jilid 9
"NAMA saya, Sin Lan. Saya lebih senang kalau siangkong mau menyebut nama saya tanpa memakai embel- embel kouw-nio !" dan perempuan muda itu menunduk perlihatkan lagak malu-malu kucing. Akan tetapi lirikan matanya yang aduhai, membikin sukar Kwee Su Liang bernapas, sehingga napas itu bahkan sampai terdengar memburu seperti dia sedang dikejar kura-kura, "Tetapi, kouw-nio "
"Akh !" perempuan muda itu memutus perkataan Kwee Su Liang, perlihatkan lagak manja yang bercampur merangsang !
"Eh, tetapi Lan moay "
"Nah, itu baru benar, saya jadi senang mendengarnya !" dan lincah manja Sin Lan bergerak memegang sebelah tangan Kwee Su Liang. Wajar perbuatannya seperti dia tidak memperhatikan keadaan Kwee Lu Liang yang waktu itu jadi bertambah gugup sehingga sepasang tangannya gemetar merasa kegajahan, dan tak mampu dia mencegah perbuatan Sin Lan, bahkan bertambah gugup suaranya waktu dia berkata lagi ;
''Lan-moay belum menjawab pertanyaan saya yang tadi
!"
"Pertanyaan apa ?" tanya Sin Lan merasa lupa, dan dia
sengaja lupa mengangkat tangannya yang masih memegang sebelah tangan Kwee Su Liang.
''Lan moay pernah apa dengan In Kek-See ?" Kwee Su Liang mengulang pertanyaannya :
"Hi-hi ..." tawa lagi Sin Lan, tetap dua kali 'hi' dan tetap tawa memikat, lalu dia meneruskan berkata.
"... saya mantunya !"
"Eeh, dari anak yang mana ?"
"Hi-hi-hi ..." tiga kali 'hi' Sin Lan menambah tawanya, dan menambah perlihatkan lagak manja yang merangsang; setelah itu baru dia menambahkan perkataannya :
" .. sudah tentu dari anaknya yang pertama, masa dua- duanya ..." dan tertawa lagi Sin Lan akan tetapi cepat-cepat dia tinggalkan Kwee Su Liang ke ruangan belakang; membiarkan Kwee Su Liang gugup gelisah, tetapi sempat berpikir.
Mungkinkah puteranya In Kek See memasuki negeri cina dan membawa pulang bini orang cina ? Sebab setahu Kwee Su Liang, kedua puteranya In Kek See bertugas sebagai tentara pada pemerintah negara Watzu, dan tidak tinggal bersama-sama dengan ayah dan ibu mereka.
Sementara itu Sin Lan kembali dengan membawa cangkir berikut teko berisi air teh hangat, tetap sambil dia menyertai senyum yang menawan; sedangkan langkah kakinya begitu lembut, dan pinggulnya bergerak aduhai selagi sepasang kakinya itu melangkah. Benar-benar membikin Kwee Su Liang pusing kepala, bagaikan dia belum pernah melihat wanita yang pintar niru-niru Semar jalan igel-igelan.
"Silahkan siangkong minum." kata Sin Lan lembut perlahan selagi tangannya menuang air teh, tetapi lirikan matanya tak lepas dari muka Kwee Su Liang, sehingga tidak disadarinya waktu air teh meluap dari cangkir yang sangat kecil.
"E-e-h !" Kwee Su Liang bersuara kaget, sebab melihat air teh yang meluap membasahi meja, dan sebelah tangannya ikut bergerak memegang sebelah tangan Sin Lan yang sedang menuang air teh. Tangan yang berkulit putih halus terasa begitu lembut; dan jari jari tangan yang dihias dengan kuku-kuku runcing panjang warna merah seperti darah ayam.
Sekali lagi Sin Lan perdengarkan suara tawanya yang merdu dan memikat, dan dia berkata ;
“E-e-h, siangkong ! Tangan Siao moay kenapa dipegang terus ?" Begitu manja Sin Lan bicara, begitu merdu suaranya, tetapi dia membiarkan sebelah tangannya yang masih dipegang oleh Kwee Su Liang dan laki laki itu tersipu malu bagaikan baru menyadari, sehingga buru-buru dia melepaskan pegangannya, tapi tak mampu mengucap apa- apa, membikin Sin Lan yang berkata lagi :
"Silahkan siangkong minum, tetapi cuma air teh ...” “Terima kasih…." sahut Kwee Su Liang, terdengar
perlahan dan gemetar nada suaranya, sehingga dia merasa
penasaran, mengapa justru perempuan itu yang lebih galak? Mengapa dia jadi gemetar?
Juga sepasang tangan Kwee Su Liang kelihatan gemetar waktu dia mengangkat cangkir, sementara Sin Lan tetap berdiri sambil mengawasi dan perlihatkan senyumnya yang memikat dan merangsang, sempat Kwee Su Liang ikut mengawasi sesudah dia minum dari cangkir yang pertama.
"Apakah In Kek See akan pergi lama. ?" akhirnya Kwee
Su Liang menanya; tetap terdengar perlahan suaranya.
Sin Lan tetap memperlihatkan senyumnya yang memikat, dia tidak segera menjawab pertanyaan Kwee Su Liang, tetapi dengan langkah kaki yang aduhai dia mendekati Kwee Su Liang sehingga dia berdiri dibelakang laki laki itu, dan secara tiba-tiba sepasang tangannya merangkul Kwee Su Liang dari bagian punggung.
"Apakah Liang-ko merasa keberatan kalau menunggu berdua siao-moay ... ?” dan muka Sin Lan berada terlalu dekat dengan muka Kwee Su Liang, bahkan merasa menyentuh hangat dan tercium bau pupur, tetapi secara mendadak Kwee Su Liang menjadi tersentak. Dia memutar kepala mengawasi Sin Lan yang masih merangkul dan memperlihatkan senyum yang aduhai. “Liang-ko ...” kata Sin Lan tadi, sehingga Kwee Su
Liang menjadi tersentak kaget.
Meskipun In Kek See mungkin sudah menceritakan kepada Sin Lan bahwa dia mempunyai seorang teman yang bernama Kwee Su Liang, namun Kwee Su Liang dan Sin Lan sekali pun memang belum pernah bertemu. Jadi, bagaimana mungkin Sin Lan bisa mengetahui bahwa dia sedang berhadapan dengan Kwee Su Liang, tanpa Kwee Su Liang memberitahukan namanya ?
"Lan moay, dari siapa kau mengetahui namaku ?” tanya Kwee Su Liang yang masih merasa heran, sementara hatinya sedang berdebar keras mengajak dang-dut !
Sin Lan tidak segera memberikan jawaban, dia masih berdiri disebelah belakang Kwee Su Liang, dengan sepasang lengan masih merangkul; dan sebelah tangannya kemudian meraba bagian muka Kwee Su Liang sambil dia perlihatkan senyumnya yang memikat, setelah itu baru dia berkata ;
"Liang ko, siapa yang tak kenal dengan kau yang menjadi gubernur penguasa kota Gan-bun koan? Nama kau bahkan sangat menyemarak dikalangan rimba persilatan dan siao-moay ..."
Secara begitu tiba-tiba dan selagi dia mengucap kata- kata; jari-jari tangan Sin Lan yang berkuku runcing hendak menggurat bagian leher Kwee Su Liang, tetapi bertepatan dengan itu, Kwee Su Liang sudah meronta melepaskan rangkulan Sin Lan, sebab dia merasa malu dirangkul dan diraba mukanya. Dengan demikian; secara tidak disengaja Kwee Su Liang berhasil menghindar dari kuku-kuku Sin Lan yang hendak menggurat bagian mukanya, dan kuku- kuku itu padahal mengandung bisa racun yang memungkinkan Kwee Su Liang menjadi tewas ! Di pihak Sin Lan sudah tentu dia jadi penasaran sebab tak berhasil dia mencapai niatnya. Kwee Su Liang masih duduk walaupun sudah meronta melepas diri dari rangkulan, dan Sin Lan mengulang perbuatannya, merangkul Kwee Su Liang memakai sepasang lengannya.
Waktu sekali lagi Kwee Su Liang meronta ingin melepaskan rangkulan Sin Lan, maka Kwee Su Liang jadi terkejut, sebab dia merasakan Sin Lan mengerahkan tenaga hendak bertahan. Tenaga yang bukan sembarang tenaga, akan tetapi merupakan tenaga dalam yang disalurkan kepada sepasang lengannya, sehingga lengan itu terasa bergetar hangat, menandakan Sin Lan memiliki ilmu yang tidak dapat dianggap remeh !
Menyadari bahwa dia sedang terperangkap oleh musuh yang belum dikenalnya, maka tanpa ragu-ragu Kwee Su Liang mengerahkan tenaganya, melepaskan rangkulan Sin Lan bahkan tubuhnya yang sedang duduk, mendadak Iompat bangun sehingga pada saat berikutnya dia sudah berdiri menghadapi Sin Lan.
Hilang senyum Sin Lan yang menghias di mukanya, sebaliknya sepasang matanya kelihatan bersinar menyimpan rasa marah. Terlalu cepat gerak sebelah tangannya waktu dia meraba dibagian pinggangnya yang ramping dan dilain saat ditangan kanannya dia telah memegang sebatang pisau belati yang tajam, lalu dengan pisau itu dia langsung bergerak menikam Kwee Su Liang, memakai jurus 'dewi cantik persembahkan hadiah'.
Kwee Su Liang berkelit menghindar dengan miringkan tubuhnya, membiarkan belati lewat dibagian sisinya; sempat dia mendengar suara angin serangan Sin Lan, menandakan benar-benar Sin Lan memiliki ilmu yang tidak boleh dianggap remeh. Kemudian waktu dengan tangan kirinya Kwee Su Liang hendak memegang lengan kanan Sin Lan, sebab dia bermaksud hendak merampas pisau belati maka tangan kiri Sin Lan ikut bergerak hendak menyerang, mengarah muka yang hendak dia cakar dengan kuku-kuku yang runcing. Tangan kanan Kwee Su Liang ikut bergerak dan sekaligus dia berhasil memegang sepasang lengan Sin Lan.
"Siapa kau sebenarnya .. ,?" tanya Kwee Su Liang bernada galak, selagi sempat dia memegang sepasang lengan Sin Lan, akan tetapi Sin Lan tidak menjawab pertanyaan Kwee Su Liang, sebaliknya jari-jari tangan kirinya yang bebas bergerak, berusaha ingin menggurat bagian lengan Kwee Su Liang, sambil dia mengerahkan tenaganya hendak membebaskan diri dari pegangan tangan Kwee Su Liang.
Kwee Su Liang mengetahui tentang niat Sin Lan yang hendak membebaskan diri, dan dia memang tidak bermaksud untuk seterusnya memegang tangan-tangan perempuan itu, sehingga dia membarengi mendorong dengan niat membenturkan tubuh Sin Lan pada dinding tembok, untuk membikin Sin Lan menjadi pingsan.
Tubuh Sin Lan terdorong secara tiba-tiba dan terlempar kearah dinding tembok, akan tetapi alangkah kagetnya Kwee Su Liang ketika melihat Sin Lan membikin gerakan jungkir balik kearah sebelah belakang sehingga tidak sampai dia terbanting membentur dinding tembok, sebaliknya dia berdiri dengan sepasang mata melotot marah-marah.
Hilang lenyap lagaknya yang memikat dan merangsang, ganti cemberut kelihatan kejam seperti keponakannya kuntianak.
Kembali Sin Lan mengerahkan tenaga dalamnya pada sepasang lengannya, selagi erat-erat dikatupnya kedua baris giginya sehingga terdengar berbunyi seperti lagi menggigit biji-jambu kelutuk sementara sepasang tangannya yang pada mulanya kelihatan halus-halus kulitnya, samar-samar menjadi kelihatan bersinar hitam kelabu, membikin Kwee Su Liang menjadi terkejut dan menyadari bahwa Sin Lan memiliki ilmu 'tangan pasir besi' yang sudah tidak asing lagi bagi Kwee Su Liang yang sudah cukup lama berkecimpung didalam dunia rimba persilatan.
Dengan perdengarkan pekik teriak seperti kuntianak kehilangan anak, secara mendadak Sin Lan menerkam dan menyerang dengan ke sepuluh jari-jari tangan merentang tegang, mengarah bagian perut dan bawah pusar !
Kwee Su Liang yang memang sudah berdiri siaga, menyadari bahwa dia tidak boleh main-main menghadapi Sin Lan yang muda cantik itu, namun yang memiliki ilmu tangan pasir besi. Terjangan Sin Lan sangat pesat dan dahsyat, disamping jari-jari tangan itu mengandung bisa racun maut yang bisa bikin usus Kwee Su Liang jadi berantakan.
Selangkah Kwee Su Liang bergerak mundur kearah belakang, lalu secepat itu pula sebelah tangan mengibas memukul sepasang lengan Sin Lan, dengan gerak tipu 'burung garuda mengibas ekor.'
Tidak sia-sia Kwee Su Liang mendapat gelar sebagai si pendekar tanpa bayangan, oleh karena geraknya benar- benar sangat gesit dan pesat bahkan sukar diduga pihak lawan, sehingga sepasang lengan Sin Lan kena dipukul yang membikin sekali lagi terdengar dia memekik keras, sekali ini karena merasa kesakitan dan bukan sebab penasaran, sehingga pekik teriak itu mirip seperti kuntianak yang dipecut oleh lakinya, sementara tubuhnya ikut mutar- mutar seperti titiran yang cuma tiga kali berputar tetapi tidak sampai dia terjatuh menandakan bahwa dia memang memiliki ilmu yang cukup tinggi, sebab kalau lain orang yang kena dikibas oleh ekor burung garuda, sudah pasti akan berputar tujuh keliling dan tubuhnya nyusruk terguling yang bukan lagi miring-miring alias sinking-sinking.
Selagi Sin Lan menerkam melakukan penyerangan yang seperti tadi, yakin dengan sepuluh jari-jari tangan terentang tegang, menerkam dengan gerak tipu 'kuntianak merebut bayi', mengarah bagian perut dan antara sepasang paha Kwee Su Liang.
Dan sekali ini Kwee Su Liang lidak mundur selangkah pun kebelakang, tetapi dia lompat cukup tinggi dan sebelah kakinya menendang bagian dada Sin Lan, kena dibagian yang lunak-lunak, bikin hati Kwee Su Liang ikut menjadi lunak namun cukup membikin sekali lagi Sin Lan berteriak kesakitan, sementara dimulutnya kelihatan sedikit keluar darah sehingga saat itu muka Sin Lan menjadi mirip seperti 'drakula' yang habis ngisap darah, dan waktu Sin Lan mengusap mulutnya itu, maka darah menjadi membasahi bibirnya sehingga bibirnya menjadi bertambah merah dan bertambah basah, membikin selera jadi ingin menjilat bibir yang merah basah dengan darah manusia !
Sin Lan jadi menggeram yang lebih mirip seperti bersuara merintih, selagi Kwee Su Liang nuding-nuding dan ngomel-ngomel !
"Siao-Kouwnio, eh, siao-gongli, siapa sebenarnya kau ini
. , , .?"
"Hi hi hi-hi-hi-hiiii ”
Tertawa Sin Lan lima kali 'hi' dengan satu kali 'hi' panjang, seperti kuntianak yang takut kesiangan; dengan suara yang tidak lagi terdengar merdu, tetapi seperti suara kuda-betina dari kuningan yang kecil-kecil cabe rawit, kagak kalah dengan kuda betina dari besi. Ingin Sin Lan balas nuding-nuding dan balas ngomel- ngomel sebab punya kaki pintar nendang, akan tetapi tak sempat Sin Lan ngomel meskipun sudah sempat dia nuding- nuding pakai sebatang jari tangannya yang runcing; sebab dari arah depan rumah didengarnya suara seseorang yang menjerit manggil-manggil dia.
"Silang! Silang! cepat kau keluar dan pulang ...!”
Turun lagi sebelah tangan Sin Lan yang dipakai buat nuding-nuding Kwee Su Liang, batal dia ngomel-ngomel akan tetapi sempat dia tertawa lagi seperti tadi, yakni lima kali 'hi' ditambah dengan satu kali panjang, setelah itu dia lompat melesat keluar meninggalkan Kwee Su Liang, bukan lagi dia jalan igel-igelan seperti 'wak Semar'.
Bo-im kiamhiap Kwee Su Liang goyang goyang kepala dan tersenyum seorang diri, membayangkan betapa cewek yang cakep dan merangsang tadi ternyata hanyalah seorang ‘gongli'; dia merasa tidak perlu mengejar 'gongli' sebab takut ketahuan bini, sebaliknya Kwee Su Liang memasuki rumah In Kek See dengan lagak seorang detektip-bayaran yang sedang memeriksa rumah.
Tidak berhasil Kwee Su Liang menemui In Kek See yang sahabatnya, meskipun Kwee Su Liang sudah memasuki kamar tidur dan memeriksa dikolong ranjang, sebaliknya waktu dia memeriksa diruangan dapur, ditemuinya sang nyonya rumah alias 'Lady In' yang bukan lagi masak, akan tetapi lagi meringkuk diikat seperti ketupat.
Kwee Su Siang menjadi sangat terkejut dan buru-buru mendekati, dia jongkok buat melepaskan tali-tali yang mengikat ketupat (maaf salah menterjemahkan, yang seharusnya 'ba-cang'), sambil Kwee Su Liang berkata lembut lembut dan perlahan-lahan :
"In hujin, ngapain anda disini .. ,?" Dan Kwee Su Liang ikut menjadi terharu bercampur marah, sebab melihat In hujin atau nyonya In mukanya merah bercampur biru, bekas kena digebuk entah oleh siapa yang melakukannya, namun yang pasti bukan dilakukan oleh In Kek See, sebab Kwee Su Liang tahu benar bahwa In Kek See punya jiwa lembut dan sopan, kagak pernah mukul bini.
Nangis In hujin sengguk-sengguk selagi kepalanya oleng- oleng seperti ketiup angin, namun dia tetap duduk bersila dilantai, ogah ditolong dan diajak bangun berdiri, sehingga ikut Kwee Su Liang duduk dilantai, selagi dia mendengarkan nyonya In yang menangis sambil berkicau :
"Oh, Kwee tayjin ngapain anda datang sekarang ? saya merasa lebih baik mati daripada disakiti...” dan nyonya In nangis lagi; tetapi punya telinga buat mendengarkan Kwee Su Liang yang ngoceh lagi :
"In hujin, apa sebenarnya yang telah terjadi, dimana gerangan In-heng ... ?"
"Uh u-u-u-h - " In hujin menangis lima kali 'u' ditambah dua huruf 'h' yang nyelip dimana saja, tanpa In hujin mampu mengucap kata-kata sehingga Kwee Su Liang memerlukan mengambilkan secangkir air teh dingin, yang lalu diguyurkan kedalam perut nyonya In setelah itu baru nyonya bisa berkicau lagi:
"Dua bulan mantu saya nginap disini, dua bulan dia membikin ulah tanpa dia takut kena tulah; cape hati saya melihat perbuatannya yang sering keluyuran dengan laki- laki lain, selagi anak saya masih bertugas tanpa saya mengetahui dimana tempatnya ...“
"Bukankah kedua putera In hujin bertugas didalam istana kerajaan Watzu ... ?" tanya Kwee Su Liang yang merasa heran, karena In hujin mengatakan dia tidak mengetahui dimana anaknya bertugas.
"Pada mulanya mereka memang ditugaskan didalam istana itu, akan tetapi yang pertama; In Bong Ie kemudian dipindahkan ke negeri cina, katanya bekerja di istana Pangeran Kim Lun dan "
Begitu cepat gerakan si pendekar tanpa bayangan Kwee Su Liang yang mendorong tubuh In hujin yang sedang bicara sambil duduk bersila, namun dia tetap kalah cepat dengan melayangnya sebatang anak panah yang kecil bentuknya, yang membenam dibatang leher In hujin, sehingga In hujin tewas seketika tanpa dia mampu mengeluarkan pekik teriak.
Lompat Kwee Su Liang bangun berdiri, merasa penasaran karena ada seseorang pembunuh yang melepas senjata rahasia tanpa dia mengetahui dan tak mampu melindungi In hujin. Setelah tangan Kwee Su Liang kemudian bergerak ke arah daun jendela, mengerahkan tenaga pukulan 'pek-kong-ciang' selagi lima jari tangannya terentang tegang; dan tenaga pukulan udara kosong itu berhasil membuat daun jendela hancur berantakan, lalu secepat itu juga Kwee Su Liang melesat ke luar lewat daun jendela itu, sambil memutar pedangnya yang masih berada dalam sarungnya, maksudnya untuk menghindar dari suatu serangan mendadak.
Dilain kesempatan Kwee Su Liang telah berdiri dibagian halaman samping rumah, tapi tak dilihatnya adanya seseorang disekitar tempat itu, sebaliknya secara mendadak dia mendengar suara tawa Sin Lan yang mengikik seperti kuntianak habis minum darah, sehingga didalam hati Kwee Su Liang menuduh sebagai perbuatan Sin Lan yang telah membunuh In hujin, mertuanya sendiri ! "Perempuan laknat ,.,...!" Kwee Su Liang memaki cukup keras, tanpa dia perduli Sin Lan tidak mendengar suara makinya itu: sebaliknya dengan gerak yang indah dan ringan tubuhnya melesat naik ke atas genteng rumah, lalu dia mengawasi kearah suara Sin Lan tadi tertawa, namun selekas itu juga dia menjadi terkejut, sebab didepan rumah itu ternyata telah berkumpul sekian banyaknya orang-orang, merupakan penduduk setempat yang bercampur dengan beberapa orang pasukan tentara Watzu !
"Tangkap penjahat , , !”
"Tangkap pembunuh . , . !"
Terdengar pekik-teriak orang-orang yang berada didepan rumah in Kek See, oleh karena tentunya ada yang melihat Kwee Su Liang yang berdiri diatas genteng.
Untuk sejenak Kwee Su Liang menjadi ragu-ragu berdiri diatas genteng rumah itu. Kalau dia turun pasti bakal melakukan pertempuran yang mengakibatkan adanya orang-orang yang terluka bahkan tewas, sehingga akan merupakan suatu permusuhan yang dia tanam dengan penduduk setempat, bahkan dengan pihak pemerintah bangsa Watzu; sementara Sin Lan yang telah melakukan pembunuhan terhadap nyonya In, pasti akan berlaku cerdas dengan umpatkan diri ditengah tengah keramaian orang banyak, sehingga tidak mudah buat Kwee Su Liang menangkap. Disamping itu, Kwee Su Liang merasa yakin bahwa sukar untuk dia memberikan penjelasan kepada penduduk maupun anggota tentara Watzu, bahkan bukan dia yang telah melakukan pembunuhan terhadap diri nyonya In, sebaliknya adalah menjadi perbuatan Sin Lan; namun Sin Lan tentu sudah berhasil menghasut orang- orang itu dengan menuduh sebagai perbuatan Kwee Su Liang yang telah membunuh In hujin ! Akan tetapi, siapakah sebenarnya Sin Lan ini? Apakah sebenarnya dia istrinya In Bong Ie yang putranya In Kek See? Mengapa dia sampai hati dia membunuh ibu mertuanya sendiri ?
Terasa sukar buat Kwee Su Liang mencari jawaban atas pertanyaan itu, namun dia yakin bahwa dibelakang Sin Lan, pasti ada seseorang yang mendalangi dan seseorang itu pasti Kim Lun Hoat ong, seperti yang nyonya In sebutkan tadi bahwa In Bong ditugaskan di istana pangeran Kim Lun Hoat-ong.
Sementara itu tidak sempat buat Kwee Su Liang berpikir lama, oleh karena pada saat itu telah melompat lima orang laki laki yang bertubuh tinggi besar, dengan ditemani Sin Lan yang ternyata ikut melompat naik.
Sekilas Kwee Su Liang menjadi girang saat melihat Sin Lan ikut lompat naik, ingin dia memberikan penjelasan kepada 5 orang laki-laki ini, dan sekaligus ingin dia menangkap Sin Lan hidup-hidup, untuk dipaksa mengakui perbuatannya.
Tetapi, saat itu ternyata Kwee Su Liang tidak mempunyai kesempatan buat mengucap apa-apa, Sebab kelima orang laki-laki itu sudah langsung melakukan penyerangan secara bertubi-tubi, bahkan dalam sikap mengurung supaya Kwee Su Liang tidak mempunyai kesempatan buat melarikan diri !
Ternyata Kwee Su Liang harus melayani bertempur, namun tak ada niatnya buat melukai kelima orang laki-laki yang tidak dikenalnya itu, sebaliknya berulangkali dia berusaha mendekati Sin Lan yang hendak dia serang dan tangkap hidup-hidup, namun Sin-Lan memberikan perlawanan dengan berteriak menuduh Kwee Su Liang yang melakukan pembunuhan terhadap diri In hujin, dan Kwee Su Liang bahkan hendak memperkosa dirinya.
Jelas muka Kwee Su Liang jadi berobah merah, menyimpan rasa malu bercampur marah, sebab Sin Lan telah menuduh dengan menyebut namanya, bahkan kedudukannya sebagai gubernur penguasa kota perbatasan Gan bun koan, sehingga dalam sekejap dibagian bawah rumah ramai dibicarakan orang, tentang gubernur Kwee Su Liang yang tukang perkosa bini orang !
ANDAIKATA Bo-im kiamhiap Kwee Su-Liang mengetahui siapa sebenarnya Sin Lan, dan juga kelima orang laki-laki yang sedang mengepung dia, maka sudah pasti Kwee Su Liang tidak berlaku lunak. Mereka sebenarnya merupakan suatu komplotan yang telah membinasakan bibiknya Kwee Su Liang dan menculik salah seorang keponakannya si pendekar tanpa bayangan, dan pimpinan dari komplotan itu sebenarnya merupakan pasangan suami-isteri yang tidak diketahui namanya namun hanya dikenal dengan nama Hong-bie ceecu berdua Hong- bie niocu. Untuk mengetahui siapa gerangan nama Hong- bie ceecu serta isterinya, dua tokoh yang memimpin persekutuan Hong-bie pang; terpaksa kita harus beralih dan mengikuti kisah seorang pemuda yatim, yang kelak erat hubungannya dengan Cheng-hwa liehiap Liu Giok Ing, maupun dengan si pendekar tanpa bayangan Kwee Su Liang.
Tio Bun Wan adalah nama pemuda yatim piatu itu, oleh karena sejak kecil kedua orang tuanya telah binasa menjadi korban pembunuhan tanpa dia mengetahui siapa pelakunya; oleh karena pada waktu peristiwa pembunuhan itu terjadi, Tio Bun Wan sedang berada di kuil Siao lim buat menuntut ilmu. Dalam usia 18 tahun, Tio Bun Wan telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan mahir ilmu silatnya; serta memiliki suatu keistimewaan yang sukar dicari keduanya, oleh karena dia memiliki sepasang alis yang putih. Semenjak kecil Tio Bun Wan mengikuti Tek-ceng taysu dikuil Siao-lim diatas bukit See hong san, di propinsi Kwie-tang, sedikit diluar kota Sin hwee sebelah selatan, yang letaknya terpisah tak terlalu jauh dengan laut Leng teng yo dengan pantainya yang berpasir putih.
Waktu itu fajar baru saja merekah, ketika Tio Bun Wan sedang menyusuri dataran luas yang berbukit-bukit. Tubuhnya bersimbah peluh bercampur debu, menandakan perjalanan yang ditempuhnya cukup jauh, tetapi kelihatannya pemuda itu tak merasa lelah, tenaganya cukup kuat buat meneruskan perjalanannya, berkat latihan dan pelajaran yang dimilikinya.
Tio Bun Wan sedang melakukan perjalanan hendak mencari musuhnya, sepasang suami istri kejam yang bernama Gan Hong Bie dan Lie Bie Nio, setelah Tio Bun Wan diberitahu gurunya tentang kejadian yang telah membinasakan ayah dan ibunya.
Tek ceng taysu melihat dan mengetahui bahwa muridnya yang satu ini tidak memiliki bakat untuk menjadi seorang paderi, sebaliknya bagaikan sudah ditentukan oleh sang Dewata, bahwa Tio Bun Wan bakal mengamalkan ilmunya demi masyarakat luas, sehingga diberinya kesempatan buat sang murid melakukan balas dendam terhadap kedua orang musuhnya, yang sekaligus merupakan perbuatan amal mengenyahkan manusia laknat itu dari muka bumi ini.
Namun demikian, perjalanan Tio Bun Wan dalam usaha hendak mencari kedua musuhnya itu, bukanlah merupakan suatu pekerjaan yang mudah buat dia lakukan, terutama dia belum berpengalaman bahkan belum pernah melakukan perjalanan seorang diri, apalagi menjelajah dikalangan rimba persilatan yang lazim atau biasa terjadi dan berlaku hukum rimba yang kejam membunuh atau dibunuh!
Baru tiga hari Tio Bun Wan meninggalkan tempat bersemayam gurunya, maka pemuda ini telah menemukan suatu peristiwa yang hampir saja merampas jiwanya.
Hari itu Tio Bun Wan memasuki sebuah kota Pao-kee tin, suatu kota yang kecil tapi banyak penduduknya, dan ramai dari lalu lintas orang-orang yang melakukan perjalanan dan harus melewati kota itu.
Oleh karena hari sudah mendekati magrib, maka Tio Bun Wan mencari sebuah tempat penginapan, untuk dia beristirahat dan bermalam.
Waktu Tio Bun Wan sedang menulis namanya pada buku tamu ditempat penginapan itu, maka sempat didengarnya percakapan di kalangan para tamu, tentang adanya peristiwa perampokan yang sering terjadi didalam kota Pao kee tin itu.
Perhatian Tio Bun Wan ikut tertarik dengan peristiwa yang sedang dibicarakan itu, Setelah diantar masuk kedalam kamarnya, maka pemuda ini menanyakan keterangan lebih lanjut kepada pelayan yang mengantar dia.
Dikatakan oleh pelayan itu, bahwa peristiwa perampokan di kota Pao-kee tin mulai terjadi sejak kira-kira setengah bulan yang lalu. Sebelum itu kota Pao-kee tin katanya merupakan sebuah kota yang cukup aman dan tenteram.
Semalam penjahat itu katanya telah melakukan perampokan lagi, dan yang mendapat giliran adalah hartawan Liu yang letak rumahnya disebelah barat kota kecil itu. Penjahat yang melakukan perampokan itu katanya hanya terdiri dari satu orang, tetapi penjahat itu memiliki kepandaian silat yang mahir, terbukti pihak hartawan Liu sebenarnya mempunyai beberapa orang penjaga malam atau busu yang mahir ilmu silatnya, namun mereka tidak berdaya merintangi perbuatan penjahat itu, sebaliknya diantara para busu itu terdapat dua orang yang tewas dan empat orang terluka parah.
"Bagaimana dengan pihak pejabat pemerintah, apakah tidak mengambil tindakan keamanan ,...?" tanya Tio Bun Wan.
"Pihak pejabat pemerintah setempat sudah berusaha hendak menangkap penjahat itu, namun pihak tentara yang dikirim setelah ada laporan, sudah tentu tidak dapat menangkap si penjahat yang tentunya sudah menghilang. Sekarang pihak pejabat pemerintah telah mengatur penjagaan dibeberapa tempat, namun belum berhasil mereka menemukan si penjahat yang tidak dikenal rupanya, sebab didalam melakukan pekerjaannya, penjahat itu selalu memakai tutup muka dengan secarik kain warna hitam, dan si penjahat masih tetap merajalela, hampir setiap hari terjadi perkara perampokan atau perkosaan terhadap kaum wanita muda , . ,”
"Perkosaan , .. ?" ulang Tio Bun Wan dengan suara perlahan; sedangkan didalam hati bangkit niatnya untuk menangkap si penjahat.
Pelayan itu kemudian meninggalkan Tio Bun Wan, untuk mengambilkan air teh bagi tamunya yang baru datang itu.
Pada waktu makan malam, Tio Bun Wan sengaja makan di ruang-tamu bercampur dengan para tamu-tamu lainnya, baik yang menginap ditempat penginapan itu, maupun yang datang melulu untuk bersantap, sebab rumah penginapan itu memang merangkap usaha sebagai rumah makan untuk umum.
Waktu Tio Bun Wan baru mulai bersantap, perhatiannya mendadak tertarik dengan seorang laki-laki muda yang baru saja memasuki rumah penginapan itu.
Laki-laki muda itu bertubuh tegap agak pendek bermuka agak hitam menyeramkan, dan kelihatan pemarah, terbukti dari cara dia memesan makanan wakiu dia telah memilih tempat duduk yang tidak terpisah jauh dengan tempat Tio Bun Wan.
Dilihat dari cara berpakaian laki-laki itu dan bermuka hitam itu, maka Tio Bun Wan menduga bahwa pemuda itu bukan penduduk kota Poo-kee tin, disamping pemuda itu tentunya pandai ilmu silat dan memiliki tenaga yang besar.
Waktu sedang menunggu makanan yang dipesannya, laki-laki muda bermuka hitam itu kelihatannya tidak sabar, duduknya selalu tidak tenang dan waktu pelayan datang membawakan arak melulu, maka dia membentak minta pesanannya dipercepat.
Si pelayan kelihatan ketakutan mendapat perlakuan yang kasar dari tamunya yang satu itu. Pelayan itu terbongkok- bongkok di hadapan tamu yang galak itu, lalu dia buru-buru meninggalkan dan sampai lama tak muncul lagi, membikin tamu muda itu bertambah marah sampai dia berteriak-teriak dan memukul-mukul meja dengan kepelan tangannya.
Perbuatan laki-laki muda bermuka hitam yang menimbulkan suara berisik itu, telah menarik perhatian banyak tamu lain, dan mendatangkan rasa tidak puasnya seorang dara remaja, bermuka cantik dengan rambut disanggul diatas kepala kemudian dikepang dua dan dibiarkan lepas kebagian bawah melalui sepasang pundaknya.
Dara remaja yang cantik rupanya itu agaknya juga pandai ilmu silat, terbukti dengan cara dia berpakaian yang serba ringkas, menambah nyata kelihatan bentuk tubuhnya yang ramping, dan sebatang pedang kelihatan nempel dibagian punggungnya.
Karena suara berisik yang mendatangkan rasa tidak puasnya, maka dara remaja itu mendekati tempat pemuda bermuka hitam itu duduk, lalu dengan suara nyaring dia membentak :
"Orang-hutan yang kurang ajar, mengapa kau bikin ribut ditempat ini ... !" demikian bentak dara remaja itu dengan suara garang dan sepasang tangan bertolak pinggang.
Muka laki laki muda bermuka hitam-hitam itu menjadi bertambah hitam, waktu dia mendengar bentakan tadi. Dia menengadah dan bersuara mengejek :
"Hem .... ada kuntianak yang rupanya mau ngamuk !”
Hampir semua tamu yang ikut mendengar perkataan itu menjadi tertawa, juga yang sedang membaca ceritera ini ikut jadi mesem yang seperti meringis. Akan tetapi ada sebagian tamu lain yang bergegas dan mereka bersiap-siap hendak menyingkir, karena menduga pasti akan terjadi suatu keributan, yang bisa mengakibatkan kena cangkir- cangkir yang melayang nyasar.
Dara remaja itu yang agaknya juga seorang pemarah, sudah tentu tidak dapat menerima kata-kata pemuda bermuka hitam itu. Secepatnya kilat tangan kanannya memukul kepala pemuda bermuka hitam yang masih duduk menengadah, seperti dia hendak numbuk lalat; tetapi dengan tidak kurang cepatnya, pemuda bermuka hitam itu menundukkan kepalanya, membikin kepalan tangan dara remaja itu Iewat di bagian atas kepala pemuda itu.
Sudah tentu dara remaja yang pemarah itu menjadi penasaran karena pukulannya dapat dengan mudah dihindarkan oleh laki-laki muda bermuka hitam itu.
Gerak yang cepat dari dara remaja pemarah itu, sukar dilihat oleh sembarangan orang, karena tahu-tahu dia telah menyiapkan pedangnya ditangannya, dan itu langsung dia gunakan untuk membacok, seperti ingin membelah gunung.
Serangan dengan memakai senjata tajam itu benar-benar sangat diluar dugaan laki-laki muda bermuka hitam itu. Karena pada mulanya dia menganggap 'enteng' dara remaja yang berdiri dihadapannya, terbukti dia masih duduk meskipun dia sudah dipukul.
Dalam kagetnya, laki-laki muda bermuka hitam itu menekan meja dengan sepasang telapak tangannya, lalu tubuhnya melesat jauh memisah diri dari dara-pemarah yang menyerang dia; dengan gerak 'yan-cu coan in' atau burung-walet menembus-angkasa, dara-pemarah itu ikut melesat mengejar untuk mengulang serangannya dengan suatu tikaman.
Pemuda bermuka hitam itu tambah terkejut karena gerak yang gesit dari dara-remaja yang pemarah itu. Didekat tempat pemuda itu berdiri, kebenaran ada meja kosong yang tidak ada tamunya. Meja itu dia tendang terbalik dan merintang gerak dara-pemarah yang sedang lompat seperti mau menerkam, namun dengan tubuhnya yang ringan dan gesit, dara pemarah itu sempat menyentuh meja memakai ujung-kakinya, untuk kemudian dia bergerak lagi hendak menyerang pemuda bermuka hitam itu.
Pemuda bermuka hitam itu yang memang merupakan seorang pemarah, sudah tentu tidak dapat membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan dara-pemarah itu. Dia sekarang telah pula menyiapkan senjatanya yang berupa sepasang siang-kauw, atau sepasang tombak pendek-berkait yang bukan model tanjung kait; sehingga pada lain detik telah terjadi pertempuran memakai senjata tajam didalam ruangan-makan dari rumah penginapan itu.
Dalam sekejap para tamu pada lari serabutan, khawatir terkena serangan nyasar; terlebih waktu kemudian mangkok-mangkok pada ikut berterbangan kena terjangan sepasang insan-muda yang sedang diamuk darah-pendek.
Dilain pihak, didalam hati sudah tentu Tio Bun Wan berpihak pada dara remaja itu, yang dia anggap sebagai kaum-lemah yang harus bertempur melawan seorang pemuda galak, dan pemuda bermuka hitam itu justeru sedang dia curigai sebagai si penjahat yang sedang melanda kota Poan kee-tin.
Disuatu saat sebuah mangkok arak melayang jalan-jalan kearah Tio Pun Wan, terkena benturan senjata siang-kauw dari pemuda bermuka hitam. Mangkok arak itu dengan tenang ditangkap oleh Tio Bun Wan lalu dipakai untuk menimpuk kearah si pemuda bermuka hitam.
Laki-laki muda bermuka hitam itu sempat melihat datangnya mangkok arak yang mengarah dia, seperti bola yang ditendang menuju gawang; sehingga dia lalu menangkis memakai senjatanya. Tetapi dari benturan itu dia menyadari bahwa pemuda yang menimpuk dia, memiliki tenaga yang terlatih, sehingga akibatnya tambah meluap kemarahannya, dan dia memaki dara pemarah yang sedang mengulang serangannya :
"Kuntianak ! Tidak kusangka kau mempunyai kehendak yang cuma berani membokong ...!" Sudah tentu dara pemarah itu jadi naik pitam, dan dia memang sempat melihat gerak Tio Bun Wan yang menimpuk memakai mangkuk arak. Sejenak dia terpesona dengan wajah tampan dari Tio Bun Wan yang memiliki sepasang alis putih, namun yang dia tidak kenal. Dia menjadi naik pitam sebab lawannya memaki dia dengan istilah tak sopan.
"Orang hutan, kau benar-benar harus mampus. , ..!” seru dara pemarah itu sambil dia harus menghindar dari serangan lawannya.
Dilain pihak, Tio Bun Wan ikut menjadi gusar sebab dia memaki dan dianggap hanya berani membokong. Tangannya segera memegang pedang yang ditempatkan diatas meja, lalu dengan suatu lompatan yang ringan dia mendekati kancah pertempuran.
"Kouwnio, biarkan aku yang melawan dia,,!" seru pemuda Tio Bun Wan yang tidak mau mengepung lelaki muda bermuka hitam itu.
Dara pemarah itu tidak menghiraukan perkataan Tio Bun Wan, dia tetap melakukan penyerangan; sementara lelaki muda bermuka hitam itu kedengaran berkata dengan suara menghina :
"Bagus rupanya kau takut aku culik kekasihmu ! Mari
kita bertempur diluar ..!”
Sehabis mengucap demikian, maka laki-laki muda bermuka hitam itu melesat keluar dari dalam rumah penginapan itu.
Pemuda Tio Bun Wan bertambah gusar dan bertambah yakin bahwa dia telah menemukan si penjahat, karena dia anggap pemuda bermuka hitam itu telah 'terlepas' bicara, mengatakan hendak menculik dara yang sedang ditempurnya.
Mendahului gerak dara pemarah itu, maka Tio Bun Wan sudah melesat keluar untuk menyusul laki-laki muda bermuka hitam itu yang bahkan langsung dia serang memakai jurus 'ular belang melepas bisa', berdasarkan salah satu dari ilmu ngo-heng-kun yang khas dari golongan Siaolim.
Tio Bun Wan menyerang dengan suatu tikaman memakai pedangnya, akan tetapi waktu ujung pedang hendak mencapai sasaran dan laki laki muda bermuka hitam itu sedang bergegas hendak menghindar, maka Tio Bun Wan telah merubah cara penyerangannya, memakai 'ular belang menebas ekor', dan gerak pedangnya bagaikan hendak membedah tubuh dibagian perut lawannya, dari bagian bawah ke arah atas.
Sudah tentu laki laki muda bermuka hitam itu sangat terkejut, karena perobahan gerak serangannya itu benar- benar diluar dugaannya. Dengan susah payah sempat juga dia lompat mundur, sehingga nyaris dia dari ancaman maut, namun secara tiba-tiba dara-pemarah itu sudah lompat menyusul, dan sedang menyerang dia dengan tikaman pedang.
Dalam keadaan masih kaget bercampur marah, laki-laki muda bermuka hitam itu mengerahkan tenaganya, menangkis pedang dara pemarah yang menikam dia, sehingga terjadi benturan senjata yang keras, dan dara pemarah itu meringis kesakitan, bahkan hampir dia melepaskan pegangannya pada pedangnya; dan selagi dia berada dalam keadaan mati daya maka laki laki muda bermuka hitam itu telah menabas dia memakai gerak tipu 'angin utara menyapu daun kering'. Disaat yang berbahaya bagi dara pemarah itu, maka Tio Bun Wan mengangkat pedangnya dan menangkis senjata yang sedang mengarah dara pemarah itu, hingga terjadi lagi suatu benturan yang keras, yang bahkan sampai mengeluarkan lelatu anak-api.
"Maaf, aku terpaksa mengepung ..." kata Tio Bun Wan; padahal dia sedang merasakan suatu benturan tenaga yang besar dari laki-laki muda bermuka hitam itu.
"Bagus ! Kau masih berlagak sopan ... !" maki laki laki muda bermuka hitam itu; sementara senjata ditangan kirinya menghajar kepala Tio Bun Wan.
Tio Bun Wan berkelit dari serangan senjata lawannya, dan sambil berkelit kakinya turut bergerak menendang lengan kanan musuhnya, namun laki-laki muda bermuka hitam itu sempat menarik tangan kanannya, sehingga nyaris terkena tendangan. Tetapi bertepatan dengan itu, laki-laki muda bermuka hitam itu sekali lagi harus menangkis pedang si dara pemarah yang sudah ikut menyerang dia !
Dengan gesit dara-pemarah itu merobah gerak serangannya karena tak mau dia mengadu tenaga lagi dengan lawan yang bertenaga besar itu, dan waktu dia dibalas dengan suatu serangan, maka dara pemarah itu lompat sedikit menyamping, membiarkan senjata lawannya ditangkis oleh Tio Bun Wan, sementara dari samping kiri itu dia menikam memakai pedangnya.
Dengan dikepung oleh dua lawan yang kuat, sudah tentu laki-laki muda bermuka hitam itu kian bertambah marah, namun lambat-laun kelihatan dia menjadi pihak yang terdesak; terlebih karena dara lawannya telah berlaku cerdik, selalu menghindar dari benturan senjata, membiarkan Tio Bun Wan yang selalu menangkis, dan secara tiba-tiba dara pemarah itu menyerang dari sudut lain yang di luar dugaan.
Pada suatu kesempatan yang diperolehnya, maka pemuda bermuka hitam itu cepat-cepat melarikan diri, dengan dikejar oleh dara pemarah yang menjadi lawannya, dan diikuti oleh Tio Bun Wan, namun laki-laki muda bermuka hitam itu dapat menghilang ditengah banyaknya orang orang yang sedang berlalu-lintas, membikin Tio Bun Wan berdua dara pemarah itu kembali ke tempat penginapan.
Pengurus rumah penginapan menggerutu karena kerugian yang dia derita akibat adanya pertempuran tadi, tetapi waktu dia dibentak oleh dara pemarah itu, maka si pengurus rumah penginapan jadi takut, sebab dia telah mengetahui kegagahan dari dara pemarah itu. Dilain pihak, Tio Bun Wan kelihatan gelisah sebab dia ingin memberikan penggantian, tetapi waktu itu dia hanya mempunyai bekal yang sangat terbatas sekali; merupakan uang sumbangan buat kuil Siao-lim yang gurunya berikan buat sekedar ongkos dia.
Dengan muka berseri-seri dara pemarah itu kemudian mengajak Tio Bun Wan duduk; dan keduanya saling memperkenalkan diri, membikin Tio Bun Wan mengetahui nama dara pemarah itu adalah Ma Kim Hwa, keponakan piauwtauw Ma Heng Kong dari Cin-wan piauwkiok yang namanya sudah menyemarak dikalangan rimba persilatan.
"Pernah kau dengar tentang nama pamanku ... -?" tanya dara Ma Kim Hwa, setelah dia memanggil seorang pelayan untuk memesan minuman.
"Tidak ..." sahut Tio Bun Wan dengan suara yang perlahan seperti merasa malu-malu; lalu selekas itu juga dia menambahkan perkataannya ; “... baru pertama kali ini aku melakukan perjalanan, sehingga tidak ada yang aku ketahui tentang orang-orang gagah dikalangan rimba persilatan ... -“
Dara Ma Kim Hwa kelihatan seperti merasa kecewa, waktu dia mendengar Tio Bun Wan belum pernah mendengar nama pamannya yang dia anggap sangat cemerlang. Tetapi akhirnya dara pemarah itu dapat mengerti waktu Tio Bun Wan mengakui bahwa pemuda itu belum berpengalaman di kalangan rimba persilatan.
"Pamanku sangat mahir ilmu silatnya,” dara Ma Kim Hwa yang berkata lagi, lalu menyambung dengan memberikan penjelasan tentang usaha pamannya yang katanya sangat ditakuti oleh berbagai kalangan kawanan perampok.
Sementara itu Tio Bun Wan juga menerangkan bahwa ayah dan ibunya tewas karena perbuatan kejam dari sepasang suami isteri yang bernama Gan Hong Bie dan Lie Bie-Nio.
"Aku tahu nama sepasang suami isteri itu. Mereka adalah ketua dari persekutuan Hong-bie pang…" kata Ma Kim Hwa yang sangat mengejutkan hati Tio Bun Wan; disamping dia merasa girang karena telah mulai menemui jejak musuhnya, sedangkan Ma Kim Hwa mengetahui tentang suami isteri itu, melulu sebab sering pamannya menceritakan pengalamannya di kalangan rimba persilatan.
"Kenalkah Ma kouwnio dengan mereka berdua ... ?" tanya Tio Bun Wan.
"Hmm, aku tidak kenal dengan mereka, tetapi aku tahu mereka berselisih dengan pamanku, dan pamanku sudah tentu tidak takut dengan mereka maupun dengan persekutuan mereka . , . " "Mengapa dia berselisih dengan Ma lo cianpwee ?”
Tio Bun Wan menanya lagi dengan penuh perhatian.
"Setahu aku sebab mereka pernah bermaksud merampas kereta piauw yang dilindungi oleh perusahaan pamanku . ,
.." sahut Ma Kim Hwa yang perlihatkan senyumnya; selagi dia mengawasi sepasang alis-putih Tio Bun Wan, yang tidak pernah dia lihat dimiliki oleh lain pemuda.
“Tahukah Ma kouwnio dengan tempat markas Hong-bie pang ...?” Tio Bun Wan menanya sambil menunduk; merasa malu karena alisnya yang istimewa diawasi terus.
"Hm. Pusat markas mereka aku tidak tahu, tetapi Hong- bie pang kelihatannya cepat tumbuh, hampir disetiap kota besar terdapat cabang persekutuan itu ..” dara Ma Kim Hwa memberikan keterangan; sehingga membikin Tio Bun Wan berpikir, bahwa dia sedang menghadapi musuh yang ternyata sangat kuat dan besar pengaruhnya.
"Dengan siapa kau belajar ilmu silat , ..?" tiba-tiba tanya Ma Kim Hwa karena melihat pemuda itu berdiam sambil menunduk, seperti sedang berpikir.
Tio Bun Wan menengadah dan bersenyum, yang berhasil membikin hati Ma Kim Hwa seperti dibetot-betot; setelah itu baru Tio Bun Wan berkata :
"Dengan Tek-ceng Suhu di kuil Siau-lim.”
"Oh...!" Ma Kim Hwa bersuara tanpa terasa, sebab dia kelihatan girang karena bertemu dengan seorang teman baru yang berasal golongan 'Siao-lim’ yang namanya sudah sangat menyemarak; lalu selekas itu juga dia berkata lagi :
"... aku sering mendengar beberapa nama yang berupa tokoh-tokoh dari golongan Siao lim, akan tetapi aku belum pernah mendengar perihal nama gurumu. Sekali waktu aku ingin datang menemui dan ingin minta pengajaran, sebab aku memang bermaksud hendak memperdalam ilmu .. , ."
"Akh ! ilmu-silat kouwnio sudah sangat mahir, dan Tek- ceng suhu tidak menerima murid perempuan .. "
"Hi-hi-hi ...” Ma Kim Hwa tertawa tiga kali 'hi' entah dari mana dia belajar; padahal didalam hati dia merasa sedikit kecewa karena dikatakan Tek-ceng taysu tidak menerima murid perempuan, namun berbareng dia merasa girang dan bangga karena pemuda yang tampan itu telah memuji ilmu kepandaiannya.
Untuk sesaat keduanya kelihatan terdiam, selagi masing- masing terbenam dengan pikiran mereka; lalu Ma Kim Hwa yang bersuara lagi :
"Eh, mengapa kau diam saja ....?” dan sebelah tangan dara Ma Kim Hwa menyentuh sebelah tangan pemuda Tio Bun Wan yang kebenaran berada diatas meja.
"Eh, aku sedang memikirkan tentang Hong bie pang "
sahut Tio Bun Wan seperti merasa kaget; sebab dia sedang memikirkan pihak musuh yang telah membunuh ayah dan ibunya, dan sekaligus dia menjadi kaget karena sebelah tangannya dipegang oleh Ma Kim Hwa, sehingga untuk sejenak tangannya itu terasa seperti kegajahan.
Sementara itu terdengar Ma Kim Hwa yang berkata lagi : "Haaa, rupanya kau takut dengan mereka. Jangan kau
pikirkan hal itu, aku nanti bantu kau ,"
Dara Ma Kim Hwa menunda perkataannya, selagi Tio Bun Wan mengawasi dia seperti membelalak, dan dara yang semula dianggap pemarah itu kemudian menuang arak untuk mengajak Tio Bun Wan minum, setelah itu baru dia menyambung perkataannya : "....esok pagi kemana tujuan kau ?" "Aku hendak ke dusun Lam-boan ceng untuk menyambangi makam orang-tua, setelah itu aku hendak mencari markas Hong-bie-pang "
Dara Ma Kim Hwa terdiam berpikir, setelah itu baru dia berkata lagi :
"Letak dusun Lam-hong ceng tidak jauh terpisah dari kota Lam yang. Dikota itu menjadi tempat perusahaannya pamanku, Cin-wan piauwkiok, kau singgah ditempat pamanku dan kau beritahukan tempat tujuanmu setelah kau menyambangi makam orang-tuamu. Sementara ini aku harus ke kota Bok-kee tin, dan sesudah melakukan tugas itu aku akan singgah ditempat paman dan akan menyusul kau setelah aku mengetahui tujuanmu "
"Tetapi, Ma kouwnio ... " kata Tio Bun Wan yang terkejut dengan niat dara yang baru dikenalnya itu; namun dia tidak sempat bicara lebih lanjut, sebab dara Ma Kim Hwa telah mencegah :
“Kau jangan merintangi niatku yang hendak membantu
kau, sebab itu berarti kau tidak menghargai persahabatan ...
"
Tio Bun Wan tak kuasa mengucap sesuatu, lagi-lagi dia terdiam berpikir; lalu akhirnya dia berkata:
"Terima kasih atas perhatian Ma kouwnio--''
Dara Ma Kim Hwa jadi berseri-seri girang, sehingga bertambah erat dia memegang sebelah tangan pemuda itu; sampai akhirnya mereka berpisah dan memasuki kamar masing-masing, sebab ternyata dara Ma Kim Hwa juga menginap di tempat penginapan itu.
Setelah berada seorang diri didalam kamarnya, maka Tio Bun Wan rebahkan diri dan memikirkan dara Ma Kim Hwa. Tidak dia sangka bahwa dalam perjalanannya itu dia sempat berkenalan dengan seorang dara yang manja dan pemarah namun yang sakti ilmunya, serta sudi menolong dia dalam usahanya hendak mencari balas terhadap musuh yang telah membinasakan kedua orang tuanya.
Dengan adanya kesediaan dara Ma Kim Hwa yang katanya hendak membantu dia, maka Tio Bun Wan justeru menjadi takut untuk meneruskan perkenalannya dengan dara manja dan pemarah itu, takut bahwa dia akan terlibat dengan urusan cinta sebab dia bermaksud untuk mencukur kepala, mengikuti jejak gurunya !
Dari itu pada waktu dara Ma Kim Hwa menanyakan dia tentang tujuannya esok pagi; maka dia tak mengatakan bahwa dia bermaksud menangkap penjahat yang sedang melanda di Kota Pao-kee tin yang memungkinkan dia meninggalkan kota ini pada esok harinya.
Seorang diri Tio Bun Wan kemudian memutuskan, bahwa dia akan pindah kelain tempat penginapan, sekiranya dara Ma Kim Hwa tidak pergi pada esok pagi.
Teringat dengan si penjahat yang sedang mengacau keamanan kota Pao-kee tin, maka Tio Bun Wan menjadi teringat dengan laki laki muda bermuka hitam yang tadi mereka tempur. Dugaan Tio Bun Wan sangat meyakinkan dia bahwa si pemuda muka hitam itu adalah si penjahat. Tetapi sudah tentu Tio Bun Wan tidak dapat sembarangan menangkap dan menuduh seseorang tanpa bukti.
Adalah menjadi rencana Tio Bun Wan bahwa tengah malam itu dia hendak keluar melakukan penyelidikan, mengharap dapat menangkap si penjahat selagi si penjahat melakukan kegiatannya.
Selagi pemuda ini memikirkan tentang si penjahat dan tentang dara Ma Kim Hwa, mendadak dia mendengar pintu kamarnya ada yang ketok, dan terdengar suara dara Ma Kim Hwa yang menyapa dia.
Tio Bun Wan diam terpesona. Dia ragu-ragu untuk menyambut dan membukakan pintu kamarnya, akan tetapi dia teringat dengan sifat manja dan watak pemarah dari dara Ma Kim Hwa; dari itu pemuda ini lalu membukakan pintu kamarnya :
"Eh, kau belum tidur .. ?" tanya dara Ma Kim Hwa dengan muka berseri-seri; dan bagaikan terpaksa Tio Bun Wan menyilahkan dara pemarah itu masuk.
“Tidak usah aku masuk ..." kata dara pemarah yang sekarang kelihatan bersikap ramah, sambil dia menyertai seberkas senyum ria dan berkata lagi :
".. ,aku datang karena hendak memberikan sekedar hadiah atau tanda mata sebagai kenang-kenangan dari perkenalan kita . , .”
Dara Ma Kim Hwa menyudahi perkataannya dengan menyerahkan sesuatu bungkusan kepada Tio Bun Wan; tetapi waktu dilihatnya Tio Bun Wan ingin menolak pemberiannya itu; maka dengan perlihatkan muka tidak puas dara yang pemarah itu berkata lagi ;
"Jangan kau tidak terima pemberianku ini. Aku akan marah karena kau menyinggung perasaanku dan tidak menghargai persahabatan kita ..."
"Tetapi; Ma kouwnio ...'' "Tidak ada tetapi ... !"
Tio Bun Wan terpaksa mengambil bungkusan pemberian dara Ma Kim Hwa, dan pemuda itu menjadi agak terkejut karena merasakan itu, namun dia terpengaruh dengan seberkas senyum yang cerah menghias muka dara Ma Kim Hwa, yang waktu itu sudah bergegas hendak meninggalkan Tio Bun Wan.
"Ma kouwnio "
"Apa lagi ?''
"Terima kasih !"
Sekali lagi dara Ma Kim Hwa perlihatkan senyum-ria yang mulai menawan hati Tio Bun Wan, dan waktu pemuda itu sudah berada sendirian, maka dibukanya bungkusan pemberian dari Ma Kim Hwa, dan pemuda itu terdiam mengawasi bungkusan yang ternyata berupa sejumlah uang perak !
Segera hati-kecil Tio Bun Wan menganggap bahwa dara Ma Kim Hwa yang mulai menawan hatinya itu telah menghina dia. Akan tetapi dilain detik Tio Bun Wan teringat dengan peristiwa yang terjadi dihadapan si pengurus rumah penginapan tadi.
Waktu itu sikap Tio Bun Wan yang rela hendak memberikan ganti rugi kepada si pengurus rumah penginapan, rupanya dapat diketahui oleh Ma Kim Hwa, dan dara yang pemarah tetapi manja itu merasa yakin bahwa Tio Bun Wan tidak cukup mempunyai uang buat diberikan kepada si pengurus rumah penginapan.
Agaknya dara-pemarah tetapi yang manja itu tidak mau merobah perkataannya bahwa dia tidak sudi memberikan ganti rugi akibat terjadinya pertempuran tadi, namun secara tidak langsung dara Ma Kim Hwa memberikan melalui Tio Bun Wan.
('watak manusia memang banyak yang aneh .... ') pikir Tio Bun Wan didalam hati; dan secara tidak langsung dia teringat dengan watak seseorang yang pernah dia kenal selagi dia masih berkumpul dengan seseorang itu didalam kuil 'Siao-lim', sama-sama belajar ilmu silat dibawah pengawasan Tek ceng taysu.
!!i-Z.X 2 !il
Tengah malam itu Tio Bun Wan keluar dengan memakai pakaian khusus serba hitam. Dia keluar lewat jendela kamar dan lompat naik ke atas genteng.
Didekat kamar dara Ma Kim Hwa, sejenak Tio Bun Wan berhenti mengawasi. Dia mendapati kamar dara pemarah itu diterangi dengan api-pelita yang menyala kecil menandakan dara itu tidur dengan tidak memadamkan api pelita. Setelah sejenak berhenti, maka Tio Bun Wan berlari- lari melompati berbagai genteng rumah, memilih arah bagian barat kota Pao-kee tin, untuk mulai mencari jejak si penjahat. Akan tetapi, malam itu sia sia Tio Bun Wan memutari kota Pao-kee tin, oleh karena sampai lewat jam tiga dia tidak menemukan adanya sesuatu yang mencurigai.
Akhirnya Tio Bun Wan kembali kerumah penginapan dan memasuki kamarnya, sedangkan esok harinya sampai matahari naik tinggi dia tertidur, dan waktu dia bangun maka seorang pelayan memasuki kamarnya dengan menyerahkan secarik surat buat dia.
Waktu Tio Bun Wan menanyakan dari siapa gerangan surat itu, maka si pelayan mengatakan bahwa surat itu dari Ma kouwnio (nona Ma), yang katanya sudah berangkat sejak hari masih pagi.
Tio Bun Wan kemudian membaca isi surat itu yang ternyata hanya merupakan ganti pamit dari dara Ma Kim Hwa, karena dara itu sudah menunggu lama namun Tio Bun Wan tetap masih pulas tertidur.
" ...rupanya semalam kau bermimpi sangat indah,” dara
Ma Kim Hwa menambahkan pada suratnya; sehingga mengakibatkan Tio Bun Wan tersenyum dengan muka merah, dan surat singkat itu tidak dibuangnya, akan tetapi disimpannya dikantong bajunya.
Setelah membersihkan tubuh dan ganti pakaian, maka Tio Bun Wan keluar dan menemui si pengurus rumah penginapan dan diluar dugaan si pengurus rumah- penginapan itu, ternyata tamunya memberikan uang ganti rugi yang cukup atas kerusakan barang-barang sebagai akibat terjadinya pertempuran kemarin.
Kemudian pada waktu itu Tio Bun Wan menanyakan kalau-kalau pengurus rumah penginapan kenal dengan si pemuda bermuka hitam, maka ternyata si pengurus rumah penginapan itu mengatakan tidak kenal.
Siang hari itu Tio Bun Wan berkeliling kota Pao-kee tin, namun hasilnya hampa tidak ada yang dia curigai, hanya sempat dilihatnya adanya beberapa tentara yang bertugas menjaga keamanan, dan menurut berita yang dia peroleh, malam itu ternyata tidak terjadi sesuatu kejahatan dalam kota itu.
Tanpa terasa sudah lima malam Tio Bun Wan sia-sia akan waktunya berdiam di kota Pao-kee tin, tanpa dia berhasil menemukan si penjahat, sebaliknya si penjahat lagi- lagi telah melakukan perampokan yang membikin Tio Bun Wan jadi bertambah penasaran.
Dimalam kelima itu dan selagi Tio Bun Wan menyusuri genteng-genteng rumah, mendadak dia melihat adanya sesuatu bayangan hitam yang sedang berlari-lari kearah sebelah timur, sehingga dengan cepat Tio Bun Wan menyusul namun dia berlaku hati-hati supaya bayangan itu tidak mengetahui sedang diintai.
Disuatu rumah gedung yang cukup besar, bayangan hitam itu lompat masuk lewat tembok halaman. Sesaat Tio Bun Wan menunggu dan meneliti, lalu dia menuju kelain bagian dari tembok halaman rumah itu, dimana Tio Bun Wan lompat masuk, sehingga pada saat berikutnya pemuda ini mendapatkan bangunan rumah itu sangat luas pekarangannya, sehingga dia kehilangan bayangan hitam tadi, yang dia tidak ketahui berada dibagian sebelah mana.
Disaat Tio Bun Wan sedang berdiri ragu-ragu, maka mendadak dia mendengar pekik suara seorang perempuan, sehingga dengan suatu gerak yang pesat pemuda itu melesat kearah pekik suara tadi terdengar.
Pekik suara tadi ternyata berasal dari suatu kamar yang daun jendelanya terbuka. Dengan golok yang sudah siap ditangannya, segera Tio Bun Wan hendak lompat memasuki kamar itu, namun secara mendadak dia harus menunda niatnya, sebab dari dalam kamar itu justeru berlompat keluar seseorang yang memakai tutup muka warna hitam membikin Tio Bun Wan tidak ragu-ragu lagi menganggap orang itu adalah si penjahat.
"Perampok kurang ajar, sudah cukup lama aku cari kau .
, .” maki Tio Bun Wan yang lalu menyerang selagi penjahat itu berdiri terpesona, karena tidak menduga adanya seseorang yang menunggu dia diluar kamar itu.
Penjahat itu berkelit tiga langkah mundur kebelakang, akan tetapi waktu sekali lagi Tio Bun Wan melakukan penyerangan dengan suatu tebasan golok, maka dengan tabah penjahat itu menundukkan kepala, sementara dengan senjata golok ditangan kanannya, penjahat itu menabas sepasang kaki Tio Bun Wan.
Dengan melihat senjata golok yang digunakan oleh si penjahat, maka hilang rasa curiga Tio Bun Wan atas si pemuda bermuka hitam, yang pada mulanya dia curigai sebagai si penjahat. Atas serangan-balasan dari si penjahat itu, maka Tio Bun Wan melompat berkelit, akan tetapi waktu pemuda ini hendak mengulang serangannya, maka si penjahat telah pergunakan kesempatan itu buat melarikan diri, sebab dirumah itu sudah terdengar suara ributnya beberapa orang, yang rupanya sudah mengetahui bahwa mereka telah kedatangan penjahat.
Tio Bun Wan tidak membiarkan penjahat itu melarikan diri. Pemuda ini mengejar, diikuti dengan empat orang yang rupanya menjadi penjaga keamanan dari rumah yang didatangi penjahat itu.
Penjahat itu ternyata sangat mahir dengan ilmu lari cepat dan ringan tubuh, namun Tio Bun Wan mengerahkan tenaganya untuk mempercepat larinya, membikin mereka berdua meninggalkan jauh ke empat penjaga malam yang ikut melakukan pengejaran.
Dalam melakukan pengejarannya itu, beberapa kali Tio Bun Wan menjadi terintang, oleh karena si penjahat telah menyerang dia dengan menggunakan senjata rahasia berupa piao; dan hal ini justeru menjadikan Tio Bun Wan merasa sangat penasaran, sampai disuatu saat Tio Bun Wan melihat adanya dua orang yang menghadang arah larinya si penjahat.