Pedang Ular Emas Bab 06

Bab ke 06

"Benar-benar kukoay!" kata ia sambil ngeloyor balik ke perahu. Ia kagumi kepandaian anak muda itu, tetapi ia heran tabeat yang mendelukan tapi juga menggelikan. Terpaksa ia bungkus tumpukan uang itu, untuk dibawa pergi, dari Tek Lin, ia ambil selamat berpisah. Ia pergi kekota, akan cari sebuah hotel.

"Tak lega hatiku jikalau uang ini aku tidak dapat kembalikan kepada si anak muda," ia berpikir selagi ia duduk terpekur dalam kamarnya. "Aku kasihan padanya, sebab itu aku bantu dia, maka jikalau aku terima pemberiannya itu, tidakkah namaku jadi jelek? Dia bilang dia ada orang Cioliang, kenapa aku tidak susul dia dirumahnya? Jikalau dia tetap menolak, aku nanti letaki uang di rumahnya itu dan tinggal pergi!. "

Karena ini besokannya, setelah cari keterangan tentang jalanan ke Cio-liang, Sin Cie gendol bungkusannya, ia menuju ketempat itu, jang terpisahnya dari kota Kieciu cuma dua-puluh lie, hingga tak ada setengah jam, ia sudah sampai.

Cio-liang ada satu dusun kecil, yang berdampingan sama bukit Lan Ko San. Nama dusun itu, dan bukitnya juga, mempunyai cerita dongeng sebagai berikut : Di jaman purbakala ada satu tukang kayu yang pergi ke bukit itu mencari kayu bakar. Dia ketemu dua dewa asyik main catur. Dia menonton. Ketika satu babak berakhir dan ia menoleh pada kampaknya, kampak itu "bonyok" sendirinya. Dan ketika ia pulang, rumahnya, orangnya semua, sudah berubah, karena ternyata, dia telah pergi untuk lamanya beberapa puluh tahun. "Lan Ko" berarti

219 "kampak bonyok", demikianlah, gunung itu ada dua puncak yang tersambung satu pada lain dengan satu batu besar dan panjang, yang merupakan penglari. Itu pasti bukan batu buatan manusia dan terpalangnya disitu bukan pekerjaan manusia juga, maka orang-orang tua anggap itu ada buah- kesaktian dewa. Maka itu, tempat itu dipanggil "Cio-liang" yang berarti "penglari".

Selagi berjalan untuk cari rumah orang she Un, Sin Cie berpapasan dengan seorang tani perempuan.

"Enso, numpang tanya, disini dimana tinggalnya keluarga Un?" tanyanya.

Orang perempuan itu terkejut nampaknya.

"Tidak tahu!" sahutnya. Dan air mukanya berubah tak senang, dia pun lantas berjalan pergi dengan cepat.

Sin Cie heran, akan tetapi ia jalan terus. Ia sampai pada sebuah toko.

"Numpang tanya disini dimana tinggalnya keluarga Un?" ia tanya pemilik toko.

"Ada apa saudara tanya keluarga Un?" balik tanya si tuan toko dengan tawar.

"Aku hendak kembalikan serupa barang," Sin Cie terangkan.

"Kalau begitu, kau ada sahabatnya si orang she Un! Habis, untuk apa kau menanyakannya kepadaku?" kata tuan toko itu.

Sin Cie heran berbareng jengah.

"Kenapa seorang dagang begini kasar kelakuannya?" tanya ia kepada diri sendiri. Ia ngeloyor, lalu ia hampirkan dua bocah yang lagi memain diujung jalanan. Ia keluarkan sepuluh uang tangchie, ia sesapkan itu dalam tangannya satu bocah.

"Saudara kecil, mari antar aku kerumah keluarga Un!" minta dia.

Bocah itu sudah genggam uang yang diberikan padanya, atau ia segera kembalikan.

"Rumah keluarga Un? Itu dia yang besar!" jawabnya. "Aku tak sudi pergi kerumah itu!"

Kembali Sin Cie menjadi heran, akan tetapi segera ia mengerti, rupanya keluarga Un itu tak disukai sesama penduduk sehingga tak ada orang yang ingin bergaul dengannya. Ia hanya tidak tahu, apa yang menyebabkan kesungkanan itu. Ia segera bertindak kearah rumah besar yang ditunjuk si bocah.

Dari jauh-jauh sudah terdengar suara riuh dari banyak orang, yang datang dari arah rumah keluarga Un itu, dimana pun berkerumun puluhan orang tani yang pada bawa pacul dan garu. Selagi mendekati, Sin Cie dengar nyata teriakan mereka : "Kamu telah aniaya tiga orang, apa boleh dengan begitu saja? Orang she Un, lekas keluar, ganti jiwa!"

Diantara mereka itu ada tujuh atau delapan orang perempuan dengan rambut riap-riapan yang sambil duduk ditanah, menangis menggerung-gerung, dan menjerit-jerit.

"Saudara, kau sedang bikin apa?" tanya Sin Cie pada satu orang.

"Siangkong ada orang asing, kau tentu tidak tahu kejadian ini," sahut orang yang ditanya itu. "Keluarga Un ini ada cabang atas disini, mereka menjagoi. Kemarin mereka pergi menagih sewa tanah kekampung. Empeh Thia

221 minta tempo, buat beberapa hari saja, tapi si empeh dijoroki, dia rubuh, kepalanya, kena batu, terus dia binasa. Anak dan keponakan empeh Thia gusar, mereka membelai, tetapi mereka kena dilabrak hingga luka-luka. Coba pikir, siangkong, apa tuan tanah begitu tidak kejam?"

Selagi petani itu memberi keterangan kepada pemuda kita, suara riuh bertambah-tambah, ada orang tani yang gunai garunya menyerang pintu, ada yang jumput batu-batu untuk dipakai menimpuk kedalam pekarangan.

Sekonyong-konyong pintu pekarangan terbuka lebar, satu bajangan melesat keluar, sebelum orang melihat tegas, sudah ada tujuh atau delapan petani yang terpelanting, rubuh jauhnya dua-tiga tumbak, sehingga kepala mereka mengeluarkan darah! "Dia gesit sekali," pikir Sin Cie. Ia lantas mengawasi.

Bajangan itu ada seorang dengan tubuh kurus dan jangkung, kulit mukanya semu kuning tetapi sepasang alisnya berdiri. Kelihatan nyata, dia mestinya pandai silat.

"Hai, kamu, mahluk-mahluk seperti anjing dan babi!" membentak orang itu. "Kenapa kamu datang mengacau kemari?"

Orang ini menanya demikian, akan tetapi, belum sempat orang jawab dia, dia sudah menyerang pula, hingga lagi beberapa orang terjatuh sungsang-sumbal.

Sin Cie lihat orang bertenaga besar, dia melempar- lempari orang seperti sedang melempar-lemparkan ikatan- ikatan jerami.

"Entah terkena apa dia dengan Un Ceng?..." pikirnya. "Coba itu malam dia ada beserta Un Ceng, tentu leluasalah mereka melayani Eng Cay, sehingga tak perlu aku berikan bantuanku..." Itu waktu seorang tani dari usia pertengahan dan dua orang muda majukan diri.

"Kamu telah bunuh orang, apa itu dapat disudahi secara begini saja?" tanya mereka. "Memang benar kami ada orang-orang melarat akan tetapi sekalipun melarat, kami mempunyai jiwa!"

Si jangkung-kurus itu tertawa dingin.

"Hm! Hm! Jikalau belum aku mampusi lagi beberapa jiwa, tentu kamu belum tahu rasa!" berseru dia. Mendadak tubuhnya mencelat maju, lantas si orang usia pertengahan kena dicekuk pada bebokongnya, kapan tubuhnya telah diangkat, tubuh itu segera terlempar ke ujung tembok timur! Kedua petani muda menjadi sangat gusar, dengan berbareng mereka menyerang dengan pacul mereka.

Si kurus menangkis dengan tangannya yang kiri, sekejab saja kedua batang pacul kena tersampok lepas dan terpental, menyusul mana, tubuhnya dua petani itu disambar seorang dengan sebelah tangan, lantas diangkat untuk dilemparkan keatas batu besar yang menjadi tunggul tiang bendera dimuka pintu pekarangan.

Sebegitu jauh dia menyaksikan, hati Sin Cie panas, tetapi ia masih dapat berlaku sabar. Ia pikir tak boleh ia lancang mencampuri urusan yang ia belum tahu duduknya.

"Baik aku tunggu sebentar, nati aku minta bertemu dengan Un Ceng, untuk kembalikan uangnya, lantas aku pergi pula," pikirnya. Siapa tahu setelah lihat nasibnya si orang usia pertengahan, ia pun tampak bencana yang mengancam kedua pemuda tani itu, dengan mendadak saja ia ubah pikirannya. Lupa ia segala apa. Mendadak ia berlompat, dengan sangat sebat ia sambuti tubuhnya kedua petani muda itu hingga tak usahlah mereka jatuh terbanting! Kemudian dengan pelahan-lahan, ia turunkan tubuh mereka itu.

Gerak sebat dan luar biasa itu ada "Gak Ong Sin Ciang", atau "Panah gaib dari Gak Hui", ialah salah satu pelajaran yang Sin Cie peroleh dari Bhok Siang Toojin. Sebenarnya dia tak pikir untuk pertontonkan kepandaian yang istimewa itu, tetapi untuk tolong kedua pemuda tani, ia tak dapat berbuat lain. Ia pun sudah pikir setelah ketahui rumah si orang she Ung, baik sebentar malam saja ia datang pula, untuk kembalikan emasnya Un Ceng. Ia pun tahu, si jangkung-kurus akan jadi tidak senang, maka untuk singkirkan kerewelan, lantas ia memutar tubuh, akan bertindak pergi.

Kedua petani muda, yang ketolongan, berdiri bengong bahna kaget dan heran.

Si jangkung kurus tak terkecuali, ia heran dan kagumi kegesitan dan tenaga besar dari pemuda tak dikenal ini. Tapi kapan ia lihat orang hendak pergi, ia memburu.

"Sahabat, tunggu dulu!" menegur dia sambil tepuk pundaknya pemuda kita. Ia menepak bukan menepak belaka, berbareng ia telah gunai ilmu mengerahkan tenaga "Cian kin lat" -"Tenaga seribu kati".

Sin Cie tidak berkelit, cuma dengan turunkan sedikit pundaknya, ia sudah bebas dari tepakan yang akan merupakan bandulan seribu kati itu. Iapun tidak lakukan serangan membalas, Ia cuma memutar tubuh.

Kembali si jangkung-kurus terkejut.

"Apakah tuan ada undangan mereka itu untuk mempersulit aku?" tanya dia.

Ditanya begitu, Sin Cie lekas memberi hormat. "Maafkan aku," ia mohon. "Aku kuatir nanti terbit perkara jiwa, yang bisa membuat banyak berabe, maka dengan lancang aku tolongi mereka. Lauhia mempunyai kepandaian begini rupa, kenapa kau berpandangan sama seperti orang-orang dusun ini?"

Melihat sikap menghormat dan perkataan itu halus, sedang kepandaian orang pun ia puji, si jangkung-kurus ini surut separuh hawa-amarahnya.

"Kau she apa , tuan? Ada urusan apa kau datang ketempat kami ini?" ia tanya.

"Aku she Wan," Sin Cie sahuti. "Ada satu sahabatku yang she Un, apa dia tinggal disini?"

"Aku pun orang she Un. Siapa itu yang tuan cari?" "Sahabat itu berumur delapan atau sembilan belas tahun,

romannya cakap sekali, ia dandan sebagai mahasiswa," Sin

Cie terangkan.

Si jangkung-kurus manggut-manggut. Lantas ia hadapi beberapa puluh orang tani itu, yang masih belum bubaran.

"Apakah kamu cari mampus? Buat apa kamu masih berdiam disini?" ia tanya mereka, suaranya, sikapnya, bengis sekali.

Melihat orang asing itu bicara bagaikan sahabat dengan si orang she Un itu, sedang keduanya mereka ini berilmu silat tinggi, orang banyak itu lantas saja ngeloyor pergi.

"Silakan masuk, tuan. Mari minum teh!" si jangkung- kurus lantas undang tetamu asing itu.

Sin Cie terima baik undangan itu, ia turut masuk, maka ia dapati sebuah rumah jang besar, dengan thia jang lebar, dibagian tengah ia lihat pian dengan empat huruf besar : "Sie    Tek    Bian    Tiang".    Itu    adalah    pujian    untuk kebijaksanaan kekal-abadi bagi keluarga itu. Perabotan lainnya menunjukkan bahwa keluarga Un ada satu keluarga besar dan berharta.

Tuan rumah undang tetamunya duduk dan orangnya segera suguhi mereka air teh, kemudian ia tanya siapa gurunya tetamu ini, menanya secara berulang-ulang.

Sin Cie merasa, walau sikapnya ramah-tamah, tuan rumah itu masih kandung perasaan tak puas terhadapnya, dari itu, ia berlaku hati-hati.

"Tolong minta Un Ceng Siangkong keluar, aku hendak serahkan serupa barang kepadanya," ia minta tanpa jawab pertanyaan orang.

"Un Ceng itu ada adikku," sahut si jangkung-kurus. "Aku sendiri ada Un Cheng. Adikku sedang pergi keluar, baik saudara tunggu sebentar."

Sebenarnya tak ingin Sin Cie bergaul dengan tuan rumah ini, yang ia duga ada bangsa cabang atas yang galak dan jahat, tetapi karena Un Ceng tidak ada, terpaksa ia menunggu juga.

Sampai tengah-hari, Un Ceng masih belum kembali. Tak suka Sin Cie serahkan emas ditangan orang lain, terpaksa ia menunggu terus. Selama itu, Un Cheng telah perintah siapkan barang hidangan yang lezat, terdiri dari masakan daging, ayam, ikan dan sayur, hingga mau atau tidak, tetamu ini mesti turut dahar.

Sampai mulai lohor, selagi matahari mulai doyong ke Barat, masih Un Ceng belum pulang. Sampai itu waktu, habis sudah kesabaran Sin Cie. Ia lantas letaki bungkusannya diatas meja. Sekarang ia pikir, karena itu ada rumahnya Un Ceng, tak perlu ia bersangsi pula. "Inilah barang adikmu itu, tolong saudara sampaikan kepadanya," ia bilang. "Ijinkan aku pamitan. "

Justru itu, dari luar rumah terdengar suara tertawa riuh, suaranya orang-orang perempuan. Sin Cie kenali, diantaranya ada suara tertawanya Un Ceng.

"Nah, itu adikku pulang!" berkata Un Cheng, yang segera berbangkit, untuk pergi keluar.

Sin Cie putar tubuhja, untuk turut, tetapi tuan rumah mencegah.

"Harap saudara Wan duduk saja dulu," ia minta.

Sin Cie heran, akan tetapi ia batal ikut keluar. Aneh, ia menunggu sekian lama, tidak juga Un Ceng muncul. Un Cheng adalah yang kembali sendirian.

"Adikku hendak salin pakaian, sebentar ia keluar," kata tuan rumah ini.

Masih pemuda ini menantikan sekian lama, Baru kelihatan Un Ceng muncul, dengan wajah berseri-seri.

"Saudara Wan, aku sangat bersyukur dengan kunjunganmu ini!" katanya.

"Kau lupai barang ini, saudara Un, aku bawakan," bilang Sin Cie. Ia tunjuk bungkusan emas diatas meja.

"Kau tak lihat mata padaku, bukan?" Un Ceng tanya, tampangnya berubah.

"Tidak, itulah aku tak berani," sahut Sin Cie. "Aku hendak pergi sekarang."

Ia memberi hormat kepada dua saudara itu.

Un Ceng tidak membalas hormat, ia hanya cekal tangan baju orang. "Aku larang kau pergi!" katanya. Pemuda itu melengak.

Un Cheng nampaknya heran, wajahnya pun berubah.

"Ada satu hal aku hendak tanyakan kepada kau, Wan Toako," Un Ceng, menambahkan. "Maka aku harap hari ini kau berdiam sama kami disini."

"Aku mempunyai urusan penting di kota Kie-ciu, lain hari saja aku mampir pula kemari," Sin Cie menampik.

"Ah, tidak," Un Ceng mencegah, dengan memaksa. "Kalau Wan toako mempunyai urusan penting, tak dapat

kita halangi dia," Un Cheng turut bicara. "Jangan kita

menghambat dia."

"Baik!" kata Un Ceng akhirnya. "Jikalau kau tetap hendak pergi, bawalah ini bungkusan bersamamu! Kau tak sudi berdiam di rumahku, terang kau tak pandang mata kepadaku!"

Sin Cie berdiam.

"Kau baik sekali, saudara Un,baiklah," sahut ia akhir- akhirnya.

Dengan tiba-tiba, Un Ceng jadi sangat girang. "Lekas siapkan kue!" ia menitah kepada bujang.

Un Cheng nampaknya tak senang, tetapi ia tidak meninggalkan mereka, ia terus duduk menemani, hanya selama itu, ia bicara kadang-kadang saja.

Un Ceng ajak tetamunya bicara tentang pelbagai kitab. Mengenai ilmu syair, Sin Cie merasa asing, tapi mengenai ilmu perang, itu adalah keyakinannya sejak masih kecil. Tuan rumah bisa imbangi kegemaran tetamunya, ia lantas omong banyak tentang peperangan.

228 "Heran," pikir Sin Cie. "Dia bertabeat aneh akan tetapi pembacaannya luas."

Dipihak lain, Un Cheng beda dari adiknya itu. Dia mengerti ilmu silat dengan baik akan tetapi budek atau buta mengenai ilmu surat. Nampaknya ia sebal mendengari orang bicara hal sastera tetapi toh ia tidak hendak undurkan diri... Karena merasa tak enak hati sendirinya, Sin Cie ajak si jangkung-kurus itu bicara tentang ilmu silat, suka dia melayani, akan tetapi belum mereka bicara banyak, Un Ceng sudah lantas menyelak dan geser pembicaraan ke lain soal.

Dimata Sin Cie, dua saudara itu beda satu dari lain. Dan juga, walaupun Un Cheng ada sang kakak, nampaknya dia jeri terhadap adiknya, sama sekali dia sungkan bentrok. Malah kalau kena disenggapi, kakak ini tertawa....

Sementara itu juga kelihatan nyata, Un Ceng bermaksud baik, kecuali sangat ramah-tamah, dia senantiasa berseri- seri, dia gembira sekali.

Kapan sang sore tiba, orang menghadapi pula barang hidangan, kali ini, semua-semua ada lebih hebat daripada yang disuguhkan tadi tengah hari.

"Aku merasa lelah, ingin aku tidur siang-siang," kata Sin Cie sehabis bersantap.

"Tempat kediamanku ini ada satu tempat kecil, maka adalah sukar untuk mendapat kunjungan tetamu sebagai kau ini, saudara Wan," berkata Un Ceng. "Sebenarnya aku ingin sekali kita menghadapi lampu untuk pasang omong tentang pelbagai soal, tetapi sebab kau lelah dan ngantuk, baiklah, besok saja kita bicara lebih jauh."

"Saudara Wan, mari tidur dikamarku," berkata Un Cheng. "Dikamarmu mana bisa ketempatan tetamu?" kata Un Ceng. "Tentu saja kamarku!"

Wajah Un Cheng, sang kanda, berubah. "Apa?" tegasi dia.

"Ada apa sih jeleknya?" Un Ceng tanya. "Aku sendiri akan tidur sama ibu!"

Bukan kepalang tak senangnya Un Cheng, tetapi tanpa bilang suatu apa, malah tanpa permisi lagi dari Sin Cie, dia ngeloyor pergi.

"Hm, tak tahu aturan!" Un Ceng , sang adik, ngoceh sendirian. "Dia tak kuatir orang nanti tertawai!"

Tak enak hatinya Sin Cie karena engko dan adik itu bentrok karena urusannya.

"Sudah biasa bagi aku akan tinggal ditempat sunyi, untukku tak usah saudara terlalu memusinginya," kata dia.

Un Ceng lantas saja bersenyum.

"Baik, aku tak akan terlalu memusingi!" katanya. Tapi toh ia sembat ciaktay, ia bawa itu : "Mari turut aku!"

Sin Cie mengikuti. Mereka melewati dua pekarangan dalam, sampai diruangan ketiga dimana dari arah timur mereka mendaki tangga lauteng. Dimuka kamar, tuan rumah menolak daun pintunya.

Sekelebatan, mata Sin Cie kesilauan. Hidungnya pun segera terserang serupa bau harum.

Kamar itu diterangi sebatang lilin besar, yang apinya terang. Kelambu terbuat dari kain mahal, sedang sprei tersulam burung hong warna kuning. Ditembok ada gambar seorang wanita lukisannya Tong In. Didepan pembaringan ada satu meja yang lengkap dengan bakhie, kertas dan lainnya perabot-tulis, malah pitnya sampai enam-tujuh batang. Diujung meja sebelah barat ada satu pot bunga sui- sian, sedang diatas para-para ada seekor burung nuri putih.

Dia datang dari gunung, tak heran Sin Cie kagum dengan kamar ini, hingga ia tercengang.

"Inilah kamarku," Un Ceng beritahu. Ia tertawa. "Baik saudara beristirahat disini satu malam ini."

Tanpa tunggu tetamunya menyahuti, Un Ceng singkap muilie, akan berlalu pergi.

Sin Cie periksa seluruh ruangan, sampai ia tak dapatkan sesuatu apa jang mencurigai, Baru ia tutup pintu. Selagi ia hendak buka baju, untuk naik tidur, tiba-tiba ia dengar ketokan pada pintu, ketokan yang pelahan sekali.

"Siapa?" tanya ia.

Pertanyaan itu dijawab sama tertolaknya daun pintu dan muncullah satu bujang perempuan umur enam atau tujuh belas tahun, romannya cantik dan cerdik, ditangannya ada sebuah nampan.

"Wan siauya, silakan dahar tiat-sim," ia mengundang. Ia letaki nampan diatas meja.

Itu adalah semangkok yan-oh.

Pemuda ini ada puteranya satu kepala perang, akan tetapi sejak masih kecil sekali, ia telah tinggal didalam desa, diatas gunung jang sunyi, maka itu, belum pernah ia tampak minuman istimewa itu, tidak heran, ia tak tahu apa itu yan-oh. Ia pun Baru pernah kali ini bicara dengan orang perempuan remaja, ia likat sendirinya, wajahnya menjadi bersemu dadu.

"Namaku Goat Hoa, Wan Siauya," kata si kacung sembari   tertawa   manis.   "Siauya   yang   tugaskan   aku melayani kepadamu. Jika Siauya perlu apa-apa, perintah saja aku, nanti aku kerjakan."

"Tidak apa-apa lagi," bilang Sin Cie dengan ringkas. Ia pun memang tak tahu apa lagi yang ia butuhkan.

Goat Hoa undurkan diri pelahan-lahan.

"Itulah buatan siauya sendiri istimewa untuk Wan Siauya!" kata dia.

Sin Cie melengak, tak tahu apa ia mesti bilang.

Goat Hoa bertindak keluar sembari tertawa, dengan pelahan ia tarik rapat daun pintu.

Sin Cie buka bajunya, ia singkap selimut dan naik keatas pembaringan. Itu adalah satu pembaringan yang harum sekali sehingga bisa bikin orang tak sadar akan dirinya....

Tanpa curiga, Sin Cie jatuh pulas. Akan tetapi tengah malam, ia sadar karena ia dengar suara tertawa pelahan diarah jendela - tertawa cekikikan. Ia memang waspada dan getap.

Tiba-tiba terdengar ketokan pelahan pada jendela, dua kali, yang segera disusul dengan suara tertawa empuk dan kata-kata: "Rembulan bercahaya, angin sejuk, malam indah....Saudara Wan, tak kuatirkah kau akan mensia- siakan waktu yang begitu bagus?"

Sin Cie kenali suaranya Un Ceng. Ia menoleh kearah jendela. Diantara kelambu, ia tampak sinar rembulan yang permai. Ia pun lihat bajangan orang bergelantungan didepan jendela, kaki diatas kepala dibawah. Orang itu sedang mengintai kedalam kamar.

"Baik, aku nanti pakai baju dan keluar," pemuda ini menyahuti. Tertarik rasa heran Sin Cie, ia jadi sangat ingin tahu kelakuannya tuan rumah yang luar biasa itu. Hendak ia ketahui, sebenarnya tuan rumah itu ada orang macam apa. Setelah pakai baju, ia selipkan pisau belati di pinggangnya. Begitu pentang daun jendela, bau wangi menyerang hidungnya.

Nyatalah kamar itu mempunyai jendela yang menghadap taman bunga.

Un Ceng sendiri sudah mendahului loncat turun dari payon rumah dimana ia barusan bergelantungan.

"Mari turut aku!" ia mengundang sambil terus bertindak lebih dahulu. Ditangannya, ia menenteng sebuah naya.

Tanpa bilang suatu apa, Sin Cie mengikuti.

Tuan rumah itu keluar dari dalam taman dengan jalan loncati tembok pekarangan, sesampainya diluar, ia berlari- lari dengan cepat menuju kebukit dan lalu mendakinya.

Sin Cie terus mengikuti sambil berlari-lari juga.

Hampir sampai dipuncak, Un Ceng menikung, sampai dua kali, lantas mereka sampai disatu tempat dimana angin halus mendesir-desir, bau harum datang dari empat penjuru dimana terdapat pohon-pohon bunga. Sinar rembulan ada indah sekali, mirip dengan salju putih, hingga tertampak nyata bunga-bunga mawar putih dan kuning.

"Mirip dengan tempat pertapaan!" Sin Cie memuji saking kagum.

"Semua pohon bunga ini adalah hasil tanamanku sendiri," Un Ceng kasi keterangan. "Kecuali ibu dan bujang- bujang perempuan, lain orang, siapapun dilarang datang kemari!" Dengan tenteng terus nayanya, Un Ceng jalan didepan, pelahan-lahan.

Sin Cie mengikuti terus, dengan perasaan seperti melayang-layang. Tanpa merasa, sekarang hilanglah sikap berhati-hatinya.

Mereka sampai disebuah paseban kecil mungil.

"Silakan duduk," Un Ceng mempersilakan seraya ia turunkan nayanya, untuk buka itu, akan keluarkan satu poci arak berikut dua cangkirnya, cangkir-cangkir mana terus ia tuangi penuh arak dari poci tersebut.

"Disini orang dilarang dahar barang berjiwa," kata pemuda she Un ini. Dan ia keluarkan beberapa rupa sayur.

Sin Cie dapatkan semua itu adalah terbuat dari jamur, bokjie dan lainnya.

Masih Un Ceng keluarkan serupa barang dari dalam nayanya itu, ialah sebatang seruling kuningan.

"Aku nanti tiup serupa lagu untuk kau dengar," kata dia. Sin Cie manggut.

Segera anak muda itu tiup alat musiknya itu, suaranya pelahan.

Sin Cie asing dengan alat-alat tetabuhan akan tetapi waktu itu ia rasai dirinya bagaikan terapung-apung diawang-awang, ia seperti merasa berada diwilayah dewa- dewa, bukan lagi didalam dunia... Un Ceng meniup habis satu lagu, ia tertawa.

"Kau gemar lagu apa?" tanyanya. "Nanti aku mainkan untukmu..."

"Ah, kau tahu banyak sekali?" kata Sin Cie. "Mengapa kau begini cerdas?" Pemuda itu angkat dahinya, ia tertawa. "Apa benar?" katanya.

Ia angkat pula serulingnya, ia tiup lagi sebuah lagu, yang tekukannya terlebih halus dan merdu.

Sejak dia dilahirkan, belum pernah Sin Cie mengalami suasana sebagai ini.

"Apakah lagu ini enak didengarnya?" tanya pula Un Ceng sehabis meniup.

"Didalam dunia ada lagu begini merdu, mimpi pun aku tak pernah," sahut pemuda she Wan ini.

Kedua mata Un Ceng memain, ia bersenyum.

Mereka duduk dekat satu dengan lain, hidungnya Sin Cie dapat tangkap bau harum, kecuali harumnya bunga mawar juga sedikit wangi yancie dan pupur, hingga kembali ia merasa, anak muda disampingnya ini benar-benar tak punyakan sifat keperwiraan... "Kau suka dengar atau tidak aku meniup seruling?" Un Ceng tanya selagi orang berpikir.

Sin Cie manggut.

Kembali Un Ceng bawa seruling kepinggir mulutnya, akan mulai meniup pula.

Kembali Sin Cie mendengari dengan pikiran turut melayang-layang pula.Sedangnya begitu, mendadak suara seruling berhenti, disusul sama suara patahnya alat musik tiup itu.

Pemuda kita terkejut.

"Eh, eh, kenapa? Kenapa?" tanyanya. "Bukankah kau...kau meniupnya dengan baik-baik."

Un Ceng tunduk. "Biasanya tak pernah aku tiup seruling untuk lain orang dengari..." sahutnya dengan pelahan. "Mereka semua cuma gemar geraki golok, mainkan pedang. Mereka tak suka dengar lagu..."

"Tapi aku tidak dustakan kau, sesungguhnya aku suka mendengari," Sin Cie bilang.

"Toh besok kau bakal pergi! Begitu kau pergi, kau tidak bakal kembali. Untuk apa aku tiup pula serulingku?"

Dalam herannya, Sin Cie mengawasi.

Un Ceng berhenti sebentar, lalu ia menambahkan : "Aku insyaf tabeatku buruk, akan tetapi tak dapat aku atasi diriku... Aku tahu kau sebal terhadapku, didalam hatimu, kau tak melihat mata padaku..."

Heran dan bingung adalah si anak muda, hingga ia diam saja.

"Itulah sebabnya mengapa kau selanjutnya tak bakal datang pula," kata lagi Un Ceng.

"Ini adalah untuk pertama kali aku berkelana," berkata Sin Cie kemudian. "Tak bisa aku mendusta. Kau bilang, didalam hatiku, aku tak memandang mata kepadamu, bahwa aku sebal terhadapmu. Bicara hal yang benar, tadinya benar aku beranggapan demikian, akan tetapi sekarang adalah lain."

"Apa?" tanya Un Ceng, dengan pelahan.

"Ya. Aku lihat, tentu ada apa-apa yang mendukakanmu, maka juga tabeatmu jadi luar biasa begini. Apakah itu? Apa bisa kau tuturkan itu kepadaku?"

Sahabat itu berdiam, sampai sekian lama, sampai mendadak ia angkat kepalanya. "Suka aku memberitahukan kepadamu, namun aku kuatir kau nanti tak memandang mata kepadaku," kata dia.

"Itulah tak akan terjadi!" Sin Cie memastikannya. Un Ceng kertak giginya.

"Baiklah!" katanya kemudian. "Aku nanti beri keterangan padamu!"

Sin Cie mengawasi, ia mendengari.

"Ketika dahulu ibuku masih muda remaja, ia telah kena diperhina oleh satu manusia busuk, karenanya, terlahirlah aku," demikian pemuda itu menerangkan. "Celakanya, engkong luarku, yang hendak labrak orang busuk itu, sudah tidak sanggup lakukan itu, karena ia tak dapat memenangkannya. Baru belakangan engkong dapat kumpul lebih dari sepuluh kawan yang liehay, bersama-sama mereka barulah manusia busuk itu dapat dibikin kabur. Begitulah maka aku tidak punyakan ayah. "

Bicara sampai disitu, Un Ceng berhenti, air matanya lantas mengalir.

"Kalau begitu, tak dapat kau dipersalahkan, tak dapat juga ibumu disesalkan," kata Sin Cie, yang menghibur. "Jang salah adalah manusia busuk itu."

"Akan tetapi lain orang tak sependapat sebagai kau," kata Un Ceng. "Di depan, mereka tak berani bilang suatu apa, dibelakang, diam-diam mereka caci aku, mereka pun caci ibu. "

"Hm, siapa si manusianya yang demikian hina-dina?" seru Sin Cie. "Baik, aku janji padamu, aku nanti bantu kau menghajar manusia jahil mulut itu! Sekarang tak lagi aku jemu terhadapmu, umpama kau suka anggap aku sebagai sahabat, pasti aku akan datang pula kepadamu!" Un Ceng girang hingga ia loncat berjingkrak. Melihat tingkah orang itu, Sin Cie tertawa.

"Aku janji untuk kembali, kau girang bukan?" tanyanya, tertawa.

"Kau toh bilang, kau bakal datang kembali." "Memang tidak nanti aku memperdayakan kau."

Sekonyong-konyong ada suara berkeresek dibelakang mereka. Sin Cie menduga ada orang, ia segera berbangkit sambil putar tubuh. Ia pun segera dengar suara yang dingin sekali. Katanya : "Tengah malam buta-rata kasak-kusuk disini, kamu bikin apa, he?"

Orang itu jangkung dan kurus. Dia adalah Un Cheng. Wajahnya suram-guram karena hawa amarah yang meluap- luap. Dia berdiri tegak dengan kedua tangan dipinggang.

Un Ceng pun kaget, akan tetapi kapan ia kenali Un Cheng, sang kakak, ia gusar.

"Perlu apa kau datang kemari?" dia menegur. "Tanyalah dirimu sendiri!" Un Cheng membalas.

"Aku sedang gadangi rembulan bersama saudara Wan ini! Siapa undang kau?" sang adik menegur pula. "Siapa juga dilarang datang kemari, kecuali ibuku! Samyaya bilang ini! Kau berani melanggarnya?"

Un Cheng tunjuk Sin Cie.

"Dia ini? Kenapa dia datang kemari?" ia balik tanya. "Aku undang dia! Kau tak berhak mencampurinya!"

Tak enak hatinya Sin Cie karena engko dan adik itu bentrok karena dia. "Sudah cukup kita gadangi rembulan, mari kita pulang," katanya.

"Aku tidak sudi pulang!" kata Un Ceng. "Kau duduk!" Sin Cie duduk pula.

Un Cheng berdiri diam, tapi hatinya terang tak tenteram.

"Semua bunga ini adalah tanaman tanganku sendiri, aku larang kau melihatnya!" kata Un Ceng dengan gusar kepada kandanya itu.

"Aku telah lihat semuanya, sekarang aku hendak cium baunya," Un Cheng jawab.

Benar-benar ia dekati beberapa tangkai bunga, untuk dicium berulang-ulang.

Meluap hawa-amarahnya Un Ceng, dia berloncat bangun, dia sambar pohon bunga, dia cabuti itu dengan kedua tangannya, setiap kali ia mencabut, ia terus lemparkan. Ia berbuat itu sambil menangis.

"Baik, baik, kau menghina aku, kau menghina aku!" dia berteriak-terial. "Sekarang aku cabut pohon-pohon mawar ini, siapa pun tak bisa melihatnya lagi! Sekarang tentu Barulah kau puas!"

Lebih daripada dua-puluh pohon mawar telah menjadi korban.

Un Cheng tetap sangat gusar, akan tetapi dia bungkam, ia putar tubuhnya dan bertindak dengan mengarungi penasaran. Baru beberapa tindak, ia toh menoleh dan berkata : "Aku berlaku baik terhadapmu, begini rupa kau perlakukan aku. Coba pikir sendiri olehmu, kau punyai liangsim atau tidak?"

Un Ceng menangis. "Siapa kesudian kau berlaku baik kepadaku?" kata dia. "Jikalau kau tidak suka lihat padaku, pergi kau minta semua yaya usir aku dari sini! Aku akan berdiam disini bersama saudara Wan ini! Pergi kau mengadu kepada yaya semua, aku tak takut!"

Un Cheng menghela napas, lantas ia ngeloyor pergi. Ia tunduk, nampaknya ia berduka sekali.

Un Ceng kembali kedalam paseban dan duduk.

"Kenapa kau bersikap begini kepada kandamu?" tanya Sin Cie.

"Dia bukannya engko kandungku!" sahut Un Ceng. "Ibuku ada dari keluarga Un, dan disini ada rumahnya engkong luarku. Dia adalah anaknya engko cintong ibu. Maka benarnya dia adalah kakak misanku. Coba aku punyakan ayah, pasti kami punyakan rumah sendiri, tak usah kami tinggal dirumah lain orang dimana kita jadi terima penghinaan."

Ia menangis pula.

Sin Cie tetap heran, terutama atas perangainya yang aneh ini.

"Aku lihat dia bersikap baik terhadapmu, adalah kau, kau yang berlaku galak terhadapnya..." katanya.

Un Ceng angkat kepalanya, tiba-tiba ia tertawa.

"Jikalau aku tidak galaki dia, dia bakal lakukan segala apa yang bukan-bukan!" jawabnya.

Walaupun ia merasa aneh atas kelakuan lucu tapi aneh ini, sebentar nangis, sebentar tertawa, kapan Sin Cie ingat dirinya, yang juga sebatang kara, ia jadi bersimpati terhadap pemuda ini. "Juga ayahku orang telah aniaya hingga binasa," katanya. "Ketika itu aku Baru berumur tujuh tahun. Ibuku pun meninggal dalam tahun itu..."

"Apakah kau telah menuntut balas?" tanya Un Ceng. "Malu aku menerangkan, aku tak beruntung..."

"Jikalau kau hendak menuntut balas, aku nanti bantu padamu!" menyatakan Un Ceng. "Tidak perduli musuhmu itu bagaimana liehay, aku pasti bantu kau!"

Sin Cie sangat bersyukur, hingga ia cekal keras tangan orang.

"Terima kasih," kata dia.

Un Ceng tarik tangannya akan tetapi toh kena dicekal juga. Ia antapkan.

"Dalam hal bugee kau terlebih pandai sepuluh lipat daripadaku," kata pemuda she Un. "Akan tetapi mengenai penghidupan dalam kalangan sungai telaga, kau rupanya masih asing sekali, maka itu dibelakang hari, aku nanti bantu kau dengan pikiran."

"Kau baik sekali. Aku tak punya kawan yang usianya berimbang, Baru sekarang aku menemui kau..."

"Melainkan adatku jelek," mengakui Un Ceng sambil tunduk. "Aku kuatir nanti datang suatu hari yang aku berbuat salah terhadapmu..."

"Aku pandang kau sebagai sahabat, aku tahu tabeatmu ini, umpama kau kejadian berbuat salah, aku tak akan buat perhatian," Sin Cie bilang.

Un Ceng jadi sangat girang, ia menghela napas lega. "Adalah didalam hal ini yang hatiku tak tenang," ia

bilang. Sin Cie lihat perubahan sikap orang. Sekarang Un Ceng jadi sangat lemah-lembut, lenyap ketelengasannya waktu ditengah sungai.

"Aku hendak bicara sama kau, saudara Un, entah kau suka dengar atau tidak..." katanya.

"Didalam dunia ini, cuma tiga orang jang aku dengar perkataannya," sahut anak muda itu. "Yang pertama adalah yayaku, yang kedua ibuku, dan yang ketiga...kau!"

Hatinya Sin Cie tergerak.

"Nyata kau hargai aku," katanya. "Sebenarnya, perkataan siapa juga, asal yang pantas, harus kita dengar."

"Hm, tak mau aku sembarang dengar! Siapa perlakukan baik padaku, asal aku...aku suka padanya, tidak perduli kata-katanya pantas atau tidak, aku suka dengar dia. Jikalau manusia yang aku jemu, biar dia omong pantas, tidak nanti aku dengar!"

Sin Cie tertawa.

"Kau bertabeat bocah! Berapa usiamu sekarang?" "Delapan belas tahun. Kau?"

"Aku lebih tua dua tahun."

Un Ceng tunduk, mendadak wajahnya berubah merah. "Aku tidak punya engko, apa tidak baik jikalau kita

angkat saudara?" ia bicara dengan pelahan, masih ia tunduk.

Sin Cie ada terlalu teliti untuk segera terima baik tawaran itu. Ia masih belum ketahui jelas pemuda ini sekalipun orang sendirinya telah mempercayainya.

Un Ceng tidak dapat jawaban, ia bangun berdiri, mendadak ia lari. Sin Cie terkejut, ia memburu. Ia lihat orang lari keatas puncak.

"Ia beradat keras sekali. Tak dapat dia disinggung, tak boleh dia tak terkabul keinginannya..."

Ia jadi kuatir pemuda itu nampak bencana, maka ia memburu dengan cepat, kali ini ia gunai ilmu entengi tubuh, atau ilmu lari keras, ajaran Bhok Siang Toojin. Maka dalam beberapa rintasan saja, sudah dapat ia menyandak, malah ia segera mendahului, akan menghalang disebelah depan.

"Adik Un, kau gusar kepadaku?" tanyanya.

Mendengar ia dipanggil "adik", Un Ceng girang dengan tiba-tiba. Ia berhenti lari, lantas ia duduk.

"Kau tidak lihat mata padaku, kenapa kau panggil aku adik?" tanya dia.

"Kapan aku tak lihat mata padamu?" balas tanya Sin Cie. "Mari, mari, mari, disini saja kita angkat saudara!"

Benar-benar keduanya berdiri berendeng, lalu mereka paykui dengan berbareng, menghadap si Puteri Malam, akan angkat sumpah sebagai saudara, untuk hidup senang dan susah ber-sama-sama. Kemudian mereka berbangkit. Lantas kepada Sin Cie, Un Ceng memberi hormat sambil menjura seraya memanggil: "Toako!" Suaranya pelahan.

Sin Cie balas hormat itu.

"Baik aku panggil kau jie-tee," ia bilang. Jie-tee adalah adik. "Sekarang sudah jauh malam, mari kita pulang dan tidur."

Un Ceng menurut lantas mereka balik ke paseban, untuk benahkan naya, lalu dengan bergandengan tangan, mereka lari pulang. "Jangan kau banguni ibu, kita tidur disini saja," kata Sin Cie sesampainya mereka didalam kamar.

Mukanya Un Ceng merah mendadak, tangannya menolak.

"Kau....kau...." katanya yang terus tertawa. "Sampai besok..."

Dia lari keluar kamar, hingga anak muda kita menjadi melengak.

"Aneh!" pikirnya.

Besoknya pagi-pagi, Sin Cie sudah bangun seperti biasa, terus ia bercokol diatas pembaringan, untuk bersamedi, tapi ketika Goat Hoa muncul dengan tiamsim dan air, ia loncat turun.

"Terima kasih," kata ia kepada kacung itu.

Kemudian, selagi anak muda ini dahar tiamsim, Un Ceng muncul didalam kamarnya.

"Toako, di luar ada datang satu nona, "katanya sambil tertawa. "Katanya dia datang untuk menagih emas. Mari kita lihat."

"Baik," sahut Sin Cie.

Maka keduanya lantas pergi keluar, ke thia besar. Disini mereka saksikan satu pertempuran dahsyat : Un Cheng sedang layani satu nona. Dikedua pinggiran dua orang tua asyik menonton sambil duduk. Orang tua yang satu menyekal sebatang tongkat, yang lain bertangan kosong.

Un Ceng hampirkan orang tua yang memegang tongkat dikuping siapa ia terus berbisik, atas mana orang tua itu menoleh kepada Sin Cie, untuk dipandang dengan perhatian, sesudah mana, dia manggut-manggut. Sin Cie lihat wanita yang lagi bertanding itu, yang ia taksir umurnya delapan atau sembilan-belas tahun, kedua belah pipinya bersemu merah, parasnya cantik sekali. Ia menduga-duga, siapa nona itu.

Pertempuran itu berlangsung sepuluh jurus lebih, dua- dua tetap tangguh nampaknya.

Sekonyong-konyong hati Sin Cie tergerak, ia bersangsi.

Nona itu tiba-tiba merangsek, ujung pedangnya menyambar kearah pundak Un Cheng. Mereka memang berkelahi dengan gunai senjata tajam. Gegaman Un Cheng adalah tan-too, golok sebatang. Tusukan itu hebat sekali, tapi yang ditusuk segera menangkis. Jikalau pedang kena tertangkis, mestinya terpental. Tapi si nona gesit dan liehay, tak tunggu pedangnya disampok, dia telah putar itu, untuk dikelitkan akan diteruskan menusuk leher! Un Cheng kaget, ia mencelat mundur tiga tindak.

Masih si nona tak mau berhenti, dia juga loncat akan menyusul, akan menusuk pula, buat menabas beberapa kali ketika tusukannya lolos dan beberapa tabasannya tidak memberi hasil. Desakannya itu ada sangat membahayakan.

Sekarang Sin Cie sudah lihat nyata gerak-gerakan tubuh orang, kaki dan tangan. Nona itu bukan murid dari Hoa San Pay akan tetapi sedikitnya dia mesti pernah terima didikan dari salah satu murid Hoa San Pay itu, kalau tidak, tidak nanti dia sanggup layani terus pada Un Cheng. Tidak perduli dia garang, pedangnya liehay, akan tetapi didalam hal latihan dan ketenangan, dia bukan tandingannya pemuda she Un ini, yang hatinya mantap.

Un Ceng pun lihat si nona bukan lawannya itu kakak misan, maka sambil bersenyum tawar, dia kata seorang diri

: "Hm, dengan kepandaian seperti ini berani datang untuk menagih emas!..." Memang, setelah gagalnya desakannya itu, si nona mulai kendor gerakannya, tetapi didepan ia, Un Cheng tetap seperti biasa, malah sekarang, pemuda ini mulai mendesak, satu bacokan demi satu bacokan yang mengancam sekali.

Sin Cie lihat keadaan telah sampai disaat paling genting, mendadakan ia lompat maju kedalam kalangan, menyelak diantara kedua orang yang lagi bertempur itu. Ia menempuh bahaya, karena justru itu, pedang dan golok lagi saling sambar, hingga dia mesti menjadi talenan.

Un Ceng kaget hingga ia menjerit.

Kedua orang tua juga loncat bangun dari kursi mereka, akan tetapi mereka masih tak sempat memburu untuk mencegah perbuatan berbahaya itu.

Akan tetapi Sin Cie tak tampak bencana walaupun golok dan pedang sambar ia. Dengan tangan kanan, dengan pelahan, ia tolak lengannya Un Cheng. Dengan tangan kiri, dengan pelahan juga, ia sambuti lengannya si nona. Ia bebas dari serangan sebab segera ia mendak diantara mereka, cuma kedua tangannya membujur keatas.

Dengan tangkisan semacam ini, tidak ampun lagi, kedua tangan dari dua-dua penyerang kena tertolak mundur, dengan begitu, dengan sendirinya juga, pedang dan golok mereka tak dapat meminta korban.

Coba ia inginkan itu, dengan leluasa Sin Cie bisa teruskan merampas pedang dan golok orang itu, tapi ia sudah tidak berbuat demikian, ia kuatir Un Cheng mendapat malu dan menjadi tak senang. Juga dengan cara ini, ia telah membuat kaget dua orang yang adu jiwa itu, sebab tidak saja tangan mereka tertolak, tubuh mereka juga mesti mundur beberapa tindak, supaja mereka tak usah rubuh terbalik. Tanpa merasa, tangkisan Sin Cie telah menggempur juga kuda-kuda mereka itu. Maka mereka menjadi kaget dan heran, mereka menjadi gusar juga.

Un Cheng gusar berhubung dengan kejadian semalam dipuncak dimana ia tak dapat muka dari adik misannya ia malu sendirinya terhadap pemuda tetamunya itu.

Si nona tak dikenal menjadi gusar karena ia menyangka Sin Cie, yang keluar dari dalam, adalah konconya lawan itu. Akan tetapi ia insyaf kegagahan orang itu, ia tahu ia tak bakal berhasil, dari itu bukannya ia menegur atau menyerang, ia hanya loncat pula, mundur, untuk angkat kaki.

"Nona, tunggu dulu!" Sin Cie mencegah apabila ia lihat sikap orang. "Aku hendak bicara!"

"Tak dapat aku lawan kamu!" berseru nona itu dalam murkanya. "Bakal ada lain orang yang terlebih pandai dariku, yang akan datang pula akan menagih emas! Kau ingin apa?"

Sin Cie menjura kepada nona itu.

"Jangan gusar, nona," berkata dia. "Aku ingin ketahui she dan namamu yang terhormat..."

"Fui!" si nona berludah. "Siapa sudi ngobrol denganmu!" Dengan satu loncatan, nona ini mencelat keluar pintu.

Sin Cie menjejak dengan kaki kirinya, tubuhnya mencelat hingga ia dapat lewati nona itu, didepan siapa ia menghalang.

"Jangan pergi dulu!" kata dia. "Aku bantu padamu!" Nona itu melengak, ia mengawasi.

"Kau siapa?" tanya dia.

"Aku orang she Wan," jawab Sin Cie. Nona itu berdiam, ia mengawasi dengan matanya mencilak.

"Apakah kau kenal An Toa-nio?" tanya si nona.

Sin Cie rasai tubuhnya seperti menggigil, telapakan tangannya panas.

"Aku Sin Cie!" ia memperkenalkan diri. "Kau toh Siau Hui?"

Mendadak si nona kegirangan hingga ia lupa akan dirinya. Ia sambar tangannya si anak muda dan tarik itu.

"Benar, benar!" serunya. "Kau benar-benar Wan Toako!"

Tapi segera si nona lepas pula cekalannya, mukanya menjadi merah. Ia jengah.

Un Ceng saksikan itu semua, ia menjadi tak leluasa sendirinya.

Un Cheng sebaliknya lantas berseru : "Aku kira kau siapa, saudara Wan, kau kiranya ada mata-matanya Lie Cu Seng yang dikirim kepada kami disini!"

Sin Cie tercengang. Ia benar-benar tak mengerti.

"Aku kenal Giam Ong, itulah benar," kata dia. "Tapi itu tak dapat diartikan aku adalah mata-mata dia. Nona ini ada sahabat lamaku, sudah lebih dari sepuluh tahun kami berpisah dan tak pernah bertemu satu dengan lain. Kenapa kamu berdua bentrok? Bagaimana jikalau aku beranikan diri untuk damaikan kamu kedua pihak."

"Jikalau dia keluarkan emas yang aku minta, baru urusan dapat diselesaikan," kata Siau Hui.

"Apakah demikian gampang?" kata Un Cheng dengan mengejek. "Saudara, mari aku ajar kenal," berkata Sin Cie. "Nona ini ada nona An Siau Hui. Ketika kami masih kecil, kami tinggal bersama. Sampai sekarang ini, sudah sepuluh tahun kami tak pernah saling bertemu."

Dengan dingin Un Cheng awasi si nona, ia tidak memberi hormat, ia pun diam saja.

Tak enak hatinya Sin Cie karena sikap orang itu. "Bagaimana kau kenali aku?" pemuda ini lalu tanya si

nona An.

"Itulah tanda diatas jidatmu!" jawab Siau Hui. "Bagaimana aku bisa lupakan itu? Ketika kita masih kecil, ada datang orang hendak culik aku, dengan mati-matian kau tolong padaku dan kau kena dilukai. Apakah kau telah lupa?"

Memang dijidatnya Sin Cie ada sedikit tanda luka.

Anak muda ini tertawa, dia kata: "Pada hari itu kita sedang main masak-masakan dengan pakai mangkok dan kwali kecil!"

Wajahnya Un Ceng menjadi berubah.

"Pergilah kamu pasang omong, aku hendak masuk kedalam..." kata dia. Terang dia tidak puas.

"Tunggu sebentar!" Sin Cie mencegah. Ia kaget untuk sikapnya pemuda itu. "Siau Hui, bagaimana duduknya maka kau jadi bentrok dengan Un Toako ini?"

"Aku bersama...bersama Cui Suheng..." kata Siau Hui.

Tapi segera ia dipegat.

"Cui Suheng?" demikian Sin Cie. "Apa bukannya Siokhu Cui Ciu San?" "Dia ada cucu keponakannya Siokhu Cui Ciu San," Siau Hui terangkan. "Kami mengantari sejumlah uangnya Giam Ong untuk propinsi Ciatkang. Dia ini orang busuk, ditengah jalan dia merampasnya!..." Dia tuding Un Ceng.

Baru sekarang Sin Cie ketahui, emasnya Un Ceng itu ada hartanya Giam Ong. Jangan kata Giam Ong pernah sambut ia secara terhormat, dan gurunya - Cui Ciu San - sedang bantui Giam Ong itu, walaupun hanya karena Cui Cio San, An Toa-nio dan Siau Hui bertiga saja, pasti dia bantui pihaknya Siau Hui ini. Lain dari itu, emas itu Giam Ong kirim jauh dari Siamsay ke Ciatkang, mestinya itu ada penting sekali. Bukankah Giam Ong lagi bergerak untuk tolong rakyat? Bagaimana ia bisa tak berikan bantuannya? Maka lantas ia ambil putusannya, ia kata kepada Un Ceng : "Saudara, tolong kau lihat aku, baik kau kembalikan emasnya itu."

"Hm!" Un Ceng jawab. "Kau ketemui dulu kedua yayaku ini, Baru kita bicara."

Mendengar kedua orang tua itu adalah yayanya Un Ceng (engkong), Sin Cie pikir, harus ia beri hormatnya, sebab ia toh telah angkat saudara dengan cucu mereka itu. Tidak ayal lagi, ia hampirkan mereka didepan siapa ia paykui.

Si orang tua, yang memegang tongkat, berseru : "Ah, mana aku sanggup terima kehormatan ini? Saudara Wan, silakan bangun!"

Dimulut orang tua ini mengucap demikian, akan tetapi dengan kedua tangannya - setelah ia senderkan tongkatnya dipinggiran kursi - ia pegang kedua ujung bahu si anak muda, untuk dikasih bangun, untuk mana ia telah kerahkan tenaga khie-kangnya.

Sin cie terkejut kapan ia rasai cekalan yang keras, yang membikin tubuhnya seperti hendak terangkat, apabila ia

250 diam saja, tentu tubuhnya bakal terapung tinggi. Maka untuk mencegah, ia lekas-lekas kerahkan juga tenaganya. Secara begini, tanpa terganggu, ia bisa manggut terus sampai empat kali.

Oran tua itu kaget dalam hatinya.

"Liehay khiekangnya anak ini," berpikir ia. "Dengan latihanku dari puluhan tahun masih aku tidak sanggup angkat tubuhnya..." Maka ia lantas saja tertawa berkakakan dan terus kata: "Ceng-jie bilang saudara Wan mempunyai bugee liehay, itulah benar!" Artinya Ceng-jie adalah "anak Ceng" atau "si Ceng".

"Inilah sam-yaya, "Un Ceng terangkan. Kemudian ia menunjuk kepada orang tua yang bertangan kosong. "Ini adalah Ngo-yaya," ia tambahkan.

"Rupanya mereka ini adalah dua diantara Ngo-cou dari Cio Liang Pay," pikir Sin Cie. "Cou" berarti ketua atau leluhur kaum. Maka itu, ia pun memanggil : "Yaya".

Sam-yaya itu, "engkong" ketiga, ada Un Beng San, dan Ngo-yaya, ada Un Beng Go. Mereka tidak senang dipanggil "yaya", maka itu mereka diam saja.

Sin Cie heran atas kelakuan itu, ia pun jadi tak senang. "Ayahku ialah panglima pahlawan penentang musuh,

jenderal di Liautong, dengan aku angkat saudara dengan

cucu kamu, itu toh tak merendahkan derajatmu?" kata dia dalam hatinya. Tapi segera ia menoleh kepada Un Ceng: "Aku minta saudaraku, kau kembalikanlah emasnya nona ini."

"Kau senantiasa menyebut nona, nona saja, tetapi lain orang, tak kau perhatikan!" membalas Un Ceng. "Saudara, kita yang meyakinkan ilmu silat, kita harus hargakan kehormatan," berkata pula Sin Cie. "Emas itu ada kepunyaan Giam Ong, waktu kau rampas, kau tidak ketahui, karenanya, itu tak menjadi soal. Sekarang kita telah mengetahuinya, apabila kita tidak mengembalikannya, itu artinya kita tak me-mandang-mandang."

Un Beng San dan Un Beng Go juga tidak tahu suatu apa mengenai emas itu, mereka sangka itu ada satu kepunyaan suatu saudagar besar, Baru sekarang mereka ketahui dari keterangan Siau Hui dan Sin Cie, dengan sendirinya mereka pun merasa tak enak.Memang mereka tahu pengaruhnya Giam Ong , yang ditunjang oleh banyak sekali orang-orang kangouw kenamaan. Mereka mengerti, apabila mereka tetap tidak mengembalikannya, dibelakang hari mesti tak henti-hentinya datang orang-orang yang akan menagihnya. Dan inilah berbahaya untuk keselamatan mereka.

Un Beng San lantas tertawa. Dia berkata kepada Sin Cie

: "Dengan memandang kepada saudara Wan, pulangilah!" Kata-kata ini ditujukan kepada Un Ceng.

"Tidak, Sam-yaya, itu tak bisa jadi!" kata cucu ini.

"Kau telah berikan separuh kepadaku, yang separuh itu aku akan kembalikan lebih dahulu, "kata Sin Cie pada adik angkat ini.

"Jikalau kau sendiri yang inginkan itu, aku punya yang separuh lagi pun aku akan serahkan padamu," jawab Un Ceng. "Siapa sih yang sudi berpandangan cupat? Siapa sudi anggap emas beberapa ribu tail itu sebagai mustika? Tapi kalau dia yang inginkan, tak suka aku menyerahkannya!" Dan dia tunjuk Siau Hui.

Nona An maju setindak. Ia jadi sangat gusar. "Habis kau ingin bagaimana untuk kembalikan itu?" tanya dia dengan bengis. "Kau sebutkan saja!"

Un Ceng tidak jawab nona itu, ia hanya pandang Sin Cie.

"Sebenarnya, kau hendak bantu dia atau aku?" dia tegaskan toako itu.

Sin Cie bersangsi tapi ia menjawab : "Aku tidak bantu siapa juga, aku cuma hendak turut perkataan guruku..."

"Gurumu? Siapa itu gurumu?" Un Ceng tanya.

"Guruku ada orang penting dalam angkatan perangnya Giam Ong."

"Hm!" Un Ceng perdengarkan ejekannya. "Pulang pergi, kau toh bantui dia! Baik emas itu ada disini! Dengan akal aku telah curi itu, maka juga, kau pun mesti gunai akal untuk mencuri kembali! Aku kasi tempo tiga hari! Jikalau kau mempunyai kepandaian, kau ambillah! Jikalau lewat tiga hari, aku tak akan sungkan-sungkan lagi!"

Sin Cie segera tarik tangan baju Un Ceng.

"Adikku, mari!" berkata dia, jang terus mengajak orang ke satu pojok. "Tadi malam kau bilang kau dengar perkataanku, kenapa sekarang, belum selang setengah harian, kau sudah berubah?"

"Jikalau kau perlakukan aku baik, aku pasti dengar kata- katamu," sahut Un Ceng.

"Kenapa aku tak perlakukan baik padamu?" tanya Sin Cie. "Apa benar tak dapat aku ambil emas itu?"

Kedua matanya pemuda Un itu menjadi merah.

"Kau bertemu sama sahabat lama, lantas kau tidak pandang ornag lagi," dia kata." Bisa apa jikalau aku kangkangi harta Giam Ong? Paling juga orang bunuh aku! Ya, memang dalam hidupku ini, tak ada orang mengasihani aku..."

Hampir airmatanya pemuda ini keluar meleleh. Sin Cie berkasihan tapi ia tidak puas.

"Kau adalah saudara angkatku, dia adalah anaknya sahabatku," kata dia dengan penjelasannya. "Dua-dua aku pandang sama, tidak ada yang aku bedakan lebih tebal atau lebih tipis, kenapa kau jadi begini rupa?"

"Sudahlah, jangan banyak omong, dalam tempo tiga hari, kau datanglah curi emas itu!" Un Ceng pegat.

Masih Sin Cie hendak tarik tangan orang akan tetapi kali ini Un Ceng halau tangannya dan lantas lari kedalam.

Oleh karena perdamaian gagal, terpaksa Sin Cie ajak Siau Hui berlalu dari rumah keluarga Un itu, bersama-sama mereka pergi kerumahnya seorang tani untuk menumpang nginap. Disini Sin Cie tanya duduknya emas itu. Siau Hui ceritakan dia antar bertiga, entah bagaimana, ditengah jalan mereka terpisah, hingga akhirnya emas didapati Un Ceng.

Siau Hui cerita tidak terlalu jelas, agaknya dia ragu-ragu maka Sin Cie tidak tanya melit-melit.

Pada malam hari itu, kira-kira jam dua, Sin Cie ajak nona An pergi kerumah keluarga Un. Begitu ia lompat naik keatas genteng, ia dapatkan api dipasang terang-terang diseluruh thia yang lebar. Un Beng San dan Un Beng Go, dua saudara, duduk makan-minum bersama, Un Cheng dan Un Ceng dampingi mereka. Ia tidak tahu emas disimpan dimana, ia mencoba pasang kuping, supaya ia bisa peroleh sedikit penghunjukkan. Tiba-tiba Un Ceng, dengan tertawa dingin, kata seorang diri : "Emas ada disini! Siapa punyakan kepandaian, dia boleh ambil!"

Siau Hui betot Sin Cie yang berada disebelah depannya. "Rupanya dia tahu kita sudah berada disini," ia berbisik.

Sin Cie manggut akan tetapi matanya terus mengawasi kearah thia. Maka ia bisa lihat Un Ceng keluarkan dua bungkusan, untuk diletaki diatas meja, buat segera dibuka, dibeber, hingga diantara sinar api bergemirlapanlah cahaya emas berkilau-kilau. Sesudah beber emas itu, Un Ceng duduk, dituruti oleh Un Cheng, kakaknya. Mereka juga letaki golok dan pedang mereka, untuk gantikan itu dengan cawan arak, buat mereka turut minum dan makan.

"Begini rupa mereka bikin penjagaan, tanpa kekerasan, cara bagaimana emas itu bisa dapat dirampas?" pikir Sin Cie.

Siau Hui pun terdiam.

Lebih dari setengah jam mereka sudah menantikan, orang-orang dibawah itu masih tidak hendak berlalu, maka akhirnya Sin Cie tarik tangannya Siau Hui , untuk diajak pulang kerumah penginapan mereka. Ia tahu, malam itu mereka tidak berdaya... Dihari kedua, paginya, Siau Hui pasang omong dengan Sin Cie. Ia beritahukan bahwa ibunya ada sehat walafiat dan ibu itu sering ingat si anak muda.

Sin Cie rogoh sakunya, akan keluarkan sepotong gelang emas yang kecil.

"Inilah pemberian ibumu kepadaku," kata dia. "Kau lihat, dulu lenganku ada sebesar gelang ini tetapi sekarang?. " Siau Hui tertawa. Ia awasi lengan orang.

"Engko Sin Cie, selama ini kau kerjakan apa saja?" tanya dia.

"Setiap hari aku belajar silat, lain kerjaan tak ada," Sin Cie sahuti.

"Pantas ilmu silatmu liehay sekali!" si nona memuji. "Ketika kemarin kau tolak aku, kuda-kudaku turut gempur..."

"Tapi, kenapa kau pun gunai ilmu pedang Hoa San Pay?" Sin Cie tanya. "Siapa ajarkan itu padamu?"

Matanya si nona merah dengan tiba-tiba, ia berpaling kelain arah.

"Cui Suko yang ajari..."sahut ia selang sesaat. "Dia ada dari Hoa San Pay."

"Apakah dia mendapat luka?" Sin Cie tanya. "Mengapa kau berduka?"

"Mana dia mendapat luka?" balik si nona. "Dia tidak perdulikan orang, dia pisahkan diri ditengah jalan..."

Malamnya, kedua anak muda ini berangkat pula kerumah keluarga Un. Di thia besar tetap ada menanti empat orang, melainkan si orang-orang tua telah bertukar orang-orangnya. Mestinya mereka ini berdua ada yang lain- lainnya dari Ngo-cou, kelima tetuanya keluarga itu. Dan tentunya, tiga yang lain lagi sembunyi.

"Ada orang-orang liehay bersembunyi disini, kita mesti waspada," Sin Cie kisiki Siau Hui.

Si nona manggut, alisnya mengkerut. Tiba-tiba ia dapat pikir sesuatu, lantas saja ia loncat turun. Sin Cie berkuatir untuk nona ini, ia segera menyusul, mengikuti.

Siau Hui pergi kebelakang dapur. Disini ia nyalakan api, lantas ia sulut setumpuk kayu bakar, maka tak berselang lama, api itu lantas berkobar-kobar, menjilat-jilat keatas.

Sekejab saja keluarga Un menjadi kacau. Sejumlah chungteng, dengan membawa air dan gala, lari kearah dapur, untuk padamkan api.

Siau Hui lari balik kedepan, Sin Cie bersama dia.

Pemuda ini ketahui akalnya si pemudi.

Di dalam thia, api lilin terus menyala terang, tetapi empat penjaganya telah tidak ada.

Siau Hui girang tak kepalang.

"Mereka pergi padamkan api!" berseru dia.

Dengan bergelantungan dipayon, nona ini loncat turun kebawah, dari antara jendela, ia loncat masuk kedalam thia.

Sin Cie telad contohnya nona ini.

Sebentar saja mereka berdua sudah sampai dipinggir meja. Siau Hui maju lagi setindak, tangannya berbareng diulur, untuk jumput emas.

Sin Cie kaget ketika ia menaruh kakinya, ia rasai menginjak tempat yang tak berdasar kuat. Segera ia insyaf kepada lobang jebakan. Ia menyambar dengan tangan kanannya, untuk tolong Siau Hui, sembari menyambar, ia pun berloncat. Tapi ia sudah terlambat, sambarannya gagal. Ia sendiri telah sampai di tiang tengah, dengan tangan kiri, ia sambar tiang itu, kaki kirinya diletaki didasarnya tiang.

Sedetik saja, papan jebakan telah membalik diri, dengan Siau Hui telah kejeblos kedalam, lenyap dari muka lantai. Kaget dan berkuatir, Sin Cie loncat ke jendela. Adalah niatan dia untuk cari pesawat rahasianya jebakan itu, untuk tolongi Siau Hui. Ia Baru sampai diluar jendela atau ada angin sambar ia. Ia mengerti, ada orang bokong padanya. Dengan sebat ia menangkis dengan tangan kanan, hingga tangannya itu bentrok dengan tangan si penyerang, yang belum dikenal siapa. Penyerang itu agaknya mencoba membetot tapi, penyerangnya itu, yang tersempar, rubuh tubuhnya, hanya saking gesit, dia ini bisa berlompat bangun dengan cepat, malah dia segera lompat naik ke genteng juga, untuk menyusul.

Begitu lekas ia ada diatas genteng dan memandang kesekitarnya, Sin Cie bergidik tanpa kedinginan. Nyata ia telah dikurung oleh sejumlah orang, yang tubuhnya kate dan jangkung tidak merata. Iapun lihat, orang yang barusan ia kena sempar rubuh Un Cheng adanya. Ia insyaf bahwa ia sedang terancam melainkan ia belum tahu, bagaimana sikap keluarga Un itu. Maka dengan berdiam diri, ia awasi mereka itu - ia berlaku tenang dan waspada.

Dari lima tertua pemuda kita sudah kenal dua, ialah Sam-cou Un Beng San dan Ngo-cou Un Beng Go. Dari tiga yang lian, ia lihat satu yang bertubuh kekar luar biasa, siapa sekarang berdiri ditengah-tengah. Dia ini jauh lebih tinggi- besar dari empat lainnya. Ketika dia tertawa dengan mendadak, suaranya pun nyaring sekali.

"Kami berlima saudara tinggal didusun yang sepi tetapi sekarang ada orang sebawahan yang liehay dari Giam Ong berkunjung kepada kami, inilah ada satu kehormatan yang besar sekali!" demikian suaranya, yang tak kalah nyaringnya, bagaikan suara lonceng saja. Segera Sin Cie maju setindak, untuk beri hormat sambil menjura kepada orang tua itu.

"Aku yang muda menghadap cianpwee," kata dia. Ia tidak mau berlutut, karena ia kuatir nanti ada yang bokong. Ia memberi hormat supaya orang tidak katakan dia tidak kenal adat sopan-santun.

Un Ceng berada diantara pihak pengurung, ia majukan diri.

"Ini Toa-yaya!" kata dia, dengan suaranya yang cempreng. "Ini jie-yaya. Dan ini Su-yaya."

Sin Cie menjura kepada sesuatu yaya yang disebutkan. Yang tertua dari Ngo Cou dari Cio Liang Pay ialah Un

Beng Tat, yang kedua Un Beng Gie, dan yang keempat Un

Beng Sie. Mereka ini, bersama Sam-yaya dan Ngo-yaya balas hormat itu. Walaupun begitu, mereka mengawasi dengan tajam.

Diantara kelima Ngo-cou, Un Beng Gie yang kedua, adalah yang paling keras perangainya. Begitulah dia ini menegur: "Kau masih muda sekali tapi nyalimu nyata tak kecil, kau berani melepas api membakar rumahku!"

"Itulah perbuatan sembrono dari kawanku," mengaku Sin Cie dengan sikapnya yang menghormat. "Aku merasa sangat menyesal. Syukur api tak membahayakan hebat. Biarlah besok aku yang muda datang pula kemari untuk minta maaf. "Dengan sebenarnya, api telah lantas dapat dibikin padam, tak menjalar lebih jauh.

Un Beng Sie, tertua yang keempat, bertubuh jangkung dan kurus, dia adalah engkongnya Un Cheng, potongan tubuhnya romannya, mirip benar dengan cucunya itu. Dia ini menyambungi saudaranya bicara. "Kami tinggal disini sudah beberapa puluh tahun," demikian katanya. "Selama sekian lama itu, cuma ada orang-orang yang datang kemari untuk menghunjuk hormat, belum pernah ada satu bocah yang berani berlaku kurang ajar! Siapa itu gurumu? Kenapa kau begini tak tahu aturan?"

"Guruku sekarang berada dalam pasukan perangnya Giam Ong," Sin Cie jawab, tetap dengan hormat, tak perduli orang tegur ia secara bengis. "Aku mohon cianpwee beramai sudi kembalikan emasnya Giam Ong itu. Aku janji lain hari akan minta guruku menulis surat kepada cianpwee untuk haturkan terima kasihnya."

Pemuda ini tidak hendak sebutkan nama gurunya.

"Siapa itu gurumu?" tanya Un Beng Tat, tertua yang pertama.

"Guruku itu jarang sekali berkelana dalam dunia Kangouw, karena itu tak berani aku yang muda menyebutkan namanya," Sin Cie jawab dengan hormatnya tak pernah ketinggalan.

"Hm!" berseru Un Beng Gie, tertua yang kedua. "Dengan kau tidak sudi menyebutkannya, mustahil kami tak mendapat tahu? Lam Yang, coba kau main-main dengan bocah ini!"

Dari antara rombongan itu keluar satu orang umur empat-puluh lebih, mukanya berewokan. Dia adalah putera kedua dari Jie-yaya Un Beng Gie ini. Dalam angkatan kedua dari Cio Liang Pay, dia ternama. Dia sudah lantas lompat kedepan Sin Cie, untuk terus kirim tonjokannya kearah muka.

Sin Cie berkelit, atas mana menyusullah kepalan kiri orang she Un itu. Pemuda kita lantas berpikir: "Mereka berjumlah banyak, jikalau mereka maju satu persatu, aku bisa celaka karena lelah. Jikalau aku tidak berlaku cepat, sulit untuk aku loloskan diri."

Maka itu, ketika kepalan kiri lawan sampai, mendadak Sin Cie angkat tangan kanannya, untuk menangkis sambil teruskan menyekal kepalan itu, setelah mana, ia menyempar kebelakang sambil tubuhnya sendiri menyamping.

Lam Yang tidak sempat lepaskan kepalannya itu, belum sampai ia menancap kaki, tubuhnya sudah terbetot kedepan, nyelonong, ketika kakinya injak genteng, genteng itu pecah dan ia terjeblos dan rubuh. Sukur untuk dia, Beng Go, sang paman yang kelima, masih keburu lompat untuk menarik dia, kalau tidak, tidak ampun lagi, dia pasti ngusruk kebawah genteng. Mukanya menjadi merah bahna malu dan gusar, tidak ayal lagi, ia maju menyerang pula. Ia menjadi sangat penasaran.

Sin Cie sudah bersiap. Tak bergeming dia ketika lawan mengancam. Hanya ketika serangan datang, ia putar tubuhnya, ia melengak, sambil berbuat mana, kakinya yang kiri berbareng terangkat! Segera, Un Lam Yang rubuh tengkurap! Menyusul sontekan kaki kirinya itu, Sin Cie pun ulur tangan kanannya, selagi kaki kirinya ditarik pulang, tangan kanannya sudah sambar baju dibelakang penyerangnya itu, ia menjambak, ia mengangkat. Maka tak sampailah mukanya Lam Yang beradu dengan genteng, malah dia terangkat hingga dia dapat berdiri pula.

Bukan main mendongkolnya orang she Un ini, tetapi tak dapat ia berkelahi lebih jauh, maka setelah awasi si anak muda dengan mata melotot, ia mundur sendirinya. "Ha, bocah ini benar-benar liehay!" berseru Beng Gie dalam gusarnya. "Biarlah lohu mencoba-coba main-main dengan muridnya seorang liehay!"

Jie-yaya ini segera juga geraki kedua tangannya, untuk mulai maju.

Dengan tiba-tiba, Un Ceng lompat kesamping orang tua itu, untuk berbisik : "Jie-yaya, dia telah angkat saudara denganku, jangan kau lukai dia. "

"Setan cilik!" orang tua itu kata dengan sengit. Masih Un Ceng cekal tangannya Beng Gie. "Kau toh mengabulkan, Jie-yaya?" katanya.

"Kau lihat saja!" kata si orang tua dengan keras seraya tangannya menyempar, atas mana pemuda itu terpelanting beberapa tindak, hampir saja dia rubuh tegruling.

Un Beng Gie maju dua tindak kearah pemuda kita. "Kau maju!" ia membentak.

"Aku tak berani," sahut Sin Cie seraya ia rangkap kedua tangannya.

"Kau tak hendak menyebutkan nama gurumu, maka kau seranglah aku tiga jurus," Beng Gie kata. "Nanti aku lihat, bisa atau tidak aku kenali siapa gurumu itu."

Panas juga hatinya Sin Cie melihat kejumawaan orang tua ini.

"Jikalau begitu, biarlah aku berlaku kurang ajar," kata dia akhirnya. "Apa jang aku bisa ada sangat berbatas, karena itu, aku minta cianpwee menaruh belas kasihan terhadapku. "

"Lekas mulai!" membentak pula Un Beng Gie. "Siapa kesudian ngobrol denganmu!"

262 Sin Cie segera menjura hingga dalam, sampai tangan bajunya mengenai genteng, kemudian setelah ia mulai berbangkit, dengan tiba-tiba tangan bajunya itu menyambar kearah si orang tua agung-agungan itu. Serangan itu mendatangkan siuran angin keras.

Beng Gie terperanjat. Inilah ia tidak sangka. Segera ia ulur tangannya, akan sambar tangan baju itu.

Sin Cie menyambar dengan tangan kiri, ketika ia disambar, ia berjingkrak, tangan kirinya itu ditarik pulang, akan tetapi sebagai gantinya, tangan bajunya yang kanan menyambar pula dengan tak kalah sebatnya, mengarah kemuka! Kembali Beng Gie terperanjat. Kembali satu serangan sebat diluar dugaan. Tak sempat dia menangkis. Sedang dia mempunyai latihan dari beberapa puluh tahun, selama separuh umurnya, ia hidup diantara "gunung golok dan rimba tumbak," pengalamannya ada banyak sekali. Terpaksa ia ngelengak kebelakang untuk luputkan diri dari sambaran itu.

Sin Cie tidak mau kasih ketika untuk orang balas serang dia, segera dia memutar tubuh.

Un Beng Gie sudah berdiri pula dengan tetap, ia lihat gerakan orang ia duga anak muda ini hendak angkat langkah panjang, maka ia memikir untuk menghajar supaya pemuda itu tak dapat lolos. Belum sampai tangan kanannya dikeluarkan, mendadak ia rasai pula sambaran angin, kali ini ia tampak, kedua tangan Sin Cie bergerak dengan berbareng, mirip dengan sambaran ular, kedua tangan itu nyelusup kearah dua iganya! "Itulah tangan baju belaka, apa artinya umpama kena terserang?" pikir jago tua ini. Maka ia ulur kedua tangannya, dengan niat sambar tangan baju orang itu, untuk digentak. Cepat luar biasa, kedua ujung tangan baju dari Sin Cie sudah sampai pada sasarannya, mengenai dengan jitu kepada atasan pinggang Jie-yaya dari Un Ceng. Dua kali telah terdengar siara nyaring karena sambaran jitu itu.

Berbareng dengan kaget, Un Beng Gie rasai ia sesemutan. Dilain pihak, lawannya sudah loncat mundur. Setelah putar tubuhnya, anak muda ini mengawasi sambil berdiri tegak.

Un Ceng telah saksikan gerakan tubuh yang sangat gesit dan luar biasa itu, ia heran hingga hampir ia berseru.

Un Beng Gie malu dan mendongkol sekali. Tidak perduli ia adalah seorang dengan banyak pengalaman, ia masih tidak bisa kenali, ilmu silat apa itu yang digunai si anak muda, yang main ujung baju... Sebenarnya, pada pertama kali, Sin Cie sudah gunai ilmu silat Hok-hou-ciang dari Bok Jin Ceng, yang kedua kali , itulah ilmu mengentengkan tubuh pengajaran Bhok Siang Toojin, dan yang ketiga kali adalah buah-hasil peryakinan dari "Kim Coa Pit Kip" peninggalan Kim Coa Long-kun. Ini ada ilmu pukulan "Siang Coa Coan ek" atau "Sepasang ular nyelusup ke ketiak", sedang kedua tangannya sengaja diumpati didalam ujung tangan baju. Tentu sekali Un Beng Gie bingung karenanya, sedang pertempuran mereka ada seperti sejurus demi sejurus dan tak ambil tempo lama.

Juga Un Beng Tat dan tiga saudara lainnya berdiri bengong, mereka saling mengawasi, hati mereka penuh dengan keheranan.

Dalam murkanya, Un Beng Gie menyerang pula secara sangat mendadak. Wajah masih merah-padam, alis dan kumisnya bagaikan bangun berdiri. Tangannya menyambar seraya perdengarkan angin berkesiur. Dibawah sinar si Puteri Malam, Sin Cie lihat kepala musuh seperti mengebulkan uap, suatu tanda jago tua itu dikrumuni hawa-amarah meluap-luap, dan gerakan kakinya ayal akan tetapi mantap, menunjuki lweekang yang telah mencapai puncak kesempurnaan. Melihat demikian, tak berani ia untuk permainkan pula orang tua itu.

Atas serangan hebat itu, pemuda ini berkelit sambil mendak kate. Dua kali ia bebaskan diri secara demikian ketika serangan lain menyusul dengan tangan yang sebelahnya. Ia pun secara diam-diam sudah lantas gulung tangan bajunya. Selanjutnya ia melayani dengan Hok-hou- ciang, ilmu pukulan "Menakluki harimau".

Setelah penyerangannya yang pertama dan kedua itu, serangan-serangan Un Beng Gie tak lagi sesebat sebagai semula, akan tetapi setiap pukulannya hebat, berat, saban- saban ada angin yang mengikutinya atau mendahului.

Sin Cie terperanjat apabila satu kali ia tampak tegas telapakan tangannya. Tangan itu bersinarkan cahaya merah bagaikan darah.

"Ha, kiranya dia ahli tangan jahat!..." katanya dalam hati. Itulah "Cu-see-ciang" (tangan Cu-see) atau "Ang-see chiu" (tangan Pasir Merah). Ia ingat keterangan gurunya perihal liehaynya ilmu pukulan itu, yang tak boleh mengenai sasaran atau orang akan bercelaka. Karena ini, lantas ia ubah sikapnya. Ia berkelahi dengan kedua tangannya digeraki pergi dan pulang dengan pesat sekali, dengan tak ada putusnya, untuk cegah desakan berulang- ulang lawannya.

Selagi pertempuran berjalan sangat seru, mendadak Un Beng Gie rasai sakit pada lengan kanannya, tidak tempo lagi ia mencelat jauh, akan pisahkan diri, setelah mana, ia lihat bagian tangannya yang sakit itu. Lengan itu merah dan bengkak! Ia mengerti bahwa ia telah kena dibentur, tapi ia pun segera mengerti, orang telah berlaku baik kepadanya, kalau tidak, tangan itu bisa bercelaka. Walaupun begini, ia mendongkol, cuma sekarang tak lagi ia hendak lanjuti pertempuran itu.

Selagi pertempuran tertunda itu, Un Beng San, Sam- yaya, maju hampirkan anak muda kita.

"Wan Lian-hia," katanya dengan tenang, "begini muda usia kaum bugeemu liehay sekali. Marilah, lohu ingin sekali belajar kenal dengan menggunai alat-senjata!"

Lekas-lekas Sin Cie berikan jawabannya.

"Tak berani aku yang muda datang kesini dengan membekal senjata," ia menampik.

Sam-yaya itu tertawa besar.

"Kau kenal baik adat istiadat," katanya. "Tentang kau bisalah dibilang, karena bugee liehay, nyalimu jadi besar. Tidak apa. Mari kita pergi ke lian-bu-thia!"

Lain-bu-thia itu adalah thia atau ruangan untuk belajar silat.

Sembari mengundang, Un Beng San loncat turun kebawah genteng. Tindakan ini diturut oleh semua rombongannya.

Sin Cie loncat turun , ia ikut masuk kedalam rumah. Selagi mereka itu berjalan, Un Ceng dekati si anak muda,

akan kisiki dia : "Didalam tongkat ada senjata rahasianya!"

Bercekat hatinya Sin Cie.

Tidak lama sampailah mereka di lian-bu-thia. Sin Cie tampak tiga thia yang besar ditengah-tengah mana ada satu pekarangan yang lebar. Kesitu pun lantas berkumpul lain- lain anggauta dari keluarga Un yang besar itu, karena keluarga ini punyakan anggota-anggota, lelaki dan perempuan, yang semua gemar ilmu silat. Semua mereka hendak nonton pertandingan. Malah diantara mereka kedapatan bocah-bocah umur tujuh atau delapan tahun.

Orang-orang yang muncul paling belakang ada satu nyonya umur kurang-lebih empat-puluh tahun, dia didampingi Goat Hoa, itu kacung perempuan yang ditugaskan melayani si tetamu anak muda.

"Ibu!" Un Ceng memanggil seraya maju menghampirkan apabila ia lihat nyonya itu.

Njonya itu mempunyai wajah yang eilok tetapi ia nampaknya berduka, ia tidak sahuti Un Ceng, ia cuma melirik, kelihatannya ia tidak gembira.

"Kau hendak gunai senjata apa, kau boleh pilih sendiri!" berkata Un Beng San setelah mereka sudah berkumpul. Ia menunjuk kesekitarnya dimana ada terdapat para-para serta pelbagai gegaman.

Sin Cie mengerti, urusan ada sangat sulit untuk diselesaikan, tetapi disebelah itu, tak ingin ia melukai orang. Ini adalah pengalamannya yang pertama, baru mulai berkelana sudah menghadapi kesulitan. Ia berpikir bagaimana ia harus ambil putusan.

Un Ceng lihat kesangsian Sin Cie, ia kata : "Sam yayaku ini paling suka anak-anak muda, tidak nanti dia lukai padamu..."

Tapi dia disenggapi ibunya : "Ceng Ceng, jangan banyak mulut!"

Kelihatan ibu itu gusar. Un Beng San menoleh kepada Un Ceng, dia kata : "Kita lihat saja masing-masing punya untung!" Lalu ia tambahan pada Sin Cie : "Saudara Wan, kau gunai pedang atau golok?"

Sin Cie terdesak, ia mesti berikan jawabannya. Ia melihat ke sekitarnya. Tiba-tiba ia tampak satu bocah lelaki umur enam atau tujuh tahun, yang sedang dituntun oleh Goat Hoa. Mestinya bocah itu ada anggauta keluarga yang termuda. Anak itu lagi pegangi sebatang pedang kayu jang dicat beraneka warna. Pasti itu ada pedang yang menjadi alat permainan bocah itu. Lantas saja ia hampirkan bocah itu.

"Saudara cilik, mari kasi aku pinjam pakai pedangmu, sebentar saja," ia minta.

Bocah itu berani, ia tertawa, ia serahkan pedang- pedangannya itu. Setelah sambuti itu pedang kayu, Sin Cie hampirkan Un Beng San.

"Tidak berani aku yang muda menghadapi locianpwee dengan golok atau tumbak tulen, dari itu aku pinjam pakai ini pedang kayu, untuk kita berlatih beberapa jurus saja." Berkata dia.

Pemuda ini bicara merendah dan halus, tetapi ia nampaknya sabar dan tenang.

0o-d.w-o0
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar