatangan Risang. Namun sebagai seorang tua yang langsung atau tidak langsung telah menyebabkan gejolak di hati Risang, maka ia memang merasa berat untuk mengiakannya. Bagaimanapun juga sebenarnya hati Ki Rangga juga dekat dengan Risang yang pernah menjadi prajuritnya. Tetapi dibanding dengan Kasadha, maka Ki Rangga memang memilih Ka-sadha.

Dalam kebimbangan itu ia mendengar Ki Tumenggung Jayayuda berkata “Ki Rangga. Betapa kita ber usaha untuk mengerti gejolak perasaan Risang, tetapi aku harus tetap memegang wibawa Pajang. Jika wibawa Pajang telah menjadi pudar di Tanah Perdikan Sembojan, maka apa yang akan terjadi di lingkungan sekitarnya yang sudah dijamah oleh prajurit Madiun, meskipun mereka tidak datang atas nama Madiun, tetapi mereka datang justru sebagai alat oleh para pedagang gelap itu. “

Ki Rangga Dipayuda mengangguk-angguk. Katanya “Ya, Ki Tumenggung.

“Nah, bukankah tindakanmu bukan t indakan sewe-nang- wenang? “bertanya Ki Tumenggung Jayayuda.

“Tidak. Tidak, Ki Tumenggung “jawab Ki Rangga Dipayuda yang seakan-akan menjadi gagap.

“Baiklah “berkata Ki Tumenggung “biarlah besok pagi -pagi aku memerintahkan dua orang prajurit untuk menyampaikan surat perintah kepada Kepala Tanah Perdikan Sembojan, agar Kepala Tanah Perdikan Sem- bojan itu menghadap aku dan selanjutnya menghadap Kangjeng Adipati atau pejabat yang diperintahkan untuk menerimanya. “

Ki Rangga tidak dapat berbuat lain. Sambil mengangguk ia berkata “Ya, Ki Tumenggung. “

“Mudah -mudahan ia menghiraukan surat perintah itu. Sementara itu pada surat perintah itu juga akan tersirat peringatan yang pertama itu, meskipun tidak semata-mata. Aku masih berusaha untuk menjaga perasaan Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang masih muda dan sedang mengalami goncangan perasaan itu. “

Ki Rangga Dipayuda mengangguk hormat sambil berdesis “Terima kasih Ki Tumenggung. “

Malam itu, Ki Rangga Dipayuda menjadi gelisah. Besok pagi akan ada utusan pergi ke Tanah Perdikan Semboyan, membawa surat perintah yang juga menyiratkan peringatan yang pertama atau kelalaian Risang terhadap tugasnya. “Surat itu tentu sudah ada pada Ki Tumenggung se - karang “berkata Ki Rangga didalam hatinya. Tetapi ada lah tidak pantas jika ia menanyakannya, apalagi ingin melihat bunyi surat itu. _

Tetapi Ki Rangga Dipayuda tidak memberitahukan kepada Kasadha. la tidak ingin anak muda itu menjadi se- makin gelisah.

Demikianlah, seperti yang dikatakan oleh Ki Tumenggung, maka pagi-pagi sekali, dua orang perwira telah berpacu diatas punggung kudanya menuju ke Tanah Perdikan Sembojan. Namun untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka Ki Tumenggung berpesan, agar para perwira itu tidak mengambil tindakan apa-apa terhadap Kepala Tanah Perdikan Sembojan, sebagaimana yang per- nah diberikan kepada utusan yang terdahulu.

“Kau berikan saja surat perintah ini kepadanya. Apapun yang dikatakan dan apapun yang diperbuatnya, asal tidak mengancam keselamatanmu, jangan kau tanggapi. Aku yang akan mengambil keputusan nanti. “

Ki Rangga Dipayuda yang mengetahui pesan Ki Tu- menggung itu hanya dapat mengusap dadanya. Ki Tu- menggung sudah terhitung seorang pemimpin yang sangat sabar dan berusaha mengerti apa yang terjadi dengan pra- jurit-prajuritnya.

Kedatangan kedua orang prajurit itu di Tanah Perdikan Sembojan ternyata tidak membawa hasil sebagaimana diharapkan. Sikap dan kata-kata Risang agak kurang menyenangkan bagi kedua orang prajurit itu. Apalagi karena ibu Risang itu terlambat mengetahui kedatangan tamunya, karena ia sedang berada di kebun. Demikian ia diberitahu bahwa dua orang utusan dari Pajang datang, maka iapun dengan tergesa-gesa telah berbenah diri dan pergi ke pendapa. Namun ternyata utusan itu telah menyampaikarikeperluannya|kepada|Risangjdantelah menyerahkan pula surat perintah agar Risang menghadap ke Pajang.

Wajah Risang menjadi tegang setelah ia membaca surat itu. Didalamnya memang tersirat peringatan bahwa Risang telah tidak mengindahkan perintah yang terdahulu untuk menghadap. Tetapi sikap Risang ternyata memang tidak menyenangkan tamunya. Betapapun Nyi Wiradana berusaha menyelamatkan suasana, tetapi kedua tamunya itu benar- benar merasa tersinggung karenanya.

Seperti kedua utusan yang terdahulu, maka kedua-nyapun segera minta diri dan meninggalkan Tanah Per-dikan itu dengan kesan yang kurang baik.

Di Tanah Perdikan, Nyi Wiradana menjadi semakin sedih melihat perkembangan keadaan anaknya. Dari hari ke hari, Risang tidak menjadi semakin tenang. Tetapi justru sebaliknya. Wajahnya menjadi semakin muram. Sikapnya semakin sulit di mengerti. Perubahan yang ter- -jadi adalah sikapnya kepada para tawanan. Jika semula ia melimpahkan kemarahannya kepada para tawanan dan bahkan kadang-kadang ia menyakitinya, namun kemudian ia menjadi tidak peduli lagi kepada para tawanan itu.

Bahkan beberapa kali ia berkata kepada ibunya, bahwa sebaiknya tawanan-tawanan itu dilepaskan saja. “Jangan Risang “ibunya selalu mencegahnya “seharusnya kau pergi ke Pajang dan memberikan laporan tentang mereka. “

“Ibu. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak mau lagi mendengar peringatan ibu seperti itu. Aku sudah memu- tuskan untuk tidak pergi ke Pajang, apapun akibatnya.

Orang-orang Pajang adalah penipu-penipu yang keji. Me- reka memanfaatkan tenaga dan kemampuan orang lain, karena mereka tidak mempunyai orang berilmu tinggi.

Namun kemudian orang itu mereka khianati. “ “Seharusnya kau sudah mempunyai waktu yang cukup untuk mengendapkan perasaanmu itu Risang. “ “Perasaan apa? Ini bukan sekedar permainan pera saan. Tetapi Pajang harus menyadari kesalahannya. Memang harus ada orang yang berani berkorban untuk melakukannya. Jika tidak, maka selamanya, Pajang akan melakukan pengkhianatan-pengkhianatan kepada orang- orang yang pernah dimanfaatkan dan diperas tenaga dan kemampuannya tanpa belas kasihan. “

“Risang, kenapa kau dapat hanyut dalam arus pera saanmu sampai sekian jauhnya. Menurut pendapat ku, Pajang telah cukup sabar menunggu hatimu menjadi tenang.

“Itu adalah salah satu ciri dari orang -orang Pajang. Selain curang, pengecut, dengki, juga bodoh sekali. “geram Risang “sudah aku katakan, bahwa aku tidak

akan ke Pajang. Alangkah bodohnya juga mereka masih juga menunggu dengan sabar sampai sekarang. “ “Risang. Apakah kau tahu akibat dari penolakanmu atas perintah Pajang agar kau datang menghadap? “ber tanya ibunya.

“Aku tidak peduli “jawab Risang.

“Apakah kau memang berniat untuk memberontak, Risang? Justru pada saat Pajang bersiap-siap untuk meng- hadapi Madiun. “bertanya ibunya.

Pertanyaan itu menghentak dihati Risang. la memang tidak berpikir untuk memberontak. Yang ialakukan adalah ungkapan perasaan kecewanya terhadap kenyataan yang dihadapinya.

Ibunya mulai berpengharapan. Tetapi tiba-tiba Risang berkata “Ibu. Aku memang ingin menunjukkan kepada para pemimpin di Pajang, bahwa orang-orangnya ternyata bukan orang-orang yang pantas dipercaya. Pada suatu saat Pajang akan berterima kasih atas sikapku, karena aku berani menunjukkan bahwa susunan kepemimpinan Pajang memang harus dirombak. Kangjeng Adipati harus dikejutkan dengan satu sikap tertentu, agar terbangun dan bersedia melihat kenyataan yang ada disekeli-lingnya. “ “Risang “desis ibunya.

“Mungkin aku akan menjadi tumbal karena sikap mu ini. Tetapi perubahan yang mendasar harus dilakukan oleh Kangjeng Adipati terhadap orang-orangnya. “

“Kau menjadi semakin jauh dan menyimpang dari persoalanmu yang sebenarnya “berkata ibunya. “Tidak. Sejak dahulu aku memang berniat untuk merubah susunan dan bahkan tatanan pemerintahan di Pajang. “ Tetapi ibunya berkata dengan nada dalam “Risang. Aku ingin kau bersedia mempertimbangkan sikapmu. Tidak hanya satu dua kali. Tetapi berulang-ulang kali. “

“Aku selalu melakukannya, Semakin aku dalami si kapku, aku menjadi semakin yakin, bahwa aku sedang menegakkan kebenaran diatas bumi Pajang. “

“Kau merasa bahwa kau sedang menegakkan kebe naran? Apakah kau sadar akan arti kebenaran? “ber tanya ibunya. “Aku bukan kanak -kanak lagi, ibu. Aku dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Aku dapat melihat nilai- nilai yang harus dipertahankan dan yang harus disingkirkan. Akupun melihat batas-batas kebenaran dalam tatanan kehidupan di Pajang. “

“Tidak, Risang “jawab ibunya “kau melihat duniamu dengan mata yang suram karena gejolak perasaanmu. “

Tetapi Risang menggeleng. Katanya “Tidak. Just ru ibu yang menjadi semakin tua tidak lagi merasa ditantang oleh kenyataan buruk yang terjadi di Pajang. Karena itu, sebaiknya ibu tidak usah membuat penilaian atas sikapku yang memandang pada kemungkinan yang bakal terjadi jauh kedepan. “

Jantung Nyi Wiradana berdegup semakin cepat. Tetapi Risang tidak mau berbincang lebih lama lagi. lapun segera bangkit dan melangkah meninggalkan ibunya sambil berkata “Aku persilahkan ibu beristirahat. Apalagi paman Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandarpun harus sudah beristirahat pula. “

Nyi Wiradana tidak sempat menjawab. Risang telah meninggalkannya duduk termangu-mangu seorang diri. Dalam pada itu, betapapun sabarnya Ki Tumenggung Jayayuda, namun laporan kedua orang perwira yang telah menemui Risang itu telah membuat jantungnya berdetak semakin cepat. Meskipun demikian, Ki Tumenggung tidak segera me- ngambil sikap. Surat perintah itu baru menyiratkan pe- ringatan untuk yang pertama kali.

Namun ternyata Ki Tumenggung kemudian mempunyai pikiran lain. Sebagai orang tua, Ki Tumenggung Jayayuda itu ingin berbicara dengan cara lain. la ingin melakukan pendekatan langsung dengan Kepala Tanah Per-dikan yang masih muda dan yang sedang mengalami gon-cangan jiwa itu.

Karena itu, maka sebelum Pajang menyampaikan perintah kedua dan apalagi ketiga, Ki Tumenggung itu inginbertemu dan berbicara dengan Risang sebagai seorang yang lebih tua kepada orang muda.

Ketika hal itu disampaikan kepada Ki Rangga Dipa-yuda, maka Ki Ranggapun dengan serta-merta menanggapinya dengan ucapan terima kasih.

“Tidak ada sikap yang lebih baik dari sikap Ki Tu menggung “berkata Ki Rangga Dipayuda.

“Tetapi hasilnya masih belum dapat diperhitung kan. Anak- anak muda yang sedang kehilangan pegangan seperti Risang itu, kadang-kadang berbuat sesuatu diluar perhitungan. “

“Tetapi aku berpengharapan “berkata Ki Rangga Dipayuda. “Tetapi jika usahaku ini tidak menghasilkan sesua tu, maka aku tidak akan dapat menghindari tindakan yang seharusnya dilakukan Pajang terhadap mereka yang me- nentang kuasanya “berkata Ki Tumen ggung Jayayuda.

Ki Rangga memang tidak dapat menentangnya. Seandainya bukan Ki Tumenggung Jayayuda, mungkin Pajang sudah mengambil langkah-langkah yang lebih keras terhadap Tanah Perdikan Sembojan.

Dalam pada itu, Ki Ranggapun bertanya “Lalu apa yang akan Ki Tumenggung lakukan? Apakah Ki Tumenggung akan memanggil Risang sekaligus memberikan peringatan kedua dan jika ia menolak, akan segera diberikan peringatan berikutnya sebagai peringatan terakhir? “ Tetapi jawaban Ki Tumenggung membuat Ki Rangga semakin berpengharapan “Aku akan mencoba memang - gilnya secara pribadi. Aku akan membuat surat pribadi untuk memanggil Risang kerumah. Tidak di barak ini. “ Ki Rangga tertegun sejenak. Ternyata kesabaran Ki

Tumenggung Jayayuda melampaui dugaannya. Karena itu, maka Ki Rangga itu tidak dapat berkata lain kecuali berulang kali terima kasih.

“Aku akan menunggu sampai tiga hari “berkata Ki Tumenggung Jayayuda “jika dalam tiga hari Risang tidak datang, maka aku akan memanggilnya secara pribadi.

Tetapi setelah itu akan tidak akan minta Pajang memberikan peringatan lagi. Jika Risang tidak akan minta Pajang memberikan peringatan lagi. Jika Risang tidak da- tang, maka Pajang akan segera memberikan peringatan terakhir. Bukan sekedar ancaman lagi. Tetapi Pajang akan segera mengambil langkah-langkah tertentu justru sebelum pecah perang dengan Madiun. “

Ki Rangga Dipayuda hanya mengangguk-angguk saja, la memang tidak mempunyai gagasan-gagasan lagi untuk mengatasi persoalan yang timbul di Tanah Perdikan Sembojan.

A

Ternyata batas waktu yang tiga hari sudah terlampaui. Risang memang tidak datang ke Pajang menghadap Ki Tumenggung.

Namun Ki Tumenggung tidak lagi minta surat perintah dari pimpinan pemerintahan di Pajang untuk memanggil Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi Ki Tumenggung telah membuat surat pribadi yang ditujukan kepada Risang.

Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

Ki Tumenggung juga tidak memerintahkan dua orang perwira prajurit Pajang untuk pergi ke Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi Ki Tumenggung telah memerintahkan dua orang abdinya untuk pergi ke Tanah Perdikan Sem- bojan. “Temui Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi kalian tidak boleh bertindak apapun juga. Kalian hanya aku perintahkan untuk memberikan surat itu saja. Kemudian kalian laporkan kepadaku jawaban dari Kepala Tanah Perdikan itu. Lesan atau dengan surat pula. “ Demikianlah, dua orang yang tidak mengenakan pakaian prajurit telah pergi ke Tanah Perdikan Sembojan. Kuda mereka berpacu dengan cepat melintasi bulak-bulak panjang dan pendek. Menyusup padukuhan-padukuhan besar dan kecil.

Namun disepanjang jalan kedua abdi itu sempat berbincang tentang tugas mereka.

Seorang yang bertubuh sedang, berkumis tipis agak keputih-putihan dan berumur setengah abad berdesis “Kenapa kita yang harus pergi ke Tanah Perdikan? “

“Apa salahnya? “sahut yang lain, yang tubuhnya

lebih tinggi sedikit. Tetapi umurnya lebih muda beberapa tahun dari kawannya. “

“Kenapa bukan para prajurit “desis kawannya yang lebih tua.

“Tentu ada sebabnya “jawab kawannya.

“Ya, tentu. Sebabnya itulah yang ingin aku ketahui. Yang lebih muda itu tersenyum. Katanya “Jangan marah, kakang. Aku juga ingin tahu alasan itu. “

“Nah, kau tidak usah berpura -pura. “

Orang yang lebih muda itu justru tertawa. Katanya “Kita hanya berdua kakang. Jika kita bertengkar, tidak ada orang yang akan memisah. “

“Baik. Kita akan bertengkar jika kita nanti sampai di sebuah pasar. “

Orang yang lebih muda itu tertawa berkepanjangan. Tubuhnya terguncang-guncang diatas punggung kuda yang sedang berlari kencang. Sementara itu, kawannya yang lebih tua itu akhirnya tersenyum pula. Tetapi ia masih juga berdesah “Aku sudah terlalu tua untuk menempuh perjalanan yang panjang ini. “

“Tidak. Kakang masih cukup tegar. Perjalanan ini akan membuat kakang muda kembali. Kakang akan sempat mengingat masa-masa kakang masih sering bertualang sebelum mengabdi Ki Tumenggung Jayayuda. “ “Tinggal sebuah kenangan. Tetapi untuk menjala ninya seperti sekarang ini, punggungku mulai merasa pegal. “

Kawannya yang lebih muda itu tertawa. Katanya “Kita akan sering beristirahat. He, bukankah kita mendapat bekal uang cukup untuk singgah dibeberapa kedai sepanjang perjalanan.? “

“Tentu tidak akan aku habiskan di perjalanan “jawab yang lebih tua “aku ingin membelikan selendang anak gadisku. Selendang lurik hijau pupus sebagaimana yang diimpikannya selama ini.

Yang lebih muda itu mengangguk-angguk. Katanya “Anakku laki -laki yang sudah meningkat dewasa. Jika ada uang tersisa, aku ingin membeli kamus dan timang perak bakar. Sudah lama ia ingin memilikinya. “

“Kau kira berapa harga timang perak itu? Kecuali jika kau tidak makan dan tidak minum diperjalanan. “

“Barangkali kakang mau membelikan aku minum dan makan? “desis orang yang lebih muda.

“Enak saja kau bicara “sahut orang yang lebih tua.

“Kau marah lagi, kakang. Nan ti kau cepat menjadi tua. “ “Aku akan marah, tetapi tidak sekarang. Nanti jika kita sudah sampai ke pasar. “

Orang yang lebih muda itu tertawa berkepanjangan. Ternyata pembicaraan mereka dapat mengurangi perasaan lebih yang mulai menggelitik. Tetapi mereka masih melanjutkan perjalanan mereka sampai beberapa ratus patok lagi sebelum mereka akan beristirahat disebuah kedai ketika perasaan haus seakan-akan mencekik leher mereka. Panasnya matahari yang tinggi dipuncak langit,debu yang berserak serta tulang-tulang mereka yang tidak terlalu sering diguncang-guncang diatas punggung kuda dalam perjalanan yang panjang, memaksa mereka segera mencari tempat untuk beristirahat, minum dan makan.

“Kita cari kedai yang kecil saja “desis orang yang lebih tua. “Ah, jangan. M inuman dan makanan yang disediakan tentu tidak enak. “

“Tetapi harganya tentu lebih murah. “sahut orang yang lebih tua itu.

“Ah, kau masih saja terlalu hemat. Bahkan agak kikir. Maat kakang. Aku hanya mengatakan apa adanya.

“Bukankah yang penting perasaan haus dan lapar kita akan hilang? “

“Kenapa kita tidak minum air kendi yang disedia kan hampir disetiap regol? Bukankah air itu air bersih yang memang disediakan buat orang-orang yang lewat dan kehausan? “ “Aku masih mempunyai harga diri “jawab orang yang lebih tua itu.

Kawannya yang lebih muda itu tertawa pula.

Namun akhirnya mereka berhenti disebuah kedai yang tidak terlalu besar, tetapi juga tidak terlalu kecil. Kedai yang juga menyediakan makan dan minum bagi kuda-kuda mereka.

Demikianlah, maka perjalanan itu mereka tempuh dalam waktu yang lebih panjang dari waktu yang diperlukan bagi para prajurit. Mereka bukan saja berhenti untuk minum dan makan, tetapi mereka juga berhenti untuk sekedar beristirahat dibawah pohon yang rindang. Bahkan orang yang lebih tua itu sempat tertidur sejenak disegarnya angin yang semilir.

Ketika keduanya sampai di Tanah Perdikan Sembo-jan, maka keduanya nampak sangat letih. Keringat membasahi punggung mereka, sehingga seakan-akan mereka baru saja disiram air. Setelah bertanya dua tiga orang diperjalanan, maka akhirnya keduanya memasuki regol rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

Kedatangan kedua orang itu mengejutkan. Keduanya kecuali memang tidak berpakaian prajurit, keduanya juga tidak menunjukkan penampilan prajurit.

Demikian kedua orang itu dipersilahkan duduk, maka yang pertama-tama menemuinya justru Nyi Wiradana.

“Kami akan menemui Kepala Tanah Perdikan Sem bojan Nyi “berkata orang yang lebih tua setelah Nyi Wi radana memperkenalkan diri.

Tetapi Nyi Wiradana juga ingin tahu, siapakah kedua orang tamunya itu.

Keduanyapun segera memperkenalkan diri mereka. Yang tertua diantara mereka dengan bangga berkata “Kami adalah utusan Ki Tumenggung Jayayuda. Salah seorang Senapati pilihan di Pajang. Namaku Wiraga. Sedangkan ini kawan sekerjaku, sama-sama mengabdi kepada Ki Tumenggung Jayayuda. Namanya Cempaluk. “

“O “Nyi Wiradana mengerutkan dahinya.

“Ya, Nyi. Namanya memang Cempaluk. Bukan maksudku menjelek-jelekkan kawanku. “

Kawannya yang muda itupun menyahut “Ya, Nyi. Kawanku benar. Namaku memang Cempaluk. Kadang-kadang aku malu menyebut namaku. “

“Ah, nama yang cukup baik, Ki Sanak “desis Nyi Wiradana. “Nyi “berkata Cempaluk kemudian “ketika ibuku mengandung, ibuku memang mengidam cempaluk. Bahkan sebelumnya dan sampai sekarang ibu senang cempaluk.

Sejak aku dapat memanjat pohon asam, ibuku sering minta aku mencari asam muda itu. “

Nyi Wiradana tersenyum. Nama buah asam muda memang cempaluk. Tetapi Nyi Wiradana itu berkata “Jika sejak sebelum mengandung dan bahkan sampai sekarang ibu Ki Sanak senang cempaluk, itu berarti bahwa ketika ibu Ki Sanak mengandung, bukannya mengidam cempaluk. Tetapi sudah merupakan kegemaran sehari-hari. “

“He? “orang itu mengerutkan dahinya. Namun Wiraga menjelaskan “Nyi Wiradana benar. Orang yang ngi dam adalah orang yang ingin makan sesuatu yang tidak biasa dilakukan sebelumnya dan sesudahnya. “

Cempaluk tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk-angguk kecil.

Baru kemudian Nyi Wiradana berkata “Ki Sanak.

Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang Ki Sanak maksud- kan baru diberitahu akan kedatangan Ki Sanak. Sebentar lagi akan datang. “

Sebelum orang itu menjawab, maka Risang telah keluar lewat pintu pringgitan. Dahinya sudah berkerut dan sorot matanya membayangkan kemuraman hatinya.

Kedua orang utusan Ki Tumenggung itu terkejut melihat Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang masih muda, tetapi wajahnya nampak gelap. Jauh berbeda dengan wajah perempuan yang memperkenalkan diri sebagai ibu Kepala Tanah Perdikan itu.

“Kalian siapa Ki Sanak? “bertanya Risang singkat. Ke duanya saling berpandangan sejenak. Namun Nyi

Wiradanalah yang menyahut “Keduanya adalah utusan Ki Tumenggung Jayayuda. “

Risang memang menjadi heran. Keduanya bukan prajurit sebagaimana utusan-utusannya yang pernah datang sebelumnya.

Risang yang duduk bersama mereka di pringgitan, segera bertanya pula “Tugas apa yang kalian bawa kemari? Seperti kedua orang perwira yang pernah datang, bahkan sampai dua kali itu? “

Wiraga dan Cempaluk menjadi heran melihat sikap Risang. Tetapi Wiraga kemudian menjawab “Kami membawa surat Ki Tumenggung Jayayuda. “

“Surat apa lagi? Surat perintah? Peringatan dan an caman? apalagi? “ Wiraga dan Cempaluk menjadi bingung. Dengan nada rendah Wiraga berkata “Kami tidak tahu isi surat itu. Aku hanya mendapat perintah untuk menyerahkannya kepada Kepala Tanah Perdikan Sembojan. “

Betapapun segannya, Risang menerima surat itu dan membukanya. Namun Risang terkejut, la tidak melihat selembar surat dari Kangjeng Adipati Pajang atau yang diberi wewenang sebagaimana sebelumnya, tetapi yang dibacanya itu adalah surat pribadi.

Risangpun kemudian memperhatikan kedua orang utusan Ki Tumenggung itu. Keduanya memang bukan prajurit. “Apa pula maksud Ki Tumenggung ini? “bertanya Risang didalam hatinya. Apapun yang dilakukan oleh Ki Tumenggung, rasa-rasanya selalu menimbulkan kecu- rigaannya.

Tetapi ketika ia mulai membaca surat Ki Tumenggung itu, maka terasa ada yang lain tersirat didalamnya. Nampaknya Ki Tumenggungsebagaiseorang tua mengerti benar perasaannya. Karena itu Ki Tumenggung ingin berbicara dengan Risang diluar dinding barak keprajuritan.

Didalam suratnya Ki Tumenggung minta agar Risang datang tiga hari lagi. Ki Tumenggung akan menerima dirumahnya.

Betapapun kerasnya hati Risang yang seakan-akan telah membatu itu. Tetapi sikap Ki Tumenggung itu baginya adalah sikap yang aneh.

Karena itu, diluar sadarnya, ia memberikan surat itu kepada ibunya yang duduk disebelahnya.

Nyi Wiradanapun membaca surat itu pula. Namun Nyi Wiradana tidak segera memberikan tanggapan, la ingin berbicara dengan Risang tidak dihadapan kedua orang utusan Ki Tumenggung itu.

Karena itu, maka Nyi Wiradanapun kemudian berkata kepada kedua orang tamunya Ki Sanak. Kami persilahkan Ki Sanak duduk sebentar. Kami akan membicarakan surat Ki Tumenggung. Bukankah Ki Sanak berdua tidak tergesa- gesa kembali ke Pajang. “

Keduanya saling berpandangan sejenak. Kemudian. Wiragalah yang menjawab “Tidak Nyi. Kami mohon ijin untuk beristirahat disini malam ini. Pungung kami serasa akan patah duduk diatas punggung kuda sehari-hari. “ “Sila hkan Ki Sanak. Kami tentu tidak akan berkeberatan. Kami akan menyediakan tempat bagi Ki Sanak.

Ada bilik di gandok yang dapat Ki Sanak pergunakan. “ “Ah, tidak. Kami dapat tidur diserambi. “jawab Cempaluk. NyiWiradana tersenyum. Katanya “Jangan. Kalian ad alah tamu kami. “

“Tetapi kami tidak lebih dari abdi Katumenggung -an. “ “Siapapun Ki Sanak berdua, tetapi Ki Sanak tetap tamu - tamu kami yang harus kami hormati. “

“Terima kasih, Nyi. Terima kasih. “jawab Wiraga dan Cempaluk hampir berbareng.

Nyi Wiradana kemudian mengajak Risang masuk ke ruang dalam. Sementara itu, seorang pembantu dirumah itu telah menghidangkan minuman hangat dan beberapa potong makanan.

Diruang dalam, Nyi Wiradana dan Risang telah mem- perbincangkan surat Ki Tumenggung Jayayuda. Surat pri- badi seorang tua kepada anak muda yang hatinya sedang terguncang.

“Nampaknya Ki Rangga Dipayuda telah memberi tahukan persoalanku kepada Ki Tumenggung “desis Risang.

“Tentu maksudnya baik, Risang. Ki Rangga tentu berharap bahwa Ki Tumenggung dapat mengerti latar belakang dari sikapmu yang menurut ketentuan dan tatanan pemerintahan, telah melanggar paugeran. “

“Aku tidak peduli “jawab Risang.

“Bukan itu yang aku maksudkan. Tetapi sebaiknya kau bertemu dengan Ki Tumenggung Jayayuda. Kau akan mendapat petunjuk dan keterangan bukan saja dari seorang Tumenggung, tetapidariseorang tua yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas. “

Risang termangu-mangu sejenak. Sementara ibunya berkata “Risang. Ki Tumenggung telah mengambil satu langkah khusus untuk mengatasi persoalan Tanah Per- dikan ini. Sebenarnya ia dapat bertindak sebagai seorang Senapati prajurit Pajang atas perintah Kangjeng Adipati dengan caa seorang prajurit. Tetapi sebelum hal itu terjadi, maka Ki Tumenggung telah minta kau datang menemuinya secara pribadi. Nah, kau harus dapat menghargainya.

Bayangkan, seandainya kau menghadapi persoalan sebagaimana dihadapi oleh Ki Tumenggung itu. “

Risang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata “Apa bedanya surat pribadi Ki Tumeng gung dengan surat perintah yang dibawa oleh kedua orang prajurit itu? “ “Tentu ada bedanya. Sikap Ki Tumenggung di barak dan dirumahnyapun tentu akan berbeda. “jawab ibunya. “Namun bagaimanapun juga kau harus tetap menghargai usaha Ki Tumenggung yang telah ditempuhnya, la tidak saja bersikap sebagai Seorang Senapati. Tetapi ia juga ingin menelusuri persoalanmu ini dari sisi kemanusiaan. “ “Tetapi bukankah tujuan akhirnya sama saja? “tertanya Risang.

“Apapun tujuan akhir dari sikap Ki Tumenggung, namun cara yang ditempuh itu pantas dihargai. Jika kemudian dalam pertemuan itu, kau menemukan satu keseimbangan antara keadaanmu dan. kedudukanmu, bukankah jalan itu merupakan jalan yang terbaik bagimu?

“Jika tidak? “bertanya Risang.

“Itu terserah kepadamu. “jawab ibunya.

Risang termangu-mangu sejenak. Berbagai macam pertimbangan sempat menyusup kehatinya yang sebelum- nya terasa beku.

Namun Risang itu tiba-tiba bertanya “Bagaimana pendapat ibu jika tiba-tiba saja Ki Tumenggung menangkap aku? “ “penurut pendapatku, Ki Tumenggung Jayayuda bukan seorang yang licik. Jika itu yang ingin dilakukannya ia dapat mengirimkan pasukan yang kuat,

sebagian dari pasukan yang dipersiapkan untuk bertempur melawan Madiun, Bahkan pasukan itu akan dapat tetap berada disini dan membayangi kekuasaan madiun dari sisi ini.

Risang masih merenungi kemungkinan yang dapat terjadi. Namun kemudian iapun berdesis “Baiklah. Aku akan datang kerumah Ki Tumenggung Jayayuda. Tetapi jika dirumah itu ada orang lain, aku tidak akan bersedia untuk menemui mereka. “

Nyi Wiradana menarik natas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata “Ajukan syaratmu itu. Kau dapat membalas surat Ki Tumenggung dengan surat pula. Nyata- kan kesediaanmu menghadap tiga hari lagi, tetapi tanpa ada orang lain. “

Ternyata kali ini Risang mau mendengar kata-kata: ibunya. Demikianlah, maka keduanyapun kemudian telah melangkah kependapa. Demikian mereka duduk, maka Nyi Wiradana akan mempersilahkan kedua orang tamunya untuk minum dan makan makanan yang disuguhkan. Tetapi niatnya diurungkan. Minuman yang dihidangkan telah kering, sementara beberapa bungkus hawug-hawug diselipkan dibawah mangkuk minuman.

Nyi Wiradana tersenyum melihat kedua orang tamunya itu menundukkan wajah mereka dalam-dalam.

Namun Risanglah yang kemudian berkata “Ki Sanak berdua. Malam ini aku akan membuat surat balasan bagi Ki Tumenggung. Pada dasarnya aku bersedia datang ke rumah Ki Tumenggung di Pajang pada waktu yang di- tentukan. “

Keduanya mengangkat wajah mereka. Sambil meng- angguk-angguk Wiraga berkata “Terima kasih. Mes kipun aku tidak tahu isi surat itu, tetapi dengan demikian nampaknya kedatangan kami kemari itu tidak sia-sia. “ “Ya. Ternyata kalian lebih berhasil dari para perwira yang datang lebih dahulu “berkata Risang.

Kedua orang itu termangu-mangu. Sementara Nyi Wiradanapun berkata “Maksudnya, kalian datang pada waktu yang lebih tepat. “

Kedua orang itu mengangguk-angguk meskipun mereka tidak tahu pasti, apa yang dikatakan oleh Kepala Tanah Perdikan serta ibunya itu. -

Dalam pada itu, maka sejenak kemudian kedua orang tamu itupun telah dipersilahkan untuk beristirahat di gan- dok. Merekapun dipersilahkan untuk pergi ke pakiwan dan berbenah diri.

Sementara itu, pembantu Nyi Wiradana telah menyediakan makan bagi tamu-tamunya yang kelelahan.

Dimalam yang tersisa, kedua utusan Ki Tumenggung itu bermalam dirumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

Mereka merasa mendapat perlakuan yang baik. Mereka mendapat tempat bermalam yang memadai serta makan yang pantas.

Namun justru karena itu,mereka tidak berangkat pagi-pagi sekali dihari berikutnya. Terasa keduanya agak segan segera kembali ke Pajang.

Tetapi mereka tidak berani untuk menunda sehari lagi, karena mereka takut Ki Tumenggung marah.

Ketika matahari mulai memanjat, keduanya baru berangkat dari rumah Kepala Tanah Perdikan setelah makan pagi.

Mereka membawa surat Kepala Tanah Perdikan Sembojan bagi Ki Tumenggung Jayayuda.

Dengan segan mereka melarikan kuda mereka. Pinggang mereka segera merasa pegal-pegal.

Meskipun demikian, mereka berusaha untuk mencapai Pajang meskipun sampai jauh malam.

“Kita tidak usah berhenti untuk makan “berkata Wiraga. “He, bagaimana mungkin “jawab Cempaluk “kita akan kehausan dan kelaparan. Kuda-kuda kitapun akan menjadi sangat letih. Bahkan mungkin pinggang kita akan patah. “ “Bukan maksudku un tuk tidak beristirahat. Kita akan beristirahat beberapa kali jika kita merasa letih. Demikian pula jika kuda-kuda kita menjadi haus dan lapar. Bukankah kita dapat memberi minum dan makan bagi kuda kita dimana saja? “

“Aku tidak tahu maksudmu “desis Cempalu k. “Bukankah kita sudah makan sekenyang -kenyangnya

dirumah Kepala Tanah Perdikan.Sembojan? Jika kita haus, kita akan membeli dawet cendol atau semelak atau rujak degan saja. Kita dapat berhemat. Besok aku dapat membelikan selendang lurik hijau pupus bagi anak gadisku. “

“Tetapi aku tidak akan tahan sehari -harian dalam perjalanan tanpa makan. “sahut Cempaluk.

Wiraga tidak menjawab lagi. Tetapi ia berusaha melarikan kudanya lebih cepat meskipun punggungnya terasa pegal. Sementara Cempaluk bergeremang meskipun hanya didengarnya sendiri “Orang ini semakin tua men jadi semakin kikir. “

Sementara itu,diTanah Perdikan Sembojan, Risang sempat merenungi kesediaannya datang ke rumah Ki Tumenggung Jayayuda. Sekali-sekali terpercik penyesalannya, bahwa ia bersedia untuk datang. Tetapi sekali-sekali ia berharap, bahwa pertemuannya dengan Ki Tumenggung akan dapat menjadi jembatan bagi keinginannya untuk merombak tatanan kepemimpinan di Pajang.

Tetapi ketika muncul sebuah pertanyaan didadanya, alasan serta ruas-ruas yang manakah yang harus dirombak dan jika Ki Tumenggung minta pendapatnya tentang susunan yang lebih baik, maka ia sendiri tentu akan kebingungan. “Aku tidak peduli “setiap kali hatinya telah dili puti lagi oleh kegelapan “tetapi aku harus mengatakan, bet apa para prajurit Pajang menjadi sewenang-wenang. Perubahan dan jalan keluar harus dicari sendiri oleh para Senapati Pajang yang bertanggung jawab. “

Dengan dasar itulah, maka Risang berniat berbicara dengan Ki Tumenggung Jayayuda.

Nyi Wiradana yang ingin memberikan pesan-pesan kepada Risang jika ia menghadap, hampir tidak pernah mendapat kesempatan. Risang selalu menghindar, jika tiba-tiba saja ibunya telah duduk dihadapannyasebelumia sempat pergi, maka ia selalu memotong kata-kata ibunya, la selalu mengatakan, bahwa sebagai Kepala Tanah Per-dikan Sembojan, ia berwenang untuk menentukan sikapnya. “Aku sepenuhnya memegang jabatanku. Sebagai se orang Kepala Tanah Perdikan, aku bukan sekedar bayangan ibu sendiri meskipun ibu pernah memangku jabatan ini untuk waktu yang lama. “

Nyi Wiradana memang selalu kehilangan kesempatan. Tetapi sebagai seorang ibu, ia tidak berputus-asa. la selalu berusaha untuk berbuat yang menurut pendapatnya yang terbaik bagi anaknya yang sedang kecewa itu.

Pada hari yang ditentukan maka Risangpun telah berkemas untuk pergi ke Pajang.

Nyi Wiradana telah memberitahukan kepada. Sambi Wulung dan Jati Wulung akan kepergian Risang itu.

“Kami tidak mendapat perintah untuk ikut bersama angger Risang, Nyi “berkata Sambi Wulung.

“Cobalah, berta nyalah kepadanya “minta Nyi Wiradana. Sebagai orang tua, maka Sambi Wulung.dan jati Wulung telah menemui Risang. Meskipun agak ragu, Sambi Wulungpun bertanya “Apakah angger akan memerin tahkan kami berdua mengikuti angger ke Pajang? “

“Tidak “jawab Risang tegas “mungkin pem bicaraanku dengan Ki Tumenggung bersitat rahasia. “

“Bukankah kami dapat menunggu diluar? “ber tanya Sambi Wulung pula.

“Bukankah paman berdua dapat melakukan tugas -tugas lain disini daripada sekedar menunggu aku diluar ruang pembicaraanku dengan Ki Tumenggung? Atau paman tidak percaya bahwa aku dapat menjaga diriku sendiri selama dalam perjalanan? “

“Bukan begitu ngger. Tetapi mungkin angger memerlukan kawan berbincang diperjalanan “sahut Sambi Wulung.

“Aku sudah terbiasa pergi ke Pa jang sendiri. “jawab Risang. Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak bertanya lebih panjang lagi. Nampaknya Risang memang tidak memer- lukan mereka untuk mengiringinya ke Pajang.

Karena itu, maka kepada Nyi Wiradana Sambi Wulung itu berkata “Nampaknya angger Ris ang ingin berangkat sendiri, Nyi. “

Nyi Wiradana mengangguk kecil. Namun kemudian ia berdesis “Biarlah aku yang memintakan maat atas kekhilafan anakku itu. “

“Tidak apa -apa Nyi. Aku mengerti, bahwa jiwa Risang sedang terguncang. Namun justru karena itu, sebenarnya ia memerlukan kawan diperjalanannya. Tetapi jika ia sudah menyatakan untuk pergi sendiri, maka ia tentu benar-benar akan pergi sendiri. “

Nyi Wiradana menarik natas dalam-dalam. Sementara Sambi Wulung berkata “Sudahlah Nyi. Jangan ter lalu dipikirkan. Bukan berarti bahwa yang tua-tua ini • tidak berusaha mencari jalan keluar, tetapi kita sendiri jangan tenggelam kedalamnya. Justru kita yang berdiri pada satu jarak akan dapat mengikuti persoalannya dengan wawasan yang lebih luas dari angger Risang sendiri.

Nyi Wiradana mengangguk. Namun nampak betapa hatinya terasa pedih.

Ketika sampai pada saatnya Risang berangkat, maka Risang benar-benar ingin berangkai seorang diri. Di regol halaman, menjelang tajar, Risang memegangi kendali ku- danya. Ibunya, Sambi Wulung, Jati Wulung, Gandar dan beberapa orang bebahu berdiri dengan hati yang berde- baran. Namun sebelum meloncat ke punggung kudanya, Ri-sang telah mencium tangan ibunya sambil berdesis “Ibu, beri aku restu, agar aku dapat melakukan sebagaimana aku inginkan. Beri restu agar aku dapat tetap teguh pada sikap dan pendirianku. Dengan demikian maka keberadaan

Tanah Perdikan Sembojan akan tetap diperhitungkan dalam setiap pemecahan masalah dalam hubungan timbal balik antara Pajang dan Tanah Perdikan ini. “

Mata ibunya terasa hangat. Tetapi tidak ada setitik-pun air mata yang mengembun dipelupuknya. Dengan suara yang tetap mantap ibunya berkata “Aku doakan perjalananmu tidak menemui hambatan apapun Risang. Aku dan orang- orang Tanah Perdikan Sembojan berdoa bagi keselamatanmu. Kamipun berdoa agar yang Maha Agung memberikan kecerahan dihatimu serta kejernihan nalar budimu. “

Risang mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian mengangguk sambil berkata “Aku mohon diri ibu. Aku mohon diri semuanya. Semoga semuanya selamat. “ Sejenak kemudian kuda Risangpun* berderap. Debu yang tipis mengepul dibelakang kaki kudanya. Sementara langit menjadi semakin terang.

Demikian Risang meninggalkan regolhaJaman, maka Nyi Wiradanapun segera pergi ke biliknya, la tidak lagi mampu membendung air matanya, sehingga tumpah seperti air di bendungan yang pecah.

Rasa-rasanya segala impiannya bagi masa depannya yang tertumpu pada anak laki-laki satu-satunya itu mulai memudar. Jika Risang tidak segera terlepas dari deraan pe- rasaannya sendiri, maka ia tidak berani membayangkan, apa yang akan terjadi kemudian atas anaknya itu atas Tanah Perdikan Sembojan.

Kadang-kadang memang timbul penyesalannya atas sikap Kasadha yang telah merampas impian Risang. Tetapi Nyi Wiradana tidak dapat menyalahkan anak muda itu. Dalam pengembaraan angan-angannya, Nyi Wira-dana tiba-tiba saja telah teringat kepada Bibi. Jika saja Bibi masih hidup, maka Bibi tentu akan langsung menyalahkan dan bahkan mungkin bersikap keras terhadap Ka-sadha. Kebenciannya kepada anak itu, sebagaimana kebenciannya kepada Warsi akan dapat timbul setiap saat. Apalagi jika persoalannya langsung menyinggung kepentingan Risarig. Bagi Bibi, Risang adalah juga anaknya sebagaimana ia pernah minta agar ia diijinkan untuk ikut mengaku Risang sebagai anaknya. Mungkin Bibi akan membela Risang sampai keujung kemampuannya pada saat-saat yang rumit ini.

Tetapi Nyi Wiradana tidak dapat berbuat seperti Bibi. la tidak dapat menyingkirkan Kasadha, bahkan ibunya jika ia ikut campur.

“Tidak. “suara Nyi W iradana parau “aku tidak dapat berbuat seperti itu. Bukan saja karena persoalannya akan menyangkut Ki Rangga Dipayuda dan bahkan mungkin Ki Tumenggung Jayayuda, tetapi persoalan Kasadha dan Risang juga tergantung kepada sikap Riris. “

Namun seakan-akan terngiang suara Bibi ditelinga batinnya “Warsi dan Kasadha berhutang budi kepada mu, jika kau ungkit kematian Ki Wiradana dan lebih jauh kebelakang, apa yang akan terjadi atasmu jika saja Serigala Betina itu benar-benar gila dan membunuh saat kau mengandung? “ “Tidak. Tidak. “Nyi Wiradana itu menutup kedua telinganya dengan telapak tangannya “aku sudah memaafkan mereka. Apa artinya sikap itu jika aku masih juga mengungkit- ungkitnya dalam persoalan yang sama sekali tidak berkaitan? “

Nyi Wiradana itupun kemudian menangis sepuas-puasnya. Tidak seorangpun yang berani memasuki biliknya yang tertutup.

Namun akhirnya hatinya sedikit menjadi tenang ketika ia sampai pada puncak kepasrahannya kepada Yang Maha Agung, sehingga tangisnyapun kemudian mereda.

Tetapi Nyi Wiradana tidak dapat menyembunyikan bengkak dimatanya yang kemerah-merahan ketika ia keluar dari biliknya dan mencuci mukanya di pakiwan.

Sementara itu, Risang berpacu diatas punggung kudanya. Padukuhan demi padukuhan dilewatinya. Ketika matahari naik, batas Tanah Perdikannya telah semakin jauh dibelakang.

Risang tidak menemui hambatan apapun diperjalanan. Namun Risang yang didera oleh kegelisahannya itu masih sempat juga sekali-sekali berhenti untuk memberi kesempatan kudanya beristirahat, minum dan makan.

Dengan demikian maka perjalanan Risang rasa-rasanya menjadi lebih cepat dari perjalanan-perjalanan yang pernah ditempuhnya. Namun kudanyalah yang menjadi letih.

Seperti yang tertera dalam surat pribadi Ki Tumenggung, Risang telah langsung menuju kerumah Ki Tumenggung Jayayuda. Rumah yang terhitung besar dan bersih.

Disebelah menyebelah pendapa terdapat gandok kiri dan kanan. Dibelakang pendapa terdapat pringgitan yang di- pisahkan oleh sebuah longkangan yang tidak terlalu lebar. Ketika seorang abdi Katumenggungan memberitahukan kehadiran seorang tamu, maka Ki Tumenggung sendiri telah turun ke halaman untuk menyongsongnya. Diper- silahkannya Risang naik ke pringgitan dan duduk dihelai tikar pandan yang putih bergaris-garis merah dan hijau.

Setelah duduk sejenak, maka Ki Tumenggungpun sempat mempertanyakan keselamatan perjalanan Risang serta keluarga dan rakyat Tanah Perdikan Sembojan.

Namun ketika kemudian Risang mulai menyinggung kepentingan kedatangannya, maka Ki Tumenggungpun berkata “Kita tidak terge sa-gesa berbicara tentang kepentinganku memanggilmu, Risang. Kau dapat beristi- rahat. Setelah minum kau dapat membersihkan diri di pakiwan. Aku harap kau akan bermalam disini. “ “Malam ini aku akan kembali ke Tanah Perdikan, Ki Tumenggung “jawab Risang.

Tetapi dengan tenang Ki Tumenggung berkata “Tidak. Kau tidak akan kembali hari ini. Kau akan bermalam disini.

Besok pagi kita akan berbicara tentang banyak hal. Baru setelah tuntas kau akan pulang ke Tanah Perdikan atau kau akan bermalam satu malam lagi. “

“Tetapi aku sudah mengatakan kepada ibu dan para bebahu di Tanah Perdikan, bahwa malam ini aku akan kembali, sehingga jika sampai esok siang aku belum datang, maka mereka akan menjadi cemas.

Tetapi jika kemudian kau datang, maka kecemasan merekaakansegera hilang “jawab Ki Tumenggung.

Sikap dan wibawa Ki Tumenggung ternyata telah memaksa Risang untuk tidak menolak. Malam itu, ia bermalam dirumah Ki Tumenggung Jayayuda.

Dua orang anak muda yang ternyata kemanakan Ki Tumenggung telah menemunya berbincang setelah kepada Risang disuguhkan makan.

Sebenarnya Risang memang gelisah. Tetapi Ki Tu- menggung tidak menemuinya lagi setelah makan bersama. Ketika Risang bertanya kepada anak-anak muda yang menemuinya, mereka mengatakan bahwa Ki Tumenggung sedang pergi.

“Mala m-malam begini? “bertanya Risang.

“Paman Tumenggung pergi ke barak. Sudah men jadi kebiasaan paman Tumenggung untuk menengok baraknya jika paman berada dirumah. Rasa-rasanya paman selalu gelisah jika beberapa saat saja paman tidak datang ke barak, kecuali jika paman tugas keluar Pajang.

Risang menjadi semakin gelisah. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Mungkin Ki Tumenggung memberitahukan kedatangannya kepada Ki Rangga Dipayuda atau kepada Kasadha.Tetapi ia sudah mengatakan pada surat jawabannya, bahwa ia tidak mau bertemu dengan siapa- pun juga selain Ki Tumenggung sendiri. Atau Ki Tumenggung Jayayuda justru sedang memanggil sekelompok prajurit untuk menangkapnya dan memasukkan kedalam penjara sebagai seorang peng- khianat.

Namun Risang tidak mengatakan sesuatu. Ditahannya kegelisahannya itu didalam hatinya.

Ketika malam menjadi semakin malam, maka salah seorang anak muda itu berkata “Kau tentu letih sekali setelah menempuh perjalanan panjang. Apalagi malam sudah larut. Silahkan berisirahat. Kamipun akan beristirahat pula. “ “Terima kasih “sahut Risang.

Namun Risang tidak dapat segera tidur. Ada berbagai macam perasaan yang selalu mengganggunya. Bahkan ia tidak dapat menyisihkan perasaan curiganya terhadap Ki Tumenggung Jayayuda.

Tetapi karena letih, maka meskipun hanya sebentar Risang sempat juga tertidur di bilik gandok rumah Ki Tumenggung Jayayuda di Pajang itu.

Pagi-pagi benar Risang sudah bangun, la langsung pergi ke paki wan. Sebelum matahari terbit, Risang sudah selesai berbenah diri.

Tetapi Risang tidak segera dapat minta diri. la masih belum berbicara apapun dengan Ki Tumenggung Jayayuda. la baru berada dirumah Ki Tumenggung itu. Minum, makan dan tidur. Berbicara tentang hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kedatangannya itu dengan orang- orang yang tidak dikenal sebelumnya.

Namun pembicaraan Risang dengan kedua orang anak muda kemanakan Ki Tumenggung itu ternyata telah membuatnya melihat kesempatan yang tidak pernah di- rambahnya sebagai anak muda^Keduanya'telah bercerita tentang pacuan kuda. Tentang kegemaran mereka menje- lajahi hutan dan mendaki lereng pegunungan. Kegemaran mereka menari dan berbagai macam permainan anak-anak muda. Untuk beberapa saat Risang sempat melihat kedalam dirinya dan bertanya “Apa yang pernah aku lakukan? Berkeliling Tanah Perdikan, menghentikan perdagangan gelap, menelusuri harta benda yang bernilai sangat tinggi di Madiun, bertempur dan kemudian kecewa. “;

Risang ketika duduk sendiri didalam biliknya digan-dok rumah yang besar itu, berdesah, la dapat berbangga karena di umurnya yang masih muda, ia sudah memegang jabatan penting untuk mengemudikan satu daerah Tanah Perdikan yang luas. Tetapi justru karena itu, maka hari- harinya dimasa muda telah tertelan oleh tugas-tugasnya. “Apakah para prajurit muda itu selain melakuk an tugasnya juga sempat menikmati usia mudanya? “Risang justru bertanya didalam hati.

Di Tanah Perdikan Sembojan Risang justru jarang berhubungan dengan anak-anak mudanya, la selalu berada diantara para bebahu Tanah Perdikan, para bebahu Kademangan-kademangan yang termasuk diling-kungan Tanah Perdikan dan dengan para Bekel padu-kuhan yang rata-rata umurnya sudah separo baya.

Risang itu terkejut ketika ia mendengar derap seekor kuda di halaman dan bahkan kemudian keluar lewat regol. Diluar sadarnya ia bangkit dan pergi ke pintu biliknya. Namun Risang tidak sempat melihat, siapakah yang melarikan kuda keluar dari halaman rumah Ki Tumenggung itu.

Sementara itu sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung telah memanggilnya untuk makan pagi bersama. Kecuali Ki Tumenggung, maka kedua orang kemanakan-nya telah ada bersama dengan mereka.

“Jadi siapa yang berderap diatas punggung kuda itu? “bertanya Risang didalam hatinya.

Tetapi ia tidak mengucapkan pertanyaan itu kepada siapapun juga, karena mereka akan dapat mengartikan pertanyaan Risang itu sebagai satu kecurigaan.

Baru setelah makan, maka Ki Tumenggung telah mengajak Risang duduk dipringgitan. Sedangkan kedua orang kemanakan Ki Tumenggung itu telah diminta untuk tidak duduk bersama mereka.

Bagaimanapun juga tiba-tiba Risang menjadi berdebar- debar. Namun justru karena itu, maka Risang telah menguatkan hatinya, untuk tidak bergeser dari sikapnya. “Apapun yang dikatakan oleh Ki Tumenggung, aku harus tetap menuntut perubahan yang mendasar dari sikap kepemimpinan para prajurit Pajang yang terlalu memen- tingkan diri sendiri. “

Ui pringgitan, smbil menghadapi minuman hangat dan beberapa potong makanan, sehingga suasananya tidak menjadi terlalu tegang, Ki Tumenggung Jayayuda mulai berbicara tentang niatnya memanggil Risang.

“Ri sang “berkata Ki Tumenggung Jayayuda “bukankah kau tidak berkeberatan aku panggil namamu? Meskipun kau seorang Kepala Tanah Percikan yang terhitung besar, tetapi kau masih muda. Sedangkan umurku tidak akan terpaut banyak dengan umur orang tuamu. “

“Tidak, Ki Tumenggung. Aku tidak berkeberatan. “

“Terima kasih “jawab Ki Tumenggung Jayayuda, yang kemudian berkata selanjutnya “kau tentu sudah mengetahui Risang, untuk apa aku memanggilmu kemari. “Ya, Ki Tumenggung “jawab Risang.

Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah, Ki Tumenggung mulai menyampaikan beberapa pendapat mengenai keadaan Risang. Ki Tumenggung juga berkata terus-terang bahwa ia mendengar persoalan Risang dari Ki Rangga Dipayuda yang terkait dalam persoalan ini. “ “Karena itu , Risang “berkata Ki Tumenggung pula “aku mencoba untuk mengambil cara lain. Aku berharap bahwa aku dapat berbicara denganmu sebagai seorang tua kepada seorang yang jauh lebih muda. “

Tetapi Risang yang sudah membawa bekal sikap dari rumahnya memang tidak mudah untuk diluluhkan. Bahkan kemudian ia justru berpendapat, bahwa Ki Rangga Dipayuda dan Kasadha telah memperalat Ki Tumenggung Jayayuda untuk membekukan semua gejolak didalam jiwanya.

Sementara itu, Ki Tumenggung berkata “Risang. Sebenarnyalah kau adalah salah satu diantara Kepala Tanah Perdikan yang mendapat banyak kepercayaan dari Pajang. Apa yang telah kau lakukan selama ini untuk Pa- jang membuktikan kesetiaanmu. Karena itu, kami merasa heran dan bahkan hampir tidak mempercayainya, bahwa kau telah mengambil jarak dari kewajibanmu terhadap Pajang. Namun setelah aku mendapat keterangan dari Ki Rangga Dipayuda, maka aku dapat mengerti gejolak pe- rasaanmu, sehingga aku berniat untuk berbicara denganmu tanpa dibatasi oleh kedudukan kita masing-masing. Tetapi aku ingin berbicara kepadamu sebagai seorang tua kepada seorang yang jauh lebih mudaT “

Jantung Risang memang tergetar. Tetapi kemtidian iapun menjawab “Ki Tumenggung. Aku tidak ingkar, bahwa ada persoalan yang timbul antara aku dan Kasadha yang menyangkut anak Ki Rangga Dipayuda. “

x “Nah, Risang. Aku ingin menasehatkan kepadamu, bahwa dunia ini bukan sekedar halaman rumah Ki Rangga Dipayuda. Karena itu, sebaiknya kau segera bangkit dan menyadari keadaanmu dan kedudukanmu, sehingga jelas bagimu, bahwa persoalan yang kau hadapi yang menyang- kut hubunganmu dengan anak Ki Rangga berbeda akarnya dengan tugas dan kewajibanmu sebagai Kepala Tanah Per- dikan. Karena itu, adalah sayang sekali, jika kedudukanmu menjadi goncang karena persoalan yang bagi se

orang laki-laki bukan merupakan persoalan yang seharus- nya menentukan jalan hidupnya. “

Risang memang mendengarkan kata-kata Ki Tumenggung. Hatinya memang tersentuh. Tetapi kemudian justru prasangkanya tumbuh lagi. Bahkan menurut Risang, sikap Ki Tumenggung itu bukan sikap wajar seorang prajurit, jika seseorang berbuat terlalu baik, maka perbuatannya itu agaknya mengandung pamrih.

Kecurigaan yang sudah dibawanya membuat hati Risang tidak terbuka.

Karena itu, maka Risang itupun menjawab “Ki Tu - menggung. Bagiku persoalanku dengan Kasadha dan Rangga Dipayuda memang bukan persoalan yang perlu di- besar-besarkan. Aku justru sudah melupakannya, karena seperti yang Ki Tumenggung katakan, bagi seorang laki-laki persoalan seperti itu tidak akan mempengaruhi sikap dan pandangan hidup seseorang. “

Ki Tumenggung mengerutkan dahinya. Tetapi sebelum sempat menyahut, Risang telah mendahuluinya “Karena itu Ki Tumenggung, jika Ki Tumenggung menilai sikapku sebagai Kepala Tanah Perdikan akhir-akhir ini, sama sekali bukan karena persoalan yang menyangkut anak, Ki Rangga Dipayuda itu. “

“O “Ki Tumenggung mengangguk -angguk “jadi? “Sebagai Kpala Tanah Perdikan Sembojan, aku melihat kepincangan dalam tatanan kepemimpinan prajurit di Pajang. Karena itu, aku merasa berkewajiban untuk membantu para pemimpin di Pajang, menilai tatanan kepemimpinan, tugas dan wewenang prajurit Pajang. Lebih-lebih lagi dalam hubungannya dengan Tanah Per- dikan. “>

Ki Tumenggung terkejut. Namun pengalaman jiwanya mampu mengendalikan sikapnya, sehingga tidak segera nampak gejolak di hatinya.

Sesaat Ki Tumenggung itu justru berdiam diri.

Namun kemudian pertanyaan yang dicemaskan Risang se- jak ia berangkat benar-benar didengarnya “Risang. jika kau dapat mengatakan bahwa tatanan kepemimpinan, tugas dan wewenangnya kurang mapan, katakanlah, di-mana letak kesalahan itu. Atau barangkali kau mempunyai gagasan yang mungkin dapat ditrapkan, sehingga jika gagasan itu diterima oleh Kangjeng Adipati, maka kau akan menjadi salah seorang diantara pemimpin pemerintahan yang akan tetap dikenang oleh Pajang. Kau bukan saja akan menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan yang dihormati karena kebesaran Tanah Perdikanmu, tetapi lebih dari itu, justru karena, gagasanmu itu. Bahkan jika gagasanmu itu ternyata dianggap sangat baik, maka tidak mustahil bahwa Mataram akan mengetrapkan pula. Para Adipati yang termasuk dalam kesatuan Mataram akan di- perintahkan untuk mengetrapkannya. “

Keringat dingin mengalir dipunggung Risang. la menjadi gelisah oleh pertanyaan-pertanyaan itu. Namun seperti yang pernah tersirat dikepalanya, maka iapun menjawab “Ki Tumenggung, aku bukan salah seorang pemim pin pemerintahan di Pajang. Karena itu, segala sesuatunya terserah kepada para pemimpin di Pajang. Bagi kami, orang-orang yang berdiri diluar, hanya dapat menilai kea- daan yang ada, sesuai dengan sikap dan pandangan kami. Ki Tumenggung mengerutkan dahinya, la mulai melihat betapa kerasnya sikap Risang. Perasaan kecewa yang sangat mendalam telah membuat hatinya membatu.

Tetapi sikap Ki Tumenggung masih tidak berubah. Katanya dengan nada rendah “Aku mengerti Risang. Te tapi seandainya kau dapat menunjukkan jalan keluar, tunjukkanlah, tugas dan wewenang yang manakah yang tidak sesuai menurut sikap dan pandanganmu. Jika kau mau menunjukkan, kami akan dapat mempelajarinya dan mencari jalan pemecahannya. Kami akan sangat berterima kasih jika kau langsung dapat memberikan gagasan-ga- gasan untuk mengatasi persoalan ini. “

“Tidak Ki Tumenggung “jawab Risang “aku tidak dapat mengatakannya. Tetapi aku merasakan tugas dan wewenang Pajang atas Tanah Perdikan yang tidak sesuai dengan kepentingan kami. “

“Risang “berkata Ki Tumenggung “kami memang lebih banyak memandang kepentingan bersama. Jika untuk kepentingan bersama itu, kepentingan Tanah Perdikan Sembojan telah dilanggar, maka seharusnya hal seperti itu tidak boleh terjadi. Nah, sekarang tunjukkan kepadaku, dimana letak pelanggaran kepentingan Tanah Perdikan khususnya Tanah Perdikan Sembojan. “

Keringat di punggung Risang terasa semakin membasahi pakaiannya. Namun Risang masih saja menjawab “Kami justru minta Pajang menilai kembali sikapnya, kenapa kami, di Tanah Perdikan Sembojanmerasalbahwa tugas dan wewenang prajurit Pajang terasa menghimpit dada. “ “Risang “desis Ki Tumenggung Jayayuda “aku minta hatimu sedikit longgar Risang. Maal, bahwa aku mempunyai sebuah pertanyaan. Bahwa kau merasa kecewa terhadap tugas dan wewenang prajurit Pajang itu dapat aku terjemahkan dengan kekecewaanmu terhadap Kasadha dan Ki Rangga Dipayuda? “

Wajah Risang menjadi merah. Terasa jantungnya berdebar semakin cepat. Tetapi pertanyaan Ki Tumenggung itu terasa langsung menusuk sampai ke ulu hati.

Untuk beberapa saat, Risang tidak menjawab. Sepercik pengakuan memancar didalam dadanya. Tetapi secepat itu pula kekerasan hatinya, harga diri serta perasaan kecewanya telah memadamkan kembali percikan pengakuan itu, sehingga iapun berkata “Ki Tumeng gung.

Aku bukan orang yang berpandangan terlalu sempit dan picik. Aku dapat memandang cakrawala seluas batasan bumi. Karena itu Ki Tumenggung, Ki Tumenggung telah membuat penilaian yang keliru terhadap diriku.

Ki Tumenggung Jayayuda menarik natas dalam-dalam, la merasa kehilangan jalur yang dapat ditempuhnya untuk mengatasi sikap keras anak muda itu. Karena itu, maka Ki Tumenggung itupun berkata “Risang. jalan yang aku tempuh sekarang iki adalah jalan yang menurut pendapat ku adalah jalan yang terbaik. Aku sudah melepaskan baju Katumenggunganku. Aku ingin berbicara sebagai orang tua kepada anak muda secara terbuka. Tetapi ternyata sangat sulit bagiku untuk menemukan jalan yang dapat menembus perasaanmu. Pada kesempatan lain, jika aku .berbicara sebagai seorang Tumenggung, sikap dan kata-kata yang aku pergunakan tentu akan berbeda.

Karena itu Risang, aku harap kau terbuka. Jika kau kecewa secara pribadi, katakan. Kau kecewa terhadap Ki Rangga Dipayuda dan barangkali Ki Lurah Kasadha. Kau bukan kecewa terhadap tugas dan wewenang prajurit Pajang atas Tanah Perdikan Sembojan. “

Namun Risang itupun menjawab “Tidak. Sama sekali tidak. Apa artinya Ki Rangga Dipayuda dan Ki Lurah Kasadha bagiku? Bagi Tanah Perdikan Sembojan? Tidak Ki Tumenggung. Aku sama sekali sudah tidak menghiraukan mereka lagi. Tetapi aku benar-benar tidak dapat menerima tugas dan kewenangan prajurit Pajang atas Tanah Perdikan Sembojan. Aku mohon para pemimpin Pajang dapat mengurai sikapku ini, yang pada suatu saat, para pemimpin di Pajang akan berterima kasih kepadaku, karena dengan demikian Tanah Perdikan yang ada diling-kungan kesatuan Pajang dan Mataram dan bahkan mungkin Kademangan- kademangan yang besar dan berpengaruh tidak lagi akan menentang kekuasaan Pajang. “

Terasa tusukan yang tajam terhunjam didada Ki Tu- menggung. Kata-kata Risang tidak menyenangkan pera- saan Ki Tumenggung. Tetapi justru karena Risang waktu itu adalah tamunya yang diundang, maka Ki Tumenggung masih menahan diri. Bahkan katanya kemudian “Baik lah Risang. Nampaknya hatimu kurang terbuka. Tetapi aku masih berharap bahwa sepanjang perjalananmu kembali ke Tanah Perdikan, kau akan sempat memikirkannya.

Risang mengangguk dalam-dalam. Didasar hatinya terdengar nuraninya memekik tinggi, la mengakui semua yang dikatakan oleh Ki Tumenggung itu. Namun ia tidak mempunyai keberanian untuk mengakuinya. Harga dirinya serta kemarahannya kepada Ki Rangga Dipayuda dan Ki Lurah Kasadha ternyata telah menimbun pengakuan didasar hatinya itu. Dalam pada itu, Ki Tumenggung menjadi sangat kecewa terhadap Risang, sebagai seorang tuan rumah yang

baik ia masih juga berkata dengan ramah “Risang. Mungkin kita dapat menganggap pembicaraan kita sudah selesai, meskipun kita tidak menemukan satu kesimpulan yang berarti bagi kita. Tetapi meskipun demikian, aku masih ingin menawarkan, apakah kau akan bermalam lagi dirumahku. Nampaknya hari sudah terlalu tinggi. Jika kau berangkat juga, maka kau akan kemalaman di perjalanan. Tetapi Risang menggeleng. Katanya “Terima kasih Ki Tumenggung. Aku mohon diri. Aku harus segera kembali, agar ibu dan para bebahu tidak menjadi sangat gelisah. “ “Baiklah. Sekali lagi aku minta kau merenungi kata -kataku disepanjang jalan, Jika kau berubah pikiran, maka kau perintahkan saja bebahu Tanah Perdikanmu datang dengan membawa surat pernyataanmu. Kau tidak usah membuat surat kepada Kangjeng Adipati. Surat itu cukup surat pribadi saja. Biarlah aku yang menyelesaikan disini.

“Ki Tumenggung itu berhenti sejenak. Namun karena Risang tidak menjawab, maka Ki Tumenggung itu melan- jutkannya “Tetapi jika kau tidak membuat surat itu kepadaku, maka akulah yang akan memberikan surat itu kepadamu. Tentu bukan sekedar surat pribadi lagi. “Jantung Risang berdebar semakin cepat, ia sadar, bahwa Ki Tumenggung mulai mengancam akan mempergunakan kedudukannya. Tetapi Risang tidak berubah sikap.

Demikianlah, maka Risangpun segera minta diri. Ki Tumenggung itu sama sekali tidak merubah sikapnya, la masih tetap ramah. Bahkan Ki Tumenggung itu sendiri telah memerintahkan abdinya untuk menyiapkan kuda Ri- sang. Sementara kedua orang kemanakannya telah turun pula ke halaman untuk ikut melepas Risang meninggalkan rumah Ki Tumenggung.

“Kedua kemenakanku ini sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti pendadaran. “berkata Ki Tumeng gung “mereka tinggal agak jauh dari Pajang. Karena keduanya ingin menjadi prajurit, maka mereka untuk sementara, sampai saat pendadaran, tinggal disini. “

“O “Risang mengangguk -angguk. Meskipun hatinya pepat, tetapi ia tersenyum juga sambil berkata “Mudah -mudahan kalian berhasil. Tetapi kalian berdua sama sekali tidak mengatakan hal itu kepadaku. “

Seorang diantara mereka menjawab “kami belum tentu dapat diterima. Karena itu, untuk sementara kami memang tidak mengatakannya kepada siapapun. Tetapi agaknya paman telah menceriterakannya.

“Kalian tentu diterima “berkata Risang “apalagi paman kalian adalah seorang Tumenggung. “

Namun Ki Tumenggung itu menyahut “Akli ingin mereka diterima karena kemampuan mereka. Bukan karena mereka kemanakanku. Kemenakan seorang Tumenggung. “

Risang menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia ingin menjawab, bahwa banyak orang yang memanfaatkan kedudukan sanak kadangnya untuk jkepentingan tertentu. Tetapi niatnya itu diurungkannya.

Demikianlah, maka Risangpun telah menuntun kudanya menuju keregol halaman. Ki Tumenggung sendiri bersama kedua orang kemenakannya mengantar mereka sampai keregol.

Namun tiba-tiba saja mereka terkejut. Derap kaki kuda yang berlari cepat terdengar mendekat. Bahkan kemudian, tiba-tiba saja di regol itu muncul seorang menunggang kuda tanpa turun dari punggung kudanya. Hampir saja kuda itu melanggar Risang yang meloncat bergeser kesamping.

Namun penunggang kuda itu cukup tangkas. Dengan cepat ia menarik kendali kudanya, sehingga kudanyalah yang terkejut. Sambil meringik kuda itu berdiri tegak bertumpuipadakaki belakangnya. Kemudian bergeser dan berputar-putar. Namun dengan terampil penunggang kuda itu menguasai kudanya sehingga kemudian menjadi tenang kembali.

Sekali lagi Risang terkejut. Penunggang kuda itu ternyata adalah seorang perempuan muda.

Masih diatas punggung kudanya perempuan muda itu berkata “Maat Ki Sanak, aku tidak tahu bahwa ada orang dibelakang regol. “

“Sudah aku peringatkan, kau harus turun didepan regol atau memperlambat lari kudamu. Untunglah bahwa Risang sempat menghindar, jika tidak? Atau katakan seorang perempuan atau anak-anak yang berada di belakang pintu regol itu. “

“Maaf ayah, aku lu pa. “jawab perempuan itu. Namun perempuan muda itu tidak menunggu lagi.

Kedua kakinya telah menyentuh perut kudanya, sehingga kuda itu berlari lagi melingkari halaman langsung meng- hilang disudut gandok. Derapnya masih kedengaran se- hingga kuda itu sampai kedepan kandangnya.

“Anak itu memang nakal sekali “desis Ki Tumeng gung. “Siapakah perempuan itu? “diluar sadarnya Risang bertanya.

“Anakku. Aku hanya mempunyai seorang anak. Tetapi meskipun perempuan, nakalnya melampaui laki-laki. “ Risang mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian berkata “Sudahlah Ki Tumenggung. Aku mohon diri. “ “Baiklah Risang. Mudah -mudahan kau selamat di perjalanan. “berkata Ki Tumenggung.

Ketika kemudian Risang meloncat kepunggung kudanya diluar regol, maka kedua orang kemanakan Ki Tumenggung itu sempat melambaikan tangannya.


Namun Risang sempat menggeram “Hampir saja kepalaku terinjak kaki kuda. Jika saja ia bukan anak Ki Tumenggung Jayayuda, aku akan memberinya sedikit peringatan agar ia menjadi lebih berhati-hati. “ Sekilas terbayang kembali wajah gadis yang terkejut itu. Tetapi Risang merasa heran atas ketenangannya. Dalam keadaan yang tiba-tiba, gadis itu sama sekali tidak nampak menjadi cemas dangelisah. Kedua tangannya yang terampil menguasai kendali kudanya yang melonjah dan berputas melingkar-lingkar sehingga menjadi tenang kembali. “Seorang gadis yang mempunyai kelainan sitat dari gadis - gadis kebanyakan “berkata Risang didalam hati nya.

Risangpun kemudian teringat derap kaki kuda yang didengarnya dari bilik digandok rumah Ki Tumenggung. “Tentu gadis bengal itu “desis Risang kepada diri sendiri. Namun Risangpun tiba-tiba membayangkan ibunya dan ibu Kasadha disaat-saat mereka masih gadis. Risang tidak begitu memahami masa-masa dimana ia belum dilahirkan, la membayangkan ibunya dan ibu Kasadha semasa gadisnya juga seperti gadis anak Ki Tumenggung yang lin- cah itu. Risang kurang dapat membayangkan kenyataan bahwa ibunya mulai mempelajari oleh kanuragan sehingga memiliki kelebihan dari perempuan-perempuan yang lain justru setelah ia mengalami tekanan perasaan karena keha- diran orang ketiga.

“Apa peduliku “geram Risang sambil memacu kudanya kembali ke Tanah Perdikan Sembojan. la sudah

gung, sehingga ia akan sampai ke Tanah Perdikan jauh malam.

Disepanjang jalan Risang memang selalu digelitik oleh pesan Ki Tumenggung untuk merenungi kembali sikapnya. Tetapi Risang benar-benar sudah terlanjur basah. Rasa- rasanya malu untuk kembali dan urung menyeberang.

Sementara kemarahannya kepada Kasadha dan Ki Rangga Dipayuda masih saja membakar jantung.

Di sepanjang perjalanan, Risang harus beristirahat beberapa kali. Perjalanan yang panjang itu sangat mele- lahkan. Demikian pula kudanya.

Dalam pada itu, di Tanah Perdikan, Nyi Wiradana mulai menjadi gelisah. Jika Ki Tumenggung Jayayuda ingkar janji, atau mungkin terjadi selisih pendapat sehingga tidak teratasi, Risang memang dapat ditangkap.

“Tidak “gumam Nyi Wiradana menenangkan diri nya sendiri “Ki Tumenggung Jayayuda tidak akan ber buat selicik itu. “MNmun yang terbayang kemudian adajah sikap Risang sendiri yang berkelebihan, sehingga para prajurit pengawal Ki Tumenggung mengambil tindakan yang keras terhadap Risang.

Bukan hanya ibu Risang yang menjadi cemas. Tetapi merasa terlalu runlah Ki Tumeng-

Sayap-sayap LXVI 57

juga Sambi Wulung, jati Wulung, Gandar dan orang-orang yang dekat dan mengetahui sikap dan perasaan Risang sehari-hari disaat-saat terakhir.

Karena itu, ketika malam kemudian turun, dalam kegelisahan Nyi Wiradana tidak dapat segera tidur. Bahkan kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung, Nyi Wiradana sudah berpesan, jika besok Risang belum datang, maka berdua mereka harus pergi ke Pajang untuk mencari keterangan tentang Kepala Tanah Perdikan itu.

Nyi Wiradana masih duduk diruang dalam ketika terdengar suara kentongan dengan irama dara muluk di tengah malam. Kegelisahannya justru semakin memuncak.

Diluar, Sambi Wulung, Jati Wulung, Gandar dan beberapa orang masih berkeliaran. Sambi Wulung dan jati-wulungpun kemudian duduk di serambi gandok, sementara Gandar pergi ke gardu untuk mengurangi kegelisahannya.

Ketika Nyi Wiradana menjadi sangat letih oleh kegelisahan, maka Nyi Wiradana berniat untuk berbaring di-dalam biliknya. Namun demikian Nyi Wiradana berdiri, didengarnya derap kaki kuda memasuki regol halaman rumahnya. Nyi Wiradana yang sudah berdiri itu segera membuka pintu pringgitan. Ketika ia melangkah keluar, maka dilihatnya Risang meloncat dari punggung kudanya. Diserahkannya kudanya kepada seorang pembantunya yang berlari-lari mendekatinya.

Risang yang juga merasa sangat letih itu mengibaskan wiron kain panjangnya. Kemudian melangkah naik ke pendapa.

“Kau selamat di perjalanan ngger? “bertanya ibunya dengan suara parau.

“Sebagaimana ibu lihat, aku pulang dengan selamat “jawab Risang.

“Sokurlah, marilah “ajak ibunya.

“Biarl ah aku duduk disini sebentar ibu untuk mengeringkan keringat. Udara terasa sangat panas. Nanti aku akan mandi sebelum duduk-duduk didalam. “

Risangpun kemudian duduk dipendapa. Gandar yang berada di gardu dan melihat Risang lewat, telah dengan tergesa-gesa mengikutinya. Sementara Sambi Wulung dan Jati Wulung telah menyusul pula naik kependapa.

Namun nampaknya Risang masih belum berniat untuk berbicara dengan mereka. Ketika ibunya menanyakan hasil pertemuannya dengan Ki Tumenggung, maka Risang itupun menjawab “Aku masih sangat letih ibu. Aku ingin beristirahat. “

Nyi Wiradana menarik natas dalam-dalam. Karena itu, maka ia tidak bertanya lebih jauh lagi. Nyi Wiradana itu hanya mempersilahkan anaknya minum ketika minuman telah dihidangkan.

Sambi1 Wulung, jati Wulung dan Gandarpun membatalkan niatnya untuk bertanya serba sedikit tentang perjalanan Risang.

Dengan demikian suasana menjadi beku. Orang-orang yang menunggu dengan gelisah itu, telah menjadi gelisah pula, karena mereka harus duduk berdiam diri dipendapa. Tetapi Risang tidak terlalu lama duduk. Setelah minum beberapa teguk, maka iapun berkata “Aku akan mandi dahulu. “

“Kau tentu belum makan Risang “berkata ibunya “selama kau mandi, biarlah makan disiapkan. “

Risang tidak menjawab. Iapun segera bangkit dan melangkah masuk langsung kedalam biliknya.

Sejenak kemudian, maka Risangpun telah berada di pakiwan untuk mandi. Agaknya tubuhnya telah basah oleh keringat dan kemudian debupun telah menempel di kulitnya.

Nyi Wiradana, Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandar yang berada di pendapa nampaknya tidak banyak ber- pengharapan.

“Menilik sikapnya, nampaknya pembicaraannya dengan Ki Tumenggung tidak mendapatkan kesimpulan yang memuaskan “berkata Nyi Wiradana.

“Agaknya memang demikian Nyi “desis Sambi Wulung. “P ertanda yang suram bagi Tanah Perdikan ini “berkata

Gandar yang.kecewa. Risang yang menjadi momongannya sejak kanak-kanak itu memang membuatnya kecewa sebagaimana Nyi Wiradana yang kecewa.

“Sudahlah “berkata Nyi Wiradana “biarlah aku saja yang berbicara dengan anak itu disaat ia makan atau sesudahnya. Jika ia menolak, aku juga tidak akan dapat memaksanya. “

Sambi Wulung dan Jati Wulung kemudian telah kembali duduk diserambi. Tetapi Gandar tidak kembali ke gardu, la tentu akan dibingungkan oleh pertanyaan anak-anak muda yang berada di gardu tentang Risang yang baru saja pulang dari Pajang.

Sementara Risang mandi, maka oleh seorang pembantunya telah disiapkan makan. Nyi Wiradana sendiri ikut membantu mengatur mangkuk makanan dan tenong yang berisi cething nasi serta mangkuk berisi sayur dan lauk-pauknya. Risang memang merasa lapar. Karena itu, maka iapun kemudian tidak menolak untuk makan.

Sementara sambil makan, Nyi Wiradana memang me- mancing keterangan tentang perjalanan Risang menghadap Ki Tumenggung Jayayuda di Pajang.

Tetapi keterangan Risang memang tidak memuaskan. 4a tidak mengatakan keseluruhan dari pembicaraannya dengan Ki Tumenggung. Namun dengan demikian, Nyi Wiradana telah dapat mengambil kesimpulan bahwa pembicaraan Risang dengan Ki Tumenggung tidak mem- bawa hasil sebagaimana di harapkannya.

Karena itu, maka Nyi Wiradana telah mengusap dadanya sambil berdesah. Tetapi sepanjang Risang makan, Nyi Wiradana tidak ingin menghilangkan selera makan anaknya.

Baru setelah Risang selesai makan, Nyi Wiradana itu-pun berkata “Jika demikian Risang, bukankah kau tidak mendapat kesepakatan dengan Ki Tumenggung Jayayuda? Risang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab “tidak. Memang tidak. Aku tidak mau dipaksa untuk menelan kembali gagasan-gagasanku. “

“Jika ibu boleh mengetahui, gagasan apakah yang telah kau sampaikan kepada Ki Tumenggung? “

Risang tertegun sejenak. Namun kemudian katanya “Aku mengatakan terus-terang bahwa aku, Kepala Tanah Perdikan Sembojan menjadi kecewa atas susunan kepemimpinan prajurit di Pajang. Aku kecewa atas tugas dan wewenang para prajurit yang berlebihan atas Tanah Perdikan, setidak-tidaknya Tanah Perdikan Sembojan. “ “Lalu, gagasan apa yang kau lontarkan untuk memecahkan persoalan itu? Merombak susunan kepemimpinan keprajuritan? Merubah paugeran mengenai tugas dan wewenang para prajurit, khususnya atas Tanah Perdikan Sembojan atau apa? “

“Itu urusan mereka. Aku tidak perlu mengajukan gagasan apapun. “ “Jadi, gagasan apa yang kau bawa kepada Ki Tu - menggung? Sekedar mencela tanpa menunjukkan ke- mungkinan-kemungkinan yang dapat ditempuh untuk me- ngatasinya? “

“Aku tidak mau mempersulit diri, ibu. Aku tidak mau memeras otak bagi kepentingan Pajang. Aku sudah beberapa kali mempertahankan nyawaku bagi Pajang? Akhirnya, apa yang aku dapat dari Pajang? Sekarang, aku juga tidak merasa perlu berpikir terlalu rumit bagi Pajang. Gagasan apapun tentu akan mereka telan dan bahkan me- ngaku dan merampas gagasan itu sebagaimana gagasan orang-orang tertentu di Pajang. “

Nyi Wiradana menarik natas panjang, la sudah menduga, itulah hasil kepergian Risang menghadap Ki Tumenghung Jayayuda. Namun bahwa Risang tidak ditangkap dan kemudian dipenjarakan telah menunjukkan kelapangan dada Ki Tumenggung Jayayuda. Namun Nyi Wiradana sudah menduga pula, apa yang akan terjadi kemudian atas Tanah Perdikan Sembojan.

Sebenarnyalah bahwa Ki Tumenggung Jayayuda menjadi sangat kecewa terhadap sikap yang keras dari Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Penalaran Risang seakan-akan telah berhenti sama sekali. Kekecewaannya menjalar kesisi- sisi kehidupan yang lain. Risang nampaknya benar-benar telah kehilangan pegangan sehingga pandangan matanya yang kabur telah memandang tugas dan wewenang prajurit Pajang di Tanah Perdikannya sebagai satu kenyataan yang sangat buruk sehingga harus dibongkar dan diganti. Tetapi Risang sama sekali tidak dapat menunjukkan atau bahkan ia sendiri tidak melihat, jalan keluar yang terbaik.

Karena itu, maka Ki Tumenggung Jayayuda sudah tidak melihat jalan lain, kecuali langkah-langkah pasti seorang prajurit, lapun kemudian telah menempatkan dirinya sebagai seorang Tumenggung. Ketika kemudian Ki Tumenggung bertemu dengan Ki Rangga Dipayuda, maka Ki Tumenggungpun telah mence- riterakan sikap Risang yang keras dan tidak terbuka.

Ki Rangga Dipayuda menundukkan kepalanya dalam-dalam, la tidak mengira bahwa akibat kekecewaan hati Risang menjadi sedemikian jauhnya, sehingga mengguncang kedudukan Tanah Perdikannya. Jika Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu dinilai telah melawan kekuasaan Pajang, maka kekancingan atas keberadaan Tanah Perdikan itu akan dapat dicabut, sehingga dengan . demikian, maka Tanah Perdikan Sembojan itu akan lenyap untuk selama- lamanya.

jika terjadi hal seperti itu, maka anak cucu orang-orang Tanah Perdikan akan mencatat peristiwa, Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang masih muda, bernama Risang telah melakukan kesalahan yang tidak dapat dimaafkan, sehingga Tanah Perdikan mereka telah lenyap. Risang akan dikenang sebagai Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang terakhir yang jatuh tersuruk karena kakinya terjerat selendang seorang gadis. Gadis itu adalah anak Ki Rangga Dipayuda.

Ceritera tentang gadis itu akan dapat berkepanjangan, sehingga di kemudian hari akan tersebar ceritera bahwa gadis itu telah ingkar janji dan menikah dengan orang lain, sehingga Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang terakhir itu kehilangan pegangan.

Bermacam-macam gambaran lewat diangan-angan Ki Rangga Dipayuda, sehingga Ki Rangga itu-telah meme- jamkan matanya, seakan-akan ingin mengusir gambaran- gambaran yang buram itu dari kepalanya yang pening.

Namun Ki Rangga itu terkejut ketika ia mendengar Ki Tumenggung itu berkata “Aku tidak mempunyai pilihan lain, Ki Rangga. Aku akan melaporkan persoalan ini dan kemudian aan diambil tindakan sampai tuntas. Apapun dan alasannya, kita harus menegakkan wibawa Pajang atas semua Tanah Perdikan. “ Ki Rangga mengangguk sambil berdesis “Ya, Ki Tu - menggung. “

“Besok aku akan menghadap, menyampaikan per soalan ini.

Aku masih berharap bahwa aku akan mendapat

perintah untuk menangani Tanah Perdikan Sembojan, se- hingga serba sedikit aku masih dapat mengekang keke- rasan yang akan dipaksakan kepada Kepala Tanah Perdikan itu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas Tanah Perdikan Sembojan serta Kepala Tanah Perdikan itu, jika yang mendapat perintah menyelesaikan persoalan Tanah Perdikan Sembojan jatuh ketangan orang lain. “

Ki Rangga Dipayuda terkejut. Namun kemudian dengan nada rendah ia bertanya “Apakah mungkin perintah untuk menertibkan Tanah Perdikan itu diberikan kepada orang lain? “

“Kenapa tidak “jawab Ki Tumenggung “karena itu, maka aku akan membuat laporanku terperinci sehingga aku dapat memancing perhatian, agar akulah yang mendapat perintah itu. “

Ki Rangga Dipayuda menarik natas dalam-dalam. Sejak Nyi Wiradana menjadi Pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan, Tanah Perdikan itu sudah mengalami beberapa kali perang yang bagi Tanah Perdikan terhitung besar. Tanah Perdikan itu pernah berperang melawan jipang, tetapi pernah berperang melawan Pajang dan dibantu oleh prajurit Jipang. Pernah bertempur dengan kelompok-kelompok orang yang digerakkan oleh padepokan-padepokan yang besar, pernah bertempur melawan orang-orang yang bernafsu untuk memakai Tanah Perdikan itu batu loncatan. Terakhir Tanah Perdikan Sembojan dibawahikepemimpinanjRisang harus ber- hadapan dengan pedagang-pedagang gelap yang bersandar pada kekuatan beberapa kelompok prajurit Madiun.

“Sfcgala sesuatunya aku serahkan pada kebijaksana an Ki Tumenggung yang sudah mengetahui semua persoalan yang terjadi dan berkembang di Tanah Perdikan itu. “desis Ki Rangga pasrah.

“Ki Rangga “bertanya Ki Tumenggung “apakah anak gadismu itu tahu, bahwa kesediannya menjadi isteri Kasadha telah menimbulkan persoalan yang rumit di Tanah Perdikan Sembojan? “

“Tidak Ki Tumenggung. Sampai saat ini Kiris tidak mengetahui persoalan ini, “

“Menurut dugaanmu, apa yang akan dilakukannya, seandainya anak gadismu itu mengetahuinya. “

“Aku tidak dapat membayangkannya, Ki Tumeng gung. “ “Baiklah. Terserah kepada Ki Rangga, apakah anak gadis Ki Rangga itu akan diberitahu atau tidak. Tetapi aku kira sikap Pajang telah pasti. Kita harus menegakkan pa-ugeran terhadap siapapun juga. “

Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya “Ya, Ki Tumenggung. “

Nah. Aku minta Ki Rangga mempersiapkan diri, apakah yang harus kita lakukan kemudian. Hampir pasti, bahwa tiigas untuk menyelesaikan masalah Tanah Perdikan Sembojan itu akan dibebankan kepada kita. Setidak- tidaknya kita berharap demikian agar keadaanya tidak menjadi semakin parah. “

“Ya Ki Tumenggung. Kita be rharap. Bagaimanapun juga kita dapat mengetahui latar belakang dari gejolak yang terjadi di Tanah Perdikan itu. “

“Biarlah besok aku akan memberikan laporan agar bukan orang lain yang lebih dahulu mempersoalkan Tanah Perdikan Sembojan ini, karena sikap Risang terhadap para prajurit yang pernah datang menemuinya menyampaikan surat sebelum aku memerintahkan dua orangku menyampaikan surat pribadiku. “berkata Ki Tumeng gung kemudian. Namun dengan nada rendah Ki Tumenggung itupun melanjutkan “Aku juga tidak ma u dianggap sekedar|menakut-nakuti}oleh Risang. Tetapi selanjutnya tidak berbuat apa-apa. “ Dengan penuh pengertian, maka Ki Ranggapun minta

diri setelah pembicaraan mereka selesai. Kegelisahan yang

- sangat telah mencengkam jantungnya, la sama sekali tidak mengira bahwa anak perempuannya itu pada suatu saat telah membuat bukan saja kepalanya pening, tetapi juga rasa-rasanya dadanya bagaikan terhimpit batu sebesar gardu.

Tetapi Ki Rangga masih belum membicarakan hal itu dengan Kasadha. Kasadha yang muda itu, darahnya akan cepat mendidih pula. Menurut pengamatannya, maka baik Kasadha maupun Risang memiliki kelebihan dari kebanyakan orang. Karena itu, jika keduanya kehilangan kendali, akan dapat timbul persoalan pribadi yang sangat mencemaskan.

Dihari berikutnya, ketika Ki Tumenggung menghadap di paseban, telah memohon waktu khusus untuk menghadap langsung Kangjeng Adipati.

Ternyata Kangjeng Adipati bersedia menerima Ki Tu- menggung setelah acara di paseban selesai.

Ketika Ki Tumenggung menghadap dalam waktu yang khusus diberikan kepadanya itu, Ki Tumenggung telah memberikan laporan sepenuhnya kepada Kangjeng Adipati dengan harapan, bahwa Kangjeng Adipati dapat mengerti persoalan yang seutuhnya.

“jika hal ini hamba sampaikan di Paseban, hamba cemas, bahwa ada diantara p'ara pemimpin di Pajang yang tidak mau mendengar alasan-alasan yang hamba sampaikan, karena masalah yang sangat pribadi. Hamba cemas, bahwa para pemimpin langsung menjatuhkan keputusan untuk menghukum Kepala Tanah Perdikan Sembojan tanpa mempertimbangkan latar belakang dari goncangan jiwanya. “

Kangjeng Adipati ternyata bersedia mendengarkan alasan- alasan Ki Tumenggung Jayayuda. Meskipun demikian, Kangjeng Adipati itu berkata “Aku mengerti, Ki Tumenggung. Tetapi wibawa Pajang harus tetap ditegak- kan. Apalagi dalam keadaan seperti sekarang ini. Madiun tentu akan mengintip sikap Kepala Tanah Perdikan Sem-

*bojan itu dan memanfaatkannya sebaik-baiknya. “ “Hamba Kangjeng Adipati. Hamba akan mene gakkan wibawa Pajang di Tanah Perdikan Sembojan sebagaimana seharusnya. Namun cara yang hamba tempuh mempunyai kesan agak lamban. Tetapi hamba bertekad untuk dapat menangkap ikannya, kalau mungkin tidak usah membuat airnya menjadi keruh. Tetapi jika usaha-usaha hamba itu tidak berhasil, maka hamba akan menempuh cara yang seharusnya hamba lakukan sebagai seorang prajurit. “ Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Katanya kemudian “Baiklah, Ki Tumenggung. Aku akan mem berikan perintah itu kepada Ki Tumenggung. “

“Terima kasih, Kangjeng. Hamba akan melakukan dengan sebaik-baiknya. “

“Aku percaya kepadamu, Ki Tumenggung. Tetapi Ki Tumenggung jangan memberikan kesan, bahwa Pajang tidak dapat bertindak tegas atas Tanah Perdikan Sembojan. Kesan itu akan mengendorkan keterikatan Tanah Perdikan Sembojan dalam lingkungan kesatuan Pajang. Dihari-hari mendatang, sikap Kepala Tanah Perdikan itu akan dapat goyah lagi oleh satu sentuhan secara pribadi sekalipun atas Kepala Tanah Perdikan itu. “

“Hamba akan melakukan tugas ini sebaik -baiknya, Kangjeng. “sahut Ki Tumenggung Jayayuda .

Demikianlah, maka Ki Tumenggungpun mohon diri. Besok ia akan mendapat surat perintah untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di Tanah Perdikan Sembojan, serta surat perintah kepada Kepala Tanah Perdikan untuk menghadap Ki Tumenggung Jayayuda. Tetapi surat itu bukan lagi surat pribadi. Tetapi surat yang dapat dipakai sebagai alas bertindak atas Tanah Perdikan Sembojan, jika Kepala Tanah Perdikan itu tetap menolak untuk mela- kukannya. “ Di barak, Ki Tumenggungpun telah berbicara dengan Ki Rangga Dipayuda. Ki Tumenggung menyampaikan hasil pembicaraannya dengan Kangjeng Adipati di Pajang. “Kesabaran memang ada batasnya, Ki Rangga “berkata Ki Tumenggung.

“Aku mengerti, Ki Tumenggung “jawab Ki Rangga. “Besok aku akan memerintahkan lagi dua orang perwira

untuk pergi ke Tanah Perdikan dalam tugas keprajuritan. Keduanya akan menyampaikan surat perintah dan sekaligus menunggu jawaban Risang. Lesan atau tulisan. “

Ki Rangga mengangguk-angguk betapapun hatinya menjadi gelisah, la melihat kemungkinan buruk itu terjadi atas Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi pada akhirnya Ki Ranggapun tidak mau menanggung beban terlalu berat diatas pundaknya. Dalam keadaan yang mulai menghimpit perasaan itu, Ki Rangga mencoba untuk mengelak. “Alangkah rapuhnya hati Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu. Kemanjaannya di masa anak-anak membuat jiwanya tidak menjadi liat. Tetapi apakah hidup anak gadisku tergantung kepadanya? jika Riris memang memilih orang lain, ia berhak melakukannya. “

Ki Ranggapun kemudian justru telah mencari pijakan untuk menegakkan sikap yang pernah diambilnya. Bahkan kemudian ia berkata didalam hatinya “Aku harus melin - dungi anakku, termasuk pilihannya dan masa depannya.

Ketika malam kemudian menyelimuti Pajang maka Ki Tumenggung telah menerima surat yang harus disam- paikan kepada Kepala Tanah Perdika Sembojan dan surat perintah bagi dirinya sendiri. Nampaknya Kangjeng Adipati langsung memerintahkan para petugas di istana untuk menyiapkan surat itu.

Karena itu, maka Ki Tumenggungpun telah memanggil dua orang perwiranya. Keduanya telah diperintahkannya untuk pergi ke Tanah Perdikan Sembojan menyampaikan surat dari istana Pajang. “Kalian menunggu jawaban Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu. Lesan atau tulisan. Selanjutnya kalian tidak mendapat wewenang untuk mengambil tindakan lain. Ke- cuali melindungi diri sendiri jika perlu. “

Kedua orang perwira itu mengangguk-angguk kecil. Namun perintah itu membuat mereka berdebar-debar. Justru karena peringatan Ki Tumenggung bahwa mereka dapat melindungi diri sendiri.

Namun kemudian keduanya telah mendengar ceritera dari dua orang perwira yang pernah pergi ke Tanah Perdikan Sembojan sebelumnya. Mereka telah mencerite-rakan sikap kepala Tanah Perdikan yang masih kanak-kanak itu. Jauh berbeda dengan sikap ibunya yang pernah memangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan itu sebelumnya.

“Tetapi kami tidak perlu harus melindungi diri sen diri dalam pengertian kewadagan. Meskipun harga diri kami memang agak tersinggung “berkata salah seorang dari para perwira yang pernah datang ke Tanah Perdikan Sembojan itu.

Malam itu Ki Tumenggung telah pulang kerumahnya. la ingin mendapatkan suasana yang berbeda dari sasana yang muram di ruang khususnya di barak, la ingin melupakan wajah Ki Rangga Dipayuda yang muram serta melupakan sejenak persoalan Tanah Perdikan Sembojan.

Setelah makan malam, Ki Tumenggung sempat duduk di pringgitan bersama keluarganya. Nyi Tumenggung, anak perempuannya dan kedua orang kemanakannya yang ingin ikut dalam pendadaran untuk menjadi prajurit.

Bersama keluarganya, Ki Tumenggung dapat melupakan sejenak, -ketegangan-ketegangan yang dialaminya dalam menjalankan tugas-tugasnya.

Namun tiba-tiba saja Ki Tumenggung terkejut ketika anak gadisnya yang nakal itu bertanya “Ayah, siapakah orang yang hampir saja terinjak kaki kudaku itu? “

Dahi Ki Tumenggung berkerut. Sementara salah seorang kemanakan Ki Tumenggung itu menyahut “O, anak muda yang tampan.itu. “ “Aku tidak peduli tampan atau tidak tampan “jawab anak gadis Ki Tumenggung.

Kedua sepupunya tertawa. Namun mereka segera beringsut kebelakang Ki Tumenggung ketika gadis itu mengulurkan tangannya.

“Paman, tolong paman “desis salah seorang dari mereka. Ki Tumenggung tersenyum. Tetapi jantungnya menjadi berdebar-debar karena pertanyaan anak gadisnya itu. “Aku hanya ingin tahu saja “sambu ng gadis itu sambil mendekatkan dirinya pada ibunya.

Tetapi tiba-tiba gadis itu berdesis kepada kedua sepupunya “Awas jika kalian menjawab. “

Keduanya tertawa. .Sementara ibunya berkata “Sudahlah. Beri kesempatan ayah menjawab. “

Ki Tumenggung masih tersenyum. Dengan nada berat ia menjawab “Anak muda itu adalah Kepala Tanah Per -dikan Sembojan, “

“Masih begitu muda? “bertanya gadis itu diluar sadarnya “biasanya jika aku mendengar Kepala Tanah

Perdikan, Demang atau Bekel atau seorang Rangga dan Tumenggung adalah orang-orang setua ayah. “ 'Ayahnya tertawa. Katanya “Mungkin kau benar bahwa seorang Rangga dan Tumenggung biasanya sudah setua

ayah, karena kedudukan itu tidak dapat digapainya dengan serta merta. Seseorang harus memanjat dari tataran ke tataran, baru kemudian menjadi seorang Rangga dan Tumenggung. Tetapi berbeda dengan kedudukan seorang Kepala Tanah Perdikan. la menerima jabatan sebagai warisan yang dapat diterimanya langsung, la tidak harus mulai dari tataran yang lebih rendah dahulu. “

«

Anak gadis Ki Tumenggung itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak ingin memberikan kesan bahwa ia telah memperhatikan anak muda yang hampir terinjak kaki ku- - danya itu. Karena itu, anak gadis Ki Tumenggung itu tidak bertanya lagi. Untuk beberapa saat Ki Tumenggung masih duduk bersama keluarganya. Dihadapan mereka terhidang minuman hangat. Sekali-sekali Ki Tumenggung menghirup minumannya sambil ter senyum-senyum. Rasa-rasanya ia benar-benar terbebas dari segala macam ketegangan di- dalami baraknya.

Namun ketika udara malam menjadi semakin dingin, maka merekapun telah beringsut pindah ke ruang dalam. Namun kedua kemanakan Ki Tumenggung dan anak gadisnya itupun sudah mulai mengantuk, sementara esok pagi-pagi Ki Tumenggungpun harus sudah berada di baraknya kembali, sehingga karena itu, maka merekapun telah masuk kedalam biliknya masing-masing.

Namun masih terbersit pertanyaan dihati Ki Tumenggung “Kenapa anak itu telah menanyakan secara khusus anak muda yang hampir saja dilanggar oleh kudanya itu?

Namun kemudian Ki Tumenggung itu berkata pula kepada diri sendiri “Mudah -mudahan. hanya sekedar ingin tahu.

Bukan karena anak muda itu menarik perhatiannya. “

Ki Tumenggung justru menjadi berdebar-debar. Dengan sedikit menyesal ia berkata didalam hatinya “Seharusnya aku tidak mengundang anak itu kerumah ini.

Tetapi Ki Tumenggungpun kemudian berusaha untuk tidak menghiraukannya lagi. la menganggap bahwa anak gadisnya hanya sekedar ingin tahu saja, justru karena kudanya yang terkejut dan melonjak-lonjak itu.

Menjelang lajar, Ki Tumenggung sudah bersiap untuk berangkat ke baraknya. Namun ketika ia sedang minum minuman hangat diruang dalam, dua orang prajurit menuntun kudanya memasuki halaman rumahnya. Ke- duanya adalah prajurit yang diperintahkannya pergi ke Tanah Perdikan.

Kedua orang prajurit itu datang untuk melapor bahwa mereka sudah siap untuk berangkat. “Baiklah “berkata Ki Tumenggung “mumpung hari masih pagi. Sampaikan salamku kepada Risang. Mudah-mudahan hatinya terbuka. “

Kedua orang perwira itu saling berpandangan sejenak. Sengaja atau tidak, Ki Tumenggung telah memberikan isyarat tentang Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu. Dihubungkan dengan keterangan para prajurit yang pernah pergi ke Tanah Perdikan Sembojan dan menemui Kepala Tanah Perdikan itu, maka keduanya dapat mengambil kesimpulan bahwa mereka akan berhadapan dengan seorang yang keras hati.

Demikianlah, setelah minum barang seteguk, kedua orang itupun telah meninggalkan rumah Ki Tumenggung, berpacu ke Tanah Perdikan Sembojan.

“Mereka pergi menemui orang yang hampi r terinjak kudaku itu ayah? “bertanya anak gadis Ki Tumenggung.

Ki Tumenggung Jayayuda termangu-mangu sejenak. Namun kemudian anaknya bertanya pula “Apakah Tanah Perdikan Sembojan itu jauh sekali? “

“Kenapa? “bertanya ayahnya.

“Kedua orang prajurit itu ber angkat pagi-pagi sekali? Kapan mereka sampai? “

“Tanah Perdikan Sembojan memang jauh. “Namun gadis itu kemudian berkata “Kudaku masih

lebih baik dari kuda kedua orang prajurit itu. “ “Kedua ekor kuda itu adalah kuda yang sangat baik. Mungkin ujudnya sajalah yang kalah dari kudamu. “

Gadis itu mengerutkan dahinya. Tetapi ternyata ia bertahan “Tidak ayah. Aku sanggup berpacu melawan mereka. “ “Sudahlah. Aku harus segera pergi ke barak. “ '

“Masih terlalu pagi, ayah. Para prajurit di barak itu tentu masih belum bangun. “

“Tentu sudah. Mereka tentu sudah siap menerima perintah untuk menjalankan tugas. “

Anak gadisnya? tidak menjawab lagi. Keduanyapun kemudian masuk keruang dalam. Makan pagi telah tersedia bagi Ki Tumenggung yang akan menjalankan tugas di baraknya, sehingga dengan demikian, Ki Tumenggung akan segera kembali ke dalam suasana tugas-tugas keprajuritan.

Dalam pada itu, dua orang perwira tengah berpacu menuju ke Tanah Perdikan Sembojan. Satu perjalanan yang memang terhitung panjang. Namun keduanya memiliki ketahanan tubuh yang tinggi, sehingga keduanya dapat menempuh perjalanan mereka dengan cepat. Meskipun sekali-sekali mereka harus berhenti untuk memberi kesem- patan bagi kuda-kuda mereka untuk beristirahat, namun perjalanan mereka tidak berkepanjangan.

Ketika mereka sampai di Tanah Perdikan Sembojan, maka keduanya telah dipersilahkan naik ke pendapa. Kedua orang itu sudah mempunyai bekal sikap terhadap Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

Yang justru menerima mereka lebih dahulu adalah Nyi Wiradana. Seorang perempuan yang ramah, namun yang menilik sikap dan kata-katanya, perempuan itu memiliki kelebihan dari perempuan yang pernah dikenalnya.

Merekapun segera mengetahui, bahwa perempuan itulah Nyi Wiradana, ibu Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

Namun ketika Risang kemudian duduk diantara mereka, kedua orang prajurit itu segera mengerti, kenapa Ki Tumenggung Jayayuda berpesan mawanti-wanti kepada mereka, agar tidak mengambil tindakan apapun juga ter- hadap Kepala Tanah Perdikan yang masih muda itu. “Sudah b erapa kali Pajang mengirimkan perintah-perintah kepadaku “berkata Risang kepada kedua orang utusan .itu “seharusnya Pajang sudah tahu sikapku. Aku juga sudah bertemu dan berbicara langsung kepada Ki Tumenggung Jayayuda. Karena itu, seharusnya Ki Tumenggung sudah tidak merasa perlu untuk mengirimkan kalian kemari. “ “Pajang masih mengharapkan perkembangan sikap mu.

Mungkin dalam waktu terakhir, kau berubah pendirian desis ibunya yang menjadi semakin gelisah karena sikap anaknya itu.

Tetapi wajah Risang justru menjadi semakin gelap, la menjadi sangat kecewa terhadap ibunya. Seharusnya ibunya tidak berkata demikian dihadapan kedua orang prajurit Pajang itu, karena dengan demikian, maka kedua orang prajurit tahu, bahwa sikapnya itu adalah sikap pri- badinya. Bukan sikap Tanah Perdikan Sembojan.

Meskipun demikian Risang tidak menanggapi kata-kata ibunya kepada kedua orang prajurit itu ia berkata “

Aku tidak perlu menjawab lagi. Ki Tumenggung Jayayuda sudah tahu jawabku. “

“Ki Tumenggung masih menunggu jawaban te rakhir Kepala Tanah Ferdikan Sembojan “berkata salah se orang dari kedua orang perwira itu “jawaban terakhir inilah yang akan menentukan sikap Ki Tumenggung. “

“Jawabku sama seperti yang pernah aku ucapkan “jawab Risang dengan wajah tegang.

“Baik “berkata perwira prajurit Pajang itu “jelas bagi kami, apa yang harus kami lakukan. Kami adalah utusan terakhir. Setelah aku kembali dan memberikan laporan kepada Ki Tumenggung, maka Pajang akan mengambil sikap yang menentukan pula. “

“Kau tidak perlu mengatakan ap a-apa. Aku sudah dapat memperhitungkan sikap itu. “

“Kami akan mengatakannya. Itu kewajiban kami. Kau tidak dapat mencegah kami menjalankan tugas kami, karena kami tidak berada dibawah perintahmu “sikap perwira itu memang agak lain dengan sikap mereka yang pernah datang lebih dahulu ke Tanah Perdikan Sembojan.

Wajah Risang menjadi merah. Sementara perwira itu masih berkata selanjutnya “Atas nama Pajang, aku perintahkan kau mendengarkan perintah yang kami sampaikan ini baik- baik. “

“Tidak “bentak Risang “ini rumahku. Ini Tanah Perdikanku. Tidak ada orang yang dapat memerintah aku disini. “

“Tanah Perdikan ini disahkan oleh Pajang. Kekan -cingan atas Tanah Perdikan ini diberikan oleh Pajang, sehingga ada keterikatan antara Tanah Perdikan ini dengan Pajang. Semua bentuk perlawanan, oleh Pajang akan dapat diartikan sebagai pemberontakan. Dan kau, Kepala Tanah Perdikan Sembojan tentu tahu, tindakan apa yang akan diambil oleh Pajang terhadap pemberontak. “

“Cukup “bentak Risang yang menjadi marah. Namun Nyi Wiradanalah yang menengahi “Baik.

Baik. Pembicaraan ini sudah berakhir. Kedua belah pihak sudah memahami sikap masing-masing. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. “

Risang termangu-mangu sejenak. Sementara ibunya berkata kepada dua orang tamunya “Ki Sanak. Kali an sudah menjalankan tugas kalian dengan baik. Kalian akan dapat memberikan laporan kepada Ki Tumenggung Jaya-yuda.

Jika kalian harus menunggu jawaban lesan atau tertulis, maka Kepala Tanah Perdikan Sembojan sudah menjawab. Jawaban itu justru sudah diucapkan langsung kepada Ki Tumenggung Jayayuda sendiri. “

Kedua orang perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Namun keduanya mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata “Baik, Nyi. Kami mengerti. “

“Jika demikian, maka sebaiknya .kita tidak ber bicara lagi tentang persoalan Tanah Perdikan ini. Kami ingin mempersilahkan Ki Sanak berdua untuk beristirahat. Kami berharap bahwa Ki Sanak bersedia bermalam di rumah ini. Apapun yang kita bicarakan, maka hubunganj kita sebagai sesama tidak harus terpengaruh karenanya. “

Jawaban salah seorang diantara mereka memang me- ngejutkan. Sambil mengangguk hormat kepada Nyi Wira- dana ia berkata “Baiklah Nyi. Aku akan bermalam disini. “ Wajah Risang berkerut. Utusan Ki Jayayuda yang ter- dahulu, kecuali kedua orang abdinya, tidak bersedia ber- malam, justru karena mereka merasa tersinggung. Tetapi kedua orang ini agaknya memang lain.

Namun dalam pada itu, Risangpun berkata “Baik lah. Jika pembicaraan sudah selesai, maka aku akan meneruskan tugas-tugasku. Aku tidak dapat duduk disini terkantuk- kantuk, sementara tugasku terbengkelai. “

Risangpun kemudian meninggalkan kedua orang tamunya. Nyi Wiradanalah yang kemudian menemui mereka.

Mengantar kedua tamunya minum dan makan sebelum mempersilahkan tamunya ke gandok untuk beristirahat. Kepada seorang pembantu dirumah itu, Nyi Wira-dana memerintahkan agar melayani secara khusus kedua orang tamu itu dan menunjukkan dimana letaknya paki wan.

Sementara itu, yang lain telah merawat kedua ekor kuda milik kedua orang prajurit itu.

Didalam bilik mereka, keduanya sempat menilai sikap yang berbeda antara ibu dan anaknya. Mereka tidak mendapat penjelasan dari Ki Tumenggung, kenapa hati Risang menjadi batu. Bahkan sikapnya kepada Pajang telah beru- bah.

Karena itu, bagi kedua orang prajurit itu, maka sikap Risang adalah satu pemberontakan yang harus diselesai- kan dengan segera dengan sikap seorang prajurit.

Meskipun demikian, keduanya telah mendapat pelayanan yang baik di Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi keduanya tahu, bahwa ibu Kepala Tanah Perdikan itulah yang telah mengaturnya.

“Nampaknya ada perbedaan pendapat antara ibu dan anaknya “berkata salah seorang dari antara kedua orang prajurit itu. _

Kawannya mengangguk-angguk. Dengan agak ragu ia menjawab “Pengalaman dan kematangan berpik ir Nyi Wiradana lebih mendasari sikapnya daripada kemudaan anaknya, sehingga justru terjadi jarak yang nampaknya semakin lama semakin lebar. “ Dihari berikutnya, pagi-pagi benar keduanya telah bersiap. Ternyata Nyi Wiradana telah menyiapkan makan pagi buat mereka. Sampai saatnya keduanya minta diri, sikap Nyi Wiradana tetap ramah meskipun selalu menunjukkan bahwa ia memiliki ketajaman nalar dan budi.

Wajah Risang masih saja masam ketika ia harus melepas kedua orang perwira itu. Sebelum matahari terbit, maka keduanya telah berangkat meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan.

Sepeninggal kedua orang perwira itu, tanpa mengatakan sesuatu, Nyi Wiradana langsung masuk kedalam biliknya, sementara Risang duduk di pringgitan. Beberapa saat Risang sempat merenungi sikapnya. Namun setiap kali nuraninya melihat sepercik cahaya terang dihatinya, maka iapun langsung memadamkannya dengan hentakan- hentakan kekecewaannya. Namun kemudian yang lebik mencuat dipermukaan adalah ketelanjurannya. Risang tidak mau lagi melangkah surut. Bahkan Risang masih saja dihinggapi anggapan, bahwa dalam keadaan gawat, Pajang tidak akan dapat banyak berbuat sesuatu, karena kekuatannya seluruhnya ditujukan kearah perlawanannya terhadap Madiun yang memiliki jumlah pasukan yang sangat besar.

Namun tiba-tiba saja Risang terkejut, la melihat ibunya keluar dari pintu pringgitan dengan pakaian khususnya. Dikedua lambungnya tergantung pedang.

Didepan pintu pringgitan itu ibunya berdiri sambil bertolak pinggang. Katanya dengan suara lantang “Risang, perintahkan menyiapkan kudaku. “

“Ibu, ibu akan pergi kemana. Dan apa yang akan ibu lakukan sepagi ini? “

“Cepat. Lakukan. Kau anakku. Apapun jabatan -mu, aku berhak memerintah anakku. “

*** 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar