Sayap-Sayap Yang Terkembang Jilid 19

Jilid 19

PUGUH mengangguk-angguk. Tetapi ia benar-benar telah merasa bersiap lahir dan batin untuk menjalani pendadaran itu, apapun yang akan terjadi atas dirinya. Karena itu, ketika Ki Randu Keling dan gurunya Ki Ajar Paguhan menyuruhnya beristirahat, maka Puguhpun telah berbaring dipembaringan dan sesaat kemudian maka telah terdengar tarikan nafasnya yang tertatur. Puguh telah tertidur.

Ki Randu Keling masih duduk dan berbincang dengan Ki Ajar. Ketika mereka melihat Puguh tertidur nyenyak, maka Ki Ajarpun berkata, “Sokurlah, bahwa ia tidak menja di gelisah menghadapi pendadaran yang harus ditempuhnya. Bahkan seolah-olah ia tidak menghiraukan apa yang akan terjadi.”

Ki Randu Keling mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata anak itu justru menjadi kuat lahir dan batin. Bahwa anak itu sempat beristirahat dengan baik, agaknya akan dapat membantu meningkatkan kekuatan wadagnya besok, karena besok dalam waktu sehari-semalam ia akan berjuang mengatasi kesulitan disaat pendadaran yang berlebih-lebihan itu. Sayang bahwa pendadaran itu dilakukan atas perintah ibunya. Jika orang lain yang memaksanya untuk menjalankannya, maka aku akan mencegahnya.”

“Ya,“ sahut Ki Ajar, “anak itu memang memerlukan perlindungan. Tetapi nampaknya ibunya menjadi sangat benci kepada anak yang tidak bersalah itu.”

“Jika kebencian itu ditunjukkan oleh Ki Rangga, hal itu masih dapat dimengerti. Tetapi oleh ibu yang melahirkannya dengan susah payah, bahwa kemungkinan melepaskan nyawanya,“ desis Ki Randu Keling. Keduanyapun kemudian terdiam ketika malam menjadi semakin larut. Bahkan sejenak kemudian keduanyapun telah berbaring pula untuk tidur setelah pintu diselarak.

Keduanya terbangun pagi-pagi benar menjelang dini hari. Ki Randu Kelinglah yang ternyata selalu merasa gelisah. Ki Ajar agaknya lebih menaruh kepercayaan kepada Puguh, karena Ki Ajar tahu pasti tingkat kekuatan, kemampuan dan ketrampilan gerak Puguh. Ki Ajar berharap bahwa dalam keadaan wajar, Puguh tidak akan di bunuh oleh seekor harimau yang diburunya. Ia tentu akan dapat mengatasinya.

Untuk beberapa saat mereka masih membiarkan Puguh tidur nyenyak. Pada saatnya Puguh tentu akan bangun dengan sendirinya tanpa mereka bangunkan.

Bahkan bergantian kedua orang tua itu pergi ke pakiwan.

Ketika Puguh terbangun, ia menjadi gelisah, bukan karena harimau yang harus diburunya. Tetapi ia merasa bangun agak terlalu siang.

“Matahari belum terbit,“ berkata Ki Randu Keling, “pergilah ke pakiwan.”

Puguhpun kemudian berbenah diri. Setelah mandi, maka iapun mempersiapkan segala keperluannya. Ia telah menyelipkan sepasang pisau belati. Ia tidak memerlukan pedang untuk melawan seekor harimau.

Ternyata pagi itu Puguh sempat mendapat makan pagi dari perempuan yang merawat Warsi. Kemudian tanpa diketahui oleh perempuan itu Ki Randu Keling telah minta Puguh mencairkan obat penawar bisa yang diberikannya dalam minumannya dan kemudian meminumnya.

“Obat itu akan dapat bertahan kurang lebih sehari - semalam. Dalam waktu sehari-semalam kau akan tawar dari segala macam bisa dan racun. Sesudah itu perlahan- lahan obat itu akan kehilangan kekuatannya,“ b erkata Ki Randu Keling.

“Terima kasih kakek,“ jawab Puguh yang kemudian berkata kepada kakek dan gurunya, “aku mohon restu kakek dan guru. Mudah-mudahan aku dapat mengatasi kesulitan pada saat pendadaran sehingga aku berhasil memenuhi keinginan ibuku.”

“Ya Puguh,“ sahut gurunya, “kau harus dapat membuktikan bahwa kau memang seorang laki-laki.”

Tetapi jika kau memang tidak menemukan seekor harimaupun dalam waktu yang telah ditentukan, sehari- semalam, maka kau tidak perlu merasa dirimu kecil.

Ilmumu tidak akan susut seujung rambutpun. Kau masih tetap seperti Puguh ketika berangkat memasuki hutan itu,“ berkata kakeknya.

Puguh mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud kakeknya. Jika ia gagal, maka ia tidak perlu merasa bahwa hidupnya memang telah gagal. Agaknya memang masih banyak yang dapat dilakukan. Meskipun hari itu tidak dapat memenuhi keinginan ibunya untuk menyatakan dirinya sebagai seorang laki-laki, tetapi ia masih mempunyai banyak waktu untuk membuktikannya.

Setelah ia bersiap maka Puguhpun bersama dengan guru dan kakeknya menemui Warsi dan Ki Rangga untuk minta diri. “Pergilah,“ berkata Warsi, “besok, pagi -pagi benar, kau harus sudah berada ditempat yang telah ditentukan dengan seekor harimau hasil buruanmu. Jika kau gagal, maka aku tidak lagi mempunyai anak yang bernama Puguh.”

Puguh mengangguk hormat sambil berkata, “Aku akan berusaha membuktikan kepada ibu dan ayah, bahwa aku mampu melakukannya. Aku juga ingin membuktikan kepada guru dan kakek, bahwa tidak sia-sia jerih payah guru dan kakek selama ini.”

“Pergilah mumpung masih pagi,“ berkata ibunya kemudian.

Puguhpun mengangguk dalam-dalam. Katanya, “Aku mohon diri.”

“Ya. Dan kau harus pergi sendiri. Kakek dan gurumu tentu sudah memberikan ancar-ancar arah yang harus kau tempuh menuju ke hutan itu. Besok pagi-pagi ayahmu dan gurumu akan berada ditempat yang sudah ditentukan itu untuk melihat hasil pendadaranmu,“ berkata ibunya.

Puguh tidak menjawab lagi. Namun iapun kemudian telah beringsut meninggalkan ruangan itu.

Guru dan kakeknya mengantar Puguh sampai keregol halaman yang tidak begitu bersih itu. Sebenarnyalah bahwa mereka merasa berat juga untuk melepas anak itu pergi memasuki hutan disebelah Kotaraja Pajang. Hutan yang memang dibiarkan liar dan garang, yang sering dipergunakan bagi para keluarga istana untuk melupakan kesibukan mereka sehari-hari dengan berburu. Yang tidak diketahui oleh Ki Randu Keling dan Ki Ajar Paguhan adalah, apakah orang lain kecuali keluarga istana juga diperkenankan berburu di hutan itu.

“Aku sudah berpesan kepada Puguh,“ berkata kakeknya, “jika ia melihat gawar di pinggir hutan itu adalah pertanda bahwa hutan itu sedang ditutup, karena sekelompok bangsawan dan pengiringnya akan berburu. Tetapi jika tidak ada gawar lawe atau janur, maka hutan itu sedang terbuka bagi siapapun juga.”

Ki Ajar Paguhan mengangguk-angguk. Sementara Puguh melangkah dengan tanpa ragu-ragu menyusuri jalan kecil itu semakin lama semakin jauh.

Ki Rangga dan Warsi yang ada di halamanpun kemudian beringsut pergi. Namun Ki Rangga sempat berkata, “Hutan itu sekarang jarang sekali ditutup. Para bangsawan sedang pusing memikirkan perkembangan Mataram. Mereka tidak sempat pergi berburu.”

Ki Randu Keling dan Ki Ajar mengangguk-angguk. Tetapi mereka sama sekali tidak menjawab.

Demikianlah Puguh telah memasuki jalan yang lebih besar di kota Pajang. Tiba-tiba saja Puguh didesak oleh keinginannya untuk melihat pasar. Ketika ia datang, hari sudah terlalu siang. Namun pasar itu masih nampak ramai. Apalagi jika hari masih pagi.

Sebenarnyalah pasar itu penuh sesak sampai meluap ke jalan-jalan disekitar pasar itu. Rasa-rasanya Puguh ingin tinggal di pasar itu untuk waktu yang lama. Bahkan sampai siang hari. Ia tertarik kepada beberapa gubug di pinggir pasar tempat beberapa orang pandai besi melakukan tugasnya dan menjajakan hasil pekerjaan mereka. Alat-alat pertanian dan alat-alat dari besi yang lain.

Pekerjaan itu terasa sangat menarik. Apalagi melihat diantara mereka juga ada yang membuat semacam senjata meskipun sederhana atau bahkan maksudnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan kekerasan antara sesama. Jika mereka membuat parang, kapak dan sebagainya, semata-mata dibuat untuk melakukan pekerjaan sehari- hari. Membelah kayu atau memotong dahan-dahan yang berlebihan.

Tetapi Puguh tidak dapat mengabaikan tugas yang harus dilakukan dalam pendadaran. Puguh sadar, bahwa ayah dan ibunya adalah orang-orang yang sangat keras terhadapnya. Bahkan ada kesan seakan-akan ayah dan ibunya itu telah membencinya.

“Apa sebenarnya salahku? “ pertanyaan itu berulang kali muncul dihati anak muda itu.

Namun sebenarnyalah Puguh tidak tahu bahwa kesalahannya adalah, karena ia adalah anak Wiradana. Sementara itu, ayah dan ibunya selalu gagal untuk memanfaatkannya mengambil Tanah Perdikan Sembojan dari tangan Warsi.

Sejenak kemudian, setelah Puguh mengelilingi pasar itu dan melihat berbagai macam barang yang dijual didalamnya, bahkan sempat membeli makanan untuk bekal perjalanannya dan saat-saat ia berada di hutan, maka Puguh itupun telah melanjutkan perjalanannya.

Bagi Puguh, hutan yang lebat itu tidak akan terasa lebih garang dari Song Lawa. Meskipun di Song Lawa tidak ada binatang buas, tetapi bagi Puguh, orang-orang yang ada di Song Lawa itu tidak kalah buasnya dari seekor harimau bahkan kadang-kadang dijumpainya sekelompok orang yang ganas dan licik seperti sekelompok serigala.

“Lebih mudah menghindarkan diri dari sekelompok serigala,“ berkata Puguh didalam hatinya, “cukup dengan memanjat sebatang pohon kemudian terkantuk-kantuk diatas dahan. Asal tidak tergelincir jatuh kebawah.”

Namun tiba-tiba saja Puguh telah teringat kepada dua orang yang menyebut dirinya Wanengbaya dan Wanengpati. Puguh memang curiga atas nama itu, bahwa nama itu bukan nama kedua orang itu yang sebenarnya. Namun tingkah laku mereka telah memberikan kesan tersendiri bagi Puguh. Keduanya adalah orang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Bahkan orang botak yang disebut Kepala Besi itupun dengan mudah dapat dikalahkannya. Mereka memiliki pula kemampuan bidik yang sangat tinggi, bahkan hampir diluar jangkauan nalar, sehingga Song Lawa jika masih ada akan dapat menjadi sumber penghasilan berapa saja diinginkan, terutama di arena panahan.

“Orang -orang yang aneh,“ berkata Puguh didalam hatinya. Baginya kedua orang itu bukan orang-orang sebagaimana selalu dijumpainya di Song Lawa.

Dalam pada itu Puguh berjalan terus. Tidak seorang pun yang menyapanya. Dijalan atau di pasar sekalipun, karena memang belum ada seorangpun yang dikenalnya. Tetapi Puguh sempat melihat rumah-rumah yang besar dan bagus meskipun hanya dari celah-celah pintu regol yang terbuka sedikit. Sesuai dengan ancar-ancar yang diberikan oleh gurunya dan Ki Randu Keling, maka beberapa saat kemudian, Puguh telah menuju ke gerbang kota.

Ketika Puguh bertemu dengan sekelompok kecil pasukan berkuda, maka diluar sadarnya, anak muda itu telah berhenti dan berdiri tegak termangu-mangu di pinggir jalan.

“Satu kebanggaan,“ katanya didalam hati, “apakah alcu tidak dapat menjadi seorang prajurit?”

Tetapi Puguh hanya menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari bahwa ia adalah seorang anak muda yang terlempar kedalam satu kehidupan yang gelap sehingga sulit baginya untuk memasuki satu lingkungan yang wajar. Apalagi sebagai seorang prajurit.

Ketika sekelompok kecil pasukan berkuda yang sedang meronda itu menjadi semakin jauh, maka Puguhpun menyadari dirinya sendiri yang berdiri termangu-mangu di pinggir jalan.

“Akulah yang akan menjadi tontonan. Bukan prajurit itu,“ berkata Puguh didalam hatinya.

Sejenak kemudian Puguhpun telah melanjutkan perjalanannya. Ia melihat dipintu gerbang berjaga-jaga dua orang prajurit meskipun prajurit itu tidak menghambat perjalanan orang-orang yang keluar masuk regol itu.

Namun nampaknya pengawasan memang meningkat di Kotaraja Pajang. Agaknya persoalan dengan Mataram benar-benar menjadi semakin bersungguh-sungguh. Ketika Puguh sampai di luar Kotaraja, maka dilihatnya jalan panjang menuju ke hutan yang sengaja biarkan saja tetap liar dan buas. Hutan yang pada saat-saat tertentu dijadikan tempat untuk berburu para bangsawan dan bahkan Sultan Hadiwijaya sendiri.

Puguhpun kemudian telah mempercepat perjalanannya.

Ia tidak mau terlalu banyak kehilangan waktu. Meskipun guru dan kakeknya tidak akan mempersoalkan apakah ia berhasil atau tidak, tetapi ia memang ingin membuktikan kepada ibunya, bahwa ia adalah seorang laki-laki yang akan dapat berdiri tegak sebagai dirinya sendiri.

Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia tidak sekedar ingin memenuhi perintah ibu dan ayahnya. Tetapi terdorong pula oleh satu keinginan untuk menunjukkan kediriannya. Bahkan dalam sudut hatinya yang terdalam Puguh ingin berkata, “Tanpa kedua orang tuanya itu, Puguh akan dapat tegak berdiri.”

Demikianlah Puguh telah menempuh perjalanan di jalan yang panjang. Jarak yang disebut dekat itu agaknya memang dekat jika dicapai berkuda. Tetapi dengan berjalan kaki, Puguh memerlukan waktu hampir setengah hari.

Tetapi perjalanan itu memberikan kesegaran tersendiri di hati Puguh. Disepanjang perjalanan ia melihat padukuhan-padukuhan yang tenang. Para petani sibuk bekerja disawah. Anak-anak menggembalakan kambing sambil bermain.

Ketika matahari melampaui batas sepenggalah, maka disebuah padukuhan Puguh mendengar perempuan menumbuk padi. Lenguh lembu dikandang dan anak-anak mulai merengek menunggu nasi masak diatas perapian. Puguh menarik nafas dalam-dalam ketika dilihatnya di simpang empat sebuah padukuhan, seorang gadis kecil menggendong adiknya sambil memberinya permainan tangkai daun ketela pohon, gadis kecil yang menggendong adiknya itu seakan-akan tidak menghiraukan ketika melihat Puguh itu lewat. Ia sibuk membuat wayang dari tangkai daun ketela pohon itu.

Puguh tersenyum melihat gadis kecil yang menggendong adiknya yang hampir sama besarnya itu. Tetapi nampaknya gadis kecil itu tidak merasakan berat badan adik yang digendongnya. Nampaknya keduanya asyik bermain dengan tangkai daun ketela pohon itu.

“Ibu dan ayahnya tentu senang melihat keduanya bermain dengan rukunnya,“ berkata Puguh didalam hatinya.

Tetapi Puguh berjalan terus. Rasa-rasanya ia tidak pernah sempat memperhatikan kehidupan yang manis seperti di padukuhan-padukuhan yang sedang dilaluinya itu. Yang diperhatikan selama pengembaraannya kesana- kemari adalah kekerasan dan watak-watak sebagaimana dijumpainya di Song Lawa.

Namun akhirnya Puguh menyadari bahwa ia tidak boleh kehilangan terlalu banyak waktu. Apalagi kemungkinan- kemungkinan lain yang buruk dapat terjadi. Ternyata ada juga orang yang dapat mengenalinya di perjalanan menuju ke Pajang. Jika ia bertemu lagi dengan orang seperti itu, maka ia akan mengalami kesulitan Sebelum ia berhasil menunjukkan kepada ibu dan ayahnya bahwa ia adalah seorang laki-laki menurut ukuran yang diberikan oleh ayah dan ibunya. Membunuh seekor harimau di hutan. Demikian Puguh keluar dari padukuhan itu, maka dikejauhan, diatas cakrawala, Puguh telah melihat bayangan hutan yang ditujunya. Namun nampaknya ia masih akan melalui beberapa padukuhan lagi. sehingga akhirnya ia akan sampai ke sebuah bulak panjang yang berbatasan dengan padang perdu yang agak luas. Padang perdu yang menjadi tempat persiapan perburuan bagi para bangsawan. Di padang perdu itu Ibiasanyai didirikan gubug-gubug kecil untuk menempatkan peralatan dan sekaligus dijadikan dapur untuk memasak bekal bagi para pemburu dan pengikutnya.

Ternyata pengenalan Puguh atas jalan yang dilaluinya sesuai dengan petunjuk guru dan kakeknya cukup tajam. Ia telah melalui jalan sebagaimana diberikan ancar-ancar oleh mereka. Sehingga dengan demikian maka Puguh akan memasuki jalan yang diharapkan memasuki padang

Yang pertama-tama dilihat oleh Puguh demikian ia sampai kepadang perdu adalah sebuah tugu batu yang tidak terlalu tinggi. Ternyata Puguh tidak terlalu sulit untuk menemukan tugu batu itu, karena tugu batu itu letaknya memang tidak terlalu jauh dari jalan setapak yang memasuki padang perdu itu sebagaimana diberitahukan oleh kakeknya, yang telah mengenali tempat itu dengan baik.

Ternyata pada tugu batu itu tidak terdapat tanda apapun juga. Tidak ada lilitan benang lawe atau pertanda janur kuning. Menurut Ki Randu Keling jika pada tugu itu tidak terdapat pertanda apa-apa, maka di hutan itupun tentu tidak terdapat gawar lawe atau janur kuning.

Dengan demikian maka Puguh akan dapat memasuki hutan itu tanpa melanggar paugeran. Namun Puguh tidak segera memasuki hutan itu.

Dipandanginya padang perdu itu dari ujung penglihatannya sampai keujung yang lain. Memang merupakan padang yang tidak terlalu luas yang memisahkan hutan dengan tanah persawahan, sehingga seakan-akan memagari binatang-binatang buas agar tidak berkeliaran ke sawah- sawah apalagi ke padukuhan terdekat.

Ketika Puguh menengadahkan wajahnya kelangit, dilihatnya matahari telah mencapai puncaknya. Agaknya Puguh terlalu lama berada di pasar atau diperjalanannya yang lamban. Apalagi di padukuhan-padukuhan menjelang tengah hari dengan suasana yang khusus, sehingga rasa- rasanya Puguh telah dapat ikut menikmati ketenangan dan ketenteraman hidup. Bukan ketenangan dan ketenteraman yang mati tanpa gerak dan riak dibawah permukaan, karena para petani itupun telah bekerja keras menggarap sawah dan berusaha memberikan kemungkinan- kemungkinan baru bagi sawah dan ladangnya.

Baru sejenak kemudian Puguh telah melangkah mendekati hutan itu. Sepasang pohon raksasa merupakan pintu gerbang masuk kedalam hutan itu. Pohon yang mempunyai ciri tersendiri dan bahkan kadang-kadang dianggap pohon yang sering dihuni oleh mahluk halus.

Pohon randu alas.

Puguh melangkah mendekati sepasang pohon raksasa itu. Ketika ia berdiri diantara keduanya, maka Puguh seakan-akan telah berubah menjadi seorang bajang kecil diantara pepohonan.

Seperti dikatakan oleh kakeknya, maka diantara kedua pohon randu alas raksasa itu juga tidak terdapat gawar lawe atau janur kuning, sehingga hutan itu memang benar- benar sedang terbuka. Ketika Puguh mulai menginjakkan kakinya di tanah yang lembab, ternyata ia menjadi berdebar-debar juga. Hutan itu belum pernah diinjaknya. Namun bukan berarti bahwa Puguh belum pernah keluar masuk hutan. Bersama gurunya ia pernah menempa diri didalam hutan yang lebat. Bersama dua orang pengawalnya iapun pernah berada dihutan beberapa hari untuk menguji ketahanan tubuh dan jiwanya.

Tetapi kini ia akan memasuki hutan itu sendiri. Hutan yang lebat dan menyimpan banyak binatang buas.

Namun ketika ia benar-benar telah memasuki hutan itu, ternyata bahwa didalam hutan itu terdapat sebuah jalan yang tidak terlalu sempit. Nampaknya jalan itu adalah jalan yang dilalui para bangsawan berkuda jika mereka pergi berburu.

Untuk beberapa saat Puguh mengikuti jalan itu. Namun ia sadar bahwa disekitar jalan itu tentu tidak akan terdapat banyak binatang, karena jika jalan itu sering dilalui oleh sekelompok pemburu berkuda, maka binatang-binatangpun akan menjauhinya.

Karena itu, ketika Puguh telah berada semakin dalam, maka iapun telah berusaha untuk mencari jalannya sendiri. Puguh telah menyusup kedalam hutan yang lebat, dibawah sulur-sulur yang bergayutan, melompati batang-batang yang roboh dan kadang-kadang harus meniti batu-batu padas pada tanah yang lembab berair.

Puguh tertegun ketika ia melihat seekor ular hitam yang merayap beberapa langkah dihadapannya. Seperti pesan gurunya disaat-saat ia menempa diri, maka jika ia bertemu dengan seekor ular, maka sebaiknya ia berdiam diri sampai ular itu pergi. Meskipun saat itu ia sudah minum penawar bisa, tetapi sudah tentu lebih baik tidak digigit ular daripada harus mengalami kesakitan oleh gigi-giginya yang tajam melengkung kedalam mulutnya. Apalagi ular sebesar lengannya yang tentu akan dapat menjadi lawan yang berat jika ia harus berkelahi.

Ular itu ternyata meluncur terus dan hilang dibawah sebatang pohon kayu yang telah tumbang dan menjadi lapuk.

Puguh meneruskan langkahnya. Ia mulai merasa perlu menyiapkan pisaunya. Jika binatang dihutan itu pada umumnya mempunyai senjata yang diberikan alam kepadanya, apakah itu gigi, taring atau tanduk atau apapun, maka Puguh memiliki sepasang pisau dan senjata yang paling sulit dikalahkan oleh binatang apapun juga, akal dan penalarannya.

Ketika Puguh melihat beberapa ekor kera bergayutan di pepohonan, maka Puguhpun menyadari, bahwa ia masih jauh dari seekor harimau.

Tetapi Puguh berniat untuk mendapatkan seekor harimau hari itu juga, sebelum gelap malam turun menyelubungi hutan itu.

Dari celah-celah dedaunan Puguh dapat melihat matahari mulai condong. Agaknya bagi Puguh mendapat harimau dihutan lebat itu akan lebih mudah dilakukan di siang hari.

Dengan nalurinya sebagai pengembara, maka Puguh dapat mengetahui bahwa ia berjalan ke arah sebuah mata air didalam hutan itu. Tanah yang semakin basah dan pepohonan yang tampak semakin rimbun dan padat. Di tengah hari seperti itu, biasanya seekor binatang mencari minum di mata air, karena udara terasa menjadi semakin panas, meskipun di bayangan rimbunnya dedaunan dan silirnya angin hutan.

Ternyata perhitungan Puguh benar. Dengan mengenali beberapa jenis pepohonan agar ia tidak tersesat jika ia akan keluar dari hutan itu besok pagi-pagi maka Puguh, telah mendekati sebuah mata air. Mata air yang cukup besar, sehingga didalam hutan itu terdapat sebuah belumbang yang meskipun tidak terlalu besar, tetapi merupakan tempat minum yang baik bagi binatang- binatang liar dihutan itu.

Puguh berniat untuk menunggu di pinggir kolam itu.

Tetapi agar ia sempat makan bekal yang dibawanya, maka iapun telah memanjat sebatang pohon yang tidak terlalu, besar. Duduk diatas sebuah dahan dan membuka sebuah bungkusan yang dibelinya di pasar.

Beberapa saat kemudian Puguh sempat menikmati istirahatnya. Namun iapun mulai memperhatikan seekor kijang yang dengan hati-hati mendekati kolam itu.

Puguh mulai memperhatikan angin. Ternyata ia sudah berada ditempat yang benar karena angin tidak berhembus ke arah kolam itu, yang akan dapat membawa bau keringatnya sehingga mungkin akan membuat seekor binatang liar terutama harimau yang ditunggunya ragu- ragu untuk mendekat.

Puguh tidak ingin mengganggu seekor kijang yang sedang minum itu. Dari atas dahan ia memperhatikan, bagaimana kijang itu nampaknya sangat berhati-hati. Namun Puguh tiba-tiba terkejut ketika beberapa puluh langkah dari padanya, beberapa ekor kera menjerit-jerit sambil bergayutan dengan cepat melintas. Kemudian kijang yang ada di pinggir kolam itupun mengangkat wajahnya dan sejenak kemudian telah berlari masuk ke dalam semak- semak.

Puguh kemudian telah mempersiapkan diri. Meskipun ada kemungkinan lain, seekor ular yang mencari mangsanya dengan mengkaitkan ekornya pada sebatang dahan, namun jika demikian tentu ada pertanda yang lain. Diantara pepohonan tentu ada yang terguncang-guncang karena gerak dan ayunan kepala ular itu. Sementara itu bau ular agaknya jauh lebih tajam dari bau seekor harimau.

***

Sementara Puguh sedang menunggu, di atas dahan sebatang pohon di hutan, Ki Randu Keling tengah berbicara secara khusus dengan Warsi di persembunyiannya.

“Aku menyesal dengan caramu menguji kem ampuan anakmu,“ berkata Ki Randu Keling, “tetapi aku tidak dapat mencegahnya. Anak itu mempunyai harga diri yang tinggi. Jika ia tahu aku mengasihani, maka ia tentu akan marah.”

“Kenapa anak itu harus dikasihani?“ bertanya Warsi, “bagiku, pendadaran itu a dalah cara yang paling pantas untuk mengukur kemampuannya sebagai seorang laki-laki yang menginjak dewasa.”

“Aku belum pernah melihat seorang ibu yang mengukur kemampuan anaknya yang menginjak dewasa dengan cara ini. Anak itu memang mungkin berhasil. Tetapi mungkin akan mati di mulut seekor harimau yang garang. Kenapa kau tidak menakar ilmunya di sanggar. Bukankah kau sudah menjadi semakin baik, sehingga akan mampu menjajagi kemampuan anak itu?“ bertanya Ki Randu Keling.

“Jika anak itu mati karena taring seekor harimau, aku tidak menyesal. Dengan demikian maka. Sudah sepantasnya ia mati jika ia tidak dapat memenangkan pertarungan dengan harimau itu,“ berkata Warsi kemudian.

“Jika bukan oleh harimau. Anak itu mati digigit ular atau sejenis binatang lain?“ bertanya Ki Randu Keling yang tidak mengatakan bahwa ia sudah memberikan obat penawar racun dan bisa.

“Itu termasuk rangkaian pendadaran,“ berkata Warsi.

“Karena itulah maka pendadaran yang kau berikan itu sebenarnyalah tidak masuk akal,“ berkata Ki Rand u Keling.

“Tetapi Puguh masih mempunyai pilihan. Memecahkan pendadaran itu dan berhasil atau sama sekali melepaskan diri dari rangkaian pendadaran itu dengan akibatnya masing-masing. Sedangkan aku dimasa kecilku, sama sekali tidak ada pilihan selain hidup dalam bayangan kekerasan, maut dan peristiwa yang lebih getir lagi yang pernah aku alami semasa aku masih seorang gadis yang menginjak usia dewasa. Aku hidup diantara iblis-iblis yang buas dan garang. Namun aku tidak mau menyerah. Aku berhasil keluar dari neraka itu,“ berkata Warsi.

Tetapi Ki Randu Keling menyahut, “Kau memang keluar dari neraka itu dan menciptakan neraka yang lain bagi anak kandungmu sendiri.”

“Ia harus menjadi seorang laki -laki. Tidak seperti benih yang menurunkannya. Ayahnya adalah seorang pengecut dan licik. Bukan seorang laki-laki seperti yang aku sangka. Ia lebih cenderung seperti seorang perempuan yang hanya dapat mematut wajahnya,“ geram Warsi, “Namun anak itu harus lain atau tidak ada sama sekali. Meskipun benihnya benih yang buruk, tetapi jika ia mendapat tempaan yang baik, maka setidak-tidaknya ia akan menjadi seorang anak yang pantas.”

“Kau dibayangi oleh dendam dan kecewa. Jika kau mengalami masa-masa yang suram diumur remajamu, seharusnya kau mau bercermin. Orang lain tentu akan mengalami sebagaimana kau sesalkan itu jika ia harus hidup dalam masa-masa suram sebagaimana masa remajamu. Seharusnya kau sadari bahwa masa-masa seperti itu harus dihindari agar tidak setiap orang juga mengindap dendam didalam hatinya sebagaimana kau,“ berkata Ki Randu Keling.

“Tetapi karena itu maka aku menjadi seorang yang berilmu tinggi. Tanpa penderitaan hidup, maka seseorang akan menjadi terlalu manja dan tidak akan bersedia menempa dirinya dengan sungguh-sungguh,“ berkata Warsi.

“Sementara itu orang lain bersikap lain, justru karena ia mengalami masa-masa yang pahit dimasa mudanya, maka ia tidak memperlakukan orang lain sebagaimana ia diperlakukan,“ berkata Ki Randu Keling.

“Hanya orang -orang cengeng yang berbuat demikian.

Tetapi jika seseorang tidak mengalami tempaan jiwa maupun wadagnya, maka ia akan menjadi keledai yang paling bodoh didunia ini,“ berkata Warsi.

“Aku tidak percaya,“ jawab Ki Randu Keling. “Aku bukan saja percaya. Tetapi aku sendiri mengalaminya,“ jawab Warsi.

“Kau akui tid ak kelebihanku? Apakah aku bukan seseorang yang berilmu, apakah itu terhitung tinggi atau rendah?“ bertanya Ki Randu Keling.

Warsi termangu-mangu sejenak. Sementara itu Ki Randu Keling berkata selanjutnya, “Aku bukan kanak -kanak yang dimasa kecilku menderita seperti kau. Tetapi aku juga bukan keledai yang paling bodoh.”

Warsi terdiam. Ia tidak dapat membantah keterangan Ki Randu Keling itu. Dan iapun tidak dapat ingkar bahwa Ki Randu Keling memang seorang yang berilmu tinggi.

“Dimasa dewasamu kau juga me ngalami kekecewaan dalam perkawinanmu dengan pewaris Tanah Perdikan Sembojan itu. Nampaknya kau memang tidak akan menemukan kebahagiaan perkawinan sebagaimana kebanyakan perempuan,“ berkata Ki Randu Keling. Bahkan dilanjutkannya, “Nampaknya kau lebih senan g hidup dengan laki-laki seperti sekarang ini.”

Wajah Warsi menjadi merah. Katanya, “Aku memang seorang perempuan yang liar. Anakkupun harus menjadi liar.”

“Aku tahu kau mempunyai darah keturunan orang -orang liar. Kau boleh menjadi liar. Tetapi kenapa kau mendendam kepada anak yang kau lahirkan sendiri. Anak yang lahir justru karena nafsumu melihat wajah seorang laki-laki tampan, bahkan saat itu Wiradana sudah beristri,“ berkata Ki Randu Keling. “Itulah pertanda bahwa laki -laki itu adalah laki-laki yang lemah lahir dan batinnya. Meskipun sudah beristeri tetapi ia masih juga menanggapi senyum perempuan lain. Bahkan laki-laki itu telah bersedia membunuh isterinya yang sedang mengandung. Bukankah itu laki-laki berhati iblis? Nah, apakah aku harus setia kepada laki-laki seperti itu? Apalagi laki-laki itu sudah mati,“ sahut Warsi dengan nada tinggi.

Tetapi pertanyaan Ki Randu Keling kemudian telah mengejutkan Warsi, “Kenapa suamimu itu mati?”

Jantung Warsi memang menjadi berdebaran. Ia tidak dapat ingkar kepada dirinya sendiri akan sebab kematian Ki Wiradana itu. Namun Warsi hanya menggeretakkan giginya saja.

“Baiklah,“ berkata Ki Randu Keling kemudian, “aku berbicara lebih terbuka karena kau adalah keluargaku sendiri. Aku tidak akan berbicara seperti itu, jika kau dan Puguh tidak mempunyai sumber aliran darah yang sama seperti aku. Kau sangka aku bukan laki-laki yang liar.

Tetapi aku masih sempat berpikir bahwa sebaiknya aku tidak menjebak orang lain dalam satu kehidupan yang gelap seperti kehidupanku sendiri. Apalagi orang itu adalah keluargaku sendiri. Biarlah aku mengalaminya. Tetapi kenapa orang lain juga harus mengalami jika ia memang mempunyai kemungkinan lain?”

Warsi sama sekali tidak menjawab. Hatinya bergejolak sedangkan darahnya seakan-akan mengalir lebih cepat. Tetapi ia tidak berani berbuat kasar terhadap Ki Randu Keling, karena Warsi tahu pasti tentang orang tua itu.

Meskipun kadang-kadang ia bersikap ramah, namun pada suatu saat ia dapat bersikap lain kepada siapapun juga.

Juga sudah barang tentu terhadap dirinya. “Warsi,“ Ki Randu Keling menjadi semakin ber sungguh- sungguh, “semula aku memang ingin mem bantumu. Tetapi aku bukan orang yang tidak berperhitungan. Bukan orang yang tidak mau melihat kenyataan. Karena itu sikap kita jadi berbeda. Sekali lagi aku katakan bahwa kau adalah keluargaku. Karena itu aku masih juga berusaha menyelamatkannya. Memberimu nasehat dan aku akan merasa beruntung sekali, jika kau mau mendengar nasehatku. Tetapi kau bukan kanak-kanak. Kau sudah cukup berumur, sehingga kau sudah-mampu membuat pertimbangan-pertimbangan yang dapat kau pertanggung- jawabkan.”

Warsi masih tetap berdiam diri meskipun hatinya mengumpat-umpat. Satu-satunya keinginannya saat itu adalah, bahwa Ki Randu Keling berhenti berbicara.

Tetapi ternyata Ki Randu Keling masih berbicara lagi, “Warsi. Kali ini aku masih membiarkan kau perlakukan anakmu dengan sewenang-wenang. Tetapi jika batas kesabaranku kau lampaui, maka aku akan melakukan sesuatu. Katakan kepada laki-laki yang sekarang kau anggap sebagai suamimu itu. Ia memang bekas seorang perwira di Jipang. Tetapi kemampuannya tidak lebih dari sebutir debu yang diterbangkan angin meskipun orang itu merasa mampu meruntuhkan bukit dan mengeringkan lautan.”

Warsi masih tetap berdiam diri meskipun hatinya ber- teriak mengumpat-umpat.

Namun akhirnya Ki Randu Keling terdiam juga. Bahkan kemudian Ki Randu Keling itu telah kembali ke dalam biliknya. Tetapi ia masih sempat berkata, “Warsi. Sampai sekarang, kau masih tetap aman dalam persembunyianmu ini. Aku masih tetap melindungi keberadaanmu disini.” Warsi menyadari sepenuhnya bahwa yang dikatakan oleh Ki Randu Keling itu adalah satu ancaman. Namun Warsi tidak juga menjawabnya. Ia tahu benar, jika Ki Randu Keling dalam keadaan yang demikian, dan ia masih saja membantahnya, maka orang tua itu akan dapat berbuat sesuatu yang akan sangat merugikannya. Apalagi ia masih berada dalam perawatannya. Ia masih mendapat obat-obatan dari Ki Randu Keling itu.

Namun demikian Ki Randu Keling meninggalkannya, maka Warsi itupun telah berlari ke halaman tertutup dibelakang rumahnya. Diurainya rambutnya, senjata yang diandalkannya itu. Diputarnya rantainya seperti baling- baling. Kemudian ditebasnya pepohonan yang ada di halaman itu untuk melepaskan sesak dihatinya.

Beberapa pohon telah roboh. Sementara itu, suara desing anginnya mengaum seperti sendaren.

Ki Randu Keling dan Ki Ajar Paguhan mengerti apa yang dilakukan oleh Warsi. Tetapi keduanya tidak keluar dari dalam biliknya. Bahkan Ki Randu Keling sangat mengeluh, “Aku hampi r menjadi putus asa. Nampaknya Warsi telah mengeraskan hatinya sebagai batu.”

Ki Ajar Paguhan hanya mengangguk-angguk saja. “Sejak masa kanak -kanaknya ia hidup dalam suasana

yang keras, kasar dan bahkan liar. Sudah terlambat untuk

merubah watak dan sifat-sifatnya itu, meskipun masih ada satu-satunya jalan.”

“Apa?“ bertanya Ki Ajar. “Membunuhnya,“ jawab Ki Randu Keling, “tetapi aku masih belum sampai pada kesimpulan itu.”

Ki Ajar tidak banyak dapat mencampurinya, karena Warsi adalah keluarga Ki Randu Keling. Bahkan Ki Randu Keling telah dengan susah payah mengambilnya dari arena pertempuran sampai dua kali, merawatnya dan mengobatinya sampai sembuh. Namun agaknya yang terakhir, Ki Randu Keling memerlukan banyak waktu dan kemampuannya tentang obat-obatan yang harus diberikan untuk menyembuhkan Warsi. Namun Ki Randu Keling tetap ragu-ragu, apakah ia dapat memulihkan Warsi.

Sementara itu, di halaman belakang, perempuan yang merawatnya, yang masih mempunyai hubungan darah itu, telah mendekatinya. Dengan lembut perempuan itu berkata, “Kau belum sembuh benar Warsi.”

“Aku tidak peduli,“ geramnya, “Aku ingin menunjukkan bahwa aku mampu melakukan apa saja. Kekuatan dan ilmuku telah pulih kembali dan aku sudah siap untuk berperang tanding dengan perempuan cengeng dari Sembojan itu.”

Perempuan yang merawatnya itu menggeleng sambil berkata, “Belum Warsi. Kau masih memerlukan waktu. Kau tidak boleh lupa diri dan kehilangan akal seperti itu. Jika kau terus mematahkan pepohonan itu, maka tentu akan menarik perhatian tetangga-tetangga kita. Mungkin hal itu akan dapat merugikan kedudukanmu disini.”

Ternyata Warsi masih mampu menerima keterangan itu dengan nalarnya. Karena itu, maka iapun telah berhenti memutar rantainya. Namun rasa-rasanya dadanya bagaikan telah terhimpit oleh batu padas dari bukit. Perempuan yang masih kadangnya itu kemudian telah mendekatinya dan kemudian membimbingnya masuk ke dalam biliknya.

“Minumlah. Aku membuat minuman hangat bagimu,“ berkata perempuan itu.

Warsi telah mengangkat mangkuk itu dan meneguknya. Sekedar membasahi bibirnya yang terasa menjadi kering.

Sejenak kemudian perempuan itu telah meninggalkan Warsi sendiri didalam biliknya.

Dalam kesendiriannya, sifat seorang perempuan pada Warsi seakan-akan mendesak untuk muncul kepermukaan. Tetapi Warsi yang menganggapnya sebagai satu kelemahan telah bertahan untuk tidak menangis. Tetapi justru giginyalah yang gemeretak bahkan hampir patah.

***

Pada saat yang demikian, Puguhpun telah mengatupkan giginya rapat-rapat. Seekor harimau benar-benar telah muncul mendekati kolam itu. Nampaknya seekor harimau yang kehausan.

“Satu kesempatan,“ berkata Puguh didalam hatinya, “seekor harimau yang malang. Tetapi aku harus membunuhnya jika aku tidak mau diusir seperti seekor anjing oleh ibuku sendiri. Meskipun itu bukan akhir dari segala macam permainan hidup ini.”

Dengan hati-hati Puguh mempersiapkan diri. Ia harus menyerang harimau itu lebih dahulu untuk dapat menempatkan dirinya dengan mapan. Tetapi ia harus menjaga agar harimau itu tidak terkejut dan melarikan diri. Untuk menunggu kesempatan berikutnya, agaknya ia memerlukan waktu yang agak panjang. Jika kemudian malam turun, maka ia akan menjadi semakin sulit untuk mendapatkan seekor harimau sebagaimana yang harus dilakukannya dalam pendadaran itu.

Ketika harimau itu sudah berada di pinggir kolam maka Puguhpun telah bersiap-siap untuk meloncat turun. Namun sebelumnya ia telah melepaskan ikat kepalanya dan membalut lengan kirinya dengan ikat kepalanya itu.

Tetapi Puguh masih menunggu. Baru setelah harimau itu benar-benar minum, Puguh telah turun dari pohon dan mengambil ancang-ancang jiwani untuk menerkam harimau yang sedang minum itu.

Dengan sangat hati-hati Puguh berjingkat mendekat. Ternyata bahwa ia tidak mempergunakan kedua pisau belatinya. Ia memerlukan tangan kirinya yang bebas.

Hanya tangan kanannya sajalah yang telah menggenggam pisau belati panjangnya.

Telinga seekor harimau adalah telinga yang mempunyai daya pendengaran yang sangat tajam. Sebelum Puguh berdiri terlalu dekat, harimau itu agaknya telah mendengar kehadirannya. Karena itu, maka harimau itu telah mengangkat kepalanya. Bahkan kemudian mengaum menggetarkan jantung.

Tetapi Puguh tidak ingin kehilangan harimau itu.

Meskipun ia belum pernah berhadapan dengan seekor harimau, namun ia telah mendapatkan beberapa petunjuk. Karena itu, maka Puguhlah yang kemudian meloncat justru kepunggung harimau itu. Tangan kirinya berpegangan leher harimau itu kuat- kuat. Sebelum harimau itu sempat berbuat sesuatu, maka pisau di tangan kanan Puguh telah menghunjam ke bahu depan harimau itu. Menurut keterangan gurunya, harimau yang terluka dibahu kaki depannya tidak akan mampu berlari cepat, karena kaki depannya tidak lagi mampu menahan berat tubuhnya yang condong kedepan disaat harimau itu berlari.

Tetapi harimau itu tidak mudah menyerah. Demikian terasa tusukan pisau belati ditubuhnya, harimau itu menjadi bagaikan gila. Dengan garangnya harimau itu berusaha untuk melemparkan Puguh dari punggungnya. Sambil mengaum marah, seakan-akan telah menggetarkan seluruh pepohonan dan dedaunan didalam hutan itu, harimau itu melonjak-lonjak dan bahkan kemudian telah berguling- guling ditanah.

Puguh berusaha bertahan dipunggung harimau itu.

Tangan dan kakinya telah melingkari tubuh harimau yang marah itu. Bahkan sekali-sekali Puguh telah berusaha untuk menikam leher harimau itu dengan pisau belatinya.

Tetapi harimau itu justru bergerak lebih garang. Sekali meronta kemudian menjatuhkan diri dan berguling.

Mengaum dengan dahsyat, bahkan meloncat seperti menerkam mangsanya.

Namun Puguhpun berpegangan semakin erat dengan sebelah tangan dan kedua kakinya yang melingkar diperut harimau itu, sehingga seakan-akan telah melekat menyatu dipunggungnya.

Beberapa saat keduanya bergumul. Meskipun darah telah mengalir dari beberapa luka pada tubuh harimau itu, tetapi harimau itu masih tetap garang. Bahkan tubuh Puguhpun telah terluka pula disaat tubuh yang melekat dipunggung itu membentur batu-batu padas dan pepohonan ketika harimau itu berguling-guling.

Suatu ketika harimau itu melenting tinggi, jatuh kembali ditanah langsung berguling beberapa kali. Tubuh itu baru berhenti ketika menghantam sebatang pohon yang besar justru menghimpit tubuh Puguh.

Puguh berteriak marah ketika terasa tulang-tulangnya bagaikan berpatahan. Bahkan tangan dan kakinya telah terlepas dari pegangannya sehingga ketika harimau itu menggeliat dan meronta, Puguh terlepas dari punggungnya.

Dengan tangkas Puguh melenting berdiri meskipun tubuhnya terasa sakit sekali. Namun ia bergeser selangkah surut ketika disadarinya pisaunya terlepas dari tangannya.

Harimau yang marah itu telah berdiri pula. Luka ditubuhnya mengucurkan darah semakin banyak. Terutama di bahu kaki depan harimau itu.

Sejenak harimau itu merendah. Puguh telah bersiaga pula sepenuhnya. Ia tidak dapat memungut pisaunya yang jatuh justru didepan harimau yang marah itu. Namun Puguh masih mempunyai sebilah pisau lagi. Sehingga karena itu, maka sejenak kemudian di tangannya telah tergenggam lagi sebuah pisau belati.

Harimau yang marah itupun sesaat kemudian telah meloncat menerkam Puguh. Namun Puguh yang terlatih menguasai tubuhnya itu telah menjatuhkan diri dan berguling kesamping, sehingga terkaman harimau itu luput. Namun harimau itu tidak tinggal diam. Sambil mengaum keras sekali harimau itu mencoba untuk menggapai tubuh lawannya dengan kukunya.

Tetapi nampaknya harimau itu mulai kesakitan. Ia tidak dapat bergerak cepat. Setiap kali harimau itu kehilangan keseimbangannya, apalagi jika berat badannya condong kedepan.

Namun mulutnya yang menganga telah menggetarkan jantung Puguh. Dengan lengannya yang telah dibalut dengan ikat kepalanya yang tebal Puguh menahan mulut harimau itu, sementara pisaunya telah menembus kulit harimau yang kuat itu.

Kedua-duanya telah menjadi marah dan menghentakkan kekuatan mereka. Pisau itu beberapa kali menembus bagian dada dan leher harimau itu. Juga sasaran yang dianggap penting oleh Puguh adalah bahu kaki depan harimau itu sebelah-menyebelah.

Namun akhirnya tenaga Puguhpun bagaikan terkuras habis. Harimau mempunyai daya tahan berlipat ganda dari manusia. Tusukan-tusukan Puguh itu tentu sudah dapat membunuh tiga atau empat orang. Tetapi harimau itu masih menggeram.

Ketika kepala Puguh menjadi pening dan nafasnya bagaikan terputus dikerongkongan, maka Puguh telah berusaha menghentakkan dirinya, melepaskan diri dari libatan perkelahiannya dengan harimau itu. Beberapa saat ia sempat memandangi mata harimau yang bagaikan menyala dan merunduk siap menerkamnya. Tetapi Puguh sudah menjadi demikian lemahnya.

Meskipun demikian, Puguh tidak melepaskan pisau belatinya. Ia telah menggenggam pisaunya yang kedua itu dengan eratnya, bahkan seakan-akan telah melekat di telapak tangannya. Ia tidak mau kehilangan lagi senjatanya itu.

Dengan tubuh gemetar Puguh hanya dapat menunggu harimau itu meloncat menerkamnya dan kemudian gigi- giginya yang tajam itu mengoyak kulit dagingnya. Ikat kepala dilengannyapun telah terkoyak-koyak pula dan bahkan telah terurai berhamburan, bahkan kulit lengannya- pun telah terluka pula oleh gigi-gigi harimau yang berhasil menembus ikat kepalanya yang dibalutkan pada lengannya itu.

Tetapi ternyata harimau itu tidak segera menerkamnya. Dengan mata yang mulai berkunang-kunang Puguh melihat harimau itu memang bergerak untuk berdiri. Tetapi kakinya tidak lagi mampu menahan tubuhnya, sehingga akhirnya harimau itu telah terjatuh pula.

Puguh menarik nafas dalam-dalam. Tanpa disadarinya, tiba-tiba saja ia mengucap sukur. Ia merasa berterima kasih kepada kekuatan yang tidak dikenalnya yang ada diluar dirinya, yang seakan-akan telah menyelamatkannya dari kuku-kuku dan taring harimau yang ganas itu.

Namun tubuh Puguh itu telah menjadi terlalu lemah ketika harimau itu menggeram. Namun suaranya tidak lagi menunjukkan kegarangannya. Bahkan harimau itu seakan- akan tengah merintih sebagaimana Puguh.

Dengan kekuatan terakhirnya Puguh tertatih-tatih mendekati kolam yang tidak begitu jauh. Namun ia terjatuh beberapa langkah sebelum ia mencapai kolam itu. Tetapi Puguh tidak mau menjadi pingsan. Ia merangkak dengan hentakkan kekuatannya yang tersisa, sehingga akhirnya Puguh itupun mencapai tepi kolam yang airnya ternyata bening.

Puguh masih bergeser mendekat. Dengan tangannya Puguh menyenduk air dari kolam itu dan meminumnya. Seteguk demi seteguk.

Beberapa saat Puguh kemudian telah merangkak pula dan berusaha untuk bersandar pada sebatang pohon.

Ternyata bahwa beberapa teguk air itu telah membuat tubuhnya menjadi lebih kuat bertahan. Meskipun pandangan matanya masih kekuning-kuningan dan kabur, namun Puguh tetap sadar sepenuhnya. Pisaunya telah digenggamnya lagi dengan tangannya yang basah. Namun tubuh puguhpun telah pula karena keringat dan darah.

Angin yang sejuk telah bertiup di hutan itu. Terasa kulitnya bagaikan diusap oleh segarnya udara lembab didalam hutan.

Dengan demikian, maka pandangan mata Puguhpun menjadi semakin terang. Harimau yang telah berkelahi melawannya itu sudah tidak bernafas lagi.

Perlahan-lahan Puguh seakan-akan telah mendapatkan sebagian kekuatannya kembali. Karena itu, maka iapun telah kembali merangkak ke belumbang dan minum agak lebih banyak lagi, meskipun ia sadar, bahwa ia tidak boleh memenuhi tanpa perhitungan keinginannya untuk minum karena lehernya terasa menjadi sangat kering.

Setelah terasa tubuhnya semakin baik, maka Puguh telah berusaha mengobati luka-lukanya. Dilengan, dada dan pahanya. Namun Puguh tidak dapat mengobati sendiri luka-luka dipunggungnya. Tetapi agaknya luka-luka dipunggungnya karena benturan-benturan batu padas dan pepohonan saat harimau itu berguling-guling dan meronta-ronta tidak terlalu banyak mengalirkan darah. Namun terasa pedihnya bukan main, karena keringatnya yang bagaikan terperas dari tubuhnya itu.

“Puguh memang memerlukan waktu untuk beristirahat. Karena itu, maka iapun telah duduk lagi bersandar pohon sambil menunggui tubuh harimau yang akan dipergunakannya sebagai bukti bahwa ia berhasil melalui tahap pendadaran yang berat.

Namun terasa kebenciannya kepada kedua orang tuanya justru telah melonjak didalam jantungnya. Puguh sadar, bahwa ia tidak boleh bersikap seperti itu. Kakeknya selalu memberinya petunjuk, bagaimanapun juga ia tidak boleh membenci orang tuanya, terutama ibunya yang telah melahirkannya dengan mempertaruhkan nyawanya. Karena seorang ibu kadang-kadang harus melepaskan nyawanya disaat melahirkan.

Tetapi Puguh merasa sangat sulit untuk mengingkari gejolak perasaannya itu. Bahkan ia menduga, bahwa kedua orang tuanya dengan sengaja telah menjerumuskannya agar ia mati dibunuh oleh seekor harimau di hutan yang masih garang itu.

Puguh yang merasa luka-lukanya menjadi sangat pedih itu mengeluh. Bukan karena rasa sakit. Tetapi ia menyesali sikap kedua orang tuanya itu terhadapnya.

“Untunglah kakek dan guru bersikap sangat baik kepadaku, sehingga rasa-rasanya hidupku tidak sia-sia,“ berkata Puguh kepada dirinya sendiri. Namun tiba-tiba saja timbul pertanyaan yang lain, “Apakah yang telah aku lakukan sehingga hidupku tidak sia-sia? Apakah aku telah memberikan arti pada hidup ini?

Puguh memandang bangkj harimau yang terkapar di hadapannya. Ia tidak mengerti, kenapa ia harus membunuh harimau itu untuk sekedar memberikan kepuasan kepada kedua orang tuanya.

Puguh itu bagaikan terhentak dari angan-angannya ketika ia mendengar suara burung-burung buas yang hinggap diatas dahan-dahan pohon hutan. Iapun segera menyadari bahwa bau darah, darah harimau itu dan barangkali juga darahnya sendiri telah memanggil burung- burung itu.

Sementara itu kekuatan Puguh telah mulai tumbuh kembali meskipun belum pulih sama sekali. Perlahan-lahan ia bangkit. Menyisipkan pisau di rangkanya. Demikian pula ia sempat memungut pisaunya yang satu lagi. Bahkan Puguh sempat mengambil sisa bekalnya dibawah pohon tempat ia memanjat, ia meletakkannya sesaat sebelum ia merunduk harimau yang sedang minum itu.

Untuk memulihkan kekuatannya, maka Puguh telah makan makanan yang dibelinya di pasar saat ia berangkat ke hutan itu. Kemudian meneguk lagi air yang bening di kolam.

Rasa-rasanya kekuatannya menjadi semakin membaik. Karena itu sambil membawa bangkai harimau yang telah dibunuhnya.

Tetapi bangkai harimau itu sangat berat. Jika ia menyeret bangkai harimau itu, maka iapun akan mendapat banyak kesulitan, karena di perjalanan keluar dari hutan itu, ia harus meloncati batang-batang pohon yang roboh, bahkan meniti dahan-dahannya yang malang melintang. Kemudian bergayut pada sulur-sulur yang bergantungan di pepohonan atau sekali-sekali justru harus merangkak dibawah pokok pepohonan yang tumbang.

Puguh memang mencobanya beberapa puluh langkah.

Tetapi memang terlalu sulit. Untuk memanggulnya, ternyata terlalu berat, apalagi kekuatannya masih belum pulih sama sekali.

Puguh telah mencobanya untuk mengikat harimau dengan sulur-sulur yang dipotongnya dengan pisaunya. Tetapi masih juga tidak dapat dilakukannya.

Sementara itu, matahari menjadi semakin rendah. Puguh tidak ingin kemalaman ditengah-tengah hutan itu. Tentu tidak akan menyenangkannya. Sementara tubuhnya masih terlalu lemah untuk hidup diantara berjenis-jenis binatang yang diantaranya binatang buas.

Akhirnya Puguh telah mengambil keputusan untuk membawa sekedar bukti bahwa ia memang telah membunuh seekor harimau. Ia tidak merasa perlu untuk membawa bangkai harimau itu seutuhnya.

Puguhpun kemudian telah memotong kepala harimau itu beserta ekornya. Diikatnya kepala dan ekor harimau itu dengan sulur yang kuat. Kemudian dibawanya kepala harimau itu keluar dari hutan.

Dengan mengenali pertanda-pertanda yang diingatnya saat ia memasuk hutan itu, maka iapun telah sampai ke jalan yang agaknya disiapkan bagi para bangsawan jika berburu sambil berkuda. Dengan demikian maka Puguh tidak akan lagi tersesat.

Beberapa saat kemudian, Puguh telah keluar dari hutan yang memang dibiarkan lebat dan liar itu oleh para bangsawan Pajang sebagai tempat untuk mengisi kegiatan yang merupakan kegemaran mereka. Berburu.

Ternyata langit telah mulai redup. Matahari menjadi semakin rendah dan telah pula hinggap dipunggung pebukitan. Puguh berjalan dengan lemahnya menuju ketempat yang disepakati. Besok pagi-pagi ayah dan gurunya akan datang membuktikan apakah ia berhasil atau tidak.

Menyusuri hutan perdu yang tidak terlalu luas, maka Puguhpun sampai ketempat yang disebut oleh kakek dan gurunya. Sebuah gumuk kecil dengan beberapa batang pohon yang besar, sehingga gumuk kecil itu seakan-akan merupakan sebuah hutan terpjsah yang sangat sempit.

Di gumuk kecil itupun terdapat berbagai macam binatang hutan yang sempat menyeberangi padang perdu. Bahkan seekor harimau sering berada di hutan kecil itu.

Tetapi binatang buas seperti harimau tidak akan betah tinggal di hutan sempit itu, karena akan segera merasa haus dan lapar. Di gumuk itu tidak terdapat mata air.

Puguhlah yang kemudian naik gumuk kecil itu. Malam itu ia akan bermalam diatas gumuk itu. Ia harus memanjat sebatang pohon yang agak besar agar ia tidak mengalami kesulitan jika dimalam hari seekor harimau yang tersesat sampai ke gumuk itu, atau terpanggil oleh angin yang membawa bau darahnya meskipun ia sudah mencuci tubuhnya di belumbang. Tetapi ia memang agak tergesa- gesa sehingga tentu belum bersih benar. Ketika matahari terbenam, Puguh memang memanjat sebatang pohon. Mencari dahan yang baik untuk beristirahat malam itu dan mengikat bukti keberhasilannya pada dahan itu pula.

Puguh memang merasa beruntung bahwa ia membawa bekal yang dibelinya di pasar, sehingga ia tidak merasa kelaparan ketika semalam ia bertengger diatas dahan.

Apalagi Puguh hampir semalam suntuk tidak dapat tidur. Ia tidak ingin tergelincir dari atas dahan. Namun tubuhnyapun serasa menjadi gatal seluruhnya.

Dalam kegelisahannya, maka Puguh rasa-rasanya telah bertahun-tahun menunggu matahari terbit di timur.

Ketika langit menjadi merah, Puguh merasa bahwa penderitaannya itu akan berakhir. Ia akan dapat segera turun dari pohon itu dan menunggu di sebelah gumuk. Gurunya dan ayahnya akan datang. Ia akan dengan bangga menunjukkan, bahwa ia telah berhasil membunuh seekor harimau sebagaimana dituntut oleh orang tuanya.

Demikian matahari terbit, maka Puguh telah berada ditempat yang disebut-sebut oleh guru dan kakeknya. Ia tinggal menunggu dengan tenang, karena ia sudah berhasil.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, Puguh menjadi semakin gelisah. Ia mulai menjadi rag-ragu, apakah ayahnya itu akan datang bersama gurunya.

Tetapi akhirnya Puguh itupun melihat dua orang yang berjalan mendekati tempat itu. Puguhpun segera mengenal bahwa kedua orang itu adalah alyah dan gurunya. Ternyata mereka benar-benar datang ditempat yang telah ditentukan.

Dengan wajah yang cerah, meskipun kekuatannya masih belum pulih benar, Puguh menyongsong mereka.

Sementara itu gurunyapun telah mempercepat langkahnya, bahkan mendahului Ki Rangga.

“Bagaimana dengan kau Puguh?“ bertanya gurunya dengan serta merta.

Puguh tersenyum. Sebelum ia menjawab gurunya telah meraba tubuh puguh yang dipenuhi dengan goresan- goresan luka. Goresan kuku dan gigi harimau serta goresan batu-batu padas dan pepohonan disaat ia melekat dipunggung harimau yang meronta-ronta dan berguling- guling ditanah serta membentur batu-batu padas dan batang-batang kayu di hutan.

“Kau terluka?“ bertanya gurunya.

“Ya Guru,“ jawa b Puguh. Namun kemudian sambil tersenyum pula ia menunjuk kepada kepala seekor harimau beserta ekornya yang diikatnya dengan sulur, “Aku berhasil Guru.”

Gurunya mengerutkan keningnya. Namun iapun tertawa pula sambil berkata, “Aku percaya bahwa kau akan berhasil.”

Ketika kemudian Ki Rangga berdiri disisinya, Ki Ajar itu berkata, “Lihat Ki Rangga. Anakmu berhasil.”

Ki Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia bertanya, “Dimana tubuh harimau itu?” “Di hutan ayah. Terlalu berat untuk membawanya, sementara tubuhku masih sangat lemah. Luka-lukaku mengalirkan darah dan rasa-rasanya tulang-tulangku berpatahan.” jawab Puguh.

Puguh menjadi berdebar-debar ketika ia melihat wajah laki-laki yang dikiranya ayahnya itu. Nampaknya Ki Rangga tidak puas melihat hasil buruan Puguh. Dengan nada rendah ia berkata, “Kau memang malas sekali. Kenapa tidak kau bawa harimau itu dalam keadaan yang utuh?”

“Sudah aku katakan ayah. Tubuhku terlalu lemah setelah aku berkelahi dengan harimau itu,“ jawab Puguh.

“Tetapi dengan de mikian ada kemungkinan lain. Kau menemukan seekor harimau yang mati karena sebab lain, sehingga tubuhnya menunjukkan bahwa harimau itu mati bukan karena kau,“ berkata Ki Rangga.

Namun yang menjawab adalah Ki Ajar, “Itu tidak mungkin. Kau jangan mencari-cari alasan untuk mengurangi nilai pendadaran anakmu itu.”

“Tetapi anak itu harus mendapat peringatan karena kemalasannya. Seandainya ia benar membunuh harimau itu, maka bukan sifat seorang laki-laki untuk mengambil jalan pintas yang paling mudah. Dalam hal ini memotong kepala harimau itu.”

“Aku membawa kepala dan ekornya,“ berkata Puguh. “Itu tidak kami kehendaki. Sekarang kau harus

mengambil tubuh harimau itu, atau kami nyatakan pendadaranmu gagal. Dan kau tahu akibat dari kegagalan pendadaranmu kali ini,“ geram Ki Rangga. “Tidak,“ Ki Ajar pun menjadi marah, “itu tidak perlu.

Puguh tidak perlu mengambil tubuh harimau itu. Bukti yang diberikannya sudah cukup. Jika kau masih berniat untuk memaksanya mengambil tubuh harimau itu, maka Puguh akan segera mendengar sebab dari sikapmu itu atasnya.”

Wajah Ki Rangga menjadi merah. Ia sadar, bahwa Ki Ajar Paguhan telah mengancamnya akan mengatakan hubungannya yang sebenarnya dengan Puguh.

Namun betapapun kemarahan menghentak-hentak didadanya, tetapi Ki Rangga harus berpikir ulang untuk mengambil langkah-langkah terhadap Ki Ajar. Meskipun ia tidak menunjukkan kelemahannya dihadapan Ki Randu Keling saat itu, ketika Ki Randu Keling mengatakan kepadanya, bahwa Ki Ajar itu akan dapat membunuhnya, namun sebenarnyalah hatinya merasa kecut juga menghadapi Ajar itu.

Karena itu, maka Ki Rangga tidak memaksanya.

Katanya, “Baiklah jika Ki Ajar sebagai gurunya percaya dan yakin akan keberhasilannya. Sudah tentu Ki Ajar tidak ingin menyesatkan kesan atas kemampuan muridnya.”

“A ku yakin akan kemampuannya,“ jawab Ki Ajar.

Namun Ki Rangga masih bertanya, “Dengan apa kau memotong kepala harimau itu?”

Puguh memang ragu-ragu. Namun Ki Ajarlah yang menjawab, “Ia membawa pisau.”

“Kenapa ia bersenjata? Aku tidak mau memberikan anak panah dan busur baginya, karena ia menempuh pendadaran. Tetapi kenapa ia membawa pisau?“ bertanya Ki Rangga. “Sudah cukup,“ Ki Ajar telah membentaknya, “kalau kau ingin membunuh kenapa tidak kau bunuh saja tanpa memperalat seekor harimau? Kalau kau tikam jantungnya, ia akan mati dengan cepat. Tetapi ia akan menderita sekali jika tubuhnya dikoyak-koyak oleh seekor harimau.”

Ki Rangga termangu-mangir. Tetapi ia tidak bertanya lagi.

Demikianlah maka mereka bertigapun segera meninggalkan tempat itu. Namun Puguh masih belum dapat berjalan dengan cepat. Tubuhnya belum pulih sepenuhnya.

Sambil berganti baju Puguh berjalan dipaling belakang.

Ki Ajar ternyata telah memperhitungkan bahwa pakaian Puguh tentu akan hancur disaat ia berkelahi melawan harimau itu. Kemudian membalut kepalanya dengan ikat kepala yang juga dibawa oleh gurunya.

Ki Ajar berjalan sambil menunduk didepan Puguh, sementara Ki Rangga berjalan beberapa langkah dipaling depan sambil menahan gejolak perasaannya.

Tetapi Ki Rangga itu berhenti ketika mereka sampai ke batas padang perdu. Ki Ajarpun telah berhenti pula untuk ikut mematut pakaian Puguh agar tidak menarik perhatian orang banyak. Apalagi jika mereka memasuki kota.

“Luka -lukamu tidak nampak lagi,“ berkata Ki Ajar, “tetapi bukan berarti bahwa luka-lukamu sudah sembuh. Luka dipunggungmu akan dapat menjadi semakin parah jika tidak mendapat pengobatan yang baik. Mudah-mudahan kakekmu dapat merawatmu.” “Luka -luka yang biasa saja,“ berkata Ki Rangga, “ia tidak boleh cengeng.”

Ki Ajar tidak menjawab. Namun iapun kemudian berdiri disebelah Ki Rangga yang memandangi sawah yang hijau yang terbentang dihadapan mereka. Sawah yang dipisahkan dari hutan perburuan itu oleh padang perdu dan padang rumput yang sempit.

“Marilah,“ desis Ki Ajar kemudian. “K ita berjalan tidak perlu tergesa-gesa. Kita tidak sedang dikejar hantu.”

Ki Rangga tidak menjawab. Tetapi ia mengerti, bahwa Ki Ajar sangat memperhatikan keadaan Puguh yang masih lemah.

Demikianlah, maka merekapun telah melanjutkan perjalanan kembali ke kota raja. Namun demikian di perjalanan Ki Ajar masih juga mencemaskan sikap Warsi yang mungkin sebagaimana Ki Rangga menolak mengakui hasil yang diperoleh Puguh dalam pendadarannya.

Namun semuanya akan tergantung pada keadaan. Warsi yang tidak melihat sendiri hasil buruan Puguh yang ditinggal di bawah gumuk itu akan sangat tergantung pada cara Ki Rangga menceriterakan apa yang dilihatnya.

Ternyata ketiga orang itu memasuki kota ketika matahari sudah dipuncak. Mereka memang tidak menemui hambatan apapun diperjalanan, karena ketiga orang itu dalam ujud lahiriah tidak berbeda dengan orang-orang kebanyakan yang akan pergi ke pasar.

Meskipun demikian Ki Rangga memang harus berhati- hati. Sebagai perwira Jipang dimasa pemerintahan Harya Penangsang maka ia mempunyai beberapa orang kenalan di Pajang. Terutama para perwira.

Seperti ketika berangkat, maka ketika mereka kembali mereka lewat didekat pasar yang meskipun sudah lewat tengah hari, tetapi pasar itu masih agak ramai. Meskipun mereka yang berjualan sayuran dan hasil bumi sudah banyak yang mengemasi sisa barang dagangannya, namun masih terdengar suara pande besi di pinggir pasar itu.

Nampaknya para pande besi itu masih sibuk mengerjakan pesanan-pesanan dari orang-orang yang datang khusus untuk membeli alat-alat pertanian.

Tetapi mereka tidak berhenti. Bahkan Ki Rangga berjalan semakin cepat agar segera meninggalkan lingkungan yang ramai itu.

Beberapa saat kemudian, maka mereka bertigapun telah memasuki regol halaman rumah yang tidak cukup bersih.

Dedaunan yang runtuh dihalaman masih belum juga disapu.

Seorang perempuan berdiri termangu-mangu disebelah longkangan samping. Diamatinya ketiga orang yang datang itu. Ia mengerutkan keningnya ketika dilihatnya Puguh datang bersama mereka. Tetapi perempuan itu tidak menyapanya. Bahkan iapun segera melangkah surut dan hilang dilongkangan.

Sejenak kemudian perempuan itu telah menemui Warsi dan berkata, “Anakmu sudah datang.”

Namun sambutan Warsi tetap dingin. Ia sama sekali tidak memberi kesan kebanggaan atau apapun juga, atas kembalinya anaknya yang tentu telah berhasil, karena anak itu hanya boleh kembali kepadanya jika berhasil. Jika tidak, maka ibunya sudah mengatakan kepadanya, agar ia tidak datang kepada ibunya sebagai seorang anak laki-laki.

Sebenarnyalah sejenak kemudian Ki Rangga telah menemui Warsi dan berkata, “Itu anakmu ada diruang tengah. Bertanyalah kepadanya, apakah ia benar-benar berhasil atau tidak.”

“Bagaimana menurut pendapatmu?“ bertanya Warsi. “Marilah. Kita berbicara dengan mereka,“ jawab Ki

Rangga.

Warsipun kemudian telah pergi keruang tengah. Yang sudah ada diruang tengah adalah Ki Ajar Paguhan, Puguh dan Ki Randu Keling. Mereka duduk diamben besar sambil menunggu kedatangan Warsi dan Ki Rangga yang memanggilnya.

Puguh sama sekali tidak dapat menangkap kesan di wajah ibunya. Wajah itu nampak selalu murung, marah atau tegang. Seakan-akan Puguh tidak pernah melihat ibunya itu sekali-sekali tersenyum.

Sejenak kemudian Warsi dan Ki Rangga telah duduk pula di amben itu. Dengan kerut di dahi Warsipun bertanya, “Apakah kau berhasil.”

“Ya ibu,“ jawab Puguh, “ayah telah melihat hasil yang aku peroleh dalam pendadaran ini.”

Warsi mengangguk-angguk. Namun wajahnya tetap tidak memberikan kesan apa-apa. Namun ia bertanya juga kepada Ki Rangga, “Sudah k au lihat harimau itu?”

“Hanya kepalanya,“ jawab Ki Rangga. “Hanya kepalanya?“ bertanya Warsi, “kenapa begitu?”

Puguhpun telah memberikan alasan sebagaimana diberikan kepada Ki Rangga. Bagaimanapun juga, ia tidak akan mampu membawa harimau itu utuh keluar hutan yang lebat.

Warsi termangu-mangu sejenak. Katanya, “Aku sebenarnya menjadi kecewa akan tingkahmu itu. Aku kau paksa harus percaya bahwa kau telah berhasil.”

“Aku membunuh harimau itu ibu,“ berkata Puguh, “bahkan tubuhku sendiri menjadi terluka ha mpir disegala tempat. Goresan kuku dan gigi harimau. Namun juga bebatuan dan pepohonan yang menggores pada kulitku.”

“Perlihatkan luka -luka itu,“ berkata Warsi.

Puguh membuka bajunya. Bukan baju yang dipakainya saat ia berkelahi melawan harimau itu, yang sudah menjadi koyak-koyak.

Warsi memang melihat luka-luka itu. Bahkan luka-luka dipunggung Puguh menjadi merah dan mulai berair.

Nampaknya luka-luka itu memang memerlukan obat dengan cepat.

Tetapi Warsi tidak terlalu menghiraukannya. Ia yakin bahwa Ki Randu keling tanpa diminta akan melakukannya.

“Seharusnya kau bawa tubuh harimau itu. Aku memang percaya bahwa kau berhasil. Tetapi tidak sepenuhnya,“ berkata Warsi. Puguh tidak menjawab. Tetapi ia hanya menunduk saja sambil menunggu. Apakah yang akan dikatakan oleh ibunya setelah ia berhasil melampaui satu masa pendadaran yang sangat berat, meskipun menurut kedua orang tuanya, ia tidak berhasil sepenuhnya hanya karena ia tidak membawa tubuh harimau itu keluar. Menurut pendapatnya pendadaran itu adalah semata-mata menguji kemampuannya, apakah ia dapat mengalahkan seekor harimau atau tidak. Namun ternyata hal lainpun telah menjadi persoalan

Beberapa saat kemudian suasana di ruang tengah itu menjadi sepi. Warsipun tidak segera mengatakan sesuatu, sehingga kemudian Puguh justru menjadi gelisah.

Ternyata bukan hanya Puguh sajalah yang menunggu. Tetapi juga Ki Randu Keling dan Ki Ajar Paguhan. Mereka ingin tahu, setelah Puguh berhasil dalam pendadaran meskipun dianggap tidak sepenuhnya, apakah yang harus dilakukannya kemudian atau pertanda apa yang akan diberikan atau mungkin perlakuan yang khusus atas anak itu.

Tetapi Warsi kemudian ternyata berkata, “Baiklah. Besok kau boleh meninggalkan rumah ini.”

Puguh terkejut. Dengan serta merta ia mengangkat wajahnya. Namun ketika ia melihat sorot mata kedua orang tuanya itu, maka iapun menunduk.

Yang bertanya adalah Ki Randu Keling, “Apakah maksudmu? Kau usir anakmu karena ia tidak membawa tubuh harimau itu.”

“Tidak. Katakanlah ia berhasil meskipun hanya beberapa bagian. Aku sudah berjanji untuk menerimanya dan tetap menganggapnya sebagai anakku. Lalu, biarlah ia berada di padepokan.”

“Kau tidak dapat menganggap ia sebagai anakmu,“ berkata Ki Randu Keling, “ia memang anakmu. Mungkin ... “ kata -kata itu memang terputus.

Tetapi baik Warsi maupun Ki Rangga tahu, bahwa yang dimaksud tentu Ki Rangga itu sendiri.

Untuk mencegahnya, maka Warsipun berkata, “Baiklah. Puguh memang anakku setelah ia melakukan pendadaran. Kemudian aku menganggapnya bahwa keberhasilannya itu menunjukkan bahwa ia sudah dewasa. Memang belum penuh karena hasil pendadaran itu kurang memuaskan.

Meskipun demikian sudah sepantasnya ia mendapat tugas yang harus dipertanggung jawabkan. Ia harus mengurus padepokannya dengan baik. Memelihara dan harus mampu mengembangkannya. Menentapkan paugeran yang sudah ada bahkan meningkatkan pelaksanaannya. Padepokan dua harus tetap menjadi rahasia yang tidak boleh diketahui oleh siapapun selain orang-orang padepokan itu sendiri.

Padepokan itu akan menjadi landasan perjuangan kita selanjutnya. Jika aku sudah pulih, maka aku akan sering berada di padepokan itu.”

Puguh menarik nafas dalam-dalam. Itukah hasil pendadaran yang telah dilakukan dengan mempertaruhkan nyawanya? Topeng-topeng kecil yang seram dan orang- orang yang kasar dan buas.

Tetapi Puguh menyadari, dalam keadaan seperti itu ia tidak mungkin bertanya tentang kemungkinan lain bagi padepokannya. Meskipun rasa-rasanya ia ingin membunuh orang-orang yang tidak hidup dalam kewajaran itu, karena tangan mereka selalu dibasahi dengan darah. Namun gurunya yang juga ada di padepokan itu nampaknya tidak begitu menghiraukan tatanan kehidupan. Yang dilakukan gurunya semata-mata meningkatkan ilmu muridnya dan sekali-sekali bersamadi untuk jangkauan kehidupan yang lebih jauh.

Dalam pada itu Ki Randu Keling dan Ki Ajar masih menunggu. Mungkin masih ada pesan lain bagi Puguh. Mungkin anak muda itu mendapat pertanda keberhasilannya dengan sebuah pusaka yang akan memberi bagi kehidupannya kelak atau mungkin kesempatan yang akan membuka jalan hidupnya menjadi lebih terang.

Tetapi Warsi dan Ki Rangga nampaknya tidak akan mengatakan apa-apa lagi. Bahkan Warsipun kemudian bertanya, “Apakah sudah jelas bagimu Puguh?”

Puguh mengangguk. Katanya dengan nada rendah agak ragu, “Sudah ibu. ”

“Kenapa kau ragu -ragu? Apakah kau merasa tidak sanggup melakukannya?“ bertanya ibunya.

“Tentu saja aku sanggup ibu,“ jawab Puguh.

“Di padepokan itu ada Ki Ajar Paguhan. Kau dapat minta bantuan kepadanya. Kau dapat bertanya sesuatunya yang tidak kau mengerti karena Ki Ajar adalah gurumu. Jika kau tidak mampu mengatasi persoalan, kau dapat minta gurumu melakukannya,“ berkata Warsi kemudian, “yang penting pada saatnya kami datang ke padepokan itu, padepokan itu sudah berkembang. Paugerannya ditaati dan garis batas yang kami buat itu tidak akan pernah dilanggar oleh siapapun juga. Yang memasuki lingkungan itu berarti maut. Untuk sementara kau tidak perlu berhubungan dengan siapa saja. Juga orang-orang yang pernah bekerja sama dengan ayah dan ibu sebelumnya. Kau mengerti?”

“Aku mengerti,“ jawab Puguh.

“Kau harus memelihara kesetiaan orang -orang padepokan itu. Mereka harus tetap tunduk kepadamu, bahkan kau ambil nyawanya sekalipun, karena nyawa mereka memang tidak berharga sama sekali. Jika kau memerlukan sesuatu, perintahkan orang-orang tertentu untuk mengambilnya dimana saja. Kebutuhan padepokan itu harus tetap dapat kau cukupi. Namun ingat, tidak seorangpun boleh membuka rahasia. Jika terjadi demikian, maka lidahnyalah yang harus dipotong, selain saluran yang akan dapat menelusuri rahasia itu. Bunuh orang yang harus dibunuh tanpa ragu-ragu. Karena jika tidak demikian, rahasia kita akan segera terbongkar oleh Pajang.“ pesan ibunya.

Pesan itu ternyata telah mendirikan bulu tengkuk Puguh.

Tetapi ia tidak dapat menjawab lain kecuali mengiakan.

Karena itu maka ibunya berkata, “Baik. Besok kau boleh meninggalkan tempat ini.”

Puguh menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mengerti, untuk apa sebenarnya ia dipanggil menemui kedua orang tuanya itu. Inikah caranya ayah dan ibunya memanggilnya untuk berbicara dengannya sebagaimana dikatakan oleh Ki Randu Keling saat mereka akan meninggalkan padepokan?

Tetapi Ki Randu Keling dan Ki Ajarpun mengira bahwa kedua orang tua Puguh itu masih akan berbicara dengannya. Keduanya menduga bahwa yang akan dibicarakan ada hubungannya dengan Tanah Perdikan Sembojan atau persoalan-persoalan yang menyangkut hari depan anak itu. Atau bahkan meskipun tidak dikehendaki, Puguh akan dipersiapkan untuk membalaskan dengan Warsi kepada Iswari. Atau hal-hal lain sebagaimana orang tua kepada anaknya yang mulai tumbuh dewasa.

Namun keduanyapun berdiam diri saja. Bagi keduanya agaknya lebih baik jika Puguh tidak diserahi menerima warisan dendam atas Tanah Perdikan. Meskipun kedua orang itu tahu, bahwa Puguh masih akan menjadi alat untuk menguasai Tanah Perdikan itu sepanjang Puguh masih dapat dikendalikan. Namun pada suatu saat, meskipun Puguh itu adalah anak Warsi sendiri, namun jika sudah tidak diperlukan lagi, iapun akan dapat disingkirkan karena anak itu adalah anak Wiradana yang dianggap pengecut dan tidak berarti. Apalagi jika Ki Rangga dan Warsi tidak lagi akan mempergunakan Tanah Perdikan itu sebagai batu loncatan. Maka Puguh akan tidak berarti lagi bagi keduanya, kecuali jika Puguh bersedia diperlakukan seperti orang-orang Warsi yang lain dan menunjukkan kesetiaannya yang mati.

Tetapi bagi Puguh semakin cepat ia pergi dari rumah itu, agaknya menjadi semakin baik. Ia merasa cemas, bahwa kebenciannya kepada kedua orang tuanya itu akan tumbuh semakin subur didalam hatinya. Iapun tidak yakin bahwa ia akan dapat mengendalikan dirinya untuk tidak menuduh kedua orang tuanya itu memanggilnya untuk membunuhnya dengan cara yang licik sekali dengan mengumpankannya ke mulut harimau.

Demikianlah, maka Warsipun telah mengakhiri pembicaraannya dengan anaknya. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku harus masih banyak beristirahat sebagaimana pesan Ki Randu Keling.” Tidak ada yang menjawab. Sementara itu Warsi dan Ki Ranggapun telah meninggalkan tempat itu.

Ki Randu Keling menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun telah mengajak Ki Ajar dan Puguh untuk keluar dan duduk di serambi samping disebelah bilik yang diperuntukkan bagi mereka.

Merekapun kemudian telah mendapat hidangan dari perempuan yang merawat Warsi itu dan mempersilahkan mereka untuk makan.

Tetapi Puguh sendiri rasa-rasanya menjadi semakin tidak kerasan berada ditempat itu. Ia ingin cepat-cepat kembali kepadepokannya meskipun sebenarnya iapun tidak merasa tenang dipadepokannya itu. Tetapi kerena dipadepokan itu ada gurunya dan dianggapnya jauh lebih baik daripada tinggal bersama kedua orang tuanya, maka rasa-rasanya Puguh ingin lebih cepat merninggalkan tempat itu.

Ketika hal itu dikatakan kepada Ki Randu Keling dan gurunya maka Ki Randu Keling itupun berkata, “Kita akan bermalan semalam lagi. Kau perlu beristirahat. Luka- lukamu memerlukan perawatan yang sebaik-baiknya.”

“Luka -lukaku sudah tidak terasa sakit lagi, kek.” jawab Puguh.

“Kau juga keras kepala,“ berkata kakeknya, “aku sebentar lagi akan mengganti obat lukamu itu. Sebagian memang sudah nampak kering. Tetapi sebagian masih sangat basah dan akan dapat berdarah lagi.”

Puguh tidak dapat memaksa. Karena itu, maka iapun hanya berdiam diri saja. Namun sebenarnyalah menjelang tidur, Ki Randu Keling telah mengganti obat di luka-luka Puguh. Terutama di punggung dan lengan kirinya. Dengan air hangat luka itu dicuci. Kemudian ditaburi obat yang baru.

Puguh mengatupkan giginya rapat-rapat. Luka-lukanya terasa sangat pedih. Namun iapun berharap bahwa dengan demikian lukanya itu akan segera dapat sembuh.

Malam itu Puguh tidak dapat tidur dengan nyenyak.

Kecuali kegelisahan yang bagaikan membakar jantungnya, tubuhnya masih juga terasa sakit. Luka-lukanya bagaikan menggigit sampai ketulang.

Ternyata kedua orang tua yang bersamanya itu sempat tidur nyenyak. Mereka hanya menyelarak pintu bilik mereka. Kemudian berbaring dan tarikan nafas mereka pun segera menjadi sangat teratur karena keduanya telah tertidur.

Namun menjelang tengah malam Puguh mendengar suara yang agak aneh. Dengan saksama ia mencoba memusatkan pendengarannya pada suara diserambi itu.

Puguh memang berprasangka buruk. Ia mengira bahwa ada orang yang memang akan mencelakainya. Bahkan mungkin kedua orang tuanya atau orang lain yang diperintah oleh kedua orang tuanya itu.

Namun ketika nalarnya mulai berputar, ia telah menyangkalnya sendiri. Kedua orang tuanya tentu tahu, bahwa dalam bilik itu terdapat dua orang tua yang berilmu sangat tinggi. Adalah tidak mungkin jika kedua orang tuanya itu membunuh diri. Apalagi ibunya tahu benar, bahwa Ki Randu Keling masih bertautan darah. Karena itu, maka Puguhpun kemudian telah dengan saksama memperhatikan suara itu. Sejenak suara itu terdengar jelas, namun kemudian terdengar menjauh.

“Langkah oran g,“ berkata Puguh didalam hatinya, “tentu tidak berniat baik.”

Tetapi Puguh tidak menduga, terhadap siapa?

Ketika terdengar langkah lebih banyak lagi maka Puguh tidak dapat menahan diri untuk bangkit. Tetapi ia tidak mau membiarkan kakek dan gurunya. Karena itu, maka Puguh telah menyentuh tubuh kakek dan gurunya itu.

Tetapi Puguh menarik nafas dalam-dalam ketika justru ia mendengar gurunya berdesis, “Aku dan kakekmu sedang mendengarkannya dengan saksama. Diam sajalah.”

Ternyata kedua orang tua itu telah terbangun pula mendengar desir-desir lembut diluar.

Beberapa saat kemudian, barulah mereka mendengar pintu diketuk orang. Agaknya pintu depan. Beberapa kali dengan suara yang agak keras.

“Siapa? “ terdengar suara seorang perempuan. Bukan suara Warsi. Tentu saudara sepupunya yang selama itu merawatnya itu.

“Aku,“ jawab suara itu, “bukakan pintu. Rumah ini sudah dikepung. Tidak ada jalan lain untuk lolos.”

“Siapa kalian?“ bertanya orang didalam.

“Buka pintu. Suruhlah Ki Rangga dan Warsi keluar. Aku ingin berbicara dengan mereka.” jawab suara diluar. Ki Randu Keling dan Ki Ajar Paguhan saling berpandangan sejenak. Ternyata ada orang yang telah mengetahui persembunyian Ki Rangga dan Warsi yang masih belum sembuh sepenuhnya.

“Ki Rangga,“ berkata orang itu , “kau tidak usah ingkar.

Beri kesempatan aku berbicara. Ada sesuatu yang terhutang sebelum aku berbicara denganmu.”

Ki Rangga dan Warsipun ternyata sudah terbangun pula. Mereka merasa bahwa saat-saat untuk bersembunyi telah berakhir. Ternyata bahwa orang-orang itu telah berhasil menemukannya.

Tetapi untuk sementara sepupu Warsi itulah yang menjawab, “Siapakah yang kau maksud dengan Ki Rangga dan Warsi?”

“Buka pintu, atau pintu rumah ini aku remukkan,“ suara yang garang terdengar diluar.

Tidak ada pilihan lain. Sementara orang diluar pintu itu membentak, “Buka pintu. Cepat. Jangan banyak bicara.

Atau mulutmu akan aku koyak nanti setelah aku memecah pintu atau bahkan membakar gubug kotor ini.”

Tidak segera terdengar jawaban. Maka ketukan di pintu menjadi semakin keras.

Akhirnya terdengar suara sepupu Warsi, “Siapakah Ki Sanak sebenarnya?”

“Tutup mulutmu,“ orang diluar pintu itu berteriak sambil memukul pintu semakin keras. Pintu itu berderak. Orang yang memukul pintu itu berteriak pula, “Pintu sudah ha mpir pecah.”

Memang tidak ada pilihan lain. Ki Rangga, Warsi dan sepupunya itupun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali melawan.

Sehingga karena itu, maka Warsi dan sepupunya telah mengenakan pakaian khususnya.

Dengan suara lantang Ki Rangga berkata, “Jangan ganggu aku. Pergilah.”

“Nah, bukankah kau ada disini Ki Rangga,“ berkata suara diluar pintu, “lebih dari dua puluh orang mencarimu kemana saja diseluruh tanah ini. Tetapi sulit untuk menemukanmu. Baru beberapa hari yang lalu, justru tidak sengaja, ada orang yang melihatmu dikota. Kau memang cerdik Ki Rangga. Kau bersembunyi ditempat yang memang tidak terduga sama sekali. Justru di kota. Tetapi sekarang kau tidak akan dapat lolos lagi.”

Pintu itupun tiba-tiba justru telah berderak dan pecah oleh pukulan dari dalam. Ki Rangga dengan garangnya berdiri di belakang pintu yang hancur itu.

Perlahan-lahan Ki Rangga itu melangkah keluar diikuti oleh Warsi dan sepupunya.

“Siapa kau?“ bertanya Ki Rangga setelah me lihat orang yang mencarinya itu.

“Kau tentu belum mengenal aku. Tetapi aku sudah mengenalmu. Perempuan itu tentu Warsi dan yang lain aku tidak tahu.” jawab orang itu. “Darimana kau tahu namaku, nama isteriku dan tempat tinggal kami?“ bertanya Ki Rangga.

Orang itu tertawa. Katanya, “Sudahlah. Jangan menjadi penasaran begitu. Siapapun yang memberitahukan kepadaku, bukan soal. Tetapi kami sudah mencarimu kesegenap penjuru bumi. Seperti aku katakan tadi, adalah kebetulan bahwa salah seorang diantara kami telah melihatmu, sehingga dalam beberapa hari ini kami telah membayangimu. Akhirnya kami yakin, bahwa kau memang tinggal dirumah ini ketika orang kami melihat kau keluar dari rumah ini dengan seseorang yang belum kami kenal pagi-pagi tadi.”

Ki Rangga menggerami. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Apakah pedulimu tentang aku dimanapun aku tinggal.

Pergilah. Jangan ganggu kami.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Kau aneh. Demikian sulitnya kami mencarimu.”

“Tetapi siapa kau atau siapa yang memerintahkanmu mencari aku?“ teriak Ki Rangga marah.

Orang yang datang kepadanya itu masih saja tertawa. Katanya, “Berteriaklah. Mungkin satu dua tetanggamu akan datang menolongmu. Tetapi jangan kau harapkan. Disini kau tidak kenal dengan tetangga, sehingga tidak seorangpun diantara tetanggamu yang akan menghiraukan apapun yang terjadi disini. Bahkan untuk kau undang dalam makan bersamamu mereka tentu tidak akan mau datang. Apalagi dalam keributan yang akan dapat memungut nyawa mereka.”

Ki Rangga menggeram. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kalian telah menemukan kami siapapun kalian. Sekarang bersiaplah untuk mati. Agaknya kalian belum tahu siapa kami atau orang yang memerintahkan kepada kalian tidak memberitahukan siapa kami dan sejauh mana kami dapat berbuat.”

“Kami sudah men dapat keterangan lengkap tentang kalian. Ki Rangga adalah bekas seorang perwira Jipang yang berilmu tinggi. Sedangkan Warsi adalah orang yang luar biasa. Perempuan yang garangnya melampui Kalamerta sendiri. Tetapi yang sedang terluka dalam perang tanding melawan Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang juga seorang perempuan,“ berkata orang itu.

“Persetan,“ geram Ki Rangga, “isteriku sudah sembuh sepenuhnya. Jika kalian tidak percaya, kalian akan segera membuktikannya. Nah, sekarang kalian mau apa? Sebelum mati sebaiknya kalian berkata berterus terang.”

“Tidak perlu Ki Rangga,“ berkata orang itu, “aku hanya ingin menyampaikan sebuah pesan.”

“Pesan apa dan dari siapa?“ bertanya Ki Rangga. “Pesan itu dari seorang yang sangat kami hormati.

Katanya Ki Rangga dan Warsi sebaiknya membunuh diri saja dihadapanku. Jika tidak, maka kami akan terpaksa membunuh Ki Rangga dengan isteri Ki Rangga yang Ki Rangga dapatkan di pinggir jalan itu,“ berkata orang itu sambil tertawa berkepanjangan.

“Iblis kau,“ ge ram Ki Rangga, “kalian datang semata - mata untuk menghina kami. Aku tahu, itu tentu satu pancingan untuk membuat kami marah. Agaknya itu semua tidak perlu. Jika kalian ingin berkelahi, marilah kita berkelahi sampai mati. Akupun sudah siap membunuh kalian semua. Aku tidak perlu ragu-ragu dan mendesak beberapa kali agar kalian menyebut nama kalian sebelum mati.”

Orang itu tidak tertawa lagi. Tetapi iapun mengerutkan keningnya sambil berkata, “Jadi Ki Rangga tidak bersedia membunuh diri bersama perempuan itu?”

“Aku menjadi kasihan kepadamu dan kawan -kawanmu,“ berkata Ki Rangga, “nampaknya kau telah dijerumuskan oleh kawan-kawanmu atau pemimpinmu atau gurumu atau siapapun juga untuk mati. Mereka memaksamu datang kemari, karena kau tidak diperlukan lagi diantara kawan- kawanmu. Cara membunuh yang paling baik tanpa diketahui adalah mengirimkanmu kepadaku, karena siapapun juga yang datang kepadaku, akan mati.”

“Persetan akan ingauanmu itu,“ geram orang itu. “Karena itu, maka bersiaplah untuk mati,“ berkata Ki

Rangga. Tetapi iapun masih bertanya, “Apa yang akan kau

katakan sebelum kau mati? Apakah fitnah yang kau dengar tentang kami?”

“Setan alas kau Rangga,“ geram orang itu, “jadi apa

yang dikatakan tentang kau itu benar. Sombong, tidak tahu diri dan besar mulut. Tetapi licik dan tidak bertanggung jawab. Kau tinggalkan tanggung jawabmu yang besar dengan membiarkan kawan-kawanmu mati. Tidak ada hukuman yang paling pantas diberikan kepadamu selain hukuman mati. Aku datang untuk melaksanakan hukuman mati itu. Kecuali jika kau bersedia untuk membunuh diri dihadapanku. Dengan demikian maka kau akan mati dengan cara yang kau kehendaki sendiri. Dengan racun atau dengan keris yang menggapai jantung, atau menyentuh kulitmu dengan ujung keris yang dilumuri dengan warangan yang tajam, atau cara apapun juga yang baik sehingga kau dapat mati sambil tersenyum. Tetapi jika kau melawan, maka kau akan mati sambil menyeringai menahan sakit.”

Ki Rangga menggeram menahan kemarahannya yang bergejolak didalam dadanya. Sementara itu Warsilah yang tidak sabar lagi. Dengan lantang ia berkata, “Kita sudah cukup panjang berbicara. Jika kau akan membunuh kami, lakukanlah. Kau memang lebih baik mencoba daripada tidak melakukan apa-apa sebelum mati, karena kami memang tidak akan memberikan kesempatan hidup kepada seorangpun diantara kalian yang telah mengetahui bahwa kami berada disini. Kau tidak perlu memancing kemarahan kami agar penalaran kami menjadi kabur. Kita sudah cukup marah, tetapi kalian tidak akan dapat mengaburkan kecerahan akal kami.”

Orang itu memang merasa tidak perlu menunggu lagi. Ia sadar bahwa Ki Rangga ternyata adalah benar-benar seorang prajurit. Demikian pula dengan perempuan yang disebut isterinya itu. Perempuan itu ternyata memang memiliki pengalaman yang sangat luas.

Dengan demikian maka orang yang datang itupun segera mempersiapkan diri. Iapun telah memberi isyarat kepada kawan-kawannya yang ternyata jumlahnya cukup banyak. Diantara mereka seorang telah melangkah maju sambil berkata, “Bagaimana dengan kedua orang itu?

Apakah mereka memang berkeras untuk menempuh cara mati yang buruk?”

“Ya. Kami akan melawan,“ geram Warsi.

Orang itu mengangguk-angguk. Sikapnya lebih tenang dari orang yang telah berbicara lebih dahulu. Katanya, “Itu lebih baik. Sejak semula aku sudah menentang cara yang ditawarkan, agar kalian membunuh diri. Nampaknya kurang menarik sekedar melihat orang-orang lain menikam jantungnya sendiri. Tetapi dengan bertempur kita akan mendapat kepuasan tersendiri setelah lawan lawan kita mati.”

Suara orang itu terputus. Ia harus bergeser mundur ketika ia melihat Warsi yang marah mulai bergeser dari tempatnya, mengambil jarak dari Ki Rangga yang ada di tengah. Sementara itu saudara sepupunya telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan.

Ki Rangga sendiri justru melangkah setapak maju sambil mempersiapkan dirinya.

Orang yang datang kemudian itulah yang telah menempatkan diri langsung berhadapan dengan Warsi sambil berkata, “Mungkin kau memang sudah sembuh. Kamipun tahu rantaimu yang sangat mengerikan itu. Tetapi aku ingin memperkenalkan diri bahwa aku terbiasa dipanggil Jurang Grawah, meskipun itu bukan namaku sendiri. Namaku adalah Tumenggung Yudakartika. Aku adalah bintang disegala medan perang. Nah, karena itulah maka aku mendapat wewenang untuk berhadapan dengan seorang perempuan yang memiliki sejenis Aji Gelap Ngampar yang dahsyat itu atau barangkali kekuatan lain yang bersumber dari kekuatan api dan air. Aku adalah jurang yang akan dapat menampung apa saja tanpa pernah menjadi penuh.”

Warsi termangu-mangu sejenak. Orang itu mengetahui banyak hal tentang dirinya. Juga mengetahui bahwa didalam dirinya tersimpan Aji Gelap Ngampar. “Apakah kau seorang prajurit?“ bertanya Ki Rangga, “sehingga kau mendapat gelar Tumenggung.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Bukan. A ku memang menamakan diriku Tumenggung. Bukan pangkat dan bukan jabatan. Tetapi itu memang namaku. Tumenggung Yudakartika.”

“Setan alas,“ geram Ki Rangga, “cepat, bersiaplah untuk mati.”

Tetapi orang yang menyebut dirinya Jurang Grawah itu justru berpaling kepada kawan-kawannya sambil berkata, “Kalian harus mulai menempatkan perisai di dada kalian. Jika perempuan ini mengetrapkan Aji Gelap Ngampar, maka jantung kalian akan rontok jika tameng itu tidak kalian trapkan.”

Tidak ada jawaban. Namun orang-orang yang datang itu telah bersiap untuk bertempur.

Orang yang pertama kali berbicara dengan Ki Rangga itupun kemudian telah memberikan isyarat pula. Beberapa orang segera bergerak dan mengepung ketiga orang itu.

Suasanapun kemudian telah menjadi lengang. Namun tegang. Kedua belah pihak telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Di serambi ketiga orang yang ada didalamnya menjadi tegang pula. Ki Randu Keling, Ki Ajar Paguhan dan Puguh. Apalagi ketika mereka tidak lagi mendengar suara.

“Mereka tentu tengah bers iap untuk bertempur,“ desis Ki Randu Keling. Ki Ajar mengangguk. Namun kemudian katanya, “Kita sama sekali tidak tahu keseimbangan kekuatan diantara mereka.”

Tetapi Puguh itupun kemudian justru berbaring lagi sambil berkata, “Aku akan tidur.”

Kedua orang tua itu saling berpandangan. Tetapi mereka mengerti perasaan anak muda itu. Puguh telah terlalu banyak dikecewakan oleh kedua orang tuanya, sehingga nampaknya peristiwa yang cukup gawat itu tidak menarik perhatiannya.

“Puguh,“ desis Ki Randu Keling kemu dian, “marilah. Kita melihat apa yang terjadi.”

Puguh tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja mereka mendengar seseorang berteriak nyaring untuk menghentakkan kekuatannya. Disusul seorang yang lain.“

“Mereka telah bertempur,“ berkata Ki Randu Keling. “Ya,“ sahut Ki Ajar Paguhan, “nampaknya jumlah

diantara mereka tidak seimbang.”

Puguh masih saja berbaring. Ia seakan-akan tidak mendengar pembicaraan kedua orang tua itu.

Tetapi gurunyalah yang kemudian mengajaknya, “Puguh. Marilah kita melihat apa yang terj adi. Hanya melihat. Kita baru akan menentukan sikap kemudian. Apakah kita akan membiarkan saja pertempuran itu berlangsung tanpa beringsut dari tempat ini, atau kita harus dengan cepat pergi meninggalkan tempat ini, atau sikap apapun juga.” Puguh masih berdiam diri saja. Tetapi Ki Randu Keling mendesaknya, “Marilah Puguh. Setidak -tidaknya kita mempedulikan keselamatan kita sendiri.”

Puguhpun kemudian bangkit. Luka-lukanya yang belum sembuh itu sudah tidak lagi terasa sakit sekali. Obat kakeknya adalah obat yang sangat baik.

Puguh masih membenahi pakaiannya. Namun kakeknya masih memperingatkan, “Hati -hati dengan lukamu. Jangan terlalu keras tergesek oleh bajumu.”

Puguh memang masih berhati-hati. Sekali-sekali ia masih merasa sengatan luka-lukanya itu, meskipun tidak lagi menghunjam sampai ketulang.

“Marilah,“ berkata Ki Randu Keling kemudian. Namun Puguh masih juga menyiapkan senjatanya,

karena ia tidak tahu apa yang ada diluar.

Dengan hati-hati mereka bertiga telah bergeser kepintu.

Dengan saksama Ki Randu Keling mendengarkan apakah ada suara diluar pintu itu. Namun agaknya Ki Randu Keling yang berpendengaran sangat tajam itu tidak mendengar sesuatu. Sehingga karena itu, maka iapun telah membuka pintu dengan sangat berhati-hati. Pintu diserambi yang langsung turun ke halaman.

Didepan bilik diserambi itu memang tidak terdapat siapapun juga.

Setelah menutup pintu itu, maka merekapun telah memasuki kegelapan dan bergeser untuk menyaksikan apa yang terjadi di halaman depan. Sebenarnyalah pertempuran memang telah terjadi. Warsi yang belum sembuh benar itu telah bertempur dengan garangnya. Ternyata ia memang seorang yang pilih tanding. Meskipun kekuatan dan kemampuannya belum utuh sepenuhnya, namun beberapa orang lawannya harus bertempur dengan sangat berhati-hati. Seorang diantara lawan-lawannya adalah orang yang menyebut dirinya Jurang Grawah itu.

Sebagaimana dikatakan, maka Jurang Grawah yang juga bernama Tumenggung Yudakartika itu memang seorang yang berilmu tinggi, sehingga diantara beberapa orang kawannya, ia nampak menjadi orang yang paling berbahaya.

Ki Rangga telah bertempur dengan orang yang nampaknya pemimpin sekelompok orang yang akan membunuhnya dan membunuh Warsi itu. Namun Ki Rangga-pun tidak bertempur seorang melawan seorang, tetapi Ki Ranggapun narus bertempur melawan beberapa orang sekaligus.

Tetapi Ki Rangga yang pernah menjadi seorang Senapati di Jipang dan kemudian pernah pula menjalankan tugas sandi, adalah orang yang berbekal ilmu yang tinggi pula, sehingga untuk beberapa saat ia dapat bertahan melawan beberapa orang lawannya itu.

Sepupu Warsilah yang kemudian mulai nampak terdesak. Iapun tidak hanya harus melawan seorang diantara orang-orang yang datang ke rumah itu. Tetapi beberapa orang. Sedangkan sepupu Warsi itu tidak mempunyai bekal selengkap Warsi.

Semakin lama pertempuran yang kemudian berlangsung dihalaman depan rumah yang tidak begitu baik dan tidak begitu bersih itu berlangsung semakin sengit. Ternyata Warsipun kemudian setiap kali harus bergeser surut.

Diantara beberapa orang lawan Warsi itu memang terdapat seorang yang berilmu tinggi, yang mampu mengimbangi kecepatan gerak dan kekuatan Warsi.

Demikian pula lawan Ki Rangga. Pemimpin kelompok dari orang-orang yang mendatangi rumah itu adalah seorang yang ilmunya seimbang dengan seorang Senapati Jipang. Apalagi mereka masih dibantu oleh beberapa orang yang pada umumnya juga memiliki kemampuan yang memadai, sehingga mereka mampu mempersulit kedudukan Warsi dan Ki Rangga. Apalagi sepupu Warsi itu.

Dalam keadaan yang semakin terdesak, Warsi telah mempergunakan senjatanya yang mendebarkan. Rantainya telah berputaran. Terasa anginnya menyambar-nyambar sementara desingnya mulai menggetarkan jantung.

Ki Ranggapun telah mempergunakan pedangnya pula.

Dengan tangkasnya ia berloncatan menyusup diantara lawan-lawannya dan menyelinap disela-sela ujung senjata.

Sebenarnyalah yang paling sulit adalah sepupu Warsi.

Meskipun ia juga sudah bersenjata, namun kemampuannya terbatas. Karena itu, maka iapun telah semakin terdesak.

Keadaannya menjadi semakin sulit. Bahkan berbahaya.

Ki Randu Keling menarik nafas dalam-dalam. Dari kegelapan mereka melihat pertempuran dalam keremangan cahaya lampu minyak yang lemah disudut rumah itu dan oncor yang sinarnya kemerah-merahan di regol halaman.

“Puguh,“ d esis Ki Randu Keling, “keadaan orang tuamu dan bibimu menjadi semakin terdesak.” Puguh termangu-mangu. Sekilas dikenangnya, bagaimana tubuhnya dikoyak oleh luka karena kuku dan gigi harimau yang garang itu. Tulang-tulangnya bagaikan berpatahan ketika membentur bebatuan dan pepohonan hutan ketika harimau itu berguling-guling. Rasa-rasanya ia sudah hampir mati karenanya.

“Puguh, apakah kau bersedia membantu orang tuamu dan bibimu yang mengalami kesulitan? Aku telah menyelamatkan ibumu dua kali dari perang tanding yang sangat garang. Kini ibumu menghadapi bukan saja seorang? Tetapi-beberapa orang dengan tataran ilmu yang memadai. Bahkan seorang diantaranya memiliki ilmu yang hampir setingkat dengan ibumu. Karena itu, maka menurut perhitungan, ibumu tidak akan dapat memenangkan pertempuran itu. Demikian pula ayahmu. Apalagi bibimu itu,“ berkata Ki Randu Keling.

“Mereka memang memerlukan pertolongan, Puguh.“ gurunya menyambung pula.

Puguh menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu kakeknya mendesak, “Jangan menu nggu sampai terlambat. Jawablah. Kami berdua akan menurut keputusanmu. Jika kau katakan tidak, maka kamipun tidak akan membantu mereka. Kami akan melihat bagaimana kedua orang tuamu dan bibimu terkapar mati di halaman rumah ini. Rumah tempat mereka bersembunyi beberapa lama. Tetapi jika kau ingin membantunya, maka kamipun akan melakukannya. Mudah-mudahan kedua orang tuamu selamat. Mudah-mudahan pula, peristiwa ini akan dapat mempengaruhi cara berpikir kedua orang tuamu. Setidak- tidaknya tentang dirimu.”

“S ulit bagi mereka untuk berubah,“ berkata Puguh, “ayah dan ibu adalah orang -orang yang jantungnya telah terbentuk dengan pola tertentu. Sulit untuk merubahnya. Peristiwa ini justru akan membuat mereka semakin mendendam kepada setiap orang.”

“Mungkin Puguh. Tetapi sikapnya kepadamu mudah- mudahan akan terpengaruh oleh keputusanmu kali ini,“ berkata Ki Randu Keling. Lalu, “Tetapi semuanya terserah kepadamu.”

Puguh tidak segera menjawab. Ia memang melihat kedua orang tuanya terdesak. Meskipun Warsi telah mempergunakan senjatanya yang diandalkannya. Namun lawannyapun telah bersenjata pula. Dikedua tangannya telah tergenggam trisula bertangkai pendek. Bahkan sekali rantai ibunya berhasil dibelit oleh trisula lawannya. Untuk beberapa saat keduanya saling menghentakkan kekuatannya. Dalam keadaan yang demikian hampir saja Warsi terkena tusukan lawannya yang lain dari arah yang berbeda. Bahkan kemudian beberapa ujung senjata yang lain berdatangan teracu ke arahnya. Untunglah bahwa rantainya cepat terurai sehingga ibunya tidak mengalami bencana karenanya.

Tetapi Puguh masih saja termangu-mangu. Ia tetap berpendapat bahwa kedua orang tuanya itu memang berniat menyingkirkannya tanpa alasan yang dapat dimengertinya.

Namun tiba-tiba saja jantungnya bergetar, ia melihat bibinya terloncat jauh mengambil jarak. Ternyata pundak bibinya itu telah terluka. Dan pada saat yang hampir bersamaan, ibunya terpaksa berguling beberapa kali, kemudian meloncat dan berdiri pada sebelah lututnya sambil memutar rantainya, sehingga beberapa orang yang memburunya telah tertahan dilingkaran sejauh panjang rantainya. Bagaimanapun juga Puguh adalah seorang anak yang mengakui dilahirkan oleh ibunya. Karena itu, hampir di luar sadarnya disaat ia melihat bibi dan terutama ibunya mengalami kesulitan, maka iapun berkata, “Kita memang harus melibatkan diri kek.”

Tetapi ketika Puguh hampir saja meloncat, kakeknya menggamitnya sambil berkata, “Kau terluka Puguh. Aku hanya ingin mendengar sikapmu. Kemudian, biarlah kami yang tua-tua ini turun ke arena. Kau masih harus beristirahat.”

“Apa maksud kakek sebenarnya?“ bertanya Puguh. “Ternyata kau adalah anak yang baik. Betapapun

kecewamu terhadap orang tuamu, namun dalam keadaan yang paling sulit, kau bersedia menolongnya,“ berkata kakeknya. Namun kemudian, “Tetapi keadaan wadagmu agaknya kurang memungkinkan.”

Puguh termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Tidak kek. Aku sudah baik. Aku sudah sehat. Lukaku tidak lagi terasa sakit.”

“Kau memaksa diri,“ berkata Ki Randu Keling. “Tidak,“ jawab Puguh.

Ki Randu Keling memang tidak dapat menahan Puguh lagi. Namun demikian iapun berpesan, “Hati -hatilah. Biarlah bajumu longgar, agar lukamu tidak terkelupas lagi oleh bajumu itu.”

Puguh memang mengurai kancing bajunya sehingga bajunya itu terbuka didepan. Kemudian tanpa berkata apapun lagi, iapun telah meloncat dari kegelapan, langsung dengan pedang yang berputaran.

Dengan garangnya Puguh telah memasuki arena dilingkaran pertempuran bersama ibunya. Pedangnya yang berputaran itupun kemudian menebas orang-orang yang mengepung ibunya sehingga kepungan itupun telah pecah.

Ibunya memang terkejut melihat kehadiran Puguh. Ia tidak mengira bahwa Puguh akan dengan begitu saja datang membantunya setelah anak itu diusirnya, diumpatinya dan pendadarannya yang dianggap tidak berhasil sepenuhnya itu.

Dengan demikian maka sebagaian dari lawan Warsi itupun telah berpindah melawan Puguh. Dua orang yang bertubuh garang telah memisahkan diri dari mereka yang masih bertempur melawan Warsi.

Warsipun kemudian telah bergeser memberi tempat kepada Puguh untuk bertempur, sekaligus untuk melihat, sejauh mana anak itu telah menyadap ilmu dari gurunya.

Sebenarnyalah bahwa Puguh yang muda itu telah memiliki bekal yang lengkap. Ilmu pedangnya ternyata cukup mendebarkan kedua lawannya. Setiap kali kedua lawannya harus meloncat mengambil jarak, ketika mereka mengalami kesulitan menghadapi pedang Puguh yang berputaran.

Sekilas ibunya sempat melihat ilmu pedang anaknya itu.

Apalagi ibunyapun mengerti, bahwa Puguh itu sedang terluka. Meskipun tidak membahayakan jiwanya, namun luka-luka itu tentu akan mengganggunya. Tetapi sementara itu, keadaan Warsi menjadi semakin baik. Disamping orang yang memiliki ilmu yang tinggi itu tinggal dua orang lagi yang bertempur melawannya.

Meskipun Warsi masih juga harus memeras tenaga dan kemampuannya, namun ia setiap kali masih mampu berlindung dibalik putaran rantainya yang mendebarkan itu.

Ki Ranggapun kemudian ternyata mengalami kesulitan pula. Dalam kepungan lawannya, Ki Rangga seakan-akan telah kehilangan kesempatan untuk melepaskan diri.

Karena itu, maka iapun telah memusatkan segala kemampuannya untuk mempertahankan diri karena ia tidak lagi sempat menyerang lawan-lawannya yang mengepungnya semakin rapat. Betapapun tinggi ilmu Ki Rangga, yang pernah menjadi seorang Senapati di Jipang, serta pernah pula menjadi seorang petugas sandi yang disegani, namun ternyata menghadapi beberapa orang sekaligus serta seorang diantaranya yang berilmu tinggi, Ki Rangga tidak banyak dapat berbuat.

Bahkan rasa-rasanya ujung-ujung senjata lawannya itupun menjadi semakin dekat dengan kulitnya, sehingga akhirnya, satu diantara ujung-ujung senjata lawannya itu telah tergores di tubuhnya. Meskipun hanya segores kecil, tetapi bajunya pada bagian belakang pundaknya telah koyak, bahkan kulitnyapun telah terluka meskipun tidak cukup dalam. Namun dari luka itu memang telah terasa meleleh darah.

Ki Rangga menggeram. Iapun kemudian telah menghentakkan ilmunya. Sebagai seorang Senapati maka ia memiliki pengalaman yang sangat luas. Tetapi geraknya semakin dibatasi oleh kepungan yang semakin rapat.

Ki Rangga itu juga melihat bahwa Puguh telah melibatkan diri membantu ibunya dengan mengurangi jumlah lawannya. Dengan demikian tugas Warsi itu memang menjadi lebih ringan. Namun satu pertanyaan telah melonjak di dadanya, “Apakah aku dapat keluar dari pertempuran ini dengan selamat?”

Tetapi Ki Rangga itu mulai berpengharapan lagi, ketika ia melihat Ki Randu Keling tiba-tiba saja sudah memasuki arena. Meskipun Ki Randu Keling sudah terlalu tua, tetapi ternyata ia masih mampu menunjukkan satu kemampuan yang luar biasa.

Ternyata bahwa dengan gerakan yang tidak diketahui, tiba-tiba saja sebuah pedang telah dirampasnya dari orang- orang yang mengepung Ki Rangga itu. Demikian pedang itu berputar, maka rasa-rasanya lawan-lawannya telah terdorong surut.

“Terima kasih,“ berkata Ki Rangga.

Namun Ki Randu Keling menjawab, “Aku melakukannya karena kebaikan anak yang kau sebut anakmu tetapi sangat kau benci itu. Karena ia mengira bahwa kau benar- benar ayahnya, maka ia telah memaksa aku dan Ki Ajar untuk ikut bertempur sekarang ini.”

Ki Rangga menggeram. Hampir saja ia berteriak, “Pergilah jika kau mau pergi.”

Tetapi kata-kata itu tersangkut dikerongkongan ketika ia melihat gelombang serangan yang datang kemudian.

Namun bersama Ki Randu Keling, maka Ki Rangga benar-benar merasa nafasnya menjadi sedikit longgar. Bahkan lawan-lawannya hampir tidak sempat berbuat sesuatu atasnya, karena setiap kali senjata Ki Randu Keling telah mendesak mereka beberapa langkah surut. Dilingkaran pertempuran yang lain, Ki Ajar Paguhan telah membantu sepupu Warsi yang sudah hampir kehilangan kesempatan untuk tetap bertahan. Luka yang tergores ditubuhnya telah menjadi semakin banyak dan darahpun telah mengalir dari luka-lukanya itu.

Pada saat-saat ia sudah berputus-asa, maka Ki Ajar Paguhan itupun telah hadir di arena.

Saudara sepupu Warsi itu belum mengetahui tataran kemampuan Ki Ajar Paguhan. Karena itu, ketika Ki Ajar itu memasuki arena pertempuran perempuan itu berkata, “Menyingkirlah sajalah Ki Sanak. Biarlah aku menyelesaikan pertempuran ini apapun akibatnya. Jika aku harus mati, biarlah aku mati. Tetapi bukankah kau tidak mempunyai kewajiban untuk mati seperti aku karena aku adalah sepupu Warsi.”

“Aku adalah pemomong a nak Warsi,“ berkata Ki Ajar Paguhan, “karena itu, akupun wajib membantumu.”

Perempuan itu tidak bertanya lebih lanjut. Namun iapun telah menjadi sangat kagum melihat apa yang telah dilakukan oleh Ki Ajar Paguhan kemudian.

Yang kemudian telah menjadi sangat garang adalah Ki Rangga yang bertempur melawan beberapa orang bersama Ki Randu Keling. Justru karena kemampuan Ki Randu Keling yang seakan-akan tidak dapat diukur, maka Ki Ranggapun sempat menekan lawannya. Ia kemudian seakan-akan telah bertempur seorang melawan seorang dengan pemimpin kelompok yang mendatangi rumah itu. Sementara itu yang lain selalu dihalau oleh Ki Randu Keling dengan pedangnya. Bahkan kemudian diluar kemauan orang-orang yang sedang bertempur itu, maka arena pertempuran itupun telah terpisah. Ki Randu Keling harus bertempur melawan empat orang, sementara Ki Rangga tinggal melayani seorang diantara mereka. Namun adalah sulit bagi Ki Rangga untuk dengan cepat menyelesaikannya, karena ternyata orang itu memiliki kemampuan yang tinggi pula.

Yang mengalami nasib yang buruk adalah orang-orang yang bertempur melawan sepupu Warsi itu. Karena luka- luka ditubuhnya, maka orang itu menjadi sangat marah. Ketika sebagian dari lawan-lawannya harus bertempur melawan Ki Ajar yang tidak mereka mengerti tingkat kemampuannya, maka sepupu Warsi itu mendapat kesempatan untuk membalas sakit hati dan sakit ditubuhnya. Dengan sisa tenaganya, maka iapun telah mampu memisahkan seorang diantara lawan-lawannya, sementara yang lain terlibat dalam pertempuran yang sengit dengan Ki Ajar Paguhan yang bersenjata sebatang tongkat besi yang juga dapat dirampasnya dari salah seorang lawannya sebagaimana Ki Randu Keling.

Sepupu Warsi itu ternyata juga memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Ketika bertempur melawan beberapa orang sekaligus ia memang menemui kesulitan, bahwa tubuhnya mulai terluka. Tetapi ketika ia mendapat kesempatan bertempur hanya dengan seorang lawan, maka lawannyalah yang segera mengalami kesulitan.

Dengan tangkasnya sepupu Warsi itu melihat lawannya dalam pertempuran berjarak pendek, lebih pendek dari senjata masing-masing. Dengan kecepatan yang sangat tinggi, maka sepupu Warsi itu telah menggerakkan senjatanya. Menepis senjata lawannya kesamping, namun kemudian memutar senjatanya sendiri dan langsung mematuk kedada menembus jantung. Lawannya terkejut. Matanya terbelalak. Namun kemudian orang itu tidak lagi mampu mempertahankan hidupnya.

Sepupu Warsi itu meloncat surut sambil menarik senjatanya. Lawannyapun kemudian telah terhuyung- huyung dan jatuh tertelungkup.

Seorang kawannya yang melihat menjadi marah sekali.

Iapun segera meninggalkan Ki Ajar Paguhan dan menyerang perempuan itu. Namun ujung senjatanya sama sekali tidak menyentuhnya. Pedang lawannya itu menyambar diatas kepalanya ketika perempuan itu merendah.

Hampir berbareng, tangannya telah terjulur lurus. Senjatanya hampir saja mengenai lambung. Namun lawannya itu segera menggeliat. Satu loncatan kecil saja kesamping sambil memutar tubuhnya. Senjata perempuan itupun berputar pula menebas mendatar. Tetapi lawannya yang baru itu sempat meloncat mundur. Namun demikian ketika kakinya berjejak ditanah, perempuan itu telah memburunya, menggapai tubuhnya dengan pedang.

Lawannya tidak mempunyai kesempatan lain kecuali menjatuhkan diri sambil berguling. Dengan serta merta kemudian melenting berdiri sambil menyilangkan senjatanya dimuka dadanya siap menghadapi segala kemungkinan.

Saudara sepupu Warsi itu tidak membiarkannya. Iapun telah meloncat pula dan menebas mendatar. Lawannya masih sempat mengelak bahkan telah menyerangnya pula dengan senjata yang berputaran. Namun saudara sepupu Warsi itu ternyata lebih tangkas. Sambil meloncat kesamping ia menebas mengarah ke dada. Namun dengan serta merta ia menggeliat dan berputar setengah putaran dengan cepat. Tangannyapun terjulur menikam lambung. Ketika lawannya mengayunkan senjatanya menangkis serangan itu, iapun telah menarik senjata dan dengan serta merta mengangkatnya dan terayun deras.

Lawannya terkejut sekali mengalami serangan itu.

Senjata perempuan itu bagaikan akan membelah kepalanya. Karena itu, maka iapun telah meloncat kesamping.

Tetapi yang terjadi adalah tidak dimengertinya. Senjata perempuan itu tidak terayun tegak lurus dari atas kepalanya dan membelah ubun-ubunnya, tetapi demikian ia meloncat kesamping, senjata itu telah terayun mendatar mengoyak lambungnya.

Orang itu telah terlempar beberapa langkah surut. Namun ia tidak berhasil menjaga keseimbangannya sehingga iapun telah jatuh berguling ditanah.

Dibagian lain, pertempuran telah berubah sama sekali.

Rasa-rasanya dilingkungan yang lain Ki Ranggalah yang tinggal bertempur dengan pemimpin dari orang -orang yang datang kerumah itu. Sementara yang lain, tanpa mereka ketahui terjadinya, menjadi tidak berdaya lagi.

Sebagian terbaring diam, sedangkan seorang diantara mereka masih sempat merangkak menepi.

Dilingkaran pertempuran yang satu lagi, Puguh yang terluka masih saja bertempur dengan garangnya melawan dua orang lawan. Dengan mengerahkan tenaganya, maka Puguh berhasil bertahan dan bahkan sekali-sekali menyerang. Namun beberapa saat kemudian, terasa darahnya pula mengalir lagi dari luka-luka dipunggung. Bukan karena luka-luka baru dalam pertempuran itu. Tetapi luka-luka yang didapatkannya disaat ia bertempur melawan seekor harimau di hutan perburuan itu.

Ki Randu Keling yang sudah kehilangan semua lawan- lawannya yang diambilnya dari Ki Rangga kecuali seorang yang nampaknya memiliki kemampuan seimbang, melihat keadaan Puguh. Ki Randu Keling memang mencemaskan keadaan anak muda itu. Luka-lukanya akan dapat berdarah lagi sebagaimana telah terjadi, Sedangkan Warsipun telah menjadi semakin terdesak. Karena ia masih belum sembuh benar, maka Warsi tidak dapat meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Seperti pesan Ki Randu Keling, ia tidak dapat melepaskan ilmu Gelap Ngamparnya. Jika ia memaksakannya, maka jantungnya akan dapat terganggu sehingga ilmu itu akan dapat memukulnya sendiri.

Karena itu, maka seorang diantara lawan-lawannya itu telah mendesaknya sambil berkata lantang, “Mana Aji Gelap Ngampar itu? Aku kira kau akan melepaskan suaramu yang nyaring yang akan menghentak-hentak isi dada kami.

Memecahkan jantung kami dan mematahkan tulang-tulang iga kami.”

Warsi menggeram. Memang hampir saja ia kehilangan kesabaran dan melepaskan ilmu Gelap Ngamparnya.

Namun ketika ia melihat Ki Randu Keling melangkah mendekati arena pertempuran itu, niat itu diurungkannya.

Beberapa saat Ki Randu Keling menunggui pertempuran itu. Tetapi dua orang yang bertempur dilingkaran itu adalah dua orang yang semuanya sedang terluka. Sejenak Ki Randu Keling berpaling ke arena yang lain lagi. Tetapi nampaknya Ki Ajar Paguhan dan sepupu Warsi itupun akan segera menyelesaikan pertempuran itu.

Karena itu, maka sejenak kemudian Ki Randu Kelingpun telah mendekati Puguh sambil berkata, “Puguh, lukamu akan kambuh kembali.”

Puguh tidak menjawab. Ia memang tahu pasti, bahwa darah sudah terlanjur meleleh. Tenaganyapun mulai terasa susut. Tetapi ia tidak ingin menjadi seorang yang disebut cengeng oleh ibunya.

Namun kakeknyalah yang kemudian berkata, “Biarlah lain kali kau tunjukkan kemampuanmu seutuhnya.

Sekarang kau sedang terluka.”

Puguh masih saja tidak menyahut. Namun Warsi yang semakin terdesak itu mendengar kata-kata Ki Randu Keling.

Sementara itu, Warsipun melihat bahwa Ki Randu Keling telah memasuki arena. Ia telah mengambil satu di antara lawan Puguh. Begitu mudahnya. Dalam waktu yang singkat maka orang itu telah terlempar dari arena dan jatuh berguling. Agaknya tulang punggung terasa bagaikan patah. Ketika ia mencoba untuk bangkit, maka iapun telah berjongkok kembali. Bahkan kemudian merangkak perlahan-lahan menepi.

Ki Randu Kelingpun kemudian berpaling kepada lawan- lawan Warsi. Perlahan-lahan ia melangkah mendekat.

Seperti yang dilakukan atas lawan Puguh, maka iapun telah memungut seorang diantara mereka. Memang kemudian terjadi pertempuran beberapa saat dengan Ki Randu Keling. Tetapi akhirnya orang itupun telah terlempar pula membentur sebatang pohon. Rasa-rasanya tulang lengannyalah yang retak oleh benturan yang keras itu. Karena itu, maka iapun tidak lagi sanggup melanjutkan pertempuran. Perasaan sakit telah mencengkamnya sehingga mulutnya selalu menyeringai menahan sakit yang hampir tidak tertanggungkan.

Giliran berikutnya adalah lawan Warsi yang seorang lagi.

Orang itupun tidak akan dapat bertahan terlalu lama melawan Ki Randu Keling.

Namun dalam pada itu, lawan Warsi yang mengetahui keadaan kelompoknya menjadi sulit, telah berusaha menghentakkan ilmunya. Tubuhnya tiba-tiba saja mengeras bagaikan batu. Benturan-benturan senjata yang terjadi justru telah menggetarkan tangan Warsi. Sepasang trisula di tangan orang itu, terayun-ayun mengerikan. Rantai yang diayunkan Warsi dengan sekuat tenaganya, kadang-kadang justru terpental. Jika senjata itu membelit salah satu dari kedua trisula itu, maka Warsi akan mengalami kesulitan.

Ki Randu Keling yang dalam waktu yang singkat telah menyelesaikan lawannya, ternyata tidak sampai hati melihat kesulitan yang dialami oleh Warsi dan apalagi Puguh yang darahnya semakin banyak mengalir, sehingga kekuatannyapun susut.

Karena itu, maka dengan serta merta Ki Randu Keling telah menghentikan pertempuran antara Puguh dan lawannya. Tiba-tiba saja lawannya itu bagaikan lumpuh dan jatuh terguling ditanah. Puguh yang berdiri termangu- mangu ternyata tidak menghunjamkan senjatanya didada lawannya yang tidak berdaya. Dibiarkannya saja lawannya berusaha untuk bangkit. Bahkan Puguh telah mundur selangkah sambil mempersiapkan diri. Tetapi ternyata lawannya tidak mampu lagi bangkit. Sementara itu, Warsi yang belum sembuh benar itu telah mengalami kesulitan yang gawat. Meskipun lawannya kemudian tinggal seorang, tetapi tenaganya benar-benar telah susut. Pundaknya yang pernah dilukai Iswari di pangkal lehernya mulai terasa mengganggu, sementara itu, ilmunya masih belum cukup mapan untuk melepaskan Aji Gelap Ngampar. Sedangkan lawannya menjadi semakin garang. Tubuhnya benar-benar bagaikan menjadi batu.

Ketika sekali ujung rantai Warsi sempat menyentuh tubuh itu, rasa-rasanya tubuh itu tidak terpengaruh sama sekali.

Ki Randu Keling tidak dapat membiarkan kesulitan yang dialami oleh Warsi. Meskipun menurut penilaian Ki Randu Keling, jika ilmu Warsi dalam keadaan utuh, maka orang itu tidak akan mampu mengalahkannya. Selain ilmu Gelap Ngampar, maka Warsi akan dapat melawan kekuatan orang itu dengan hentakkan-hentakkan ilmunya.

Tetapi dalam keadaan yang tidak menguntungkan, Warsi tidak akan dapat mempergunakan kemampuannya seutuhnya. Apalagi jika Warsi akan dapat melawan kekuatan orang itu dengan hentakkan-hentakkan ilmunya.

Tetapi dalam keadaan yang tidak menguntungkan, Warsi tidak akan dapat mempergunakan kemampuannya seutuhnya. Apalagi jika Warsi mendapat kesempatan bertempur dibawah sinar bulan penuh, meskipun Ki Randu Kelingpun menganggap bahwa pengaruh sinar bulan itu terutama adalah pengaruh jiwani yang akan dapat muncul sebagai pengaruh kewadagan karena gelora yang dahsyat didalam diri Warsi.

Karena itu, maka Ki Randu Kelingpun telah ikut campur pula. Perlahan-lahan ia mendekati arena pertempuran antara Warsi dengan lawannya yang semakin garang itu. Tanpa minta ijin kepada Warsi, maka Ki Randu Keling telah melibatkan diri. Bahkan kemudian iapun telah mendesak lawan Warsi itu untuk bergeser menjauhinya.

Warsi berdiri termangu-mangu. Ia tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan lawannya itu dalam keadaannya. Ia masih belum dapat mengerahkan kekuatan dan kemampuan ilmunya karena lukanya memang belum sembuh. Bahkan rasa-rasanya tubuhnya telah mulai menjadi sangat lemah. Tanpa kehadiran Ki Randu Keling dan anaknya, Puguh, maka kemungkinan yang lain akan dapat terjadi.

Karena itu Warsi tidak dapat mencegah Ki Randu Keling yang telah merebut lawannya. Untuk saat ia telah melupakan harga dirinya. Apalagi Ki Randu Keling adalah orang yang telah menyelamatkannya sampai dua kali serta orang tua yang masih mempunyai aliran darah dari sumber yang sama. Karena itu maka Warsi tidak menghalangi kakeknya itu mengambil lawannya.

Untuk beberapa saat Warsi sempat menyaksikan Ki Randu Keling bertempur melawan orang itu. Orang yang mampu menjadikan dirinya sekeras batu, namun yang masih mampu bergerak secepat dan setangkas burung sikatan.

Tetapi Ki Randu Keling adalah orang yang mumpuni. Orang yang memiliki ilmu yang jarang ada bandingnya. Karena itu, maka bagaimanapun juga lawannya mengerahkan ilmunya, namun ia tidak akan mampu mengatasi tingkat kemampuan ilmu Ki Randu Keling.

Karena itu perlahan-lahan orang itu terdesak. Semakin lama orang itu semakin mengalami kesulitan. Namun keadaan Warsipun menjadi semakin lemah. Ia telah memeras ilmunya yang mampu dikerahkan sampai tuntas justru dalam keadaannya yang lemah. Untunglah bahwa ia masih dapat menahan diri tidak melepaskan ilmu puncaknya, sehingga ia tidak kehabisan tenaga dan jalur nafasnya tidak terputus karenanya.

Tetapi dalam keadaan yang sangat lemah, hampir saja Warsi tidak dapat bertahan tegak berdiri. Untunglah Puguh dengan cepat meloncat menahannya sehingga ibunya itu tidak terjatuh di tanah.

Perlahan-lahan dan hati-hati Puguh membawa ibunya menepi. Kemudian didudukannya ibunya disudut sambil bersandar dinding.

Puguh sendiri, pandangan matanya sudah mulai menjadi kabur. Tetapi seperti saat ia bertempur melawan harimau. Ia tidak mau menjadi pingsan. Karena itu, iapun masih juga bertahan menunggui ibunya yang sangat lemah.

Ki Rangga melihat keadaan itu. Tetapi ia masih bertempur melawan seorang yang memiliki ilmu seimbang. Bahkan semakin lama Ki Rangga bertempur, maka Ki Kanggapun menjadi semakin yakin bahwa orang itu tentu juga seorang prajurit. Unsur-unsur geraknya meskipun berlandaskan pada ilmu dari sebuah perguruan, namun perkembangannya menunjukkan tanda-tanda keprajuritan.

Betapapun Ki Rangga mengerahkan ilmunya, namun ia tidak dapat dengan cepat mengalahkan lawannya. Karena itu, maka ia tidak segera dapat menolong Warsi. Rasa- rasanya Ki Rangga tidak rela melihat anak yang dibencinya itu sempat menolong ibunya. Namun Ki Rangga itu tidak dapat terlepas dari lawannya yang sangat marah itu.

Sementara itu, sepupu Warsipun telah selesai pula dengan lawan-lawannya dibantu oleh Ki Ajar Paguhan. Karena itu, maka iapun telah mendekati Warsi dan membantu menolong Warsi. Bahkan sepupu Warsi yang juga terluka itu telah bergegas masuk keruang dalam dan sempat membawa semangkuk air.

“Minumlah Warsi,“ b erkata perempuan itu.

Warsi minum seteguk. Terasa kerongkongannya yang kering itupun menjadi basah.

Dalam pada itu, sikap Ki Randu Keling terhadap lawannya yang seorang ini agak berbeda dengan yang lain. Ki Randu Keling membiarkan lawan-lawannya yang lain kehilangan kemampuannya untuk melawan. Tetapi sama sekali tidak membunuhnya.

Namun yang seorang ini agak berbeda. Justru semakin lama ia melakukan perlawanan, maka Ki Randu Keling-pun menjadi semakin marah.

Akhirnya, ketika Ki Randu Keling menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya, orang itu memang tidak dapat bertahan. Tubuhnya memang keras seperti batu oleh kekuatan ilmunya, tetapi Ki Randu Keling tidak berusaha memecahkan batu itu. Tetapi tangannyalah yang seakan- akan telah membara. Dengan jari-jarinya yang mengembang, maka Ki Randu Keling telah menyentuh tubuh lawannya. Meskipun tubuh itu menjadi sekeras batu, tetapi jari-jari Ki Randu Keling yang membara itu sempat juga membakar kulitnya. Beberapa saat pertempuran itu berlangsung. Namun akhirnya orang itu tidak berhasil mempertahankan dirinya, bahkan mempertahankan hidupnya. Pada saat-saat Ki Randu Keling benar-benar marah, maka beberapa kali sentuhan tangan Ki Randu Keling tidak saja terasa panas kulitnya. Namun hentakkan ilmu Ki Randu Keling rasa- rasanya telah meruntuhkan isi dadanya.

Ketika sebuah serangan telapak tangan Ki Randu Keling mengenai dada orang itu, maka tulang-tulang iganya telah berpatahan. Tubuhnya yang mengeras seperti batu tidak mampu bertahan terhadap serangan Ki Randu Keling itu. Apalagi Ki Randu Keling memang tidak menahan dirinya. Orang itu menurut Ki Randu Keling adalah orang yang bertanggung jawab bersama-sama dengan lawan Ki Rangga.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar