Sayap-Sayap Yang Terkembang Jilid 28

Jilid 28

KASADHA dan Barata tidak membiarkan raksasa itu menangkap kepala mereka dan membentur dengan kepalanya sendiri. Karena itu, kedua anak muda itu bergerak dengan cepat menghindar.

Tetapi kedua raksasa itu seperti orang yang tidak berperasaan berjalan dengan kedua tangan teracu kedepan mengikuti gerak Kasadha dan Barata.

Kedua orang anak muda itupun kemudian telah berpencar. Mereka telah memutuskan untuk memenangkan pendadaran itu, meskipun mereka sadari, bahwa lawan mereka memiliki kekuatan yang sangat besar.

Karena kedua orang raksasa itu maju terus dengan kedua tangan terjulur kedepan, maka kedua anak muda itu harus mengambil sikap yang tepat untuk menghadapinya. Mereka sadari, jari-jari tangan orang itu tentu mampu mencengkam dan mematahkan tulang-tulang mereka. Para prajurit yang menyaksikan pendadaran itu termangu-mangu. Beberapa orang bahkan memastikan bahwa Barata dan Kasadha akan mengalami kesulitan, meskipun mereka tahu bahwa kedua anak muda itu memiliki kelebihan dari para prajurit yang lain. Tetapi berhadapan dengan raksasa-raksasa itu, mereka tidak akan dapat banyak berbuat. Sedangkan sebagian besar dari para prajurit itu merasa betapa perbuatan pimpinan mereka itu tidak adil dengan melakukan pendadaran ulang. Bahkan dengan cara yang sangat tidak masuk akal.

“Untunglah kedua orang perwira tinggi dari Paja ng dan Demak itu datang untuk menyaksikan pendadaran itu, sehingga dengan demikian, tidak akan terjadi keadaan yang sangat buruk bagi Barata dan Kasadha,“ berkata seorang prajurit yang menyaksikan pendadaran itu.

Dalam pada itu, Kasadhalah yang telah mengambil sikap lebih dahulu. Ketika raksasa itu masih saja berjalan maju dengan tangan terjulur kedepan untuk menangkap kepalanya, maka tiba-tiba saja ia telah meloncat menendang pergelangan tangan orang itu.

Orang itu dengan mudah menarik tangannya untuk menghindari tendangan kaki Kasadha. Tetapi yang tidak disangkanya telah terjadi. Dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh matanya, maka tiba-tiba saja raksasa itu menyeringai. Kaki Kasadha yang lain telah berputar dan menghantam lambungnya.

Langkah lawan Kasadha itu memang terhenti sejenak.

Namun iapun kemudian telah maju lagi sambil mengangkat kedua tangannya seperti sebelumnya. Sementara itu Baratapun tidak membiarkan dirinya melangkah surut berputaran. Tetapi tidak seperti Kasadha, maka Barata berusaha untuk menyerang bagian bawah anggauta badan raksasa itu, karena menurut penilaian Barata, orang itu selalu memperhatikan kepalanya saja.

Dengan tidak terduga-duga, maka Barata itu telah meloncat menyerang dengan kaki terjulur, justru kearah lutut lawannya. Untuk menghindari tangkapan tangan lawannya, maka Barata seakan-akan telah menelusur sambil memiringkan tubuhnya rendah-rendah.

Serangan itu, memang tidak terduga-duga. Karena itu, maka lawan Barata itu tidak siap untuk menghindarinya. Serangan pada lututnya itu ternyata mampu mengguncangkannya, sehingga lawan Barata yang bertubuh raksasa itu telah terdorong dua langkah surut.

Namun Barata tidak berhenti pada serangan itu.

Demikian lawannya terguncang, maka iapun dengan cepat melenting berdiri. Serangan berikutnya datang dengan cepat. Tumit Barata telah mengenai dada raksasa itu.

Raksasa itu menggeram. Wajahnya menjadi tegang. Iapun mulai menjadi marah, sehingga ia mulai meloncat pula menyerang anak muda itu.

“Ternyata anak itu memang mampu bergerak cep at,“ berkata Ki Lurah Yudaprakosa didalam hatinya.

Sebenarnyalah, bahwa Barata telah berloncatan untuk memancing lawannya agar membuka diri dalam pertempuran berikutnya.

Ternyata lawan Barata memang terpancing. Ia tidak saja menjulurkan tangannya untuk menangkap kepala lawannya. Tetapi ketika serangan-serangan Barata mulai masuk dan mengenai tubuhnya, maka iapun telah berusaha untuk bertempur dengan cara yang lain.

Raksasa itu memang tidak menyangka, bahwa sasaran pendadaran mereka saat itu adalah anak-anak muda yang memiliki ilmu melampui kebanyakan prajurit.

Sementara itu, Kasadhapun telah mulai dengan serangan-serangannya. Dengan mengangkat kedua tangannya, maka bagian samping tubuh raksasa itu terbuka. Dengan kemampuan dan kecepatan geraknya, maka Kasadha telah berhasil menyerang dan mengenai tubuh lawannya itu beberapa kali.

Dengan demikian, maka yang terjadi kemudian adalah benar-benar perkelahian antara Kasadha dan Barata melawan kedua raksasa yang tidak lagi dapat menganggap tugasnya sebagai tugas yang dengan mudah dapat diselesaikannya seperti biasanya mereka lakukan.

Raksasa yang harus bertempur melawan Kasadha yang menjadi semakin marah oleh serangan-serangan anak muda itu, telah menggeram. Sambil sedikit merendahkan tubuhnya, maka iapun telah menerjang lawannya. Tetapi Kasadha dengan tangkas bergeser kesamping. Dengan sekuat tenaganya ia telah mengerahkan serangannya pada kakinya. Sambil mejatuhkan dirinya ia telah menyapu kaki lawannya yang sedang menyerangnya seperti serangan seekor babi hutan yang sangat garang itu.

Sapuan kaki Kasadha yang dilandasi dengan sekuat tenaganya itu ternyata telah menghantam kaki lawannya. Orang yang bertubuh raksasa itu telah terpelanting dan jatuh terjerembab. Hampir saja ia terloncat keluar arena. Namun ternyata ia terjatuh masih didalam gawar. Kasadha yang menyadari akan kekuatan lawannya itu tidak memberinya kesempatan. Ia sadar, bahwa sulit sekali baginya untuk mengalahkan orang itu. Tetapi Kasadha bertekad untuk dapat melakukannya.

Karena itu, betapa kakinya sendiri merasa sakit karena serangannya itu, namun Kasadha telah melenting berdiri. Ia membiarkan lawannya bangkit. Namun demikian lawannya itu tegak, maka Kasadha telah meloncat sambil menjulurkan kakinya menyamping.

Satu tendangan yang sangat keras telah mengenai dada orang bertubuh raksasa itu. Sekali lagi orang itu terdorong dan bahkan terbanting jatuh menelentang. Sementara itu, Kasadhapun telah terpental selangkah mundur. Kakinya yang sakit disaat ia menyapu kaki raksasa itu, terasa semakin sakit justru ketika ia mengenai dada lawannya itu.

Ketika kemudian Kasadha bangkit, maka ternyata raksasa itu juga berusaha bangkit dengan cepat. Ia pun telah bersiap ketika Kasadha datang menyerangnya beruntun.

Tetapi serangan Kasadha yang datang kemudian tidak sekeras serangan sebelumnya. Karena itu, maka raksasa itu masih mampu bertahan untuk tetap tegak. Dan bahkan mulai memburu Kasadha dengan kemarahan yang hampir meledakkan jantungnya.

Sementara itu, Baratapun telah bertempur dengan tangkas dan cepat. Setiap kali terngiang ditelinganya keterangan Ki Lurah Dipayuda, bahwa lawannya itu lebih banyak mempercayakan diri pada kekuatannya. Tidak pada otaknya. Kelebihan kemampuan mempergunakan otaknya itulah yang telah dipergunakan oleh Barata untuk bertempur melawan lawannya yang bertubuh raksasa itu.

Beberapa kali ternyata Kasadha dan Barata mampu mengenai tubuh lawannya. Semakin sering, maka betapapun kuatnya orang-orang itu, namun terasa semakin sakit. Karena itulah, maka orang-orang bertubuh raksasa itu semakin lama menjadi semakin marah dan bertempur semakin garang.

Dengan bekal kekuatan mereka yang melampui kekuatan orang kebanyakan, serta daya tahan tubuh mereka yang sangat tinggi, maka mereka benar-benar orang-orang yang menakutkan bagi orang lain. Tetapi Kasadha dan Barata yang sudah bertekad untuk berhasil dalam pendadaran itu, telah berusaha untuk mengimbangi lawan-lawan mereka.

Ketika perkelahian itu menjadi semakin keras dan garang, maka baik Kasadha, maupun Barata telah berusaha mengambil jarak, sehingga seluruh arena itu terbagi menjadi dua lingkaran perkelahian. Kedua anak muda itu agaknya sependapat tanpa membuat janji, bahwa untuk melawan kedua orang yang bertubuh raksasa itu, mereka akan berloncatan dengan cepat mengitarinya. Dengan demikian keduanya memang memerlukan tempat yang Ki Lurah Yudaprakosa memang menjadi agak bingung menghadapi kenyataan itu. Ia berharap bahwa kedua orang raksasa itu dengan cepat menyelesaikan tugas mereka.

Mengalahkan Kasadha dan Barata, yang ternyata dibawah pengamatan kedua orang perwira tinggi dari Pajang dan Demak keduanya tidak perlu berbuat berlebihan.

Tetapi ternyata kedua orang yang dianggapnya mempunyai kekuatan melampui orang kebanyakan itu, tidak segera dapat mengalahkan Kasadha dan Barata. Bahkan nampaknya Kasadha dan Barata menjadi semakin lama semakin garang menghadapi kedua orang raksasa itu.

Sebenarnyalah, ketika lawan-lawan Kasadha dan Barata mulai mengerahkan kekuatan mereka yang sangat besar, maka Kasadha dan Baratapun mulai merambah pada ilmu mereka. Kasadha yang telah ditempa oleh keadaan, kemudian dibawah bimbingan guru yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, apalagi anak itu telah dipersiapkan untuk satu perbandingan ilmu yang akan menentukan sebagaimana pernah dilakukan oleh ibunya melawan pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan, telah membuatnya menjadi anak muda yang pilih tanding.

Sementara itu, Barata yang telah membajakan diri dalam asuhan ketiga orang yang memiliki ilmu mumpuni, serta dipersiapkan untuk mewarisi ilmu Janget Kinatelon, adalah seorang anak muda yang jarang ada duanya.

Karena itu, maka pendadaran itupun telah berlangsung dengan keras dan garang. Kedua raksasa yang telah mendapat pesan dari Ki Lurah Yudaprakosa agar tidak membuat kesan yang berlebihan itu telah melupakannya justru karena kedua anak muda itu benar-benar telah menyakitinya. Serangan-serangan mereka yang cepat dan kuat, telah mengenai bagian-bagian tubuh kedua orang lawannya itu dibagian-bagian yang lemah.

Dengan demikian, maka pertempuran di arena pendadaran itu semakin lama menjadi semakin keras. Kasadha dan Barata lebih banyak mempergunakan otaknya dari lawan-lawannya. Namun bukan berarti bahwa keduanya merasa lemah. Meskipun pada dasarnya, kekuatan wajar mereka tidak dapat mengimbangi kekuatan kedua orang bertubuh raksasa itu, tetapi dengan landasan ilmunya kedua anak muda itu mampu membangunkan tenaga cadangan didalam dirinya. Kekuatan yang ada didalam dirinya itu ternyata tidak kalah dahsyatnya dari kekuatan kedua orang yang bertubuh raksasa itu.

Kekuatan itulah yang tidak diperhitungkannya, baik oleh kedua raksasa itu sendiri, maupun oleh Ki Lurah Yudoprakosa, karena Ki Lurah sama sekali tidak menduga bahwa kedua anak muda itu mampu melakukannya.

Dengan kemampuan membangun tenaga di dalam dirinya itu, berlandaskan pada ilmu masing-masing, maka Kasadha dan Barata menjadi dua orang yang memiliki kekuatan tidak kalah dari kedua orang yang bertubuh raksasa itu.

Dalam pertempuran selanjutnya, maka para prajurit memang menjadi berdebar-debar. Apalagi ketika mereka melihat, wajah kedua orang yang dipergunakan oleh Ki Lurah untuk melakukan pendadaran itu sudah menjadi sangat tegang, serta mata mereka mulai menyala.

Namun baik Kasadha, maupun Baratapun telah menjadi marah pula karena perlakuan kasar dan bahkan liar dari kedua orang lawannya itu.

Dalam lingkaran pertempuran yang terpisah, maka Kasadha telah mengimbangi kekerasan lawannya dengan sikap yang keras pula. Bahkan serangan-serangannya menjadi semakin lama semakin cepat. Landasan ilmu semakin nampak pada setiap unsur geraknya sehingga dengan demikian, maka Kasadha justru tidak menjadi semakin terdesak oleh lawannya.

Di lingkaran pertempuran yang lain, di arena pendadaran itu juga, Barata justru sudah mulai membentur serangan lawan. Untuk menunjukkan bahwa kekuatan Barata yang muda itu tidak kalah dengan kekuatan lawannya yang bertubuh raksasa, maka Baratapun mulai mengimbangi serangan-serangan lawannya dengan serangan-serangan pula, sehingga kadang-kadang kedua kekuatan itu saling berbenturan. Namun dengan demikian orang yang bertubuh raksasa itu tidak lagi dapat menggertak Barata dengan tenaga raksasanya, karena dalam setiap benturan, Barata ternyata mampu mengimbangi kekuatannya.

Para prajurit yang menyaksikan pertempuran itu menjadi tegang. Mereka seakan-akan menjadi tidak yakin apa yang disaksikannya. Mereka tidak segera dapat percaya bahwa anak-anak muda itu memang mampu mengimbangi lawannya yang bertubuh raksasa.

Sebenarnyalah ketika orang bertubuh raksasa itu menyerang Barata dengan ayunan tangannya yang besar mengarah ke kening, anak muda itu dengan sengaja tidak mengelak. Tetapi dengan mempergunakan tenaga cadangan serta kekuatan didalam dirinya, maka ia telah membentur ayunan tangan itu dengan sikunya.

Ternyata telah terjadi benturan yang keras. Barata memang terdorong selangkah surut. Namun lawannya yang bertubuh raksasa itupun harus menyeringai menahan sakit. Bahkan iapun telah terpental pula beberapa langkah mundur.

Dalam keadaan yang demikian, justru Baratalah yang meloncat menyusulnya. Ia tidak lagi menghiraukan, apakah serangannya akan mampu menyusup celah-celah pertahanan lawan. Tetapi Barata yang sudah dengan sengaja membenturkan kekuatan dan kemampuannya itu telah langsung menyerang dengan kakinya mengarah kedada. Lawannya yang bertubuh raksasa itu tidak sempat, mengelak, karena ia masih baru saja menemukan keseimbangannya kembali. Karena itu, maka ialah yang kemudian menangkis serangan itu dengan melindungi dadanya. Kedua tangannyapun telah bersilang didepan dadanya. Gelang-gelang kulit yang besar nampak pada pergelangan tangan kanannya hampir sampai ke siku. Sedangkan di pergelangan tangan kirinya terdapat dua lingkar dari jenis akar-akaran yang membelit seperti ular.

Kaki Barata telah membentur kedua tangan yang bersilang itu. Namun ternyata Barata memang tidak mengerahkan kekuatan dan kemampuannya sepenuhnya, sehingga karena itu maka serangan itu tidak menggoyahkan lawannya.

Tetapi yang tidak disangka, dengan cepat Barata memutar tubuhnya bertumpu pada satu kakinya, sedang kakinya yang lain terayun deras menghantam kening lawannya dari samping.

Serangan beruntun itu datang begitu cepatnya, sehingga raksasa yang memang agak lamban itu tidak mampu menangkisnya. Serangan itu benar-benar mengenai keningnya, demikian kerasnya sehingga tubuh yang tinggi besar itu terpelanting dan jatuh terbanting di tanah.

Barata justru melangkah surut. Ia tidak memburu raksasa yarig berusaha bangkit itu. Dibiarkannya lawannya itu berdiri tegak dan mengatur sikap serta membenahi dirinya.

Raksasa itu menggeram. Kemarahannya benar-benar sampai ke ubun-ubun. Segala pesan telah dilupakannya, sehingga yang kemudian bergejolak di kepalanya adalah menghancurkan anak-anak ingusan itu. Ketika lawan Barata itu kemudian berdiri tegak, maka Baratapun telah berdiri tegak pula diatas kedua kakinya yang renggang.

Sementara Barata menunggu lawannya bersiap, maka Kasadha justru telah mendesak lawannya. Kasadha ternyata bertempur dengan keras pula mengimbangi lawannya yang kemarahannya sudah memuncak.

Tetapi justru karena itu, maka serangan-serangannya menjadi tidak terarah dan dengan demikian raksasa itu banyak kehilangan tenaga. Ketika ia menyerang Kasadha dengan tangannya yang siap menerkam wajah anak muda itu, maka ia tidak sempat mengelak ketika Kasadha justru bergeser kesamping dan dengan cepat menyerang lambungnya. Namun raksasa itu masih sempat menangkis serangan itu dengan tangannya, menepis kaki Kasadha sehingga lambungnya tidak terkena. Tetapi Kasadha yang melenting itupun telah menjulurkan tangannya. Dengan jari-jari tangannya yang merapat ia telah menyerang pangkal leher raksasa itu.

Terdengar lawannya berteriak nyaring. Lehernya terasa sakit sekali. Bahkan untuk sesaat pernafasannya bagaikan tersumbat. Karena itulah, maka orang bertubuh raksasa itu harus meloncat menjauhi lawannya.

Dengan demikian maka kemarahan lawan Kasadha itu bagaikan membakar ubun-ubunnya. Untuk beberapa saat ia masih saja meraba pangkal lehernya yang kesakitan serta masih berusaha mengatur pernafasannya.

Namun Kasadha sudah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Ia benar-benar telah berdiri pada lambaran ilmu yang pernah dipelajarinya, maka ia tidak akan gentar. Diluar arena, diatas punggung kudanya, dua orang perwira dari Pajang dan dari Demak memperhatikan pendadaran itu dengan saksama. Bahkan diluar sadarnya keduanya telah tersenyum. Dengan nada rendah, Ki Tumenggung Wiradigda berkata, “Jika saja semua prajurit muda Pajang memiliki kemampuan seperti anak-anak muda itu, maka Mataram tentu tidak akan berhasil mengalahkan pasukan Pajang di Prambanan.”

Tetapi Ki Tumenggung Suraprana menjawab, “Kita sama-sama tahu apa yang terjadi Ki Tumenggung.

Mataram memiliki akal yang tajam. Betapapun tinggi kemampuan prajurit Pajang, namun mereka tidak akan dapat melawan banjir yang ternyata adalah akibat ketajaman akal orang-orang Mataram.”

Ki Tumenggung Wiradigda mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Untunglah anak -anak muda itulah yang harus melawan kedua orang bertubuh raksasa itu sehingga keduanya tidak mengalami bencana pada tubuh maupun bagian dalamnya. Jika prajurit kebanyakan yang lain yang harus mengalami pendadaran ulang seperti itu, maka kedua raksasa itu tanpa belas kasihan akan menghancurkan lawannya.”

“Satu pengalaman yang baik bagi kedua orang yang bertubuh raksasa itu,“ berkata Ki Tumenggung Suraprana. Namun kemudian, “juga satu pengalaman yang baik bagi Ki Lurah Yudoprakosa.”

Ki Tumenggung Wiradigda tertawa. Katanya, “Satu pengalaman yang baik pula bagiku. Ternyata di Pajang tersimpan prajurit-prajurit pilihan yang tidak banyak diketahui oleh orang-orang Demak yang bertugas disini seperti aku.” “Tidak banyak,“ jawab Ki Tumenggung Suraprana, “hanya dua itu. Itupun secara kebetulan ditemukan didalam pasukan Ki Lurah Dipayuda yang kemudian dipegang oleh Ki Lurah Yudoprakosa. Bedanya Ki Lurah Dipayuda dapat memanfaatkan kedua orang prajurit muda itu dengan baik, sementara Ki Lurah Yudoprakosa justru telah memusuhinya.”

Ki Tumenggung Wiradigda mengangguk-angguk. Sementara itu perhatiannya kembali tertambat pada pertempuran di dalam arena pendadaran.

Semakin lama menjadi semakin nampak, bahwa Kasadha dan Barata akan mampu mengatasi segala kesulitan yang dihadapinya dalam pendadaran itu. Lawannya yang mengandalkan kekuatanya itu ternyata masih dapat diimbangi oleh kekuatan dan tenaga cadangan yang tersimpan didalam tubuh kedua anak muda itu yang mampu dibangunkannya berlandaskan pada ilmu dan kemampuan mereka.

Dalam pada itu, kedua orang bertubuh raksasa itu benar-benar telah terdesak. Barata yang tangkas dan bergerak dengan kecepatan yang jauh melampaui lawannya, telah semakin sering mengenai tubuh lawannya dari berbagai arah. Sekali-sekali serangan tangannya justru telah menghantam tengkuk sehingga raksasa itu hampir saja jatuh terjerembab. Namun di kesempatan lain kakinya menghlantam dada lawannya itu sehingga terdorong beberapa langkah surut.

Ki Lurah Yudoprakosa menjadi semakin cemas. Namun iapun dapat menduga, apa yang akan terjadi. Ia yang tahu pasti kekuatan dan kemampuan kedua orang raksasa itu, yang memang sudah terbiasa di pergunakannya untuk menghukum orang lain dengan cara terselubung, menyadari, bahwa kedua orang itu sudah sampai pada puncak kemampuannya.

Tetapi Ki Lurah Yudoprakosa masih mengharap, daya tahan kedua orang itu lebih baik dari daya tahan anak-anak muda yang telah mengerahkan segala macam kekuatan dan kemampuannya.

Namun ia tidak sadar, bahwa justru kedua orang bertubuh raksasa itulah yang telah memeras segala tenaga dan kekuatannya karena ia tidak mampu membangunkan tenaga cadangan didalam dirinya. Keduanya mempergunakan tenaga wajar, namun tenaga wajarnya itu melampaui tenaga kebanyakan orang.

Karena itulah, maka yang kemudian nampak lebih dahulu susut adalah justru tenaga kedua orang raksasa itu.

Akhirnya Ki Lurah Yudaprakosa tidak dapat mengingkari kenyataan. Kedua orang raksasa yang diharapkannya akan dapat menghukum kedua orang anak muda itu dengan cara terselubung telah gagal. Meskipun kegagalan itu sudah nampak saat kedua orang Tumenggung dari Pajang dan Demak datang ketempat pendadaran itu.

Tetapi setidak-tidaknya ia akan mempunyai alasan untuk melakukan tindakan berikutnya jika kedua orang anak muda itu tidak berhasil dalam pendadaran.

Dengan demikian maka Ki Lurah harus mengambil sikap untuk menyelamatkan kedua orang raksasanya itu. Jika kedua orang raksasa itu akhirnya benar-benar dikalahkan, maka akibatnya akan sangat pahit bagi keduanya dan bagi dirinya sendiri. Karena itu, maka ketika Ki Lurah tidak lagi yakin bahwa keduanya akan dapat mengatasi anak-anak muda itu, maka Ki Lurahpun telah berteriak, “berhenti, berhenti.

Pendadaran telah cukup.”

Kedua belah pihak memang berloncatan mengambil jarak. Kedua orang raksasa itupun telah berhenti. Demikian pula Kasadha dan Barata.

Namun Ki Tumenggung Suraprana tiba-tiba saja tertawa, sehingga semua orang berpaling kepadanya.

Ki Tumenggung Wiradigda mengerutkan keningnya.

Dengan nada rendah iapun bertanya, “Ada apa?”

Ki Tumenggung Suraprana masih saja tertawa.

Jawabnya, “Tidak ada apa -apa.”

Ki Tumenggung Wiradigda termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian tersenyum pula sambil bertanya, “Kau lihat bagaimana Ki Lurah menyelamatkan orang - orangnya?”

Ki Tumenggung Suraprana tertawa semakin keras. Jawabnya, “Aku tidak dapat mengatakan seperti itu.

Tetapi kaulah yang dapat mengatakannya.”

“Karena aku juga orang Demak seperti Ki Lurah Yudaprakosa itu?“ bertanya Ki Tumenggung Wiradigda. Namun iapun kemudian tertawa pula. Bahkan lebih keras dari Ki Tumenggung Suraprana.

Ternyata sikap kedua orang Tumenggung itu dirasakan sebagai satu sindiran atas satu kekalahan. Dengan demikian maka kedua orang yang bertubuh raksasa itu telah tersinggung. Mereka memang merasakan tekanan yang sangat berat dari lawan-lawan mereka, tetapi mereka tidak begitu mudah dikalahkan.

Karena itu seorang diantara mereka tiba-tiba saja menggeram, “Pendadaran ini belum selesai.”

“Sudah,“ teriak Ki Lurah, “aku hanya ingin melihat ulang kemampuan kedua prajurit yang sombong itu. Dan sekarang aku sudah melihatnya.”

“Tetapi rencana kita tidak hanya terhenti sampai disini,“ jawab raksasa yang lain.

“Aku yang berhak menyusun rencana, bukan kalian,“ teriak Ki Lurah semakin keras. “Minggir kalian dari arena pendadaran ini.”

“Tidak. Aku akan mematahkan tulang -tulang anak-anak muda yang sombong itu,“ geram lawan Barata.

“Dengar pe rintahku, atau aku perintahkan prajurit- prajurit ini semuanya menangkapmu,“ Ki Lurah Yudaprakosa menjadi marah.

Tetapi yang terdengar kemudian adalah suara Ki Tumenggung Wiradigda, “Ki Lurah. Biarlah ia mendapat kepuasan dengan pendadaran ini. Biarlah pendadaran ini diteruskan sampai tuntas. Pendadaran ini tidak hanya ditujukan bagi kedua anak muda itu. Tetapi juga bagi kedua orang alat Ki Lurah untuk melakukan pendadaran. Apakah alat Ki Lurah itu cukup baik atau tidak.”

Wajah Ki Lurah menjadi merah. Sementara itu kedua orang yang bertubuh raksasa itu telah melangkah maju lagi. Seorang diantara mereka berkata, “Atas nama Ki Tumenggung. Pendadaran ini akan diteruskan sampai tuntas.”

Keputusan itu, diluar sadar, telah menumbuhkan kegembiraan pula pada Kasadha dan Barata. Kedua anak muda itu telah menjajagi kemampuan kedua raksasa itu. Dari penjajagan itu, mereka dapat mengambil kesimpulan, bahwa mereka akan mampu bertahan.

Namun demikian keduanya memang merasa harus tetap berhati-hati. Mungkin satu perubahan akan terjadi. Tetapi kedua anak muda itu merasa bahwa mereka memang belum sampai kepuncak tertinggi dari kemampuan mereka sebagaimana jika mereka harus bertempur bertaruh nyawa. Menghadapi orang-orang Mataram di Randukerep, mereka tidak dapat lengah sekejappun karena taruhannya adalah nyawa. Merekapun harus bertempur pula dengan orang- orang yang belum pernah dikenalnya sebelumnya justru karena kedua anak muda itu bersama-sama disangka Puguh.

Dan di arena itu, mereka harus melakukan pendadaran disaksikan oleh kawan-kawannya sebagai tontonan.

Bagaimanapun juga Kasadha dan Barata adalah anak- anak muda. Darah mereka masih mudah mendidih serta perasaan mereka kadang-kadang kurang terkendali. Karena itulah, maka ketika kedua orang lawannya itu melangkah maju, maka keduanyapun segera telah bersiap pula.

Mereka bertekad untuk menundukkan kedua raksasa itu dihadapan Ki Lurah Yudaprakosa. Ki Lurah memang tidak dapat mencegahnya lagi ketika Ki Tumenggung Wiradigda justru telah memerintahkannya. Karena itu, maka sejenak kemudian, Kasadha dan Baratapun telah mulai bergeser. Sementara itu, kedua orang bertubuh raksasa itu telah mulai menyerangnya pula. Mereka memang berusaha untuk dapat menangkap anak-anak muda itu. Namun mereka memang mulai ragu-ragu, karena disetiap benturan, kekuatan anak-anak muda itu mampu mengimbanginya.

Demikianlah maka pertempuran itu telah terjadi lagi. Kasadha dan Barata telah mendapatkan lawan mereka kembali.

Kedua raksasa itu memang merasa tidak pernah terkalahkan disetiap arena pendadaran seperti itu. Saat- saat ia diperalat untuk menghukum seseorang atau lebih dengan cara yang sangat licik.

Karena itu, maka sulit bagi mereka untuk menerima kenyataan bahwa kedua orang anak muda itu mampu mengimbanginya. Bahkan justru memiliki kelebihan.

Namun dalam pada itu, Kasadha dan Baratapun telah bersiap dalam puncak kemampuan mereka. Keduanya berniat untuk secepatnya mengalahkan lawan-lawan mereka yang memiliki kekuatan yang sangat besar itu.

Barata dan Kasadha yang telah berdiri pada jarak yang sejauh-jauhnya diantara mereka itupun telah mulai berputaran dan kemudian berloncatan menyerang. Barata ternyata telah sampai pada kemampuan tertinggi ilmunya dalam persiapan untuk menerima ilmu Janget Kinatelon. Karena itu, maka anak muda itu justru telah menjadi semakin garang.

Sementara itu Kasadha yang memiliki pengalaman yang lebih luas, ternyata telah mampu menunjukkan unsur-unsur gerak yang dapat membingungkan lawannya. Apalagi setiap kali ditelinga kedua anak muda itu terngiang kembali pesan Ki Lurah Dipayuda, bahwa kedua orang raksasa itu tentu tidak akan memakai otaknya.

Karena itulah, maka semakin lama mereka bertempur, maka semakin ternyata bahwa Kasadha dan Barata akan mampu menguasai arena pendadaran itu.

Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, Barata yang ditempa oleh ketiga orang kakek dan neneknya itu, merasakan bahwa kekuatan lawannya menjadi semakin susut. Karena itu, maka iapun telah mengerahkan tenaga cadangan didalam tubuhnya pada kekuatan tertinggi. Ia benar-benar telah berniat mengakhiri pendadaran yang memuakkan itu.

Dengan serangan ganda, maka Baratapun kemudian telah melanda lawannya seperti amuk prahara. Tubuhnya bagaikan melayang mengitari lawannya. Serangannya datang dari segala arah.

Ketika tangannya sempat memukul tengkuk lawannya yang menunduk menghindari serangan di kening, maka raksasa itu sempat terguncang. Dengan tangkasnya Barata telah menyerang wajah yang terdorong oleh pukulan di tengkuk itu dengan kakinya.

Tidak ada ampun bagi raksasa itu. Tubuhnya yang tinggi besar itu telah terpental beberapa langkah surut. Ketika ia berusaha mempertahankan keseimbangannya, maka serangan Barata telah memburunya. Sambil meloncat maju, tangannya terjulur lurus kedepan. Sebuah pukulan yang keras telah terayun mengarah kedada orang yang sudah tidak mampu untuk mengelak dan bahkan menangkis itu. Pada saat terakhir, Barata tiba-tiba saja menjadi ragu- ragu. Karena itu, maka iapun telah menggeser arah serangannya, menghantam pundak.

Raksasa itu mengaduh. Ia benar-benar terpelanting dan terputar beberapa kali sehingga akhirnya iapun telah terjatuh ditanah.

Ia masih berusaha untuk bangkit. Namun rasa-rasanya sulit baginya untuk mengangkat tubuhnya yang berat.

Namun pada saat yang bersamaan, Kasadha telah memburu lawannya pula. Sebuah tendangan yang keras bagaikan terbang menyambar dadanya.

Lawannya yang bertubuh raksasa itu terdorong surut.

Namun adalah kebetulan, bahwa ia telah menimpa kawannya yang sedang dengan susah payah berusaha bangkit.

Dengan demikian maka keduanyapun telah terguling beberapa kali ditanah.

Ketika keduanya tertatih-tatih berdiri, maka Kasadha dan Barata telah siap untuk menyergapnya dengan serangan- serangan yang akan dapat membahayakan jiwa kedua orang bertubuh raksasa itu. Beruntunglah bahwa kedua orang anak muda itu masih mampu menahan dirinya meskipun darah mereka bagaikan mendidih.

Kedua orang bertubuh raksasa itu memang sempat berdiri. Tetapi mereka sama sekali sudah tidak berdaya untuk melakukan perlawanan. Sementara Kasadha dan Barata meskipun dibeberapa bagian tubuhnya nampak memar, namun mereka masih nampak jauh lebih segar dari kedua raksasa itu. Untuk beberapa saat Ki Lurah justru menjadi termangu- mangu. Ia sudah tidak mungkin lagi menolong keadaan.

Kedua raksasa itu benar-benar sudah menjadi sangat letih meskipun mata mereka masih tetap menyala.

Sebelum Ki Lurah mengatakan sesuatu, maka tiba-tiba saja Ki Tumenggung Wiradigda berkata sambil tertawa, “Baiklah. Pendadaran memang telah selesai. Dua orang bertubuh raksasa itu, ternyata tidak berhasil menjalani pendadaran ulang. Kedua orang prajurit muda yang melakukan pendadaran itu masih dapat bertindak lebih jauh jika mereka mau. Karena itu, maka sebaiknya kedua orang bertubuh raksasa itu tidak usah dipakai lagi bagi segala keperluan. Termasuk menghukum orang dengan cara yang terselubung.”

Kedua orang bertubuh raksasa itu berdiri tegak seperti patung. Tetapi mereka memang tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Tenaga mereka seakan-akan memang telah terperas habis.

Yang terpukul bukan hanya kedua orang raksasa itu.

Tetapi juga Ki Lurah Yudoprakosa. Ki Tumenggung Wiradigda dihadapan banyak orang telah menyatakan dengan terbuka, bahwa cara yang dilakukan oleh Ki Lurah itu adalah cara untuk menjatuhkan hukuman dengan terselubung.

Untuk beberapa saat kedua raksasa itu termangu- mangu. Demikian pula Ki Lurah Yudaprakosa.

Namun dalam pada itu, Ki Tumenggung Wiradigda-pun berkata, “Ki Lurah. Lewat tengah hari, kau harus sudah menghadap aku.” Ki Lurah terkejut. Namun iapun kemudian mengangguk hormat sambil menjawab, “Ya Ki Tumenggung.”

Ki Tumenggung tidak berkata apa-apa lagi kepada Ki Lurah. Kepada Ki Tumenggung Suraprana ia berkata, “Marilah. Tontontan yang memuakkan itu sudah selesai.”

Ki Tumenggung Suraprana tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.

Sejenak kemudian maka kedua orang Tumenggung itu telah hilang dibalik regol. Sementara itu Ki Lurah masih saja termangu-mangu di tempatnya. Ia merasa ditikam oleh keadaan yang tidak diduganya sama sekali itu.

Namun ternyata bahwa sepeninggal kedua orang Tumenggung dari Demak dan dari Pajang sendiri itu persoalan di halaman barak itu belum selesai. Salah seorang dari kedua orang raksasa itu tiba-tiba saja berteriak, “Aku tidak mau dihinakan cara ini. Kita selesaikan persoalan kita sampai tuntas.”

Sebelum ada orang yang menjawab, maka orang itu telah melangkah dengan sisa tenaganya ketepi arena untuk memungut pedangnya yang besar dan panjang.

“Jangan,“ perintah Ki Lurah yang kebingungan.

“Aku akan membunuh atau mati di arena ini,“ geram raksasa itu.

“Dengar perintahku,“ t eriak Ki Lurah.

Tetapi jawaban raksasa itu mengejutkan, “Jika Ki Lurah menghalangi, maka aku tantang Ki Lurah untuk berperang tanding. Jika aku menang, maka dapat diperhitungkan, kemampuan Ki Lurah jauh dibawah anak-anak itu.”

Wajah Ki Lurah menjadi merah. Tetapi ia tidak mau membuat kesalahan lagi, karena ia sudah mendapat peringatan dari Ki Tumenggung Wiradigda. Bahkan ia harus menghadap lewat tengah hari.

Karena itu, maka katanya, “Aku dapat memerintahkan prajurit-prajuritku untuk menangkapmu hidup atau mati.”

Orang bertubuh raksasa itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu Kasadha dan Barata masih berdiri tegak di arena.

“Semuanya sudah selesai,“ berkata Ki Lurah kemudian.

Lalu iapun meneriakkan perintah kepada prajurit- prajuritnya, “Semua kembali k etempat masing-masing.”

Kedua orang bertubuh raksasa itu termangu-mangu. Tetapi akhirnya mereka harus menerima kenyataan itu. Ketika keduanya melihat Kasadha dan Barata melangkah keluar dari gawar arena pendadaran tanpa menoleh lagi, maka kedua raksasa itupun tidak berbuat apa-apa lagi.

“Semua rencana kita gagal,“ geram Ki Lurah, “kedua orang Tumenggung itu datang dengan tiba-tiba sekali.”

Kedua orang raksasa itu sama sekali tidak menyahut.

Sementara itu Ki Lurah berkata lagi, “Aku akan membayar hak kalian sebagaimana sudah kita bicarakan meskipun yang kita rencanakan tidak terwujud. Kita tidak dapat saling menyalahkan karena kehadiran kedua orang Tumenggung itu diluar perhitungan kita.” Namun diluar dugaan, seorang diantara kedua orang bertubuh raksasa itu berkata, “aku memang kalah.

Untunglah anak-anak itu adalah prajurit yang berpegang pada paugeran prajurit sehingga tidak membantaiku di tengah-tengah arena, karena jika mereka mau, mereka dapat melakukan tanpa dianggap bersalah.”

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Raksasa yang seorang lagi, yang hampir saja kehilangan penalaran dan menantang perang tanding itupun akhirnya mengakui juga. Namun meskipun ia mengangguk-angguk kecil, tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.

Sementara itu, para prajurit telah kembali kedalam bilik mereka masing-masing. Kasadha dan Baratapun telah berada di barak mereka bersama para prajurit didalam kelompok mereka. Prajurit-prajurit muda telah berebut mengucapkan selamat atas keberhasilannya. Namun para prajurit yang lebih tua, yang telah diserahkan kepada mereka karena dianggap perlu mendapat pembinaan khusus itupun menjadi semakin hormat pula kepada kedua pemimpin kelompok yang masih muda itu. Ternyata mereka tidak menjadi besar karena ditiup oleh Ki Lurah Dipayuda. Keduanya memang pantas untuk dianggap sebagai pemimpin-pemimpin kelompok terbaik. Karena itu, maka orang-orang yang semula tersingkir karena tingkah lakunya itu, perlahan-lahan telah menjadi semakin menyesuaikan diri.

Ketika tengah hari sebelum Ki Lurah Yudaprakosa menghadap Ki Tumenggung Wiradigda, maka Barata dan Kasadha telah dipanggil oleh Ki Tumenggung Suraprana sepengetahuan Ki Lurah Yudoprakosa. Meskipun sebenarnya Ki Lurah agak keberatan, tetapi ia tidak berani menolak perintah Ki Tumenggung itu. Apalagi ketika utusan yang menyampaikan perintah itu mengatakan, bahwa Ki Tumenggung Suraprana sudah berbicara dengan Ki Tumenggung Wiradigda.

Barata dan Kasadha sendiri merasa terkejut atas panggilan itu. Tetapi atas ijin Ki Lurah Yudaprakosa, maka keduanya telah meninggalkan barak itu untuk menghadap Ki Tumenggung Suraprana, sementara Ki Lurah Yudoprakosa telah menghadap Ki Tumenggung Wiradigda.

Meskipun Barata dan Kasadha mengerti, bahwa mereka tidak akan dianggap bersalah, tetapi panggilan itu agaknya telah mendebarkan mereka juga.

Barata dan Kasadha itupun kemudian telah duduk diserambi gandok rumah Ki Tumenggung Suraprana. Agaknya prajurit yang bertugas diregol rumah Katumeng- gungan itu sudah mendapat pesan, bahwa akan ada dua orang prajurit yang menghadap.

Tetapi karena Ki Tumenggung sedang pergi, maka keduanya masih harus menunggu.

Sambil menunggu, maka pemimpin prajurit Pajang yang bertugas dirumah Ki Tumenggung itu sempat menemui kedua anak muda yang juga prajurit Pajang itu. Bahkan pemimpin prajurit yang sedang bertugas itu tidak segan- segan telah menyatakan keluhannya atas keadaan di Pajang pada saat-saat terakhir.

“Orang -orang Demak telah menguasai Pajang seluruhnya,“ berkata pemimpin prajurit yang bertugas itu.

“Inilah keanehan yang terjadi di Pajang . Pajang mengaku atau tidak mengaku, telah dikalahkan Mataram. Tetapi yang sekarang menduduki Pajang sama sekali bukan Mataram. Tetapi Demak.” Barata dan Kasadha mengangguk-angguk. Mereka juga merasakan hal itu telah terjadi di Pajang. Tetapi karena lingkungan mereka, apalagi setelah berada dibawah pimpinan Ki Lurah Yudoprakosa, maka tidak ada yang mereka ketahui selain lingkungan barak mereka sendiri.

Hampir diluar sadarnya, Barata tiba-tiba saja telah bertanya, “Bagaimana hal itu dapat terjadi? Namun Matarampun sampai sekarang lebih baik berdiam diri melihat perkembangan Pajang sekarang ini. Jadi apa maunya Mataram menyerang Pajang sebelumnya?”

Prajurit yang bertugas di rumah Ki Tumenggung itu menggeleng. Katanya, “Entahlah. Tetapi agaknya Mataram ingin bebas berkembang tanpa dibayangi oleh kekuasaan Pajang yang dianggap oleh Panembahan Senapati sebagai kekuasaan yang kurang memberikan harapan bagi masa datang. Tetapi menurut penilaian beberapa orang pemimpin Pajang, keadaan Pajang sekarang justru menjadi lebih buruk. Mungkin akan lebih baik jika Pangeran Benawalah yang diangkat menjadi pengganti ayahandanya. Pangeran Benawa tidak akan memenuhi kata ini dengan orang-orang dari luar lingkungan.”

Barata dan Kasadha mengangguk-angguk. Apalagi ketika prajurit itu juga mengatakan bahwa banyak kebijaksanaan yang berubah.

“Tetapi aku tidak tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi,“ berkata prajurit itu. Lalu katanya, “Tetapi yang aku dengar kadang-kadang terluncur dari bibir Ki Tumenggung diluar sadarnya, kebijaksanaan tentang tata pemerintahan, tentang hubungan perdagangan dengan daerah-daerah disekitarnya dan tentang Tanah Perdikan.” Jantung Barata tergetar. Untunglah ia menyadari kedudukannya sehingga karena itu, iapun telah dapat mengatur perasaannya. Dengan hati-hati ia bertanya, “Kebijaksanaan apakah yang paling nampak dilakukan oleh para pemimpin dari Demak itu?”

Pemimpin prajurit yang bertugas itu menggeleng.

Katanya, “Yang aku ketahui hanya sedikit sekali. Jika kalian dipanggil Ki Tumenggung, mungkin ada sesuatu yang akan kalian dengar.”

“Tetapi tentu tidak tentang hubungan Demak, Pajang dan Mataram. Apalagi dengan Pangeran Benawa di Jipang. Yang akan dibicarakan Ki Tumenggung dengan kami tentu pendadaran ulang yang baru saja kami jalani,“ jawab Barata.

“Pendadaran ulang?“ bertanya pemimpin prajurit yang bertugas itu.

“Memang satu perlakuan yang tidak masuk akal,“ jawab Kasadha, “Kami sudah tahu sejak semula bahwa pendadaran itu hanyalah satu langkah terselubung untuk menghancurkan kami. Tetapi beruntunglah bahwa kami mampu mengatasinya.”

Prajurit di Katumenggungan itu mengangguk-angguk.

Barata dan Kasadhapun telah menyesali penggantian Lurah Penatus dari seorang Lurah Penatus Pajang kepada Lurah Penatus dari Demak.

Tetapi mereka tidak sempat berbincang lebih panjang, karena Ki Tumenggung Suraprana telah datang. Dengan gembira Ki Tumenggung kemudian telah minta kedua orang prajurit itu naik kependapa dan diterima sebagai kawan-kawannya yang akrab.

“Tidak ada yang penting,“ berkata Ki Tumenggung Suraprana, “aku hanya ingin memberitahukan kepada kalian, bahwa aku telah minta Ki Lurah Yudaprakosa diganti orang lain.”

Kasadha dan Barata menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar sadarnya Barata berkata, “Ki Lurah telah menghadap Ki Tumenggung Wiradigda.”

“Ya. Ki Tumenggung memang tidak senang melihat sikap Ki Lurah. Ki Tumenggung Wiradigdapun telah mengatakan, bahwa Ki Lurah akan dipindahkannya.

Sementara itu akan dicari seorang Lurah yang lebih baik. Bukan orang Demak. Jika Lurah itu ditentukan prajurit Demak, maka persoalan seperti tadi akan terulang lagi,“ berkata Ki Tumenggung Suraprana.

“Kami akan berterima kasih Ki Tumenggung,“ desis Kasadha.

Ki Tumenggung tersenyum. Katanya, “Ki Tumenggung Wiradigda termasuk seorang diantara orang-orang Demak yang baik. Tetapi jarang sekali orang seperti itu dapat kita ketemukan diantara orang-orang Demak yang ada di Pajang.”

Kasadha dan Baratapun mengangguk-angguk. Namun mereka tidak dapat mengatakan sesuatu karena pengetahuan mereka tentang orang-orang Demak sangat terbatas. Yang mereka kenal paling dekat adalah Ki Lurah Yudoprakosa. Tetapi tentu tidak adil jika mereka menganggap bahwa orang-orang Demak seluruhnya seperti Ki Lurah Yudoprakosa. Setidak-tidaknya ada orang lain seperti Ki Tumenggung Wiradigda.

Dari Ki Tumenggung itu pulalah Kasadha dan Barata mendengar bahwa para petugas yang dipindahkan dari Demak ke Pajang mendapat kenaikan pangkat khusus.

“Merekapun telah mendapat perlakuan lebih baik dari orang-orang Pajang, karena mereka yang dipindahkan dari Demak ke Pajang memerlukan tanah, hidup yang layak yang menurut mereka berarti lebih baik dari orang-orang Pajang. Serta kekuasaan yang lebih luas,“ berkata Ki Tumenggung Suraprana.

Barata dan Kasadha mengangguk-angguk pula.

Sementara itu Ki Suraprana berkata seterusnya, “Yang kita cemaskan adalah sikap orang-orang yang tidak mau menerima keadaan ini. Apalagi langkah yang diambil oleh para pemimpin Demak tentang Tanah Perdikan. Rasa- rasanya Tanah Perdikan akan dihapuskan di seluruh daerah Pajang. Sementara Mataram tidak mengambil kebijaksanaan seperti itu.”

“Bagaimana hubungannya dengan Mataram Ki Tumenggung?“ bertanya Barata ragu -ragu.

Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sadar, sebagai seorang prajurit aku tidak pantas mengatakan hal ini. Tetapi yang terjadi sudah bukan merupakan rahasia lagi. Hampir setiap hari, beberapa orang Pajang telah berpindah ke daerah Mataram. Mereka telah merasa hidupnya tidak tenang di Pajang. Apalagi mereka yang terkena peraturan, sepertiga dari tanahnya diambil untuk orang-orang Demak yang datang di Pajang. Jika hal seperti ini berkepanjangan, serta persoalan Tanah Perdikan itu tidak juga dicari pemecahan yang paling baik, maka orang-orang Pajang akan meninggalkan Pajang, dan Tanah-tanah Perdikair akan berpihak kepada Mataram.

Pertentangan antara Mataram dan Pajang akan timbul kepermukaan lagi sehingga akan membayang perang baru antara Pajang dan Mataram.”

Barata dan Kasadha hanya mengangguk-angguk saja.

Namun demikian, keterangan Ki Tumenggung tentang kebijaksanaan Pajang mengenai Tanah Perdikan sangat menarik perhatiannya. Apalagi Tanah Perdikan Sembojan adalah Tanah Perdikan yang sedang kosong dan bahkan dipersoalkan oleh beberapa orang. Belum ada seorang yang ditetapkan menjadi Kepala Tanah Perdikan, sementara pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan itu adalah, seorang perempuan yang menurut penilaian umumnya adalah orang-orang yang lemah.

Tetapi Barata tidak dapat menanyakannya langsung kepada Ki Tumenggung karena ia datang tidak sebagai anak Kepala Tanah Perdikan Sembojan.

Sementara itu, Ki Tumenggungpun telah berhenti sejenak ketika seorang pelayan telah menyajikan suguhan bagi kedua orang prajurit itu. Minuman hangat dan beberapa potong makanan.

Namun kemudian sambil menghirup wedang sere dengan gula kelapa, serta mengunyah makanan, Ki Tumenggung telah berkata selanjutnya, “Nah, yang penting kalian ketahui adalah bahwa Ki Lurah akan kami pindahkan. Sebenarnya akupun ingin menanyakan kepada kalian berdua, apakah kalian lebih tertarik untuk meninggalkan barak itu dan bertugas ditempat lain, atau kalian sudah merasa lebih mapan di tempat itu dengan pimpinan yang lebih baik, sehingga tidak akan terulang lagi peristiwa yang tidak masuk akal itu.” Kedua orang anak muda itu saling berpandangan.

Namun Ki Tumenggungpun tersenyum sambil berkata, “Aku tidak memerlukan jawaban, sekarang. Aku tahu, kalian memerlukan kesempatan untuk memikirkannya. Untuk selanjutnya, jika kalian telah mengambil keputusan, kalian dapat datang menemui aku kapan saja kalian kehendaki.

Sudah tentu dengan ijin pimpinan kesatuanmu yang baru itu.”

Kasadha dan Barata mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Kasadha telah menjawab, “Kami mohon waktu Ki Tumenggung.”

“Ya. Kaupun tentu ingin mengenal pimpinanmu yang baru itu pula,“ berkata Ki Tumeng gung Suraprana.

Kedua anak muda itu mengangguk-angguk pula. Tetapi mereka tidak menjawab lagi.

“Baiklah,“ berkata Ki Tumenggung Suraprana, “sebentar lagi aku juga akan pergi. Aku kira pembicaraan kita sudah selesai hari ini. Yang penting, aku hanya ingin memberitahukan kepada kalian tentang pimpinan kalian. Karena itu, kalian jangan mengambil langkah-langkah tersendiri betapapun hati kalian menjadi sakit. Kecuali jika kedua orang yang menjadi alat pendadaran itu juga mengambil sikap sendiri. Kau tentu saja berhak membela diri. Tetapi aku kira mereka tidak akan berani berbuat apa- apa lagi, karena mereka tentu merasa benar-benar dapat kalian kalahkan. Bukan karena kebetulan.”

Demikianlah, maka kedua orang prajurit muda itupun telah mohon diri untuk kembali ke barak mereka. Namun sebelum mereka meninggalkan Ki Tumenggung, Barata telah bertanya, “Jika Ki Lurah bertanya kepada kami, apa saja yang kami bicarakan disini dengan Ki Tumenggung, apakah jawab kami?”

“Katakan, bahwa Ki Tumenggung Suraprana telah berbicara dengan Ki Tumenggung Wiradigda untuk memindahkan Ki Lurah Yudoprakosa dari pasukan kecil yang agaknya tidak berkenan dihati Ki Lurah itu. Ki Tumenggung Wiradigda akan mencarikan tempat yang lebih baik dan lebih sesuai bagi Ki Lurah,“ jawab Ki Tumenggung. Lalu katanya, “Kita tidak perlu lagi menjaga perasaannya, karena orang itupun tidak pernah berusaha menjaga perasaan orang lain.”

Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka-pun mengerti bahwa menghadapi keadaan yang berkembang kemudian, agaknya Ki Tumenggung Suraprana telah hampir kehabisan kesabarannya. Terutama menghadapi orang-orang yang didatangkan dari Demak, kecuali Ki Tumenggung Wiradigda.

Sejenak kemudian maka kedua orang prajurit muda itupun telah meninggalkan Katumenggungan kembali ke barak mereka. Ketika mereka sampai di barak, ternyata Ki Lurah Yudaprakosa masih belum kembali.

Namun kedua orang anak muda itu sudah berjanji bahwa mereka tidak akan mengatakan kepada prajurit- prajurit Pajang tentang kemungkinan pergantian pimpinan itu. Mereka sudah sepakat untuk mengatakan bahwa Ki Tumenggung ingin mengetahui latar belakang dari pendadaran yang diselenggarakan hari itu.

Sebenarnyalah demikian kedua orang prajurit muda itu berada di barak, maka kawan-kawannya telah mengerumuninya untuk mendengar apa saja yang telah di katakan oleh Ki Tumenggung Suraprana. Tetapi seperti yang telah mereka sepakati, maka mereka hanya mengatakan sekitar pendadaran aneh yang telah diselenggarakan oleh Ki Lurah Yudoprakosa.

“Apa yang dikatakan Ki Tumenggung ten tang Ki Lurah? “ tiba-tiba salah seorang kawannya bertanya.

Kedua orang anak muda itu memang termangu-mangu.

Namun yang menjawab kemudian adalah Barata, “Ki Tumenggung tidak dapat mengerti, kenapa Ki Lurah telah melakukan hal itu.”

Para prajurit itu mengangguk-angguk. Namun mereka berharap bahwa Ki Tumenggung Suraprana dapat bertindak lebih jauh. Tidak sekedar mendengar keterangan tentang barak dan pimpinannya di barak itu.

Baru ketika matahari telah jauh turun di sisi Barat langit, Ki Lurah Yudoprakosa datang. Wajahnya nampak muram. Sementara pandangannya menjadi sayu.

Para prajurit yaijg bertugas di regol berdiri tegak sambil menghormatinya. Ki Lurahpun mengangguk pula sambil mencoba untuk tersenyum. Tetapi senyumnya terlalu hambar, karena bukan kebiasaannya untuk tersenyum selama ia berada dibarak itu. untuk waktu yang masih sangat singkat.

Barata dan Kasadha terkejut ketika demikian Ki Lurah memasuki ruangan khususnya, demikian ia memerintahkan memanggil kedua orang anak muda itu.

“Ada apa lagi?“ de sis Kasadha. “Aku tidak mau lagi menerima perlakuan gila,“ geram Barata.

“Ya. Setidak -tidaknya ada orang yang memperhatikan kita,“ berkata Kasadha.

Barata mengangguk-angguk. Katanya, “Ki Tumenggung Suraprana tentu akan mengusut jika terjadi sesuatu di barak ini.”

Dengan ragu-ragu Barata dan Kasadha telah memasuki bilik khusus itu. Dengan wajah kosong Ki Lurah mempersilahkan keduanya untuk duduk diamben panjang.

“Aku telah menghadap Ki Tumenggung Wiradigda,“ berkata Ki Lurah.

Kedua orang anak muda itu tidak menyahut. Keduanya justru menundukkan kepada mereka dalam-dalam.

Namun tiba-tiba Ki Lurah itu bertanya, “Bukankah kau telah menghadap Ki Tumenggung Suraprana?”

Kedua anak muda itu saling berpandangan sejenak.

Namun keduanya ternyata telah menjadi berdebar-debar juga.

Seperti yang mereka duga, maka Ki Lurah Yudoprakosa itupun bertanya, “Apa yang dikatakan oleh Ki Tumenggung Suraprana kepada kalian?”

Tetapi Kasadha dan Barata sudah membawa jawabnya. Karena itu tanpa ragu-ragu Baratalah yang menjawab, “Ki Tumenggung Suraprana minta beberapa keterangan tentang pendadaran yang diselenggarakan di halaman itu. Serta memberitahukan bahwa atas pembicaraan Ki Tumenggung Suraprana dan Ki Tumenggung Wiradigda, maka Ki Lurah Yudaprakosa akan dipindahkan tugasnya ketempat yang lebih baik.”

“Persetan,“ geram Ki Lurah, “kau tahu istilah ketempat yang lebih baik itu?”

Kedua orang anak muda itu menggeleng. Dengan nada rendah Barata menjawab, “Tidak Ki Lurah.”

“Aku akan ditempatkan justru di tempat yang paling buruk. Tetapi itu adalah akibat yang wajar dari sikap seorang prajurit yang berpegang teguh pada paugeran. Kali ini Ki Tumenggung Wiradigda tidak melihat apa yang aku lihat pada kalian. Tetapi lain kali Ki Tumenggung akan mengakuinya.”

Kasadha dengan tidak sabar bertanya, “Apa yang Ki Lurah lihat pada kami.”

“Aku melihat satu kelebihan pada kalian berdua.

Kelebihan itu tidak boleh terpendam. Kelebihan itu harus dilihat oleh semua orang prajurit di barak ini, sehingga kalian berdua dihormati sebagaimana layaknya. Itulah sebabnya aku berpura-pura melakukan pendadaran ulang. Dengan cara itu maka seluruh prajurit akan melihat bersama-sama apa yang mampu kalian lakukan,“ jawab Ki Lurah.

Jawaban itu memang mengejutkan. Untuk beberapa saat Barata dan Kasadha tidak dapat berkata sepatah kata- pun. Namun keduanya tidak percaya akan keterangan itu. Mereka mendengar beberapa pembicaraan pendek antara kedua raksasa itu dengan Ki Lurah sesaat sebelum pendadaran dimulai. Sementara itu hal seperti itu sudah pernah dilakukan pula sebelumnya. Tetapi mendengar langsung dengan tiba-tiba pengakuan yang tidak disangkanya itu, maka kedua anak muda itu telah terdiam.

Sementara itu Ki Lurahpun telah berkata selanjutnya, “Tetapi aku tidak menyesal. Meskipun aku sudah pindah ketugas yang lain, namun keinginanku untuk menunjukkan kelebihan kalian berdua sudah terjadi. Bahkan adalah diluar rencanaku bahwa Ki Tumenggung Suraprana dari Pajang dan Ki Tumenggung Wiradigda dari Demak sempat menyaksikannya, sehingga mereka langsung dapat melihat kemampuan kalian. Mudah-mudahan kalian akan benar- benar mendapat tempat yang lebih baik dengan kelebihan kalian itu, misalnya kalian dapat diangkat menjadi Lurah Penatus seperti aku.”

Kedua anak muda itu masih saja berdiam diri.

Sementara Ki Lurah berkata selanjutnya, “Aku sadar, bahwa akan dapat terjadi salah paham karena yang aku lakukan sengaja terselubung dan dengan cara seorang prajurit yang barangkali terlalu keras. Tetapi apa yang terjadi di Demak lebih keras dari apa yang aku lihat di Pajang. Prajurit Pajang sudah terbiasa dimanjakan sejak pemerintahan Sultan Hadiwijaya, sehingga ketika menghadapi bahaya yang sebenarnya, Pajang bagaikan kehilangan pegangan.”

Kasadha dan Barata masih saja berdiam diri.

Karena Kasadha dan Barata tidak menjawab, maka Ki Lurah itupun berkata, “Baiklah. Kesempatan ini ingin aku pergunakan untuk minta diri. Besok aku akan mengumpulkan semua prajurit, mengatakan sebagaimana yang telah aku katakan kepada kalian berdua kemudian juga minta diri. Pemindahan itu akan dilakukan secepatnya. Tetapi tidak apa-apa, karena bagi seorang prajurit, dimanapun aku ditempakan, tidak akan ada bedanya. Tetapi satu hal pernah aku lakukan disini atas kalian sehingga kalian tentu akan mendapatkan kesempatan lebih baik. Mungkin dari Ki Tumenggung Suraprana, mungkin dari Tumenggung Wiradigda.”

Kasadha dan Barata masih tetap berdiam diri, sehingga akhirnya Ki Lurah itu berkata, “Baiklah. Kembalilah ke bilik kalian masing-masing. Mudah-mudahan kalian, benar-benar mendapat tempat yang baik dan tidak melupakan apa yang pernah aku lakukan bagi kalian.”

Adalah diluar sadar ketika kedua orang anak muda itu hampir berbareng berkata, “Terima kasih Ki Lurah.”

Ki Lurah Yudoprakosa menepuk pundak anak-anak muda itu. Sambil tersenyum ia berkata, “Jarang ak u temukan prajurit seperti kalian ini di Pajang.”

Barata dan Kasadha tidak menjawab lagi. Namun merekapun kemudian minta diri dan meninggalkan ruang khusus itu. Ki Lurah mengantar mereka sampai kepintu sambil berkata, “Mudah -mudahan kita dapat bertemu lagi pada kesempatan lain.”

Namun demikian kedua orang anak muda itu melangkah menjauh, Ki Lurah itu menghentakkan tangannya pada dinding biliknya sehingga terguncang. Sambil menggeram ia berdesis, “Aku bunuh kalian berdua pada kesempatan lain.”

Sementara itu Barata dan Kasadha tidak langsung kembali ke dalam bilik masing-masing. Di sebuah longkangan, diantara barak-barak yang membujur, keduanya duduk dibawah bayangan pepohonan. Ketika seorang prajurit lewat, maka ia terkejut. Tetapi setelah diketahuinya bahwa yang duduk di sepotong papan memanjang dibawah pepohonan itu adalah Kasadha dan Barata, maka prajurit itu justru mendekat sambil bertanya, “Bagaimana? Bukankah kalian telah dipanggil oleh Ki Lurah?”

“Ya,“ jawab Kasadha.

“Bukankah tidak terjadi sesuatu atas kalian?“ bertanya prajurit itu pula.

“Tidak. Tidak apa -apa,“ jawab Kasadha pula. “Sokurlah. Kawan -kawan sudah siap,“ desis prajurit itu.

Kasadha dan Barata terkejut. Serentak mereka bertanya, “bersiap untuk apa?”

Prajurit itu tersenyum. Katanya, “Kawan -kawan telah sepakat. Jika terjadi apa-apa atas kalian berdua, maka kawan-kawan akan mengambil tindakan langsung terhadap Ki Lurah.”

“Ah,“ Barata tiba -tiba saja telah meloncat bangkit, “jangan begitu. Itu satu pemberontakan. Kalian dapat dikenakan tindakan dengan hukuman yang berat. Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan kalian memperhatikan nasib kami berdua. Tetapi jangan dengan cara itu, karena kalian akan mengorbankan masa depan kalian.”

“Kami tidak mempunyai pilihan lain. Kawan -kawan sekarang masih berkumpul dibelakang barak, tempat latihan bagian belakang,“ jawab prajurit itu, “meskipun tidak semua, tetapi sebagian besar dari kami ada disana. Yang lain tetap pada tugas masing-masing untuk mengelabui Ki Lurah.”

Kasadha dan Barata termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Kasadhapun berkata, “Kita akan pergi ke sana.”

Ketika Kasadha dan Barata datang bersama seorang prajurit maka beberapa kelompok prajurit yang ada di lapangan tempat berlatih itupun segera menyongsongnya.

“Tidak ada apa -apa Ki Sanak,“ berkata Kasadha kemudian, “kami berterima kasih kepada kalian. Kami sudah mendengar apa yang siap kalian lakukan. Tetapi kalian telah melangkah terlalu jauh sebagai seorang prajurit. Apa yang kalian lakukan ini dapat digolongkan sebagai satu pemberontakan. Karena itu, aku persilahkan kalian kembali ke barak kalian masing-masing. Apapun yang terjadi atas kami, maka cara pembelaan yang kalian lakukan sebaiknya dengan mempergunakan cara yang lain dari sebuah pemberontakan.”

Seorang diantara mereka menyahut, “Kami sangat cemas tentang kalian.”

“Tetapi berhati -hatilah mengambil langkah. Suasana di Pajang memang agak suram sekarang ini.“ sambung Barata, “bagaimanapun juga, kalian harus memikirkan masa depan kalian masing-masing. Kita masih sama-sama muda. Hari-hari mendatang masih panjang bagi kita

semua. Sementara kita tidak tahu sampai kapan pergolakan ini berlangsung di Pajang. Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih. Tetapi kalian jangan mengorbankan diri kalian bagi kami.”

Para prajurit itu memang tidak menjawab. Tetapi mereka tahu maksud baik Kasadha dan Barata, agar mereka tidak mengalami kesulitan atas sikap mereka terhadap pimpinan mereka.

“Sekarang, silahkan, sebelum Ki Lurah mengetahui dan memberikan laporan yang dikarangnya sendiri tanpa melihat alasan yang sebenarnya kalian berkumpul disini,“ berkata Kasadha, “kita akan kembali ke barak dan beristirahat.”

Para prajurit itupun kemudian seorang demi seorang telah meninggalkan tempat latihan dibelakang barak mereka. Meskipun mereka masih saja berbicara tentang Ki Lurah, tetapi mereka telah memasuki barak masing-masing. Beberapa diantara mereka langsung menjatuhkan diri dipembaringan sehingga amben bambu itu berderit.

Tetapi untuk beberapa saat justru Kasadha dan Baratalah yang masih tinggal.

Dengan nada rendah Barata kemudian berkata, “Aku merasa, bahwa akhirnya aku bukan dilahirkan untuk menjadi seorang prajurit.”

Kasadha terkejut. Dengan serta merta ia bertanya, “Apa maksudmu?”

Barata tidak segera menjawab. Tetapi terkilas wajah ibunya yang gelisah karena sikap Pajang terhadap Tanah- tanah Perdikan yang mengalami kegoncangan. Orang- orang Demak di Pajang sebagian memperhatikan Tanah Perdikan itu sebagai satu sumber derajat dan penghasilan khusus. Justru bekerja sama dengan orang-orang Pajang sendiri yang hatinya lemah dan justru memanfaatkan keadaan. “Kau nampak gelisah. Bukankah Ki Tumenggung Suraprana telah memberikan banyak penjelasan. Bahkan tentang pergantian Ki Lurah Yudaprakosa?“ bertanya Kasadha.

Barata menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Agaknya aku tidak akan dapat bertahan terlalu lama untuk menjadi seorang prajurit. Agaknya tidak sesuai dengan pembawaanku. Mungkin aku seorang yang terlalu malas untuk dapat bekerja keras sebagai seorang prajurit. Justru tidak diwaktu perang. Aku merasa malas untuk bangun pagi-pagi. Melakukan pemanasan tubuh. Kemudian latihan- latihan, beristirahat, makan. Bertugas jaga di regol, makan lagi, kemudian tidur. Aku merasa bahwa kerja yang harus aku lakukan terlalu berat.”

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau memang aneh Barata. Ketika kita sedang berperang, kau tidak pernah mengeluh. Dalam keadaan apapun kau tetap tegar dalam tugasmu. Kau telah menyelamatkan nyawaku, bahkan kelompokku. Kau telah melakukan apa saja yang sulit dilakukan orang lain. Sekarang, kau merasa terlalu berat untuk tidak berbuat apa-apa di barak ini. Aku tahu, bahwa kau tentu telah kecewa. Tetapi apakah kita tidak dapat menunggu sejenak, sehingga pada suat u saat kita akan memasuki satu keadaan yang lebih baik dari sekarang?”

Tetapi persoalan Tanah Perdikan itu selalu membayanginya. Sehingga karena itu, maka katanya, “Kasadha. Kita sudah menempuh satu kehidupan bersama. Justru saat-saat yang paling berat. Banyak hal yang bersama-sama kita alami. Rasa-rasanya memang terlalu berat untuk begitu saja berpisah. Tetapi bagaimanapun juga, akhirnya kita memang harus berpisah. Jika tidak karena salah seorang dari kita meninggalkan lapangan keprajuritan, juga pada suatu saat kita akan mendapat tugas yang berbeda.”

“Ya,“ Kasadha mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Hal seperti itu memang harus kita sadari. Tetapi jika kau meninggalkan lapangan keprajuritan rasa-rasanya perpisahan ini menjadi aneh. Berbeda jika kita mendapat tugas kita masing-masing ditempat yang berbeda. Apalagi perpisahan itu terjadi demikian cepatnya.”

Barata mengangguk-angguk. Katanya, “Aku juga merasakan hal seperti itu. Tetapi ada sesuatu yang mendorongku untuk melakukannya. Meninggalkan satu dunia yang terasa semakin lama tidak menjadi semakin akrab, tetapi semakin asing. Mungkin karena perubahan keadaan yang terjadi di Pajang. Kebetulan bahwa terjadi pula pergolakan di kalangan keprajuritan. Keadaan itulah yang membuat aku semakin tidak memahami duniaku sekarang ini.”

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya iapun merasakan keadaan seperti itu. Tetapi bagi Kasadha, maka tempat itu adalah tempat yang paling baik baginya. Pada suatu saat, orang-orang yang memburunya karena mereka memburu ayahnya akan menjadi semakin melupakannya. Ia berharap bahwa wajahnya menjadi berubah. Ia sudah menunggu kumisnya tumbuh dan membiarkannya menjadi panjang.

Kasadha yang masih juga begitu seperti Barata itu merasa dirinya yatim piatu sehingga ia sama sekali tidak mempunyai keinginan pulang, karena ia merasa tidak ada orang yang menunggunya diantara keluarganya. Memang, “kadang -kadang terbersit keinginannya untuk bertemu dengan gurunya. Namun keinginan itupun tidak sangat mendesaknya, sehingga kapan saja ia akan dapat minta ijin barang dua tiga hari untuk menengoknya.

Demikianlah, ketika kemudian keduanya telah berada di pembaringan, maka keduanya tidak segera dapat tidur.

Kasadha selalu memikirkan sikap Barata. Ia tentu akan merasa sepi untuk waktu yang lama sebelum ia mendapat satu kesibukan yang akan banyak menyerap perhatiannya.

Namun Kasadha itu akhirnya berkata kepada diri sendiri, “Aku tidak boleh cengeng. Aku tidak boleh tergantung kepada orang lain, siapapun orang itu. Jika Barata memilih jalannya sendiri, maka itu adalah haknya. Dan aku harus tegak pada sikapku sendiri. Aku harus memilih yang terbaik bagiku.”

Meskipun demikian, Kasadha masih juga belum dapat tidur dengan nyenyak. Bagaimanapun juga rencana kepergian Barata tidak dapat dikesampingkannya begitu saja.

Sementara itu Barata juga sulit untuk dapat segera tidur.

Bermacam-macam persoalan hilir mudik di angan- angannya. Sebenarnya ia juga merasa berat untuk dengan tiba-tiba saja meninggalkan Kasadha yang dalam keadaan yang paling gawat di Randukerep rasa-rasanya sudah bersama-sama berada dalam satu kemungkinan hidup dan mati.

Tetapi ia tentu tidak akan dapat berpangku tangan menghadapi kemungkinan yang paling buruk yang mungkin terjadi atas Tanah Perdikan Sembojan. Jika Pajang mengambil keputusan untuk menghapus Tanah Perdikan yang besar seperti Sembojan, maka akibatnya tentu akan sangat terasa bukan saja oleh ibunya, tetapi oleh seluruh rakyat Tanah Perdikan itu. Karena itu, maka akhirnya Barata benar-benar mengambil satu keputusan untuk kembali ke Tanah Perdikan Sembojan. Kembali kedalam lingkungannya yang jauh lebih kecil dari lingkungan keprajuritan Pajang. Namun lingkungan yang telah melahirkannya. Ia menghirup udara Tanah Perdikan Sembojan disaat ia lahir. Ia dibesarkan di Tanah Perdikan itu meskipun dalam bayangan kecemasan. Namun ternyata Sembojan telah memberikan banyak sekali kepadanya, sehingga akhirnya ia berada dilingkungan keprajuritan. Jika ia berada di padepokan kecilnya atau dimana saja, itu bukan berarti bahwa ia telah terpisah dari Sembojan.

“Seandainya tidak ada perubahan kebijaksanaan di Pajang mungkin aku akan berpendirian lain,“ berkata Barata itu didalam hatinya.

Tetapi Barata juga tidak berniat dengan serta merta menyatakan sikapnya. Ia memang akan menunggu sampai segala sesuatunya menjadi lebih jelas.

Lewat tengah malam, baik Kasadha maupun Barata baru dapat meletakkan beban perasaannya, sehingga menjelang dini mereka baru dapat tertidur.

Pagi-pagi seperti biasanya, maka seisi barak telah melakukan pemanasan tubuh. Mereka melakukan kegiatan yang tertib bersama-sama untuk memberikan pengantar pada tugas-tugas mereka kemudian, serta untuk melenturkan tubuh sebagaimana diperlukan oleh seorang prajurit.

Namun ketika kegiatan itu selesai, Ki Lurah Yudaprakosa tidak segera mempersilahkan para prajurit untuk membenahi diri sebagaimana biasanya, tetapi Ki Lurah telah memberikan sedikit sesorah tentang dirinya sendiri dan tentang pendadaran yang telah diselenggarakan dihari sebelumnya. Dengan lantang Ki Lurah mengatakan sebagaimana dikatakannya kepada Kasadha dan Barata tentang kedua orang anak muda itu.

Beberapa orang prajurit memang menjadi tercengang.

Mereka untuk sekilas percaya kepada ceritera Ki Lurah Yudaprakosa. Namun ketika mereka mulai berpikir, maka berbagai pertanyaan telah timbul. Mereka tidak saja menilai pendadaran itu sendiri, tetapi sikap Ki Lurah itu serta langkah-langkah yang diambilnya dalam waktu yang sangat singkat, selama ia berada di barak itu.

Tetapi tidak seorangpun yang membantahnya. Semua orang memandanginya sambil mendengarkan sesorahnya.

Ki Lurahpun menyadari bahwa ia tidak dapat berharap para prajurit itu mempercayainya begitu saja. Karena itu, maka katanya kemudian, “Terserah kepada kalian. Percaya atau tidak percaya. Tetapi aku sudah merasa melakukan sesuatu yang terbaik yang dapat aku lakukan. Aku tidak tahu sejak kapan aku akan ditarik meninggalkan barak ini. Namun aku sudah puas, bahwa aku telah melakukan sesuatu. Kemarin aku sudah mendapat pemberitahuan bahwa aku akan segera dipindahkannya. Tetapi aku tidak tahu, kapan pemindahan itu akan dilaksanakan. Mungkin nanti, besok atau sepekan lagi atau jika sudah ada orang lain yang akan menggantikan aku.”

Semua orang terdiam. Namun Baratalah yang mulai berpikir. Semula ia ingin menunggu sampai Ki Lurah itu meninggalkan barak, baru ia akan minta diri. Ia berniat untuk tidak menyinggung perasaan Ki Lurah pada saat terakhir ia berada di lingkungan keprajuritan itu. Tetapi jika Ki Lurah kemudian tidak pasti bahkan mungkin masih cukup lama, maka Barata harus berpikir lagi. Rasa-rasanya ia sudah demikian didesak oleh satu keinginan untuk berada di Tanah Perdikannya. Apalagi karena sudah ada satu dua Tanah Perdikan yang mulai dibekukan.

Ki Lurah memerlukan waktu yang agak panjang untuk sesorah. Namun akhirnya ia berkata, “Tetapi selama belum ada perintah, aku tetap Lurah Penatus disini. Perintahku tetap harus diterima sebagai perintah seorang pemimpin disini.”

Beberapa orang pemimpin kelompok menarik nafas dalam-dalam. Ada beberapa kemungkinan dapat terjadi. Ki Lurah itu berusaha untuk meninggalkan kesan yang baik. Atau justru memanfaatkan kesempatan yang pendek itu untuk membalas dendam.

Namun sejenak kemudian Ki Lurah telah membubarkan para prajurit itu untuk kembali ke barak masing-masing serta berbenah diri untuk memasuki tugas mereka di hari itu.

Barata yang selalu digelitik oleh perasaannya itu telah menemui Kasadha sambil berkata, “Bagaimana jika aku menghadap Ki Tumenggung Suraprana untuk mendengar petunjuknya?”

Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, “Ki Tumenggung itu hatinya agaknya cukup terbuka. Aku kira ada juga baiknya kita menghadapnya.”

“Besok kita akan menghadap. Besok kita akan minta ijin kepada Ki Lurah disore hari. Atau barangkali kita dapat mempergunakan waktu istirahat serta saat-saat kita mendapat waktu keluar,“ berkata Barata. “Kita tidak usah min ta ijin khusus kepada Ki Lurah. Kita pergunakan saja waktu kita disore hari saat-saat kita tidak bertugas,“ berkata Kasadha.

Barata mengangguk-angguk. Keperluannya lebih banyak berhubungan dengan kepentingan pribadinya. Karena itu, maka mereka memang tidak perlu minta ijin khusus kepada Ki Lurah, meskipun jika secara kebetulan Ki Lurah mengetahui, persoalannya akan dapat berkepanjangan.

Tetapi dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya, pendadaran ulang sebagai satu usaha Ki Lurah untuk menjatuhkan hukuman yang sangat berat tetapi terselubung, maka Ki Lurah tidak akan berani melakukan tindakan sekehendak hatinya lagi.

Sebenarnyalah dihari berikutnya, ketika para prajurit yang tidak bertugas mendapat kesempatan untuk keluar dari barak, maka Barata dan Kasadha telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Tanpa diketahui oleh orang lain, bahkan prajurit-prajurit dalam kelompok mereka sendiri, keduanya telah pergi ke rumah Ki Tumenggung Suraprana.

Adalah kebetulan sekali bahwa Ki Tumenggung sore itu tidak bertugas keluar. Karena itu, maka kedua anak muda itupun telah diterimanya dengan senang hati.

Barata tidak lagi menyembunyikan niatnya. Meskipun ia tidak mengatakan alasan yang sebenarnya, tetapi ia telah mengatakan, bahwa ia berniat untuk mengundurkan diri dari lingkungan keprajuritan.

“Kenapa?“ Ki Tumenggung memang agak terkejut.

Alasan yang dikemukakan oleh Barata, adalah alasan sebagaimana pernah dikatakannya kepada Kasadha. Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang yang memiliki pengalaman yang luas serta pengenalan yang mendalam terhadap berbagai sifat manusia, maka Ki Tumenggung merasakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Barata. Tetapi bagaimanapun juga yang disembunyikan itu tentu juga alasan yang sangat penting bagi Barata secara pribadi, yang menurut pertimbangannya tindak perlu diketahui oleh orang lain.

Karena itu, Ki Tumenggung yang bijaksana itu sama- sekali tidak berusaha untuk mencongkel alasan itu kepermukaan.

Dengan nada rendah Ki Tumenggung itupun telah bertanya, “Apakah keputusanmu sudah bulat Barata?”

“Ya Ki Tumenggung,“ jawab Barata, “semakin lama aku akan menjadi semakin asing dengan diriku sendiri.”

Ki Tumenggung tersenyum. Katanya, “Kasadha tentu akan merasa kehilangan seorang sahabat. Kalian telah pernah bekerja bersama dalam satu medan yang sangat gawat di Randukerep meskipun tidak dalam satu perang besar sebagaimana telah terjadi di Prambanan. Namun justru dalam pertempuran yang lebih kecil, maka dituntut kemampuan pribadi setiap prajurit, karena dalam pertempuran seperti itu, maka kemampuan setiap prajurit akan menentukan hidup atau mati.”

Kasadha mengangguk kecil. Katanya, “Ya Ki Tumenggung. Aku sudah berusaha untuk menahannya. Tetapi Barata nampaknya sudah bertekad bulat untuk meninggalkan dunia keprajuritan.” “Sebenarnya akupun menyayangkan keputusan itu. Barata adalah salah seorang prajurit terbaik di Pajang. Apalagi setelah orang-orang Demak semakin berkuasa disini. Namun agaknya justru karena itu, Barata merasa kecewa. Ia masuk dalam lingkungan keprajuritan justru saat Pajang dibakar oleh tekad untuk mempertahankan diri. Namun justru kemudian sesuatu yang sama sekali tidak diduga telah terjadi. Bukan pengaruh Mataram yang mencengkam kita disini. Tetapi justru pengaruh Demak.”

Barata tidak menjawab. Ia memang tidak dapat mengatakan apa-apa dihadapan Ki Tumenggung. Bahkan tidak kepada Kasadha, yang dianggapnya sebagai sahabatnya yang terdekat.

“Barata,“ berkata Ki Tumenggung selanjutnya, “Namun segala sesuatunya terserah kepadamu. Jika jiwamu memang sudah merasa hambar, maka tidak seorangpun dapat memaksamu.”

“Aku datang untuk mohon petunjuk Ki Tumenggung,“ berkata Barata kemudian.

“Sulit bagiku untuk memberikan satu petunjuk yang tegas. Sebagian besar dari keputusannya terletak kepadamu sendiri Barata,“ berkata Ki Tumenggung, “yang dapat aku katakan adalah tentang kemungkinan- kemungkinan yang dapat kau dapatkan dilingkungan keprajuritan. Kau telah terbukti memiliki kelebihan dari prajurit kebanyakan. Agaknya kau dan Kasadha pada masa yang akan datang, akan mendapat kesempatan pertama untuk diangkat dalam kedudukan yang lebih tinggi. Itu jika keadaan di Pajang wajar tanpa campur tangan orang-orang Demak. Sedangkan kemungkinan lain diluar lingkungan keprajuritan aku tidak dapat mengatakannya.” Barata mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa Ki Tumenggung tidak akan dapat memberikan petunjuk yang pasti, karena sebagaimana dikatakannya, segala sesuatunya tergantung pada dirinya.

Namun kemudian Barata mohon petunjuk, kapan sebaiknya ia minta diri dari lingkungan keprajuritan, karena penarikan Ki Lurah Yudaprakosa masih belum pasti.

Sehingga ia tidak akan dapat memperhitungkan waktunya.

“Memang belum pasti,“ berkata Ki Tumenggung, “menurut pendapatku, kau tidak usah menunggunya.”

Sambil mengangguk hormat Barata berkata, “Aku mengucapkan terima kasih Ki Tumenggung. Sekaligus aku mohon diri jika aku tidak dapat menghadap Ki Tumenggung lagi.”

Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apaboleh buat. Tetapi aku merasa prajurit Pajang telah kehilangan salah seorang, yang terbaik diantaranya.”

Demikianlah, maka kedua orang anak muda itu telah mohon diri. Ki Tumenggung yang mengantar mereka sampai ke regol sempat bertanya, “Apakah kau juga akan menemui Ki Lurah Dipayuda?”

“Dimana kami dapat menemuinya K i Tumenggung?“ bertanya Barata.

“Rumahnya memang agak jauh diluar kota Pajang. Tetapi ia sering datang kemari. Jika pada suatu saat ia datang, biarlah aku mengatakannya tentang rencanamu,“ berkata Ki Tumenggung.

“Terima kasih Ki Tumenggung.” “Tetapi aku tidak tahu pasti, kapan Ki Lurah itu datang kemari. Anaknya adalah seorang pedagang kuda yang sering datang ke kota. Jika bukan Ki Lurah sendiri, biarlah jika anaknya singgah ke rumahku aku akan berpesan kepadanya. Dalam waktu dekat anaknya tentu datang, karena aku telah memesan seekor kuda berwarna gelap. Kudaku yang satu sudah terlalu tua,“ berkata Ki Tumenggung.

“Terima kasih Ki Tumenggung,“ jawab Barata sambil mengangguk dalam-dalam.

Sejenak kemudian, maka kedua orang prajurit muda itu telah meninggalkan rumah Ki Tumenggung. Barata sempat bergumam, “Mudah -mudahan aku dapat minta diri kepada Ki Lurah Dipayuda sebelum meninggalkan barak.”

Kasadha mengangguk-angguk. Namun segala sesuatunya tergantung kepada kehadiran Ki Lurah atau anaknya.

Namun tiba-tiba saja Kasadha itu berkata, “Ternyata anak Ki Lurah Dipayuda tidak menjadi seorang prajurit.“

“Ya,“ desis Barata, “Ki Lurah sendiri seorang prajurit yang sudah cukup lama mengabdi kepada Pajang.”

Barata mengangguk-angguk. Namun iapun berdesis, “Malam n anti aku akan menghadap Ki Lurah Yudaprakosa.”

“Demikian tergesa -gesa Barata?“ bertanya Kasadha dengan suara dalam.

Barata hanya menarik nafas panjang. Hampir saja ia mengatakan dorongan yang memaksanya meninggalkan lingkungan keprajuritan. Tanah Perdikan dalam hubungannya dengan kebijaksanaan para pemimpin yang datang dari Demak. Namun ia masih sempat mengendalikan diri.

“Itu persoalan yang sangat pribadi,“ berkata Barata didalam hatinya meskipun ia tidak merasa ketakutan bahwa ada orang yang akan menyingkirkannya. Persoalan yang dihadapinya kini tidak lagi seseorang yang dianggap membahayakan jiwanya, tetapi adalah kebijaksanaan pimpinan pemerintahan yang sebagian datang dari Demak serta sebagian orang Pajang sendiri itulah.

Seperti yang dikatakannya, maka ketika malam mulai turun, Barata telah menemui Kasadha untuk menyatakan niatnya menghadap Ki Lurah Yudaprakosa. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku ingin persoalanku cepat selesai.”

Kasadha mengangguk kecil. Katanya, “Hati -hatilah berbicara dengan Ki Lurah. Jika kau memerlukan aku, panggil aku disini.”

Barata mengangguk kecil. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu lagi.

Dengan jantung yang berdebar-debar, maka Barata telah datang menghadap ke bilik Ki Lurah Yudaprakosa. Nampaknya Ki Lurah juga terkejut menerima kedatangan Barata. Hampir saja ia membentaknya dan mengusirnya. Tetapi ketika ia melihat prajurit muda itu berdiri tegak didepan pintu serta pandangan matanya yang berat memandanginya, maka dengan ramah Ki Lurahpun telah mempersilahkannya masuk.

“Apa yang dapat aku bantu?“ bertanya Ki Lurah Yudaprakosa. Baratapun kemudian dengan singkat telah menjelaskan maksudnya untuk minta diri, mengundurkan diri dari lingkungan keprajuritan.

“Kau salah paham Barata,“ desis Ki Lurah, “bukankah sudah aku katakan, bahwa niatku baik?”

“Tidak Ki Lurah,“ potong Barata dengan serta merta, “tidak ada hubungannya dengan pendadaran ulang itu.”

“Jadi kenapa tiba -tiba saja kau ingin mengundurkan diri dari lingkungan keprajuritan? Kau adalah satu diantara dua orang terbaik disini. Seharusnya kau bangga dengan kelebihanmu itu di dunia keprajuritan,“ berkata Ki Lurah.

“Aku mengerti Ki Lurah. Tetapi ada sesuatu yang mendesak didalam hati. Kerinduan kepada orang tua, perasaanku yang ternyata sangat lemah, sehingga aku merasa terlalu letih untuk berada dilingkungan keprajuritan serta desak-desakan yang lain yang tidak aku ketahui ujung pangkalnya,“ berkata Barata.

“Bagaimana dengan Kasadha?“ bertanya Ki Lurah. “Kasadha akan tetap tinggal disini Ki Lurah. Ini juga satu

bukti bahwa kepergianku tidak ada hubungannya dengan

pendadaran ulang yang baru saja dilakukan. Bahkan aku mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang Ki Lurah berikan untuk menunjukkan kelebihanku,“ jawab Barata.

Ki Lurah Yudaprakosa memang berpikir keras. Tetapi bahwa kedua orang sahabat yang memiliki kelebihan dari para prajurit kebanyakan itu sebaiknya memang berpisah. Karena itu, maka Ki Lurah itupun kemudian berkata, “Aku sudah mendengar permohonanmu Barata. Malam nanti aku akan memikirkannya. Selanjutnya aku masih harus melaporkan kepada Ki Tumenggung Wiradigda. Besok aku akan menghadap. Mudah-mudahan besok sore aku sudah dapat memberikan jawaban.”

“Terima kasih Ki Lurah,“ desis Barata kemudian, “aku mohon pertolongan Ki Lurah. Ibuku akan ikut berterima kasih jika permohonan ini dikabulkan.”

“Kenapa ibumu?“ bertanya Ki Lurah.

“Aku akan selalu berada disampingnya. Membantunya bekerja disawah dan kerja lain dirumah. Ibuku sudah menjadi semakin tua,“ jawab Barata dengan hati yang berdebar-debar.

“Apak ah hal seperti ini tidak kau pertimbangkan ketika kau memasuki lingkungan keprajuritan?“ bertanya Ki Lurah.

Barata menjadi cemas jika pembicaraan itu berkepanjangan. Namun ia menjawab, “Saat itu, Pajang memanggil anak-anak mudanya Ki Lurah, saat Pajang terancam oleh Mataram. Setiap anak muda memang merasa terpanggil. Sekarang, keadaan telah berangsur tenang dan membaik. Segala sesuatunya telah menjadi semakin tertib.”

Ki Lurah tidak segera menjawab. Sementara Barata menjadi semakin berdebar-debar. Namun akhirnya Ki Lurah itu berkata, “Baiklah. Kembalilah ke tempatmu. Besok sore atau selambat-lambatnya besok lusa aku akan memberikan jawaban.” Barata mengangguk hormat. Iapun kemudian minta diri dan kembali ke tempatnya. Barata sempat singgah menemui Kasadha dan mengatakan jawaban Ki Lurah kepadanya.

“Ki Lurah tentu akan menerima dengan senang hati,“ berkata Kasadha.

Barata menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian telah meninggalkan Kasadha yang merenungi dirinya sendiri.

Di hari berikutnya, berita tentang permohonan Barata telah tersebar kemana-mana. Ki Lurah memang telah mengatakannya kepada prajurit yang sedang bertugas. Namun dengan demikian, maka berita itu telah tersebar kesetiap telinga.

Karena itu, maka ketika para prajurit itu berkumpul di tempat latihan untuk melakukan pemanasan tubuh di pagi- pagi hari, maka Barata telah dikerumuni oleh kawan- kawannya, sehingga Barata mengalami kesulitan untuk menjawab setiap pertanyaan. Namun Barata telah menjaga diri agar tidak terloncat dari mulutnya persoalan Tanah Perdikan itu.

Siang itu Ki Lurah memang meninggalkan barak untuk menghadap Ki Tumenggung Wiradigda. Namun ketika Ki Lurah itu sampai ke Katumenggungan, maka Ki Tumenggung Suraprana telah berada di tempat itu pula.

Tetapi Ki Tumenggung Suraprana tidak mencampuri persoalan yang kemudian dikemukakan oleh Ki Lurah tentang permohonan Barata. “Menurut keterangannya, tidak ada hubungannya dengan pendadaran ulang itu Ki Tumenggung,“ berkata Ki Lurah, “ternyata bahwa yang seorang lagi tidak menyatakan diri untuk mengundurkan diri dari lingkungan keprajuritan.”

Ki Tumenggung Wiradigda mengangguk-angguk. Sebenarnya ia sudah mendengar dari Ki Tumenggung Suraprana. Namun karena Ki Tumenggung juga tidak mencampurinya, maka hal itu tidak disinggungnya sama sekali.

“Aku mohon petunjuk Ki Tumenggung,“ berkata Ki Lurah kemudian.

Ki Tumenggung Wiradigda sebenarnya juga merasa sayang, bahwa prajurit muda yang baik itu berniat untuk mengundurkan diri. Tetapi karena itu adalah haknya, maka Ki Tumenggung itupun berkata, “Apaboleh buat. Mungkin ia dapat berbuat lebih banyak bagi Pajang setelah ia mengundurkan diri.”

Ki Lurah mengangguk-angguk kecil. Sementara Ki Tumenggung berkata, “Kita akan melepas kepergiannya dengan satu upacara khusus. Aku telah mendengar banyak laporan tentang Barata. Ia telah melakukan tugasnya dengan sangat baik disaat perang antara Pajang dan Mataram berlangsung. Sebelum ia ditarik kedalam tugas pengawalan, maka ia berada di sisi Selatan Pajang. Di Randukerep dibawah pimpinan Ki Lurah Penatus Dipayuda, maka Barata dan Kasadha telah menunjukkan kelebihannya. Mereka adalah prajurit-prajurit pilihan yang telah berjuang dengan gigih untuk menahan arus pasukan Mataram dari lambung Selatan. Karena itu maka pendadaran ulang untuk menunjukkan kelebihan mereka sebagaimana Ki Lurah katakan itu, sebenarnya tidak perlu, karena setiap prajurit sudah mengetahuinya. Bukan sekedar diarena pendadaran, tetapi benar-benar dimedan perang.”

Ki Lurah Yudaprakosa tidak menjawab, kepalanya menunduk dalam-dalam. Namun ternyata dendamnya kepada Barata menjadi semakin memuncak.

“Jadi,“ berkata Ki Tumenggung Wiradigda kemudian, “tentukan saja, kapan kau ingin melepas Barata.”

“Kami, maksudku aku dan Ki Tumenggung Suraprana akan hadir.”

Wajah Ki Lurah menjadi tegang. Namun ia tidak berani mengangkat wajah itu. Demikian pentingnya Barata bagi kedua orang Tumenggung itu sehingga keduanya akan memerlukan hadir melepasnya meninggalkan baraknya.

Tetapi Ki Lurah tidak dapat berbuat apapun juga. Ia harus menerima hal itu betapapun hatinya terasa panas.

“Nah,“ berkata Ki Tumenggung kemudian, “apakah masih ada persoalan lain yang ingin kau katakan?”

“Tidak Ki Tumenggung,“ berkata Ki Lurah dengan nada dalam bahkan, “aku akan mohon diri.”

Ki Tumenggungpun kemudian melepas Ki Lurah sampai ke tangga pendapa. Kemudian Ki Tumenggung telah berbincang kembali dengan Ki Tumenggung Suraprana yang tidak mencampuri sepatah katapun ketika Ki Tumenggung Wiradigda berbincang dengan Ki Lurah Yudaprakosa. Ki Lurah yang kemudian kembali ke baraknya telah mengumpat didalam hatinya. Ia memang merasa tidak senang terhadap sikap Ki Tumenggung yang seakan-akan menganggap Barata seorang pahlawan.

Ketika Ki Tumenggung itu sampai kesebuah simpang tiga, tiba-tiba ia telah menarik kekang kudanya dan berbelok kekanan meninggalkan jalur jalan kembali ke baraknya.

Tetapi disore hari Ki Tumenggung sudah berada di baraknya kembali. Iapun kemudian telah memanggil Barata dan memberitahukan hasil pembicaraannya dengan Ki Tumenggung Wiradigda.

“Ki Tumenggung Suraprana juga ada disana,“ berkata Ki Lurah.

Barata menjadi berdebar-debar. Namun Ki Lurah itupun kemudian berkata, “Tetapi Ki Tumenggung Suraprana sama sekali tidak mencampuri pembicaraan kami karena ia merasa tidak berhak melakukannya.”

Barata tidak menjawab. Ia hanya mengangguk-anguk saja. Namun dengan demikian ia mengerti, bahwa sebentar lagi, ia benar-benar akan meninggalkan dunia keprajuritan.

Akhirnya Ki Lurah telah memberikan laporan kepada Ki Tumenggung, bahwa tiga hari lagi, Ki Lurah akan melepas Barata dalam satu upacara sebagaimana diperintahkan oleh Ki Tumenggung.

“Baiklah,“ berkata Ki Tumenggung, “seperti yang sudah aku katakan, maka aku akan hadir dalam upacara itu.” “Demikian upacara selesai, Barata benar -benar akan meninggalkan barak itu. “Ki Tumenggung. Aku tidak dapat mencegahnya, meskipun hanya untuk satu malam saja.”

“Kalau itu sudah menjadi keputusannya, baiklah,“ berkata Ki Tumenggung. Namun kemudian Ki Tumenggung itupun berkata, “Ki Lurah. Bukankah aku pernah memberitahukan, bahwa dalam waktu dekat Ki Lurah akan mendapat tugas baru. Karena itu, upacara itu akan dapat dilakukan sekaligus dengan melepas Ki Lurah Yudaprakosa dari jabatan Ki Lurah sekarang.”

Terasa hentakkan yang keras mengguncang dada Ki Lurah. Bahkan rasa-rasanya wajahnya menjadi panas. Bukan saja karena begitu tiba-tiba ia harus melepaskan jabatannya, namun bahwa upacara untuk melepasnya sekedar merupakan acara tambahan dari upacara yang diperuntukkan bagi Barata.

“Ini tidak masuk akal dan tidak adil,“ Ki Lurah  hanya berani berteriak didalam hatinya. Tetapi ia sama sekali, tidak mengatakan sesuatu.

Namun ada sedikit kesejukan dihati Ki Lurah ketika Ki Tumenggung berkata, “Ketika aku mengusulkan untuk melepas Barata dengan satu upacara, memang sudah terbayang niat untuk sekaligus melepas Ki Lurah. Tetapi karena aku masih harus mengadakan beberapa pembicaraan, maka hal itu belum aku katakan. Karena itu, maka katakanlah bahwa upacara itu adalah upacara untuk melepas Ki Lurah sekaligus untuk melepas Barata.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih atas kehormatan ini Ki Tumenggung. Sudah tentu aku tidak akan menolak tugas apapun yang akan dibebankan kepadaku, karena aku adalah seorang prajurit.” “Baiklah. Kau dapat mempersiapkannya sejak sekarang,“ berkata Ki Tumenggung.

Namun Ki Lurah masih bertanya, “Jika berkenan dihati Ki Tumenggung, apakah aku boleh mengetahui, siapakah yang akan menggantikan kedudukanku?”

“Aku masih membicarakannya. Jika sampai saatnya aku belum menemukannya, maka untuk sementara aku akan merangkap tugas Lurah Penatus dibarakmu.”

Ki Lurah termangu-mangu. Namun iapun kemudian berdesis, “Terima kasih Ki Tumenggung. Jika demikian, perkenankanlah aku mohon diri. Aku akan mulai mengadakan persiapan-persiapan dan latihan-latihan. Barangkali acara pelepasan yang dimaksud Ki Tumenggung adalah acara sebagaimana biasa dilakukan oleh para prajurit.”

“Ya. Kau tentu tahu, bagaimana hal itu dilaksanakan,“ berkata Ki Tumenggung.

Ki Lurahpun kemudian telah meninggalkan Katumenggungan. Tetapi seperti yang terdahulu, maka iapun, telah berbelok kekanan, keluar dari jalur jalan menuju ke baraknya.

Demikianlah, dihari berikutnya segala sesuatunya telah dipersiapkan oleh Ki Lurah. Ki Lurahpun telah memberitahukan kepada para prajurit, bahwa ia akan segera meninggalkan barak itu. Karena itu, maka para prajurit telah memasuki latihan upacara pelepasan Ki Lurah itu dan sekaligus melepas Barata pula. Ternyata bahwa tanggapan para prajurit atas kepergian dua orang anggautanya sangat berbeda. Mereka merasa kehilangan Barata. Bahkan juga prajurit-prajurit yang menyusul kemudian memasuki kelompoknya, yang terpaksa diperlakukan dengan keras oleh Barata. Namun mereka merasa bersukur atas kepergian Ki Lurah Yudaprakosa yang sama sekali tidak mereka kehendaki kehadirannya di barak itu.

Demikianlah, dua hari penuh para prajurit telah melakukan latihan. Ki Lurah ingin acara pelepasan itu berlangsung dengan baik, untuk memberikan kesan terakhir bagi kehadirannya di barak itu.

Pada hari berikutnya, maka upacjara pelepasan itu akan berlangsung. Pagi-pagi benar semuanya sudah dipersiapkan. Tidak sebagaimana pernah dilakukan atas Ki Lurah Dipayuda. Tetapi kesan pelepasan saat itu akan terasa lebih mendalam.

Ki Lurah sudah menentukan titik-titik dimana ia harus berdiri. Kemudian dimana Barata harus berdiri disaat pelepasan itu berlangsung. Bagaimanapun juga, Ki Lurah Yudaprakosa adalah lebih besar daj Barata.

Pada saat yang ditentukan, maka beberapa orang pemimpin keprajuritan telah hadir. Ki Tumenggung Wiradigda dan Ki Tumenggung Suraprana benar-benar telah datang ke barak itu diiringi beberapa orang perwira dan prajurit pengawal, sehingga kesan kehadirannya memang resmi. Salah seorang dari para perwira yang mengikutinya, adalah perwira pembantu Ki Tumenggung Wiradigda yang bertugas mengatur kedudukan para perwira bawahan mereka. Dalam pada itu, sebelum upacara pelepasan itu secara resmi berlangsung, maka Ki Tumenggung Suraprana sempat bertanya kepada Barata, apakah Ki Lurah Dipayuda telah datang.

Barata termangu-mangu. Namun iapun menjawab, “Belum Ki Tumenggung.”

Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Aku sudah berpesan kepada anaknya yang benar -benar datang menawarkan seekor kuda yang sangat bagus. Aku setuju membeli kudanya. Sekaligus aku berpesan tentang pelepasanmu hari ini.”

Barata memang merasa kecewa. Agaknya Ki Lurah Dipayuda sudah tidak menghiraukan dirinya lagi. Karena itu, maka ia sama sekali tidak merasa perlu untuk hadir dalam pelepasan itu.

Namun Ki Tumenggung yang melihat kekecesaan itu berkata, “Sudahlah. Barangkali Ki Lurah sedang sibuk. Mungkin ada sesuatu yang harus diselesaikannya hari ini sehingga ia tidak sempat datang menengokmu atau menghadiri upacara pelepasan ini. Tetapi ia bukan berarti bahwa Ki Dipayuda telah melupakanmu.”

Barata mengangguk kecil sambil berkata, “Ya Ki Tumenggung. Mudah-mudahan aku masih sempat bertemu lagi.”

“Kesempatan itu akan datang. Ki Lurah pernah berkata kepadaku, bahwa kau dan Kasadha seakan-akan telah menjadi anak-anaknya sendiri. Itu adalah satu, penghargaan yang sangat tinggi dari seorang pimpinan langsung kepadamu dan kepada Kasadha,“ berkata Ki Tumenggung Suraprana. Namun ternyata sampai saatnya upacara dilaksanakan, Ki Lurah Dipayuda tidak datang ke barak itu.

Demikianlah, upacara kecil itu telah berlangsung dengan lancar dan baik. Semua berjalan sesuai dengan rencana Ki Lurah. Pada saat pelepasan, maka Ki Lurah berdiri tegak dengan segenap pertanda kebesarannya. Sementara itu agak kebelakang, Baratapun berdiri tegak mendengarkan ketetapan yang diuraikan oleh seorang perwira pembantu Ki Tumenggung Wiradigda sebelum Ki Tumenggung berbicara dihadapan pasukan kecil itu.

Ketetapan yang diucapkan oleh perwira itu menyatakan, bahwa Ki Lurah Yudaprakosa telah ditarik untuk jabatan yang akan ditetapkan kemudian dengan ucapan terima kasih atas jasa-jasanya selama waktu yang terhitung singkat, membina pasukan kecil itu sebagai Lurah Penatus. Perwira itupun juga menyatakan bahwa Barata seorang prajurit yang menjabat sebagai seorang pemimpin kelompok telah menanggalkan jabatannya atas permohonannya sendiri. Permohonan itu diijinkan dan ditetapkan disertai ucapan terima kasih atas segala jasa- jasanya selama ia menjadi prajurit Pajang. Barata telah mempertahankan jiwanya dan termasuk salah seorang yang ikut menentukan keselamatan pasukan Pajang di Randukerep saat menghadapi pasukan Mataram yang berusaha menyerang Pajang dari lambung.

Semua prajurit mendengarkan ketetapan itu dengan jantung yang berdebar-debar. Mereka tidak peduli apakah Ki Lurah akan dipindahkan kemanapun atau bahkan dikembalikan ke Demak sekalipun. Namun mereka memang merasa berat berpisah dengan Barata. Apalagi mereka yang melihat langsung, apa yang telah dilakukan oleh Barata dan Kasadha di Randukerep. Bahkan Kasadhapun merasa bahwa Barata telah pernah menyelamatkan hidupnya di medan pertempuran yang garang itu.

Namun disamping kedua ketetapan itu ternyata masih ada satu ketetapan yang sangat mengejutkan. Ketetapan yang tidak diduga sebelumnya. Apalagi Ki Lurah Yudaprakosa, bermimpipun tidak.

Ketetapan itu menetapkan, berhubungan dengan jabatan pimpinan pasukan itu menjadi kosong, karena Lurah Penatus Yudoprakosa ditarik untuk jabatannya yang baru yang akan ditetapkan kemudian, maka orang akan melaksanakan tugasnya untuk sementara adalah seorang prajurit muda yang bernama Kasadha.

Ketetapan itu bukan saja mengejutkan. Tetapi juga menggemparkan. Para prajurit sekejap melupakan upacara yang sedang mereka lakukan. Mereka lupa bahwa mereka sedang berdiri tegak. Bagaimanapun juga sentuhan perasaan mereka telah mengungkit gejolak didada mereka, sehingga tiba-tiba saja terdengar para prajurit yang sedang berdiri tegak itu bersorak. Secara serta merta mereka menunjukkan dukungan mereka terhadap ketetapan itu.

Darah Ki Lurah yang memang sudah terasa panas karena kehilangan jabatannya itu menjadi semakin panas. Ia langsung dapat membaca perasaan para prajurit itu terhadap dirinya dan terhadap kedua orang prajurit muda itu. Seandainya yang diangkat itu Barata, maka sambutan merekapun akan serupa.

Dendam Ki Lurah menjadi semakin bertumpuk ditimpakan kepada Barata. Jika Kasadha benar-benar ditetapkan, ia akan mempunyai jabatan yang sama dengan jabatannya meskipun dalam urutan penugasannya masih jauh lebih muda. Kesempatannya untuk melepaskan kebenciannya kepada Kasadha akan menjadi semakin terbatas. Tetapi Barata yang sudah melepaskan diri dari kedudukannya, akan dapat diperlakukan lebih buruk lagi, tanpa banyak akibat yang harus diperhitungkan.

Demikianlah, setelah ketetapan itu dibaca, maka Ki Tumenggung Wiradigda telah memberikan sesorahnya. Tidak terlalu panjang, tetapi langsung mengenai sasarannya. Ucapan selamat kepada yang dilepas, harapan- harapan bagi yang diangkat menjadi palaksana sementara pimpinan di barak itu.

Namun didalam sesorahnya yang pendek itu ternyata tersimpan kekuatan jabatannya dan ketegasan perintahnya. Baik bagi Ki Lurah Yudaprakosa maupun bagi Kasadha.

Demikianlah sejenak kemudian maka upacara itupun dinyatakan selesai. Ki Tumenggung Wiradigda dan Ki Tumenggung Suraprana telah memberikan ucapan selamat kepada Ki Lurah dan Barata secara pribadi. Demikian pula para perwira yang lain. Sementara itu, dengan serta merta maka para prajuritpun telah mengerumuni Barata. Mereka seolah-olah telah melupakan Ki Lurah Yudaprakosa. Apalagi Ki Lurah tidak lagi menjadi pimpinan mereka sehingga perhatian merekapun tidak lagi terpancang kepadanya.

Setelah mengucapkan selamat berpisah kepada Barata yang akan segera meninggalkan barak itu, maka para prajuritpun telah mengerumuni Kasadha yang juga telah mendapat ucapan selamat secara pribadi dari para Tumenggung dan perwira yang lain.

Ki Lurah yang seakan-akan tidak lagi menjadi bagian dari kesibukan itu meriggeretakkan giginya. Kebenciannya kepada Barata semakin membakar jantungnya. Tetapi selain para Tumenggung dan para pengiringnya, maka Barata dan Kasadhalah orang-orang yang pertama- tama mendatanginya dan mengucapkan selamat berpisah.

“Kita akan menuju kearah kita masing -masing Ki Lurah,“ berkata Barata, “namun Ki Lurah akan tetap berada didunia keprajuritan, sedangkan aku terpaksa meninggalkannya dan memasuki duniaku sendiri sebagaimana aku belum memasuki lingkungan keprajuritan.”

“Terima kasih Barata,“ berkata Ki Lurah, “mudah - mudahan kau mendapatkan ketenangan lahir dan batin di duniamu sendiri.”

“Mudah-mudahan Ki Lurah,“ sahut Barata. Sementara Kasadha berkata, “Atas nama seluruh prajurit di barak ini, kami mengucapkan terima kasih atas bimbingan Ki Lurah selama ini.”

Ki Lurah tersenyum. Katanya, “Selamat bagimu Kasadha. Mudah-mudahan kedudukanmu segera disahkan. Kau akan menjadi Lurah Penatus yang baik bagi prajurit-prajuritmu. Meskipun menjadi seorang pemimpin betapapun kecilnya, mempunyai kesulitannya sendiri.”

“Aku mohon doa restu Ki Lurah,“ sahut Kasadha.

Ki Lurah tersenyum, meskipun didalam hati ia mengumpat, “Gila anak ini. Ia sudah berani menyebut dirinya atas nama para prajurit, sementara ia belum melakukan tugasnya sama sekali.”

Demikianlah, maka para Tumenggung dan pengiringnya yang telah menyelesaikan upacara itupun segera minta diri. Mereka masih mempunyai tugas lain yang harus mereka lakukan hari itu. Sepeninggal para pemimpin, maka Baratalah yang kemudian telah minta diri pula kepada Ki Lurah. Dengan nada rendah ia berkata, “Perkenankan aku mendahului Ki Lurah. Mumpung masih pagi.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan meninggalkan barak ini siang nanti. Aku sebenarnya merencanakan untuk bermalam satu malam lagi disini. Tetapi aku telah berubah pendirian. Mungkin akan lebih baik bagiku untuk meninggalkan tempat ini segera, karena aku masih harus membenahi rumahku sendiri sebelum keluargaku aku bawa kemari dari Demak,“ Ki Lurah berhenti sejenak, lalu, “Dengan siapa kau akan menempuh perjalanan kembali?”

“Sendiri Ki Lurah,“ jawab Barata.

“Sendiri? Apakah sebelumnya kau tida k memberikan kabar kepada keluargamu agar menjemputmu?“ bertanya Ki Lurah.

“Aku sudah cukup dewasa. Bahkan aku telah pernah menjadi seorang prajurit. Apa salahnya jika aku berjalan sendiri?“ sahut Barata.

Ki Lurah tersenyum. Katanya, “Kau memang anak lua r biasa.”

Demikianlah, setelah minta diri kepada Kasadha dan seluruh prajurit di barak itu, Barata telah meninggalkan barak yang dihuninya disaat-saat terakhir ia menjadi prajurit. Ia telah memberikan beberapa dorongan kepada Kasadha untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. “Jika kita berjumpa lagi, maka sedikitnya kau harus sudah menjadi Lurah Penatus yang sebenarnya. Bukan sekedar pengemban tugas untuk sementara,“ berkata Barata sebelum meninggalkan barak itu.

Kasadha mengangguk-angguk. Ketika ia bertanya tentang tempat tinggal Barata, maka yang dikatakannya adalah sebuah Kademangan yang bernama Bibis. Ia sama sekali tidak mengatakan bahwa dirinya adalah cucu Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang paling berhak untuk menggantikannya setelah ayahnya, Ki Wiradana terbunuh. Ia sama sekali tidak mengatakan bahwa kekacauan telah timbul dirumah tangga orang tuanya setelah seorang perempuan yang bernama Warsi mulai hadir di tengah- tengah hubungan antara ayah dan ibunya.

Demikianlah, maka dengan hati yang sangat berat, terutama Kasadha, seisi barak itu telah melepas kepergian Barata yang tidak mau tertunda lagi.

Sebenarnyalah Barata merasa agak tergesa-gesa untuk bertemu kembali dengan keluarganya. Bukan sekedar menengok untuk satu dua hari dan kembali lagi ke baraknya. Tetapi ia ingin mendampingi ibunya pada saat- saat terjadi pergolakan kebijaksanaan di Pajang. Selain karena kehadiran orang-orang Demak yang ikut berkuasa di Pajang, juga karena orang Pajang sendiri sebagian ingin memanfaatkan keadaan bagi kepentingan diri sendiri.

Karena itulah maka Barata tidak ingin menuju ke Bibis, meskipun ia tahu bahwa tentu ada seseorang atau lebih berada di padepokan kecil itu. Mungkin kakeknya, mungkin neneknya atau Bibi atau Sambi Wulung dan Jati Wulung atau siapapun yang ada disana. Namun ia ingin segera berada di Tanah Perdikan Sembojan. “Mudah -mudahan belum terjadi sesuatu di Tanah Perdikan itu. Jika Pajang sudah terlanjur mengambil tindakan, maka Sembojan harus menentukan sikap lebih lanjut,“ berkata Barata didalam hat inya.

Namun diperjalanan kembali ke Sembojan, bukan jarak yang pendek. Ia harus menempuh jarak yang cukup panjang.

Tetapi Barata sudah bertekad untuk berjalan terus meskipun nanti saatnya malam turun. Ia sadar, bahwa ia tidak akan mencapai Sembojan sebelum malam. Apalagi ketika ia menengadahkan wajahnya. Matahari sudah menjadi semakin tinggi. Upacara pelepasan itu memerlukan waktu yang agak lama juga.

Dalam pada itu, Baratapun merasa kecewa, bahwa disaat terakhir ia berada di Pajang, ia tidak dapat bertemu, dengan Ki Lurah Dipayuda. Sedangkan untuk menemuinya dirumahnya akan dibutuhkan waktu tersendiri. Sementara hatinya selalu gelisah karena kebijaksanaan baru Pajang terhadap Tanah Perdikan.

“Mungkin pada kesempatan lain, aku dapat menemuinya,“ berkata Barata didalam hatinya.

Sementara Barata menempuh perjalanan jauh, Kasadha yang menyendiri, masih saja merenungi kepergian sahabatnya itu. Bahkan yang pernah menyelamatkan jiwanya. Tugas baru di barak itu memang memberikan kebanggaan kepadanya. Tetapi perasaan itu tenggelam dalam perasaan sepi sepeninggal Barata.

Namun kadang-kadang memang telah timbul pertanyaan didalam hatinya, kenapa anak itu mirip sekali dengan dirinya sendiri, sehingga pantas jika ada orang yang keliru dan menyangkanya Puguh. Seandainya Kasadha itu sendiri bukan Puguh, maka ia memang akan dapat menyangka bahwa Barata itulah Puguh.

Tetapi anak muda itu telah pergi.

Dalam pada itu, Barata sendiri telah menyusuri jalan kota Pajang yang nampak ramai. Kehidupan memang telah bangun kembali setelah perang berakhir. Tidak nampak jelas pengaruh para pemimpin Demak di Pajang dalam kehidupan sehari-hari. Namun dalam pemerintahan dan bidang keprajuritan pengaruh itu nampak jelas sekali.

Tetapi ketika Barata itu kemudian keluar dari regol kota, maka iapun mulai dibayangi oleh beberapa peristiwa yang telah pernah terjadi. Beberapa orang pernah menyangkanya sebagai Puguh. Orang-orang yang mendendam anak muda yang bernama Puguh itu telah berusaha menangkapnya dan membawanya.

“Apaboleh buat,“ berkat a Barata, “jika aku terpaksa bertemu dengan orang-orang itu, maka aku harus membebaskan diri.”

Tetapi Barata berusaha untuk melupakan kemungkinan itu. Apalagi Barata diperkenankan membawa pedangnya selagi ia menjadi prajurit, sebagai kenang-kenangan atas tugas yang pernah dipikulnya.

Sementara itu langitpun menjadi semakin cerah.

Matahari yang semakin panas memanjat langit semakin tinggi. Namun angin yang bertiup dari Selatan telah membawa kesejukan tersendiri.

Barata berjalan cepat menyusuri jalan-jalan bulak. Ia ingin segera sampai ke tujuannya. Namun, ternyata bahwa perjalanannya tidak selancar yang di inginkannya. Ketika ia berbelok lewat sebuah tikungan di sebuah bulak panjang, maka beberapa puluh langkah dihadapannya dilihatnya dua orang yang berloncatan ke jalan yang dilaluinya.

Barata memang menjadi agak berdebar-debar. Tetapi ia mencoba untuk berjalan saja tanpa menghiraukan mereka. Bahkan Barata yang membawa sebungkus pakaiannya itu berjalan sambil menunduk.

Tetapi yang dicemaskan itu terjadi. Dua orang itu telah menghentikannya.

Semula Barata mengira bahwa ia berhadapan dengan dua orang penyamun. Apalagi bulak yang dilaluinya itu adalah sebuah bulak yang panjang.

Tetapi ternyata bahwa kedua orang itu bukan penyamun, karena seorang diantara mereka berkata, “Nah, selamat bertemu disini, Barata.”

Barata mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Siapakah kalian?”

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun ternyata bahwa keduanya masih terengah-engah. Agaknya keduanya telah berlari menyusuri pematang menyusulnya dengan memotong jalan, kemudian meloncat ke jalan yang dilaluinya itu.

Namun salah seorang diantara mereka kemudian berusaha menegaskan, “Bukankah kau yang bernama Barata?” “Ya, aku Barata,“ jawab Barata tanpa mengetahui maksud kedua orang itu.

“Kebetulan,“ berkata salah seorang diantara mereka. “Apa yang kebetulan?“ bertanya Barata.

“Seseorang minta kau singgah sebentar untuk menemuinya,“ jawab orang itu.

“Siapa yang minta aku singgah?“ bertanya Barata mulai curiga. Tetapi yang pasti orang itu tidak menyebutnya Puguh. Karena orang itu mengenalinya sebagai Barata.

“Singgahlah sebentar,“ berkata orang itu, “nanti kau akan tahu, mungkin orang itu akan memberikan pesan kepadamu.”

Tetapi Barata itu menjawab, “Aku tergesa -gesa Ki Sanak. Karena itu, aku tidak dapat melakukan sesuatu yang tidak jelas bagiku.”

“Ki Sanak,“ berkata orang itu, “kau tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, marilah, agar tidak timbul persoalan yang tidak kau kehendaki.”

“Maaf Ki Sanak. Aku tidak merasa perlu melakukannya,“ berkata Barata sambil melangkah.

“Tetapi tunggu sebentar Ki Sanak,“ berkata yang lain, “apakah Ki Sanak tidak ingin berbicara dengan orang itu barang sebentar. Mungkin pesannya akan sangat berarti bagi Ki Sanak.”

“Jika pesann ya penting, maka ia akan menunggu aku disini. Tidak usah bersembunyi,“ jawab Barata. “Ah, kau tidak mempercayai kami berdua,“ berkata orang itu, “kami sama sekali tidak berniat buruk terhadap Ki Sanak. Kami tahu, bahwa kau adalah Barata. Prajurit pilihan di Pajang. Itulah sebabnya, maka orang itu ingin memberikan pesan.”

Barata justru menjadi semakin curiga. Orang itu tahu banyak tentang dirinya.

Ketika kemudian Barata melihat arah pandangan kedua orang itu, maka iapun telah berpaling, Panggraitannya yang sangat tajam mengatakan kepadanya, bahwa ada orang lain yang datang dari arah belakang.

Barata terkejut ketika dari tikungan itu muncul dua orang dari balik pohon jarak dan pohon perdu lainnya yang tumbuh di pinggir jalan. Dua orang yang bertubuh raksasa yang telah dipergunakan oleh Ki Lurah Yudaprakosa untuk melakukan pendadaran ulang.

Barata menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa kedua orang itu memiliki kekuatan yang sangat besar. Ia memang dapat mengalahkan seorang diantara mereka. Tetapi menghadapi mereka berdua adalah satu pekerjaan yang sangat berat. Apalagi masih ada dua orang yang lain lagi, yang bagaimanapun juga akan dapat ikut mempengaruhi pertempuran jika itu harus terjadi.

Sejenak Barata termangu-mangu. Bulak panjang itu memang sepi. Bukan musim menanam dan bukan pula musim membersihkan rumput, sehingga jarang orang pergi ke sawah. Barata memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali menemui kedua orang bertubuh raksasa itu, apapun keperluan mereka.

Namun anak muda itu sempat berkata kepada kedua orang yang menghentikannya, “Jadi tugasmu memperlambat perjalananku begitu?”

“Ya,“ jawab seorang diantaranya, “sekarang kau tidak mempunyai kesempatan lagi.”

“Tentu masih dapat. Jika aku berlari, kedua orang raksasa itu tentu tidak akan dapat mengejarku,“ jawab Barata.

“Tetapi kami berdua dapat mengejarmu,“ berkata salah seorang diantara mereka.

“Kau akan mencoba melawan aku?“ bertanya Barata dengan suara yang meyakinkan.

Ternyata orang itu ragu-ragu, sehingga tidak segera menjawab.

Barata tertawa pendek. Katanya, “Jangan cemas. Aku akan menunggu kedua orang raksasa itu. Keduanya sama sekali tidak menakutkan bagiku, karena aku pernah mengalahkan mereka.”

“Seorang melawan seorang,“ jawab orang itu dengan serta merta.

Jawaban yang tidak diduga oleh Barata. Agaknya kedua orang itu memang banyak mengerti tentang dirinya atau banyak mendapat penjelasan dari kedua raksasa itu. Sesaat Barata menandangi langkah raksasa yang semakin dekat itu. Sementara kedua orang yang lain berdiri dibelakangnya.

“Kau mulai menjadi cemas,“ berkata seorang diantara kedua orang itu, “raksasa itu akan dapat mematahkan tulang-tulangmu.”

“Bukankah aku sudah pernah berkelahi melawan mereka? Bukankah kau tahu bahwa satu lawan satu, mereka tidak berarti apa-apa bagiku,“ desis Barata yang, “sebenarnya memang harus menilai kembali kemampuannya jika harus dihadapkan kepada keduanya bersama-sama.”

Kedua orang itu sama sekali tidak menyahut lagi. Mereka memang melihat bahwa sikap Barata terlalu meyakinkan meskipun yang datang kepadanya adalah dua orang sekaligus.

Beberapa langkah dihadapannya kedua orang raksasa itupun berhenti. Seorang diantaranya kemudian berkata, dengan suaranya yang berat seakan-akan hanya melingkar dalam perutnya saja, “Jangan menyesali nasibmu.”

“Jadi kau mendendam?“ bertanya Barata, “bukankah peristiwa didalam gawar pendadaran itu tidak ada hubungannya dengan persoalannya kita secara pribadi?“ bertanya Barata.

“Aku tidak peduli,“ geram raksasa itu, “tetapi belum pernah ada orang yang pernah menghina kami berdua sebagaimana kau lakukan bersama Kasadha itu.”

“Jadi bagaimana sikapmu sekarang?“ bertanya Barata. “Aku harus melepaskan dendamku kepadamu kapan saja aku mendapat kesempatan. Sekarang kesempatan itu datang. Karena itu, maka kami sudah memutuskan untuk membuatmu cacat seumur hidup. Kau akan menjadi orang yang paling menderita disisa hidupmu. Kau akan selalu menjadi tanggungan orang lain,“ geram orang bertubuh raksasa itu.

Barata menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia bertanya, “Siapa dian tara kalian yang akan melawanku?”

“Kami berdua bersama -sama,“ jawab salah seorang dari raksasa itu, “kami menyadari, bahwa seorang diantara kami tidak akan dapat mengalahkanmu. Tetapi dua orang bersama-sama, maka kami akan dengan mudah melakukannya.”

Barata mengangguk-angguk. Tetapi tidak terbayang kecemasan di wajahnya. Bagaimanapun juga ia. tidak boleh menjadi kehilangan akal dan penalaran. Ia harus tetap tabah apapun yang akan terjadi. Jika ia menjadi ketakutan, maka ia akan kalah sebelum melakukan perlawanan.

“Baiklah,“ berkata Barata, “ternyata kalian bukan seorang yang berhati jantan sebagaimana bentuk tubuh kalian. Aku kira kalian akan dengan sikap seorang laki-laki

berusaha melepaskan dendam kalian. Tetapi ternyata kalian akan bertempur berpasangan. Tetapi tidak apa. Barangkali ini satu kesempatan bagiku untuk mengembangkan ilmuku.”

“Persetan,“ geram salah seorang dari kedua orang bertubuh raksasa itu, “kau akan menjadi lumat. Tetapi kami memang ingin membiarkan kau tetap hidup, agar kau dapat menyesali tingkah lakumu yang angkuh itu.” Tetapi Barata justru tertawa. Katanya, “Kalian akan segera melihat puncak kemampuanku yang sebelumnya belum sempat kalian ketahui, karena disaat aku mengalahkan salah seorang dari kalian, aku belum sampai kepuncak ilmuku itu.”

“Cukup,“ bentak salah seorang dari raksasa itu, “bersiaplah untuk mengalami nasib yang paling buruk.”

“Baiklah. Tetapi aku ingin bertanya sekali lagi. Darimana kalian tahu bahwa aku akan melalui jalan ini hari ini?“ bertanya Barata.

“Bukanka h kau hari ini telah meninggalkan lingkungan keprajuritan? Bukankah kau akan pergi ke daerah asalmu? Kau telah diikuti oleh kedua orang itu demikian kau keluar dari barak. Ki Lurah Yudaprakosa telah mengisyaratkan kepadaku sejak ia menghadap Ki Tumenggung Wiradigda yang pertama, kemudian ditegaskan lagi sesaat ia menghadap untuk yang kedua kalinya. Ki Tumenggung Wiradigda terlalu kagum kepadamu dan kepada Kasadha, sehingga Ki Lurah yang bersama-sama datang dari Demak justru telah tersisih.”

Barata mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi Ki Lurahlah yang memberikan banyak keterangan kepadamu tentang aku? Ternyata bahwa aku memang orang yang akan dapat menjadi orang besar sehingga mendapat banyak perhatian dari seorang Lurah Penatus.”

“Cukup. Kau membual untuk men gatasi rasa takutmu. Sekarang kau harus pasrah kepada keadaan,“ geram salah seorang dari kedua raksasa itu. Barata tidak menjawab lagi. Diletakannya bungkusan bekal dan pakaiannya. Kemudian iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Kedua orang raksasa itupun telah bersiap pula. Kepada kedua orang yang telah disuruhnya menghambat perjalanan Barata seorang diantara mereka berkata, “Jaga, agar anak itu tidak melarikan diri.”

Kedua orang itu tidak menjawab. Tetapi kedua-nyapun telah bersiap ditengah-tengah jalan untuk menjaga agar Barata tidak sempat melarikan diri.

Kedua orang bertubuh raksasa itu mulai bergeser saling menjauh. Dengan nada geram seorang diantara mereka berkata, “Kita selesaikan anak ini dengan cepat sebelum ada orang lewat atau orang yang turun kesawah.”

Kawannya menjawab, “Tetapi hati -hati. Anak ini jangan sampai mati.”

Raksasa itu tertawa. Tetapi suara tertawanya tiba-tiba saja terputus. Satu serangan yang tidak mereka duga tiba- tiba saja telah meluncur menghantam dada salah seorang diantara kedua raksasa itu. Serangan itu cukup keras, sehingga raksasa itu terdorong surut dan bahkan kemudian telah kehilangan keseimbangannya sehingga jatuh terlentang.

Tetapi Barata tidak dapat memburunya, karena raksasa yang lain telah meloncat menerkamnya. Hampir saja kepala Barata dapat dicengkam oleh orang itu. Untunglah, bahwa Barata sempat merendah dan bahkan kemudian dengan tangannya ia sempat menghantam perut orang itu sambil berlutut pada satu kakinya. Pukulan itu memang tidak terlalu keras. Tetapi terasa seakan-akan telah mengaduk isi perutnya sehingga rasa- rasanya menjadi sangat mual. Karena itu, maka raksasa itu terdorong selangkah surut.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar