Pedang Ular Emas Bab 10

Bab ke 10

Ditengah-tengah peta itu ada satu bundaran kecil warna merah, disamping itu diberi tanda antaranya empat huruf halus, bunyinya : "Gui Kok Kong Hu", yang berarti "Istana Gui Kok-Kong". Gui Kok-Kong itu adalah "Pangeran (hertog) Gui".

Masih saja mereka menelitinya.

"Menurut bunyinya keterangan," berkata lagi Sin Cie kemudian, "harta besar itu disimpannya didalam tanah dari sebuah kamar yang mencil didalam pekarangan istana pangeran Gui itu., jikalau disitu kita menggali kita akan dapati suatu lapis lembaran besi dibawah mana akan kedapatan sepuluh peti besi yang besar. Itulah dia harta besar itu."

"Maka kalu nanti kita sampai di Lamkhia, baik kita lantas cari istana Gui Kok-kong itu," sarankan si pemudi. "Asal kita berhasil mendapati istana itu, selanjutnya mesti kita punyakan daya lain!" "Gui Kok-kong itu ada gelaran kebangsawanan dari Tay- ciangkun Cie Tat," Sin Cie terangkan pula. "Jendral itu ada salah satu menteri besar dari kerajaan Beng. Istananya mestinya luar biasa sekali, umpama kata kita dapat memasukinya, pasti sulit untuk menggali sana dan menggali sini untuk cari harta itu..."

"Sekarang ini tak ada gunanya kita pikirkan itu terlalu jauh," Ceng Ceng bilang. "Buat apa kita menduga-duga saja? Nanti setelah sampai di Lamkhia Barulah kita berdaya pula."

Sin Cie anggap si nona benar, ia menurut.

Kembali mereka lakukan perjalanan mereka, sampai lewat pula beberapa hari, sampailah mereka di Lamkhia, kota yang dituju itu, yang dengan lain nama disebut Kim- leng, satu kota bertembok batu yang dipandang sebagai kota paling besar di "kolong langit", sedang disanapun adanya Beng Hau-leng, ialah makam raja-raja ahala Beng. Itulah ibukota pertama sejak dibangunnya kerajaan Beng oleh Beng Tha-cou, kaisar Beng yang pertama. Walau kota itu pernah mengalami kekalutan besar, kotanya masih tetap indah dan ramai.

Sin Cie berdua Ceng Ceng ambil tempat di hotel dengan mengaku mereka datang ke Lamkhia untuk mencari sahabat , dari itu dihari kedua, si anak muda panggil jongos untuk dimintai keterangan dimana pernahnya istana Gui Kok-kong.

Jongos itu bingung. Ia bilang tak tahu ia perihal istana itu.

Ceng Ceng sangka orang mendusta, ia jadi gusar. "Gui Kok-kong ada menteri nomor satu yang besar jasanya dari kerajaan kita, kenapa kau bilang tidak ada istana Gui Kok-kong disini?" ia bentak.

"Jikalau memang benar ada istana itu silakan siangkong cari sendiri," jawab si jongos. "Benar-benar aku tidak tahu."

Ceng Ceng anggap jongos itu kurang ajar, ia ayun tangannya untuk memberi bogem mentah, tetapi Sin Cie cegah dia, hingga kesudahannya si jongos ngeloyor pergi sambil menggerutu sendiri...

"Mari kita cari," mengajak Sin Cie pada kawannya.

Ceng Ceng menurut, berdua mereka keluar dari hotel itu. Itu hari mereka mengidar dengan sia-sia saja, tak dapat mereka peroleh keterangan perihal istana Pangeran Gui itu. Mereka ulangi mencari dihari kedua, hasilnya tetap sia-sia saja, demikianpun ketika mereka lanjuti penyelidikan sampai tujuh atau delapan hari.

Sin Cie berniat keras mencari balas, ia ingin tunda dulu menyelidiki tentang istana itu, akan tetapi kawannya penasaran.

"Mari kita cari terus," Ceng Ceng bilang.

Mereka kembali putar-putaran didalam kota beberapa hari lamanya, tapi hasilnya tetap tidak ada kecuali capai- lelah.

Menurut keterangan yang mereka peroleh sampai sebegitu jauh, katanya turunan dari Tayciangkun Cie Tat atau Gui Kok-kong itu adalah raja muda dengan kekuasaan atas bala tentara didalam kota Lamkhia, bahwa istananya Baru beberapa tahun yang lalu dibangunkannya, sedang tentang istananya Gui Kok-kong, tak ada yang mengetahuinya. Saking penasaran, Ceng Ceng usulkan untuk diwaktu malam satroni onghu atau istananya raja muda she Cie itu.

Sin Cie tidak setuju, ia tentang usul itu dengan bilang, karena istana ada pendirian baru, tak mungkin harta karun didapatkan disana, atau umpama kata benar harta tersimpan disana, dengan berdua saja, apa mereka bisa buat? Sebaliknya apabila mereka gagal, rahasia jadi ketahuan oleh raja muda itu, yang pastinya akan cari sendiri harta itu. Istana pasti terjaga kuat sekali.

Puterinya Kim Coa Long-kun itu dapat dikasi mengerti.

Dilain harinya, diwaktu sore dua orang ini pergi kesungai Cin Hoay Hoo yang kesohor , untuk menyewa perahu pelesiran, buat mencoba menghibur diri setelah buat banyak hari mereka putar-kayun dengan siasia.

"Ayahmu ada satu enghiong, setelah mendapati peta, dia sendiri masih belum berhasil mencari tempatnya harta karun itu, inilah benar sulit," si pemuda nyatakan.

"Akan tetapi ayah menulis dengan jelas sekali, mustahil ia keliru," si pemudi bertahan. "Karena harta itu bukan cuma satu tail atau dua tail emas, pasti sekali tempat simpannya sulit untuk gampang-gampang dicari sembarang orang..."

"Kalau begitu, mari kita cari lagi satu hari, apabila tetap kita gagal, kita berangkat dari sini," Sin Cie bilang akhirnya.

"Kita mencari sampai lagi tiga hari!" kata Ceng-Ceng.

Di sungai itu, dari beberapa penjuru, terdengar suara seruling yang diiringi dengan nyanyian-nyanyian. Selain itu, terdengar juga suaranya penggayu-penggayu dari pelbagai perahu pelesiran lainnya, sedang cahaya api memain sebagai bajangan di permukaan air. Ceng Ceng tenggak beberapa cawan arak, mukanya yang dadu jadi bersemu lebih merah, hingga diantara sinar api, ia nampaknya jadi bertambah-tambah cantik.

Sin Cie tertawa.

"Baik aku turut kau, kita mencari lagi tiga hari!" kata Sin Cie.

Nampaknya si nona puas.

Itu waktu dari perahu tetangga terdengar suara nyanyian bercampur tertawa dan omongan gembira, bukan main tertarik hatinya si nona. Pengaruh air kata-kata pun sudah mulai menarinya.

"Engko," kata Ceng Ceng sembari tertawa, "bagaimana jikalau kita panggil dua nona untuk mereka nyanyi, akan temani kita minum?"

Mukanya Sin Cie merah dengan tiba-tiba mendengar pertanyaan itu. Bukankah ia ada satu pemuda alim?

"Apakah kau sudah sinting?" tanyanya. "Kenapa kau ngaco?"

Anak-anak perahu paling girang kalau penumpangnya berpelesiran dengan nona-nona tukang nyanyi, dengan itu mereka mengharapi hadiah, maka itu, mendengar perkataan penumpang yang satunya itu, tanpa tunggu si penumpang lain sahuti kawannya, dia sudah nyelak.

"Semua siangkong yang pelesiran di Cin Hoay Hoo, tidak ada satu yang tidak undang nona-nona tukang nyanyi untuk menemaninya," katanya.

"Jikalau siangkong kenal salah satu tukang nyanyi, nanti aku panggil dia..."

"Jangan, jangan," Sin Cie goyangi tangan. "Disini ada berapa nona yang paling kesohor?" Ceng Ceng sebaliknya menanya.

"Ada, ada, siangkong !" sahut tukang perahu itu. "Seperti Pian Giok Keng, Liu Jie Sie, Tang Siau Wan dan Lie Hiang Kun. Mereka ini pandai juga ilmu surat dan bersyair, mereka adalah siucay-siucay wanita!"

"Nah, kau coba panggil Liu Jie Sie dan Tang Siau Wan berdua!" Ceng Ceng menyuruh. Ia tidak perdulikan kawannya.

Tukang perahu itu celangap.

"Rupa-rupanya siangkong Baru untuk pertama kali ini datang ke Lamkhia?" bilangnya.

"Habis kenapa?"

"Nona-nona yang kenamaan itu, pergaulannya cuma dengan pemuda-pemuda bangsawan atau sedikitnya siucay," sahut tukang perahu itu. "Umpama orang dagang biasa saja, apabila dia hendak menemui nona-nona itu, kendati dia angkut semua hartanya, tidak nanti si nona sudi melayaninya. Jangan kata mengundang datang, melihat romannya saja tak dapat..."

"Cis, segala bunga raya saja demikian bertingkah!" kata Ceng Ceng. Dia dipanggil siangkong karena tetap dia dandan sebagai pria.

"Disini ada nona-nona lainnya yang eilok, baik aku panggil dua saja diantaranya," kata tukang perahu kemudian.

"Sekarang kami hendak pulang, lain hari saja," Sin Cie bilang. "Aku belum puas!" kata Ceng Ceng sambil tertawa. Ia memandang si tukang perahu dan lalu kata : "Pergi kau panggil mereka."

Selagi Sin Cie bungkam, tukang perahu itu, yang girang tak kepalang, sudah lantas buka suara nyaring beberapa kali, untuk memanggil dua nona yang ia kenal.

Sebentar saja, sebuah perahu terhias datang menghampirkan, dari situ lantas muncul dua nona, yang terus naik keperahunya Ceng Ceng. Mereka kasi hormat kepada kedua anak muda.

Sin Cie berbangkit, untuk memberi hormat, mukanya merah padam bahna jengah.

Ceng Ceng lihat perubahan air muka kawan itu dalam hatinya ia tertawa geli.

Kedua nona tukang nyanyi itu tidak cantik tetapi mereka dibikin bersinar oleh yancie dan pupur. Segera yang satu meniup seruling dan yang lain bernyanyi.

Ceng Ceng kerutkan alis mendengar suara seruling dan nyanyian itu, tak sedap dia mendengarnya.

Sin Cie pun kerutkan alis.

"Dasar kau!" katanya, menyesali kawannya. "Makin lama kau jadi makin angot!"

Ceng Ceng tertawa.

"Sudah, sudah!" katanya. "Apa belum cukup kau tegur aku? Nanti aku meniup seruling untuk kau dengar..."

Ia ambil seruling dari tangannya si nona manis, ia celup saputangannya kedalam arak, lalu saputangan itu dipakai menyusuti seruling itu, sampai sekian lama, Barulah ia masuki kedalam mulutnya sendiri, untuk dicoba pelahan- lahan. Atau dilain saat, ia telah mulai perdengarkan sebuah lagu.

Segeralah terdengar sebuah lagu yang lain sekali dari lagunya si bunga raya barusan!

Di Cio-liang, diatas bukit bunga mawar, Sin Cie pernah dengar lagu yang mnearik hati ini, maka teringatlah ia dengan kejadian diatas bukit itu, sedang sekarang, suasana ada lain - sungai ada indah, dihadapan mereka ada arak wangi, ada nona-nona manis...

Kedua nona manis itu duduk bengong apabila mereka dengar tiupan lagu itu.

Sin Cie mendengari dengan asyik sekali, sampai ia tidak tahu sebuah perahu pelesiran yang besar yang mendekati perahunya sendiri, tahu-tahu ada suara tertawa nyaring disusul pujian : "Sungguh merdu! Sungguh merdu!"

Menyusul itu, tiga orang lelaki pun lantas naik keperahunya pemuda dan pemudi ini tanpa mereka itu minta perkenan lagi.

Ceng Ceng tidak suka atas kelakuan orang itu, yang ia pandang sebagai gangguan. Ia letaki serulingnya, ia lirik mereka itu dengan mata tajam.

Dari tiga tetamu yang tidak diundang itu, yang jalan ditengah ada seorang dengan kipas ditangan, bajunya tersulam, umurnya kira-kira tiga-puluh tahun, alisnya kasar, matanya kecil, mukanya pun kasar. Dibelakang dia ini ada dua kee-teng atau hamba, yang membawa lentera atau tengloleng yang bertuliskan tiga huruf : "Cong Tok Hu" atau artinya "Gedung Cong Tok".

Sin Cie berbangkit, ia menyambut sambil memberi hormat. Kedua bunga raya itu memberi hormat sambil menjura. Cuma Ceng Ceng yang duduk tetap, tidak bergeming.

Orang itu tertawa, ia bertindak masuk ke ruangan dalam perahu.

"Maaf, maaf!" katanya dengan gembira, lalu ia jatuhkan diri atas sebuah kursi, untuk mana ia tidak nantikan undangan lagi.

"Maaf tuan, apa she dan namamu yang besar?" Sin Cie tanya.

Pemuda ini sabar dan selalu berlaku manis-budi.

Orang yang ditanya belum menyahuti, atau salah satu bunga raya dului ia dengan berkata : "Inilah Ma Kongcu dari Congtok-hu dari Hong-yang."

Kongcu ini tidak jawab Sin Cie, dia hanya mengawasi Ceng Ceng dengan kedua matanya yang sipit.

"Kau dari rombongan wayang mana?" ia tanya nona kita, yang ia sangka ada satu pemuda. "Merdu sekali tiupan serulingmu! Kenapa kau tidak hendak layani toa-ya-mu ini? Ha-ha-ha!"

Sepasang alisnya Ceng Ceng bangun. Ia gusar orang anggap dia ada satu anak wayang. Sebenarnya ia hendak tegur kongcu itu tetapi Sin Cie kedipi dia.

"Inilah saudaraku, kami datang ke Lamkhia untuk cari sahabat," anak muda kita menjawab.

"Kamu cari sahabat, siapa itu?" tanya Ma Kongcu. "Ini hari kamu telah bertemu denganku, mari kita bersahabat! Dengan bersahabat dengan aku, aku tanggung kamu nanti tidak kekurangan makan dan pakai!"

Ia tertawa pula. Sin Cie jadi mendongkol, akan tetapi ia masih dapat mengatasi dirinya. Ia tidak perlihatkan roman gusar.

"Tayjin Ma Su Eng itu pernah apa dengan tuan?" tanyanya.

"Ma Tayjin itu adalah pamanku!" sahut Ma Kongcu dengan roman sangat bangga.

Itu waktu dari perahu pelesirannya si kongcu ini muncul pula seorang lain, pakaiannya perlente tetapi kepalanya kecil dengan mata kecil juga, sedang kumisnya caplang. Ia lantas menjura kepada Ma Kongcu.

"Kongcu-ya," katanya sambil tertawa. "saudara ini pandai sekali meniup seruling."

Melihat dandanan orang, Sin Cie merasa pasti orang ini gundalnya pemuda itu.

"Keng Teng, pergi kau bicara dengan mereka," kata Ma Kongcu.

Itulah titah yang cuma dimengerti orang yang dipanggil Keng Teng itu, yang sebenarnya ada orang she Yo. Dia ini lantas hadapi Sin Cie dan Ceng Ceng untuk terus berkata :

"Ma Kongcu ini adalah keponakannya Ma Tayjin, Congtok dari Hongyang, dan dia sangat gemar ikat persahabatan. Ma Tayjin sangat sayang keponakannya ini, hingga dia perlakukannya sebagai puteranya sendiri saja. Jiewie, baiklah kamu pindah, untuk tinggal bersama-sama Ma Kongcu!"

Sin Cie tdiak enak hati mendengar kata-kata itu, terutama ia kuatir Ceng-Ceng gusar, akan tetapi diluar sangkaanya, ia lihat nona itu tertawa dengan ramah-tamah.

"Itulah bagus sekali," katanya Ceng Ceng. "Mari kita berangkat sekarang!" Ma Kongcu girang seperti ia mendapati mustika yang terjatuh dari langit, dia sambar tangannya Ceng Ceng untuk ditarik. Tapi Ceng Ceng mendahului tarik tangannya sendiri, untuk dipakai membetot satu bunga raya, tubuh siapa ditolak kepada Kongcu itu, hingga mereka itu jadi saling tabrak!

Sin Cie heran, ia diam saja. Ceng Ceng segera berbangkit.

"Aku lagi memberi hadiah kepada dua nona ini dan tukang perahu," katanya. "seorangnya lima tail perak..."

"Jangan, nanti akulah yang menghadiahkannya!" berkata Ma Kongcu itu. "Besok kamu pergi kepada tukang uangku untuk terima hadiahmu ini!" Ia tambahkan kepada bunga raya itu dan tukang perahu.

"Apakah bukan lebih baik hadiahkan sekarang saja?" tanya Ceng Ceng dengan tertawa manis.

"Ya, ya , sekarang pun boleh!" kata Ma Kongcu hampir berseru, lantas ia ulapi tangannya kepada salah satu orangnya, maka satu kee-teng lantas keluarkan uang lima- belas tail, yang dia letaki diatas meja.

Tukang perahu dan kedua nona bunga raya itu menghaturkan terima kasih, kemudian si tukang perahu kembali pada penggayunya.

Ma Kongcu terus menatap Ceng Ceng, sampai sebentar kemudian perahu sudah sampai di tepi.

"Nanti aku cari joli," Keng Teng bilang.

"Eh, tunggu dulu," tiba-tiba Ceng Ceng kata, romannya agak terperanjat. "Aku kelupaan serupa barang di tempatku, perlu aku pulang dulu untuk mengambilnya." "Nanti aku titahkan orangku yang pergi ambil," Ma Kongcu bilang. "Tak usah kau yang pulang sendiri. Saudara yang baik, dimana kau tinggal?"

"Aku mondok di kuil Hoat Hoa Sie diluar pintu kota Kim-Coan-mui," sahut Ceng Ceng. "Tapi barangku itu tak dapat lain orang yang mengambilnya."

Yo Keng Teng sudah lantas bisiki Ma Kongcu. "Awasi dia, jangan kasi dia molos!"

"Benar, benar!" kata Kongcu itu dengan mata membelalak. Terus ia pandang "pemuda" itu dan kata: "Kalau begitu, saudara yang baik, aku nanti temani kau pergi bersama!"

Ma Kongcu ulur tangannya, untuk sengklek bahu orang. Ceng Ceng tertawa geli, tapi ia menyingkir kesamping. "Tidak, aku tidak ingin kau turut!" ia menolak.

Semangatnya Ma Kongcu seperti meninggalkan pergi raganya melihat kelakuan yang menggiurkan itu.

"Kau lihat, Keng Teng," katanya , "apabila saudara yang baik ini dandan sebagai satu nona, pastilah didalam kota Kimleng ini tidak ada satu gadis jua yang nempil dengannya!..."

"Engko, mari kita pergi," Ceng Ceng mengajak kawannya. Dan ia sambar tangannya Sin Cie, untuk dituntun pergi.

Ma Kongcu melirik kepada Keng Teng, ia lantas mengikutnya, maka gundalnya itu, bersama dua pengiringnya, turut mengikuti ia, hingga berempat mereka berjalan dibelakang dua pemuda itu. Si Kongcu sendiri kemudian cepati langkahnya, untuk susul Ceng Ceng, supaya berdua mereka berada berdampingan, untuk bicara sambil ter-tawa-tawa.

Ceng Ceng melayaninya seperti acuh tak acuh.

Sudah lebih dari sepuluh hari Ceng Ceng dan Sin Cie putar-kayun dikota Kimleng, luar dan dalam, maka itu, mereka ingat baik letaknya tempat. Sekarang Ceng Ceng, yang jalan didepan, menuju ke tempat yang makin lama makin sepi, Sin Cie segera bisa duga pikiran si nona.

"Ma Kongcu ini benar ceriwis tetapi kesalahannya tak demikian besar hingga ia harus menemukan kematiannya," pikir anak muda she Wan ini. "Suhu sering bilang padaku, siapa yakinkan ilmu silat, tak dapat ia membinasakan orang yang tak selayaknya binasa. Inilah pantangan untuk kita. Bagaimana aku dapat cegah si Ceng Ceng?"

Dengan tiba-tiba, pemuda ini hentikan tindakannya. "Saudara Ceng, mari kita pulang!" ajak ia.

Ceng Ceng menyambutnya sambil tertawa manis. "Pergi kau pulang sendiri," sahutnya.

Ma Kongcu girang bukan buatan.

"Benar, benar!" katanya nimbrung. "Pergi kau pulang sendiri!"

Kongcu ini demikian tertarik hatinya, ia tak dapat artikan ajakan "pulang" dari si anak muda. Bukankah mereka sedang menuju kepondokannya si anak muda (Ceng Ceng)? Kenapa sekarang anak muda lainnya mengajak pulang lagi?

Sin Cie menggeleng kepala, ia pun menghela napas.

"Dia lagi menghadapi saat mampusnya, dia masih belum menyadarinya..." pikirnya. Selama itu mereka telah sampai ditempat dimana terdapat hanya kuburan. Ma Kongcu mulai berat tindakannya karena mereka sudah jalan jauh. Tidak biasanya keponakan congtok itu jalan kaki demikian lama. Napasnya pun mulai sengal-sengal.

"Apa sudah dekat?" tanyanya.

"Sudah sampai!" sahut Ceng Ceng dengan suara nyaring, yang disusul sama tertawanya yang panjang.

Ma Kongcu tercengang, dia melengak. "Sudah sampai? Ini toh kuburan?" pikirnya.

Yo Keng Teng si gundal menjadi curiga, hatinya jadi tidak tenteram. Akan tetapi mereka berempat, dan dua pengiringnya itu - ia tahu - ada bertenaga, karenanya, dapat ia hiburkan diri juga.

"Apa yang mereka berdua, anak-anak sekolah, dapat perbuat?" pikirnya pula.

"Saudara, sudahlah!" katanya kemudian. "Sudah, tak usah kamu pulang lagi. Mari kita beramai pergi ke gedung kongcu kami, disana bisa kita duduk minum..."

Ceng Ceng tertawa dingin.

"Pergilah kamu pulang sendiri!" Sin Cie bilang maksudnya baik. "Baik kau jangan turut kami!"

Pemuda ini membuka jalan hidup.

Tapi Ma Kongcu berempat adalah bangsa gentong kosong, otak mereka tak dapat tangkap nasihat yang diberikan secara samar-samar itu. Malah si kongcu bawa aksinya.

"Saudara, aku sudah letih sekali," katanya, dengan tingkah dibikin-bikin. "Tolong, kau pegangi aku..." Kongcu ini berada didamping Ceng Ceng, ia bisa ulur tangannya kepundak nona kita, untuk menggelendotkan dirinya.

Se-konyong-konyong saja, satu cahaya putih berkelebat. Sin Cie mengeluh dalam hatinya, ingin ia mencegah,

akan tetapi kepalanya Ma Kongcu sudah mendahului jatuh

ketanah dan menggelinding, darah muncrat, membasahkan tubuhnya, yang lantas turut rubuh juga.

Keng Teng kaget hingga ia berdiri menjublak, demikian juga kedua pengikutnya.

Ceng Ceng lompat kepada gundal itu dan dua kawannya, satu kali dengan satu kali, ia babat batang leher mereka, sebelum mereka sempat sadar dari tercengangnya, hingga roh mereka pergi susul rohnya kongcu mereka.

Sin Cie tidak mencegah lagi, karena ia pikir, si kongcu sudah binasa, perlu mereka singkirkan saksi-saksi, untuk mencegah ancaman bencana dibelakang hari. Menghapus rumput mesti dicabut berikut akar-akarnya.

Ceng Ceng susuti pedangnya dibajunya Ma Kongcu, ia bersenyum saking puas hatinya.

"Orang-orang sebangsa mereka ini cukup diberi hajaran, perbuatan kau ini rada bengis," kata Sin Cie.

Tapi si nona mendelik.

"Tak dapat aku terima keceriwisannya!" jawabnya. "Siapa tahu, kejahatan apa mereka sudah perbuat dan apa lagi yang akan terjadi dibelakang hari?"

Sin Cie anggap si nona benar juga. Memang Ma Kongcu tentu siap sedia mencelakai orang apabila napsu-hatinya tak tercapai. Akan tetapi, ia toh kata : "Memang sesuatu telur busuk mesti dibunuh mati, tetapi aku ingin kau mengatasi diri sendiri. Bagaimana apabila keliru terbunuh satu orang baik-baik? Apakah itu tidak hebat? Bisa-bisa pergaulan kita putus..."

Ceng Ceng tertawa.

"Itulah tak nanti aku lakukan," katanya. "Mari bantui aku."

Dengan cara mendupak, Ceng Ceng singkirkan mayat Ma Kongcu kedalam gombolan, perbuatan diturut oleh Sin Cie, hingga keempat mayat tak kelihatan lagi.

"Mari kita pulang," si nona mengajak.

Tiba-tiba Sin Cie tarik ujung baju kawannya. "Sembunyi!" katanya.

Mereka lantas lompat, untuk sembunyi dibelakang sebuah kuburan.

Suara tindakan dari banyak kaki terdengar, datangnya dari arah timur dan barat. Cuaca yang gelap pun lantas menjadi terang, karena orang-orang yang datang - jumlahnya belasan - membawa tengloleng.

Selagi rombonga itu mendatangi dekat satu pada lain, yang di timur perdengarkan tepukan tangan tiga kali, lantas datang sambutan dua kali dari rombongan barat, disusul dengan dua kali lagi. Setelah ini, mereka bergabung menjadi satu, tanpa sepatah kata juga, mereka lantas duduk didepan sebuah kuburan.

Jarak diantara mereka ini dengan Sin Cie berdua kira- kira sepuluh tumbak, tak dapat Ceng Ceng dengar suara bicara, karena ia ingin mengetahuinya, ia bertindak, untuk mendekatinya.

"Tunggu dulu..." Sin Cie mencegah seraya ia tarik ujung baju si nona.

443 "Tunggu apa lagi?" nona itu tanya.

Sin Cie ulapkan tangannya, untuk cegah kawan itu bicara.

Ceng Ceng menanti, dengan tidak sabaran. Disaat seperti itu, detik-detik waktu dirasakan lambat jalannya.

Tapi segera datang sambaran angin, yang cukup besar, hingga daun-daun pohon dan rumput perdengarkan suara berisik.

Berbareng dengan suara berisik itu, Sin Cie sambar lengan si nona, untuk diajak berlompat, hingga dilain saat, mereka sudah berada dibelakang kuburan tanpa ada seorang juga dari antara rombongan itu yang dapat lihat mereka berdua. Disini mereka lantas mendekam, untuk pasang kuping sambil pasang mata.

Ceng Ceng sementara itu kagumi kawannya itu, terutama kegesitannya dan tenaganya. Ia pun merasai sopannya ini anak muda, sebab tangannya segera dilepaskan dari cekalannya dia itu.

"Dia benar ada satu kuncu, cuma dia rada kering..." pikir nona ini, yang sendirinya sangat bergembira.

Segera mereka dengar satu suara sedikit serak : "Saudara- saudara perlukan datang dari tempat yang jauh, untuk membantu kepadaku, aku sangat berterima kasih."

Satu suara lain jawab pengutaraan bersyukur itu : "Guruku sedang sakit, sudah kira-kira sebulan ia tak dapat bangkit dari pembaringan, dari itu dia telah minta Twie- hong-kiam Ban Hong Ban Susiok pimpin kami dua-belas muridnya datang kemari untuk disuruh-suruh oleh Bin Losu." "Gurumu itu, Liong Ya-cu, sudi bantu aku, aku sangat berterima kasih kepadanya." Kata pula si suara rada serak.

"Pedang Twie-hong-kiam Ban Suheng telah menggetarkan wilayah selatan, sekarang suheng telah datang sendiri ke Kimleng ini, mustahil kita nanti tak berhasil? Begitu lekas aku melihatmu, Ban Suheng, hatiku lantas saja lega tak terkira."

"Itulah pujian belaka!" terdengar suara orang yang ketiga. "Kami dari Tiam Chong Pay justru kuatirkan kami nanti tak dapat berbuat suatu apa untuk membantu Bin losu..."

Suara orang ini kecil tetapi terang.

Hatinya Sin Cie tergetar juga. Ia ingat, di waktu-waktu senggang gurunya suka rundingkan ilmu pedang dari pelbagai partai, atau kaum persilatan lainnya, diantaranya empat partai terbesar ialah Bu Tong Pay, Kun Lun Pay, Hoa San Pay dan Tiam Chong Pay, bahwa setiap partai punyakan ilmu-ilmu silatnya yang istimewa. Sekarang ini yang datang, si orang she Ban, ada dari Tiam Chong Pay. Jauh dari tempat ribuan lie, orang datang ke Kimleng ini, apakah maksud mereka itu?

Setelah kedua saling bicara secara sungkan itu, kembali terdengar tepukan tangan dari kejauhan, suara mana disambut oleh rombongan dimuka kuburan ini. Atas sambutan itu, lalu muncul lagi tiga rombongan lain, yang datangnya saling susul. Mendengar dari pembicaraan mereka, Sin Cie ketahui dia ini ada dari kalangan mana.

Rombongan yang pertama adalah rombongan Siau Lim Sie dari Pou-thian, Hokkian, yang dipimpin oleh Sip Lek Taysu, kam-ih atau kepala dari ruang Tat Mo In dari kuil partai Siau Lim Pay. Rombongan yang kedua adalah kawanan bajak dari sepanjang pesisir Ciatkang dari Hokkian, yang dipimpin sendiri oleh Pek-hay Tiat-keng The Kie In si ikan lodan, yang jadi Cong-bengcu atau ketua dari bajak-bajak dari tujuh puluh dua pulau di sepanjang propinsi-propinsi tersebut.

Dan rombongan yang ketiga adalah partai Tiang Pek Pay dari gunung Tiang Pek San di Liau-tong dengan dipimpin sendiri oleh ketiga ketuanya, yang dikenal dengan julukannya jaitu Tiang Pek Sam Eng atau tiga jago Tiang Pek ialah Su Peng Kong, Su Peng Bun dan Lie Kong.

Sin Cie jadi makin heran. Mereka itu, semuanya ada orang-orang kangouw kenamaan. Apa perlunya mereka berkumpul di Lamkhia? Mereka hendak bantu si orang she Bin dalam urusan apa? Orang she Bin ini hampir tak hentinya menghaturkan terima kasihnya kepada mereka itu. Teranglah sudah, mereka itu sengaja diundang datang.

Ceng Ceng pun heran, ingin ia tanya Sin Cie, tapi untuk ber-hati-hati, ia coba atasi diri sendiri. Ia insyaf, dimuka orang-orang liehay itu, sedikit saja ia berkelisik, mereka bakal dapat tahu, atau sedikitnya mereka bakal bercuriga.

Segera terdengar pula suaranya si orang she Bin : "Aku Bin Cu Hoa "

"Inilah nama yang aku pernah dengar," berpikir Sin Cie. "Tidak salah, aku dengarnya dari suhu. Dia ini orang macam apa? Ah, kenapa aku bolehnya lupa?"

Si orang she Bin lanjuti omongannya : "Saudara-saudara, aku sangat bersyukur yang saudara-saudara telah datang untuk membantu aku, karena itu, harap saudara-saudara suka terima hormatku. " Sin Cie percaya orang she Bin itu berlutut untuk hunjuk terima kasihnya itu, karena ia dengar suara-suara yang merendah dan yang mempersilakan orang berbangkit.

"Jangan berbuat begini, Bin Jieko, tak sanggup siautee menerimanya," demikian terdengar juga.

Kemudian terdengar pula suaranya Bin Cu Hoa itu : "Selama beberapa hari ini, Thio Sim It suheng dari Kun Lun Pay, beberapa tootiang dari Ngo Bie Pay, dan beberapa suheng dari Hoa San Pay juga pasti bakal datang semuanya..."

"Oh, dari Hoa San Pay juga bakal ada yang datang?" tanya satu suara. "Inilah bagus sekali! Murid siapakah dia itu?"

Sin Cie heran, tapi ia kata dalam hatinya: "Bagus pertanyaan ini! Aku memang ingin menanyakannya..."

Segera terdengar jawabannya Bin Cu Hoa : "Mereka adalah beberapa suheng murid-muridnya Cio Poan San Long. "

"Kalu begitu, mereka adalah muridnya jie-suheng," pikir Sin Cie.

"Apakah Bin Jieko bersahabat kekal dengan Kwie Sin Sie suami isteri?" ada suara yang menanya pula. "Inilah bagus! Dengan adanya mereka itu, tak usah kita kuatirkan lagi kepada kan-cat she Ciau itu!"

"Mana dapat aku sendiri yang bersahabat dengan suami- isteri she Kwie itu?" ada jawabannya Bin Cu Hoa. "Adalah murid kepalanya, Bwee Kiam Hoo, yang bersahabat karib denganku."

"Bwee Kiam Hoo?" tanya satu suara lain. "Dia toh Bu Eng Cu si Bajangan Tak Ada yang dengan sebatang pedangnya telah taklukkan tujuh jago di jalanan propinsi Shoatang, bukankah?"

"Tidak salah, benarkah dia?" Bin Cu Hoa berikan kepastian.

Sin Cie masih heran akan tetapi sekarang hatinya lega. "Disini turut orang dari pihakku, rupanya mereka ini

berada di pihak benar," pikir ia. "Baik aku jangan muncul

diantara mereka, apabila ada ketikanya , aku nanti bantu mereka secara diam-diam saja."

Lalu kembali terdengar suaranya Bin Cu Hoa : "ketika dulu hari kandaku terbinasa teraniaya secara hebat itu, untuk lebih daripada sepuluh tahun aku telah berkelana kesegala tempat untuk cari musuhku itu, tak juga aku berhasil mengetahui, siapa sebenarnya dia. Adalah baru- baru ini, aku memperoleh penghunjukkan dari persaudaraaan Su dan Tiang Pek San kandaku telah terbinasa ditangannya kancat she Ciau itu! Aku sumpah, apabila tidak dapat aku balaskan sakit hati kandaku itu, tak sudi aku jadi manusia!"

Menjusul itu terdengarlah suatu suara keras. Rupanya dengan semacam senjata, Bin Cu Hoa perkuatkan sumpahnya dengan membacok atau memukul batu bongpay dari kuburan.

Lantas terdengar suara seorang lain : "Tiat-pwee Kim Go Ciau Kong Lee si Buaya Emas Berbokong Besi adalah seorang kangouw yang juga berkenamaan, aku tidak sangka dia bisa berbuat demikian macam. Entah dari mana kedua saudara Su itu ketahui rahasia pembunuhan itu?"

Mendengar lagu-suaranya, orang ini menyatakan kesangsian. Bin Cu Hoa tidak tunggu Su Peng Kong dan Su Peng Bun menjawab sendiri, ia mendahuluinya : "Kedua saudara Su telah tuturkan jelas kepadaku duduknya penganiayaan terhadap kandaku itu di Shoa-tang, untuk itu ada buktinya, maka haraplah Taysu tidak usah sangsi lagi."

Orang yang menyatakan ke-ragu-raguan nya itu tidak menanya lebih jauh, lalu terdengar suaranya seorang lain lagi : "Ciau Kong Lee itu telah berdiam untuk puluhan tahun dikota Kimleng ini, pengaruhnya telah mendalam dan kuat, sekarang kita hendak gempur dia, harus kita ber- hati-hati. "

"Memang kita harus ber-hati-hati," jawab Bin Cu Hoa. "Aku tahu, dengan seorang diri saja, tak dapat aku gempur dia, maka itu aku telah besarkan hati mengundang saudara- saudara sekalian. Besok pada jam yu-sie tepat aku undang saudara-saudara untuk menghadiri satu perjamuan sederhana dirumahku di gang Chia-lam diluar kota Selatan, aku harap sangat kedatangan saudara-saudara."

Suara jawaban ramai menerima undangan itu; ada yang mengucap terima kasih, ada yang minta orang she Bin itu tak sungkan-sungkan.

Kemudian Bin Cu Hoa berkata pula : "Kali ini jumlah sahabat-sahabatku ada banyak, tak usah disangsikan lagi yang pihak musuh tak mengetahuinya, maka kalau besok saudara-saudara datang, baik kita menggunai tanda, ialah sesuatu saudara angkat tangan terhadap orang-orang ku yang menyambut dimuka pintu, dengan tunjuki tiga jari tangan kanan ialah jeriji-jeriji tengah, manis dan kelingking, yang dikasi turun sambil dengan pelahan pun mengucapkan "kangouw gie khie, poat too siang cie." Dengan cara ini dapat kita cegah seumpama musuh kirim mata-matanya." "Itu benar!" menyatakan beberapa suara setuju. "Kita semua datang dari empat penjuru, banyak diantara kita yang belum kenal betul satu dengan lain, maka untuk selanjutnya, baik tetap kita gunai pertandaan ini."

Usul ini pun telah dapat persetujuan.

Kemudian, setelah ditetapkan juga, siapa mesti dikirim kerumah keluarga Ciau, untuk membuat penyelidikan, me- nyerep-nyerepi kabar, pertemuan rahasia itu ditutup, lalu mereka bubaran.

Setelah orang sudah pergi jauh, Barulah Sin Cie berdua berani bergerak, untuk duduk beristirahat. Ceng Ceng merasa kakinya pada kaku.

"Toako, besok kita pergi menonton keramaian, bukan?" si nona tanya.

"Pergi menonton sih boleh, akan tetapi kau mesti dengar perkataanku," jawab Sin Cie. "Tak dapat kau timbulkan gara-gara."

"Memangnya siapa yang hendak membikin ribut?" Ceng Ceng menjawab.

Habis itu, mereka berlalu, untuk pulang.

Besoknya tengah-hari, seluruh kota Kimleng menjadi gempar karena perkara pembunuhan gelap atas dirinya Ma Kongcu serta gundal dan pengiring-pengiringnya. Sin Cie berdua dengar kabar itu, berdua Ceng Ceng, ia keram diri dalam kamar. Akan tetapi kapan sang magrib datang, setelah salin pakaian, mereka pergi keluar, ke gang Chia- lam dimana, dengan tindakan lambat, mereka perhatikan sebuah rumah besar yang muka pintunya diterangi tengloleng, banyak tetamu yang datang saling susul. Dengan berani, tapi dengan sikap biasa, Sin Cie dan Ceng Ceng bertindak kepintu, kepada penjaga pintu, mereka tunjuki tiga jari mereka seraya menyebut "Kangouw gie khie, poat too siang cie", dengan begitu, satu penyambut beri hormat pada mereka dan seorang lainnya lagi antar mereka kedalam dimana mereka disuguhkan teh, lantas she dan nama mereka ditanyai. Dengan enak saja mereka ngaku she Thia dan Bun.

"Sudah lama kau dengar nama besar dari jiewie," kata penyambut itu dengan pujiannya, walaupun ia sebenarnya tak kenal kedua tetamu ini.

Ceng Ceng geli didalam hatinya, ia berpikir : "Aku sendiri Baru pertama kali denga she-ku ini, kau sebaliknya telah dengar sejak lama..."

Sementara itu, tetamu yang datang semakin banyak, maka untuk menyambut mereka, penyambut ini mohon diri, untuk layani mereka. Didalam hatinya ia anggap, mereka ini berdua entah muridnya siapa.

Sin Cie berdua tidak usah menunggu lama, lantas orang semua diundang duduk berkumpul, karena rapat hendak dimulai. Mereka duduk di pinggiran dengan ditemani oleh murid kelima dari Bin Cu Hoa. Yang lainnya juga ada anak-anak muda. Hati mereka lega karena orang tidak perhatikan mereka.

Pertemuan dibuka dengan keringkan arak tiga idaran, Bin Cu Hoa hampirkan sesuatu tetamunya, untuk memberi selamat datang kepada mereka dengan secawan arak. Kapan tuan rumah ini hampirkan meja mereka, Sin Cie dapat lihat tegas tuan rumah ini, seorang umur empat puluh delapan atau sembilan tahun, lengannya berurat kasar, romannya cerdik, tindakannya gagah, tanda ilmu silatnya tinggi, akan tetapi kedua matanya bengul dan merah, suatu tanda ia sedang bersedih untuk kandanya, rupanya selama beberapa hari ini, ia menangis saja.

"Dia sangat mencintai saudaranya, dia harus dihormati," pikir Sin Cie. "Dia bikin undangan kepada begini banyak sahabatnya, mestinya si orang she Ciau itu, musuhnya, berpengaruh besar sekali."

Bin Cu Hoa menjura tiga kali kepada semua tetamunya, ia ber-ulang-ulang menghaturkan terima kasih, ia undang pula sekalian tetamu keringkan cawan mereka.

Rombongannya Sin Cie membalas hormat, terutama karena mereka dari golongan muda.

Mendadak salah seorang muridnya Bin Cu Hoa muncul dengan kesusu, ia hampirkan gurunya, untuk berbisik, setelah mana, kelihatan tuan rumah itu jadi sangat girang, lekas-lekas ia letaki cangkirnya diatas meja, lantas ia lari kearah pintu, kapan sebentar kemudian ia kembali, ia berserta tiga orang yang ia perlakukan hormat sekali. Ia juga undang ketiga tetamu itu duduk dikepala meja.

"Pasti mereka ini adalah orang-orang kenamaan," pikir Sin Cie, yang awasi mereka.

Orang pertama, yang dandan sebagai satu pelajar, menggendol sebatang pedang panjang dibelakangnya, kedua matanya bersinar dan sikap-dedeknya angkuh. Orang kedua berumur tiga-puluh lebih. Dan yang ketiga, umur dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun, adalah sorang perempuan yang eilok parasnya, tapi sikapnya adem.

"Bwee toako datang tepat sekali, aku sangat bersukur." Terdengar suaranya Bin Cu Hoa.

Pelajar itu tertawa. "Urusan Bin Jieko mana dapat kami tak campur tahu?" kata dia.

"Kalau begitu, dia pasti ada Bwee Kiam Hoo, muridnya Jie-suheng kwie Sin Sie," pikir Sin Cie. "Kenapa dia begini jumawa?"

Bwee Kiam Hoo berkata pula :

"Dalam urusan sebagai ini, guruku tentu tak berkeinginan untuk mencampur tahu, tetapi aku sendiri adalah lain, maka itu, aku telah undang dua orang lain untuk bantu kau, Bin Jieko. Ini adalah sam-suteeku Lau Pwee Seng dan ini ngo-sumoay Sun Tiong Kun."

"Sungguh aku beruntung," mengucap Bin Cu Hoa. "Memang sudah sejak lama aku dengar namanya Sin-kun Thaypo dan Sun Liehiap!"

Orang she Bin ini tidak berani sebut gelarannya Sun Tiong Kun, maka ia memanggil "liehiap" (wanita gagah). Kaum kangouw juluki si nona "Hui Thian Mo-lie" atau "Hantu perempuan yang terbang kelangit", atau ringkasnya, Hantu Perempuan. Sebab Sun Tiong Kun terlalu disayang gurunya, dan karena mengandali bugeenya yang liehay, ia jadi galak dan telengas juga, hingga umumnya orang jadi jeri terhadapnya.

Kemudian Bin Cu Hoa perkenalkan Sip Lek Taysu, Tiang Pek Sam Eng, Pek-hay Tiang Keng dan Twie-hong kiam Ban Hong, juga yang lain-lain, kepada tiga tetamu yang terbelakang ini.

Perjamuan dilanjuti pula, sampai satu muridnya Bin Cu Hoa hampirkan gurunya untuk serahkan dua lembar ang- tiap lebar, membaca surat mana, mulanya orang she Bin itu berubah wajahnya, lalu kemudian ia tertawa kering. "Ciau Lojie benar-benar liehay!" berkata dia dengan nyaring. "Pihak kami belum sempat cari dia, dia sudah mendahului datang kepada kami. Bwee toako, Baru kamu sampai, dia sudah lantas dapat tahu?"

Ia serahkan angtiap itu kepada orang she Bwee ini.

Surat yang satu bertuliskan kata-kata: "Hormatnya adik yang muda, Ciau Kong Lee," sedang yang kedua memuat nama-namanya Bin Cu Hoa, Sip Lek Taysu, Tiang Pek Sam Eng dan yang lain-lain, tak terkecuali nama Bwee Kiam Hoo bertiga. Mereka semua diundang untuk besok sore berkunjung kerumahnya orang she Ciau itu, untuk hadirkan perjamuan.

"Sebagai tee-tau-Coa, Ciau Lo-jie benar-benar liehay," kata orang she Bwee ini. "kita orang tak dapat menjadi kiang-liong akan tetapi boleh juga kita mencoba-coba melawannya!"

"Tee-tau-Coa" berarti "ular setempat", yang dimaksudkan sebagai tuan rumah, dan "kiang-liong" adalah "naga yang tangguh", yang sebagai tetamu endonan. Tegasnya, walaupun kosen, tak dapat layani ular setempat....

Kemudian Bin Cu Hoa kata pada muridnya : Pergi kau undang masuk pada pembawa surat undangan ini!"

Murid yang diperintah itu lantas pergi keluar.

Semua orang menunda cawan arak mereka, semua mata diarahkan kepintu, darimana si murid tadi kembali dengan diikuti seorang laki-laki, berumur kurang lebih tiga puluh tahun, bajunya baju panjang, tindakannya sabar, romannya tenang, sesampai didepan Bin Cu Hoa, ia itu memberi hormat sambil menjura, terus ia berkata : "Guruku dengar kabar para cianpwee telah datang ke Kimleng ini, ia undang para cianpwee untuk besuk datang, ber-omong-omong dengannya, maka teecu ini dikirim untuk mengundangnya."

Bwee Kiam Hoo tertawa dingin.

"Ciau Lo-jie mengadakan pesta Hong-bun!" katanya. Lalu ia menoleh pada pembawa surat undangan itu dan kata : "Eh, apa namamu?"

Meski juga ia diperlakukan tak dengan hormat, utusan itu tetap berlaku sopan santun.

"Teecu bernama Lo Lip Jie," sahutnya.

Bwee Kiam Hoo membentak dengan pertanyaannya pula: "Ciau Lojie undang kita, dia mengatur tipu daya keji macam apa? Apakah kau ketahui itu?"

Tetap dengan hormat, Lip Jie menyahuti : "Guruku dengar para Cianpwee telah datang dikota Lamkhia, ia sangat kagum dan menghargainya, ingin dia bertemu dengan cianpwee semua, dari itu ia tidak kandung maksud lainnya."

"Hm, bagus benar kata-katamu!" kata pula Kiam Hoo. "Aku tanya kau: Ketika dulu Ciau Kong Lee aniaya kandanya saudara Bin Cu Hoa ini, kau turut saksikan sendiri kejadian itu atau tidak?"

"Itulah urusan sangat panjang, maka guruku undang para cianpwee," sahut Lip Jie. "Adalah maksud guruku, kesatu untuk memberi penjelasan kepada para cianpwee, dan kedua, ingin dia menghaturkan maaf kepada Bin Jie- ya."

"Bagus betul!" berseru Kiam Hoo. "Orang telah dibunuh mati, apa itu dapat dihabiskan dengan penghaturan maaf saja?" "Pada waktu itu, guruku telah didesak sampai ia habis daya, karenanya ia kesalahan turun tangan," kata pula Lip Jie. "Sejak itu hari, sampai sekarang ini guruku masih tetap menyesal. "

"Kalau begitu, pada waktu kejadian kau menghadapinya sendiri!" berteriak Hui Thian Mo-lie Sun Tiong Kun.

"Aku tidak saksikan itu sendiri," jawab Lip Jie, "akan tetapi guruku ada seorang baik, tidak nanti dia membunuh secara sembarangan. "

"Celaka, kau masih membantah!" berseru pula si Hantu Wanita, yang tubuhnya mendadakan mencelat dari kursinya, kearah pembawa surat itu, selagi dia berlompat, pedangnya berkelebat, lalu dengan tangan kirinya, dia tekan dadanya utusan ini.

Lo Lip Jie terkejut, dengan tangan kanan, ia tolak tangan kiri si nona. Ia gunai tipu gerakan "Tiat bun su" atau "Palang pintu besi."

"Celaka, tangan kanannya itu bakal kutung!" kata Sin Cie kepada Ceng Ceng. Ia terkejut melihat sikapnya Sun Tiong Kun dan daya pembelaan si utusan.

"Apa kau bilang?" tanya Ceng Ceng.

Belum sempat Sin Cie menyahuti si nona, atau Lo Lip Jie sudah perdengarkan seruan hebat, bahu kanannya telah terbacok sapat.

Semua hadirin jadi kaget, semua berbangkit.

Lo Lip Jie berdiri dengan muka pucat, akan tetapi ia tidak rubuh, dengan tangan kiri ia beset ujung bajunya, untuk dipakai membalut lukanya, kemudian ia membungkuk, akan jumput lengannya yang kutung itu, buat dibawa pergi dengan tindakannya yang lebar. Para hadirin tercengang melihat orang sedemikian tangguh, hingga mereka berdiam seraya saling mengawasi saja.

Sun Tiong Kun susuti darah pada pedangnya, dengan tenang ia kembali ke kursinya, untuk duduk dengan anteng, akan minum araknya seperti biasa saja.

"Orang ini bandel dan bertingkah, gurunya tentu galak dan jahat melebihkan dia," berkata Kiam Hoo. "Bagaimana besok, kita hadirkan pesta perjamuannya atau tidak?"

"Pasti kita mesti pergi!" kata Ban Hong. "Jikalau kita tidak pergi, tentu dia akan pandang sebelah mata pada kita!"

"Baiklah malam ini kita kirim orang untuk membuat penyelidikan," usulkan Pek-hay Tiang Keng The Kie In si Ikan Lodan. "Kita cari tahu secara rahasia, dia sebenarnya undang siapa-siapa untuk bantui pihak dan besok dia telah atur tipu-daya atau tidak..."

"The tocu benar!" Bin Cu Hoa puji tetamunya itu., ketua umum kawanan bajak. "Turut dugaaanku, tentunya Ciau Kong Lee telah mengatur persiapan kuat. Maka dari pihak kita, saudara-saudara siapa yang sudi bercape-lelah akan intai musuh kita itu?"

"Siautee suka pergi!" mengatakan Twie-hong-kiam Ban Hong si Pedang Angin.

Bin Cu Hoa berbangkit, ia isikan satu cawan arak, yang ia bawa kepada tetamunya itu.

"Silakan minum, toako!" ia memberi selamat.

Ban Hong menyambuti dan meminumnya kering sekali cegluk. Sampai disitu, pembicaraan telah selesai, maka setelah perjamuan dilanjuti lagi sekian lama, orang semua bubaran.

Sin Cie kasi tanda gerakan tangan kepada Ceng Ceng, terus ia ikuti Ban Hong dengan si nona mengiringi ia. Perbuatan mereka tak diketahui oleh orang Tiam Chong Pay itu.

Itu waktu sudah kira-kira jam dua. Ban Hong pulang kehotelnya untuk salin pakaian, lantas ia keluar pula, menuju ketimur. Sin Cie berdua terus menguntit hingga mereka dapati orang she Ban itu menikung dan menembusi tujuh atau delapan pengkolan jalan besar, kemudian, setelah mengitari sebuah rumah besar, dia lompat naik untuk memasuki pekarangan.

Sin Cie saksikan gerakan pesat orang itu.

"Tidak kecewa dia dijuluki Twie-hong-kiam," pikirnya. Mereka juga berlompat, untuk menguntit terus.

Dari sebuah kamar tampak sinar terang. Kamar itu dilewati oleh Ban Hong. Tapi Sin Cie ingin tahu, berdua Ceng Ceng, ia hampirkan jendela, dari sela-sela, ia mengintip kedalam.

Didalam kamar itu kedapatan tiga orang yang sedang duduk, yang duduk madap keluar ada seorang usia lima- puluh lebih, sepasang alisnya mengkerut, wajahnya berduka.

"Lip Jie bagaimana?" tanya dia setelah menghela napas. "Lo Suko telah pingsan beberapa kali, tapi sekarang

darahnya sudah berhenti keluar," sahut orang yang duduk

dibawahannya. Sin Cie lantas menduga, orang tua itu tentulah Ciau Kong Lee bersama dua muridnya. Mereka pun lagi omong hal lukanya Lo Lip Jie, si utusan pembawa surat.

Terdengar orang yang ketiga berkata: "Suhu, baik kita minta beberapa saudara untuk mengadakan perondaan disekitar rumah kita ini, aku kuatir musuh nanti kirim orang untuk intai kita..."

Orang tua itu menghela napas pula.

"Dirondai atau tidak, sama saja," jawabnya. "Sekarang ini aku sudah peserah kepada takdir. Besok pagi kamu antar subo, sumoay serta suteemu yang kecil kerumah keluarga Gou di Ou-ciu."

"Suhu, harap kau tidak putus asa!" berkata murid itu tanpa ia mengiakan titah gurunya itu. "Kita didalam kota Lamkhia ini toh mempunyai lebih daripada dua ribu saudara, jikalau kita lakukan perlawanan, apa musuh bisa berbuat terhadap kita?"

Masih orang tua itu menghela napas.

"Lawan kita telah undang orang-orang kangouw yang sangat kenamaan," katanya. "Percuma-cuma saja , kita akan buang jiwa jikalau kita lawan keras kepada mereka itu. Maka, kalau nanti aku terbinasa, aku minta sukalah kamu rawat baik-baik pada subu, sumoay dan suteemu itu. Mereka semua mengandal atas tunjangan kamu beramai..."

Lantas orang tua itu mengucurkan air mata.

"Suhu, jangan suhu mengucapkan begitu," kata murid yang lainnya. "Ilmu silat suhu tinggi, hingga suhu bis amenjagoi di kanglam, umpama kata suhu tak dapat memenangkan mereka, toh tidak nanti suhu bakal kena dikalahkan. Kita terdiri dari dua puluh lima suheng-tee, kecuali Lo Suko, masih ada dua puluh empat, mustahil kita

459 tidak sanggup lawan mereka itu? Kenapa suhu tidak mau undang sahabat-sahabat suhu dipelbagai tempat, supaya mereka datang membantu?"

"Dulu dimasa muda, aku pun berdarah panas sebagai kamu," kata guru itu. "kesudahannya, seperti kau lihat, onar menjadi begini rupa. Sekarang ini aku terserah, aku hendak kasi diriku dibunuh mereka, untuk membayar hutang jiwa, dengan begitu urusan menjadi beres. "

Terharu Sin Cie dan Ceng Ceng dengar pembicaraan guru dan murid-muridnya itu.

"Kelihatannya Ciau Kong Lee ini bukan seorang jahat," memikir pemuda kita. "Mungkin dulu dia telah berbuat salah tetapi sekarang ia sudah insaf dan menyesal. "

"Suhu!" tiba-tiba seru seorang murid.

"Oleh karena suhu berkeputusan tidak hendak lawan mereka," berkata murid ini dengan jawabannya, "marilah malam ini juga kita berangkat untuk menyingkirkan diri, sedikitnya untuk sementara waktu. "

"Mana dapat tindakan itu diambil?" berseru seorang murid yang lainnya. "Suhu kenamaan, apa mungkin kita jeri terhadap musuh?"

"Apa sih kenamaan atau tidak kenamaan?" kata Ciau Kong Lee, orang tua itu. "Sekarang ini aku tidak pikiri soal kenamaan lagi. Menyingkir juga tak dapat kita menyingkir untuk selama-lamanya. Maka besok pagi, kamu semua berangkat, aku akan berdiam sendirian disini, untuk layani mereka!"

Kedua murid itu menjadi sibuk.

"Aku suka temani suhu!" berseru mereka. "Apa?" berseru juga sang guru. "Selagi ancaman malapetaka mendatangi, kau tak suka dengar perkataanku?"

Dua murid itu tunduk, mereka bungkam.

"Pergilah, kamu bantui subo berkemas-kemas," Ciau Kong Lee menitah. "Juga lihat, kereta sudah siap atau belum."

"Baik suhu," sahut kedua murid, akan tetapi kaki mereka tidak bergerak. Mereka seperti terpaku disitu.

Ciau Kong Lee awasi mereka itu, ia menghela napas pula.

"Baik, kamu suruh semua berkumpul disini!" akhirnya guru ini.

Baru setelah titah ini, kedua murid itu bertindak keluar.

Sin Cie ajak Ceng Ceng segrea menyingkir kepojok yang gelap. Tapi justeru karena menyingkir kesitu , selagi pasang mata, mereka lihat dua tubuh sedang mendekam dipojok tembok sebelah barat. Sin Cie mengawasi, hingga samar- samar ia kenali tubuh seperti tubuhnya Ban Hong, sedang yang satunya lagi adalah satu tubuh langsing dengan baju merah, hingga ia pun kenali Hui Thian Mo-lie Sun Tiong Kun.

Jadi rupanya, setelah tadi menuju kebelakang, orang she Ban itu pergi sambut kawan perempuan itu.

Gemas Sin Cie apabila ia ingat ketelengasan si Hantu Wanita tadi, yang secara getas membabat kutung sebelah lengannya Lo Lip Jie. Orang Hoa San Pay tak selayaknya berbuat demikian bengis dan kejam. Maka mau ia memberi ajaran.

"Kau berdiam disini, aku larang kau bergerak!" pemuda ini pesan Ceng Ceng, dikuping siapa ia berbisik. Nona itu geraki tubuhnya, ia bersenyum. "Aku justru ingin bergerak..."katanya.

Sin Cie tidak menegur, ia malah bersenyum juga. Lantas ia menyelinap ditempat gelap itu, ia jalan mutar, hingga ia berada di sebelah belakangnya Ban Hong dan Sun Tiong Kun.

Dua pengintai itu sedang memasang mata kedalam kamar, perhatian mereka dipusatkan, hingga mereka tidak tahu orang membayangi mereka. Rupanya mereka tak curiga sedikit juga.

Sin Cie hunjukkan kegesitannya. Setelah datang dekat, dia lompat melesat kebelakang nona Sun itu, selagi lewat, tangannya diulur, akan menyambar pedang, sehingga pedang itu sekejab saja berpindah tangan tanpa si nona engah!

Ceng Ceng lihat kawannya kembali kepadanya, tapi kapan ia tampak kawan ini curi pedangnya Sun Tiong Kun, ia tidak puas.

"Kau simpan ini!" kata Sin Cie dengan pelahan seraya sodorkan pedang curian itu.

Melihat ini, Barulah Ceng Ceng girang. Ia lantas sambuti pedang itu. Kemudian berdua mereka mengintai pula di jendela.

Selama itu, hampir beruntun, datang dua-puluh orang lebih. Karena mereka terlihat tegas, kenyataan yang paling tua berusia kira-kira empat puluh dan yang termuda Baru belasan tahun. Tidak salah lagi, mereka adalah murid- muridnya Ciau Kong Lee ini. Sesampainya didalam kamar, semua murid itu beri hormat pada guru mereka, lantas mereka berdiam diri, tidak ada yang buka suara.

Ciau Kong Lee awasi mereka semua, ia perlihatkan air muka guram.

"Dimasa mudaku, aku hidup dalam dunia Rimba Hijau," kata guru ini. "Sekarang ini tak perlu aku umpatkan apa jua terhadap kamu semua. "

Sin Cie pandang semua murid itu, mereka angkat kepala, tapi masih mereka berdiam saja. Terang sudah, semua murid itu benar-benar tidak ketahui hal-ikhwal guru mereka itu.

"Sekarang musuh telah datang, ingin aku jelaskan kamu semua duduknya permusuhan," kata pula guru itu.

0o-d.w-o0
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar