Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 66 ~ Tamat

Jilid 66 (Tamat)

Mendadak terdengar suara yang halus namun berpengaruh sekali sehingga orang-orang yang berada di situ menengok. Kiranya Thian Te Cu si Mayat Hidup yang bicara,

"Cu-wi sekalian, Thai Khek Sian telah jatuh terjerumus ke dalam lobang jebakan yang dia pasang sendiri. Sudah terang bahwa srigala-srigala dari utara (orang-orang Mongol) selalu mempergunakan setiap kesempatan dan perpecahan di antara kita untuk menghancurkan kita agar pertahanan di selatan menjadi makin lemah sehingga mudah bagi mereka untuk memperluas jajahannya. Oleh karena itu, aku yang tua ini mengharapkan mulai sekarang, lenyapkanlah atau sedikitnya kurangilah pertikaian antara kita sendiri agar pada masanya kita akan kuat membantu negara menahan serbuan musuh dari utara. Sekarang harap cu-wi kembali ke tempat masing-masing. Urusan mayat-mayat ini biarlah aku yang akan mengurusnya karena Thai Khek Sian masih terhitung sute-ku sendiri."

Semua tokoh di situ makfum siapa adanya Thian Te Cu, biar pun sebagian besar baru kali ini melihat orangnya. Sesudah semua memberi hormat, mereka lalu berbondong-bondong meninggalkan pulau ini. Tidak lama kemudian di pulau itu hanya tinggal Thian Te Cu dan yang belum pergi adalah Wi Liong, Kun Hong, Eng Lan. Lin Lin dan Lan Lan, Kong Bu dan ayahnya See-thian Hoat-ong, juga Kwee Sun Tek, Hui Nio dan Hui Sian yang ditahan oleh Kong Bu. Juga Phang Ek Kok dan muridnya, Kui Sek, berkeras menyatakan hendak membantu Thian Te Cu mengurus mayat mayat yang banyak itu.

Dalam kesempatan ini diam-diam Kui Sek jatuh hati kepada Hui Sian yang kenes dan ayu. Pemuda yang jujur sekali ini secara terang-terangan menyatakan perasaan hatinya dalam pandang mata dan kata-katanya sehingga membuat Hui Sian tersipu-sipu dan jengah.

Dengan beramai-ramai dan bergotong-royong mereka semua lalu mengurus penguburan sekian banyak mayat itu dan pekerjaan ini baru selesai sesudah sang mentari tenggelam di ujung barat.

Thian Te Cu mengucapkan terima kasih kepada orang-orang muda yang sudah bekerja keras itu, kemudian tanpa banyak cakap lagi ia berpamit dan berkelebat pergi, lenyap dari pandangan semua orang. Kwee Sun Tek hendak menyusul gurunya, akan tetapi ditahan oleh Wi Liong yang berseru,

"Nanti dulu, paman Kwee...!"

Kwee Sun Tek yang buta itu menahan kakinya dan menghadapi keponakannya. Di dalam kesibukan tadi, memang tak ada kesempatan bagi paman dan keponakan ini untuk saling bicara. Wi Liong membawa pamannya ke samping, lalu dia bicara terus terang mengenai perjodohannya.

"Paman, dahulu paman sudah memesan kepadaku supaya aku melanjutkan perjodohan dengan seorang puteri dari Kwa Cun Ek lo-enghiong, malah untuk ikatan jodoh ini paman sudah memberikan sebuah kalungku, bukan?"

"Betul, habis mengapa?" tanya orang buta itu sabar.

"Ada persoalan rumit, paman. Aku bertemu dengan Tung-hai Sian-li dan dalam saat-saat dia menghembuskan napas terakhir, dia memesan dan menjodohkan aku dengan seorang di antara anak-anak kembarnya sebagai pengganti nona Kwa Siok Lan. Aku tidak kuasa menolak. Bagaimana baiknya, paman?" Dia lalu menceritakan pengalamannya ketika hal itu terjadi.

Kalau menurutkan wataknya, tentu Kwee Sun Tek sudah marah-marah mendengar akan hal ini. Akan tetapi sekarang dia sudah dapat menguasai perasaan hatinya, maka dengan tenang dia berkata,

“Karena Tung-hai Sian-li juga berhak dalam perjodohan itu, lebih baik kau pergi ke Thian-mu-san kemudian tanyakan pendapat Kwa Cun Ek dan puterinya sendiri. Keputusannya terserah mereka. Wi Liong, kau telah cukup dewasa, aku percaya akan kebijaksanaanmu, aturlah sendiri sebaiknya agar semua fihak senang. Kelak saja kalau pernikahan hendak dilangsungkan, beri-tahu padaku ke Wuyi-san. Selamat tinggal." Kwee Sun Tek lalu pergi meninggalkan pulau itu menyusul gurunya yang sudah menanti di perahu.

Sementara itu, orang-orang muda yang lain sedang bergembira sesudah pekerjaan berat tadi selesai. Mereka saling berkenalan dan segera mendapat kecocokan satu sama lain. Malah Phang Ek Kok yang amat gembira bertemu dengan Lan Lan, anak angkatnya yang memang ia sayang, berkelakar sampai semua orang sakit perutnya tertawa-tawa. Terjalin rasa persahabatan yang erat di antara mereka

Wi Liong lalu menghampiri mereka, dan sesudah mendengar bahwa pemuda ini hendak mengunjungi Kwa Cun Ek di dalam goa di lereng Thian-mu-san, segera para muda-mudi itu menyatakan ikut serta. Semua orang ingin melihat tunangan Wi Liong dan diam-diam Lan Lan membuat semacam ‘propaganda’ sehingga berbondong-bondong mereka semua ingin menjadi saksi.

Kun Hong, Eng Lan, Lan Lan sendiri, juga Hui Nio, Hui Sian, Lin Lin, malah Kui Sek yang tergila-gila kepada Hui Sian ikut pula, tidak ketinggalan Kong Bu yang minta pertolongan ayahnya supaya pulang lebih dulu bersama pasukannya.

Melihat kegembiraan orang-orang muda ini, See-thian Hoat-ong hanya tersenyum sambil menggeleng-geleng kepala, diam-diam merasa iri juga bahwa dia sudah terlalu tua untuk menikmati kegembiraan orang-orang muda.

Maka berangkatlah mereka berbondong-bondong meninggalkan pulau kosong itu menuju ke daratan Tiongkok. Dan di darat ini See-thian Hoat-ong memimpin pasukan rombongan orang-orang muda itu.

Phang Ek Kok yang cukup awas melihat gerak-gerik muridnya, segera menuju ke tempat tinggal Thai It Cinjin di Kim-Ie-san untuk membicarakan tentang perjodohan, yaitu Kui Sek dengan Hui Sian.

Akan tetapi, selagi rombongan orang muda itu hendak berangkat, Kong Bu sudah terlebih dulu menyiapkan kuda dari pasukannya, mengeluarkan beberapa ekor kuda tunggangan yang bagus-bagus untuk semua anggota rombongan sehingga membuat mereka menjadi semakin gembira. Tiba-tiba Lin Lin berkata dengan muka sungguh-sungguh,

"Harap cu-wi berangkat dulu ke Thian-mu-san. Aku mempunyai urusan pribadi yang amat penting yang harus kukerjakan lebih dulu. Aku akan segera menyusul ke sana."

Semua orang kecewa, akan tetapi melihat bahwa Lan Lan juga memperkuat kepentingan adiknya, Kong Bu lalu memberikan kudanya sendiri kepada Lin Lin, katanya.

"Nona Lin Lin, kudaku ini paling baik dan paling cepat di antara semua kuda. Selain kuat dan larinya cepat, juga dia mempunyai keistimewaan, yaitu bisa tertawa. Kau naiklah kuda ini agar kau nanti dapat cepat membereskan urusanmu kemudian dapat mengejar kami."

Semua orang tak percaya dan terpaksa Kong Bu memberi bukti. Ia mencemplak kudanya dan berkata. "Koai-ma, beratkah bebanmu?"

Aneh sekali, sebagai jawaban kuda itu meringkik seperti orang tertawa terbahak, seakan-akan mengejek dan menyatakan bahwa muatan itu sama sekali tidak berat!

"Betul tidak kataku? Ia mentertawakan aku!" Semua orang ikut tertawa sehingga suasana menjadi makin gembira.

Setelah berpamit, Lin Lin lalu menunggang kuda yang bisa tertawa itu dan di lain saat dia telah membalap pergi meninggalkan rombongan yang melakukan perjalanan ke Thian-mu-san perlahan-lahan sambil bercakap-cakap gembira. Hanya Wi Liong yang tampak agak pendiam.

Perginya Lin Lin membuat ia merasa kehilangan dan baiknya ada Lan Lan di situ. Diam-diam ia terkejut dan memaki diri sendiri. Ah, aku telah mencintai mereka berdua, pikirnya. Orang gila, mana mungkin? Urusan dengan puteri Kwa Cun Ek saja belum beres, masa sekarang hendak ditambah seorang gadis seperti Lin Lin pula? Gila!

Lan Lan dan suheng-nya, Kui Sek, yang pernah mendatangi lereng itu, menjadi penunjuk jalan. Juga Kun Hong yang sudah pernah mendatangi tempat itu, menjelaskan kepada Wi Liong di mana tempat tinggal Kwa Cun Ek.

Karena Wi Liong tidak pernah menyebut-nyebut tentang keperluannya mengunjungi Kwa Cun Ek, semua orang kecuali Lan Lan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan akan terjadi. Hanya Wi Liong sendiri yang makin berdebar-debar cemas setelah mereka mulai mendaki Gunung Thian mu-san.

Juga wajah Kun Hong agak muram karena ia teringat akan nasib Ciok Kim Li yang tewas di lereng itu. Maka legalah hatinya ketika Wi Liong minta supaya mereka semua menanti di sebuah lereng yang teduh, sedangkan dia sendiri bersama Lan Lan lantas melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki ke lereng yang dituju. Ini adalah kehendak Lan Lan dan Wi Liong maklum bahwa tunangannya ini pun tentu ingin melihat gadis yang sudah lebih dulu ditunangkan kepada Wi Liong. Diam-diam dia semakin gelisah, mengkhawatirkan adegan yang amat tak enak antara dua orang gadis yang di luar kehendaknya sudah dijodohkan kepadanya.

"Turunnya dari tempat ini," kata Lan Lan sesudah mereka tiba di tepi jurang yang curam itu. "Pernah aku bersama suhu dan suheng sampai di tempat ini."

Keduanya lalu menuruni tebing dan ternyata jalan itu sudah dipersiapkan lebih dahulu, kini tidak sesukar dulu karena sudah dibuatkan jalan menurun merupakan anak tangga. Jalan ini dahulu dibuat oleh Lin Lin dan Lan Lan ketika mereka mengangkat jenazah Kwa Cun Ek untuk dimakamkan.

Ketika mereka menuruni lereng itu, terdengar Lan Lan terisak, membuat Wi Liong terkejut sekali.

"Ada apakah, adik Lan?"

Lan Lan menyusut air matanya, menggeleng perlahan. "Tidak apa-apa."

Hati Wi Liong berdebar. Celaka, pikirnya. Belum apa-apa Lan Lan sudah menangis, tentu cemburu dan nanti pasti akan terjadi adegan yang menghebohkan antara Lan Lan dengan ‘tunangannya’ yang lain! Tetapi ia tidak berdaya dan harus berani menghadapi kenyataan. Dia harus dapat menyelesaikan dan membereskan urusan ini bersama Kwa Cun Ek dan puterinya yang entah siapa itu.

Akhirnya dua orang muda itu sampai juga di dalam goa. Sunyi saja di situ dan Wi Liong berteriak, "Kwa Cun Ek. lo-enghiong, aku Thio Wi Liong datang menghadap!"

Suara itu bergema di dalam goa. Tidak lama kemudian terdengar suara wanita menjawab dari dalam, "Ayah Kwa Cun Ek sudah lama meninggal dunia, siapa yang mencari ayah?"

Dan dari dalam goa yang agak gelap muncul seorang gadis bertubuh ramping, berwajah ayu agak pucat dengan rambut hitam gemuk digelung tinggi-tinggi ke atas. Dia berjalan dengan tenang menghadapi Wi Liong dan Lan Lan.

"Siok Lan...!" Wi Liong berseru dengan suara gemetar.

Gadis itu tersenyum, sikapnya masih tenang. "Mengapa menyebut-nyebut nama enci Siok Lan yang sudah meninggal pula? Orang muda aneh, apa kau mimpi? Siapa kau?"

Tubuh Wi Liong masih menggigil, darahnya setengah beku membuat sampai lama dia tak bisa membuka mulut. Akhirnya ia melihat bahwa gadis yang persis Siok Lan ini jauh lebih muda. Ia cepat menjura dengan hormat dan berkata,

"Siauwte Thio Wi Liong dan sekarang datang ke sini hendak... hendak... bertemu dengan Kwa-lo enghiong."

Gadis itu nampak terkejut. "Ahh... sebelum meninggal dunia ayah pernah menyebut nama itu. Katanya Thio Wi Liong adalah... adalah calon mantunya. Jadi kaukah orangnya? Ahh, sudah nasibku... diserahkan kepada orang yang belum pernah kulihat sebagai pengganti enci Siok Lan. Tuan Thio, ayah hanya meninggalkan aku bersama… bersama mereka ini. Kau boleh pilih..."

Cepat gadis itu mengeluarkan sebuah karung besar lantas membukanya. Seekor monyet kecil meloncat keluar, diikuti oleh seekor kadal besar.

Wi Liong membelalak. Siapa pernah menyebut-nyebut tentang monyet dan kadal? Siapa yang berkata bahwa siapa tahu kalau puteri Kwa Cun Ek seperti monyet atau kadal?

“Lin Lin...!" teriaknya dan sekarang terbukalah matanya.

Tidak salah lagi, Lin Lin-lah gadis ini! Dia menjadi begitu girang sampai lupa keadaan, lalu menubruk maju dan memeluk gadis itu. Lin Lin tidak kuasa mengelak, hanya meramkan mata dalam pelukan Wi Liong sambil berbisik lirih,

"Apa kau cocok dengan pilihan pamanmu…?"

"Lin Lin, siapa kira... kau orangnya!" kata Wi Liong mesra.

Lan Lan cepat melangkah maju, wajahnya cemberut, ia pura-pura marah. "Apa apaan ini? Adikku sendiri merampas tunanganku! Kalau betul kau yang dijodohkan, mana buktinya?"

Wi Liong baru teringat akan Lan Lan dan cepat-cepat melepaskan pelukannya, kini berdiri bingung dan bengong, tak tahu harus berbuat apa. Lin Lin tertawa kecil dan mengeluarkan kalung kecil berhuruf LIONG yang selalu dia pakai.

"Inilah buktinya, tanda mata pengikat jodoh."

Kini wajah Lan Lan berseri dan sambil memandang Wi Liong ia pun berkata, "Kalau begitu baik sekali. Adikku Lin Lin inilah tunanganmu yang sah, ada pun aku... baik kau lupakan saja pesan terakhir dari ibu."

"Tidak bisa! Ehh... maksudku... tidak mungkin mengingkari pesan Tung-hai Sian-li begitu saja..." kata Wi Liong gagap.

"Habis, maumu bagaimana?" Lin Lin pura-pura marah membentak. "Kau mau putuskan lagi ikatan jodohmu dengan puteri ayah seperti yang kau lakukan terhadap enci Siok Lan dulu?"

"Tidak...! Itu pun tidak boleh terjadi! Aku... aku... aduh, bagaimana ini?" Wi Liong semakin bingung, wajahnya sampai pucat, peluh membasahi mukanya.

"Bilang saja terus terang, apakah kau setuju dengan pesan terakhir ibuku, apakah kau... mencintaku?" tanya Lan Lan menantang.

Wi Liong mengangguk. "Aku setuju sekali dan aku cinta padamu, adik Lan... tapi..."

"Nanti dulu!" Lin Lin memotong dengan bentakan pula. “Apakah kau tidak kecewa akan pilihan pamanmu dan apakah kau mencinta padaku?"

"Aku girang sekali akan pilihan paman dan aku... aku pun cinta padamu, adik Lin."

"Uhh, gila...!" seru Lan Lan.

"Mata keranjang!" sambung Lin Lin.

Wi Liong mengambil keputusan nekat. Dia menyambar lengan Lan Lan dengan tangan kiri dan lengan Lin Lin dengan tangan kanan. Kepandaiannya yang lebih tinggi memungkinkan ia memeluk dua orang gadis itu sekaligus di kanan kiri tanpa dua orang gadis itu mampu berkutik.

"Lan Lan, Lin Lin, dengarlah baik-baik. Aku cinta kepada kalian berdua dan tidak mungkin aku berpisah dari seorang di antara kalian. Bagiku kalian tak ada bedanya, kalian berdua merupakan penjelmaan Siok Lan. Aku tidak akan bisa mencinta Lan Lan tanpa adanya Lin Lin dan demikian sebaliknya. Aku harus mendapatkan kalian berdua sebagai kawan hidup atau... tidak sama sekali dan aku akan menyusul Siok Lan di alam baka. Aku cinta kalian. Seluruh cinta kasihku terhadap Siok Lan dahulu, sekarang berpindah kepada kalian yang kuanggap sebagai penjelmaan Siok Lan. Lan Lan dan Lin Lin, kalian menjadi tunanganku secara sah. Kalian harus menaruh kasihan kepadaku... kekasihku..."

Lan Lan dan Lin Lin saling pandang dan tersenyum. "Orang bodoh, apakah selama ini kau tidak melihat bahwa kami berdua juga mencintamu?" bisik Lan Lan.

"Enci Lan Lan dan aku pun tidak mau saling berpisah lagi, karenanya tidak mungkin kami mempersuamikan dua orang pria. Kaulah orangnya pilihan hati kami."

Tidak ada kegirangan di dunia ini yang melebihi kegirangan pada saat itu bagi Wi Liong. Ia memeluk semakin mesra dan berkata, "Terima kasih... kalian berdua adalah isteri-isteriku yang amat kucinta..."

Lin Lin dan Lan Lan sekaligus memberontak dan melepaskan diri.

"Cih, tak tahu malu!" Lan Lan menggoda.

"Menikah juga belum sudah menyebut-nyebut isteri. Benar-benar tak patut!" sambung Lin Lin.

Wi Liong tertawa, tertawa bergelak sehingga suara tawanya berkumandang di dalam goa, keluar dan bergema di lereng bukit Thian-mu-san. Di dalam kebahagiaannya, pemuda ini ketawa sambil mengerahkan tenaganya, membuat sekeliling tempat itu seperti tergetar!

Mereka bertiga sambi bergandengan tangan, Wi Liong di tengah, mendaki jurang itu dan bersembahyang di hadapan makam Kwa Cun Ek. Kemudian mereka menuju ke tempat kawan-kawan yang menanti tak sabar.

Melihat Wi Liong datang menggandeng dua orang gadis kembar, sekarang Lin Lin sudah merobah sanggul dan pakaiannya seperti semula, kawan-kawan itu menjadi heran. Akan tetapi Kun Hong dapat mengerti. Bersama Eng Lan dia menyambut sambil tertawa-tawa. Saking girangnya, tanpa malu-malu lagi Wi Liong memperkenalkan dua gadis kembar itu.

"Saudara-saudara harap ketahuilah, nona Lan Lan dan nona Lin Lin ini adalah calon isteri-isteriku, dijodohkan oleh Kwa Cun Ek lo-enghiong dan Tung-hai Sian-li."

Semua orang bersorak girang dan bergantian memberi selamat sambil tertawa-tawa. Lin Lin kemudian mengajak mereka ke sebuah rumah seorang petani di mana ia menitipkan kudanya. Kuda itu meringkik gembira melihat rombongan orang-orang muda itu.

"Wi Liong, aku merasa gembira melihat nasibmu yang baik. Terimalah ini sebagai tanda mata, dan terimalah kembali Cheng-hoa-kiam," kata Kun Hong yang mengeluarkan dua buah batu kemala keramat Im-yang-giok-cu dan Ngo-heng-giok-cu, juga mengembalikan pedang Cheng-hoa-kiam.

Wi Liong menerima dua buah batu kemala itu, akan tetapi ia memberikan pedang kepada Kun Hong, "Kun Hong, Cheng-hoa-kiam adalah pedang seorang pendekar budiman, maka patut sekali berada di tanganmu. Aku percaya bahwa selanjutnya kau akan menggunakan pedang itu sebagaimana layaknya."

Kun Hong hendak menolak, akan tetapi Wi Liong mendesak. "Kau memberi tanda mata sebagai ucapan selamat atas pertunanganku, apakah aku tak boleh memberikan pedang Cheng-hoa-kiam sebagai tanda mata dan ucapan selamat atas pertunanganmu dengan... dengan...”

Wi Liong memandang kepada Eng Lan penuh arti. Biar pun tidak menyebut nama, semua orang tahu dan bersorak girang, memberi selamat kepada Kun Hong dan Eng Lan yang mukanya menjadi merah sekali. Kun Hong berlinang air mata, hanya bisa mengucap lirih,

"Aku bahagia..., ibu..., aku bahagia..."

Wi Liong berjanji akan minta bantuan suhu-nya untuk membicarakan perjodohan antara dua orang muda itu.

"Aku pun tidak ketinggalan, memberi selamat dan biarlah kuberi tanda mata kudaku yang bisa ketawa itu," kata Kong Bu kepada Wi Liong..

Wi Liong menyatakan terima kasihnya. "Kami bertiga hendak pergi ke Wuyi-san untuk menjumpai suhu. Kawan-kawan, selamat berpisah sampai berjumpa pula di..."

"Pesta pernikahan!" sambung Kun Hong dan semua orang bersorak menyatakan setuju.

Kuda Koai-ma dikeluarkan, juga kuda Wi Liong dan kuda Lan Lan. Akan tetapi Kong Bu yang timbul kegembiraannya cepat berkata, "Aku hanya memberi tanda mata seekor kuda itu saja, maka harus kalian pakai bertiga!"

Semua orang tertawa menggoda dan muka Wi Liong menjadi merah.

"Masa seekor kuda untuk bertiga? Apa dia kuat?"

"Eh, eh, Thio-taihiap jangan memandang rendah. Coba saja dulu!” kata Kong Bu. "Kalau tidak kuat baru aku mau memberi dua ekor lagi."

Lin Lin lalu melompat ke atas kuda Koai-ma itu, maka Wi Liong terpaksa melompat pula di belakangnya dan Lan Lan juga melompat di belakang Wi Liong.

"Koai-ma, apakah bebanmu terlampau berat?" tanya Kong Bu.

Kuda itu menggerakkan empat kakinya ke depan, mulutnya menyengir dan mengeluarkan ringkikan tertawa berkakakan. Sebentar kemudian kuda itu membalap maju dikemudikan oleh Lin Lin. Sekali lagi mereka menengok ke belakang dan semua orang mengangkat tangan memberi salam terakhir. Eng Lan dan Hui Sian tak dapat menahan bertitiknya air mata menyaksikan kebahagiaan yang mengharukan itu.

Beberapa bulan kemudian Wuyi-san ramai bukan main, para tamu dari pelbagai kalangan, terutama sekali orang-orang kang-ouw, mendaki Bukit Wuyi-san untuk menghadiri pesta besar-besaran yang diadakan di bukit itu untuk merayakan pernikahan massal antara Wi Liong dengan Lan Lan dan Lin Lin, Kun Hong dengan Eng Lan, Kong Bu dengan Hui Nio. dan akhirnya Hui Sian dengan Kui Sek! Setelah berusaha susah-payah akhirnya pemuda dogol jujur gemuk tampan ini berhasil juga mencuri hati Hui Sian dan dalam hal ini Kui Sek mendapat banyak bantuan dari sumoi-nya, Lan Lan.

Orang yang pernah menyeleweng dalam hidupnya, tersesat ke dalam kejahatan, belum tentu akan menjadi hina seterusnya, asal dia cepat sadar dan insyaf akan kesesatannya, lantas secara radikal dan berani membanting setir hidupnya, kembali ke jalan benar dan memulai lembaran baru yang bersih dan berguna dalam hidup yang tiidak berapa lama ini, seperti yang telah dialami oleh Kun Hong.....

T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar