Pendekar Bunga Cinta Jilid 04

Jilid 04

“JIE-WIE MA CIANGKUN ...!” dia berteriak memanggil Ma Kong berdua Ma Kiang, selekas dia merasa sudah menemukan 'cara' memberikan umpan buat 'macan- betina yang dia rindukan'.

“Siap !" Ma Kong, Ma Kiang bersuara, selekas mereka

sudah mendekati dan memberi hormat secara militer.

“Tangkap macan betina itu....!" perintah ciangkun Sie Pek Hong.

“Siap !" Ma Kong berdua Ma Kiang berbareng, dan berdiri tegak kagak bergerak. Ngeri disuruh nangkap macan galak.

“Jalan!" Sie Pek Hong bersuara galak, melihat dua

pembantunya berdiri mematung.

“Ke mana .. ,?" sengaja Ma Kong menanya, menghambur waktu.

“Tangkap macan betina itu!"

“Ciangkun kagak ikut?" Ma Kiang yang berani menanya, sebab pernah 'nyogok cewek' buat atasannya itu.

“Entar, aku nyusul belakangan !"

“Sebaiknya ciangkun duluan, kami yang melindungi dari sebelah belakang." Ma Kiang lagi bicara. “Kalian takut menghadapi macan betina itu?" sengaja Sie Pek Hong menanya, mengatasi rasa ngeri yang menghantui diri.

“Bukan takut, tetapi tugas kami adalah melindungi ciangkun. Sukar mencari ganti kalau ciangkun mati, ciangkun seorang yang berbudi baik hati." Ma Kong ikut ikutan bicara.

“He he ... !" dua kali he ciangkun Sie Pek Hong tertawa, merasa senang punya pembantu setia. Dua langkah dia berjalan maju dan berhenti lagi, teringat ingin ganti baju militer yang dipakainya, tetapi sayang tidak membawa bekal.

Terpaksa ciangkun Sie Pek Hong maju lagi, perlahan- lahan, berlaku waspada bakal menghadapi 'macan betina yang janda tetapi tetap galak'. Ma Kong berdua Ma Kiang mengikuti, juga perlahan waspada langkah kaki mereka, siap kabur !

“Tok-tok tok." ciangkun Sie Pek Hong mengetuk pintu, perlahan-lahan, bersenyum, selagi liehiap menangis-nangis didekat mayat suaminya.

Merah menyala sepasang mata liehiap Liu Giok Ing, waktu dilihatnya ada tiga orang perwira yang berdiri didekat pintu rumah gubuk. Tanpa mengucap apa-apa, tubuhnya bergerak menggunakan ilmu 'peng-see lok-gan', terbang macam burung belibis pindah tempat, sementara kepalan tangan kanannya menyodok bagian perut ciangkun Sie Pek Hong menggunakan jurus 'dewi cantik memberikan hadiah buah tho'.

Kaget ciangkun Sie Pek Hong, akan tetapi cepat dia bergerak menggunakan jurus 'mengganti ujut, berpindah tempat', tubuhnya miring sedikit kesebelah kiri, sementara sebelah tangan-kanannya bergerak memakai ilmu 'tek-seng ciu', atau memetik-bintang, sebab tangan kanan sudah terbiasa ingin menjamah bagian yang tiga-lima. Sayangnya tubuh liehiap Liu Giok Ing meluncur terlalu cepat, hinggap ditanah dengan sepasang kaki siap kuda-kuda meskipun tubuh membelakangi Sie Pek Hong.

Ma Kong berdua Ma Kiang yang sudah lebih dulu bergerak menyisi, sebab menduga bahwa liehiap Liu Giok Ing bakal 'numpang lewat' , sehingga nyaris mereka kena terjang. Setelah itu mereka melihat liehiap Liu Giok Ing berdiri membelakangi mereka. 'Kesempatan ...' pikir mereka; seperti sudah janji, dua bersaudara ini bergerak berbareng, membacok pakai dengan gerak tipu 'tay-san ap- teng atau gunung tay-san menindih, ingin membelah empat tubuh liehiap Liu Giok Ing, lupa perintah menangkap hidup.

Cuma sedikit liehiap Liu Giok Ing bergerak, tubuhnya melesat ke udara seperti 'burung walet menembus angkasa'.

Dua golok Ma Kong dan Ma Kiang, membenam ditanah bekas tempat Liu Giok Ing tadi berdiri seperti patung. Dua bersaudara ini masih nungging waktu tubuh liehiap Liu Giok Ing meluncur turun, dan sepasang kaki 'macan betina yang hendak ditangkap' itu bergerak menendang selagi tubuhnya masih berada diudara bebas, kena pantat-pantat Ma Kong dan Ma Kiang, mengakibatkan tubuh Ma Kong berdua Ma Kiang terjerumus 'ngusruk' tengkurap, kena cium 'gituan' punya kerbau !

Ngomel-ngomel dua bersaudara Ma Kong dan Ma Kiang, selagi mereka berdua bangun berdiri dan mengusap- usap muka, sehingga waktu mereka bisa melek, sempat mereka melihat sang ciangkun sedang berkelahi melawan sang 'macan betina yang sangat pintar nendang' itu ! “Hebat juga ciangkun kita .....” pikir Ma Kong berdua Ma Kiang; sebab sempat melihat, sarung-pedang dilawan dengan sarung-pedang, sedangkan pedang yang tajam dilawan dengan pedang yang tajam juga. Tangan kiri yang memegang sarung-pedang, selalu bergerak memakai jurus 'tek-seng ciu' selalu ingin menyentuh bagian yang tiga-lima; sedangkan tangan kanan memegang pedang tajam, bergerak silih berganti memakai Jurus 'hiu hie liang pou' atau ikan hiu menerjang gelombang, mencari sasaran dibagian pusar. Akan tetapi buru-buru ganti jurus kalau melihat pedangnya mau dibabat buntung; ganti memakai jurus 'kie hwee siao- thian' atau lepas api mau bakar langit, kepingin babat putus pembungkus kepala Liu Giok Ing.

Liehiap Liu Giok Ing buru-buru melompat mundur dua langkah kebelakang, tetapi Sie-Pek Hong telah menyerang lagi memakai pedangnya, menggunakan jurus pek-wan hian-ko' atau monyet-putih persembahkan buah; lurus-lurus pedangnya bergerak menikam bagian pusar, akan tetapi buru-buru pedang itu menghilang kalau mau dibabat buntung.

Sebaliknya sarung pedang ditangan kiri Sie Pek Hong, menyusul bergerak memakai jurus 'sian-wan cek-tho' atau sun-go-kong nyolong buah-tho, sebab sarung-pedang itu mau nyontek bagian tiga-lima.

Berteriak liehiap Liu Giok Ing marah-marah selagi mundur lagi tiga langkah kebelakang, sempat bikin Sie Pek Hong bengong ngawasin seperti terpukau; atau seperti sedang mikir-mikir, 'repot juga kalau punya bini yang suka berteriak semacam itu'.

Untung Sie Pek Hong cepat tersadar, sebab sempat melihat sepasang tangan liehiap Liu Giok Ing berkepal seperti tegang. Yakin dia bahwa 'macan-betina yang pintar menjerit' itu sedang mengerahkan tenaga dalamnya, entah berdasarkan aliran atau golongan sebelah mana; tetapi ogah Sie Pek Hong diajak ngadu tenaga seperti itu, yang bisa bikin darah segar ngocor keluar.

Dengan terburu-buru dia mundur kebelakang, habis sudah lupa yang tadi dia peroleh; lalu dia lompat tinggi- tinggi dan jauh seperti 'burung gagak mencari perlindungan diatas pohon-pohon beringin', tepat di saat liehiap Liu Giok Ing menyerang dengan menggunakan tenaga Eng-jiauw kang, mengakibatkan gempur berantakan tanah bekas tempat Sie Pek Hong tadi berdiri. Dan Sie Pek Hong harus buru-buru lompat lagi, turun mendekati tempat Ma Kong berdua Ma Kiang berdiri nonton; dan gerak lompat Sie Pek Hong tadi, memakai jurus 'ho-lip kee-kun' atau burung- bango hinggap di tempat anak-anak ayam.

Gempur berantakan daun-daun pohon beringin bekas Sie Pek Hong tadi berlindung, dan buru-buru Sie Pek Hong ngomel terhadap Ma Kong berdua Ma Kiang :

“Mengapa kalian cuma nonton ..."

“Bukan nonton, kami sedang berdiri untuk berjaga-jaga, siap melindungi kalau ciangkun terluka atau binasa ..." sahut Ma Kiang yang buru-buru lari ke sebelah selatan; sebab dilihatnya gerak tangan liehiap Liu Giok Ing yang ingin menyerang lagi, dan Ma Kong ikut kabur ke sebelah utara sebab melihat adiknya mendahului kabur, sedangkan ciangkun Sie Pek Hong ikut kabur sambil dia berteriak :

“Thio heng cepat keluar !"

Keluar si tinggi hitam Thio Hek dari tempat semak- semak yang banyak pohon alang-alang, gatal sepasang kaki dan sepasang tangannya, sehingga ia merasa perlu menggaruk-garuk selagi dia mendekati liehiap Liu Giok Ing, disaat ''macan betina yang galak' itu habis menggempur tanah-tanah yang lumpur. “Eh, siao-kouwnio. Kau ada disini ?" Thio Hek menyapa liehiap Liu Giok Ing, sengaja perlihatkan muka kaget dan heran,

Terbelalak sepasang mata liehiap Liu Giok Ing mengawasi si tinggi hitam yang suaranya serak-serak basah seperti Louis Armstrong dan terpukau dia waktu mendengar istilah 'siao-kouwnio' atau nona kecil. Siapa si tinggi hitam ini ?' pikir liehiap Liu Giok Ing didalam hati, merasa tidak kenal :

“Siapa kau ?” tanyanya dan bersikap galak.

“Eh, Siao-kouwnio. Apakah kau benar-benar lupa dengan aku ? Aku adalah Thio si hitam."

“Thio Hek ?" liehiap Liu Giok Ing mengulang, menyebut

nama.

“Benar, Thio Hek yang dulu mengabdi pelayan suhu,

Touw-liong cuncia diatas gunung Ouw bong-san !"

Teringat liehiap Liu Giok Ing dengan kejadian lama, dan terbayang lagi olehnya betapa si paman Thio Hek memberikan kasih-sayangnya, sering dia diajak bermain, sering dia digendong dulu, waktu dia masih kecil. Dan sekarang, selagi dia merasa kehilangan kasih sayang suaminya, secara mendadak dia bertemu lagi dengan paman Thio yang menyayangi dia. Segera dia terisak menangis didalam rangkulan si tinggi hitam Thio Hek seperti dulu.

“Thio Susiok, oh Thio susiok ..."

“Ah, bocah manis. Mengapa kau jadi begini, siao kouwnio. Mengapa kau harus berkelahi melawan orang- orang sendiri.” Ceng hwa liehiap Liu Giok Ing bagaikan tidak mendengar perkataan Thio Hek, dia tetap terisak menangis didalam rangkulan lelaki tinggi hitam itu, membikin sempat Thio Hek membelai rambut yang hitam ikal, yang masih dibungkus oleh kain penutup rambut, namun cukup banyak rambut yang nongol, kemudian ganti dia membelai bagian punggung liehiap Liu Giok Ing, tetapi batal dia memukul dibagian pantat, seperti dulu.

Setelah berkurang isak tangis liehiap Liu Giok Ing, maka Thio Hek berkata lagi, terdengar lembut, haru dalam telinga liehiap Liu Giok Ing, meskipun suara itu serak-serak basah!

“Siao kouwnio, jangan kau menangis lagi, ingin kuperkenalkan kau dengan teman-teman yang kau tempur tadi. Setelah suhu tewas dan kita terpisah, aku hidup merantau tak menentu, sampai aku bekerja mengabdi pada pangeran Kim Lun yang baik budi, mendampingi ciangkun Sie Pek Hong yang baik hati, alangkah baiknya kalau kauikut mengabdi pada pangeran Kim Lun dan kita berkumpul lagi, seperti dulu."

Liehiap Liu Giok Ing melepas diri dari rangkulan Thio Hek, bertepatan dengan kehadiran ciangkun Sie Pek Hong yang datang mendekati.

“Liehiap, maafkan kejadian tadi. Aku telah berlaku tidak sopan sebab tidak menduga berhadapan dengan liehiap yang kenamaan." kata Sie Pek Hong yang memberi hormat dan perlihatkan senyum.

Ceng hwa liehiap Liu Giok Ing ikut memberi hormat.

“Bukan ciangkun yang bersalah, sebaliknya aku yang telah bertindak diluar sadar sebab suamiku," tak sanggup liehiap Liu Giok Ing melengkapi perkataannya, menyebut suaminya sudah mati, dan Sie Pek Hong yang ganti bicara lagi. "Seperti dikatakan oleh Thio-heng tadi, kami merupakan pasukan dari kota Oei-kee tin. Pangeran Kim Lun ikut mendengar perihal peristiwa yang terjadi di kota raja, sehingga kami ditugaskan untuk menyelidiki dan kami berhasil memperoleh keterangan, bahwa pangeran Gin Lun yang menjadi dalang peristiwa itu, sehingga liehiap kena fitnah yang mengakibatkan Giok Lun ongya ikut jadi korban kena bencana. Kami bermaksud melaporkan kejadian ini kepada Kim Lun Hoat ong, sehingga alangkah baiknya kalau liehiap ikut menghadap Kim Lun Hoat ong, setelah itu kita menyusun rencana buat liehiap melakukan balas dendam. Aku yakin Kim Lun Hoat ong akan berpihak kepada liehiap, sebab Kim Lun Hoat ong lebih akrab dengan Giok Lun ong ya."

Sejenak liehiap Liu Giok Ing terdiam mendengarkan perkataan Sie Pek Hong. Dia memang menyimpan dendam terhadap Gin Lun Hoat ong yang hendak dia bunuh mati, dan dia memang telah menyadari bahwa tidak mudah buat dia melaksanakan niat itu selagi dia cuma sendirian. Akhirnya liehiap Liu Giok Ing menerima saran Sie Pek Hong, setelah Thio Hek juga turut membujuk.

Dengan demikian liehiap Liu Giok Ing turut dalam rombongan Sie Pek Hong yang menuju ke kota Oei-kee tin, hendak menghadap pangeran Kim Lun, dekat perbatasan luar kota raja sebelah selatan,

---o~dwkz^)(^hendra~o---

DENGAN MEMAKAI kuda-putih kesayangannya, si pendekar tanpa-bayangan Kwee Su Liang melakukan perjalanan seorang diri, jauh dari perbatasan kota Gan-bun koan yang berbatasan dengan suku-bangsa Watzu, Tartar; menuju kota-raja untuk memenuhi panggilan sri baginda maharaja.

Perjalanan jarak-jauh yang harus dia tempuh melewati pegunungan dan hutan-belukar memberikan kesempatan buat Kwee Su Liang membayangkan lagi kejadian lama yang pernah dia alami, selagi dia menjelajah kalangan rimba persilatan sehingga berhasil dia memperoleh gelar 'bo-im kiamhiap' atau pendekar pedang tanpa bayangan; berkat kelincahan dan kegesitan gerak tubuh, ditambah ilmu pedang 'pek-ban kiam-hoat yang khusus diciptakan oleh gurunya, tayhiap Pek Ban Tong. Begitu cepat gerak ilmu pedang 'pek-ban kiam-hoat', sehingga sukar dilihat oleh mata, bagaikan gerak sejuta pedang!

Kemudian Bo-im kiamhiap Kwee Su Liang sempat teringat lagi dengan saat-saat waktu dia berkumpul bersama Ceng hwa liehiap Liu Giok Ing. Bahu membahu berkelahi melawan musuh, bahu membahu menghadapi berbagai rintangan dan ancaman mara bahaya.

Dalam melakukan pertempuran melawan musuh, ilmu silat mereka bahkan pedang-pedang mereka, dapat bersatu- padu bagaikan memiliki jiwa; akan tetapi dua-hati mereka, mengapa sukar bersatu meskipun setiap hari bertemu ?

“Giok Ing terlalu keras kepala”, ini yang seringkali dikatakan oleh 'hati kecil' Kwee Su Liang, sukar dibantah oleh Kwee Su Liang !

'Su Liang terlalu tinggi hati', ini yang seringkali dikatakan oleh 'hati kecil' Liu Giok Ing, sukar dibantah oleh Liu Giok Ing.

Dan, ayahnya Liu Giok Ing dibunuh oleh ibunya Kwee Su Liang ! Dan, ibunya Kwee Su Liang dibunuh oleh Ceng-hwa liehiap Liu Giok Ing !

Dan, satu demi satu bintang-bintang menghilang dari angkasa, bagaikan ketakutan, umpatkan diri waktu dua pendekar muda-perkasa ini saling berhadapan, berkelahi antara hidup dan mati. Saling mencari keadilan, katanya, saling melunaskan hutang-dendam !

“Alam nyata terlalu kejam, Liang-ko," bisik Ceng hwa liehiap Liu Giok Ing, waktu sempat saling rangkul dengan Bo-im kiamhiap Kwee Su Liang. Dalam suasana yang damai tentunya, dalam suasana mesra tentunya.

Mesra, tanpa dua hati mereka 'mau' bersatu. Kenapa ?

Dan mereka berkelahi lagi, mereka berbaik lagi; bahkan saling mengangkat saudara.

Giok-moay, kau merupakan adik tersayang, kata Kwee Su Liang merangkul sang adik, sehabis mereka mengangkat saudara.

“Liang-ko, kau merupakan kakak tersayang," sahut Ceng-hwa liehiap Liu Giok Ing.

Kemudian Bo-im kiamhiap Kwee Su Liang menikah dengan Hui-thian liong-lie Lie Gwat Hwa si puteri naga terbang yang mahir ilmu ringan tubuh 'liok-tee hui heng' yang pesat seperti terbang, dan Ceng hwa liehiap Liu Giok Ing hidup merana banjir air mata, tanpa setahu Kwee Su Liang !

( „Giok-moay, aku girang waktu mengetahui kau sudah menikah dengan pangeran Giok Lun." ), untuk yang kesekian kalinya Kwee Su Liang berkata seorang diri, cuma didalam hati. Akan tetapi, mengapa terjadi peristiwa seperti yang diceritakan oleh menteri kesra Toan Teng Hong. Kenapa ? 'Mengapa kau harus menyebar maut lagi di kota raja ?'

Jelas Kwee Su Liang belum mengetahui tentang adanya peristiwa pembunuhan dan si pelaku menggunakan senjata rahasia berbentuk bunga cinta, dan yang biasa menyebar 'bunga cinta' cuma sang adik angkat yang 'binal'.

Akan tetapi ketika Bo-im kiamhiap Kwee Su Liang sudah tiba didekat perbatasan kota raja, maka didengarnya berita bahwa Liu Giok Ing mengacau dan menyebar maut di kota Sam hay koan, bahwa Giok Lun ditangkap kemudian ditolong oleh isterinya yang mengacau dan menyebar maut di istana kerajaan, kemudian hilang jejak Liu Giok Ing yang membawa lari suaminya.

Semakin pusing Kwee Su Liang mendengar perbuatan sang adik angkat yang binal itu, kemana harus dia cari ?

Terpaksa dia menemui menteri kesra Toan Teng Hong, dan menteri yang tua usia itu, yang memang sudah tiba lebih dahulu di kota raja, menceritakan tentang kejadian Liu Giok Ing 'membongkar penjara' membawa lari suaminya, dan menteri Toan Teng Hong menambah keterangannya, mengatakan bahwa di luar kota raja, dekat pintu kota sebelah selatan, telah diketemukan belasan tentara kerajaan yang tewas. Ada dugaan bahwa mereka tewas akibat perbuatan Liu Giok Ing, terbukti didekat tempat kejadian itu, terdapat sebuah makam darurat yang kemudian dibongkar, dan diketahui sebagai tempat makam jenazah Giok Lun Hoat Ong, sehingga atas perintah sri baginda maharaja, maka jenazah Giok Lun Hoat Ong sudah dipindah di-tempat pemakaman kerajaan di kota raja.

( "Ah Giok-moay, kau sekarang menjadi seorang janda yang sebatang kara ..." ) Kwee Su Liang mengeluh didalam hati, hampir mengeluarkan air mata. Dari tempat menteri kesra Toan Teng Hong kemudian Kwee Su Liang diperintahkan menghadap menteri kehakiman Pauw Goan Leng, akan tetapi tidak ada sesuatu tambahan keterangan apa apa yang dia peroleh, juga tentang Siu Lan yang datang melapor, tidak diberitahukan oleh menteri Pauw Goan Leng, sebaliknya menteri yang tua-tua keladi itu mengajak Kwee Su Liang menghadap sri baginda maharaja.

Marah-marah sri baginda raja waktu menerima kedatangan menteri Pauw Goan Leng yang membawa Kwee Su Liang, sebab dia lagi asyik nonton 'tari perut' di dalam kamar selir yang ke enam belas. Ngomel-ngomel raja kepada menteri Pauw Goan Leng juga kepada Kwee Su Liang yang dia tahu pernah 'berpacaran' dengan liehiap Liu Giok Ing.

“Mana macan-betina itu ... !" tanya sri baginda maharaja, membentak.

Menteri Pauw Goan Leng dan Kwee Su-Liang saling mengawasi, tidak tahu raja menanya kepada siapa. Akhirnya Pauw Goan Leng yang bicara :

“Dia bukan lakinya si macan-betina ..."

“Aku tahu. Siapa bininya ..." tanya raja; rusak bahan bicara.

“Hui-thian liong-lie Gwat Hwa ... “

“Haayaaa ! Batal kawin sama macan, ganti kawin sama

naga ..."

Pusing raja memikirkan kehidupan orang-orang kalangan rimba-persilatan, dan pusing Kwee Su Liang yang mengabdi pada seorang raja yang cuma ingat kawin; lebih pusing lagi waktu dia disuruh pulang, tetapi tetap diperintah menangkap macan betina, hidup atau mati ! Melamun Kwee Su Liang waktu keluar meninggalkan istana kerajaan, tetapi naluri hatinya menuntun dia melakukan perjalanan ke arah sebelah selatan; sehabis dia berpisah dengan menteri kehakiman Pauw Goan Leng. Kesebelah selatan, sebab disitu orang menemukan jenazahnya Giok Lun Hoat-ong waktu dimakamkan secara darurat. Pasti hasil kerja sang adik yang binal, pikir Kwee Su Liang yang membayangkan seorang diri Liu Giok Ing harus menggali lubang kuburan.

Kemudian sempat Kwee Su Liang menanyakan keterangan kepada penduduk yang terdekat, berhasil dia mengetahui tentang adanya 'perempuan sinting' yang ngamuk-ngamuk menyebar maut, di kalangan tentara kerajaan; juga di kalangan rakyat yang sedang nonton waktu 'perempuan sinting' itu mau ditangkap.

Mengeluh Kwee Su Liang atas perbuatan sang adik yang binal, tetapi bingung dia waktu didengarnya 'perempuan sinting' itu akhirnya pergi mengikuti serombongan tentara negeri sehabis mengubur jenazah yang ditangisi oleh 'perempuan sinting' itu.

“Tentara negeri dari mana ?” tanya Kwee Su Liang; akan tetapi sia-sia sebab penduduk desa itu tidak mengerti tentang tanda-tanda kesatuan militer, entah dari mana kesatuan mana, entah dari batalyon mana.

Terpaksa Kwee Su Liang meneruskan perjalanannya menuju ke arah selatan, tetap memakai kuda putih kesayangannya; dan bertamu dia di istana pangeran Gin Lun, sehingga sempat pangeran Gin Lun bercerita tentang liehiap Liu Giok Ing yang mengacau dan menyebar maut ditempat kediamannya, tanpa dia mengetahui entah apa kesalahannya. Lesu keadaan Kwee Su Liang waktu dia meninggalkan istana pangeran Gin Lun, tambah dia menyesali perbuatan liehiap Liu Giok Ing tanpa dia mengetahui kejadian yang sebenarnya; dan dia lebih menyesal lagi sebab dia tidak sempat bertemu dengan Kang-lam liehiap Soh Sim Lan, yang katanya pernah singgah di istana pangeran Gin Lun; bahkan ikut bertempur melawan liehiap Liu Giok Ing.

( 'Mengapa harus terjadi begini ...' ) Kwee Su Liang mengeluh didalam hati; merasa sangat penasaran bahwa sang adik yang binal jadi bertempur dengan Kanglam liehiap Soh Sim Lan yang saudara seperguruan dengan Liu Goat Go, sedangkan Liu Goat Go adalah adik kandung Liu Giok Ing.

Terpikir oleh Kwee Su Liang bahwa dia harus mencapai Liu Goat Go yang adiknya Liu Giok Ing, akan tetapi kemana dia harus mencari? Mencari Liu Goat Go sama sukarnya dengan mencari Liu Giok Ing, sehingga batal dia lakukan niatnya yang hendak mencari Liu Goat Go.

Hanya dengan mengikuti naluri hatinya, dia larikan kudanya menuju ke arah sebelah timur, menuju Oei-kee tin tanpa melalui kota raja; akan tetapi melintas jalan lewat hutan belantara dan daerah pegunungan.

Entah berapa hari sudah melakukan perjalanan itu dengan hati risau, cuma dibeberapa tempat yang membawa kenangan lama dia berhenti beristirahat. Cuma kenangan lama yang bisa mendekatkan dia dengan sang adik yang binal, cuma kenangan lama yang bisa membikin dia tersenyum, akan tetapi kadang-kadang mengalirkan air mata.

Terbayang lagi oleh Kwee Su Liang dengan saat-saat waktu sang adik yang binal itu marah-marah manja, ogah dibagi roti kering meskipun waktu itu hujan sedang lebat turun, selagi mereka meneduh ditempat yang sekarang Kwee Su Liang duduk seorang diri.

“Kalau kau tidak mau makan, aku juga tidak mau makan," kata Kwee Su Liang waktu itu dan sempat dia melirik sang adik yang binal, waktu sang adik yang binal itu sedang menelan air liur, mungkin merasa lapar tetapi diam tidak bicara. Ngambek-manja seperti biasa.

“Cuma orang yang bodoh, yang mau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hasrat hatinya," Kwee Su Liang yang bicara lagi waktu itu berhasil membikin sang adik yang binal jadi tersenyum; ujarnya :

“Kau memang bodoh, kau merasa lapar tetapi kau tidak mau makan," kata sang adik yang binal, mempertahankan sikap ngambek manja waktu itu.

“Kau juga lapar tetapi kau tidak mau makan, sebaliknya kau ngambek marah," mulai ngomel Kwee Su Liang waktu itu.

“Tentu aku ngambek, tentu aku marah,” sahut sang adik

yang binal.

“Kenapa ?"

“Sebab kau tinggi hati !"

“Dan kau keras kepala !" balas Kwee Su Liang.

“Dan kau yang bodoh, mau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hasrat hati."

Terdiam Kwee Su Liang waktu itu. Berpikir dia seorang diri. “Mau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hasrat hati,” kalimat kata yang pernah dia ucapkan dan yang dikembalikan oleh sang adik yang manja dan binal itu.

“Kalau kau tidak mau makan, aku juga tidak mau

makan”, ini yang dikatakan oleh Kwee Su Liang kepada adik yang binal itu, mengapa bukan dia mengucap kata-kata yang sesuai dengan hasrat-hati :

“Giok-moay, aku risau kalau melihat kau tidak mau

makan; sebab aku cinta padamu.”

“Ahk !" Kwee Su Liang membantah, sehabis sejenak dia membesarkan diri dibawa hanyut oleh alam-khayal.

“Jangan coba mengharap terlalu banyak, jangan coba mengemis cinta, sudah untung dia mau berbaik, sudah untung dia mau mengangkat saudara," bisik hati kecil Kwee Su Liang yang selalu merintang kalau Kwee Su Liang hendak menyentuh soal cinta, dan Kwe Su Liang selalu merasa takut kalau-kalau sang adik yang binal menolak kasihnya, sehingga tak berani dia menyatakan cintanya. Selalu dia menghadapi kesukaran buat mempersatukan hati mereka, selalu dia merasa jauh dan asing meskipun mereka sering berada berdekatan.

Ada bunyi suara yang tidak wajar yang sempat didengar oleh Kwee Su Liang, setelah dia sadar dari alam khayal. Tersentak Kwee Su Liang bangun berdiri dari tempat dia beristirahat, semacam sebuah goa dekat tebing yang curam didaerah pegunungan yang sunyi.

Hari sudah mendekati subuh ketika Kwee Su Liang meneliti keadaan disekitarnya, mencari asal bunyi suara itu terdengar, bunyi suara keluhan nyaring seorang-orang yang seperti sedang menderita kesakitan, kalau dia tidak salah duga.

Berindap-indap Kwee Su Liang melangkahkan kakinya, sampai kemudian dia mempercepat ketika suara keluhan itu terdengar berulang.

Ditepi sebuah jurang yang dalam, disitu Kwee Su Liang merasa bertambah jelas dia mendengar suara keluhan orang itu, seorang laki-laki, mungkin terjatuh kedasar jurang yang gelap tidak kelihatan sesuatu.

Sengaja Kwee Su Liang perdengarkan pekik teriaknya, menghadap ke dasar jurang, setengah berlutut dia melakukannya. Tiada suara jawaban yang didengarnya, bahkan suara keluhan tadi menjadi terhenti, yakin Kwee Su Liang bahwa seorang itu mendengar pekik suaranya, akan tetapi tak sanggup memberikan jawaban. Pasti terluka parah orang itu dan dia merasa wajib memberikan pertolongan.

Bersusah payah Kwee Su Liang merambat menuruni dasar jurang itu, meskipun dia pandai ilmu ‘pek hou yu chong' atau cecak merambat ditembok, keadaan di dalam jurang itu amat gelap, hanya sedikit sinar bintang-bintang yang tinggi diangkasa, tiada bulan sedangkan matahari belum waktunya buat perlihatkan ujud.

Akhirnya Kwee Su Liang berhasil menemukan sesosok tubuh manusia yang nyangkut di antara dahan pohon yang tinggi dan lebat, pohon yang tumbuh didasar jurang, dan sekali lagi Kwee Su Liang harus bersusah payah menolong orang itu yang memiliki tubuh tinggi besar, yang terluka parah bekas terbanting tergelincir jatuh.

Berhasil Kwee Su Liang membawa orang itu turun kedasar jurang, akan tetapi diantara sinar yang remang- remang, Kwee Su Liang terkejut karena merasa kenal dengan lelaki yang ditolongnya itu. Siapa? atau dimana ia pernah bertemu dengan lelaki itu?

Lemah keadaan lelaki itu yang terluka parah banyak mengeluarkan darah, bekas dia jatuh terbanting, bahkan ada bagian-bagian tulang yang retak atau patah.

Yakin Kwee Su Liang bahwa sudah tidak mungkin lagi buat lelaki itu menyambung hidup, akan tetapi mendadak Kwee Su Liang teringat; ya, teringat dan tak mungkin dia salah lagi, laki laki itu berkulit hitam.

“Susiok, bukankah kau Thio ... Thio susiok ..."

Laki-laki bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam itu memang Thio Hek, keadaannya sangat lemah disamping dia menderita rasa sakit; tak mampu dia menjawab pertanyaan penolongnya, cuma sepasang matanya lemah mengawasi, merasa bagaikan dia juga kenal dengan si penolong itu, akan tetapi dia yang sudah lupa.

Meskipun merasa yakin tidak mungkin menolong nyawa Thio Hek, namun Kwee Su Liang merasa perlu mengajak bicara. Thio-Hek adalah pelayan yang mengabdi pada Touw-liong cuncia adalah liehiap Liu Giok Ing. Mengapa Thio Hek terjatuh, sebab dia memiliki ilmu meskipun dia bodoh, sering kali diganggu oleh sang adik yang binal selagi dulu mereka masih berkumpul diatas gunung Ouw-bong san.

Dan teringat lagi Kwee Su Liang dengan kejadian tempo dulu.

Dahulu dia sedang berkelana berdua liehiap Liu Giok Ing, lalu bertemu Liu Goat Go yang adiknya Liu Giok Ing, dan Liu Goat Go memberitahukan kakaknya, bahwa Touw-liong cuncia sedang sakit; sehingga buru-buru Liu Giok Ing menempuh perjalanan ke kota An-hui, jauh diperbatasan propinsi Inlam, Tali, ditempat yang banyak berkeliaran suku-bangsa Biauw.

Waktu itu Kwee Su Liang tetap mendampingi liehiap Liu Giok Ing, dan sang macan-betina yang waktu itu belum menjadi adiknya; ngambek-manja memaksa Kwee Su Liang turut mendaki gunung Oew-bong san, bahkan turut menemui Touw liong cuncia yang gurunya liehiap Liu Giok Ing. Ternyata waktu itu Touw-liong cuncia sakit karena kena bisa-racun laba-laba dari India, yang dia terima sebagai hadiah dari temannya; dan Touw liong cuncia yang terkenal sebagai 'si biang racun', berhasil mengatasi penyakitnya, sehingga dengan lagak manja liehiap Liu Giok Ing perkenalkan Kwee Su Liang dihadapan gurunya :

“Suhu, aku membawa seorang teman."

Touw-liong cuncia kelihatan kaget sebab dia tahu, justeru ibunya Kwee Su Liang yang membunuh ayahnya Liu Giok Ing; sehingga untuk yang pertama kalinya terjadi pertempuran antara Kwee Su Liang melawan Liu Giok Ing, selekas Touw-liong cuncia memberitahukan kepada Liu Giok Ing.

Bertempur mereka diatas gunung Ouw bong san, dan Touw-liong cuncia cuma bisa nonton sebab dia belum bisa bangun akibat kena bisa-racun laba-laba dari India, kemudian Thio Hek yang hitam bertubuh tinggi besar, ikut mengepung Kwee Su Liang, akan tetapi dua kali kena tendang sang 'macan betina yang galak', sebab liehiap Liu Giok Ing tidak mau dibantu dalam menghadapi 'musuh bebuyutan' itu.

Kabur Kwee Su Liang ngos-ngosan menyusuri gunung Ouw bong san, bahkan untuk waktu yang cukup lama dia umpatkan diri menghilangkan dari liehiap Liu Giok Ing, bukan sebab takut akan tetapi tidak mau dia berkelahi melawan 'macan betina yang galak' itu; sebab waktu itu dia sedang setengah mati jatuh cinta kepada Liu Giok Ing, akan tetapi merasa belum mendapat kesempatan buat menyatakan cintanya, sebaliknya dan tanpa diketahui oleh Kwee Su Liang, sejak saat itu liehiap Liu Giok Ing bagaikan merasa merana menyimpan benci tetapi rindu. Dan sekarang Kwee Su Liang menemukan Thio Hek yang terluka parah, sehingga dia memerlukan menyalurkan tenaga dalamnya, berhasil membikin ada sedikit kekuatan buat Thio Hek bicara, akan tetapi si tinggi hitam langsung ngomel-ngomel waktu mengetahui bahwa yang menolong dia adalah 'musuh bebuyutan' dari sang siao kouwnio kesayangannya.

Repot Kwee Su Liang akan tetapi berhasil dia memberikan suatu penjelasan kepada Thio Hek, bahwa sekarang dia sudah menjadi kakak angkat dari liehiap Liu Giok Ing, sedangkan Thio Hek kemudian bercerita, bahkan sampai dia mengucurkan air-mata.

Thio Hek dungu atau bodoh, akan tetapi dia merupakan seorang laki-laki yang jujur; dia memperoleh pekerjaan didalam istana pangeran Kim Lun, tugasnya dibagian dapur, cuci-piring dan belah-kayu.

Oleh karena kejujurannya itu, maka dia berkata sejujurnya waktu diajak bicara oleh ciangkun Sie Pek Hong, yang waktu itu sedang 'ngontrol' dapur mencari pelayan- sexy, sehingga diketahui oleh ciangkun Sie Pek Hong bahwa Thio Hek bekas pelayan Touw-liong cuncia yang sudah marhum, dan menjadi orang yang disayang oleh liehiap Liu Giok Ing.

Waktu hendak melaksanakan rencana yang sudah disusun matang, maka Sie Pek Hong mengajak Thio Hek yang diangkat menjadi perwira katanya, dan diberikannya seperangkat pakaian dinas, sehingga Thio Hek jadi kegirangan merasa diri gagah perkasa. Dan dia menjadi lebih girang ketika diberitahukan hendak diajak menemui sang siao kouwnio yang katanya sudah menjadi isterinya Giok Lun Hoat ong di kota raja. Jelas tidak diketahuinya bahwa tugas Sie ciangkun adalah untuk membunuh sang siao kouwnio. Setelah bertemu dengan sang siao kouwnio, bertambah girang Thio Hek dan merasa sangat berterima kasih terhadap Sie ciangkun yang dianggap sangat besar budinya; tetapi Thio Hek menjadi sangat terkejut waktu Sie ciangkun minta bantuannya bicara dan membujuk supaya sang siao kouwnio mau jadi bininya Sie ciangkun, dan siao kouwnio itu bahkan disimpan di rumah Sie ciangkun, bukan diajak bertemu dengan Kim Lun Hoat ong seperti rencana semula yang dia beritahu. Sedangkan Thio Hek turut pindah bekerja di rumah Sie ciangkun, dibagian dapur, jadi tukang cuci piring dan belah kayu; balik asal !

Thio Hek jujur merasa tak keberatan ditugaskan jadi tukang cuci piring dan tukang belah kayu; akan tetapi dia ogah diperintah membujuk sang kouwnio, sehingga dua kali dia kena hukum cambuk yang dilakukan oleh Sie ciangkun; akan tetapi ketika yang ketiga kalinya dia hendak dihukum lagi, maka dia melakukan perlawanan, tanpa setahu sang siao kouwnio tentunya.

Sudah tentu Thio Hek tidak sanggup melawan Sie ciangkun yang tinggi ilmunya, sehingga dia kabur akan tetapi dikejar Sie ciangkun yang membawa belasan anak buahnya. Terus Thio Hek diuber-uber meskipun dia sudah berteriak sambil dia lari, seperti anjing geladak yang kena pentung, sampai akhirnya dia terjatuh kedalam jurang dengan tubuh luka-luka; bekas kena pentung dan bacokan, ditambah lagi dia terbanting-banting waktu jatuh ke dalam jurang; akan tetapi menyangkut didahan pohon; berhasil ditemukan dan ditolong oleh Kwee Su Liang, akan tetapi nyawanya tetap melayang sehabis dia menceritakan semua yang diketahui, termasuk urusan pangeran Gin Lun dan pangeran Kim Lun, yang dia dengar dari pembicaraan Ma Kong berdua Ma Kiang. Jelas sudah bagi Kwee Su Liang tentang semua peristiwa yang dialami dan diderita oleh liehiap Liu Giok Ing. Jelas sang adik yang binal kena fitnah dan jelas semua perbuatan itu adalah Kim Lun Hoat-ong yang menjadi dalang, dibantu oleh ciangkun Sie Pek Hong yang biang keladi. Kasihan nasib sang adik yang binal itu, dan sang adik yang binal itu sekarang sedang dikurung didalami goa harimau !

Bertekad Bo im kiamhiap Kwee Su Liang hendak menolong sang adik yang binal itu, tidak peduli dia harus menerjang bahaya, tidak peduli dia harus menyebar maut, seorang diri dia akan menyerbu kedalam istana pangeran Kim Lun, setelah itu baru memberikan laporan kepada sri baginda maharaja.

---o~dwkz^)(^hendra~o---

SETELAH tiba di kota Oei-kee tin, Ceng hwa liehiap Liu Giok Ing merasa heran karena dia tidak langsung diajak menghadap kepada Kim Lun Hoat-ong, sebaliknya ditempatkan dirumahnya Sie Pek Hong, akan tetapi sebelum dia sempat menanya, maka dikatakan oleh ciangkun yang banyak akalnya itu, bahwa selama berada dalam keadaan berduka cita, sebaiknya liehiap Liu Giok Ing istirahat dulu dirumah ciangkun itu, untuk kemudian baru diajak menghadap sang pangeran.

Ceng hwa liehiap Liu Giok Ing menurut, terlebih setelah diketahui bahwa Thio Hek juga ikut dipindah tugasnya kerumah ciangkun Sie Pek Hong, ditempatkan dibagian dapur sebagai tukang cuci-piring dan belah-kayu; sehingga tidak banyak kesempatan buat liehiap Liu Giok Ing bertemu dan mengajak Thio Hek bicara.

Dalam suasana berduka-cita dan menyimpan dendam, terlalu banyak liehiap Liu Giok Ing harus berpikir, dan berusaha menyabarkan diri buat melakukan balas-dendam terhadap perbuatan pangeran Gin Ong. Terlalu banyak air- mata yang dia keluarkan, kalau dia teringat dengan kasih sayang suaminya. 'Suami yang malang', ini yang seringkali Liu Giok Ing ucapkan seorang diri didalam hati; selagi suaminya masih mendampingi. Tetapi setelah sekarang suaminya tewas, dia benar-benar merasakan kehilangan. Kehilangan orang yang menyintai dia dan kehilangan tempat dia bersandar, sehingga dia merasa sebatang kara. Memiliki seorang adik yang dia tidak ketahui jejaknya, sedangkan lelaki yang pernah mencuri hatinya, sudah melupakan dia.

Terasa terlalu sunyi, terlalu sepi, selagi dia merenungi nasibnya seorang diri. Cuma ciangkun Sie Pek Hong yang kadang-kadang menemani dia; mengajak dia bicara dengan menghibur, melimpahkan kata-kata manis mengandung harapan. Bukankah ciangkun Sie Pek Hong sudah menikah? Mengapa istrinya tidak diperkenalkan dan tidak ditemukan kepada dia? Sekilas terpikir oleh liehiap Liu Giok Ing tentang perwira yang baik hati itu, akan tetapi saat itu dia lebih cenderung memikirkan nasibnya sendiri, sehingga dia merasa tidak perlu memikirkan keadaan keluarga ciangkun Sie Pek Hong.

Pagi hari itu, ciangkun Sie Pek Hong mengajak liehiap Liu Giok Ing menghadap kepada pangeran Kim Lun, ada yang ingin dibicarakan oleh pangeran itu, kata ciangkun Sie Pek Hong kepada liehiap Liu Giok Ing. Dan liehiap Liu Giok Ing merasa cukup kaget, ketika menemui sang pangeran dikelilingi oleh segenap perwira dan para pembantunya, ketika Kim Lun Hoat ong menerima kedatangan liehiap Liu Giok Ing.

Kim Lun Hoat ong menyadari tidak ada kemungkinan buat dia mengharapkan kedudukan menjadi raja, sebagai pengganti ayahnya yang sudah tua. Terlalu banyak saudara- saudaranya yang lebih pandai dan lebih banyak kesempatan menjadi ahliwaris; tetapi dia bertekad ingin menjadi raja, sehingga diam-diam dia merencanakan perbuatan makar, ingin merebut pemerintahan dengan cara kekerasan.

Oleh karena itu Kim Lun Hoat ong merasa perlu menyusun kekuatan dan menyebar pengaruh, dan untuk maksud ini dia sengaja mengundang banyak orang dari kalangan rimba persilatan, khususnya dari golongan hitam yang mau mengabdi karena mengharapkan bayaran dan kedudukan; disamping Kim Lun Hoat-ong menyebar pengaruh dan menempatkan orang-orang kepercayaannya di kota-raja buat mempengaruhi sri baginda maharaja dan memperlemah kedudukan pertahanan serta mengacaukan keadaan keamanan, antara lain dengan cara membunuhi pejabat pemerintahan yang dianggap setia terhadap sri baginda maharaja, menjadi perintah yang menentang gerakannya.

Dalam usaha menyebar pengaruh, Kim Lun Hoat-ong bahkan menghubungi pihak pemerintah kerajaan Tartar, atau negara Watzu yang berkedudukan disebelah barat daya negeri cina, bahkan juga mendekati pihak pemerintah kerajaan Jepang dibagian tenggara.

Mengenai Liu Giok Ing, memang sejak lama Kim Lun Hoat-ong sudah mendengar tentang kegagahannya dan kecantikannya, akan tetapi Kim Lun Hoat-ong menjadi kecewa ketika kemudian diketahuinya Liu Giok Ing menikah dengan Giok Lun Hoat-ong yang merupakan salah seorang yang menentang niat Kim Lun Hoat-ong yang hendak merebut kekuasaan negara. Kemudian dengan siasat ciangkun Sie Pek Hong, maka dilakukan berbagai perbuatan pembunuhan dikota raja yang bahkan di dalam istana kerajaan, kemudian dengan menyebar fitnah sebagai perbuatan lie hiap Liu Giok Ing, sehingga menghasilkan tewasnya pangeran Giok Lun tanpa liehiap Liu Giok Ing mengetahui bahwa dalang perbuatan itu justeru adalah Kim Lun Hoat ong.

Dipihak liehiap Liu Giok Ing, dia merasa terkejut ketika melihat sekian banyaknya perwira yang menemani Kim Lun Hoat ong, di saat dia menghadap buat memenuhi undangan pangeran itu. Sekilas terpikir oleh liehiap Liu Giok Ing bahwa pangeran Kim Lun merasa khawatir kalau- kalau dia akan mengacau akan tetapi waktu itu liehiap Liu Giok Ing lebih terpengaruh sebab melihat diantara sekian banyaknya perwira yang mengabdi kepada Kim Lun Hoat ong, kebanyakan merupakan orang-orang yang sudah dia kenal sebagai orang-orang dari kalangan rimba persilatan golongan hitam, seperti Toan-lo sin-koay Kong Tek Liang, si tongkat sakti yang pernah merajalela sebagai begal tunggal di wilayah propinsi Siamsay sebelah utara, kemudian ada seorang imam yang liehiap Liu Giok Ing cuma kenal dengan nama Kim Wan tauw-to, yang entah dari golongan agama apa akan tetapi yang diketahui memiliki tenaga raksasa sebab dia mahir ilmu 'tay-lek kim- kong chiu'.

Jelas Ceng-hwa liehiap Liu Giok Ing tidak menyadari bahwa adalah menjadi maksud Kim Lun Hoat-ong yang hendak menyaksikan sendiri tentang kegagahan Liu Giok Ing, sehingga sengaja dia mengumpulkan perwira-perwira utama buat menghadiri pertemuan itu, ingin memberikan kesempatan kepada mereka buat 'mencoba' kemampuan Liu Giok Ing.

Didepan Ceng-hwa liehiap Liu Gok Ing, sengaja Kim Lun Hoat-ong mengucap kata-kata yang membakar semangat Liu Giok Ing buat melakukan balas dendam terhadap pangeran Gin Lun dan untuk maksud ini pangeran Kim Lun menugaskan sepasukan tentara berikut beberapa orang perwira, yang akan dipimpin oleh Liu Giok Ing dan secara menyamar melakukan penyerangan ke istana pangeran Gin Lun. Akan tetapi, seperti yang sudah direncanakan, maka Siamsay jie-liong Coa Keng dan Coa Beng yang diperintahkan melaksanakan tugas itu, perlihatkan sikap membangkang, merasa rendah diri melakukan tugas dibawah perintah liehiap Liu Giok Ing yang belum mereka ketahui tentang kemampuannya.

Siamsay jie liong Coa Keng berdua Coa-Beng merupakan lelaki muda yang menjadi keponakan murid Toanlo sin-koay Kong Tek Liang. Mereka memperoleh pekerjaan sebagai perwira muda yang mengabdi pada pangeran Kim Lun berdasarkan bantuan dari Kong Tek Liang, sehingga pangeran Kim Lun belum pernah menyaksikan tentang kepandaian dua lelaki muda itu. Jelas merupakan suatu kesempatan buat pangeran Kim Lun membuktikan kegagahan mereka, di samping kemampuan liehiap Liu Giok Ing yang belum pernah dia lihat sendiri.

“Kim Lun ong-ya, untuk membuktikan kegagahanku, sudah tentu aku bersedia melayani bertanding semua perwira yang ada disini,” liehiap Liu Giok Ing memaksa diri untuk bicara dan memakai suatu istilah 'ong-ya', selagi dia membendung rasa marah melihat sikap dua laki-laki muda yang banyak lagak ini; dan kata-kata liehiap Liu Giok Ing itu, sudah tentu membangkitkan rasa tidak puas bagi 'Toan lo sin-koay' Kong Tek Liang, juga Si imam Kim Wan tauw-to, terlebih Siamsay jie liong Coa Keng berdua Coa Beng yang merasa ditantang langsung.

Kim Lun Hoat-ong perdengarkan suara tawa, meskipun didalam hati dia ikut merasa penasaran waktu mendengar kata-kata menantang dari liehiap Liu Giok Ing; segera dia memberikan persetujuan untuk dilakukan semacam pertandingan persahabatan, dan untuk maksud ini segera disiapkan ruangan latihan untuk dijadikan tempat melakukan 'pie bu'.

Pertandingan 'pie-bu' itu dilakukan tanpa menggunakan senjata tajam, sehingga Siamsay jie-liong Coa Keng berdua Coa Beng mengerahkan ilmu 'siam-say ciang-hoat' yang khas dari golongan Siam-say sebelah utara; masing-masing bergerak dari sebelah kiri dan sebelah kanan liehiap Liu Giok Ing. Akan tetapi dengan pergunakan kegesitan dan kelincahan gerak tubuhnya, dengan mudah liehiap Liu Giok Ing dapat menghindar dan membebaskan diri dari serangan dua-saudara itu.

Coa Keng yang kakak Coa Beng merasa gusar. Dengan gerak 'poan-liong jiauw-po' atau naga bertindak, dia bergerak cepat menyusul kearah samping kanan Liu Giok Ing, lalu dengan gerak 'oiw-liong jiauw-cu' atau naga hitam melibat tiang, sepasang lengannya bergerak bagaikan ingin merangkul pinggang yang langsing dari Liu Giok Ing, sebab dia bermaksud menghancurkan tulang pinggang Liu Giok Ing.

Akan tetapi, sekali lagi Liu Giok Ing bergerak dengan perlihatkan kelincahan gerak tubuhnya menghilangkan Coa Keng yang sedang menyerang, sebaliknya dengan jurus 'sin chiu pa-houw atau tangan sakti menggempur macan, ditangkis serangan tangan Coa Beng yang ikut melakukan penyerangan, sehingga membikin Coa Beng berteriak kesakitan, sampai tiga langkah dia terdorong mundur kebelakang.

Untung bagi Coa Beng bahwa liehiap Liu Giok Ing tidak sempat meneruskan melakukan penyerangan, sebab Coa Keng sudah bergerak mengulang melakukan penyerangan, memakai gerak-tipu 'tui-chung bong-goat' mendorong daun jendela ingin melihat bulan; sehingga sekali lagi liehiap Liu Giok Ing bergerak menghindar dari sepasang kepalan tangan Coa Keng, namun sebelah kaki Coa Keng kena dibagian betis sehingga Coa Keng ikut berteriak kesakitan seperti adiknya, bahkan sampai dia melangkah terpincang- pincang.

Toan-lo sin-koay Kong Tek Liang berteriak seperti guntur, tubuhnya bergerak lompat mendekati liehiap Liu Giok Ing, sementara sebelah kepalan tangannya menghantam bagian kepala dengan gerak-tipu 'tay-san ap- teng' atau gunung tay-san menindih, sedangkan sebelah tangan kanannya ikut bergerak menyerang memakai gerak- tipu ‘ki-hwee siauw-hoan' atau angkat-obor membakar langit; sehingga dengan demikian sekaligus dia dapat melakukan penyerangan memakai dua jurus maut. Akan tetapi, waktu dilihatnya Liu Giok Ing bergerak menghindar dengan perlihatkan kelincahan tubuhnya, maka Kong Tek Liong menendang memakai kakinya.

“Bagus !” seru Liu Giok Ing, sementara tubuhnya dengan lincah dan kelihatan ringan, lompat tinggi sampai melewati kepala Kong Tek Liang, sehingga dua-lawan ini saling berdiri membelakangi, akan tetapi dengan cepat Toan-lo sin-koay Kong Tek Liang sudah memutar; disaat Liu Giok Ing juga ikut memutar tubuh. Lalu Kong Tek Liang melakukan dua serangan maut seperti tadi, akan tetapi kali ini mengarah bagian dada dan iga. Dua serangan maut secara berantai memakai jurus beng-houw kwie-san atau harimau galak pulang ke gunung, dan 'sam yang kay- tay' atau sembahyang permulaan tahun.

Sekali lagi Liu Giok Ing mengeluarkan suara memuji, sedangkan semangat tempurnya menjadi bangkit karena merasa menghadapi lawan yang cukup kuat.

Dengan menggunakan gerak tipu 'pek-pie leng wan' atau kera seratus tangan; Liu Giok Ing melakukan perlawanan menghalau setiap serangan Toan lo sin koay Kong Tek Liang, bahkan sepasang kakinya secara silih berganti sempat balas menendang; mengerahkan ilmu wan-yo lian- hoan tui'; atau tendangan berantai burung wanyo.

Dengan ilmu menendang secara berantai itu, sempat Liu Giok Ing membikin lawannya repot harus menghindar, bahkan berhasil membikin tubuh Kong Tek Liang sampai bergulingan dilantai seperti keledai malas mandi di pasir, lalu secara tiba-tiba tubuhnya lompat melesat seperti ikan gabus meletik ( 'lee-hie ta-teng' ), sementara dengan jurus 'sin liong tam jiauw' atau naga sakti perlihatkan kuku, maka ke sepuluh jari-jari tangannya tegang bagaikan cakar naga hendak mencengkeram bagian dada Liu Giok Ing, berhasil membikin Liu Giok Ing menghentikan serangan tendangannya, bahkan dia harus lompat mundur buat menghindar dari serangan lawan yang berlaku nekad !

Sekali lagi Toan-lo sin-koay Kong Tek Liang berteriak sekeras bunyi suara guntur, oleh karena untuk yang kesekian kalinya serangannya tidak mencapai sasaran; apalagi waktu liehiap Liu Giok Ing memperlihatkan jurus ilmu kesaktiannya yang berupa kim eng liuhie' atau kenari kuning bermain dicabang pohon yang-liu, sehingga terasa sukar buat Kong Tek Liang melakukan penyerangan, sebab gerak tubuh liehiap Liu Giok Ing amat pesat dan gesit.

Siamsay jie liong Coa Keng berdua Coa Beng ingin bergerak membantu paman guru mereka, akan tetapi sekilas pandang mata mereka bertemu dengan Kim Lun Hoat-ong yang kelihatan seperti bersenyum memuji kegagahan liehiap Liu Giok Ing; sehingga batal Coa Keng berdua Coa Beng memberikan bantuan buat mengepung liehiap Liu Giok Ing.

Sementara itu Toan lo sin koay Kong Tek Liang merasa kecewa dan penasaran karena tidak dapat mengalahkan liehiap Liu Giok Ing. Baru sekarang dia menyadari betapa kegagahan dan kelincahan tubuh Liu Giok Ing sehingga dalam hati dia mengeluh sebab tidak mendapatkan kesempatan buat perlihatkan ilmu tongkatnya yang sakti, mengingat perjanjian dalam pie-bu itu tidak diperkenankan memakai senjata. Dua kali dia nyaris kena pukulan tangan liehiap Liu Giok Ing, dan berulangkali dia harus bergulingan menggunakan ilmu 'keledai malas mandi dipasir' buat menghindar dari tendangan kaki liehiap Liu Giok Ing; bahkan berulangkali sia-sia dia berusaha balas menendang sambil rebah bergulingan, atau hendak menangkap kaki liehiap Liu Giok Ing yang sedang menendang, menggunakan ilmu 'tee-tong-kun' selagi tubuhnya masih bergulingan dilantai.

Kelihatannya bagaikan tidak ada kesempatan buat Kong Tek Liang bangkit berdiri, tetapi tak sia-sia pengalamannya yang puluhan tahun menjelajah dikalangan rimba persilatan. Walaupun umurnya sudah mendekati lima puluh tahun, akan tetapi tubuhnya masih lincah dan gesit; sehingga disuatu saat Kong Teng Liang perdengarkan suara menggeram bagaikan seekor lembu-hutan, lalu tubuhnya lompat bangun dan menyeruduk badan liehiap Liu Giok Ing bagaikan lembu hutan yang mau pulang ke-goa, oleh karena dia bergerak memakai jurus 'ya-gu-kwie-tong. Akan tetapi waktu liehiap Liu Giok Ing berkelit menyingkir, lalu sebelah tangannya liehiap Liu Giok Ing hendak memukul memakai gerak-tipu 'ke-san pa houw, diantara gunung memukul harimau; maka sepasang tangan Kong Tek Liang bergerak bagaikan mengibas, menggunakan jurus kek-bok cong-po' atau mengangkat kepala mengawasi gelombang, sehingga sempat Kong Tek Liang menangkis mengakibatkan tangan-tangan mereka saling bentur, membikin liehiap Liu Giok Ing terdorong kesamping, sedangkan tubuh Kong Tek Liang terjerumus hampir jatuh. Dengan demikian, dalam hal tenaga dalam ternyata liehiap Liu Giok Ing dapat menandingi Toan lo sin-koay Kong Tek Liang !

Bertepatan pada saat itu, Kim Lun Hoat ong berteriak perdengarkan suaranya, memerintah pie bu itu dihentikan, sebab pangeran itu merasa cukup sudah menyaksikan kegagahan liehiap Liu Giok Ing; tanpa pangeran itu menghiraukan Kim Wan tauw-to perlihatkan muka tidak puas, sebab si imam belum mendapatkan giliran untuk mengadu kepandaian dengan liehiap Liu Giok Ing. Setelah menyudahi acara pie-bu itu, maka Kim Lun Hoat-ong mengajak liehiap Liu Giok Ing bicara; cuma ditemani oleh ciangkun Sie Pek Hong. Dalam pembicaraan itu mereka menyusun rencana buat melakukan penyerangan secara rahasia terhadap istana pangeran Gin Lun, tanpa pihak pangeran Gin Lun akan mengetahui bahwa penyerangan itu dilakukan oleh orang-orang dari pihak Kim Lun Hoat ong.

Ceng hwa liehiap Liu Giok Ing menyetujui usul itu, oleh karena yang dia pikirkan adalah urusan membalas dendam suaminya yang tewas sebagai akibat dari perbuatan pangeran Gin Lun yang telah memfitnah dia.

Akan tetapi, selagi rencana penyerangan terhadap istana pangeran Gin Lun belum sempat dilaksanakan; maka Bo- im kiamhiap Kwee Su Liang sudah memasuki kota Oei-kee tin; bahkan berhasil memperoleh keterangan bahwa liehiap Liu Giok Ing sudah mengabdi kepada Kim Lun Hoat-ong dan untuk sementara liehiap Liu Giok Ing masih berkediaman dirumah ciangkun Sie Pek-Hong.

Bo-im kiamhiap Kwee Su Liang merasa sangat cemas memikirkan nasib sang adik yang binal, sebab dia cukup mengetahui tentang ciangkun Sie Pek Hong yang dahulu pernah melarikan diri dari kota raja, sebagai akibat perbuatan serong yang dilakukan terhadap salah seorang selir sri baginda maharaja. Jelas Sie Pek Hong merupakan seorang laki-laki perayu yang sangat berbahaya buat kaum wanita yang lemah !

Disamping itu, Kwee Su Liang juga sudah mengetahui tentang perbuatan Kim Lun Hoat ong yang telah memfitnah Liu Giok Ing, sehingga terjadi kesalahan mengerti antara pihak Liu Giok Ing dengan pihak pangeran Gin Lun, yang bahkan sampai terjadi pangeran Giok Lun tewas dan sang adik yang binal menjadi seorang janda muda.

Oleh karena itu Kwee Su Liang merasa perlu untuk bertemu dan mengajak bicara Liu Giok Ing, memberikan penjelasan agar salah mengerti itu jangan makin mendalam, sebab musuh yang sebenarnya adalah Kim Lun Hoat ong, yang didalam hal ini dibantu oleh ciangkun Sie Pek Hong!

Waktu memasuki kota Oei-kee tin, sengaja Bo im kiamhiap Kwee Su Liang berpakaian semacam orang-orang yang biasa berkelana di kalangan rimba persilatan; tidak memakai pakaian dinas sebagai pejabat pemerintah. Dia bahkan sengaja memilih sebuah tempat penginapan yang letaknya tidak jauh terpisah dengan gedung tempat kediaman ciangkun Sie Pek Hong, yang kelihatannya dijaga ketat seperti tempat kediaman seorang jenderal. Malam sudah cukup larut waktu Bo-im kiamhiap Kwee Su Liang mendatangi gedung tempat kediaman ciangkun Sie Pek Hong. Bo-im kiamhiap Kwee Su Liang bergerak cepat dan ringan bagaikan tidak meninggalkan bayangan, hingga tidak sukar buat dia melewati barisan penjagaan yang ketat hingga tanpa pihak yang bertugas menjaga mengetahui tentang kedatangannya. Akan tetapi untuk mengetahui dimana tepatnya tempat atau kamar yang dihuni oleh liehiap Liu Giok Ing ternyata tidak mudah buat Kwee Su Liang mengetahui. Bangunan gedung milik ciangkun Sie Pek Hong ternyata cukup besar dan luas, bahkan banyak terdapat ruangan dan kamar, sampai tiba-tiba ada dua orang peronda yang sempat melihat Kwee Su Liang yang sedang mengintai dekat jendela sebuah kamar.

Dua orang peronda itu tidak memiliki ketabahan untuk melakukan penangkapan, tetapi mereka segera perdengarkan bunyi alat tabuhan mereka, sehingga dalam waktu sekejap terdengar suara ribut-ribut karena banyaknya tentara yang datang mendekati, siap dengan senjata mereka.

Bu-im kiamhiap Kwee Su Liang merasa tidak ada gunanya bertempur dengan pihak tentara yang bertugas menjaga, sehingga dia melesat lompat keatas genteng hendak menghindari tempat itu. Akan tetapi dua bersaudara Ma Kong dan Ma Kiang ikut lompat naik ke atas genteng, bermaksud mengejar; sedangkan Ma Kiang bahkan melepas sebatang pisau mengarah bagian punggung Kwee Su Liang.

Dengan sebuah sampokan memakai pedang yang masih berada didalam sarungnya, Kwee Su Liang menangkis pisau yang mengarah bagian punggungnya; sehingga pisau itu terlempar hilang entah kemana, kemudian sebelah kaki langsung menendang Ma Kong yang sedang terbang dan hinggap didekat dia, membuat tubuh Ma Kong yang cukup besar terlempar balik, melayang turun dari atas genteng.

Ma Kiang berteriak marah melihat kakaknya menjadi pecundang sebelum terjadi perkelahian. Dia langsung menyerang memakai goloknya, bergerak bagaikan hendak membelah gunung tay-san; akan tetapi dengan mudah Kwee Su Liang berkelit menyingkir, membikin golok Ma Kiang membelah angin, sementara kaki kanan Kwee Su Liang bergerak menendang lagi dan kena bagian betis Ma Kiang, sehingga Ma Kiang roboh terguling diatas genteng, bahkan terus terguling sampai menyangkut dekat tiang kaso. Ceng hwa liehiap Liu Giok Ing ikut lompat keatas genteng, selekas diketahuinya ada seseorang yang datang mengacau. Tubuhnya bergerak lincah dan sangat ringan bagikan seekor burung walet menembus angkasa sedangkan sepasang kepalannya langsung menyerang Kwee Su Liang memakai jurus 'tong cu cin hian' (kacung-dewa sembahyang) akan tetapi sepasang kepalannya itu mendadak bagaikan berontak, ketika diantara sinar remang- remang dilihat orang yang diserangnya.

“Moay-moay, aku ..." ingin Kwee Su Liang mengucap kata-kata memberikan penjelasan tentang maksud kedatangannya, akan tetapi Liu Giok Ing mendadak marah sampai merah sepasang matanya.

Kembali jiwa Liu Giok Ing berobah seperti dulu, lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Pemarah dan mudah tersinggung.

Mengapa secara mendadak Kwee Su Liang muncul dihadapannya ? Pertanyaan ini yang sekilas menghantui dia, dan terpikir olehnya bahwa Kwee Su Liang yang bertugas jauh di perbatasan, pasti telah dipanggil oleh sri baginda raja, dipanggil dan ditugaskan buat menangkap dia.

(“Kwee Su Liang, mengapa kau masih kesudian mengabdi kepada raja yang lalim itu?” ) liehiap Liu Giok Ing mengeluh di dalam hati, bagaikan merasa kecewa dan putus asa, sebab mendadak dia pun teringat dengan Kanglam liehiap Soh Sim Lan yang kesudian mengabdi kepada pangeran Giok Lun. Jelas mereka yang dianggap kawan, bahkan yang dicintai; sekarang menantang dia.

Dengan geraknya yang begitu cepat, tanpa sempat dilihat oleh seseorang; liehiap Liu Giok Ing menghunus pedang Ku tie kiam, lalu secepat itu juga dia menyerang Kwee Su Liang dengan suatu tikaman yang mengarah bagian hati, bagaikan seekor naga hendak merebut mutiara.

“Moay-moay, tunggu ...!'' Kwee Su Liang berteriak dengan kaget selagi dia melompat menghindar dari tikaman; tetapi liehiap Liu Giok Ing mengulang melakukan penyerangan bagaikan dia tidak mendengar teriak suara Kwee Su Liang.

Kwee Su Liang bergegas menghindar lagi, akan tetapi waktu dia hendak mengucap kata-kata, sempat dilihatnya Ma Kong berdua Sie Pek Hong ikut mendekati tempat itu, sehingga dengan mengerahkan ilmu 'bo in sin-kang dia melompat menghilang bagaikan asap yang menghilang diudara, lalu pada lompatan berikutnya dia tinggalkan gedung tempat kediaman ciangkun Sie Pek Hong, tanpa dia menghiraukan Sie Pek Hong berdua Ma Kong mengejar.

---o~dwkz^)(^hendra~o---

SEORANG diri didalam kamarnya liehiap Liu Giok Ing rebah tengkurap diranjang dan menangis.

“Kwee Su Liang ... Kwee Su Liang .. berulangkali dia menyebut nama itu perlahan. Kwee Su Liang yang sudah 'mencuri' hatinya; Kwee Su Liang yang dicintai, meskipun setelah menjadi isterinya pangeran Gin Lun dan Kwee Su Liang menikah dengan lain perempuan. Tetap Liu Giok Ing tidak bisa melupakan Kwee Su Liang, sebaliknya mengapa Kwee Su Liang mau menangkap dia, untuk memenuhi tugas perintah sri baginda yang lalim itu?

Mengapa Kwee Su Liang terlalu kejam kepada yang mencintai ?

Dan Liu Giok Ing mengalirkan air mata, menangis karena teringat dengan Kwee Su Liang, sekaligus dia pun teringat dengan almarhum suaminya, yang begitu besar kasih-sayangnya; namun yang dia anggap cuma sebagai suatu tempat pelarian, tempat dia merana mengalirkan air mata. Sedangkan kasih sayang suaminya yang begitu besar, dia anggap sebagai kasih sayang seorang ayah yang menghibur dia. Betapa sekarang menyesalkan, menyesal bahwa dia tidak bisa menghapus bayang-bayang Kwee Su Liang, dan menyerahkan hatinya kepada suaminya.

Sia-sia sekian lamanya dia menyimpan rasa-cinta terhadap Kwee Su Liang, sebab ternyata laki-laki itu sedikitpun tidak memikirkan dia. Memiliki kedudukan baik sebagai gubernur yang menguasai daerah perbatasan, memiliki seorang isteri yang cantik dan gagah-perkasa; sebaliknya dia yang sekian lamanya hidup bagaikan merana, kini bagaikan sebatang kara kehilangan suami.

Justeru selagi liehiap Liu Giok Ing merasa sedih memikirkan nasibnya, maka tiba-tiba didengarnya ada seseorang yang mengetok pintu kamarnya.

Dihapusnya air matanya yang membasahi mukanya, juga dirapihkannya rambutnya yang tadi dia biarkan lepas terurai; setelah itu dia membuka pintu dan mengetahui bahwa ciangkun Sie Pek Hong yang melakukannya.

“Maaf; aku ... aku tidak berhasil mengejar penjahat yang datang mengacau tadi, dan apakah liehiap tidak apa-apa ?" kata Sie Pek Hong, terdengar gugup suaranya.

---o~dwkz^)(^hendra~o---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar