Pelantikan Para Malaikat Jilid 11

Jilid 11

Waktu beredar cepat sekali, tanpa terasa telah tiba tahun baru Imlek lagi. Para pembesar sipil maupun militer pada berdatangan ke kota-raja untuk mengucapkan Selamat Tahun Baru pada Kaisar. Demikian pula isteri mereka ikut serta bertahun baru dengan Souw Tat Kie yang kini berkedudukan sebagai Permaisuri. Salah seorang isteri pejabat penting yang hadir adalah Keh-si, isteri Oey Hui Houw, di samping ingin mengucapkan Selamat Tahun Baru pada Souw Tat Kie, dia pun bermaksud menemui iparnya, Permaisuri- muda Oey Kui Hui. Kehadiran Keh-si merupakan kesempatan baik bagi Souw Tat Kie untuk membalas dendam pada Oey Hui Houw. Namun di luarnya dia bersikap ramah terhadap Keh-si.

"Berapa usia nyonya sekarang?", tanya Tat Kie.

"39 tahun", sahut Keh-si.

"Tapi nyonya masih tampak cantik menawan, bagaikan wanita yang berusia 20-an", puji Souw Tat Kie.

"Hong-houw sungguh pandai memuji", bersemu merah wajah Keh-si.

"sesungguhnya saya telah setengah baya, sudah tua".

"Sungguh nyonya, aku telah mengatakan yang sesungguhnya", Souw Tat Kie tersenyum ramah.

"aku merasa cocok dengan nyonya, mari kita saling angkat saudara". Walau Keh-si ingin menolak, tapi Tat Kie telah menyuruh dayang menyiapkan meja perjamuan. Usia Keh-si 8 tahun lebih tua, maka Tat Kie memanggilnya Cici, kakak. Selagi mereka makan minum, mendadak ada yang mengabarkan Kaisar datang. Mendengar itu, Keh-si segera bersembunyi ke belakang istana. Tat Kie menyambut kehadiran Touw Ong. Ketika melihat banyak makanan yang terhidang di meja, Kaisarbertanya .

"Sedang menjamu siapa kau?".

"Keh-si, isteri dari raja-muda Bu-cheng", sahut Tat Kie, kemudian balik bertanya.

"Pernahkan Tuanku bertemu dengannya?".

"Tata-krama kerajaan tidak memperkenankan Kaisar memandang isteri menteri atau pejabat kerajaan lainnya", Touw Ong menerangkan.

"Keh-si adalah kerabat Tuanku, sebab Oey Kui Hui adalah adik suaminya, hingga tak ada salahnya bila Tuanku bertemu dengannya. Tapi sekarang, sebaiknya Baginda pergi ke ruang lain dulu, nanti akan saya undang Keh-si ke Cai Seng-louw (Menara Pemetik Bintang), di sanalah Tuanku dapat meresapi kecantikannya". Kaisar yang 'mata-keranjang"

Ini, langsung menyetujui usul Souw Tat Kie.

Begitu Kaisar berlalu, Tat Kie segera mengajak Keh-si ke 'Menara Pemetik Bintang'.

Keh-si yang terdorong oleh rasa ingin tahu, ikut Souw Kie ke menara yang terkenal mewah tersebut.

Di menara itu telah disiapkan meja perjamuan.

Ketika mereka baru saja duduk di sisi meja perjamuan, telah datang seorang pelayan yang mengabarkan mengenai kedatangan raja ke situ.

Keh-si tak lagi memiliki tempat bersembunyi.

Souw Tat Kie menyarankan agar dia menanti di balkon.

Keh-si terpaksa menuruti saran Tat Kie.

Touw Ong masuk, berpura-pura bertanya pada Souw Tat Kie.

"Siapa yang berdiri di balkon?". Nyonya Keh, Tuanku, isteri raja-muda Bu-cheng", Tat Kie menerangkan. Keh-si tak dapat berbuat lain kecuali menemui Kaisar, berlutut di hadapan Touw Ong. Touw Ong segera menyilakannya bangkit dan dia jadi amat tertarik pada kecantikan isteri menterinya, memperkenankan Keh-si duduk di sisi meja perjamuan. Namun Keh-si menolak dengan mengemukakan alasan.

"Tak pantas sebagai isteri menteri, hamba duduk sejajar dengan Kaisar danPermaisuri".

"Janganlah kakak bersikap begitu", ucap Tat Kie.

"kita telah saling mengangkat saudara, hingga kau merupakan ipar Kaisar, maka wajar bila Cici duduk bersama kami". Namun Keh-si bukannya duduk, malah berlutut seraya memohon diperkenankan untuk meninggalkan menara tersebut.

"Bila kau tak sudi duduk bersama kami, aku akan menghidangkan secawan arak padamu", kata Kaisar. Touw Ong membuktikan ucapannya, menghampiri Kehsi sambil membawa secawan arak. Merah padam wajah Keh-si saking malu campur dongkol, karena menganggap dirinya telah diperolok-olokkan oleh Kaisar dan Permaisuri. Dia segera mengambil cawan arak itu, menimpuk kepala Touw Ong seraya berseru.

"Kau benar-benar Kaisar yang telah dibikin buta oleh bujuk-rayu wanita! Selama ini suamiku telah begitu setia dan banyak berjasa bagi kerajaan, tapi kau bukan saja tidak menghargainya, malah telah mendengar kata Tat Kie untuk menghina isterinya! Kaisar sepertimu tentu akan mati secara tak wajar, demikian pula Souw Tat Kie!". Touw Ong jadi sangat gusar, segera memerintahkan untuk menangkap Keh-si. Keh-si segera lari ke balkon, berpaling ke arah rumahnya seraya berkata.

"Jenderal Oey, hari ini kukorbankan diri demi kehormatanmu! Oh Thian, apa yang akan terjadi dengan ketiga anakku....?". Namun dia tak dapat berkata lebih jauh, sebab pengawal istana telah datang memburunya, membuat Keh-si segera terjun dari balkon menara dan melayanglah jiwanya. Agak menyesal juga Touw Ong akan perbuatannya barusan. Oey Kui Hui ketika mendengar kematian iparnya, lantas pergi ke Cai Seng-louw.

"Sungguh keji kau!", makinya begitu bertemu dengan Touw Ong.

"selama ini keluargaku selalu membantu kerajaan Siang. Kakakku bukan saja telah menumpas bajak laut di Timur, juga berhasil memadamkan pemberontakan di Barat. Sedangkan ayahku takhentinya melatih tentara, agar menjadi prajurit kerajaan yang tangguh. Tapi apa balas jasamu? Kau malah telah membunuh kakak- iparku pada hari Tahun Baru ini. Benar-benar keji kau". Karena amarahnya yang begitu memuncak, Oey Kui Hui telah lupa akan segalanya, lupa akan tatakrama istana. Touw Ong tak bersuara.

"Semua ini gara-gara kau juga, perempuan berhati binatang!", Oey Kui Hui menuding Tat Kie.

"dengan siasatmu yang keji-licik, kau telah memancing kakak iparku ke menara ini, untuk kau jadikan umpan pemuas nafsu Baginda!". Begitu selesai berkata, Oey Kui Hui segera menjambak rambut dan mendorong Tat Kie hingga jatuh terguling, memukulinya. Sesungguhnya Souw Tat Kie dapat saja melakukan perlawanan dengan menggunakan kesaktiannya, namun dia tak berani memperlihatkannya di hadapan Kaisar, khawatir terbuka kedoknya. Maka dia hanya menjerit-jerit meminta tolong. Tat Kie tak bersalah", Touw Ong berusaha melerainya.

"iparmu sendiri yang merasa malu karena telah terlihat olehku, membuatnya membuang diri ke bawah menara".

"Aku tak percaya", Oey Kui Hui tetap diliputi kemarahan.

"biar bagaimana juga aku harus menghajarnya sampai mati, untuk membalas kematian kakak iparku".

"Sabar", Touw Ong terus berusaha memisahkannya, bermaksud memegang tangan Oey Kui Hui. Oey Kui Hui menggerakkan tangan, tanpa disengaja telah menampar muka Kaisar.

"Kurang ajar kau!", Touw Ong gusar sekali.

"sudah bosan hidup kau rupanya, hingga berani menamparku!". Sang Kaisar segera memegang dan mengangkat tubuh Oey Kui Hui, melemparnya ke bawah menara. Ketika dia menyadari kesalahannya, telah terlambat, yang membuatnya amat menyesal. Tapi Touw Ong sama sekali tidak menyalahkan Souw Tat Kie. ... Pelayan Keh-si yang menanti di luar istana, ketika mendengar musibah yang menimpa majikannya, juga Oey Kui Hui, langsungberlari pulang. Oey Hui Houw tengah merayakan Tahun Baru Imlek bersama ketiga anaknya. Thian Lok, Thian Ciok dan Thian Siang; yang dihadiri pula oleh saudara dan saudara angkatnya. Oey Hui Piao, Oey Hui Pa, Oey Beng, Chiu Kie, Liong Hoan dan Gouw Kiam. Panas hati Oey Hui Houw, campur sedih juga, ketika mendengar musibah yang menimpa diri isteri dan adiknya. Oey Beng berpendapat, bahwa persoalannya cukup jelas. Touw Ong telah tergila-gila pada kecantikan Keh-si. Sedang isteri Oey Hui Houw yang tak ingin dinodai kehormatannya dan juga keluarganya, segera melompat dari atas menara, yang mengakibatkannya menemui ajalnya. Sedang Oey Kui Hui tentu sangat marah ketika mendengar kematian kakak-iparnya, langsung menemui Touw Ong dan Souw Tat Kie, memaki mereka. Sebagai Kaisar, Touw Ong tentu tak ingin dirinya dicaci, walau sesungguhnya dirinya bersalah. Dalam kalapnya dia telah mencelakai sang Permaisuri-mudanya.

"Bila Kaisar tak adil, para hambanya tentu akan mencari junjungan lain", kata Oey Beng lebih lanjut.

"padahal telah cukup banyak jasa kita terhadap kerajaan, tapi apa imbalan yang kita peroleh!? Kita harus menentang sikap Kaisar yang tidak adil itu!".

"Kami sependapat!", sambut Chiu Kie, Liong Hoan dan Gouw Kiam dengan suara hampir bersamaan. Oey Beng bersama ketiga saudara angkatnya itu segera mengambil senjata masing-masing, bermaksud menemui Kaisar. Namun Oey Hui Houw segera mencegahnya.

"Tunggu! Kalian ingin mencelakai keluargaku? Apa hubungannya kematian isteriku dengan kalian? Selama tujuh turunan keluargaku telah mengabdikan diri pada kerajaan Siang, apakah hanya garagara seorang wanita aku harus menentang kerajaan yang telah banyak memberikan budi-kebaikan pada keluargaku!?". Keempat saudara angkatnya membisu. Tapi selang sesaat, mendadak Oey Beng tertawa seraya berkata .

"Tepat sekali kata-kata kak Hui Houw, persoalan ini memang tak ada hubungannya dengan kami". Oey Beng mengajak saudara angkat lainnya kembali ke sisi meja,melanjutkan makan minum dengan diselingi sendagurau.

"Kenapa kalian bersuka-ria?", tambah panas hati Oey Hui Houw menyaksikan ulah para saudara angkatnya.

"Yang sedih kan cuma kak Hui Houw, sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan kami", sahut Oey Beng sambil tersenyum lebar.

"orang lain pada gembira menyambut kehadiran Tahun Baru".

"Baiklah aku berterus terang", sela Chiu Kie.

"sesungguhnya kami menertawakan kau".

"Apa maksud kalian?", Oey Hui Houw tambah dongkol campur heran.

"Bagi orang yang tak tahu persoalannya, tentu akan menuduhmu mengandalkan kecantikan isteri untuk memperoleh jabatan". Oey Hui Houw benar-benar tersinggung, berseru marah dan menyuruh mengemasi barang-barang.

"Akan ke mana kita?", tanyanya kemudian.

"Kita menghadap Bu Ong di See-kie", sahut Oey Beng.

"Tapi sebaiknya lebih dulu kita tantang Touw Ong berperang tanding", Chiu Kie menyarankan, dengan maksud agar pendirian Oey Hui How tak berobah lagi. Oey Hui Piao, Oey Hui Pa bersama Thian Lok, Thian Chiok dan Thian Siang, Liong Hoan dan Bu Kiam, mengajak 1000 prajurit serta membawa gerobak-gerobak barang keluar dari pintu gerbang kota Barat. Sedang Oey Hui Houw bersama Oey Beng dan Chiu Kie pergi ke istana, menantang Touw Ong berperang tanding. Touw Ong amat gusar, memimpin langsung pasukan pengawal istana. Tapi setelah bertempur beberapa saat, Touw Ong dan pasukannya terdesak, yang memaksa Kaisar harus melarikan diri, kembali ke istana. Chiu Kie bermaksud mengejarnya, tapi segera dicegah oleh Oey Hui Houw dan mengajak saudara angkatnya untuk meninggalkan kota- raja. Para pejabat tinggi kerajaan terkejut ketika mendengar berita itu, bergegas menghadap Kaisar untuk menanyakan duduk persoalannya.

"Keh-si, isteri Oey Hui Houw, telah berlaku kurang ajar terhadapku, mungkin karena takut dihukum, dia segera melompat dari atas 'ChaiSeng-louw' Sedang Oey Kui Hui yang mengandalkan pengaruh saudaranya, telah menghina Permaisuri, membuatku naik pitam dan tanpa sengaja kudorong tubuhnya hingga terjatuh ke bawah menara. Mengenai berontaknya Oey Hui Houw belum jelas sebabnya bagiku. Mungkin dia ingin membalas kematian isteri dan adik perempuannya itu", Tiu Ong (Touw Ong) mengemukakan alasan. Baru selesai Touw Ong berkata, seorang pembantunya memberitahukan, bahwa Bun Taysu (Bun Tiong) telah berhasil menumpas pemberontakan di Luat Timur dan kini mengharap dapat menghadap Kaisar. Touw Ong menyilakannya masuk. Ketika Bun Taysu masuk dan tak melihat Oey Hui Houw, dia segera menanyakannya. Touw Ong terpaksa memberi penjelasan seperti yang telah dikemukakannya di hadapan para pejabat tinggi kerajaan. Menurut pendapat hamba, dalam hal ini Tuanku bersalah", ucap Bun Taysu.

"Oey Hui Houw adalah pejabat yang setia terhadap kerajaan. Hamba harap sudilah baginda mengampuninya dan memanggilnya kembali". Namun pendapat itu ditentang oleh seorang menteri muda yang bernama Chie Yong, yang mengemukakan pendapat, seandainya Oey Hui Houw yang telah berani melawan Kaisar itu diampuni, nantinya tentu akan banyak pejabat yang meniru ulahnya, hingga Touw Ong tak lagi memiliki wibawa sebagai seorang Kaisar! Bun Taysu menganggap ucapan Chie Yong cukup beralasan, maka dia pun tak mendesak Kaisar lebih jauh, bahkan menyuruh dua orang muridnya. Kie Lek dan Yu Keng, untuk berangkat ke kota-kota Leng- tong-koan, Chia-beng-koan dan Ceng-liong-koan, memberitahukan para penguasa dari tiga kota tersebut, untuk tidak memberi jalan pada Oey Hui Houw beserta rombongannya. Sebab mereka telah melakukan pemberontakan terhadap kerajaan. Sedangkan Bun Taysu sendiri memimpin pasukan, melakukan pengejaran. Rombongan Oey Hui Houw telah berhasil menyeberangi Sungai Kuning (Huang Ho). Tiba-tiba mereka memperoleh kabar, bahwa darisebelah kiri telah menyusul pasukan dari Cengliong-koan, yang dipimpin oleh Thio Kui Hong dan dari bagian kanan muncul pasukan dari Leng-tong-koan, yang dipimpin oleh Tan Tong. Sedang di bagian depan menghadang pasukan dari Chia-beng-koan, yang dipimpin oleh Mo Lee Ang. Dari arah belakang mengejar pasukan kerajaan yang dipimpin langsung oleh Bun Taysu. Mendengar kabar itu, Oey Hui Houw jadi kebingungan, mendekati putus asa. Sebab dia menyadari kalau dirinya bersama saudara angkatnya sulit untuk dapat menandingi Bun Tiong dan lain-lainnya. Sungguh kebetulan, kala itu Dewa Cheng Sie To Tek Chin Kun, sedang naik awan lewat di tempat itu, ketika tahu akan kesulitan yang sedang dihadapi Oey Hui Houw beserta rombongannya, sang Dewa segera meminta bantuan Malaikat Oey Bwe Tong menggunakan kesaktiannya untuk memindahkan Oey Hui Houw beserta rombongan ke Po-cheng-san, membuat para penghadang dan pengejar itu jadi kehilangan jejak rombongan Hui Houw. Pemimpin dari tiga kota, Thio Kui Hong, Mo Lee Ang dan Tan Tong, segera melapor pada Bun Taysu, bahwa mereka mendadak telah kehilangan jejak rombongan Oey Hui Houw, lalu kembali ke kota masing-masing. Sedangkan Bun Taysu bersama pasukannya tetap berdiam di tempatnya semula, sebab dia menduga Oey Hui Houw masih berada di belakangnya, walau dia tak tahu pasti penyebab dari keterlambatan perjalanan Hui Houw dan rombongan. Menyaksikan keadaan itu, Dewa Cheng Sie To Tek menyadari, kalau Oey Hui Houw beserta rombongannya tetap tak dapat melanjutkan perjalanan, sebab mereka bukanlah tandingan Bun Taysu. Maka sang Dewa segera mengeluarkan kesaktiannya, membuat Oey Hui Houw beserta rombongan seakan seperti menempuh jalan balik untuk menyerbu kotaraja, membuat Bun Taysu bergegas mengajak pasukannya kembali ke kota-raja. Setelah itu barulah Dewa Cheng Sie To Tek meminta Malaikat Oey Bwe Tong memakai kesaktiannya lagi, untuk memindahkan kembali Oey Hui Houw ke tempatnya semula.Segalanya itu berlangsung dalam waktu relatif singkat dan dalam suasana gaib, membuat Oey Hui Houw dan rombongan tak tahu apa yang baru terjadi dan keadaan mereka bagaikan orang mabuk. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Leng-tongkoan. Kehadiran mereka telah dihadang oleh Tan Tong. Panglima kota Leng-tong-koan, Tan Tong, dulunya adalah anak buah Oey Hui Houw, suatu ketika dia melakukan kesalahan fatal, hingga Hui Houw menjatuhkan hukuman mati baginya. Tapi atas permintaan perwira lainnya, Oey Hui Houw terpaksa membebaskannya, hanya diberi peringatan keras, memindahkannya ke bidang lain. Peristiwa itu telah mengakibatkan Tan Tong sakit hati terhadap Oey Hui Houw. Kini dianggap tiba waktunya untuk membalas sakit hatinya itu. Oey Hui Houw amat gusar dihadang oleh bekas anak buahnya. Segera melancarkan serangan. Namun Tan Tong tak mau undur, menangkis, kemudian balas menyerang. Terjadilah perang tanding yang cukup seru. Namun setelah berlangsung belasan jurus, berangsur-angsur Tan Tong terdesak, memutar kudanya, melarikan diri. Oey Hui Houw mengejarnya. Tapi tiba-tiba Tan Tong membalikkan tubuh, menimpuk Oey Hui Houw dengan Hwe Liong-piao (alat penimpuk (piao) Naga Api) dan tepat mengenai sasaran, yang mengakibatkan Oey Hui Houw jatuh terjungkal dari kerbau saktinya dan tewas. Chiu Kie majukan diri, bermaksud membalas sakit hati Hui Houw, tapi sebelum sempat berbuat apa-apa, dirinya telah terkena Hwe Liong- piao juga, yang mengakibatkannya terluka dan jatuh terjungkal dari atas kuda dan menghembuskan nafas terakhir. Setelah memperoleh kemenangan, Tan Tong masuk kembali ke dalam kota. Oey Hui Piao dan lain-lainnya terpaksa mengangkat jenazah Hui Houw dan Chiu Kie ke tegalan, menyiapkan penguburannya. Di lain fihak, Dewa Cheng Sie To Tek, telah kembali ke tempat bersemayamnya di Cheng Hong-san. Melalui kesaktiannyadiketahuinya, bahwa Oey Hui Houw tengah terancam bahaya, segera memanggil muridnya, Oey Thian Hoa, memerintahkannya segera turun gunung untuk menolong ayahnya.

"Siapa ayah Teecu yang Suhu maksudkan?", tanya Oey Thian Hoa.

"Oey Hui Houw", menerangkan sang guru.

"Hari ini dirinya telah dilukai oleh Hwe Liong-piao Tan Tong di luar kota Leng-tong-koan, yang membawa sampai ke ajalnya. Lekaslah kau berangkat ke sana untuk menghidupkannya kembali". Selesai berkata, Dewa Cheng Sie To Tek memberikan sebilah pedang pusaka serta keranjang bunga pada muridnya. Oey Thian Hoa menerimanya dengan sikap hormat benar.

"Setelah kau berhasil menyelamatkannya dan membantunya melintasi Leng-tong-koan, cepatlah kembali ke mari, jangan mengantarnya sampai ke See-kie", pesan sang guru.

"Baik Suhu", sahut Oey Thian Hoa sambil pamit pada gurunya. Dia segera keluar dari goa Che-yang di gunung Cheng Hong-san, meraup tanah, menebarkannya ke angkasa, menuju ke kota Leng- tong-koan dengan menginjak tanah yang ditebarkannya itu. Tak lama kemudian dia turun di atas tembok kota yang! dituju, memperhatikan seputarnya, terlihat sejumlah pasukan yang berada di tegalan di luar kota tersebut, yang dalam keadaan lesu-sedih. Thian Hoa segera melayang ke arah itu, turun di hadapan mereka sambil memperkenalkan diri dan mengungkapkan maksudnya untuk bertemu dengan Oey Hui Houw. Perwira jaga memberitahukan kedatangan Thian Hoa pada Oey Hui Piao. Hui Piao langsung menyilakan Thian Hoa masuk ke perkemahan. Setelah berbasa-basi sejenak, Thian Hoa memberitahukan siapa dirinya sesungguhnya dan menyatakan ingin menyelamatkan ayahnya. Hui Piao segera mengajaknya ke kemah tempat jenazah Oey Hui Houw dibaringkan. Pucat lesi wajah Hui Houw. Thian Hoa mengeluarkan obat dari dalam keranjang bunga, melarutkannya ke mangkok air, memberi minum ayahnya. Kemudian mengambil obat lainnya, mengobati luka luar Hui Houw. Ketika melihat Chiu Kie yang dibaringkan di sisi jenazah ayahnya,Thian Hoa bertanya .

"Siapa dia?".

"Saudara angkat ayahmu", Hui Piao menerangkan. Oey Thian Hoa segera mengobatinya juga. Tak sampai setengah jam, terdengar Oey Hui Houw berteriak kesakitan, perlahan-lahan duduk. Thian Hoa segera berlutut di hadapan ayahnya seraya menerangkan, bahwa dia adalah anak sulung Hui Houw yang hilang pada 13 tahun yang silam ketika sedang bermain-main di taman bunga, kala itu usianya baru 3 tahun. Dia ternyata telah dibawa oleh Dewa Cheng Sie To Tek, yang kemudian mengangkatnya sebagai murid. Tadi gurunya telah menyuruhnya turun gunung, untuk mengobati ayahnya. Jelaslah segalanya kini bagi Hui Houw, yang membuatnya jadi sangat gembira dapat bertemu dengan anak sulungnya.

"Bagaimana keadaan ibu, ayah?", tanya Thian Hoa setelah berselang sesaat.

"Ibumu telah meninggal, gara-gara soal ibumu, ayah jadi berontak terhadap kerajaan", Oey Hui Houw menerangkan dengan roman sedih, lalu secara singkat menerangkan duduk soalnya. Oey Thian Hoa amat sedih ketika mendengar kabar itu. Tiba-tiba datang laporan, bahwa Tan Tong memimpin pasukan mengurung perkemahan mereka. Oey Hui Houw terkejut ketika mendengar berita itu.

"Jangan khawatir ayah", Thian Hoa berusaha menenangkan ayahnya.

"saya akan membantu ayah menghadapinya". Kepercayaan diri Hui Houw mulai pulih lagi, segera menyongsong kedatangan Tan Tong dengan naik 'Sin Gu' (kerbau Sakti)-nya, langsung melancarkan serangan. Kembali terjadi perang tanding yang seru di antara mereka. Setelah berlangsung lebih dari 20 jurus, Tan Tong mulai keteter menghadapi serangan-serangan Oey Hui Houw, segera melontarkan Hwe Liong-piao, bermaksud menghantam batok kepala Hui Houw. Thian Hoa yang berada di sisi ayahnya, segera mengangkat keranjang bunganya, menyedot masuk senjata penimpuk itu ke dalam keranjangnya. Melihat senjata saktinya berhasil dimusnakan oleh seorang pemuda,Tan Tong jadi sangat marah, segera meninggalkan Oey Hui Houw, menyerang Thian Hoa. Tapi Thian Hoa sama sekali tidak gentar menghadapinya, langsung mencabut pedang, mengacukan ke diri Tan Tong. Pedang sakti pemberian gurunya tiba-tiba memancarkan sinar putih, yang langsung menebas kepala Tan Tong hingga copot dari batang lehernya! Setelah berhasil membunuh Tan Tong, Oey Thian Hoa mengantar rombongan ayahnya melintasi kota Leng-tong-koan, kemudian pamit untuk kembali ke tempat persemayaman gurunya. Oey Hui Houw bersama rombongan melanjutkan perjalanan, sekira berjalan 80 li, tibalah mereka di luar kota Coan-in-koan. Penguasa kota Coan-in-koan adalah Tan Bu, yang merupakan kakaknya Tan Tong. Semula Tan Bu hendak menyambut kedatangan rombongan Oey Hui Houw dengan kekerasan, untuk membalas dendam atas kematian adiknya. Namun atas saran seorang pembantunya yang bernama Ho Sin. Tan Bu kemudian memutuskan untuk menghadapi Oey Hui Houw dengan menggunakan siasat. Dia berpura-pura tak tahu kalau adiknya telah tewas di tangan anak Hui Houw, menyambut hangat kehadiran rombongan Oey Hui Houw, menjamu mereka, kemudian meminta mereka bermalam di kota Coan- in-koan. Oey Hui Houw yang berjiwa polos, menerima baik undangan Tan Bu, bermalamlah dia bersama rombongan di kota tersebut. Malam itu Oey Hui Houw tak dapat tidur. Selewat jam 2 tengah malam, dia dikejutkan dengan bertiupnya angin dari bawah ke atas, disusul dengan munculnya roh Keh-si, isterinya. Sebelum Oey Hui Houw sempat bersuara, roh Keh-si telah berkata.

"Jangan takut Jenderal, saya telah sengaja mengikutimu sampai di sini. Cepatlah Jenderal tinggalkan kota ini, agar tidak mati tertambus. Tolonglah Jenderal merawat baikbaik anak kita. Selamat tinggal!". Selesai berkata, roh Keh-si lenyap dari hadapan Oey Hui Houw. Oey Hui Houw segera membanguni dan mengumpulkan parapengikutnya, menerangkan persoalannya, mengajak mereka segera meninggalkan kota itu. Tapi ketika bermaksud keluar dari tempat mereka menginap, ternyata pintu wisma itu dikunci dari luar. Mereka terpaksa mendobrak pintu, ternyata di luar wisma terlihat tumpukan kayu bakar dalam jumlah banyak sekali. Mereka bergegas menuju ke luar kota. Tapi tak lama Tan Bu beserta pasukannya mengejar mereka. Oey Hui Houw terpaksa harus melayaninya bertanding, Setelah berlangsung belasan jurus, Tan Bu tewas di tangan Oey Hui Houw. Hui Houw mengajak rombongannya melanjutkan perjalanan, menuju ke kota Chieh-pay-koan....



***



"Ayah". Oey Kun yang sedang dilanda amarah, menyambut kehadiran anaknya dengan makian .

"Keturunan keluarga Oey selalu berbakti terhadap orang tua maupun kerajaan, hingga banyak yang menempati kedudukan penting dalam pemerintahan. Tak pernah ada yang seperti kau, yang gara-gara wanita jadi memberontak terhadap kerajaan Siang, hingga sia-sia saja jasa leluhur kita selama ini".

"Tapi ayah ....". Hui Houw bermaksud menjelaskan duduk soalnya.

"Sudah jangan banyak bicara!", potong Oey Kun.

"ayo lekas turun dari binatang tungganganmu, menyerahkan diri un tuk kuikat dan membawamu ke hadapan Kaisar, dengan begitu corengan di muka keluarga Oey dapat terhapus". Hui Houw diam, dianggapnya percuma saja dia memberi penjelasan pada ayahnya yang sedang naik pitam. Oey Kun bermaksud menawan anaknya, tapi telah dicegah oleh Oey Beng.

"Tahan Jenderal!".

"Jadi kau yang membujuk anakku untuk berontak terhadap Kaisar!?", kemarahan Oey Kun kini beralih ke Oey Beng, dengan mata terbelalak menghampirinya.

"Sabar ayah, biar saya ikut ke kota-raja", seru Hui Houw. Namun Oey Kun yang tengah diliputi emosi, tak lagi mendengarucapan anaknya, menyerang Oey Beng dengan tombaknya.

"Maaf Jenderal, saya terpaksa melawan", Oey Beng menangkis. Chiu Kie, Liong Hoan dan Gouw Kiam yang menyadari saudara angkat mereka bukanlah tandingan Jenderal tua yang perkasa itu, segera memajukan diri, mengeroyok Oey Kun. Sebenarnya Oey Hui Houw kurang senang melihat ayahnya dikeroyok, tapi dia tak dapat menyalahkan sikap temantemannya. Sambil bertempur Oey Beng menyuruh Hui Houw segera melarikan diri dari situ. Oey Hui Houw maklum akan maksud baik teman-temannya, lantas cepat-cepat pergi. Melihat anaknya kabur, Oey Kun jadi tambah marah campur putus asa, membuatnya terjatuh dari kuda, mencabut pedang, bermaksud membunuh diri. Oey Beng segera merampas pedangnya. Oey Kun mengumpat-caci Oey Beng beserta saudara angkatnya, dikatakannya tak seharusnya mereka membantu anaknya melakukan pemberontakan terhadap kerajaan Siang.

"Sabar Jenderal". Chiu Kie berusaha menenangkan emosi ayah Hui Houw, kemudian menerangkan betapa kejamnya Touw Ong. Sedang Oey Beng diam-diam menyuruh pembantunya membakar gudang ransum Oey Kun.

"Kalian benar-benar licik lagi keji!", maki Oey Kun pada Oey Beng dan teman-temannya, ketika mendengar gudang ransumnya terbakar.

"Maaf pak", ucap Oey Beng.

"kami terpaksa berbuat begitu, agar Jenderal sudi ikut bersama kami. Sesungguhnya Touw Ong telah dibikin buta oleh kecantikan wanita siluman, yang membuatnya bertindak keji. Sedangkan Bu Ong terkenal sebagai pemimpin yang adil lagi bijaksana. Maka kesanalah kami akan mengabdi --- Terserah bapak bersedia ikut atau tidak bersama kami, tapi hendaknya Jenderal dapat mempertimbangkannya dengan pikiran sehat. Kinipersediaan bahan makanan bapak telah musna terbakar, seandainya bapak berkeras ingin melaporkan kasus ini ke kota-raja, rasanya akan sulit bapak lakukan, bahkan sulit terhindar dari kematian". Oey Kun mempertimbangkan sejenak, kemudian memutuskan untuk ikut rombongan anaknya. Beberapa hari kemudian, rombongan Oey Hui Houw tiba di luar kota Sie-sui-koan. Penguasa kota itu adalah Kolonel Han Yong, yang sangat marah ketika mendengar Oey Hui Houw dan lain-lainnya telah melakukan makar terhadap kerajaan Siang. Dia segera menitah bawahannya yang bernama Ie Hoa, memimpin pasukan untuk menawan Hui Houw dan lain-lainnya. Ie Hoa segera memimpin sejumlah pasukan keluar dari pintu gerbang kota, menantang Oey Hui Houw berperang tanding. Oey Hui Houw segera menyambut tantangan itu dengan naik kerbau saktinya. Terjadilah pertempuran yang cukup seru, tapi belasan jurus kemudian, le Hoa terdesak dan melarikan diri. Oey Hui Houw mengejarnya. Tiba-tiba Ie Hoa mengeluarkan 'Panji Penangkap Roh' yang diperolehnya dari Dewa It Kie Sian-jin dari pulau Hong-lay, menggerak-gerakkannya ke arah Oey Hui Houw. Dari panji itu keluar uap-hitam, yang melilit tubuh Hui Houw hingga tak berkutik dan tertawanlah dia. Le Hoa membawa tawanannya ke atasannya. Han Yong langsung memerintahkan untuk menjebloskan Oey Hui Houw ke dalam penjara. Keesokan harinya, dengan cara yang sama le Hoa telah berhasil menawan Oey Beng, Chiu Kie, Oey Hui Piao dan Oey Hui Pa. Lusanya Liong Hoan, Bu Kiam dan Thian Lok, telah pula kena diringkus oleh Ie Hoa.Oey Kun amat gugup ketika mendengar kabar itu, terpaksa menyerahkan ratna-mutu-manikam yang dibawanya kepada pasukan Han Yong. Kemudian dia mengajak kedua cucunya mendatangi markas Han Yong dengan berdandan sebagai rakyat biasa, sambil berlutut dia memohon pada Han Yong agar sudi membebaskan Hui Houw dan lain- lainnya. Namun permohonannya telah ditolak mentah-mentah oleh penguasa kota tersebut. Penolakan itu menjadikan Oey Kun sangat mendongkol, mengajak kedua cucunya memasuki penjara untuk berkumpul dengan anaknya dan lain-lainnya. Oey Hui Houw amat sedih melihat kehadiran ayah beserta kedua anaknya. Di lain pihak Han Yong sangat girang telah berhasil menangkap Oey Hui Houw dan kawan-kawannya, memerintahkan le Hoa untuk menggiring mereka ke kota-raja, dengan begitu dia akan berjasa bagi kerajaan. Keesokan harinya, Oey Hui Houw serambongan yang seluruhnya berjumlah sebelas orang, dimasukkan ke dalam kereta tawanan', digiring oleh Ie Hoa yang membawa 1000 prajurit ke kota-raja. Namun ketika rombongan tiba di luar kota Choan-in-koan, telah dihadang oleh seorang pemuda yang mengendarai Hong Hwe Lun (Roda Angin dan Api). Pemuda itu tak lain dari Na Cha (Lo Chia), yang diperintah oleh gurunya, Thay Khek Cin-jin, untuk menolong Oey Hui Houw dan kawan-kawannya. (Riwayat Na Cha dapat anda baca dalam KISAH NA CHA di buku DEWI KWAN IM SANG PENOLONG, terbitan kami juga --- Penerbit). Untuk mendapat alasan bertanding, Na Cha meminta le Hoa membayar 'Pajak jalan' sebesar 10 batang emas, baru dia akanmemperkenankan rombongan itu lewat. le Hoa amat gusar, segera menyerang Na Cha. Lo Chia (Na Cha) menyambut serangan tersebut dengan tombaknya. Sulit bagi Ie Hoa untuk melawan murid Dewa, maka dalam beberapa jurus saja, dia sudah ket?t?r, segera melarikan diri. Na Cha mengejarnya dengan mengendarai Hong Hwe Lunnya. Tiba-tiba Ie Hoa mengangkat 'Panji Penangkap Roh', menggoyang- goyangkannya. Dari dalam panji keluar uap hitam, yang akan melilit diri Na Cha. Na Cha sama sekali tak gentar menghadapi senjata sakti lawan, lalu mengangkat tangannya, merampas panji tersebut dan memasukkannya ke dalam kantong kulit macan tutul, kantong wasiatnya. Melihat benda saktinya kena dirampas, le Hoa jadi penasaran campur marah, langsung menyerang Na Cha dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Namun kenyataannya, bukan saja tak dapat melukai lawan, malah dia sendiri muntah darah akibat punggungnya terpukul Kan Kun Choan' (Gelang Alam Semesta) milik Na Cha, yang membuatnya terpaksa harus melarikan diri. Para prajurit yang melihat sang pemimpin buron, segera meninggalkan kereta tawanan, lari lintang pukang. Na Cha lantas membebaskan Oey Hui Houw dan lain-lainnya, memperkenalkan diri serta memberitahukan, bahwa kehadirannya adalah atas perintah gurunya, Thay Khek Cin-jin, untuk membantu Oey Hui Houw dan rombongan melintasi kota Sie-sui-koan. Oey Hui Houw dan lain-lainnya berlutut di hadapan Na Cha sambil mengucapkan terima kasih.

"Tak usah berterima kasih pada Pinto, tapi bersyukurlah pada Thian yang telah meminjam tangan Pinto untuk menyelamatkan Jenderal"

Ucap Na Cha.

"Setelah berhasil melewati Sie-sui-koan, kalian akan tibadi daerah See-kie". Di lain pihak, Ie Hoa jadi sangat malu karena dikalahkan Na Cha dan kehilangan tawanan. Dia terpaksa menemui Han Yong, melaporkan apa yang telah terjadi. Peristiwa itu benar-benar berada di luar dugaan Han Yong. Tiba-tiba ada petugas yang melaporkan, bahwa di luar pintu gerbang kota muncul seseorang, yang kakinya berpijakkan Hong Hwe Lun (Roda Angin dan Api), di tangannya memegang tombak dan mengaku bernama Lie Na Cha. Kedatangannya untuk menantang Han Yong bertanding. le Hoa yang berdiri di sisi Han Yong, memberitahu .

"Orang itulah yang merampas kereta tawanan pak". Han Yong amat gusar, segera keluar pintu gerbang dengan menunggang kuda dan bersenjatakan golok bergagang panjang. Begitu berhadapan dengan Na Cha, langsung saja membacok penantangnya. Na Cha menangkis dengan 'tombak sinar api?-nya. Maka terjadilah pertarungan seru, biarpun telah berlangsung lebih dari 20 jurus, namun tetap berjalan seimbang. Seorang pembantu Han Yong memajukan diri hendak mengeroyok Na Cha. Kemarahan Na Cha timbul, menimpukkan 'Gelang Alam Semesta'-nya pada Han Yong dan berhasil menghancurkan kaca perisai dada sang penguasa kota Sie-sui-koan itu, yang membuatnya kabur. le Hoa bersama seorang perwira lainnya menyerang Na Cha, tapi tak lama dia pun telah dilukai oleh gelang pusaka Lo Chia, yang membuatnya terpaksa harus kabur ke utara dengan menunggang binatang yang berkepala Singa dan bertubuh Kerbau. Perwira kota lain yang berani menyerang Na Cha, satu demi satu telah dilukai juga, akhirnya terpaksa harus melarikan diri pula. Kala itu Oey Beng dan teman-temannya telah pula tiba di pintugerbang kota Sie-sui-koan, menggempur pasukan penjaga kota hingga kucar-kacir dan sebagian menyerah. Keesokan harinya Oey Kun, Oey Hui Houw bersama anaknya memasuki kota tersebut. Mereka mengumpulkan barang-barang di rumah Han Yong, memasukkannya ke kereta kuda, meninggalkan kota Sie-suikoan. Na Cha mengiringi rombongan Oey Hui Houw. Setiba di 'Kim Khe-leng' (Bukit Ayam Emas) yang telah termasuk wilayah See-kie, Na Cha berpesan .

"Hati-hatilah Jenderal menempuh perjalanan selanjutnya, sebab Pinto hanya dapat mengantar sampai di sini saja. Tapi pada suatu hari nanti Pinto akan datang juga ke See-kie. Sampai jumpa lagi". Selesai berkata, Na Cha meninggalkan rombongan Oey Hui Houw, kembali ke Kan Goan-san. Perjalanan Oey Hui Houw selanjutnya tidak lagi menemui rintangan. Hari itu tibalah mereka di atas gunung Kie-san, yang terletak 70 li dari kota See-kie. Oey Kun memerintahkan untuk membangun perkemahan di atas gunung itu. Sedang Oey Hui Houw yang mengenakan pakaian sebagai rakyat jelata, berangkat sendirian ke kota See-kie, untuk menemui Kiang Chu Gie. Bila Chu Gie bersedia menerimanya, barulah dia mengajak ayah dan lain-lainnya masuk ke kota itu. Indah sekali panorama di sepanjang jalan yang dilalui Hui Houw, tanah persawahan begitu subur dan rakyat yang dijumpainya amat bersemangat menggarap sawah-ladang, hidup mereka tampak sejahtera. Setelah hampir sehari dia menempuh perjalanan, tibalah di muka rumah Kiang Chu Gie. Oey Hui Houw menyerahkan sepucuk surat pada petugas jaga.Mui-kun, petugas jaga, begitu melihat nama Oey Hui Houw, langsung bergegas masuk untuk melaporkannya pada atasannya. Ketika tahu Oey Hui Houw yang datang, Kiang Chu Gie segera memerintahkan petugas itu untuk menyilakan Hui Houw masuk, sementara itu dia sendiri bergegas melangkah ke ruang tamu. Begitu bertemu dengan tuan rumah, Oey Hui Houw segera menyoja. Kiang Chu Gie membalas hormatnya seraya berkata.

"Maaf saya tak tahu kalau tuan akan ke mari, hingga tak menyambut kedatangan tuan".

"Saya bukan lagi menteri dari kerajaan Siang, maksud kedatangan saya ke mari ingin mengabdi pada Bu Ong"

Kata Hui Houw.

"Apa yang telah terjadi sesungguhnya?", tanya Chu Gie. Oey Hui Houw menceritakan peristiwa di tahun baru Imlek, yang mengakibatkan isteri dan adik perempuannya meninggal membuatnya memberontak terhadap kerajaan Touw (Siang). bahkan telah menantang Touw Ong berperang-tanding, kemudian meninggalkan kota-raja dan bermaksud mengabdi pada Chiu Bu ?ng. Senang perasaan Kiang Chu Gie mendengar maksud Hui Houw, memintanya menanti sejenak, lalu melaporkan kedatangan Oey Hui Houw pada Bu Ong. Bu Ong menyilakan Oey Hui Houw langsung menghadap. Oey Hui Houw segera berlutut begitu berada di hadapan Bu Ong.

"Hamba Oey Hui Houw datang menghadap Tuanku, semoga Tuanku dikaruniai umur panjang".

"Sudah lama kudengar nama tuan yang termasyhur", Bu Ong menyilakan Oey Hui Houw bangkit.

"senang sekali sekarang dapat bertemu dengan tuan". Kemudian memberi pangkat yang sama pada Hui Houw dan menambahkan dua huruf 'Kay Kok' (Pembuka/perintis negeri) di depan gelar Hui Houw yang lama, hingga gelar Oey Hui Houw sekarang adalah 'Kay Kok Bu Cheng Ong' (Raja-muda Bu ChengPembuka Negeri). Selanjutnya Bu Ong menyelenggarakan pesta untuk menghormatinya serta memerintahkan membangun istana buat Oey Hui Houw. Oey Hui Houw amat bersyukur atas kebijaksanaan Bu Ong, mengajak ayah, anak dan saudara angkatnya berikut 3000 prajurit yang menyertainya, mengabdi pada Bu Ong. Oey Kun dan lain-lainnya diberi pangkat yang sama seperti yang mereka jabat dalam kerajaan Siang. 

***

 Bun Tiong (Bun Taysu) yang diperdaya oleh kesaktian Dewa To Tek Cin Kun, terpaksa kembali ke kota-raja. Tak lama dia telah menerima laporan, bahwa Oey Hui Houw dan rombongan telah mengabdi pada Bu Ong, yang membuatnya jadi sangat gusar, segera mengumpulkan para perwira yang masih setia pada kerajaan Touw, mengungkapkan maksudnya untuk menyerbu See-kie dan menawan Bu Ong beserta para pembantunya. Namun maksud Bun Taysu kurang disetujui oleh beberapa orang menteri maupun perwira tinggi. Salah seorang perwira yang bernama Louw Hiong, mewakili teman- temannya berkata.

"Sebaiknya kita jangan membuka medan pertempuran baru, sebab pada saat ini kita belum mampu menumpas pemberontakan Kiang Bun Hoan dan Ngok Sun. Lebih bijaksana sekiranya kita mengirim saja satu, dua orang perwira ke sana untuk mengamati situasi, seandainya keadaan di See-kie tetap tenang, tak ada tanda-tanda ingin memberontak, sebaiknya kita jangan dulu bertindak. Dengan begitu kita jadi tidak direpotkan untuk menghadapi beberapa perlawanan sekali-gus". Bun Taysu menganggap pendapat itu cukup masuk akal lagi bijaksana.

"Tapi siapa yang akan kita utus ke sana?", tanyanya kemudian.

"Saya bersedia", Chiao Tian menyatakan kesediaannya. Bun Tiong menyetujuinya, memerintahkan Chiao Tian dan adiknya,Chiao Lui, berangkat ke See-kie dengan membawa sejumlah pasukan. Keesokan harinya Chiao Tian dan Chiao Lui meninggalkan kota-raja bersama sejumlah pasukan pilihan. Perjalanan mereka ke See-kie tidak menemui rintangan apapun. Chiao Tian memerintahkan mendirikan kemah di luar kota See-kie. Kedatangan Chiao Tian bersama pasukan telah langsung diketahui oleh mata-mata pihak See-kie. Kiang Chu Gie amat gusar ketika mendengar kabar itu, segera memerintahkan Lam Kong Koa menggempur mereka. Lam Kong Koa membawa sejumlah pasukan ke luar kota. Kehadiran Lam Kong Koa disambut oleh Chiao Lui.

"Kenapa tanpa sebab kau membawa pasukan ke mari?", tanya Lam Kong Koa setelah saling berhadapan. Chiao Lui tidak menjawab, bahkan mengangkat golok bergagang panjangnya, melancarkan serangan. Lam Kong Koa menyambut dengan golok bergagang panjang pula. Cukup seru pertarungan dua perwira itu, tapi setelah belasan jurus, berangsur-angsur Chiao Lui mulai ketet?r, kemudian berhasil ditawan hidup-hidup oleh Lam Kong Koa, lalu digiring ke dalam kota See-kie dan dihadapkan pada Kiang Chu Gie. Amat angkuh sikap Chiao Lui ketika berada di hadapan Chu Ge (Chu Gie), tetap berdiri tegak.

"Sebagai tawanan, kenapa kau tak berlutut di hadapanku?", tegur Chu Gie.

"Apa perlunya aku berlutut pada penjual tepung!?", ujar Chiao Lui dengan angkuhnya. Melihat tawanannya keras kepala, Chu Gie segera memerintahkan untuk menebas batang leher Chiao Lui. Namun Oey Hui Houw yang berada di ruang Perdana Menteri, berusaha mencegah maksud Chu Gie dan membujuk Chiao Lui agar bersedia mengabdi pada Bu Ong, sambil menceritakanpengalamannya. Selesai mendengar penuturan Oey Hui Houw, Chiao Lui menganggap sikap Touw Ong memang keterlaluan, maka dia menyatakan kesediaannya untuk mengabdi pada Bu Ong. Oey Hui Houw memohon pada Kiang Chu Gie agar sudi mengampuni Chiao Lui. Kiang Chu Gie bersedia memenuhi permintaan Oey Hui Houw. Baru pada saat itu Chiao Lui bersedia berlutut di hadapan Chu Gie sambil mengucapkan terima kasih. Kemudian dia menyatakan ingin mengajak kakaknya yang kini berkemah di luar kota See-kie, untuk sama-sama mengabdi pada Bu Ong. Kiang Chu Gie menyetujuinya. Chiao Lui kembali ke kemahnya di luar kota, menceritakan pengalamannya pada kakaknya. Untuk beberapa saat lamanya Chiao Tian berdiam diri, kemudian membisiki sesuatu pada adiknya.

"Dengan berbuat begitu kita dapat menghadap Bun Taysu dengan memperoleh pahala", tambahnya kemudian. Chiao Lui menganggap siasat kakaknya cukup baik, kembali ke kota See-kie menemui Kiang Chu Gie.

"Kakak saya bersedia mengabdi pada Bu Ong, tapi hendaknya bapak mengirim seorang perwira untuk menjemputnya", kata Chiao Lui pada Kiang Chu Gie. Oey Hui Houw yang kala itu berada di sisi Chu Gie, segera menyatakan kesediaannya untuk menjemput Chiao Tian. Chu Gie meluluskannya. Hui Houw ikut Chiao Lui ke luar pintu gerbang. Kiang Chu Gie yang mendapat firasat kurang enak, diamdiam telah mengutus Shin Chia membawa sejumlah pasukan, bersembunyi di Liong-san-kouw (Mulut Gunung Naga), yang terletak 20 li dari kota See-kie, untuk menolong Hui Houw bila terjadi sesuatu yang tidakdiinginkan. Shin Chia segera membawa sejumlah pasukan meninggalkan kota See- kie. Di samping itu Kiang Chu Gie telah pula meminta Lam Kong Koa dan Shin Bien melaksanakan tugas rahasia lainnya. Dalam pada itu, ketika Oey Hui Houw tiba di luar kota Seekie, dirinya langsung disergap dan ditangkap oleh orang-orang suruhan Chiao Tian, membawanya ke hadapan pimpinan mereka. Chiao Tian mengajak pasukannya kembali ke kota-raja dan menggiring Oey Hui Houw dengan tangan terikat. Tapi baru mereka menempuh jarak sekitar 20 li, setiba di Mulut Gunung Naga, telah dihadang oleh seorang perwira yang memimpin sejumlah pasukan. Kedua saudara Chiao jadi agak terperanjat.

"Siapa kau? Apa maksudmu menghadang kami?", tanya Chiao Tian.

"Aku diutus oleh Perdana Menteri Kiang untuk menghadang kalian di sini", sahut perwira itu, yang ternyata Shin Chia, lekas kalian bebaskan Bu Cheng Ong, kemudian sama-sama ikut kami kembali ke See-kie!". Melihat siasatnya telah terbongkar, kedua saudara Chiao langsung angkat senjata untuk menempur Shin Chia. Tapi mereka bukanlah tandingan Shin Chia, hingga selang sesaat Chiao Lui telah berhasil ditawan oleh perwira perkasa dari See-kie itu. Melihat gelagat yang tak menguntungkan, Chiao Tian jadi amat gugup, segera memacu kudanya melarikan diri. Shin Chia tidak mengejarnya, membebaskan diri Oey Hui Houw, mengajaknya kembali ke See-kie. Di lain pihak, Chiao Tian yang melarikan diri, ketika tiba di gunung Kie- san, telah gelap cuaca. Dia tak tahu kalau Lam Kong Koa dan Shin Bien telah menanti di situ. Baru dia merasa lega karena tak melihat ada orang yang mengejar, tapi tiba-tiba di hadapannya telah muncul duaorang perwira See-kie. Chiao Tian terkejut dan gugup, sebelum dia sempat berbuat apa-apa, Lam Kong Koa telah menyerangnya. Dalam gugupnya Chiao Tian tak sempat menangkis, hingga dirinya terhajar jatuh dan berhasil ditawan. Lam Kong Koa dan Shin Bien membawa tawanan mereka kembali ke kota See-kie. Keesokan harinya Chiao Lui dan Chiao Tian dihadapkan pada Kiang Chu Gie. Kiang Chu Gie mengumpat kedua perwira dari kerajaan Touw (Siang) itu, yang dianggapnya hendak mencelakai Hui Houw dengan siasat yang licik. Kemudian memutuskan untuk menghukum mati mereka. Namun Chiao Tian langsung berseru, menyatakan tak dapat menerima keputusan itu.

"Apa maksudmu?", tanya Chu Gie.

"Saya menjalankan siasat itu karena orang tua dan keluarga saya masih berada di kota-raja", Chiao Tian menerangkan.

"dengan menyerah begitu saja pada Bu Ong, berarti kematian bagi mereka". Oey Hui Houw menganggap alasan Chiao Tian cukup masuk akal. Kiang Chu Gie juga sependapat dengan Hui Houw, menyuruh Chiao Lui kembali ke kota-raja serta mengajari cara yang harus dilakukannya, dengan begitu dia dapat membawa orang tua dan keluarga ke See-kie. Chiao Lui kembali ke kota-raja dengan mengikuti petunjuk Kiang Chu Gie.

"Setiba di See-kie, kami harus berhadapan dengan pasukan yang dipimpin Lam Kong Koa, hingga terjadi pertempuran yang lama lagi meletihkan dan sampai kini belum berhasil kami mengalahkan lawan. Persediaan ransum kami telah menipis dan ketika kami memohon bantuan bahan makanan pada Kolonel Han Yong, telah ditolaknya, hingga terpaksa saya pulang ke Tiauwko (Kota-raja)", Chiao Lui mengemukakan alasan kembalinya ke kota-raja pada Bun Taysu.Mendengar itu, Bun Tiong segera menyerahkan 3000 prajurit serta bahan makanan dalam jumlah yang cukup banyak pada Chiao Lui. Chiao Lui mengucapkan terima kasih, membawa bahan makanan dan pasukan barunya ke See-kie, sambil diam-diam mengajak serta anggota keluarganya. Siang malam dia melakukan perjalanan. Sepergi Chiao Lui, mulai timbul kecurigaan Bun Taysu, yang merasa janggal kalau penguasa kota Sie-sui-koan, Han Yong, tak bersedia memberi bantuan ransum pada pasukan kerajaan yang sedang bertempur di See-kie. Semakin dipikir makin besar kecurigaannya, maka ia segera memasang hio dan dengan menggunakan mata uang (keping)emas menujumkan apa yang terjadi!? Hasil ramalannya mengungkapkan kalau dirinya telah ditipu oleh Chiao Lui, termakan oleh siasat Kiang Chu Gie, yang membuatnya jadi sangat dongkol Dia segera menyuruh seorang pembantunya membawa 'Leng Kian' (Tanda perintah berupa panah) ke Ceng-liong-koan, memerintahkan Thio Kui Hong, penguasa kota itu, untuk menyerang See-kie. Mendapat perintah itu, Thio Kui Hong lalu menyerahkan penjagaan kota pada pembantu kepercayaannya yang bernama Khu Eng. Dia sendiri berangkat ke See-kie membawa 100.000 prajurit, dengan Pang Lim sebagai ujung-tombaknya. Perjalanan pasukan Thio Kui Hong ke See-kie sama sekali tidak menemui rintangan. Pada jarak 5 li dari kota yang dituju, dia lantas memerintahkan pasukannya mendirikan perkemahan. Kedatangan pasukan yang dipimpin Thio Kui Hong telah pula diketahui oleh pihak See-kie. Kiang Chu Gie memperoleh penjelasan dari Oey Hui Houw, bahwa Thio Kui Hong memiliki ilmu gaib, yang dapat membuat lawannya patuh bila dia memanggil nama sang lawan.Hui Houw meminta Chu Gie agar memesan kepada para perwiranya untuk tidak memberitahukan namanya bila berhadapan dengan Thio Kui Hong. Kiang Chu Gie menyampaikan pesan itu pada bawahannya. Namun para perwiranya ternyata tak mempercayai keterangannya, menjadikan Chu Gie agak murung. Keesokan harinya Thio Kui Hong memerintahkan Pang Lim untuk menantang pihak See-kie. Pang Lim patuh pada perintah atasan, dengan bersenjatakan Gada- berduri, dia menantang lawannya.

"Siapa di antara kalian yang bersedia menerima tantangan pihak musuh?", tanya kiang Chu Gie pada para perwiranya.

"Saya siap menghadapinya", sahut Kie Siok Kian, salah seorang saudara Bu Ong.

"Hati-hatilah Pangeran menghadapinya", pesan Chu Gie.

"sebab lawan kita rata-rata memiliki ilmu gaib".

"Jangan khawatir pak", sahut Kie Siok Kian. Dia segera mengambil tombak, keluar pintu gerbang dengan naik kuda. Kala itu Pang Lim terus saja menantang dan melontarkan cacian. Begitu melihat Kie Siok Kian, Pang Lim langsung melancarkan serangan. Kie Siok Kian menangkis, kemudian balas menyerang. Pada mulanya perang tanding itu berjalan seimbang, tapi berangsur- angsur Kie Siok Kian berada di atas angin. Setelah berlangsung lebih dari 20 jurus, dia berhasil melukai paha Pang Lim dengan ujung tombaknya. Pang Lim segera melarikan diri ke kemahnya. Kie Siok Kian mengejarnya, membuatnya masuk ke dalam perangkap Pang Lim. Sambil berpura-pura melarikan diri, diam-diam Pang Limmengucapkan sebuah mantera, tak lama dari dalam mulutnya keluar gumpalan asap hitam, yang dalam sekejap berobah menjadi jaring. Dari dalam jaring itu keluar sebutir mutiara merah, yang langsung menghajar wajah Kie Siok Kian, mengakibatkannya jatuh terjungkal dari atas kuda. Pang Lim segera menghajar dengan Gada-berdurinya, Siok Kian tewas seketika. Pang Lim kembali ke kemah dengan memperoleh kemenangan. Kiang Chu Gie amat murung mendengar kematian Pangeran Siok Kian. Esok paginya Thio Kui Hong memimpin langsung pasukan, menantang pihak See-kie berperang tanding. Sekali ini Kiang Chu Gie sendiri yang memimpin pasukannya dengan didampingi oleh Oey Hui Houw, Lam Kong Koa dan beberapa perwira lainnya. Begitu berhadapan, kedua belah pihak saling mengumpat caci dan mempertahankan kebenaran masing-masing. Thio Kui Hong tak dapat menekan emosi, memerintahkan Pang Lim untuk menangkap Kiang Chu Gie. Sebelum Pang Lim dapat melaksanakan maksudnya, telah disambut oleh Lam Kong Koa, hingga terjadi perang tanding yang cukup seru. Biarpun telah berlangsung sampai belasan jurus, tapi keadaan mereka masih tetap seimbang. Sementara itu Thio Kui Hong yang mengenali Oey Hui Houw, segera membentangkan ilmu gaibnya dengan berseru .

"Lekas turun dari kudamu, Oey Hui Houw!". Hui Houw yang terkena pengaruh ilmu gaib itu, patuh terhadap perintah Thio Kui Hong. Thio Kui Hong bermaksud menangkapnya. Menyaksikan perkembangan yang tidak wajar itu, Chiu Kie langsung menyerang Kui Hong. Sedang Oey Beng dan Hui Piao segera menarik Oey Hui Houw,membawanya masuk ke dalam kota. Chiu Kie yang bertempur dengan Thio Kui Hong, setelah berlangsung beberapa saat, jatuh terjungkal dari atas kudanya, akibat dipanggil namanya oleh Kui Hong, ditawan dan dibawa ke perkemahan lawan. Di lain pihak, Lam Kong Koa telah pula ditawan oleh ilmu gaib Pang Lim. Melihat dua panglimanya ditawan musuh, Kiang Chu Gie terpaksa membawa pasukannya kembali ke dalam kota, menitah seorang pembantunya menggantungkan papan 'penundaan pe rang Keesokan harinya Thio Kui Hong kembali menantang perang. Ketika melihat di tembok pintu gerbang barat tergantung papan 'penundaan perang', langsung dia tertawa terbahak-bahak.

"Kiranya kepandaian Kiang Chu Gie hanya sebegitu saja!"

Oloknya.

Namun Kiang Chu Gie tak melayaninya Jian Teng Tojin..Thay Khek Cin-jin Na Cha ..To Ta Thian Ong (Lie Cheng)DUA Thay Khek Cin-jin dari Kan Goan-san berpendapat, bahwa telah tiba waktunya bagi muridnya, Na Cha (Lo Chia) untuk turun gunung, pergi ke See-kie, guna membantu kiang Chu Gie yang merupakan Susiok (Paman guru)-nya.

Girang benar hati Na Cha ketika diperintahkan turun gunung, segera pamit pada sang guru, Dengan membawa 'Hwe Kong Tiang' (Tombak Sinar Api) berangkatlah dia ke See-kie naik 'Hong Hwe Lun' (Roda Api dan Angin).

Dalam waktu singkat dia telah tiba di kota See-kie, menanyakan tempat kediaman Perdana Menteri Kiang pada orang yang dijumpainya.

"Di sana", sahut orang yang ditanya sambil menuding rumah yang terletak di ujung jembatan emas kecil. Na Cha mengucapkan terima kasih, bergegas menuju ke tempat yang ditunjuk, meminta petugas jaga untuk memberitahukan kedatangannya pada tuan rumah. Mendengar Na Cha yang datang, Kiang Chu Gie segera menyuruh pembantunya menyilakannya masuk. Begitu bertemu, Na Cha segera berlutut di hadapan paman gurunya seraya berkata.

"Kedatangan saya ke mari adalah atas titah Suhu untuk membantu Susiok". Kiang Chu Gie amat gembira mendapat bantuan dari keponakan muridnya, segera memerintahkan pembantunya untuk mengangkat papan 'penundaan perang Keesokan harinya Pang Lim muncul di muka pintu gerbang barat kota See-kie, menantang pihak Bu Ong. Na Cha keluar, menyambut tantangan itu. Setelah masing-masing memperkenalkan diri, mulailah mere kaberperang tanding. Sekira berlangsung 20 jurus, Pang Lim berpura-pura keteter, melarikan diri. Na Cha mengejarnya. Pang Lim tiba-tiba mengeluarkan ilmu gaibnya, menyemburkan asap- hitam yang dalam sekejap menjadi jaring dan dari dalamnya muncul mutiara wasiatnya, menghajar muka Na Cha. Namun Na Cha sama sekali tidak gentar, malah tertawa.

"Hanya anak kecil yang dapat kau takuti dengan ilmu sihirmu ini!", ujarnya. Berhenti mengucap, dia menuding mutiara-wasiat Pang Lim, yang langsung lenyap berikut jaringnya. Pang Lim amat terkejut atas perkembangan yang berada di luar dugaannya. Sebelum dia kabur jauh, Na Cha segera mengeluarkan ?Kan Kun Choan' (Gelang Alam Semesta)-nya, menimpuk Pang Lim. Pang Lim tak keburu menghindar, terkena senjata lawan, hingga patah tulang bahunya. Dia mempercepat lari kudanya sambil menahan sakit, kembali ke kemahnya. Setiba di depan kemah lawan, Na Cha berseru .

"Lekas keluar untuk menerima kematianmu, Thio Kui Hong!". Seorang prajurit menyampaikan tantangan Na Cha pada pimpinannya. Thio Kui Hong amat gusar ketika mendengar laporan, segera mengambil tombak dan memacu kudanya menyambut tantangan lawan. Terlihat olehnya, bahwa Na Cha berdiri di atas roda Api dan Angin, gagah sekali sikapnya. Begitu berhadapan, Thio Kui Hong segera membentak .

"Lekas turun dari Hong Hwe Lun-mu, Na Cha!". Namun Na Cha bukan saja tidak menghiraukan seruan Kui Hong, malah mentertawakan sikap lawannya. Kui Hong penasaran, mengulangi bentakannya sampai tiga kali.Na Cha tidak tertawa lagi, malah jadi geram .

"Hei orang tua loyo, kenapa kau paksa aku turun dari kendaraan pusakaku?". Melihat ilmu gaibnya tak mempan terhadap Na Cha, Thio Kui Hong segera menusuk dada Na Cha dengan tombaknya. Na Cha menangkis serangan tersebut, kemudian melontarkan gelang Alam Semestanya dan berhasil melukai bahu kiri Kui Hong, membuat pemimpin pasukan itu melarikan diri. Na Cha tidak mngejarnya, kembali ke dalam kota, melaporkan kemenangannya pada Kiang Chu Gie. Chu Gie berpendapat, biarpun sekarang mereka memperoleh kemenangan, tapi pihak Touw Ong tentu takkan berdiam diri, pasti akan mengirim pasukan yang lebih besar untuk menggempur mereka. Maka terkandung maksud untuk pergi ke Kun Lun-san. Dia mengemukakan maksudnya pada Bu Ong, yang langsung mengizinkannya. Sebelum berangkat Chu Gie memesan pada Na Cha, agar membantu perwira lainnya menjaga kota See-kie, tak usah me layani Thio Kui Hong bertanding. Menunggu sampai dia kembali dari Kun Lun-san, barulah menentukan langkah selanjutnya. Na Cha dan perwira See-kie lainnya patuh terhadap pesan itu. 

***

 Kiang Chu Gie berangkat ke gunung Kun Lun-san melalui bawah tanah, hingga dalam sekejap dia telah muncul di Kie Lingay (Lembah Kie Lin), tempat bersemayam gurunya. Chu Gie memperhatikan seputarnya, menghela nafas. Tanpa terasa telah sepuluh tahun dia meninggalkan daerah itu. Dia meneruskan langkah, masuk ke dalam 'Giok Sie Kiong (Istana Giok Sie). Terlihat olehnya, bahwa gurunya -Goan Sie Tian Chun sedang duduk di atas Pat-kwa-tay, kursi yang berbentuk delapan trigram. Chu Gie segera berlutut di depan gurunya.Sebelum dia sempat mengutarakan maksud kedatangannya. Goan Sie Tian Chun telah mendahului berkata .

"Sungguh ke betulan kau datang --- Aku telah maklum akan maksud kedatanganmu ini". Kemudian sang guru menyuruh Pek Hok Tongcu (Bocah Bangau Putih) untuk mengambil 'Hong Sin Pang' (Daftar Peng anugrahan Malaikat), menyerahkannya pada Chu Gie dengan pesan, agar sang murid mendirikan 'Hong Sin Tay' (Pesanggrahan Penganugrahan Malaikat) di gunung Kie-san.

"Tapi Suhu", Kiang Chu Gie agak ragu menerima tugas itu.

"pada saat ini See-kie tengah digempur oleh pasukan kerajaan Siang di bawah pimpinan Thio Kui Hong yang memiliki ilmu hitam, sulit bagi saya yang berkepandaian rendah untuk mengalahkannya. Saya juga khawatir nantinya pihak Touw Ong akan mengirim orang pandai yang lebih banyak lagi untuk menggempur See-kie. Maka sudilah Suhu membantu saya".

"Sulit bagiku untuk mencampuri urusan duniawi", kata Goan Sie Tian Chun.

"tapi kau tak usah khawatir, sebab Seekie dibela oleh orang- orang bijaksana, bila muncul hal-hal yang menyulitkanmu, para Dewa tentu akan datang menolongmu". Kiang Chu Gie tak berani berkata lebih jauh, menerima 'Hong Sin Pang'.

"Kau harus ingat baik-baik, bila ada yang memanggilmu ketika kau berlalu dari sini, jangan sekali-kali kau menyahut", pesan sang guru.

"Kalau kau sahut, dirimu akan menghadapi banyak kesulitan, akan diserang sebanyak 36 kali, yang akan membuatmu pening. Sekarang kembalilah kau ke See-kie, hatihati di jalan". Chu Gie pamit pada gurunya dengan membawa 'Daftar Penganugrahan Malaikat'. Belum jauh dia berjalan, dari belakang terdengar ada orang! yang memanggil namanya. Chu Gie tak berani menyahut. Orang itu memanggil lagi .

"Kiang ChuGie!". Namun Chu Gie tetap tak menyahut. Saking jengkelnya orang itu berseru .

"Sungguh sombong kau Kiang- siang, tak menghiraukan saudara seperguruan!". Baru pada saat itu Kiang Chu Gie berpaling, terlihat Sin Kong Pa, adik seperguruannya, yang menunggang macan.

"Maaf Sutee, bukannya aku angkuh, tapi sebelumnya Suhu telah memesanku agar jangan menyahut bila dipanggil orang", Chu Gie coba menjelaskan.

"Apa yang Suheng pegang?", tanya Sin Kong Pa. *Daftar Penganugrahan Malaikat", sahut Chu Gie.

"Mau kau bawa ke mana?".

"Ke gunung Kie-san dan membangun Pesanggrahan Penganugrahan Malaikat, sebagai tempat penyimpanan 'Hong Sin Pang' ini!".

"Pihak mana sebenarnya yang Suheng bantu?", tanya Sin Kong Pa pula.

"Kini aku bermukim di See-kie, memangku jabatan sebagai Perdana Menteri. Di samping itu mendiang Chiu Bun Ong telah mempercayakan aku sebagai ayah-angkat dari anaknya, Bu Ong, yang kini memerintah See-kie. Dengan demikian aku jelas berada di pihak See-kie".

"Jadi menurut Suheng, kerajaan Siang akan runtuh, diganti dengan dinasti Chiu yang dipimpin Bu Ong? Tapi menurut saya, sebaiknya Suheng ikut saya mengabdi pada Touw Ong untuk memusnakan dinasti Chiu. Dengan begitu kita akan bergandengan tangan menghancurkan Bu Ong, bukan sebaliknya harus berhadapan sebagai lawan! "Tapi Sutee, aku tak berani melanggar perintah Suhu!", kata Chu Gie.

"di samping itu, segalanya ini sudah merupakan takdir Thian, tak dapat dirobah oleh manusia yang bagaimana saktipun!".

"Kepandaian apa yang Suheng miliki?", Sin Kong Pa kurang senang.

"sedang aku memiliki kesaktian yang luar biasa, dapat melemparkan kepalaku ke angkasa dan di angkasa kepalaku akan naik awan merah,pergi sejauh ribuan li, untuk kemudian kembali lagi menyatu dengan tubuhku --- Maka sebaiknya Suheng bakar saja 'Daftar Penganugrahan Malaikat itu, ikut saya ke Tiauw-ko (Kota-raja). Dengan demikian Suheng akan dapat mempertahankan kedudukanmu sebagai Perdana Menteri". Kiang Chu Gie berpendapat, seandainya adik seperguruannya memiliki kesaktian seperti itu, akan sulitlah ditandingi.

"Bila Sutee dapat membuktikan ucapanmu, bersedia aku membakar 'Daftar Penganugrahan Malaikat dan ikut kau ke Tiauw-ko".

"Tapi Suheng jangan ingkar janji", Sin Kong Pa meminta jaminan.

"Aku takkan menjilat kembali ludah sendiri", janji Chu Gie.

"Baiklah kalau begitu, saksikanlah Suheng!". Sin Kong Pa menjambak rambutnya sendiri dengan tangan kiri dan menebas batang lehernya dengan pedang di tangan kanan. Walau telah putus kepalanya, namun tubuh Sin Kong Pa masih tetap berdiri tegak, lalu melontarkan kepalanya ke angkasa. Kepala itu melayang dan berputar-putar di angkasa. Kiang Chu Gie amat kagum menyaksikan segalanya itu. Pada saat itu Lam Khek Sian Ang kebetulan lewat di lembah Kie Lin, sempat menyaksikan ulah Sin Kong Pa.

"Chu Gie yang berjiwa polos itu, mungkin akan diperdaya oleh Sin Kong Pa yang licik", gumam Lam Khek Sian Ang. Dia segera memerintahkan Pek Hok Tongcu (Bocah Bangau Putih) untuk Pian-hoa (merobah diri) menjadi seekor bangau putih, menyambar kepala Sin Kong Pa dan membawa terbang ke Lam-hay (Laut Selatan). Pek Hok Tongcu mematuhi perintah itu, menyambar kepala Sin Kong Pa, langsung dibawa terbang ke Laut Selatan. Sebagai seorang yang jujur, Kiang Chu Gie jadi amat gugup menyaksikan keadaan yang berada di luar dugaan itu, berseru .

"Hei, hei, jangan bawa kepala itu!".Selagi Chu Gie gugup, Lam Khek Sian Ang lantas menghampirinya seraya berkata .

"Sungguh tolol kau membiarkan dirimu ditipu oleh ilmu sulapnya. Sin Kong Pa sangat licik lagi keji. Itu sebabnya aku menyuruh Pek Hok Tongcu menyambar kepalanya dan membawanya ke Laut Selatan. Kalau dalam tempo lebih dari satu setengah jam kepalanya tidak melekat lagi ke tubuhnya, dia akan binasa ---Sedang dirimu sendiri akan mengalami berbagai kesulitan karena telah melanggar pesan Loo Sucun, gara-gara menyahut ketika dipanggil oleh Sin Kong Pa". Namun Chu Gie yang baik hati, tak sampai hati mencelakai Sin Kong Pa, lagi pula dia saudara seperguruannya. Maka dia memohon dengan sangat agar Sian Ang mengampuni Sin Kong Pa, membiarkannya hidup.

"Dia akan jadi penghalang besar bagi perjuanganmu dalam mencapai cita-cita", Lam Khek Sian Ang masih berusaha mengingatkan Chu Gie.

"Dia akan jadi musuhmu!".

"Saya bersedia menanggung segala akibatnya", kata Chu Gie dengan nada memohon.

"Agama melarang kita mencelakai orang". Rupanya kau memang sudah ditakdirkan harus menghadapi berbagai rintangan dalam mencapai apa yang kau cita-citakan itu!". Lam Khek Sian Ang menghela nafas.

"baiklah, akan kusatukan kepala dengan tubuhnya". Sian Ang (Kakek Dewa) melambaikan tangan ke angkasa. Bangau putih melayang ke arahnya, setelah dekat melepaskan kepala Sin Kong Pa, meluncur turun menyatu lagi dengan tubuhnya. Sin Kong Pa mulai membuka mata, melihat Lam Khek Sian Ang telah berdiri di hadapannya.

"Seharusnya aku membinasakanmu atas perbuatan licikmu menipu Chu Gie, atau sedikitnya membawamu ke hadapan Sucun (Guru). Tapi sekali ini, atas permohonan Chu Gie, bersedia aku mengampunimu!", kata Sian Ang.Sin Kong Pa berlalu dengan hati penuh dendam. Sementara itu Lam Khek Sian Ang berkata pada Kiang Chu Gie .

"Lanjutkanlah perjalananmu! Mulai sekarang kau harus bersikap lebih hati-hati dari sebelumnya!". Kiang Chu Gie menyoja pada Sian Ang, melanjutkan perja lanan ke Laut Timur. Tak lama tibalah dia di Tong Hay To (Pulau Laut Timur). Dia berdiri di atas batu gunung yang tak jauh dari laut amat terpesona oleh keindahan panorama di seputar tempat itu. Air laut yang semula tenang, tiba-tiba menggulung tinggi, membelah kedua sisinya. Dari tengah-tengah gulungan ombak muncul seorang laki-laki setengah baya yang bugil dan merah kulitnya. Begitu muncul, laki-laki itu berkata dengan nada memohon.

"Hoatsu, saya adalah arwah yang malang, telah beberapa ribu tahun ditahan di dalam air. Beberapa waktu berselang ada Dewa yang memberitahukan saya, bahwa pada hari ini Hoatsu akan lewat di sini dan dapat membebaskan saya dari tahanan ---Tolonglah saya, Hoatsu!".

"Siapa kau sebenarnya dan kenapa sampai bisa ditahan di sini?", tanya kiang Chu Gie.

"Nama saya Po Chian, dulunya saya adalah pimpinan pa sukan dari Kaisar Sun Goan. Dalam suatu pertempuran dengan Kie Yu, saya telah diceburkan ke laut dan ditahan di sini de ngan menggunakan kesaktiannya. Biarpun telah lewat beberapa ribu tahun, saya masih tetap belum dapat membebaskan diri. Sampai kemudian datang Dewa Cheng Sie ke mari, yang menyatakan Hoatsu dapat membebaskan saya dari segala penderitaan ini".

"Baiklah, aku bersedia membebaskanmu, Po Chian", kata Chu Gie.

"Setelah itu kau ikut aku ke gunung Kie-san dan sementara berdiam di sana untuk menerima tugas lebih lanjut".

"Terima kasih Hoatsu", Po Chian menyoja Chu Gie.Kiang Chu Gie mengeluarkan 'Ciang Sim Lui' (Halilintar dari telapak tangan)-nya, membebaskan Po Chian dari kurung an air laut. Seketika arwah Po Chian telah menjelma jadi Malaikat, yang langsung berlutut di hadapan Kiang Chu Gie sambil mengucapkan puji syukurnya. Chu Gie segera mengajaknya ke Kie-san dengan melalui bawah tanah. Setiba mereka di gunung Kie-san, tiba-tiba dari arah depan bertiup angin kencang. Ternyata 'Ngo Lou Sin' (Lima Malaikat Jalan) menyambut! kedatangan mereka.

"Kami telah berhutang budi pada tuan ketika berada di Tiauw-ko (Kota-raja) dan tuan telah memerintah kami pergi ke gunung ini untuk menanti titah lebih jauh", kata salah satu dari lima Malaikat itu.

"Hari ini kami dengar tuan akan lewat di sini, maka kami sengaja berkumpul untuk menyambut kehadiran tuan".

"Aku akan memilih hari baik untuk membangun 'Hong Sin Tay' (Pesanggrahan Penganugrahan Malaikat)", kata Chu Gie.

"Kalian harus membantu Po Chian membangun Pesanggrahan itu, setelah rampung nanti, akan ditempatkan di situ Daftar Penganugrahan Malaikat". Selesai berkata, Chu Gie meninggalkan para Malaikat itu, kembali ke kota See-kie. Dia menemui Bu Ong, menceritakan segala yang dialaminya. Bu Ong menyelenggarakan pesta atas kembalinya Chu Gie. Setelah minum beberapa cawan, Chu Ge (Chu Gie) pamit, pulang ke rumahnya. Keesokan harinya Chu Gie mengumpulkan para perwira, menugaskan Oey Hui Houw dan Na Cha untuk menyerang kemah lawan pada malam hari. Kala itu Thio Kui Hong tengah merawat lukanya di dalam kemahnya. Tiba-tiba dia mendengar suara ribut-ribut di luar perkemahan. Denganmenunggang kuda, dia mengajak Pang Lim untuk melihat apa yang terjadi di sana. Ternyata perkemahan mereka telah dikurung oleh pasukan Bu Ong. Na Cha segera menyerang mereka. Thio Kui Hong dan Pang Lim menyadari kalau mereka bukanlah lawan Lo Chia (Na Cha). Setelah menangkis beberapa kali, mereka segera melarikan diri. Kala itu Sin Chia dan Shin Bien telah menyerbu dari kanan perkemahan, tiada yang dapat menahan serangan mereka, hingga dengan mudahnya Shin bersaudara mencapai bagian belakang perkemahan. Terlihat Chiu Kie dan Lam Kong Koa ditahan da lam kerangkeng, mereka segera membebaskannya. Begitu bebas, Chiu Kie dan Lam Kong Koa merampas senjata lawan, mulai mengamuk, membuat suasana di dalam perke mahan Thio Kui Hong bertambah kacau, tak terhitung prajurit yang luka maupun tewas, yang masih selamat mengundurkan diri sampai beberapa puluh li. Thio Kui Hong mengumpulkan sisa pasukan, mengajak mereka kembali ke kotanya, kemudian mengutus seorang pembantunya ke kota-raja, untuk melaporkan kegagalannya dalam menyerang kota See-kie serta memohon bala bantuan. 

***

 Bun Taysu terperanjat menerima laporan kekalahan Thio Kui Hong. Dia bermaksud memimpin sendiri pasukan menyerbu See-kie, tapi telah dicegah oleh salah seorang muridnya. Kie Lek, yang mengemukakan pendapat, seandainya Bun Tiong pergi, tak ada lagi orang yang menjaga kota-raja.

"Sebaiknya Suhu mengundang beberapa orang sahabat yang memiliki kepandaian tinggi untuk membantu Thio Kui Hong", kata sang murid lebih jauh. Bun Taysu adalah murid Dewi Kim Leng Seng-bo, cukup luashubungannya dengan orang-orang yang memiliki kesaktian. Maka dia menganggap saran Kie Lek cukup beralasan, memutuskan akan pergi selama dua atau tiga hari, guna mencari bantuan pada teman- temannya yang berkepandaian tinggi. Setelah memesan pada muridnya agar baik-baik menjaga rumahnya, dia pun berangkatlah dengan naik Hek Kie Lin (Kie Lin hitam). Binatang tunggangan Bun Taysu, yang mirip dengan barongsay, ternyata bisa terbang, maka Bun Tiong melakukan perjalanan dengan melalui udara. Dalam waktu singkat tibalah dia di tempat yang dituju, yaitu Kauw Liong To (Pulau Sembilan Naga) di Laut Barat, tempat bermukimnya salah seorang sahabatnya yang bernama Ong Mo. Dia turun dari binatang tunggangannya di muka sebuah goa, menghampiri seorang bocah yang berdiri di mulut goa seraya bertanya .

"Suhumu ada?".

"Ada", sahut Tong-jie, bocah itu.

"Sedang main catur dengan teman- temannya". Bun Taysu mengikuti si bocah masuk ke dalam goa. Dia sangat gembira, selain Ong Mo, dia dapat bertemu pula dengan teman- teman lainnya, yang rata-rata cukup tinggi kepandaiannya, yaitu Yo Seng, Kho Yu Kian dan Lie Hin Pa. Ong Mo bermuka bulat, Yo Seng berwajah hitam, berambut merah dan kuning alisnya. Mulut Kho Yu Kian seperti paruh burung, bertaring, dan wajah Lie Hin Pa mirip buah kurma. Setelah berbasa-basi sejenak, Bun Taysu mengungkapkan maksud sesungguhnya, yaitu meminta kesediaan Ong Mo membantu Thio Kui Hong menggempur kota See-kie. Ong Mo tidak keberatan membantu, malah ketiga teman lainnya pun bersedia membantu Bun Taysu. Bun Tiong sangat girang, mengucapkan terima kasihnya. Mereka segera berangkat ke kota-raja dengan menempuh jalan air. Setiba di rumah, Bun Tiong (Bun Taysu) menjamu keempatsahabatnya. Mereka makan minum dalam suasana menyenangkan. Setelah puas makan minum, Ong Mo dan lain-lainnya menginap di rumah Bun Tiong. Keesokan paginya Bun Taysu menemui Kaisar, memberitahukan mengenai kesediaan keempat orang sakti itu membantu kerajaan Touw untuk menggempur Bu Ong di kota See-kie,yang dianggap telah melakukan makar terhadap pemerintahan yang sah. Touw Ong amat bersuka-cita mendengar kabar itu, berkenan menerima bahkan menjamu mereka. Setelah puas makan minum, Bun Taysu mengantar keempat sahabatnya sampai ke luar pintu gerbang kota-raja, kemudian baru kembali ke rumahnya. Ong Mo dan lainnya berangkat ke Ceng Liong-koan dengan berjalan di atas air, menemui Thio Kui Hong, memberitahukan maksud kedatangannya. Thio Kui Hong amat gembira setelah tahu akan maksud kedatangan mereka. Segera menyiapkan pasukan, berangkat lagi ke See-kie. Beberapa hari kemudian tibalah mereka di luar pintu gerbang Timur kota See-kie, mendirikan kemah di situ. Malam harinya Ong Mo berpesan .

"Besok pergilah kau ke depan pintu gerbang, menantang Kiang Chu Gie berperang tanding. Setelah dia bersama para pembantunya keluar, kamilah yang akan menghadapi mereka".

"Baiklah", Thio Kui Hong mengangguk patuh. Sesuai dengan siasat Ong Mo, keesokan harinya Thio Kui Hong memimpin pasukannya ke muka pintu gerbang kota See kie, menantang Chu Gie berperang tanding. Penjaga kota melaporkan hal itu pada Kiang Chu Gie. Chu Gie segera memimpin pasukan ke luar kota dengan didampingi Na Cha dan Oey Hui Houw.Ketika berhadapan dengan Thio Kui Hong, tiba-tiba dari barisan lawan muncul 4 manusia bertampang luar biasa dan menunggang binatang aneh pula. Ong Mo, Yo Seng dan Lie Hin Pa menunggang binatang bermuka Barongsay tanpa tanduk, sedang Kho Yu Kian menunggang macan kumbang. Begitu mereka muncul, semua kuda di pihak pasukan Seekie langsung roboh, sehingga para penunggangnya terlempar jatuh. Hanya Na Cha yang mengendarai Roda Api dan Angin dan Oey Hui Houw yang menunggang Kerbau Sakti, terhindar dari malapetaka itu. Ong Mo dan teman-temannya tertawa terbahak-bahak ketika melihat Kiang Chu Gie ikut terpelanting juga. Mereka segera melancarkan serangan, membuat pihak Kiang Chu Gie jadi sangat repot menghadapi lawan yang luar biasa itu, mundur dari medan laga, masuk ke dalam kota. Setiba malam hari, Kiang Chu Gie menitah Na Cha dan Bu Kie untuk menjaga kota. Kemudian berangkatlah dia untuk kedua kalinya ke Kun Lun-san dengan menempuh jalan bawah tanah. Di hadapan gurunya, dia menerangkan akan kehebatan binatang tunggangan keempat lawannya. Seusai mendengar keterangan Chu Gie, Goan Sie Tian Chun lantas menyuruh seorang muridnya mengambil binatang tunggangannya dari taman bekalang. Tak lama, To-tong itu telah kembali dengan membawa binatang yang dimaksud. Binatang tunggangan Goan Sie Tian Chun ternyata amat luar biasa, berkepala Banteng, bertubuh Naga dan berekor Badak. Sang guru memberitahukan, bahwa binatang tunggangan keempat lawannya termasuk kerabat Naga, itu sebabnya kudakuda pada terjungkal begitu berhadapan dengannya. Untuk menghadapi mereka, Goan Sie Tian Chun menyerahkan binatang tungganannya pada Chu Gie."Ini merupakan hadiah dariku atas jerih payahmu bersamadhi selama 40 tahun, sekali gus mewakiliku untuk mengurus soal pengangkatan para arwah menjadi Malaikat. Binatang ini bernama 'See Put Siang', dengan menunggangnya, kau akan tahan menghadapi makhluk ajaib macam apapun". Ucap sang guru lebih jauh. Kecuali itu, Goan Sie Tian Chun memberi dua hadiah lainnya pada Chu Gie, yaitu 'To Sin Pian' (Ruyung Sakti Pemukul/ Penakluk Dewa) dan 'Sin Huang Kie' (Panji Kuning Wasiat).

"Di dalam ruyung ini terdapat Hu (Surat jimat) yang dapat menaklukkan kesaktian lawan. Dan panji wasiat dapat kau pakai pada saat dirimu terancam bahaya", sang guru memberi penjelasan.

"Sekarang pergilah kau ke Pak-hay (Laut Utara), di sana telah ada seseorang yang menantimu". Kiang Chu Gie pamit pada gurunya, setibanya di Kie Lingay (Lembah Kie Lin), barulah dia menunggang 'See Put Siang, menuju ke See-kie. Ketika Chu Gie lewat di tepi pantai, tiba-tiba angin bertiup keras, disusul dengan munculnya makhluk aneh, bermuka macan dan tegak rambutnya, yang hanya tumbuh di sisi atas telinganya. Sedang bentuk tubuh lainnya serupa manusia. Begitu muncul, makhluk aneh itu langsung berkata.

"Cukup memakan sepotong daging Kiang Chu Gie, usiaku akan bertambah 1000 tahun". Kiang Chu Gie jadi berkeringat dingin ketika mendengar ocehan makhluk aneh tersebut.

"Kiranya makhluk ini ingin memangsaku", kata hati Chu Gie. Tiba-tiba dia teringat akan pesan gurunya, mengeluarkan Sin Huang Kie' (Panji Kuning Wasiat)-nya, menancapkannya di tanah seraya berkata .

"Hei siluman, bila kau mampu mencabut panji ini, aku rela kau melahap dagingku!". Makhluk aneh itu kegirangan mendengar ucapan Chu Gie, segera berusaha mencabut panji yang tertancap di tanah. Namun biarpun dia telah mengerahkan seluruh tenaganya, tetap saja tak mampumencabut panji tersebut. Kiang Chu Gie melepaskan gledek dari telapak tangannya, membuat makhluk itu ketakutan dan bermaksud melepaskan pegangannya, tapi apa hendak dikata, tangannya seakan telah melekat pada tiang panji, walau dia menarik cukup keras, tetap tak lepas. Kiang Chu Gie mencabut pedang, berpura-pura hendak membunuhnya. Sang makhluk aneh ketakutan, memohon.

"Ampunilah saya Dewa, Sin Kong Pa yang menyuruh saya menunggu Dewa di sini, ternyata dia telah menjerumuskan saya".

"Apa hubunganmu dengan Sin Kong Pa dan ingin memakan dagingku?", tanya Chu Gie.

"Saya bernama Liong Sie Houw, berasal dari batu yang setelah memperoleh hawa asli bumi dan langit, jadi hidup seperti sekarang dan memiliki tubuh yang tak lapuk sepanjang zaman"

Makhluk aneh itu menerangkan.

"Kemarin Sin Kong Pa lewat di sini, memberitahukan saya, bahwa Kiang Chu Gie akan lewat pada hari ini. Bila saya dapat memakan sepotong dagingnya, akan dapat memperpanjang hidup saya seribu tahun. Maka timbul hasrat saya untuk mencicipinya. Tak tahunya saya telah melakukan kesalahan pada Dewa, sudilah Dewa mengampuni saya".

"Aku bersedia mengampunimu, asal kau bersedia jadi muridku", kata Chu Gie.

"Saya bersedia", sambut Liong Sie Houw segera. Kiang Chu Gie menarik kembali gledek ke telapak tangannya, seketika bebaslah tangan Sie Houw dari tiang panji. Dia segera berlutut di hadapan Chu Gie.

"Kepandaian apa saja yang kau miliki?', tanya kiang Chu Gie.

"Saya pandai menimpukkan batu secara beruntun, selalu tepat mengenai sasaran", Liong Sie Houw menerangkan. Girang hati Chu Gie, mencabut panji wasiatnya, menggulungnya. Lalumengajak Liong Sie Houw meninggalkan tempat itu, melanjutkan perjalanan ke See-kie. Setiba di muka rumahnya, Chu Gie turun dari binatang tunggangannya. Para perwira menyambut kembalinya Chu Gie, tapi mereka jadi tertegun ketika melihat Liong Sie Houw yang berada di belakang sang Perdana Menteri. Kiang Chu Gie menerangkan, bahwa dia telah mengangkat Sie Houw dari Pak-hay (Laut Utara) sebagai muridnya. Kemudian menanyakan situasi kota See-kie selama ditinggalkannya.

"Pihak lawan tak mengadakan gerakan apa-apa selama beberapa hari ini", Bu Kie menerangkan. Tiba-tiba datang laporan, bahwa pihak lawan telah menantang perang. Chu Gie segera mengajak Na Cha dan lain-lainnya ke luar kota. Begitu berhadapan dengan Kiang Chu Gie, Ong Mo langsung membentak .

"Sungguh licik kau, ternyata diam-diam kau telah pergi ke gunung Kun Lun, meminjam 'See Put Siang' untuk menghadapi kami!". Begitu selesai berkata, Ong Mo menabaskan pedang ke diri Chu Gie. Na Cha yang berada di sisi paman gurunya, segera menangkis serangan tersebut. Keduanya bertanding sampai belasan jurus, tapi belum dapat diketahui siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Ong Mo mengeluarkan kantong kulit macan tutul, mengambil sebutir ?Kay Thian Chu' (Mutiara Pembuka Langit), menimpuk Na Cha. Na Cha tak sempat menyingkir dari serangan tersebut, jatuh terguling dari Roda Api dan Anginnya. Melihat itu, Oey Hui Houw majukan diri untuk menolong Na Cha, tapi dirinya telah pula kena ditimpuk oleh Mutiara Pembuka Langitnya Ong Mo, hingga jatuh terguling dari Kerbau Saktinya. Namun masihuntung baginya, sebelum ditawan musuh, telah berhasil diselamatkan oleh Liong Sie Houw. Melihat keadaan menguntungkan pihaknya, Ong Mo berusaha menangkap Kiang Chu Gie. Namun Chu Gie tak mau membiarkan dirinya ditangkap begitu saja, melakukan perlawanan juga. Cukup seru perang tanding yang masing-masing bersenjatakan pedang itu, tapi setelah berlangsung belasan jurus, Kiang! Chu Gie mulai ket?ter, segera menerbangkan binatang tunggangannya ke Laut Utara. Ong Mo berusaha mengejarnya dengan menerbangkan juga binatang tunggangannya, sambil mengeluarkan Mutiara Pembuka Langitnya, menimpuk Chu Gie. Sesungguhnya, Kiang Chu Gie dalam mengabdikan diri di See-kie, telah ditakdirkan harus mati sebanyak 4 kali dan 3 kali mengalami malapetaka. Timpukan Ong Mo tepat mengenai sasaran, membuat Chu Gie jatuh dari atas 'See Put Siang', terguling-guling terhempas di kaki bukit. Ong Mo tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, mengangkat pedang, bermaksud menabas batang leher Chu Gie. Namun tibatiba terdengar suara orang mencegah. Ong Mo berpaling ke asal suara itu, terlihat tak jauh darinya berdiri Bun Chiu Kong Hoat Tian Chun dari Ngo Liong-san (Gunung Lima Naga).

"Jangan saudara membunuhnya!", cegah orang suci itu pada Ong Mo.

"Telah cukup lama aku menunggu di sini atas permintaan istana Giok Sie. Ada 5 alasan Kiang Chu Gie diperintahkan turun gunung . Pertama, dinasti Touw (Siang) akan segera runtuh. Ke dua, di See-kie telah lahir Raja yang bijaksana. Ke tiga, kaum Chau-kauw harus mengalami bahaya peperangan. Ke empat, Kiang Chu Gie memang telah ditakdirkan akan memperoleh kedudukan yang tinggi dalamdinasti Chiu nanti. Ke lima, atas nama istana Giok Sie, Chu Gie akan menganugrahkan para arwah sebagai Malaikat --- Sebaiknya kau kembali saja ke goamu, tutup pintu goa, pelajari kitab suci --- Bila kau pergi ke Barat, namamu akan tercantum dalam Daftar Penganugrahan Malaikat! Demikianlah, maka menyesal kemudian takkan ada gunanya lagi bagimu". Ong Mo jadi amat gusar, segera menyerang Tian Chun dengan pedangnya. Kim Cha (kakak tertua Lo Chia atau Na Cha) yang berdiri di belakang gurunya, cepat menangkis serangan Ong Mo dengan pedangnya, langsung terjadi perang tanding di antara mereka. Setelah pertandingan berlangsung belasan jurus, Bun Chiu Tian Chun melihat Kim Cha mulai terdesak. Dia segera mengeluarkan tongkat wasiatnya yang bernama 'Pek Teng Liong Chun'. Di tongkat wasiat itu terdapat tiga gelang emas, yang meluncur cepat ke arah Ong Mo. Sebuah gelang emas melingkar di leher Ong Mo, satunya lagi di pinggangnya dan yang ke tiga melingkari sepanjang kakinya. Fungsi tongkat itu sebagai tiang penahan, yang membuat tubuh Ong Mo tak dapat berkutik. Bun Chiu Tian Chun memerintahkan Kim Cha menusuk tubuh Ong Mo dengan pedangnya, lalu menempatkan arwahnya di 'Hong Sin Tay' (Pesanggrahan Penganugrahan Malaikat). Bun Chiu Tian Chun menyimpan kembali benda wasiatnya, bersujud ke arah Kun Lun-san seraya berkata.

"Mohon dimaafkan kesalahan Teecu yang telah terpaksa melakukan pelanggaran membunuh". Kemudian Bun Chiu mengeluarkan sebutir Kauw Choan Hoan Hun Tan' (Pil Sembilan Putaran Mengembalikan Arwah). Merendam pil itu ke d- lam air, selanjutnya meminumkannya pada Chu Gie. Tak sampai sejam, Chu Gie telah sadar kembali. Bun Chiu Tian Chun memberitahukan Chu Gie, bahwa dia telah membunuh Ong Mo.Kiang Chu Gie menghaturkan terima kasihnya pada Tian Chun. Bun Chiu Tian Chun menitah Kim Cha ikut Susioknya turun gunung, untuk membantu pihak See-kie menumbangkan Touw Ong dan membangun dinasti Chiu. Kim Cha pamit pada gurunya, ikut Chu Gie turun gunung. Seusai Bun Chiu Tian Chun mengubur jasad Ong Mo, kemudian kembali ke gunung Lima Naga.Pek Hok Tong cu ..Po Chian.Sin Kong PaLam Khek Sian AngTIGA Kiang Chu Gie mengajak Kim Cha menemui Bu Ong, menceritakan apa yang telah terjadi. Tenanglah perasaan Bu Ong seusai mendengar penuturan Perdana Menteri, yang merupakan ayah angkatnya juga. Di lain pihak, berhubung telah cukup lama Ong Mo belum juga kembali, ketiga temannya mulai curiga campur cemas. Yo Seng lalu menujumkan nasib temannya yang satu itu. Dari ramalan itu diketahuinya kalau Ong Mo telah tewas, membuatnya kaget campur marah, lantas memberitahukan hal itu pada dua sahabat lainnya. Kho Yu Kian dan Lie Hin Pa sangat marah mendengar penuturan Yo Seng. Keesokan harinya mereka bertiga dari luar tembok kota Seekie, menantang Kiang Chu Gie berperang tanding, untuk membalaskan sakit hati Ong Mo. Kiang Chu Gie mengajak Kim Cha dan beberapa orang untuk menyambut tantangan tersebut. Begitu berhadapan, tanpa banyak bicara lagi Kho Yu Kian segera menyerang Chu Gie. Chu Gie menangkisnya, lalu balas menyerang, maka terjadilah perang tanding yang cukup seru. Setelah berlangsung belasan jurus, Kiang Chu Gie mengeluarkan 'Sin Pian' (Ruyung Sakti)-nya, melontarkannya ke angkasa, berhasil menghantam Kho Yu Kian hingga tewas. Sementara itu Yo Seng telah pula tewas terkena 'Teng Liong Chun-nya Kim Cha. Arwah Yo Seng dan Kho Yu Kian segera melayang menuju ke 'Hong Sin Tay' (Pesanggrahan Penganugrahan Malaikat). Arwah mereka dibawa masuk oleh Malaikat Po Chian ke dalam pesanggrahan. Dalam pada itu, Pang Lim ketika melihat Yo Seng dan Kho Yu Kiantewas di tangan musuh, segera maju menyerang. Kedatangannya disambut oleh Oey Thian Siang. Setelah keduanya bertanding beberapa jurus, Thian Siang berhasil menusuk Pang Lim hingga menemui ajalnya. Menyaksikan kekalahan beruntun itu, Lie Hin Pa menarik mundur pasukannya, kembali ke perkemahan, 'berunding dengan Thio Kui Hong, untuk mencari siasat lain dalam menghadapi pihak See-kie. Mereka memutuskan untuk sementara berdiam diri, serta mengutus orang memberi laporan pada Bun Taysu mengenai kekalahan mereka dan memohon untuk segera dikirim balabantuan. Di pihak Kiang Chu Gie yang telah memperoleh kemenangan, tak memberi kesempatan pihak lawan menyusun kekuatan kembali. Keesokan harinya Chu Ge (Chu Gie) memimpin barisan ke muka perkemahan lawan, menantang perang. Thio Kui Hong amat gusar mendengar tantangan itu, segera keluar dari kemahnya bersama Lie Hin Pa menyongsong kehadiran lawan. Terjadilah perang tanding yang cukup seru. Para perwira See-kie rata- rata amat gagah dan sakti. Maka tak mengherankan, kalau dalam beberapa saat Lie Hin Pa telah berhasil dilukai oleh Kim Cha, hingga terpaksa melesat ke angkasa melarikan diri. Kala itu, para perwira See-kie lainnya mengurung Thio Kui Hong. Setelah bertanding beberapa waktu, Kui Hong menyadari kalau dirinya tak mampu menghadapi mereka dan untuk meloloskan diri pun sulit. Rupanya karena putus asa, dia menusukkan ujung tombak ke leher sendiri, jatuh terguling dari kudanya dan tewas. Arwahnya segera menyusul Pang Lim menuju ke 'Hong Sin Tay. Dengan tewasnya sang pimpinan, pasukan kerajaan Siang lari lintang- pukang, berusaha menyelamatkan diri. Kiang Chu Gie membiarkan mereka kabur, ia kembali ke dalam kota See-kie dengan kemenangan gemilang. Lie Hin Pa yang berhasil meloloskan diri, setelah mengetahui bahwatak ada lawan yang mengejarnya, baru berani turun di atas sebuah gunung. Dia amat sedih karena teman-temannya tewas di tangan lawan. Menganggap kepandaiannya sendiri belum lagi memadai, bermaksud kembali bertapa untuk meningkatkan kesaktiannya. Baru saja dia hendak berangkat ke tempatnya bertapa, tiba tiba telah dihadang oleh Bhok Cha (Bhok Chia), kakaknya Na Cha. Lie Hin Pa amat terperanjat, bertanya .

"Siapa kau? Apa maksudnya menghadangku?".

"Aku diperintah oleh guruku, Pouw Hian Cin-jin, untuk menangkapmu!".

"Aku kan tidak bermusuhan dengan gurumu!?", Lie Hin Pa heran campur dongkol.

"Kau tak perlu banyak bicara", bentak Bhok Cha.

"pokoknya kau harus dilenyapkan dari muka bumi ini --- Jaga pedangku!". Bhok Cha melontarkan Pokiam (Pedang wasiat)-nya. Lie Hin Pa tak keburu mengelak, tewas tertusuk pedang sakti Bhok Cha. Bhok Cha mengubur jenazah Lie Hin Pa, kemudian menuju ke See-kie dengan melalui bawah tanah, baru muncul setiba di depan rumah Perdana Menteri. Segera menemui Chu Gie, menyampaikan maksudnya hendak mengabdi pada Bu Ong untuk turut serta membangun dinasti Chiu. Dia juga menceritakan, bahwa telah berhasil membunuh Lie Hin Pa dalam perjalanan menuju See-kie. Kiang Chu Gie menyambut gembira kehadiran kakak Na Cha itu. Bun Taysu amat terperanjat ketika mendengar kabar bahwa tiga dari empat temannya telah tewas, juga Pang Lim. Geram hatinya dan berniat untuk memimpin langsung pasukan, menyerbu See-kie. Namun maksudnya telah dicegah oleh beberapa pembantunya, bahkan Louw Hiong menyatakan kesediaannya untuk memimpin pasukan kerajaan Touw, menggempur kubu Bu Ong.Pada mulanya Bun Taysu ragu, sebab Louw Hiong telah lanjut usia. Tapi karena keadaan dan pertimbangan lain, terpaksa dia mengizinkan Louw Hiong maju ke medan perang dan memerintahkan pula Hui Tiong dan Yu Hui mendampingi perwira tua itu. Louw Hiong berangkat dengan membawa 50.000 prajurit. Di tengah jalan Louw Hiong mendengar mengenai tewasnya Thio Kui Hong, juga Lie Hin Pa, maka dia segera menghentikan gerak maju pasukannya, mendirikan kemah di kaki gunung Kiesan. Kemudian menyuruh salah seorang pembantunya untuk melaporkan kabar buruk itu pada Bun Taysu, sambil menanti perintah lebih jauh. Hampir bersamaan waktunya dengan itu, Poh Chian yang telah jadi Malaikat 'Cheng Hok Sin', melaporkan pada Chu Gie, bahwa pembangunan Pesanggrahan Penganugrahan Malaikat telah rampung dan 'Daftar Hong Sin' telah ditaruh di dalamnya. Kiang Chu Gie melakukan persiapan sembahyang dengan menitah Lam Kong Koa membawa sejumlah pasukan ke puncak gunung Kie- san. Lam Kong Koa berangkat dengan membawa beberapa ribu prajurit, mendirikan kemah di puncak gunung, membawa pula peralatan militer, juga keperluan sembahyang. Karena cuaca yang sangat terik dan sulitnya memperoleh air, sehingga para prajurit kepayahan. Keadaan itu sempat terlihat oleh Louw Hiong yang mendirikan kemah di dalam semak-semak di kaki gunung Kie-san, dalam hatinya merasa girang menyaksikan hal itu. Dengan membangun perkemahan di atas bukit dan harus membawa peralatan yang cukup berat dalam cuaca seterik itu, tanpa berperang juga akan banyak menimbulkan korban, demikian pikirnya. Dalam pada itu Kiang Chu Gie telah pula memerintahkan Bu Kie dan Shin Chia untuk membangun panggung terbuat dari tanah liat setinggi dua puluh elo, yang harus diselesaikan sece patnya. Malam harinya Bu Kie melaporkan, bahwa panggung tanah itu telahrampung. Malam itu juga, Chu Gie berangkat ke perkemahan di atas gunung Kie- san, membagi-bagikan mantel yang biasa dipakai di musim dingin, juga tudung bambu kepada para prajurit. Para prajurit See-kie menerima pembagian barang-barang itu dengan penuh diliputi tanda-tanya, justeru pada saat itu adalah penghujung musim Semi, hawa terasa panas sekali. Kiang Chu Gie naik ke panggung tanah dengan membiarkan rambutnya terurai lepas, tangannya memegang pedang dan berlutut ke arah gunung Kun Lun. Mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, sekali-kali memercikkan air 'Hu' yang telah disiapkan dalam gelas kecil. Hawa yang semula panas, berangsur-angsur berobah menjadi sejuk, bahkan kemudian bertiup angin kencang, sehingga hawa jadi bertambah dingin dan akhirnya turun hujan salju. Pasukan dari kerajaan Touw yang berkemah di kaki gunung Kie-san, yang sebelumnya menganggap telah mulai memasuki musim panas, sama sekali tidak dilengkapi dengan mantel, pada menggigil kedinginan. Berlainan dengan pasukan Bu Ong, yang mengenakan man tel tebal dan tudung bambu lebar, amat bersyukur pada Kiang Chu Gie. Louw Hiong semula menertawakan pihak lawan, yang dianggapnya tolol karena berkemah di tempat panas dan mengira mereka akan mati kepanasan dalam tempo beberapa hari. Namun kenyataannya sekarang, malah dia bersama anak buahnya yang menggigil kedinginan. Hui Tiong dan Yu Hui yang menyertai pasukan itu, tidak luput dari cengkaman hawa dingin dan tak tahu apa yang harus mereka lakukan!? Hujan salju terus saja turun, hingga lapisan salju di atas gunung itu setebal 3 elo dan lapisan di kaki gunung lebih tebal lagi Keesokan harinya cuaca cerah, lapisan salju mulai mencair.Kiang Chu Gie yang sebelumnya telah mendapat informasi akan kehadiran pasukan musuh yang dipimpin Louw Hiong disertai Hui Tiong dan Yu Hun yang bertindak sebagai penasehat, berpendapat kalau mereka pasti tetap berdiam di kemahnya karena kedinginan. Dia menitah Lam Kong Koa dan Bu Kie turun gunung dengan membawa sejumlah pasukan untuk menangkap Hui Tiong, Yu Hui dan Louw Hiong. Tanpa susah payah Lam Kong Koa dan Bu Kie berhasil memasuki perkemahan lawan yang tak terjaga, karena para prajuritnya tetap berdiam di dalam kemah untuk menghindari hawa dingin, hingga dengan mudah mereka ditaklukkan. Lam Kong Koa serta Bu Kie berhasil menawan Yu Hui, Hui Tiong dan Louw Hiong yang tengah kedinginan, lalu menggiring mereka ke atas gunung. Kiang Chu Gie amat girang mendengar keberhasilan pasukannya memporak-porandakan pasukan musuh dan menawan ketiga pemimpin mereka. Dia lantas memerintahkan untuk menyekap Louw Hiong bertiga di kemah belakang. Keesokan harinya dia menyuruh seorang pembantunya kembali ke kota See-kie, mengundang Bu Ong datang ke gunung Kie-san untuk bersembahyang di depan Pesanggrahan Penganugrahan Malaikat. Beberapa waktu kemudian Bu Ong tiba di Kie-san, bersembahyang dengan khusuknya di depan meja sembahyang. Kiang Chu Gie memerintahkan Bu Kie membawa ketiga tawanannya ke depan meja sembahyang, langsung memenggal kepala mereka di situ. Po Chian lalu membawa ketiga arwah itu ke 'Hong Sin Tay. Alangkah terkejutnya Bu Ong menyaksikan hal yang berada di luar dugaan itu.

"Kenapa ayah membunuh mereka pada saat saya sembahyang?", tanyanya pada Perdana Menterinya yang menjadi ayah angkatnya itu."Bila tidak kita bunuh, ketiga orang ini akan menjadi perintang dan menimbulkan banyak korban bagi orang yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan", Kiang Chu Gie menerangkan.

"terutama Hui Tiong dan Yu Hui yang pandai menjilat dan menghasut". Bu Ong tak bertanya lebih lanjut. Seusai sembahyang, mereka kembali ke kota See-kie. 

***

 Pasukan Louw Hiong yang berhasil meloloskan diri dari serbuan pasukan Bu Ong, lari pontang-panting, berusaha menyelamatkan diri kembali ke kota-raja, melaporkan kekalahan me reka pada Bun Taysu. Bun Taysu amat gusar ketika mendengar kabar buruk tersebut, segera memerintahkan Kie Lip dan Yu Keng membawa 'Leng Pay' (Papan perintah) menemui empat saudara Mo yang bertugas menjaga kota Chia-beng-koan, untuk memimpin pasukan menyerbu kota See-kie. Yang tertua dari Mo bersaudara itu bernama Mo Lee Cheng, yang ke dua bernama Mo Lee Hay, ke tiga Mo Lee Ang dan yang bungsu bernama Mo Lee Siu. Mereka telah berguru pada seorang sakti, hingga rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Begitu menerima perintah dari Bun Taysu, keempat saudara Mo ini langsung berangkat ke See-kie dengan membawa 10.000 prajurit. Mereka melakukan perjalanan pada siang hari dan malamnya beristirahat. Beberapa waktu kemudian tibalah mereka di muka pintu gerbang Utara kota See-kie. Mo Lee Cheng memerintahkan pasukannya untuk mendirikan perkemahan di situ. Pada saat bersamaan, Kiang Chu Gie tengah merundingkan soal pertahanan kota dengan Oey Hui Houw, Lam Kong Koa, Shin Bien, Shin Chia dan lain-lainnya. Tiba-tiba datang laporan yang menyatakan, bahwa telah datang pasukan musuh yang mendirikan kemah di luar pintu gerbang Utara.Kiang Chu Gie mengernyitkan alis ketika mendengar kabar itu.

"Kita serang mereka besok!", katanya kemudian.

"Tapi kita tak boleh meremehkan Mo bersaudara itu, pak", ujar Hui Houw yang ternyata telah mengenal keempat saudara Mo.

"Mereka cukup sakti, amat berbahaya. Yang sulung bernama Mo Lee Cheng, tubuhnya jauh lebih tinggi dari manusia biasa, dalam bertanding selalu berjalan kaki dengan bersenjatakan tombak panjang. Dia memiliki pedang pusaka yang dinamakan 'Lam In' (Mega Biru). Pedang itu dapat menimbulkan tiupan angin yang cukup keras, dapat menerbangkan segala benda sampai beberapa ribu tombak, dan pentungan yang berwarna hitam. Di samping itu dia pandai menciptakan ular-ular api yang menyerbu dari angkasa, dia dapat pula menimbulkan asap-gelap yang dengan cepat sekali dari bawah mengepul ke atas, dapat menewaskan lawan. Sedang yang ke dua bernama Mo Lee Hay, bersenjatakan tombak juga, tapi lebih sering memakai Kecapi bertali empat, dikenal sebagai 'Hong Pi Pee' (Kecapi Angin); jika dimainkan, dapat menimbulkan api dan angin yang memburu lawan. Yang ke tiga bernama Mo Lee Ang, bersenjatakan payung, yang diberinya nama 'Kun Goan Cin Cu Shan' (Payung Mutiara Penggelap Asal). Bila payung itu dibuka, maka suasana menjadi gelap, matahari maupun rembulan seakan kehilangan sinarnya. Kalau payung itu diputar-putar, bumi akan berguncang hebat. Dan saudara bungsu mereka bernama Mo Lee Siu, bersenjatakan tombak dan memiliki pula kantong yang berisi seekor Rase, yang disebut 'Hoa Ho Tiauw' (Rase Kembang), bila dilepas di angkasa, menjadi garang dan haus darah, menerkam mangsanya ganas sekali".

"Baik sekali peringatan saudara", kata Chu Gie.

"Kita me mang tak boleh memandang enteng setiap lawan". Lalu mereka mengatur siasat untuk menghadapi lawan .... Keesokan harinya, keempat saudara Mo dengan pasukannya telahsampai di luar pintu gerbang kota See-kie, langsung menantang Kiang Chu Gie berperang tanding. Kiang Chu Gie didampingi para perwiranya menyongsong! musuh. Begitu Chu Gie muncul, Mo Lee Cheng langsung menusukkan tombaknya. Lam Kong Koa yang selalu mendampingi sang Perdana Menteri, segera menangkis serangan tersebut dengan golok panjangnya, terjadilah pertarungan yang cukup sengit di antara mereka. Mo Lee Ang maju membantu saudara tuanya, tapi langsung disambut oleh kampak bergagang panjang Shin Chia. Dengan demikian perang tanding terbagi dalam dua kelompok, silih berganti menyerang atau menangkis. Pertempuran telah berlangsung cukup lama, tapi belum dapat dipastikan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Moo Lee Hay dan Moo Lee Siu tak sabar lagi menanti usainya pertarungan, segera maju untuk membantu kedua saudara mereka. Namun kehadiran mereka segera pula dihadapi oleh Na Cha dan Kim Cha, hingga terjadi pertarungan sengit dalam kelompok baru. Mo Lee Ang yang melihat akan sulit memperoleh kemenangan dalam waktu singkat, segera membuka payung mutiaranya, menyedot 'Kan Kun Choan' (Gelang Alam Semesta)-nya Na Cha. Kim Cha marah menyaksikan lawan menyedot senjata pusaka adiknya, cepat melontarkan "Teng Liong Chun'-nya, namun senjata sakti Kim Cha itu pun kena disedot oleh payung saktinya Mo Lee Ang. Menyaksikan kejadian itu, Kiang Chu Gie langsung melontarkan "Ta Sin Pian (Ruyung Pemukul Dewa)-nya. Namun ruyung pusaka itu hanya ampuh untuk memukul para Dewa dan akan hilang keampuhannya bila digunakan untuk menyerang manusia yang berkepandaian tinggi. Maka tidaklah mengherankan kalau ruyung itu tersedot pula ke dalam payung sakti Mo Lee Ang, yang membuat Perdana Menteri lanjut usia ini amat terperanjat.Sementara itu para perwira See-kie telah pula terjun ke medan laga untuk membantu pimpinan mereka. Menyaksikan itu, Mo Lee Hay menggerakkan kecapi pusakanya, yang menimbulkan angin dan api, memburu pihak lawan. Sedangkan Mo Lee Siu telah pula melepaskan 'Hoa Ho Tiauw (Rase Kembang)-nya, langsung menyerang pihak lawan dengan ganasnya, mengakibatkan pasukan See-kie banyak yang terluka, bahkan tewas. Melihat barisannya menjadi kacau oleh serangan-serangan senjata pusaka lawan, Chu Gie segera menarik pasukannya mundur ke dalam kota. Di antara orang yang tewas terdapat saudara kandung Bu Ong. Keempat saudara Mo kembali ke perkemahan mereka de. ngan wajah berseri. Keesokan harinya mereka menantang perang lagi, bermaksud merebut kota See-kie. Kiang Chu Gie memerintahkan Na Cha, Kim Cha, Bhok Cha, Liong Sie Houw dan lain-lainnya agar mati-matian mempertahankan kota. Biarpun beruntun 3 hari Mo bersaudara coba menggempur kota See- kie, namun usaha mereka selalu kandas, karena disambut oleh lawan yang pantang menyerah dengan menghujani batu, hingga banyak prajurit yang luka. Terpaksalah Mo bersaudara menarik kembali pasukannya ke perkemahan, merundingkan cara lain untuk dapat menjebol pertahanan kota See-kie. Kemudian mereka bersepakat untuk melontarkan senjatasenjata pusaka mereka ke angkasa, agar kota See-kie tenggelam. Dalam pada itu Kiang Chu Gie mengajak para panglima dan perwira berunding, mencari daya menghadapi Mo bersaudara. Tapi belum lagi mereka menemukan cara terbaik, tiba-tiba te lah bertiup angin topan yang disertai hujan lebat. Chu Gie segera memasang hio (dupa linting) dan dengan menggunakan uang emas meramalkan apa yang sedang dan akan terjadi. Seketika dia jadi terperanjat, karena berdasarkan ramalannya,bahwa pihak lawan bermaksud menenggelamkan kota See-kie dengan menggunakan kesaktian senjata mereka. Chu Gie segera mandi, menukar pakaian dan membiarkan rambutnya terurai lepas. Bersujud ke arah Kun Lun-san sambil memegang pedang, membaca mantera. Demikianlah maka air segera surut hingga kota See-kie terhindar dari genangan air, manakala dibiarkan akan tenggelam. Regu dari pasukan kerajaan Touw (Siang) yang ditugaskan mengamati perkembangan kota See-kie, segera melaporkannya pada Mo bersaudara. Mo Lee Cheng dan ketiga saudaranya sangat terkejut mendapat laporan itu, sebab biasanya senjata pusaka mereka amat ampuh, apa yang mereka harapkan akan menjadi kenyataan. Mereka segera ke luar kemah, menyaksikan bahwa tembok kota See-kie tetap berdiri tegak, sama sekali tidak mengalami kerusakan. Saking penasaran, keesokan harinya Mo bersaudara menuju ke pintu gerbang kota, menantang perang lagi. Namun tidak dihiraukan oleh pihak See-kie. 

***

 Giok Teng Cin-jin dari goa Kim-shia di gunung Giok-choan, telah menitah muridnya yang bernama Yo Chian berangkat ke See-kie untuk membantu Kiang Chu Gie menghadapi Mo bersaudara. Yo Chian pamit pada gurunya, berangkat ke kota See-kie. Chu Gie menyambut gembira kedatangan Yo Chian. Yo Chian memberitahukan maksud kedatangannya, kemudian meminta Chu Gie mengangkat papan penundaan perang. Esok paginya Mo bersaudara datang lagi, menantang perang. Yo Chian keluar dari pintu gerbang kota, menyambut tantangan tersebut. Setelah masing-masing memberitahukan namanya, terjadilah pertarungan yang timpang, Yo Chian seorang diri menghadapi 4saudara Mo. Yo Chian sungguh sangat perkasa, biarpun hanya seorang diri, dia mampu menghadapi lawan-lawannya yang rata-rata berkepandaian tinggi itu. Keadaan itu membuat Mo Lee Siu jadi tak sabar, sebab bila bertanding dengan menggunakan ilmu silat, sulit bagi mereka untuk mengalahkan Yo Chian. Maka dia lantas mengeluarkan 'Hoa Ho Tiauw' dari kantong pusakanya. Sungguh hebat, 'Rase Kembang'-nya Mo Lee Siu ternyata dapat memangsa Yo Chian, menelannya bulat-bulat. Kiang Chu Gie amat terperanjat menyaksikan perkembangan yang benar-benar di luar dugaannya itu. Di lain pihak, keempat saudara Mo jadi kegirangan. Lee Siu lalu memerintahkan 'Hoa Hoa Tiauw untuk memangsa juga Chu Gie dan Bu Ong. Namun mereka tak menyangka kalau Yo Chian yang memiliki kesaktian luar biasa, dapat merobah-robah dirinya sampai 72 macam (seperti Sun Go Kong dalam cerita See Yu Kie). Dia sengaja membiarkan dirinya ditelan dan begitu berada di dalam perut 'Rase Kembang', langsung saja dia merenggut jantung 'Hoa Ho Tiauw' itu, hingga binatang tersebut mati seketika. Yo Chian segera keluar dari dalam perut bangkai si Rase, kembali ke gedung Perdana Menteri menemui Kiang Chu Gie, menceritakan apa yang telah dialaminya. Chu Gie girang sekali. Yo Chian mengutarakan siasatnya untuk mencuri bendabenda pusaka milik Mo bersaudara. Kiang Chu Gie langsung menyetujui rencana Yo Chian, hanya berpesan supaya dia bersikap hati-hati dalam melaksanakan tugasnya itu. Selepas kentongan pertama, Yo Chian menggunakan kesaktiannya, masuk ke dalam perkemahan Mo bersaudara dan berhasil mencuri 'Cin Cu Kun Goan Shan' (Payung Mutiara) milik Mo Lee Ang,membawanya ke See-kie. Kim Cha, Bhok Cha dan Na Cha yang sempat menyaksikan perbuatan Yo Chian, memuji kesaktiannya. Setelah menyerahkan payung pusaka lawan pada Chu Gie, Yo Chian lalu merobah bentuk dirinya sebagai 'Hoa Ho Tiauw, pergi lagi ke perkemahan musuh, masuk ke dalam 'kantong kulit macan tutul' milik Mo Lee Siu, menanti kesempatan baik untuk mencuri benda pusaka Mo bersaudara lainnya. 

***

 Hari itu perasaan Cheng Sie To Tek Chin Kun tak tenang, Berkat ketepatan ramalannya, ia dapat mengetahui, bahwa kota See-kie tengah diserang oleh musuh yang sakti. Maka dia segera menyuruh Kim Shia Tongcu memanggil Oey Thian Hoa. Tak lama Thian Hoa datang, berlutut di hadapan gurunya seraya bertanya.

"Ada titah apa Suhu memanggil Teecu?".

"Kini telah tiba saatnya kau turun gunung", Dewa Cheng Sie To Tek menerangkan.

"kau bersama ayahmu harus membuat jasa bagi dinasti Chiu!".

"Teecu siap melaksanakan perintah Suhu", ucap Oey Thian Hoa segera, hormat sekali sikapnya. Mari ikut aku!", Dewa Cheng Sie To Tek mengajak muridnya ke taman bunga To yang terletak di belakang pertapaannya. Thian Hoa mengikutinya. Dewa Cheng Sie To Tek mengajarkan muridnya 'Chui Hoat' (Ilmu Gada). Thian Hoa yang cerdas, dalam sekejap telah mahir memainkan sepasang gada. Kemudian Dewa Cheng Sie To Tek Chin Kun menghadiahkan 'Giok Kie Lin' (Kie Lin Kumala) untuk tunggangan muridnya dalam menghadapi lawan. Oey Thian Hoa pamit pada gurunya, berangkat ke kota Seekie.Setelah bertemu dengan Chu Gie, Thian Hoa memberitahukannya, bahwa kedatangannya ke See-kie adalah atas perintah gurunya untuk membantu Bu Ong membangun dinasti Chiu. Kiang Chu Gie girang mendengar Thian Hoa, segera memanggil Oey Hui Houw untuk dipertemukan dengan anaknya. Oey Hui Houw amat gembira dapat kumpul kembali dengan anak sulungnya. Keesokan harinya Oey Thian Hoa keluar pintu gerbang kota, menyambut tantangan Mo Lee Cheng. Walau Thian Hoa cukup mahir ilmu gadanya, namun setelah bertanding belasan jurus, dirinya dapat dilukai oleh 'Pek Giok Cho' (Gelang Wasiat Kumala Putih)-nya Mo Lee Cheng, hingga jatuh dari binatang tunggangannya, Mo Lee Cheng yang kejam, bermaksud menghabisi nyawa Thian Hoa dengan menusukkan tombaknya. Untung Na Cha yang sejak semula memperhatikan jalannya pertarungan, segera maju dan menangkis serangan tombak Mo Lee Cheng yang diarahkan ke dada Thian Hoa, dengan begitu selamatlah nyawa anak sulung Oey Hui Houw tersebut. Mo Lee Cheng jadi marah terhadap Na Cha, melontarkan 'Pek Giok Cho'-nya ke diri Lo Chia (Na Cha). Namun Na Cha tidak gentar, melontarkan ?Kan Kun Choan' yang telah diperolehnya kembali dari dalam 'Payung Mutiara' milik Mo Lee Ang, yang berhasil dicuri Yo Chian. Kedua gelang pusaka itu saling berbenturan dan adu kesaktian, ternyata 'Gelang Kumala Putih' Mo Lee Cheng kalah sakti, hancur berkeping-keping. Lee Cheng amat terperanjat, tak berani melawan lebih jauh, menarik pasukannya mundur ke perkemahan. Na Cha tidak mengejarnya, membawa Oey Thian Hoa yang tengah sekarat kembali ke dalam kota. Bersamaan dengan itu, berkat kesaktiannya, Cheng Sie To Tek ChinKun, tahu kalau muridnya mengalami mala-petaka, segera menitah murid lainnya, Beng Goat To-tong, untuk membawa Thian Hoa kembali ke tempat persemayamannya di goa Che-yang. Sesampai di hadapan sang guru, Dewa Cheng Sie To Tek mengambil semangkok air, melarutkan sebutir pil, menyuruh To tong meminumkannya pada Thian Hoa. Tak lama kemudian Oey Thian Hoa siuman dari pingsannya. Begitu melihat gurunya, dia segera berlutut di hadapannya sambil mengucapkan terima kasihnya. Dewa Cheng Sie To Tek memberikan sebuah benda pusaka yang bernama 'Choan Sim Teng (Paku Penembus Jantung) dan menyuruh muridnya segera kembali ke See-kie untuk membantu Bu Ong menghadapi lawan. Oey Thian Hoa pamit pada gurunya, berangkat ke See-kie dengan berlari cepat bagaikan terbang. Beberapa waktu kemudian, dia pun tiba di kota yang dimaksud. Kiang Chu Gie dan Oey Hui Houw amat girang dan bersyukur ketika melihat Thian Hoa kembali dan telah sembuh dari lukanya. Pada pagi harinya Oey Thian Hoa mendatangi perkemahan Mo bersaudara, menantang mereka berperang tanding. Mo Lee Cheng amat gusar mendengar tantangan itu, segera keluar dari perkemahan, menyambut tantangan Thian Hoa. Setelah bertempur beberapa jurus, Oey Thian Hoa berpurapura kewalahan, melarikan diri. Mo Lee Cheng mengejarnya. Tiba-tiba Thian Hoa mengeluarkan 'Choan Sim Teng', melontarkan ke arah lawan. Senjata pusaka itu memancarkan sinar kemilau, amat menyilaukan pandang. Mo Lee Cheng tak sempat mengelak, dadanya tertancap 'Paku Wasiat', jatuh terguling dan tewas.Mo Lee Siu bersama dua saudara lainnya sangat gusar menyaksikan saudara mereka tewas di tangan lawan, serentak maju mengeroyok Thian Hoa. Na Cha yang khawatir Thian Hoa tak sanggup menghadapi mereka, segera maju membantunya. Tak tahunya, sebelum dia tiba di medan laga, Thian Hoa kembali telah berhasil menewaskan Mo Lee Hay dan Mo Lee Ang dengan 'Choan Sim Tengnya. Tinggal lagi Mo Lee Siu, yang tambah marah menyaksikan tiga saudaranya tewas oleh 'Paku Penembus Jantung' milik Oey Thian Hoa. Kian besar nafsunya untuk membalas dendam, merogoh kantong pusakanya, bermaksud mengeluarkan 'Hoa Ho Tiauw nya. Dia tak tahu kalau 'Rase Kembang' yang berada di dalam kantong itu adalah penjelmaan Yo Chian, yang langsung menggigit tangan kanan Lee Siu hingga putus. Dalam pada itu Oey Thian Hoa telah pula melontarkan paku wasiatnya, berhasil menewaskan Lee Siu. Dengan demikian tamatlah sudah riwayat Mo bersaudara. Oey Thian Hoa, Na Cha dan Yo Chian bersama-sama menghadap Kiang Chu Gie, melaporkan kemenangan mereka. Chu Gie amat gembira dan berterima kasih akan jasa mereka. Arwah Mo bersaudara melayang ke Pesanggrahan Penganugrahan Malaikat. Sisa prajurit dari pasukan kerajaan Touw yang masih selamat, kembali ke kota-raja, melaporkan tewasnya pimpinan mereka. Bu kieKim ChaBhok ChaLouw HiongEMPAT Bun Taysu terperanjat dan geram sekali ketika mendengar kematian keempat saudara Mo, lalu menemui Tiu Ong (Touw Ong), meminta restu Kaisar untuk memimpin langsung penyerbuan ke See-kie. Touw Ong meluluskan permintaannya. Bun Taysu segera menyiapkan pasukan, meninggalkan kotaraja. Tapi baru saja dia berangkat, binatang tunggangannya, seekor Kie Lin hitam, mendadak meraung dan melemparkan sang Taysu ke tanah.

"Ini alamat tak baik, Taysu", kata seorang pembantunya sambil membantu Bun Taysu bangun.

"sebaiknya Taysu mengutus orang lain untuk menggempur See-kie".

"Tak apa-apa", Bun Taysu membersihkan pakaiannya dari debu.

"binatang tungganganku memang sering ngambeg". Perjalanan dilanjutkan, menempuh jalan melalui kota Cheng-liong- koan. Namun perjalanan ini agak sulit, turun naik melintasi tanah pegunungan, hingga banyak waktu yang terbuang Pada suatu hari tibalah mereka di Huang Hoa-san. Bun Taysu memerintahkan untuk mendirikan kemah di situ. Sedang dia sendiri memeriksa keadaan sekitarnya dengan menunggang Kie Lin hitamnya. Terlihat olehnya di bagian depan sebuah tanah lapang, amat indah panorama seputarnya. Selagi Bun Taysu asyik memperhatikan kepermaian alam, tiba-tiba terasa ada samberan angin, disusul munculnya seseorang yang langsung menyerang dengan kapak. Bun Taysu cepat menangkis serangan tersebut dengan 'Kim Pian' (Ruyung Emas)-nya. Setelah bertarung beberapa jurus, Bun Taysu memutar binatang tunggangannya, meninggalkan lawannya.Sang lawan yang mengenakan seragam perwira, mengejarnya. Tiba-tiba dari arah kiri muncul dua orang yang berseragam perwira juga, menyerang Bun Taysu. Bun Taysu tak berselera melayani mereka bertanding, mengacungkan ruyung emasnya ke arah sebuah batu besar sambil membaca mantera. Batu besar itu runtuh, menindih ketiga lawannya. Bun Taysu tak menghiraukannya ketiga lawannya, kembali ke atas gunung sambil memperhatikan panorama di seputarnya. Tiba-tiba dari angkasa terdengar suara angin dan gledek, disusul meluncur turun seorang bertampang mirip burung dan bersayap. Sebelah tangannya memegang 'Chui Chan' (Palu), menghantam kepala Taysu. Bun Taysu menangkis dengan ruyung emasnya, kemudian balas menyerang, yang membuat sang lawan terbang menjauh. Bun Taysu tak mempedulikannya, meneruskan jalannya.

"Jangan harap kau dapat lolos dari tangan Shin Hoan!", seru sang lawan sambil mengejar. Sikap Bun Taysu tetap tenang, mengacungkan ruyungnya ke batu gunung. Batu gunung itu mendadak runtuh, menindih tubuh Shin Hoan hingga tak dapat berkutik lagi. Bun Taysu bermaksud meninggalkan tempat itu.

"Tunggu pak!", tiba- tiba Shin Hoan berseru.

"Ada apa?"), Bun Taysu berpaling.

"Sudilah bapak memaafkan atas kekasaran saya tadi", kata Shin Hoan dengan nada minta dikasihani.

"kalau boleh saya tahu, siapa bapak?".

"Aku Bun Taysu dari kota-raja", sahut Taysu.

"Bila Taysu membebaskan Siao-jin, saya akan mengabdi pada Taysu", janji Shin Hoan. Bun Taysu menatap manusia yang berwajah mirip burung itu, seakan sedang mempertimbangkannya. Kemudian dia meminta bantuan Malaikat Oey Cheng Lek Su untuk mengangkat batu besar yangmenindih tubuh Shin Hoan. Begitu bebas dari tindihan batu, Shin Hoan segera berlutut di hadapan Bun Taysu seraya mengucapkan terima kasihnya, kemudian memohon .

"Tolonglah Taysu membebaskan juga tiga saudara saya, agar mereka dapat mengabdi pula pada Tay su".

"Di mana saudaramu?", tanya Bun Taysu, walau sesungguhnya dia telah dapat menduga siapa yang dimaksud.

"Tiga orang yang menyerang Taysu tadi", sahut Shin Hoan. Sang Taysu kembali mengacungkan ruyung emasnya ke angkasa, segera terdengar suara halilintar, batu yang menindih ketiga saudara Shin Hoan seketika lenyap. Bagaikan orang yang baru sadar dari mimpi buruknya, mereka memperhatikan sekelilingnya. Mereka sangat heran campur marah ketika melihat Shin Hoan berdiri di sisi lawan.

"Lekas tangkap siluman itu, Hian-tee!", kata salah seorang di antaranya pada Shin Hoan.

"Heng-tay salah paham, dia bukan siluman, tapi Bun Taysu dari kota- raja", Shin Hoan menerangkan.

"Taysu inilah yang telah membebaskan kita dari tindihan batu. Aku telah berjanji untuk mengabdi padanya, kuharap Heng-tay juga mengikuti jejakku". Sesungguhnya Shin Hoan telah mengangkat saudara dengan tiga orang yang berseragam perwira itu, masing-masing bernama Teng Tiong, Thio Kiat dan To Yong.

"Semula kami bermaksud menghimpun pasukan untuk melakukan pemberontakan terhadap kerajaan Touw yang kami nilai menjalankan roda pemerintahan dengan tangan besi", kata Shin Hoan.

"tak tahunya penilaian kami keliru. Sebab Bun Taysu ternyata seorang yang bijaksana, maka saya rela mengabdikan diri". Sikap Shin Hoan diikuti oleh ketiga saudara angkatnya, Mereka mengabdi pada Bun Taysu bersama pasukan yang telahberhasil mereka himpun. Bun Taysu yang memang sedang membutuhkan tenaga orang gagah dan bala tentara, menerima mereka dengan tangan terbuka, mengajak mereka menuju ke See-kie. Setelah berjalan sekian waktu, pada suatu hari mereka melintasi kaki sebuah bukit. Di pinggir jalan terdapat sebuah batu yang bertuliskan 'Kut Liong-leng' (Bukit Membunuh Naga). Bun Taysu bengong ketika melihat tulisan itu. Teng Tiong heran menyaksikan sikap sang Taysu, bertanya.

"Kenapa Taysu bengong?".

"Guruku, Kim Leng Seng Bo, telah berpesan, bahwa seumur hidupku pantang melihat huruf 'Kut', tapi kenyataannya sekarang di luar dugaan aku telah membaca 'Kut Liong-leng', yang mungkin akan membawa mala-petaka bagiku". (Kut berarti Membunuh atau Memusnakan).

"Jangan Taysu terlampau mencemaskan hal itu", Teng Tiong berusaha menenangkan perasaan Bun Taysu.

"Mati hidupnya seseorang, juga nasibnya, berada di tangan Thian". Teng Tiong mengajak sang Taysu melanjutkan perjalanan. Beberapa waktu kemudian tibalah mereka di pintu gerbang Selatan kota See- kie. Bun Taysu memerintahkan untuk mendirikan perkemahan di situ. Kedatangan pasukan di bawah pimpinan Bun Taysu segera diketahui oleh petugas keamanan kota See-kie, yang langsung melaporkannya pada Kiang Chu Gie. Petugas itu menyatakan, bahwa Bun Taysu telah datang bersama 300.000 prajurit dan kini mendirikan perkemahan di luar pintu gerbang Selatan. Mendengar laporan itu, Chu Gie segera mengatur siasat untuk menghadapi lawan.Esoknya Bun Taysu memimpin pasukannya, menantang perang pihak See-kie. Kiang Chu Gie keluar dari pintu gerbang kota dengan menunggang 'See Put Siang', didampingi oleh Oey Hui Houw yang menunggang kerbau saktinya. Begitu berhadapan muka, Chu Gie menyoja pada Bun Taysu .

"Terimalah hormat saya, Taysu".

"Sebagai orang yang pernah bertapa puluhan tahun di Kun Lun-san, kenapa tindakanmu begitu ceroboh?", tanya Bun Taysu.

"Justeru karena saya pernah belajar di istana Giok Sie di Kun Lun-san, saya jadi tahu mana yang patut dilakukan dan mana yang tidak. Saya selalu berusaha untuk bertindak adil dan mentaati perintah Thian, patuh pada Raja yang bijaksana dan berusaha membimbing rakyat yang berada di kegelapan ke tempat yang terang".

"Tapi kau dengan seenaknya saja mengangkat majikanmu sebagai Raja dan bersedia pula menerima serta memberi jabatan penting pada Oey Hui Houw yang telah berkhianat pada kerajaan Touw. Dan ketika pasukan Kaisar datang, bukan saja tidak kau sambut baik-baik, malah memeranginya, hingga banyak perwira dan prajurit yang gugur. Patutkah perbuatanmu itu?".

"Maaf Taysu, dalam beberapa hal saya tidak sependapat dengan Taysu", kata Chu Gie.

"Memang saya belum meminta restu Kaisar, tapi apa salahnya seorang putera Raja-muda menggantikan tahta ayahnya? Mengenai kasus Oey Hui Houw, tidaklah patut kita menyalahkannya. Bukankah ada pepatah yang mengatakan . Bila Raja tidak adil, hamba-hambanya akan mengabdi pada Raja lain yang lebih bijaksana!? --- Mengenai gugurnya para perwira dan prajurit Siang, mereka sendirilah yang mencari kematian di sini. Saya mengharap Bun Taysu sudi mempertimbangkan segalanya itu dengan kepala dingin, kemudian menarik pasukan dari sini, agar tak sampai terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan!".Bun Taysu bukan saja tak sudi mendengar saran Chu Gie, malah panas hatinya diminta menarik pulang pasukannya. Memerintahkan para pembantunya untuk menangkap Chu Gie dan Oey Hui Houw. Teng Tiong mengeprak kudanya, melancarkan serangan. Namun kehadirannya telah disambut oleh Oey Hui Houw. Thio Kiat bermaksud membantu dengan mengayun-ayunkan kapak bergagang panjangnya, tapi dirinya dihadapi oleh Lam Kong Koa. To Yong segera maju membantu saudara angkatnya, tapi langsung dihadang oleh Bu Kie. Maka berlangsunglah pertarungan sengit dari enam orang yang terbagi dalam tiga kelompok. Sekalipun telah berlangsung sampai 50 jurus lebih, tapi tetap belum dapat diketahui siapa yang akan jaya. Menyaksikan keadaan itu, Bun Taysu memacu Kie Lin hitamnya sambil melontarkan sepasang ruyung emasnya ke arah Bhok Cha yang berdiri di sisi. Bhok Cha ternyata tajam telinganya, begitu mendengar ada samberan angin, langsung melompat ke sisi menghindari serangan lawan. Sementara itu Kim Cha telah melompat maju, menangkis sepasang ruyung Bun Taysu dengan pedangnya, hingga benda itu terpental balik ke pemiliknya. Bun Taysu menangkap sepasang ruyungnya, kepalanya mengepulkan asap saking menahan dongkol yang luar biasa, juga penasaran. Sebab biasanya serangannya tak pernah gagal. Kembali dia melontarkan ruyungnya dan usahanya sekali ini berhasil, bukan saja telah melukai Bhok Cha dan Kim Cha, bahkan banyak perwira See-kie terkena gempuran sepasang senjata pusaka Bun Taysu tersebut. Chu Gie yang menderita kekalahan, cepat menarik pasukannya ke dalam kota, lalu berunding dengan para pembantunya untuk mencari siasat dalam menghadapi lawan.

"Sebaiknya kita beristirahat dulu dalam satu, dua hari ini pak. Untukmemberi kesempatan mengobati orang-orang yang terluka dan beristirahat beberapa saat untuk memulihkan tenaga". Usul itu disetujui Chu Gie. Hari ke tiganya barulah Kiang Chu Gie memimpin pasukannya keluar dari pintu gerbang kota. Seorang prajurit kerajaan Touw melaporkan perkembangan itu pada Bun Taysu. Bun Taysu bersama anak buahnya keluar kemah, menyambut kehadiran pasukan See-kie. Segera terjadi pertarungan sengit antara Chu Gie dengan Bun Taysu. Na Cha dan Yo Chian yang berada di sisi kiri dan kanan Chu Gie, ikut pula membantu menyerang Bun Taysu, hingga sang! Taysu berangsur- angsur jadi kewalahan juga, terpaksa harus mengeluarkan sepasang ruyung pusakanya, melontarkannya ke angkasa. Sekali ini Chu Gie telah pula melakukan persiapan, cepat! melontarkan 'Ta Sin Pian' (Ruyung Pemukul Dewa)-nya dan berhasil mematahkan sepasang ruyung Bun Taysu, bahkan ke mudian sang Taysu sendiri kena dihajarnya hingga jatuh terjungkal dari binatang tunggangannya. Untung Kie Lek dan Yu Cheng segera datang menolongnya, hingga Bun Taysu terhindar dari sergapan musuh. Bun Taysu melarikan diri dengan menempuh jalan bawah tanah. Kiang Chu Gie beserta pasukannya kembali ke dalam kota, kemudian merundingkan siasat berikutnya. Yo Chian mengusulkan, sebaiknya memanfaatkan kesempatan selagi lawan sedang turun mental akibat kekalahan yang dideritanya, untuk melancarkan serangan berikutnya. Chu Gie dan lain-lainnya menyetujui usul itu, memutuskan menyerang perkemahan Bun Taysu selepas kentongan pertama. Sementara itu Bun Taysu seakan mendapat firasat buruk, lalu menujumkan apa yang akan terjadi.Dari hasil p?tangannya dapat diketahui, bahwa pihak Seekie akan melancarkan serangan malam nanti. Maka dia pun me ngatur siasat untuk menghadapinya. Memerintahkan Teng Tiong dan Thio Kiat menjaga sektor kiri perkemahan. Sedang Shin Hoan dan To Yong diperintahkan menjaga sektor kanan. Kie Lek dan Yu Cheng memimpin sejumlah prajurit menjaga depan kemah. Bun Taysu sendiri akan bersiaga di bagian tengah. Selepas kentongan pertama, terdengar suara ribut-ribut di depan kemah, Na Cha dan Oey Thian Hoan melakukan penyerangan dari muka. Oey Hui Houw, Oey Hui Piao, Oey Beng dan beberapa perwira lainnya menyerang dari sisi kiri perkemahan. Lam Kong Koa, Shin Chia, Shin Bien melancarkan serangan dari sisi kanan. Kiang Chu Gie yang didampingi Bu Kie dan Liong Sie Houw, turut menyerbu di belakang Na Cha. Bun Taysu menunggang Kie Lin hitamnya, menyambut serangan lawan dengan ruyungnya. Oey Thian Hoa, Kim Cha, Bhok Cha dan Na Cha segera mengurung Bun Taysu, terjadilah pertempuran yang cukup sengit, untuk sementara belum dapat diketahui siapa yang akan unggul. Yo Chian memanfaatkan kekalutan suasana untuk menyerang bagian belakang, menggempur para prajurit yang ditugaskan menjaga perbekalan. Dalam sekejap dia telah berhasil membikin kucar-kacir para prajurit dan membakar kemah yang berisi perbekalan lawan tersebut. Sebentar saja api berkobar dengan ganasnya, memusnakan semua benda yang ada. Bun Taysu gugup ketika menyaksikan kemah belakang dilahap api, meninggalkan medan laga, segera melarikan diri dengan menempuh jalan bawah tanah ...... 

***

 In Tiong Cu yang bermukim di Chong Lam-san, melalui kesaktiannya dapat mengetahui kalau Bun Taysu telah memimpin langsung pasukankerajaan Touw, untuk menghancurkan pemerintahan Bu Ong yang kini berpusat di See-kie. Dia segera menyuruh muridnya, Lui Chin Cu, turun gunung.

"Segeralah kau berangkat ke See-kie untuk mendirikan jasa bagi dinasti Chiu", katanya pada muridnya.

"Bila di perjalanan kau bertemu dengan manusia bersayap sepertimu, tawanlah dia dan bawa ke See-kie!".

"Baik Suhu". Lui Chin Cu pamit pada gurunya, membentangkan 'Sayap Angin dan Gledek', melayang ke angkasa menuju ke See-kie, hendak membantu Bu Ong, saudara angkatnya. Ketika hampir tiba di tempat yang dituju, terlihat olehnya Bun Taysu bersama pasukannya melarikan diri dari kejaran pihak See-kie. Lui Chin Cu berpendapat, pada saat itulah yang tepat baginya untuk mendirikan jasa bagi Chiu Bu Ong. Dia segera meluncur turun, menyerang Bun Taysu. Bun Taysu yang sedang patah semangat akibat kekalahannya, tak berselera untuk melayani serangan Lui Chin Cu. Tapi Shin Hoan yang mendampingi Bun Taysu segera terbang menyambut serangan Lui Chin Cu. Terjadilah perang tanding yang hebat di angkasa antara dua manusia bersayap itu. Setelah berlangsung beberapa saat, Shin Hoan mulai terdesak, akhirnya melarikan diri. Lui Chin Cu mengejarnya, tapi lawannya keburu menghilang. Dia melanjutkan perjalanan ke kota See-kie. Dalam pada itu, Bun Taysu yang mengalami kekalahan tragis, terus melarikan diri bersama pasukannya sampai sejauh 70 li dari kaki gunung Kie-san, mendirikan perkemahan di situ. Ketika dia memeriksa pasukan, ternyata kehilangan 20.000 prajurit, menjadikannya sangat sedih. Dia memutuskan untuk pergi meminta bantuan para sahabatnya yang tinggi ilmunya, menitah Teng Tiongdan Shin Hoan untuk menjaga baik-baik perkemahan, Bun Taysu berangkat ke 'Pulau Kura-kura Emas' dengan menunggang Kie Lin hitamnya. Namun pulau itu ternyata kosong, tak tahu dia ke mana perginya para sahabatnya!? Selagi dia kebingungan, kebetulan bertemu dengan Han Kie Sian, pertapa wanita, yang merupakan sahabatnya juga.

"Teman-teman lainnya pada pergi ke 'Pulau Menjangan Putih' Taysu, mereka berupaya untuk menyusun 'barisan gaib'. Setelah siap, nantinya akan digunakan membantu Toyu dalam menumpas lawan", Kie Sian menerangkan.

"Toyu dapat menemui mereka di pulau itu". Bun Taysu mengucapkan terima kasih, langsung berangkat ke pulau yang dimaksud dan berhasil menemui 9 Tosu (Pendeta Taois) yang menjadi sahabatnya.

"Liatwi Toyu (para sahabat Taois)", sapanya kegirangan. Para Tosu menghampiri Bun Taysu dengan wajah berseri.

"Sungguh kebetulan Toheng ke mari", kata salah seorang di antara mereka.

"kami memang bermaksud menemui Toheng setelah berhasil menyusun barisan gaib, membantumu menggempur pihak See-kie".

"Saya bersyukur kalian bersedia membantu saya", girang benar hati Bun Taysu.

"Sudah selesaikah Toyu menyusun barisan gaib itu?"

"Baru saja rampung"

Sahut Tosu yang berkata tadi.

Kesembilan Tosu yang berada di pulau Menjangan Putih itu, masing- masing bernama Chin Wan, Tio Kiang, Tong Choan.

Wan Kak, Sun Liang, Pek Lip, Yao Pin, Ong Ek dan Thio Sao.

Mereka berangkat ke See-kie dengan naik awan, dalam sekejap telah tiba di tempat tujuan.

Kie Lek, Shin Hoan, Thio Kiat dan lain-lainnya menyambut kembalinya Bun Taysu bersama sembilan sahabatnya.

Semula Bun Taysu bermaksud segera menyerang See-kie lagi, tapi telah dicegah oleh Chin Wan, yang meminta sang Taysu bersabar,sebab Kim Kong Sengbo, seorang pertapa wanita yang jadi sahabat mereka, belum datang.

"Masih lamakah ia menyusun barisan gaibnya?", tanya Bun Taysu.

"Aku yakin takkan lama lagi", sahut Chin Wan Tojin.

"Kini dia sedang menyiapkan barisan gaibnya di pulau Mega Putih". Nyatanya, tak lama kemudian Kim Kong Sengbo telah muncul di hadapan mereka. Setelah kesepuluh orang sahabatnya kumpul, Bun Taysu membawa pasukannya ke depan kota See-kie lagi, membangun kemah dan menempatkan 10 barisan gaib di situ. Pada pagi harinya Bun Taysu menantang Kiang Chu Gie berperang tanding. Mendengar dirinya ditantang, Chu Gie keluar pintu gerbang dengan menunggang 'See Put Siang', didampingi oleh Na Cha, Oey Thian Hoa, Lui Chin Cu dan Yo Chian. Terlihat oleh Chu Gie, di pihak musuh terdapat beberapa Tosu. Masing-masing kulit Tosu itu berbeda satu dengan lainnya. Ada yang berkulit kuning, hitam, putih, hijau dan merah. Masing-masing menunggang Menjangan. Sebelum Chu Gie sempat berkata, Chin Wan tampil ke depan dan bertanya.

"Kenapa kau memusuhi para Taois?".

"Toyu salah paham, aku sama sekali tidak memusuhi pihak manapun", Chu Gie coba menerangkan.

"Tapi nyatanya kau telah membunuh empat Taois dari pulau Sembilan Naga dan juga Mo bersaudara! Kedatangan kami ke mari adalah ingin mengadu kepandaian denganmu, bukan memakai prajurit atau kekerasan, tapi dengan kesaktian". Ujar Chin Wan, yang tampaknya ingin membalas sakit hati temanteman sealirannya.

"Semua itu sudah merupakan kehendak Thian", tetap sabar sikap Chu Gie.

"Touw Ong sangat kejam, selalu memburu kesenangan tanpa menghiraukan penderitaan para Menteri dan pembantu lainnya yangsetia, tapi lebih percaya pada orang yang pandai menjilat, tamak lagi keji hatinya. Membuat roda pemerintahan amat kacau dan kehidupan rakyat amat mende rita".

"Jadi menurutmu, Chiu Bu Ong patut dijadikan junjungan? Tapi sebaliknya kami akan membela Tiu Ong (Touw Ong) dan menumpas Bu Ong --- Untuk menghindari jatuhnya banyak korban, sebaiknya kita mengadu kesaktian".

"Caranya?", tanya Kiang Chu Gie.

"Mudah saja", Chin Wan tersenyum luar biasa.

"Kami akan membentuk 10 barisan gaib, bila kau mampu menghancurkannya, kami menyerah kalah. Tapi bila kau gagal, kalian harus takluk pada Touw Ong".

"Aku tak keberatan", sahut Chu Gie segera.

"Silakan kau ikut aku untuk melihat-lihat barisan kami. Setelah itu kau boleh cari cara untuk menghancurkannya", tantang Chin Wan. Kiang Chu Gie mengajak Na Cha, Yo Chian, Oey Thian Hoa dan Lui Chin Cu untuk memeriksa ke-10 barisan gaib lawan. Di muka 'Tin' (Barisan) itu masing-masing diberi nama. Barisan pertama dinamakan 'Thian Kut Tin' (Barisan Pemusna Langit); ke dua Tee Liat Tin' (Barisan Perkosaan/Pemecah Bumi); ke tiga 'Hong Hou Tin' (Barisan Angin Merintih/Me nangis); ke empat 'Han Peng Tin' (Barisan Dinginnya Es); ke lima 'Kim Kong Tin' (Barisan Sinar Emas); ke enam 'Hoat Soat Tin' (Barisan Lebur Jadi Darah); ke tujuh 'Liat Yam Tin' (Barisan Api Membara); ke delapan 'Lok Hun Tin' (Barisan Pencabut Arwah); ke sembilan 'Ang Sui Tin' (Barisan Air Merah) dan ke sepuluh 'Ang Sha Tin' (Barisan Pasir Merah). Kiang Chu Gie heran campur kaget menyaksikan barisan gaib lawan, berjanji akan datang lagi beberapa hari kemudian. Namun sesungguhnya Chu Gie bingung menghadapi 'Tin' lawan, kembali ke dalam kota See-kie dengan sikap murung. Di luar tahu Kiang Chu Gie dan teman-temannya, di kubu pasukanTouw, Yao Pin telah berhasil menarik anasir arwah Chu Gie dari atas barisan gaibnya, membuat Perdana Menteri See-kie itu seperti orang kebingungan, bahkan sekembalinya ke rumah, dia langsung jatuh pingsan. Keadaan itu membuat orang-orang Bu Ong jadi amat gugup, segera melaporkannya pada Raja mereka. Bu Ong amat terperanjat ketika mendengar kabar itu, segera datang ke tempat Chu Gie. Pada saat itu Yao Pin telah berhasil menarik dua dari ketiga anasir arwah Hun dan enam dari ketujuh anasir arwah Pe-nya Chu Gie. Sedang anasir terakhir dari arwah Chu Gie telah pula meninggalkan jasadnya, hingga tubuh Kiang Chu Gie menjadi kaku, seakan telah meninggal dunia. Bu Ong amat sedih menyaksikan keadaan itu. Para pejabat lainnya banyak yang diam-diam mengucurkan air mata.

"Kematian Paman-guru tidak wajar", kata Yo Chian sambil bersedu- sedan.

"Pasti dikerjai lawan". Sementara itu, anasir terakhir dari arwah Chu Gie telah melayang ke 'Hong Sin Tay' (Pesanggrahan Penganugrahan Malaikat), tapi Malaikat Po Chian yang tahu Chu Gie belum waktunya meninggal, menolak arwah tersebut masuk ke pesanggrahan. Kebetulan pada saat itu Lam Khek Sian Ang sedang memetik daun obat di kaki gunung tersebut. Begitu melihat arwah Chu Gie, dia langsung menangkapnya, memasukkannya ke dalam Buli-buli (Cupu), kembali ke istana Giok Sie, menyerahkan Buli-bulinya pada Chi Ching Cu sambil memberitahukan ada arwah Chu Gie di dalamnya. Chi Ching Cu langsung berangkat ke See-kie dengan menempuh jalan bawah tanah, tak lama tibalah dia di rumah Perdana Menteri. Yo Chian yang menyambut kedatangannya. Setelah menjalankan penghormatan, Yo Chian memohon Chi Ching Cu berusaha menyelamatkan nyawa Chu Gie."Di mana Chu Gie sekarang?", tanya Chi Ching Cu. Yo Chian segera mengantar Ching Cu ke kamar Chu Gie. Terlihat olehnya Kiang Chu Gie berbaring kaku dengan mata terpejam.

"Dia masih dapat diselamatkan", kata Ching Cu setelah memeriksa keadaan Chu Gie. Keterangan itu melegakan hati orang-orang yang berkumpul di ruang tersebut. Setiba kentongan ketiga, Chi Ching Cu berangkat ke luar kota. Terlihat olehnya, dari dalam sepuluh barisan gaib lawan mengepulkan asap hitam yang melambung tinggi ke angkasa. Di sana-sini ramai terdengar tangisan hantu, membuat suasananya amat menyeramkan. Chi Ching Cu menudingkan jari ke tanah sambil berkemakkemik membaca mantera. Di permukaan tanah segera muncul dua kuntum bunga Lotus (Teratai). Chi Ching Cu naik ke atas bunga teratai tersebut, agar dirinya terhindar dari pengaruh ilmu hitam lawan. Perlahan-lahan bunga teratai itu terangkat naik dan melayang di angkasa. Dari angkasa Chi Ching Cu dapat melihat jelas apa yang sedang dilakukan Yao Pin di dalam barisan gaibnya. Yao Pin membiarkan rambutnya terurai lepas, telanjang kaki dan tangan kanannya memegang sebilah pedang. Di hadapannya terdapat sebuah altar. Di atas altar itu berdiri boneka rumput, yang di bagian kepala dan kakinya terdapat sebuah pelita. Selang sesaat terlihat Yao Pin mengetuk 'Leng Pay' (Papan/ tanda perintah) ke altar, tapi lentera tidak padam dan arwah tak pula buyar. Melihat Yao Pin cukup sakti, Chi Ching Cu tak berani mengusik, apa lagi menempurnya. Dia segera kembali ke Kun Lun-san dengan mengambil jalan bawah tanah, menemui Lam Khek Sian Ang, menceritakan apa yang dilihatnya. Lam Khek Sian Ang mengajak Chi Ching Cu menemui Goan Sie TianChun, menuturkan apa yang telah terjadi. Goan Sie Tian Chun menyuruh Chi Ching Cu menemui Loo Cu di istana Pat Cheng. Chi Ching Cu pamit, berangkat ke goa Hian Tu, menemui Hian Tu Toa Hoatsu, memintanya untuk menyampaikan kedatangannya pada Loo Cu. Toa Hoatsu mengajaknya masuk ke istana Pat Cheng Begitu bertemu, Chi Ching Cu berlutut di hadapan Loo Cu, memohon pada Loo Cu agar sudi membantunya menyelamatkan nyawa Kiang Chu Gie. Loo Cu menitah Hian Tu Toa Hoatsu mengambil 'Thay Khek Tu' (Gambar Thay Khek), menyerahkannya pada Chi Ching Cu serta mengajarkan cara menggunakannya, agar dapat menyelamatkan nyawa Chu Gie.

"Sekarang cepatlah kau kembali ke See-kie", kata Loo Cu kemudian. Chi Ching Cu pamit setelah mengucapkan terima kasih, bergegas kembali ke See-kie. Kedatangan Chi Ching Cu disambut oleh Bu Ong dan para perwiranya, mengajaknya masuk ke dalam istana. Chi Ching Cu menceritakan pertemuannya dengan Loo Cu, yang memberi harapan pada Chu Ge (Chu Gie) akan dapat hidup kembali. Hati Bu Ong dan para pembantunya merasa lega seusai mendengar penuturan Chi Ching Cu ....... Setiba tengah malam, Chi Ching Cu berangkat ke luar kota, terlihat Yao Pin masih berlutut di muka altar. Chi Ching Cu membuka 'Thay Khek Tu', yang lantas berubah menjadi jembatan emas. Ching Cu turun dari angka sa dengan meniti jembatan emas tersebut, mengambil boneka rumput dan segera melayang ke angkasa lagi. Ketika melihat Chi Ching Cu berhasil menerobos masuk ke dalam barisan gaib dan merampas boneka rumputnya, sejenak Yao Pinterperanjat, tapi kemudian menjadi marah.

"Sungguh besar nyalimu, begitu berani merampas boneka rumputku", makinya sambil menimpukkan pasir hitam. Chi Ching Cu berteriak kesakitan, terluka tangan kirinya hingga 'Thay Khek Tu' lepas dari pegangannya dan jatuh ke dalam barisan gaib lawan. Untungnya dia masih sempat menyelamatkan boneka rumput itu dengan memeganginya eraterat. Dia turun di tempat yang aman dengan nafas tersengalsengal, mengeluarkan dua anasir arwah Hun dan enam anasir arwah Pe-nya Chu Gie, memasukkannya ke dalam Buli-buli. Setelah itu barulah dia kembali ke See-kie. Kembalinya Chi Ching Cu disambut gembira oleh para perwira, mengiringinya masuk ke ruang dalam. Chi Ching Cu menceritakan apa yang dialaminya.

"Sayang sekali pusaka Loo Cu jatuh ke dalam 'Tin' lawan", kata Lam Kong Koa selesai mendengar penuturan Ching Cu.

"Kita dapat berikhtiar untuk mencarinya nanti", ujar Chi Ching Cu.

"yang penting sekarang menyelamatkan nyawa Chu Gie dulu". Dia menghampiri pembaringan, menekankan mulut Bulibuli (Cupu) ke kening Chu Gie, menepuk Buli-buli itu 3 - 4 kali, semua anasir arwah Chu Gie masuk ke dalam jasadnya. Tak lama Chu Gie sadarkan diri, merasa aneh ketika melihat Oey Hui Houw dan lain-lainnya berkumpul di kamar tidurnya.

"Apa yang telah terjadi sebenarnya?", tanyanya. Oey Hui Houw menerangkan apa yang telah terjadi.

"Kita harus berdaya menghancurkan '10 barisan gaib' lawan", kata Chu Gie setelah jelas duduk soalnya. Tapi Chi Ching Cu meminta Chu Gie agar beristirahat dulu, setelah pulih benar kesehatannya, barulah mereka merundingkan cara untuk menghancurkan barisan gaib lawan. Chu Gie menerima saran itu.

***

 Baru saja pulih kesehatan Chu Gie, masuk seorang pemban tunya yang mengabarkan kedatangan Oey Liong Cin-jin dari gunung Jie Sian- san, ingin bertemu dengannya. Chu Gie segera menyilakan tamunya masuk.

"Senang sekali To-heng sudi datang ke mari", Chu Gie memberi hormat pada tamunya, lalu menyilakannya duduk.

"Pinto ke mari untuk menyampaikan sebuah kabar gembira", Oey Liong Cin-jin menerangkan.

"Senang sekali saya mendengarnya", berseri wajah Chu Gie. Pinto bersama beberapa sahabat dari kalangan To sengaja datang ke mari untuk menghancurkan ?10 barisan gaib'. Tapi sebagai orang yang menyucikan diri, suasana dalam kota kurang cocok bagi kami. Apalagi beberapa di antaranya telah menjadi Dewa".

"Maksud To-heng?".

"Bila mungkin, tolonglah dirikan panggung peristirahatan di luar kota untuk tempat beristirahat kami", Oey Liong Cin-jin menerangkan. Kiang Chu Gie lantas menitah Lam Kong Koa dan Bu Kie membangun panggung secepatnya. Lam Kong Koa mengerahkan beberapa tukang kayu yang benar-benar trampil, hingga tidaklah mengherankan kalau panggung peristirahatan, yang sederhana bentuknya tapi kokoh, rampung dalam tempo kurang dari sehari. Keesokan harinya, Chu Gie dengan ditemani oleh Chi Ching Cu, Oey Liong Cin-jin beserta beberapa orang muridnya, berangkat ke panggung peristirahatan yang baru selesai dibangun. Penjagaan kota See-kie dipercayakan pada Oey Hui Houw dibantu beberapa perwira lainnya. Belum lama Chu Gie berada di panggung peristirahatan, beruntun telah tiba orang pertapaan/suci, bahkan beberapa di antaranya yang telah berhasil mencapai tingkat kesempurnaan, jadi Dewa . Kong SengCu dari gunung Kauw Sian-san; Kie Liu Sun dari gunung Kia Liong-san; Tay It Cin-jin dari gunung Chian Goan-san; Leng Po Toa Hoatsu dari gunung Kong Tong-san. Bun Chiu Kong Hoat Tian Chun dari gunung Bu Liong-san (Di kemudian hari Bun Chiu dikenal sebagai salah satu dari 18 Lohan (Arhat). Dalam bahasa Sanskrit Bun Chiu disebut Manju'sri, Dalam 'The Encyclopaedia Sinica' karangan Samuel Couling, dinyatakan Manju'sri adalah yang terpenting antara Bodhisattva, merupakan pewujudan pikiran dan pengetahuan. Maka sering terlihat ia memegang pedang dan buku. Ia dapat dikenal karena duduk di atas seekor Singa dan memiliki Teratai Biru. Manju'sri dipuja di India. Tapi I Ching mengungkapkan, bahwa orang Hindu percaya Manju'sri datang dari daratan Tiongkok --- Pen.). Pouw Hian Cin-jin dari gunung Chiu Kong-san (Kelak Pouw Hian dikenal sebagai salah satu dari 18 Arhat, dalam bahasa Sanskritnya dikenal sebagai Samantabhadra. Samuel Couling! menuturkan, bahwa Samantabhadra menempati posisi sedangsedang saja dalam Budhisme India. Tapi di Tiongkok la sangat populer. Ia dilukiskan dengan wajah bersorot hijau dan menunggang seekor gajah dan disebut 'Pouw Hian Pousat'); Kwan Im Taysu (Dewi Kwan Im) dari pulau Pu-to; Giok Teng Cin-jin dari gunung Bu Choan- san; To Heng Tian Chun dari gunung Chin Teng-san; Cheng Hie To Tek Cin Kun dari gunung Cheng Hongsan dan beberapa lainnya lagi. Setelah saling berbasa-basi sejenak, para Dewa dan orang suci menyatakan kesediaannya membantu Chu Gie untuk menghancurkan '10 barisan gaib' lawan. Chu Gie keberatan dijadikan pimpinan para Dewa dan orang sakti itu, dengan mengemukakan alasan, bahwa kemampuannya amat terbatas. Namun para Dewa dan orang suci itu pun menolak jadi pemimpin dalam menggempur barisan gaib lawan, sebab kedatangan mereka hanya sekedar membantu. Selagi Chu Gie dan para Dewa itu saling menolak untuk dijadikanpemimpin, tiba-tiba telah datang Jian Teng Tojin dari gunung Leng Loan-san. Dia datang dengan naik Bangau Sakti. Munculnya Jian Teng Tojin telah memberi jalan pemecahan. Baik para Dewa maupun orang suci, juga Chu Gie, setuju memilih Jian Teng jadi pemimpin dalam menghancurkan barisan gaib lawan. Pada mulanya Jian Teng Tojin juga menolaknya, tapi setelah didesak oleh semua pihak, akhirnya Jian Teng bersedia menerima jabatan tersebut. (Di kemudian hari Jian Teng Tojin banyak dipuja orang sebagai Jian Teng Hud-couw, baik di Tiongkok maupun di Indo Cina).

"Setelah dipercayakan sebagai pemimpin, aku harap saudara Chu Ge (Chu Gie) sudi menyerahkan Cap Kebesaranmu pada ku", kata Jian Teng Tojin kemudian. Kiang Chu Gie memberikan benda yang diinginkan Jian Teng sambil berlutut. Jian Teng Tojin menerimanya.

"Dalam menggempur barisan gaib musuh, akan ada orangorang di pihak kita yang jadi korban", kata Jian Teng kemudian sambil menghela nafas. Mereka mulai merundingkan cara menggempur barisan lawan. Pada malam harinya, dari kepala Dewa dan orang suci me mancarkan sinar terang, membuat sepuluh Tosu di kemah Bun Taysu berseru kaget .

"Pihak See-kie telah dibantu para Dewa, juga murid-murid Kun Lun-san yang tinggi kepandaiannya".

"Lalu langkah apa yang harus kita tempuh?", tanya Bun Taysu, agak cemas.

"Kita tak usah cemas, kami yakin barisan gaib kami cukup ampuh, biar Dewa sekalipun sulit menghancurkannya!", kata Chin Wan. Para Dewa dan orang sakti ikut Jian Teng Tojin menuju ke depan 'Tin' lawan.Pintu "Tin' terbuka, keluar seorang berwajah biru dan berambut kasar dengan menunggang Macan. Orang itu adalah Chin Wan, yang memimpin "Tin' pertama dari 10 barisan gaib. Biasanya dia menunggang Menjangan, tapi sekali ini menunggang Macan. Jian Teng memperhatikan orang di sekitarnya, tapi dia tak melihat ada orang yang ditakdirkan jadi korban dalam menggempur barisan gaib pertama lawan. Selagi Jian Teng dalam kebingungan, tiba-tiba dari angkasa meluncur turun seseorang, yang bukan lain dari Teng Hoa. Teng Hoa merupakan salah seorang murid dari istana Giok Sie di Kun Lun-san, yang mendapat perintah untuk membantu menghancurkan barisan gaib tersebut.

"Rupanya ini merupakan kehendak Thian", kata hati Jian Teng Tojin. Pada saat itu Chin Wan telah menantang .

"Siapa dari perguruan Giok Sie yang berani menyerang barisanku!?".

"Aku!", seru Teng Hoa sambil melancarkan serangan. Chin Wan menangkisnya tanpa melakukan serangan balasan, tampaknya dia tak ingin bertempur di luar barisan gaibnya. Ini terbukti tak lama kemudian dia memutar binatang tunggangannya, masuk ke dalam 'Tin'. Teng Hoa mengejarnya. Begitu berada di dalam barisan gaibnya, Chin Wan segera turun dari binatang tunggangannya dan melompat ke atas panggung. Di panggung itu terdapat sebuah meja yang terpancang tiga panji. Chin Wan mencabut ketiga panji itu, menggerak-gerakkannya beberapa kali, lalu menuding ke bawah. Segera terdengar suara gledek yang sambung menyambung, disusul dengan jatuh tergulingnya Teng Hoa, tak dapat bangkit lagi, hingga dengan mudah Chin Wan memenggal kepalanya. Setelah berhasil membunuh Teng Hoa, Chin Wan yang telah berada di muka barisan gaibnya, menantang .

"Siapa menyusul?"Sekali ini Jian Teng Tojin meminta Bun Chiu Kong Hoat Tian Chun yang menyerang barisan gaib tersebut. Bun Chiu majukan diri. Chin Wan langsung menusukkan pedangnya. Bun Chiu menangkis serangan itu dengan pedang pula. Setelah bertanding beberapa jurus, Chin Wan lari masuk ke dalam barisan gaibnya. Bun Chiu mengejarnya. Sebelum masuk ke dalam barisan gaib lawan, dia menudingkan sebuah jarinya ke tanah seraya membaca mantera. Dari dalam tanah muncul dua kuntum bunga Lotus (Teratai) putih. Bun Chiu memasuki barisan gaib lawan dengan naik Teratai putih. Seperti juga sebelumnya, Chin Wan melompat naik ke atas panggung, mencabut tiga panji yang tertancap di atas meja, menggerak- gerakkannya. Namun sekali ini usahanya tidak membawa hasil seperti yang diharapkan. Bun Chiu tetap berdiri tegak di atas Teratai putih, melontarkan 'Teng Liong Chun' dan senjata pusakanya itu mampu membuat Chin Wan tak berkutik lagi, hingga dengan mudahnya Bun Chiu menamatkan riwayat lawannya. Maka musnalah 'Barisan Gaib Pemusna Langit'. Terdengar bunyi lonceng yang cukup keras, disusul dengan seruan Tio Kiang yang memimpin Barisan Gaib Pemerkosa Pembelah Bumi' .

"Siapa yang berani masuk ke 'Tin-ku!?". Bun Chiu tak menghiraukannya, meninggalkan medan tempur. Tio Kiang mengejarnya sambil mengumpat caci. Jian Teng Tojin memerintahkan Han Tok Liong menandingi lawan. Han Tok Liong maju berhadapan dengan Tio Kiang, yang kala itu ada di luar barisan gaib. Tio Kiang menusuk Han Tok Liong dengan pedang, yang langsung ditangkisnya. Terjadilah saling menyerang dan menangkis. Baru bertanding beberapa jurus, Tio Kiang lantas melarikan diri,masuk ke dalam barisan gaibnya. Han Tok Liong memburunya. Tio Kiang naik ke atas panggung, menggerak-gerakkan 'Ngo Hong Kie' (Panji Lima Arah)-nya. Segera terdengar suara halilintar yang disertai samberan api. Kasihan Han Tok Liong, tak dapat menghindari serangan tersebut, dalam sekejap tubuhnya lebur jadi debu. Tio Kiang tersenyum puas, semakin percaya akan kesaktian dirinya, keluar dari dalam barisan gaibnya, bersumbar.

"Siapa lagi yang ingin mencoba keampuhan barisan gaibku!?". Jian Teng Tojin menitah Kie Liu Sun menghadapi lawan yang angkuh itu. Kie Liu Sun maju. Tio Kiang segera menyerang dengan pedangnya. Secepat kilat Kie Liu Sun menangkisnya dan secepat itu pula balas menyerang. Serang dan tangkis silih berganti, namun tak berlangsung lama, sebab Tio Kiang telah kabur masuk ke dalam barisan gaibnya. Kie Liu Sun terus mengejar lawannya. Seperti sebelumnya, Tio Kiang naik ke panggung, mengibarngibarkan 'Panji Lima Arah'-nya. Kie Liu Sun tampak tenang-tenang saja, dirinya dilindungi oleh mega- mega berwarna yang keluar dari kepalanya. Kemudian dia mengeluarkan tali wasiatnya, melontarkannya ke arah lawan. Di lain saat tubuh Tio Kiang terikat erat oleh tali wasiat tersebut. Kie Liu Sun meminta bantuan Malaikat Oey Cheng Lek Su untuk membanting Tio Kiang kuat-kuat hingga remuk tubuhnya, tewas seketika. Dengan demikian bobollah barisan gaib lawan yang ke dua dan pertarungan hari itu hanya sampai di situ. Jian Teng Tojin kembali ke panggung peristirahatan. Para Dewa dan orang suci bertanya padanya, siapa yang akan ditugaskan untuk memusnakan ?Hong Hou Tin', yaitu barisan gaib lawan yang ke tiga. ''Untuk menghancurkannya, kita harus meminjam "Teng Hong Chu'(Mutiara Penenang Angin) milik Tu Nie Cin-jin yang bersemayam di goa Pat Po Leng Kong-tong di gunung Kauw Teng Thi Che-san". Kiang Chu Gie mengutus Shan Gie Seng dan Chiao Tian untuk meminjam benda pusaka milik Tu Nie Cin-jin. Shan Gie Seng dan Chiao Tian segera berangkat ke goa Pat Po Leng Kong-tong, menemui sang pertapa. Mendengar Mutiara Pusakanya akan digunakan untuk menggempur barisan gaib dan hal itu diperkuat dengan adanya surat dari sahabatnya, Jian Teng Tojin, maka Tu Nie Cin-jin bersedia meminjamkannya. Shan Gie Seng dan Chiao Tian mengucapkan terima kasih, lalu berpamitan dan bergegas kembali ke See-kie. Tapi setiba di tepi Huang-ho (Sungai Kuning), tak ada perahu yang menyeberangkan mereka. Ketika mereka menanyakan pada penduduk di sekitar tempat itu, diperoleh keterangan, bahwa belakangan ini telah muncul dua jagoan di daerah tersebut, ganas sikapnya, sering melakukan pemerasan, membuat tukang perahu tak berani menambangkan perahunya di situ. Dengan susah payah akhirnya mereka berhasil menemukan tukang perahu yang bersedia menyeberangkan mereka, tapi si tukang perahu meminta imbalan yang tinggi. Mendengar biaya penyeberangan yang mencekik leher, Shan Gie Seng bermaksud melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda saja. Namun Chiao Tian seakan pernah melihat kedua tukang perahu itu, begitu lebih ditegaskan, ternyata Phuy Pek dan Phuy Siang, yang dulunya telah melarikan diri dari kota-raja dengan membawa dua putera Kaisar. Timbullah harapan di hati Chiao Tian, berkata.

"Bantulah kami ke seberang sana. Kami ditugaskan untuk membawa Mutiara Pusaka ke See-kie".Mendengar Chiao Tian membawa benda pusaka, kedua saudara Phuy saling lirik sambil tersenyum.

"Boleh kami melihat pusaka itu?", tanya Phuy Siang. Shan Gie Seng yang mengira kedua orang itu kurang yakin akan keterangan Chiao Tian sebelum melihat bukti, dia segera memperlihatkannya pada mereka. Tak tahunya, Phuy Pek segera merampasnya dan membawa kabur. Mereka bermaksud mempersembahkan Mutiara Pusaka itu pada Tiu Ong (Touw Ong), sebagai penebus dosa mereka tempo hari, dengan harapan Kaisar bukan saja bersedia mengampuni, bahkan memulihkan pangkat mereka. Shan Gie Seng sangat menyesal telah memperlihatkan benda pusaka tersebut pada manusia berhati tamak lagi keji itu. Untuk menolak dia tak berani, sebab menyadari kalau dirinya bersama Chiao Tian tak mampu menandingi Phuy bersaudara. Karenanya Gie Seng bermaksud menceburkan diri ke sungai, namun sempat dicegah oleh Chiao Tian.

"Kita tak perlu berputus asa", ujar Chiao Tian.

"Apapun yang terjadi, harus kita laporkan pada Perdana Menteri". Shan Gie Seng menganggap ucapan temannya cukup beralasan, membuatnya membatalkan maksudnya semula, meneruskan perjalanan dengan memacu kudanya, agar cepat sampai ke See-kie. Tapi baru sekira 15 li mereka melanjutkan perjalanan, telah bertemu dengan Oey Hui Houw yang sedang mengangkut bahan makanan ke See-kie. Ketika mendengar Mutiara Pusaka dirampas oleh Phuy bersaudara, Oey Hui Houw segera melakukan pengejaran dengan menunggang kerbau saktinya, yang dalam sehari dapat menempuh jarak 800 li. Beberapa waktu kemudian Hui Houw telah kembali dengan membawa Mutiara Pusaka, disertai kedua saudara Phuy. Hui Houw ternyata berhasil membujuk mereka untuk mengabdi pada Bun Ong. Lantas mengembalikan benda pusaka itu pada Shan Gie danChiao Tian, untuk diserahkan pada Kiang Chu Gie. Sedang Hui Houw bersama Phuy Pek dan Phuy Siang menyusul kemudian. Dengan demikian Mutiara Pusaka selamat sampai di tangan Chu Gie.Oey Liong Cin-jin .Dewi Kwan Im Pouw Hian Cin-jin Bun Chiu Kong Hoat Thian-cun
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar