Sayap-Sayap Yang Terkembang Jilid 22

Jilid 22

JATI WULUNG, Gandar dan Risang menjadi tegang. Tetapi nampaknya Sambi Wulung ingin menyelesaikan orang itu seorang diri. Karena itu, maka ia sama sekali tidak memberikan isyarat kepada yang lain untuk terjun dalam pertempuran itu.

Tetapi lawannya yang dipanggil Ki Lurah itupun nampaknya telah bersiap menghadapi kemungkinan apapun. Ia memang tidak mau gagal. Agaknya ia memang memilih mati daripada tidak dapat membawa anak muda yang benar-benar dianggapnya Puguh itu.

Ketika orang itu bergeser selangkah kesamping, maka Sambi Wulungpun telah bergeser pula. Sementara itu, Gandarpun seakan-akan telah melekat dibelakang orang yang merasa mengenali Puguh itu, sedangkan Jati Wulung berada di sisi Risang. “Ri sang,“ berkata Jati Wulung, “obati lukamu meskipun hanya untuk memampatkan darah. Aku akan mengawasi setiap orang yang masih mencurigakan disini. Mungkin satu dua orang bangkit lagi setelah beristirahat sambil berbaring. Mungkin orang yang disebut Ki Lurah itu tiba- tiba saja menyerang. Gandar akan selalu mengawasi orang yang membuat gara-gara itu. Karena ia menyebutmu Puguh, maka telah terjadi persoalan yang sebenarnya tidak perlu terjadi ini.”

Risang tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian telah duduk dipinggir halaman samping itu ditunggui oleh Jati Wulung. Dengan obat yang dibawa, Risang telah mencoba mengobatinya sendiri dengan menaburkannya pada lukanya dibawah bajunya yang terkoyak.

Sementara ia mengobati lukanya, maka iapun telah bersuit memanggil kudanya sehingga sejenak kemudian, kudanya itu telah berada didekatnya pula.

Dalam pada itu, Sambi Wulung telah bertempur dengan sengitnya melawan orang yang dipanggil Ki Lurah itu.

Sementara Gandar yang berdiri dibelakang orang yang telah merasa mengenali Puguh itu masih juga berdesis, “Ki Sanak. Kita sudah tahu akhir dari pertempuran ini. Karena itu, apakah kau dapat bersikap jujur terhadap dirimu sendiri.”

“Apa maksudmu?“ bertanya orang itu.

“Lihat anak yang sedang mengobati lukanya itu. Apakah benar ia anak muda yang kau maksud dengan Puguh?

Apakah kau benar-benar mengenalinya? Jika kau ragu-ragu akan wajahnya, kau dapat mencoba mengenali bagaimana ia berjalan. Bahkan jika kau sempat melihat dan mengenali ciri-ciri ilmunya. Atau barangkali suaranya,“ sah ut Gandar.

Orang-orang itu termangu-mangu sejenak. Perhatiannya memang mulai terbagi. Sebagian pada pertempuran antara pimpinannya melawan Sambi Wulung, namun sekali-sekali perhatiannya tertuju kepada anak muda itu.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Menilik sikap orang-orang yang bersama-sama dengan anak muda itu, maka nampaknya memang meyakinkan bahwa anak muda itu bukan Puguh. Tetapi setiap kali ia memandang wajah anak muda itu, maka rasa-rasanya ia benar-benar berhadapan dengan anak muda yang dicarinya.

Karena itu, maka dalam kebingungan akhirnya ia tidak menentukan sikap baru. Ia sudah terlanjur mengatakan bahwa anak itu Puguh. Karena itu, maka ia harus mempertahankannya apapun yang terjadi.

“Amati anak itu sebelum pemimpinmu terlanjur mati,“ geram Gandar.

“Yang akan mati bukan pemimpinku. Tetapi pemimpinmu itu,“ jawab orang itu.

Gandar tertawa. Katanya, “Ternyata kau tidak mempunyai kemampuan untuk mengenali tingkat ilmu seseorang. Bahkan seandainya demikian, kau tentu secara naluriah dapat melihat bahwa pemimpinmu menjadi semakin terdesak.”

Orang itu menggeram. Namun sebenarnyalah ia melihat pemimpin telah terdesak. Karena itu, maka tidak sepantasnya ia hanya berdiam diri saja. Dengan diam-diam ia mencari kesempatan untuk melakukan serangan yang tiba-tiba sehingga dengan sekali gerak, dapat melumpuhkan orang yang membayanginya itu.

Untuk beberapa saat, orang itu bagaikan membeku. Perhatiannya sepenuhnya tertuju kepada pemimpinnya yang sedang bertempur itu.

Gandarpun ternyata telah memperhatikan pertempuran yang nampaknya memang mendekati pada akhirnya. Sambi Wulung semakin lama telah semakin mendesak lawannya. Apalagi ketika keduanya telah melepaskan ilmunya masing- masing. Pemimpin sekelompok orang yang memburu Puguh atau kedua orang tuanya atau semuanya itu telah membuat tangannya bagaikan menjadi beberapa pasang. Semuanya menyerang dengan garangnya. Meskipun Sambi Wulung menyadari, bahwa hal itu semata-mata karena kemampuannya bergerak dengan cepat dilandasi dengan ilmu yang sangat tinggi, namun sekali-sekali tangan orang itu telah berhasil mengenai tubuhnya.

Namun kemudian Sambi Wulung tidak selalu berusaha menghindari serangan yang seakan-akan datang dari segenap penjuru itu. Dalam keadaan yang memungkinkan, maka Sambi Wulung telah membentur serangan lawannya.

Lawannyalah yang harus meloncat surut. Sentuhan telapak tangan Sambi Wulung itu bagaikan sentuhan bara api yang panasnya tidak terkira.

Namun sekali-sekali orang itu masih saja memandang sekilas Risang yang sedang mengobati lukanya sendiri. Betapa geramnya orang itu. Rasa-rasanya ia ingin mengoyak anak itu sampai lumat. Baginya, daripada gagal lebih baik membunuhnya sama sekali.

Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa lawannya sulit sekali dikalahkannya. Bahkan semakin lama justru semakin mendesaknya.

Pada saat-saat yang sulit, maka orang itu telah bergeser beberapa langkah surut justru mendekati Risang yang sedang mengobati lukanya. Orang itu memang berniat untuk membunuh anak itu. Seandainya ia harus mati, maka biarlah ia mati bersama-sama dengan anak yang dicarinya itu.

Menurut dugaan orang itu, maka ia akan dapat menyerang dengan tiba-tiba. Ia menduga bahwa orang yang menunggui anak yang disangkanya Puguh itu tentu tidak mempunyai ilmu setinggi orang yang bertempur melawannya itu.

Karena itu, maka ketika ia mendapat kesempatan, dengan tiba-tiba saja ia telah meloncat meninggalkan Sambi Wulung. Dengan serta merta maka orang itupun telah menyerang Jati Wulung untuk mendapat kesempatan menyerang Risang. Menurut perhitungannya, dengan serangannya itu Jati Wulung akan terlempar. Sebelum Sambi Wulung sempat berbuat sesuatu, ia sudah berhasil memukul anak itu sehingga mati.

Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, maka orang itu benar-benar telah menyerang Jati Wulung yang berdiri menjadi Risang.

Tetapi dugaannya ternyata salah. Jati Wulung memang melihat sikap yang menarik perhatiannya itu. Sebagaimana Sambi Wulung yang menjadi curiga saat-saat orang itu bergeser justru mendekati Risang, maka Jati Wulungpun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, ketika orang itu meloncat menyerangnya, maka dengan segenap kemampuannya pula Jati Wulung telah membentur serangan itu dengan mempergunakan ilmu yang sama sebagaimana Sambi Wulung.

Namun ternyata bahwa Jati Wulung masih juga terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja ia menimpa Risang yang sedang mengamati lukanya. Namun ternyata Risang cepat bergeser sehingga tidak terinjak kaki Jati Wulung. Sementara Jati Wulung juga tidak terjatuh karenanya. Meskipun harus dengan susah payah mempertahankan keseimbangannya.

Sementara itu, orang yang menyerangnya itupun telah terpental pula beberapa langkah. Iapun harus berusaha dengan susah payah menjaga keseimbangannya agar tidak jatuh. Namun dalam pada itu, ternyata dalam benturan itu, telapak tangan Jati Wulung sempat menggapai dan mencengkam pundak lawannya, sementara tangannya yang lain menangkis ayunan tangan orang itu.

Cengkaman tangan Jati Wulung itu benar-benar berakibat gawat bagi lawannya. Pundaknya bagaikan telah terbakar sehingga tangannya rasa-rasanya menjadi lemah.

Dalam keadaan yang demikian, maka kemampuannya untuk bertempur menjadi jauh susut. Ia menyangka bahwa ia akan dapat dengan tiba-tiba menjatuhkan orang yang menjaga anak itu sehingga dalam waktu yang singkat langsung membunuhnya. Namun ia justru telah gagal.

Sementara itu, kawannya, yang merasa mengenali anak Warsi itu terkejut pula melihat akibat itu. Hampir diluar sadarnya, dengan serta merta ia meloncat untuk menolongnya.

Namun Gandar yang berdiri didekatnya tidak membiarkannya. Dengan cepat Gandar mencengkam lengan orang itu. Diputarnya dan satu serangan tangannya tepat mengenai dadanya.

Orang itu terlempar beberapa langkah dan justru jatuh terjerembab. Ia memang dengan cepat meloncat bangkit. Tetapi ternyata punggungnya terasa sakit, sementara dadanya menjadi sesak bagaikan terhimpit sebongkah batu.

Kedua orang itu memang tidak akan mampu lagi bertempur melawan ketiga orang yang menemani anak muda yang disangkanya Puguh itu. Sementara kawan- kawannya sudah tidak berdaya lagi.

Sambi Wulunglah yang kemudian berdiri dihadapan orang yang memimpin sekelompok orang yang memburu Puguh itu sambil berkata, “Nah, apapun yang akan kau lakukan, kau sudah tidak dapat memilih lagi.”

Orang itu menggeram. Sementara Sambi Wulung berkata selanjutnya, “Aku masih memberimu kesempatan untuk hidup. Tetapi sekali lagi kau harus mengamati anak yang telah kau lukai itu. Ia bukan Puguh. Untung bahwa lukanya tidak terlalu berat, sehingga aku masih dapat memberimu kesempatan meninggalkan tempat ini serta mengurusi kawan-kawanmu yang terluka itu. Aku sama sekali tidak berniat untuk membunuh. Tetapi jika ada kawan-kawanmu yang mati itu adalah tanggung jawabmu sendiri.”

Kedua orang itu berdiri diam seperti patung. Memang di wajah mereka memancar kemarahan dan dendam. Tetapi Sambi Wulung berkata sekali lagi, “Kami akan meninggalkan tempat ini. Kalianpun boleh pergi. Carilah Puguh di-mana saja. Tetapi jangan melakukan kesalahan yang sama.”

Sambi Wulungpun kemudian memberikan isyarat kepada Jati Wulung dan Gandar untuk meninggalkan tempat itu.

Sementara Sambi Wulung sendiri melangkah mendekati Risang untuk mengamati lukanya yang telah ditaburinya dengan obat yang memampatkan darah.

“Bagaimana keadaanmu?“ bertanya Sambi Wulung. “Tid ak apa-apa. Luka ini sudah menjadi baik,“ berkata

Risang.

“Baiklah. Marilah kita meneruskan perjalanan,“ berkata Sambi Wulung kemudian, “biarlah orang itu belajar dari pengalaman ini. Ia tidak dapat berbuat sesuka hatinya. Atau barangkali matanyalah yang sudah menjadi rabun.”

Sejenak kemudian, maka keempat orang itu telah siap untuk berangkat. Mereka telah berada diatas punggung kuda-kuda mereka. Namun mereka masih sempat meninggalkan uang di kedai itu untuk membayar makanan dan minuman mereka serta bahkan lebih dari itu.

Ketika mereka berampat telah berada di depan kedai itu Sambi Wulung masih sempat bertanya, “Apakah kau tetap menyangka anak ini Puguh?”

Orang yang pernah mengenal Puguh sementara punggungnya hampir patah itu termangu-mangu. Dicobanya untuk menajamkan ingatannya tentang anak muda yang bernama Puguh itu. Rasa-rasanya memang ada beberapa perbedaan diantara mereka. Namun orang itu tidak akan berani mengatakannya kepada pimpinannya itu.

Demikianlah maka kuda-kuda itupun segera berderap meninggalkan tempat itu. Ketegangan masih membayang diwajah Sambi Wulung, Jati Wulung, Gandar dan bahkan Risang.

Dengan nada penuh penyesalan Risang berkata, “Jadi dengan demikian wajahku tentu mirip dengan wajah anak itu.”

Sambi Wulung dan Jati Wulung yang pernah melihat wajah Puguh saling berpandangan sejenak. Namun Sambi Wulunglah yang kemudian menjawab, “Jangan kau sesali dirimu. Bukan salahmu jika kau dilahirkan seayah dengan anak itu, sehingga memang mungkin terjadi kemiripan.”

“Tetapi bagaimanapun juga semua orang Sembojan mengenali riwayat kelahiranku. Mereka tahu siapa aku, siapa ayahku, siapa ibuku dan siapa perempuan yang telah merebut ayahku dari ibuku itu. Kemudian dendam diantara kedua orang perempuan itu yang berkepanjangan, sehingga apakah sebenarnya aku pantas menjadi kepala Tanah Perdikan di Sembojan? “ suara Risang menjadi sangat dalam.

“Sudahlah Risang,“ desis Gandar, “kita akan berbicara nanti di padepokan.”

Risang tidak menjawab. Namun bagi mereka yang mengantarkannya melihat bahwa gejolak itu masih terdapat didalam dada anak muda itu. Untuk beberapa saat kemudian, orang-orang diatas punggung kuda itu saling berdiam diri. Mereka lebih banyak berbicara dengan angan-angan mereka sendiri.

Beberapa saat kuda-kuda itu berderap di bulak-bulak panjang dan sekali-sekali melewati padukuhan. Namun Risang tidak dapat menyingkirkan gejolak di perasaannya. Apalagi tangannya yang terluka masih saja terasa pedih meskipun darah sudah tidak mengalir lagi.

Dalam pada itu, jarak yang mereka tempuh memang bukan jarak yang pendek. Karena itu, maka mereka memang memerlukan waktu yang lama meskipun mereka berkuda.

Sementara itu, yang ditinggalkan di halaman samping kedai dengan luka-luka ditubuh mereka, mulai berusaha untuk menolong diri mereka sendiri serta kawan-kawan mereka yang parah. Mereka mencoba untuk menyingkir dari tempat itu. Beberapa orang dikejauhan masih saja mengawasi mereka meskipun tidak seorangpun berani mendekat.

“Setan itu lepas lagi,“ geram pemimpin pengawal itu.

Tidak seorangpun yang menyahut. Orang-orangnya masih terlalu dicengkam oleh perasaan sakit yang tidak dapat mereka atasi. Bahkan ada diantara mereka yang sama sekali tidak mampu lagi untuk bangkit.

“Untunglah, tidak seorangpun diantara kita yang mati,“ berkata pemimpin mereka. Namun ketika ia melihat beberapa orang yang sudah tidak mampu lagi untuk berbuat sesuatu, iapun berkata, “Jika kami tidak dapat membawa kalian, maka kalian terpaksa kami tinggalkan dalam keadaan mati. Mulut kalian tidak boleh berbicara tentang apa saja.”

Orang-orang yang dalam keadaan parah itu menjadi semakin cemas. Namun mereka terpaksa mempergunakan sisa-sisa tenaga mereka agar mereka tidak dibunuh oleh pemimpin mereka.

Dengan susah payah mereka telah meninggalkan tempat itu. Orang-orang yang memandangi mereka dari kejauhan telah menyibak pula. Mereka telah bergeser meninggalkan tempat mereka dan berlindung dibalik pepohonan atau bahkan dinding halaman.

Ketika orang-orang yang terluka itu sudah menjadi jauh, barulah mereka keluar dari persembunyian mereka dan saling berceritera tentang pertempuran yang telah terjadi antara ampat orang melawan sepuluh orang. Namun ternyata yang sepuluh orang itu dapat dikalahkan. Mereka saling merasa lebih tahu dari yang lain sehingga ceritera mereka menjadi semakin ramai.

Namun tidak seorangpun diantara mereka yang tahu siapakah orang-orang yang bertempur itu dan untuk apa mereka telah bertempur.

Dalam pada itu, ketika Risang telah berada di padepokannya kembali, maka seakan-akan sifatnya menjadi berubah. Meskipun ia masih juga bekerja keras bukan saja disanggar untuk melatih diri meningkatkan ilmunya, tetapi juga dikebun, pategalan dan di sawah, namun sekali-sekali ia duduk merenungi dirinya sendiri.

Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandar selalu memberikan petunjuk-petunjuk baginya, namun sangat sulit bagi Risang untuk dapat menyingkirkan kabut yang menyelimuti perasaannya.

Ketika ia melihat dirinya sendiri dalam keseluruhan, maka rasa-rasanya dirinya menjadi terlalu kecil. Rasa- rasanya jika ia kembali ke Tanah Perdikan, maka orang- orang akan selalu mengawasinya.

Yang selalu terbayang diangan-angannya adalah masa- masa muda ibunya yang harus bertempur memperebutkan seorang laki-laki yang tidak lagi menghiraukannya. Ketika ia menjadi dewasa maka ia merupakan kelanjutan pertengkaran itu dan akan selalu bermusuhan untuk memperebutkan kedudukan di Tanah Perdikan.

Di padepokannya, Risang yang disebut Barata itu memang telah menemukan satu dunia baru yang tidak dibayangi oleh peristiwa-peristiwa lampaunya. Karena itu, maka di padepokannya Risang telah menenggelamkan diri dalam kerja yang seakan-akan tidak pernah berhenti.

Latihan di sanggar, bekerja disawah dan ladang serta terjun kedalam kesibukan Kademangan Bibis bersama dengan anak-anak muda. Risang tidak pernah tidak hadir dalam kerja besar di Kademangan. Memperbaiki bendungan, membuat susukan untuk mengairi sawah yang masih belum sempat mendapat air dimusim kering. Bahkan membuka hutan untuk memberikan kesempatan penghuni Kademangan Bibis untuk mendapatkan tanah garapan baru karena penghuni Kademangan yang semakin meningkat dan berjejalan di padukuhan-padukuhan.

Jati Wulung, Sambi Wulung dan Gandar tidak pernah menegurnya. Bahkan merekapun telah melibatkan diri pula dalam kerja itu sebagaimana Risang. Terutama Gandar yang lebih banyak dikenal oleh orang-orang Kademangan. Namun dalam kesibukan-kesibukan itu, Risang sempat mengikuti berita tentang keadaan di pusat pemerintahan. Meskipun Bibis termasuk Kademangan yang cukup jauh dari pusat pemerintahan, namun peristiwa yang terjadi di Pajang telah bergema sampai ke sudut-sudut wilayah yang membujur di sepanjang tanah ini, justru ke arah Timur.

“Kemelut antara Pajang dan Mataram itu nampaknya telah menyalakan api peperangan,“ berkata Ki Demang dihadapan anak-anak muda yang sedang beristirahat ketika mereka menyelesaikan ujung sebuah parit yang mengalirkan air dari susukan induk.

“Apakah perang sudah pecah?“ bertanya seorang anak muda.

“Memang belum. Tetapi pertempuran -pertempuran kecil antara mereka yang berpihak telah terjadi,“ jawab Ki Demang, “sementara itu Mataram benar -benar telah menyusun kekuatan.”

“Bukankah Pajang telah tumbuh menjadi negara yang semakin besar? Apakah Sultan Pajang tidak dapat dengan mudah menangkap putera angkatnya yang telah mempersiapkan perlawanan di Mataram itu?”

Ki Demang termangu-mangu sejenak. Katanya, “Sulit untuk dimengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Tetapi putera angkat Kangjeng Sultan yang mendapat tanah Alas Mentaok itu adalah putera angkat yang sangat dikasihi sebagaimana puteranya sendiri Pangeran Benawa. Karena itu, Kangjeng Sultan nampaknya merasa ragu-ragu untuk melakukan satu tindakan yang tegas atas putera angkatnya itu.” “Lalu apakah yang dapat kita lakukan jika perang itu benar-benar pecah?“ bertanya seorang anak muda yang bertubuh tinggi dan besar.

Ki Demang termangu-mangu. Tetapi kemudian katanya hampir diluar sadarnya, “Ada kesempatan bagi anak -anak muda itu memberikan darma baktinya bagi Pajang. Pajang telah membuka kesempatan bagi anak-anak muda itu menjadi prajurit.”

“Be nar Ki Demang,“ bertanya beberapa orang anak muda hampir bersama-sama.

“Ya. Seorang utusan telah datang di Kademangan ini. Kademangan Bibis ini mendapat kesempatan untuk ikut menyumbangkan tenaganya bagi Pajang,“ jawab Ki Demang.

“Apakah kita yang ingin menjadi prajurit harus pergi ke Pajang?“ bertanya seorang anak muda.

“Tidak perlu,“ jawab Ki Demang, “dalam waktu yang pendek akan ada petugas yang datang ke Kademangan ini. Mereka mendapat tugas untuk melakukan pendadaran.

Bagi mereka yang dapat mengatasi kesulitan-kesulitan dalam pendadaran itu, maka mereka akan diterima menjadi calon prajurit. Mereka akan mendapat kesempatan untuk pergi ke Pajang dan akan dilakukan pendadaran berikutnya. Yang mampu melampaui pendadaran kedua ini akan diterima menjadi calon prajurit yang sebenarnya, sedangkan yang lain akan dikembalikan ke Kademangannya. Tetapi bagi mereka yang tinggal tidak terlalu jauh dari Pajang, tidak perlu melalui tahap pendadaran yang pertama di daerah masing-masing.

Mereka dapat langsung pergi ke Pajang dan menyatakan diri untuk mengikuti pendadaran tahap demi tahap di Pajang.

Anak-anak muda dari Kademangan Bibis itu mengangguk-angguk. Kesempatan itu nampaknya menarik bagi mereka. Ada beberapa orang anak muda yang agaknya memang berminat untuk menjadi prajurit. Mereka ingin menunjukkan, bahwa mereka merasa ikut bertanggung jawab atas tegaknya pemerintahan di Pajang.

Sebenarnyalah sebagaimana pernah di dengar oleh Iswari, saat itu Pajang menjadi panas. Panembahan Senapati di Mataram benar-benar tidak mau lagi menghadap ayahanda Sultan Pajang karena berbagai macam alasan. Antara lain alasan yang sangat pribadi. Panembahan Senapati pernah merasa direndahkan oleh beberapa orang pemimpin Pajang. Para pemimpin yang tidak setuju bahwa Panembahan Senapati membuka Alas Mentaok itu mengatakan, bahwa Alas Mentaok tidak akan pernah menjadi negeri yang ramai.

Pada saat itu juga Raden Sutawijaya meninggalkan paseban sambil berkata lantang, “Aku tidak akan menginjak paseban Pajang ini lagi sebelum Mataram yang didirikan diatas Alas Mentaok itu menjadi negeri yang ramai.”

Semula para pemimpin Pajang hanya mentertawakan saja sikap itu. Namun Kangjeng Sultan Pajang sendiri yang kemudian mendapat laporan setelah ia hadir di paseban, menganggap sikap itu bersungguh-sungguh. Sejak saat itulah yang selalu memikirkan putera angkatnya yang sangat dikasihinya itu.

Namun bahwa kemudian Raden Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senapati di Mataram itu benar-benar tidak mau menginjakkan kakinya di paseban Pajang, benar- benar menjadi persoalan. Beberapa orang pemimpin di Pajang dan beberapa orang Adipati yang telah menyatu dibawah pemerintahan Pajang menganggap sikap Panembahan Senapati sebagai sikap bermusuhan. Karena itu beberapa orang pemimpin telah mohon kepada Kangjeng Sultan untuk bertindak tegas.

“Mataram merupakan sepercik api didalam jerami. Jika tidak segera dipadamkan, maka api itu tentu akan bertambah besar dan akhirnya akan membakar lumbung,“ minta para pemimpin itu.

Tetapi Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang sangat mengasihi Panembahan Senapati itu selalu menunda-nunda keputusannya.

Namun sambil menunggu, maka para pemimpin Pajang telah mengambil langkah-langkah seperlunya. Mereka telah mempersiapkan pasukan yang lebih besar. Disamping kesediaan para Adipati untuk mengirimkan pasukan ke Pajang, maka Pajang sendiri telah menyusun barisan yang dapat memastikan, bahwa Mataram tidak akan dapat berbuat banyak. Bahkan pada suatu saat pasukan Pajang akan dapat memaksa Mataram untuk menyerah dan memaksa Panembahan Senapati untuk menghadap ke Pajang dan memaksanya untuk menginjak paseban.

Untuk itulah maka Pajang telah memberikan kesempatan kepada anak-anak muda untuk didadar menjadi prajurit.

Anak-anak muda itu harus sudah mempunyai bekal kemampuan sejak mereka memasuki lingkungan keprajuritan, karena dalam waktu yang singkat, tentu tidak akan mungkin diselenggarakan latihan-latihan untuk meningkatkan kemampuan mereka. Yang dapat dilakukan dalam waktu singkat adalah, bagaimana mereka bertempur sebagai seorang prajurit. Bertempur dalam gelar dan bertempur dalam satu kesatuan. Bukan lagi bertempur sendiri-sendiri tanpa menghiraukan kesatuan pasukan dan apalagi bentuk gelar.

Keterangan Ki Demang tentang kesempatan itu ternyata telah singgah di kepala Risang. Ketika ia kembali ke padepokannya, maka bayangan seorang prajurit itu selalu saja mengikutinya.

“Agaknya lebih baik bagiku untuk ikut menjadi seorang prajurit daripada harus berada di Tanah Perdikan yang tentu akan selalu diperbincangkan orang,“ berkata Risang didalam hatinya. Iapun memperhitungkan, jika ia pulang sebagai seorang prajurit, maka tanggapan orang terhadapnya tentu akan berbeda pula meskipun mereka tahu apakah yang pernah terjadi pada keluarganya.

“Mungkin mereka akan bersikap wajar kepadaku sebagaimana kepada orang lain,“ berkata Risang didalam hatinya. Lalu, “Atau jika aku menerima warisan jabatan kakek yang belum sempat dijabat oleh ayah, akan dianggap sebagai wajar juga. Kecuali orang-orang Tanah Perdikan menganggap bahwa sebagai seorang prajurit aku tidak lagi terlalu mementingkan kepentingan diri sendiri, termasuk jabatan Kepala Tanah Perdikan, waktunyapun tentu sudah berselang lebih lama lagi. Saat ini orang-orang itu tentu masih dibayangi oleh perang tanding yang sampai berulang dua kali diantara ibu dan bekas madunya itu. Apapun alasannya, tetapi orang-orang Tanah Perdikan belum melupakan bagaimana ibu tersisih ketika seorang perempuan lain hadir disisi ayah itu.”

Tetapi Risang tidak mengatakannya kepada siapapun juga. Ia sadar, jika hal itu dilakukan, tentu ia akan mendapat hambatan dari orang-orang disekitarnya.

Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung tentu tidak akan setuju. Mereka tentu akan berupaya dengan jalan apapun juga untuk membatalkan niatnya.

Karena itu, maka keinginannya itu hanya disimpannya sama didalam hatinya.

Namun setiap kali ia berkumpul di padukuhan, maka ia selalu mendengarkan tentang bakal penerimaan calon prajurit pada pendadaran pertama di Kademangan Bibis itu.

Hampir setiap anak muda yang dewasa dan bahkan yang telah meningkat dewasa tertarik dengan rencana penerimaan prajurit itu. Ada diantara mereka yang sekedar ingin mendapat kebanggaan dimata kawan-kawannya. Ada yang ingin mendapat pengalaman yang luas, ada yang benar-benar tertarik untuk mengabdikan diri kepada pemerintahan Pajang. Sementara itu Risangpun ternyata mempunyai alasan tersendiri, meskipun ada juga niatnya untuk menunjukkan pengabdiannya kepada Pajang, bukan sekedar menuntut haknya agar ia segera diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan oleh pemerintah di Pajang.

Risang menjadi semakin nampak murung ketika ia mendengar dari Ki Demang sendiri bahwa pernyataan untuk menjadi calon itu harus diberikan kepada beberapa orang prajurit Pajang yang akan bertugas di Kademangan itu. Sekaligus akan diselenggarakan pendadaran. Bagi mereka yang memiliki cukup kemampuan, maka mereka akan mendapat kesempatan, bersama-sama dengan para prajurit itu untuk pergi ke Pajang.

Ternyata darah didalam dada Risang bergejolak. Bukan saja darah mudanya. Tetapi darah seorang kesatria memang mengalir dari kakek-kakeknya. Kakek dari keturunan ayahnya maupun kakek dari keturunan ibunya. Meskipun ayahnya sendiri tidak menunjukkan sifat-sifat seperti itu.

Karena itu, maka telah terjadi kebimbangan yang sangat tajam didalam jantungnya.

Ia memang didorong oleh satu keinginan yang sangat untuk menyatakan diri ikut menjadi calon prajurit. Tetapi terbayang di angan-angannya, bagaimana tanggapan ibunya atas hal itu. Ia adalah anak tunggal dan menilik sikap lahiriah ibunya yang tidak kawin lagi itu, maka tentu tidak akan ada anaknya yang lain, kecuali jika ia mengangkat seorang anak.

Namun ternyata Risang condong untuk hidup sebagai seorang anak muda yang menjelang usia dewasanya. Ia tidak berbeda dengan anak-anak muda yang lain yang dengan dada tengadah menempuh pengalaman hidup yang kadang-kadang menyentuh bahaya. Namun dengan demikian maka iapun menyadari, jika ia gagal pulang, maka terputuslah arus keturunan ibunya. Yang kemudian akan tampil sebagai anak Wiradana adalah Puguh.

“Tetapi bukankah ibu waktu itu juga tidak memperhitungkan kemungkinan gugur di pertempuran atau bahkan diperang tanding untuk menunjukkan sikap kesatrianya? Bukankah ibu juga tidak membiarkan dirinya terhina dan berusaha merebut kesempatan pula?“ desis Risang didalam hatinya, “Akupun harus merebut kesempatan untuk menjadi seorang laki-laki yang terhormat di Tanah Perdikan. Jika aku gagal dan hilang di medan, maka itu adalah taruhan dari sebuah perjuangan.”

Kebimbangan yang membuat Risang terlalu banyak merenung itu memang tidak terlepas dari pengamatan Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung. Namun mereka menduga, hal itu disebabkan oleh getaran perasaan anak muda itu, ketika ia mendengar pengakuan ibunya tentang jalan hidupnya yang berliku-liku. Meskipun agak diluar dugaan, bahwa dengan demikian Risang justru merasa menjadi sangat rendah diri.

Dengan hati-hati ketiganya berganti-ganti pada setiap kesempatan berusaha untuk membuat Risang menjadi gembira sebagaimana sebelumnya.

Namun nampaknya usaha mereka memerlukan waktu yang lama. Peristiwa yang terjadi disepanjang jalan menuju ke Bibis, membuat luka dihatinya menjadi semakin pedih.

Dengan kekeliruan itu, maka Risang merasa dirinya mirip dengan anak muda yang bernama Puguh itu.

Dalam pada itu, baik Gandar maupun Sambi Wulung dan Jati Wulung memang selalu mengatakan kepadanya, “Jika bukan kau yang memegang jabatan pimpinan Tanah Perdikan, maka Puguhlah yang akan melakukannya.”

“Persetan,“ geram Risang sambil menggeretakkan giginya, “jika aku tetap hidup, maka aku akan mendapat tempat terhormat di Tanah Perdikan. Jika tidak, Puguh-pun tidak akan dapat melakukannya karena ibu tentu tidak akan membiarkannya. Orang-orang Tanah Perdikanpun tidak akan menerimanya dan Pajang juga tidak akan mengesahkannya. Bahkan siapapun yang akan menggantikan kedudukan itu, aku tidak peduli. Sementara itu baik ibu, kakek atau nenek selalu mengatakan, bahwa hidup mati seseorang berada di tangan Yang Maha Agung. Meskipun aku tidak menjadi seorang prajurit, bersembunyi didalam bilik besi sekalipun, jika maut itu datang menjemput, maka aku tidak akan dapat ingkar lagi.” Dengan demikian maka Risang itu telah membulatkan tekadnya untuk menyatakan diri bersama-sama dengan anak-anak muda yang lain dari Kademangan Bibis untuk menjadi calon prajurit.

Ketika saat itu tiba, maka Kademangan Bibis memang menjadi ramai. Kedatangan sekelompok prajurit dari Pajang yang cukup jauh itu telah membuat Kademangan Bibis bergejolak.

Sebenarnya di Tanah Perdikan Sembojan, kesempatan yang samapun telah dilakukan. Beberapa orang perwira dan prajurit telah datang untuk menerima pernyataan anak-anak muda untuk menjadi calon prajurit. Namun dengan penuh pengertian, para perwira itu telah menyatakan, bahwa Tanah Perdikan Sembojan telah dibebaskan dari kesempatan yang terbuka itu, karena keadaan Tanah

Perdikan itu sendiri. Namun para perwira itu telah membuat persetujuan dengan pemangku jabatan kepala Tanah Perdikan, bahwa jika diperlukan sekali, Tanah Perdikan akan mengirimkan sekelompok pengawal terlatih.

Para perwira itu mempercayai kemampuan para pengawal Tanah Perdikan yang setingkat dengan kemampuan para prajurit, sehingga tidak perlu dilakukan lagi pendadaran. Mereka akan mendapat tempat khusus pada saat mereka diperlukan.

Iswaripun dengan sengaja tidak memerintahkan untuk memberitahukan hal itu kepada Risang yang telah berada di padepokannya, karena Iswari sama sekali tidak mengharap bahwa Risang akan menjadi seorang prajurit. “Jika anak itu mengetahui kesempatan untuk menjadi seorang prajurit, maka nampaknya ia akan menjadi sangat tertarik untuk itu,“ berkata Iswari didalam hatinya.

Tetapi Iswari sama sekali tidak menduga, bahwa di Kademangan Bibis, tempat Risang mengasingkan diri, kesempatan seperti itu juga telah terbuka.

Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung ternyata terlambat mengetahui bahwa Risang juga telah menyatakan diri untuk menjadi calon prajurit di Kademangan Bibis.

Demikian Risang kembali dari Kademangan setelah menyatakan diri untuk menjadi calon prajurit serta menunggu pendadaran tingkat pertama yang akan dilakukan dua hari lagi, maka telah terjadi ketegangan di padepokan. Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung minta Risang membatalkan pernyataan itu. Tetapi Risang berkeberatan.

“Tidak ada hukuman apapun yang dapat dijatuhkan atasmu jika kau membatalkan niatmu menjadi seorang prajurit. Atau kau dapat melakukannya dengan cara lain. Kau buat pendadaranmu besok gagal,“ berkata Gandar.

Tetapi Risang menggeleng. Katanya, “Aku sudah bertekad untuk menjadi seorang prajurit.”

“Kau harus mendapat ijin dari ibumu lebi h dahulu,“ berkata Sambi Wulung.

“Aku sudah cukup dewasa. Aku dapat menentukan sikapku sendiri. Apalagi aku yakin, bahwa sikap yang aku ambil ini adalah sikap yang baik bagi anak-anak muda Pajang,“ jawab Risang. “Aku tahu Risang,“ berkata Gandar, “tetapi kau sudah mengemban tugas sendiri yang tidak kalah pentingnya.”

“Aku tidak dapat mementingkan diri sendiri,“ berkata Risang, “Pajang telah memanggil anak -anak mudanya. Jika aku harus kembali ke Tanah Perdikan, maka yang akan aku lakukan, justru membawa anak-anak muda Tanah Perdikan untuk menyatakan diri menjadi calon prajurit.”

“Tetapi kau harus mengingat suasana bagi Tanah Perdikanmu sendiri. Kau jangan terpancang pada satu bentuk pengabdian saja, karena ada lebih dari seribu macam cara untuk mengabdi kepada negara. Jika kau bangun Tanah Perdikanmu dengan baik termasuk ketenangan dan ketenteraman hidup disamping meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, maka itupun sudah merupakan satu pengabdian kepada Pajang,“ sahut Jati Wulung.

“Seandainya Tanah Perdikan Sembojan menjadi semakin maju lahir dan batinnya, tetapi Pajang kemudian jatuh, apa yang dapat kita lakukan?“ bertanya Risang.

“Risang,“ berkata Gandar dengan nada rendah, “kau harus mengingat ibumu. Kau adalah tumpuan harapannya.”

“Jika aku mengabdi ke pada Pajang, bukankah seharusnya ibu menjadi bangga? Keluargaku dan Tanah Perdikanku telah menyerahkan seorang anaknya untuk ikut menegakkan pemerintahan di Pajang,“ berkata Risang.

“Apapun yang kau lakukan Risang,“ berkata Sambi Wulung, “sebaiknya kau bi carakah saja lebih dahulu dengan ibumu. Itu merupakan satu kewajiban bagimu.” Risang menggeleng kecil. Bahkan katanya, “Tolong. Jika aku diterima menjadi seorang prajurit, katakan kepada ibu, bahwa aku telah memilih jalan yang tentu sangat disetujui oleh ibu.”

Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bertiga bersama Gandar dan Jati Wulung mereka tidak dapat menahan Risang untuk tidak menyatakan diri menjadi seorang calon prajurit, yang menurut perhitungan mereka bertiga, tentu akan dapat lolos pada pendadaran pertama dibandingkan dengan kemampuan anak-anak muda yang lain. Bahkan merekapun yakin bahwa di pendadaran keduapun Risang dengan bekal kemampuannya tentu akan lolos pula.

Karena itulah, maka Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung telah mengadakan pembicaraan tersendiri. Apa yang sebaiknya mereka lakukan. Namun waktu sudah terlalu singkat.

Akhirnya mereka memutuskan, bahwa Sambi Wulung dan Jati Wulung akan pergi ke Tanah Perdikan Sembojan untuk memberitahukan hal itu kepada Iswari.

Ketika hal itu dinyatakan kepada Risang, maka Risangpun berkata, “Tidak ada gunanya kau memberitahukan kepada ibu.”

“Tentu ada Risang,“ jawab Sambi Wulung, “keputusan apapun yang akan diambil oleh ibumu, aku tidak tahu.”

“Ibu akan bergembira karenanya. Anaknya ter nyata telah memilih jalan pengabdian yang paling baik dalam masa seperti sekarang ini bagi Pajang,“ berkata Risang. Ternyata Risang sama sekali tidak menghiraukan ketika Sambi Wulung dan Jati Wulung berangkat ke Tanah Perdikan. Bahkan dimata Gandar yang ditinggal untuk menunggui Risang, sikap anak muda itu benar-benar berubah. Dalam waktu yang singkat, maka rasa-rasanya Risang begitu cepat menjadi dewasa. Rasa-rasanya ia telah dapat mengambil satu keputusan dengan satu keyakinan yang tidak goyah.

Dalam pada itu, waktu yang hanya dua hari itu telah dipergunakan oleh Risang untuk benar-benar menempa diri. Ia telah mematangkan semua ilmu yang pernah disadapnya dari orang-orang yang pernah membimbingnya. Memang ada beberapa sumber ilmu, tetapi kakeknya mampu membuatnya luluh didalam dirinya. Namun dengan demikian, maka ilmu Risang termasuk ilmu yang sudah mapan.

Gandar sama sekali tidak dapat berbuat banyak. Namun justru karena itu, agar Risang tidak memaksa diri melampaui kemampuan wadagnya, Gandar telah menungguinya jika Risang berada di sanggar atau mengadakan latihan-latihan dialam terbuka.

Risang tahu bahwa waktu yang dua hari itu cukup bagi Sambi Wulung dan Jati Wulung untuk membawa ibunya datang kepadepokan itu. Sambi Wulung dan Jati Wulung tentu melarikan kudanya seperti sedang berpacu bertaruh seluruh kekayaannya.

Tetapi hati Risang sudah tetap. Apapun yang dikatakan ibunya tidak akan dapat menggoyahkan pendiriannya.

Kehadiran Sambi Wulung dan Jati Wulung di Tanah Perdikan Sembojan memang mengejutkan. Iswari, kakek dan neneknya, bahkan Bibipun menjadi gelisah. “Apa yang terjadi?“ bertanya Iswari demikian keduanya duduk diruang tengah ditemui oleh kakek dan nenek Risang beserta Bibi yang ikut mendengarkannya.

Sambi Wulung dan Jati Wulungpun kemudian telah memberi tahukan apa yang telah terjadi atas Risang. Terutama diperjalanan kembali ke padepokannya yang terletak di Kademangan Bibis.

“Jadi kedua anak itu wajahnya menang mirip?” bertanya Iswari.

Sambi Wulung dan Jati Wulung saling berpandangan sejenak. Namun keduanya memang tidak dapat ingkar. Hampir tidak terdengar Sambi Wulung berkata, “Ada beberapa bagian yang memang mirip.”

“O,“ Iswari menundukkan wajahnya. Diluar sadarnya ia mengusap matanya yang tiba-tiba terasa panas.

“Kita tidak dapat mela wan garis-garis yang dipahatkan alam pada kedua anak itu. Iswari, bagaimanapun juga, kau tidak dapat mengelakkan kenyataan bahwa keduanya diturunkan oleh ayah yang sama,“ berkata Kiai Badra dengan nada lembut.

Tiba-tiba kebencian yang dalam telah terungkit di dalam dadanya kepada suaminya yang sudah tidak ada lagi.

Suaminya yang hampir saja merupakan seluruh kehidupannya. Bahkan berusaha membunuhnya.

Tetapi gemeretak giginya membuat Kiai Badra berkata, “Jangan menyesali peristiwa yang telah terjadi. Denga n cara apapun kau tidak akan mungkin dapat menghapuskannya.” “Iswari,“ berkata Nyai Soka, “jangan kau timbun beban dihatimu. Kau harus berani meletakkannya. Jika setiap beban kau usung sepanjang hidupmu, maka tidak seorangpun yang akan mampu melakukannya. Yang penting sekarang, bagaimana mengatasi persoalan yang sedang kau hadapi sekarang ini. Apakah kau sependapat jika Risang menjadi seorang prajurit atau tidak?”

“Nenek,“ jawab Iswari, “aku merasa berkeberatan jika Risang menjadi seorang prajurit. Aku sudah membuat persetujuan tersendiri dengan para perwira di Pajang. Tanah Perdikan yang sedang bergejolak ini tidak akan melepaskan anak-anak mudanya untuk sementara. Namun dalam keadaan yang penting, aku akan mengirimkan sekelompok pengawal terpilih. Itu sudah cukup.”

“Tetapi Risang tentu belum tahu persetujuan yang pernah kau buat itu,“ berkata Kiai Soka, “karena itu, maka tentu ada baiknya jika kau dapat menemuinya.”

“Aku sependapat,“ berkata Kiai Badra, “sebaiknya disisa waktu yang pendek ini, kau temui anak itu.”

Iswari sendiri memang sependapat. Karena itu, maka mereka tidak menunggu lebih lama lagi. Waktu mereka terlalu sempit. Karena itu, maka merekapun segera berkemas untuk pergi ke padepokan.

Iswari akan berangkat bersama Sambi Wulung dan Jati Wulung. Namun Kiai Badra ternyata telah diminta oleh Iswari untuk menyertainya. Mungkin Kiai Badra dapat membantunya meluluhkan hati Risang yang tiba-tiba telah mengeras itu. “Aku titipkan Tanah Perdikan ini kepada kakek dan nenek berdua,“ berkata Iswari.

“Kami akan melakukan tugas -tugas di Tanah Perdikan ini dengan sebaik-baiknya,“ berkata Kiai Soka.

Kepada Bibipun Iswari telah memberikan beberapa pesan untuk dilakukan selama Iswari pergi untuk beberapa hari.

Sebenarnya Bibi berniat untuk ikut bersama Iswari.

Tetapi Iswari minta agar Bibi tetap saja bersama Kiai dan Nyai Soka menjaga Tanah Perdikan itu.

Seperti yang diperhitungkan Risang, maka sebenarnyalah ibunya datang ke padepokan Bibis bersama kakeknya seperti Sambi Wulung dan Jati Wulung pagi-pagi menjelang hari pendadaran. Ternyata mereka tidak menemui hambatan apapun di perjalanan.

Ketika mereka datang, Risang sudah berbenah diri. Ia sudah siap lahir dan batin untuk melakukan pendadaran pada hari itu.

Dalam pada itu, demikian ibunya turun dari kudanya, maka iapun langsung memeluk anak laki-lakinya.

Betapapun panasnya pelupuk mata Iswari, namun ia bertahan untuk tidak menangis.

Namun kata-katanya terdengar sendat, “Risang, Apakah kau benar-benar sampai hati meninggalkan ibumu.”

Ternyata sikap Risang memang sudah berubah. Ia tidak segera menjawab. Tetapi dengan sikap seorang dewasa ia berkata, “Marilah. Kami persilahkan ibu masuk ke bangunan induk padepokan kecil ini.” Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian melangkah memasuki bangunan induk bersama Kiai Badra, Sambi Wulung dan Jati Wulung.

Ternyata Risang sempat menanyakan keselamatan perjalanan mereka serta yang ditinggalkan di Tanah Perdikan Sembojan.

Baru kemudian Risang berkata, “Ibu, aku tahu bahwa ibu akan datang, selambat-lambatnya saat seperti ini.

Akupun tahu apa yang akan ibu katakan.”

Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Risang. Aku minta kau dengarkan permintaan ibu. Urungkan niatmu untuk menjadi prajurit Pajang.”

“Tekadku sudah bulat ibu. Pada saat sekarang ini, hanya cara itulah yang dapat aku tempuh untuk mengabdikan diri kepada Pajang,“ jawab Risang.

“Tetapi banyak cara yang dapat kau pilih Risang,“ berkata ibunya, “apakah kau hanya dapat memilih menjadi seorang prajurit untuk menunjukkan kesetianmu kepada Pajang? Tanah Perdikan Sembojan akan dapat menyediakan dan mengirimkan bahan makanan bagi para prajurit. Pajang tidak akan dapat bertahan tanpa persediaan makan yang cukup bagi prajurit-prajuritnya.

Nah, bukankah itu juga sudah merupakan satu pengabdian seandainya kau pilih cara itu? Bahkan sebenarnyalah aku sudah berbicara dengan seorang perwira Pajang, bahwa jika diperlukan Tanah Perdikan akan mengirimkan bukan hanya satu orang. Tetapi sekelompok pengawal untuk membantu Pajang.” “Ibu,“ be rkata Risang, “beri aku kesempatan. Biarlah jiwaku berkembang. Jika selama ini wadagku telah ditempa dengan latihan-latihan yang berat, namun jiwaku sama sekali tidak mendapat tempaan seperti itu, sehingga rasa- rasanya tidak ada keseimbangan sama sekali antara wadag dan jiwaku.”

“Cobalah dengar keterangan ibumu Risang,“ berkata Kiai Badra, “kau dapat mengembangkan jiwamu dengan banyak cara sebagaimana kau menuntut ilmu kanuragan.

Sebagaimana pula satu pengabdian. Karena itu, kau harus berpikir panjang. Kau tidak boleh membiarkan dirimu hanyut dalam arus perasaanmu. Marilah kita melihat kedalatn diri kita masing-masing dengan jujur. Tanyakan kepada dirimu sendiri, apakah dorongan untuk menjadi seorang prajurit yang kau lakukan itu benar-benar merupakan satu dorongan pengabdian?”

Wajah Risang berkerut mendengar pertanyaan kakeknya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Jadi kenapa kakek? Apakah kakek melihat dorongan lain yang memaksaku untuk menjadi seorang prajurit?”

“Pertanyaanmu itu sudah merambat kearah yang b enar,“ jawab Kiai Badra, “seandainya kau tidak menjadi kecewa tentang masa lalu yang terjadi diluar keinginanmu bahkan dugaanmu itu apakah kau juga akan menyatakan diri untuk menjadi seorang calon prajurit.? Apakah dengan demikian pengabdianmu itu murni?”

Pertanyaan itu memang langsung menyentuh perasaan Risang yang paling dalam. Kepala anak muda itu tertunduk. Beberapa saat ia berdiam diri.

Iswari memang berpengharapan bahwa anak itu akan dapat menilai kata-kata kakeknya, yang kemudian menilai sikapnya. Meskipun menurut Iswari kakeknya itu terlalu keras mendesak Risang yang selanjutnya menyudutkannya.

Untuk beberapa saat keadaan menjadi hening.

Sementara itu pagi merayap keambang terang. Cahaya matahari mulai membayang di langit. Beberapa saat kemudian, pendadaran akan dimulai.

Risang sadar, jika ia tidak datang tepat pada waktunya, maka kesempatannya akan dilampauinya dan ia kehilangan haknya untuk mengikuti pendadaran. Memang tidak akan ada tuntutan apalagi hukuman. Tetapi dengan demikian, maka ia dapat dianggap seorang yang licik, yang tidak berani memasuki arena meskipun baru sekedar pendadaran tingkat pertama.

Ketika Risang kemudian mengangkat wajahnya, kemudian mengucapkan jawabannya, maka ibunya, kakeknya, Sambi Wulung, Jati Wulung serta Gandar yang mendengarkannya memang terkejut. Dengan jelas, kata demi kata Risang menjawab, “Kakek. Baiklah aku berterus terang. Aku memang ingin lari dari cengkeraman perasaan itu. Aku ingin mencari jawab, apakah, yang sebaiknya aku lakukan terhadap diriku sendiri? Jika aku kemudian benar- benar memegang pimpinan di Tanah Perdikan Sembojan, apakah itu sudah wajar. Tetapi apakah sikap ini sikap yang jujur? Seolah-olah aku tidak ingin satu kedudukan baik yang sudah tersedia. Aku memang ingin membekali diriku dengan harga diri yang pantas bagi seorang Kepala Tanah Perdikan. Tetapi aku tidak tahu, manakah sikapku yang sebenarnya. Keragu-raguan dan kebimbangan, bahkan kecewa dan rendah diri, seribu macam perasaan dan pertanyaan yang tumbuh dihati. Kakek, dalam kebingungan ini aku akan mencari jawab. Adalah lebih baik bagiku untuk menjadi seorang prajurit dengan sedikit kadar pengabdian dari pada aku pergi mengembara tanpa tujuan dalam upaya mencari diri sendiri. Jika aku bersikap seperti ini akupun tidak tahu, apakah aku jujur atau munafik, atau mementingkan diri sendiri atau justru tidak mau memetingkan diri sendiri.”

“Risang,“ ibunya terpekik kecil. Ia tidak mengira sama sekali bahwa didalam dada anaknya telah bergejolak masalah yang demikian rumitnya, sehingga Risang itu tiba- tiba saja tidak dapat mengenali dirinya sendiri.

Yang lain tidak pula kalah terkejutnya. Bahkan Kiai Badra telah mengusap dadanya dengan telapak tangannya sambil berkata, “Kau tidak boleh kehilangan dirimu sendiri seperti itu Risang. Apapun yang terjadi atasmu, kau harus tetap tegas, berdiri tegak diatas keyakinan tentang dirimu sendiri.”

“Itulah yang ingin aku dapatkan kakek. Dengan menjadi seorang prajurit, aku akan menemukan satu pengalaman yang barangkali akan dapat menumbuhkan keyakinanku atas diri sendiri. Sekali lagi aku tidak tahu, apakah aku akan mengabdi atau akan lari dari kenyataanku yang mengecewakan atau justru akan mencari diri sendiri, atau apapun namanya,“ jawab Risang.

“Risang,“ betapapun juga Iswari bertahan, namun matanya menjadi basah, “pandang ibumu. Ibumu sudah menjadi semakin tua. Pada suatu saat ibumu tidak akan dapat lagi menjalankan tugas yang berat itu.”

Namun dengan cepat Risang menyahut, “Sementara itu aku telah menemukan satu keyakinan, bahwa aku pantas untuk memegang jabatan Kepala Tanah Perdikan.” Wajah Iswarilah yang menunduk. Ia tidak dapat lagi menyembunyikan perasaan keibuannya. Titik-titik air mata mulai meleleh di pipinya.

“Risang aku minta kau mendengarkan permintaan ibumu,“ berkata kakeknya.

Hati Risang memang bergejolak. Tetapi ia tidak dapat menentang tekadnya untuk memasuki pendadaran itu. Karena itu maka katanya, “Aku mohon maaf kek. Aku mohon ibu mendapatkan satu kebanggaan tersendiri dengan niatku ini. Bukan sebaliknya. Bukankah kakek, ibu dan nenek dan siapapun juga pernah memberikan petunjuk bahwa hidup ini bukan milik kita yang dapat kita perpanjang atau kita perpendek? Tegasnya, kita tidak dapat berbicara tentang hidup dan mati meskipun bagi diri kita sendiri.”

Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa tidak seorangpun lagi yang akan dapat merubah niat Risang untuk menjadi seorang calon prajurit. Sementara itu, setiap orang tahu bahwa kemampuan Risang sudah berada diatas kemampuan prajurit bukan saja pada tataran pertama, tetapi bahkan para perwira mudanya.

Dengan demikian maka kesempatan Risang untuk menjadi seorang prajurit agaknya terbuka lebih lebar daripada anak-anak muda Bibis yang lain. Bahkan seandainya hal itu dilakukan di Tanah Perdikan Sembojan.

Karena itu, maka baik Kiai Badra, maupun Iswari hanya dapat menahan hati ketika Risang kemudian berkata, “Matahari telah hampir terbit, ibu. Ibu tentu lelah setelah menempuh perjalanan semalam suntuk bersama kakek.

Karena itu, aku persilahkan ibu beristirahat. Aku mohon doa restu, agar aku dapat diterima menjadi prajurit di Pajang.” Iswari hampir tidak dapat mengucapkan kata-kata.

Namun akhirnya terdengar pesannya dari sela-sela bibirnya, “Berhati -hatilah Risang.”

Risangpun kemudian bersujud dikaki ibunya. Desisnya, “Terima kasih ibu. ”

Demikianlah, maka Risangpun segera bersiap untuk pergi ke banjar. Beberapa pesan telah diberikan oleh kakeknya. Kiai Badra. Namun Kiai Badra tidak mengatakan, bahwa ia juga akan melihat pendadaran yang akan dilakukan di banjar itu.

Ketika Risang yang dikenal dengan nama Barata itu muncul di halaman banjar, maka semua mata telah memandangnya. Semua orang yakin bahwa anak muda itu tentu akan diterima menjadi seorang prajurit. Anak-anak muda padukuhan Bibis telah mengenal Barata sebagai seorang anak muda yang memiliki kemampuan olah kanuragan.

Kiai Badra memang berniat untuk hadir pula di banjar. Namun ia harus menenangkan kegelisahan Iswari, karena mereka tidak berhasil membujuk Risang agar mengurungkan niatnya.

“Dosa apakah yang telah aku sandang kek? “ Iswari hampir menangis.

“Tidak ada hubungannya dengan dosa apapun yang pernah kau lakukan,“ jawab Kiai Badra. “sebenarnya sikap Risang adalah sikap yang wajar bagi anak-anak muda.

Apalagi selama ini ia merasakan terlalu dilindungi, di sembunyikan dan dengan demikian ia merasa dirinya terlalu kecil. Pada suatu saat, ia memang meledak untuk mengenali dirinya sendiri lebih jauh.”

“Tetapi ia adalah satu -satunya anakku,“ Iswari mulai terisak.

Kiai Badra tidak mencegah Iswari agar tidak menangis.

Dalam keadaan tertentu, maka menangis akan dapat memperingan beban yang memberati jantungnya.

Persoalannya bukan persoalan yang dihadapi Iswari sebagai seorang pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan. Tetapi persoalan yang dihadapi Iswari waktu itu adalah persoalan seorang ibu menghadapi anak laki-laki satu- satunya.

Yang dilakukan oleh Kiai Badra kemudian adalah sekedar menenangkannya.

Namun akhirnya Kiai Badra telah meninggalkan Iswari di padepokan ditemani oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung, sementara Kiai Badra dan Gandar yang sudah banyak dikenal oleh orang-orang Bibis telah pergi ke banjar pula.

Ketika keduanya sampai di banjar, maka pendadaran masih belum dimulai. Tetapi para perwira dan prajurit Pajang telah siap untuk melakukannya. Di halaman banjar itu telah dibuat satu arena yang agak luas. Setiap anak muda yang akan mengalami pendadaran akan memasuki arena itu.

Beberapa saat kemudian, maka setelah diadakan beberapa sesorah dan penjelasan tentang maksud dan cara yang akan ditempuh dalam pendadaran itu, maka penda- daranpun akan segera dimulai. Sementara itu mataharipun mulai memanjat semakin tinggi. Kiai Badra dan Gandar yang ada diantara penonton yang banyak berkerumun di halaman, sebenarnya telah di persilahkan untuk naik ke pendapa oleh para bebahu yang melihatnya. Tetapi sambil tersenyum Kiai Badra berkata, “Cucuku ikut dalam pendadaran. Biarlah aku tidak mempengaruhinya. Jika aku berada di pendapa dan ia melihatku, mungkin ada pengaruh yang entah menolongnya atau sebaliknya.”

Bebahu yang mempersilahkan itu tersenyum pula.

Katanya, “Pengaruh itu tentu kecil sekali.”

“Betapapun kecilnya,“ jawab Kiai Badra. Lalu katanya. “Sudahlah. Biar aku disini.”

Bebahu itu tidak memaksa. Alasan Kiai Badra dapat dimengertinya pula. Karena itu, maka Kiai Badra itupun telah ditinggalkannya kembali ke pendapa banjar Kademangan Bibis yang tiba-tiba saja telah menjadi ramai seperti ada sebuah tontonan sehari semalam. Ternyata di sekitar banjar itupun telah banyak pula orang yang berjualan, karena di banjar itu bukan saja penuh dengan anak-anak remaja, anak-anak muda dan orang-orang tua, tetapi juga banyak anak-anak yang ingin melihat.

Dalam pada itu, seorang anak muda telah dipanggil memasuki arena. Ia berhadapan dengan seorang prajurit Pajang yang bertugas untuk melakukan pendadaran.

Ternyata bahwa pendadaran yang dilakukan itu cukup berat. Anak muda itu harus melakukan perintah-perintah yang diberikan oleh prajurit yang melakukan pendadaran. Setelah diadakan sedikit pemanasan, maka ia harus melakukan gerakan-gerakan dari yang paling sederhana sampai gerakan-gerakan yang bagi anak-anak padukuhan terasa sulit. Terakhir, anak muda itu harus berkelahi melawan prajurit yang melakukan pendadaran itu. Meskipun hanya beberapa gerakan, tetapi prajurit itu sudah menilai tingkat kemampuan anak muda itu dalam pendadaran di tataran pertama.

Tetapi diantara anak-anak muda pada urutan berikutnya, ternyata ada juga yang benar-benar telah dikenai serangan prajurit yang melakukan pendadaran. Untung tidak terlalu keras, sehingga mereka tidak menjadi pingsan karenanya.

Ketika datang giliran Barata memasuki arena, maka semua orang menjadi tegang. Orang-orang Kademangan Bibis tahu, bahwa Barata, anak muda yang tinggal di padepokan itu memiliki ilmu yang jauh lebih baik dari anak- anak Kademangan itu.

Sebenarnyalah bahwa Barata telah dapat melakukan semua yang diperintahkan oleh prajurit yang melakukan pendadaran atasnya dengan baik. Namun Barata sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia telah menguasai ilmu yang lebih tinggi dari yang diperlukan. Ia hanya melakukan apa yang diperintahkan. Ketika kemudian dilakukan pendadaran dengan perkelahian, maka Barata melakukan sekedar mengimbangi prajurit itu agar tidak menimbulkan kesan berlebihan.

Orang-orang Bibis memang kecewa. Mereka ingin ikut menjadi bangga jika Barata itu membuat para prajurit menjadi heran. Tetapi ternyata yang dilakukan oleh Risang sama sekali tidak menarik perhatian para prajurit.

Kiai Badra yang menyaksikan pendadaran itu bersama Gandar memang menjadi heran. Hampir diluar sadarnya Kiai Badra berdesis, “Tiba -tiba saja anak itu mampu berpikir secara dewasa.”

“Satu hentakkan pada perasaannya ternyata mampu mempercepat perkembangan pribadinya,“ sahut  Gandar.

“Ya. Dan ia telah mengetrapkannya dengan tepat. Ia sama sekali tidak dengan kekanak-kanakan menyombongkan kemampuannya meskipun barangkali setiap orang yang dikirim dari Pajang, bahkan termasuk perwira-perwiranya tidak dapat menyamai kemampuan Risang.“ gumam Kiai Badra hampir kepada diri sendiri.

Gandar mengangguk-angguk kecil. Sementara itu Kiai Badra telah mengajak Gandar untuk kembali ke padepokan tanpa menunggu sampai orang terakhir yang menempuh pendadaran.

“Besok baru diberitahukan, siapa -siapa diantara mereka yang diterima sebagai calon prajurit untuk mengikuti pendadaran pada tataran berikutnya di Pajang,“ berkata Kiai Badra.

“Risang tentu akan ikut. Tidak ada yang melampaui Risang meskipun Risang tidak menunjukkan kelebihannya,“ sahut Gandar.

Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Memang tidak ada yang lebih baik dari Risang.

Ketika mereka sampai di padepokan, Iswari duduk termenung diruang tengah bangunan induk. Sebagaimana ketika ia datang sebelumnya, maka Iswaripun masih saja menyembunyikan kenyataan tentang dirinya. “Bagaimana dengan pendadaran itu kakek?“ bertanya Iswari meskipun ia sudah dapat menebak apa yang telah terjadi di arena pendadaran.

“Risang adalah yang terbaik,“ jawab Kiai Badra, “seandainya dari Kademangan ini akan diambil seorang saja, maka orang itu adalah Risang.”

Iswari menarik nafas dalam-dalam. Sementara Kiai Badra berkata, “Sudahlah Iswari. Nampaknya Risang sudah bertekad bulat. Apaboleh buat. Kau harus dengan ikhlas menyerahkannya kepada Yang Maha Agung. Kau menerima anak itu sebagai seorang gembala, yang memeliharanya.

Jika saatnya ia akan diambil oleh pemiliknya, maka apapun alasannya, kau tidak akan dapat mempertahankannya.

Tetapi jika kau masih mendapat kepercayaan untuk memeliharanya, maka ia tentu akan kembali kepadamu.”

Iswari tidak menjawab. Tetapi iapun menyadari, bahwa tidak mungkin lagi baginya untuk menahan Risang. Jika ia memaksanya maka akibatnya justru akan kurang baik bagi semuanya.

Ketika kemudian Risang datang pula dari pendadaran, maka Kiai Badrapun bertanya, “Bagaimana dengan kau?”

“Bukankah kakek ada di banjar?“ bertanya Ri sang.

Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Risang mengetahui bahwa Kiai Badra dan Gandar ada di halaman banjar disaat pendadaran dilakukan.

Namun Kiai Badra itu berkata, “Aku tidak menunggu sampai selesai.” “Besok baru diumumkan, siapakah yang diterima dan siapakah yang tidak,“ jawab Risang.

“Apakah kau dapat juga diterima?“ bertanya Iswari. “Aku mohon doa restu ibu,“ jawab Risang.

Iswari justru menundukkan kepalanya. Ia memang tidak dapat berbuat apa-apa. Tetapi hampir dapat dipastikan, bahwa Risang akan meninggalkannya.

Dengan demikian maka hampir semalam suntuk Iswari tidak dapat tidur. Ia menjadi sangat gelisah. Kadang- kadang terdengar ia berdesah.

Risang sendiripun telah menjadi gelisah pula. Tetapi ia memang tidak ingin melangkah surut. Ia benar-benar sudah bertekad untuk menjadi seorang prajurit.

Sebenarnyalah, di hari berikutnya, ketika diumumkan siapa sajadiantara anak-anak muda Kademangan Bibis yang dapat diterima menjadi calon prajurit untuk menempuh pendadaran berikutnya ternyata hanya dua belas orang.

Diantara mereka adalah Barata.

“Hanya dua belas orang,“ Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Bahkan katanya, “Itupun baru pendadaran pertama. Mungkin di pendadaran kedua hanya angger Barata sajalah yang dapat diterima.”

Tetapi salah seorang perwira dari Pajang itupun berkata, “Jangan kecewa Ki Demang. Dua belas orang sudah terhitung banyak. Ada Kademangan yang hanya dapat diambil tiga atau empat orang calon. Mereka belum tentu dapat melampaui pendadaran kedua. Namun bahwa banyak anak-anak muda yang berminat untuk menunjukkan pengabdiannya sebagai prajurit, meskipun kali ini belum dapat diterima, namun niat mereka itu sudah dapat dihargai.”

Ki Demang hanya mengangguk-angguk saja.

Bagaimanapun juga ia harus puas dengan kenyataan itu. Pajang memang berniat mengambil anak-anak muda yang serba sedikit telah mempunyai bekal.

Dalam pada itu, anak-anak muda yang diterima sebagai calon prajurit dan kemudian anak ikut dalam pendadaran yang diadakan di Pajang, maka bagi mereka disediakan waktu satu hari untuk berkemas.

“Yang dapat lolos dalam pendadaran kedua akan langsung masuk kedalam barak prajurit Pajang. Mereka tidak perlu pulang lebih dahulu. Karena itu, maka sebaiknya mereka membawa ganti pakaian seperlunya, karena bagi mereka yang akan diterima menjadi prajurit dan mendapat pembagian pakaian khusus seorang prajurit,“ berkata perwira Pajang yang mengumumkan hasil pendadaran.

Ketika hal itu semuanya dinyatakan kepada ibunya oleh Risang, maka dada ibunya bagaikan menjadi sesak.

Namun Kiai Badralah yang berkata, “Jika itu sudah menjadi tekadmu Risang, maka kami tidak dapat berbuat apa-apa. Pergilah dengan wajah tengadah. Kita akan sama- sama memohon, agar pada suatu saat kau akan kembali dengan wajah tengadah pula.”

Risang memandang kakeknya dengan ragu-ragu. Ketika ia kemudian memandang kepada ibunya, maka ibunyapun berkata, “Kau harus tahu Risang, bahwa apa yang dikatakan oleh kakekmu itu adalah kemungkinan terakhir dari satu sikap yang kecewa. Kau harus tahu bahwa kami tidak sependapat dengan sikapmu itu. Tetapi kamipun menyadari, bahwa kami tidak dapat mencegahmu lagi.”

“Aku mohon maaf ibu,“ desis Risang.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kau yang sudah merasa dirimu dewasa, maka kau menganggap bahwa perbedaan pendapat diantara kita adalah wajar. Agaknya kau sudah melepaskan diri dari hubungan yang lebih rapat dari seorang ibu dan anak,“ berkata Iswari.

“Tidak ibu. Sama sekali tidak,“ jawab Risang dengan serta merta.

“Tetapi kau tetap berpegang pada keyakinanmu sendiri,“ berkata ibunya.

“Aku mohon ibu dapat mengerti perasaanku. Justru karena ibu adalah ibuku. Aku tidak akan melakukannya kepada orang lain. Bahkan aku sama sekali tidak peduli,“ berkata Risang.

Iswari menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menangis lagi. Bahkan dengan wajah yang meyakinkan ia berkata, “Risang. Kau sadari bahwa kita berbeda pendapat. Dan kau merasa berhak untuk menentukan jalanmu sendiri. Tetapi aku masih tetap berharap, bahwa kau akan kembali ke Tanah Perdikan karena kau masih mempunyai tanggung jawab yang harus kau pikul disini.”

“Tentu ibu. Aku akan kembali. Justru untuk menanam alas bagi tugas itulah, aku sekarang menjadi seorang prajurit. Seperti sudah aku katakan, aku tidak tahu apakah sikap itu benar, bahkan aku tidak tahu apakah aku bersikap jujur terhadap diriku sendiri. Atau sekedar karena aku menjadi kecewa tentang kenyataanku atau karena sebab lain. Mudah-mudahan pengalamanku kelak akan dapat membantu aku menemukan diriku sendiri,“ jawab Risang.

Memang tidak ada yang dapat dibicarakan lagi. Namun ibunya masih juga menunggu sampai saatnya Risang berangkat dari Kademangan Bibis menuju ke Pajang.

Memang satu perjalanan yang agak jauh.

Satu iring-iringan kecil dari para perwira, prajurit Pajang dan anak-anak muda yang akan mengikuti pendadaran di Pajang yang jumlahnya dua belas orang termasuk Barata.

Sepeninggal Risang, maka Iswari merasa tidak ada gunanya lagi ia berada di padepokan itu. Karena itu, maka iapun telah meninggalkan padepokan itu bersama Kiai Badra serta Sambi Wulung dan Jati Wulung.

“Kita tidak dapat meninggalkan padepokan ini begitu saja,“ berkata Kiai Badra. Lalu katanya kepada Gandar, “Untuk sementara tunggulah padepokan ini. Aku sekali - sekali tentu akan berada disini pula. Demikian pula Sambi Wulung dan Jati Wulung. Disini kau harus berusaha untuk mendapat kabar tentang Risang. Bahkan jika ia diterima menjadi prajurit sekalipun,“ Gandar mengangguk dalam - dalam. Sebenarnyalah bahwa ia merasa segan untuk meninggalkan padepokan itu. Meskipun Risang tidak ada di padepokan itu, rasa-rasanya ia harus menunggunya.

Karena menurut keyakinannya, jika Risang itu pulang, maka ia tentu akan pulang ke padepokan itu lebih dahulu sebelum ke Tanah Perdikan.

Dalam pada itu, setelah menempuh perjalanan panjang, maka para perwira, prajurit dan calon prajurit Pajang itu telah mendekati pintu gerbang. Para calon prajurit itu di sepanjang jalan telah mendapat petunjuk apa yang harus mereka lakukan dalam pendadaran tataran kedua itu. “Kalian harus dapat menunjukkan bahwa kalian memiliki kemampuan,“ pesan seorang perwira yang menyertai mereka.

Ketika anak-anak muda itu sampai di Pajang, maka mereka langsung dimasukkan kedalam sebuah barak.

Di barak itu Risang tahu, bahwa penerimaan prajurit itu akan berlangsung dalam beberapa tahap. Setelah tahap yang pertama, maka akan dilakukan lagi pendadaran bagi penerimaan prajurit tahap kedua dan yang terakhir pada tahap ke tiga yang masing-masing berselang satu bulan.

Di barak itu pula Risang tahu bahwa pendadaran tataran kedua akan dilakukan di alun-alun Pajang sepekan yang akan datang.

Ternyata mereka bukannya sekedar menunggu di barak dengan berbaring di pembaringan selama menunggu saat pendadaran tiba. Tetapi beberapa orang prajurit telah memberikan beberapa macam pengarahan dan tuntunan olah kanuragan. Para calon prajurit itu sudah mendapat petunjuk apa saja yang harus mereka lakukan dalam pendadaran. Dengan demikian maka para prajurit yang akan melakukan pendadaran serta para peserta mempunyai bahasa yang sama sehingga tidak terjadi salah paham selama pendadaran. Hanya karena kurang jelas aba-aba yang diberikan maka seorang calon gugur. Atau sebaliknya seorang calon tidak mengerti istilah apa yang dipergunakan oleh mereka yang melakukan pendadaran. Namun ternyata para prajurit yang akan mendadar itupun memerlukan petunjuk-petunjuk dan pesan-pesan khusus untuk menyamakan segala macam sesorah bagi mereka yang berada di barak-barak penampungan itu. Dalam sepekan, para calon prajurit itu telah benar-benar dipersiapkan untuk memasuki pendadaran. Jika masih ada yang salah paham, kurang mengerti serta menjadi bingung di saat pendadaran, maka kereka termasuk anak muda yang lambat berpikir sehingga mereka memang tidak akan mungkin dapat menjadi prajurit yang baik.

Ketika akhirnya saat pendadaran itu tiba, maka para calon prajurit itu telah dibagi-bagi menjadi beberapa kelompok. Mereka berada di alun-alun yang luas yang disaksikan oleh para pemimpin tertinggi Pajang.

Disetiap kelompok, seorang demi seorang di panggil memasuki arena yang dibatasi dengan tali. Mula-mula mereka melakukan pendadaran seperti pendadaran di tataran pertama. Namun semakin lama menjadi semakin rumit. Mereka harus melakukan gerakan-gerakan sebagaimana diperintahkan oleh para prajurit yang melakukan pendadaran dibawah pengamatan tiga orang prajurit yang lain.

Terakhir para calon prajurit itu harus bertempur melawan prajurit yang sedang melakukan pendadaran itu.

Meskipun telah dibagi-bagi dalam kelompok-kelompok, tetapi pendadaran itu ternyata memerlukan waktu dua hari. Kemudian para calon masih harus menunggu tiga hari lagi barulah diumumkan siapa yang diterima menjadi prajurit.

Seperti yang sudah diduga sebelumnya, maka Risang yang dikenal dengan nama Barata itu termasuk diantara lima orang anak muda dari Kademangan Bibis yang diterima. Tujuh orang kawannya yang lain dihari berikutnya akan dikembalikan ke Kademangan dengan mendapat sedikit uang bekal di perjalanan. Meskipun ketujuh orang itu menjadi sangat kecewa, namun mereka telah merasa bangga bahwa mereka sempat sampai ke Pajang untuk didadar menjadi calon prajurit bersama-sama dengan ratusan calon yang lain.

Ketika berita itu kemudian sampai ke Bibis serta sampai ke telinga Gandar, maka Gandar sendiri tidak tahu, perasaan apakah yang telah bergejolak didalam dadanya. Ia memang merasa kecewa bahwa Risang benar-benar telah meninggalkan padepokan itu. Namun iapun merasa bangga, bahwa dengan demikian Risang bukan saja menjadi seorang anak muda yang harus disembunyikan ditem-pat yang terpencil. Tetapi ia akan menjadi seorang prajurit. Jika ia mampu melakukan tugasnya dengan baik, serta waktunya telah tiba, maka Pajang tentu akan memberikan kesempatan kepadanya untuk menjabat sebagai Kepala Tanah Perdikan Sembojan dengan melepaskan jabatan keprajuritannya.

“Dalam keadaan yang demikian, Risang tentu sudah menemukan harga dirinya kembali. Harga diri yang dianggapnya telah dikoyakkan oleh masa lalunya itu.”

Sementara itu, Risang yang sudah bertekad bulat untuk menjadi seorang prajurit itu memang belum menunjukkan kelebihannya dari anak-anak muda yang lain. Ia masih berada pada tataran pertama dari ilmunya sehingga menurut penglihatan banyak orang, maka ia tidak jauh berbeda dengan kawan-kawannya yang telah diterima menjadi seorang prajurit.

Ketika ketujuh orang kawan-kawannya yang tidak diterima di kembalikan ke Bibis, maka Barata dengan empat kawannya telah ditempatkan di sebuah barak prajurit.

Mereka bersama beberapa kelompok prajurit yang baru ditempatkan di perbatasan kota Pajang, justru diluar dinding kota.

Tetapi yang berada di barak yang besar itu bukan hanya prajurit-prajurit baru. Tetapi di bagian lain dari barak itu, terdapat prajurit-prajurit Pajang yang justru prajurit pilihan dari Pasukan Khusus Pajang.

Prajurit-prajurit baru itu memang ditempatkan di barak itu, agar mereka setiap hari mengenali tata cara hidup seorang prajurit yang sebenarnya. Sejak bangun pagi sampai masuk kembali kedalam bilik tidur mereka.

Di hari-hari pertama, prajurit-prajurit yang baru itu sudah mendapat latihan-latihan yang meskipun masih sederhana, tetapi terasa cukup berat bagi mereka.

Meskipun rasa-rasanya baru sekedar perkenalan dengan tugas-tugas keprajuritan serta latihan-latihan yang harus mereka jalani, namun anak-anak muda itu mulai merasa bahwa mereka telah benar-benar menjadi seorang prajurit dengan segenap paugerannya yang mengikat.

Menjelang pertengahan bulan mereka berada di barak itu, para prajurit baru itu mulai ditilik kemampuan mereka secara pribadi. Beberapa orang pelatih sekaligus telah turun bersama-sama.

Namun dalam pada itu, Barata masih saja tidak menunjukkan kelebihannya. Ia masih tetap setingkat saja dengan kawan-kawannya yang lain, meskipun sebenarnya ia dapat berbuat jauh lebih baik.

Tetapi yang tidak diketahui oleh Risang bahwa seseorang selalu memperhatikannya. Hampir setiap gerak- geriknya. Apalagi disaat-saat Risang mengalami penilikan secara pribadi dari kemampuannya. Risang termangu-mangu ketika lewat senja seorang prajurit dari Pasukan Khusus datang ke baraknya untuk menyampaikan perintah agar Risang menghadap pelatihnya.

“K au harus menghadap sekarang,“ berkata prajurit itu.

Risang menjadi ragu-ragu. Namun prajurit itu mengulangi, “Kau dengar perintah itu? Kau harus menghadap Ki Lurah Mertayuda.”

“Tetapi dalam latihan -latihan tadi, Ki Lurah tidak mengatakan apa-apa?“ desis Barata.

“Aku ulangi sekali lagi. Kau harus menghadap Ki Lurah Mertayuda. Ki Lurah berada di gardu tiga yang menghadap ke sanggar latihan terbuka,“ berkata prajurit itu.

Ternyata prajurit itu tidak menungu lagi. Iapun segera meninggalkan tempat itu.

Barata memang masih ragu-ragu. Dipandanginya kawan-kawannya yang sudah mulai berada di pembaringannya meskipun mereka masih saling berbincang. Tetapi latihan-latihan yang bagi mereka terasa

berat telah membuat mereka letih, sehingga setelah makan malam, mereka kebanyakan telah berada di pembaringan.

“Agak aneh,“ desis Barata.

“Ya,“ sahut salah seorang kawannya yang datang dari Bibis. Sementara kawannya yang lain, yang kebetulan datang dari Kerta berkata, “Nampaknya kau tidak membuat kesalahan apapun.” Risang yang oleh kawan-kawannya dikenali bernama Barata itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berani membantah perintah itu. Karena itu, maka katanya kepada kawan-kawannya, “Baiklah aku akan pergi kes gardu tiga. Mungkin aku telah melakukan kesalahan diluar sadar, sehingga aku akan mendapat hukuman di sanggar latihan terbuka itu.”

Kawan-kawannya memang tidak dapat mencegahnya.

Mereka hanya dapat memandangi saja Barata yang melangkah keluar pintu baraknya.

Sementara itu seorang kawannya berkata, “Ia anak baik.

Rajin dan rasa-rasanya ia mempunyai daya tahan yang setidak-tidaknya lebih dari aku. Ketika kita harus berlari di sekitar gumuk kecil berkapur itu, nafasku hampir putus.

Tetapi anak itu nampaknya masih cukup segar.”

“Ia juga tidak banyak salah langkah seh ingga tidak perlu mengulangi beberapa kali untuk satu gerakan tertentu.

Ketika aku harus mengulangi satu gerakan tertentu sampai lima kali, maka Barata hanya mengulangi dua kali,“ berkata yang lain.

“Aku hanya satu kali,“ terdengar suara berat di sudut.

Seorang anak muda yang bertubuh tinggi tegap yang datang dari Jati Kerep.

Beberapa orang anak muda berpaling kepadanya. Namun mereka tidak menghiraukannya lagi. Anak itu memang agak sombong dan merasa dirinya jauh lebih baik dari kawan-kawannya.

Sementara itu Barata berjalan diantara barak-barak yang sudah menutup pintunya. Kemudian ia turun ke halaman dan berjalan menuju ke lapangan rumput menjelang sanggar latihan terbuka yang penuh dengan berbagai macam peralatan latihan. Tetapi sebagai seorang prajurit ia belum pernah mendapat latihan tertentu di sanggar itu kecuali latihan secara umum bersama-sama dengan kelompoknya. Sekedar berloncatan dan berlari-lari diantara tonggak-tonggak batang kelapa.

Untuk sampai di gardu tiga, maka Barata memang harus melalui sanggar latihan terbuka itu.

Ketika ia memasuki sanggar latihan, ternyata tidak ada sebuah oborpun yang dipasang kecuali di depan gardu tiga, yang terletak di seberang itu. Karena itu, maka cahayanya seakan-akan tidak dapat mencapai regol sanggar itu.

Namun obor itu memang dapat dipergunakannya sebagai ancar-ancar untuk mencapainya sebagaimana diperintahkan oleh Ki Lurah Mertayuda.

Barata memang tidak menerobos ditengah-tengah sanggar. Ia memilih jalan melingkar, lewat bagian pinggir dari sanggar itu.

Namun kemudian Barata itu melihat bahwa pintu gardu tiga tertutup rapat.

Barata memang menjadi ragu-ragu. Tetapi ia melangkah terus dengan hati-hati. Sesuatu terasa bergetar di dadanya. Rasa-rasanya ada yang tidak wajar dengan perintah prajurit itu.

Sebenarnyalah ketika Barata sampai di sudut sanggar, sebelum sempat berbelok menuju ke gardu tiga, ia mendengar sesuatu gemerisik diantara tonggak-tonggak batang kelapa. Karena itu, maka iapun segera bersiap.

Dalam keadaan yang tiba-tiba, maka Barata sulit mengendalikan diri. Apalagi tiba-tiba saja seorang telah menyerangnya. Demikian orang itu meloncat dari antara tonggak-tonggak batang kelapa itu, maka ia langsung menerkam tengkuknya.

Tetapi dengan gerak naluriah Risang berhasil mengelak.

Juga serangan-serangan yang datang kemudian dapat dielakkannya. Dengan berloncat-loncat Barata masih belum mulai menyerang. Ia belum tahu siapa yang menyerangnya itu.

Namun dalam keremangan ujung malam dibawah cahaya obor yang agak jauh, Barata melihat bahwa orang itu tidak mengenakan pakaian seorang prajurit. Dengan demikian maka Barata menganggap bahwa ia berhadapan dengan seorang yang bukan prajurit apalagi prajurit dalam tugas. Karena itu, maka ia tidak mau sekedar menjadi sasaran serangan-serangan yang semakin cepat dan semakin berbahaya.

Dalam keadaan yang terdesak maka Baratapun kemudian telah meningkatkan kemampuannya. Apalagi setelah ia menganggap bahwa ia tidak melihat orang lain di sanggar itu.

Demikianlah maka pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Keduanya berloncatan dengan tangkasnya. Serang menyerang dan saling mendesak.

Barata yang agaknya memiliki ilmu yang mapan karena latihan-latihan yang matang, harus menghadapi seorang yang memiliki pengalaman yang lebih luas, sehingga mampu menentukan sikap disaat-saat yang penting.

Barata yang masih saja merasa heran, kenapa tiba-tiba seseorang telah menyerangnya justru dalam barak prajurit Pajang itu tidak sempat berpikir lebih lama. Lawannya menyerang semakin mendesak. Ilmunyapun menjadi semakin meningkat.

Tetapi Baratapun telah meningkatkan ilmunya pula, sehingga ia tidak lagi seorang anak muda yang mengikuti pendadaran dalam tataran yang tidak banyak berbeda dengan anak-anak muda yang lain. Tetapi ia adalah anak muda yang ternyata memiliki ilmu yang tinggi.

Dengan demikian maka pertempuran itu menjadi semakin sengit. Keduanya saling menyerang dengan kekuatan yang rasa-rasanya menjadi semakin besar. Bahkan sejenak kemudian, keduanya tidak bertempur ditem-pat yang lapang, tetapi keduanya mulai bergeser ke dalam lingkungan tempat latihan. Keduanya telah bertempur disela-sela tonggak-tonggak batang kelapa.

Menyusup, memutar dan sekali-sekali meloncat keatas.

Sebenarnyalah Barata adalah seorang anak muda yang telah dipersiapkan oleh guru-gurunya untuk mewarisi ilmu Janget Kinatelon. Sehingga karena itu, maka ia telah menguasai ilmu dasar dari ilmu Janget Kinatelon itu.

Dengan demikian, maka bukan saja ketangkasan, tetapi kekuatan Barata memang sangat mengagumkan. Meskipun kemudian kedua orang yang bertempur itu harus berloncatan pada tonggak-tonggak batang kelapa, namun keduanya tetap tangkas dan kuat sambil mempertahankan keseimbangannya.

Bahkan semakin sengit mereka bertempur, maka mereka telah bergeser semakin ketengah. Mereka tidak saja bertempur diatas tonggak-tonggak batang kelapa, namun mereka mulai berloncatan diatas palang-palang bambu.

Bergayutan pada tali-tali yang memang dipasang untuk berlatih. Barata yang tidak tahu ujung pangkal dari perkelahian itu, memang terpaksa untuk meningkatkan ilmunya mendekati ilmu puncak penguasaannya dari yang dipersiapkan untuk menjadi alas ilmu Janget Kinatelon.

Namun sebelum ia memasuki ilmunya itu, maka ia masih berusaha untuk meyakinkan dirinya, “Ki Sanak. Apakah soalnya Ki Sanak menyerang aku?”

Tetapi sama sekali tidak ada jawaban. Orang itu justru menyerang semakin seru.

Dengan demikian maka pertempuran itu telah meningkat semakin mendekati puncak kemampuan mereka masing- masing. Barata yang mulai merambah puncak umunya, telah menghadapi tingkat terakhir dari kemampuan lawannya. Ternyata keduanya memiliki kelebihannya masing-masing. Barata yang ditempa dengan matang, sementara lawannya yang agaknya memiliki pengalaman lebih luas itu mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Dengan demikian, maka pertempuran itu telah meningkat menjadi semakin sengit. Bahkan telah melampui batas kewajaran kekuatan wadag.

Namun demikian, masih belum ada yang nampak mulai terdesak.

Dalam pada itu, sebenarnyalah diantara tonggak- tonggak yang berada di pinggir seberang dari sanggar itu, terdapat beberapa orang yang dengan sengaja bersembunyi untuk menyaksikan pertempuran itu.

Beberapa orang diantara mereka telah menggeleng- gelengkan kepalanya. Mereka tidak mengira bahwa diantara prajurit itu ada dua orang yang berilmu tinggi, bahkan melampui para perwira di barak itu. Barak Pasukan Khusus. Ketika kedua orang yang bertempur itu benar-benar mencapai puncaknya maka serangan-serangan mereka telah mulai menyentuh tubuh lawannya. Barata yang meloncat turun dari atas sebatang tonggak telah diburu oleh lawannya. Satu ayunan tangan mendatar dengan cepat menyambar keningnya. Tetapi Barata masih sempat mengelak. Ia meloncat mundur ketika tangan itu terayun. Tetapi pada saat yang bersamaan, orang itu berputar dengan kaki terayun. Hampir saja menyambar lambungnya. Tetapi tiba-tiba saja orang itu menggeliat, sehingga serangannya bagaikan tertahan. Ketika lambungnya benar- benar tersentuh, maka sentuhan itu tidak menimbulkan kesakitan.

Barata memang merasa bahwa orang itu tidak bersungguh-sungguh ingin menyakitinya. Karena itu, ketika ia mendapat kesempatan mengayunkan sisi telapak tangannya ke punggung orang itu, maka Baratapun telah menahan diri pula, sehingga ayunan itu seakan-akan tidak bertenaga.

Dengan demikian maka keduanyapun telah menyadari, bahwa yang terjadi itu bukanlah satu pertempuran yang sebenarnya. Apalagi ketika kemudian terdengar beberapa orang bertepuk tangan.

Barata terkejut. Dengan serta merta ia meloncat mundur. Sementara itu, dari balik batang-batang bambu disisi sanggar yang lain, lima orang prajurit telah muncul. Seorang diantara mereka berkata, “Sudah cukup.”

Barata dan lawannya itu telah meloncat beberapa langkah mundur. Merekapun kemudian berdiri termangu- mangu menunggu perintah berikutnya. “Marilah,“ berk ata salah seorang diantara mereka, “kita pergi ke gardu tiga.”

Barata segera mengenali, bahwa suara itu adalah suara Ki Lurah Mertayuda.

Sejenak kemudian mereka telah berada didalam gardu.

Ki Lurah Mertayuda dan beberapa orang perwira duduk dihadap oleh dua orang anak muda yang nampaknya memang sebaya.

Dua orang anak muda yang memiliki ilmu yang hampir sama tingkatnya.

“Nampaknya kalian memang belum saling mengenal,“ berkata Ki Lurah Mertayuda.

Kedua anak muda itu menunduk.

“Baiklah. Aku ingin memperk enalkan kalian berdua,” lalu katanya kepada anak muda yang telah menyerang Barata itu, “Namanya Barata dari Kademangan Bibis.“ Lalu kepada Barata Ki Lurah berkata, “Namanya Kasadha. Menurut keterangannya, ia dilahirkan di musim keduabelas.”

Kedua anak muda itu saling mengangguk. Namun kemudian mereka telah menundukkan kepalanya lagi. Sementara Ki Lurah berkata, “Kasadha datang dari kaki Gunung Sewu. Dari sebuah desa yang bernama Pudak Kerep.”

Kedua orang anak muda itu masih tetap berdiam diri. Dalam pada itu, maka Ki Lurahpun berkata selanjutnya,

“Sejak kami melakukan pendadaran, kami telah mencurigai

kalian berdua. Agaknya kalian bukan anak muda kebanyakan. Betapapun kalian berdua menyembunyikan kemampuan kalian, tetapi ternyata kami, yang melakukan pendadaran sempat melihatnya. Hal itu semakin kami yakini ketika kalian berdua memasuki latihan-latihan dalam penilikan pribadi. Karena itu, maka kami telah mengatur pertemuan diantara kalian yang tiba-tiba. Tetapi kami sulit untuk mempertemukan kalian tanpa sebab. Karena itu, salah seorang diantara kalian terpaksa kami persiapkan di tempat ini.”

Kedua orang anak muda itu masih saja menunduk.

Sedangkan kemudian seorang perwira yang lain berkata dengan nada rendah, “Ternyata pengamatan kami benar. Kalian berdua memiliki dasar ilmu yang sangat tinggi.

Kalian tidak saja pantas menjadi seorang prajurit. Tetapi kemampuan olah kanuragan kalian telah melampui kemampuan para perwira pertama.”

Kedua anak muda itu masih menunduk. Sementara Ki Lurah meneruskan, “Yang bel um kalian miliki adalah kemampuan kepemimpinan bagi kelompok prajurit.”

Barata menarik nafas dalam-dalam. Ternyata apa yang disembunyikan itu tidak luput dari tangkapan pengamatan para perwira prajurit Pajang, sehingga pada suatu saat, ia harus membuka diri dihadapan pelatihnya.

Dalam pada itu Ki Lurah itupun berkata, “Untuk sementara kalian aku minta tetap seperti biasa. Tetapi kalian berdua telah kami persiapkan untuk memimpin kelompok prajurit baru yang bakal kami terima kemudian. Pada tahap terakhir kami masih akan menerima beberapa kelompok prajurit lagi. Sementara itu, kalian akan mendapat tuntunan khusus untuk memimpin sekelompok prajurit. Jika kalian mampu menunjukkan sikap kepemimpinan kalian, maka kalian akan mendapat kesempatan berikutnya dimasa-masa mendatang.”

Demikianlah, maka pertemuan itupun untuk sementara sudah dianggap selesai. Ki Lurah akhirnya berkata, “Aku mengucapkan terima kasih kepada kalian. Dengan ilmu kalian telah siap untuk mengabdi kepada Pajang yang sedang dibayangi oleh awan yang gelap sekarang ini karena Panembahan Senapati telah mendirikan Mataram. Apalagi Panembahan Senapati telah menolak dengan tegas untuk menghadap ke Pajang. Disamping kalian aku masih memerlukan tiga orang lagi pemimpin kelompok. Tetapi nampaknya sulit dicari diantara para prajurit baru, sehingga kebijaksanaan paling akhir adalah menyerahkan pimpinan kepada prajurit yang lama.”

Sejenak kemudian maka Barata dan Kasadhapun kemudian telah diijinkan meninggalkan gardu tiga untuk kembali ke barak masing-masing.

Ternyata keduanya memang cepat menjadi akrab. Dengan nada rendah Kasadha bertanya, “Dimana letak barakmu?”

“Diujung itu,“ jawab Barata, “kau dimana?” “Di sebelah sanggar ini,“ jawab Kasadha.

Namun Barata masih juga bertanya, “Bagaimana kau menyerangku dengan tiba-tiba?”

“Aku sendiri tidak mengerti. Tetapi ternyata para pelatih melihat kemampuanku meskipun aku sudah berusaha untuk menyembunyikannya. Aku tidak ingin nampak menonjol diantara kawan-kawan yang lain. Namun ternyata mereka memungutku ke gardu dan aku mendapat perintah untuk menyerangmu.”

“Tetapi terasa bahwa pada saat -saat terakhir kau tidak bersungguh-sungguh,“ berkata Barata.

“Kaupun tidak bersungguh -sungguh pula,“ jawab Kasadha.

“Ternyata mereka sekedar menjajagi kemampuan kita,“ desis Barata.

“Ya. Aku tidak mungkin mengelak lagi,“ sahut Kasadha. “Baiklah,“ berkata Barata, “besok kita bertemu lagi.

Bukankah baraknya yang terletak disamping ini?”

“Ya. Barak dua,“ jawab Kasadha.

“Aku berada di barak tujuh,“ desis Barata.

Demikianlah, maka keduanya telah menuju ke barak masing-masing yang terpisah oleh beberapa barak yang lain.

Demikianlah Barata mendekati pintu baraknya, ternyata ia berpapasan dengan dua orang prajurit peronda. Dengan garang seorang diantaranya membentak, “Dari man a kau he? Bukankah telah terlalu malam untuk berkeliaran?”

“Aku baru saja dari gardu tiga,“ jawab Barata, “memenuhi perintah Ki Lurah Mertayuda.”

“Bohong,“ bentak yang lain, “Ki Lurah tidak akan memanggil seorang prajurit, apalagi prajurit baru ke gardu tiga pada saat seperti ini.” “Tetapi aku dari sana,“ jawab Barata, “jika kau tidak percaya, bertanyalah kepada Ki Lurah.”

“He, kau perintah kami ya? Kau itu siapa menurut pendapatmu sehingga kau berani memberikan perintah kepadaku?“ bentak seorang dianta ra keduanya.

Barata menjadi bingung. Namun tiba-tiba saja dari kegelapan terdengar seseorang berkata, “Aku memang telah memerintahkan anak itu untuk pergi ke gardu tiga.”

Ketika para prajurit itu berpaling, dilihatnya Ki Lurah Mertayuda berdiri dibayangan kegelapan. Namun yang kemudian maju mendekat, sehingga para prajurit itu mengenalinya.

“Maaf Ki Lurah,“ hampir berbareng mereka berdesis. “Pergilah,“ perintah Ki Lurah.

Kedua prajurit itupun kemudian telah meninggalkan barak itu, sementara Barata berkata, “Terima kasih Ki Lurah.”

Ki Lurah tertawa. Katanya, “Aku yakin bahwa lima orang prajurit seperti yang meronda itu tidak dapat mengalahkanmu meskipun mereka dari Pasukan Khusus Pajang. Yang mereka miliki adalah ketahanan tubuh, ketrampilan bermain senjata dan kecepatan berpikir menanggapi perkembangan keadaan. Tetapi kau sudah berbekal ilmu yang tinggi disaat kau memasuki barak ini.”

“Ki Lurah terlalu memuji,“ desis Barata. “Tidak. Aku berkata sebenarnya,“ jawab Ki Lurah.

Namun kemudian katanya, “Mas uklah kedalam barakmu. Sudah waktunya untuk bermimpi.”

“Terima kasih Ki Lurah,“ sahut Barata yang kemudian melangkah kepintu baraknya.

Dalam pada itu, demikian Barata memasuki baraknya, ternyata beberapa kawannya terdekat masih belum tidur. Seorang yang sedikit gemuk bertanya, “Ada apa?”

Barata menggeleng. Jawabnya, “Tidak apa -apa. Hanya satu tegoran ringan. Aku dianggap kurang berminat untuk berlatih memegang senjata dan berlatih keseimbangan.

Agaknya pelatih dari kedua jenis ilmu ini menganggap aku terlalu bodoh atau kurang berminat.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun seorang diantara mereka bertanya, “Apakah kau harus menjalani hukuman?”

Barata termangu-mangu sejenak. Tubuhnya memang berkeringat dan barangkali nampak bahwa ia baru saja melakukan gerakan yang keras. Karena itu, maka Barata itupun menjawab, “Berlari -lari mengelilingi sanggar latihan terbuka.”

“Berapa kali?“ bertanya yang lain.

“Kali ini hanya sepuluh kali. Tetapi aku diancam untuk melakukan lebih banyak lagi jika aku masih belum merubah sikapku menghadapi dua jenis ilmu itu,“ jawab Barata.

Kawan-kawannya menjadi heran. Menurut pengamatan mereka, Barata termasuk seorang anak muda yang baik, rajin dan tangkas meskipun tidak lebih dari kawan- kawannya yang lain.

Tetapi mereka tidak bertanya lagi ketika mereka melihat Barata itu mengganti bajunya yang basah oleh keringat.

Pergi ke pakiwan dan kemudian berbaring di pembaringan.

Di barak yang lain, seorang anak muda telah berbaring pula di pembaringannya. Ketika kawan-kawannya bertanya, meskipun tidak bersepakat lebih dahulu, namun Kasadhapun mengatakan bahwa ia telah dihukum karena pelanggaran yang tidak disadarinya.

Namun dalam pada itu, ketika kawan-kawannya telah tertidur nyenyak, Kasadha justru mulai menelusuri jalan hidupnya. Sebenarnya ia tidak mengira bahwa kemampuannya tidak lepas dari pengamatan para pelatihnya sehingga ia harus berhadapan dengan seorang anak muda yang lain yang juga mengalami keadaan yang sama. Anak muda yang tidak berhasil menyembunyikan kemampuannya.

“Say ang,“ berkata anak muda itu, “aku tidak dapat melakukan pesan guru dan kakek. Para pelatih itu mempunyai pengamatan begitu tajamnya, sehingga mereka melihat kemampuanku.”

Sebenarnyalah ketika Kasadha dipanggil menghadap pelatihnya ia masih mencoba untuk mengaburkan kemampuannya. Tetapi para pelatihnya telah dapat memancingnya sehingga ia tidak dapat ingkar lagi sehingga datang perintah untuk menyerang seorang anak muda yang lain, juga seorang prajurit baru yang akan dipanggil ke sanggar latihan itu. Ketika anak itu kemudian memiringkan tubuhnya sambil memejamkan matanya, maka rasa-rasanya nampak semakin jelas, laki-laki yang menyebut dirinya ayahnya itu menudingnya sambil membentak kasar, “Kubunuh jika kau membantah.”

Kasadha menggeretakkan giginya. Ketika ia kemudian kembali tidur menelentang, maka rasa-rasanya ia melihat kedua-orang tuanya itu berdiri di hadapannya dengan marah.

Kemudian terngiang ditelinganya suara gurunya dan kakeknya berbareng, “Puguh, kau dengar panggilan untuk menjadi seorang prajurit.”

Kesempatan itu memang menarik perhatian Puguh. Gurunya dan kakeknya telah memberikan kesempatan kepadanya untuk menghindar dari jalur hidupnya yang tidak sesuai dengan kata batinnya.

“Sebagai seorang prajurit, maka kau dapat menunjukkan pengabdianmu bagi Pajang. Hidupmu akan berarti. Kau tidak lagi akan berkeliaran dalam dunia yang tidak menentu. Tetapi kau akan dapat berdiri pada suatu sikap yang mantap. Ayahmu juga seorang prajurit dari Jipang.

Kakek juga pernah mati-matian membela Jipang ketika berperang melawan Pajang. Tetapi kita tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa Jipang sudah tidak ada lagi sekarang. Yang sekarang memegang kendali kekuasaan adalah Pajang. Karena Pajang terancam perpecahan, maka kau mendapat kesempatan untuk ikut mempertahankan kesatuan itu,“ berkata Ki Randukeling.

Puguh akhirnya sependapat dengan kakek dan gurunya.

Dengan nada dalam gurunya berkata, “Isilah hidupmu dengan kerja yang berarti. Jika kau berkeliaran dan mengumpulkan kekayaan bagi dirimu sendiri, maka hal itu akan sangat mudah dilakukan. Tetapi justru memberikan sesuatu bagi kepentingan orang banyak adalah kerja yang sulit dan tidak menyenangkan. Termasuk pengabdian bagi seorang prajurit. Kedua orang tuamu telah terlalu banyak membuat orang lain gelisah. Beberapa kali mereka telah mengguncang Tanah Perdikan Sembojan namun selalu gagal. Kemudian berkeliaran dan melakukan perbuatan- perbuatan yang tidak wajar untuk mendapatkan kepuasan diri.”

Namun satu pukulan yang paling pahit yang hampir saja membuatnya gila adalah kenyataan tentang hubungan antara laki-laki yang disangkanya adalah ayahnya dengan ibunya.

“Kau harus menerima kenyataan itu,“ berkata gurunya, “apapun yang kau lakukan, maka kau tidak akan dapat merubah apa yang pernah terjadi itu.”

“Kenapa kakek dan guru tidak mengatakan sebelumnya?“ bertanya Puguh.

“Kami menunggu saat yang tepat,“ jawab kakeknya, “kami tahu bahwa jiwamu akan terguncang. Karena itu, harus ada saluran yang dapat menampung kegoncangan jiwamu itu. Pada saat Pajang memanggil, maka menurut perhitunganku, waktunya tepat sekali untuk membuka penglihatanmu. Kami sudah yakin, bahwa jiwamu cukup dewasa untuk menanggapi persoalan ini. Sementara itu, kau dapat menyalurkan gejolak jiwamu bagi satu pengadian. Ingat, jika kau menjadi seorang prajurit, maka landasannya adalah pengabdian.”

Puguh mengangguk-angguk. Ia memang telah berkembang menjadi dewasa karena jiwanya yang ditempa oleh perjalanan hidupnya. Di hatinya memang tertanam dendam dan kebencian kepada sasaran yang tidak jelas, yang oleh kedua orang tuanya telah disiapkan bahwa pada satu sasaran itu akan dijelaskan. Tetapi ternyata sikap guru dan kakeknya dapat mengaburkan dorongan dendam dan kebencian itu.

“Tetapi dengan menjadi seorang prajurit, maka kau akan dapat mengisi hidupmu yang singkat dengan arti yang sewajarnya,“ berkata gurunya pula.

Kenyataan tentang kehidupan kedua orang yang dianggap ayah dan ibunya itu telah membuat Puguh menentukan jalannya sendiri. Ia sudah bertekad untuk tidak memberitahukan kepada ibunya apalagi laki-laki yang dianggapnya ayahnya itu, bahwa ia memasuki dunia keprajuritan.

Namun dalam pada itu, kakek dan gurunya itu masih berpesan, “Tetapi kau harus menjadi orang lain Puguh. Kau jangan menyatakan dirimu sebagai kau. Sebagai anak Warsi dan Rangga Gupita.”

Dengan nada dalam kakeknya berkata lebih jauh, “Kau harus mempergunakan nama lain. Jika kau pergunakan namamu, mungkin seseorang diantara para prajurit baru itu ada yang tertarik karenanya apapun sebabnya. Mungkin seseorang pernah mendengar namamu. Mungkin karena hal-hal lain. Bahkan mungkin pengaruh dari kehidupanmu masa lalu. Misalnya satu dua orang yang pernah mendengar namamu di tempat-tempat yang tidak sewajarnya.”

Puguh mengangguk-angguk. “Kau kuburkan saja masa lalumu. Kau akan memasuki dunia keprajuritan dengan wajah tengadah serta langkah- langkah baru,“ pesan gurunya.

Sebenarnya bahwa Puguh telah memasuki dunia keprajuritan dengan nama yang baru. Kasadha, karena kebetulan ia lahir di musim keduabelas.

Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia merasa bersukur bahwa ia telah melakukan pesan kakek dan gurunya. Apalagi keduanya berkata kepadanya bahwa mereka akan bertanggung jawab jika pada suatu saat ayah dan ibunya itu menuntutnya.

Ketika Kasadha kemudian mengamati kawan-kawannya di sekelilingnya, ternyata mereka telah tertidur nyenyak.

Karena itu maka iapun telah berusaha untuk melepaskan masalah-masalah yang hilir-mudik di kepalanya itu agar iapun dapat segera tidur pula.

Dihari-hari berikutnya, maka Barata dan Kasadha memang mendapat perhatian khusus dari para pelatihnya. Dalam latihan sehari-harinya, keduanya berada diantara kawan-kawannya. Tidak ada perbedaan apapun pada keduanya di kelompok mereka masing-masing.

Namun dalam pada itu, para pelatihnya sedang merencanakan untuk mengadakan tuntunan khusus bagi mereka.

Ketika dilakukan penerimaan prajurit pada tahap kedua, rencana itu barulah dapat dilakukan. Ada beberapa perubahan susunan kelompok bagi para prajurit baru.

Meskipun prajurit yang sudah diterima setengah bulan sebelumnya tidak digabungkan dengan yang baru saja diangkat, namun terjadi beberapa perubahan susunan pada kelompok-kelompok prajurit yang telah lebih dahulu diterima.

“Waktunya tinggal sedikit,“ berkata Ki Lurah Mertayuda, “dalam waktu setengah bulan menjelang peneri maan prajurit pada tahap terakhir, kalian berdua harus sudah dapat menjadi seorang pemimpin. Meskipun baru pemimpin kelompok kecil. Kami, para pelatih dan sebagaimana sudah disaksikan oleh perwira dari Pasukan Khusus, bahwa kalian berdua memiliki kemungkinan yang sangat baik. Karena itu, maka kalian telah mendapat kesempatan pertama untuk berada ditataran pimpinan meskipun di paling bawah.”

Kedua anak muda yang secara khusus dipanggil itu menundukkan kepalanya. Sementara itu Ki Lurah berkata selanjutnya. “Kami masih memerlukan tiga orang lagi. Kami merencanakan untuk menumbuhkan lima orang diantara kalian yang bersamaan memasuki dunia keprajuritan.

Tetapi yang tiga belum kami dapatkan.”

Namun sejak saat itu, Barata dan Kasadha sudah tidak ada lagi diantara para prajurit yang diterima bersama mereka. Keduanya telah ditempatkan secara khusus diantara para prajurit yang telah lama berada di barak itu untuk mendapat bimbingan khusus.

Betapapun sulitnya, tetapi akhirnya Ki Lurah Mertayuda telah menunjuk pula tiga orang yang lain, yang akan menjadi pemimpin kelompok pada pasukan yang akan disusun kemudian setelah penerimaan tahap terakhir.

Tetapi ternyata yang tiga orang itu berada pada tataran yang masih jauh dibawah tataran Barata dan Kasadha yang seakan-akan sengaja dibuat seimbang. Dengan demikian, maka latihan-latihan yang diselenggarakan secara khusus itupun telah dibagi menjadi dua tataran dengan pelatih yang berbeda pula, Namun semuanya berada dibawah pengawasan Ki Lurah Mertayuda.

Latihan-latihan yang diberikan kepada Barata dan Kasadha lebih banyak pada tuntunan untuk menjadi seorang pemimpin sekelompok prajurit. Mereka mempelajari susunan perang gelar dan kerja sama dalam satu kesatuan. Bagi kedua orang itu maka latihan-latihan kanuragan secara khusus lebih diutamakan pada penyesuaian diri dengan latihan-latihan yang diberikan kepada para prajurit.

“Kami tidak dapat memaksakan unsur -unsur gerak dalam olah kanuragan karena kalian masing-masing sudah memiliki dasar yang kuat. Kami minta kalian dapat menyesuaikan diri tanpa mengganggu dan bahkan mungkin terjadi benturan ilmu didalam diri kalian masing-masing,“ berkata pelatihnya yang agaknya dapat mengerti sepenuhnya keadaan kedua orang anak muda itu.

Karena itu, maka latihan-latihan di sanggar maupun di tempat-tempat terbuka bagi mereka menjadi tidak terlalu banyak lagi. Tetapi setiap kali mereka bersama pelatihnya harus mengikuti latihan-latihan bagi para prajurit dalam Pasukan Khusus itu. Dengan demikian maka kedua anak muda itu mendapatkan pengalaman memimpin sebuah kelompok pasukan.

Namun dalam saat-saat tertentu, kedua anak muda itu harus berlatih juga bersama dengan ketiga orang calon pemimpin kelompok yang lain untuk mendapat kesamaan cara menangani kelompok-kelompok pasukan.

Karena waktunya tidak banyak, maka latihan-latihan telah diadakan hampir setiap saat. Bahkan kadang-kadang sampai malam hari mereka masih berada di dalam sebuah bilik untuk mendengarkan penjelasan-penjelasan tertentu.

“Kalian harus mulai melakukan tugas kalian setelah prajurit-prajurit yang diterima pada tahap akhir itu disusun dalam kelompok-kelompok,“ berkata Ki Lurah Mertayuda, “memang satu tugas yang berat bagi kalian yang hanya mendapat latihan dan tuntunan untuk waktu yang singkat. Tetapi selama kalian melakukan tugas, maka kalian masih akan mendapat tuntunan-tuntunan khusus.”

Namun ketika saat pendadaran dilakukan, kelima orang anak muda yang telah dipilih menjadi pemimpin kelompok itu telah mampu menguasai ketentuan-ketentuan dasar bagi seorang pemimpin kelompok. Kelima orang itu akan menjadi bahan pengamatan para pemimpin Pasukan Khusus, kemungkinan-kemungkinan yang dapat dikembangkan pada prajurit-prajurit muda. Tetapi sudah barang tentu dengan mengingat kemampuan dasar mereka masing-masing.

Namun sebagaimana terjadi di mana-mana maka perasaan iri seseorang kadang-kadang telah menggelitik jantung. Seorang diantara kelima orang calon pemimpin itu merasa tidak senang melihat kekhususan kedudukan Barata dan Kasadha. Mereka berdua dianggap terlalu mendapat perhatian dari para pelatihnya, bahkan dari Ki Lurah Mertayuda, seorang perwira dari Pasukan Khusus yang mendapat tugas menangani prajurit-prajurit yang baru.

Setiap kali para pelatih memberikan contoh, jika bukan para pelatih itu sendiri yang melakukannya, tentu Barata atau Kasadha, seakan-akan keduanya telah memiliki tataran yang sama dengan para pelatih, meskipun kedua orang anak muda itu sendiri serta para pelatih tidak dengan sengaja menunjukkan kelebihan anak-anak muda itu. “Kenapa perhatian para pelatih dan bahkan Ki Lurah lebih banyak tertuju kepada kedua anak gila itu? Bahkan mereka berdua telah mendapat latihan secara terpisah? Padahal kedudukan mereka tidak lebih dari kedudukan kita,“ berkata anak muda itu. Seorang anak muda yang bertubuh tegap berkumis tipis dan bermata tajam. Menilik sorot matanya, anak muda itu tentu memiliki ketajaman penalaran.

“Mungkin anak itu dianggap memiliki kelebihan dari kita,“ berkata seorang kawannya.

Tetapi anak muda berkumis tipis itu berkata, “Apa kelebihannya? Keduanya tidak menunjukkan sesuatu yang pantas dikagumi. Kita belum tahu, siapakah yang akan lebih baik memimpin kelompok yang akan dipercayakan kepada kita masing-masing. Kitapun tidak tahu seberapa jauh bekal yang kita bawa masing-masing ketika kita memasuki pendadaran. Sayang, aku dan anak-anak itu berada dalam kelompok yang berbeda saat dilakukan pendadaran itu.”

Tetapi kawannya yang lain berkata, “Aku tidak mempunyai persoalan apa-apa dengan anak-anak itu. Aku bersokur bahwa bukan aku yang harus melakukan banyak hal. Juga bukan aku yang harus menempuh latihan-latihan terpisah. Mungkin mereka masih harus mengisi kekurangan mereka dalam latihan kanuragan, atau apapun. Rasa- rasanya kakiku sudah sulit untuk bergerak dengan latihan- latihan yang kita lakukan sekarang. Apalagi dengan tambahan-tambahan dalam ujud apapun.”

“Semua orang tahu, bahwa kau memang pemalas,“ geram anak muda berkumis tipis itu. “Mungkin. Tetapi aku memang malas mengurusi orang lain,“ jawab anak muda itu.

“Mungkin. Tetapi aku memang malas mengurusi orang lain,“ jawab anak muda itu.

“Jika kau menjadi pemimpin kelompok, maka kau harus mengurusi orang lain,“ berkata anak muda berkumis tipis itu.

“Tetapi masalahnya agak berbeda. Itu adalah tugasku.

Bukan, sekedar mencari pekerjaan,“ jawab anak itu.

Anak muda berkumis tipis itu terdiam. Nampaknya dua kawannya yang lain memang tidak tertarik pada sikapnya. Tetapi ia benar-benar tidak senang melihat kedua anak muda yang dianggapnya mendapat perlakuan yang berbeda itu.

Namun dalam pada itu, hubungan antara Barata dan Kasadha justru menjadi semakin akrab. Apalagi justru karena mereka terlalu sering berada dalam keadaan yang harus mereka jalani bersama-sama. Latihan-latihan, mengikuti tuntunan khusus di dalam bilik-bilik terpisah.

Berada di sanggar latihan dan di alam terbuka bersama para prajurit dari Pasukan Khusus yang sudah lebih lama berada di barak itu.

Bahkan Ki Lurah Mertayuda menyebut kedua orang anak muda itu sebagai kakak beradik.

“Kalian berasal dari daerah yang jauh letaknya. Seorang dari daerah Bibis sedangkan yang lain dari kaki Gunung Sewu. Namun kalian seakan-akan memang dikirim untuk menjadi pasangan yang baik. Wajah kalianpun mirip sementara umur kalian nampaknya juga sebaya,“ berkata Ki Lurah Mertayuda.

Jantung Barata memang berdesir. Ia masih selalu ingat bagaimana seseorang menyangkanya sebagai Puguh, karena kemiripan wajah. Di Pajang tiba-tiba saja ia telah bertemu dengan anak muda yang sebaya, sedangkan wajahnya mirip dengan wajahnya sendiri.

Tetapi Barata sama sekali tidak menduga bahwa anak muda yang bernama Kasadha itu memang Puguh. Menurut dugaan Barata, Puguh adalah seorang anak muda yang keras, kasar dan jahat. Meskipun barangkali wajahnya memang mirip dengan wajah Barata sendiri, tetapi sorot matanya tentu membayangkan kebencian. Sikapnya adalah sikap keluarga Kalamerta yang ganas itu.

Sedangkan yang dihadapinya adalah seorang anak muda yang bernama Kasadha. Lebih banyak berdiam diri dan merenung. Matanya justru kadang-kadang nampak dalam sekali. Tidak ada tanda-tanda kekasaran pada sikapnya.

Tidak pula ganas dan kata-katanyapun lembut.

“Tidak mungkin anak perempuan yang bernama Warsi itu bersikap seperti ini,“ berkata Barata didalam hatinya jika ia mendengar orang lain mengatakan bahwa wajahnya memang mirip dengan wajah Kasadha.

Bahkan seorang kawannya berkata, “Kau pantas menjadi adik Kasadha itu Barata.”

Barata hanya tersenyum saja. Demikian pula Kasadha. Jika ada orang yang menyebut bahwa Barata pantas jadi adiknya, ia tidak mengatakan apa-apa. “Jika ia disebut kakakku, maka ia tentu lebih tua dari aku. Sedangkan Puguh tentu lebih muda dari aku,“ berkata Barata didalam hatinya.

Barata tidak pernah berpikir bahwa ujud seseorang itu kadang-kadang tidak selalu sesuai dengan umurnya yang sebenarnya. Orang yang nampak jauh lebih tua, namun mungkin umurnya masih lebih muda.

Demikianlah, maka pada saat yang telah ditetapkan, kelima anak muda itu telah dianggap cukup mampu untuk melakukan tugasnya sebagai pemimpin kelompok dari para prajurit yang diterima pada tahap terakhir. Dari dua puluh kelompok, lima kelompok akan dipimpin oleh prajurit- prajurit muda. Bukan saja umurnya, tetapi juga pengalaman dan pengetahuannya. Sedangkan lima belas kelompok yang lain akan dipimpin oleh para prajurit yang sudah cukup lama bertugas dalam pasukan Khusus.

Kepada lima orang prajurit muda itu, Ki Lurah Mertayuda berpesan, “Kalian memang menjadi bahan percobaan. Kami ingin melihat kemampuan orang-orang muda. Apakah dalam waktu singkat dapat disiapkan menjadi pemimpin.

Sementara itu, keadaan memang menuntut langkah- langkah yang cepat sekarang ini karena perkembangan keadaan yang tidak diduga-duga.”

Seperti tahap-tahap sebelumnya, maka secara resmi para calon prajurit yang sudah melalui dua tataran pendadaran itu diwisuda di alun-alun Pajang. Yang berdiri didepan lima kelompok pasukan adalah lima orang prajurit muda yang telah mendapat tuntunan dan tempaan dalam waktu singkat, namun bersungguh-sungguh.

Sejak hari itu, maka Barata, Kasadha dan tiga orang kawannya telah memimpin kelompok-kelompok prajurit untuk mengikuti latihan-latihan yang berat sebagaimana pernah mereka lalukan dihari-hari pertama mereka berada di barak itu. Tetapi berlima mereka telah mendapat latihan- latihan khusus yang tidak pula kalah beratnya.

Dalam latihan-latihan yang dipimpin oleh para pelatih dari Pasukan Khusus itu sebenarnyalah Barata dan Kasadha sama sekali tidak mengalami kesulitan, meskipun mereka masih saja berusaha untuk tidak menunjukkan kelebihan mereka. Mereka ikut berlatih sebagaimana para prajurit yang lain, tidak lebih baik dari ketiga orang pemimpin kelompok yang lain, yang bahkan kadang-kadang justru menunjukkan sikap lebih keras dari Barata dan Kasadha.

Namun dalam beberapa hal yang nampaknya sulit untuk dilakukan, sehingga bagi orang lain harus diulang beberapa kali, maka baik Barata maupun Kasadha mengulang sebanyak-banyaknya hanya sekali. Itupun karena mereka tidak ingin nampak sebagai anak-anak muda yang melampui kewajaran kawan-kawannya.

Dihari-hari berikutnya, maka para prajurit itu harus berlatih meloncati rintangan yang tinggi, seakan-akan mereka meloncati dinding padukuhan. Meniti palang bambu. Berayun pada tali dan latihan-latihan ketrampilan wa-dag yang lain. Disamping itu, maka para prajurit yang pada dasarnya telah memiliki bekal itu, telah dilatih mempergunakan berbagai macam senjata sehingga mereka dapat mempergunakan apa saja sebagai senjata dalam keadaan yang memaksa.

Disamping latihan-latihan ketrampilan khusus itu, maka mereka juga mendapat latihan tentang bentuk gelar.

Perang dalam gelar dan gerakan-gerakan yang berhubungan dengan gelar. Mereka harus dapat dengan cepat mengikuti perintah melakukan perubahan gelar sambil bertempur.

Selain itu, maka mereka juga mendapat latihan-latihan untuk dapat bertempur dalam satuan-satuan kecil. Isyarat- isyarat dengan gerak serta secara khusus pula mereka mendapat latihan peningkatan kemampuan secara pribadi. Meskipun tidak banyak yang dapat dilakukan oleh para pelatih dalam waktu dekat, namun para pelatih berusaha agar para prajurit Pajang dapat menunjukkan ciri-ciri kekhususan para prajurit. Kerja sama yang serasi dan saling mengisi dalam pertempuran-pertempuran yang rumit.

Sebenarnyalah persiapan yang nampak tergesa-gesa dari para pemimpin Pajang itu dilakukan karena sikap Mataram. Sementara itu Pajang menyadari, bahwa Mataram telah menyusun kekuatan yang meskipun jumlahnya tidak begitu besar, tetapi memiliki kemampuan yang tinggi. Diantara mereka terdapat orang-orang yang disegani selain Panembahan Senapati sendiri yang selalu di embani oleh ketajaman penalaran dan kebijaksanaan Ki Juru Martani.

Sadar akan tingkat kemampuan para prajurit Mataram maka Pajangpun telah meningkatkan kemampuan para prajuritnya. Sehingga latihan-latihan terasa menjadi berat. Lebih-lebih bagi para prajurit yang baru, sedangkan para prajurit yang lamapun kadang-kadang masih juga berdesah mengalami latihan-latihan yang sangat berat itu.

Sementara kemampuan para prajurit itu meningkat, kebencian seorang diantara kelima orang anak muda yang menjadi pemimpin kelompok itu menjadi semakin meningkat pula. Bahkan ketika ia tidak lagi dapat menahan diri melihat keberhasilan Barata dan Kasadha melakukan latihan yang berat memanjat tebing yang tegak meskipun tidak terlalu tinggi, maka orang itu berkata, “Mereka akan menjadi sombong. Tetapi memanjat tebing bukan ukuran mutlak seorang prajurit.”

Kawannya mengerutkan keningnya. Namun seorang dibawah pimpinannya bertanya, “Apa maksudmu Dirga.”

“Kau lihat Barata dan Kasadha itu?“ bertanya anak muda yang disebut Dirga.

“Ya. Mereka adalah o rang-orang yang dapat melakukannya dengan sangat baik meskipun mereka harus mengulangi masing-masing dua kali. Tetapi yang lain justru ada yang tetap tidak mampu melakukannya meskipun sudah mendapat kesempatan mengulangi sampai ampat kali,“ jawab orang itu .

“Tetapi bukankah ukuran kemampuan seorang prajurit tidak hanya dinilai dari caranya memanjat tebing?“ bertanya Dirga, anak muda yang berkumis tipis itu.

“Ya. Sudah tentu,“ jawab anak muda yang berada dibawah pimpinannya itu. Namun katanya kemudian, “Na mun melihat latihan-latihan yang kadang-kadang diadakan bersama-sama dengan kelompok mereka, nampaknya keduanya memang cukup trampil.”

“Omong kosong,“ geram Dirga. Lalu katanya, “Kau lihat, bagaimana Barata kehilangan senjatanya ketika berlatih di alun-alun dua hari yang lalu.”

“Ya,“ anak muda itu mengangguk -angguk. Ia memang melihat dalam latihan yang dilakukan diantara kelompok- kelompok untuk meratakan kemampuan mereka, Barata memang telah kehilangan senjatanya yang terlepas karena pukulan salah seorang lawan berlatihnya.

Dengan demikian, maka para prajurit itu memang menganggap bahwa Baratapun termasuk diantara mereka yang berkembang bersama-sama.

Demikian pula Kasadha yang kadang-kadang telah menunjukkan satu kelemahan, sehingga ia bukan orang ajaib diantara para prajurit muda itu.

“Pada suatu saat, aku akan mencoba apakah benar Barata atau Kasadha orang terbaik diantara para prajurit muda,“ geram Dirga.

Anak muda yang berada dibawah pimpinannya itu mengerutkan keningnya. Namun sudah tentu bahwa ia akan merasa ikut berbangga jika pemimpin kelompoknya adalah orang yang paling baik diantara para pemimpin kelompok yang lain.

Dengan demikian, maka Dirga itu seakan-akan telah menunggu satu kesempatan untuk menundukkan salah seorang diantara kedua orang yang dibencinya itu.

Kesempatan itu ternyata didapatkannya juga pada akhirnya. Ketika mereka mendapat istirahat sehari semalam setelah mengadakan latihan-latihan berat selama selapan hari, sebagaimana biasanya, maka secara kebetulan Barata dan Kasadha yang berjalan-jalan ke pasar telah bertemu dengan Dirga bersama dengan tiga orang anak muda yang berada didalam kelompoknya. Dengan ramah Dirga telah menegur kedua anak muda itu. Sudah tentu Barata dan Kasadhapun telah menjawab dengan ramah pula.

“Marilah, kita berjalan-jalan ke sendang,“ ajak Dirga. Barata dan Kasadha saling berpandangan sejenak.

Sendang yang dimaksud tentu sendang pemandian yang tidak begitu besar yang terdapat di luar dinding Kota Pajang yang justru kearah hutan yang pernah dijamah oleh Puguh.

Kasadha memang menjadi berdebar-debar. Sendang itu akan mengingatkan pada lukanya yang pedih dihatinya.

Namun iapun segera menghapus kesan itu dari wajahnya. Bahkan katanya, “Terserah kepadamu Barata.”

Barata termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Tetapi sebentar saja. Aku telah membeli sebuah nangka utuh. Kawan-kawan di barak tentu senang. Asal saja tidak terlalu banyak sehingga perut kita akan dapat diguncang karenanya.”

“Titipkan saja nangka itu pada penjualnya,“ berkata Dirga, “agar kau tidak usah mengusungnya kemana kau pergi. Nanti kita akan datang mengambilnya.”

Baratapun mengangguk-angguk. Ia memang seorang yang senang berenang. Di Kademangan Bibis, Barata sering berendam dibendungan yang telah dibuat bersama-sama oleh anak-anak muda, sehingga airnya naik. Sehingga

anak-anak bahkan anak-anak mudanya sempat menjadikan bendungan itu semacam sendang tempat mandi. Ketika mereka berjalan sepanjang jalan menuju ke sendang, jantung Puguh memang menjadi berdebar-debar. Tidak mustahil bahwa ia akan dapat bertemu dengan orang-orang yang mencarinya atau mencari ayah dan ibunya yang bersembunyi. Sementara itu selama beristirahat, maka ia telah berada diluar lingkungan keprajuritan.

Tetapi sampai mereka memasuki jalan kecil yang menuju kesendang, Kasadha tidak bertemu dengan orang- orang yang dicemaskannya.

Namun Kasadha sudah tentu tidak dapat mengatakan kegelisahannya itu kepada Barata, karena dengan demikian maka akan dapat menimbulkan kesan tersendiri. Apalagi didalam dunia keprajuritan Kasadha ingin meninggalkan semua beban yang untuk waktu yang lama harus dipikulnya, meskipun Kasadha sadar, bahwa pada suatu saat tentu akan muncul persoalan tentang dirinya. Tetapi jika ia sudah menjadi seorang prajurit serta mampu menunjukkan pengabdiannya, maka persoalannya tentu akan berbeda.

Dalam pada itu, maka Dirga, Barata, Kasadha dan tiga orang anak muda yang berada didalam kelompok yang dipimpin oleh Dirga itu telah pergi menyusuri jalan kecil menuju ke sendang.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar