Bab ke 11
Lagi-lagi Ciau Kong Lee menghela napas.
"Sebagai orang rimba hijau, aku ambil kedudukan diatas bukit Siang Liong Kong," demikian ia mulai. "Pada tahun itu, pada suatu hari aku terima laporan dari beberapa saudara pengawas tentang bakal lewatnya serombongan "minyak air" dibawah gunungku. Itulah rombongannya bekas tootay dari Souciu dan Siongkang, yang bersama keluarganya dalam perjalanan pulang kekampung halaman mereka. Adalah kebiasaan kita kaum rimba hijau, kita hidup dari pembegalan atau perampasan, apapula hartanya pembesar-pembesar jahat, yang makin tak dapat dikasi hati. Laginya, dengan membegal satu lepasan pembesar, hasilnya berlipat seratus kali daripada kita ganggu rombongan saudagar, sedang harta mereka biasanya harta tidak halal dan pantaslah bila kita merampasnya. Maka bulatlah tekadku untuk merampasnya. Turut keterangan lebih jelas, bekas tootay itu ada orang she Khu dan rombongannya bakal lewat diwaktu lohor. Apa yang menyulitkan kita, terkabar bekas tootay itu pakai pelindung yang bukan orang sembarangan, sebab dia adalah Bin Cu Yap, pemimpin Hwee Yu Piau Kiok dari Ceelam, Shoatang. Bin Cu Yap itu adalah kandanya Bin Cu Hoa ini."
Baru mendengar sampai disitu, Sin Cie dan Ceng Ceng lantas saja mengerti duduknya hal.
"Beginilah kiranya," pikir pemuda kita. "Ciau Kong Lee hendak merampas, Bin Cu Yap hendak membelainya. Sebagai piausu, itulah kewajibannya Bin Cu Yap. Rupanya mereka telah bertempur, Bin Cu Yap kalah, dia mati terbunuh. "
Sembari pasang kuping, Sin Cie juga tidak lepas mata terhadap Ban Hong dan Sun Tiong Kun, maka itu ia dapat melihat ketika nona Sun satu kali meraba bebokongnya, dia terperanjat karena pedangnya tak ada ditempatnya, hingga dia kaget dan berjingkrak karenanya, segera dia memberi tanda pada Ban Hong, lantas keduanya angkat kaki dari rumahnya si orang she Ciau itu.
Diam-diam Sin Cie tertawa dalam hatinya. Ia terus mendengari :
"Bin Cu Yap itu, dalam kalangan kangouw, ada kenamaan," Ciau Kong Lee melanjuti. "Dia ada satu ahli silat dari Bu Tong Pay. "
"Oh, persaudaraaan Bin itu ada dari Bu Tong Pay," Sin Cie pikir. "Menurut suhu, Bu Tong Pay adalah pusat utama dari pelajaran ilmu silat pedang diseluruh negara dan ketuanya ada punya pergaulan luas dengan lain-lain kaum
464 persilatan. Pantas sekarang Bin Cu Hoa bisa undang demikian banyak orang kosen."
"Mulanya tak berani aku segera turun tangan," Ciau Kong Lee bercerita pula, "malah aku segera turun gunung untuk membikin penyelidikan sendiri. Malam itu aku mengintai dirumah penginapan. Apa yang aku saksikan membuat perutku hendak meledak saking gusar dan mendongkol. Diluar dugaan, Bin Cu Yap ada seorang yang kemaruk paras eilok, dan dia telah incar puteri kedua dari Khu-Tootay. Untuk ini, dia telah bersekongkol sama Thio Ceecu, pemimpin Hui Hou Cee. Rencana mereka adalah Thio Ceecu akan turun tangan didekat Hui Hou Cee, selagi perampasan dilakukan, Bin Cu Yap nanti berpura-pura melakukan perlawanan, tapi dia akan berpura-pura kalah , supaya Thio Ceecu dapat binasakan Khu Tootay sekeluarga kecuali gadisnya yang kedua itu, yang mesti dirampas bersama semua hartanya. Setelah itu, Bin Cu Yap akan berpura-pura berlaku nekat, untuk tolong nona Khu itu. Apabila si nona sudah dapat ditolong, kata Bin Cu Yap, dia pasti jadi sebatang kara, tidak ada pelindungnya lagi, hingga ia percaya, nona itu akan berhutang budi padanya dan nanti suka serahkan diri untuk menjadi isterinya. Thio Ceecu bersedia melakukan rencana itu, karena ia pun temahai hartanya tootay itu. Aku dengar semua itu, aku gusar, lantas aku pulang, untuk ajak sekalian saudara bersiap didekat Hui Hou Cee, guna rintangi rencana itu. Benarlah, pada jam yang disebutkan, rombongan Khu Tootay sampai di jalanan gunung bagian kiri dari Hui Hou Cee, sarangnya Thio Ceecu itu."
"Ah, inilah lain," pikir Sin Cie. Tadinya ia menduga, begal dan piausu perebuti harta saja. Ia mendengari terus :
"Waktu itu tak dapat aku sabarkan diri," kata Ciau Kong Lee yang melanjuti. "Aku junjung pantang kita kaum Rimba Hijau mengenai soal paras eilok. Kita boleh buntu jalan, kita boleh menjadi begal, tapi kita tetap mesti jadi satu laki-laki, tidak demikian ada Bin Cu Yap. Kenapa dia jadi begitu hina, sedang dia ada satu piausu? Sebagai piausu, dia menyalahi tugas, dia bikin turun derajatnya, dan sebagai orang gagah, dia perhina martabat sendiri! Segera setelah munculnya rombongan Khu Tootay, Thio Ceecu dan laskarnya pun keluar, dengan banyak berisik, mereka mengancam hendak membegal. Bin Cu Yap maju kemuka, dengan tingkahnya yang tengik, ia berlagak hendak melindungi keluarga Khu itu. Aku habis sabar, tidak tunggu sampai mereka lanjuti sandiwara mereka, aku keluar dari tempat tersembunyi. Adalah maksudku untuk cegah kejadian busuk itu, akan tetapi kita kedua pihak tak mendapat kecocokan, hingga kita jadi bentrok. Dengan pedangnya, Bin Cu Yap benar-benar liehay, untungnya bagiku, dia sedang gusar dan kalap, dia seperti tak dapat kendalikan diri, maka kebetulan aku dapat ketika, aku telah kena bacok dia sehingga dia binasa "
"Suhu, manusia keji semacam dia pantas dibinasakan!" berseru satu murid, yang potong omongan gurunya. "Kenapa kita mesti jeri? Kalau besok mereka datang, kita bongkar rahasianya Bin Cu Yap ini, umpama dia norek hendak menuntut balas juga, mustahil diantara rombongannya tidak ada orang-orang yang jujur ?"
"Kau benar," Sin Cie kata dalam hatinya, mendengar kata-katanya murid itu. "Umpama benar keterangannya orang she Ciau ini, dia pantas dihargai. Aku kuatir masih ada lain urusan lagi diantara mereka itu. "
Ciau Kong Lee menghela napas pula sebelum ia menutur lebih jauh.
"Setelah membinasakan Bin Cu Yap, aku menginsyafi bahaya yang bakal ancam aku," demikian guru itu.
466 "Gurunya Bin Cu Yap ada Uy Bok Toojin, bersama guru ini ada banyak saudara-saudaranya seperguruan, diaorang itu tentunya tidak mau mengerti dan bakal menuntut balas. Bagaimana aku sanggup lawan mereka semua? Beruntung untuk aku, saudara-saudaraku dapat pengaruhi Thio Ceecu, lantas aku paksa dia untuk menulis surat keterangan yang menuturkan persekutuan mereka, bahwa maksud Bin Cu Yap ada untuk ganggu nona Khu itu. Thio Ceecu telah tulis surat pengakuannya itu."
"Khu Tootay merasa sangat bersyukur yang aku telah tolongi dia, dia sampai menulis sehelai kertas dalam mana ia juga tuturkan dengan jelas duduknya perkara itu, untuk mana dia paksa dua piausu dari Hwee Yu Piau Kok bubuhkan tanda-tangannya, untuk menguatkan surat keterangan itu. Kedua piausu itu tidak tahu maksudnya Bin Cu Yap, mereka tidak mendendam sakit hati padaku, sebaliknya, mereka bersyukur, karena kalau tidak, tentu nama mereka akan turut bercacat. Karenanya, kita menjadi sahabat-sahabat. Karena kejadian itu, tak dapat aku terus menduduki Siang Liong Kong, terpaksa aku membubarkan diri, kemudian dengan bawa itu dua surat bukti, aku pergi ke Bu Tong San, untuk menemui Uy Bok Toojin, guna jelaskan duduknya hal."
"Diluar dugaanku, pihak Bu Tong Pay telah terlebih siang mendengar kabar perihal kebinasaannya Bin Cu Yap, mereka telah berpapasan denganku selagi aku Baru ditengah perjalanan. Mereka berniat ganggu aku, baiknya aku dapat pertolongan seorang kangouw yang luar biasa, siapa terus antar aku naik ke Bu Tong San hingga aku dapat menemui Uy Bok Toojin. Dibantu oleh penolong itu, aku ceritakan duduknya kejadian. Uy Bok Toojin ada seorang jujur, ia suka percaya keteranganku, maka ia larang murid- muridnya musuhkan aku. Akan tetapi, untuk nama baiknya Bu Tong Pay, ia kehendaki aku jangan uwarkan hal itu kepada umum. Aku berikan janjiku. Maka setelah turun gunung, terus aku tutup mulut. Inilah sebabnya kenapa hampir tidak ada orang kangouw yang ketahui rahasia itu. Pada waktu itu, Bin Cu Hoa masih kecil. Aku percaya, dia pun tidak tahu hal-ihwalnya engko itu."
"Apakah kedua surat keterangan itu masih ada, suhu?" tanya satu murid.
"Justru kedua surat itu yang membuat sulit padaku," sahut sang guru. "Duduknya begini: Pertama-tama aku mesti sesalkan mataku, yang seperti buta, hingga aku tak dapat kenali wajah manusia. Baru pada musim rontok tahun yang lalu, satu sahabat menyampaikan berita kepadaku bahwa adiknya Bin Cu Yap sudah rampungkan pelajaran silatnya, bahwa adik ini, mengetahu kandanya binasa ditangan aku, dia hendak cari aku untuk menuntut balas. Tentu saja, aku lantas berdaya untuk selamatkan diriku. Turut penyelidikanku, Tiang Pek Sam Eng bersahabat rapat dengan Bin Cu Hoa itu. Tiga jago dari Tiang Pek San itu ada kenalanku untuk banyak tahun, kami bersahabat rapat, cuma sudah belasan tahun, kami tak bertemu satu sama lain. Aku masih ingat bagaimana diwaktu muda kami bekerja dan hidup bersama dalam dunia Rimba Hijau, maka itu, ingin aku minta perantaraannya. Demikian, aku telah berangkat mencari Tiang Pek Sam Eng. "
Salah satu murid menyelak: "Jadi ketika tahun lalu suhu pergi ke Liautong, hingga seantero tahun Suhu tidak berada di rumah, sebenarnya suhu lagi urus perkara ini?"
"Benar," Ciau Kong Lee manggut. "Aku telah pergi ke Liautong untuk cari Tiang Pek Sam Eng dirumahnya. Ketika itu adalah akhir tahun, hawa udara sangat dingin, aku duga dua saudara Su mesti berada dirumahnya. Tidak
468 kebetulan untuk aku, aku tidak lantas dapat menemui kedua saudara itu. Turut keterangan orang dirumahnya, mereka kebetulan dipanggil oleh Kiu Ong-ya di Kian-ciu-wie. Tapi sudah telanjur, terpaksa aku menantikan. Selang beberapa hari Su Peng Kong dan Su Peng Bun Barulah pulang. Bukan main girangku bertemu sama sahabat-sahabat lama, demikian juga dua saudara itu."
"Tidak ayal lagi, aku tuturkan maksud kedatanganku. Untuk itu, perlu aku jelaskan duduknya permusuhanku dengan keluarga Bin itu. Su Peng Kong berjanji suka menolong aku, malah ia bertepuk dada memastikan urusan bakal beres. Karenanya, aku serahkan dia dua surat keterangan itu. Peng Kong bilang, kedua surat itu perlu diperlihatkan kepada Bin Cu Hoa. Ia malah kata, pabila Cu Hoa sudah lihat surat-surat itu, tidak nanti dia punya muka untuk menuntut balas lebih jauh, mungkin dia akan minta orang perantaraan untuk menghaturkan maaf padaku, serta untuk mohon agar aku tidak siarkan cerita kebusukan kakaknya itu. Alasannya Peng Kong itu masuk diakal, aku percaya padanya."
"Dua saudara itu layani aku dengan telaten dan gembira sekali, hingga aku suka berdiam lamaan dirumahnya. Aku pun sedang punyakan tempo terluang. Setiap hari kami pergi berburu atau pergi menonton wayang. Kemudian pada suatu hari, Peng Kong omong kepadaku bahwa bintangnya kerajaan Beng sudah guram, selagi kami mempunyai kepandaian silat, kenapa kami tidak mau mencari junjungan baru, katanya. Dia hunjuk, kami bakal peroleh pangkat besar, anak-isteri hidup mewah dan agung. Tidakkah kami bakal jadi menteri pendiri kerajaan? Aku tercengang mendengar ajakan itu. Aku tanya apa kami bakal pergi menghamba kepada Giam Ong ? Peng Kong tertawakan aku, dia bilang Giam Ong adalah berandal rumput dan tidak bakal peroleh kemajuan. Dia lalu menjebutkan kerajaan Boan, yang katanya angkatan perangnya kuat, rangsumnya banyak, bahwa bangsa asing itu bakal segera datang menyerbu. Dia kata, kalau aku suka terima ajakannya, dia dua saudara bakal pujikan aku kepada Kiu Ongya, supaya aku diterima bekerja. Mendengar itu, tiba-tiba saja aku jadi gusar, hingga aku tegur mereka, mereka sebenarnya bangsa apa, kenapa sebagai cucu Uy Tee, mereka suka menjadi kacung bangsa asing! Aku katakan, apa dengan begitu kami tidak akan jadi cucu yang berdosa besar dan setelah mati, mana kami ada muka untuk bertemu dengan leluhur kita?"
Mendengar ini, Sin Cie manggut-manggut sendirinya. "Dia seorang cerdas, dia dapat bedakan yang benar dan
tidak benar," pikirnya. Maka ia kagumi orang she Ciau ini.
"Untuk sementara itu, kami bentrok," Ciau Kong Lee melanjutkan penuturannya itu. "Di hari kedua, kami baik pula seperti biasa dan mereka berdua kembali berlaku ramah-tamah dan perlu. Peng Kong akui kemarin ia sinting, tak tahu dia, dia sudah ngoceh apa, dia minta aku tidak buat pikiran. Kami adalah sahabat-sahabat dari belasan tahun, tentu saja urusan demikian dapat kami bikin habis. Lagi belasan hari aku berdiam di Liautong, Baru aku pulang."
"Benar-benar aku tidak sangka, dua saudara Su itu adalah dua ekor srigala atau anjing! Teranglah, bukan mereka pergi pada Bin Cu Hoa untuk akuri kita, mereka justru ciptakan gelombang, mereka sengaja ogok orang she Bin itu, hingga Bin Cu Hoa bersiap sedia untuk satroni aku. Selama setengah tahun, aku masih belum ketahui rahasianya dua saudara Su itu, sampai sekarang ini, mereka muncul dengan mendadakan dikota Lamkhia ini, malah Bin Cu Hoa telah undang orang-orang liehay untuk bantu
470 dia. Aku percaya, dua surat keterangan itu tentu masih berada pada dua saudara Su itu. Sudah berselang banyak tahun sejak kejadian itu, maka sekarang ini, mereka yang menjadi saksi, yang ketahui perkara, tentu sudah menutup mata atau entah dimana tinggalnya mereka sekarang apabila mereka masih hidup. Tanpa bukti dan saksi, bagaimana aku bisa bela diri? Tentu sekali, Bin Cu Hoa tidak nanti percaya aku. Malah mungkin, dia bakal jadi semakin gusar dan akan tuduh aku mengarang cerita untuk fitnah kandanya itu. Aku heran sikapnya dua saudara Su itu. Kami toh bersahabat kekal, umpama mereka ingat bentrokan, tapi kami sudah baik pula. Kenapa sekarang mereka datang bersama Bin Cu Hoa ? Aku duga mereka semua ingin tumpas pihakku."
Mendengar keterangan itu, dua puluh empat muridnya Ciau Kong Lee jadi sangat gusar, gusar terutama terhadap dua saudara Su, sehingga ingin diaorang tempur mereka itu.
"Sabar," Ciau Kong Lee bilang. "Sekarang pergi kamu undurkan diri. Ingat, apa yang aku terangkan kepada kamu ini, jangan kamu bikin bocor. Saking terpaksa saja, aku telah buka rahasia ini kepada kamu semua. Aku sudah berjanji sama Uy Bok Toojin, untuk tutup rahasianya Bin Cu Yap, aku hendak menetapkan janji. Lebih suka aku merekalah yang tak berkepantasan daripada aku yang menyalahi janji!" ia menghela napas. "Pergi kamu panggil sumoay dan suteemu!"
Dengan wajah masih gusar, murid-murid itu pergi keluar. Tapi menyusul keluarnya mereka, moielie lantas tersingkap pula dan sekarang datangnya satu nona umur enam atau tujuh belas tahun serta satu bocah usia delapan atau sembilan tahun.
Si nona bercucuran air mata, ia berseru memanggil "Ayah!" lantas ia tubruk Ciau Kong Lee.
471 Ayah itu usap-usap rambut gadisnya, untuk sekian lama, ia tak dapat bicara. Si anak sendiri telah menangis sesenggukan.
Si bocah mengawasi dengan pentang mata lebar-lebar, tak tahu ia kenapa encienya itu menangis.
"Apakah ibumu telah siapkan segala apa?" Kong Lee tanya kemudian.
Nona itu tidak menjawab, ia cuma manggut.
"Jikalau nanti adikmu tambah usianya, kau baik-baik ajari dia bersekolah dan meluku," kata ayah itu pula. "Tetapi ingat, jangan perkenankan dia turut dalam ujian untuk memperoleh pangkat. Juga jangan kau ajarkan pula dia ilmu silat."
"Adik justeru perlu belajar ilmu silat, supaya dibelakang hari dia dapat menuntut balas," kata si nona.
"Ngaco!" Kong Lee membentak. "Apakah kau hendak gaduh aku hingga aku mati gusar!" Tapi cuma sedetik saja, dia melanjuti dengan sabar : "Didalam Rimba Persilatan, saling mendendam dan saling membalas, entah sampai kapan habisnya! Maka itu tak ada lebih baik daripada menjadi rakyat jelata yang lurus dan damai selama hidup kita. Dasarnya adikmu tidak sempurna, jikalau dia belajar silat, tidak nanti dia mendapat kepandaian yang berarti, tidak separuh dari semua kepandaianku. Lihat contohnya aku sendiri, aku telah terdesak begini rupa, sehingga aku tidak bakal akhirkan usiaku secara damai. ....Ah, tak dapat aku tunggu kau hingga kau berumah-tangga, ini adalah ganjalan untuk hatiku....Pergi kau beritahukan mereka semua, setelah aku mati nanti, urusan Kim Liong Pang kita baik semuanya diserahkan kepada Kho Siokhumu yang menjadi Hu-pangcu, biar mereka semua dengar titahnya " Sin Cie heran.
"Aku dengar Kim Liong Pang adalah satu partai besar diwilayah Kanglam ini, siapa tahu, Ciau Kong Lee adalah yang menjadi pangcu, ketua. Mereka beranggauta banyak dan besar pengaruhnya, kenapa sekarang Ciau Kong lee bersikap begini lemah? Benar-benar aneh!"
"Sekarang aku pergi cari Kho Siokhu," berkata si nona. "He, kenapa kau masih tidak ketahui sikapku?" sang
ayah menegur. "Pamanmu itu bertabeat keras, jikalau dia
datang dan ketahui urusanku ini, apa kau anggap dia mau sudah saja orang perhina aku begini rupa? Satu kali dia datang, perang bakal segera terbit, entah berapa banyak jiwa akan melayang! Diumpamakan aku ketolongan, luput dari bahaya kematian, akan tetapi karena itu, mungkin beberapa ratus saudara kita bakal terbinasa, apabila sampai terjadi demikian, mana bisa hatiku tenang? Tidak, aku tidak tega! Hayolah kau lekas pergi!"
Nona itu menangis, tapi ia paykui kepada ayahnya dua kali, sesudah mana, ia tuntun tangan adiknya, untuk diajak pergi. Ketika ia sampai dipintu, tiba-tiba ia berhenti dan menoleh.
"Ayah!" katanya. "Apa mungkin, kecuali dari mati, tidak ada jalan yang kedua untuk menghindarinya?"
"Tentang itu aku telah pikirkan selama beberapa hari dan malam," sahut sang ayah. "Apakah aku tidak bakal bergirang andaikata bisa aku terluput daripada kematian? Didalam dunia ini, cuma ada satu orang yang bisa tolong aku, akan tetapi orang itu kebanyakan sudah tidak berada lagi didalam dunia..."
Kong Lee menghela napas pula. Wajahnya si nona bercahaya dengan tiba-tiba, ia hampirkan ayahnya dua tindak.
"Ayah, siapakah orang itu?" tanyanya." Siapa tahu kalau- kalau dia belum meninggal dunia. "
"Dia orang she Hee," sahut ayah itu. "gelarannya ialah Kim Coa Long-kun."
Selagi gadisnya masih berdiam, Ciau Kong Lee menambahkan: "Dialah orang yang aku maksudkan si orang kangouw yang luar biasa. Dialah juga yang ketahui jelas perkaraku dengan Bin Cu Yap. Ketika dulu dua-belas murid kepala dari Bu Tong Pay hendak ganggu aku, dialah yang sendirian saja mundurkan jago Bu Tong San, untuk tuturkan duduknya hal, hingga perkara jadi dapat dibikin habis. Sekarang ini Uy Bok Toojin sudah meninggal dunia dan Kim Coa Long-kun sendiri katanya pada belasan tahun telah orang aniaya hingga sekarang dia pun tak berada dalam dunia lagi. Coba dia masih hidup....Ah, sudahlah, pergilah kamu. "
Dengan sangat berduka, si nona berlalu.
Sin Cie beri tanda pada Ceng Ceng, mereka tinggalkan jendela, untuk kuntit nona Ciau itu, kapan mereka telah sampai ditaman bunga, dimana tidak ada lain orang, mendadakan pemuda kita berlompat, akan lombai nona itu, untuk berdiri didepannya.
"Nona Ciau, mau atau tidak kau tolongi ayahmu?" tanya ia secara mendadakan.
Nona itu terkejut, hingga ia melengak, atau segera ia hunus pedangnya.
"Siapa kau?" ia membentak. "Jikalau kau hendak tolong ayahmu, mari ikut aku!" kata Sin Cie, yang tidak jawab teguran orang. Lantas dengan satu loncatan tinggi dan jauh, dengan "It Hoo Ciong Thian" ia mencelat untuk lewati tembok pekarangan.
Ceng Ceng, yang berdiam saja, telad contoh kawannya itu.
Nona Ciau kembali melengak, terutama ia tidak sangka orang itu demikian liehay ilmu entengkan tubuh, maka kemudian, tanpa ayal lagi, ia pergi susul mereka. Ia telah mengubar sejurus tempo ia lihat orang masih terus lari keras, hingga ia bersangsi dan hentikan tindakannya, lantas ia memutar tubuh, untuk pulang. Tapi Baru ia berbalik, mendadak ia rasakan sampokan angin dipinggangnya, tali pedang dipinggangnya kendor dan terlepas, menyusul mana, ia pun rasakan sebelah tangannya sesemutan, cekalannya lepas sendirinya, hingga dilain saat pedangnya sudah terampas orang yang ia tak kenal itu.
Sin Cie pun sudah lantas berdiri didepan nona ini. Bukan main kaget dan herannya nona Ciau.
"Jangan takut, nona," Sin Cie berkata. "Jikalau ada niatku mencelakai kau, aku dapat lakukan itu secara gampang sekali. Aku ada sahabat dari keluargamu, maka kau mesti dengar perkataanku apa yang aku bilang!"
Nona itu manggut, tapi Sin Cie lihat orang masih ragu- ragu.
"Ayahmu sedang terancam bahaya maut, kau berani tidak menempuh bahaya untuk tolong dia?" Sin Cie tanya. Ia tidak perduli orang bersangsi atau curiga.
"Asal ayah dapat tertolong, walaupun tubuhku hancur- lebur, aku membelainya," kata si nona kemudian. "Ayahmu itu seorang baik," Sin Cie bilang. "Dia lebih suka korbankan diri sendiri daripada mesti lakukan pertempuran besar yang bakal meminta banyak korban. Orang semacam dia, langka, dari itu aku suka bantu dia. Aku pastikan ini!"
Melihat sikap orang dan mendengar perkataannya, nona Ciau tidak bersangsi lagi, malah ia lantas tekuk lututnya, untuk paykui.
"Jangan nona!" Sin Cie mencegah. "Perlu aku jelaskan padamu, walau begini, aku tidak merasa pasti kita bakal berhasil atau tidak."
Nona Ciau itu tidak dapat tekuk lutut, lengannya dicekal si anak muda, ia merasai satu tenaga yang besar, hingga tubuhnya seperti terangkat naik. Karena ini, semakin kuatlah kepercayaannya.
"Sekarang mari ajak kami ke kamar tulis," Sin Cie minta. "Disana aku hendak menulis sepucuk surat untuk ayahmu."
"Sebenarnya siapa jiewie berdua?" tanya nona Ciau. "Apa tidak lebih baik jiewie bicara langsung sama ayah?"
"Kita pasti bekerja cepat," Sin Cie bilang. "Kapan sebentar ayahmu baca suratku, tidak nanti dia berputus asa terus, tidak nanti dia hendak cari kematiannya pula! Kita tak boleh ayal-ayalan, inilah tindakan yang pertama."
Entah bagaimana, Nona Ciau lantas saja mempercayai habis.
"Kalau begitu jiewie, marilah!" ia mengundang.
"Inilah rahasia," Sin Cie peringati." Kecuali kau sendiri, lain orang tak boleh lihat kita!"
Nona itu manggut. Bertiga mereka loncati tembok pekarangan, untuk masuk kedalam. Nona rumah ajak kedua tetamunya kedalam sebuah kamar yang kecil dimana ia keluarkan kertas dan pit, ia gosoki juga baknya. Kemudian ia mundur, akan duduk disedikit jauh.
Sin Cie sudah lantas menulis.
Ceng Ceng berada didampingnya kawan ini, melihat "surat" yang ditulis Sin Cie ia terperanjat.
Sin Cie lipat surat itu, untuk dimasuki kedalam sampul, yang ia tutup rapat.
"Besok pagi tepat jam sin-sie," ia pesan si nona, "kau pergi ke hotel Hin Liong kamar no.3 huruf Uy, disana aku nanti tunggui kau."
Nona Ciau manggut.
Sekarang Sin Cie serahkan suratnya.
"Sampaikan surat ini segera pada ayahmu," ia kasi tahu. "Tapi kau mesti janji satu hal kepadaku."
"Aku nanti turut pesanmu," sahut si nona.
"Tidak perduli apa yang ayahmu tanyakan, terutama jangan kau beritahu dia tentang roman dan usiaku!" pesan pemuda kita.
Nona Ciau heran sekali. "Kenapa begitu?" tanyanya.
"Asal kau beritahu, tak dapat aku bantu kau!" ada jawaban si anak muda.
Nona itu melengak tapi ia lantas manggut. "Baik, aku turut kau," jawabnya.
Sin Cie tarik tangannya Ceng Ceng. "Sudah cukup, mari kita pergi!"
Nona Ciau lihat orang berlompat keluar pekarangan, gesitnya bagaikan burung terbang, hingga kembali ia jadi kagum. Tapi ia beragu-ragu ketika ia berlari-lari kekamar ayahnya, yang pintunya sudah ditutup. Ia coba menolaknya dengan sekuat tenaga, tidak ada hasilnya. Ia jadi heran dan kuatir. Ia lari ke jendela, dengan satu toyoran, ia bikin daun jendela menjeblak terbuka, terus saja ia berloncat masuk, justru ayahnya lagi bawa satu cawan kebibirnya.
"Ayah!" berseu gadis ini, yang kaget tak terkira. Ia bisa duga perbuatannya ayah itu. "Ayah, lihat ini dulu!"
Ciau Kong Lee menunda cawannya, ia mengawasi dengan mendelong.
Nona itu buka sampul surat, ia sodorkan suratnya kepada ayahnya itu.
"Baca ini, ayah!" kata dia.
Kong Lee tidak lihat surat hanya lukisan serupa pedang. Dengan mendadakan saja, cawannya terlepas dari cekalannya, sehingga cawan itu jatuh kelantai dan hancur bergomprangan!
Si nona kaget sehingga ia berjingkrak. Tapi segera ia tampak perubahan air mukanya ayahnya itu, yang dari duka dan suram mendadakan jadi bercahaya kegirangan.
"Dari mana datangnya surat ini?" ayah itu tanya, kedua tangannya bergemetar. "Siapa berikan ini padaku? Apakah dia sendiri yang datang? Ah, apakah benar-benar dia telah datang?"
Nona itu tidak lantas jawab ayahnya, ia hanya mendekati, untuk turut lihat bunyinya surat. Ia pun tidak lihat lain daripada gambarnya sebatang pedang yang panjang, yang romannya luar biasa, pedang berkepala ular- ularan, lidahnya bercabang dua bagaikan cagak. Ia tidak mengerti, pedang itu ada punya khasiat apa hingga ayahnya mendadakan jadi demikian girang.
"Ayah, apakah ini?" akhirnya dia balik tanya ayah itu. "Asal dia datang, jiwa tua dari ayahmu akan
ketolongan!" berkata ayah itu. "Apakah kau telah bertemu
dengannya?"
Masih si anak dara heran. "Dia siapa, ayah?" tegasinya.
"Dia yang melukiskan gambar pedang ini?" sahut ayah itu.
Baru sekarang gadis itu manggut.
"Dia pesan aku akan besok pergi cari dia ditempatnya," ia terangkan.
"Apakah dia tidak bilang bahwa aku pun perlu turut bersama?"
"Dia tidak bilang itu."
"Orang gagah luar biasa itu memang aneh perangainya," Kong Lee bilang. "Siapa juga mesti dengar perkataannya. Maka pergilah besok kau seorang diri!. Ah sedetik saja kau
terlambat datang ayah akan sudah tidak dapat lihat pula padamu. "
Nona Ciau terkejut. Sekarang ia ingat cawan yang ayahnya bawa kemulutnya. Jadi itulah cawan berisikan racun. Lantas saja ia ambil sesapu, akan sapui pecahan cawan, akan keringkan racunnya.
"Sekarang baik ayah tidur," kata ia, yang terus layani orang tua itu. Sebentar kemudian nyonya Ciau dan semua muridnya Kong Lee dengar kabar yang melegakan hati itu, semuanya bergirang, walau mereka masih belum pasti, "tuan penolong" itu akan berhasil atau tidak menolong mereka. Tapi mengingat ketua Kim Liong Pang itu berlega hati, mereka mau percaya ancaman bahaya sudah dapat diredakan.
Karena ini batallah orang menyingkir pergi dan bubaran....
Ketika itu, Sin Cie dan Ceng Ceng sudah berlalu dari rumahnya Ciau Kong Lee.
"Kau melukis pedang, apakah artinya itu?" Ceng Ceng tanya.
"Apakah kau telah tidak dengar sendiri?" Sin Cie baliki. "Dia sendiri bilang, didalam dunia ini, asal ayahmu datang, jiwanya bakal ketolongan. Gambar pedang itu adalah gambarnya Kim Coa Kiam kepunyaan ayahmu."
Ceng Ceng manggut, tetapi ia berdiam.
"Kenapa kau hendak tolongi dia?" sesaat kemudian ia tanya.
"Aku lihat Ciau Kong Lee itu seorang baik," jawab Sin Cie. "Dia telah dibikin celaka oleh sahabatnya yang busuk. Apa mungkin kita melihat kematian dan tak menolongnya? Apalagi dia adalah sahabatnya ayahmu."
"Ah, aku menyangka kau melihat gadisnya cantik, jadi kau hendak menolong dia. " Kata si nona.
"Adik Ceng, kau pandang aku orang macam apa?" Sin Cie gusar. "Oh, oh, jangan gusar!" Ceng Ceng tertawa. "Kenapa dan kau suruh gadis orang datang kehotel kita untuk cari padamu?"
Mau atau tidak, si anak muda turut tertawa.
"Matamu picik, tak tahu aku bagaimana harus mengobatinya," katanya.
"Hayo sudah, mari turut aku!"
"Hm!" si nona bersuara tetapi kembali dia tertawa. Ia lari keras kearah barat, untuk menyusul.
Sin Cie tahu tenaganya nona itu, ia sengaja lari sedang- sedang saja, untuk bikin mereka lari berendeng.
Mereka berlari-lari tidak seberapa lama, sampailah mereka dirumah Bin Cu Hoa.
Sin Cie tarik tangan si nona, untuk ajak dia lompati tembok pekarangan, buat masuk kesebelah dalam. Dipojok tembok, mereka umpetkan diri.
"Didalam rumah ini banyak sekali orang-orang liehay, asal mereka dapat pergoki kita, gagallah usaha kita," Sin Cie bisiki kawannya.
"Jikalau kau hendak bantui nona cantik itu, aku tidak ijinkan!" kata Ceng Ceng tapi sambil tertawa. "Sebaliknya, aku nanti mengacau, aku nanti berteriak-teriak, berkaok- kaok!"
Sin Cie tertawa, dia tak memperdulikannya.
Keduanya mendekam sekian lama, apabila mereka dapati suasana tetap sunyi, mereka bertindak maju dengan pelahan-lahan. Kebetulan sekali untuk mereka, satu bujang lelaki melintas sendirian, dengan tiba-tiba saja dia itu dibekuk seraya diancam untuk tutup mulut. "Dimana kamarnya tetamu-tetamu she Su?" Sin Cie tanya.
Bujang itu ketakutan, ia berikan keterangannya.
"Baik, kau tunggu disini," Sin Cie bilang. Ia totok urat gagu orang itu habis dia melemparkannya ketempat pepohonan yang lebat.
Dengan hati-hati, mereka cari kamarnya dua saudara Su. Langsung mereka menuju ke jendela. Dengan pakai tenaganya tetapi pun dengan hati-hati, Sin Cie bongkar daun jendela. Ia bisa bekerja tanpa menerbitkan suara, setelah mana, ia loncat masuk.
Ceng Ceng pun turut masuk.
Peng Kong dan Peng Bun liehay, mereka sedang tidur tapi mereka segera mendusi. Celakanya untuk mereka, mereka kalah sebat, Baru mereka hendak menegur, jari tangannya Sin Cie sudah menotok jalan darah mereka sehingga mereka jadi mati daya. Begitulah mereka cuma bisa lihat, api dinyalakan, orang merogo kebawah bantal mereka.
Sin Cie rasai tangannya membentur benda dingin, ia tahu, itulah senjata tajam, maka itu, berdua mereka lantas geledah laci dan lemari. Mereka dapati beberapa potong pakaian dan uang, juga senjata rahasia. Masih mereka mencari terus tatkala mereka dengar tindakan kaki diluar kamar. Maka lekas-lekas Sin Cie tiup padam apinya.
Didalam gelap mereka mencari terus, malah Sin Cie geledah saku bajunya orang itu. Untuk kegirangannya, ia dapati segumpal kertas. Ia ambil semua itu, yang ia masukkan kedalam sakunya.
"Sudah dapat!" ia bisiki Ceng Ceng. "Mari kita pergi," mengajak si nona. "Rupanya diluar ada orang."
"Tunggu sebentar," sahut Sin Cie, yang lantas meraba ke meja dengan jeriji tangannya yang kanan.
Nyatalah, dengan jeriji tangan, ia menulis enam huruf besar yang berarti: "Hormat dari adikmu Ciau Kong Lee". Ia menekan keras, enam huruf itu melesak seperti pahatan pada batu!
Dengan loncati pula jendela, dua kawan ini berlalu dari dalam kamarnya dua saudara Su itu. Cuaca diluar ada gelap seperti tadinya.
Sekonyong-konyong ada angin berkesiur, lalu sebatang pedang menyambar kearah si pemuda. Sin Cie tidak lompat, tanpa kelit ia ulur tangan kirinya, untuk memapaki, cekal lengannya si penyerang. Tapi penyerang itu sebat sekali, ujung pedangnya mendahului mengenai ulu hati. Sin Cie tidak takut, karena ia pakai baju kaos mustika Bhok Siang Toojin, ia tidak terluka sedikit juga.
Penjerang itu terperanjat apabila ia rasai ujung pedangnya mengenai barang yang empuk, ia pun kaget akan rasai lengannya tercengkeram lima jari tangan yang kuat bagaikan sepit besi, sedang dilain pihak, satu tamparan menyambar kearah mukanya. Dia lekas berontak sambil berkelit, tapi pedangnya sudah kena terampas. Dalam kagetnya, dia loncat mundur, terus dia kabur.
Penyerang gelap ini ada Twie-hong-kiam Ban Hong. Dia telah dapat tugas dari Bin Cu Hoa, untuk intai Ciau Kong Lee, ia pergi seorang diri. Tapi Hui Thian Mo-lie Sun Tiong Kun juga pergi dengan diam-diam, untuk turut mengintai, maka itu, mereka jadi bekerja sama-sama. Mereka sedang memasang mata ketika tanpa ketahuan lagi, pedangnya nona Sun disambar Sin Cie. Mereka kaget, meski mereka
483 tahu, pihak pencuri itu tidak bermaksud jahat. Coba mereka dibokong, tentu celakalah mereka. Karena ini, keduanya lantas kabur pulang.
Ban Hong mendongkol bukan main, ia malu sekali, sebab Baru saja keluar, Baru melakukan pengintaian, orang telah rubuhkan dia. Dan Sun Tiong Kun lebih-lebih mendongkolnya, nona ini gusar sekali, sebab pedangnya hilang.
Twie-hong-kiam tidak dapat tidur, maka itu, ia pergi keluar kamarnya, untuk mencari angin, guna legakan pikiran. Tiba-tiba ia lihat api berkelebat didalam kamarnya dua saudara Su. Ia kenali, api apa adanya itu. Ia lantas menghampirkan, ia sembunyi diluar jendela, untuk serang dengan mendadakan pada orang didalam itu sebentar selagi dia keluar. Ia percaya, dengan satu gebrak saja, ia bakal berhasil. Tapi ia gagal, malah ia dapat malu, karena pedangnya pun kena dirampas.
Didalam partai Tiam Chong Pay, Ban Hong adalah yang paling liehay untuk ilmu pedangnya Twie-hong-kiam yang semuanya terdiri dari enam puluh empat jurus, hingga di Selatan, ia sangat dimalui. Didalam ilmu silat, malah dia melebihi toasuhengnya Liong Tit yang menjadi ciang-bun- jin, ahliwaris partainya. Sekarang ia menghadapi orang yang tidak mempan senjata, ia sampai mau menduga apa ia sedang layani hantu.
Tidak ayal lagi, ia bertepuk tangan keras-keras untuk memberi tanda kepada kawan-kawannya.
Sin Cei dan Ceng Ceng tinggalkan si penyerang yang kabur setelah anak muda itu berhasil selamatkan diri dari penyerangan gelap, mereka loncati tembok untuk menyingkir, tapi mereka segera dengar tepukan tangan riuh di empat penjuru, tandanya orang-orang kaumnya Bin Cu Hoa sudah bergerak.
"Mari kita sembunyi," Sin Cie ajak kawannya. Ia tidak mau berlaku semberono ditempat dimana ada berkumpul banyak orang liehay itu. Mereka lantas mendekam dikaki tembok.
Diatas genteng segeralah terdengar suara kaki dari orang- orang yang mundar-mandir.
"Eh, apakah ini?" kata Ceng Ceng kepada kawannya. "Coba kau raba!"
Ia pegang tangannya Sin Cie, untuk dibawa ketempat yang ia suruhnya meraba.
Sin Cie raba kaki tembok, yang sudah penuh lumut. Ia kena pegang batu yang berlobang disana-sini, seperti ukiran. Ia mengusut-usut dengan ikuti jalannya ukiran itu.
"Inilah huruf Tee," pikirnya. Ia meraba lebih jauh, ia meng-usut-usut pula. Ia menemui huruf "Su". Maka ia meraba terus. Sebagai huruf ketiga, ia dapati huruf "Kong", lalu huruf keempat huruf "Kok". Masih ia meraba terus, hingga ia menemui huruf terakhir, jaitu huruf "Gui".
Ceng Ceng juga turut meraba-raba terus.
Sebagai kesudahan, bukan main girangnya Sin Cie. Untuk banyak hari, mereka sudah mencari istana Gui Kok- kong, hasilnya sia-sia belaka, siapa tahu sekarang, diluar sangkaan, dengan tiba-tiba mereka menemuinya. Inilah yang dibilang : "Orang mencari sampai sepatu besi yang dipakainya rusak, tak nampak, sekalinya ketemu, begini sedetik saja." Sebab apabila digabung, kelima huruf itu berbunyi " Gui Kok Kong Su Tee", artinya "Istana Gui Kok-kong hadiah kaisar" Rupa-rupanya, setelah turun menurun banyak tahun, Gui Kok-kong pindah rumah, rumah yang lama telah dijualnya kepada orang lain, kemudian orang tak ingat lagi istana lama itu.
Selagi Sin Cie berdiam dengan kegirangan, ia rasai gatal atau geli pada pundaknya, hingga ia egos lehernya itu.
Itulah Ceng Ceng, yang saking girang, sampai lupa segala apa, dia bernapas dari hidungnya di pundak si pemuda sekali.
"Hus, jangan nakal!" Sin Cie bentak, tapi dengan pelahan. 'Lihat, musuh datang!"
Benarlah, tiga bajangan lompat lewati tembok, masuk kedalam rumahnya si orang she Bin itu.
"Mari!" pemuda ini mengajak. 'Lekas!"
Menggunai kesempatan tidak ada orang datang kearah mereka, mereka keluar dari tempat sembunyi, mereka lari dengan keras, hingga dilain saat sampailah mereka dihotel mereka dengan tidak kurang suatu apa.
Tatkala itu sudah jam empat, semua penumpang hotel lainnya sudah pada tidur, seluruh hotel jadi sunyi-tenteram.
Ceng Ceng lantas nyalakan lilin, dan Sin Cie rogo keluar surat-surat yang ia rampas dari sakunya dua saudara Su. Paling dulu ia jumput dua sampul, yang sudah kuning menandakan tuanya, suratnya dikeluarkan satu persatu. Untuk kegirangan mereka, benarlah itu ada surat-surat keterangannya Thio Ceecu dan Khu Tootay, ialah surat- surat yang membuat Ciau Kong Lee jadi putus asa dan nekat.
Ceng Ceng tertawa. "Sekali ini kau berhasil menolong jiwa ayahnya," katanya," entah dengan apa dia nanti balas budimu ini. "
"Dia! Dia siapa?" tanya Sin Cie heran.
Masih Ceng Ceng tertawa, malah tertawa geli.
"Siapa lagi, tentunya nona puterinya Ciau Kong Lee!" sahutnya. Tak mau Sin Cie meladeni orang yang bersifat ke- kanak-kanakan itu. Ia gunai ketikanya untuk membaca dua surat keterangan itu.
"Apa yang Ciau Kong Lee katakan, benar semuanya." Kata dia habis membaca. "Coba dia mendusta sedikit saja, tidak nanti aku sudi bantu dia, supaya aku tidak usah bentrok dengan banyak orang kangouw apapula dari angkatan tertua, apalagi diantara mereka termasuk murid- muridnya jie suheng."
Ceng Ceng tertawa pula.
"Dan itu yang dipanggil Hu Thian Mo-lie sungguh cantik!" menggoda ia.
"Dia itu telengas," Sin Cie bilang. "Dia berbuat tak berkepantasan! Kenapa tidak keru-keruan dia tabas kutung lengan orang?" dia berdiam sebentar. "Apabila aku tidak kuatir jie-suheng berkecil hati, pasti aku sudah ajar adat padanya." Kembali ia berdiam, lalu ia menambahkan : "Sebabnya aku minta nona Ciau datang kemari adalah untuk sembunyikan sepak-terjang kita ini. Apabila diantara kita saudara-saudara seperguruan terbit sengketa, itu sungguh tidak bagus terhadap suhu yang telah rawat dan didik aku."
Sekarang Sin Cie periksa surat-surat yang lainnya, tiba- tiba saja ia jadi sangat gusar, air mukanya suram.
"Kau lihat!" katanya kepada si nona. Belum pernah Ceng Ceng lihat pemuda ini demikian gusar, malah waktu menghadapi lawan tangguh, dia ada tenang sekali. Sekarang muka orang merah-padam, urat- uratnya seperti melingkar keluar. Hingga mau atau tidak, ia heran dan kaget sekali. Buru-buru ia menyambuti surat yang diangsurkan dan baca itu.
Itulah suratnya Kiu-Ong-ya To Jie Kun, pangeran Boan yang disebut-sebut persaudaraan Su. Itulah surat rahasia untuk dua saudara Su itu. Mereka ini diberi perintah, sesudah memfitnah Ciau Kong Lee hingga Kong Lee tumpas, mereka mesti gunai ketika untuk merampas kekuasaan dalam Kim Liong Pang, supaya anggauta- anggauta perkumpulan rahasia ini bisa dijadikan pekakas, penyambut dari dalam, bagi penyerbuan bangsa Boan kepada Tionggoan. Peng Kong dan Peng Bun dianjurkan akan tancap kekuasaan di Kanglam, supaya sambil selidiki rahasia negara, mereka cari kawan-kawan orang-orang kangouw, untuk bekerja bersama. Mereka mesti sambut serbuan angkatan perang Boan agar serbuan itu pasti berhasil.
Ceng Ceng begitu murka hingga tak dapat ia mengucapkan kata-kata. Ia muda dan besar kepala, tapi ia mencintai negerinya. Dalam murkanya, setelah sadar, ia hendak robek surat rahasia itu.
Sin Cie sambar surat penting itu.
"Hei, adik Ceng, kenapa kau begini semberono?" menegur dia.
Ceng Ceng sadar dengan cepat.
"Kau benar," katanya. "Inilah surat bukti!"
"Apakah kau tahu, kenapa dua saudara Su tidak hapuskan surat ini?" Sin Cie tanya. "Aku tahu," jawab si pemudi. "Dia hendak pakai ini untuk pengaruhi Bin Cu Hoa!"
"Begitulah pasti," Sin Cie membenarkan," Aku telah pikir, habis menolongi Ciau Kong Lee, aku hendak lepas tangan, untuk tidak campur lebih jauh urusan mengenai mereka, siapa tahu disini menyelip urusan amat besar ini. Jangan kata Baru bentrok dengan jie-suko, biar ada rintangan lain yang terlebih besar, aku tidak takut."
Bukan main kagumnya Ceng Ceng terhadap pemuda ini.
"Memang kita harus campur tangan," iapun kata. "Umpama kata jie-suheng itu mengadu kepada gurumu, aku percaya gurumu bakal benarkan pihakmu. Toako, aku bersalah. "
"Apa?"
Pemudi ini tunduk.
"Aku telah goda padamu. " Katanya.
Mendengar itu, Sin Cie tertawa.
"Sudah, pergilah kau tidur!" kata dia. "Sekarang aku hendak memikirkan daya upaya dengan cara bagaimana kita bisa hadapi kawanan pengkhianat itu."
Ceng Ceng menjadi jinak, ia menurut.
Besoknya pagi, kapan ia mendusi dari tidurnya, Sin Cie terus bercokol diatas pembaringan, untuk bersamedhi, akan pelihara napasnya, akan bikin jalan darahnya sempurna. Diam-diam ia merasa sangat gembira karena semakin lama ia rasai kemajuannya terus bertambah. Kapan kemudian ia turun dari pembaringan, ia lihat diatas meja sudah disajikan dua mangkok lektau serta sepiring yutiau. Ia tahu itu ada sajiannya Ceng Ceng hanya ia tidak tahu, kapan itu disiapkannya. Tiba-tiba saja si nona muncul sambil terus tertawa.
"Hweeshio tua, apa kau sudah selesai sembahyang?" tanyanya.
"Ah, kau bangun pagi-pagi sekali!" kata Sin Cie sambil tertawa juga.
"Kau lihat ini!" kata si nona, yang tidak sahuti pemuda itu. Dari belakangnya, ia tunjuki satu bungkusan besar, yang ia letaki dimeja, untuk terus dibuka. Itulah dua perangkat pakaian baru. Ia tambahkan: "Kita telah bunuh Ma Kongcu, perlu kita tukar pakaian."
"Kau memikir sempurna," Sin Cie puji. Berdua mereka lantas duduk, untuk bersantap.
Belum lama habis dahar, satu jongos datang bersama satu orang, jongos itu lantas kata : "Apakah kau cari kedua tetamu ini? Aku tanyakan she dan namanya orang, kau tak dapat menyebutnya. "
Sin Cie dan Ceng Ceng lihat nona Ciau.
Nona itu tunggu sampai jongos sudah berlalu, ia lantas berlutut didepan pemuda kita.
Sin Cie membalas hormat, sedang Ceng Ceng mengangkat bangun.
Nona itu likat bukan main menampak satu "pemuda" cekal lengannya, untuk kasi ia bangun, mukanya merah, akan tetapi karena ingat, mereka adalah penolong ayahnya, ia tidak berontak.
"Nona Ciau, apakah namamu?" Ceng Ceng tanya. "Namaku Wan Jie," sahut nona itu. "Jiewie sendiri?" Ceng Ceng tunjuk kawannya, dia tertawa ketika ia menyahuti: "Kau tanya dia saja! Dia sangat galak, dia larang aku bicara!"
Mengetahui orang bergurau, Wan Jie bersenyum. "Jiewie telah tolong ayahku, budi ini yang sangat besar,
walau tubuhku hancur-lebur, masih tak dapat dibalas,"
katanya.
"Ayahmu ada satu cianpwee," Sin Cie bilang, "sudah seharusnya kami dari angkatan muda melakukan sesuatu apa untuknya. Tak usah kau pikirkan itu. Tolong sampaikan kepada ayahmu untuk sebentar sore ia melanjuti mengadakan perjamuannya yang sudah ditetapkan itu. Disini ada dua bungkusan, tolong kau bawa pulang untuk diserahkan pada ayahmu itu, bilang apabila sudah sampai saatnya yang genting, Baru dia buka untuk umumkan kepada orang banyak, tentu akan ada buah-hasilnya yang istimewa. Karena dua rupa barang ini sangat penting, jagalah supaya tidak ada orang yang pegat dan rampas ditengah jalan!"
Ciau Wan Jie lihat kepadanya diserahkan dua bungkusan, yang satu panjang dan romannya berat, mirip dengan alat senjata, yang lainnya kecil dan enteng sekali. Ia menyambutinya dengan kedua tangan dengan sikap menghormat sekali, lalu ia memberi hormat seraya menghaturkan terima kasih. Habis itu Barulah ia pamitan dan bertindak keluar.
"Mari kita kuntit dia, untuk melindunginya secara diam- diam," Sin Cie kata pada kawannya. "Kita mesti jaga supaya kawanan telur busuk itu tak dapat merampasnya kembali."
Ceng Ceng manggut. Mereka lantas siap, setelah menutup pintu, mereka bertindak keluar. Mendekati thia, mereka lantas umpatkan diri. Disitu masih ada si nona Ciau, entah kenapa, dia tidak segera pulang.
"Suruh kuasa hotel datang!" terdengar kata nona itu. "Naga emas ulur kukunya, mega hitam memenuhi langit!"
"He, apakah dia bilang?" tanya Sin Cie pada Ceng Ceng.
Muda ia ada, nona Hee luas pengetahuannya mengenai dunia kangouw.
"Mungkin itu kata-kata rahasia kaumnya," ia menyahut.
Wan Jie bicara sama jongos yang tadi, yang romannya rada katak, tapi sekarang dia berubah sikap dan menyahuti ber-ulang-ulang," Ya, ya!" Terus saja ia undurkan diri.
Tidak lama muncul kuasa hotel, dia menjura dalam kepada si nona.
"Nona hendak menitah apa?" tanyanya. "Aku akan segera melakukannya."
"Aku adalah Ciau Toa-kohnio" nona itu perkenalkan diri. "Pergi kau kerumahku, bilang aku ada punya urusan penting disini, kau minta semua suko-ku datang kemari!"
Kaget kuasa itu mengetahui ia berhadapan sama Ciau Toa-kohnio, nona besar she Ciau, segera saja ia lari keluar, untuk loncat naik atas kudanya, yang ia kasi lari pergi. Ia sendiri yang jalankan titah itu.
Selang lama juga, kuasa hotel itu sudah balik lagi bersama dua puluh lebih orang yang dandan seperti guru silat, yang semuanya bekal senjata. Mereka lantas hampirkan nona Ciau.
"Aku tidak sangka begini besar pengaruhnya Kim Liong Pang disini," kata Sin Cie. "Sekarang tak usah kita turut
492 mengantari. Sebentar saja kita hadirkan perjamuan dirumah orang she Ciau itu."
Berdua mereka masuk pula kedalam, sedang Ciau Wan Jie dan rombongannya berangkat pulang. Sesudah siang Barulah Sin Cie ajak kawannya pergi kerumah Kong Lee dimana ternyata sudah mulai banyak orang datang berkumpul. Mereka ikut sekalian tetamu itu masuk ke dalam thia.
Ciau Kong Lee sambut tetamunya dimuka pintu, ia manggut kepada dua anak muda ini, yang ia sangka ada murid-muridnya musuh, ia tidak memperhatikannya.
Begitu lekas semua tetamu sudah datang lengkap, tuan rumah undang mereka ambil tempat duduk, ia lantas membuka pertemuan. Caranya ini beda dengan cara pertemuannya Bin Cu Hoa kemarin ini. Tuan rumah pun ada ketua Kim Liong Pang. Barang santapan sangat istimewa, kokinya pun koki yang kesohor dari kota Kimleng, sedang araknya ada arak Lie-ceng Tin-siau simpanan dua puluh tahun.
Bin Cu Hoa bersama Sip Lek Taysu, Tiang Pek Sam Eng, Bu-eng-cu Bwee Kiam Hoo, Hui-thian Mo-lie Sun Tiong Kun dan sejumlah yang lain lagi, duduk dimeja pertama. Ciau Kong Lee sendiri yang layani sesuatu tetamu itu, sikapnya ramah-tamah.
"Silakan minum!" kata dia.
Bin Cu Hoa angkat cawannya, dengan tiba-tiba saja ia banting itu kelantai, hingga arak berhamburan, cawannya pecah hancur sambil menerbitkan suara berisik!
"Orang she Ciau!" dia berkata dengan bengis. "Disini telah hadir sahabat-sahabat karib dari Rimba persilatan, mereka semua telah memberi mukanya, maka didepan mereka, ingin aku tanya, bagaimana hendak diatur mengenai sakit hatinya saudaraku yang kau telah bunuh? Bilanglah!"
Pertanyaan dimajukan secara sangat terkonyong- konyong, dan caranya pun garang sekali, hal ini membuat sukar kepada Ciau Kong Lee. Justru itu berbangkitlah Gou Peng, murid kepala ketua Kim Liong Pang ini.
"Orang she Bin," berkata Gou Peng, yang hendak wakilkan gurunya, "Baik kau mengerti duduknya hal. Kandamu itu kemaruk paras eilok, dia bermaksud jahat, karenanya dia telah merusak undang-undang dari kita kaum Rimba Persilatan. Guruku..."
Belum habis Gou Peng ber-kata-kata, mendadak ada sambaran angin kearah mukanya, maka lekas ia berkelit sambil tunduk, menyusul mana, dengan memberikan suara keras, sebatang paku tiga persegi panjangnya lima dim nancap di meja!
Gou Peng segera hunus goloknya.
"Bagus betul!" muridnya Kong Lee berseru. "Kau telah bokong Lo Sutee kami, yang kau telah babat kutung sebelah lengannya, sekarang kau kembali membokong aku, oh, perempuan bangsat!"
Dia lantas bertindak maju, untuk tempur penyerangnya, ialah Hui-thian Mo-lie Sun Tiong Kun, si Hantu Wanita.
"Jangan!" Ciau Kong Lee cegah muridnya. Kemudian sambil tertawa, ia menoleh kepada nona Sun itu seraya bilang: "Nona Sun ada ahli dari Hoa San Pay, mengapa kau berpadu pandangan dengan muridku?. "
Bin Cu Hoa pun gusar, biji matanya menjadi merah, selagi tuan rumah ber-kata-kata, dia jumput sepasang sumpitnya, dengan itu ia timpuk sepasang mata tuan rumah.
"Bangsat tua, hari ini aku akan adu jiwa denganmu!" dia mendamprat.
Ciau Kong Lee lihat serangan itu, ia lantas sambar sumpitnya sendiri, dengan itu ia sambut serangan sumpit sambil sumpit lawan itu dijepit, untuk terus diletaki diatas meja. Sikapnya tuan rumah tenang dan sabar sekali.
"Saudara Bin, mengapa kau begini murka?" tanyanya. "Disini masih ada ketika untuk kitaorang omong dengan baik-baik. Mana orang? Lekas ambilkan Bin Jie-ya sepasang sumpit baru!"
Bin Cu Hoa terperanjat dalam hatinya apabila ia saksikan musuh itu demikian liehay.
"Pantas kandaku terbinasa ditangannya. " Pikir dia.
Bwee Kiam Hoo lihat Bin Cu Hoa keok dalam satu jurus, dimana dia berada dekat dengan tuan rumah, dengan tiba-tiba ia ulur tangan kanannya, akan sambar lengannya tuan rumah itu, sembari berbuat demikian, dia bilang : "Ciau Toaya, sungguh kau liehay! Mari kita ikat persahabatan. "
Ciau Kong Lee lihat tangan orang diulur, cepat luar biasa ia egos tubuhnya, sambil berkelit, ia pun lompat minggir.
Tangannya tetamu itu tidak ditarik pulang, atau dia tak dapat lakukan itu, tangan itu kena sambar belakang kursi, hingga diantara suara berkeresek yang nyaring, patahlah belakang kursi itu!
Sibuk juga Ciau Kong Lee menampak pihak musuh demikian galak, diantaranya ada yang sudah pale kepalannya dan cabut senjatanya, sedang dipihaknya sendiri, semua murid dan beberapa sahabatnya sudah lantas siap sedia. Ia sibuk karena kuatir pertempuran akan segera mengambil tempat sementara Kim Coa Long-kun, yang ia harap-harap, masih juga belum muncul, untuk datang sama tengah. Ia kuatir banyak jiwa bakal dikorban dalam pesta perjamuan ini. Karenanya ia melirik kepada gadisnya, yang duduk disamping.
Ciau Wan Jie sedang pegangi dua bungkusan pemberiannya dua pemuda yang dia Baru kenal, ia pun tidak kurang sibuknya, kapan ia lihat tanda dari ayahnya, ia segera buka bungkusan yang panjang itu, yang ternyata ada dua batang pedang. Tidak ayal lagi, ia bawa itu kehadapan ayahnya, untuk diletaki diatas meja.
Ciau Kong Lee lihat kedua pedang itu, ia bingung, karena ia tidak tahu apa artinya itu. Bukan main ia ragu- ragu.
Dipihak lawan, Twie-hong-kiam Ban Hong kenali pedangnya, dan pedangnya Sun Tiong Kun, bukan main malunya ia. Ia jumput kedua pedang itu, satu diantaranya ia lantas serahkan pada Hui-thian Mo-lie.
Sun Tiong Kun sambuti pedangnya sambil terus menantang: "Siapa mempunyai kepandaian, mari kita bertempur secara terus-terang! Mencuri pedang orang, apakah itu perbuatan satu hoohan?"
Caiuw Kong Lee diam saja, ia mengawasi si nona.
Benar-benar ia tidak tahu duduknya hal.
Nona Sun garang sekali, ia maju dua tindak, dengan ujung pedangnya yang tajam, ia tusuk dadanya tuan rumah.
Ciau Kong Lee mundur dua tindak, menyusul itu murid yang kedua telah serahkan padanya goloknya, yang ia terus sambuti, akan tetapi ia tidak gunai itu untuk balas menyerang.
Sun Tiong Kun penasaran yang serangannya kena dikelit, ia maju pula, sambil ia tusuk pundak kiri orang.
Ketua Kim Liong Pang jadi putus asa, dengan terpaksa ia geraki goloknya untuk membacok pedangnya si penyerang. Kalau si nona menusuk dengan terusan tipu- silat "Heng in liu sui", atau "Mega berjalan bagaikan air mengalir", adalah dia gunai tipu bacokan "Tiang khong lok goan", atau "Dari udara jatuhlah seekor burung belibis".
Jikalau bacokan ini mengenai sasarannya, tak dapat tidak, pedangnya Sun Tiong Kun mesti terlepas dari tangannya dan terlempar jatuh, akan tetapi dia liehay, dia turunkan pedangnya kebawah dan luputlah dia dari ancaman bencana mendapat malu. Akan tetapi ini bukan tindakan berkelit melulu, karena pedangnya turun, ia pun mendak pedang itu lantas diteruskan, untuk dipakai menikam perutnya tuan rumah. Ini ada semacam tipu silat yang liehay sekali.
Tidak perduli Ciau Kong Lee telah punyakan latihan beberapa puluh tahun, tak menyangka ia untuk serangan yang berbahaya itu, hingga tak sempat ia menangkisnya, maka tidak ada jalan lain, ia enjot kakinya akan berlompat tinggi, mencelat melewati kepalanya si nona. Ia berhasil meluputkan perutnya dari tikaman, akan tetapi celana disebelah pahanya kena terobek ujung pedang!
"Sungguh berbahaya...." Kata dia dalam hatinya, selagi ia putar tubuh dengan cepat, kuatir lawan nanti lanjuti serangan susulannya.
Akan tetapi Sun Tiong Kun tidak dapat desak dia, sebab dua muridnya sudah maju, akan menahan si nona. Dilain pihak, ia girang sekali kapan gadisnya telah buka dan beber
497 bungkusan yang kedua, karena ia kenali kedua surat penting yang "lenyap" ditangannya dua saudara Su!
Sun Tiong Kun telah tempur dua musuh, yang menbenci sangat padanya, hingga mereka ini berkelahi dengan sangat sengit. Mereka sangat ingin membalas sakit hatinya Lo Lip Jie, suheng mereka.
Si nona bertempur dengan tabah, tidak perduli dia dikepung berdua. Dia masih bisa bersenyum ewa. Dia melayani dengan sebelah tangan - tangan kiri - dipakai menolak pinggang. Sebab dialah yang dapat mendesak dua musuhnya itu.
Ciau Kong Lee sambuti dua lembar surat dari tangan gadisnya.
"Tahan! Tahan!" ia berseru berulang-ulang. "Aku hendak bicara!"
Mendengar perkataan gurunya, kedua muridnya, yang sedang terdesak, mendengar kata, akan tetapi satu diantaranya, lambat mundurnya.
"Duk!" demikian satu suara, dia kena didupak dadanya oleh Sun Tiong Kun, yang menyerang tak perduli pertempuran sudah ditunda. Segera dia muntahkan darah hidup, mukanya menjadi pucat sekali.
Sun Tiong Kun gusar sekali yang orang telah sambar pedangnya, ia anggap itu ada satu hinaan besar bagi dirinya, maka ia jadi sengit luar biasa. Maka sekarang ia berlaku bengis sekali.
Ciau Kong Lee atasi diri sebisa-bisanya.
"Sahabat-sahabat, tolong dengar dahulu padaku!" ia berseru. Suasana sudah tegang sekali, akan tetapi orang toh mulai jadi sabar pula.
Ciau Kong Lee lihat keadaan reda, dia bicara pula : "Sahabat she Bin ini sesalkan aku yang aku telah bunuh kandanya, penyesalannya itu tepat. Memang kandanya itu, Bin Cu Yap, telah terbinasa ditanganku!. "
Ruangan yang sunyi senyap jadi terganggu pula dengan tangisannya Bin Cu Hoa, yang menangis dengan tiba-tiba.
"Hutang uang bayar uang, hutang jiwa bayar jiwa!" berteriak ia sambil sesenggukan.
"Benar, hutang jiwa bayar jiwa!" beberapa sahabatnya tetamu ini berseru, suara mereka nyaring, hingga ruangan jadi berisik pula.
"Sahabat-sahabat, sabar!" Ciau Kong Lee serukan. "Disini dua pucuk surat, aku minta sukalah beberapa locianpwee yang terhormat membacanya, habis itu, umpama mereka anggap aku benar-benar mesti mengganti jiwa, aku segera akan bunuh diriku sendiri, jikalau aku kerutkan alisku, aku bukan satu hoohan lagi!"
Kata-kata ini membuat orang heran, hingga ingin sesuatunya melihat surat-surat itu, hingga untuk sesaat, suara mereka jadi bergemuruh pula.
"Sabar, sahabat-sahabat!" Ciau Kong Lee bilang. "Aku silakan Bin Jie-ya pilih tiga locianpwee, untuk mereka baca surat ini!"
Bin Cu Hoa tidak tahu surat itu apa bunyinya, tanpa bersangsi lagi, ia terima baik sarannya tuan rumah.
"Baik!" menyambut dia. "Aku mohon Sip Lek Taysu, Tocu The Kie In dan Bu-eng-cu Bwee Toako bertiga yang membacanya!" Sip Lek Taysu bertiga terima baik tugas itu, mereka sambuti kedua surat, lalu berdiri disamping meja, mereka sama-sama membaca, dengan pelahan.
Tiang Pek Sam Eng kasak-kusuk bertiga, muka mereka pias.
Sip Lek Taysu adalah yang pertama membaca habis, lanats saja dia berkata: "Menurut pendapat pinceng, Bin Jie- ya, baiklah permusuhan ini dibikin habis sampai disini, kamu kedua musuh harus menjadi sahabat satu dengan lain!"
Pendeta ini ada Kam-ih dari ruang Tat Mo Ih dari Siau Lim Sie, kepandaiannya dalam ilmu silat Gwa-kee, bagian luar, sudah sempurna sekali, ia pun kenamaan, maka itu,mendengar perkataannya itu, semua orang tercengang.
Bin Cu Hoa heran dan penasaran dengan berbareng, maka ia majukan dirinya, untuk dapat baca juga kedua surat itu. Membaca surat pengakuan Thio Ceecu, masih tidak seberapa, akan tetapi setelah baca habis surat Khu Tootay, ia jadi melengak. Ia malu bercampur bingung, ia pun bersusah hati, hingga karenanya, ia jadi berdiam menjublek, mulutnya bungkam.
Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari Bwee Kiam Hoo: "Inilah surat-surat palsu! Siapakah yang hendak dipedayakannya!"
Menyusul itu, dengan mendadak, ia robek kedua surat!
Bukan kepalang kagetnya Ciau Kong Lee. Ia tidak sangka, di hadapan demikian banyak orang, Bwee Kiam Hoo berani berbuat demikian rupa. Bukankah itu bagaikan surat jimat untuknya? Ia juga jadi sangat gusar, hingga tak dapat ia bersabar pula. Sambil angkat goloknya, dia berseru: "Orang she Bwee, apa benar kau begini tidak tahu malu?" "Entah siapalah yang tidak tahu malu!" Bwee Kiam Hoo jawab dengan dingin. "Kau telah bunuh kanda orang, sekarang kau ciptakan ini surat-surat palsu untuk membikin orang sangat penasaran! Surat-surat semacam ini, apabila aku keram diri didalam rumah, dalam satu hari aku bisa tulis banyaknya seratus pucuk!"
Sip Lek Taysu, juga The Kie In, percaya kesalahan ada di pihaknya Bin Cu Hoa, akan tetapi mendengar kata- katanya Bwee Kiam Hoo, mereka jadi bimbang. Apakah tak mungkin kedua surat itu palsu adanya?
Untuk sesaat, ruangan jadi sunyi senyap.
Gou Peng Kong murid kepalanya Ciau Kong Lee jadi meluap darahnya karena gurunya diperhina demikiam macam, merah mukanya, kedua matanya hampir loncat melejit, dia berlompat, dengan goloknya, dia bacok orang she Bwee itu.
Bu-eng-cu si Bajangan Tak Ada egos sedikit tubuhnya, berbareng dengan itu, pedangnya telah tercekal dengan terhunus ditangannya, selagi sinar pedang berkelebat, Gou Peng menjerit. Goloknya kena ditangkis keras hingga terlepas dan terlempar, menyusul mana, ujung pedang mengancam tenggorokannya.
Itulah menyatakan liehaynya murid Hoa San Pay ini. "Kau tekuk lutut!" Kiam Hoo berseru dengan titahnya
yang bengis. "Dengan berlutut, Bwee Toaya akan beri
ampun kepada sepotong jiwamu!""
Murid-murid lain dari Ciau Kong Lee tidak senang toako mereka diperhina secara demikian, mereka hunus senjata dan maju ke tengah ruangan.
Dipihak Bin Cu Hoa, sejumlah guru silat dan sahabat- sahabat undangannya juga maju, maka tak dapat dicegah
501 lagi, kedua pihak lantas bertempur. Berisik suara beradunya pelbagai alat-senjata.
Gou Peng mundur sampai tiga tindak, tapi ujung pedang senantiasa iringi dia. Musuh itu pun mengancam: "Jikalau kau tidak tekuk lutut, aku akan tikam padamu!"
"Kau tikamlah!" Gou Peng menantang. "Tikamlah! Buat apa bersikap sebagai orang perempuan!"
Ciau Kong Lee mencelat ke atas kursi.
"Semua tahan!" ia berseru dengan suara nyaring. "Lihat aku!"
Ia geraki tangannya, yang memegang golok, maka golok itu lantas mengancam batang lehernya sendiri.
"Hutang jiwa mesti dibayar dengan jiwa!" ia berteriak pula. "Maka aku nanti bayar jiwanya Bin Cu Yap! Murid- muridku, kamu semua mundur!"
Semua murid itu taat kepada guru mereka, dengan menyesal mereka mundur, dengan roman sedih, mereka awasi guru mereka itu.
Karena pertempuran telah berhenti, ruangan jadi tenang pula.
Ciau Kong Lee telah menjadi putus asa, benar-benar dia hendak habisi jiwa sendiri. Tapi mendadakan, ia dengar suara gadisnya:
"Ayah!" berseru Ciau Wan Jie. "Ayah, mana itu surat lainnya? Dia bilang dia bakal datang untuk tolong kau!"
Kong Lee merogo keluar selembar kertas tanpa tulisan, dia beber itu, untuk ditunjuki kepada semua hadirin di pihak musuhnya, ia ulapkan itu beberapa kali, hingga semua orang dapat lihat, disitu ada terlukis gambar sebatang pedang yang luar biasa. Mereka itu tidak mengerti, mereka mengawasi seperti tercengang.
Ciau Kong Lee lihat orang berdiam, dia berseru: "Kim Coa Tayhiap, kau datang terlambat!" Menyusul itu, dia ayun goloknya ke arah tenggorokannya!
Dalam saat yang sangat genting ini, mendadakan terdengar satu suara berkontrang, seperti suatu benda membentur golok, lantas goloknya ketua Kim Liong Pang itu terlepas dari cekalan, jatuh ke lantai hingga bersuara nyaring!
Dan tahu-tahu, disampingnya Ciau Kong Lee berdiri seorang anak muda yang romannya cakap-ganteng, usianya kira-kira duapuluh tahun lebih. Semua orang pihak tetamu tidak lihat tegas munculnya pemuda ini, yang Sin Cie adanya.
Bersama-sama Ceng Ceng, pemuda ini diam menyaksikan jalannya pertempuran itu, yang diseling dengan pelbagai pertempuran. Ia mulanya percaya, dengan diperlihatkannya kedua surat keterangan itu, urusan bakal dapat dibereskan, persengketaan akan dapat didamaikan, hingga tak usah ia tonjolkan diri didepan orang banyak itu, terutama untuk cegah perselisihan atau bentrokan dengan muridnya jie-suhengnya. Maka adalah di luar dugaannya, justru Bwee Kiam Hoo yang telah mengacau. Tidak ada jalan lain, terpaksa ia mesti muncul juga.
Jiwanya Ciau Kong Lee terancam, untuk cegah ketua Kim Liong Pang itu dari kematian, ia timpuk golok dengan sebutir biji caturnya.
Selagi orang keheran-heranan, Sin Cie berkata dengan nyaring: "Kim Coa Long Kun sedang berhalangan, tak dapat dia datang sendiri kemari, dari itu dia melainkan utus puteranya serta saudaranya dia ini, untuk mendamaikan kamu kedua pihak!"
Semua orang yang tertua dari pihaknya Bin Cu Hoa melengak sejak tadi. Mereka semua tahu, siapa adanya Kim Coa Long-kun yang kenamaan, yang sepak-terjangnya tak ketahuan, tapi yang katanya sudah lama menutup mata, hingga mereka heran, kenapa mendadak dia muncul di sini, walau cuma wakilnya.
Wan Jie sementara itu telah hampirkan ayahnya. "Ayah, inilah dia!" dia bisiki orang tua itu.
Ciau Kong Lee juga tergugu, kapan ia telah pandang itu anak muda, ia mendelong, pikirannya bekerja keras. Ia juga ragu-ragu.
"Siapa kau?" berteriak Sun Tiong Kun dengan tegurannya. "Siapa yang perintah kau datang kemari untuk mengadu-biru?"
Didalam hatinya, Sin Cie kata: "Benar aku berusia lebih muda daripadamu, akan tetapi derajatku lebih tinggi satu tingkat! Tunggu sebentar, apabila aku telah perkenalkan diri, aku mau lihat, apa kau tetap ada begini kurang ajar. "
Tapi ia menjawab dengan tenang.
"Aku ada orang she Wan," sahutnya dengan sabar. "Kim Coa Long-kun Hee Toa-hiap utus aku menemui suhu Ciau Kong Lee ini. Aku punyakan sedikit urusan ditengah jalan, lantaran itu aku tertangguh beberapa hari, sehingga aku terlambat sampainya disini. Aku menyesal sekali."
Sun Tiong Kun baru berumur dua puluh lebih, tak tahu ia tentang nama besar dari Kim Coa Long Kun Hee Soat Gie, ia pun bertabeat aseran, maka ia sudah lantas berteriak:
"Apakah itu Kim Coa, Tiat Coa, si ular emas, si ular besi? Lekas kau turun, jangan kau menggerecok hingga menjadi perintang!"
Ceng Ceng perdengarkan suara di hidung, dia ulur lidahnya.
Sun Tiong Kun lihat dia dihinakan, dia jadi mendongkol. Dengan tiba-tiba saja ia lompat mencelat, dengan pedangnya ia tikam perutnya nona itu. Hebat sekali serangannya ini, karena itu adalah tipu silat pedang Hoa San Pay "In lie tiau toh" atau "Di dalam mega menyolok buah toh". Inilah ilmu pedang ciptaan Pat-chiu Sian Wan Bok Jin Ceng, ketua dari Hoa San Pay.
Mana sanggup Ceng Ceng kelit tikaman itu?
Sin Cie kenal baik tipu tikaman itu, ia gusar bukan main terhadap Sun Tiong Kun. Kenapa nona ini demikian kejam, menyerang secara demikian telengas kepada orang bukannya musuh? Itulah serangan yang akan membawa kebinasaan.
"Kau terlalu!" kata ia di dalam hatinya, seraya ia berlompat ke depan Ceng Ceng, kaki kanannya terus terangkat, untuk dipakai menjejak, hingga pedang Hui Thian Mo-lie jadi terinjak ujungnya, terinjak terus di lantai!
Sin Cie gunai ilmu jejakan dari Kim Coa Long-kun, yang ia dapat cangkok dari kitab Kim Coa Pit Kip, hingga tak seorang juga didalam ruangan itu yang mengenalnya. Banyak orang menjadi heran, tanpa merasa ada yang berseru kagum, ada juga yang saling mengawasi satu pada lain. Sun Tiong Kun kerahkan tenaganya, untuk tarik pulang pedangnya itu, akan tetapi maksud hatinya tak kesampaian. Injakan anak muda yang ia tidak kenal itu seperti nancap di lantai. Justru begitu, tangan kiri si anak muda menyambar ke arah mukanya, tak dapat ia luputkan diri dengan cuma pelengoskan muka, terpaksa ia lepaskan cekalannya, ia lompat mundur.
Sin Cie masih mendongkol, ia jumput pedang dikakinya itu, dengan satu gerakan dari kedua tangannya, ia bikin patah senjata itu, terus ia lemparkan ke lantai!
Bu-eng-cu Bwee Kiam Hoo dan Sin-kun Thaypo Lau Pwee Seng adalah dua suheng Sun Tiong Kun, mereka ini saksikan sang sumoay dipecundangi, mereka murka. Pwee Seng hendak lantas turun tangan, akan tetapi Kiam Hoo yang licik tarik dia.
"Tunggu sebentar, tunggu apa yang dia hendak bilang!" kata suheng ini.
Benar-benar Sin Cie lantas bicara.
"Kandanya Bin-ya Cu Hoa dahulu, kelakuannya tak dapat dibenarkan, karena itu dia kena dibinasakan oleh Ciau suhu, yang tak bisa antap saja perbuatan busuk. Kejadian itu diketahui jelas sekali oleh Kim Coa Long-kun, siapa juga bilang, untuk ketahui duduknya perkara, dua pucuk surat telah ditulis untuk membuktikannya. Kim Coa Long-kun juga telah ajak Ciau Suhu pergi ke Bu Tong San untuk menghadap sendiri kepada Uy Bok Toojin, ketua dari Bu Tong Pay, untuk menjelaskan duduknya perkara. Itulah pun menjadi sebab kenapa Uy Bok Toojin telah sudahi perkara itu. Dua surat yang dimaksudkan itu mestinya inilah adanya....." Dia menunjuk kepada robekan kertas di lantai. "Barusan tuan ini telah robek surat-surat berharga itu, entah apa maksudnya?" Dia tambahkan seraya tunjuk juga Bwee Kiam Hoo.
Puas Ciau Kong Lee mendenagr perkataan-perkataan itu, hingga ia mau percaya, pemuda ini benarlah diutus Kim Coa Long-kun. Ia cekal tangan gadisnya, hatinya sendiri memukul keras.
Bwee Kiam Hoo tapinya tertawa dingin.
"Itulah dua pucuk surat palsu!" berkata dia. "Si orang she Ciau telah berpikir yang bukan-bukan untuk mengelabui orang! Buat apa kalau dua pucuk surat itu tidak dirobek?"
Sin Cie masih berlaku sabar.
"Ketika kami berdua hendak berangkat kemari, Kim Coa Long-kun telah beritahukan kami tentang bunyinya dua surat itu," kata ia. "Dua surat yang dirobek itu, bukankah ini Taysu dan losu itu telah membacanya sendiri?" tambahkan ia, seraya ia memberi hormat pada Sip Lek Taysu dan The Kie In. "Mari kita bicarakan isinya surat itu, itu benar dusta atau tidak, nanti akan dapat diketahui."
"Baik, bicaralah!" berkata Sip Lek Taysu dan The Kie In. Sin Cie berpaling kepada Bin Cu Hoa.
"Bin-ya," katanya, "jikalau aku bicara, kesudahannya sungguh tidak akan membikin bercahaya muka kandamu, dari itu, apa aku mesti bicara terus atau jangan?"
Urat-urat dikepalanya Cu Hoa pada bangun.
"Kandaku bukan orang semacam yang kau hendak sebutkan!" dia berseru bahna gusar. "Pasti sekali inilah surat palsu!"
Sin Cie tidak hendak berbantah pula. Ia menoleh pada kawannya. "Adik Ceng, silakan kau bacakan bunyinya kedua surat itu!" ia minta.
Ceng Ceng terima perintah itu tanpa bilang suatu apa, mulanya ia mendehem beberapa kali, lantas ia mulai membacakan, diluar kepala. Ia berotak sangat terang, satu kali saja ia baca kedua surat itu selama di hotel, segera ia ingat semuanya. Ia baca lebih dahulu surat pengakuannya Thio Ceecu, lalu surat tanda terima kasih dari Khu Tootay. Ia membaca dengan tenang, suaranya halus tetapi terang.
Orang-orang dalam rombongan Bin Cu Hoa sudah lantas kasak-kusuk apabila "pemuda" ini telah membacakan beberapa puluh huruf , terang mereka itu mulai rundingkan isi surat, dan ketika baru saja pembacaan dilakukan separuh, Bin Cu Hoa sudah menjerit.
"Berhenti!" teriak dia. "Bocah, siapakah kau?"
Ceng Ceng belum sempat menjawab, Bwee Kiam Hoo sudah nyelah.
"Bocah ini kebanyakan ada orangnya si orang she Ciau!" kata Bu-eng-cu si Bajangan Tak Ada. "Atau dia adalah orang yang diundang untuk membantu pihaknya. Siapa berani pastikan jikalau tidak lebih dahulu mereka bersekongkol?"
Bin Cu Hoa seperti sadar mendengar kata-kata itu.
"Kau bilang kau adalah orang suruhannya Kim Coa Long-kun!" dia berseru. "Siapa bisa buktikan kau bukannya orang palsu yang datang kemari untuk ngaco-belo saja?"
"Habis apa kau inginkan untuk bikin kau percaya betul?" Sin Cie tanya.
Bin Cu Hoa balingkan pedangnya yang panjang. "Banyak orang kangouw bilang Kim Coa Long-kun liehay bugeenya," berkata dia, "itu melainkan kata-kata saja dan belum pernah ada orang yang menyaksikannya, apabila kau benar ada turunan dari Kim Coa Long-kun itu, pasti kau telah mewarisi kepandaiannya itu. Asal kau dapat menangkis pedangku ini, Baru aku mau percaya!"
Orang she Bin ini memandang enteng Sin Cie yang masih berusia demikian muda. Umpama kata benar si pemuda ada anaknya Kim Coa Long-kun, pasti dia belum dapat wariskan semua kepandaiannya orang kangouw luar biasa itu. Berapa liehaynya orang muda ini? Ia percaya, dalam beberapa gebrak saja, ia akan dapat merubuhkannya, hingga orang akan percaya surat-surat itu adalah surat-surat palsu belaka.
Sin Cie jatuhkan diri di atas kursi, untuk berduduk. Ia cegluk araknya, ia jumput sumpit untuk jepit sepotong daging, buat dikasi masuk kedalam mulutnya, untuk dikunyah.
"Untuk menangkan pedang di tanganmu itu, buat apa sampai mesti dapatkan warisan kepandaiannya Kim Coa Long-kun...." Katanya sambil tertawa. "Orang telah permainkan padamu, kau masih tidak insyaf, sayang, sungguh sayang. "
Bin Cu Hoa jadi bertambah-tambah mendongkol. "Kapan orang permainkan aku?" dia berteriak. "Eh,
bocah, apakah kau berani piebu denganku? Jikalau kau
takut, pergilah kau menggelinding dari sini!"
Kembali Sin Cie cegluk araknya, sikapnya sangat tenang.
"Sudah lama aku dengar ilmu pedang Bu Tong Pay adalah yang tunggal didalam dunia Kangouw, maka hari ini marilah aku belajar kenal dengannya," kata ia dengan tetap sabar. "Akan tetapi, sebelumnya main-main, perlu kita bicara dahulu. Jikalau aku dapat menangkan kau, perselisihanmu ini dengan pihak Ciau Losu mesti dibikin habis, tidak dapat diungkat-ungkat pula, umpama kata kau tetap memusuhinya, maka semua cianpwee yang hadir disini harus perdengarkan suaranya yang adil!"
"Itulah pasti!" berseru Bin Cu Hoa dengan bernapsu. "Disini ada Sip Lek Taysu, The Ceecu dan yang lain-lain, yang menjadi saksi! Tapi jikalau kau tak dapat menangkan aku?"
"Aku nanti menjura kepadamu untuk menghaturkan maaf," jawab si anak muda dengan lantas. "Selanjutnya aku tidak akan campur tahu pula urusan ini."
"Baik!" berseru Bin Cu Hoa. "Nah, kau majulah!"
Cu Hoa segera putar pedangnya, hingga anginnya berbunyi "swing, swing!" Teranglah ia ada sangat sengit hingga ia sengaja pertontonkan tenaganya. Didalam hatinya, ia pun pikir: "Jikalau aku tidak berikan tanda mata kepadamu, ditubuhmu, pasti kau tidak insyaf liehaynya Bu Tong Pay!"
Sin Cie masih tetap tenang seperti tadinya.
"Kim Coa Tayhiap telah bilang padaku," ia berkata pula, "didalam Bu Tong Pay, ilmu pedangnya yang paling liehay adalah Liang Gie Kiam-hoat. Ia pesan padaku, katanya, dengan kepergianmu ini, apabila si orang she Bin tidak sudi mengerti, hingga pertempuran mesti terjadi, kau mesti perhatikan ilmu pedangnya itu. Yang lain-lainnya tak usah diperdulikan. Sekarang mari aku ajarkan kau beberapa tipu pukulannya untuk memecahkannya."
Pemuda ini belum bicara habis atau dari antara rombongan tetamu, seorang usia pertengahan lompat maju kearahnya sambil berseru: "Baik! Aku ingin saksikan bagaimana Kim Coa Long-kun ajari kau memecahkan Liang Gie Kiam-hoat!"
Seruan itu disusul sama tusukan pedang ke muka Sin Cie.
Anak muda ini egos mukanya ke kiri, terus ia loncat ke tengah-tengah ruangan. Sementara itu, tangan kirinya masih cekali cawan araknya, tangan kanannya, dengan sumpit, sedang menjepit sepotong paha ayam.
"Aku mohon tanya gelaranmu, tootiang?" katanya.
Penyerang itu memang ada satu toojin, satu imam. "Pintoo ada Tong Hian Toojin," jawab imam itu. "Pintoo
adalah murid Bu Tong Pay angkatan kedua puluh tiga. Bin Cu Hoa ini adalah suteeku!"
"Bagus, tootiang," kata pula Sin Cie. "Dulu Kim Coa Tayhiap dan Uy Bok Tootiang telah merundingkan tentang ilmu silat pedang di atas gunung Bu Tong San, itu waktu Uy Bok Tootiang telah unjuk bahwa Liang Gie Kiam-hoat ciptaannya itu tidak ada tandingannya di dalam dunia ini, atas itu Kim Coa Tayhiap cuma tertawa saja, ia tidak membantahnya. Maka beruntunglah hari ini kita bertemu disini, hingga kita dari angkatan muda bisa dapat ketika untuk merundingkannya dan mencoba-coba."
Tong Hian Toojin tidak bilang apa-apa lagi, ia beri tanda pada Bin Cu Hoa, lantas keduanya menyerang dengan berbareng. Sebab "Liang Gie Kiam-hoat" seperti namanya menunjuki "liang-gie", adalah ilmu berkelahi yang selamanya mesti dilakukan oleh dua orang melawan satu atau lebih musuh.
Gesit luar biasa, Sin Cie melejit dari dua tikaman itu yang hebat sekali, atas mana, ia dirangsek pula. "Tahan, tahan!" Ceng Ceng berseru. "Dengar dulu!"
Bin Cu Hoa dan Tong Hian hentikan serangan mereka, lantas mereka berdiri berendeng dengan masing-masing pedangnya di depan dada. Ini dia yang dinamakan sikap "liang-gie". Mereka awasi pemuda ini.
"Wan Toako menerima baik untuk bertempur dengan Bin-ya satu orang, kenapa sekarang ditambah satu tooya lagi?" tanya Ceng Ceng.
Matanya Tong Hian Toojin mencilak.
"Engko kecil, teranglah kau ada merek palsu!" berkata imam ini dengan ejekannya. Ceng Ceng tetap dandan sebagai satu pemuda. "Siapa sih yang tidak ketahui Liang Gie kiam-hoat mesti dilakukan berbareng oleh dua orang? Kau tidak tahu suatu apa, apa mungkin Kim Coa Long-kun yang kenamaan juga tak tahu ini?"
Disengapi secara demikian, merah muka nona kita.
Sin Cie segera datang sama tengah dengan kata-katanya: "Liang Gie kiam-hoatmu ini memang didasarkan atas Im dan Yang, yang saling menghidupkan dan saling menaklukkan. Siapa yang latihannya masih jauh daripada kesempurnaan, memang digunainya itu harus dengan berdua, akan tetapi untuk ahli sejati, pasti cukup dengan satu orang saja!"
Ceng Ceng tidak kenal Liang Gie kiam-hoat, karenanya ia telah menanyakannya. Tentu saja ia tidak senang yang Sin Cie mesti dikerubuti dua orang. Tapi ia tidak tahu, karena pertanyaannya ini yang tolol, ia jadi sudah membuka rahasia sendiri. Karena ini juga, Sin Cie lekas- lekas tolongi kawannya ini.
Tong Hian dan Bin Cu Hoa saling mengawasi, dalam hatinya mereka pikir: "Tidak pernah suhu omong bahwa
512 ilmu pedang ini bisa dipakai berkelahi dengan satu orang saja, maka apa mungkin bocah ini cuma ngoceh tak keruan?"
Ceng Ceng sendiri telah lantas dapat pulang ketenangan dirinya. Ia lantas tertawa gembira sekali terhadap kedua jago Bu Tong Pay itu. Ia kata: "Oleh karena jiewie maju berdua dengan berbareng, aku anggap syarat taruhannya perlu ditambah berlipat!"
"Kau hendak bertaruh apa?" tanya Bin Cu Hoa.
"Aku inginkan," sahut Ceng Ceng, "umpama kata pihakmu yang kalah maka kecuali dibulatkan janji kau tidak akan musuhkan pula kepada Ciau Losu ini, kau juga mesti serahkan pada Wan Toako gedung besarmu di luar pintu Kim Coan-mu. Apa kau akur?"
Bin Cu Hoa pikir: "Sekarang ini, apa juga baiklah aku terima baik! Umpama bocah ini tidak terbinasa di ujung pedangku, sedikitnya dia bakal terluka parah." Dia merasa pasti sekali. Maka dia lantas berikan jawabannya: "Baik, aku terima pertaruhan ini! Umpamanya kau juga hendak turut maju, hingga kita jadi dua pasang kami akur, supaya tidak usah kamu nanti katakan kita yang tua menghina yang muda dan yang banyak curangi yang sedikit!"
"Bagaimana kau bisa bilang yang banyak curangi yang sedikit?" tanya Ceng Ceng. "Sungguh kau tidak tahu tingginya langit dan dalamnya bumi!"
Naik darahnya Bin Cu Hoa karena hinaan ini.
"Orang she Wan!" ia berseru kepada Sin Cie. "Bagaimana jikalau kau kena kami lukakan?"
Tidak lantas pemuda kita berikan jawabannya, karena usul keluar dari Ceng Ceng tetapi dialah yang ditanya. Tapi Ciau Kong Lee sudah lantas menalangi dia. "Bin Jieko, gedungmu itu berapa harganya?" tanya ketua Kim Liong Pang ini.
"Baru pada bulan yang lalu aku beli gedung itu," sahut Bin Cu Hoa. "Aku beli itu dengan harga delapan ribu tiga ratus tail."
"Kalau begitu, aku suka wakilkan Wan Toako." Bilang Kong Lee. "Kau tunggu sebentar."
Tuan rumah ini lantas bicara pelahan sekali pada gadisnya.
Ciau Wan Jie segera lari kedalam, untuk keluar pula dengan cepat dengan membawa selembar kertas berharga dari bank.
Ciau Kong Lee lantas berkata pula: "Wan Toako ini hendak keluarkan tenaganya untuk aku, aku sangat bersyukur kepadanya. Disini ada itu jumlah delapan ribu tiga ratus tail. Umpama Wan Toako dengan sepasang tangannya tidak sanggup layani empat tangan dari kamu, maka Bin Jie-ko boleh ambil cek ini. Dan kalau ada urusannya lain lagi, lain kali Bin Jieko boleh cari aku. Siapa berhutang, dia mesti membayar!"
Ketua Kim Liong Pang ini pikir, umpama Sin Cie tidak sanggup menangi lawan, tidak apa, asal dia jangan jadi korban untuknya.
The Kie In, cong-bengcu atau ketua pusat dari kawanan bajak dari tujuh puluh dua pulau gembira dengan macam pertaruhan itu, dia lantas turut campur bicara.
"Bagus!" serunya. "Inilah pertaruhan yang maha adil, adil sekali! Bin-jieko, aku juga hendak turut ambil bagian!" Dia lantas rogoh sakunya, akan keluarkan sepotong uang goanpo emas, yang ia terus lemparkan ke atas meja, sambil ia tambahkan: "Mari kita bertaruh tiga lawan satu! Goanpo
514 itu berharga tiga ribu tail! Hayo, siapa berani lawan dengan seribu tail saja?"
Tantangan itu tidak ada yang jawab, walau kembali pemimpin bajak itu ulangi sampai beberapa kali. Sin Cie masih demikian muda, mana dia sanggup lawan dua jago Bu Tong pay? Tidak ada orang yang niat korbankan uang secara cuma-cuma.
Tapi Ciau Wan Jie muncul dengan tiba-tiba.
"The toapeh, suka aku terima pertaruhanmu ini!" katanya. Malah lantas dia loloskan gelang emas yang sedang dipakai, ia letaki itu diatas meja.
Itulah gelang emas yang tertabur permata, sinarnya sampai memain berkeredepan.
The Kie In angkat gelang itu untuk diperiksa, kemudian ia kata: "Gelangmu ini berharga tiga ribu tail, maka itu tidak sudi aku akan akali satu bocah. Aku akan tambah uangku lagi enam ribu tail!"
Memang ia janjikan tiga lawan satu.
Pemimpin bajak ini lantas teriaki orangnya untuk letaki lagi dua potong goanpo emas diatas meja.
"Aku pujikan supaya kaulah yang menang!" kata pula cong-bengcu ini sambil tertawa. Ia berkata-kata seraya hadapi nona Ciau. "Ini uang bisa dijadikan pesalinmu!"
Sun Tiong Kun panas hati menyaksikan semua itu.
"Aku pertaruhkan pedangku ini!" ia berseru. Ia lemparkan pedangnya yang tinggal sepotong keatas meja.
0o-d.w-o0