Sayap-Sayap Yang Terkembang Jilid 57

Jilid 57

Ki Ranggapun kemudian bertanya kepada Risang “ Apakah mereka diperkenankan duduk diserambi gandok? “

“ Silahkan, silahkan Ki Sanak “ j awab Risang.

Risangpun kemudian telah memanggil Gandar yang ada diruang belakang. Dimintanya Gandar untuk menemani para prajurit yang datang bersama Ki Rangga itu.

Demikian para prajurit itu berada di gandok, maka Ki Ranggapun berkata “ Kami memang memb awa tugas yang penting yang harus kami sampaikan kepada Nyai dan kepada Kepala Tanah Perdikan Sembojan. “

Maaf Ki Rangga “ berkata Risang kemudian “ seharusnya kami mempersilahkan tamu-tamu kami untuk beristirahat dahulu sebelum harus terlalu banyak berbicara. Tetapi rasa-rasanya keinginan tahuku sangat mendesak, sehingga sebelum Ki Rangga sempat minum barang seteguk, kami mohon Ki Rangga bersedia mengatakannya. “

Sebenarnyalah bahwa yang aku emban sekarang adalah satu tugas. “ berkata Ki Rangga kemudian “ tugas yang tidak dapat selesai dalam sekejap. Karena itu, yang ingin aku sampaikan adalah tujuan tugas kami bertiga. Selanjutnya terlaksananya tugas tersebut dapat ditunda sampai esok, lusa atau kapan saja. Tanpa batas waktu, tetapi dituntut untuk secepatnya selesai.

Risang dan Nyi Wiradana sama sekali tidak menyahut. Tetapi wajah mereka nampak tegang. Mereka benar-benar ingin tahu, pesan apa yang telah dibawa oleh sekelompok utusan dari Pajang itu. Ki Ranggapun kemudian bertanya “ Apakah kau masih ingat Ki Lurah Mertapraja? “

“ Tentu “ jawab Risang.

“ Kemudian susulan laporan dari Tanah Perdikan ini tentang ketiga orang yang akan menculik angger Risang untuk ditukar dengan Ki Lurah. “

Ya Ki Rangga. “

Nah, persoalannya memang sudah berkembang.

Risang mengerutkan dahinya. Dengan nada rendah iapun bertanya “ Apakah ada perkembangan baru dalam hubungannya dengan Ki Lurah Mertapraja? “

Ki Ranggapun kemudian telah menceriterakan apa yang sudah dilakukan di Pajang atas Ki Lurah Mertapraja, sehingga telah terlontar pengakuannya tentang harta” benda yang disimpan oleh pamannya itu.

“ Apakah kebijaksanaan Pajang kemudian setelah Ki Lurah memberikan pengakuan, meskipun dalam keadaan tidak sadar sepenuhnya itu? “ bertanya Risang.

Ki Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata “ Kami harus membuktikan, apakah harta -benda itu ada atau tidak. Jika memang benar ada, kami harus menyelamatkannya. Jika tidak mungkin menyingkirkannya atau bahkan jika perlu menghancurkannya sama sekali. “

Risang menarik nafas dalam-dalam, sementara Nyi Wiradana mengangguk-angguk kecil. Hampir diluar sadarnya Nyi wiradana berkata “ Agaknya itu memang jalan yang terbaik yang dapat ditempuh oleh Pajang. Jika tidak, maka harta-benda itu, jika benar ada dan sebanyak yang kita bayangkan, akan dapat dipergunakan untuk tujuan- tujuan yang salah sebagaimana dikatakan oleh Ki Lurah Mertapraja, meskipun yang disebut Ki Lurah adalah karena tuah pusaka-pusakanya. “ Untuk itulah kami datang kemari “ berkata Ki Rangga, kemudian “ ka rena persoalannya tumbuh dari Tanah Perdikan ini, maka kami ingin mengajak Tanah Perdikan ini untuk membuat penyelesaian. Kami sependapat bahwa sebelum harta benda itu diselamatkan atau dihancurkan, maka masih akan selalu ada usaha untuk mengambil Ki Lurah Mertapraja dengan segala macam cara. Kami juga tidak ingin harta-benda itu jatuh ketangan Madiun. Sementara itu, kami juga tidak akan membuat kesan bahwa kami telah mengambil langkah sendiri tanpa berbicara lebih dahulu dengan Tanah Perdikan Sembojan. “

Kami tidak akan berpendapat demikian Ki Rangga “ sahut Risang “ bukankah segala sesuatunya telah kami serahkan kepada kebijaksanaan Pajang? Langkah apapun yang diambil oleh Pajang, itu adalah haknya. “

Ki Rangga tersenyum. Katanya kemudian “ Kami memang percaya bahwa tidak akan timbul persoalan di Tanah Perdikan ini. Tetapi niat kami yang lain adalah menawarkan kerja sama kepada Tanah Perdikan ini. -”

“ Maksud Ki Rangga? “ bertanya Risang.

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya “ Bagaimana pendapatmu jika kita bersama-sama berusaha menemukan harta-benda itu? “

Risang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “ Ki Rangga. Sudah aku katakan bahwa kami tidak menginginkan apapun juga. Yang kami lakukan adalah karena panggilan kewajiban kami untuk memberikan laporan tentang peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Tanah Perdikan ini. Demikian pula tentang usaha berbagai pihak untuk menguasai harta-benda yang hanya diketahui oleh Ki Lurah Mertapraja selain pamannya yang dikatakan terluka-parah itu. “ “ Kami mengerti “ jawab Ki Rangga dengan serta - merta. Lalu katanya kemudian “ tetapi kamipun mengerti bahwa Tanah Perdikan ini memiliki kemampuan untuk ikut serta melaksanakan perintah Pangeran Gagak Ba-ning. “

Risang mengangguk-angguk pula. Dengan nada rendah ia berkata “ Jika itu perintah, maka kami tidak akan mengelak. “

“ Angger Risang “ berkata Ki Rangga “ kami memang mempunyai beberapa kepentingan. Mungkin kami masih ingin berbicara dengan orang-orang yang sampai sekarang masih menjadi tawanan disini. Namun sebenarnyalah kami juga merasa tidak mapan seandainya kami melakukannya sendiri, seolah-olah kami telah membelakangi Tanah Perdikan yang justru memberikan laporan. Selanjutnya, jika kita dapat melakukan bersama-sama, maka akan ada saksi, apakah harta-benda itu ada atau tidak. Jumlahnya memadai atau tidak. Yang terakhir, kami sebenarnyalah juga mengemban perintah bagi Tanah Perdikan ini. Justru dalam keadaan gawat, maka Pajang tidak dapat mengirimkan prajurit lebih dari Ki Lurah Kasadha dan seorang pemimpin kelompok dalam pasukannya.

Selebihnya, kami sampaikan permintaan Pajang agar Tanah Perdikan ini membantu mereka berdua. “

Risang memandang ibunya sekilas. Ternyata Nyi Wiradana itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Ka- tanya “ Ki Rangga, sebenarnyalah bahwa Ki Rangga tidak menyampaikan permintaan Pajang, tetapi perintah Pangeran Gagak Baning. Dengan demikian, maka kami tidak mempunyai pilihan lain, bahwa kami akan membantu Ki Rangga. “ Pembicaraan itu memang tidak berkepanjangan. Risang telah mengenal Ki Rangga dengan baik. Ki Ranggapun telah mengenal Risang dengan baik pula. Karena itu, maka Risangpun kemudian berkata “ Baiklah Ki Rangga. Jika Ki Lurah Kasadha yang akan berangkat, maka biarlah aku menyertainya. Aku akan menitipkan Tanah Perdikan ini kepada ibu. “

Ketika dengan ragu-ragu Risang memandang ibunya, ternyata ibunya juga menganguk. Bahkan Nyi Wiradana itupun berkata “ Ternyata Risang sendiri bersedia untuk pergi bersama angger Kasadha ke Madiun. Aku memang tidak berkeberatan. Aku yakin bersama angger Kasadha, maka Risang akan berbuat sebaik-baiknya bagi Pajang. “

Malam itu juga ternyata pokok-pokok pembicaraan-pun telah selesai. Yang perlu mereka lakukan kemudian adalah melengkapi keterangan-keterangan dari orang-orang yang masih tertawan di Tanah Perdikan itu.

Sementara itu, telah dihidangkan pula minuman hangat dan makanan. Bahkan kemudian dihidangkan pula nasi yang masih mengepul.

Ketika kemudian matahari terbit di keesokan harinya, maka segala persiapanpun mulai dilakukan. Kasadha me- mang tidak akan berangkat pada hari itu. Tetapi bersama Risang mereka masih akan berusaha mendapatkan ketera- ngan. Apalagi kemudian Ki Ranggapun telah mengatakan pula niatnya untuk menitipkan kesediaannya mencari paman Ki Lurah Mertapraja.

Hari itu, selagi Ki Rangga masih berada di Tanah Per- dikan, maka bersama Kasadha dan Risang mereka telah menemui Ki Sabawa. Memang tidak banyak yang dapat mereka ketahui tentang paman Ki Lurah, tetapi sedikit banyak mereka mendapat ancar-ancar kemana mereka harus mencarinya.

Jadi paman Ki Lurah itu justru ada didalam kota Madiun? “ bertanya Ki Rangga.

Semula memang demikian Ki Rangga “ jawab Ki Sabawa.

Tetapi setelah terjadi pemberontakan, orang itu jatuh ketangan siapa? Ketangan pengikutnya sendiri atau ketangan lawan-lawannya? “

Ki Sabawa termangu-mangu sejenak. Namun Risang kemudian mendesaknya” Kau termasuk pengikut paman Ki Lurah atau sebaliknya kauberadadipihak mereka yang telah memberontak? “

Ketika peristiwa itu terjadi, aku tidak ada di per- guruan. “ jawab Ki Sabawa “ terus terang ngger, aku tidak berdiri dikedua belah pihak. “

Menurut Ki Sabawa, siapa sajakah orang-orang yang pernah berusaha membebaskan Ki Lurah yang saat itu masih berada di Tanah Perdikan ini dengan kekuatan yang cukup besar sebelum Ki Sabawa melakukannya. Menurut pengertian kami, mereka adalah kawan-kawan Ki Sabawa. “

Aku memang berhubungan dengan mereka, tetapi sebenarnya aku bukan termasuk diantara mereka. Sebenarnyalah kami berniat saling memanfaatkan. Tetapi pada suatu saat dapat saling berbenturan kepentingan, “

Ki Rangga tidak bertanya terlalu banyak. Dari Ki Sabawa ia mendengar bahwa paman Ki Lurah itu juga sering dipanggil Kiai Mawur. Tetapi Ki Sabawa tidak tahu nama sebenarnya.

Tetapi Ki Lurah Kasadha dan Risang memang merasa bahwa bekal mereka sudah cukup. Karena itu, maka merekapun sudah siap untuk berangkat setiap saat. Namun Nyi Wiradana masih minta agar Risang tidak berangkat sendiri disamping Kasadha dan pemimpin ke- lompok itu.

“ Bawa kedua pamanmu, Sambi Wulung dan Jati Wulung.

Risang mengangguk kecil. Tetapi ia masih bertanya kepada Kasadha “ Apakah kau berkeberatan? “

“ Tidak “ jawab Kasadha dengan serta -merta. Ia tahu benar bahwa kedua orang itu berilmu tinggi, sehingga akan sangat berarti bagi tugas mereka. Apalagi keduanya menurut penilaian Kasadha adalah orang-orang yang sangat dapat dipercaya.

Dengan demikian, maka dalam pembicaraan selan- jutnya, mereka yang akan berangkat ke Madiun seluruhnya berjumlah lima orang. Sambil tersenyum Ki Rangga kemudian berkata “ Beban terberat ternyata justru berada di pundak Tanah Perdikan Sembojan.

“ Yang kami lakukan adalah kewajiban, Ki Rangga “ jawab Risang.

Ki Rangga mengangguk-angguk kecil. Katanya “ terima kasih, atas nama Pajang. “

Dalam pada itu Ki Rangga telah menyerahkan segala sesuatunya kepada Kasadha. la telah mempercayakan Ki Lurah Kasadha memimpin sekelompok orang yang akan melakukan tugas yang cukup berat itu. Sementara Ki Rangga sendiri memutuskan, dihari berikutnya ia akan kembali ke Pajang bersama para prajurit.

“ Kami juga akan berangkat esok pagi, Ki Rangga “ berkata Kasadha kemudian.

“ Berhati-hatilah “ desis Ki Rangga. Ibu Risangpun telah memberikan pesan yang sama. “ Berhati-hatilah. “

Seperti yang direncanakan maka di keesokan harinya, maka segala sesuatunya telah dipersiapkan dengan baik. Ki Rangga telah bersiap-siap untuk kembali ke Pajang, sementara Kasadha Risang serta ketiga orang yang lain akan pergi ke Madiun.

Merekapun meninggalkah rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan hampir berbareng- demikian Ki Rangga dan para prajurit berderap, diatas Punggung kuda, maka Kasadha, Risang dan ketiga orang yang lain meninggalkan Tanah Perdikan itu dengan berjalan kaki. Mereka menganggap bahwa mereka akan lebih baik melakukan tugas mereka tanpamembawa seekor kudapun.

Dalam tugasnya, maka Kasadha, Risang dan ketiga orang yang bersamanya bertusaha untuk tidak menarik perhatian banyak orang. Mereka tidak berjalan berlima dalam satu kelompok. Tetapi Kasadha dan Risang berjalan dipaling depan, kemudian beberapa langkah dibe-lakang mereka Sambi Wulung Jati Wulung dan pemimpin kelompok itu berjalan mengikuti-

Pakaian yang mereka kenakanpun tidak lebih dari pakaian orang kebanyakan.

Demikianlah, maka kedua anak muda yang kebetulan adalah kakak beradik itu telah mulai dengan satu tugas yang berat, menyusup kedalam satu lingkungan yang masih belum terlalu mereka kenal. Naimun merekapun menyadari, bahwa di Madiun ada beberapa orang yang berilmu tinggi. Bahkan orang-orang dari perguruan Wukir Gading tentu juga terdiri dari orang-orang berilmu tinggi.

Dengan demikian maka orang-orang yang berangkat ke Madiun itu benar-benar harus mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Baik terhadap para petugas di Madiun jika terjadi salah paham atau bahkan mungkin dianggap petugas sandi dari Mataram atau Pa- jang, namun juga menghadapi orang-orang Wukir Gading sendiri yang juga menghendaki harta benda yang disem- bunyikan itu.

Ketika mereka mendekati Madiun, maka mereka ber- limapun segera membagi diri. Kasadha dan Risang akan memisahkan diri dari Sambi Wulung, Jati Wulung dan pe- mimpin kelompok yang menyertai Kasadha itu.

Ternyata Sambi Wulung dan Jati Wulung yang ber- tualang dimasa mudanya sudah mengenal lingkungan Ma- diun dan sekitarnya, meskipun belum terlalu banyak. Ka- rena itu, maka Sambi Wulung dapat serba sedikit membe- rikan petunjuk arah bagi Kasadha dan Risang.

Kita akan bertemu besok malam di sebelah Barat bukit kecil itu. Aku tahu disebelah Barat bukit itu ada apanya. Namun jika tidak memungkinkan, kita akan bertemu disebelah Selatan bukit. Kita akan membicarakan kemungkinan-kemungkinan selanjutnya. Tetapi kami berusaha bahwa sebelum kita bertemu, kami akan mene- mui Ki Remeng. Pekatik yang pernah disebut-sebut oleh Ki Lurah Mertapraja. “ berkata Kasadha.

Baiklah “ jawab Sambi Wulung “ sebelumnya kami akan berusaha untuk mengetahui lingkungan bukit kecil itu. “

Kita harus mengingat kemungkinan, bahwa orang- orang Wukir Gading telah menemukan tempat itu atau sedang mengamati tempat itu pula “ berkat a Risang ke- mudian.

Sambi Wulung mengangguk-angguk. Katanya “ Kami akan melihat-lihat keadaan kota pula. “ “ Berhati-hatilah. Suasana kota Madiun tentu tidak ubahnya dengan Pajang bahkan Mataram. Madiunpun tentu berada dalam kesiagaan tertinggi sebagaimana Pajang dan Mataram. Sebaiknya kita tidak terlibat dalam persoalan yang lain lebih dahulu sebelum tugas pokok kita, kita laksanakan. “ pesan Kasadha.

“ Baiklah “ sahut Sambi Wulung “ kami hanya akan melihat-lihat. Kami memang tidak akan berbuat sesuatu, kecuali ada hubungannya dengan tugas kita. “

Demikianlah, setelah semuanya jelas bagi kedua belah pihak, maka kedua kelompok kecil itupun berpisah. Kasa- dha dan Risang akan langsung menuju ke padukuhan Salam untuk berusaha bertemu dengan Ki Remeng, semen- tara yang lain akan mengamati lingkungan bukit kecil itu, meskipun mereka akan singgah di kota Madiun.

Kasadha dan Risang berusaha untuk dapat langsung menuju ke padukuhan Salam, yang berada tidak jauh dari kota Madiun, diarah Selatan.

Kasadha dan Risang sudah memutuskan untuk menemui Ki Remeng di malam hari. Namun sebelum gelap mereka harus sudah menemukan padukuhan dan rumahnya.

Mungkin mereka perlu bertanya-tanya atau cara lain yang dianggap paling baik menurut kemungkinan yang akan mereka hadapi.

Ketika matahari sudah menjadi semakin rendah, maka Kasadha dan Risangpun telah mendekati sebuah padukuhan yang bernama Salam. Seorang petani yang sedang bersiap-siap untuk pulang, telah memberikan petunjuk kemana mereka harus pergi.

“ Apakah Salam terletak didekat sebuah bukit kecil? bertanya Kasadha. Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian “ Tidak. Kalau yang Ki Sanak maksudkan bukit kecil berbatu-batu itu, letaknya ditengah-tengah hutan perdu. Dari padukuhan Salam masih berantara satu bulak yang luas dan hutan perdu yang masih liar karena belum disentuh tangan. Belum ada seorangpun yang berminat membuka hutan perdu itu, karena tanahnya yang kering dan kekurangan air. Hanya dimusim hujan hutan perdu itu mendapat air secukupnya. Namun kemudian kering lagi dimusim kemarau. “

Apakah Ki Sanak sudah sering pergi ke padukuhan Salam? “ bertanya Risang.

Ya. Padukuhan itu tidak terlalu jauh lagi. Aku mempunyai beberapa orang sanak kadang tinggal di padu- kuhan Salam. “

“ Apakah Ki Sanak mengenal Ki Remeng? Ia seorang adik dari kakekku “ bertanya Risang.

Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia menggeleng. Katanya “ belum. Aku belum mengenal orang itu. Apakah ia sudah tua? “

Ya. Sudah lewat separo baya “ jawab Risang. Petani itu termangu mangu. Namun sekali lagi ia menggeleng “ Aku belum mengenalnya. Padahal hampir semua orang telah aku kenal. Apalagi orang-orang tua. Apakah ia orang baru? “

Risang memang agak kesulitan menjawab pertanyaan itu. Bahkan ketika ia berpaling kepada Kasadha, maka Kasadhapun nampaknya tidak dapat menjelaskannya. Ka- rena itu, maka Risangpun menjawab sekenanya “ Bukan. Ia bukan orang baru. “ Orang itu menjawab sekali lagi “ Sayang anak -anak muda. Aku tidak mengenalnya. “

Kasadha dan Risangpun kemudian minta diri untuk melanjutkan perjalanan mereka ke padukuhan Salam. Na- mun disepanjang jalan Kasadha bergumam “ Satu kesa - lahan yang telah kami lakukan. Kami tidak mempunyai bahan yang lengkap tentang Ki Remeng. Seharusnya kami mengetahui segala sesuatunya, sehingga kami akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti yang diajukan oleh orang itu.

Tetapi menurut dugaanku, Ki Remeng adalah orang baru di padukuhan itu. Jika ia sebelumnya menjadi pekatik seperti yang kau katakan, maka ia tentu belum terlalu lama tinggal di padukuhan itu. Mungkin seumur dengan disembunyikannya harta benda di bukit itu. “ sa hut Risang.

Ya. Agaknya ia tidak tinggal di padukuhan itu selama ia menjadi pekatik. “ Kasadha mengangguk -angguk. Namun katanya kemudian “ Atau ia dikenal dengan nama lain di padukuhan itu. “

Risang tidak menjawab. Tetapi ia juga mengangguk- angguk kecil.

Demikianlah, maka keduanyapun telah berjalan menuju ke padukuhan Salam. Memang tidak terlalu sulit untuk menemukan padukuhan itu. Namun sementara itu, matahari telah menjadi semakin rendah. Bahkan sudah mulai melekat ke punggung pegunungan diarah Barat.

Namun keduanya masih sempat bertemu dengan seorang laki-laki tua yang berjalan lambat menuju ke sudut padukuhan sambil membawa cangkul. Agaknya orang tua itu juga baru saja pulang dari sawah.

Kepada laki-laki tua itu Kasadha bertanya “ Kek. Apakah benar, padukuhan ini padukuhan Salam? “ Laki-laki tua itu mengangguk-angguk sambil menjawab “ Benar anak-anak muda. Padukuhan ini adalah padukuhan Salam. “

Terima kasih kek. Tetapi apakah kami boleh bertanya lagi, apakah kakek mengenal saudara kami yang bernama Ki Remeng? “ bertanya Kasadha.

Ki Remeng? “ orang itu mengerutkan dahinya. Dipandanginya kedua orang anak muda itu berganti-ganti.

Kasadha dan Risang menjadi berdebar-debar. Mereka berharap mudah-mudahan bukan orang itulah yang ber- nama Ki Remeng yang sudah mereka sebut sebagai saudara mereka.

Namun orang itu kemudian bertanya “ Ki Remeng siapakah yang kalian maksud? Apakah orang itu sudah setua aku? “

Kasadha dan Risang memang agak menjadi bingung. Mereka tidak tahu umur Ki Remeng. Bahkan kira-kirapun tidak. Namun Kasadhapun kemudian menjawab untung- untungan “ Ya. kek. Sudah hampir setua kakek. “

Orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya “ Jangan bertanya tentang Ki Remeng anak-anak muda. “

Kasadha dan Risang terkejut mendengar jawaban itu.

Hampir berbareng mereka bertanya “ Kenapa kek? “

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya “ Aku letih anak -anak muda. Aku baru saja membuka pematang untuk mengalirkan air kedalam kotak-kotak sawahku. “

Tetapi kami ingin menemui Ki Remeng itu kek “ berkata Risang. Anak-anak muda “ berkata orang tua itu tanpa menghiraukan kata-kata Risang “ sudah tiga hari anakku pergi mengunjungi pamannya yang bekerja di Madiun se- hingga aku harus pergi kesawah sendiri. Dua hari lagi ia baru kembali. “

Kasadha dan Risang mengangguk-angguk. Tetapi Risang mendesaknya “ Kek, tolong sebelum matahari tenggelam.

Aku ingin menemuinya. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan Ki Remeng. “

Tetapi orang tua itu berkata “ Aku haus sekali anak -anak muda. Aku ingin segera pulang dan minum air sejuk dari gendiku buatan Wangon. Rasa-rasanya airnya lebih sejuk dari air gendi buatan manapun. “

Kasadha dan Risang hanya saling berpandangan ketika orang tua itu meneruskan langkahnya yang berat.

“ Kenapa dengan Ki Remeng “ desis Risang. Namun katanya kemudian “ Tetapi ia tentu tinggal di padukuhan ini. “

“ Ya. Menilik jawaban orang tua itu, Ki Remeng tentu tinggal di padukuhan ini. Tetapi tentu ada alasannya, kenapa ia tidak mau menunjukkan rumah Ki Remeng. “

Kedua orang anak muda itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu langit menjadi semakin suram. Mata-haripun sudah menjadi sangat rendah.

Seorang anak laki-laki yang duduk diatas tanggul parit sibuk memperbaiki icir yang agaknya akan segera dipergunakan. Kasadha dan Risang memang memper- hatikan anak itu. Mungkin anak itu mau memberikan keterangan tentang tempat tinggal Ki Remeng. Namun sebelum keduanya mendekat, seorang anak yang lain berlari-lari keluar dari regol halaman rumah disudut padukuhan itu sambil membawa sepotong bambu dan pisau. Anak itupun kemudian duduk pula disebelah kawannya yang sedang sibuk itu. Agaknya sepotong bambu itu akan dipergunakannya menyulami icirnya yang rusak.

Kasadha dan Risang melihat anak yang memperbaiki icir itu berbisik kepada kawannya. Sejenak kemudian kawannya itu berpaling kearah Kasadha dan Risang. Namun keduanyapun kemudian tertawa tertahan-tahan.

Sikap anak-anak itu memang menarik perhatian. Karena itu, maka Kasadha dan Risangpun telah melangkah mendekat.

Tetapi kedua orang anak itu segera terdiam. Mereka berusaha agar mereka tidak tertawa sama sekali.

Risangpun kemudian berjongkok disebelah anak yang sedang memperbaiki icir itu. Agaknya anak itu menjadi ketakutan, la bergeser mendesak kawannya yang juga ber- ingsut sejengkal.

“ Hari sudah gelap anak-anak. Kalian masih bermain- main dengan pisau. Nanti tanganmu dapat tergores pisaumu yang tajam itu. “ berkata Risang.

Keduanya saling berpandangan. Seorang diantara me- reka kemudian menjawab “ Icir ini malam nanti akan kami pergunakan untuk menutup pliridan disungai itu. “

lcirmu sudah tua. Kenapa tidak membuat atau lebih mudah membeli yang baru saja? “

Aku belum dapat membuat icir “ jawa b anak itu. Sementara kawannya berkata “ Untuk membeli yang baru, kami tidak mempunyai uang. “

Risang mengusap kepala anak itu sambil berkata “ Sebaiknya kau membeli saja. “ Diluar dugaan anak-anak itu Risang telah mengambil uang dua keping. Diberikannya kepada anak itu sambil berkata “ Besok kau dapat membelinya. Bukankah uang ini cukup untuk membeli icir yang baru? “

Sekali lagi keduanya berpandangan. Mereka tidak segera berani menerima uang itu. Namun Risang telah meletakkan uang itu ditelapak tangan anak yang sedang memperbaiki icir itu sambil berkata “ Ambillah. Jangan ragu -ragu. “

Sebelum anak itu menjawab, Risang telah bangkit berdiri sambil berkata “ Nah, sekarang berhentilah ber main dengan pisau itu. Hari sudah benar-benar gelap. Pulanglah. Nanti orang tuamu mencarimu. “

Anak yang berlari-lari keluar dari regol halaman rumah disudut itu berkata “ Itu rumahku. Dekat sekali.

“ Dan kau? “ bertanya Risang kepada yang seorang. “ Disebelahnya. Regol halamannya sudah kelihatan

pula dari sini. “ jawab a nak itu.

Namun sebelum Risang beranjak pergi, tiba-tiba saja ia bertanya “ He, apakah Kau mengenal Ki Remeng? “

Kedua anak itu kembali saling berpandangan. Mereka bahkan menahan tertawa mereka.

“ Kenapa? Apakah ana yang lucu? “ bertanya Risang.

Anak yang diberi uang itu menjawab “ Aku tadi mendengar kakang bertanya tentang mbah Remeng kepada orang tua yang lewat itu. “

Ya, kenapa? Kami memang mencari seorang keluarga kami yang sudah lama pergi. “ jawab Risang.

Orang itulah mbah Remeng. “ jawab anak itu. “ He? “ Risang dan Kasadha membelalakkan matanya “ jadi orang itukah Ki Remeng? “

“ Ya “ kedua orang anak itu tertawa lagi.

Kasadha dan Risangpun tertawa pula. Disela-sela suara tertawanya Risang berkata “ Sudah lama sekali kami tidak berjumpa dengan Ki Remeng. Kami memang agak lupa dengan wajahnya. Terima kasih anak-anak. Tetapi dimana rumah mbah Remeng itu? “

Kedua anak itu sama sekali tidak mengerti persoalan yang menyelubungi kehidupan Ki Remeng. Mereka mengenal Ki Remeng seorang tua yang memang senang bergurau dengan anak-anak. Karena itu, maka merekapun mengira bahwa Ki Remeng memang sedang bergurau mes- kipun kedua orang anak muda itu benar-benar sedang mencarinya. Sehingga karena itu, maka merekapun telah menunjukkan pula dimana rumah Ki Remeng.

Kasadha dan Risang mengangguk-angguk. Namun Kasadha masih bertanya “ Tetapi apakah benar Ki Re meng mempunyai seorang anak yang sedang pergi ke Madiun seperti yang tadi  dikatakannya? “

Sepengetahuanku tidak “ jawab anak yang mem bawa pisau. “ mbah Remeng tinggal seorang diri sejak dahulu. “

Apakah mbah Remeng orang baru disini? “ ber tanya Kasadha.

Kedua anak itu nampak merenung. Tetapi yang sedang memperbaiki icir itu menjawab “ Aku tidak tahu. Tiba -tiba saja aku tahu mbah Remeng sudah ada dirumah-nya, dipinggir desa ini. “

Kasadha dan Risangpun kemudian sekali lagi mengucapkan terima kasih sebelum mereka meninggalkan kedua orang anak itu. Namun sekali lagi Risang berpesan “ Jangan bermain-main lagi. Apalagi dengan pisau. Lihat, lampu sudah menyala dipadukuhan. “

“ Kami akan kesungai untuk membukan pliridan “ jawab salah seorang anak itu.

Kasadha dan Risang tidak menyahut lagi. Sulit untuk melarang anak-anak yang mempunyai salah satu kese- nangan. Termasuk membuat pliridan di sungai. Apalagi jika dengan pliridan itu mereka dapat menangkap banyak ikan sungai.

Namun seperti yang mereka rencanakan, maka Kasadha dan Risang akan datang kerumah Ki Remeng di malam hari. Keduanya menduga bahwa pembicaraan tentang harta-benda berharga yang disembunyikan itu tentu tidak akan dapat berlangsung lancar. Tentu ada hambatan- hambatan yang mungkin justru menjadi keras.

Kasadha dan Risangpun sependapat, bahwa Ki Remeng tentu bukan orang kebanyakan. Namun mereka agak menyesal, bahwa mereka tidak sempat memperhatikan orang tua yang telah mereka sapa didudut padukuhan.

“ Kita menunggu sampai tengah malam. “ berkata Kasadha dengan dahi yang berkerut.

Sambil mengangguk Risang menjawab “ Kita akan keluar dari padukuhan lebih dahulu. “

Keduanya memang tidak segera pergi kerumah Ki Re- meng. Tetapi keduanya justru keluar dari padukuhan menuju kebulak panjang.

Ketika mereka melihat sebuah gubug kecil ditengah- tengah bulak, maka merekapun mendekatinya. Setelah mereka yakin bahwa gubug itu kosong, maka mereka telah naik dan menumpang beristirahat sambil menunggu tengah malam. Angin yang dingin berhembus kearah pegunungan. Daun padi yang hijau subur nambak gelisah sambil menggeliat digelitik oleh angin malam.

Kasadha dan Risang duduk memeluk lutut didalam gubug kecil yang kosong itu. Mereka mulai mereka-reka apa yang kira-kira bakal terjadi.

“ Kita akan berusaha untuk tidak mempergunakan kekerasan berkata Kasadha.

Risang mengangguk-angguk. Katanya “ Mudah -mudahan Ki Remeng dapat diajak untuk bekerja bersama. “

Kasadha mengangguk-angguk pula. Namun anak muda itu tidak menjawab lagi. Sambil bersandar tiang bambu ia memandang kekejauhan. Wajah malam yang hitam menyelubungi padukuhan Salam yang hanya nam- pak remang-remang.

Risangpun kemudian juga hanya berdiam diri. Di- kejauhan sekelompok kunang berkelipan hinggap didaun padi. Sementara malam menjadi semakin dingin, maka embunpun mulai membasahi dedaunan.

Disaat keduanya duduk terkantuk-kantuk, maka ter- dengar ayam jantan berkokok bersautan di padukuhan. Berbareng Kasadha dan Risangpun mengangkat wajah mereka. Dengan nada rendah Risang berdesis “ Tengah malam, kau dengar kokok ayam itu? “

“ Ya “ sahut Kasadha yang beringsut menepi. Se jenak kemudian maka Kasadha itupun telah turun dari gubug diikuti oleh Risang. Demikian mereka membenahi pakaian mereka maka dari padukuhan terdengar suara kentongan dengan nada daramuluk .

Kedua orang anak muda itupun segera bersiap. Mereka akan dapat menghadapi segala kemungkinan jika mereka kemudian menemui Ki Remeng di rumahnya.

Tetapi mereka tidak mempunyai pilihan lain. Mereka memang dapat langsung menuju ke bukit untuk melihat apakah harta benda itu memang ada atau tidak. Tetapi Ki Lurah Mertapraja berpesan kepada mereka, agar mereka bertemu dengan Ki Remeng.

Setelah mempersiapkan diri sebaik-baiknya, maka keduanyapun dengan hati yang mantap melangkah menuju kerumah orang yang disebut Ki Remeng. Bekas seorang pekatik di Madiun.

Keduanya memang tidak menemui kesulitan untuk sampai kerumah orang tua itu sebagaimana ditunjukkan oleh anak-anak yang sedang bermain dengan icir mereka. Namun ketika mereka melangkah mendekati rumah itu, mereka telah mendengar langkah dari kejauhan. Ketajaman pendengaran mereka telah memperingatkan mereka, bahwa mereka akan berpapasan dengan tidak hanya se- orang.

Dengan cepat keduanya meloncati dinding halaman disisi jalan.

Namun dari atas bibir dinding halaman mereka melihat bahwa yang lewat adalah tiga orang anak-anak sambil membawa kepis. Agaknya anak-anak itu baru saja turun kesungai untuk menutup pliridan mereka, karena dua diantara anak-anak itu adalah anak-anak yang mereka temui sedang memperbaiki icir mereka.

Kasadha dan Risang saling berpandangan sejenak. Namun keduanyapun tersenyum sambil menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah Kasadha berdesis “ Anak-anak itu membuat jantungku berdebaran saja. “

Demikianlah, maka Kasadha dan Risangpun segera melanjutkan langkah mereka menuju kerumah Ki Remeng yang sudah tidak jauh lagi. Menurut anak-anak itu, maka beberapa puluh langkah lagi, mereka akari sampai kese- buah rumah yang terletak dipinggir padukuhan Salam itu.

Ketika kemudian mereka berdiri diregol halaman rumah yang luas, mereka termangu-mangu sejenak. Tetapi anak- anak itu memang mengatakan bahwa halaman rumah Ki Remeng adalah halaman yang luas. Tetapi rumahnya hanyalah rumah yang kecil saja ditengah-tengah halaman dan kebun yang luas itu.

“ Marilah “ berkata Kasadha kemudian “ kita akan berbicara berterus-terang dengan Ki Remeng. “

Risang mengangguk sambil berdesis “ Marilah. “ Kedua orang anak muda itupun kemudian menyentuh pintu regol rumah Ki Remeng yang terbuat dari anyaman bambu.

Ternyata pintu regol itu tidak diselarah, sehingga pintu lereg itupun telah didorong oleh Kasadha sehingga terbuka.

Dengan hati-hati keduanya memasuki halaman itu.

Pintupun kembali ditutup dari dalam.

Halaman rumah Ki Remeng memang luas, sedangkan rumahnya yang kecil berada ditengah-tengah. Berbagai macam pohon buah-buahan telah tumbuh di halaman dan kebun diseputar rumahnya.

Namun langkah mereka tertegun ketika mereka men- dekati pintu rumah orang tua itu. Beberapa langkah dari pintu rumah itu, mereka mendengar suara seseorang “ Selamat malam anak-anak muda. Aku sudah mengira bahwa kalian akan datang kerumahku. Karena itu, maka aku telah menunggu meskipun aku harus kedinginan. “

Baru kemudian Kasadha dan Risang-melihat seseorang duduk disudut rumahnya diatas tikar sempit yang dibentangkan dibawah teritisan rumahnya.

“ Ki Remeng “ desis Kasadha dan Risang hampir berbareng.

Orang tua itupun kemudian berdiri dan melangkah kepintu rumahnya. Sambil membuka pintu rumahnya iapun mempersilahkan. “ Marilah anak -anak muda. Masuklah. “

Kasadha dan Risangpun kemudian telah mengikuti orang tua itu masuk kedalam rumahnya yang kecil. Sebuah amben yang lebar merupakan satu-satunya perabot rumah kecil Itu yang terdapat diruang dalam.

Kasadha dan Risangpun kemudian duduk diambenitu pula bersama dengan Ki Remeng. Orang tua yangditemui di sudut padukuhan disaat menjelang senja. Kepada orang tua itu pula mereka telah bertanya tentang Ki Remeng.

Kalian tentu mendengar dari anak-anak yang ber- main ditanggul parit itu. “ berkata Ki Remeng.

Tidak “ jawab Risang “ aku mendapat kete rangan dari orang lain. Seorang laki-laki tua sebaya dengan Ki Remeng. “ Ki Remeng itu tertawa. Katanya “ Kau tidak usah melindungi anak-anak itu. Aku tidak berniat buruk terhadap mereka. Anak-anak itu justru kawan-kawanku yang paling akrab. Aku sadar bahwa anak-anak itu akan memberikan keterangan kepada kalian. Tetapi mereka sama sekali tidak aku anggap bersalah. Aku sama sekali tidak berniat mengajari anak-anak sebaya mereka untuk berbohong. “

Kasadha dan Risang berpandangan sejenak. Namun Risang masih juga berkata “ Ki Remeng tidak usah mem - persoalkan dari siapa aku mengetahui rumah Ki Remeng.

“ Baiklah. Aku tidak akan mempersoalkannya, anak- anak muda. Aku hanya mengatakan bahwa anak-anak itulah yang memberitahukan kepadamu. Tetapi seperti yang aku katakan, aku tidak akan berbuat apa-apa terhadap anak-anak itu. Mereka memang tidak bersalah sama sekali. “ Ki Remeng itu berhenti sejenak, lalu ka tanya “ Maaf anak -anak muda, kedatangan anak-anak muda !d padukuhan ini tentu bukannya tidak mempunyai maksud. Karena itu, katakan apakah maksud kalian mencari aku? “

“ Baiklah kami langsung saja pada persoalannya, Ki Remeng. “ jawab Kasadha. Namun kata -katanya terputus. Ki Remeng itupun berkata “ Aku memang lebih senang jika kalian berbicara langsung pada persoalannya.

Aku sudah terlalu lama menunggu sehingga aku kedinginan. Akupun sudah mengantuk pula. Bahkan agaknya aku-pun sudah tahu, untuk apa kalian datang kemari. “

Wajah Kasadha dan Risangpun menegang. Sejenak mereka berpandangan. Namun kemudian Kasadha itupun berkata “ Ki Remeng. Jika Ki Remeng telah mengetahui maksud kedatangan kami, maka agaknya aku tidak perlu mengatakannya. Aku tinggal menunggu tanggapan Ki Remeng saja. “

Jangan mengulur-ulur waktu, anak-anak muda. Katakan apakah maksudmu datang kemari. Meskipun aku sudah dapat menduga, tetapi aku minta kalian mengata- kannya. Sebelum kalian mengatakannya, aku tidak akan membuat tanggapan apapun juga. “

Baiklah “ berkata Kasadha “ aku datang sebagai utusan Ki Lurah Mertapraja. “

Ki Lurah Mertapraja? “ bertanya Ki Remeng. Namun orang itupun kemudian tertawa sambil berkata “ Bukankah tepat dugaanku. Pada saat-saat terakhir ini, ada beberapa orang yang telah datang menemui aku. Mereka mengaku apa saja dalam hubungannya dengan Ki Lurah Mertapraja. Tetapi jangan kau kira bahwa aku tidak mengetahui dimana Ki Lurah sekarang berada. “

Tentu Ki Remeng mengetahuinya “ jawab Kasa dha “ bahkan banyak orang yang mengetahuinya Ki Lurah sekarang berada di Pajang, la menjadi tawanan prajurit Pajang. “

Ki Remeng mengangguk-angguk. Katanya “ Ya. Banyak orang yang mengetahui bahwa Ki Lurah sekarang tertawan. Mereka kemudian mengaku bahwa mereka sempat menghubungi Ki Lurah. Ki Lurah minta agar mereka menemui aku disini. Bukankah kau juga akan berkata de- mikian? “

“ Ya. Aku juga akan berkata seperti itu. Tetapi ketahuilah Ki Remeng, bahwa aku adalah seseorang yang telah mendapat kepercayaannya. Aku tahu dimana Ki Mawur itu menyimpan harta-benda yang sangat berharga milik perguruan Wukir Gading itu. Ki Lurah telah mem- beritahukannya agar aku datang untuk mengambilnya dan mempergunakannya sebaik-baiknya.Terutama untuk bekal menemukan dan pengobatan Ki Mawur. Tetapi Ki Lurah minta aku berbicara dengan Ki Remeng, agar Ki Remeng tidak merasa terlampaui. Ki Remeng yang bekas pekatik itu sudah mendapat kepercayaan sekian lama menunggui harta-benda milik perguruan Wukir Gading itu.

Tetapi Ki Remeng masih saja tertawa. Katanya “ Kau tentu mendapat keterangan dari orang lain. Mungkin dari seorang prajurit Pajang yang telah memeras Ki Lurah dengan menyakitinya, sehingga karena tidak tahan, maka Ki Lurah telah menyebut namaku. Atau kau mendengar dari Ki Mawur yang terluka parah dan tidak diketahui dimana ia berada. Dengan seribu cara, maka kalian telah mendapat keterangan tentang harta-benda itu. “

“ Aku dapat mengerti sikap Ki Remeng. Tetapi mungkin Ki Remeng dapat meyakinkan kebenaran kete- ranganku. Mungkin Ki Remeng mempunyai beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan persoalan yang sedang kita bicarakan, Dengan demikian maka Ki Remeng akan mempercayai keteranganku . “

“ Anak-anak muda “ berkata Ki Remeng kemudian “ aku minta kau urungkan niatmu. Beberapa orang telah datang menemui aku dirumah ini. Tetapi baiklah aku berterus terang bahwa dibelakang rumah ini ada empat sosok mayat yang aku kuburkan tanpa diketahui oleh orang lain. Mereka memaksa aku untuk mengatakan dimana harta-benda itu disimpan. “

Jantung kedua orang anak muda itu memang berdegup semakin cepat. Tetapi Risang yang harus menahan diri ini berkata “ Apakah Ki Remeng selalu membunuh orang yang datang kerumah ini? “

“ Tidak “ jawab Ki Remeng “ selama mereka tidak memaksa aku untuk mengatakan sesuatu yang aku tidak tahu. Apalagi mereka yang memaksa dengan kekerasan. Jika demikian ada bedanya dengan kami “ berkata Risang selanjutnya “ kami sama sekali tidak ingin memaksa Ki Remeng untuk mengatakan tentang harta-benda milik perguruan Wukir Gading karena kami sudah mengetahuinya sesuai dengan petunjuk Ki Lurah Merta- praja. Karena itu jika aku datang, hanyalah sekedar untuk memberitahukan, bahwa kami akan mengambil harta- benda itu untuk kepentingan sebagaimana dipesankan oleh Ki Lurah Mertapraja. Karena Ki Lurah juga berpesan agar aku berhubungan dengan Ki Remeng, maka akupun telah memenuhi permintaan itu. “

Kalian tentu mendapat keterangan dari prajurit Pajang yang telah memeras keterangan Ki Lurah dengan cara yang paling keji seperti yang sudah aku katakan. Ke- mudian jika kalian berhasil, maka prajurit yang memeras keterangan dari Ki Lurah itu tentu akan mendapat bagian.

Ki Remeng “ desis Risang “ kau sudah mulai menghina Ki Lurah Mertapraja. “

Ki Remeng terkejut. Dengan hadi berkerut ia bertanya “ Kenapa aku menghina Ki Lurah? “

“ Kau kira jiwa Ki Lurah demikian lemahnya, sehingga ada cara untuk memeras keterangannya. “

Wajah Ki Remeng justru termangu-mangu sejenak, la menyadari, bahwa hati Ki Lurah Mertapraja memang sekeras baja. la memang percaya bahwa dengan cara apapun akan sangat sulit untuk memeras keterangan dari mulut Ki Lurah, karena ia akan memilih mati daripada berbicara tentang harta-benda itu.

Namun kemudian iapun berkata “ Jika tidak, maka bagaimana mungkin kalian mendapat pesan itu dari Ki Lurah Mertapraja. “

Risang tidak segera dapat menjawab. Namun Kasadhalah yang menyahut “ Aku adalah juru masak di lingkungan keprajuritan Pajang. Aku sering mendapat tugas untuk memberikan rangsum kedalam bilik tahanannya.

Semula aku tidak tahu, siapakah Ki Lurah Mertapraja itu. Namun justru Ki Lurah yang menyapaku. Ia melihat aku dengan heran. Aku tidak tahu kenapa ia menganggap bahwa aku tidak pantas menjadi juru masak. Menurut Ki Lurah, aku masih terlalu muda untuk bekerja didapur.

Karena itu, maka ia mencoba memberi aku kesempatan, untuk berkembang, la memberi tugas untuk mencari pamannya yang terluka parah. Aku juga bertugas untuk mengambil harta benda yang disimpannya dilereng bukit dan beberapa pesan yang lain. Namun aku juga diperin- tahkannya menemuimu. Ki Remeng. “

Ki Remeng itu mengangguk-angguk. Tetapi katanya dengan nada rendah “ Kau tidak mampu meyakinkan aku, anak muda. Jika Ki Lurah yang minta kepadamu untuk membantunya, siapakah yang memberitahu kepada Ki Lurah, bahwa pamannya terluka parah? Siapa pula yang memberitahukan keadaan yang terjadi diluar dinding ta- hanannya itu? “

Kasadha menggeleng. Katanya “ Darimana aku tahu, Ki Remeng. Yang aku tahu, Ki Lurah memerintahkan aku untuk menemuimu. Kemudian akupun mengajak kakakku untuk datang kerumah ini. “

Jadi kalian adalah dua orang bersaudara? “ bertanya Ki Remeng.

Ya “ jawab Kasadha “ beberapa orang justru menyangka bahwa akulah yang lebih tua. Tetapi sebenar- nya akulah yang lebih muda. Mungkin karena aku selalu bekerja didekat api sebagai juru masak, maka aku menjadi lebih hitam dan tampak lebih tua. “

“ Apa kerja kakakmu ini? “ bertanya Ki Remeng.

la mewarisi kerja ayah. la pedagang kerbau dan lembu. “ jawab Kasadha.

Siapakah sebenarnya namamu? “ berta nya Ki Remeng pula. Namaku Rantam. Kakakku namanya Umpat. “ jawab Kasadha.

Tetapi Ki Remeng itu menggeleng. Katanya “ Anak -anak muda. Sudahlah. Jangan mencoba membohongi aku. Ujud kalian tidak sesuai dengan nama yang kalian pakai. Lebih dari itu, aku tidak tahu apa yang kalian katakan. “

Tetapi Kasadhapun menjawab “ Kaulah yang mem - bohongi kami, Ki Remeng. Bagaimanapun juga aku dapat menelusuri kata-katamu yang simpang siur itu. “

“ Anak-anak muda. Hari-harimu menurut gelar lahi- riahnya, masih panjang. Karena itu, jangan mencoba meli- batkan diri kedalam persoalan yang rumit. Seperti sudah aku katakan, aku sudah membunuh ampat orang dan aku kuburkan dibelakang. Itu sudah terlalu banyak. Jangan menambah bebanku lagi. Karena jika kalian memaksaku, aku akan mengubur dua sosok mayat lagi. Mayat anak- anak muda yang justru sedang berkembang “

Kasadha dan Risangpun berpandangan sejenak. Dengan nada berat Kasadhapun berkata “ Baiklah, Ki Remeng. Jika Ki Remeng tetap tidak mempercayai kami, biarlah kami melaksanakan tugas yang dibebankan dan dipercayakan oleh Ki Lurah kepada kami. Kami tidak akan menyia- nyiakan kepercayaan Ki Lurah itu. Sementara itu, kamipun tidak mau menjadi korban ketidak percayaan Ki Remeng dan dikuburkan di kebun dibelakang rumah Ki Remeng. “

“ Lalu apa yang akan kalian lakukan? “ bertanya Ki Remeng.

Kami menyesal telah singgah dirumah ini, karena ternyata Ki Remeng tidak mempercayai kami. Sekarang kami minta diri. Kami harus pergi ke bukit. Kami tidak mau didahului oleh siapapun juga, karena ternyata bahwa usaha Ki Mawur menyembunyikan harta-benda dari perguruan Wukir Gading itu sudah diketahui banyak orang pula, meskipun tempatnya ia menyembunyikannya masih tetap merupakan rahasia yang hanya kami ketahui selain Ki Remeng. Kamipun tidak mau Ki Remeng mendahului kami karena Ki Remeng ingin berkhianat kepada Ki Mawur dan Ki Lurah Mertapraja. “

Anak-anak muda. Ternyata kalian sudah mendapat ancar-ancar dimana harta-benda itu disimpan. Karena itu, maka untuk tetap menjaga kerahasiaan benda-benda berharga itu, maka apaboleh buat. Aku tidak mempunyai cara lain kecuali dengan membunuh kalian dan menguburkan kalian bersama ampat sosok yang telah ter- lebih dahulu terbaring di kebun belakang. “ berkata Ki Remeng.

Tetapi ingat Ki Remeng. Jika kau membunuhku, maka tugas yang dibebankan oleh Ki Lurah Mertapraja tidak akan pernah dapat kami lakukan. Apalagi menyela- matkan Ki Mawur yang terluka parah itu dan selanjutnya berusaha membebaskan Ki Lurah dengan cara apapun juga. Jika perlu kami dapat menyuap para perwira di Pa- jang sehingga mereka dapat memberi kesempatan Ki Lurah melarikan diri. Jika Ki Lurah kemudian sampai di Madiun, maka Ki Lurah tentu sudah selama. Nah, bayangkan apa yang akan terjadi dengan Ki Lurah yang memiliki

kekayaan tidak terhingga. Sementara itu pamannya dapat diselamatkan dari luka-lukanya yang parah? “

Ki Remeng termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian “ anak -anak muda. Selama ini memang belum pernah ada orang yang datang kepadaku dengan keterangan selengkap itu. Juga belum ada orang yang dapat menyebut tempat persembunyian benda-benda berharga itu. Meskipun demikian, aku belum dapat mempercayaimu. “ “ Apakah Ki Remeng juga masih belum percaya kepada kami, jika kami dapat menyebut nama dua buah pusaka yang disimpan bersama dengan banda-benda ber- harga itu? “

Wajah Ki Remeng menegang. Namun iapun bertanya “ Pusaka-pusaka apa?

“ Kau jangan berpura-pura tidak tahu, Ki Remeng. Ki Lurah Mertapraja mengatakan bahwa diantara benda- benda berharga itu terdapat dua buah pusaka. Kiai Wisa Raditya dan perisai yang dinamai Nyi Lar Sasi. “ jawab Kasadha.

Wajah Ki Remeng menjadi semakin berkerut. Namun tiba-tiba iapun berkata “ Anak -anak muda. Kalian ternyata mengetahui banyak hal yang seharusnya dirahasiakan.

Sementara itu, aku tetap tidak percaya bahwa kalian pernah berhubungan dan mendapat keterangan langsung dari Ki Lurah Mertapraja. Kalian tentu bagian dari orang- orang yang sedang menawan Ki Mawur. Memaksa orang yang terluka parah itu untuk mengatakan dimana ia me- nyimpan harta benda dan pusaka-pusaka itu. Karena itu, maka kalian berdua harus dibinasakan. “

“ Apakah menurut pendapatmu, ketahanan jiwani Ki Mawur itu demikian lemahnya sebagaimana kau sebut bahwa Ki Lurah telah menyebut persembunyian benda- benda berharga itu karena terpaksa oleh tekanan yang

tidak tertahankan? Apakah memang demikian dangkal penilaianmu atas mereka? “

“ Tidak. Tidak “ Ki Remeng memang menjadi bingung. Namun Kasadha itupun berkata “ Ki Remeng. Jika aku berniat berbuat tidak jujur. Buat apa aku datang kepadamu? Kenapa aku tidak langsung pergi ketempat benda-benda berharga itu disembunyikan, mengambilnya dan membawanya pergi? Tetapi justru karena aku meng- hormati pesan Ki Lurah Mertapraja, maka aku telah datang kemari. “

Ki Remeng itu terdiam sejenak. Wajahnya menjadi te- gang. Sekali-sekali dipandanginya Kasadha dengan ta- jamnya. Namun kemudian diperhatikannya Risang dari ujung kakinya sampai keujung kepalanya.

Hampir diluar sadarnya ia berkata “ Aku melihat kesungguhan diwajah kalian. Tetapi firasatku tetap mengatakan, bahwa kalian telah berbohong kepadaku. Jika tidak seluruhnya, juga sebagian dari padanya. “

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian “ Jika demikian, maka sebaiknya kami berdua pergi. Kami akan langsung menuju ke bukit dilereng sebelah Selatan. Diantara dua batu terbesar dilereng bukit kecil itu tersimpan benda-benda berharga dan pusaka- pusaka itu. “

“ Kalian tidak akan pernah sampai kesana. “ geram Ki Remeng.

“ Maksud Ki Remeng? “ bertanya Kasadha.

Sudah aku katakan, kalian terlalu banyak mengetahui. Karena itu, maka kalian harus dibungkam untuk selama- lamanya. “ sahut Ki Remeng.

Apakah Ki Remeng sanggup melakukan atas kami berdua? “ bertanya Kasadha.

Apalagi kalian, anak-anak yang baru kemarin sore dapat bangkit berdiri dan berjalan tertatih-tatih. Orang- orang yang mempunyai pengalaman dan bekal yang lengkappun telah aku selesaikan. Sekali lagi aku beritahu- kan bahwa ampat orang berilmu tinggi telah aku kuburkan dibelakang rumah ini. “ Jika Ki Remeng berhasil melakukan atas kami berdua, maka Ki Lurahpun akan mati kajena pamannya a^kan mati lebih dahulu. Hidup Ki Lurah semata-mata bersandar tetapi juga diperuntukkan bagi pamannya, la tidak mempunyai seorangpun lagi didunia ini selain pamannya, lste-rinya dan anak-anaknya dianggapnya telah berkhianat pula. Dan sekarang, orang yang paling dipercaya, telah mengkhianatinya pula, karena ia telah membunuh orang- orang yang juga dipercayainya serta sedang mengemban tugasnya. “

Tidak. Tidak. “ Ki Remeng berteriak “ jangan berbu at licik seperti itu. “

Aku tidak berbuat licik. Tetapi aku berkata sebenarnya. “

 Cukup. Bersiaplah untuk mati. “ geram Ki Remeng. “ Sejak aku melihat kecurigaanmu, maka aku sudah

bersiap. Sebenarnya aku hormati kau karena kau adalah kepercayaan Ki Lurah. Tetapi sudah tentu bahwa kami tidak akan membiarkan tubuh kami terbujur dibelakang rumahmu ini. “ jawab Kasadha.

Tetapi Risangpun kemudian tertawa “ Kau memang aneh, Ki Remeng. Seandainya kita bertempur, maka salah seorang diantara kami akan dapat melarikan diri dan me- nyampaikannya kepada Ki Lurah, betapa orang keper- cayaannya telah berkhianat. “

“ Tidak. Aku tidak berkhianat. Aku justru melindungi kepentingannya dan kepentingan Ki Mawur. “ ben tak Ki Remeng.

Jika demikian, terserah kepadamu. Seandainya kau akan berusaha membunuhku, maka akupun akan berbuat sebaliknya. Jika kau mati, maka tidak akan ada saksi. Sebagaimana kau berkhianat, maka akupun dapat ber- khianat. Aku dan kakakku akan dapat memiliki benda- benda berharga itu bagi diri kami. “ berkat a Kasadha. Persetan dengan kau “ suara Ki Remeng menjadi gemetar. Namun nampak keragu-raguan pada sikapnya, la berdiri dipersimpangan. Apakah ia akan percaya atau tidak.

Namun kemudian Ki Remeng itupun menggeram “ Keluarlah. Jika kalian memang ingin aku kuburkan dibe- lakang rumahku sebagaimana keempat orang yang datang berurutan itu. “

Tidak. Kami sama sekali tidak menginginkannya. Tetapi kaulah yang memaksa apapun yang akan terjadi. “ jawab Risang.

Diam. Diam kau. Aku akan mengoyak mulutmu. “ jawab Ki Remeng hampir berteriak, karena Ki Remeng ingin mengatasi suara yang mengumandang di dadanya. Suara yang mendesaknya untuk mempercayai kedua orang anak muda itu. Tetapi penalarannya tetap menolaknya. Ki Lurah tidak akan mungkin berbicara tentang benda-benda berharga serta pusaka-pusaka itu kepada orang yang baru dikenalnya. Apalagi ia merupakan bagian dari prajurit Pa- jang, meskipun sekedar juru masak. Sementara itu, Ki Re- mengpun sulit untuk dapat mempercayai bahwa anak muda itu adalah juru masak. Terasa dalam pembicaraan itu, bahwa anak yang mengaku bernama Rantam itu cukup cerdik, sementara penalarannya berputar dengan baik.

Namun demikian Ki Remengpun menjadi heran, bahwa anak muda itu mengetahui terlalu banyak tentang benda- benda berharga, tentang pusaka-pusaka yang tersimpan dan bahkan tentang keadaan keluarga Ki Lurah Mertapraja.

Tetapi Ki Remeng itupun kemudian berteriak pula “ Kalian harus mati anak-anak muda. Kalian terlalu cerdik bagi seorang juru masak. “

Apa hubungannya kecerdikan dengan pekerjaanku sebagai juru masak? Apa pula hubungan antara kecerdikan dengan pekerjaanmu sebagai pekatik? Pantaskah seorang pekatik memiliki kemampuan,berfikir seperti kau,, Ki Remeng. Bahkan ilmu yang sangat tinggi? “

Persetan. Bersiaplah untuk mati anak-anak muda. Sebenarnya aku merasa sayang, bahwa aku harus memo- tong umurmu yang masih terlalu muda untuk mati. Tetapi apaboleh buat. “

Kasadha dan Risangpun kemudian memang tidak mempunyai pilihan lain. Mereka harus turun ke halaman untuk melawan Ki Remeng yang dalam kebingungannya telah mengambil keputusan untuk menyelesaikan kedua orang anak muda itu.

Ayo anak-anak muda. Jika kalian tidak mau me- nundukkan kepalamu untuk aku penggal lehermu, ke- luarlah. Kita akan mengadu betapa liatnya kulit kita dan betapa kerasnya tulang-tulang kita: Supaya tugasku cepat selesai, maka majulah kalian bersama-sama, sehingga dengan demikian aku akan dapat membunuh kalian ber- sama-sama pula. “

Baiklah Ki Remeng “ jawab Kasadha “ kami akan bertempur di halaman. “

Kasadha tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera menggamit Risang dan memberinya isyarat untuk turun ke halaman.

Sejenak kemudian, keduanya memang sudah berada di halaman. Betapapun gelapnya malam, namun ketajaman mata mereka mampu menembus dan melihat dengan jelas ketika Ki Remengpun turun pula ke halaman menyusul mereka.

Kedua belah pihakpun segera mempersiapkan diri, Kasadha dan Risang harus berhati-hati menghadapi orang iua yang tentu berilmu sangat tinggi itu. Mereka tidak mau kehilangan kesempatan karena mereka meremehkan pekatik tua itu. Karena itu, maka mereka memang akan menghadapi Ki Remeng itu bersama-sama. Apalagi mereka sama sekali tidak mempunyai gambaran, sebepara tinggi ilmu orang tua itu.

Ki Remeng yang ketika bertemu dengan Kasadha dan Risang disudut padukuhan itu nampak sebagai seorang petani tua yang lemah, namun ketika ia berada di gelang- gang, maka nampak betapa tegarnya tubuh orang itu. Ke- tuaannya seakan-akan telah lenyap sama sekali. Meskipun ujung rambutnya yang tergerai dibawah ikat kepalanya masih tetap putih, namun sikap dan geraknya sama sekali berbeda dengan petani tua disudut padukuhan itu.

Kasadha dan Risangpun mulai mengambil jarak. Sekali- sekali Kasadha memandang Risang yang telah bersiap sepenuhnya. Demikian pula Risang. Masing-masing memang saling mencemaskan yang lain. Kasadha yang merasa telah menerima warisan tertinggi dari gurunya merasa bahwa dalam keadaan yang gawat ia harus melin- dungi Risang. Namun sebaliknya Risang yang merasa telah ditempa untuk mewarisi kemampuan puncak dari ketiga orang gurunya, tidak akan membiarkan saudaranya dalam kesulitan.

Ketika Ki Remeng mulai bergerak, maka kedua anak muda itupun bergeser pula. Ternyata gelapnya malam tidak mampu menutup penglihatan ketiga orang itu.

Sejenak kemudian, maka Ki Remeng itupun mulai menyerang. Ketika tanganya terayun menggapai wajah Kasadha, maka Kasadhapun bergeser selangkah surut. Tetapi sambaran angin yang bergetar karena ayunan tangan Ki Remeng telah menampar kulit wajah Kasadha.

Kasadhapun bergeser pula setengah langkah sambil menggerakkan tangannya. Satu tangannya mengembang, tetapi tangannya yang lain berada didepan dadanya. “ Anak yang sombong “ geram Ki Remeng. Namun sebelum Ki Remeng menyerang Kasadha,

maka Risanglah yang telah menyerang. Kaki kanannya terjulur lurus kearah lambung orang tua itu. Ketika Ki Re- meng menghindari kesamping, maka dengan cepat Risang menyerang dengan putaran kakinya demikian ia meletak- kan kaki kanannya.

Ki Remeng terkejut. Dengan tangkasnya ia bergeser surut. Serangan kaki melingkar itu hampir saja menampar keningnya.

“ Anak iblis “ gumam Ki Remeng.

Namun Ki Remeng tidak menunggu serangan lawannya yang masih muda itu. Dengan cepat, Ki Remengpun menyerang pula. Sasarannya bukan Risang. Tetapi Kasadha yang baru saja bergeser menyesuaikan diri.

Tetapi dengan tangkas Kasadha menghindar. Bahkan dengan cepat iapun membalas menyerang. Tangannya yang menebas kearah kening, hampir saja mengenai sasarannya.

Tetapi Ki Remeng ternyata cukup tangkas. Dengan cepat ia memiringkan kepalanya, sehingga tangan Kasadha tidak menyentuhnya sama sekali.

Demikianlah Ki Remeng telah bergerak semakin cepat. Tidak lagi nampak sikapnya yang letih kehausan disudut padukuhan. Yang sedang bertempur itu seakan-akan memang orang lain dari orang yang ditemui oleh kedua anak muda itu menjelang mereka memasuki padukuhan.

Semakin lama pertempuran itupun semakin meningkat pula. Kedua belah pihak telah meningkatkan ilmu mereka. Ki Remeng yang harus bertempur melawan kedua orang anak muda itu benar-benar menunjukkan dirinya sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi.

Namun ternyata kemampuan Ki Remeng itu sama sekali tidak menggetarkan jantung Kasadha dan Risang. Meskipun Kasadha masih saja mencemaskan Risang dan sebaliknya. Apalagi ketika Ki Remeng telah memanjat ketataran ilmu yang semakin tinggi.

Ketika pertempuran itu menjadi semakin sengit, serta lontaran-lontaram serangan yang mendebarkan dilambari dengan ilmu yang tinggi, justru Kasadha menjadi heran melihat kemampuan Risang. Sebaliknya Risangpun ber- tanya-tanya, betapa Kasadha mampu meningkatkan ilmu- nya pada tataran yang sangat tinggi.

Dengan kemampuan puncak masing-masing, maka Ki Remeng memang tidak banyak dapat berbuat atas kedua orang anak muda itu. Apalagi melawan keduanya. Untuk mengimbangi ilmu anak muda itu seorang demi seorang, Ki Remeng agaknya masih harus mengasah ilmunya lagi.

Untuk beberapa saat Ki Remeng masih bertahan.

Dihentakkannya segala macam kemampuan yang dimili- kinya. Ketika ia mendapat kesempatan, maka Ki Remeng telah menakupkan kedua telapak tangannya. Ketika kedua telapak tangannya itu digosokkannya yang satu dengan yang lain, maka asap tipis seakan-akan telah mengepul dari sela-sela kedua telapak tangannya itu.

Namun ketika ia meloncat sambil mengayunkan tangannya mengarah kening Kasadha, maka anak muda itu sama sekali tidak menghindarinya. Tetapi Kasadha telah membentur telapak tangan Ki Remeng itu dengan sisi kedua telapak tangannya yang sejajar, sehingga benturan yang keraspun telah terjadi. Kasadha memang sedikit terguncang. Selangkah ia terdorong surut. Namun ia masih tetap tegak dan siap un- tuk menghadapi segala kemungkinan.

Namun dalam pada itu, Ki Remeng telah terlempar beberapa langkah. Bahkan orang tua itu telah jatuh ter- lentang. Namun orang itu demikian sigapnya. Demikian ia jatuh, maka iapun segera berguling dua kali kebelakang. Sekejap kemudian, maka iapun telah meloncat bangkit dan berdiri tegak.

Risang melihat akibat dari benturan itu dengan jantung yang berdebaran. Ia memang menjadi agak heran melihat benturan ilmu itu. Ia sadar bahwa tenaga dan kekuatan Ki Remeng dilandasi oleh kemampuannya yang tinggi, merupakan satu serangan yang sangat berbahaya. Bahkan mematikan. Namun Kasadha mampu membenturkannya dan justru mampu mendorong ki Remeng sehingga orang tua itulah yang telah kehilangan keseimbangan. Sementara itu Kasadha hanya tergetar selangkah surut. Meskipun demikian, Risang juga melihat Kasadha kemudian berdiri tegak dan dengan kedua tangannya mengepal disisi tubuhnya. Dengan mengatur pernafasannya, Kasadhaberu- saha mengatasi perasaan sakitnya.

Namun dalam pada itu, ternyata Ki Remeng telah sekali lagi memusatkan nalar budinya, la melupakan perasaan sakitnya. Meskipun tulang punggungnya bagaikan retak, namun dengan sisa kekuatannya yang terakhir ia telah menghentakkan kemampuan puncaknya. Satu hentakkan yang sangat kuat yang dilakukan sebagaimana telah dilakukannya terdahulu. Ketika Ki Remeng mena-kupkan telapak tangannya, maka diantara kedua telapak tangannya itu masih juga mengepul asap yang tipis. Kasadhapun telah bersiap pula. Ia akan membentur kekuatan Ki Remeng sekali lagi, jika Ki Remeng itu melon- cat menyerangnya.

Tetapi Ki Remeng tidak melakukannya atas Kasadha. Ki Remeng sadar, bahwa ilmunya tidak akan mampu memecahkan pertahanan Kasadha. Karena itu, maka sasaran serangannya kemudian adalah Risang yang mengaku bernama Limpat itu. “

Tetapi Risangpun telah mempersiapkan dirinya dengan baik. Ketika Ki Remeng meloncat kearahnya sambil mengayunkan tangannya kearah kening Risang, maka Risang telah menyilangkan kedua tangannya pada perge- langan tangannya dengan telapak tangan terbuka dan jari yang merapat menghadap ke arah yang berlawanan.

Sekali lagi terjadi benturan yang sangat keras. Kasadha yang terkejut telah meloncat mendekat. Tetapi ia tidak sempat berusaha melindungi Risang, sementara itu ia tahu betapa besarnya kekuatan yang dihempaskan oleh pukulan tangan Ki Remeng yang berilmu tinggi itu.

Namun yang terjadi kemudian telah mengejutkan Ka- sadha. Kasadha memang melihat Risang terguncang.

Tetapi ia sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. Mes- kipun tenaga dan kemampuan Ki Remeng telah menyusut setelah ia membenturkan ilmunya dengan kekuatan dan kemampuan ilmu Kasadha, namun serangan itu masih sa- ngat berbahaya.

Tetapi ternyata Risang masih tetap tegak ditem-patnya, meskipun ia harus berdesis menahan sakit di-dadanya.

Sementara itu, akibatnya memang sangat buruk bagi Ki Remeng. Setelah ia terpelanting karena membentur pertahanan Kasadha yang tidak terpatahkan, maka sekali lagi ia membentur kekuatan yang tidak diduganya pula.

Ki Remeng itu ternyata telah tergetar dan terdorong beberapa langkah surut. Namun sekali lagi ia benar-benar tidak lagi mampu menjaga keseimbangannya. Sekali lagi Ki Remeng jatuh terbanting ditanah. Bahkan ketika Ki Remeng itu berusaha untuk bangkit, yang terdengar adalah keluhan tertahan.

Kasadha dan Risang tiba-tiba saja justru telah saling menilai kemampuan mereka masing-masing. Keduanya melihat satu loncatan yang panjang pada ilmu mereka. Ka- sadha tidak lagi melihat Risang dalam tataran ilmunya ketika ia bertempur di Tanah Perdikan Sembojan melawan orang-orang yang datang mengacaukan Tanah Perdi- kannya. Sebaliknya Risangpun melihat betapa Kasadha memiliki kemampuan olah kanuragan yang tinggi. Jauh diatas kemampuan yang pernah dilihat sebelumnya.

Tetapi keduanya tidak sempat membuat penilaian lebih jauh. Keduanyapun telah menyimpan pertanyaan tentang peningkatan ilmu mereka masing-masing didalam hati.

Yang mereka lakukan kemudian adalah melangkah dengan hati-hati mendekati Ki Remeng yang masih ter- baring sambil menggeliat.

Kasadha dan Risang itupun kemudian telah berjongkok disebelah menyebelah Ki Remeng. Dengan nada dalam Kasadha berdesis “ Ki Remeng. “

Orang tua itu masih terdengar mengaduh perlahan. “ Tenanglah “ berkata Risang kemudian.

Dengan suara yang bergetar Ki Remeng itupun berdesis “ Kenapa tidak kalian bunuh saja aku. “ “ Kami datang tidak untuk membunuhmu, Ki Remeng.

Kami datang untuk melakukan tugas kami sebagaimana pesan Ki Lurah Mertapraja, yang sekarang berada di Pajang. “ desis Kasadha.

Ki Remeng berusaha mengatur pernafasannya sebaik- baiknya, la berbaring lurus dengan kedua tangannya yang diletakkannya diperutnya. Sementara Kasadha dan Risang hanya memandanginya dengan tegang.

Namun kemudian Ki Remeng itu berkata “ Bantu aku duduk anak-anak muda. “

Berbareng Kasadha dan Risang telah membantu Ki Remeng yang berusaha untuk duduk.

Dengan kedua tangannya didada, maka Ki Remeng duduk menyilangkan kakinya. Ditundukkannya wajahnya dengan mata terpejam, la sama sekali tidak peduli lagi terhadap kedua orang anak muda yang telah mengalah- kannya, seandainya keduanya akan membunuhnya.

Dengan mengatur pernafasannya, maka Ki Remeng berusaha meningkatkan daya tahannya untuk mengatasi rasa sakit didadanya.

Kasadha dan Risang memang membiarkannya. Mereka justru duduk beberapa langkah dari Ki Remeng. Keduanya sama sekali tidak mengganggunya.

Sementara itu, malampun merangkak menjelang fajar.

Bintang-bintang sudah bergeser jauh dari tempatnya semula. Sementara itu, warna semburat mereka telah membayang dilangit. Beberapa saat kemudian, maka terdengar ayam jantan berkokok bersautan. Bayang-bayang dedaunan menjadi semakin jelas. Demikian pula pepohonan di halaman dan kebun Ki Remeng yang luas itu.

Kasadha dan Risang sempat memperhatikan keadaan disekeliling rumah itu. Untunglah bahwa halaman dan kebun rumah Ki Remeng cukup luas. Demikian pula halaman dan kebun tetangga-tetangganya sehingga tidak seorangpun yang mendengar keributan yang terjadi di halaman rumah kecil itu.

Beberapa saat kemudian, menjelang terang tanah, Ki Remeng itupun mulai mengangkat wajahnya. Ditariknya nafas dalam-dalam. Kemudian dihembuskannya seakan- akan seluruh isi dadanya hendak dikosongkannya.

Setelah beberapa kali hal itu dilakukan, maka iapun kemudian bertanya sekali lagi dengan suaranya yang dalam “ Anak -anak muda, kenapa kalian tidak membunuh aku saja. “

Kasadha dan Risangpun justru bangkit dan melangkah mendekat. Sambil berjongkok disebelahnya Kasadha berkata “ Sudah ak u katakan pula Ki Remeng. Kami tidak datang untuk membunuh. Kami datang untuk menjalankan perintah Ki Lurah Mertapraja. “

“ Apakah kalian berkata sejujurnya? “ bertanya Ki Remeng.

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya “ Sebagian yang aku katakan adalah benar. Tetapi sebagian memang tidak. “

Aku sudah mengira. Karena itulah maka kalian telah membuat aku ragu-ragu. “ desis Ki Remeng yang sudah berhasil mengatasi sebagian rasa sakitnya. Tetapi bahwa Ki Lurah minta kami menyelamatkan pamannya adalah benar. Dan kami benar-benar akan melakukannya. Semata-mata atas dasar perikemanusiaan. Kami tahu bahwa Ki Lurah Mertapraja bukan seorang yang sangat jahat. Tetapi ia adalah seorang yang terlempar dari kebahagiaan hidup sebuah keluarga karena kemiskinan pribadi meskipun ia berkecukupan yang disebabkan oleh cacatnya, sehingga Ki Lurah itu dirumah-nya selalu dibayangi oleh perasaan rendah diri. Tetapi berlawanan dengan kehidupannya dilingkungan keluarganya, maka ia adalah harimau yang garang dilingkungan keprajuritan serta seorang yang menggantungkan nafsu kuasanya pada bintang dilangit. -

“ Yang kau katakan itu benar. “ desis Ki Remeng.

Bukan hanya itu. Tetapi juga letak benda-benda berharga serta pusaka-pusaka itu. “ sambung Kasadha.

Ya. Kau benar pula “ Ki Remeng mengangguk - angguk.

Selain itu maka Ki Lurah memang berpesan agar aku datang kepada<Ki Remeng serta permintaannya agar kami berusaha membebaskan pamannya. “ berkata Kasadha. Lalu katanya “ Nah, apakah Ki Remeng per caya. “

Aku percaya anak muda. Tetapi yang lain tidak. Aku tidak percaya bahwa kau adalah seorang juru masak. Aku percaya bahwa namamu Rantam dan nama kakakmu Limpat. “

la memang kakakku. Itu kebenaran “ sahut Kasadha.

Aku percaya karena ujud kalian memang mirip sekali. Tetapi tentang nama kalian dan tentang pekerjaan kalian, berkata Ki Remeng. Lalu katanya pula “ bahwa diantara ceritera kalian ada yang tidak benar itulah yang telah membuat aku ragu-ragu. Jika kalian benar-benar jujur, kenapa kalian masih harus berbohong meskipun hanya sebagian? “ Baiklah “ berkata Kasadha “ yang akan aku katakan hanyalah yang benar dan yang Ki Remeng anggap benar. Yang lain tidak akan aku singgung lagi, meskipun aku berkata dengan jujur, bahwa memang ada bagian-bagian yang tidak benar. “

Baiklah anak-anak muda. Apapun yang kalian lakukan, tetapi aku sudah kalah. Bahkan kalian berhak membunuh aku, karena aku sudah berniat membunuh kalian. “ berkata Ki Remeng.

“ Aku tidak akan membunuhmu, karena Ki Lurah tidak berpesan seperti itu. Bahkan Ki Lurah berpesan agar kau ikut serta mengambil dan menyelamatkan benda-benda berharga itu. “ sahut Kasadha.

“ Aku tidak dapat menolak lagi. Hidupku kini sudah bukan milikku lagi. “ jawab orang tua itu.

“ Baiklah Ki Remeng. “ berkata Kasadha kemudian “ jika demikian, maka apakah Ki Remeng tidak

berkeberatan jika kami berdua beristirahat dirumah Ki Remeng sampai besok sore. Besok sore kita bersama-sama akan pergi ke bukit itu. “

Silahkan anak-anak muda. Aku tentu tidak akan berkeberatan. Apalagi hanya sekedar numpang beristirahat dirumah ini sampai besok sore. Kalian ambilpun aku tidak akan dapat menolak. “

Jangan berkata begitu Ki Remeng. Kami akan merasa kecewa, karena kami tidak melihat keikhlasan Ki Remeng. Ki Remeng hanya didorong oleh perasaan kecewa karena Ki Remeng tidak berhasil membunuh kami berdua dan menguburkan disebelah jajaran sosok tubuh orang-orang yang telah kau bunuh. Mungkin kuburan itu pada suatu saat akan dapat menjadi kebanggaan Ki Remeng, bahwa Ki Remeng telah berhasil membunuh orang-orang berilmu tinggi dan menguburkannya berjajar di belakang rumah Ki Remeng. “

“ Tidak anak-anak muda. Tidak. Sama sekali tidak “ sahut Ki Remeng dengan serta-merta.

Jika demikian aku tidak senang dengan sikap Ki Remeng itu. “ berkata Kasadha.

Baiklah. Jika demikian aku mohon maaf. “ desis orang tua itu.

Demikianlah, maka Ki Remengpun telah memper- silahkan Kasadha dan Rising untuk beristirahat dirumah itu. Namun demikian, kedua orang anak muda itu cukup berhati-hati, bergantian mereka mandi dan berbenah diri. Ketika kemudian Ki Remeng minta ijin untuk berada di dapur, menjerang air untuk minum serta menanak nasi, maka Kasadha dan Risang bergantian membantunya sekaligus mengawasinya.

Demikianlah sehari itu Kasadha dan Risang memang berada dirumah Ki Remeng. Kedua anak muda itu telah melihat pula, ampat pertanda tempat Ki Remeng mengu- burkan orang-orang yang pernah dibunuhnya. Meskipun tidak nampak gundukan tanah sebagaimana terdapat di kuburan, namun Ki Remeng telah memberinya tanda yang hanya diketahuinya sendiri. Diatas kuburan itu Ki Remeng telah meletakkan sebuah batu yang cukup besar serta ditanamnya batang-batang sembojan diatasnya.

Kedua anak muda itu memang menjadi berdebar-debar.

Jika mereka tidak berhasil mempertahankan diri, maka mereka berdua juga akan terbujur di sebelahnya pula.

Dengan singkat Ki Remeng juga menceriterakan ke- empat orang yang datang tidak bersama-sama. Seorang demi seorang. Kebanyakan dari mereka ternyata hanya menduga-duga saja bahwa Ki Remeng mengetahui tempat benda-benda berharga itu disembunyikan.

Aku membunuh mereka semata-mata karena aku mempertahankan diri “ berkata orang tua itu “ mereka memaksa aku untuk mengatakan dimana benda-benda berharga serta pusaka-pusaka itu disembunyikan. “

Bukankah kami berdua tidak memaksa Ki Remeng untuk mengatakan sebagaimana orang-orang itu? Tetapi kenapa Ki Remeng juga akan membunuh kami? “ ber tanya Risang.

Sudahlah ngger “ desis Ki Remeng “ jika hal itu tidak kautanyakan kepadaku, maka aku merasa bahwa aku memang tidak berhak lagi untuk tetap hidup. “

kami hanya ingin mengetahui, apakah benar Ki Remeng membunuh orang-orang itu karena memper- tahankan diri? “ sahut Risang.

Benar anak muda. Tetapi jika aku ingin membu- nuhmu itu, karena kalian terlalu banyak mengetahui. “

Risang tidak bertanya lagi tentang keempat orang yang telah terbunuh itu. Tetapi Risang dan Kasadha mulai bertanya tentang paman Ki Lurah Mertapraja.

Aku berkata sebenarnya anak-anak muda, bahwa aku tidak tahu pasti dimana Ki Mawur itu berada. Tetapi aku yakin bahwa ia berada ditangan orang-orang yang telah berkhianat terhadap perguruan Wukir Gading itu. “ jawab Ki Remeng.

Apakah Ki Remeng sama sekali tidak mempunyai gambaran, dimana mereka berada? “ bertanya Kasadha.

Tidak. Tetapi jika anak-anak muda bersungguh- sungguh untuk membebaskan Ki Mawur, maka aku akan bersedia membantu. Namun kalian harus menyadari, bahwa kita akan berhadapan dengan orang-orang berilmu tinggi. “

Apakah menurut perhitungan Ki Remeng kita tidak akan mampu menghadapi mereka? “ bertanya Ka sadha. Kalian berdua memang berilmu tingi. Tetapi yang aku tidak tahu, berapa orang yang harus kita hadapi. “ berkata Ki Remeng.

Aku berkata sesungguhnya, bahwa Ki Lurah Mertapraja benar-benar berharap bahwa pamannya dapat diselamatkan. Bagi Ki Lurah, maka nilai pamannya itu baginya, jauh lebih tinggi dari benda-benda berharga yang telah diberitahukannya kepadaku. Juga lebih tinggi dari pusaka-pusaka yang disebutnya berasal dari langit itu. Bahkan segala macam cita-cita dan jabatan yang diingin- kannya. Karena itu, kami benar-benar ingin menolongnya.

Ki Remeng memandang kedua orang anak muda itu dengan ragu-ragu. Sementara Kasadha menjelaskan “ Ki Remeng. Jika kami adalah orang-orang tamak yang hanya mementingkan harta-benda, maka bagi kami segalanya sudah dapat kami lakukan. Tanpa datang kepada Ki Remeng dan tanpa berusaha menemukan Ki Mawur. Jika hal ini aku katakan, sebenarnya aku ingin meyakinkan Ki Remeng, bahwa kedatangan kami kemari, bukan semata- mata karena ketamakan kami. Sebenarnyalah kami yakin bahwa ada yang bernilai lebih tinggi" dari harta-benda yang seberapapun banyaknya. “

Ki Remeng mengangguk-angguk. Katanya “ Aku menyesal sekali akan sikapku tejrhadap kalian anak-anak muda, meskipun aku belum tahu pasti, apakah yang sebe- narnya sedang kalian lakukan. Karena aku masih merasa bahwa ada hal-hal yang kalian sembunyikan. “

“ Kau benar Ki Remeng. Tetapi nanti malam setelah kita berada dibukit, maka semuanya akan menjadi jelas bagimu. Tidak akan ada lagi yang tersembunyi. Senang atau tidak senang, kau akan melihat satu kenyataan. Tetapi jika kau benar-benar ingin melihat Ki Lurah Mertapraja selamat dan dalam keadaan baik, maka kau tidak 'mempunyai pilihan lain kecuali membantu kami menemukan benda-benda berharga itu serta melepaskan Ki Mawur dari tangan orang- orang yang sudah memberontak dan menangkapnya saat ia berada dalam keadaan parah. “

Ki Remeng mengangguk-angguk, la memang menyadari kedudukannya, bahwa ia tidak akan dapat melawan kehendak kedua orang anak muda yang masing-masing mampu meredam ilmunya yang tertinggi.

Ketika kemudian matahari bergeser dan turun diarah Barat, Kasadha dan Risangpun segera bersiap-siap untuk pergi ke bukit. Keduanya juga mempersilahkan Ki Remeng untuk bersiap-siap, karena mereka akan melihat apakah harta-benda yang dipersoalkan itu memang ada.

Demikianlah, sedikit lewat senja, ketika orang itupun telah meninggalkan rumah Ki Remeng untuk menuju ke bukit kecil ditengah-tengah padang perdu itu. Diatas bukit kecil itu dilereng berbatu-batu tersimpan harta-benda yang tidak terhingga nilainya serta sepasang pusaka yang diang- gap sangat berharga karena pusaka pusaka itu telah ditu- runkan dari langit.

Seperti yang direncanakan, maka Kasadha dan Risang telah sepakat akan bertemu dengan Sambi Wulung, Jati Wulung dan pemimpin kelompok prajurit dari Pajang itu.

Demikian Kasadha bertiga keluar dari padukuhan, merekapun segera berjalan menyusuri jalan bulak yang panjang. Kemudian mereka memasuki padang rumput, lalu merekapun memasuki sebuah padang perdu.

Dalam pada itu, Sambi Wulung, Jati Wulung dan pemimpin kelompok itu ternyata telah berada disebelah Barat bukit sebagaimana direncanakan. Jika tidak mungkin, maka mereka akan menunggu disebelah Selatan bukit.

Namun ternyata bahwa menurut Sambi Wulung, tidak ada sesuatu yang perlu dicemaskan jika mereka berada disebelah Barat bukit. Demikianlah ketiga orang itu telah menunggu sambil duduk diatas bebatuan. Bahkan Jati Wulung yang berada diatas batu yang besar, telah membaringkan dirinya. Rasa- rasanya tulang belakangnya terasa pegal-pegal setelah sehari-harian berjalan hilir mudik sehingga akhirnya mereka berada disebelah Barat bukit kecil itu.

Namun Jati Wulung itu tiba-tiba telah berguling dan dengan tangkasnya turun dan berjongkok di balik batu itu. Sementara Sambi Wulung dan pemimpin kelompok itupun berusaha untuk bergeser kebelakang batang-batang perdu.

Mereka ternyata telah mendengar langkah kaki kaki beberapa orang yang mendekati tempat mereka.

Namun tiba-tiba saja langkah itu terhenti. Tidak lagi terdengar suara apapun, sehingga bukit kecil dan sekitar- nya itu menjadi sunyi hening.

Baru sejenak kemudian terdengar bunyi burung hantu yang terdengar ngelangut disepinya malam.

Tetapi suara burung hantu itu ternyata telah disahut oleh derik bilalang berkepanjangan.

Dengan demikian maka baik Kasadha, maupun Sambi Wulung menjadi saling mengenal, siapakah yang sedang menunggu dan siapakah,yang sedang lewat.

Beberapa saat kemudian, maka dua kelompok kecil yang masing-masing terdiri dari tiga orang itupun telah bertemu.

Ki Remeng memang menjadi curiga, bahwa sesuatu yang tidak dikehendaki akan terjadi. Apalagi ketika Kasadha bertanya “ Ki Remeng. Apakah belum ada sosok tubuh

yang dikuburkan disini? “

Ki Remeng termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menjawab “ Sepengetahuanku belum ana k muda. “

“ Bagaimana pendapatmu jika dikaki bukit ini juga dikubur sesosok tubuh yang beku? “ Jawab Ki Remeng memang mengejutkan. Demikian pasrahnya ia kepada keadaan, sehingga yang terbayang di mata Kasadha dan Risang adalah orang tua yang tertatih- tatih dan keletihan berjalan disudut padukuhan setelah bekerja sehari-harian di sawahnya. Sehingga dengan demikian, maka Ki Remeng yang hadir dikaki bukit itu adalah bukan Ki Remeng yang tegar dan garang, yang me- ngubur ampat orang yang telah dibunuhnya dibelakang rumahnya. Tetapi kembali sosok orang yang ditemuinya di sudut padukuhan.

Dengan nada rendah Ki Remeng itu menjawab “ Anak - anak muda. Apapun yang akan kau lakukan atas aku dan atas harta-benda berharga itu akan dapat kalian lakukan. Membunuh aku, kemudian mengambil benda-benda berharga itu. Bukankah aku tidak akan dapat melawan? Namun demikian, masih ada satu permintaanku justru sebagaimana yang kalian janjikan, bahwa aku akan mengetahui segala-galanya jika aku sudah berada disini. Mungkin rencana kalian, setelah memberikan pengakuan itu, kalian akan menyingkirkan aku untuk selama-lamanya, agar aku tidak dapat berbicara lagi kepada siapapun dan tentang apapun.

“ Kau masih saja curiga, Ki Remeng “ jawab Kasadha “ sudah aku katakan, bahwa kita akan bersama-sama membebaskan paman dari Ki Lurah Mertapraja itu.

Ki Remeng mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak ber- bicara apapun. Matanya yang redup memandang bukit kecil berbatu-batu itu. Bukit yang sudah beberapa lama ditungguinya, karena didalamnya tersimpan benda-benda berharga serta pusaka-pusaka yang dipercayainya akan da- pat mengangkat derajat perguruan Wukir Gading. Namun Ki Remengpun harus melihat kenyataan, bahwa didalam tubuh perguruan Wukir Gading sendiri telah terjadi benturan sikap dari para pendukungnya.

Dalam pada itu, maka Kasadhapun berkata “ Ki Re meng.

Aku akan menepati janjiku. Aku akan mengatakan yang sebenarnya tentang kami dan tugas tugas kami. “

Ki Remeng menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih berdiam diri.

Merekapun kemudian telah duduk diatas bebatuan.

Dengan hati-hati Kasadhapun telah menjelaskan apa yang sebenarnya sedang dilakukan, la tidak menyembunyikan kenyataan tentang dirinya dan tentang Risang serta orang- orang yang datang bersamanya.

Ki Remeng mengangguk-angguk kecil. Ternyata ia telah berhadapan dengan sekelompok kekuatan yang datang dari Pajang. Kekuatan yang tidak mampu diatasinya.

Tetapi satu hal yang membesarkan hatinya, bahwa anak-anak muda yang justru memimpin sekelompok petugas dari Pajang itu bukan orang-orang yang berhati batu. Mereka masih mendengarkan panggilan nurani mereka. Mereka bukan saja menjalankan tugas, tetapi mereka benar-benar berniat membebaskan Ki Mawur yang berada ditangan orang-orang yang telah memberontak ter- hadap pimpiiian perguruan Wukir Gading.

Ki Remengpun percaya bahwa niat itu bukannya ter- masuk tugas yang dibebankan kepada mereka oleh para pemimpin di Pajang. Tetapi semata-mata karena mereka berniat untuk membantu memperingan penderitaan Ki Lu- rah Mertapraja. Meskipun Ki Lurah itu seorang tawanan bagi mereka, namun mereka tidak sampai hati membiarkan Ki Lurah itu menderita berkepanjangan.

“ Bagaimana pendapatmu Ki Remeng “ tiba -tiba Kasadha bertanya dengan nada berat.

Ki Remeng termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “ Aku be rhadapan dengan satu kenyataan. Tetapi bagiku, rencana kalian untuk membebaskan Ki Mawur adalah rencana yang didorong oleh rasa kemanusiaan yang tinggi itu membesarkan hatiku. “

“ Bagaimana pendapat Ki Remeng tentang sikap Pa- jang? “ bertanya Kasadha pul a.

“ Menurut jalan pikiran para pemimpin di Pajang, sikap itu wajar sekali. “ jawab Ki Remeng.

Apakah Ki Remeng masih tetap pada pendirian Ki Remeng untuk membantu kami melepaskan Ki Mawur dari tangan orang-orang yang telah menangkapnya? “

Ya “ jawab Ki Re meng “ aku membayangkan satu penderitaan yang berkepanjangan. Orang-orang yang menawannya itu tentu berusaha untuk memeras keterangannya, sementara ia dalam keadaan yang sangat lemah. Aku yakin bahwa Ki Mawur akan tetap meraha- siakan tempat benda-benda berharga serta pusaka-pusaka itu disembunyikan. Tetapi dalam keadaan antara sadar dan tidak dapat saja diluar kehendaknya, meluncur nama-nama yang bersangkutan dengan benda-benda berharga itu. Karena itu, pernah datang beberapa orang yang memaksaku untuk berbicara tentang benda-benda ber- harga itu. “

Jika demikian, baiklah. Kami akan meneruskan segala rencana kami. Kami akan memindahkan benda-benda itu dari tempatnya, karena kami masih belum akan langsung kembali meninggalkan tempat ini. Kami masih harus mencari orang yang bernama Ki Mawur dan membawanya ke Pajang, Jika Ki Mawur itu dapat diselamatkan, maka hal itu akan banyak berarti, bukan saja bagi Ki Lurah Mertapraja, tetapi juga tentang banyak hal, terutama yang menyangkut orang-orang Wukir Gading.

Apakah benda-benda berharga dan pusaka-pusaka it u akan dipindahkan? “ bertanya Ki Remeng.

Ya “ jawab Kasadha.

Apakah menurut pendapat kalian, memindahkan benda-benda berharga itu akan menjadi lebih baik bagi keselamatan benda-benda berharga itu? “ bertanya Ki Remeng.

Menurut pendapatku memang demikian “ jawab Kasadha “ setidak -tidaknya ki Mawur tidak akan dapat menunjukkan tempatnya jika diluar sadarnya ia berbicara tentang benda-benda itu. Aku yakin, dalam keadaan sadar ia tidak akan mengatakannya betapapun tingkat penderi- taan yang dialaminya. Tetapi sesorang akan dapat kehi- langan kesadarannya sesaat jika ia berada dalam keadaan yang parah. Panasnya dapat meninggi, sehingga kehi- langan kendali atas kata-kata yang diucapkannya. “

Ki Remeng mengangguk-angguk. Sementara itu Risangpun bertanya “ Menurut pendapat Ki Remeng, apakah kita akan mengalami kesulitan untuk memindahkan benda-benda berharga itu? “

Ki Remeng menggeleng. Katanya “ Tidak. Benda -benda berharga itu ada didalam beberapa peti yang tidak terlalu besar, sehingga kita masing-masing akan dapat membawa satu peti. “

“ Baiklah “ berkata Kasadha “ kita akan mencari tempat yang paling baik untuk menyimpan benda-benda berharga itu. Sebelum matahari terbit, kita harus sudah dapat menyelesaikan pekerjaan kita. “ Ki Remeng mengangguk mengiakan. Namun kemudian katanya “ Apakah rencana kalian akan memindah kan benda-benda berharga itu ditempat yang jauh, atau sekedar beringsut dari tempatnya? “

“ Untuk sementara, kita akan menggeser saja benda- benda berharga itu. Tetapi untuk selanjutnya kita harus benar-benar mengamankannya. “ jawab Kasadha.

Ki Remeng mengangguk-angguk, sementara Risang bertanya “ Apakah Ki Remeng mengetahui tempat yang terbaik untuk memindahkan benda-benda berharga itu? “

Ki Remeng termangu-mangu sejenak. Sambil meman- dang kekejauhan ia berkata “ Disekitar tempat ini lingkungannya hampir sama. Hutan perdu dan tanah berbatu-batu. “

“ Marilah Ki Remeng “ berkata Risang “ kita akan melihat-lihat. “

Ki Remeng memang tidak dapat menolak. Bersama Kasadha dan Risang, Ki Remengpun menelusuri sela-sela pohon perlu untuk mencari tempat yang terbaik yang akan dipergunakan untuk memindahkan benda-benda berharga yang akan digali dari lereng bukit itu, sementara Sambi W ulung dan kedua orang yang lain tetap berada ditempat mereka sambil mengawasi keadaan.

Baru beberapa saat kemudian Kasadha dan Risang menemukan tempat yang baik. Disela-sela bongkah-bong- kah padas yang ditandai oleh sebatang pohon ketapang yang kira-kira berjarak duapuluh langkah serta disisi yang lain terdapat sebuah batu yang sangat besar yang nampak- nya sulit untuk dipindahkan, mereka berpendapat, bahwa tempat itu merupakan tempat yang sesuai. Demikianlah, maka merekapun segera memutuskan untuk memindahkan benda-benda berharga malam itu juga.

Apakah kita mempunyai alat untuk menggali tanah dilereng bukit kecil dan kemudian menggali tempat untuk memindahkan peti-peti itu? “ bertanya Ki Remeng.

Kami sudah memperhitungkannya, Ki Remeng “ jawab Kasadha “ paman Sambi Wulung dan Jati Wulung tentu sudah menyediakannya.,”

Ki Remeng mengangguk-angguk kecil. Namun ia tidak bertanya lagi.

Kasadhapun tidak menunggu lebih lama lagi. lapun kemudian telah minta semua orang yang datang bersa- manya untuk menggali benda-benda berharga yang disem- bunyikan.

Ki Remeng yang ingin meyakinkan dirinya, sengaja tidak menyatakan sesuatu tentang tempat persembunyian

benda-benda berharga itu. Namun ternyata bahwa Kasadha dan orang-orang yang datang bersamanya itu benar-benar mengetahui dengan pasti, dimana benda-benda itu disembunyikan.

“ Mereka tidak berbohong “ berkata Ki Remeng di - dalam hatinya.

Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah tenggelam dalam kerja. Mereka telah menggali tanah yang tidak terlalu keras. Meskipun tempat itu berbatu-batu padas, namun agaknya karena tempat itu memang pernah digali, sehingga tanah yang kemudian ditimbunkan kembali tidak lagi terlalu keras.

Namun ternyata galian tanah tempat benda-benda berharga itu disembunyikan cukup dalam. Karena itu, maka mereka memerlukan waktu cukup lama untuk menggali kembali peti-peti yang disembunyikan ditempat itu.

Berganti-ganti mereka turun kedalam lubang galian itu. Bahkan Ki Remengpun ikut pula turun membantu menggali.

“ Apakah peti-peti itu memang disimpan sangat dalam atau bahkan sudah berhasil diketemukan orang lain? “ bertanya Kasadha diluar sadarnya.

“ Tidak anak muda “ sahut Ki Remeng “ aku ikut menggali lubang ini pula saat peti-peti itu disembunyikan. Hanya ada ampat orang saat itu. Aku, Ki Mawur, Ki Lurah Mertapraja dan Pemimpin Padepokan Wukir Gading itu sendiri. “

“ Tetapi darimana orang-orang yang datang ke- rumahmu mengetahui bahwa kau terlibat dalam usaha menyimpan peti-peti itu? “ bertanya Risang.

“ Aku sependapat dengan kalian. Dalam keadaan tidak sadar karena luka-lukanya yang parah, mungkin karena panasnya meninggi atau karena sebab-sebab lain, Ki Mawur pernah menyebut namaku “ jawab Ki Remeng.

“ Bahkan mungkin tempat ini “ desis Kasadha. Tetapi Ki Remeng menyahut “ Masih beberapa

jengkal lagi. Sudah aku katakan, aku ikut menggali. “

Kasadha dan Risang tidak bertanya lagi. Namun merekapun bekerja semakin keras bergantian.

Ketika Kasadha dan Risang mulai menjadi gelisah, maka tiba-tiba cangkul yang mereka pergunakan telah me- nyentuh sesuatu. Kasadha yang kebetulan mengayunkan cangkul itu justru terkejut. Diluar sadarnya ia berdesis “ Agaknya kita akan segera mendapatkannya. “ Dengan demikian, maka mereka yang menggali lubang yang|cukup besar itu menjadi semakin berpengharapan bahwa kerja mereka tidak sia-sia.

Sebenarnyalah bahwa akhirnya mereka telah mene- mukan setumpuk peti kayu yang berisikan benda-benda berharga itu. Bahkan merekapun telah menemukan sebuah peti kayu yang panjang. Dengan segera mereka me- ngetahui bahwa peti yang panjang itu adalah peti yang dipergunakan untuk menyimpan pusaka tertinggi milik perguruan Wukir Gading. Demikian pula ketika mereka menemukan peti yang besar tetapi pipih. Tentu peti tempat menyimpan perisai yang disebut Nyai Lar Sasi.

Meskipun sudah mulai merapuh, namun peti-peti itu masih cukup kuat bertahan beberapa waktu lagi. Sehingga untuk sementara mereka yang menggali benda-benda ber- harga itu masih belum perlu memikirkan untuk mengganti peti-petinya.

Satu-persatu mereka telah mengangkat peti-peti itu dan menaruhnya disebelah lubang yang besar yang telah mereka gali. Sementara itu malam sudah menjadi semakin dalam. Sedangkan pekerjaan mereka masih cukup banyak. Mereka harus mengangkat dan membawa peti-peti itu, sementara mereka masih harus menggali lubang yang baru. Meskipun tidak sedalam lubang itu, namun lubang itu memang tidak boleh terlalu dangkal.

Ketika peti-peti itu semuanya sudah terangkat, serta keenam orang yang akan memindahkan peti-peti itu sudah berkerumun, maka Kasadhapun berkata “ Kita akan membuka satu dari antara peti-peti itu untuk melihat isinya. Sebelum kita bekerja keras memindahkan peti-peti itu, kita harus yakin, bahwa isinya memang cukup berharga. “ Tidak seorangpun yang menolak. Bahkan Ki Remeng juga tidak, meskipun ia tahu pasti, bahwa isi peti-peti itu adalah barang-barang berharga.

Karena itu, maka Kasadhapun telah membuka satu diantara peti-peti kayu itu. Disaksikan oleh lima orang yang lain, maka Kasadha ingin meyakinkan, apa yang tersimpan didalam peti-peti itu.

Ketika peti itu terbuka, maka orang-orang yang ber- jongkok melingkar itu harus menahan nafasnya kecuali Ki Remeng yang memang sebelumnya sudah lebih dulu mengetahui apakah isinya.

Didalam peti itu terdapat berbagai macam perhiasan yang terbuat dari emas dan berlian. Meskipun didalam ke- gelapan malam, ternyata permata yang terdapat dipeti itu sempat berkilat memantulkan cahaya bintang yang berkeredipan dilangit.

“ Kita sekarang harus mempercayai, bahwa yang dikatakan oleh Ki Lurah itu bukan sekedar igauannya. Benda-benda berharga ini memang benar-benar ada “ berkata Kasadha.

“ Aku mengetahui isi dari peti-peti itu. “ berkata Ki Remeng “ salah satu diantara peti -peti itu berisi bukan perhiasan. Tetapi terdiri dari berjenis senjata. Keris, cun- drik, luwuk, patrem dan sebagainya. Pendok serta sarung- nya terbuat dari emas yang ditretes dengan permata, sehingga harganya menjadi sangat mahal. “

Kasadha mengangguk-angguk. Katanya “ Benda -benda berharga ini nilainya memang sangat tinggi, sehingga beberapa pihak telah mempertaruhkan nyawa mereka untuk mendapatkannya. “ “ Anak-anak muda “ berkata Ki Remeng dengan nada yang berat “ ketika aku tumbuh menjadi seorang remaja, aku sama sekali tidak pernah berpikir, bahwa pada suatu saat aku harus membunuh sesama. Tetapi aku tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa aku akhirnya memang menjadi seorang pemunuh. Ketika aku mulai memasuki perguruan, maka jalan kearah itu sudah terasa. Ternyata bahwa setelah aku menjadi semakin tua, maka aku menjadi semakin sering membunuh. Terakhir aku membunuh berturut-turut ampat orang yang datang kerumahku karena benda-benda berharga ini. “

Namun tiba-tiba pembicaraan mereka itupun terputus.

Mereka mendengar isyarat yang aneh. Seperti suara angkup keluwih. Tetapi ditempat itu tidak terdapat pohon keluwih.

Kasadha yang mendapat perintah untuk mempertang- gung-jawabkan tugas yang berat itu, bergeser selangkah sambil menengadahkan wajahnya. Sementara itu, suara yang terdengar itu segera hilang. Yang terdengar kemudian adalah aum anjing hutan yang kelaparan.

Ki Remeng yang kemudian juga bangkit berdiri berkata “ Aku tidak pernah mendengar aum anjing seperti itu. Disini tidak ada anjing hutan, apalagi serigala. “

Jadi, maksud Ki Remeng, suara itu merupakan isyarat? “ bertanya Risang.

Ya “ jawab Ki Remeng.

Aku sependapat “ sahut Kasa dha. Lalu iapun kemudian berkata dengan nada meninggi “ Kita harus bersiap menghadapi segala kemungkinan. “

Keenam orang itupun segera mempersiapkan diri.

Dengan nada berat Kasadha berkata “ Ternyata ada juga orang yang mengetahui tempat ini. Mereka tentu orang- orang berilmu tinggi. Kita sama sekali tidak mengetahui bahwa yang kita lakukan selama ini dalam pengamatan orang lain. “

Mereka tentu orang-orang yang pernah mendengar namaku. Mereka mengawasi rumahku siang dan malam tanpa henti-hentinya. Sehingga akhirnya mereka mendapat kesempatan ini. “

Atau Ki Mawur benar-benar telah terlepas dari kesadarannya sehingga terlanjur dari mulutnya rahasia yang dipertahankannya mati-matian itu? “ desis Risang.

Berhati-hatilah “ berkata Kasadha “ mereka adalah orang-orang berilmu tinggi. “

Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, mereka mendengar gemerisik langkah dari dua arah.

Sejenak kemudian, ampat orang telah berdiri beberapa langkah dari Kasadha yang berdiri dipaling depan. Seorang diantara mereka adalah seorang yang bertubuh kecil.

Namun agaknya orang itulah yang menjadi pemimpin dari keempat orang yang datang itu.

Akhirnya kami menemukan apa yang kami cari, Remeng. Selama ini kami hanya menduga-duga saja. “ berkata orang bertubuh kecil itu itu “ tetapi aku ti dak mengira bahwa kau akhirnya telah berkhianat. Kau telah memberatkan nyawamu daripada kesetianmu kepada perguruankita. “

Apa maksudmu? bertanya Ki Remeng.

Ampat orang telah kau bunuh. Kami mengagumi ilmumu yang sangat tinggi. Namun ketika datang dua orang yang mampu mengalahkanmu, maka ternyata kau tidak berani menangung akibatnya untuk tidak membuka rahasia dari benda-benda berharga milik perguruan kita.

Aku tidak tahu apa yang kau katakan. “ desis Ri Remeng. Ki Remeng. Kami berempat tidak mau datang menemuimu. karena kami menganggap bahwa kau adalah seorang yang memiliki kesetiaan yang sangat tinggi. Kau tidak akan mengatakan dimana benda-benda berharga itu disembunyikan. Kami mengira bahwa kau tentu akan me- milih mati seandainya kami berusaha memeras keterang- anmu. Karena itu, aku memilih dengan sabar menunggu bahwa satu saat kau akan melihat benda-benda berharga it u atau mungkin memindahkannya setelah ampat orang datang kepadamu, namun berhasil kau bunuh. Tetapi dugaanku salah. Ternyata kau tidak memilih mati. Ketika kau dapat dikalahkan oleh kedua orang anak muda itu, kau telah membuka rahasia demi keselamatanmu. Tetapi kamilah yang ternyata telah beruntung. Kamilah yang akan memiliki benda-benda berharga itu. Namun ketahuilah, bahwa kami akan tetap menjunjung tinggi perguruan kita. Kami akan tetap mempergunakan benda-benda berharga itu bagi kepentingan perguruan. “ berkata orang bertubuh kecil itu.

Kau jangan mengigau Surabawa. Kau kira aku tidak tahu apa yang telah kau lakukan bersama beberapa orang kawanmu? Kau telah berkhianat dan memberontak terhadap guru. Kau bunuh guru yang sedang sakit dan kau bawa Ki Mawur yang terluka parah, karena kau inginkan benda-benda berharga ini. Kesetianmulah yang telah men- jadi kabur karena nafsumu menguasai harta benda ini. Kau kira aku tidak tahu, bahwa kau telah bekerja sama dengan seorang prajurit Madiun yang juga akan berkhianat terhadap Kangjeng Panembahan di Madiun. Kalian bersepakat untuk mempergunakan benda-benda yang ni- lainya tidak terhitung ini untuk membeayai sebuah peng- khianatan yang lebih besar. “ Tetapi orang bertubuh kecil itu tertawa. Katanya “ Aku tidak berkeberatan apapun yang hendak kau katakan, karena sebentar lagi kau dan orang-orang yang telah menemukan benda-benda berharga milik perguruan kita ini akan mati. Kau tidak pantas lagi hidup, dengan gelimang pengkhianatanmu itu. Jika kelak cita-cita perguruan Wukir Gading tercapai, maka orang-orang seperti kau ini, jika masih diberi kesempatan hidup, akan mengaku sebagai orang-orang yang paling berjasa dan menuntut penghargaan tertinggi dari perguruan. “

“ Bagaimana dengan kau, Surabawa? “ bertanya Ki Remeng.

Surabawa tertawa berkepanjangan. Katanya “ Seba - gaimana kau lihat, aku memang seorang pahlawan, karena aku telah menyelamatkan benda-benda berharga ini dari orang-orang yang tidak kita kenal. “

Kenapa kau tidak memperkenalkan dirimu kepada orang-orang yang datang ini? “ bertanya Ki Remeng.

Tentu. Karena sebentar lagi mereka akan mati, ada baiknya aku mengenal nama-nama mereka, asal mereka dan untuk apa mereka berusaha untuk mengambil benda- benda berharga itu. “ jawab orang yang disebut Sura bawa itu.

Apakah itu perlu Ki Sanak “ tiba -tiba saja Kasadha menyahut sambil melangkah maju.

“ Perlu sekali Ki Sanak “ sahut Surabawa.

Bukankah kau melihat isegala sesuatunya yang ter- jadi? Bukankah kau melihat bagaimana kami berdua dapat mengalahkan Ki Remeng dan bahkan kau dapat menyebut kami anak-anak muda? Dengan demikian maka kalian tentu mendengar percakapan kami. Kalian tentu mendengar kami menyebut nama kami, asal kami dan kepentingan kami datang kemari. “ jawab Kasadha. Sayang anak muda. Kami tidak mendekat, tetapi kami yakin, kalian adalah orang-orang berilmu tinggi. Terbukti kalian dapat mengalahkan Ki Remeng. Meskipun kalian berdua, namun untuk mengalahkan Ki Remeng memang diperlukan ilmu yang sangat tinggi. Namun ternyata kalian dapat melakukannya. “

Jika kalian yakin kami dan juga Ki Remeng berilmu tinggi, kenapa kalian sekarang berempat berani datang kemari, sedangkan kami berenam? Apakah itu pertanda bahwa kalian ingin minta agar kami membantu usaha kalian membunuh diri? “ bertanya Kasadha.

Lidahmu ternyata melampaui tajamnya ujung duri kemarung. Baik anak muda. Katakan siapakah namamu, asalmu dan dari siapa kalian tahu bahwa Ki Remeng telah mendapat kepercayaan untuk menunggui harta-benda yang jumlahnya tidak terhingga milik perguruan Wukir Gading itu? “

Kasadhalah yang kemudian tertawa. Katanya “ Rahasia yang kalian sembunyikan itu sudah bukan rahasia lagi.

.Mungkin sebentar lagi akan datang sekelompok orang lain yang akan mengambil benda-benda berharga itu. Jika kami dapat mendengar tentang benda-benda yang kau anggap milik perguruan Wukir Gading itu, maka tentu banyak orang lain yang telah mendengarnya pula, meskipun rahasia itu baru tersebar pada saat-saat terakhir.

“ “ Sebutkan namamu “ bentak Surabawa.

“ Namaku Rantam. Ini kakakku namanya Limpat. “ jawab Kasadha “ kami datang dari ujung bumi

dengan titah untuk mengambil pusaka-pusaka yang turun dari ujung langit. “

“ Cukup “ Sura bawa itu hampir berteriak “ sebut kan nama ayah dan ibumu. Sebentar lagi lehermu akan aku tebas sehingga putus. Kasadha termangu-mangu sejenak. Sementara keempat orang itu mulai bergerak.

Ki Remeng yang menyadari, bahwa keempat orang itu tentu akan membunuhnya dalam keadaan apapun, maka ia telah memilih untuk berpihak kepada Kasadha yang menurut pendapatnya memiliki getar kemanusiaan yang lebih tebal meskipun ia berasal dari luar perguruannya.

Karena itu, maka katanya “ Surabawa. Meskipun kita berasal dari perguruan yang sama, tetapi aku tidak memilih untuk berpihak kepadamu. Apalagi kau datang untuk membunuhku. Karena itu, maka aku akan berdiri dipihak anak-anak muda ini. “

“ Aku sudah mengira. Agaknya kau sudah tidak mempunyai tempat lagi untuk berdiri. Siapapun yang ber- hasil membawa benda-benda berharga itu tentu akan membunuhmu. Karena itu, kau masih mendapat kesem- patan untuk mempergunakan ilmumu yang tinggi itu untuk yang terakhir kalinya. “ berkata Surabawa.

“ Bagus “ berkata Ki Remeng “ kau men genal aku dan aku mengenalmu. Siapa diantara kita yang akan mati malam ini. “

Surabawa mengerutkan dahinya. Katanya “ Jadi kau benar-benar tidak akan menebus dosamu dengan menye- rahkan lehermu? Aku berhak atas nama perguruan men- jatuhkan hubungan mati atasmu. “

“ Ternyata kau mulai merasa gentar, sehingga kau harus berlindung dibalik nama perguruanku. Sudahlah Surabawa, kita sudah sama-sama melampaui pertengahan abad. Kita sudah sama-sama meresapi ilmu sampai ke- tulang sungsum. Sekarang kita akan melihat, siapakah di- antara kita yang ternyata lebih baik. “ berkata Ki Remeng. Surabawa menggeram. Namun kemudian iapun mem- berikan perintah kepada kawan-kawannya. Katanya “ Bersiaplah untuk membunuh. Kita tidak mempunyai pilihan lain. “

Demikian keempat orang itu mulai bergeser, maka Kasadhapun telah bergeser pula. Demikian pula Risang dan Sambi Wulung serta Jati Wulung. Namun Kasadhapun berkata “ Dua diantara kita akan menjaga benda -benda pusaka itu. “

Sambi Wulunglah yang kemudian berdesis kepada Jati Wulung “ Kawani pemimpin kelompok itu menjaga benda - benda berharga yang sudah terlanjur dinaikkan dari lubang itu. “

Jati Wulung mengangguk kecil. Iapun kemudian berdiri didekat peti-peti yang sudah i dikeluarkan dari lubang persembunyiannya itu bersama pemimpin kelompok yang dibawa Kasadha dari Pajang.

Ternyata Ki Remeng langsung bersiap menghadapi Surabawa. Agaknya keduanya memang telah menyimpan persoalan dihati masing-masing, sehingga pada satu kesempatan, mereka benar-benar bersiap untuk bertempur.

Kepada ketiga orang kawannya, Surabawa berkata “ Berhati-hatilah. Dua orang anak muda itu berilmu tinggi. Mereka bersama-sama dapat mengalahkan Ki Remeng yang ternyata pengecut ini. Kalian tidak usah ragu-ragu. Bunuh saja mereka, termasuk kedua orang yang tidak berani memasuki gelanggang itu. Kita akan mengubur mereka bersama Ki Remeng didalam lubang yang sudah mereka gali, sementara peti-peti itu akan kita bawa kembali ke perguruan, karena perguruan kita masih sangat memer- lukannya. “ Ki Remenglah yang menyahut “ Omong kosong. Kalian tidak pernah memikirkan perguruan kita. Benda-benda berharga itu telah membuat kalian berkhianat. “

“ Persetan “ geram Surabawa “ kenapa kedua orang itu tidak bergabung dengan kawan-kawannya? Kesombongan kalian akan membuat kalian menyesal. “

Ki Remeng tidak menjawab. Namun ia mulai bergeser disela-sela bebatuan untuk mencari tempat yang cukup lapang.

Sementara itu, seorang yang bertubuh tinggi besar telah mendekati Kasadha sambil berkata “ Sayang, bahwa kau akan mati muda. “

Kasadha sama sekali tidak menjawab. Namun iapun segera mempersiapkan diri. la sadar, bahwa orang itupun tentu berilmu tinggi.

Yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan telah berhadapan dengan Risang yang sudah bersiap pula. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, orang yang bertubuh ke- kurus-kurusan itu telah meloncat menyerang Risang yang berdiri termangu-mangu.

Namun dengan tangkas Risang sempat mengelakkan serangan itu. Bahkan Risangpun sempat keluar dari sekumpulan) bebatuan meskipun tidak sebesar dua buah batu yang menjadi ancar-ancar tempat penyimpanan benda-benda berharga itu.

Disisi yang lain, Sambi Wulungpun telah terlibat pula dalam pertempuran melawan seorang yang bertubuh sedang, namun yang otot-ototnya seakan-akan telah men- cuat keluar dari kulitnya. Sebenarnyalah Jati Wulung menjadi kecewa bahwa ia harus menyingkir dari arena, karena Sambi Wulung meng- anggap bahwa sebaiknya ia bertempur seorang diri. Namun bagi Jati Wulung, Sambi Wulung adalah saudara tua seperguruan, sehingga ia merasa bahwa Sambi Wulung memang memiliki kelebihan daripadanya. “

Karena itu, maka Jati Wulung tidak membantah.

Meskipun demikian, maka Jati Wulung dan pemimpin kelompok itupun selalu bersiap menghadapi kemungkinan- kemungkinan lain yang dapat terjadi. Jika keadaan menjadi gawat, maka mereka tentu tidak akan tetap berdiam diri saja.

Demikianlah, maka Ki Remengpun telah mulai bertempur pula. Sekali-sekali masih terdengar Surabawa tertawa.

Namun suara tertawanya semakin lama menjadi semakin hambar dan akhirnya hilang sama sekali, la harus benar- benar memusatkan perhatiannya kepada lawannya.

Surabawa tahu bahwa Ki Remeng memang berilmu tinggi. Tetapi ternyata bahwa Ki Remeng yang dihadapinya itu memiliki kemampuan lebih tinggi dari dugaannya.

Sementara itu ia mengetahui bahwa Ki Remeng telah dikalahkan oleh kedua orang anak muda itu. Karena ia melihat dari kejauhan didalam keremangan malam, maka ia tidak dapat menilai dengan pasti kemampuan kedua orang anak muda yang telah berhasil menemukan tempat persembunyian benda-benda berharga itu setelah mereka mengalahkan Ki Remeng. Baru dihari berikutnya, Surabawa berhasil melihat kedua orang anak muda itu lagi meskipun dari kejauhan. Namun keduanya tidak lagi sedang memperlihatkan kemampuan mereka. Meskipun keduanya seperguruan, tetapi Surabawa dan Ki Remeng sudah agak lama berpisah, sehingga keduanya tidak lagi tahu pasti perkembangan ilmu masing-masing. Ternyata perkembangan ilmu Ki Remeng dalam waktu yang singkat telah meningkat dengan pesat. Sehingga ketika pertempuran menjadi semakin sengit, maka

Surabawa mulai digelisahkan oleh kemampuan Ki Remeng.

Orang yang bertubuh tinggi besar dan berilmu tinggi pula berusaha dengan cepat untuk menguasai anak muda yang mengaku bernama Rantam itu. Namun ternyata bahwa ilmunya yang tinggi itu juga telah membentur ilmu yang tinggi pula. Beruntunglah bahwa Kasadha saat itu sudah menyelesaikan laku yang dijalaninya untuk mewarisi ilmu gurunya sampai tuntas. Sehingga karena itu, maka ia dapat mengimbangi kemampuan lawannya yang tinggi itu.

Sementara itu, Risangpun tidak segera dapat dikuasai oleh lawannya. Anak muda itu juga sudah sampai kepada tingkat tertinggi dari tataran ilmu yang diwarisinya dari kedua orang kakek dan seorang neneknya. Sehingga dengan demikian, maka Risang memiliki bekal yang mapan untuk menghadapi lawannya yang kekurus-kurus-an itu.

Uilingkaran pertempuran yang lain, Sambi Wulung dengan hati-hati menghadapi lawannya, la sadar, bahwa orang-orang yang datang itu tentu orang-orang berilmu tinggi. Sikap mereka yang yakin akan dapat mengambil benda-benda berharga itu menunjukkan bahwa mereka mempunyai kepercayaan diri yang sangat besar.

Tetapi Sambi Wulung juga bukan anak kemarin sore didunia olah kanuragan. Kematangan ilmu serta pengalamannya yang sangat luas, membuat Sambi Wulung menjadi seorang lawan yang sulit untuk dapat dikalahkan oleh lawannya.

Demikianlah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit.

Ki Remang yang menganggap Surabawa telah ber- khianat, bahkan telah menahan Ki Mawur, tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyelesaikannya. Sebaliknya Surabawa yang ingin memiliki benda-benda berharga itu seutuhnya, memang tidak akan memberi kesempatan Ki Remeng untuk tetap hidup.

Karena itu, maka keduanyapun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk membuat perhitungan sampai akhir.

Ternyata kedua orang yang memiliki ilmu dari sumber yang sama itu telah berhasil mengembangkannya. Meski- pun dasar-dasar ilmu mereka masih menunjukkan beberapa ciri yang bersamaan, namun pengembangannya memang berbeda. Ki Remeng yang tua itu seolah-olah menja- dikan unsur-unsur gerak yang dikuasainya menjadi berat. Namun setiap gerakannya menjadi sangat berbahaya bagi lawannya. Sementara itu, Surabawa tubuhnya bagaikan tidak mempunyai bobot lagi. la berloncatan dengan cepat, menyilang dan membujur. Namun kemudian tiba-tiba saja serangan datang seperti angin ribut.

Tetapi Ki Remeng tetap tegar menghadapi kecepatan gerak lawannya, la sama sekali tidak menjadi bingung. Dengan sedikit beringsut, Ki Remeng sudah berhasil meng- halau serangan-serangan lawannya yang datang beruntun.

Namun dengan demikian bukan berarti bahwa Ki Remeng tidak mampu bergerak cepat. Pada satu kesem- patan, tiba-tiba saja Ki Remeng itupun menyerang dengan cepatnya menyeruak pertahanan Surabawa.

Dengan demikian pertempuran antara keduanyapun menjadi semakin lama semakin sengit.

Orang yang bertubuh tinggi besar itupun terkejut ketika serangannya membentur pertahanan Kasadha. Ternyata anak muda itu memiliki tenaga yang sangat besar pula.

Dengan demikian maka orang bertubuh raksasa itu harus berhati-hati. lapun menyadari, bahwa seseorang yang telah berani datang ketempat itu, dan bahkan berani bertempur melawan Ki Remeng meskipun berdua, tentu orang yang memiliki bekal yang cukup.

Karena itu, maka orang bertubuh tinggi danbesaritu tidak dapat dengan tergesa-gesa berusaha menyelesaikan pertempuran, la harus berusaha mengetahui kekuatan dan kelemahan lawannya yang masih muda itu.

Sementara itu, Kasadha yang baru saja mewarisi seluruh landasan ilmu dari perguruannya, justru didorong untuk mencoba kemampuan tertinggi yang telah diwarisinya itu.

Sebelumnya ia memang telah mencoba kemampuannya itu melawan puncak ilmu Ki Remeng. Ternyata bahwa ia mampu mengimbangi kemampuan pekatik tua itu. Se- hingga karena itu maka ia ingin menilai ilmunya lebih jauh dengan perbandingan ilmu dari orang berilmu tinggi yang lain.

Karena itulah, maka Kasadhapun dengan tegar meng- hadapi lawannya. Meskipun lawannya itu ujudnya lebih tinggi dan lebih besar dari anak muda itu, namun Kasadha sama sekali tidak terdesak surut.

Bahkan semakin lama kekuatan Kasadha seakan-akan menjadi semakin bertambah-tambah. Ketika lawannya yang bertubuh raksasa itu meningkatkan kemampuannya, maka justru Kasadfialah yang telah mendesaknya.

Raksasa itu menggeram marah. Apalagi ketika Kasadha mulai berhasil menembus pertahanannya. Sekali-sekali serangan Kasadhalah yang telah mengenai tubuh lawannya.

Sementara itu, orang yang bertubuh tinggi kekurus- kurusan yang bertempur melawan Risang ternyata memiliki kecepatan gerak yang sangat tinggi. Kakinya yang panjang berloncatan bag&ikan tidak menyentuh tanah.

- Tetapi Risang tidak terpancing oleh tata gerak yang panjang dari lawannya. Bahkan Risangpun kemudian seolah-olah tidak beringsut dari tempatnya, la hanya ber- putar dan bergeser sedikit-sedikit saja. Bahkan seakan” akan kakinya justru telah melekat ditanah berbatu padas dilereng bukit kecil itu.

Lawannyalah yang justru kehilangan kesabaran. Karena Risang tidak, terpancing oleh gerakannya, maka orang itulah yang kemudian menyerangnya beruntun seperti ombak dilautan. Susul-menyusul tidak henti-hentinya.

Risang masih tetap kokoh seperti batu karang. Se- rangan-serangan itu justru tidak dihindarinya. Tetapi beberapa kali ia sengaja membentur serangan itu.

Namun dengan demikian Risang telah menunjukkan keperkasaannya, sehingga lawannya mulai menjadi gelisah. Tataran demi tataran sudah didaki, sehingga orang itu sudah mencapai kemampuannya yang tertinggi. Namun orang yang bertubuh tinggi itu sama sekali masih belum dapat menundukkan anak muda itu.

Sekali-sekali orang itu sempat melihat apa yang terjadi dilereng bukit itu. Ternyata bahwa ketiga kawannya yang lain, masih juga belum berhasil menguasai lawannya. Sebenarnyalah menurut perhitungan mereka, bahwa salah seorang dari mereka akan dengan cepat mengalah- kan lawannya. Kemudian maka yang lainpun akan segera dapat dikalahkannya pula.

Ki Surabawapun ternyata masih belum mampu mengalahkan Ki Remeng. Jika ia dapat mengalahkan pe- katik tua itu, maka ia akan dapat membantu kawan- kawannya untuk membunuh satu demi satu orang-orang yang sudah menguasai peti-peti itu.

Tetapi Ki Surabawa dan kawan-kawannya memang salah hitung. Yang mereka perhitungkan memang tidak lebih dari tiga orang. Ki Remeng dan dua orang anak muda yang menurut penglihatan mereka, bersama-sama mengalahkan Ki Remeng.

Jika ada orang lain, maka orang lain itu tentu orang- orang yang tidak berdaya dan memang tidak perlu diper- hitungkan.

Tetapi ternyata seorang kawan Ki Surabawa yang ber- tempur melawan Sambi Wulung juga telah mengalami kesulitan.

“ Iblis dari mana saja yang datang ketempat ini “ geram Ki Surabawa didalam hatinya.

Namun Ki Remeng itupun sangat menjengkelkannya.

Meskipun Ki Surabawa telah mengerahkan kemampuannya, tetapi ia masih juga belum berhasil mengalahkan Ki Remeng.

***
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar