Pedang Ular Emas Bab 12

Bab ke 12

"Siapa kesudian pedang patah itu!" Ceng Ceng bilang. Semua orang pun heran.

"Aku bukan pertaruhkan pedangnya saja!" Sun Tiong Kun berteriak memberi keterangan. "Aku juga bertaruh tiga lawan satu! Begini: Umpama kata ini bocah yang beruntung memperoleh kemenangan, kau boleh tusuk aku tiga kali, akan tetapi sebaliknya apabila dia yang kalah, dengan pedang buntung ini, aku nanti tikam kau satu kali saja! Kau mengerti sekarang?"

Kembali semua orang merasa heran, apapula dipihak tuan rumah. Itu adalah pertaruhan yang mereka belum pernah mengalami, walaupun banyak diantara mereka adalah jago-jago ulung. Antaranya ada yang sudah meleletkan lidah terlebih dahulu.

Ceng Ceng tertawa dengan manis sekali, sikapnya wajar. "Kau begini cantik-molek, mana tega aku untuk tikam

padamu?" berkata dia. Tentu saja itu hanya ejekan belaka.

Lau Pwee Seng jadi sengit.

"Bocah kurang ajar, jangan ngaco-belo!" dia membentak. Ceng Ceng tidak gusar, dia tertawa terus.

Sun Tiong Kun awasi Ciau Kong Lee serta semua orangnya.

"Tadinya aku percaya Kim Liong Pang sedikitnya mempunyai beberapa orang liehay, siapa tahu buktinya sekarang semuanya terdiri dari segala perempuan, segala bantong!"

Ciau Wan Jie tidak dapat antap orang pentang bacot lebar. "Kalau perempuan, bagaimana?" tanya dia. "Aku terima tantanganmu!"

Empat atau lima muridnya Ciau Kong Lee lantas berbangkit.

"Sumoay, kita juga turut bertaruh!" kata mereka. "Tidak usah, cukup aku sendiri!" Wan Jie menolak. Sun Tiong Kun tertawa mengejek.

"Baik!" berseru dia. "The Tocu, sukalah kau menjadi saksi!"

The Kie In adalah kepala bajak yang tak segan membunuh orang, akan tetapi menghadapi ini macam pertaruhan, hatinya toh giris.

"Nona. Nona," katanya, untuk mencegah, "jikalau kamu hendak bertaruh, baiklah kamu gunai segala yancie atau pupur, buat apa kamu pakai cara ini?"

Wan Jie mendahului menjawab: "Dia telah babat kutung sebelah tangannya Lo Sukoku, maka sebentar aku hendak bikin picak kedua matanya!"

Mendengar begitu, The Kie In lantas tutup mulut. Bwee Kiam Hoo, dengan dingin turut bicara.

"Nona Ciau, kau baik sekali terhadap muridnya Kim Coa Long Kun," ia menjindir, "sehingga kau sudi menggantikan jiwanya. "

Merah mukanya nona Ciau itu tapi ia dapat menahan sabar.

"Kau sendiri hendak bertaruh atau tidak?" ia tanya. Ia menantang. Ceng Ceng pun gusar terhadap orang Hoa San Pay itu.

Maka ia menyelah.

"Kasihlah aku yang bertaruh dengan Bu-eng-cu!" katanya.

"Kau hendak bertaruh apa?" tanya Kiam Hoo.

"Aku juga hendak bertaruh tiga lawan satu!" jawab nona ini.

"Ya, bertaruh apa?" Kiam Hoo tegasi.

"Jikalau dia kalah, disini juga dimuka umum aku nanti panggil engkong tiga kali padamu," jawab Ceng Ceng. "Jikalau dia yang menang, untukmu cukup memanggil aku satu kali saja!"

Mendengar ini, semua orang, kawan dan lawan, pada tertawa. Semua orang anggap "pemuda" ini benar-benar nakal.

"Siapa mau bergurau denganmu?" kata Kiam Hoo. "Mari kita nantikan saja, apabila dia yang menang, aku nanti minta pengajaran dari kau!"

Masih Ceng Ceng menggoda.

"Dengan begitu, sebatangmu itu menjadi terlebih liehay daripada Liang Gie Kiam-hoat dari Bu Tong Pay!. "

katanya.

"Aku dari Hoa San Pay," Kiam Hoo kasi keterangan. "Mereka itu benar dari Bu Tong Pay. Sesuatu kaum mempunyai ilmu kepandaiannya sendiri, jangan kau mencoba mengadu dan merenggangkan kami!"

Tong Hian jadi jemu mendengari orang adu mulut saja. "Sudah, cukup!" ia berseru. "Eh, bocah, kau lihat!"

Ia bicara kepada Sin Cie, yang ia segera serang pula. Perbuatan ini diturut oleh Bin Cu Hoa, yang terus menikam dengan kakinya maju menginjak apa yang dinamai pintu "hong-bun".

Mereka berdua menggunai masing-masing tangan kiri dan kanan, untuk bergerak menuruti garis-garis patkwa delapan kali delapan menjadi enam puluh empat, gerakannya saling menghidupkan, saling mematikan juga, sambaran anginnya bersiur-siur.

Ketika dahulu Kim Coa Long-kun rundingkan ilmu pedang dengan Uy Bok Toojin dari Bu Tong Pay itu, dia telah hunjuk bahwa Liang Gie Kiam-hoat masih ada bagian-bagiannya yang lemah, akan tetapi imam itu percaya benar ilmu pedang ciptaannya itu, ia bersikap kukuh, sehingga ia kata: "Taruh kata benar masih ada kelemahannya pada ilmu pedangku ini akan tetapi di kolong langit ini tidak ada orang yang sanggup memecahkannya." Atas pengutaraan itu, Kim Coa Long- kun tidak bilang apa-apa.

Kemudian, ketika Ngo-cou dari Cio Liang Pay seterukan Kim Coa Long-kun, diantara orang-orang liehay yang mereka undang untuk membantu pihak mereka, ada juga ahli-ahli pedang dari Bu Tong Pay, diwaktu menghadapi mereka ini, Kim Coa Long-kun tahu pasti bagaimana mesti melayani diaorang itu. Benar saja, dalam beberapa gebrak saja, ia telah berhasil pecahkan Liang Gie Kiam-hoat. Didalam Kim Coa Pit Kip, tentang Liang Gie Kiam-hoat itu ditulis jelas, kelemahannya, cara menyerangnya, maka itu sekarang Sin Cie tidak berkuatir sama sekali. Demikian, atas serangan, dia berkelit, terus dia main berkelit saja, dia gunai kegesitannya, kelicinannya.

Tong Hian Toojin dan Bin Cu Hoa merangsek terus, satu tikaman demi satu tikaman, akan tetapi sampai beberapa jurus, tidak juga mereka berhasil dapat menikam lawan

519 yang muda belia itu, sehingga selain mereka sendiri, para penonton pun menjadi heran, rata-rata orang mengagumi si anak muda.

"Ilmu entengkan tubuh dari anak muda ini benar-benar sempurna, boleh jadi sekali benarlah dia ada murid Kim Coa Long-kun," menyatakan Cit-cap-jie-to Tocu The Kie In kepada Sip Lek Taysu, pendeta dari Siau Lim Sie.

Pendeta itu manggut-manggut.

"Dalam angkatan muda ada orang liehay sebagai dia, sungguh jarang didapat," ia menyatakan akur.

Pertempuran berjalan semakin seru, karena Bin Cu Hoa telah jadi semakin sengit. Satu kali ia injak garis tiong- kiong, ia tikam dada lawannya. Tong Hian Toojin dilain pihak menusuk kekiri, untuk disusul sama tikaman kearah kanan.

Sin Cie kena terjepit, tak ada lowongan lagi untuk ia egos tubuhnya. Akan tetapi ia tidak gugup, ia tidak kehabisan daya. Dengan tiba-tiba saja ia mendak, sebelah kakinya dimajukan. Ia mendak demikian rendah, kepalanya pun dikasi tunduk, maka tahu-tahu kepalanya itu sudah seruduk perutnya Cu Hoa. Ia masih tidak gunai tenaga penuh tetapi jago Bu Tong Pay itu terpelanting mundur, terhujung- hujung, hampir dia rubuh terjengkang.

Tong Hian Toojin terperanjat, untuk cegah kawannya nanti diserbu, dia merangsek, dia menyerang beruntun- runtun hingga tiga kali, selama mana, Sin Cie kembali main mundur atau berkelit.

Bin Cu Hoa pertahankan diri, ia gusar tak kepalang. "Binatang," ia mendamprat. Sin Cie berkelahi dengan sikap damai, ia masih mengharap untuk redakan ketegangan, supaya terciptalah perdamaian, akan tetapi Cu Hoa damprat ia secara demikian, tiba-tiba saja hawa-amarahnya naik.

"Jikalau aku tidak perlihatkan kepandaianku, akan tindih mereka ini, urusan sukar dibereskan," pikir dia. "Aku pun mesti cari ketika untuk hadapi Tiang Pek Sam Eng, jikalau tidak, pasti orang tidak akan tunduk kepadaku. "

Maka ia lantas mencelat kesamping meja, akan sambar cawannya sendiri, untuk segera cegluk isinya, sesudah mana, ia berseru berulang-ulang: "Lekas, lekas serang aku, aku masih belum dahar kenyang!"

Kemurkaan Bin Cu Hoa bertambah-tambah, terang sekali orang telah sangat menghina dia. Dalam murkanya itu, ia perhebat serangannya sehingga pedangnya perdengarkan angin menderu-deru.

"Bin Sutee, sabar!" Tong Hian peringati. "Dia sedang pancing hawa-amarahmu!"

Cu Hoa insyaf, maka ia jadi sabar pula. Tapi berdua, mereka terus menyerang dengan keras, mereka tetap merangsek, cahaya pedang mereka berkelebatan seperti mengurung tubuh lawan.

Lagi beberapa jurus telah dikasi lewat. Dengan mendadak, dengan kelicinannya, Sin Cie dapat loncat keluar kepungan, untuk letaki cangkirnya diatas meja.

"Adik Ceng, tambahkan arakku!" ia teriaki kawannya. "Baik!" jawab Ceng Ceng.

Sin Cie sambar sebuah kursi, ia sendiri berdiri ditepi meja, dengan kursi itu, ia rintangi pelbagai tusukan pedang, sampai si nona sudah isikan cawannya, Baru ia sambar cawan itu, lalu melepaskan kursinya, ia lompat pula ketengah ruangan. Disini ia makan ayamnya.

"Memang pada dasarnya Liang Gie Kiam-hoatmu ini ada bagiannya yang lemah," berkata dia, "sudah begitu, tidak sempurna kamu menjalankannya, maka bagaimana dapat kamu melukai aku?" Ia hirup araknya. "Ketika kau masih kecil, guruku suruh aku membuat karangan. Sekarang aku sedang bergembira, mau juga aku membuat karangan pula!"

"Bocah, lihat pedang!" Tong Hian berseru. Tapi ia tidak menyerang.

"Utusan Kim Coa Long-kun sambil tertawa melayani berkelahi dua si tolol," Sin Cie terusi godaannya, untuk membangkitkan hawa-amarah mereka.

Ceng Ceng tertawa.

"Toako, apakah katamu?" tanyanya. "Itulah kalimat karanganku," sahut Sin Cie.

"Baik!" kata si nona. "Hayo kau membacakannya, aku akan mengingatinya, sebentar aku nanti buat catatannya."

Nona ini tahu maksud kawannya itu, ia pun melayaninya.

"Pedang mustika itu adalah senjata untuk membunuh manusia," Sin Cie lantas menyebutkan karangannya. "Dan tolol adalah lain gelarannya si dungu. Satu ketololan membuat berubah orang empunya wajah muka, dua ketololan bisa membikin orang tertawa terpingkal-pingkal sambil menekan perut, akan tetapi dua si tolol yang memainkan pedangnya dengan niatan membunuh orang, dia membuat aku menyemburkan arak hingga air mataku keluar hingga aku berseru panjang!" "Semburkan arak, keluarkan air mata, bagian itu perlu ditandai koma dan titik," Ceng Ceng bilang.

Sementara itu Sin Cie telah berkelit dari tiga tusukan berbareng dari kedua lawannya, tidak pernah ia balas menyerang, ia main egos tubuh atau melejit saja.

"Aku adalah utusan Kim Coa Long-kun," ia lanjutkan, "aku suka tempatkan diriku sebagai si pendamai Lou Tiong Lian, akan tetapi tuan berkukuh, tak mau sadar, terus- terusan mengacau saja, hingga karenanya di empat penjuru, semua tuan-tuan telah menunda cawannya, untuk menonton pertempuran. Sementara itu tiga pengkhianat bimbang dan berduka hatinya, mereka memikirkan cara bagaimana mereka bisa meluputkan diri dari ancaman bencana! Mereka itu justru harus dihajar rubuh!. "

Dengan tiba-tiba saja, Sin Cie menimpuk Bin Cu Hoa dengan paha ayam yang tadi ia jepit dengan sumpitnya, sumpitnya itu segera dipakai menyambut-menjepit pedangnya Tong Hian yang dipakai menikam dia. Dia menjepit dengan keras, lantas ia menyempar dengan keras juga.

"Lepaskan pedangmu!" dia pun berseru.

Berbareng dengan seruan itu, pedangnya Tong Hian kena tertarik hingga terlepas dari tangannya dan jatuh kelantai, si imam sendiri sampai jatuh terjerunuk karena ia mencoba menahannya. Karena ini, berbareng kaget dan malu, ia menyerang dengan tangan kanannya, ia menyapu dengan kaki kirinya. Ia pikir akan gunai saat itu untuk rebut kemenangan!

Sin Cie menjejak dengan kedua kakinya, tubuhnya mencelat, akan menyingkir dari ancaman bahaya itu, berbareng dengan itu, cangkir araknya terbang melayang, karena dengan itu ia menimpuk kepada Bin Cu Hoa,

523 mengenai tepat jalan darah kiok-cie-hiat tangan kiri dari orang she Bin itu, hingga segera dia ini merasakan tangannya itu baal, hingga pedangnya terlepas dari cekalan dan terlepas seketika. Menyusul itu dengan satu sambaran "Han yap ok cui" atau "Gowak menyambar air", ia jumput kedua pedangnya lawan, untuk ia cekal dengan kedua tangannya, sembari pentang itu, ia berseru: "Kamu belum pernah lihat satu orang mainkan Liang Gie Kiam-hoat bukan? Nah, sekarang saksikanlah dengan perdata!"

Pemuda ini segera juga bersilat seorang diri ditengah- tengah ruangan itu, ia menyerang kekiri, ia menyerang kekanan, ia membela dikiri, sesuatu jurusnya benar-benar cocok sama ilmu pedang Liang Gie kiam-hoat yang disebutkan itu, gerakan kedua pedangnya itu nampak kusut sekali, akan tetapi toh, sesuatunya sangat membahayakan pihak lawan.

Tidaklah aneh jikalau angkatan muda yang hadir disitu menjadi terheran-heran, tetapi juga Sip Lek Taysu, Twie- hong-kiam Ban Hong, The Kie In, Tiang Pek Sam Eng, Thio Sim It dari Kun Lun Pay dan rombongan Bwee Kiam Hoo dari Hoa San Pay, turut mendelong juga. Inilah pemandangan yang tak pernah mereka sangka-sangka.

Kedua pedang berseliweran, cahayanya yang mengkilap berkredepan, anginnya menyambar-nyambar tidak berhentinya. Dan ketika enam puluh empat jurus telah habis dijalankan, terdengar seruannya si anak muda, kedua pedang itu melesat keatas, nancap di penglari wuwungan rumah, nancap dalam sekali!

Itulah ilmu timpukan pedang Hoa San Pay warisan istimewa Pat-chiu Sian Wan, yang Sin Cie dapat pelajarkan dengan sempurna.

Sampai disitu, Barulah pemuda ini undurkan diri. Ruang pesta atau pertempuran itu jadi bergemuruh dengan sorakan dan tepukan tangan riuh, karena kawan maupun lawan, semua memujinya.

Kapan gemuruh mulai reda, terdengarlah seruan gembira dari Ceng Ceng seorang, suaranya nyaring dan terang: "Ha- ha! Bakal ada orang memanggil engkong padaku!"

Bwee Kiam Hoo, yang berdiri dengan pegangi pedangnya, bermuka merah-biru, saking mendongkol dan malu.

The Kie In lantas saja tertawa.

"Nona Ciau, kau telah menang, kau terimalah ini!" berkata dia, yang dorong emas goanpo diatas meja kepada Ciau Wan Jie.

Nona itu memberi hormat.

"The Pehhu, aku akan wakilkan kau memberi persen," katanya. Lantas dia kata dengan suaranya yang nyaring: "Disini ada uang banyaknya sembilan ribu tail! Inilah uangnya The Tocu yang dibuat bertaruh secara main-main denganku! Tuan-tuan telah datang dari tempat yang jauh sekali, menyesal tak dapat kami dari Kim Liong Pang melayaninya dengan sempurna, kami malu sekali, maka itu, dengan jalan ini kami hendak 'pinjam bunga untuk menghormati Sang Buddha'. Kamu semua pengiring dari pelbagai cianpwee, mamak dan paman, kanda dan kakak, kamu masing-masing, seorangnya, aku akan hadiahkan banyaknya seratus tail! Hadiah ini besok hari aku akan perintah orangku mengantarkannya kehotel kamu masing- masing!"

Dipihak tetamu, orang puas dengan cara penyelesaiannya pihak Kim Liong Pang ini, akan tetapi Bin Cu Hoa dan Tong Hian Toojin, yang kena dipecundangi, tampangnya lenyap cahaya terangnya. Mereka malu dan mendongkol bukan main.

Habis puterinya bicara, Ciau Kong Lee hadapi para tetamunya.

"Dahulu hari itu, karena perangaiku keras dan perbuatanku semberono, aku telah kesalahan tangan hingga mencelakai kandanya Bin Jie-ko," berkata dia. "Kejadian itu sesungguhnya membuat aku malu dan menyesal, maka itu sekarang dihadapan semua enghiong yang hadir disini, aku hendak menghaturkan maaf kepada Bin Jieko. Wan Jie, kau beri hormat pada Bin Siokhu."

Sembari membilang demikian, Kong Lee sendiri menjura pada Bin Cu Hoa, yang sejak tadi berdiri diam saja.

Wan Jie turut titah ayahnya, malah sebagai yang termuda, ia memberi hormat sambil paykui.

Bin Cu Hoa balas kehormatan itu. Mereka telah membuat janji, ia kalah, ia mesti menetapi janji itu. Pun, dari bunyinya kedua surat wasiat, sudah terang kesalahan ada di pihak kandanya. Dimana untuk melanjuti permusuhan adalah sulit untuk pihaknya, ia anggap ini adalah ketika untuk penyelesaian yang terhormat itu. Tapi ia ingat kandanya telah binasa, air matanya turun mengucur.

"Bin Jieko, aku sangat bersyukur kepadamu," berkata pula Ciau Kong Lee, yang manis budi itu. "Mengenai pertaruhan rumah, mungkin ini tuan muda main-main saja, aku pikir baik itu tak usah ditimbulkan lagi. Besok dengan lantas aku nanti perintah siapkan lain rumah untuk tuan berdua."

"Itu tak dapat dilakukan," berkata Ceng Ceng. "Kita ada bangsa kuncu, satu kali perkataan kita telah dikeluarkan, empat ekor kuda tak dapat mengejarnya. Kata-kata telah diucapkan, mengapa mesti dibuat menyesal dan hendak ditarik pulang?"

Orang semua melengak, mereka heran. Ciau Kong Lee telah janjikan sebuah rumah yang Baru, pasti itu akan terlebih indah daripada rumah Bin Cu Hoa, maka heran, kenapa pemuda itu menampik, kenapa dia masih hendak membuat malu kepada Bin Cu Hoa?

Ciau Kong Lee menjura pada "si anak muda".

"Lo-teetay, budimu berdua tak nanti aku lupakan," berkata dia dengan sangat, "tapi sekarang aku minta sukalah kamu bantu lagi sedikit kepadaku. Dipintu kota Selatan, aku mempunyai satu pekarangan yang luas,aku minta sukalah kamu terima itu sebagai gantinya. Aku percaya kamu akan puas dengan pekarangan itu."

Ceng Ceng bersikap sabar, tapi ia jawab: "Barusan Bin Jieya hendak binasakan kau untuk membalas sakit hati, umpama kata kau bilang padanya supaya dia jangan bunuh padamu, kau mengatakan mana kau tanggung dia akan peroleh kepuasan, coba kau pikir, dapatkah dia terima itu atau tidak?"

Bungkam ketua Kim Liong Pang ini dijawab secara demikian, ia likat sendirinya. Alasan si anak muda memang kuat sekali. Maka akhirnya, ia berpaling kepada gadisnya.

"Tuan ini penujui rumah Bin Jieya itu," katanya, "maka itu sebentar pergi kau perintah antar itu uang delapan ribu tiga ratus tail kerumahnya Bin Siokhu."

"Sudah, sudah," mencegah Bin Cu Hoa. "Buat apa aku uang itu? Satu laki-laki telah keluarkan kata-katanya, empat ekor kuda tak dapat candak itu! Ciau-ya, permusuhanku denganmu, sampai disini aku bikin habis. Besok aku hendak pulang kekampung halamanku, aku tidak punya muka untuk lebih lama pula didalam kalangan kangouw. Biarlah rumahku dipunyai oleh kedua tuan ini." Ia lantas menjura kepada semua hadirin dan berkata: "Semua sahabatku, jauh dari tempat ribuan lie kamu telah datang kemari untuk mebantu aku, siapa tahu aku justru tidak punya guna, tak dapat aku membalas sakit hati kandaku, hingga karenanya, aku membuat kamu semua datang dengan sia-sia saja. Sahabat-sahabatku, biar lain kali saja aku balas budimu ini."

Melihat orang bisa ubah sikapnya itu, Sin Cie lantas kata kepada jago Bu Tong Pay itu: "Bin Jieya, walaupun kau kalah dari aku, sebenarnya kepandaianku masih kalah jauh dengan kepandaianmu, apapula kalau dipadu dengan kepandaian Tong Hian Tootiang. Aku harap jiewie tidak berkecil hati. Jiewie, terimalah hormatku yang muda."

Orang semua melengak. Toh dia yang menang, dan menangnya secara cemerlang sekali. Siapa bisa bertanding sambil minum arak dan membuat karangan sebagai dia? Siapa dapat gampang-gampang dengan tangan kosong mengalahkan dua musuh tangguh yang bersenjatakan pedang? Toh sekarang ini anak muda suka mengalah, suka dia memberi hormat kepada pecundang-pecundangnya!

"Jiewie bukannya kalah ditanganku," Sin Cie melanjuti. "Sebenarnya jiewie kalah ditangan Kim Coa Tayhiap. Dia telah menduga siang-siang untuk caranya jiewie bertempur, maka itu Tayhiap telah pesan aku untuk aku bersikap berandalan, guna pancing meluapnya hawa-amarah jiewie, setelah itu, dengan satu akal, aku mesti rebut kemenangan. Kim Coa Tayhiap adalah orang pandai nomor satu dalam dunia Rimba Persilatan jaman ini, kepandaiannya itu tidak dapat dijejaki. Aku sendiri bukan muridnya, secara kebetulan saja aku bertemu dengannya, lantas dia ajari aku ilmu silat ini, untuk dipakai menyelesaikan persengketaan ini. Jiewie kalah ditangan Tayhiap, tak usah jiewie merasa malu. Ingin aku mengatakan sesuatu yang tak sedap untuk kuping, tapi harap jiewie tak buat kecil hati. Jangan kata Baru jiewie, juga pada waktu itu, Uy Bok Toojin sendiri bukan tandingan Kim Coa Tayhiap. "

Tong Hian Toojin dan Bin Cu Hoa sangsikan kata-kata terakhir ini, akan tetapi, sementara itu mereka telah dapat dibikin tenang.

Tong Hian membalas hormat sambil menjura.

"Sie-cu telah membikin terang muka kami, pinto haturkan banyak-banyak terima kasih," kata dia. "Maukah sie-cu beritahukan she dan nama besar sie-cu kepadaku?"

Sin Cie segera tunjuk Ceng Ceng.

"Inilah turunan langsung dari Kim Coa Tayhiap," jawab dia. "Dia she Hee. Dan aku yang muda, she Wan."

Banyak orang belum tahu shenya Kim Coa Long-kun, Baru sekarang mereka ketahui jago itu she Hee.

Bin Cu Hoa menjura pada Ciau Kong Lee.

"Aku telah gerecoki Ciau-ya," katanya. "Selamat tinggal!"

Ciau Kong Lee balas hormat itu.

"Besok aku akan kunjungi Bin Jie-ko untuk haturkan maaf," katanya.

"Tak sanggup aku terima itu," Cu Hoa menampik.

Selagi orang hendak angkat kaki, terdengar suaranya Ceng Ceng.

"Eh, bagaimana dengan pertaruhan pedang buntung?" katanya.

529 Wan Jie lihat ayahnya Baru terlolos dari mara-bahaya besar, maka ia tak sudi menghadapi lagi lain ancaman malapetaka. Maka lekas ia perdengarkan suaranya.

"Tuan Hee, mari masuk kedalam, aku akan menyuguhkan teh," katanya. "Aku harap urusan kecil itu tidak disebut-sebut pula."

"Dia masih satu bocah, dia belum panggil aku engkong!" kata lagi Ceng Ceng. "Ini tak dapat disudahi saja!"

Bwee Kiam Hoo dan Sun Tiong Kun tak dapat menahan sabar lagi, keduanya lompat maju ketengah kalangan. Tapi Kiam Hoo bukan hampirkan nona kita, yang ia sangka ada satu pemuda, ia hanya tuding Sin Cie.

"Kau sebenarnya siapa?" ia menegur. "Kau timpuki pedang ke atas penglari, itulah ilmu kepandaian menimpuk dari Hoa San Pay! Dari mana kau curi pelajaran itu?"

Lau Pwee Seng menyusul dibelakang suhengnya, dia pun turut bicara.

"Kau juga barusan gunakan Hok-hou-ciang dari kaum kita!" dia turut menegur. "Dari mana kau curi itu? Lekas bilang!"

Sin Cie tidak sangka bakal muncul ekor ini, tapi ia tertawa.

"Mencuri?" tanyanya. "Buat apa aku mencuri?"

"Cis, bangsat cilik!" Sun Tiong Kun mendamprat sambil meludah. "Sudah mencuri, kau masih menyangkal!"

Bwee Kiam Hoo tertawa secara dingin sekali. "Habis, dari mana kau pelajarinya itu?" tanya dia. Sin Cie menjawab dengan langsung:

"Aku adalah murid Hoa San Pay," sahutnya. Murid-murid Hoa San Pay itu tercengang tetapi Sun Tiong Kun maju setindak. Dia menuding secara sengit sekali.

"Hei, bocah, kau gila!" katanya. "Sudah kau temberang sambil panggul-panggul mereknya Kim Coa Long-kun, sekarang kau sebut-sebut Hoa San Pay! Apakah kau tahu, nonamu ini dari golongan mana? Hm! Ini dia yang dibilang, Lie Kui tetiron menemui Lie Kui sejati! Baik kau ketahui, kita bertiga ada dari Hoa San Pay!"

Sin Cie tidak gusar, dia tetap sabar.

"Seperti aku sudah bilang, dengan Kim Coa Long-kun itu aku tidak punya sangkutan apa-apa," ia kasi keterangan. "Aku melainkan bersahabat dengan puteranya Tayhiap itu. Tentang kamu, sam-wie, dari siang-siang memang aku sudah ketahui kamu ada orang-orang Hoa San Pay. Kita sebetulnya dari satu golongan."

Lau Pwee Seng bisa sabarkan diri.

"Semua muridnya Tong-pit Thie-shuiphoa Uy Supeh aku kenal, akan tetapi diantaranya tidak ada kau, lauko," kata dia. "Sun Sumoay, adakah kau dengar kalau-kalau paling belakang ini Uy Supeh terima murid baru?"

"Matanya Uy Supeh bagaimana tinggi, mustahil dia sudi terima murid sebagai tukang tipu ini?" jawab Sun Tiong Kun dengan ketus. Dia masih sangat panas karena pedangnya telah dipatahkan. Dia memang aseran dan pikirannya cupat sekali.

Sin Cie tetap sabar saja.

"Memang Uy Cin Suheng bermata tinggi sekali, tidak nanti dia sembarang menerima murid," dia bilang. Semua orang heran mendengar pemuda ini panggil suheng kepada Uy Cin.

Bwee Kiam Hoo bertiga tercengang.

"Sebenarnya dari mana kau dapatkan kepandaian Hoa San Pay ini?" Lau Pwee Seng tegasi, suaranya keras. Ia tetap sangsi. "Lekas kau bilang!"

Dengan sama sabarnya seperti tadi, Sin Cie menjawab. "Guruku she Bok, namanya di atas, Jin, di bawah Ceng,"

demikian penyahutannya dengan tenang. "Guruku itu

adalah yang dunia kangou gelarkan 'Pat-chiu Sian-wan' si Lutung Sakti Tangan Delapan. "

Bwee Kiam Hoo saksikan bugee orang yang liehay, mendengar orang aku diri murid Hoa San Pay, ia sangsi, hingga maulah ia menduga, mungkin Uy Cin, sang supeh, telah memungut satu murid baru, tetapi sekarang dia dengar pemuda ini mengaku ia adalah murid su-counya, keragu- raguannya jadi lenyap. Benar-benar ia tidak percaya sucou itu, yang tidak ketentuan tempat mengembaranya, masih mau menerima murid lagi. Ia sendiri cuma pernah dua kali menemui sucou itu. Gurunya sendiri, Sin-kun Bu Tek Kwie Sin Sie suami-isteri sudah berusia lima-puluh tahun, tapi pemuda ini sangat muda usianya, mana mungkin dia jadi murid sucounya itu? Sekarang orang aku diri sebagai paman-guru mereka, dia anggap: pemuda ini benar-benar tidak tahu hidup atau mati!

"Menurut keterangan ini, jadinya, kaulah susiok kita?" akhirnya dia tanya. (Susiok ialah paman guru).

"Aku juga tidak berani aku kamu bertiga, enghiong- enghiong besar, hookiat-hookiat besar, sebagai sutitku," sahut Sin Cie dengan sama  tenangnya. (Enghiong dan hookiat ada orang-orang gagah. Sutit ialah keponakan murid).

Dikuping Bwee Kiam Hoo, jawaban itu berbau ejekan. "Apakah mungkin kami telah membuat malu Hoa San

Pay?" ia tegaskan. "Susiok Tayjin, tolong kau memberi

nasihat kepada kami tiga sutit kecil yang harus dikasihani. Ha-ha-ha!"

Bwee Kiam Hoo sudah berusia tiga puluh tujuh atau tiga puluh delapan tahun. Perkataannya ini membuat tertawa berkakakan semua orang-orang undangan Bin Cu Hoa.

Baru sekarang Sin Cie perlihatkan roman sungguh- sungguh.

"Jikalau Jie-suheng Kwie Sin Sie ada disini, pasti dia akan beri nasihatnya sendiri kepadamu!" kata dia, suaranya keren.

Tapi Bwee Kiam Hoo jadi sangat gusar, sekali sambar saja, pedangnya sudah lantas terhunus hingga menerbitkan suara "Sret!"

"Anak tolol, apakah disini kau ngaco-belo?" ia membentak, mendamprat.

Ciau Kong Lee menjadi sibuk, karena urusan jadi ada ekornya. Lekas-lekas ia menyelah diantara mereka.

"Tuan Wan ini main-main saja, Tuan Bwee, harap kau jangan gusar," ia mohon. "Mari, mari ramai-ramai kita keringkan cawan!"

Dengan kata-katanya ini Kong Lee juga tidak percaya Sin Cie benar ada paman guru dari Bwee Kiam Hoo bertiga. Usia mereka kedua pihak tak memungkinkan itu.

Tapi Kiam Hoo masih panas hatinya. "Anak tolol, walaupun kau paykui di depanku dan manggut-manggut dan memanggil aku susiok tiga kali, masih aku Bu-eng-cu tak sudi aku padamu!" katanya.

Ceng Ceng jadi panas hati, ia pun campur bicara.

"Eh, Bu Eng Cu, kau mesti panggil engkong dulu padaku!"

kata dia.

Sin Cie berpaling kepada kawannnya itu.

"Adik Ceng, jangan bergurau," ia bilang. Ia terus menoleh pada Bwee Kiam Hoo, akan kata: "Sebetulnya aku belum pernah bertemu sama Kwie Jie-suheng. Kamu sendiri, samwie, kamu ada terlebih tua daripadaku, turut pantas, tak tepat aku menjadi paman gurumu. Akan tetapi, perbuatan kamu bertiga, sesungguhnya tidak selayaknya."

Alisnya Bwee Kiam Hoo bangun berdiri, ia tertawa berkakakan. Ia gusar bukan kepalang.

"Ah, bocah, kau jadinya hendak beri nasihat kepadaku?" katanya dengan nyaring. "Mohon aku tanya, dimanakah kesalahannya kami bertiga? Sahabatku ada urusan, mustahil kami tak dapat bantu padanya?"

Sin Cie tidak lantas menjawab langsung.

"Cousu kami dari Hoa San Pay telah meninggalkan dua belas macam pantangan," katanya, dengan sabar, tapi dengan sungguh-sungguh. "Kau tahu, apa bunyinya pantangan yang ketiga, kelima, keenam, dan kesebelas?"

Ditanya begitu, Bwee Kiam Hoo melengak.

Sun Tiong Kun tidak tunggu saudara itu menjawab, dia timpuk muka Sin Cie dengan pedang buntungnya. "Aku hendak coba kepandaian Hoa San Paymu!" serunya.

Sin Cie tunggu sampainya pedang itu, ia angkat tangan kirinya,ia balikkan telapakannya ke atas, lalu ia menepok, menakup dengan telapakan tangan kanan yang dibalik kebawah, maka pedang bunting itu lantas kena dibekap dengan kedua telapakan tangannya itu. Ini ada tipu silat "Heng Pay Koan Im" atau "Memuja Dewi Koan Im dengan tangan miring".

"Ini Heng Pay Koan Im, cocok atau tidak?" ia tanya. Bwee Kiam Hoo kembali melengak, juga Lau Pwee

Seng. Dalam hatinya, mereka kata: "Memang ini ada ilmu

silat Hoa San Pay, melainkan dia gunainya secara sangat sempurna, suhu sendiri belum tentu sanggup berbuat begini. "

Sun Tiong Kun juga tercengang, hingga ia diam saja. Lau Pwee Seng mendekati pemuda kita.

"Benar, barusan kau telah gunai tipu-silat kaum kita," katanya. "Sekarang aku yang ingin mohon pelajaran lebih dahulu daripadamu. "

"Lau Toako," sahut Sin Cie dengan sabar. "Kau bergelar Sin-kun Thay-po, dengan begitu pastinya kau paham benar ilmu silat kita Hok-hou-ciang serta ilmu membelah batu dan menghancurkan kumala. "

Sekarang ini Lau Pwee Seng tidak berani memandang enteng lagi seperti mulanya.

"Aku Baru meyakinkan kulit dan bulunya saja, tak berani aku membilang sudah mempelajarinya dengan sempurna," ia jawab. "Tidak usah terlalu merendah, Lau Toako," Sin Cie bilang. "Umpama kau sedang berlatih tangan dengan Kwie jie-suheng, umpama dia benar-benar gunai kepandaiannya, seandainya dia serang kau dengan Pau-goan-keng atau Kun-goan-kang, apakah bisa toako menyambutnya?"

"Sepuluh jurus yang pertama, masih bisa aku melayaninya, lantas sepuluh jurus yang bawah, sukar sekali," Pwee Seng jawab.

"Aha," kata Sin Cie. "Aku dengar gelaran Kwie Jie- suheng ada Sin-kun Bu-tek, kepandaiannya menggunai kepalan pastilah sangat sempurna sekali, maka dengan Lau Toako sanggup melayani dia sampai sepuluh jurus, itulah sudah bagus sekali. Lau toako, tidaklah kecewa kau dengan gelaranmu Sin-kun Thay-po itu."

"Itulah gelaran yang orang berikan aku secara main- main, yang benar adalah kepandaianku masih beda jauh dari suhu," Pwee Seng bilang. Ia pun jadi bisa merendahkan diri sekarang.

Sun Tiong Kun tidak puas terhadap sikapnya saudara seperguruan ini. Dari suaranya ini saudara, nyatalah Pwee Seng telah jadi semakin lunak, agaknya dia suka aku Sin Cie sebagai paman gurunya.

"Eh, Lau Suko, bagaimana?" dia menegur. "Apakah kau kena digertak dengan ocehan belaka?"

"Habis kau mau bagaimana Baru kau hendak percaya aku ada paman gurumu?" Sin Cie tanya.

"Aku ingin kau dan aku berlatih sebentar," Pwee Seng bilang. "Umpama kata kepandaian ilmu silatmu Hoa San Pay ada terlebih sempurna. " "Itulah gampang," bilang Sin Cie. "Asal kau sanggup layani aku lima jurus, kau boleh bilang aku palsu. Kau setuju?"

Mendengar itu, Bwee Kiam Hoo heran berbareng lega hatinya. Dia pikir: "Tentulah dia cuma ngoceh! Mustahil dia sanggup rubuhkan Lau Sutee dalam lima jurus saja?" Maka ia lantas bilang: "Baiklah! Nanti aku yang menghitung!"

Lau Pwee Seng memberi hormat sambil menjura. Agaknya ia kenal aturan sekarang. Katanya: "Dimana ada kelemahanku, tolong kau menaruh belas kasihan. "

Sin Cie lantas menghampirkan dengan tindakannya pelahan. Ia bersiap.

"Jurusku yang pertama ada 'Cio po thian keng'," katanya, "kau sambutlah."

"Baik," sahut Pwee Seng, yang didalam hatinya sendiri lantas berkata: "Siapa sih yang hendak bertempur memberi tahu lebih dahulu kepada musuh tipu-pukulannya yang hendak dipakai menyerang? Tentu dia menggunai akal, dia ingin aku bersiap menjaga di atas, tahu-tahu dia serang aku dibawah." Maka ia siapkan tangan kanannya didepan mukanya, tangan kiri dibetulan perut, asal orang mulai menyerang, ia hendak membarengi menyerang juga.

Segera terdengar suaranya Sin Cie: "Awas serangan yang pertama!" Dan serangannya dilakukan. Dengan tangan kiri dia mengancam, dengan tangan kanan ia menyerang dengan benar-benar. Dan benar-benar ia menyerang dengan tipu-silat Hoa San Pay yang ia sebutkan, jaitu 'Cio po thian keng' atau "Batu meledak, langit gempar."

Lau Pwee Seng geraki tangan kanannya, untuk menangkis. Pukulannya Sin Cie belum lagi sampai, atau ia sudah cegah itu.

"Hei, kenapa kau tidak percaya aku?" tanya dia. "Sebuah tangan saja tak cukup untuk menjaga, mesti dua tangan dengan berbareng."

Pwee Seng terperanjat. Ia pun insyaf, ia bakalan tak sanggup menangkis, atau sedikitnya hidungnya bakal muncratkan darah. Maka melihat orang menunda penyerangan, ia segera geraki juga tangan kirinya, dengan kedua tangan ia geraki "pay bun twie san", atau "mengatur pintu, menolak gunung". Ia menolak seraya perdengarkan seruan.

Sin Cie lanjuti serangannya, hingga tangannya jadi bentrok dengan dua tangannya lawan, setelah mana, ia menarik pulang lagi.

"Aku hendak menyerang pula, sekali ini dengan tiga jurus dibarengi," kata dia, menerangkan. "Itulah Lek-pek sam koan, Pau Coan in giok dan Kim-kong cie bwee. Bagaimana kau akan melawannya?"

Tanpa berpikir lagi, Pwee Seng jawab: "Aku akan gunai Hong pie-chiu, Pek in cut siu dan Pang hoa hut liu."

"Dua yang pertama benar, yang ketiga tidak tepat," Sin Cie bilang. "Kau harus ketahui, Pang hoa hut liu adalah penjagaan di tengah berbareng menyerang. Jikalau kau adu tenaga dengan lawan, itulah baik, akan tetapi kau perlu membalik tangan, buat balas menyerang, dengan begitu, tenaga pembelaanmu jadi berkurang separuh, dengan begitu, kau akan tak sanggup menahan aku punya Kim kong cie bwee."

"Kalau begitu, aku akan gunai Cian kin cwie tee," Lau Pwee Seng membetuli. "Itu benar. Kau sambutlah!"

Sambil mengucap demikian, Sin Cie geraki tangan kanannya.

Pwee Seng pun bersiap, untuk menangkis.

Akan tetapi tangan kanan Sin Cie cuma terangkat keatas, yang menerjang adalah tangan kirinya, kebawah. Sembari berbuat demikian, dia kata: "Dalam ilmu silat, tak boleh orang berkukuh. Gurumu ajarkan kau Lek pek sam koan dengan tangan kanan tetapi kita bisa melihat gelagat, memakai tangan kiri pun boleh." Sembari berkata,ia menyerang terus, tanpa tunggu orang menutup diri, untuk menangkis, ia mendahului menyambar lengan orang, untuk ditarik.

Lau Pwee Seng menggunai 'Pek in cut siu' atau 'awan putih keluar dari sela gunung', ia melonjorkan tangannya untuk mengikuti, diam-diam ia gunai tenaganya, apapula lawan tidak siap-sedia, dadanya bisa kena ditotok celaka. Tapi ia pun tidak berani balas menyerang, begitu lekas tangannya dilepaskan dari cekalan lawan, ia menahan diri, dengan perkuatkan bahagian bawah, ia tancap kedua kakinya.

Sin Cie tidak berdiam sajda begitu lekas ia lepaskan cekalannya terhadap lengan lawan, gesit luar biasa, ia mencelat kesamping, terus kebelakang musuh dari mana, tangan kirinya segera mendorong bebokong lawan itu, sebelum Pwee Seng sempat memutar tubuh atau berkelit, kuda-kudanya sudah gempur, hingga ia terjerunuk dua tindak kedepan, dengan susah-payah Barulah dia bisa berbalik.

"Bagus!" berkata Sin Cie. "Sekarang ini pukulanku yang kelima. Ini ada Kie-chiu-sie dari Po-giok-kun." Pwee Seng merasa heran, hingga ia berdiam saja.

"Apakah kau sangka Kie-chiu-sie hanya untuk upacara saja, buat memberi hormat?" tanya Sin Cie. "Apa kau kira kie-chiu-sie tak ada faedahnya dipakai menghadapi musuh? Kau mesti insyaf maksud Cousu menciptakan tipu-silatnya ini. Tidak ada satu jua dari jurus-jurusnya Cousu yang tidak disiapkan untuk melumpuhkan musuh, guna merebut kemenangan. Kau lihat saja!"

Lantas Sin Cie mendak sedikit, tubuhnya rada melengkung bagaikan biang panah, kepalan tangannya ditekap dengan tangan kiri, menjusul mana ia membuat gerakan sebagai lagi menjura, lantas saja tubuhnya itu bergerak maju, kedua tangannya pun menyerang dengan berbareng. Selagi Pwee Seng sibuk hendak menangkis, karena serangan itu sangat diluar dugaan, paha kirinya sudah kena dijotos, hingga tubuhnya itu menjadi limbung, terus saja ia rubuh!

Justru orang rubuh, Sin Cie berlompat menghampirkan, untuk sambar tubuh lawan dengan dua tangannya, buat dikasi bangun, buat direbahkan dengan hati-hati.

Lau Pwee Seng segera geraki tubuhnya, untuk berbangkit dan berlutut, buat lantas memberi hormat sambil paykui.

"Aku yang muda tidak kenal susiok, barusan aku telah berlaku kurang ajar," kata ia, "maka dengan memandang kepada guruku, aku minta susiok sudi mengasi maaf padaku."

Sin Cie lekas-lekas membalas hormatnya.

"Lau Toako ada terlebih tua daripada aku, baik kita berbasa engko dan adik saja," kata ia.

"Tak berani aku berbuat begitu, susiok," Pwee Seng menampik. "Ilmu silat susiok benar-benar luar biasa. Lima

540 jurus barusan memang ada ilmu pukulan kita kaum Hoa San Pay, dengan itu susiok beri pengajaran padaku, aku merasa sangat berterima kasih, kelak kemudian pasti aku akan yakinkan itu dengan sungguh-sungguh."

Sin Cie tidak menjawab, ia melainkan bersenyum.

Pwee Seng buktikan janjinya ini, karena dibelakang hari, ia yakinkan sungguh-sungguh hingga ia peroleh kemajuan yang berarti. Karena mana ia hormati betul paman guru cilik ini.

Sampai disitu, Bwee Kiam Hoo dan Sun Tiong Kun tidak bisa beragu-ragu lebih jauh, akan tetapi orang she Bwee ini percaya betul ketangguhan ilmu pedangnya, maka ia telah berpikir: "Dalam ilmu silat tangan kosong, kau liehay, dalam ilmu pedang, belum tentu kau nanti dapat menangi aku."

Selagi ia berpikir demikian, ia dengar seruannya Tiong Kun:

"Bwee Suko, hayo coba ilmu pedangnya!"

"Baik!" jawab suheng ini, yang terus pandang Sin Cie dan kata: "Aku niat di ujung pedang tuan mencoba menerima pelajaran beberapa jurus."

Dia omong dengan sabar dan halus,akan tetapi air mukanya tetap membayangi kejumawaannya. Ia pun memanggil tuan.

Sin Cie berpikir: "Rupanya dia ini telah dapatkan ilmu pelajaran sempurna dalam ilmu pedang Hoa San Pay, pasti selama berkelana belum pernah dia menemui tandingan, hingga karena pujian muluk di sana-sini, ia jadi berkepala besar, tekeburnya bukan buatan, sehingga sepak terjangnya jadi berlebih-lebihan. Dia beda daripada Lau Pwee Seng, perlu aku ajar adat padanya, supaya dibelakang hari dia

541 tidak membuat malu kepada Hoa San Pay. Ajaran pun akan membuat kebaikan untuk dirinya sendiri."

Maka lantas ia menyahuti: "Untuk mengadu pedang, tidak ada halangannya, akan tetapi kapan sebentar telah ada keputusan menang dan kalah, kau mesti dengar sedikit nasihatku yang tentunya tidak sedap untuk kupingmu."

"Sekarang masih belum ada keputusannya menang atau kalah, kalau kau hendak bicara, itulah masih terlalu pagi!" kata Kiam Hoo dengan kejumawaannya tidak berkurang. Malah dia segera lintangi pedangnya didepan dada, dia ambil tempat disebelah kiri, di atas.

"Bwee Suko, baik kau berdiri disebelah bawah!" Lau Pwee Seng teriaki suheng itu.

Kiam Hoo tidak gubris itu nasihat, ia seperti tidak mendengarnya.

Adalah aturan dari Hoa San Pay, apabila angkatan muda berlatih pedang dengan angkatan tua, yang muda mesti ambil tempat disebelah bawah. Itu ada tanda bahwa bukan si muda berani terhadap si tua, itu adalah si muda mohon pengajaran. Tapi Bwee Kiam Hoo, dengan berdiri di kiri, jadi anggap dirinya sepantaran dengan orang yang terlebih tua derajatnya, tingkatannya, terang ia tidak sudi akui Sin Cie sebagai paman guru. Dengan tangan kiri, dia genggam gagang pedang, sembari rangkap kedua tangan, dia menantang: "Tuan, silakan!"

Sin Cie tidak puas terhadap sikap lawan ini, akan tetapi ia punyakan kesabaran luar biasa. Ia tidak lantas terima tantangan itu, hanya lebih dahulu ia menoleh kepada Ciau Kong Lee.

"Ciau Lopeh, tolong kau minta orangmu bawa kemari sepuluh bilah pedang," ia minta. "Ah, Wan Siangkong, jangan panggil lopeh padaku, tak berani aku menerimanya," berkata tuan rumah itu.

Selagi orang-tuanya bicara, Ciau Wan Jie memberi tanda kepada pihaknya, maka lantas ada beberapa muridnya Kong Lee yang membawa datang sepuluh bilah pedang yang diminta. Malah mengingat orang telah menolong guru mereka, mereka sengaja pilih pedang yang bagus, yang semua diletaki diatas meja.

Semua mata ditujukan kepada Sin Cie, ingin orang ketahui, pedang yang mana satu yang bakal ia pilih. Akan tetapi, selagi sepuluh pedang sudah siap, dia justru jumput pedang buntung dari Sun Tiong Kun.

"Aku pakai ini pedang buntung saja!" katanya sambil tertawa.

Semua orang melongo. Bagaimana pedang buntung dapat dipakai mengadu silat?

Sin Cie jepit pedang buntung itu diantara jempol dan telunjuknya.

"Sekarang kau boleh menyerang!" kemudian ia kata kepada Kiam Hoo.

Orang she Bwee itu menjadi sangat gusar.

"Kau sangat memandang enteng kepadaku, jikalau sebentar kau mampus, jangan kau sesalkan aku!" kata dia dalam hatinya. Ia lantas putar pedangnya, hingga cahayanya berkilauan dan suaranya mengaung.

"Awas!" dia berseru. Segera dia tikam bahu kanan Sin Cie. Dia pikir: "Kau cekal pedangmu secara begini, tentulah tangan kananmu tak leluasa bergerak! Aku serang bagianmu yang lemah, aku mau lihat, bagaimana kau layani aku. " Didalam ruangan itu hadir dua ratus orang lebih tapi semuanya bungkam, cuma mata mereka mengawasi kearah medan perang pedang, dari itu, suasana tenang sekali.

Serangan Kiam Hoo cepat dan hebat, tatkala ujung pedang hampir sampai pada sasaran dengan tiba-tiba saja Sin Cie menangkis dengan pedangnya yang buntung.

Kedua pedangnya beradu keras: "Tak! Trang!"

Suara nyaring yang belakangan adalah suaranya pedang jatuh kelantai, sebab pedangnya Kiam Hoo patah dengan mendadak, hingga ia cekal hanya gagangnya pedang!

Semua orang tercengang, tak ada yang tahu, ilmu tangkisan apa itu yang membuat pedang lawan patah secara demikian.

Selagi orang terheran-heran Sin Cie menunjuk ke meja. "Aku telah minta disiapkan sepuluh bilah pedang, maka

pergilah kau lantas menukar pedangmu!" kata ia kepada

lawan itu, tenang.

Baru sekarang semua hadirin mengerti apa keperluannya persiapan sepuluh bilah pedang itu.

Kiam Hoo kaget berbareng gusar sekali. Ia lompat kemeja, untuk sambar sebilah pedang, setelah mana, ia menerjang dengan tiba-tiba. Dengan pedang yang baru, ia membabat kebawah.

Sin Cie menduga orang cuma gertak ia, ia tidak menangkis atau berkelit sambil melompat. Benar saja, Kiam Hoo tidak terus babat kakinya, hanya setelah ditarik pulang, ujung pedang dipakai menikam perutnya!

Dari samping, pemuda ini tangkis serangan hebat itu. "Trang!" kembali suara nyaring. Untuk kedua kalinya, pedang Kiam Hoo kena dibikin kutung.

Dalam penasarannya, orang she Bwee ini sambar pedang yang kedua, dengan sama sengitnya, ia ulangi serangannya yang dahsyat. Akan tetapi untuk ketiga kalinya, tetap cuma dengan satu kali tangkisan, lagi-lagi pedangnya kena dibikin sapat, sehingga ia jadi berdiri tak dapat dia membuka mulut.

"Kau bilang ilmu pedang, kenapa kau gunai ilmu siluman?" Sun Tiong Kun menegur. Ia pun tercengang tapi ia lekas ingat pula akan dirinya. "Apakah ini namanya adu silat?"

Sin Cie lempar pedang buntungnya, ia bertindak kemeja, untuk ambil dua batang, satu diantaranya ia sodorkan pada Kiam Hoo. Ia bersenyum. Ia terus berpaling kepada nona garang itu.

"Kecewa kau namakan dirimu kaum Hoa San Pay!" katanya. "Kenapa kau tidak kenal Kun-thian-kang? Kenapa kau sebut-sebut ilmu siluman?"

Sedangnya orang berpaling, dengan kecepatan bagai kilat,Bwee Kiam Hoo bokong itu anak muda, justru setelah ujung pedang hampir mengenai bebokong, Baru dia berseru: "Lihat pedang!"

Sin Cie mengegos ke samping. "Lihat pedang!" dia pun berseru.

Kiam Hoo menyerang dengan tipu tikaman "Chong-eng- kim-tou" atau "garuda menyambar kelinci", tapi juga Sin Cie gunai serupa gerakan, maka itu, lekas-lekas ia egos tubuh seperti si anak muda, ia memikir akan kasi lewat pedang lawan seperti tadi pedangnya dikelit. Akan tetapi pedangnya Sin Cie itu, setelah ditusukkan, segera diteruskan, diputar, dan selagi Kiam Hoo berkelit, dia ini merasakan bebokongnya kelanggar suatu apa, sehingga ia kaget sekali, sampai ia keluarkan keringat dingin, buru-buru ia buang tubuhnya kedepan, setelah menubruk tanah, ia lantas mencelat bangun. Diluar sangkaannya, ujung pedang Sin Cie masih membayangi bebokongnya, sehingga dalam sibuknya, tak sempat ia menangkis. Ia berkelit, ia berkelit pula, tidak urung ujung pedang terus ancam dia, ujung pedang itu seperti tidak mau berpisah darinya! Ujung pedang cuma nempel dengan baju, maka coba tikaman dilanjuti, habislah selembar jiwanya orang jumawa ini.

Kiam Hoo yang dijuluki "Bu Eng Cu" si Bajangan Tak Ada, artinya, ia tidak punyakan bajangan, itu menandakan liehaynya ilmu entengkan tubuh, kegesitannya, akan tetapi sekarang, pedang Sin Cie justru menjadi bajangannya, tidak heran kalau ia terbenam dalam kaget dan takut. Tujuh atau delapan kali ia berkelit, ia tetap masih belum bisa loloskan diri dari ancaman ujung pedang lawannya itu.

Sin Cie tampak muka orang pucat dan kepala bermandikan keringat, ia ingat lawan itu adalah sutitnya, keponakan murid, ia anggap tak boleh ia berlaku keterlaluan. Maka ia berhenti membayangi, ia tarik pulang pedangnya.

"Inilah ilmu silat pedang Hoa San Pay, apakah kau belum pernah mempelajarinya?" tanyanya.

Setelah tidak dibayangi lebih jauh, Bwee Kiam Hoo bisa tenangi diri. Ia tunduk.

"Inilah yang dibilang Hu-kut cie cie," jawab ia. Sin Cie tertawa pula. "Kau benar," ia bilang. "Nama ilmu pedang ini tak sedap didengarnya akan tetapi kefaedahannya besar sekali!"

"Hu kut cie cie" berarti "Lalat ikuti tulang".

Dari antara hadirin segera terdengar suara nyaring dari Ceng Ceng:

"Kau digelarkan Bu Eng Cu, hei, kenapa bebokongmu selalu diiringi pedang orang?" demikian suara nona jail itu. "Aku sendiri, aku lebih suka bajangan sendiri yang mengikuti belakangku!"

Kiam Hoo mencoba mengatasi diri, ia tidak layani nona itu. Tapi ia tetap masih belum puas. Ia sudah yakinkan pedangnya belasan tahun, ia heran kenapa ia tak dapat gunai itu seperti biasanya.

"Marilah kita adu pedang menurut cara biasa," kata ia pula kemudian. "Kepandaianmu terlalu campur-aduk, aku tidak sanggup melayaninya. "

"Ini adalah pelajaran aseli dari Hoa San Pay, mengapa kau menyebutnya campur aduk?" Sin Cie tanya. "Baiklah! Kau lihat!"

Ia lantas menyerang, lempang didada.

Kiam Hoo angkat pedangnya, untuk menangkis, habis mana, niat ia melakukan pembalasan, akan tetapi anak muda itu menekan, ketika ia hendak menarik pulang, ia tidak bisa lakukan itu, sebab entah kenapa, pedangnya bagaikan nempel sama pedang lawannya itu.

Sesudah menekan, Sin Cie lalu memutar pedangnya, sampai dua kali, sama sekali ia tidak kasi ketika untuk orang menarik pulang pedangnya itu, malah tangannya Kiam Hoo terpaksa turut berputar, setelah mana, cuma terasa satu tarikan kaget, pedangnya Bu Eng Cu terlepas dari cekalannya dan terlempar!

"Apakah kau masih hendak mencoba pula?" Sin Cie tanya.

Kiam Hoo menjadi nekat, tanpa menjawab, ia sambar sebatang pedang lain dari atas meja, begitu lekas ia berpaling, ia terus menyerang, kearah pundak kiri si anak muda. Ia berlaku cerdik sekarang, ketika Sin Cie menangkis, dengan cepat ia tarik pulang pedangnya itu. Tak sudi ia membikin pedangnya terlilit pula dan terpental.

Sin Cie juga tidak putar pedangnya seperti tadi, setelah tangkisannya kosong, ia teruskan pedangnya untuk menikam dada si orang bandel itu!

Inilah serangan hebat, tak dapat tidak, serangan ini mesti ditangkis, sebab untuk berkelit, ia tidak punyakan ketika lagi. Begitulah ia menangkis.

Begitu lekas kedua pedang bentrok, dengan menerbitkan suara nyaring, Kiam Hoo rasai lengannya menggetar dan terputar, menyusul itu, cekalannya terlepas, pedangnya mental ke udara. Ia terkejut, tapi ia masih ingat akan dirinya, masih saja ia penasaran, maka hendak ia berlompat pula ke meja, untuk sambar sebatang pedang lain.

"Apakah kau masih tidak hendak menyerah?" membentak Sin Cie, yang bisa duga maksud orang, karena mana, ia balingkan pedangnya dua kali kearah ponakan murid ini, untuk tidak mengasi ketika.

Mau atau tidak, Kiam Hoo mesti batalkan maksudnya. Untuk luputkan diri dari ancaman pedang, ia berkelit, tubuhnya dikasi mundur dengan berlenggak. Justru ia lindungi tubuhnya, kakinya kena disambar kaki si anak muda, pelahan saja, tetapi itu cukup buat menyebabkan dia rubuh terjengkang!

Masih Sin Cie belum mau berhenti. Sambil maju, ia mengancam dengan ujung pedangnya pada tenggorokannya.

"Apa benar kau tak hendak menyerah?" tegaskan dia.

Seumurnya, Kiam Hoo belum pernah menampak hinaan semacam ini, bisa dimengerti hebatnya kemendongkolan dan gusarnya, sebab ia tidak sanggup lampiaskan itu, mendadak saja ia pingsan.

Sun Tiong Kun saksikan itu kejadian, kapan ia lihat suhengnya rebah celentang tak berkutik, matanya mendelik dan lantas dirapatkan, dia jadi lupa daratan, karena ia menyangka, suheng itu binasa ditangan pemuda ini. Sambil berlompat ia menyerang dengan tangan kosong, mulutnya berteriak: "Kau bunuh juga aku!"

Sin Cie juga terkejut melihat orang pingsan.

"Jikalau dia binasa, bagaimana aku bisa menemui suhu dan jie-suheng?" pikir dia. Lantas ia membungkuk, akan raba dada Kiam Hoo, sehingga ia merasai memukulnya jantung, karena mana, legalah hatinya. Ia lantas tepuk orang punya batang leher dan jalan darah, buat bikin darahnya jalan benar.

Ketika itu Sun Tiong Kun sudah sampai dengan lompatannya, ia lantas saja hajar bebokongnya Sin Cie dengan kepalannya, berulang-ulang, sebab ia sudah kalap.

Sin Cie tidak perdulikan serangan itu, ia antap saja.

Ceng Ceng dan Lau Pwee Seng lompat maju, yang pertama berseru, untuk cegah nona Sun turun tangan lebih jauh, yang belakangan untuk tarik saudara seperguruannya. Sun Tiong Kun jatuhkan dirinya, mendelepok dilantai, ia menangis menggerung-gerung.

Tidak antara lama, Kiam Hoo sadar akan dirinya.

"Kau bunuh saja aku!" ia berseru tetapi suaranya lemah. "Suheng," Pwee Seng kata pada saudara itu, "kita mesti

dengar nasihat susiok, jangan kau turuti adatmu  "

Ceng Ceng awasi Tiong Kun.

"Dia tidak mati, kenapa kau nangis?" katanya sambil tertawa.

Gusar Tiong Kun, ia lompat bangun, kepalannya menyambar pada nona Hee. Ia ada satu wanita jago dari Hoa San Pay, ia pun sedang murka, tidak heran kalau serangannya itu ada luar biasa cepat.

Ceng Ceng tidak menyangka, siasia ia berkelit, pundak kirinya kena terjotos, sehingga ia merasai sakit, karena mana, ia jadi gusar, hendak ia melakukan pembalasan. Tapi Baru ia hendak ayunkan tangannya, tiba-tiba Tiong Kun menjerit: "Aduh! Aduh!" lalu tubuhnya nona itu terbungkuk-bungkuk. Ia heran sehingga ia melengak.

"Kau yang serang aku, kenapa kau yang kesakitan?" ia tegur. Ia hendak menegur terus tetapi Sin Cie kedipi matanya, hingga walaupun ia heran, ia urungi niatnya itu.

Sun Tiong Kun masih menangis, ia usut-usut kedua kepalannya yang merah dan bengkak. Itulah yang membuat ia menjerit dan menangis, sebab tangan itu sakit bukan main. Dalam kalapnya, barusan ia serang Sin Cie kalang- kabutan, setiap kali ia memukul, kepalannya membal balik. Ia tidak perdulikan itu, ia masih tidak merasakan sakit, adalah setelah ia jotos Ceng Ceng, Baru ia merasakan sakit, sakit sekali, seperti ditusuk-tusuk jarum. Sekarang pun ia lihat, kedua kepalannya bengkak dan merah, saking menahan sakit, air matanya meleleh terus.

Sengaja Sin Cie mengajar adat, sebab ia gemas sekali terhadap murid dari jie-suhengnya, karena nona ini sangat garang dan telengas, tanpa sebab ia sudah tabas kutung lengan Lip Jie, dan saban-saban ia perlihatkan kegagahannya.

Orang banyak tidak tahu duduknya perkara, maka rata- rata mereka menyangka Ceng Ceng adalah yang liehay sekali. Bukankah pemuda ini diajar kenal sebagai puteranya Kim Coa Long-kun Hee Soat Gie? Apa heran bila orang menyangka dia terlebih liehay daripada Sin Cie, hingga Sun Tiong Kun yang menyerang, Sun Tiong Kun sendiri yang kesakitan.....

Cuma Sip Lek Taysu, The Kie In dan Ban Hong yang ketahui, nona Sun sudah jadi korban dari tenaga membal, bahwa untuk tolong si nona, obatnya gampang, ialah kepalannya mesti diuruti dan jalan darahnya ditotok, nanti sakitnya lenyap, bengkaknya kempes. Tapi mereka tidak berani turun tangan, untuk tolongi si nona, mereka jeri terhadap Sin Cie, bugee siapa sekarang mereka malui.

Akhir-akhirnya Bwe Kiam Hoo berbangkit, ia hadapi Sin Cie untuk menjura tiga kali.

"Wan Susiok, menyesal aku tidak kenal padamu hingga aku berlaku kurang ajar," katanya. "Aku minta sukalah susiok tolong Sun Sumoay."

Sin Cie tidak lantas menyahut, ia mengawasi dengan keren.

"Kau insyaf kesalahanmu atau tidak?" tanya dia.

Kiam Hoo tidak berani berkeras kepala lagi, ia tunduk. "Tidak selayaknya aku yang muda robek surat-suratnya Ciau Toaya," ia akui, "juga tidak seharusnya aku memaksa akan membelai Bin Jieko."

"Aku harap selanjutnya Bwee Toako suka berlaku hati- hati," kata Sin Cie kemudian, setelah orang mengaku salah.

"Aku nanti dengar nasihat susiok," Kiam Hoo bilang. "Bin Jieya tidak ketahui duduknya yang benar perihal

kandanya, dia hendak menuntut balas, tindakannya itu

bukan tidak selayaknya," kata pula Sin Cie. "Bahwa orang banyak datang untuk membantu dia, itu juga adalah perbuatan yang harus dipuji. Itulah sikap sewajarnya dari orang-orang kangou sejati. Sekarang duduknya perkara telah jadi terang sekali, aku harap supaya semua pihak suka membikin habis salah faham ini, biarlah lawan menjadi kawan. Kau hendak bantu Bin Jieko, aku tidak persalahkan padamu, tetapi kau pun sudah lakukan satu perbuatan yang sangat tidak selayaknya. Aku kuatir, Bwee Toako, kau masih belum menginsyafinya."

Kiam Hoo heran hingga ia tercengang. "Apakah itu, susiok?" tanyanya, menegasi.

"Kita kaum Hoa San Pay mempunyai dua belas pantangan," berkata Sin Cie. "Apakah bunyinya pantangan yang kelima?"

"Tadi pun susiok telah tanyakan yang keempat dan ketiga," kata Kiam Hoo. "Yang ketiga itu adalah 'lancang membunuh tanpa sebab-musabab'. Sun sumoay telah langgar pantangan itu, maka baiklah, sebentar dia harus menghaturkan maaf kepada Lo Toako, kemudian kita nanti membayar kerugian. " "Siapa kesudian uang busukmu?" berseru satu muridnya Ciau Kong Lee. "Tangan orang telah ditabas kutung, apakah itu bisa diganti dengan tambalan uang?"

Kiam Hoo tahu pihaknya bersalah, terpaksa ia tutup mulut.

Sin Cie menoleh kearah murid-murid tuan rumah, kepada murid yang barusan bicara, ia kata: "Memang perbuatan sutitku ini sangat semberono, aku menyesal sekali. Tunggulah sampai lukanya Lo Suko sudah sembuh, nanti aku dayakan terhadapnya supaya ia bisa gunai sebelah tangannya dengan sempurna. Itulah ilmu silat bukan kepunyaan Hoa San Pay, dari itu dapat aku menurunkannya tanpa tunggu aku peroleh perkenan lagi dari guruku."

Orang tahu anak muda ini liehay sekali, walaupun dia membilang hendak 'mendayakan', itu berarti memberi pelajaran, maka itu, janji itu diterima dengan girang. Orang pun puas yang anak muda ini suka menanggung dosanya Sun Tiong Kun.

"Pantang yang keenam adalah 'Tidak menghormati yang tua'," kata pula Kiam Hoo. "Mengenai ini, teecu ketahui kesalahanku. Yang kesebelas jaitu, 'Tidak selidiki duduknya perkara', dalam hal ini, teecu pun mengaku bersalah. Pantangan yang kelima berbunyi 'Bergaul dengan orang jahat', dalam hal ini teecu lihat Bin Jieko adalah satu laki- laki. "

Umumnya disitu orang tidak tahu hal dua belas pantangan dari Hoa San Pay, Baru sekarang, mendengar keterangan Bwee Kiam Hoo, orang dengar itu. Bin Cu Hoa terkejut, ia berjingkrak.

"Apa? Apakah aku orang jahat?" serunya. "Jangan salah mengerti, Bin Jieya, kami bukan maksudkannya," Sin Cie terangkan.

"Habis, kau maksudkan siapakah?" Cu Hoa tegasi.

Sin Cie hendak berikan jawabannya ketika dua muridnya Ciau Kong Lee muncul diantara mereka sambil pepayang Lo Lip Jie, yang tangannya hilang sebelah, yang lukanya masih belum sembuh.

Mereka berdua sengaja lari kedalam, untuk kabarkan suheng itu yang tetamu pemuda itu hendak tolong padanya. Lip Jie lantas saja menjura kepada Sin Cie, untuk haturkan terima kasih.

Sin Cie lekas-lekas balas hormat itu. Ia lihat Lip Jie bermuka pias, akan tetapi sikapnya tetap gagah.

Dengan suara jelas, Lip Jie bilang: "Wan Toa-hiap sudah tolong guruku, Toa-hiap juga hendak berikan pelajaran silat padaku, aku sangat berterima kasih."

"Jangan kau ucapkan itu," Sin Cie merendah.

The Kie In menyaksikan itu sambil tertawa, ia kata: "Loa Ciau, muridmu ini cerdik sekali! Dia kuatir orang nanti menyesal dan menarik pulang kata-katanya, dia lantas saja mendahului menghaturkan terima kasih!"

Ciau Kong Lee tertawa.

"Bisa saja, toocu, kau bisa saja!" katanya.

Habis menghaturkan terima kasih, Lip Jie undurkan diri pula.

Itu waktu Sun Tiong Kun masih terus mengucurkan keringat, ia masih merasakan sakit, sehingga bibirnya pada matang biru saking ia menahan sakit. Sin Cie hampirkan dia, karena pemuda ini merasa, orang telah cukup menderita.

554 "Jangan raba aku!" Tiong Kun berseru. Nyata ia masih gusar, ia belum mau menyerah. "Biar aku mati, tak suka aku ditolong olehmu!"

Mukanya Sin Cie merah, ia jengah. Ia memikir untuk minta Ceng Ceng yang menolongi, untuk itu ia hendak ajarkan caranya kepada kawan ini, akan tetapi si nona dandan sebagai satu pemuda. Tentu saja ini pun sulit. Maka itu, ia menoleh kepada Wan Jie.

"Nona Ciau!" ia memanggil.

Pada saat itu, dua kali terdengar suara pintu digedor, kemudian menyusul suara menjeblak. Nyata kedua daun pintu telah terbuka dengan paksa akibat tendangan.

Semua orang terkejut, semua berpaling keluar.

Dimulut pintu bertindak masuk dua orang. Orang yang jalan didepan berumur lima puluh lebih, dandannya sebagai orang tani saja. Orang yang kedua seorang perempuan berumur empat puluh lebih, ia dandan sebagai orang tani juga. Dia ini mengempo satu anak kecil.

Sun Tiong Kun lantas saja berseru: "Suhu! Suhu!" Lantas ia lari kearah dua orang tani itu.

Mendengar suaranya Tiong Kun, semua orang lantas ketahui, itulah suami-isteri Cio-Poan-San-Long Kwie Sin Sie, si suami-isteri orang tani dari Cio Poan San.

Kwie Jie-nio lantas serahkan anak yang diemponya kepada suaminya, dengan muka merah-padam, ia lantas uruti jalan darahnya Sun Tiong Kun.

Bwee Kiam Hoo dan Lau Pwee Seng hampirkan guru mereka suami-isteri itu, untuk menjalankan kehormatan.

Sin Cie lihat Kwie Sin Sie beroman sederhana sekali, Kwie Jie-nio, si jie-soso, atau ensonya yang kedua itu, wajahnya keren. Ia mengikuti Kiam Hoo dan Pwee Seng, habis mereka berdua, ia pun memberi hormat sambil paykui.

Kwie Sin Sie kasi bangun pada anak muda ini, ia cuma mengucap "Tak usah", lantas ia bungkam.

Kwie Jie-so terus uruti muridnya, sembari berbuat demikian, ia berpaling, akan awasi Sin Cie, sikapnya sangat tawar.

Setelah ditolong gurunya, Tiong Kun merasakan tak terlalu sakit lagi, bengkak ditangannya pun mulai kempes.

"Su-bo," katanya, "dia itu mengaku menjadi susiok, dia telah bikin tanganku jadi begini rupa, malah pedang yang su-bo kasikan padaku, dia telah bikin patah!"

Terkejut Sin Cie apabila dengar pengaduan itu.

"Inilah hebat!" pikirnya. "Coba aku tahu pedangnya itu adalah pedang pemberian jie-suso, biar bagaimana juga, tidak nanti aku bikin patah." Maka lekas-lekas ia memberi hormat pada enso itu dan kata: "Siautee tidak mengetahui itu, untuk kelancanganku harap suheng dan suso maafkan aku. "

Kwie Jie-so tidak sahuti anak muda ini, ia hanya berpaling kepada suaminya.

"Eh, jieko, katanya suhu telah terima satu murid yang masiih muda sekali, apakah ini dianya?" tanya dia. "Kenapa dia begini tidak tahu aturan?"

"Aku belum pernah ketemu dengannya," sahut sang suami, yang berbareng pun menjadi jie suheng isterinya itu, kanda seperguruan yang kedua.

"Orang mesti ketahui, ilmu pelajaran tiada batas habisnya," berkata Kwie Jie-so, seperti pada dirinya sendiri. "Orang pun mesti ingat, diluar langit ada langit lainnya, di atas orang, ada orang lagi! Baru dapat pelajarkan sedikit ilmu, sudah lantas dengan sembarang saja menghina orang lain! Hm! Taruh kata muridku salah, toh ada aku yang nanti menegurnya, tidak usah ada susioknya yang menggantikan aku mengajar adat!"

Sin Cie tahu, kata-kata itu ditujukan kepadanya. "Ya, ya, siautee insaf kesemberonoanku," ia akui.

"Kau telah patahkan pedangku, apakah dimatamu masih ada orang yang lebih tinggi derajatnya?" tegur Kwie Jie-so. "Taruh kata suhu sangat sayang padamu, mustahil terhadap suheng sendiri kau dapat berbuat kurang ajar seperti ini?"

Para hadirin jadi merasa tidak enak. Nyonya petani ini makin lama jadi makin sengit. Itulah perbuatan yang keterlaluan, sebab dia belum tahu duduknya hal.

Tapi Sin Cie lain, ia terus bersikap sabar, ia mengalah saja.

Dipihaknya Ciau Kong Lee, orang tidak puas dengan sikapnya Kwie Jie-so, adalah Bin Cu Hoa, Tong Hian, dan Ban Hong merasa puas sekali.

"Suhu, subo," kata pula Sun Tiong Kun, "dia ini bilang ada satu Kim Coa Long-kun yang menjadi tulang punggungnya, begitulah Bwee Suheng dan Lau Suheng dia telah rubuhkan!. "

Mendengar perkataan muridnya ini, tak kepalang gusarnya Kwie Jie-so.

Kwie Sin Sie dan isterinya ini sedang dalam perjalanan untuk mencari obat guna tolong anak meraka. Anak itu adalah anak satu-satunya, namanya Cin Tiong, sakitnya berat, maka juga, sebagai ayah dan ibu, mereka berkelana, untuk cari tabib yang pandai, yang sanggup mengobatinya. Menurut beberapa tabib terkenal, yang telah periksa penyakitnya anak itu, sebabnya penyakit adalah luka sejak didalam kandungan, yaitu selagi hamil, Kwie Jie-so telah bertempur dan hamilannya dapat goncangan hebat, yang berakibat menganggu kesehatannya bayi dalam kandungan. Untuk bisa tolong anak itu, obat yang dibutuhkan adalah campuran dari Tay-hok-leng dan Ho-siu-ou yang sudah seribu tahun tuanya, kalau tidak, lagi satu atau dua tahun, anak ini bakal jadi demikian kurus-kering dan akhirnya akan mati meroyan. Tentu sekali, karenanya, ayah dan ibu itu menjadi sangat sibuk dan kuatir. Maka mereka coba cari kedua macam obat itu, sampai mereka mohon bantuan sahabat-sahabat dan kenalan dari rimba persilatan. Tay- hok-leng saja sudah susah dicari, apalagi Ho-siu-ou. Kemana kedua obat mesti dicari? Mereka sudah berkelana lebih daripada satu tahun, masih sia-sia saja usaha mereka. Disebelah itu, mereka dapati anak mereka semakin kurus, semakin kurus, maka bisalah dimengerti kekuatiran mereka. Suami-isteri itu sangat berduka. Kwie Sin Sie sendiri masih dapat tenangkan diri, tapi isterinya sering-sering melepas air mata. Begitulah, dalam usaha mencari obat, mereka menuju ke Lam-khia. Kota ini kota tua dan kota raja, mereka harap didalam kota ini nanti menemui kedua rupa obat yang dibutuhkan itu. Kebetulan sekali, mereka dengar kabar tiga murid mereka ada di Lam-khia juga, mereka memang tahu ketiga murid itu cerdik, ingin mereka minta bantuan tiga murid itu. Maka itu, langsung mereka menuju ke rumah Ciau Kong Lee. Apa mau, disini mereka ketemukan Sun Tiong Kun dalam keadaan hebat itu. Kwie Jie-su memang aseran tabiatnya, ia pun lagi bersusah hati karena anaknya itu, tidak heran kalau ia jadi mendongkol dan gusar, hingga ia umbar hawa-amarahnya. Ia pun tidak puas murid-murid itu 'diperhina' suteenya. Begitulah, ia cuma dengar saja satu pihak. Ia jadi bertambah gusar mendengar Sun Tiong Kun sebut Sin Cie ada punya 'tulang punggung'.

"Apakah benar Kim Coa si mahluk aneh itu masih hidup?" ia tanya suaminya seraya ia berpaling pada suami itu.

"Kabarnya dia sudah menutup mata, akan tetapi siapa pun tidak dapat memastikannya," Kwie Sin Sie jawab. Suami ini masih tetap tenang, ia ada lebih berduka daripada bergusar.

Ceng Ceng sudah tidak puas melihat Sin Cie ditegur pulang-pergi dan diperlakukan sekasar itu, sekarang ia dengar ayahnya dikatakan 'mahluk aneh', tak dapat ia menahan sabar lagi.

"Perempuan jahat, perempuan jahat!" ia berseru. "Kenapa kau sembarang mendamprat orang?"

Tapi juga Kwie Jieso gusar. "Kau siapa?" dia bentak.

"Dialah anaknya si Kim Coa mahluk aneh itu!" Sun Tiong Kun kasih tahu guru perempuannya.

Sebelah tangannya Kwie Jie-so tiba-tiba berkelebat, lalu satu sinar menyambar, ke arah nona Hee.

Sin Cie terperanjat, hendak dia mencegah, tapi serangannya enso itu hebat sekali, tak keburu dia berbuat apa-apa. Ceng Ceng menjerit, karena pundak kirinya kena terserang, walau ia mencoba untuk berkelit. Dalam kagetnya, Sin Cie lompat pada kawannya untuk cekal bahu tangannya. Ia lihat sebatang paku shong-bun-teng nancap di pundak.

Ceng Ceng kesakitan akan tetapi ia gusar, tak perduli mukanya pias. "Jangan bergerak!" Sin Cie peringati.

Dengan dua jari tangan telunjuk dan tengah, anak muda ini pegang ujung paku, ia mencabut dengan pelahan tetapi tetap, setelah kira tiga-empat bagian dan dapatkan paku itu tidak bercagak, dengan mendadak ia kerahkan tenaganya, untuk mencabut terus dengan tiba-tiba, maka dilain saat, paku itu telah tercabut dan jatuh ke lantai dengan berbunyi nyaring.

Wan Jie telah menghampirkan mereka, segera ia berikan bantuannya. Ia telah lantas siapkan dua potong saputangan yang bersih dengan apa Sin Cie susuti lukanya Ceng Ceng, yang ia terus balut.

"Dengar aku, adik Ceng," Sin Ci berbisik. "Jangan layani dia."

"Kenapa?" tanya si nona dengan murka.

"Kita mesti hormati suhengku, tak dapat aku turun tangan," Sin Cie kasi mengerti, sikapnya sungguh-sungguh.

Ceng Ceng manggut dengan lesu, karena ia mesti tindas penasarannya.

Lega hati Sin Cie, sebab ia tahu, kawan itu aseran dan kukuh, tapi sekarang, walaupun dia dilukai dan dibikin marah, masih dia suka dengar nasihatnya. Ia girang sang kawan jadi lunak, ia bersenyum.

Kwie Jie-nio tunggu sampai Sin Cie sudah membalut selesai, sambil tertawa dingin, ia kata: "Namanya Kim Coa Long-kun nama kosong belaka! Jikalau dia benar liehay, kenapa puteranya tak dapat kelit pakuku yang aku sengaja gunai untuk mencobanya?" Sin Cie berdiam, didalam hatinya ia kata: "Jie-suso terbenam dalam salah faham hebat, apabila aku bantah dia, itu melulu akan menambah kemurkaannya."

Melihat orang berdiam, nyonya Sin Sie kata pula: "Disini ada terlalu banyak orang, tak dapat kami omong banyak tentang Hoa San Pay kita, maka itu besok malam, jam tiga, kami suami-isteri berdua suka menantikan kau disamping panggung Ie Hoa Tay dibukit Cie Kim San. Kami undang kau, tuan Wan, untuk kitaorang mencoba-coba, untuk buktikan kau benar atau bukan suteeku."

Biarnya njonya ini mengucapkan demikian, semua hadirin tahu itulah tantangan belaka, maka juga Ciau Kong Lee jadi sibuk sekali, ia berkuatir.

"Kwie-sie suami-isteri telah kenamaan sekali di Kanglam, terutama nama besar dari Sin-kun Bu-tek telah membuat aku sangat kagum," berkata dia, "maka itu, jiewie, bukan main girangku atas kedatangan jiewie kemari. Sebenarnya, mengundang pun tak dapat aku lakukannya."

"Hm!" Kwie Jie-so perdengarkan suara dihidung.

Kwie Sin Sie berdiam, ia masih empo anaknya, ia merasa tak enak sendirinya.

"Saudara Wan ini," berkata pula Ciau Kong Lee, "dia ketahui aku menghadapi kesulitan, dengan kebaikan hatinya, dia datang untuk mendamaikan. Mengenai ini, Bwee Toako, Lau Toako dan Sun Toa-cia bertiga telah mengetahuinya dengan jelas. Biarlah besok malam, sebagai tuan rumah, aku undang Kwie-sie berdua hadirkan perjamukanku, sekalian aku hendak memberi selamat yang sam-wie tiga saudara telah bertemu satu dengan lain. " Kwie Jie-so tidak tunggu tuan rumah bicara habis, dia berpaling kepada Sin Cie dan tanya dengan getas: "Bagaimana? Kau pergi atau tidak?"

"Suheng dan suso tinggal dimana?" tanya Sin Cie tanpa perdulikan tantangan orang. "Besok pagi aku nanti datang kepada suheng dan suso untuk menerima nasihat, bagaimana juga suheng dan suso menegur aku, tidak nanti aku berani untuk egoskan diri. "

"Hm!" terdengar pula sang enso kedua. "Siapa ketahui kau tulen atau palsu? Jangan kau panggil suheng atau suso dulu kepada kami! Tunggu sampai besok, setelah kita mencoba-coba, Baru kita bicara pula! Tiong Kun, mari kita pergi!"

Guru perempuan ini tarik tangan muridnya, untuk diajak berlalu.

Selama itu Tiang pek Sam Eng, yaitu tiga jago dari Tiang Pek San - Su Peng Kong, Su Peng Bun dan Lie Kong - goncang hatinya. Diluar dugaan mereka, Sin Cie muncul untuk menyulitkan mereka. Mereka insyaf bahwa rahasia mereka sudah bocor, sehingga mereka jadi berkuatir sekali. Sekarang mereka bisa duga pasti, Sin Cie adalah orang yang tadi malam satroni mereka dan rampas surat-surat mereka, hingga mereka kuatir Sin Cie nanti buka rahasia mereka dimuka umum itu. Maka itu mereka girang dengan munculnya Kwie Sin Sie suami-isteri, karena rewelnya nyonya yang aseran ini membuat Sin Cie jadi "jinak". Mereka harap-harap nyonya itu membuat onar, supaya bisa datang ketikanya yang baik untuk mereka mencari keuntungan karenanya. Tapi mereka kecele apabila mereka dengar, nyonya Kwie cuma tantang Sin Cie akan bertanding di Cie Kim San besok malam. Itulah berarti, mereka terancam bahaya pula, dari itu, setelah satu sama lain kedipi mata, ketiganya bertindak, untuk ngeloyor pergi

562 dengan diam-diam dengan dului nyonya Kwie, selagi dia ini Baru memutar tubuh.

"Hei, tunggu dulu!" berseru Sin Cie, yang lihat gerakan orang itu. Sebab walaupun ia sibuk menghadapi si enso kedua, ia tidak pernah alpa memasang mata kepada tiga jago Tiang Pek San itu. Pun, sambil berseru, dia berlompat maju, akan halangi mereka bertiga.

Kwie Jie-nio menjadi gusar, ia menyangka sutee ini hendak rintangi dia.

"Anak kurang ajar! Kau berani pegat aku?" Dia membentak seraya sebelah tangannya dikasih melayang, untuk hajar kepala pemuda kita.

Sin Cie berkelit, hingga tangannya enso itu lewat diatasan pundaknya, hingga ia kena keserempet sedikit, hingga ia merasakan pedas sekali. Karena ini, ia jadi insyaf liehaynya enso ini.

Memang Kwie Jie-nio belum pernah kasih lewat ketika yang senggang untuk tidak berlatih, untuk itu, ia bisa senantiasa berlatih dengan suaminya, hingga kepandaian mereka berdua tidak pernah mundur hanya malah maju terus. Akan tetapi sekarang, melihat si anak muda luput dari serangan, enso yang kedua ini jadi naik darah. Sudah belasan tahun, belum pernah ia menemui orang yang bisa lolos dari serangannya ini. Maka tidak tempo lagi, ia ulangi serangannya dengan babat pinggang si anak muda dengan telapakan tangannya yang dikasih miring.

Sin Cie mengerti selatan, ia mendahului lompat, melewati meja, dengan begitu, tak bisa si enso itu susul ia. Sedang si enso sendiri, entah bagaimana, kembali tarik tangannya Sun Tiong Kun, untuk diajak pergi, dengan begitu suaminya, berikut Bwee Kiam Hoo dan Lau Pwee Seng, lantas ikut mereka berlalu dari rumah Ciau Kong Lee.

563 Tiang Pek Sam Eng lihat ketikanya, kembali mereka pergi keluar, sekali ini bukan dengan bertindak saja hanya sambil berlari.

"Hei, tahan!" Sin Cie berteriak pula dengan cegahannya, terus ia berlompat, mencelat bagaikan burung terbang, hingga ia dapat jambak Lie Kong, yang kabur paling belakang. Tidak ampun lagi, ia totok jago Tiang Pek San ini, tubuh siapa terus ia lemparkan ke lantai.

Dua saudara Su berlaku licik, mereka kabur terus, hingga mereka lenyap ditempat gelap. Karena itu malam, cuaca gelap sekali. Sin Cie juga tidak mengubar terus. Ia pikir, ia sudah bekuk satu orang, orang ini pun bisa diminta keterangannya. Selagi ia memutar tubuh, untuk kembali ke dalam, tiba-tiba ia dengar suara nyaring dibelakangnya, suaranya orang tua: "Hai sahabat kecil, Baru sepuluh tahun lebih kita tidak bertemu, kepandaianmu telah maju begini bagus!"

Sin Cie goncang hatinya apabila ia dengar suara itu, yang ia kenali, sehingga dengan cepat sekali, ia berpaling, untuk melihat. Itu waktu, ia sudah berjalan melewati pintu.

Bertindak dipintu ada dua orang, sebelah tangannya masing-masing mengempit Su Peng Kong dan Su Peng Bun, kedua jago Tiang Pek San yang Baru saja lolos. Melihat tegas romannya orang yang jalan dimuka, bukan buatan girangnya anak muda ini. Sebab orang itu adalah seorang tua dengan alis dan kumis-jenggot sudah ubanan dan dibelakangnya menggemblok selembar papan pesegi warna hitam! Sebab orang itu adalah yang pernah berikan ia pelajaran entengkan tubuh dan senjata rahasia, ialah Bhok Siang Toojin. Benar dia bukannya gurunya yang resmi, toh Sin Cie ingat budinya yang besar, hingga ia pandang orang tua ini bagaikan guru sejati. Dengan kegirangan ia lompat menghampirkan orang tua itu didepan siapa segera ia jatuhkan diri untuk berlutut, untuk manggut-manggut.

0o-d.w-o0

Bhok Siang Toojin tertawa bergelak-gelak.

"Bangun, bangun!" katanya dengan ramah-tamah. "Kau lihat, siapa dia ini!"

Dan ia berpaling, akan tunjuk orang yang kedua, yang datang bersama ia, siapa sekarang sudah berada disampingnya.

Sin Cie awasi seorang usia pertengahan, yang rambutnya sudah mulai bersemu, yang wajahnya menyatakan dia kenyang berkelana. Kembali ia jadi sangat girang, karena ia kenali gurunya dimasa ia masih kecil sekali, orang yang pernah secara mati-matian tolong jiwanya, ialah Cui Ciu San.

Bhok Siang Toojin sudah lanjut usianya, selama belasan tahun tampangnya tidak berubah, tidak demikian dengan Cui Ciu San, yang didalam tangsi tentera Giam Ong sudah keluarkan banyak tenaga.

Dalam girangnya, Sin Cie tubruk guru ini, yang ia rangkul lehernya.

"Cui Siokhu, kiranya kau!" ia berseru berulang-ulang.

Kemudian tanpa merasa, air matanya mengalir turun.

Dengan mata berlinangan, Ciu San pun sangat terharu dengan pertemuannya dengan bocah itu.

Mungkin guru dan murid masih sibuk sendirinya kalau tidak mendadak terdengar suara Bin Cu Hoa, siapa sejak tadi tercengang karena sepak-terjangnya Sin Cie. "Hai!" serunya. "Kedua Su Toako dan Lie Toako ini ada orang-orang undanganku, kenapa kamu tawan mereka? Kenapa?"

Sin Cie tidak lantas jawab teguran itu, dia hanya menunjuk pada gurunya tak resmi, 'sahabatnya' main catur, dia kata: "Inilah Bhok Siang Toojin, salah satu guruku!" Kemudian ia menoleh, akan tunjuk Ciu San, akan perkenalkan pula: "Dan ini aku punya Cui Siokhu yang kesohor untuk ilmu silat Hok-hou-ciangnya! Ini ada guruku ketika untuk pertama kali aku belajar silat!"

Tidak tanggung-tanggung pemuda ini perkenalkan gurunya itu.

Diantara para hadirin yang tertua tidak ada yang tidak pernah dengar nama Bhok Siang Toojin, cuma imam ini tak ketentuan tempat berkelananya, gerak-geriknya bagaikan iblis saja, karena mana, orang juluki dia "Kwie Eng Cu", si Bajangan Iblis. Kira-kira delapan bagian dari hadirin yang tertua itu pernah lihat atau bertemu sama imam itu. Begitulah Sip Lek Taysu serta Thio Sim It dari Kun Lun Pay kenal ini imam, malah mereka masih terhitung pihak angkatan muda, maka keduanya lantas saja menghampirkan untuk memberi hormat.

Semua hadirin lainnya tercengang melihat pendeta dari Siau Lim Sie itu dan jago dari Kun Lun Pay menghormati itu imam, maka dengan sendirinya, mereka juga tidak berani memandang enteng, semua turut memberi hormat.

Bhok Siang Toojin angkat tangan kepada semua orang. "Gawenya pinto ini," katanya, "kecuali gegares nasi

adalah main tiokie melulu, lainnya urusan, apapula yang

menyulitkan, tak pernah pinto pusingi. Tapi sekali ini, hal adalah lain. Baru pada bulan yang lalu, pinto dengar selentingan   halnya   orang   bangsa   kita,   yang   sudah

566 bersekongkol sama bangsa asing, dan orang itu katanya sudah datang ke kota Lamkhia ini untuk beraksi, melakukan usaha besar untuk menjual Negara! Pasti sekali, mengenai urusan ini, pinto tak dapat menonton saja dari samping. Maka itu,lantas pinto menyusul kemari. "

"Siapakah pengkhianat itu?" tanya Bin Cu Hoa. "Mustahil mereka ada Tiang Pek Sam Eng?"

"Tidak salah!" jawab Bhok Siang Toojin. "Benar ini tiga enghiong dan hookiat yang namanya sangat kenamaan!"

"Ketiga tuan ini ada sahabat kekalku, kenapa mereka bisa lakukan perbuatan tidak tahu malu itu?" tanya pula Bin Cu Hoa. "Janganlah kau semprot orang dengan darah!"

Bhok Siang bersikap tenang ketika ia menjawab pula: "Pintoo adalah orang yang biasa berbuat murah hati,

karena dengan mereka ini belum pernah pinto bertemu,

diantara kita tidak ada dendaman atau permusuhan maka kenapa pinto mesti fitnah mereka? Tapi selagi pinto berada di Kwan Gwa, dengan mataku sendiri pinto lihat mereka kasak-kusuk dengan orang Boan-ciu, dari itu, disepanjang jalan terus pinto ikuti mereka."

"Bukti apakah kau ada punya?" tanya pula Bin Cu Hoa.

Ia malu apabila sampai orang fitnah tiga sahabatnya itu.

Bhok Siang Toojin tertawa berkakakan.

"Bukti?" tanyanya. "Buat apakah masih belum cukup?" "Siapa yang dapat percaya itu?" baliki Bin Cu Hoa. Dia

tetap masih penasaran.

Tidak senang Bhok Siang Toojin terhadap sikap kasar itu, ia gusar.

"Walaupun Uy Bok Toojin, gurumu, dia tidak berani mengucap sepatah kata didepanku!" dia menegur. "Kau

567 bocah, kau punya nyali besar berani tidak mempercayai pinto?"

"Mendengar ini, sebagian orang kurang puas, karena mereka anggap, mentang-mentang orang tua dan kesohor, imam ini hendak berlaku demikian getas. Itulah, mereka pikir, ada sikap sewenang-wenang.

Bhok Siang mendongkol, hingga ia urut-urut kumisnya. Sin Cie tidak mau lihat gurunya itu menjadi kalap, lekas-

lekas ia keluarkan dua lembar surat dari sakunya, ia lantas

tunjuki itu pada Bin Cu Hoa.

"Bin Jie-ya, tolong kau bacakan ini untuk semua hadirin mendengarnya!" kata dia.

Bin Cu Hoa sambuti dua lembar surat itu, Baru ia baca beberapa baris, sudah ia lompat berjingkrak bahna kaget, tapi ia teruskan membaca dengan suara nyaring.

Itulah suratnya Kiu-ong-ya To Jie Kun dari Manchuria yang ditulis untuk Tiang Pek Sam Eng, buat suruh dan anjurkan tiga jago dari Tiang Pek Sam Eng itu rampas dan kangkangi partai-partai di Kanglam, buat mengadu- dombakan pelbagai jago Rimba Persilatan, supaya diaorang ini saling bunuh, supaya berbareng mereka memelihara tenaga, guna nanti menyambut penyerbuannya tentara Boan terhadap Tionggoan. Surat itu dibubuhi capnya pangeran Boan itu serta tanda tangan huruf Boan juga.

Bin Cu Hoa belum habis membaca, para hadirin sudah gempar saking murkanya mereka.

Cit-cap-jie-to Toocu The Kie In lompat kepada Lie Kong, untuk totok sadar orang tawanannya Sin Cie.

"Kau mempunyai kejahatan apa lagi? Lekas aku!" ia bentak. Lie Kong melongo, tak dapat ia buka mulutnya.

Dalam sengitnya, The Kie In hajar pulang pergi kedua kuping orang, hingga jago Tiang Pek San ini merah dan bengap juga kedua belah pipinya.

Sin Cie gunai ketikanya itu akan tuturkan bagaimana ia dapatkan surat rahasia itu.

Lie Kong tahu dia tidak bisa diam lebih lama, tapi dia berkukuh kepada cita-citanya, maka juga dengan berani, dengan nyaring, ia kata: "Tidak lama lagi angkatan perang Boanciu bakal datang menyerbu, maka juga wilayah Tionggoan ini bakal segera menjadi negaranya bangsa Boan! Jikalau kamu semua menakluk dari sekarang, kamu bakal menjadi menteri-menteri berjasa yang membangunkan Negara! Jikalau. "

Kata-kata ini tidak habis diucapkan, karena kepalannya The Kie In sudah mampir didadanya Lie Kong, hingga dia rubuh dengan tak sadar akan dirinya.

Dua saudara Su dengar perkataan Lie Kong, mereka saksikan kejadian itu, akan tetapi mereka sedang dalam totokan, tak dapat mereka membuka mulut atau bergerak. Mereka insyaf bahaya yang mengancam diri mereka, hingga meeka jadi putus asa.

"Tootiang," berkata The Kie In, "Kejahatan pengkhianat- pengkhianat ini sudah terang, buat apa kasih mereka hidup lebih lama pula? Baik bikin habis saja pada mereka!"

"Biar mereka tinggal hidup, pinto masih membutuhkannya," sahut Bhok Siang sambil tertawa. "Sekarang sudah tidak siang lagi, lain hari saja pinto nanti undang tuan-tuan untuk kita berunding. Haruslah diketahui, pengkhianat ini mestinya mempunyai konco!" Perkataan imam ini dianggap benar, maka orang suka mendengarnya.

Sampai disitu, orang lantas bubaran.

Bin Cu Hoa menyesal bukan main, karena sekarang mengertilah ia duduknya perkara semua. Ia menghaturkan maaf dengan sungguh-sungguh kepada Ciau Kong Lee, ia juga menghaturkan terima kasih kepada Sin Cie. Ia inysaf bencananya apabila ia kerembet-rembet Tiang Pek Sam Eng itu.

"Coba tidak Wan Siangkong yang datang mendamaikan, pastilah dosaku ada dosa tak berampun," ia mengaku.

Sin Cie hiburkan orang she Bin ini.

Begitu lekas orang sudah bubaran, Bhok Siang Toojin kasih turun papan hitam dibelakangnya, ia juga keluarkan biji-biji caturnya.

"Selama beberapa tahun ini senantiasa aku ingat kau," katanya pada Sin Cie, "tidak lain kehendakku adalah supaya kau bisa temani aku main catur!"

Sin Cie bersenyum. Ia lihat gurunya itu demikian gembira, tidak mau ia menampik, maka begitu lekas guru itu telah ambil tempat duduk, ia duduk didepannya.

Bhok Siang Toojin kata pada semua orang lainnya: "Silahkan kamu semua beristirahat!"

Ciau Kong Lee lantas ajak Cui Ciu San masuk kedalam, untuk diantar kekamar yang disiapkan.

Ceng Ceng tidak mau undurkan diri, ia mau nonton orang main catur, maka ia tempatkan diri didamping guru dan murid itu.

Wan Jie sendiri lantas repot menyuguhkan arak dan sayurannya serta bebuahan juga.

570 Kong Lee pun pergi tidur.

0o-d.w-o0
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar