Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 64

Jilid 64

"Beng Kun Cinjin, permusuhan antara kita berdua tidak ada sangkut pautnya dengan nona Pui Eng Lan. Jangan ganggu dia, lepaskan!" kembali Kun Hong berkata keras.

"Kalau kau tidak mengakui aku sebagai ayahmu, berarti dia ini pun bukan anak mantuku, melainkan seorang mata-mata musuh yang harus dibunuh." Kata-kata Beng Kun Cinjin ini merupakan ancaman biar pun diucapkan dengan halus.

"Keji...!" kini Kun Hong tidak ragu-ragu lagi. Beng Kun Cinjin hendak mempergunakan Eng Lan untuk memaksa dia menakluk. Kemarahannya meluap dan sudah gatal-gatal kedua tangannya hendak menubruk dan mencekik leher orang yang dibencinya itu.

"Kun Hong, kau jangan kurang ajar. Kau membikin aku malu saja, masa begitu sikapmu terhadap ayahmu? Hayo kita ke pulau kosong dan selesaikan urusan ini sebelum urusan besar kita hadapi,” tiba-tiba Thai Khek Sian berkata lantang.

Sesudah berkata demikian, kakek aneh ini menggerak-gerakkan kedua tangan ke kanan kiri perahu dan hebatnya... perahu itu meluncur laju seperti didayung orang dengan kuat. Dari sini saja sudah bisa dibayangkan betapa besar tenaga dalam tokoh nomor wahid dari golongan Mo kauw ini!

Karena tidak ingin keributan antara ayah dan anak ini diketahui orang lain, Thai Khek Sian lalu membawa mereka ke pulau kosong dan seperti telah dituturkan pada bagian depan, kebetulan sekali di pulau itu bersembunyi Lan Lan dan Lin Lin yang ditinggalkan oleh Wi Liong dan Kong Bu yang melakukan penyelidikan.

Lin Lin mengenal Kun Hong, pemuda yang pernah dia tolong ketika dia masih tinggal di dalam goa di Thian-mu-san bersama Kwa Cun Ek. Dari Wi Liong dia sudah mendengar siapa adanya pemuda itu dan mendengar pula sedikit riwayatnya.

Akan tetapi Lin Lin, apa lagi Lan Lan, tidak mengenai siapa adanya gadis yang diikat pada batang pohon itu, juga tidak mengenal Beng Kun Cinjin dan Thai Khek Sian. Baru setelah melihat lebih lama lagi, teringatlah Lin Lin bahwa dia sudah pernah melihat hwesio gundul itu, Beng Kun Cinjin, sebab hwesio ini dahulu pernah berkunjung kepada suhu-nya di Kun-lun-san.

"Hwesio muka hitam itu apakah bukan Beng Kun Cinjin?" pikirnya di dalam hati.

Dengan hati tertarik Lan Lan dan Lin Lin menyelinap di antara pohon kemudian melakukan pengintaian. Diam-diam mereka mengambil keputusan untuk menolong gadis yang diikat pada batang pohon itu, gadis yang meski pun berada dalam keadaan tak berdaya namun masih bersikap gagah dan sepasang matanya penuh keberanian dan memandang dengan sinar berapi-api itu. Bukan main gagah dan cantik manisnya, membuat Lin Lin dan Lan Lan kagum dan menaruh simpati.

Kun Hong sudah tidak sabar lagi melihat Eng Lan diikat pada pohon, maka dengan suara keras bertanya, "Sesudah kalian membawa aku ke sini, apa kehendak kalian?" Dia tidak menaruh hormat lagi kepada Thai Khek Sian dan sedikit pun dia tidak takut.

Beng Kun Cinjin menoleh pada Thai Khek Sian. "Mohon keputusan Sian-su karena teecu tidak berani lancang bertindak tanpa seijin Sian-su."

Sikap ini jelas sekali memperlihatkan sifat menjilat, dan tahulah Kun Hong bahwa musuh besarnya itu selain sudah menjadi murid Thai Khek Sian dan menjadi pembantunya, juga berhasil membujuk guru besar itu dengan jalan menjilat. Hatinya makin mendongkol.

Thai Khek Sian berdiri menghadapi Kun Hong. Suaranya mengandung kemarahan ketika berkata, "Kun Hong, melihat sikapmu sekarang semakin jelaslah bahwa kau telah murtad. Dosamu bertumpuk dan sekarang kau harus dapat memutuskan sendiri karena nasibmu tergantung kepada sikapmu sekarang. Pertama-tama, kau telah menghinaku dengan jalan menerima pelajaran dari Kui-bo Thai-houw. Ke dua, kau telah bersikap murtad dan berani melawan ayahmu sendiri, malah mengejar-ngejar dan hendak membunuhnya. Perbuatan-perbuatan ini merupakan penghinaan terhadap aku yang menjadi gurumu. Dan sekarang dengan rendah hati ayahmu mau melupakan semua perbuatanmu, minta-minta kepadaku supaya mengampunimu asalkan kau suka mengakuinya sebagai ayah dan menghentikan permusuhanmu. Malah-malah dia mintakan ampun bagi nyawa nona ini karena mengingat bahwa kau mencintanya. Lekas kau berlutut mengakui ayahmu dan minta ampun padaku. Hanya dengan jalan demikian kau akan diampuni dan akan kami kawinkan dengan gadis pilihanmu ini!"

Sampai menggigil tubuh Kun Hong menahan gelora hatinya. Kini ia terdesak di sudut, tak dapat lari lagi. Sebenarnya keputusan itu memang amat enak baginya. Dia tidak dimusuhi Thai Khek Sian dan dapat mengawini Eng Lan yang setiap malam memang menjadi buah impiannya. Mau apa lagi?

Akan tetapi hatinya tidak mengijinkan dia menerima keputusan ini. Bagaimana dia dapat mengawini Eng Lan dengan cara paksa? Cinta kasihnya terhadap Eng Lan adalah cinta kasih yang suci, tidak seperti ketika dia mencinta semua wanita cantik. Selain keberatan ini, juga terutama sekali bagaimana dia bisa bersekutu dengan Thai Khek Sian setelah kini dia sadar? Lebih-lebih lagi bagaimana dia bisa berbaik lagi dengan Beng Kun Cinjin, orang yang telah membunuh ibunya?

Tak mungkin! Apakah ia akan kembali ke jalan sesat, hanya karena ia ingin mendapatkan diri Eng Lan, hanya untuk menyelamatkan Eng Lan? Dia harus menyeret dirinya ke dalam lembah kehinaan, mungkin ikut menyeret Eng Lan pula?

"Tidak mungkin!" suara hati ini terbawa keluar merupakan bentakan yang keras. la sendiri terkejut, akan tetapi karena telah terlanjur maka ia pun melanjutkan dengan suara gagah, "Tak mungkin aku dapat melupakan bahwa Beng Kun Cinjin adalah pembunuh ibuku. Aku harus membunuhnya untuk membalas sakit hati!"

Beng Kun Cinjin berkata dengan nada mengejek. "Kun Hong, kiranya hanya sebegitu saja cintamu kepada nona ini? Apa kau tidak mau menukar nyawaku dengan nyawa nona ini? Pendeknya sekarang kau tinggal pilih. Menurut perintah Sian-su kemudian hidup bahagia sebagai puteraku dan suami gadis ini, atau kubunuh dia ini di depan matamu dan kau pun takkan dapat berbuat apa-apa kepadaku di depan Sian-su."

Hati Kun Hong berdebar keras. Kalau dia sendiri terancam bahaya maut, kiranya dia tidak akan segelisah itu. Ia tahu bahwa ancaman yang keluar dari mulut Beng Kun Cinjin bukan gertak sambal semata dan ancaman itu akan dilaksanakan. Melihat Eng Lan terbunuh di depan matanya, benar-benar akan menghancurkan hatinya.

Ia ragu-ragu. Kalau dahulu, kiranya ia tak akan ragu-ragu untuk melakukan tipu muslihat, berpura-pura menakluk untuk menolong nyawa Eng Lan dan kemudian apa bila mendapat kesempatan, melanjutkan niatnya membunuh Beng Kun Cinjin. Demikianlah ajaran-ajaran dari Bu-ceng Tok-ong, mencari kemenangan dengan jalan apa pun juga, baik dengan cara kekerasan, kekejian, mau pun tipu muslihat licik. Tapi sekarang hatinya tidak mengijinkan ia melakukan tipu muslihat, terlebih lagi di hadapan Eng Lan yang dalam hal ini ia anggap menjadi gurunya.

Melihat keraguan Kun Hong, Beng Kun Cinjin menoleh pada Eng Lan kemudian berkata, suaranya halus dan sopan, "Nona Pui, kau sudah mendengar sendiri akan semua yang kami bicarakan. Kau dan gurumu telah menyelundup dan melakukan penyelidikan seperti mata-mata musuh yang keji hingga gurumu tewas dan kau tertawan. Menurut patut, kau pun sudah harus dibunuh, akan tetapi mengingat bahwa kau adalah kekasih anakku Kun Hong, kami mengampunimu. Nona, dari pandang matamu pinceng maklum kalau kau pun mencinta Kun Hong, maka demi kebahagiaan kalian berdua, demi kebaikan kita bersama, mintalah kepada bocah kepala batu ini agar mentaati perintah Sian-su yang cukup adil."

Gadis lain yang menghadapi kematian dan melihat jalan keluar itu mungkin akan menjadi lemah hatinya. Memang tidak dapat disangkal pula oleh Eng Lan sendiri bahwa apa pun yang sudah terjadi, betapa pun panas serta cemburu hatinya melihat Kun Hong di Pulau Ban-mo-to dahulu, tetap saja di lubuk hatinya terisi oleh Kun Hong, tetap saja ia mencinta pemuda itu sepenuh hati dan jiwa. Kini jalan keluar dari bahaya maut itu adalah menurut dan menikah dengan pemuda pujaan hatinya itu. Gadis mana yang takkan menurut?

Akan tetapi watak Eng Lan lain lagi. Ia gagah dan setia, menjunjung kegagahan jauh lebih tinggi dari pada kepentingan dan perasaan hati sendiri. Ia segera mengangkat muka dan dada, memandang Beng Kun Cinjin dengan mata berapi-api melalui air matanya, dadanya berombak turun naik, lalu berkata nyaring.

"Siluman-siluman jahat, kalian sudah membunuh suhu. Kalau kalian mau membunuh aku, lakukanlah. Siapa yang takut mampus? Aku tidak akan mengemis ampun! Aku tidak akan mengharapkan pertolongan, dari siapa pun juga!" Kemudian gadis ini memandang kepada Kun Hong dan berkata keras, "Kun Hong, kalau kau benar-benar mencintaku, perlihatkan kegagahanmu. Lebih baik mati dari pada tunduk kepada manusia-manusia iblis!”

Wajah Kun Hong yang tadinya kusut dan muram seketika berubah, kini menjadi berseri dan sepasang matanya bersinar-sinar agak basah. Ia terharu dan gembira sekali. Bibirnya tersenyum lebar ketika ia memandang ke arah Eng Lan.

"Eng Lan, terima kasih...!" Lalu dia tertawa bergelak sambil menerjang maju, menyerang Beng Kun Cinjin!

Beng Kun Cinjin yang tahu akan kelihaian Kun Hong, memaki, "Anak puthauw (durhaka)!" sambil melompat ke belakang Thai Khek Sian untuk berlindung.

Thai Khek Sian mengeluarkan suara aneh dan membentak, "Kun Hong, tahan dan jangan kurang ajar!"

"Suhu, minggirlah dan jangan mencampuri urusan antara dia dengan teecu!" Kun Hong menahan diri.

"Bocah gila, mundur kau, jangan bikin aku marah," kata pula Thai Khek Sian.

“Sian-su, sekali lagi. Minggirlah!" Kun Hong sekarang membentak.

Thai Khek Sian membanting kakinya, marah sekali. "Jahanam, apa kau hendak melawan aku pula? Aku gurumu!" Ia meludah ke atas tanah lalu berkata lagi, "Apa kau begitu jahat untuk melawan ayah dan guru sendiri?"

Kun Hong menggerak-gerakkan pedangnya. "Thai Khek Sian, kau dan Beng Kun Cinjin sama-sama jahat bukan main dan aku sudah bersumpah untuk melawan kejahatan. Biar pun ayah sendiri atau guru sendiri, kalau jahat akan kulawan dengan taruhan nyawa!"

Pada masa itu kata-kata yang dikeluarkan oleh Kun Hong ini memang merupakan ucapan yang sangat aneh dan janggal didengarnya, juga sangat jahat. Pada jaman itu, kebaktian merupakan pribadi atau watak yang paling penting di antara semua kewajiban hidup. Bakti terhadap orang tua dan bakti terhadap guru.

Pada jaman itu orang tua dan guru merupakan orang-orang dengan kekuasaan tertinggi dan mutlak yang harus ditaati oleh anak atau murid. Baik atau jahatnya orang tua mau pun guru, bukan soal. Pokoknya anak atau murid harus selalu taat dan inilah yang disebut ‘kebaktian’ pada masa itu.

Maka sikap Kun Hong yang revolusioner dalam arti kata menentang atau merobah aturan lama yang sudah mendarah daging ini, terdengar seperti halilintar di musim kemarau. Kun Hong sendiri maklum akan kenekatannya ini, kenekatan yang sebagian besar terdorong oleh cinta kasihnya terhadap Eng Lan dan sebagian pula terdorong oleh warisan dari Bu-ceng Tok-ong yang selalu tak mau menggunakan cengli (aturan) dan suka menyeleweng dari pada pendapat umum.

"Setan!" Thai Khek Sian memaki.

Tiba-tiba kakek ini menerjang maju mengirim pukulan maut kepada Kun Hong. Pemuda ini pun cepat mengelak dan balas menyerang gurunya!



Sejak tadi Lan Lan dan Lin Lin mengintai dan mendengarkan semua percakapan. Mereka merasa kagum kepada Eng Lan yang gagah berani, yang menentang maut dengan mata bersinar-sinar penuh ketabahan, malah yang menganjurkan laki-laki yang dicintanya untuk bersikap gagah dan jangan takut mati membela kebenaran.

Pula mereka kagum juga melihat sikap Kun Hong yang lebih menjunjung tinggi kebenaran dan kegagahan berdasarkan keadilan dari pada peraturan bakti yang hanya diperalat dan disalah gunakan oleh para orang tua dan guru-guru. Lin Lin yang melihat Kun Hong sudah bergebrak dengan kakek yang mengerikan itu, yang ternyata adalah Thai Khek Sian, lalu berbisik kepada cici-nya,

"Cici, kau tolong nona Eng Lan itu, biar aku menghadapi hwesio gundul tak tahu malu itu!" Setelah berkata demikian Lin Lin mencabut pedangnya dan melompat sambil membentak, "Kakek-kakek mau mampus menghina yang muda, sungguh tak tahu malu!"

Begitu tiba di tempat pertempuran, serta merta Lin Lin menerjang dengan pedangnya dan menyerang Beng Kun Cinjin yang terkejut sekali lalu cepat menangkis dengan tasbehnya. Segera keduanya bertempur hebat.

"Eh, bukankah kau ini... murid Liong Tosu?" Beng Kun Cinjin membentak ketika mengenal ilmu pedang nona itu.

"Aku murid siapa bukan soal, yang terang aku pembasmi manusia-manusia jahat macam kau!" bentak Lin Lin sambil menyerang terus dengan ilmu pedangnya yang lihai.

Beng Kun Cinjin tak banyak cakap lagi, terus menyerang kembali dengan sama hebatnya sehingga Lin Lin terpaksa mundur dam diam-diam mengakui kelihaian hwesio ini.

Sementara itu Lan Lan segera berlari menghampiri Eng Lan yang terikat di batang pohon. Melihat gadis ini datang sambil tersenyum-senyum, Eng Lan bengong, sebentar menoleh kepada Lan Lan dan sebentar kepada Lin Lin yang demikian gagahnya menghadapi Beng Kun Cinjin.

Seperti juga terhadap orang-orang lain, persamaan rupa kedua orang gadis ini membuat Eng Lan terkejut dan bingung. Apa lagi karena kedua-duanya serupa benar dengan Siok Lan. Eng Lan tahu bahwa seorang di antara mereka tentulah gadis serupa Siok Lan yang pernah ia jumpai di rumah makan, malah hampir bertempur dengan dia kalau tidak keburu datang Wi Liong yang melerai (memisah).

"Selamat bertemu kembali, enci yang baik,” kata Lan Lan tersenyum manis sambil cepat-cepat menggunakan pedangnya memutus tali yang mengikat gadis itu pada pohon.

"Eh, kau... kau yang di rumah makan dulu...?" tanya Eng Lan sambil membantu dengan menggerakkan tangan agar tali-tali pengikatnya lekas terlepas.

"Benar dan namaku Lan Lan, Pek Lan Lan. Dan itu adik kembarku Pek Lin Lin. Tadi aku mendengar namamu Pui Eng Lan. Bagus, jangan kau khawatir, kami akan membantumu dan membantu... tunanganmu itu."

Merah wajah Eng Lan digoda begini dan sekalipus membuat dia teringat bahwa sekarang bukan waktunya berkelakar. Ia mencari sebatang ranting, kemudian lari membantu Lin Lin menyerang Beng Kun Cinjin, didahului oeh Lan Lan yang juga sudah membantu Lin Lin mengeroyok hwesio itu. Untuk membantu Kun Hong, kedua orang gadis ini merasa belum cukup kepandaiannya menghadapi Thai Khek Sian yang lihainya benar-benar luar biasa itu.

Pertempuran dua golongan ini berlangsung makin ramai dan seru saja. Akan tetapi mudah dilihat bahwa keadaan mereka kurang seimbang. Kun Hong amat kerepotan menghadapi desakan-desakan Thai Khek Sian yang masih menang segalanya dibandingkan dengan pemuda bekas muridnya ini. Hanya berkat ketangkasan serta kecepatan Kun Hong saja yang membuat pemuda ini sebegitu lama masih belum roboh.

Di lain fihak Beng Kun Cinjin terlampau kosen bagi tiga orang pengeroyoknya yang terdiri dari gadis-gadis muda. Hanya Lin Lin seorang yang mampu mengimbangi kepandaiannya dan masih dapat membalas dengan serangan-serangan dahsyat, akan tetapi Lan Lan dan Eng Lan benar-benar tidak berdaya.

Sekarang keadaan Kun Hong dan ketiga orang gadis itu malah terancam hebat dan dapat dibayangkan bahwa sebentar lagi mereka tentu akan roboh.

Pada saat yang sangat berbahaya bagi keselamatan orang-orang muda itu, tiba-tiba saja terdengar bentakan dari kejauhan. "Beng Kun Cinjin, akhirnya aku dapat menemukan kau, jahanam!" Belum hilang gema suara ini, tahu-tahu Wi Liong sudah muncul di situ.

"Ji-wi moi-moi dan nona Eng Lan harap mundur, serahkan siluman ini kepadaku!"

Wi Liong sudah mencabut sulingnya dan menyerang ganas. Lin Lin girang sekali melihat munculnya pemuda ini. Ketika ia menengok dan melihat Kun Hong terdesak hebat, ia lalu melompat dan membantu pemuda ini menghadapi Thai Khek Sian.

Sekarang barulah pertempuran menjadi ramai dan Kun Hong dapat mengatur napas. Tak lama kemudian muncul pula Kong Bu dengan serombongan orang yang bukan lain adalah anak buahnya, yaitu pasukan pilihan dari markas penjagaannya yang terdiri dari tiga puluh orang lebih.

Bagaimana Wi Liong bisa tiba pada waktu yang sangat tepat? Mari kita tengok sebentar pengalamannya ketika ia melakukan penyelidikan bersama Kong Bu…..

********************

Sudah diceritakan lebih dahulu bahwa dua orang pemuda ini meninggalkan Lan Lan dan Lin Lin untuk melakukan penyelidikan di pulau-pulau lain, melihat gerak-gerik orang-orang Mongol yang telah sengaja didatangkan oleh Beng Kun Cinjin dan Bu-ceng Tok-ong guna membantu tipu muslihat yang hendak dijalankan oleh Thai Khek Sian.

Siang-siang Beng Kun Cinjin telah memperbaiki hubungannya dengan orang-orang Mongol dan ia mendapat pengampunan karena orang-orang Mongol melihat bahwa mereka dapat mempergunakan tenaga hwesio ini.

Kebetulan sekali Wi Liong dan Kong Bu pergi menyelidik ke pulau kosong yang dijadikan gudang perlengkapan makanan dan minuman. Begitu mendarat mereka cepat menyelinap memasuki pulau itu. Melihat adanya tenda-tenda di situ, mereka lalu maju mengintai dan merasa heran mengapa tempat ini begini sunyi seperti tidak ada penghuninya.

Mereka ingin sekali tahu apa yang terdapat di dalam tenda-tenda itu. Wi Liong mengajak Kong Bu mendekati tenda-tenda itu kemudian mengintai. Ternyata bahwa isi tenda adalah makanan dan minuman dan pada tenda terakhir mereka melihat Bu-ceng Tok-ong duduk di atas pembaringan sedang bersemedhi!

"Sungguh aneh sekali..." pikir Wi Liong. Bagaimana Bu-ceng Tok-ong duduk enak-enakan saja membiarkan kedatangan mereka menyelidik?

Tidak mungkin orang sepandai Bu-ceng Tok-ong tidak mendengar kedatangan mereka, terutama jejak kaki Kong Bu yang cukup jelas terdengar. Dengan penuh kecurigaan Wi Liong segera memasuki tenda itu dan mendekat. Setelah berdiri di depan pembaringan, ia mengeluarkan seruan tertahan.

"Ah, dia sudah mati..." cepat-cepat ia mengajak Kong Bu keluar dari tenda itu. "Tempat ini menjadi gudang persediaan barang hidangan, dijaga oleh Bu-ceng Tok-ong. Akan tetapi agaknya ada orang yang sudah bergerak terlebih dulu dan membunuh Bu-ceng Tok-ong," kata pula Wi Liong sambil berjalan cepat menuju ke perahu mereka. "Hebat... siapa yang bisa membunuh Raja Racun itu dengan racun?"

"Orang-orang Mongol itu tentu berada di pulau lain," kata Kong Bu. "Masih ada beberapa pulau kecil kosong di sekitar sini."

Mereka lalu mendayung perahu lagi hendak menyelidiki pulau-pulau lain, akan tetapi tiba-tiba lapat-lapat telinga Wi Liong menangkap suara jerit wanita. Kong Bu tidak mendengar ini, maka ia heran ketika mendengar Wi Liong berkata, "Putar perahu. Kita kembali!"

Kong Bu tidak berani membantah, tetapi melihat Wi Liong mendayung perahu secepatnya dan nampak gelisah, dia bertanya, "Ada apa, Thio-taihiap? Kenapa kita tidak melanjutkan penyelidikan?"

"Aku khawatir dua orang gadis yang kita tinggalkan itu sedang menghadapi bahaya. Tadi aku mendengar suara jeritan wanita dari jauh."

Kong Bu tidak bertanya lagi. Dia segera membantu Wi Liong mendayung perahu itu yang meluncur cepat sekali, kembali ke pulau kecil di mana mereka meninggalkan Lan Lan dan Lin Lin.

Di tengah perjalanan ini mereka bertemu dengan dua perahu besar yang ditunggangi oleh tiga puluh orang anak buah Kong Bu yang datang menyusul pemimpin mereka. Kong Bu lalu meloncat ke dalam perahu mereka dan membiarkan Wi Liong membalapkan perahu kecilnya terlebih dulu.

Ternyata bahwa kedatangan Wi Liong tepat sekali pada waktunya, yaitu kelika Kun Hong dan tiga orang gadis terdesak hebat. Jerit yang dia dengar tadi adalah jerit Eng Lan yang juga terdengar oleh Kun Hong ketika Eng Lan melihat gurunya dalam bahaya maut.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar